Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 33


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 33




   Karena mereka itu kebetulan memperoleh tempat duduk didekat pintu, maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah percekcokan antara seorang pengemis tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung keamanan restoran itu. Percekcokan mulut yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian. Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main. Pengemis jembel yang mengempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja, akan tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpelanting kekanan kiri, jatuh bangun dan dihajar kalang-kabut. Akhirnya, semua tukang pukul sudah roboh terguling dan tidak berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya buncit itu lalu mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu. kearah meja kasir yang berada didekat pintu.

   "Penuhi kantongku itu!" bentaknya dan matanya yang kemerahan itu melotot. Melihat ini Bwee Hong memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun berbisik.

   "Jangan ikut campur. Lihat disudut itu. Disana ada empat orang petugas keamanan kota, pakaiannya seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura-pura tidak melihat keributan ini. Mengapa kita harus campur tangan?" Majikan restoran itu yang duduk dimeja keuangan, terpaksa memenuhi kantong butut itu dengan uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut-takut. Pengemis itu menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan kedalam kantong besar yang diikat dipunggungnya. Kemudian, kantong butut kosong itu dilemparkannya keatas meja yang dihadapi Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai.

   "Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat dipintu gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau menghabiskan perkara itu!" A-hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa lihainya pengemis tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat bangun dari kursinya, bertolak pinggang diluar pintu restoran menghadapi pengemis itu sambil tersenyum mengejek.

   "Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau jembel busuk yang menjadi sekutu para pencoleng itu. memuakkan sekali...!" Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat yang tadi ketika dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan itu. Baru dengan sebelah tangan kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang pukul. Dapat dibayangkan betapa lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata. Akan tetapi, pengemis yang sudah tua itu agaknya tahu malu dan merasa sungkan kalau dia sebagai seorang tokoh besar harus menandingi seorang gadis cantik yang begitu muda. Maka matanya yang merah mengerling kearah A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel.

   "Tak tahu malu ada dua orang lelaki membiarkan teman wanitanya yang maju. Kalau kalian bukan pengecut, majulah dan jangan berlindung dibelakang wanita!" Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi A-hai sama sekali bukan seorang pengecut. Dia bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kearah muka pengemis itu.

   "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya! Aku bukan tukang berkelahi seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!" Bwee Hong cepat berkata,

   "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar para pencoleng dipintu gerbang adalah aku, maka kini akulah yang akan mempertanggung-jawabkan perbuatan itu terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan mengejek,

   "Jembel-busuk, kalau engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak cerewet lagi!"

   "Perempuan rendah!" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat menusuk kearah leher Bwee Hong.

   Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis didepannya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu dari samping gadis itu telah membalas serangannya dengan sebuah tendangan kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat meloncat kedepan sambil mengelebatkan tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee Hong sudah menarik kembali kakinya. Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat sekali. Gerakan pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi menghadapi Bwee Hong dia masih kalah jauh dalam hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat mereka yang melihatnya menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak penuh perhatian lalu diapun melanjutkan makan-minum dengan sikap tenang. A-hai yang juga nonton dengan gelisah, melihat betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang berkelahi itu, menegur,

   "Engkau ini bagaimana sih? Adikmu berkelahi melawan pengemis yang demikian lihainya dan engkau enak-enak makan-minum saja!" Seng Kun mengangkat muka memandang wajah yang tampan gagah itu sambil tersenyum.

   "Habis harus bagaimana aku?"

   "Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu!"

   "Tidak apa, ia tidak akan kalah."

   "Bagaimana engkau tahu" A-hai menengok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahu-tahu pengemis tua itu telah terpelanting jauh, entah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

   "Bawa kantong busukmu dan enyahlah!" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong kosong yang tadi oleh si pengemis dilemparkan keatas meja. Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bangkit berdiri dan memandang kearah Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi ketika dia berkata,

   "Kalian mempunyai perhitungan dengan kami, orang-orang rimba hijau dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian!" Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan makan-minum, tidak memperdulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan kearah mereka dengan kagum.

   Setelah kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali kekamar hotel mereka. Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A-hai yang sudah tidur sore-sore. Kakak-beradik ini maklum bahwa peristiwa sore dan pagi hari tadi tentu masih akan berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para penjahat yang agaknya menguasai kota kecil itu, setelah mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan jagoan-jagoan mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya dimana dia tinggal bersama A-hai dan bercakap-cakap sambil berjaga dengan adiknya diruangan depan adiknya. Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi. Menjelang tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara harimau mengaum.

   Keduanya masih duduk dengan tenang akan tetapi dengan jantung berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu terbuka dengan mudahnya dari luar, seolah-olah didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau. Kakek itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya masih nampak tegap dan membayangkan tenaga besar, rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih nampak hitam lebat, dengan cambang bauk membuat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya dari kulit harimau tutul dan sepasang matanya bersinar-sinar galak. Berturut-turut muncul pula enam orang laki-laki yang kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap. Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka.

   Bwee Hong juga sudah bangkit dan mendampingi kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba-tiba kakek tinggi besar itu tertawa. Suara ketawanya menyeramkan karena diseling gerengan-gerengan seperti auman harimau. Dia adalah seorang tokoh besar didunia penjahat, seorang diantara Sam-ok (Si Tiga Jahat) dan dialah yang kini menjadi seorang diantara, pembantu-pembantu dan kepercayaan Raja Kelelawar. Orang ini adalah Sanhek-houw Si Harimau Gunung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si pengemis lihai, adalah anak-buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak-buahnya, juga si pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak-buah yang beroperasi dikota kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja Sanhek-houw menjadi marah dan penasaran sekali.

   Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pembantunya, dia mendatangi rumah penginapan dimana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik rumah penginapan dan para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara auman harimau itu, yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "Raja" penjahat yang menguasai kota itu. Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya lemah, Sanhek-houw tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah kepada anak-anak ini.

   "Ha-ha-ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi mengacau dikota ini?" tanyanya, suaranya menggetar dan parau menyeramkan. Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat dan merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata dengan suara halus,

   "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman-temanmu itu, dan kami hanya membela orang yang tertindas saja."

   "Ha-ha-ha, orang muda, aku mendengar bahwa yang memukul anak-buahku adalah seorang gadis cantik. Ia itukah orangnya?" Sanhek-houw menudingkan telunjuknya kearah Bwee Hong. Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini mendengar pertanyaan itu, iapun menjawab lantang,

   "Benar! Akulah yang menghajar pencoleng-pencoleng busuk itu. Habis, engkau mau apa ""

   "Bagus! Engkau harus menyerahkan diri untuk kutangkap dan menerima hukuman!" kata Sanhek-houw.

   "Hemrn, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah kepada segala macam penjahat kejam!" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya.

   "Ha-ha-ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk ditundukkan dulu sebelum dijinakkan! ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya dan ada angin menyambar dahsyat ketika lengannya yang panjang mencuat dan mencengkeram kearah dada Bwee Hong.

   "Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping. Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata berisi juga, maka diapun mengeluarkan suara auman yang menggetarkan seluruh bangunan rumah penginapan itu, kemudian diapun menyerang Seng Kun dengan kalang-kabut. Sepak terjangnya memang kasar sekali, dan mengandung kebuasan, apa lagi serangannya itu disertai gerengan-gerengan seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini mempunyai pembawaan seperti harimau.

   Biasanya, kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang harimau kumbang, akan tetapi sekali ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke Kotaraja, dia terpaksa meninggalkan sepasang binatang peliharaan itu didalam kandang. Dan ilmu silatnya juga merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya didasari gerakan binatang harimau yang buas. Kedua tangannya membentuk cakar harimau, yang disebut Houw-jiauwkang dan dengan cakarnya ini dia mampu merobek-robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghan-curkan batu karang saking kuatnya. Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia terhuyung ketika mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena cengkeraman dan menjadi korban Ilmu Houw-jiauw-kang! Terpaksa Seng Kun lalu menghunus pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedangnya.

   Melihat ini, Sanhek-houw tertawa bergelak dan meloloskan sebatang rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi didalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki-laki pengikut Sanhek-houw hanya menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang congkak. Diam-diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar-benar amat tangguh, bukan sembarang tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya selalu terpental ketika bertemu dengan senjata lawan yang berat dan segera dia terdesak oleh gerakan senjata lawan yang berat dan panjang itu. Melihat keadaan kakaknya, Bwee Hong meloncat maju dan membantu. Enam orang teman Sanhek-houw hendak bergerak mencegah, akan tetapi Sanhek-houw tertawa.

   "Ha-ha-ha, biarlah ia maju untuk menghangatkan suasana, ha-ha!"

   Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak dan membiarkan gadis itu mengeroyok Sanhek-houw yang ternyata memang tangguh itu. Bagaimanapun juga, setelah Bwee Hong maju dan kakak-beradik itu mengandalkan ginkang mereka yang luar biasa, Sanhek-houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar senjatanya melindungi diri. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak-beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga senjatanya lebih menguntungkan, lebih panjang, berat dan juga mudah digerakkan karena merupakan rantai yang lemas. Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka, ada yang menggunakan golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan membantu Sanhek-houw.

   Tentu saja kini kakak-beradik itu yang berbalik terkepung dan terdesak hebat! Melihat ini, Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bahwa kalau ia dan kakaknya kalah, tentu kakaknya akan dibunuh dan ia sendiri... ah, ngeri ia memikirkan nasibnya kalau sampai terjatuh ketangan orang-orang kejam, ini. Pada saat itu, ia melihat A-hai muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur dan kini A-hai berdiri terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berkali-kali A-hai mengangkat tangan keatas seperti hendak mencegah atau melerai perkelahian itu. Melihat munculnya A-hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang akan mampu menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan satu-satunya jalan hanyalah merangsangnya, mengguncang batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya.

   Itulah satu-satunya jalan dan jalan lain tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos dengan selamat. Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang untuk melarikan diri sekalipun, lalu bagaimana dengan A-hai? Tentu pemuda itu akan dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal seperti ini memang ia sudah membuat persiapan sebelumnya. Ketika ia melakukan perjalanan bersama A-hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan. Yang merugikan adalah bahwa pemuda ini dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan tetapi yang menguntungkan adalah bahwa pemuda ini dapat "Dibikin" menjadi lihai.

   Maka iapun sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini, mempergunakan akal dan siasat untuk membangunkan pemuda itu, untuk membuatnya menjadi kumat gilanya dan juga lihainya! Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan benar-benar dan tiba-tiba, sapuan senjata rantai yang berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah saatnya, pikir Bwee Hong, sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu menjerit dan menghadap kepada A-hai, pisau belatinya bergerak seolah-olah menikam perut sendiri, tangannya mencengkeram keperutnya dan iapun roboh, dari perutnya bercucuran darah merah membasahi lantai dan pakaiannya. Sepasang mata A-hai terbelalak, mukanya seketika menjadi pucat. Kemudian dia mendelik, dari mulutnya keluar teriakan parau,

   "Ibuuu!!" Dan tubuhnya mencelat kedepan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong, dirangkulnya dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas dingin ketika ia merasa betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak yang menangisi ibunya dengan air mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya menggigil. Hal ini membuat A-hai menjadi semakin khawatir. Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu kini berubah sama sekali. Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan menyeramkan, penuh nafsu membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak kengerian itu ketika memandang penuh perhatian, tiba-tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru sebanyak tiga buah dipelipis kiri A-hai.

   Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah terdapat tonjolan seperti itu dipelipis A-hai. Kini A-hai yang melihat bahwa nona yang disebut ibunya itu masih hidup, merebahkan Bwee Hong dengan lembut keatas tanah, kemudian sekali menggerakkan tubuh, dia sudah meloncat dan membalik, menghadapi Sanhek-houw. Harimau Gunung Hitam ini memandang kepada A-hai, juga terheran akan tetapi tentu saja dia tidak memandang sebelah mata kepada pemuda yang tidak waras ini. Melihat A-hai berdiri tegak menghadapinya dengan sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh hitam ini merasa tidak senang.

   "Mampuslah!" bentaknya dan diapun menubruk dengan kedua tangannya setelah tadi menyimpan kembali senjata rantainya yang dianggapnya tidak perlu dipergunakannya lagi. Dia merasa yakin bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda ini, baru kemudian dia akan melanjutkan serangannya terhadap kakak-beradik itu.

   "Dukkk!!" San-hek-houw terpelanting dan terbanting keatas lantai. Dia mengeluarkan suara gerengan sambil bergulingan.

   Selain kesakitan, dia juga kaget setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia tadi merasa seperti membentur gunung baja! Melihat ini, enam orang teman Sanhek-houw menjadi marah dan merekapun menyerang maju dengan serentak. Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang mengerikan dan tubuh pemuda ini menerjang bagaikan badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik-pekik kesakitan dan enam orang itu sudah dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan, seperti orang mencabuti dan membuang rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam orang itu sudah malang-melintang, roboh tak mampu bangkit kembali! San-hek-houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu dan diapun meloncat keluar dari ruangan.

   Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa lagi setelah ada enam tubuh teman-temannya malang-melintang. Dia keluar dari rumah penginapan dan menanti dikebun samping. A-hai mengejar dan setelah tiba disitu, dia disambut serangan yang buas oleh Sanhek-houw yang kini sudah melolos rantainya. A-hai menyambutnya dan terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat, juga liar dan buas. mereka sama buasnya, akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong yang mengikuti pula jalannya perkelahian, melihat betapa Sanhek-houw terdesak hebat oleh gerakan silat A-hai yang aneh. Rantai yang menyambar-nyambar itu selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerakannya otomatis mengikuti gerakan lawan dan balasan serangan A-hai yang kelihatannya kacau-balau itu sesungguhnya pada dasarnya mengandung gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi.

   "Wuuuuttt... plakk!" Tiba-tiba ujung rantai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditangkap oleh A-hai. Sanhek-houw menggerakkan tangannya yang memegang gagang rantai dan rantai itu seperti hidup melingkari kepala dan menjerat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong terkejut bukan main dan siap menolong karena melihat A-hai terancam bahaya tercekik lehernya. Akan tetapi, rantai yang menjerat leher A-hai itu tidak mampu mencekik leher yang nampak berotot dan kuat itu. bahkan kini A-hai secara tiba-tiba mengangkat kakinya menendang, suatu gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sanhek-houw yang menduga bahwa pemuda itu tentu menjadi panik dan berusaha melepaskan rantai yang menjirat leher.

   "Desss...!" Tendangan yang amat keras itu membuat tubuh Sanhek-houw yang tinggi besar terlempar dan rantainya terlepas, tertinggal ketangan A-hai dan sebagian masih melingkari leher pemuda itu.

   "Huhh!" A-hai membuang rantai itu dan dengan langkah lebar menghampiri Sanhek-houw yang kini sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A-hai sudah menyerangnya dengan tamparan-tamparan dan pukulan-pukulan bertubi-tubi, kelihatannya semua serangan itu kacau, akan tetapi justeru cara yang kacau itulah yang membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi, Sanhek-houw yang masih merasa pening karena terbanting tadi, terkena sebuah pukulan tangan kiri, tepat pada dadanya.

   "Desss!" Terdengar datuk kaum sesat itu mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini bahkan terguling-guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali mengeluh, menggoyang-goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang-bintang bertaburan dan menari-nari, dari mulutnya mengalir darah segar. A-hai masih melangkah lebar mengejarnya. melihat betapa pada wajah A-hai nampak sinar beringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin melihat A-hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat dekat dan tanpa dipikir lagi dia berteriak melarang.

   "Saudara A-hai, jangan bunuh orang!" Akan tetapi, pada saat itu, A-hai sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanya perasaan duka bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar siapapun juga yang menghalanginya. Kini melihat Seng Kun berani menghadangnya, diapun menganggap pemuda ini musuhnya. Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang kearah Seng Kun. Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A-hai dalam keadaan tidak sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya. Dia tadi sudah melihat perkelahian antara A-hai dan Sanhek-houw dan melihat betapa setiap kali pukulannya dielakkan lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus mengejar lawan. Lebih aman menangkis dari pada mengelak.

   "Dukkk!" Hebat bukan main tenaga yang mendorong pukulan A-hai itu sehingga begitu menangkis, seketika tubuh Seng Kun terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras diatas tanah! Akan tetapi A-hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya kearah Seng Kun yang rebah diatas tanah.

   "Blaaarrr!" Debu dan tanah berhamburan. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun yang sudah bergulingan dan wajah pemuda ini menjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya, belum tentu dia akan sanggup bertahan.

   "Jangan!!" Tiba-tiba Bwee Hong menjerit dan jeritan yang melengking tinggi ini mengejutkan A-hai. Sementara itu, Sanhek-houw mempergunakan kesempatan ini untuk lari meninggalkan tempat berbahaya itu. Mendengar jeritan itu, A-hai termangu-mangu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun, kini menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah padam seperti dibakar, seluruh darah ditubuhnya seolah-olah berkumpul dikepalanya.

   Tiga bintik tonjolan biru itu makin jelas nampak dipelipisnya. Matanya inengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenarnya memiliki ketabahan besar dan bukan seorang penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki gemetar, menggigil ketakutan! Ngeri hatinya membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya ini adalah orang yang gila, bukan gila biasa, melainkan gila yang amat berbahaya karena memiliki ilmu yang amat mengerikan. Kini A-hai berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua lengannya digerak-gerakkan secara aneh, kedepan, keatas, kesamping, bukan seperti orang bersilat, akan tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan itu mengeluarkan hawa yang kuat sehingga terdengar bunyi

   "Wuuuuttt...wuuuttt... wuuuttt!" Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh, menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh adiknya itu,

   "Hong-moi, tenanglah. Engkau senyumlah, cepat. Jangan panik karena diapun akan menjadi panik. Pasrah saja, jangan kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan dia akan menurut segala kata-katamu, percayalah!" Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan hatinya kecut, berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum? Bagaimanapun juga, Bwee Hong segera mentaati perintah kakaknya dan diapun tersenyum manis. Mula-mula senyumnya merupakan senyum kecut, senyum dipaksakan. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa sinar mata yang buas dari A-hai itu seketika agak melunak dan gerak-gerik kedua lengan itu lebih lambat dan ragu-ragu, kini Bwee Hong benar-benar tersenyum, senyum lega yang membuat senyumnya nampak benar-benar manis sekali, dengan lesung pipit dipipi kirinya.

   "A-hai, tenanglah, A-hai, tidak ada apa-apa yang perlu dibuat gelisah atau marah lagi. Aku Bwee Hong... ingatkah engkau? Aku Bwee Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko!" Dengan suara yang halus merdu dan ramah, dengan pandang mata yang lunak dan halus, dengan senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk. A-hai sejenak memandang wajah gadis itu dengan bingung, akan tetapi lambat-laun pandang matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lembut, lalu dia tertegun dan berdiri seperti patung, kedua tangan kini tergantung dikanan kiri tubuhnya. Mukanya ditundukkan dan sepasang matanya dipejamkan. Seng Kun melihat ini semua dengan penuh perhatian. Ketika dia melihat betapa wajah A-hai itu kini merah padam, tiba-tiba dia teringat akan soal pengobatan dan diapun seperti memperoleh petunjuk.

   "Hong-moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir kekepala. Lihat, mukanya begitu merah sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah. Tekanan darahnya kelihatan sangat kuat dan semua mengalir kearah kepalanya. Ini sangat berbahaya bagi jiwanya. kalau dia tidak lekas-lekas jatuh pingsan seperti biasanya, darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini akan dapat memecahkan dinding-dinding pembuluh darahnya dan mengalir keluar melalui mata, hidung, telinga dan merusak otak-otaknya. Dia akan tewas dalam keadaan yang mengerikan!" Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang ini dan sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya memuncak.

   "Koko, apa yang harus kita lakukan?"

   "Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat, urat-uratnya sudah mengembung, sebentar lagi dapat pecah! siapkan sebatang jarum emas. Hati-hati, jangan sampai dia melihatnya. Berusahalah menusuknya dijalan darah balik tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia tahu dan curiga. Begitu dia tahu, dia tentu akan mengira engkau menyerangnya dan kalau dia menyerangmu, aku sendiri belum tentu dapat menyelamatkanmu! Cepat, Hong moi, tapi hati-hati"

   Biarpun Seng Kun bersikap setenang mungkin, tetap saja suaranya terdengar gugup dan agak gemetar. Hal ini tentu saja membuat Bwee Hong menjadi semakin gelisah dan ngeri. Amatlah menegangkan saat itu bagi Bwee Hong dan Seng Kun. A-hai berada diambang kematian, kalau tidak tertolong, sebentar lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan tetapi hal ini sedikitpun tidak disadari sendiri olehnya. Sedangkan kakak-beradik ahli pengobatan itu ingin sekali menyelamatkan nyawanya, akan tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka salah gerak atau diterima salah oleh A-hai dan menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda penyakit hilang ingatan itu, mereka akan mati konyol karena mereka berdua tidak akan mampu menandingi kelihaiannya.

   Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak. Ditangannyalah terletak keselamatan nyawa A-hai, juga keselamatan mereka berdua sendiri. Ia harus dapat bertindak cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju mendekati A-hai yang masih berdiri seperti patung itu. Tadi ketika ia hendak melangkah maju, melihat A-hai memejamkan kedua matanya, diam-diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas yang kini digenggamnya. Begitu ia melangkah maju, A-hai membuka kedua matanya dan kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang mata pemuda itu, walaupun tidak beringas dan liar seperti tadi, akan tetapi masih nampak merah penuh darah dan menakutkan sekali.

   "A-hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat baikmu. Ingat? Aku bukan musuhmu, aku tidak akan mengganggumu..." Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba-tiba A-hai memandang dengan matanya yang merah, bibirnya berbisik-bisik aneh, penuh keraguan.

   
"Hong-moi... ah, Hong-moi!" Suaranya seperti orang merintih atau hendak menangis dan tiba-tiba saja kedua lengannya merangkul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget dan juga heran. Bagaimana A-hai yang berada dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menyebutnya Hong-moi, seolah-olah teringat akan namanya? Dan pelukan yang mesra itu membuat ia gelagapan dan bingung. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coan-im-jip-bit.

   "Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia lengah. Cepat, antara dua jari dibelakang telinga kirinya. Cepat, jangan sampai terlambat dan pembuluhnya pecah" Suara Seng Kun terdengar penuh kekhawatiran. Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. iapun pura-pura balas merangkul leher pemuda itu dan setelah meraba-raba, cepat ia menusukkan jarum emas itu ditempat yang tepat.

   "Aduhhh...!" A-hai mengaduh lirih dan rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalau-kalau pemuda itu mengamuk, cepat melepaskan dirinya dengan hati was-was.

   Akan tetapi ternyata A-hai tidak mengamuk dan masih berdiri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya merah dan liar itu meredup. Perlahan-lahan muka yang merah padam menjadi putih dan bagian-bagian tubuhnya yang lain kembali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru dipelipisnya itupun perlahan-lahan mengempis dan menghilang. Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang diwajahnyapun mulai surut dan perlahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, kadang-kadang kedua matanya dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi tenang, agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan baik. Tak lama kemudian, A-hai mengangkat mukanya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang lembut dan jujur.

   "Aduh tubuhku dingin sekali" dan diapun agak menggigil. Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan melihat pemuda itu telah dapat diselamatkan dan tidak terasa lagi kedua matanya menjadi basah saking terharu dan lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A-hai memandangnya dengan wajah membayangkan keheranan.

   "Siapakah engkau, nona?" Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main, langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A-hai dengan bengong, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya.

   "Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kau kira. Dia masih tetap dalam keadaan kumat dan masih berpijak dimasa lalunya yang hilang itu. Dia tidak mengenal siapa engkau akan tetapi dia tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk dipergunakan. Jarum yang kau tusukkan tadi hanya membuat darah yang berkumpul dikepalanya dapat menyebar lagi keseluruh tubuh. Sebentar lagi kalau tekanan darahnya sudah normal, dia akan kembali menjadi kawan kita yang lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu dan sebentar lagi dia akan mendusin, seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah tiba saatnya seperti yang kita bicarakan dahulu. Saat-saat dia seperti inilah kita harus dapat mengetahui masa lalunya. Saat seperti inilah dimana dia berada dalam keadaan kumat akan tetapi mudah diajak bicara. Sekarang cobalah, tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan."

   Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura kearah A-hai seperti orang yang baru saling jumpa. Pemuda itupun berdiri memandangnya dengan terheran-heran.

   "Saudara, bolehkah aku mengenal namamu?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut dan sikap menghormat.

   "Apa? Nama? Namaku namaku Thian Hai!"

   "Saudara dari perguruan manakah?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar tegang karena ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh ini.

   "Aku... aku... dari... ooohhh" Tiba-tiba A-hai terjerembab kedepan. Tentu saja Bwee Hong cepat menyambutnya dengan kedua lengan karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpelanting. A-hai nampak bingung, lalu mengangkat muka memandang.

   "Ahh..." Dan diapun cepat melepaskan dirinya.

   "Nona Hong, mana penjahat tadi? Sudah pergikah dia?" Suaranya kembali seperti suara A-hai yang tolol!

   Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol sekali. Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A-hai, dan kini pemuda itu bertanya dimana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat sedikit lebih maju dalam mengungkap tabir rahasia pemuda itu, iyalah bahwa nama pemuda yang mereka kenal sebagai A-hai itu adalah Thian Hai. Apa shenya dan dari mana asalnya belum mereka ketahui. Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan karena dia khawatir kalau-kalau Sanhek-houw datang lagi membawa teman-teman yang lebih banyak dan lebih kuat. Untung malam itu ada bulan menerangi perjalanan mereka. Ditengah perjalanan, Bwee Hong memuji kakaknya.

   "Kun-koko, engkau benar-benar pantas menjadi ahli waris sucouw kita Bu-Eng Sin-yok-ong. Semua keteranganmu tentang penyakit yang diderita oleh saudara Thian Hai ini cocok semua. Kini tinggal mencari dan melaksanakan cara-cara pengobatannya saja."

   "Thian Hai? Siapa yang bernama Thian Hai? Akukah?" A-hai bertanya heran.

   "Kalau begitu, kalian telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku?"

   "Sabarlah, saudara A-hai. Kami sedang melakukan penyelidikan dan mudah-mudahan kami dapat membantumu untuk menemukan kembali dirimu."

   "Kalian sahabat-sahabat baik..., sahabat-sahabat baik" kata A-hai dengan suara terharu dan juga kecewa karena mereka itu ternyata belum dapat menemukan rahasianya. Mereka berhenti di puncak sebuah bukit dan A-hai menjauhkan diri, berdiri memandang kedepan, kebawah dimana terhampar pemandangan yang remang-remang karena sinar bulan tidak mungkin dapat memberi penerangan yang jelas.

   "Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru dipelipis kirinya. Akan tetapi sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu?" tanya Bwee Hong. Mereka duduk diatas batu-batu gunung untuk beristirahat. Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget.

   "Tiga tonjolan biru dipelipis? Benarkah itu? Coba kita periksa. Saudara A-hai, maukah engkau datang kesini sebentar?" A-hai yang sedang berdiri melamun itu, terkejut dan menoleh, lalu menghampiri mereka.

   "Di bawah sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera kesana, aku akan memesan ayam panggang!" Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini.

   "Akupun sudah lapar. Nanti kita lanjutkan perjalanan, akan tetapi didusun mana ada ayam panggang?"

   "Saudara A-hai, aku hendak memeriksa pelipismu sebentar, bolehkah?"

   "Pelipisku? Ada apa dengan pelipisku? Tapi, tentu saja boleh!" Kakak-beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A-hai. Kulit pelipis itu kini nampak bersih saja, tidak ada tanda apa-apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat-lapat dia merasa seperti ada tiga buah benda kecil bulat dibawah kulit.

   "Hemmm" ahli obat muda itu bergumam sambil meraba-raba.

   "Seperti gumpalan daging mengeras karena memar. Atau kalau tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda keras, atau eh, ini, satu diantara tiga tonjolan ini persis melintang dipembuluh darah otak depan"

   "Mungkinkah benda itu yang menyebabkan penyakitnya?" tanya si adik serius.

   "Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa memastikan, harus memeriksanya dengan teliti lebih dulu. Penyakit yang berdekatan dengan otak amatlah berbahaya kalau keliru pengobatannya." kakak-beradik itu lalu termenung, nampak murung. Melihat ini A-hai menjadi tidak sabar.

   "Aih, kenapa susah-susah memikirkan penyakitku? Lihat, sinar matahari pagi sudah mulai nampak disana. Lebih baik kita turun dan mencari dusun untuk sarapan!" Kakak-beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju.

   "Perutku sudah lapar, biar aku jalan dulu, akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni puncak bukit itu.

   "Saudara A-hai, hati-hatilah, masih gelap dan jalannya licin!" Bwee Hong memperingatkan dan bersama kakaknya ia mengejar. Akan tetapi, sungguh amat mengherankan hati dua orang muda ahli ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi, tidak mampu menyusul pemuda itu.

   Jalan menurun itu memang agak sukar dan licin, apa lagi karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cuaca masih gelap sehingga mereka harus melangkah hati-hati agar jangan sampai terpeleset masuk jurang. Padahal, A-hai yang berada dalam keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa, jangankan berlari cepat. Akan tetapi bagaimana kini A-hai dapat meninggalkan mereka? Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pemuda itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan tetapi mana mungkin? Andaikata A-hai pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah melupakan jalan itu. Matahari telah muncul ketika kakak-beradik itu menuruni bukit dan mereka terpaksa berhenti karena ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun perahu ditempat sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyeberang.

   "Eh, kemana dia?" Bwee Hong memandang kekanan kiri.

   "Saudara A-hai!" Seng Kun berteriak.

   "Dimana engkau?" Tidak ada jawaban. Tiba-tiba Bwee Hong yang meloncat keatas batu dan memandang keseberang sungai berseru,

   "Heiiii, itu dia! diseberang sungai!" Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A-hai diseberang sungai. Pemuda itu sedang melenggang dengan santainya, menuju kesebuah dusun yang dapat dilihat dari seberang sini. Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil,

   "Saudara A-hai!!! Tunggu dulu! dimana kita harus menyeberang? apakah memakai perahu? dimana??"

   "Jangan-jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau harus berenang menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi airnya berlumpur dan kelihatan dalam. Teriakan yang menggema karena didorong tenaga khikang itu terdengar oleh A-hai diseberang sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap ketololan diapun berjalan kembali ketepi sungai lalu dia menghilang dibalik semak-semak ditepi sungai seberang sana. Sampai lama dia tidak muncul-muncul.

   "Eh, eh, kemana dia? Kenapa malah bersembunyi? Dia menghilang dibalik semak-semak. Apakah dia buang air besar?" Bwee Hong mengomel.

   "Atau ketiduran?"

   "Ha-ha, jangan bergurau!" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melcngak-longok keseberang, mencari-cari bayangan A-hai yang belum juga nampak. Tiba-tiba kakak-beradik itu cepat mengggerakkan tubuh membalik ketika mendengar langkah kaki orang dan mereka memandang dengan mata terbelalak ketika melihat bahwa yang datang melangkah itu bukan lain adalah A-hai!

   "Ehhh! Ohhh! Bagaimana engkau tadi menyeberang? Kami tidak melihatmu..."

   "Hemm, engkau tentu lewat disebuah terowongan, bukan?" Seng Kun yang cerdik menduga. A-hai makin bingung, dan sikapnya semakin ketololan ketika dia melihat dua orang yang biasanya cerdik itu kini nampak kebingungan.

   "Benar..., aku memang lewat dibawah air sungai. Kenapa kalian heran? Memang itulah satu-satunya jalan untuk menyeberang!" Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi semakin terheran-heran. Apakah A-hai ini sudah benar-benar menjadi gila sekarang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak percaya begitu saja.

   "Jangan main-main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi sungai ini," kata Bwee Hong. A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi penasaran.

   "Kalian tidak percaya? Marilah ikut aku!" katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua orang itu dan ditariknya menuju kebalik pohon-pohon lalu nampaklah bahwa dibalik semak-semak belukar terdapat sebuah jalan terowongan yang melewati dasar sungai.

   Agak gelap disitu sehingga Bwee Hong dan Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai melangkah seenaknya saja sambil menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah membawa kakak-beradik itu menyeberang dan mereka muncul dibelakang semak-semak ditepi seberang sana. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa jalan penyeberangan ini bukan jalan umum karena tempatnya tersembunyi dan dimulut terowongan ditumbuhi semak belukar yang liar sehingga menutupi jalan itu. Seng Kun memandang wajah A-hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu memandang kepadanya penuh selidik.

   "Saudara A-hai, bagaimanakah engkau bisa mengetahui adanya jalan terowongan menyeberangi sungai ini?"

   "Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun bingung. Aku... aku tidak mengetahui. Aku tadi berjalan sambil membayangkan panggang ayam yang kupesan nanti diwarung dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup. Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu dan sampai diseberang. Kenapa sih? Bukankah terowongan itu memang jalan satu-satunya untuk menyeberang? Apakah aku telah salah jalan?" Ditanya demikian, kakak-beradik itu saling pandang dan menjadi bingung sendiri bagaimana harus menjawab.

   "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adiknya.

   "Mari kita cepat pergi kedusun didepan untuk mencari sarapan."

   "Dusun itu berada disana! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak-beradik itu saling pandang dengan heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu melainkan mengikuti A-hai yang melangkah tegap menuju kesuatu arah tertentu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah dusun dan biarpun tidak mengeluarkan sebuah katapun, namun ada perobahan terjadi pada wajah A-hai yang tampan. wajah itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya menuju kesebuah warung.

   Dusun itu tidak begitu besar. Rumah-rumahnya berjajar sampai ditepi sungai. Agaknya memang hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa buah perahu berjajar ditepi seberang ini dan ada jaring-jaring yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak sibuk bekerja. Ada yang menjahit jaring yang robek, ada yang sedang menjemur ikan-ikan hasil tangkapan mereka dihalaman rumah masing-masing. Bau amis ikan merangsang hidung. Sebuah dusun nelayan sederhana. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba diujung jalan itu muncul seorang pendek bertopi lebar keluar dari sebuah kedai minuman. Dia bergegas menuju kesebuah gerobak pembawa barang yang berdiri didepan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya dan A-hai untuk menyelinap kebelakang sebuah rumah. Melihat ini, A-hai bertanya,

   "Ada apakah?"

   "Ssttt!" Seng Kun memberi tanda dengan telunjuk ditempelkan dibibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak banyak mengeluarkan suara. Kemudian dia mengajak mereka menyelinap dan mengambil jalan memutar mencapai warung yang dimaksudkan oleh A-hai untuk dikunjungi tadi. Disini mereka duduk ditempat terlindung, akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat kearah jalan raya didepan.

   "Koko, ada apakah? Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Bwee Hong bertanya kepada kakaknya.

   "Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman diujung jalan sana tadi?" dia balas bertanya.

   "Ya, tapi kenapa?" Bwee Hong mendesak.

   "Apakah engkau tidak mengenalnya? Biarpun dia menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga perawakannya. Akupun belum yakin benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-hati. Nah, dia akan lewat didepan sini, mari kita perhatikan." Tak lama kemudian, lewatlah didepan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup rapat dan dihela oleh seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek tegap yang berpakaian sederhana, mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat, terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang belum jadi. Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat.

   "Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang kedusun ini untuk berbelanja ikan asin?" A-hai juga menggeleng kepala.

   "Aku tidak mengenal dia!" Seng Kun menghela napas panjang.

   "Aku teringat akan seorang yang perawakannya persis orang itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi berjalan sama seperti orang itu, ialah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan Soa-hu-pai, komandan pengawal Istana yang lihai itu! Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga belum yakin bahwa orang tadi adalah Tong-ciangkun yang sesungguhnya. Perlu apa dia menyamar seperti itu? Dan kenapa pula dia berada disini? Padahal, keadaan di Istana sendiri sedang dalam kemelut?"

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka menduga-duga akan tetapi tidak menemukan jawaban yang masuk akal sehingga akhirnya Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee Hong dan A-hai bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan Pek-lui-kong Tong Ciak. membayangkan kemungkinan ini, Seng Kun mentertawakan kekhawatirannya sendiri. Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mendekati mereka dengan wajah berseri karena sepagi itu sudah ada tamu datang kewarungnya. warungnya hanyalah sebuah kedai makan yang sederhana dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan ikan asin. Ketika dia menanyakan pesanan mereka, tiba-tiba saja dengan cepat A-hai berkata,

   "Aku minta ayam panggang satu!" Mendengar pesanan yang tak masuk akal melihat warung itu hanya sederhana sekali, Bwee Hong dan Seng Kun memandang kepada A-hai dan hendak menegurnya. Akan tetapi pada saat itu, pemilik warung memandang kepada A-hai dan kelihatan terkejut sekali.

   "Kongcu!" Dia berseru.

   "Aih, saya benar-benar linglung, tidak mengenali kongcu. Habis, kongcu berpakaian seperti ini sih! dimana nona kecil? Tentu sekarang sudah besar, ya? Sudah empat tahun lebih kongcu tidak singgah disini. Ya, sejak gu-lojin meninggal dunia." Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan memandang heran, akan tetapi yang lebih heran dan bingung lagi adalah A-hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut, akan tetapi sedikitpun dia tidak mengenal orang itu. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tegang dia bangkit berdiri, tangannya menyambar baju pemilik warung itu dan dengan gemetar dia berseru,

   "Engkau... engkau mengenal siapa aku? Ah, cepat katakan! Siapakah aku ini? Siapa pula nona kecil yang kau tanyakan itu?" Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakutan. Apa lagi karena cengkeraman tangan A-hai pada bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari memandang kepadanya dengan mata berapi-api.

   "Ahhh, kongcu eh, aku aku mungkin yang salah lihat!"

   "Mungkin" Beberapa orang yang duduk didalam warung dan sedang makan bubur, menjadi terkejut melihat adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang. Melihat ini, Seng Kun cepat melerai.

   "Sabarlah, saudara A-hai, jangan membuat onar disini. Kita adalah orang asing ditempat ini. Tenanglah dan mari bicara baik-baik." A-hai terpaksa melepaskan cengkeramannya dan dengan wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan nasi, sayur dan ikan asin.

   "Tenanglah, saudara A-hai," Seng Kun berbisik.

   "Sabar saja, nanti setelah makanan dihidangkan, dengan halus kita menanyakan hal itu kepadanya." Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Seng Kun. Ketika pemilik warung datang menghidangkan pesanan mereka, dengan suara halus Seng Kun bertanya,

   "Paman, tolong ceritakan bagaimana engkau sampai mengenal teman kami ini?" Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia menggeleng kepala, memandang kepada A-hai sejenak, lalu menggeleng kepala lagi.

   "Tidak, saya tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah lihat, maaf"

   "Sungguh, paman, kami tidak apa-apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman sebut kongcu tadi. Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan suara yang halus. Melihat sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau tadi dia tidak berani bicara adalah karena sikap A-hai yang kasar. Maka diapun berceritalah.

   "Saya memang mengenal seorang kongcu yang wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal nama lengkap dari gu-lojin yang sering dikunjungi oleh Souw-kongcu. Dia selalu singgah diwarung kami ini apabila mengunjungi gu-lojin yang berdiam ditengah hutan itu. Dan Souw-kongcu itu kalau singgah kesini tentu selalu memesan ayam panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya, akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyembelihkan ayam kami sendiri. Dan dia ini... eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak puterinya yang mungil... ehh!"
(Lanjut ke Jilid 24)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 24
Tukang warung itu menghentikan ceritanya karena terkejut melihat betapa tiga orang pendengarnya itu tersentak. A-hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu menyentuh perasaan hatinya ketika pemilik warung itu menyebut tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku sudah mempunyai anak, pikirnya dengan keras. Sementara itu, Bwee Hong merasa kaget dan seperti ada sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu telah mempunyai seorang puteri. Dengan wajah agak berobah pucat ia memandang kepada A-hai yang nampak termangu-mangu dan seperti orang yang berusaha mengingat-ingat sesuatu dengan sia-sia. Seng Kun sendiri termangu-mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia merasa sangat tertarik. Tiba-tiba A-hai menggebrak meja dan menangis tersedu-sedu, menelungkupkan mukanya diatas meja.

   "A-hai... engkau manusia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini?" Kakak-beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul pundak A-hai.

   "Saudara A-hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala sesuatu tentang dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan dapat membuka tabir rahasiamu ditempat ini." Setelah dibujuk oleh kakak-beradik itu, A-hai berhenti menangis, mengusap air matanya dengan kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum masam,

   "Terimakasih, kalian sungguh amat baik kepadaku" Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk,

   "Paman, kami bertiga sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat buruk. Akan tetapi, terus-terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang kongcu itu, dan juga tentang gu-lojin. Kami tentu akan memberi imbalan jasa kepadamu kalau engkau suka menceritakan sejujurnya kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang gu-lojin. Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering membawa teman kalau dia sedang membeli makanan disini?" Pemilik warung itu menggeleng kepala.

   "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman maupun pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat, saya mempunyai pedang eh, golok besar peninggalan Souw-kongcu." Pemilik warung itu berlari kedalam dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil membawa sebuah golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu dibawanya dengan kedua tangannya. Seng Kun bertiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Golok itu tebalnya hampir dua senti, dan dibagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda keras. Ketika Bwee Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa ditempat yang somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga buah tonjolan yang terdapat dipelipis kiri A-hai, yaitu berbentuk segi tiga!

   "Tolong kau ceritakan tentang golok ini, paman." Seng Kun membujuk pemilik warung itu.

   "Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir didusun ini, dan kebetulan dia memasuki warung saya. Pada saat itu, kebetulan pula Souw-kongcu sedang berada disini menikmati eh, ayam panggangnya." Dia melirik kearah A-hai dengan takut-takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang menghadapi pesanannya tadi, yaitu panggang ayam! "Bajak sungai membuat onar disini. Souw-kongcu menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas! Golok besarnya yang dipakai menangkis jari-jari tangan Souw-kongcu somplak dan jari-jari itu tetap mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika." Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan dengan kakaknya.

   

Naga Beracun Eps 4 Naga Beracun Eps 16 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16

Cari Blog Ini