Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 45


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 45




   Kalau kemenangan tercapai, orang-orang golongan atas itulah yang akan membagi-bagi rejeki diantara mereka sendiri, lupa sudah akan segala pengorbanan yang dilakukan rakyat demi kemenangan perjuangan mereka. Kalau kekalahan diderita, orang-orang golongan atas itulah yang akan bersicepat lari mengungsi sambil menyelamatkan keluarga dan harta mereka. Tentu ada kecualinya, ada orang-orang yang berjiwa pemimpin dan pahlawan sejati, akan tetapi yang begini ini hanya ada beberapa gelintir? Sebagian besar adalah dalang-dalang curang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mempergunakan rakyat untuk mencapai cita-cita pribadinya.

   Tidaklah mengherankan apabila Pek Lian merasa berduka dan menyesal sekali ketika ia menyaksikan kesengsaraan rakyat didaerah-daerah dalam perjalanannya itu. Pek Lian adalah seorang pendekar sejati, seorang yang berjiwa patriot tanpa ambisi pribadi. Ia menuruni watak ayahnya, Menteri Ho yang terkenal sebagai seorang Menteri yang jujur. Kejahatan merajalela dan penduduk hidup dalam keadaan yang tidak tenang, selalu diburu ketakutan. Ketika Pek Lian memasuki kota itu, hari sudah hampir senja dan selagi ia berkeliling mencari sebuah rumah penginapan, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan-teriakan. Lalu nampak belasan orang berlari-larian keluar dari sebuah rumah yang dirias, beberapa orang diantara mereka yang lari itu memikul sebuah tandu dan ada pula yang memondong seorang pemuda yang berpakaian pengantin.

   
"Tolong, toloonggg,! Kedua pengantin, diculik!" Teriak seorang laki-laki tua yang berlari keluar dari rumah itu sambil melakukan pengejaran. Sebuah tendangan dari seorang yang bertubuh tinggi besar membuat orang tua itu terpelanting. Para tamu juga berlari keluar akan tetapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang berani melakukan pengejaran. Melihat ini, sejenak Pek Lian berdiri bengong. Ia tidak akan merasa heran mendengar seorang gadis atau seorang pengantin puteri diculik penjahat. Akan tetapi sepasang pengantin yang diculik? Sungguh luar biasa dan tentu ada apa-apanya dibalik peristiwa aneh ini. Maka, iapun cepat mempergunakan kepandaiannya untuk melakukan pengejaran. Setelah rombongan penculik itu tiba diluar kota, ditepi sebuah hutan, tiba-tiba mereka terkejut melihat munculnya seorang pemuda tampan yang berdiri bertolak pinggang menghadang jalan.

   "Penculik-penculik hina! Hayo bebaskan sepasang pengantin itu kalau kalian ingin selamat!" Pek Lian membentak dengan marah.

   Kemarahan Pek Lian bukan hanya melihat orang-orang kasar ini melakukan kejahatan, akan tetapi juga karena tidak melihat adanya petugas-petugas keamanan yang mencegah kejahatan itu, bahkan tidak ada pula yang melakukan pengejaran. Pemimpin gerombolan itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang memegang sebatang toya. Melihat seorang pemuda yang kelihatan begitu muda dan tampan berani menghadang dan menantang, dia menjadi marah, akan tetapi juga merasa geli hatinya. Pemuda ini seperti seekor harimau kecil yang baru mulai berani berlagak, pikirnya. Akan tetapi pemuda itu masih amat muda dan amat tampan, jauh lebih tampan dari pada pengantin pria yang mereka culik. Kalau dia dapat menangkap pemuda ini dan menghadapkannya kepada pemimpinnya, tentu dia akan menerima ganjaran.

   "Tangkap anak ayam ini!" perintahnya dan belasan orang itu maju mengepung Pek Lian sambil tertawa-tawa mengejek. Mereka semua mengira akan dengan amat mudahnya menangkap pemuda ini.

   "Ha-ha-ha, bocah ingusan, engkau sudah berani berlagak!" kata seorang diantara mereka sambil menubruk kedepan. Akan tetapi, secepat kilat Pek Lian melompat kekiri dan kaki kanannya bergerak menendang, cepat dan kuat.

   "Dukk! Heppp!" Orang yang kena tendang itu terjengkang, memegangi ulu hati yang kena tendang dan megap-megap seperti ikan didarat karena pernapasannya menjadi sesak oleh tendangan itu. Melihat ini, teman-temannya menjadi marah dan empat orang menubruk kedepan. Kembali mereka kecelik karena mereka hanya menubruk tempat kosong dan sebelum mereka sempat menyingkir, Pek Lian telah menghujankan pukulan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting dan mengaduh-aduh. Kini marahlah si kepala gerombolan, juga matanya terbuka melihat kenyataan bahwa pemuda ingusan itu sesungguhnya bukan orang sembarangan, bukan mangsa lunak melainkan lawan yang berbahaya! Maka diapun menggerakkan toyanya dan membentak,

   "Bunuh setan, ini!" Teman-temannya juga sudah marah dan mereka mempergunakan segala macam senjata yang ada pada mereka untuk maju mengeroyok, dan melihat ini, Pek Lian cepat mencabut pedangnya yang disembunyikan dibalik baju luarnya. Nampak sinar berkilat dan berturut-turut dua orang anggauta gerombolan menjerit kesakitan. Pek Lian yang juga sudah marah sekali itu mengamuk, pedangnya berkelebatan dan si kepala gerombolan yang kelihatan paling lihai diantara mereka itupun tidak terluput dari amukannya.

   Pundak kiri orang itu terserempet pedang, membuat dia terpekik dan melompat kebelakang, kemudian terus melarikan diri! Teman-temannya merasa gentar, dan sambil menyeret tubuh teman-teman yang terluka, merekapun melarikan diri meninggalkan si pemuda ingusan! Pek Lian memang tidak berniat membunuh orang. Akan tetapi, ia ingin tahu siapa yang menjadi pemimpin mereka. Maka iapun cepat mengambil sepotong batu dan menyambitkan batu itu kearah seorang anggauta gerombolan yang larinya paling belakang. Batu kerikil menyambar, mencium tengkuk dan orang itupun terguling roboh. Teman-temannya hendak menolong, akan tetapi melihat pemuda ingusan itu sudah berloncatan datang, mereka ketakutan dan melarikan diri, tidak perduli lagi kepada teman mereka yang roboh tadi.

   "Hayo katakan, siapa yang menjadi pemimpin kalian dan apa maksud kalian menculik sepasang pengantin itu?" bentak Pek Lian sambil menodongkan pedangnya didada orang yang masih pening kepalanya terkena sambitan pada tengkuknya itu.

   "Ampun... ampun... saya hanya... hanya anak-buah saja."

   "Katakan siapa pemimpinmu dan mengapa menculik sepasang pengantin!" Pek Lian menghardik dan ujung pedangnya menembus baju melukai kulit dada.

   "Aduh...! Ampun... kami adalah anak-buah kepala daerah kota sancou dan... Dan beliau yang memerintahkan kami menculik sepasang pengantin."

   "Untuk apa...?" Pek Lian bertanya heran.

   "Entahlah, mana saya mengetahui? Mungkin... taijin dan... teman-temannya suka ditemani orang-orang muda, laki ataupun wanita..." Pek Lian menarik pedangnya dan menendang dagu Orang itu.

   "Pergilah!" Orang itu pergi, Pek Lian menghampiri sepasang pengantin itu. Pengantin pria telah membuka tirai tandu dan kini dia sedang merangkul isterinya yang menangis ketakutan. Melihat adegan mesra ini, Pek Lian merasa jantungnya tertusuk dan iapun lalu berkata,

   "Sebaiknya kalau kalian cepat-cepat pergi dari sini dan sementara ini bersembunyi saja ditempat lain." Pengantin pria itu lalu menarik keluar pengantin wanita, mengajaknya menjatuhkan diri berlutut didepan Pek Lian.

   "Kami berdua menghaturkan banyak terimakasih atas pertolongan taihiap..." kata pengantin pria sedangkan pengantin wanita sambil menangis hanya mengangguk-anggukkan kepala.

   "Sudahlah, aku hanya ingin bertanya, dimanakah kota sancou itu?"

   "Tidak jauh dari sini, taihiap. Diluar hutan ini akan ada jalan menuju ke sancou."

   "Terimakasih, aku akan pergi kesana. Kalian pergilah sebelum gelap." kata Pek Lian sambil membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu.

   "Nanti dulu, taihiap!" tiba-tiba terdengar suara pengantin wanita yang sejak tadi tidak mengeluarkan kata-kata. Pek Lian berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang pengantin wanita yang kini bersama suaminya sudah bangkit berdiri.

   "Ada apakah?" tanyanya heran mengapa pengantin wanita itu memanggilnya, suatu hal yang amat berani bagi seorang pengantin wanita yang biasanya malu-malu terhadap seorang pria asing. Pengantin wanita itu memang nampak malu-malu, akan tetapi suaranya bersungguh-sungguh ketika ia berkata,

   "Maaf, taihiap. Pakaianmu memang sudah tepat, akan tetapi gerak-gerikmu dan kulit mukamu yang halus, bentuk alis dan anak rambutmu tidak menyembunyikan sifat kewanitaan. Penyamaran taihiap kurang berhasil dan mudah diketahui orang." Mendengar ucapan itu, wajah Pek Lian menjadi merah dan iapun tertawa sambil membuka kain penutup kepalanya.

   "Aih, kalau engkau dapat mengenaliku, cici, tidak ada gunanya lagi aku bersusah payah menyamar. Akupun merasa tidak leluasa kalau harus merobah suara dan sikap."

   Pengantin pria itu memandang bengong kepada gadis cantik jelita yang berada didepannya. Dia sendiri sama sekali tidak pernah mengira bahwa pendekar yang lihai dan yang telah menyelamatkan dia dan isterinya itu ternyata adalah seorang dara yang cantik! Setelah mereka saling berpisah, Pek Lian langsung saja pergi ke sancou, lalu mencari keterangan perihal kepala daerah dan didengarnya bahwa kepala daerah itu adalah seorang baru. Didalam perebutan kekuasaan, kepala daerah baru ini berhasil menggulingkan kepala daerah yang lama. Anehnya, tidak ada orang yang mengenal benar siapa adanya kepala daerah ini dan, dari mana asalnya! Menurut keterangan itu, baru satu bulan kepala daerah baru ini menguasai sancou, dan semenjak itu, berbagai perbuatan kejam dan sewenang-wenang terjadilah.

   Satu diantara kejahatan-kejahatan itu adalah bagaimana si pembesar membiarkan anak-buahnya menculik gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan yang kabarnya dipaksa menjadi pelayan-pelayan didalam gedung kepala daerah yang baru. Begitu memperoleh keterangan jelas dan merasa yakin bahwa kepala daerah baru itu memang jahat dan sewenang-wenang, Pek Lian lalu langsung pergi mengunjungi gedung besar dan megah tempat tinggal kepala daerah baru itu. Tentu saja para penjaga diluar pintu gerbang merasa heran melihat munculnya seorang gadis cantik yang menyatakan ingin menghadap pembesar itu. Akan tetapi, Pek Lian melihat betapa para penjaga itu tertawa-tawa dan dengan sikap kurang ajar mereka mempersilahkan Pek Lian menanti.

   "Tunggu dulu sebentar, nona. Kami yakin bahwa seorang cantik manis seperti engkau tentu akan diterima, oleh taijin, walaupun hari telah mulai gelap. ha-ha, siapa yang tidak akan girang menerima kunjungan seorang tamu seperti nona?"

   Pek Lian tidak mau melayani kekurangajaran mereka. Dara ini menanti dan tidak lama kemudian ia dipersilahkan masuk oleh penjaga yang tersenyum-senyum menyeringai memuakkan. Empat orang penjaga yang memegang tombak mengawalnya. Pek Lian diajak masuk kesebuah ruangan luas dan dari jauh ia sudah melihat seorang berpakaian pembesar duduk diatas kursi kebesarannya yang terletak tinggi di puncak anak tangga. Beberapa orang pengawal berdiri menjaganya dan didekatnya duduk seorang perwira yang berpakaian mewah dan bertubuh kokoh kuat. Pek Lian maklum bahwa ia telah memasuki. sarang harimau. Akan tetapi hatinya terlampau marah kepada pembesar yang suka menculik orang-orang muda itu dan begitu melihat pembesar itu ia lalu menudingkan telunjuknya.

   "Engkaukah kepala daerah kota sancou?" Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan tegas ini, si perwira meloncat turun menghadapinya dan para pengawal yang tadi mengiringkannya lalu menodongkan tombaknya kepada Pek Lian. Akan tetapi dara ini bersikap tenang saja. Kini ia mengenal beberapa orang pengawal sebagai anggauta penculik yang sore tadi dihajarnya. Agaknya mereka tidak mengenalnya karena ia kini sudah berpakaian sebagai seorang perempuan.
(Lanjut ke Jilid 32 - Tamat)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 32 (Tamat)
Pembesar itu sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi sikapnya masih ramah karena dia melihat bahwa gadis itu benar-benar cantik jelita seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi.

   "Nona, memang akulah kepala daerah disini. Siapakah engkau dan apa keperluanmu malam-malam datang kesini?"

   "Siapa aku tidak penting. Aku mewakili semua muda-mudi yang menderita gangguanmu. Benarkah engkau yang menyuruh gerombolan penjahat menculiki pemuda-pemuda dan gadis-gadis, juga yang sore tadi hendak menculik sepasang pengantin dikota Tung-cou?"

   "Eh... ohh... aku... aku tidak..." Pembesar itu menjawab tergagap.

   "Heii, ia ini yang tadi menyamar pria dan menggagalkan pekerjaan kita!" Tiba-tiba seorang pengawal berteriak ketika dia mengenal Pek Lian. Mendengar ini, belasan orang perajurit segera mengepung dara itu. Dan si perwira yang mendengar teriakan anak-buahnya lalu berseru,

   "Tangkap gadis ini!!" Akan tetapi, gadis itu telah mencabut pedangnya dan mengamuk. Seperti ketika ia dikeroyok dihutan tadi, kinipun para perajurit bukanlah tandingannya. Ilmu pedang yang dimainkan Pek Lian sungguh hebat dan sebentar saja beberapa orang perajurit telah roboh terluka dan ada pula yang kehilangan senjatanya. Hanya tinggal perwira berjenggot pendek itu yang masih melawan dengan pedangnya dibantu sisa para pengawal pribadinya.

   "Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang wanita kembar yang sikapnya genit, pesolek dan cukup cantik biarpun muka mereka tebal oleh riasan. Melihat mereka, terkejutlah Pek Lian. Ia mengenal mereka karena sepasang wanita kembar itu bukan lain adalah Jeng-bin Siang-kwi (Iblis Kembar Seribu Muka), yaitu dua orang wanita kembar yang merupakan tokoh ketiga dan keempat dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to!

   "Aihh! Kiranya puteri Menteri Ho yang muncul! hi-hik, bagus sekali, mari kita tangkap gadis ini dan biar taijin menikmatinya." Dua orang wanita itu sudah menubruk kedepan untuk menangkap Pek Lian. Dara ini maklum akan kelihaian lawan, maka iapun memutar pedangnya menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, gerakan kedua orang wanita itu sungguh cepat dan karena mereka berdua maju bersama, biarpun keduanya bertangan kosong, Pek Lian menjadi terdesak dan beberapa kali hampir saja ia kena dipukul atau ditangkap. Dara ini maklum bahwa ia tidak boleh melanjutkan amukannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan halus ketika tangan kirinya bergerak dan ia sudah melemparkan dua batang piauw berturut-turut kearah dua orang lawan itu.

   Ketika dua orang lawannya mengelak dengan gesit, Pek Lian melompat jauh kebelakang dan keluar dari dalam bangunan. Para penjaga tidak berani mencoba untuk menghalanginya karena mereka sudah tahu betapa lihainya dara ini, dan kedua orang wanita kembar itupun hanya mengejar sampai dipintu dan membiarkan gadis itu melarikan diri dan lenyap didalam kegelapan malam. Agaknya dua orang wanita kembar itu merasa gentar kalau-kalau Pek Lian datang membawa teman dan merekapun sudah maklum siapa adanya dara perkasa ini, dan bahwa dara perkasa ini mempunyai banyak sekali kawan-kawan pendekar yang tinggi ilmunya. Pek Lian juga maklum bahwa dengan adanya iblis betina kembar itu dirumah si kepala daerah ia tidak dapat berbuat banyak.

   Ia tahu sampai dimana kelihaian sepasang iblis itu, belum lagi diingat kemungkinan hadirnya pula iblis-iblis Ban-kwi-to yang lain. Kiranya para penghuni Ban-kwi-to, setelah kegagalan mereka bersekongkol dengan para pembesar pengkhianat, melarikan diri bersembunyi ditempat yang tak tersangka-sangka, yaitu dirumah para pembesar yang dapat mereka kuasai. Kini tahulah ia siapa yang berdiri dibalik kejahatan penculikan-penculikan itu. Tentu sepasang iblis betina ini yang membutuhkan pemuda-pemuda yang diculik, sedangkan gadis-gadis yang diculik tentu diberikan kepada si pembesar, atau mungkin juga kawan-kawan para iblis itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu, akan tetapi sudah dicatatnya didalam hati agar kelak kalau ia sudah kembali ke Kotaraja, ia dapat melapor kepada Kaisar dan pasukan yang kuat akan dikirim untuk menghancurkan penjahat-penjahat itu.

   Juga daerah harus dibersihkan dari pada pembesar-pembesar yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat berkedok kedudukan mereka. Karena maklum bahwa besar kemungkinan ia akan dikejar oleh pihak lawan, maka Pek Lian terus melarikan diri dengan cepat sampai lewat tengah malam ia terpaksa berhenti karena terhalang oleh sebuah sungai yang cukup besar dan lebar. Ia mencari-cari perahu untuk menyeberang dan karena akhirnya ia hanya dapat melihat sebuah perahu besar yang berhenti ditepi sungai itu, iapun menghampiri perahu itu. Sunyi diperahu itu, agaknya semua penghuninya sudah tidur. Dua orang laki-laki yang agaknya menjadi penjaga malam diujung perahu, ketika melihat seorang gadis longak-longok sendirian disitu, lalu menghampiri dan bertanya,

   "Siapakah nona dan hendak mencari siapa?" Tanpa menyangka buruk, Pek Lian yang sudah lelah itu menjawab,

   "Saya seorang pelancong yang kemalaman disini dan hendak mencari perahu untuk menyeberang."

   "Aihh, kebetulan sekali, nona. Kamipun hendak menyeberang. Kalau nona mau, mari ikut kami menyeberang dengan perahu ini." Tentu saja tawaran itu disambut gembira oleh Pek Lian.

   "Terimakasih, saudara baik sekali. Jangan khawatir, nanti akan saya bayar berapapun biaya penyeberangannya." Dua orang itu tidak menjawab melainkan mempersilahkan Pek Lian naik perahu.

   Perahu itu memang besar sekali, sebuah perahu yang akan cukup memuat puluhan orang dan begitu naik keperahu, Pek Lian melihat bahwa memang penghuninya banyak sekali, sebagian besar laki-laki yang tidur malang-melintang diatas geladak perahu. Melihat betapa beberapa orang diantara mereka itu yang belum tidur menyeringai kepadanya dan rata-rata sikap mereka kasar, juga mereka membawa-bawa senjata, hati Pek Lian mulai terasa tidak enak. Akan tetapi ia butuh diseberangkan, maka iapun diam saja ketika dua orang tadi mengajaknya pergi kesebuah ruangan besar didalam bilik perahu. Ruangan itu terang sekali dan nampak duduk beberapa orang mengelilingi sebuah meja panjang. Ada pula anak-buah yang berdiri disudut dan dari tempat itu nampak sekelompok pendayung perahu yang agaknya sudah siap untuk menggerakkan dayung mereka.

   "Ha-ha-ha, selamat memasuki perahu kami, nona Ho Pek Lian!" Pek Lian mengangkat muka memandang dan bukan main kaget rasa hatinya ketika mengenal bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah datuk sesat gendut pendek yang suaranya tinggi seperti wanita itu, ialah Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti! Dan didekatnya duduk pula seorang raksasa tinggi besar yang menyeramkan dan orang inipun bukan tokoh sembarangan melainkan orang kedua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, ialah Tiat-siang-kwi, raksasa yang suka makan daging manusia itu!

   "Celaka..." pikirnya dan ia sudah siap untuk membalikkan tubuh melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, pada saat itu perahu sudah meluncur ketengah sungai!

   "Ha-ha-ha, engkau sudah masuk kesini, seperti seekor anak kijang memasuki guha naga dan harimau, mana mungkin engkau akan melarikan diri, nona? Silahkan duduk, engkau menjadi tamu kami. Jangan khawatir, kami takkan mengganggumu. Siapa orangnya mau mengganggu murid Sribaginda Kaisar? Bukankah begitu, saudara Tiat-siang-kwi?" kata pula si gendut pendek sambil tertawa-tawa girang sekali. Memang hatinya girang bukan main ketika anak-buahnya memberi tahu akan munculnya Ho Pek Lian yang dikenalnya sebagai murid dan pembantu setia Liu-Pang yang kini telah menjadi Kaisar. Kalau dara ini menjadi tawanannya, berarti dia akan untung besar. Dia akan dapat menjadikan gadis itu sebagai sandera dan dia akan minta uang tebusan yang besar dari Kaisar baru! Tiat-siang-kwi mengangguk-angguk.

   "Kau benar, Sin-go, nona ini akan membikin kita kaya raya." Mendengar percakapan itu mengertilah Pek Lian apa yang mereka maksudkan. Dari kata-kata itu ia dapat menangkap maksud orang-orang jahat itu. Ia diculik dan mereka akan mengancam Kaisar untuk memberi uang tebusan yang besar atas dirinya!

   "Aku tidak sudi!" teriaknya dan sambil mencabut pedangnya iapun hendak lari keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, tujuh orang pengawal yang sudah siap siaga itu kini menghadangnya sambil menyeringai dan mereka menodongkan senjata golok dan tombak, menghadang gadis itu keluar dari ruangan.

   Pek Lian maklum bahwa jalan satu-satunya hanyalah melawan. Iapun mengerti bahwa ia menghadapi lawan yang amat kuat. Baru dua orang iblis itu saja masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi, ia tidak sudi menyerah begitu saja untuk menjadi sandera, maka dengan pedangnya iapun menerjang tujuh orang penghalang itu. Terjadilah pertempuran kecil diruangan itu dan karena ilmu pedang Pek Lian juga lihai sekali, maka para pengeroyok itu menjadi repot menghadapi sambaran sinar pedang dara perkasa itu. Dalam belasan jurus saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya. Akan tetapi, pada saat Pek Lian memutar pedangnya dan menangkis serangan sisa para pengeroyoknya, terdengar gerengan keras dan ternyata Tiat-siang-kwi (Iblis Gajah Besi) telah meloncat kedepan.

   "Plak! Tranggg...!" Tepukan pada pundak kanan Pek Lian itu sedemikian kuatnya sehingga pedang yang dipegangnya terlempar dan jatuh keatas lantai ruangan perahu itu. Dan sebelum Pek Lian dapat mengelak, dua buah tangan besar berkuku panjang telah mencengkeram lengan dan pundaknya dari belakang. Ia berusaha meronta, akan tetapi dalam cengkeraman Tiat-siang-kwi, ia tidak mampu bergerak lagi.

   "Engkau masih belum mau menyerah?" bentak Tiat-siang-kwi. Pek Lian bukanlah seorang wanita bodoh. Ia tidak mau mencari penyakit. Tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya, hanya akan menyakiti badan, ia tidak meronta lagi. Ia tahu bahwa selama ia dijadikan sandera dengan maksud menukarnya dengan uang tebusan, mereka ini tidak akan mengganggunya. Selain itu, setelah kini gurunya menjadi Kaisar, bagaimanapun juga, para datuk sesat ini tentu tidak begitu tolol untuk mengganggu murid Kaisar karena hal itu akan membuat mereka menjadi buronan pemerintah selama hidup. Melihat dara itu tidak meronta lagi, Tiat-siang-kwi lalu melepaskan cengkeramannya.

   "Ha-ha-ha, nona Ho sungguh amat lihai dan gagah. Kami merasa kagum sekali. Marilah, nona, mari duduk sebagai tamu kami dan menikmati hidangan sekedarnya!" Si Buaya Sakti yang agaknya menjadi pimpinan diperahu itu berkata dengan suara halus. Pek Lian tidak berlaku sungkan lagi. Ia tahu bahwa ia telah menjadi tawanan dan mereka akan memperlakukan dengan hormat selama ia tidak melawan. Ia melihat bahwa selain dua orang datuk yang kini setelah sama-sama menderita kekalahan dalam perang agaknya dapat bersatu itu, terdapat pula beberapa orang yang dari sikapnya dapat diketahui bahwa mereka adalah kaum sesat. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya adalah ketika ia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua belas tahun, berwajah cantik manis sekali, akan tetapi lengan kirinya buntung, duduk pula dimeja itu disebelah Si Buaya Sakti.

   Apakah iblis ini mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manisnya? Bagaimanapun juga, ia segera merasa tertarik kepada anak manis ini, dan merasa kasihan melihat sebelah lengan itu buntung. Maka, ketika dipersilahkan duduk dan melihat ada kursi kosong didekat anak perempuan itu, iapun duduklah. Anak perempuan itu memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang bening, kemudian tersenyum dan hati Pek Lian semakin tertarik. Anak ini sungguh manis sekali dan tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, teringat betapa jahat dan kejamnya para datuk sesat ini. Jangan-jangan anak inipun menjadi korban mereka! Maka, ia hendak menggunakan kepentingan dirinya sebagai sandera untuk menentang Si Buaya Sakti.

   "Aku tidak akan melawan dengan kekerasan selama kalian disini tidak melakukan kejahatan didepan mataku. Kalau kalian melanggar, sampai matipun aku tidak akan menyerah, dan biarlah kalian membunuhku. Guruku, Sribaginda Kaisar tentu akan mengirim pasukan mengejar dan mencari dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada kalian!" Mendengar ucapan ini, diam-diam semua penjahat menjadi gentar juga. Menghadapi pembalasan orang seperti Liu Pang itu sungguh mengerikan. Sebelum menjadi Kaisar saja pemimpin itu sudah dibantu oleh semua pendekar gagah, apa lagi sekarang setelah menjadi Kaisar. Siapa berani melawannya? Sin-go Mo Kai Ci menyembunyikan kegentaran hatinya dibalik senyum lebar dan suaranya meninggi ketika dia menjawab,

   "Nona Ho, siapa yang akan berani melakukan hal-hal yang tidak, menyenangkan hatimu? Engkau adalah tamu kehormatan, tentu saja kami tidak akan melanggar laranganmu."

   "Hemm, kalau begitu, siapakah anak ini? Apakah iapun menjadi korban penculikan?" Si Buaya Sakti tertawa.

   "Ha-ha, jangan salah sangka, nona. Anak ini adalah anak seorang pembantu kami, dan kami semua suka kepadanya karena ia manis dan lucu, juga amat cerdik. Biarpun sebelah lengannya buntung, ia cekatan dan pandai melayani kami." Anak itu lalu bangkit dan dengan sebelah tangan kanannya anak itu cepat mengisi arak dalam cawan bersih, memberikannya kepada Pek Lian dengan sikap hormat.

   "Enci yang baik, aku disini senang sekali dan semua paman ini baik kepadaku. Silahkan cici minum, biar kuambilkan mangkok bersih dan sumpit." Dengan cekatan anak itu lalu melayani Pek Lian, dan melihat sikap anak ini yang gembira dan tidak nampak seperti korban yang tersiksa, hatinya merasa lega. Akan tetapi, keterangan yang diberikan oleh Si Buaya Sakti itu membuat si raksasa Tiat-siang-kwi mengerutkan alisnya. Dua hari yang lalu, ketika mereka saling bertemu dan berjanji untuk bekerja sama dibawah pimpinan Raja Kelelawar yang menaklukkan pula tujuh iblis Ban-kwi-to, Sin-go Mo Kai Ci sudah berjanji kepadanya untuk memberikan anak perempuan mungil itu kepadanya!

   "Tunggu sampai kita tidak membutuhkan lagi bantuan ayahnya, baru kuserahkan anak itu kepadamu dan boleh kau miliki sesuka hatimu."

   Akan tetapi, kini Si Buaya Sakti berjanji kepada murid Kaisar itu bahwa mereka tidak akan mengganggu anak perempuan itu. Tentu saja dia merasa kecewa sekali dan beberapa kali dia memandang dengan mata membayangkan kedongkolan hatinya dan beberapa kali dia mengerling kearah anak perempuan itu dengan sinar mata penuh gairah. Dia harus mendahuluinya, pikir raksasa ini dan untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, diapun minum arak sebanyak dan sepuasnya. Setelah makan-minum, Pek Lian dipersilahkan dengan ramah oleh Buaya Sakti untuk melepaskan lelah dan tidur didalam bilik perahu. Gerombolan kaum sesat itu melanjutkan makan-minum dan Pek Lian tidak lagi memperdulikan mereka karena ia sendiri merasa lelah dan perlu untuk mengaso dan mengumpulkan tenaga. Selama perahu ini masih berlayar, ia tidak berdaya. Andaikata ia dapat melarikan diri, akan pergi kemanakah?

   Meloncat dari perahu keair? Ia akan mati tenggelam karena ia tidak begitu pandai renang. Pula, melawan dengan kekerasan akan sia-sia belaka mengingat betapa disitu terdapat Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi yang amat lihai. Ia harus menanti kesempatan baik, sesudah mendarat baru ia mencari akal untuk meloloskan dirinya. Sementara ini, ia harus banyak istirahat dan mengumpulkan tenaga. Dengan pikiran ini, sebentar saja Pek Lian tidur pulas. Akan tetapi, belum lama ia tertidur dalam pakaian lengkap karena ia tidak mau bersikap lengah, ia terkejut mendengar suara jeritan nyaring. Cepat ia meloncat dan menyambar pedangnya yang sudah dikembalikan kepadanya, lalu melompat keluar bilik. Dilihatnya bayangan raksasa Tiat-siang-kwi sedang memegang lengan kanan anak perempuan buntung itu sambil menarik-narik dan anak itupun meronta-ronta.

   "Lepaskan aku! Lepaskan...!" Anak itu meronta dan berteriak.

   "Heh-heh, anak manis, jangan cerewet atau kucengkeram hancur kepalamu." Raksasa itu menghardik. Akan tetapi, dengan heran sekali Pek Lian melihat betapa anak perempuan itu membuat gerakan aneh dengan kakinya dan tahu-tahu kaki kiri yang kecil itu telah melayang dengan kecepatan luar biasa, ujung sepatunya menotok siku lengan kakek yang memegangi tangannya.

   "Tukk!" Kakek itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya karena sikunya yang tertotok ujung sepatu itu untuk beberapa detik lamanya menjadi lumpuh! Kesempatan ini dipergunakan oleh anak perempuan itu untuk meloncat kebelakang dan kembali Pek Lian melihat gaya lompatan yang amat indah dan cekatan! Itu bukanlah tendangan dan lompatan seorang anak biasa saja, pikirnya heran. Akan tetapi melihat anak itu terancam dan kini si raksasa agaknya sudah marah dan hendak menubruk lagi, ia meloncat kedepan dan pedangnya melakukan gerakan menyerang.

   "Singg... plakk!" Kakek raksasa itu masih dapat menangkis pedang dengan tangannya yang dilindungi kekebalan, lalu matanya yang lebar itu melotot memandang Pek Lian dengan marah.

   "Kau... kau berani mencampuri?" Bentaknya dan dari suara dan sikapnya, juga bau mulutnya, mudah diketahui bahwa kakek raksasa ini dalam keadaan mabok.

   "Sudah kukatakan, semua bentuk kejahatan disini akan kutentang sampai mati!" Pek Lian berkata dan iapun sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan sigapnya kakek raksasa itu mengelak. Sekali ini, Pek Lian berlaku hati-hati dan ia tidak mau pedangnya sampai terpukul oleh kakek yang bertenaga gajah ini.

   Ia mengandalkan kegesitannya dan pedangnya berkelebatan mencari sasaran lemah, tidak memberi kesempatan kepada kakek itu untuk mengadu kekuatan. Menghadapi dara yang menggunakan kegesitannya ini, Tiat-siang-kwi yang agak mabok itu kewalahan juga dan tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang menggiriskan, yaitu sebatang golok besar sekali yang punggungnya seperti gigi gergaji. Begitu golok ini menyambar, terdengar angin bersiutan dan Pek Lian terpaksa berloncatan mundur karena golok lawan itu menyambar-nyambar ganas dengan kekuatan yang tidak mungkin ditangkisnya. Kalau ia berani menangkis, tentu pedangnya akan terpental dan mungkin terlepas dari pegangannya. Sebentar saja Pek Lian sudah terdesak hebat oleh raksasa itu. Tiba-tiba anak perempuan itu berteriak dengan suara melengking,

   "Ayaaaahhh...! Tolonglah... kami!!" Pada waktu itu, para anak-buah perahu sudah banyak yang berdatangan dan menonton perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai atau mencegah si raksasa karena didalam perahu itu, hanyalah Si Buaya Sakti seoranglah yang berani menentang si raksasa yang telah menjadi rekan dan sekutunya. Teriakan anak perempuan itu ternyata memperoleh sambutan. Tiba-tiba papan lantai perahu tergetar hebat dan disitu telah berdiri seorang laki-laki muda yang gagah perkasa, berpakaian biasa saja seperti para tukang dayung, akan tetapi kini wajahnya penuh wibawa dan nampak menyeramkan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memandang kepada Tiat-siang-kwi yang berhenti sejenak melihat munculnya orang ini. Pek Lian yang tadinya sudah terdesak hebat itu memperoleh kesempatan memperbaiki posisinya dan iapun menengok dan memandang.

   "A-hai...!!" Tiba-tiba Pek Lian berseru girang dan kaget sehingga dara ini lupa bahwa orang yang biasanya disebut A-hai itu telah memperkenalkan diri sebagai Souw Thian Hai, seorang pendekar yang sakti.

   "Ayah, bantulah enci ini!" Anak perempuan buntung itu kini mendekati ayahnya dan kembali Pek Lian tertegun. Kiranya anak perempuan buntung inilah puteri pendekar ini! Karena anak itu belum pernah diperkenalkan kepadanya, maka ia tidak tahu, dan siapa mengira bahwa anak A-hai berada diperahu penjahat ini? Tidak tahunya malah pendekar itu sendiripun berada disini, agaknya menyamar sebagai tukang dayung. Sementara itu, si raksasa berdiri dengan mata terbelalak lebar. Dia kini juga mengenal pria gagah ini dan teringatlah akan kehebatan pemuda ini ketika mengamuk.

   Dia sendiri pernah dikalahkan dengan mudah! Pada saat itu, karena terganggu oleh keributan, Si Buaya Sakti juga sudah datang ketempat itu dan seperti juga Tiat-siang-kwi, si gendut pendek ini terbelalak memandang kepada Thian Hai. Melihat betapa ditempat itu terdapat banyak kawannya, si raksasa timbul kembali keberaniannya dan sambil mengereng diapun menubruk kedepan dengan goloknya yang besar dan berat itu. Akan tetapi, dengan tenang Thian Hai menggerakkan tangan kirinya mendorong kedepan. Tiba-tiba saja gerakan raksasa itu tertahan oleh dinding tenaga yang tidak nampak namun yang kuat sekali membuat dia tertegun dan gerakan serangannyapun terhenti. Pada saat itu, tangan kanan Thian Hai membuat gerakan menampar seperti orang mengusir lalat dan dari mulutnya terdengar bentakan,

   "Pergilah engkau iblis busuk!" Sungguh aneh sekali. Tubuh tinggi besar itu terpelanting jauh, bergulingan diatas lantai perahu dan ketika tiba ditepi perahu, si raksasa itu agaknya sudah kehilangan nyalinya maka diapun melanjutkan tubuhnya terguling keluar perahu.

   "Byuurrr...!" Tokoh kedua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to itu begitu ketakutan sehingga dia memilih terjun kesungai dari pada harus berhadapan lagi dengan pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa itu. Si Buaya Sakti memandang dengan muka pucat. Dia maklum akan kehebatan lawan ini, akan tetapi sebagai pimpinan diperahu itu, tentu saja dia merasa malu kalau harus melarikan diri seperti Tiat-siang-kwi, Walaupun hatinya pudah lebih dahulu melarikan diri. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menerjang dengan senjata alunya. Thian Hai tidak melangkah pergi, tidak mengelak, melainkan diam saja dan ketika alu itu sudah mendekati kepalanya yang dijadikan sasaran, tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak, cepat bukan main dan tahu-tahu tangan yang memegang alu itu lumpuh tertotok sikunya dan alu itupun berpindah tangan. Lalu senjata itu menyambar punggung pemiliknya sendiri.

   "Bukk!!" Tubuh Si Buaya Sakti memang kebal, akan tetapi pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga walaupun tulang-tulang punggungnya tidak remuk, akan tetapi tubuhnya terlempar sampai keluar perahu.

   "Byuuurrr!!" Untuk kedua kalinya, air muncrat tinggi ketika tubuh kedua itu menimpa air. Melihat ini, para penjahat anak-buah Buaya Sakti menjadi panik ketakutan dan tanpa menanti komando lagi mereka mengikuti contoh pimpinan mereka, berloncatan kesungai sehingga sebentar saja perahu itu telah kosong, kecuali tukang-tukang dayung yang sebagian besar merupakan orang-orang paksaan atau bayaran, bukan anggauta-anggauta bajak yang sudah lebih dulu berloncatan keair. Souw Thian Hai berdiri termangu-mangu memandang keair, seperti orang merasa menyesal. Melihat ini, Souw Lian Cu, yaitu puterinya yang buntung lengannya, menghampiri dan merangkul pinggang ayahnya. Souw Thian Hai sadar kembali dan merangkul puterinya, lalu menoleh dan menghadapi Pek Lian sambil tersenyum.

   "Nona Ho Pek Lian, tidak kusangka akan bertemu denganmu disini," katanya. Melihat sikap dan mendengar suara orang ini, seketika wajah Pek Lian menjadi merah. Ini bukan A-hai yang dulu lagi, bukan pemuda ketololan yang menimbulkan rasa iba dihatinya. Ini adalah seorang pendekar sakti yang sikapnya tenang berwibawa, maka iapun menjura.

   "Souw-taihiap, terimakasih atas pertolongan mu."

   "Ah, nona Ho, perlukah engkau menyebutku taihiap segala? Aku adalah A-hai"

   "Taihiap, mana berani aku menyebutmu seperti dahulu? Kalau engkau berkeberatan disebut taihiap, biarlah aku menyebutmu Souw-toako."

   "Itu lebih baik, Lian-moi (adik Lian). Inilah puteriku itu yang bernama Souw Lian Cu. Lian Cu, inilah bibi Ho Pek Lian yang sering kali kuceritakan padamu, ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berbudi."

   "Bibi!" Lian Cu memberi hormat dan Pek Lian cepat merangkulnya. Kini hatinya merasa terharu dan kasihan. Anak semanis ini, masih kecil sudah harus kehilangan lengan kirinya.

   "Aku sungguh bingung, bagaimana aku mendapatkan engkau disini sebagai tukang dayung dan puterimu ini melayani mereka itu"

   "Nanti kuceritakan, sekarang kita perlu mengemudikan perahu ini." Thian Hai lalu minta kepada teman-temannya atau bekas teman-temannya tukang dayung untuk melanjutkan pekerjaan mereka, mendayung dan membantunya mengemudikan perahu.

   Setelah perahu berjalan lancar dan tenang kembali, Thian Hai mengajak Pek Lian dan puterinya duduk diruangan, lalu menceritakan pengalamannya. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan, Thian Hai dan puterinya melakukan perjalanan mencari jejak musuh besarnya, yaitu Ma Kim Liang yang menyamar atau berobah menjadi Raja Kelelawar. Dia melakukan perjalanan jauh, mendatangi tempat-tempat yang menjadi sarang gerombolan-gerombolan jahat karena dia menduga bahwa ditempat-tempat seperti itulah dia mempunyai harapan untuk menemukan jejak Raja Kelelawar, mengingat bahwa iblis itu telah menjadi datuk besar atau Raja dari dunia sesat. Kemudian dia menyaksikan perebutan harta karun milik keluarga bekas Menteri Li Su, dan akhirnya dia melihat Buaya Sakti yang berhasil merampas barang-barang harta benda itu.

   Melihat datuk ini, dia lalu cepat melakukan penyamaran. Dia menanggalkan baju atasnya dan pura-pura kelelahan mengaso sambil tiduran ketika Buaya Sakti berhasil membasmi pasukan yang merampok harta benda keluarga Li Su. Tukang-tukang pemikul tandu sudah pada melarikan diri atau ikut terbunuh, hanya tinggal dua orang saja lagi yang dipaksa oleh anak-buah Buaya Sakti untuk memikul tandu yang berat itu. Anak-buah bajak itu sudah melucuti pakaian para anggauta pasukan yang terbunuh dan sambil tertawa-tawa mereka mengenakan pakaian seragam tentara itu, mematut-matut diri seperti monyet-monyet diberi pakaian. Kemudian, beberapa orang diantara mereka melihat Thian Hai yang sedang tidur terlentang diatas tanah, berbantalkan kedua tangan itu. Mereka menghampiri dan seorang diantara mereka menghardik,

   "Heh, malas! Orang-orang lain sibuk mengangkut tandu, engkau enak-enak tidur! Hayo bangun!" Dan seorang diantara mereka menendang pahanya. Thian Hai pura-pura terkejut dan kesakitan menggosok-gosok pahanya.

   "Aduh, aduh... baru saja istirahat sudah dibangunkan" Kemudian dia pura-pura heran melihat beberapa orang yang berpakaian tentara itu.

   "Eh, apa? Mau berangkat lagi? Apa pertempuran sudah selesai?" Beberapa orang bajak itu terbahak-bahak, mengira bahwa pemikul tandu ini salah lihat dan menyangka mereka anak-buah pasukan yang sudah terbasmi habis.

   "Tolol, hayo bantu kami mengangkut tandu itu keperahu." Thian Hai bangkit, menyambar bungkusan pakaiannya dan longak-longok.

   "Mana anakku? Lian Cu, dimana kau?" Seorang anak perempuan yang buntung sebelah lengannya datang berlari-lari, baru saja keluar dari tempat sembunyinya. Anak ini bertindak sesuai dengan rencana ayahnya yang hendak menyelundup menjadi anak-buah Si Buaya Sakti agar dia dapat mencari jejak musuh besarnya.

   "Ayah, apakah kita akan berangkat lagi?"

   "Ya, mari, kita harus angkut tandu itu," katanya bangkit berdiri.

   "Hei, anak ini tidak boleh ikut!" kata seorang diantara mereka.

   "Hemm, biar lengannya buntung sebelah, ia manis juga. Mari kita hadapkan kepada pimpinan." Mereka memegang tangan Lian Cu. Anak ini ketakutan, akan tetapi ketika melihat ayahnya berkedip dan mengangguk kepadanya, iapun menurut saja dibawa pergi. Ketika Si Buaya Sakti melihat Lian Cu, hatinyapun merasa suka kepada anak perempuan yang biarpun buntung sebelah lengannya, akan tetapi berwajah manis dan bersikap berani dan cekatan itu. Siapa tahu, anak perempuan ini ada gunanya kelak, pikirnya. Demikianlah, Thian Hai berhasil menyelundup menjadi tukang pikul tandu berisi harta benda itu, kemudian setelah tiba diperahu besar, tugasnya berobah menjadi tukang dayung diantara belasan tukang dayung bayaran atau paksaan.

   Sementara itu, dengan cerdiknya Lian Cu dapat menyenangkan hati Si Buaya Sakti dengan pelayanannya yang cekatan, baik didapur maupun diruangan makan. Beberapa hari kemudian, Si Buaya Sakti bertemu dengan Tiat-siang-kwi. Keduanya dahulu menjadi lawan dalam perang, akan tetapi karena kedua pihak sudah kalah dan karena kini Tujuh Iblis Ban-kwi-to sudah ditaklukkan pula oleh Raja Kelelawar, si raksasa itupun mau dipersilahkan naik keperahu untuk bersama-sama mengunjungi tempat persembunyian Raja Kelelawar. Dalam pertemuan itu, secara iseng ketika melihat si raksasa tertarik kepada Lian Cu, Sin-go Mo Kai Ci menjanjikan kelak akan menyerahkan gadis cilik itu kepada si raksasa! Karena itulah maka terjadi keributan dimalam itu dan terpaksa Thian Hai turun tangan untuk melindungi puterinya dan Pek Lian.

   "Demikianlah, Lian-moi, terpaksa aku turun tangan dan sekarang buyarlah harapanku untuk dapat menemukan jejak musuh besarku. Tadinya aku merasa yakin bahwa mereka itu akan membawaku kepada musuhku. Lian Cu dapat mendengarkan percakapan mereka dimeja makan dan ternyata kedua orang datuk sesat itu telah menjadi anak-buah Raja Kelelawar dan mereka hendak melayarkan perahu ketempat sembunyinya." Thian Hai menutup ceritanya sambil menarik napas panjang penuh rasa kecewa.

   "Ah, kalau aku tidak muncul tentu rencanamu tidak akan gagal, Souw-toako." Pek Lian berkata menyesal pula.

   "Sudahlah, yang lalu tidak perlu disesalkan. Sekarang aku hendak mencari sendiri tempat itu, kurasa tidak jauh dari sini walaupun aku belum tahu dimana sesungguhnya tempat persembunyian musuh besarku itu."

   Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba mereka merasa badan perahu itu terguncang dan terdengar teriakan-teriakan ketakutan para pendayung perahu. Mereka bertiga cepat keluar dari dalam ruangan itu dan betapa kaget hati mereka melihat bahwa perahu besar itu telah dikepung oleh beberapa buah perahu kecil yang penuh penumpang dan para penumpang itu membawa obor sehingga keadaan menjadi terang seperti siang. Perahu-perahu itu adalah perahu bajak sungai dan ketika mereka bertiga melihat wajah Si Buaya Sakti diantara para bajak itu, tahulah mereka bahwa mereka telah berada ditangan musuh! Si Buaya Sakti itu menyeringai dan dengan suaranya yang kecil tinggi dia berseru,

   "Kalau melawan perahu kalian akan kami bakar!" Menghadapi ancaman ini, Thian Hai tidak berdaya, bahkan melihat sikap Pek Lian, dia berbisik,

   "Lian-moi, disini kita tidak boleh melawan." Pek Lian maklum bahwa memang percuma saja melakukan perlawanan selagi mereka berada diatas perahu. Betapapun lihainya Thian Hai, tak mungkin dia dapat menyelamatkan Pek Lian dan Lian Cu kalau mereka masih berada ditengah sungai. Maka Pek Lianpun diam saja membiarkan perahu mereka dikait dan ditarik oleh perahu-perahu musuh.

   Hari telah pagi ketika perahu-perahu bajak itu menarik perahu rampasan itu kepantai dan nampaklah oleh Pek Lian betapa selain perahu mereka, ada pula sebuah perahu lain terampas oleh bajak. Diatas perahu yang juga besar dan mewah itu terdapat belasan orang yang berpakaian seperti saudagar-saudagar kaya, akan tetapi diantara mereka itu nampak pula seorang kakek tua berpakaian sederhana memegang tongkat butut dan seorang pemuda sederhana bermuka merah yang bertubuh tegap dan berwajah gagah.

   Tentu saja Pek Lian merasa girang disamping keheranannya mengenal dua orang itu sebagai kakek sakti Kam Song Ki dan muridnya, bekas pemimpin lembah Kwee Tiong Li! Kiranya guru dan murid itu yang meninggalkan Kotaraja, agaknya menumpang sebuah perahu saudagar dan ikut pula menjadi tawanan ketika perahu itu dirampas oleh para bajak anak-buah Si Buaya Sungai. Dalam semalam itu, kawanan bajak telah membajak dua buah perahu. Tentu saja Kwee Tiong Li dan gurunya juga terkejut, heran dan girang melihat Pek Lian dan juga Thian Hai. Akan tetapi mereka diam saja dan pura-pura tidak mengenal mereka. Dua buah perahu itu ditarik terus sampai kepantai dimana telah menunggu sekelompok pasukan yang dipimpin oleh seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan yang berpakaian mewah seperti seorang bangsawan kaya.

   Orang ini berkepala bundar, tubuhnya juga bulat serba gendut dan mukanya penuh senyum ramah. Melihat orang gendut mewah ini, Pek Lian terkejut bukan main. Ia mengenal orang itu walaupun si gendut itu belum sempat mengenalnya. Pria itu adalah Lam Siauw-ong (Raja Muda Selatan), seorang diantara tiga tokoh besar lautan yang menjadi kepala bajak. Dahulu, pernah Lam Siauw-ong menawan Chu Bwee Hong dan dengan sembunyi-sembunyi ia berhasil menolong Bwee Hong dan meloloskan diri dari cengkeraman kepala bajak laut ini. Siapa kira hari ini ia yang menjadi tawanannya. Dan diam-diam ia merasa semakin heran bagaimana Si Buaya Sakti dapat menjadi sekutu Lam Siauw-ong? Bukankah dahulu terdapat suatu permusuhan atau persaingan antara golongan mereka?

   Akan tetapi, Pek Lian tidak mau banyak cakap lagi. Ia maklum bahwa sekali ini, ia harus melakukan perlawanan. Sebelum ia dan Thian Hai ditawan dan dibuat tidak berdaya, ia harus melakukan perlawanan. Inilah satu-satunya kesempatan untuk melawan, setelah perahu mendarat. Ia dapat melihat kekuatan lawan yang cukup banyak. Dan melihat betapa anak-buah bajak itu banyak yang memakai pakaian seragam bekas pakaian tentara. Akan tetapi, iapun sudah siap siaga. Sebelum mendarat, ia telah mempersiapkan diri, mengenakan pakaian ringkas dan menemukan pedang didalam ruangan bilik perahu. Begitu perahu menempel didarat, tanpa membuang waktu lagi Pek Lian mengeluarkan pekik melengking dan iapun meloncat kedarat, langsung menyerbu kearah Lam Siauw-ong yang berdiri sambil tersenyum-senyum.

   Akan tetapi, si gendut ini memang lihai sekali. Diserang seperti itu, dengan mudah dia meloncat kebelakang dan para pengawalnya yang sebagian ada yang mengenakan pakaian seragam pasukan itu segera maju mengepung Pek Lian. Namun gadis ini tidak menjadi gentar. Ia meloncat keatas, kaki tangannya bergerak dan ia mengamuk seperti see-kor garuda, membagi-bagi tamparan dan tendangan diantara para pengeroyoknya. Melihat kehebatan dara muda ini, Lam Siauw-ong kagum sekali. Dia belum sempat mendengar dari rekan-rekannya seperti Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi siapa adanya gadis cantik gagah itu, karena kedua orang rekannya itupun agaknya sedang berkelahi tak jauh dari situ. Melihat kehebatan Pek Lian, dia pun berseru keras menyuruh anak-buahnya mundur dan tubuhnya yang bulat itu dengan ringan sekali telah melayang kedepan Pek Lian.

   "Heh-heh, nona cantik manis. Engkau patut menjadi permaisuriku, maka marilah kita berdamai saja. Untuk apa kita saling"

   "Lam Siauw-ong manusia cabul, lihat pedang!" Pek Lian membentak sambil mencabut pedang dan menyerang dengan dahsyat.

   "Eh, oh engkau sudah mengenalku? Lebih baik lagi!" kata Raja muda bajak gendut itu. Akan tetapi Pek Lian tidak memberinya kesempatan untuk banyak cerewet karena dara itu telah menyerang semakin ganas, membuat lawannya terpaksa mencabut pula sebatang pedangnya. Begitu pedangnya bergerak, Pek Lian terkejut karena hampir saja pergelangan tangannya kena digurat. Itulah Hun-kin-kiam (Pedang Pemutus Urat) dan Raja muda bajak ini ternyata mahir sekali bermain pedang. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat.

   "Nona Ho, minggirlah dan biarkan aku menghadapi babi ini!" Orang itu adalah Kwee Tiong Li yang juga sudah mempergunakan pedangnya. Melihat majunya kawan ini, hati Pek Lian menjadi girang dan iapun mengamuk diantara para anak-buah bajak. Terjadi perkelahian antara Tiong Li dan Lam Siauw-ong dan ternyata kepandaian mereka seimbang sehingga perkelahian itu menjadi seru dan hebat. gerakan Tiong Li sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Kini dia telah mewarisi ilmu dari kakek Kam, maka ginkangnya luar biasa sekali, gerakannya cepat laksana burung walet beterbangan menyambar-nyambar. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang, tentu Pek Lian akan kewalahan kalau saja ia tidak mendapat bantuan kakek Kam Song Ki!

   Ia sudah terpincang karena betisnya kena disambar ujung tombak lawan sehingga kulit betisnya terobek dan terluka. Namun, dengan gigih dan gagah ia melawan terus, merobohkan banyak orang dengan pedangnya. Dalam keadaan gawat itulah muncul kakek Kam Song Ki yang mengamuk dengan tongkatnya. Tentu saja sepak terjang kakek ini amat hebat. Tongkatnya mendatangkan angin pukulan dahsyat sehingga para pengeroyok sudah bergelimpangan walaupun belum tercium ujung tongkat. Sementara itu, dibagian lain, Thian Hai dikeroyok dua oleh Si Buaya Sakti dan Tiat-siang-kwi. Pemuda perkasa ini sungguh hebat luar biasa. Dua orang pengeroyoknya itu bukan sembarang orang, Sin-go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti, adalah seorang diantara tiga Sam-ok (Tiga Jahat), merupakan Raja diantara para bajak sungai dan jaranglah ada orang dapat menandinginya.

   Adapun orang kedua, dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. Dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian raksasa pemakan daging manusia ini. Namun, sekali ini menghadapi Thian Hai, keturunan langsung dari keluarga sakti Souw yang selalu menyembunyikan diri, mereka berdua tidak mampu berbuat banyak. Golok besar punggung gergaji dan senjata penggada berbentuk alu dari kedua orang datuk ini tidak ada gunanya sama sekali ketika dipergunakan untuk menyerang Thian Hai. Senjata-senjata itu seolah-olah merupakan benda lunak saja, ditangkis begitu saja oleh kedua lengan Thian Hai dan setiap kali terjadi pertemuan antara lengan dan senjata, si pemegang senjata tentu mengeluh dan merasa betapa telapak tangan mereka seperti terbakar dan terkupas.

   Thian Hai maklum bahwa dia telah menemukan jejak musuh besarnya. Tidak salah lagi, disinilah agaknya tempat persembunyian musuhnya itu, maka diapun tidak ingin membiarkan dua orang pembantu musuhnya ini lolos. Dua orang ini terlalu jahat dan lihai untuk dibiarkan lolos, dan juga kedudukan musuhnya akan terlalu kuat kalau dua orang ini dibiarkan terlepas dari tangannya. Maka pemuda perkasa inipun. mengerahkan tenaganya, terdengar dia mengeluarkan suara menggeram dan ketika tubuhnya menyerang kedepan dengan kedua tangan terbuka, kedua orang lawannya itu tidak mampu bertahan lagi.

   Pukulan Thai-kek Sin-ciang yang dilontarkan dari jarak dekat itu terlalu hebat bagi dua orang iblis itu. Mereka berusaha menahan dengan sinkang, akan tetapi akibatnya mereka terbanting kebelakang, terjengkang dan tidak mampu bangkit kembali karena isi dada mereka yang terlanda hawa pukulan sakti itu telah remuk-rendam, membuat mereka tewas seketika dengan semua lubang ditubuh mereka mengucurkan darah segar! Sejenak Thian Hai termangu menyaksikan akibat pukulannya, akan tetapi dia segera mendengar teriakan puterinya. Cepat dia menoleh dan meloncat, menendang dua orang perajurit atau anggauta bajak yang berhasil menangkap Lian Cu ketika anak perempuan ini ikut pula mengamuk. Dua orang itu terlempar dan Thian Hai mengamuk, membiarkan puterinya yang sudah lumayan ilmu silatnya itupun ikut pula mengamuk.

   Sementara itu, perkelahian antara Tiong Li melawan Siauw-ong amat hebatnya. Keduanya sudah berkeringat, akan tetapi belum juga ada yang kalah. Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, Lain Siauw-ong menjadi gentar dan begitu memperoleh kesempatan, dia meloncat kebelakang dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, sebatang tongkat menotok punggungnya dan diapun roboh terpelanting. Kiranya yang menotoknya adalah seorang kakek tua, akan tetapi totokannya itu hanya membuat dia roboh saja dan tidak melukainya, juga tidak menghentikan jalan darah. Hal ini makin menunjukkan betapa lihainya kakek itu, maka Lam Siauw-ong menjadi semakin jerih. Akan tetapi, begitu dia bangkit berdiri, pemuda yang menjadi lawannya itu sudah menerjangnya lagi dan kembali mereka berkelahi. Sekali ini semangat perlawanan Lam Siauw-ong mengendur.

   Hatinya sudah gentar maka permainan pedangnya tidaklah sekuat tadi, bahkan agak kalut sehingga pada suatu ketika Kwee Tiong Li berhasil memasukkan pedangnya menusuk dan mengenai pundaknya. Lam Siauw-ong terkejut dan terhuyung, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tiong Li untuk menyusulkan tusukan maut yang menembus dada lawan. Robohlah Raja Muda Selatan itu dengan badan berlumuran darah dan tewas tak lama kemudian. Anak-buah gerombolan bajak itu menjadi panik melihat betapa tiga orang pemimpin mereka tewas dan banyak sekali teman-teman mereka roboh, tewas atau terluka. Akan tetapi selagi mereka panik dan hendak melarikan diri, tiba-tiba muncul pasukan yang berpakaian hitam sebanyak belasan orang dan terdengarlah suara melengking nyaring dari tengah daratan, dimana nampak genteng dan tembok sebuah bangunan besar.

   "Tahan semua senjata! Para tawanan harus menyerah, kalau tidak akan kami bunuh semua!!" Semua orang, termasuk kakek Kam Song Ki, terkejut bukan main. Itulah suara yang mengandung khikang amat kuatnya, menunjukkan bahwa orang yang mengirim suara itu memiliki kepandaian yang hebat.

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi, kalau semua orang terkejut dan gentar, sebaliknya Thian Hai merasa girang bukan main dan jantungnya berdebar tegang. Itulah pekik yang mengandung tenaga Pek-houw-ho-kang, yaitu auman Harimau Putih, ilmu khikang dari keluarga Souw dan dia dapat menduga siapa yang mengeluarkan pekik seperti itu. Musuh besar berada didepan mata! Maka, diapun lalu memberi isyarat kepada Pek Lian, kakek Kam dan Kwee Tiong Li agar menghentikan amukan. Ketika pasukan berpakaian hitam itu mengumpulkan para saudagar sebagai tawanan, merekapun termasuk didalamnya dan dengan mandah mereka digiring meninggalkan pantai sungai itu menuju kesebuah bangunan besar yang megah. Begitu memasuki ruangan depan dimana nampak beberapa orang penjaga yang memegang golok dan perisai, pimpinan pasukan berpakaian hitam itu berkata,

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 13 Naga Beracun Eps 16 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12

Cari Blog Ini