Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 13


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   Setelah Pangeran Tua Li Siu Ti memasuki kembali ruangan itu, mereka bertiga lalu berbisik-bisik mengatur siasat. Sebuah siasat yang diajukan Poa Kiu dan Siauw Can amat mengejutkan hati Pangeran Li Siu Ti. Siasat itu adalah membunuh Putera Mahkota, Pangeran Li Si Bin.!

   Wajah Pangeran Tua Li Siu Ti seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada dua orang kepercayaannya.

   "Alangkah baiknya kalau dapat terjadi! Akan tetapi mana mungkin! Li Si Bin seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tangguh dan sukar dikalahkan! Selain itu, diapun mempunyai banyak pengawal pandai, dan selalu terjaga. Di belakangnya ada balatentara seluruh kerajaan, ratusan ribu orang yang setiap saat siap melaksanakan perintahnya! Bagaimana mungkin menyingkirkannya? Kalau gagal dan ketahuan, ah, ngeri aku membayangkan akibatnya! Tentu seluruh anggota keluarga kita, sampai ke para pelayan dan binatang peliharaan, akan dibasmi habis!"

   "Harap paduka tidak khawatir," kata Poa Kiu."Hamba berdua Siauw Can telah merencanakan siasat yang baik dan halus. Siauw Can akan mempergunakan kepandaiannya dan kalau sampai berhasil siasat itu, maka Pangeran Li Si Bin akan tewas tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya."

   Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan nampaknya Pangeran Tua Li Siu Ti girang sekali. Dia nampak mengangguk-angguk dan tersnyum-senyum mengelus jenggotnya dan berulang kali mulutnya berkata,

   "Bagus........., bagus sekali...!" Saking girang rasa hatinya, pangeran itu lalu menutup pembi caraan itu dengan sebuah pesta yang meriah, pesta antara mereka bertiga yang dihadiri pula oleh isteri dan lima orang selir pangeran itu, dan anak tunggalnya, yaitu Li Ai Yin, gadis cantik genit dan manja yang tidak malu-malu lagi memperlihatkan kekagumannya kepada Siauw Can.

   Mereka makan minum sampai jauh malam dengan penuh kegembiraan dan peristiwa ini saja sudah membesarkan hati Siauw Can, karena dari Poa Kiu dia mendengar bahwa diajak makan bersama seluruh keluarga pangeran berarti bahwa dia telah dipercaya sepenuhnya, seperti halnya Poa Kiu sendiri.

   Dengan penuh kesungguhan hati, Kwa Bi Lan mengajarkan ilmu silat kepada para dayang. Para dayang ini merupakan gadis-gadis pilihan, bukan saja muda dan cantik, akan tetapi rata-rata memiliki kecerdikan dan tubuh yang sehat.

   Mereka itu pandai dengan segala macam bentuk kesenian, pandai menari, bernyanyi, memainkan alat musik, membaca sajak. Oleh karena itu tidak sukar bagi Bi Lan untuk mengajarkan ilmu silat kepada tigapuluh orang dayang-dayang istana itu.

   Ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian, atas petunjuk Pangeran Li Si Bin, ia mengajarkan ilmu silat menggunakan senjata sabuk yang diambil dari Ilmu Hui-tiauw Sin-kun ( Silat sakti rajawali terbang ).

   Dengan ilmu silat sabuk itu, dibentuklah Ang-kin-tin ( Barisan sabuk merah). Ang-kin-tin ini bukan saja dapat memainkan sabuk sebagai senjata ampuh, akan tetapi mereka juga menggabungkan gerak silat itu dengan ilmu tarian yang mereka kuasai, sehingga kalau tidak dipergunakan untuk berkelahi, mereka itu dapat menggunakan sabuk merah mereka untuk menari- nari dengan indahnya.

   Sabuk sutera merah panjang di tangan mereka dapat digerakkan membentuk bermacam-macam bunga bahkan huruf!

   Pangeran Li Si Bin merasa girang bukan main melihat kemajuan para dayang, dan tugas Bi Lan melatih para dayang di istana itu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk saling jumpa.

   Pangeran Mahkota itu semakin kagum kepada Bi Lan, sebaliknya Bi Lan juga sangat kagum kepada pangeran yang tampan gagah perkasa dan manis budi ini. Ia mendapatkan segala sifat jantan pada diri putera mahkota ini. Pangeran itu dapat bersikap lemah lembut, ramah dan manis budi, akan tetapi kalau perlu, dia dapat pula bersikap keras dan tangan besi, sehingga selain disayang oleh semua orang, diapun disegani dan dihormati.

   Kalau ada kesempatan kedua orang itu bercakap-cakap, dari percakapan ini saja tahulah Bi Lan bahwa pangeran itu seorang yang berjiwa pendekar, juga amat mencinta tanah air dan bangsa, mencintai rakyat dan ingin melakukan segalanya demi kebaikan rakyat. Juga pangeran ini memiliki pengetahuan luas, bahkan dekat dan mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk dunia persilatan.

   Semenjak peristiwa yang amat mengecewakan hatinya malam itu, ketika Siauw Can berusaha untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, lenyaplah semua perasaan suka dan kagum terhadap pemuda itu. Dan kini semua perasaan suka dan kagum itu beralih kepada Pangeran Li Si Bin!

   Tentu saja ia tahu diri dan hanya tinggal mengagumi saja, tidak berani mengharapkan yang lebih daripada hubungan di antara mereka seperti sekarang. Ia hanya seorang pekerja dan petugas, tiada bedanya dengan ratusan orang lain yang bekerja di lingkungan istana itu.

   Sebelum terjadi peristiwa di malam itu, ia memang pernah merasa suka dan kagum kepada Siauw Can, bahkan ia akan menerima dengan hati dan tangan terbuka, seandainya pemuda itu mengajaknya hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, semua harapan itu telah hancur oleh perbuatan Siauw Can.

   Kalau bukan Siauw Can yang melakukan perbuatan itu terhadap dirinya, ia tentu tidak akan mau sudah sebelum membunuh laki-laki itu. Akan tetapi ia telah menganggap Siauw Can sebagai sahabat baik, dan pemuda itu telah minta maaf. Ia mau melupakan peristiwa itu, akan tetapi tentu saja semua perasaan sukanya terhadap pemuda itu lenyap sudah. Ia tahu bahwa Siauw Can mencintainya, akan tetapi pemuda itu menodai cintanya dengan perbuatan yang tidak senonoh.

   Pagi itu, seperti biasa, Bi Lan melatih para dayang bersilat dengan sabuk sutera merah mereka. Gerakan mereka sudah cukup baik dan tangkas, hanya masih kurang tenaga. Dengan teliti Bi Lan mengamati mereka dan dengan tekun member petunjuk-petunjuknya. Dan pagi itu, pangeran Li Si Bin berkenan hadir dan dengan wajah berseri pangeran itu menonton. Hatinya senang karena dia melihat kemajuan pesat pada para dayang, dan dia semakin kagum karena ketika Bi Lan memberi contoh kepada para dayang dengan bersilat sabuk sutera merah, janda muda itu nampak seperti seorang dewi yang turun dari kahyangan dan menari-nari!

   Setelah Bi Lan selesai memberi contoh dan kini para dayang berlatih dengan giat, Pangeran Li Si Bin menggapai dan memberi isyarat kepada Bi Lan untuk mendekat. Bi Lan menghampiri dan memberi hormat dengan setengah berlutut.

   "Bangkit dan duduklah di sini," kata pangeran itu dengan ramah sambil menunjuk ke arah sebuah bangku. Bi Lan duduk di depan pangeran itu sambil menundukkan muka. Biarpun mereka sudah sering bercakap dan berjumpa, tetap saja Bi Lan tidak sanggup berpandangan terlalu lama dengan sepasang mata yang memiliki wibawa sedemikian kuatnya. Ia selalu merasa seperti seorang anak kecil berhadapan dengan gurunya, dengan perasaan bersalah.

   "Bi Lan, kalau engkau melatih pasukan dayang di sini, lalu bagaimana dengan anakmu?"

   Diam-diam Bi Lan terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Pangeran Li Si Bin menanyakan anaknya!

   Segera terbayanglah wajah Hong Lan. Kalau ia bertugas di istana, dititipkannya Hong Lan kepada Cu-ma, pelayan wanita setengah tua tukang masak yang menjadi sahabat baiknya di istana pangeran Tua Li Siu Ti. Cu-ma ini dahulunya pengasuh Ai Yin di waktu gadis ini masih kecil, dan sekarang menjadi tukang masak gadis itu untuk keperluan-keperluan kecil.

   "Lan Lan hamba tinggalkan di istana Pangeran Tua dalam asuhan Cu-ma, pangeran," jawabnya.

   "Lan Lan? Hemm, bagus sekali nama panggilan itu. Siapa nama anakmu?"

   "Namanya Hong Lan."

   "Kalau begitu nama lengkapnya tentu Liu Hong Lan, bukan? Mendiang suamimu yang berjuluk Si Rajawali Sakti itu bernama Liu Bhok Ki."

   Bi Lan mengangguk membenarkan. Apapun yang terjadi, ia akan tetap mengakui Lan Lan sebagai anaknya, dan tentu saja nama keluarganya Liu, menurut nama keluarga mendiang suaminya.

   "Bi Lan, kami merasa senang sekali dengan hasil tugasmu melatih para dayang. Untuk menyatakan terima kasih kami, maka kami harap siang ini sebelum engkau kembali ke rumah paman Li Siu Ti, engkau suka kami ajak makan siang bersama kami. Nanti kalau makan siang sudah siap, engkau akan diberi tahu."

   Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Diajak makan siang bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan suatu kehormatan yang amat luar biasa. Tentu saja ia merasa canggung dan sungkan, akan tetapi untuk menolak, ia tidak berani. Itu akan merupakan suatu penghinaan terhadap pangeran itu.

   "Baik, Pangeran." Katanya.

   Setelah Pangeran Li Si Bin meninggalkan ruangan belajar silat itu, Bi Lan melamun dan akhirnya ia membubarkan para muridnya, karena ia tidak dapat memusatkan lagi perhatiannya. Ia lalu pergi ke taman bunga yang amat luas di bagian belakang istana. Karena mendapat kepercayaan Putera Mahkota, apalagi karena semua petugas mengenalnya sebagai guru dan pelatih para dayang, Bi Lan sudah biasa berjalan-jalan di taman dan tidak ada seorangpun petugas yang melarangnya.

   Perasaan hatinya terguncang oleh undangan makan siang Pangeran Li Si Bin. Sampai lama dia termenung, duduk di tepi kolam ikan emans, agak terlindung dan tersembunyi di balik semak berbunga.

   Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Sebagai seorang ahli silat yang sudah bertualang di dunia persilatan, sudah terbiasa menghadapi bahaya, Bi Lan sudah waspada dan cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintai. Bayangan itu mencurigakan sekali. Kalau orang itu seorang tukang kebun atau petugas istana, tentu gerakannya tidak seperti itu. Orang itu berloncatan dari pohon ke pohon, bersembunyi, kadang berjongkok di balik semak, menuju ke dapur yang terletak di bagian belakang bangunan yang menjadi ruangan makan.

   Dari dapur, para petugas, yaitu para dayang dan para thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas membawa hidangan ke kamar makan, akan melalui lorong pendek dari dapur ke ruangan makan yang jendelanya menghadap ke taman itu.

   Melihat bayangan itu menyelinap masuk ke dalam dapur melalui jendela dengan gerakan ringan, Bi Lan semakin curiga. Ia lalu mengintai ke dalam dapur melalui jendela. Agaknya hidangan sudah dikeluarkan dan dapur itu nampak sunyi. Ia melihat orang tadi berdiri di dekat pintu. Ia tidak mengenal laki-laki itu yang bertubuh gendut pendek, usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan dan kulit mukanya halus tanpa kumis dan jenggot.

   Tak lama kemudian, dari pintu dapur masuklah seorang thai-kam yang biasa bertugas membawa hidangan dari dapur ke ruangan makan. Ketika thai-kam itu melihat laki-laki itu, dia kelihatan terkejut. Akan tetapi, si gendut itu sudah menangkap pergelangan tangan thai-kam itu dan bertanya dengan suara mendesis,

   "Sudah kauhidangkan guci arak itu?"

   "Sudah, akan tetapi kenapa engkau memaksa aku untuk menghidangkan guci arak yang itu? Aku tidak mengerti dan....................."

   Pada saat itu, si gendut sudah menggerakkan tangannya dan sebatang pisau menancap ke dada thai-kam itu dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, si gendut sudah menotok lehernya, sehingga dia terkulai roboh tanpa dapat bersuara lagi.

   "Heiiii, apa yang kau lakukan itu?" bentak Bi Lan sambil membuka daun jendela. Akan tetapi, orang gendut itu tidak menjawab, bahkan cepat melompat bagaikan seekor rusa, melarikan diri keluar dari dapur itu ke dalam taman.

   Melihat ini, Bi Lan segera lari mengejar dan dengan mudah saja ia dapat menyusul. Orang gendut itu tiba-tiba membalik dan di tangannya sudah terdapat dua batang pisau seperti yang tadi dia pakai membunuh thai-kam di dapur.

   Diapun cepat menggerakkan kedua pisau itu menyerang Bi Lan! Akan tetapi betapa kuat dan cepat gerakan serangan kedua pisau itu, bagi Bi Lan masih terlalu lambat, sehingga dengan amat mudahnya ia mengelak mundur dan ketika sepasang pisau itu menyambar lewat dari kanan dan kiri, kakinya mencuat dan menendang kea rah lutut kiri penyerangnya. Akan tetapi, ternyata penyerangnya itupun bukan orang lemah.

   Dia mampu meloncat ke samping sehingga tendangan itu luput, dan kembali dia menubruk ke depan, menggerakkan sepasang pisaunya dengan ganas. Orang itu menyerang untuk membunuh, serangan orang yang nekat dan yang melihat bahwa jalan satu-satunya baginya untuk dapat meloloskan diri hanya membunuh siapa saja yang menghalanginya.

   "Pembunuh keparat!" Bi Lan berseru marah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung rajawali menyambar, tubuhnya meluncur kea rah lawan dengan kedua tangan mencakar dan menampar. Orang gendut itu berusaha untuk menyambut dengan sepasang pisaunya, akan tetapi kedua pundaknya sudah lebih dahulu kena dicakar dan ditampar sehingga sepasang senjata itu terlepas jatuh.

   Ketika orang itu hendak melarikan diri, kembali tangan bi Lan bergerak, sekali ini kea rah tengkuk dan orang itupun jatuh tersungkur!

   Bi Lan menginjak punggungnya dan membentak,"Hayo katakan, kenapa engkau membunuh thai-kam itu!"

   Akan tetapi, tangan kiri si gendut itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri dan diapun terkulai. Ketika Bi Lan memeriksanya, ternyata dia telah mati dengan muka berubah menghitam. Racun!

   Teringat akan ini, berubah wajah Bi Lan. Racun! Dan si gendut ini agaknya menyuruh dengan paksa thai-kam tadi menghidangkan guci arak kepada Pangeran Mahkota!

   Ketika para pengawal lari berdatangan mendengar keributan itu, Bi Lan berkata,"Jaga mayat pembunuh ini!" Dan diapun sudah melompat dan bagaikan terbang secepatnya ia memasuki ruangan makan, dimana ia harus hadir atas undangan Pangeran Li Si Bin.

   Akan tetapi saat itu ia sama sekali tidak teringat akan undangan makan siang itu, dan ia memasuki ruangan itu bukan untuk memenuhi undangan makan.

   Begitu tiba di ambang pintu, dimana terdapat sebuah meja yang menjadi tempat persediaan cadangan mangkok dan sumpit, ia melihat pangeran itu yang dilayani para dayang,sedang mengangkat cawan arak ke mulutnya.

   Celaka, piker Bi Land an wajahnya pucat sekali. Tidak ada waktu lagi untuk mencegah hal amat dikhawatirkannya, maka tangannya menyambar sebatang sumpit dari atas meja dan sekali tangan itu bergerak, sumpit melayang seperti anak panah ke arah pangeran.

   "Sing.....trang....!"

   Cawan yang bibirnya sudah menempel di bibir Pangeran Li Si Bin itu terlempar dan isinya tumpah, muncrat ke mana-mana.

   Akan tetapi pangeran bersikap tenang. Dia menoleh ke arah Bi Lan, melihat betapa wajah wanita itu pucat sekali. Sepasang mata pangeran itu mencorong, dan dia berkata dengan suara yang lembut, namun berwibawa sekali sehingga terasa oleh Bi Lan seperti pedang yang menembus jantungnya.

   "Bi Lan, engkau kuundang makan siang dan aku sudah menantimu. Akan tetapi, engkau datang dan melakukan ini? Apa maksudmu?"

   Tentu saja pangeran yang juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi itu dapat mengenal serangan untuk membunuhnya atau serangan untuk mencegahnya minum arak dari cawan tadi. Kalau wanita itu menghendaki, tentu bukan sumpit yang disambitkan, melainkan senjata rahasia yang ampuh, dan bukan cawan di tangannya yang dijadikan sasaran, melainkan anggota tubuhnya yang mematikan. Akan tetapi kalau demikian halnya, tentu diapun sudah mengelak atau menangkis.

   Saking tegang, gelisah dan juga sungkan, Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut kepada pangeran itu. Biasanya ia memberi hormat dengan membungkuk atau hanya berlutut dengan sebelah kaki saja.

   "Ampunkan hamba, pangeran. Akan tetapi........arak itu.....arak itu mungkin sekali mengandung racun.!" Katanya agak gagap karena tentu saja ia sendiri belum yakin akan hal itu, hanya baru dugaan saja.

   Sepasang mata yang mencorong itu terbelalak. Tanpa banyak cakap lagi Pangeran Li Si Bin yang sejak muda sudah bergaul dengan dunia kangouw dan mempunyai banyak pengalaman, lalu mengambil guci arak darimana tadi dia menuangkan arak ke dalam cawannya, menciumnya, lalu mengeluarkan sebuah mainan batu giok putih yang tergantung di leher, mencelupkan batu kemala itu ke dalam arak. Tak lama kemudian dia mengangkat lagi batu giok itu dan ternyata warna putih itu berubah menjadi kehijauan.!

   "Hemm, engkau benar Bi Lan. Kalau kuminum arak dalam cawan tadi, mungkin aku sudah mati. Racun ini kehijauan, tidak berbau dan tidak ada rasanya, amat berbahaya. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa arak yang akan kuminum itu mengandung racun? Bangkitlah, dan duduklah, ceritakan semuanya, Bi Lan."

   Para dayang, tujuh orang banyaknya yang ditugaskan melayani pangeran yang akan makan siang dengan Bi Lan, saling pandang dengan wajah pucat sekali. Mereka ketakutan dan terkejut bukan main ketika melihat bahwa arak yang hamper saja diminum pangeran itu beracun! Andaikan pangeran itu tadi meminumnya dan tewas, mereka tentu akan terseret dan takkan diampuni lagi walaupun mereka sama sekali tidak tahu menahu akan arak beracun itu. Merekapun nyaris tewas dan baru saja lolos dari cengkeraman maut bersama pangeran Mahkota!

   Bi Lan bangkit dan dengan langkah tenang menghampiri meja, lalu duduk menghadapi meja, berhadapan dengan pangeran itu yang menatapnya dengan penuh perhatian, akan tetapi dengan alis berkerut, karena dia belum tahu atau menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi.

   "Pangeran, tadi ketika hamba berjalan-jalan di taman, hamba melihat bayangan orang bergerak cepat memasuki dapur. Hamba merasa curiga dan membayanginya. Dia seorang laki-laki gendut dan di dapur, dia berbicara dengan seorang thai-kam. Thai-kam itu berkata mengapa dia harus menghidangkan guci arak itu kepada paduka. Tiba-tiba si gendut itu membunuh si thai-kam.Hamba terkejut dan melompat masuk. Si gendut melarikan diri ke dalam taman dan hamba berhasil mengejarnya. Dia menyerang hamba dan hamba berhasil merobohkannya dan hendak menawannya. Akan tetapi dia membunuh diri dengan menelan racu. Lalu hamba teringat akan ucapan thai-kam tadi, tentang guci arak yang dihidangkan pada paduka. Melihat si gendut itu ahli racun, hamba lalu menjadi curiga dan cepat hamba lari ke sini dan terpaksa hamba melemparkan sumpit untuk mencegah paduka minum arak itu."

   Kini pangeran itu mengangguk-angguk dan matanya mengeluarkan sinar kagum.

   "Bi Lan, engkau sungguh hebat sekali, bukan saja engkau lihai dan cantik, akan tetapi engkau juga amat cerdik dan setia. Hanya kecerdikanmu yang tadi telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh aku berhutang budi dan nyawa kepadamu, Bi Lan. Bagaimana kau dapat membalasnya? Terima kasih, Bi Lan."

   Kalau tadi wajah Bi Lan pucat sekali karena tegang, cemas dan juga sungkan, kini wajah itu berubah kemerahan sehingga wajahnya menjadi semakin manis, dan dia tidak berani menentang pandang mata pangeran itu yang kini bersinar-sinar penuh kagum.

   Melihat wanita yang dikaguminya itu menunduk dengan kedua pipi kemerahan, Pangeran Li Si Bin yang jarang tertarik wajah cantik itu, kini tersenyum dan hatinya tertarik sekali.

   Dia tahu bahwa tidak mudah mendapatkan seorang wanita seperti Bi Lan ini. Cantik jelita, masih muda, berkepan daian silat tinggi, cerdik dan setia! Biarpun wanita ini telah menjadi janda dengan seorang anak, namun ia jauh lebih menarik daripada gadis yang manapun! Mungkin karena merasa berhutang budi dan nyawa, saat itu sang pangeran telah jatuh hati kepada Kwa Bi Lan!

   "Mengapa pangeran berkata demikian? Hamba hanyalah melaksanakan tugas hamba, dan tidak ada yang perlu dipuji," kata Bi Lan lirih tanpa berani mengangkat mukanya.

   Pangeran Li Si Bin tertawa lalu berkata kepada para dayang.

   "Kalian melihat sendiri. Contohlah wanita ini! Nah. kalian singkirkan guci arak ini, tutup dan simpan untuk penyelidikan nanti. Ambil arak lain yang tidak terlalu keras, dan anggur untuk Kwa lihiap (Pendekar Winita Kwa). Bi Lan, mari kita makan siang, jangan sampai peristiwa tadi mengganggu makan siang kita."

   Bi Lan mengangkat mukanya, memandang wajah pangeran itu, lalu matanya mengamati hidangan yang berada di atas meja, matanya membayangkan keraguan.

   "Jangan khawatir, aku mempunyai batu kemala yang dapat kita pergunakan untuk menguji apakah ada masakan yang mengandung racun," kata pangeran itu dan iapun memperguna kan batu kemala tadi, setelah membersihkannya, untuk menguji semua masakan. Ternyata hanya arak dalam guci sajalah yang mengandung racun, maka mereka lalu makan minum dengan hati tenang.

   Sambil makan dan minum, yang di layani oleh para dayang yang kini menjadi gembira sekali, dan ditemani Bi Lan yang sudah tidak sungkan atau canggung lagi, Pangeran Li Si Bin mengajak wanita itu bercakap-cakap. Akan tetapi, tiba-tiba kepala pengawal, yaitu Siok-ciangkun mohon menghadap.

   Maklum bahwa hal itu tentu ada hubungannya dengan yang diceritakan Bi Lan tadi, Pangeran Li Si Bin menyuruh panglima itu masuk.

   Siok-ciangkun memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, melaporkan bahwa seorang thai- kam terbunuh di dapur istana, dan seorang laki-laki gendut yang ternyata seorang bekas thai-kam istana yang dikeluarkan, kedapatan mati terbunuh pula di taman.

   "Hemm, kami sudah tahu, ciangkun. Thai-kam itu dibunuh oleh laki-laki gendut, dan laki-laki itu membunuh diri menelan racun ketika ditangkap oleh Kwa-lihiap ini. Jangan perkenankan orang keluar masuk istana hari ini. Aku sendiri yang akan memeriksa seluruh pelayan, thai-kam dan pengawal dalam istana. Kumpulkan mereka dan tak seorangpun boleh meninggalkan istana hari ini."

   Setelah berkata demikian. Pangeran Li Si Bin memberi isyarat kepada Siok-ciangkun untuk meninggalkan ruangan makan. Dengan sikap tenang, dia lalu melanjutkan makan minum dan bercakap-cakap. Sikap pangeran ini menambah kekaguman dalam hati Bi Lan. Sungguh bukan sikap seorang pembesar yang sewenang-wenang ataupun cengeng, melainkan sikap seorang pendekar!

   "Bi Lan, dahulu pernah aku mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti yang kukagumi. Dia seorang pendekar yang terkenal dan sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwa kini isteri pendekar itu mau membantu kami. Kalau boleh kami ketahui, bagaimana semuda ini engkau sudah menjadi janda? Apa yang menyebabkan kematian suamimu?"

   Bi Lan tahu bahwa berhadapan dengan pangeran ini, tidak perlu menyembunyikan keadaan nya. Juga beberapa orang dayang itu merupakan orang-orang kepercayaan, maka tidak ada salahnya kalau mereka hadir pula dalam percakapan ini, walaupun kini mereka nampak tidak mendengarkan percakapan itu.

   "Suami hamba meninggal dunia karena sakit tua. pangeran," jawabnya singkat."Karena tidak betah lagi tinggal di rumah, hamba lalu mengajak Lan Lan untuk pergi mengembara."

   "Dan bagaimana dengan Siauw Can yang datang bersamamu di kota raja?" pangeran itu bertanya seperti sambil lalu, namun pandang matanya menyelidik.

   Diam-diam Bi Lan terkejut dan semakin kagum. Pangeran ini tentu mempunyai banyak mata- mata yang tersebar di seluruh kota raja, sehingga tidak aneh kalau dia sudah tahu pula tentang Siauw Can!

   Jantungnya berdebar. Tahu pulakah pangeran ini bahwa Siauw Can sesungguhnya adalah Can Hong San dan dahulu pernah membela Kerajaan Sui ketika digulingkan oleh pangeran ini dan pasukannya? Bagaimanapun juga, ia dan Siauw Can telah memperkenalkan diri sebagai saudara misan kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, maka iapun harus tetap berpegang kepada pengakuan itu.

   "Dia adalah kakak misan hamba pangeran. Diapun ingin mencari pekerjaan, dan kami mengadakan perjalanan bersama ke kota raja." jawabnya singkat.

   Kini pandang mata pangeran itu semakin tajam penuh selidik sehingga kembali Bi Lan harus menundukkan mukanya.

   "Bi Lan, apakah hanya itu hubunganmu dengan Siauw Can? Hanya saudara misan dan tidak ada hubungan lainnya?"

   Bi Lan tidak berani mengangkat mukanya, dan kedua pipinya terasa panas. Terbayanglah peristiwa malam itu, di mana ulah Siauw Can menghapus semua perasaan suka dan kagumnya terhadap pemuda itu. Ia tidak berbohong kalau sekarang, ia menggelengkan kepala dengan tegas dan mengangkat muka menentang tatapan mata pangeran itu dengan berani dan berkata,"Kami hanya datang bersama ke kota raja. Selain hubungan misan, tidak ada hubungan apapun di antara kami. Kenapa paduka bertanya demikian, pangeran?"

   "Aku ingin memperoleh kepastian tentang dirimu, Bi Lan. Aku merasa kagum dan juga kasihan kepadamu, Bi Lan. Engkau hidup sebagai seorang janda, dan harus menjaga seorang anak, dan engkau masih begini muda,......."

   Bi Lan tersenyum. Hampir lupa ia bahwa berhadapan dengan seorang pangeran, bahkan putra mahkota, calon kaisar, dan bahkan orang yang paling besar kekuasaannya di seluruh negeri, lebih besar dari pada kaisar sendiri. Ucapan pangeran itu demikian wajar dan biasa, seperti ucapan seorang laki-laki biasa saja. Ia menjadi semakin kagum.

   "Maaf, pangeran, hamba yakin bahwa hamba lebih tua dari paduka. Usia hamba sudah duapuluh empat tahun........"

   Pangeran Li Si Bin tertawa, bebas dan bergelak sehingga wajahnya yang tampan dan gagah itu nampak kekanak-kanakan."Ha-ha-ha, bagaimanapun juga, aku merasa jauh lebih tua darimu, Bi Lan..!"

   Mereka tidak bercakap-cakap lagi atau lebih tepat, pangeran itu tidak bicara lagi, maka Bi Lan juga tidak berani berkata apapun. Mereka melanjutkan makan minum sampai selesai dan wajah pangeran itu cerah berseri. Dia lalu bangkit berdiri."Aku harus mengadakan pemeriksaan sendiri dan melakukan pembersihan. Siapa tahu, di antara para pelayan dan pengawal di istana telah dikuasai pihak yang memusuhi kami."

   Bi Lan bangkit dan memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih, berdiri menanti sampai sang pangeran meninggalkan ruangan makan itu sambil melemparkan senyum ramah kepadanya.

   Seorang pangeran yang gagah perkasa, tampan, agung dan sopan, pikir wanita itu, terbuai lamunan muluk ketika ia meninggalkan istana, kembali ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti dengan sebuah kereta yang telah dipersiapkan untuk keperluannya setiap hari.

   Begitu tiba di Istana Pangeran Tua, baru ia turun dari kereta, bukan hanya Lan Lan dalam pondongan pengasuh Cu-ma, akan tetapi juga nampak Siauw Can menyambutnya. Wajah pemuda itu nampak tegang dan ketika Bi Lan memondong puterinya yang dengan girang merangkulnya, Siauw Can bertanya, tidak memperdulikan ada Cu-ma di situ dan ada beberapa orang pengawal yang berjaga di depan Istana itu.

   "Lan-moi, apakah yang terjadi di istana! Engkau baru saja pulang dari sana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi!" Pemuda itu nampak tegang.

   Bi Lan mengerutkan alisnya dan memandang kepada pemuda yang pernah menggerakkan hatinya akan tetapi yang kini amat dicurigainya itu.

   "Bagaimana engkau tahu bahwa ada terjadi sesuatu di istana?" Ia balas bertanya dan sinar matanya memandang penuh selidik.

   Melihat sinar mata Bi Lan, Siauw Can bersikap tenang.

   "Aih, tentu saja aku tahu, Lan-moi. Baru saja Pangeran Tua dipanggil ke istana dengan pesan agar segera datang menghadap karena ada urusan yang teramat penting. Pangeran Tua sendiri yang berkata kepadaku bahwa panggilan itu tidak seperti biasanya, dan hal itu hanya berarti bahwa di istana telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Nah, engkau baru saja datang dari istana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi."

   Kecurigaan hati Bi Lan menghilang. Kiranya Pangeran Li Siu Ti telah dipanggil ke istana, tentu ada hubungannya dengan keinginan Pangeran Mahkota untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan terhadap para pelayan dan pengawal, semua petugas di istana. Dan tidak aneh kalau Siauw Can menanyakan apa yang telah terjadi di istana.

   Ia tidak ingin urusan itu didengar orang lain, maka sambil memondong Lan Lan, iapun berkata singkat,"Kita bicara di dalam saja."

   Setelah mereka berada di ruangan dalam, mereka disambut oleh Li Ai Yin yang juga segera mengajukan pertanyaan kepada Bi Lan,"Enci Bi Lan, apakah yang telah terjadi di Istana?"

   Bi Lan menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merangkul puterinya, lalu menarik napas panjang,"Ada orang mencoba untuk meracuni Pangeran Mahkota......."

   "Ihhh.......!." Ai Yin menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat."Betapa mengerikan. Dan bagaimana keadaan kakanda pangeran?" Dari sikap dan ucapan gadis bangsawan itu, Bi Lan tahu bahwa bagaimanapun juga, ada perasaan sayang di hati gadis itu terhadap kakak sepupunya.

   "Jangan khawatir, nona. Beliau sehat-sehat saja karena arak beracun itu tidak sampai diminumnya."

   "Lan-moi, bagaimana terjadinya? Siapa yang hendak meracuni Pangeran Mahkota dan bagaimana pula caranya, bagaimana pula usaha pembunuhan keji itu dapat digagalkan?" tanya Siauw Can ingin tahu sekali.

   "Benar, enci Bi Lan. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya terjadi? Akupun ingin tahu sekali." kata Ai Yin.

   "Nanti kalau Pangeran Tua pulang, tentu beliau dapat bercerita lebih jelas," kata Bi Lan mengelak.

   "Tidak, aku ingin mendengar dari sekarang, enci Bi Lan! Aku sudah tidak sabar menanti pulangnya ayah!" kata gadis bangsawan itu.

   Bi Lan terpaksa. Bagaimanapun juga, Pangeran Tua tentu akan mendengar segalanya dan kedua orang ini akan mendengarnya juga. Kalau ia bertahan dan tidak mau menceritakan, tentu menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Iapun menghela napas panjang.

   "Siang tadi, ketika aku beristirahat dan berjalan-jalan seorang diri di taman bunga istana, aku melihat bayangan orang ke dapur istana. Aku menjadi curiga dan membayangi. Dia seorang gendut yang bertemu dengan seorang thai-kam di dapur. Aku mendengar thai-kam itu menegur si gendut mengapa ia harus memberikan guci arak itu kepada Pangeran Mahkota. Si gendut lalu membunuh thai-kam itu. Tentu saja aku mengejarnya, dia lari ke dalam taman dan aku berhasil merobohkannya. Ketika aku hendak menangkapnya, dia menelan racun dan mati seketika. Aku mengkhawa tirkan kesehatan Pangeran Mahkota, maka cepat aku memasuki ruangan makan. Ketika melihat pangeran hendak minum arak dari sebuah guci, aku teringat akan ucapan thai-kam yang terbunuh dan kusambit cawan di tangan pangeran itu dengan sumpit. Ketika diperiksa, arak itu memang beracun!"

   Ai Yin merangkul Bi Lan."Aih, engkau hebat, enci Bi Lan. Engkau pantas menjadi guruku. Wah, namamu tentu akan tersohor di istana, aku ikut bangga karena engkau guruku. Dan telah menyelamatkan nyawa kakanda pangeran! Bukan main!" Gadis itu girang sekali.

   Karena ia dirangkul. Bi Lan terhalang dan tidak melihat perubahan pada wajah Siauw Can.

   "Hemm, bagaimanapun baiknya siasat itu, ternyata telah gagal dan bagaimana kalau thai-kam dan bekas thai-kam itu dapat tertangkap hidup-hiup? Tak dapat aku membayangkan akibatnya.

   Kalian berdua harus bekerja lebih baik dan hati-hati!" Pangeran Tua Li Siu Ti mengomel panjang-pendek di dalam kamar pertemuan yang tertutup rapat itu. Mereka bertiga, Pangeran Tua Li Siu Ti, Poa Kiu, dan Siauw Can, membicarakan tentang usaha pembunuhan terhadap Pangeran Li Si Bin yang gagal. Usaha pembunuhan itu memang hasil siasat Poa Kiu dan Siauw Can.

   Siauw Can mengepal tinju."Pangeran, kalau tidak karena ulah Bi Lan, kalau tidak kebetulan Bi Lan berada di sana, tentu sekarang ini Pangeran Mahkota telah tewas.!"

   "Bagaimana juga, harap paduka tidak menjadi khawatir. Hamba telah berlaku amat hati-hati. Andaikata bekas thai-kam itu tertangkap hidup-hiduppun, dia tidak akan tahu siapa yang memberi banyak uang emas kepadanya dan yang menyuruh dia menyelundupkan arak beracun ke istana. Juga, dia telah kami ancam tanpa dia mengenal kami, bahwa kalau dia tertawan, dia harus membunuh diri dengan racun. Kalau tidak, maka seluruh keluarganya di dusun akan kami bunuh. Dan ternyata ancaman itu cukup ampuh. Buktinya, dia memilih membunuh diri dari pada tertawan,sedangkan keluarganya di dusun dapat menikmati hidup berkecupan dengan upah yang telah kami berikan kepadanya."

   Sang pangeran mengangguk-angguk dan wajahnya yang tadinya diliputi kegelisanan kini menjadi terang kembali, sikapnya menjadi tenang, lalu dia duduk berhadapan dengan dua orang kepercayaannya."Lalu, apa yang dapat kita lakukan selanjutnya?"

   "Harap paduka jangan tergesa-gesa. Kegagalan itu membuat Pangeran Mahkota menjadi waspada. Bahkan kabarnya para petugas di istana akan dipilih dengan seksama dan penjagaan diperketat. Tidak mungkinlah dalam waktu dekat ini menyelundupkan orang ke dalam istana. Kita harus nanti saat yang tepat dan kesempatan yang baik, pangeran."

   "Henm, engkau memang benar, Poa Kiu. Aku sebagai penasihat kaisar, tadi juga menasehati agar para petugas diganti dan dilakukan pemilihan yang cermat. Hal itu untuk menjauhkan diriku dari persangkaan. Akupun menasehatkan kepa da kaisar agar mayat kedua orang itu digantung di pintu gerbang agar semua rakyat melihatnya dan agar tidak ada yang berani lagi melakukan percobaan pembunuhan di istana. Akan tetapi, sampai kapan kita harus menanti kesempatan?"

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pangeran, usaha membunuh Pangeran Mahkota, untuk sementara ini harus ditangguhkan. Hal ini selain amat sukar, juga amat berbahaya bagi selamatan paduka sendiri. Kita harus mencari cara lain yang lebih halus."

   "Cara lain yang bagaimana?" tanya Pangeran Tua tak sabar.

   "Misalnya, dengan usaha agar Pangeran Mahkota mendapat nama buruk dan dikecam rakyat sebagai seorang pemuda yang tidak pantas kelak menggantikan ayahnya menjadi kaisar. Menonjolkan bahwa dia hanyalah keturunan darah Turki, dan kalau mungkin, kita usahakan agar Permaisuri bentrok dengan Pangeran Mahkota, atau setidaknya ada terjadi pertentangan di antara mereka......".

   Pangeran Tua mengangguk-angguk."Siasat ini baik sekali dan perlahan-lahan boleh kaucari jalannya untuk melaksanakannya. Akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak boleh tersangkut, karena aku adalah penasihat kaisar, bahkan kalau perlu, andaikata sampai terjadi kebocoran, aku tidak segan-segan untuk menasehatkan menghukum mereka yang mengacau di istana! Nah,engkau harus berhati-hati sekali, Poa Kiu. Jangan sampai rahasiamu terbongkar dan terpaksa aku harus menasehatkan kaisar agar menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu dan keluargamu!"

   Poa Kiu bergidik."Hamba mengerti, Pangeran. Yang pertama adalah keselamatan paduka tidak tersangkut, dan ke dua barulah berhasilnya siasat itu."

   "Bagus kalau engkau sudah mengerti. Engkau boleh bekerja sama dengan Siauw Can. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Siauw Can? Apakah kau memiliki siasat lain, kecuali yang sudah dikemukakan Poa Kiu?"

   "Hamba masih mempunyai satu harapan untuk melenyapkan Pangeran Mahkota, pangeran..."

   "Hushhhhh! Engkau akan memancing bahaya bagi kita? Tadi sudah dibicarakan bahwa untuk sementara waktu ini, tidak mungkin siasat itu dilaksanakan. Siapa yang akan mampu menembus benteng pertahanan para pengawal di istana?"

   "Hamba sendiri tidak dapat, akan tetapi ada orang yang dapat, pangeran."

   "Siapakah dia?"

   "Ia adalah adik misan hamba sendiri, Bi Lan."

   Sepasang mata yang cerdik dan licik dari Pangeran Tua Li Siu Ti nampak berseri. Seketika iapun dapat melihat kemungkinan itu.

   "Ah, engkau benar.! Setiap hari Bi Lan memasuki istana, tentu saja ia tidak dicurigai, apa lagi baru saja ia yang menyelamatkan nyawa Pangeran Mahkota. Akan tetapi apakah ia mau membantu?"

   Pangeran Tua mengerutkan alisnya, ragu-ragu karena dia sudah melihat sikap Bi Lan. Wanita itu keras hati dan agaknya sukar ditundukkan.

   "Kita harus bekerja dengan tenang dan hati-hati, pangeran. Memang adik misan hamba itu keras kepala dan keras hati. Akan tetapi hamba akan membujuknya perlahan-lahan agar ia mau membantu."

   Biarpun mulutnya berkata demikian, di dalam, hatinya Siauw Can yakin benar bahwa Bi Lan tidak mungkin mau kalau disuruh mencelakai Putera Mahkota, apa lagi membunuhnya. Kalau dia berani berjanji Kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, itu adalah karena dia hendak mempergunakan cara lain untuk memaksa Bi Lan suka bekerja sama.!

   Ada Poa Kiu yang dapat membantunya. Dengan kerja sama yang baik, tentu mereka berdua akan mampu menundukkan Bi Lan dan kalau wanita itu sudah mau bekerja sama, membinasakan pangeran Li Si Bin bukan merupakan hal yang mustahil lagi.

   "Terlalu! Sungguh keterlaluan sekali! Orang-orang Turki mencoreng muka kita dengan kotoran, mencemarkan kehormatan keluarga dan menghina kita dan paduka membiarkan begitu saja? Apakah Baducin dan anak buahnya yang biadab itu tidak akan mentertawakan paduka? Selir paduka di culik, diperkosa dan dibunuh, dan paduka hanya diam mengelus dada saja! Apakah karena permaisuri muda orang Turki, lalu paduka membiarkan saja keluarga kita diinjak-injak kehormatannya?"

   Permaisuri itu berkata dengan nada suara yang penasaran dan kesedihan, sambil menggunakan sapu tangan menghapus air mata yang jatuh berderai.!

   Kaisar Tang Kao Cu duduk dengan wajah muram, alisnya berkerut dan berulang kali dia menghela napas panjang."Tenanglah dan jangan menuruti perasaan saja. Bukankah Gala Sing,putera Raja Muda Baducin yang berdosa itu telah menerima hukumannya dan tewas?"

   "Apakah cukup dengan itu? Tentu orang-orang Turki itu akan berpendapat bahwa semua wanita dalam istana ini boleh saja diganggu dan dihina, kalau tertangkap mungkin dibunuh, akan tetapi kalau tidak? Mereka semua akan menertawakan keluarga istana!" kata pula sang permaisuri dengan marah.

   Kaisar Tang Kao Cu kehilangan kesabarannya dan memandang kepada permaisurinya dan bertanya kaku,"Habis, kalau menurut pendapatmu, kita harus berbuat apa terhadap mereka?"

   "Mereka adalah orang-orang biadab, orang-orang asing yang sepantasnya diusir semua dari negara kita. Perintahkan mereka pulang ke negara mereka sendiri dan jangan lagi memperbolehkan mereka berada di kota raja!"

   "Akan tetapi, hal itu tidak mungkin!. Engkau tahu bahwa Pangeran Mahkota Li Si Bin amat membutuhkan bantuan mereka untuk menundukkan para pemberontak yang masih mengacau di sana sini. Dan engkau tentu tahu pula bahwa merekalah yang membantu kita menggulingkan Kerajaan Sui. Li Si Bin sendiri yang minta kepada kami untuk lebih mementingtan urusan negara daripada urusan pribadi.Dan di antara kami dan Raja Muda Baducin telah berdamai, saling memaafkan."

   "Paduka telah dipengaruhi orang-orang Turki.! Aihh, nasib kami sungguh celaka, dapat dihina oleh orang-orang biadab tanpa kami dapat berdaya sama sekali."

   Permaisuri menangis. Kaisar Tang Kao Cu menjadi jengkel dan dia meninggalkan permaisurinya. Dia tahu bahwa permaisurinya itu bagaimanapun juga adalah seorang wanita yang tidak lepas dari pengaruh cenburu. Karena permaisuri tidak mempunyai putera, dan dia mengangkat ibu Li Si Bin, seorang wanita Turki, sebagai permaisuri muda, bahkan sebagai ibu kandung putera mahkota, maka tentu saja permaisuri merasa tersisihkan dan merasa diancam kedudukannya.

   Dia sendiri tadinya memang marah bukan main kepada Raja Muda Baducin, pemimpin orang-orang Turki karena selirnya diculik, diperkosa dan sampai membunuh diri, oleh putera Baducin. Akan tetapi, puteranya, Pangeran Li Si Bin membujuknya dan menyadarkannya. Dan biarpun dia seorang ayah, biar dia yang menjadi kaisar, namun dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat membantah puteranya itu. Puteranya yang menjadi panglima besar, puteranya yang berhasil memimpin pasukan menggulingkan kerajaan Sui, bahkan puteranya yang mengangkat dia menjadi kaisar.!

   Sejak percakapan itu terjadi, permaisuri mulai diracuni dendam kebencian terhadap Pangeran Mahkota Li Si Bin, anak tirinya yang dianggapnya keturunan bangsa biadab! Dan dengan sendirinya iapun menerima dengan hati terhibur ketika adik suaminya. Pangeran Li Siu Ti, mendekatinya.

   Pangeran Li Siu Ti adalah adik kaisar, dan karena keduanya sama-sama tidak suka kepada Pangeran Mahkota yang berdarah Turki itu tentu saja mereka merasa saling cocok dan hal ini memudahkan Pangeran Li Siu Ti untuk menyelundupkan seorang thai-kam baru sebagai pelayan di istana bagian puteri, tentu saja mereka dengan bantuan Permaisuri yang tidak tahu bahwa thai- kam baru yang diusulkan Pangeran Li Siu Ti itu bertugas sebagai mata-mata di dalam istana.!
(Lanjut ke Jilid 16)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
Bukan itu saja usaha yang dilakukan oleh Pangeran Li Siu Ti yang menugaskan Poa Kiu dan Siauw Can untuk mengatur segala macam siasat demi tercapainya tujuannya, yaitu merusak nama baik Pangeran Mahkota atau kalau mungkin membunuhnya,agar kelak mahkota dapat terjatuh ke tangan Pangeran Li Siu Ti.!

   Seperti juga keadaan hati akal pikiran setiap orang di dunia ini, juga Pangeran Li Siu Ti, Poa Kiu maupun Siauw Can, sama sekali tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak baik.

   Setiap manusia akan selalu membenarkan tindakan mereka, selama tindakan itu bertujuan baik bagi diri sendiri. Hati dan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu memen tingkan pamrih dalam setiap perbuatan, pamrih untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri, dan setiap kali hati nurani mencela dan menegur perbuatan itu, maka hati dan akal pikiran akan menjadi pembela yang gigih dan cerdik, selalu akan mencari alasan-alasan kuat untuk membenarkan tindakan mereka.

   Pangeran Li Siu Ti tidak pernah merasa bahwa perbuatannya itu didorong oleh iri dan keinginan untuk berkuasa, melainkan menganggap sebagai perbuatan yang baik karena dia menganggap bahwa Li Si Bin tidak pantas menjadi calon kaisar.

   Seorang berdarah Turki tidak patut menjadi kaisar dan dialah yang lebih berhak dan lebih pantas. Poa Kiu juga menganggap semua tindakannya benar karena hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu yang setia.

   Juga Siauw Can menganggap dirinya benar karena dia ingin memperoleh kedudukan yang baik dan wajarlah kalau dia membantu Pangeran Li Siu Ti yang dianggapnya akan dapat menariknya ke tingkat yang tinggi.

   Hanya ada sebuah hal yang selalu meresahkan hati Siauw Can, yaitu mengenal Kwa Bi Lan. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan. Kalau malam itu dia berusaha menggauli Bi Lan, bukan semata-mata karena ia tidak mampu mengendalikan nafsu berahinya.

   Sama sekali bukan. Dia mencinta Bi Lan dan ingin memperisteri wanita itu. Akan tetapi, kemudian setelah dia melihat Ai Yin, akal pikirannya bekerja dan dia melihat betapa cita-citanya akan dapat tercapai kalau dia dapat memperisteri Ai Yin! Dia akan menjadi mantu Pangeran Tua yang kelak mungkin akan menjadi kaisar! Dia ingin memperisteri Ai Yin karena ingin memperoleh kedudukan tinggi, berbeda dengan keinginannya memperisteri Bi Lan karena memang mencinta janda itu.

   Maka, diapun ingin menjadi suami Ai Yin akan tetapi tidak ingin kehilangan Bi Lan, dan dia berusaha menggauli janda itu karena sekali janda itu telah menyerahkan diri kepada nya, tentu takkan dapat terlepas lagi dan dia akan mengambil Bi Lan sebagai isteri ke dua! Akan tetapi, Bi Lan menolak, bahkan marah-marah dan sejak itu, sikap Bi Lan dingin terhadapnya. Ini yang amat meresahkan hati Siauw Can.

   Sekarang, sesuai dengan rencana yang diatur bersama Poa Kiu, bukan hanya cinta yang mendorong Siauw Can untuk memiliki Bi Lan, melainkan juga untuk dapat memperalat janda itu yang kini mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Li Si Bin dan setiap hari memasuki istana kaisar.

   Siauw Can mulai mendekati Bi Lan dan dengan wajah penuh penyesalan, dengan suara menggetar sedih dia membujuk Bi Lan pada suatu sore, ketika mendapatkan kesempatan bicara empat mata dengan janda muda itu.

   "Lan-moi, kenapa engkau masih nampak marah kepadaku? Sudah berkali-kali aku minta maaf kepadamu. Lan-moi, aku memang bersalah malam itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta padamu, aku rindu padamu dan malam itu aku tidak dapat menahan diri sehingga melakukan hal yang tidak sepatutnya kulakukan. Aku minta maaf, Lan-moi."

   Bi Lan menarik napas panjang. Sebetulnya, ia pernah tertarik kepada pemuda ini dan betapa akan mudahnya membalas cintanya. Akan tetapi, peristiwa malam itu sungguh telah menyapu bersih semua perasaannya terhadap Siauw Can! Biarpun demikian, ia tidak dapat merasa benci kepada pemuda ini, karena iapun dapat memakluminya sekarang. Ia teringat akan semua kebaikan Siauw Can, teringat betapa pemuda itulah yang mengajak nya ke kota raja sehingga kini ia mendapatkan pekerjaan yang baik dan terhormat.

   Semua penghuni istana kaisar bahkan menghormatinya karena ia telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Mahkota. Semua itu dapat terjadi karena Siauw Can yang mengajaknya ke kota raja. Kalau ia tidak bertemu dengan pemuda itu, entah bagaimana keadaannya sekarang.

   "Can-toako, aku sudah melupakan peristiwa itu. Aku memaafkanmu, akan tetapi kuminta mulai saat ini, engkau jangan lagi bicara tentang cinta padaku. Aku hanya akan menjadi muak dan teringat akan peristiwa itu lagi saja. Kita hanya sahabat, toako, dan untuk membalas semua kebaikanmu, aku berjanji tidak akan membuka rahasia dirimu kepada siapapun juga."

   Hanya itulah yang dapat dihasilkan Siauw Can biarpun dia sudah mencoba untuk bersikap manis, lembut, merendah bahkan merengek terhadap Bi Lan. Agaknya janda itu sudah menutup pintu hatinya terhadap cintanya! Sikap Bi Lan ini, selain mengecewakan hati Siauw Can karena cintanya ditolak, juga mem buat dia bingung. Dia harus dapat memperalat Bi Lan demi membuat jasa besar kepada Pangeran Tua. Diapun merundingkan hal ini dengan Poa Kiu, mengatur siasat.

   Siauw Can juga tak pernah lalai memperhatikan Ai Yin. Sejak semula dia sudah berusaha mendekati gadis bangsawan itu dan dia mengerahkan segala daya untuk menaklukkan hati gadis itu. Dia memang tampan, lincah dan pandai bicara. Apalagi karena dia mendapatkan kesempatan. Ai Yin bukan hanya belajar ilmu silat dari Bi Lan, akan tetapi juga seringkali meminta pe tunjuk darinya dan setiap kali Bi Lan pergi ke istana untuk melatih para dayang istana, Siauw Can selalu mempergunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk kepada Ai Yin.

   Dengan sendirinya, pergaulan mereka menjadi akrab dan gadis bangsawan yang kurang pengalaman itu, yang memiliki pembawaan manja dan genit, tentu saja mudah runtuh oleh seorang pria yang berpengalaman seperti Siauw Can. Pemuda ini bukan saja mempergunakan ketampanan dan kegagahannya untuk menarik perhatian, bahkan dia mempergunakan kekuatan sihirnya yang pernah dia pelajari dari mendiang ayahnya. Terhadap seorang yang memiliki tenaga sakti sekuat Bi Lan, kekuatan sihirnya itu tidak akan bermanfaat.

   Akan tetapi terhadap Ai Yin, guna-guna sihir yang dipergunakan Siauw Can tentu saja amat ampuh! Siauw Can bersikap hati-hati dan lembut, tidak mau mempergunakan kekerasan, tidak mau terseret oleh nafsunya sendiri yang bahkan mungkin dapat menggagalkan usahanya. Dia harus dapat memikat Ai Yin dan mendapatkan gadis itu sebagai isterinya secara terhormat, dapat diterima dengan baik oleh gadis itu dan keluarganya. Maka diapun berperan sebagai seorang pemuda yang sungguh jatuh cinta, yang sopan dan menghormati gadis yang dicintanya!

   Ketika dia pada suatu pagi, setelah memberi petunjuk ilmu silat kepada Ai Yin, melihat kesempatan baik, diapun mendekati Ai Yin yang duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Gadis itu tampak segar, kedua pipinya kemerahan, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah oleh keringat setelah tadi berlatih silat dan mengguna kan tenaga. Ia tersenyum, cerah dan menyusut keringat dengan saputangan sambil memandang kepada Siauw Can dengan wajah berseri.

   "Bagaimana pendapatmu, toako? Sudah majukah gerakanku?" Ai Yin memanggil pemuda itu toako (kakak) menirukan Bi Lan. Dia tidak senang kalau disebut taihiap (pendekar besar), maka Ai Yin menyebutnya toako yang menyenangkan kedua pihak.

   "Baik sekali, nona. Engkau memang berbakat, gerakanmu cukup cekatan, cukup kuat, cepat dan indah. Bahkan gerakanmu lebih indah dibandingkan gerakan Lan-moi."

   Ai Yin tertawa dan ketika mulutnya terbuka, nampak rongga mulut yang merah dan deretan gigi yang putih dan rapi.

   "Hi-hik. engkau memuji terlalu tinggi, toako. Mana mungkin gerakanku lebih indah dibandingkan gerakan enci Lan? Engkau merayu, ya?"

   Siauw Can tersenyum, akan tetapi lalu berkata dengan serius.

   "Sungguh mati, aku berani bersumpah, nona. Aku tidak merayu, dan bukan memuji kosong, hanya berkata sesungguhnya. Tentu saja engkau tidak dapat menyamai kelihaian Lan-moi, akan tetapi dalam keindahan gerakan, nona jauh lebih hebat. Kalau nona bermain silat, gerakanmu seperti seorang bidadari sedang menari, gerakan kaki tangan dan badanmu.........."

   Wanita mana di dunia ini yang hatinya tidak runtuh menghadapi pujian, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pria muda tampan? Bahkan andaikata ia tahu bahwa pujian itu hanya rayuan gombal sekalipun, hati wanita itu akan berkembang dan penuh rasa senang dan bangga.! Agaknya memang sudah pembawaan alam, berlaku untuk mahluk apapun juga, betina selalu suka sekali dipuji dan pria selalu suka sekali memuji.!

   Percaya atau tidak bahwa pujian Siauw Can itu benar, tetap saja hati Ai Yin menjadi senang bukan main dan tawanya lepas dan gembira.

   "Jangan bohong kau, Can-toako! Enci Lan seringkali menegurku, mengatakan bahwa yang membuat gerakanku kaku adalah badanku, ehh......pinggulku, katanya terlalu menonjol ke belakang!"

   Siauw Can membelalakkan matanya dan berkata dengan nada penuh penasaran,

   "Ah, Lan-moi terlalu kejam untuk mencelamu. Hem, menurut penglihatankku, justeru pinggulmu amat indah bentuknya dan membuat gerakanmu nampak serasi dan menawan!"

   Kembali Ai Yin tersenyum, akan tetapi sekali ini ia mengerling genit dan kedua pipinya agak kemerahan. Siauw Can yang sudah berpengalaman dapat melihat bahwa gadis itu sudah mulai terpikat. Dia mengenal batas dan tidak melanjutkan rayuannya karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Dia bersikap biasa kembali dan dengan sopan dia mulai pula memberi petunjuk- petunjuk sehingga gadis itu kehilangan rasa canggungnya.

   Akan tetapi diam-diam benih yang ditanam Siauw Can mulai tumbuh, dan sepasang mata yang manja itu mulai memandang Siauw Can bukan hanya karena kagum akan kepandaian nya, akan tetapi juga dengan perhatian yang lain, perhatian seorang gadis remaja yang mulai tertarik kepada seorang pria yang menyenangkan hatinya, yang pandai mengelus perasaan nya. Jerat mulai dipasang untuk menangkap kelinci muda yang belum berpengalaman itu, perangkap mulai dipasang terhadap burung yang baru belajar terbang.

   Sikap Siauw Can yang mulai berubah, rayuan-rayuan maut berupa pujian-pujian dengan suara lembut, pandang mata yang jelas membayangkan berahi, senyum-senyum penuh pikatan, membuat Ai Yin maklum bahwa pemuda yang selama ini dianggapnya sebagai seorang pendekar yang membantu ayahnya itu cinta kepadanya!

   Hal ini merupakan pengalaman baru bagi gadis bangsawan ini, membuat ia kadang suka melamun dalam kamarnya. Ia mulai gelisah dan akhirnya, pada suatu kesempatan ia berdua saja dengan Bi Lan, ia mengaku terus terang kepada pendekar wanita yang menjadi sahabat dan gurunya itu.!

   "Enci Bi Lan, aku ingin membicarakan sesuatu, akan tetapi engkau harus berjanji dulu padaku bahwa engkau akan merahasiakan semuanya ini dan juga bahwa engkau tidak akan merasa tersinggung.!"

   Bi Lan memandang gadis itu dengan sinar mata penuh selidik. Ia mengenal Ai Yin sebagai seorang dara remaja yang cantik, genit dan manja. Akan tetapi yang memiliki dasar watak yang baik, yang akrab pula dengan saudara sepupunya, yaitu Pangeran Mahkota Li Si Bin. Iapun merasa sayang kepada Ai Yin, sungguhpun ia tahu bahwa gadis itu sebagai murid tidaklah memuaskan karena tidak memiliki bakat ilmu silat.

   "Baik, nona, aku berjanji tidak akan merasa tersinggung dan akan merahasiakan apa yang akan kaubicarakan," jawabnya sambil tersenyum, merasa seperti menghadapi seorang anak-anak yang manja.

   Setelah bersangsi sebentar, dengan kedua pipi berubah merah, Ai Yin lalu bertata.

   "Enci Lan, kakak misanmu itu......"

   Diam-diam Bi Lan terkejut. Ada apa dengan Siauw Can? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan pemuda itu mengulang lagi perbuatannya seperti yang pernah dilakukan kepadanya pada malam itu, dan kini yang didekatinya adalah gadis bangsawan ini.

   "Can-toako? Kenapa dengan dia?" tanyanya cepat.

   Melihat Bi Lan terkejut. Ai Yin tersenyum dan menggeleng kepala."Tidak apa-apa. enci. Hanya dia.......dia agaknya jatuh cinta padaku.."

   Dara itu menundukkan mukanya dengan malu-malu dan Bi Lan terbelalak. Hemm, kiranya Siauw Can kini mengalihkan perhatian dan perasaannya kepada gadis bangsawan yang usianya baru tujuhbelas tahun ini.! Akan tetapi, agaknya Ai Yin juga dapat menerima perasaan pemuda itu. Kalau tidak demi kian, tentu akan berbeda sikapnya. Tentu dara itu akan marah-marah, tidak bersikap malu-malu seperti ini.

   Sikap malu-malu menghadapi pernyataan cinta seorang pria sama artinya dengan menyam but pernyataan itu dengan senang hati. Dara ini telah terpikat dan jatuh hati pula kepada Siauw Can! Akan tetapi, apa salahnya? Siauw Can adalah seorang pemuda yang baik. Tampan dan gagah, dan menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua, ayah gadis ini. Ia tidak melihat suatu cacat pada diri Siauw Can, kecuali peristiwa malam itu yang talah dapat ia maklumi.

   "Siocia (nona), dia tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya kepadamu, bukan?" Bi Lan memancing dan gadis itu cepat menggeleng kepala dan mengangkat muka memandangnya.

   "Tidak, dia amat baik kepadaku, enci."

   "Hemm, kalau begitu.......kenapa kauceritakan hal ini kepadaku?"

   Wajah Ai Yin menjadi semakin merah.

   "Bagaimana pendapatnu tentang pemuda yang menjadi kakak misanmu itu?"

   Bi Lan terharu. Sukar baginya membayangkan bagaimana akan rasanya andaikata pernyataan dan pertanyaan Ai Yin itu diajukan kepadanya sebelum terjadi peristiwa malam itu.! Ia sendiri tadinya menyukai Siauw Can. Akan tetapi sekarang, yang ada dalam hatinya hanya perasaan haru. Dara bangsawan itu demikian percaya kepadanya sehingga menanyakan urusan yang demikian pribadi kepadanya.

   Bi Lan menegang tangan Ai Yin dan dengan suara gemetar karena haru iapun berkata,

   "Nona, sepanjang yang kuketahui, Can-toako adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Bagiku dia cukup gagah dan baik. Tentu saja aku tidak mengenalnya lebih dalam karena kamipun baru bertemu beberapa bulan yang lalu. Nona, apakah.........engkau juga cinta padanya?"

   

Pedang Naga Hitam Eps 14 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 1 Si Bayangan Iblis Eps 12

Cari Blog Ini