Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 17


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 17




   "Lojin-ong tahukah Lojin-ong...siapakah kusir yang mengamuk itu?"

   "Tentu saja Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!" Toat-beng-jin menjawab cepat.

   "Eh, mengapa Lojin-ong dapat menerka begitu tepat?"

   "Haha... hal itu bukanlah suatu teka-teki yang sulit! Dan yang terang tidak perlu menggunakan Lin cui Sui-hoat segala. Haha... bukankah Tong-hiante hendak bercerita tentang Hong-gi-hiap Souw Thian Hai tadi? Nah, mengapa aku harus mencari jawaban yang lain...?"

   "Oh, iya! Lojin-ong benar juga." Kemudian kedua tokoh tinggi Im-yang-kauw itu terdiam dan tenggelam dalam arus pikiran masing masing.

   "Sudahlah! Kita tak usah bersusah-susah memikirkan orang lain. Pendekar sakti seperti Souw Thian Hai, apalagi sudah terkenal dengan julukannya Hong-gi-hiap (Pendekar Gila Yang Berbudi), tentulah seorang yang mempunyai watak yang aneh-aneh." Toat-beng-jin akhirnya berkata.

   "Tentu ada maksudnya mengapa ia sampai bergabung dengan para perampok seperti itu. Seperti juga Yang-hiante ceritakan tadi, setiap orang juga tidak tahu apa sebabnya ia menyamar sebagai kusir kereta...Tong-hiante, sekarang marilah kita lekas-lekas mengobati pemuda ini saja, nanti keburu dia siuman kembali!"

   "Ah, Lojin-ong benar...! Marilah!" Tong Ciak tergagap seperti orang yang baru saja diingatkan pada sesuatu yang sangat penting. Demikianlah, dengan hati-hati agar mereka berdua tidak terkena racun yang berada di dalam darah Yang Kun, kedua tokoh Im-yang-kauw itu berusaha mengobati luka si pemuda dengan Im-yang-kang mereka.

   Sementara itu, tanpa mereka ketahui di luar kuil telah terjadi pula suatu keributan yang mengakibatkan beberapa orang mereka menjadi kurban lagi. Telah diceritakan sebelumnya bahwa Tung-hai Nung-jin bersama keponakannya telah pergi meninggalkan kuil dengan menanggung kekalahan yang memalukan. Tokoh bajak laut yang semula amat yakin dengan kemenangannya karena selama ini ilmunya hampir tak pernah mendapatkan lawan yang berarti, ternyata dalam langkah pertamanya di daratan Tiongkok kali ini sudah membentur batu karang yang amat keras. Tokoh dari Lautan Timur itu melangkah lemas, diikuti oleh keponakannya yang cantik tapi berwatak ganas itu.

   "Kekalahan seperti itu saja mengapa mesti disesali!" tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari pinggir jalan. Tung-hai Nung-jin dan keponakannya cepat berbalik dengan tangan telah berada di atas tangkai senjata masing masing. Dengan tajam mereka memandang ke arah laki-laki muda berpakaian putih-putih dan laki-laki bertubuh besar berjenggot lebat yang berdiri tenang di bawah pohon siong tua di pinggir jalan. Mereka belum begitu jauh dari bangunan kuil.

   "Saudara berbicara dengan kami?" Tung-hai Nung-jin menggeram menahan marah. Agaknya pengalamannya tadi membuat tokoh ini bersikap lebih hati-hati sekarang.

   "Hmm, tidak keliru! Merasa tersinggung?" laki-laki yang berbaju putih menjawab seenaknya. Gila! Tokoh bajak laut yang garang itu kini benar-benar mengumpat di dalam hati. Jantungnya seolah-olah terbakar dengan mendadak! Biasanya dialah yang selalu bersikap demikian terhadap orang lain. Sungguh tidak ia sangka kekalahan yang dideritanya tadi seakan-akan menjadi titik tolak dari keruntuhannya, sehingga semua orang seperti meremehkan dirinya.

   "Kau memang bosan hidup!" teriaknya keras menyertai paculnya yang melayang ke depan ke arah muka lawan.

   "Pamannn..!" keponakannya berusaha mencegah, tapi mana mau orang yang sedang marah itu berhenti?

   "Hahaha... gadis cantik, jangan khawatir! Pamanmu yang sudah lemah ini tidak akan kubunuh, asalkan..." laki-laki berbaju putih yang tidak lain adalah Song-bun kwi Kwa Sun Tek itu tidak meneruskan kata-katanya.

   "Bangsat! Laki-laki ceriwis! kau ingin berlaku kurang ajar kepadaku?" gadis cantik itu melotot.

   "Jangan bermimpi! Kipas besiku ini akan mengirim nyawamu ke alam baka..."

   "Hahaha... Wan Lo-Cianpwe, lihatlah gadis ini! Sungguh cantik dan garang! Sayang kita sedang mengemban tugas dari Ongya, kalau tidak... wah, enak juga rasanya bermain main dengan nona yang begini cantik." Song-bun-kwi berseru sambil mengelak dari sambaran pacul.

   "Ah, Kwa-sicu ini sungguh suka sekali bergurau. Mana mau gadis demikian manisnya bergaul dengan orang tua seperti aku? Kalau aku sih lebih suka meminta potongan emas yang disimpan oleh pamannya itu, hehe..."

   "Tentu saja, Wan Lo-Cianpwe! Kita ke sini kan juga untuk benda tersebut." Pacul Tung-hai Nung-jin menyambar-nyambar bagai elang mencuri mangsa, meski begitu Song-bun kwi tampak masih enak-enakan. Laki-laki muda berbaju putih itu mengelak kesana kemari sambil mengobrol, seakan serangan lawannya yang bertubi-tubi itu tak berbahaya sama sekali baginya. Baru setelah mata pacul yang tajam itu menggores lengan bajunya hingga sobek, Song-bun-kwi terkejut.

   "Huh! Tak kusangka engkau mempunyai kepandaian juga barang sedikit. Tak heran tokoh Im-yang-kauw yang berbadan pendek tadi mengalami kesukaran untuk menundukkanmu." Song bun kwi menggeram pelan sambil mengamat amati lengan bajunya yang sobek.

   "Tetapi hati-hatilah... kini engkau berhadapan dengan orang Tai-bong-pai. Sekali saja engkau salah langkah, maka nyawalah taruhannya.,...!"

   "Cuh!" Tung-hai Nung-jin meludah, untuk menunjukkan kepada lawan bahwa dia juga tidak merasa gemetar atau takut sedikitpun. Baju luarnya yang longgar itu ia lepaskan perlahan-lahan.

   "Paman, kau baru saja terluka." gadis cantik itu sekali lagi menahan tangannya. "Biarlah keponakanmu saja yang menghadapinya...,"

   "Li Ing, kau minggirlah! kau lihat saja pamanmu...!" Melihat lawannya telah melepaskan bajunya, Song bun kwi tidak berani bermain-main pula.

   Tadi secara sembunyi sembunyi telah ia saksikan kepandaian orang itu ketika melawan tokoh Im-yang-kauw yang bernama Tong Ciak. Maka iapun segera melepaskan ikat pinggang yang melilit perutnya. Sebuah ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular yang ulet, di mana pada ujungnya dipajangi alat pengikat yang terbuat dari besi baja! Dan sesaat kemudian pagi yang indah itu telah diributkan pula dengan suara pertempuran mereka yang sangat seru. Masing-masing menampilkan kepandaian mereka yang hebat dan dahsyat.Seperti ketika melawan Tong Ciak Cu-si, Tung-hai Nung-jin mengayun paculnya dalam ilmu Ban-seng-kun yang luar biasa itu. Senjata panjang itu berkelebat cepat di udara dan bergerak gesit di segala tempat, sehingga dari jauh seperti bintang berekor yang beralih tempat dari sudut ke sudut langit.

   Sedang Song-bun-kwi Kwa Sun Tek juga bersilat dengan tidak kalah garangnya. Ikat pinggang kecil yang lemas itu dalam tangannya menjadi senjata pembunuh yang amat mengerikan. Alat pengikat yang terbuat dari besi baja itu tampak menyambar nyambar ganas disertai suara mengaung yang menggiriskan. Jangankan hanya manusia yang terdiri dari kulit dan daging, sedang batu karang yang keraspun hancur tersabet oleh ikat pinggang itu. Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya sehingga debu di sekitar mereka menjadi berhamburan, mengepul tinggi di udara, membuat kaget beberapa orang pengikut Im-yang-kauw yang mau pergi ke sungai untuk mencari air. Dengan tergesa-gesa empat orang Im-yang-kauw berlari ke tempat pertempuran. Masing-masing menyiapkan tongkat pemikul airnya, kalau-kalau diperlukan nanti.

   
"Hei! Hei! Berhenti! Jangan berkelahi di tempat suci ini...!" teriak mereka beramai-ramai. Tapi pertempuran itu mana mungkin dapat dihentikan lagi sebelum salah seorang dari mereka terkalahkan. Masing masing tentu tidak mau menarik diri dan menghentikan serangannya, karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang dirinya secara mudah.

   "Hahaha... sudahlah! Biarkanlah mereka bertempur sampai selesai!" orang yang dipanggil dengan nama Wan-Lo-Cianpwe itu tertawa.

   "Tapi tempat ini adalah tempat suci dan masih termasuk wilayah kuil kami..." salah seorang penganut Im-yang-kauw itu menerangkan.

   "Ah, kalian lebih baik melihat saja di sini bersama aku...! Jangan membuat jengkel kami!" Wan Lo-Cianpwe mengerutkan keningnya.

   "Kurang ajar! Kalian ini memang orang-orang liar yang tak tahu kesopanan!" kata pengikut Im-yang-kauw itu. Tongkat yang dipegangnya meluncur deras ke arah pertempuran, maksudnya untuk memisahkan kedua jago yang sedang berkelahi itu.

   "Hei! Telah kukatakan tadi, jangan ganggu mereka! Mengapa kalian tetap tidak mau mengindahkan perkataanku itu?" orang she Wan yang datang bersama dengan Song-bun-kwi itu berseru marah. Lengannya yang besar dan berbulu lebat itu memukul dengan tangan terbuka ke arah tongkat yang meluncur. Terdengar suara hembusan angin yang kuat, yang meluncur keluar dari telapak tangan yang terbuka itu. Dan di Iain saat terdengar suara letupan kecil yang mengakibatkan patahnya batang tongkat itu menjadi beberapa bagian.

   "Krek! Krakk!" Pelempar tongkat itu dan teman temannya melongo menyaksikan hebatnya pukulan lawan. Orang bertubuh besar itu hampir tidak menggerakkan kakinya dan jarak antara dia dengan tongkat itu masih terpaut sekitar sepuluh langkah, tapi hawa pukulannya ternyata sudah mampu mematahkan tongkat pemikul air. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu silat orang itu. Tetapi mengingat mereka masih berada di kandang sendiri, apalagi terdiri dari banyak orang, maka keempat orang Imyang kauw itu segera menghapus rasa ketakutan di hati mereka. Dengan garang salah seorang dari mereka melangkah maju.

   "Kurang ajar! Bagaimanapun hebatnya kepandaianmu, tapi sekarang kau sedang berada di wilayah kami. kau tidak dapat bertindak sesuka hatimu sendiri... Nah, sekarang hentikan pertempuran mereka! Kalau tidak kami akan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku di sini."

   "Hmmh!" orang she Wan itu menggeram semakin marah.

   "Orang bermata buta! Meski pun kini aku sedang berada di wilayah kalian, tetapi kalian juga harus tahu siapa pula aku ini..!"

   "Kami tidak peduli pada siapa pun...!"

   "Kalian sama sekali juga tidak peduli kalau aku dan kawanku itu orang Bing-kauw?" orang bertubuh besar itu mulai memasang aksi. Benar juga. Ucapan orang itu yang mengaku sebagai anggota Aliran Bing-kauw, benar-benar mengejutkan empat orang Im-yang-kauw tersebut.

   Peristiwa menyedihkan yang mengakibatkan matinya salah seorang dari kawan mereka pada hari kemarin masih sangat membekas di dalam hati mereka. Untung pada saat itu secara kebetulan Toat-beng-jin segera tiba di kuil mereka, sehingga luapan kemarahan mereka dapat segera dibendung oleh pemimpin mereka itu. Coba kalau tidak, mungkin mereka telah pergi meluruk ke pusat perkumpulan Aliran Bing-kauw dan mengamuk di sana. Kini secara tiba-tiba ada orang yang bersikap sombong yang mengaku sebagai anggota Aliran Bing-kauw di depan mereka, maka dari itu tidak heran kalau kemarahan mereka tiba-tiba saja juga meledak tanpa dapat dikendalikan lagi. Hampir berbareng keempat orang tersebut melesat menerkam ke arah laki-laki yang mengaku sebagai orang Bing-kauw tersebut.

   "Bangsat! Kemarin kawanmu sudah berani membunuh pimpinan kuil kami, sekarang kalian masih berani berkeliaran di sini...Lihat serangan!"

   "Hahahe... kerucuk-kerucuk (orang dari tingkat rendahan) macam kalian ini masih juga berani berlagak di depanku..." Sungguh mengagumkan sekali gerakan orang yang bertubuh besar itu. Demikian berat badannya tapi gerakannya ternyata gesit sekali. Sekali menjejakkan kaki tubuh yang sebesar gajah itu melesat ke atas, melampaui kepala lawanlawannya, lalu dengan enteng serta tidak mengeluarkan suara kakinya mendarat di belakang para penyerangnya. Kemudian dari tempat itu ia membalas serangan lawan dengan jari jarinya yang terbuka seperti tadi.

   "Wuuuuuuus..." Keempat orang Im-yang-kauw terkejut setengah mati, mereka tidak mengira kalau gerakan lawan begitu enteng dan gesit. Oleh karena itu mereka menjadi kelabakan begitu musuh telah berada di-belakang mereka dan kini justru sudah mengirim pukulan jarinya yang menggiriskan itu. Dan kelalaian mereka ini sungguh mencelakakan diri mereka. Tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk mengelakkannya. Orang itu hanya berjarak kurang lima langkah dari tempat mereka berdiri, sedang batang tongkat yang berjarak sepuluh langkahpun telah hancur dilanda pukulan orang itu. Satu-satunya jalan hanya mengerahkan tenaga sakti mereka masing-masing untuk bertahan.

   "Hah! Sss" ouughhh..!" Jari jari orang she Wan itu tidak sampai menyentuh punggung lawannya, tapi keempat orang lm-yang-kauw itu merasa seperti disodok oleh benda tumpul yang amat keras, sehingga pemusatan tenaga mereka menjadi buyar dan tersungkur ke depan tak berdaya. Blukk!! Tak ampun lagi mereka berempat terjerembab ke atas tanah dan tak bisa bangun kembali. Dari mata, telinga, hidung dan mulut mereka mengeluarkan darah. Hanya seorang saja yang agaknya masih diberi kesempatan untuk hidup oleh orang yang mengaku datang dari Bing-kauw tersebut.

   "Ohh... kau... kau be-berani membunuh ka-kami...?" orang yang masih bernapas itu merintih.

   "Hahaha... mengapa tidak berani? Tak seorangpun yang kami takuti di dunia ini, apalagi seperti kalian...! Bukankah kedua orangku kemarin telah datang pula ke tempat ini untuk mengobrak-abrik kuilmu? Haha, kini kau pun masih kuberi kesempatan untuk melaporkan kejadian ini. Nah, pergilah!"

   "B-baik-lah...! kau...kau jangan pergi dahulu! Kebetulan Lo...Lojin-ong... a-ada di...sini, ka-kalian akan t-tahu rasa... nanti! Ough...!?!" dengan lemah orang itu merangkak pulang ke kuilnya.

   "Hahahaha... kau laporkan kepada setan manapun aku tidak peduli. Kepada Lojin-ong atau kepada Siauw jin ong. terserah... ha-ha"!" orang she Wan itu tertawa gelak gelak. Sementara itu pertempuran antara Tung-hai Nung-jin dengan Song-bun-kwi sudah mencapai titik puncaknya.

   Kedua tokoh silat berkepandaian tinggi itu telah mengeluarkan segala macam ilmu silat andalan mereka. Masing masing telah mengeluarkan semua kemampuannya, karena masing-masing juga tahu bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini benar benar bukan lawan sembarangan. Sayang karena Tung-hai Nung-jin sudah mengalami luka terlebih dahulu, maka lambat laun tenaganya mulai terganggu. Pada setiap benturan tenaga yang terjadi, rasanya luka yang dideritanya tampak semakin bertambah parah. Keadaan itu dilihat pula oleh Tiauw Li Ing, keponakan Tung-hai Nung-jin yang berwajah molek tapi berwatak sadis itu. Dengan cepat gadis itu menyembuyikan sepasang kipas besinya di balik ujung lengan bajunya yang lebar, lalu perlahan-lahan ia melangkah mendekati pertempuran.

   "Dukkk!" Kedua buah lengan mereka kembali saling beradu di udara, dan sekali ini Tung-hai Nung-jin tampak terhuyung-huyung mau jatuh. Wajahnya kelihatan pucat sekali. Dan meskipun keringat maut yang keluar dari tubuhnya masih saja mengalir dengan derasnya, tapi warna keringat itu telah berubah menjadi kemerahan.

   "Phang-susiok (paman Phang)...!" Li lng berlari mendekati.

   "Gila! Setan! Ilmu orang ini benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Perguruan Tai bong pai memang hebat! Sayang aku sudah terluka lebih dahulu, kalau tidak... huh jangan harap Pukulan Pengisap Darahnya dapat melukai diriku!" katanya sambil melepaskan tangan Tiauw Li Ing yang memegang lengannya.

   "Li Ing, kau minggirlah!"

   "Paman, lukamu..."

   "Ha-ha ha ha..., asal kalian berikan potongan emas itu kepada kami, kami akan mengampuni nyawamu," sekali lagi orang she Wan itu tertawa gelak-gelak.

   "Bangsat busuk majulah kalian berbareng, Tung-hai Nung-jin tidak akan mundur selangkahpun! Dan... dengarlah, aku tidak akan menyerahkan benda itu kepada kalian! Cuh!!" Tung-hai Nung-jin tak mau kalah teriak. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi paculnya menyambar ke depan dengan dahsyatnya. Tapi Song-bun kwi juga telah bersiap-siap sejak tadi. Maka begitu terlihat olehnya tangkai pacul itu bergerak ke arahnya, iapun segera melejit ke samping dengan gesitnya.

   Dan sebelum lawannya menyusuli lagi serangannya, putera ketua Tai-bong-pai itu telah mengubah cara bersilatnya. Kalau semula tokoh Tai-bong pai itu bersilat dengan gerakan-gerakan yang kuat dan mantap, kali ini gerakannya berubah menjadi sebaliknya. Tubuhnya yang berdiri tegak itu bergerak kaku seperti boneka wayang di atas panggung, kadang-kadang malah bergoyang-goyang seperti mau jatuh terjerembab ke atas tanah. Ilmu silat Tung-hai Nung-jin sendiri adalah ilmu silat yang aneh dan mengerikan, tapi melihat ilmu silat Song-bun kwi tokoh bajak laut itu tetap saja merasa seram di dalam hatinya. Dengan dahi berkerut jago dari Lautan Timur itu mengamat-amati ilmu silat Song-bun kwi tanpa berkedip

   "Hiiiiii..." Tiba-tiba tubuh yang bergerak kaku itu meluncur ke arah Tung-hai Nung-jin dengan kepala terlebih dahulu. Tentu saja gerakan yang mendadak ini benar-benar sangat mengejutkan tokoh bajak laut tersebut. Apalagi serangan dengan kepala seperti itu benar-benar amat aneh dan baru kali ini dilihatnya. Selain terasa aneh rasanya juga membingungkan pula! Tapi Jago silat dari Lautan Timur itu tak mempunyai banyak waktu untuk menduga-duga maksud gerakan lawan, karena sekejap kemudian serangan itu telah berada di depan matanya. Otomatis pacuI yang telah siap di atas kepala itu diayun ke depan untuk menghantam kepala yang meluncur datang.

   "Wuut!" pacul itu membelah udara dengan derasnya.

   "Duukk!" pacul tersebut menghantam dengan kuat sekali! Tetapi bukan kepala lawan yang terkena mata pacul, melainkan tanah yang berada di depan Tung-hai Nung-jin sendiri.

   "Gila!" Tung-hai Nung-jin mengumpat. Matanya nyalang mencari kepala lawan yang lenyap secara mendadak.

   "Hi-hi-hi... jangan bingung! Aku ada di sini!" tiba-tiba terdengar suara Song-bun-kwi di belakangnya. Tanpa menoleh lagi Tung-hai Nung-jin menyabetkan paculnya ke belakang. Tapi sekali lagi pacul itu menemui tempat kosong, karena lawannya dengan sigap telah menjatuhkan diri dengan terlentang di atas tanah seperti sesosok mayat yang terkapar di pekuburan! Sekali lagi Tung-hai Nung-jin terperanjat menyaksikan keanehan dan kehebatan ilmu lawan. Kembali paculnya menghantam ke arah tubuh yang tergeletak kaku tersebut.

   "Dukk!" Tubuh itu menggelinding ke kanan dengan cepat sehingga sekali lagi pacul itu menghantam tanah. Debu berhamburan menggelapkan udara di sekitar tempat itu. Dan di lain saat, sebelum asap debu itu lenyap disapu angin, tiba-tiba terdengar suara teriakan Tung-hai Nung-jin yang menyayat hati.

   "Aaaaaaaa...!"

   "Phang-susiok...!" Tiauw Li Ing melesat ke depan menyongsong tubuh pamannya.

   "Li Ing... lu-lukaku b-benar parah sekarang... sayang benda itu terpaksa harus kita... kita be...berikan"" Tung-hai Nung-jin menatap keponakannya dengan terengah engah. Tangannya merogoh dan mengeluarkan potongan emas dari saku celananya.

   "Nih! kau... kau be...berikan kepadanya...!"

   "Tidak! Biarlah aku yang menghadapinya sekarang!" gadis itu berkata tegas. Perlahan-lahan kepala pamannya ia letakkan di atas rumput. Tapi Tung-hai Nung-jin lekas-lekas menyambar lengan gadis itu.

   "Li Ing, kau jangan terlalu sembrono! Dia bukan lawanmu, apalagi dia masih ada kawannya. biarlah kita mengalah saja hari ini. Lain kali kita datang lagi dengan ayahmu beserta seluruh kekuatan kita... heh heh..."

   "Tapi..." gadis itu masih penasaran.

   "Sudahlah! Be-berikanlah saja benda ini...!"

   "Hahaha... bagus, pamanmu itu memang benar. Mari, berikan benda itu kepada kami! Dan..., kami akan menepati janji, kalian boleh pergi dengan bebas!" Song-bun kwi yang hamper tidak pernah tertawa itu ikut membujuk. Gadis itu berdiri termangu mangu sambil memegang potongan emas itu erat-erat. Barulah sesaat kemudian kepalanya yang molek itu mengangguk.

   "Baiklah! Kuberikan benda ini kepadamu... Tapi ingat! Sebulan lagi kami akan mencari kalian untuk mengambilnya kembali!" Dengan sebat gadis itu melemparkan potongan emas tersebut ke batu karang yang berada di depannya.

   "Kraash!" Potongan emas yang lunak itu menancap ke batu karang dengan kuatnya.

   "Ambillah...!" geramnya.

   "Wan Lo-Cianpwe, kita harus cepat cepat meninggalkan tempat ini pula. Jangan sampai siasat yang kita lakukan ini keburu ketahuan orang-orang Im-yang-kauw." Song bun kwi mengajak kawannya, setelah kedua korbannya tadi lenyap dari pandangan mereka. Dengan tangkas tubuhnya yang kurus itu melesat menghampiri batu karang. Lalu mencabut potongan emas yang tertancap di sana dengan dua buah jarinya saja.

   "Hahaha" Ongya kita benar-benar beruntung. tanpa diduga telah memperoleh dua buah potongan emas yang berisi peta tempat penyimpanan harta karun. Agaknya perjuangan kita kali ini memang benar-benar akan berhasil!"

   "Tentu saja, Kwe-hiante! Hahaha... marilah kita segera pergi dari sini! Sebentar lagi para penghuni kuil itu tentu akan berdatangan kemari, dan pemuda bekas majikanku itu bisa menggagalkan rencana kita kalau dia melihat serta mengenalku nanti."

   "Ah, dia tentu berbaring saja di tempat tidurnya. Bukankah ia telah terluka parah oleh pukulan Tung-hai Nung-jin tadi? Nah, sudahlah... marilah ouugh, aduuhh...!" tiba-tiba Song-bun-kwi berteriak tinggi sambil membanting potongan emas yang dipegangnya.

   "Kwa-sicu, ada apakah...?" kawannya tersentak kaget.

   "Setan busuk iblis kuntianak...!" Song-bun-kwi mengumpat-umpat dengan kasar sekali. Tangannya dengan cekatan mengambil pisau, lalu memotong kedua buah jarinya yang tadi memegang potongan emas itu. Dengan mata melotot orang she Wan itu melihat potongan jari kawannya yang jatuh di atas tanah. Potongan jari tersebut warnanya sudah berubah menjadi kebiru-biruan, sedang tulang yang berada di dalamnya sudah remuk bagai tepung.

   "Gila! Racun apa pula itu?" katanya serak.

   "Wan Lo-Cianpwe. lihat...! Hampir saja tulang-tulangku remuk menjadi tepung kalau aku tidak cepat cepat memotong jari tanganku! Sungguh ganas sekali gadis itu!" Song-bun-kwi menggerutu sambil membalut lukanya. Beberapa kali ia mengamati-amati jari tangan kanannya yang kini tinggal tiga buah jari saja.

   "Sudahlah, Kwa-sicu... kau tak usah terlalu menyesali jari tanganmu itu. Anggap saja sebagai pengorbanan terhadap perjuangan kita. Lihat! Jari-jari tangankupun sudah tidak utuh pula lagi! Semuanya kukorbankan demi suksesnya sandiwara yang diperintahkan oleh ongya kita, yaitu untuk memancing pengakuan dari mulut Chin Yang Kun tentang Cap Kerajaan itu. Ah... Kwa-sicu, engkau tentu belum melupakan peristiwa yang terjadi di gedung Si Ciangkun setahun yang lalu, bukan? Yaitu ketika pertemuan kita itu diketahui oleh pasukan pemerintah, sehingga kita lalu dikepung oleh Yap Tai-Ciangkun?"

   "Wan Lo-Cianpwe memang benar...! Marilah kita segera meninggalkan tempat ini!" Song-bun-kwi mengiyakan. Lalu dengan saputangan diambilnya potongan emas yang ia banting tadi. Dan sekejap kemudian mereka telah lenyap diantara rimbunnya pepohonan yang tumbuh di lereng bukit tersebut. Sementara itu kedatangan orang Im-yang-kauw yang terluka parah itu sungguh-sungguh sangat mengagetkan semua penghuni kuil lainnya. Orang-orang yang kebetulan berada di pendapa segera berlarian menolong dan mengangkatnya masuk. Beberapa orang diantara mereka segera berlari ke dalam, melaporkan hal itu kepada Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si.

   Kedua tokoh Im-yang-kauw yang baru saja selesai mengobati Chin Yang Kun itu bergegas pula mengikuti anak buahnya, setelah lebih dahulu menyuruh salah seorang untuk menunggu Yang Kun. Dengan berlari lari kecil mereka melintasi halaman tengah lalu meloncat ke pendapa di mana orang yang terluka parah itu dibaringkan. Salah seorang yang berada di tempat itu segera memberi laporan, bagaimana mereka melihat dan menolong kawan mereka yang terluka itu serta membawanya ke pendapa. Sayang karena lukanya amat parah, sampai kini orang itu belum bisa memberi keterangan apa apa. Sambil mengangguk-angguk Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si memeriksa luka yang diderita oleh anak buahnya tersebut. Begitu selesai keduanya tampak saling memandang dengan dahi berkerut.

   "Lagi lagi korban pukulan tenaga sakti yang ampuh..." Tong Ciak Cu-si bergumam.

   "Benar... semacam Pek-khong ciang (Pukulan Udara Kosong)," Toat-beng-jin mengangguk. "Hanya entah... tokoh sakti mana yang telah berbuat ini?" Maka begitu orang itu dapat membuka kembali matanya dan dapat diajak berbicara kembali, Toat-beng-jin bergegas menanyakan seluruh persoalannya. Dan meskipun dengan tersendat-sendat orang itu akhirnya bisa juga menceriterakan semua kejadian yang telah ia alami bersama ketiga kawannya.

   "Kurang ajar! Biarlah aku yang pergi ke sana untuk melabrak mereka!" tiba-tiba Tong Ciak melesat keluar pendapa dan berlari menuruni bukit.

   "Tong-hiante. tunggu...!" Toat-beng-jin melesat keluar pula. "...Kita berangkat ke tempat itu bersama-sama...!" Bagaikan sepasang burung walet yang sedang mandi cahaya matahari pagi, kedua jago Im-yang-kauw tingkat atas itu berkejaran, menuruni lereng dan jurang yang curam dengan ginkang mereka yang hebat. Mereka sengaja mengambil jalan memintas sekalipun daerah yang mereka lalui sangat terjal dan berbahaya. Tapi tempat itu telah sepi. Tak seorangpun yang tampak di sana selain ketiga sosok mayat dari anak buah mereka yang mati itu. Mereka memang melihat bekas-bekas dari pertempuran tersebut, tapi orangnya sudah tidak tampak lagi di sana.

   "Iblis pengecut!" Tong Ciak Cu-si memaki dengan hati kesal.

   "Tong-hiante... sudahlah! Mari kita urus mayat-mayat kawan kita ini dahulu!"

   "Sebentar, Lojin-ong...! Belum puas rasanya kalau belum menemukan orang itu!" Tong Ciak menyahut penasaran, lalu tubuhnya yang pendek itu melesat lagi ke depan dan menghilang di balik rimbunnya daun. Toat-beng-jin hanya mengawasi saja kepergian kawannya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tong Ciak Cu-si ini memang bersemangat sekali! Agaknya dia benar-benar merasa penasaran dan marah..." Sambil menyeret dan mengumpulkan mayat-mayat itu, Toat-beng-jin mengamat-amati bekas-bekas pertempuran di sekitarnya. Tampak oleh orang tua itu bekas-bekas sepatu yang melesak dalam ke dalam tanah, suatu tanda bahwa lweekang dari orang orang yang bertempur tadi sangatlah tingginya. Selain itu tampak beberapa bongkah batu karang yang pecah atau terbelah akibat gempuran senjata. Begitu pula semak-semak dan tanaman yang tumbuh di tempat itu, semuanya rusak, seperti baru saja dilanda angin topan yang maha dahsyat.

   "Huh, kurang ajar benar!" terdengar suara umpatan. Dan sesaat kemudian bayangan Tong Ciak Cu-si telah berkelebat tiba.

   "Ketemu?" Toat-beng-jin menyapa. Tong Ciak mengepalkan tinjunya kuat kuat, sehingga buku buku tangannya mengeluarkan suara gemeretak.

   "Tidak! Pengecut-pengecut itu telah melarikan diri,..!" ia menggeram dan menggeleng keras keras.

   "Lojin-ong, menurut pendapat Lojin-ong...apakah mereka sungguh-sungguh orang Bing-kauw?" Toat-beng-jin berdiri tegak. Matanya yang hampir tertutup oleh alis yang berjurai panjang keputihan itu, menatap ke puncak bukit dengan pandang mata kosong. Lalu dengan diikuti oleh tarikan napasnya yang berat orang tua itu menjawab pelan.

   "Entahlah! Aku tidak bisa menerkanya... Hanya dalam hati aku merasa bahwa kita harus berhati-hati dan tidak boleh gegabah dalam mengurus persoalan ini."

   "Lalu... bagaimana kita akan menyelesaikan persoalan yang semakin meruncing ini? Belum juga orang kita yang terbunuh kemarin dimakamkan, sekarang orang... Bing-kauw telah membunuh lagi." Toat-beng-jin kelihatan resah juga hatinya. Beberapa kali ia mengusap-usap jenggotnya yang panjang.

   "Menurut penuturan orang kita yang terluka parah itu, lawan dari Tung-hai Nung-jin adalah seorang yang bertubuh kurus dan berpakaian putih-putih. Sedangkan orang yang melukai dia dan membunuh kawan-kawannya adalah seorang laki-laki tinggi besar berbulu lebat pada lengan dan dadanya. Hmmm... Tong-hiante, pernahkah engkau mendengar atau melihat tokoh Bing-kauw yang berperawakan seperti itu?" Tong Ciak mengerutkan dahinya untuk mengingat-ingat, tapi rasa-rasanya ia memang belum pernah melihat tokoh Bing-kauw yang mempunyai ciri badan seperti itu.

   "Aku belum pernah berkenalan dengan tokoh tokoh Bing-kauw sampai sekarang," jawabnya pelan. "...Meskipun begitu selama ini rasanya aku belum pernah mendengar seorang tokoh Bing-kauw yang mempunyai ciri demikian. Tapi...?"

   "Tapi... apa, Tong-hiante?"

   "Tapi siapa tahu orang itu baru saja masuk menjadi anggota Aliran Bing-kauw dan menjadi tokoh baru di sana?" Toat-beng-jin membanting pandangannya ke tanah. Dengan lesu ia mengangguk-angguk.

   "Mungkin juga! Orang aneh seperti Put ceng li Lojin memang sukar diduga maksud dan perbuatannya. Apalagi ia seorang tokoh yang tidak pernah mengindahkan segala peraturan umum..."

   "Memang benar." Tong Ciak mengangguk pula membenarkan. "Orang tua itu memang selalu melakukan perbuatan yang berlawanan dengan adat-istiadat umum... Berita terakhir yang aku dengar, kakek yang sudah mau masuk ke liang kubur itu kini kawin lagi dengan seorang gadis remaja dan mempunyai seorang anak." Toat-beng-jin tersenyum geli, sehingga matanya yang sipit itu semakin hilang tersembunyi dalam kerumunan bulu mata dan alisnya yang lebat.

   "Kalau aku tak salah umur Put-ceng li Lojin itu sembabat dengan umurku... Tapi kemauan manusia memang tidak sama satu sama lain dan umur bukanlah merupakan ukurannya...!" orang tua itu memberi komentar.

   "Lojin-ong...! Tong Ciak Cu-si...!" dari jauh tiba-tiba terdengar suara anak buah mereka yang ikut pula mengejar ke tempat itu.

   "Oh, mereka telah datang! Sungguh kebetulan, biarlah mereka membawa mayat-mayat ini ke kuil..." Toat-beng-jin berdesah lega. Kemudian mereka berdua segera meninggalkan tempat itu, setelah lebih dahulu menyongsong kedatangan orang-orang tersebut.

   "Kami tidak mendapatkan lagi pembunuh-pembunuh itu di tempat ini. Mereka telah pergi melarikan diri. Kami hanya menemukan mayat-mayat kawan kita... Nah, bawalah pulang mayat-mayat itu! Kami akan berangkat lebih dahulu." Demikianlah, Toat-beng-jin dan Tong Ciak merundingkan persoalan yang menimpa perkumpulan agama mereka bersama-sama. Apa yang harus mereka lakukan dan mereka tempuh sehubungan dengan musibah yang menimpa kuil cabang mereka di Bukit Delapan Dewa tersebut!

   "Tong-hiante! Baiklah, semuanya ternyata masih sangat gelap bagi kita. Oleh karena itu kita lebih baik pulang ke Gedung Pusat terlebih dahulu dan mengadakan musyawarah dengan Tai-si-ong dan para Penasehat Agama yang lain..."

   Tokoh bertubuh pendek itu tampak kecewa bukan main. Sebenarnya ia bermaksud untuk secara langsung menemui Put-ceng-li Lojin dan menanyakan tentang persoalan itu kepadanya. Tapi karena Toat-beng-jin telah memutuskan demikian, ia sebagai orang yang mempunyai kedudukan lebih rendah terpaksa harus menurut. Dalam Aliran Im-yang-kauw, jabatan Lojin-ong (Ketua Agama Yang Sangat Dihormati) yang kini diduduki oleh Toat-beng-jin, adalah jabatan yang paling tinggi dan paling disegani oleh semua pengikutnya. Sebab dengan kedudukan itu Toat-beng-jin berhak menghukum siapa saja dari para anggota Im-yang-kauw yang dirasakan bersalah. Itulah sebabnya mengapa di dunia persilatan Toat-beng-jin dikenali sebagai Algojo dari Aliran im-yang-kauw!

   "Lalu bagaimana dengan sepasang remaja yang sedang kita rawat lukanya itu?" akhirnya tokoh yang bertubuh pendek itu bertanya kepada Toatbeng jin.

   "Yaaahh... oleh karena kita belum selesai secara menyeluruh dalam mengobati mereka, kita terpaksa harus membawanya pula... Bagaimana pendapat Tong-hiante?"

   "Ah, saya sih hanya menurut perintah Lojin-ong saja.,."

   "Baiklah kalau begitu. Hari ini dan malam nanti kita beristirahat! Besok pagi kita pulang kembali ke Gedung Pusat!" Toat-beng-jin berkata tegas.

   '"Dan... mayat-mayat anggota kita itu?"

   "Kita pasrahkan saja kepada mereka sendiri untuk mengurusnya." Mereka berdua lalu pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Mereka bersila dan bersemadi untuk memulihkan kekuatan mereka, agar tenaga mereka menjadi segar kembali. Ketika matahari telah terbenam dan bulan yang penuh itu menggantikannya di angkasa. Yang Kun merasa bahwa lukanya telah menjadi ringan. Perlahan-lahan pemuda itu turun dari pembaringannya. Dibukanya jendela kamarnya, sehingga sinar bulan yang terang benderang itu menyegarkan isi kamarnya dan melapangkan seluruh urat-urat di dadanya.

   "Uuuuuhhh... betapa segarnya! Agaknya lukaku sudah menjadi baik kembali!" desaknya lega. Ketika pemuda itu membuka pintu dan bermaksud keluar, seorang penjaga yang berdiri tak jauh dari kamarnya segera menghampiri.

   "Saudara Yang. Tong Ciak Cu-si berpesan bahwa kau belum boleh pergi ke mana-mana, sebab luka itu masih harus diobati dua tiga kali lagi..." katanya halus.

   "Hah, sekarang kau tidak memanggilku dengan Lojin-ong lagi!" pemuda itu berkata di dalam hati. Oleh karena itu ia menjawab dengan tersenyum pula.

   "Jangan khawatir! Aku tidak akan pergi terlalu jauh dari kamarku. Aku hanya ingin menikmati indahnya sinar bulan yang cemerlang ini... Emm, boleh bukan?" Penjaga itu ikut tersenyum pula,

   "Ah... kelihatannya Yang-sicu ini suka benar pada bulan purnama. Kemarin malam..."

   "Hmmm, tentu saja aku menyukai bulan, karena aku dilahirkan persis pada saat bulan sedang bersinar dengan cemerlang." Yang Kun memotong. Lalu, "...Dan sejak zaman purba, sinar bulan yang gilang gemilang itu selalu membuat cerita-cerita indah, yang sukar dilupakan... eh, benar... mengapa ketika aku selesai meniup suling kemarin, semua penghuni kuil ini berlutut kepadaku?" tiba-tiba pemuda itu membelokkan percakapan itu. Orang itu tampak berdesah perlahan. Mukanya yang bersih dan belum terlalu tua itu tengadah ke arah bulan, seakan ingin turut pula menikmati semua keindahan yang dikatakan oleh pemuda yang berada di hadapannya.

   "Yang-sicu, kata para leluhur kami, orang terakhir yang bisa menyanyikan lagu itu adalah Kim-mou Sai-ong Sucouw, yang patungnya telah kau lihat kemarin itu. Maka tak heran kalau kami semua berlutut kepadamu ketika engkau dapat menyanyikan lagu itu pula. Seakan-akan engkau memang telah dikirim oleh Sucouw kepada kami untuk mengajarkan nada lagu tersebut."

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eh... bukankah Tong Ciak Cu-si kalian itu masih cucu murid dari Kim mou Sai-ong? Apakah beliau juga tidak bisa menyanyikan lagu tersebut?"

   Jilid 13
"Tidak!" penjaga itu menggeleng keras-keras. "Kim mou Sai-ong Sucouw telah berbuat suatu kesalahan yang menyebabkan beliau diusir oleh gurunya dari kuil Im-yang-kauw. Dan untuk seterusnya Kim mou Sai ong Sucouw tidak boleh mempergunakan atau menurunkan ilmu yang didapatkan dari kuiI kami. Nah, karena Kim-mou Sai ong Sucouw baru menerima murid setelah keluar dari Im yang kauw maka tak seorangpun muridnya yang mendapatkan iImu yang beliau dapatkan dari kuil kami."

   "Oh, begitu!"

   "Benar! Maka betapa heran dan kagetnya kami ketika Yang sicu dapat... eh Yang sicu, dari mana engkau bisa menyanyikan lagu tersebut? Maksudku, siapakah yang mengajarkannya kepadamu?" tiba-tiba orang itu menangkap lengan Yang Kun serta mengguncangnya dengan keras. Baru setelah pemuda itu meringis, orang itu menjadi sadar bahwa Yang Kun masih sakit dan telah mengguncangnya terlalu keras.

   "Oh, maaf!" katanya meminta maaf.

   "Apanya yang aneh sehingga semua orang menjadi kaget ketika aku menyanyikan lagu tersebut? Bukankah itu hanya lagu biasa, maksudku lagu yang biasa dinyanyikan oleh para gembala dan para penduduk kampung yang jauh dari kota? Nenekku mengatakan demikian ketika mengajarkannya kepadaku..." akhirnya Yang Kun berkata.

   "Nenekmu?... Ma-maaf, Yang sicu, si-siapakah nenekmu itu...?" orang itu menjadi tegang hatinya, sehingga kini berganti Yang Kun yang melongo keheranan melihat kegugupan penjaga tersebut. Beberapa saat lamanya pemuda itu justru berdiam diri saja. Pikirannya kembali melayang kepada nenek buyutnya yang telah mati, Lambat laun perasaannya merasakan keanehan itu pula. Mengapa neneknya dapat pula menyanyikan lagu tersebut? Adakah neneknya itu kenal pada Kim mou Sai-ong? Tiba-tiba teringat oleh pemuda itu akan pesan yang diberikan oleh nenek buyutnya sebelum meninggal.

   "Saudara..., apakah bukit ini bernama Bukit Delapan Dewa?" Yang Kun bertanya, tangannya mencengkeram lengan penjaga itu.

   "Betul!" orang itu menjawab heran.

   "Oh! Lalu di manakah dusun Ho-ma-cun itu?"

   "Eh, mengapa Yang sicu menanyakan dusun di dekat sungai itu? kau punya kenalan di sana?"

   "Ohh!" Yang Kun semakin tegang hatinya. "Benar! Kenalkah saudara kepada seorang gembala tampan yang sangat terkenal pada sekitar seratus tahun yang lalu? Namanya adalah Piao Liang!"

   "Piao Liang...? Hei! Itu adalah nama dari Kim-mou Sai-ong Sucouw!" penjaga itu mengerutkan dahinya.

   "Hah? Jadi...?" Yang Kun tersentak kaget. Penjaga itu turun ke halaman, lalu melangkah ke halaman samping, sehingga pemandangan di bawah bukit yang indah itu terlihat dengan nyata. Yang Kun melangkah pula mengikutinya.

   "Yang sicu, lihat! Dusun yang berada di paling ujung itulah yang dinamakan dusun Homa-cun. Di sanalah Kim-mou Sai-ong Sucouw dilahirkan dan sekarang di sana pula beliau dimakamkan. ltulah sebabnya patung perunggu itu tidak ditaruh di Gedung Pusat Selain beliau adalah orang yang pernah bersalah terhadap agama, memang patung itu lebih cocok kalau didirikan di dekat tempat kelahirannya." Yang Kun berdiri diam tak bergerak di tempatnya. Matanya memandang sayu ke arah dusun Ho ma-cun yang telah ditunjukkan oleh penjaganya itu. Beberapa buah lampu tampak berkelap-kelip dari rumah penduduk yang belum menutup pintunya.

   "Hmm, aku telah mendapatkan tempat tinggal gembala tampan yang dimaksudkan oleh nenek buyut. Selanjutnya aku tinggal membawa abu nenek itu kemari untuk disemayamkan di samping makam kakek Piao Liang..." pemuda itu bergumam di dalam hati.

   "Yang sicu, apa yang sedang kau pikirkan? Eh, mengapa secara tiba-tiba kau bertanya tentang Sucouw dan dusun kelahirannya? Apa...apakah engkau mempunyai hubungan keluarga dengan Sucouw?" penjaga itu bertanya lantang, sehingga mengejutkan Yang Kun dari lamunannya.

   "Ah... tidak!" pemuda itu menjawab sedikit gugup.

   "Seorang kawan wanita dari mendiang Kim-mou Sai-Ong telah titip pesan kepadaku..."

   "Seorang kawan wanita dari mendiang Kim mou Sai ong Sucouw...? Apa...?" penjaga itu terbelalak tak percaya. Orang itu menatap Yang Kun dengan mata tak berkedip. Berkali kali kepalanya menggeleng tak percaya. Bagaimana mungkin seorang kawan wanita dari mendiang Sucouwnya yang hidup lebih dari seratus tahun yang Ialu bisa bertemu dengan pemuda itu? Masakan ada seorang manusia yang berusia lebih dari satu setengah abad? Lalu macam apa pula wujud dari orang itu? Yang Kun tidak memperdulikan keheranan penjaga itu. Dengan tenang ia melanjutkan Iamunannya yang terputus tadi. Matanya memandang ke bawah, ke arah lembah yang bermandikan cahaya bulan.

   "Si-siapakah... kawan wanita dari mendiang Sucouw itu? A-apa... pesannya?" penjaga itu akhirnya dapat membuka mulutnya. Yang Kun menoleh sekilas. Setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, baru ia menjawab pertanyaan tersebut.

   "Wanita itu adalah... nenekku! Nah, sekarang saudara tentu tidak akan heran lagi, bukan? Mengapa aku sampai dapat menyanyikan lagu keramat itu?" pemuda itu tersenyum.

   "Ohh!" penjaga itu melangkah mundur. "Nenek dari Yang sicu..? Lalu... siapakah nama beliau itu?"

   "Beliau she Chin dan namanya adalah Hoa!" tiba-tiba terdengar suara Tong Ciak Cu-si di belakang mereka. "...Yang-hiante, benar bukan?"

   '"Ohh... Tong Ciak Cu-si kiranya...!" Yang Kun dan penjaga itu menyapa hampir berbareng.

   "Marilah! Agaknya Tong Ciak Cu-si juga ingin menikmati segarnya sinar bulan ini..."

   "Ah... tidak!" tokoh sakti bertubuh pendek itu tersenyum.

   "Sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik pada suasana malam yang gemerlapan ini, karena pikiranku lagi sibuk memikirkan persoalan-persoalan yang menimpa Im-yang-kauw, tapi percakapan kalian yang telah menyangkut nama kakek guruku itulah yang menarik langkahku kemari...," tokoh itu berhenti sejenak, lalu, "Eh, Yang-hiante... apakah pesan Chin Hoa Lo-Cianpwe itu kepadamu? Bolehkah aku mengetahuinya juga?" Yang Kun tampak berpikir sebentar. Sebenarnya ia agak ragu-ragu untuk mengatakan hal itu kepada orang lain, tapi begitu teringat bahwa tokoh sakti di depannya itu adalah ahli waris langsung dari kakek Piao Liang dan tidak seharusnya dia menyembunyikan persoalan tersebut dari padanya, maka Yang Kun akhirnya mengatakan pula apa isi pesan itu.

   "Nah, Tong Lo-Cianpwe... begitulah pesan nenek Chin Hoa itu kepadaku. Oleh karena itu perbolehkanlah pada suatu hari nanti aku menanam abunya di samping makam kakek Piao Liang."

   "Ah, Yang-hiante... untunglah dengan masuknya aku kembali ke dalam Im-yang-kauw, maka semua kesalahpahaman dan semua kedukaan yang telah diperbuat oleh mendiang kakek guruku itu telah dibersihkan kembali. Sehingga apabila pada saat ini Yang-hiante ingin melaksanakan pesan tersebut, maka sudah tidak akan ada rintangannya lagi." Yang Kun menatap Tong Ciak dengan bingung, ia tak begitu bisa menangkap maksud dari perkataan itu.

   "Mengapa demikian?" tanyanya. Tong Ciak Cu-si tampak berkerut-kerut dahinya.

   "Apakah Yang-hiante tidak diberi tahu oleh nenekmu?"

   "Tidak!" Tokoh sakti itu justru terdiam begitu mendengar jawaban pemuda tersebut. Matanya merenung ke arah wajah bulan yang bulat besar itu, sedang jari-jari tangannya tampak mengelus-elus jenggot pendeknya yang terawat rapi.

   "Yang-hiante..., kukatakan tadi bahwa engkau sangat beruntung karena aku telah berada di Im-yang-kauw kembali, karena apabila hal ini terjadi sebelumnya... hm... jangan harap orang-orang Im-yang-kauw akan menyetujui maksudmu itu. Mereka tentu akan merintangi keinginanmu itu habis habisan, sebab... nenek Chin Hoa itulah yang menyebabkan kakek guruku diusir oleh gurunya!"

   "Hah?!?" pemuda itu terlonjak saking kagetnya.

   "Begitulah! Tapi semuanya telah berlalu, tak perlu kita mengungkat-ungkat peristiwa itu lagi! Nah, Yang-hiante... marilah kita masuk ke kamar! Udara tampak semakin dingin, dan hal itu tak baik bagi kesehatanmu. Marilah...!" Kemudian mereka bertiga masuk kembali ke dalam rumah. Tak seorangpun di antara mereka bertiga yang tahu kalau sebenarnya mereka sedang diintai oleh sesosok bayangan yang kini masih bertengger di atas bubungan rumah. Dan begitu semuanya telah hilang di balik pintu, bayangan yang berpakaian hitam hitam itu tampak meloncat turun tanpa menimbulkan suara gemerisik sedikitpun.

   "Kukira memang kuil inilah yang dimaksud oleh Put gi ho dan Put-chih-to. Baiklah, aku akan masuk dan menyelidikinya!" bayangan hitam itu bergumam. Tubuh yang kecil ramping itu segera melenting kembali ke depan dengan cepatnya dan di lain saat ia telah berindap indap di halaman samping. Beberapa kali bayangan itu melongok ke dalam setiap melewati sebuah kamar, agaknya ada sesuatu yang dicarinya.

   Tetapi beberapa kali pula kepala yang berbentuk kecil berambut hitam panjang itu selalu menggeleng dan berdesah kecewa. Ketika sampai di luar ruang tempat menyimpan mayat tiba-tiba bayangan ini bergegas menyelinap ke dalam semak lebat yang tumbuh di bawah jendela. Selain di dalam kamar banyak orang, dari arah belakangpun terdengar suara percakapan orang yang sedang menuju ke tempat itu pula. Bayangan itu menjadi berdebar-debar begitu melihat siapa yang datang. Otomatis ia menahan napas dan mengerahkan ginkangnya agar tidak mengeluarkan suara atau gerakan yang mencurigakan, karena yang datang ternyata adalah orang bertubuh pendek yang tadi telah ia lihat ketika memasuki halaman kuil ini. Di samping orang pendek itu tampak melangkah dengan tenang seorang kakek tua berjenggot putih panjang sampai ke dada.

   "Lojin-ong, mengapa baru sekarang Lojin-ong, mengatakan hal itu kepadaku? Mengapa tidak kemarin malam begitu siauwte tiba dari Gedung Pusat? Bukankah siauwte bisa menangkap gadis kejam itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang mencuri mutiara ya Bengcu dan membunuh Mo-tung Li Bin dan kawan-kawan? Kini gadis itu telah lolos dari tangan kita, bagaimana kita harus mencarinya lagi?" orang bertubuh pendek itu terdengar berkata dengan penuh penasaran. Orang tua yang tidak lain adalah Toat-beng-jin itu berhenti melangkah. Dengan wajah berseri seri ia memandang temannya yang sedang marah dan penasaran. Jari-jarinya mengelus jenggotnya. Mereka hanya beberapa langkah saja dari tempat di mana bayangan hitam tadi bersembunyi.

   "Tong-hiante... sungguh beruntung sekali lm-yang-kauw mempunyai anggota yang sangat bersemangat seperti engkau." kata orang tua itu pelan. "Tapi entah mengapa dalam hal yang menyangkut diri gadis itu, aku seperti mempunyai suatu perasaan yang aneh, sehingga aku takut menceritakan kepada Tong-hiante kemarin... aku takut Tong-hiante akan mentertawakan diriku! Seperti juga apa yang kurasakan pada saat ini. Saat ini aku merasa seperti dimata-matai oleh seseorang, sehingga rasanya hatiku ini menjadi khawatir dan was-was..."

   "Ah, Lojin-ong ini terlalu mengada-ada saja, haha...Siapa orangnya yang berani memata-matai Toat-beng-jin? Hahaha... perasaan Lojin-ong yang telah dipengaruhi oleh Lin cui sui hoat sungguh tidak bisa membuat hati tenteram saja!"

   "Nah, apa kataku! Tong-hiante tentu tidak akan percaya dan akan mentertawakan katakataku!" orang tua itu menghela napas sambil melangkah kembali.

   "Padahal perasaanku benar-benar mengatakan demikian! Ada seseorang yang sedang mengintai kita. Tapi aku tak tahu, siapakah dia dan di mana ia berada...!" Bayangan hitam yang bersembunyi di bawah jendela menjadi gemetar begitu tahu siapa sebenarnya orang yang baru saja lewat di depannya itu. Gila, orang tua itu benar benar berilmu iblis, umpatnya di dalam hati.

   "Sudahlah, Lojin-ong... Kalau memang apa yang dirasakan oleh Lojin-ong itu benar, kita juga tidak takut. Nah, kita telah sampai di ruangan samping. Silahkan Lojin-ong masuk!" Bayangan hitam di bawah jendela itu mengawasi terus kedua orang yang masuk ke ruang mayat itu, lalu perlahan-lahan dan hati-hati sekali bayangan itu melongok pula ke dalam melalui lobang kecil yang berada di jendela.

   "Hei! Mengapa ada empat mayat di sana?" bayangan itu melongok lebih dekat lagi, sehingga sinar lampu dari dalam sempat menerangi wajahnya yang cantik bagai bulan purnama.

   "Tetapi mengapa Put gi-ho dan Put-chih-to mengatakan hanya melukai seorang saja? Lalu mayat-mayat siapakah yang lain itu?" gumamnya dalam hati. Belasan orang yang berada di dalam ruangan itu segera berdiri dan menjura begitu kedua tokoh pimpinan Im-yang-kauw pusat tersebut memasuki ruangan.

   ""Lojin-ong!"

   "Tong Ciak Cu-si!" Kedua orang itu segera mengambil tempat duduk di antara mereka, sementara Toat-beng-jin cepat mengedarkan pandangannya di antara orang orang yang sedang berada di tempat tersebut.

   "Dimanakah saudara Ciong Hu Ki...?" orang tua itu bertanya. Seorang laki-laki setengah baya tampak melangkah maju dan menjura kepada dua orang itu.

   "Lojin-ong memerlukan saya?" sahutnya lantang.

   "Begini, Ciong-sicu... Ternyata perkembangan dari peristiwa ini menjadi sedemikian cepatnya, sehingga urusan yang semula akan saya atasi sendiri dengan Tong Ciak Cu-si, kini tak berani lagi kami putuskan sendiri. Kami besok pagi akan pulang kembali ke Gedung Pusat untuk merundingkan musibah ini dengan Para Penasehat dan Tai-si-ong." orang tua itu berhenti sejenak.

   "Kalau semula peristiwa ini hanya diawali karena kesalahpahaman, kecil yang mengakibatkan kematian pimpinan kuil di sini, sekarang suasana agaknya telah berubah menjadi lain. Kelihatannya ada pihak lain yang memanfaatkan keadaan ini demi kepentingan golongan mereka. Tegasnya,ada suatu pihak yang mengail di air keruh...!"

   "Mengail di air keruh? Apa maksud Lojin-ong? Bukankah semuanya telah jelas bahwa orang-orang Bing-kauw telah mengumumkan perang dengan kaum kita? Kemarin mereka telah membunuh pimpinan kuil di sini dan sekarang belum juga urusan itu kita selesaikan mereka telah membunuh tiga orang kita lagi. Nah, bukankah itu sudah jelas? Apa yang mesti kita rundingkan lagi? Hancurkan saja mereka! Tunggu apa lagi?" wakil pimpinan kuil yang bernama Ciong Hu Ki itu memotong ucapan Toat-beng-jin dengan berapi api. Toat-beng-jin mengangkat tangannya ke atas sambil tersenyum kecut.

   "Ciong sicu, sabarlah...! Aku tahu perasaan kalian, tapi berilah kami waktu untuk mengurusnya lebih dahulu. Masih banyak waktu bagi kita untuk menggilas mereka kalau dalam penyelidikan kami nanti mereka memang benar-benar bersalah."

   "Ada tiga orang lagi yang terbunuh?" gadis yang bersembunyi di bawah jendela itu berdesah perlahan. "Ah apakah Put gi-ho dan Put-chih-to telah bentrok lagi dengan mereka, sehingga korban telah bertambah pula lagi? Ahh, rasanya... tak mungkin! Aku baru saja berjumpa dengan Put-gi-ho dan Put-chih-to kemarin sore."

   Dengan hati-hati gadis cantik itu melangkah mundur dan pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Melalui tempat tempat yang gelap ia bergeser ke depan, ke arah pendapa! Dan di bagian pojok pendapa yang gelap yang tidak terjangkau oleh Iampu dan yang terlindung dari sorot sinar rembulan, gadis ini menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang kecil ramping itu melambung tinggi ke udara dan di lain saat telah hinggap di atas genting pendapa yang terlindung oleh rimbunnya daun cemara. Gadis itu membuka sebuah genting dan mengintai ke dalam. Beberapa orang kelihatan sedang duduk-duduk santai sambil berbincang bincang.

   "Orang Bing-kauw yang membunuh tiga orang teman kita tentu seorang tokoh Bing-kauw yang berkedudukan tinggi. Orang itu mampu mengalahkan Tung-hai Nung-jin. Padahal kita sudah menyaksikan sendiri kesaktian bajak laut dari Lautan Timur itu ketika melawan Tong Ciak Cu-si. Kepandaiannya hanya sedikit di bawah Tong Ciak Cu-si kita! Maka paling tidak orang Bing-kauw tersebut tentu pembantu pembantu utama dari Put-ceng-li Lojin sendiri..." salah seorang dari orang yang duduk di pendapa itu membuka mulutnya.

   "Katanya kedua orang itu mudah sekali dikenal. Yang satu berperawakan kurus tinggi berpakaian sutera putih, sedang yang lain berperawakan tinggi besar dengan bulu-bulu yang tumbuh lebat pada lengan dan mukanya. Nah, adakah salah seorang dari kalian yang pernah melihat atau mengenalnya?" temannya ikut pula mengambil suara. Terdengar suara menggeremeng yang tak jelas di antara mereka.

   "Tinggi kurus dan gemuk besar...?" gadis yang berada di bawah jendela itu bergumam sendirian.

   "Kelihatannya memang seperti Put-gi-ho dan Put-chih-to. Tapi... Put gi-ho tak pernah mengenakan baju putih, apalagi yang dari kain sutera mahal. Dan Put-chih-to itu biarpun gemuk tapi tidak dapat dikatakan tinggi besar. Kurang ajar! Agaknya memang ada orang yang ingin mengail di air keruh. Tapi... siapa? Apakah orang orang dari Aliran Mo-kauw lagi?" gadis itu berpikir dengan keras. Seperti telah diceriterakan di bagian depan bahwa antara ketiga aliran kepercayaan yaitu lm-yang kauw, Bing-kauw dan Mo-kauw sering terjadi perselisihan dan persengketaan yang kadang kadang juga disertai dengan perkelahian dan pertempuran di antara para anggotanya. Terutama antara penganut Bing-kauw dan Mo-kauw!

   "Hmm, aku harus lekas lekas pulang dan melaporkan hal ini kepada suhu. Suhu harus segera bersiap-siap apabila orang orang Im-yang-kauw ini benar benar akan mendatangi Rumah Suci (Pusat Aliran Bing-kauw)." gadis cantik itu bergumam lalu perlahan sambil melangkah mundur dan melayang turun dari atas genting. Gadis itu menyelinap di balik pohon cemara dan bersiap siap untuk meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba pintu halaman kuil tersebut diketuk orang dari luar. Lalu belasan orang yang tadi duduk-duduk di dalam pendapa tampak bergegas keluar diikuti pula oleh orang-orang yang berada di luar pendapa, sehingga otomatis gadis cantik itu tidak berani keluar melalui halaman depan.

   Oleh karena itu dengan mengendap-endap gadis itu menyusup kembali ke belakang kuil melalui jalan yang dilaluinya tadi. Di ruangan yang dipakai untuk menyimpan mayat tadi masih kelihatan banyak orang, cuma dua orang tokoh Im-yang-kauw pusat saja yang kini sudah tidak kelihatan di antara mereka. Tanpa mengurangi kewaspadaan gadis itu melesat menyeberangi tanaman rumput yang memisahkan ujung bangunan samping dan bangunan belakang, lalu dengan gesit tubuhnya melambung kembali ke atas genting yang gelap. Tapi belum juga kakinya dapat berdiri tegak, dari bayang bayang daun yang menjorok di atas genting terdengar desah suara wanita yang menyapa kedatangannya.

   "Nona mencari siapa...?" Gadis cantik berbaju hitam itu menoleh dengan cepat. Dan hatinya menjadi tegang ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali melangkah keluar dari bayang-bayang daun. Sinar bulan yang terang benderang itu menerangi tubuhnya yang tinggi semampai. Matanya yang redup tapi berkilat tajam itu menatap dalam-dalam kepadanya, membuat hati menjadi bergetar juga rasanya.

   "Nona siapa?" gadis berbaju hitam itu bertanya kaget, apalagi serentak dilihatnya lengan kanan gadis yang berada di depannya tersebut buntung. Agaknya gadis buntung itu telah terbiasa melihat kekagetan setiap orang yang mengetahui cacatnya. Oleh karena itu sedikitpun ia tidak menjadi tersinggung apalagi menjadi marah.

   "Maaf, akulah yang bertempat tinggal di tempat ini, maka sudah sewajarnyalah jika aku pula yang bertanya terlebih dahulu kepada nona"" gadis buntung itu menjawab tenang. Tak enak juga rasanya bagi gadis berbaju hitam itu menghadapi ketenangan lawannya. Tapi untuk berterus terang mengatakan siapa dirinya, rasanya juga kurang pada tempatnya pula. Suasana kuil pada saat itu sedang dilanda permusuhan terhadap Bing-kauw, apalah jadinya nanti apabila dia murid Put-ceng-li Lojin dari Bing-kauw? Maka seolah-olah tidak mendengar pertanyaan itu, ia menjura dengan tergesa, kemudian meloncat ke bawah kembali dengan cepat.

   

Darah Pendekar Eps 30 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 17 Darah Pendekar Eps 10

Cari Blog Ini