Pendekar Penyebar Maut 19
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 19
"Mungkin ini merupakan perlambang bagi kejayaan Im-yang-kauw kita." Orang tua berjenggot putih itu berkata lagi. Matanya yang hampir tertutup oleh alisnya yang lebat itu menoleh sekejap kearah Chin Yang Kun, pemuda yang mereka incar selama ini. Pemuda yang menurut pengamatan mereka mempunyai peruntungan bagus bagi kejayaan aliran kepercayaan mereka.
"Agaknya memang demikian halnya..." Tong Ciak menengadahkan kepalanya dengan muka berseri-seri.
Jilid 14
Demikianlah, bersama dengan semakin tipisnya cahaya bulan yang menerangi bumi, di ufuk timur telah mulai berkembang sinar matahari yang hangat kemerah-merahan. Mula-mula cuma seperti bara api yang membakar gumpalan awan yang menutupinya. tapi lambat laun bara itu semakin bertambah besar sehingga sinarnya secara perlahan-lahan pula mampu mengusir kegelapan yang mencekam bumi. Sedikit demi sedikit cahayanya yang kemerah-merahan itu membakar ujung-ujung daun yang paling tinggi, lalu perlahan-lahan merambat ke bawah sehingga akhirnya seluruhnya bagai tersepuh oleh kilauan emas yang kemerah-merahan.
Butiran-butiran embun yang semula membuka di setiap ujung-ujungnya tampak mulai mencair, kemudian menguap bersama-sama ke atas, sehingga lambat laun pohon-pohon tersebut seperti terbungkus oleh kabut tipis yang menyilaukan. Semakin tinggi matahari meninggalkan cakrawala, semakin tebal pula kabut yang menutupi permukaan bumi. Apalagi ketika rumput-rumput yang basah dengan embun itu mulai terjamah pula oleh jangkauan sinarnya. Keempat orang itu sudah mencapai lembah sungai dan berjalan di antara rumah penduduk yang padat. Seorang wanita tua yang telah turun dari rumah untuk menyapu halaman memandang mereka dengan heran. Begitu pula beberapa orang penduduk yang pergi ke ladang masing masing. Orang-orang itu menatap rombongan kecil tersebut tanpa berkedip,
"Heran! Orang-orang itu memandang kita seperti belum pernah melibat orang sebelumnya. Agaknya bencana alam yang hampir memusnahkan seluruh milik mereka itu telah membuat mereka tidak bersahabat lagi" Tong Ciak berdesah di antara langkahnya. Toat-beng-jin menarik napas panjang,
"Biarlah! Kita tak usah memperhatikannya! Nanti kita menyewa perahu saja di desa Ho-ma-cun, biar tidak terlalu menarik perhatian orang..."
"Desa Ho-ma-cun...?" tiba-tiba Yang Kun menukas.
"Benar! Ada apa...?" Si Pendek Tong Ciak terheran heran.
"Kakek Piao Liang..."
"Ohh.. .itu!" Tong Ciak tersenyum. "Kakek guruku memang berasal dari dusun itu, biarlah nanti kuperlihatkan bekas tempat tinggalnya. Toh kita akan melewatinya juga. Apalagi rumahnya persis di pinggir jalan besar yang menuju ke arah sungai." Toat-beng-jin dan Souw Lian Cu memandang Tong Ciak dan Yang Kun dengan heran, tapi keduanya tidak bertanya lebih lanjut. Mereka meneruskan langkahnya tanpa berbicara lagi. Toat-beng-jin paling depan, kemudian Tong Ciak Cu-si, baru kedua orang remaja yang tidak pernah berbicara satu sama lain itu.
Sebenarnya ingin juga rasanya pemuda itu mengajak omong Souw Lian Cu. Tapi melihat gadis tersebut berwajah keruh, apalagi tampaknya sangat membenci dirinya, Yang Kun terpaksa menutup mulutnya. Hanya sesekali ia melirik ke arah gadis ayu yang melangkah tak jauh darinya itu. Dalam hati pemuda itu berharap kalau-kalau si gadis mau menyapa dirinya. Tapi harapan itu tak pernah terlaksana. Jangankan menyapa, sedang menolehpun hampir tak pernah dilakukannya. Mata yang indah itu selalu menatap tajam ke depan, sekejappun tak pernah menoleh ke samping atau ke belakang, seakan-akan Yang Kun yang berada di dekatnya itu tak pernah ada. Kalau toh gadis itu membuka mulutnya, kata-kata yang keluar tentu hanya ditujukan kepada Toat-beng-jin atau Tong Ciak Cu-si.
"Ah, sudahlah...!" akhirnya Yang Kun berdesah di dalam hati. "Setiap orang tentu saja berhak untuk bersikap sekehendak hatinya sendiri. Kenapa aku mesti penasaran? Membuang-buang waktu saja!" Kemudian pemuda itu memperlambat langkahnya, sehingga beberapa saat kemudian dirinya sudah sedikit jauh tertinggal di belakang. Sambil menggendong tangannya di belakang mulutnya bersiul-siul ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang menikmati cerahnya pagi bersama-sama dengan burung-burung yang mulai beterbangan di sekeliling mereka.
Sesekali dengan wajah gembira ia melempar burung kecil yang bertengger di atas dahan dengan batu. Ternyata gadis ayu itulah yang kini menjadi penasaran. Ingin rasanya ia menoleh untuk melihat apa saja yang dikerjakan oleh pemuda itu sehingga lagaknya demikian riangnya. Suara siulan yang semakin lama semakin jauh tertinggal di belakang itu benar-benar membuat perasaannya menjadi kesal. Tapi sungguh malu rasanya kalau ia harus memalingkan kepalanya. Kedua orang tua yang berjalan di depan itu asyik berbicara satu sama lain. Sedikitpun tidak mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hati kedua remaja yang berjalan di belakang mereka. Mereka cuma memperingatkan ketika mereka ketahui Yang Kun sedikit jauh tertinggal di belakang mereka.
"Yang-hiante...! Jangan terlalu jauh di belakang kami! kau bisa sesat jalan nanti!"
"Ah... jiwi Lo-Cianpwe tidak usah khawatir. Aku tidak akan pergi ke mana mana..." Akhirnya rombongan itu sampai juga di desa Ho-ma cun, yaitu sebuah desa yang berada di paling ujung dari lembah tersebut. Matahari telah mulai menyengat punggung mereka. Dan dusun besar yang menjadi pangkalan perahu perahu nelayan tersebut tampak hidup di pagi hari itu. Orang-orang tampak hilir-mudik di jalan besar membawa barang bawaan mereka masing masing. Ada yang membawa peralatan perahu dan jala, ada yang kembali menjinjing keranjang ikan. Beberapa buah warung makanan dan minuman juga tampak sibuk dengan langganannya, sementara belasan orang penjaja makanan kecil juga kelihatan bertebaran di tepi jalan. Pagar kecil yang berada di simpang jalan menuju ke sungai juga tampak ramai para pedagang dan pembelinya.
"Nah, rumah kecil yang berada di sana itulah rumah mendiang Kim-mou Sai-ong Sucouw atau kakek Piao Liang...!" Tong Ciak menunjuk ke sudut jalan. Chin Yang Kun memandang ke depan. Di atas sebuah pekarangan luas dan tak terurus ia melihat sebuah rumah kecil berbentuk kuno. Semua pintu dan jendelanya tampak tertutup rapat dan banyak yang telah dimakan rayap. Serambi bagian depan malah sudah penuh dengan tanam tanaman menjalar. Halamannyapun telah penuh dengan semak-semak berduri.
"Apakah sudah tidak ada seorangpun yang tinggal di sana?" Yang Kun bertanya dengan dahi berkerut.
"Lohu menaruh seorang penjaga sebenarnya..." tokoh Im-yang-kauw bertubuh pendek itu menghela napas berat. "...Tapi oleh karena orang tersebut sudah amat tua, apalagi hanya sendirian, dia tak mempunyai kemampuan lagi untuk mengurusi rumah dan halaman yang begitu luasnya. Lihatlah...!" Tong Ciak menunjuk ke arah belakang rumah, di mana berdiri sebuah kandang domba yang telah dirombak menjadi tempat tinggaI. Biarpun rumah itu juga tidak bersih, tetapi dapat dilihat kalau di sana tentu ada penghuninya. Apalagi ketika dari belakang rumah terlihat asap mengepul dari sela-sela gentingnya.
"Hmm, Tong-hiante terkenang pada Kim-mou Sai-ong Sucouw rupanya..." Toat-beng-jin tersenyum.
"Benar, Lojin-ong! Apakah tidak lebih baik kita singgah sebentar untuk makan pagi di sana?"
"Tentu saja. Tapi aku takut membikin orang tua itu menjadi sibuk karenanya. Sungguh kasihan. Lebih baik kita makan saja di warung, baru setelah itu kita pergi ke sana untuk menengok dia...!"
"Begitu juga baik. Ayoh, kita masuk ke warung bubur Hao Chi kalau begitu! Biarpun harus antri, tapi buburnya sungguh enak..." Tong Ciak tertawa.
"Marilah..." Mereka berempat memasuki warung Hao Chi yang berada di pojok pasar. Warung itu sebenarnya cukup luas, mungkin dapat menampung sekitar tiga puluh orang pembeli. Meski begitu ketika mereka masuk ternyata semua kursi telah terisi.
"Wah! Kita terlambat datang agaknya..." Tong Ciak mengeluh.
"Kita mencari warung bubur yang lain saja..." Toat-beng-jin berkata.
"Aduuhh... Tong Tai-Ciangkun kiranya! Mari! Mari silahkan masuk! Di dalam masih ada kursi," tiba-tiba seorang lelaki gemuk berwajah riang keluar menyambut mereka.
"Husss! Hoa Chi...! Aku kan tidak menjabat Tai-Ciangkun lagi!" Tong Ciak mengawasi pemilik warung yang sudah amat dikenalnya itu.
"Oh. maaf... maaf! Marilah masuk Tong... Tong Taihiap!"
"Hmm, masih juga pakai Taihiap segala!" Tong Ciak melangkah masuk mengikuti pemilik warung.
"Marilah, Lojin-ong! Mari nona Souw... Yang-hiante!"
"Hai! Hai! Hao Chi! Mengapa orang-orang itu masih memperoleh kursi juga? kau bilang bahwa tempatmu telah penuh sehingga kami harus duduk di atas bangku seperti ini!" mendadak dari sudut ruangan berdiri seorang lelaki tinggi besar berteriak teriak ke arah pemilik warung bubur.
"Lam sicu... ini... ini..." pemilik warung itu menjadi pucat dan gemetar.
"Berikan kursimu itu kepada kami! Biarlah orang yang baru datang ini ganti duduk di bangku kami!" orang tinggi besar itu berteriak kembali. Kawan-kawannya yang semula juga ikut duduk di bangku tersebut turut berdiri pula di sampingnya. puluhan orang yang sedang makan minum di tempat itu menonton peristiwa tersebut dengan tegang.
"Tapi... tapi..." Hao Chi semakin gugup. Tong Ciak melangkah maju. Kemudian dengan tenang tokoh Im-yang-kauw yang berkepandaian sangat tinggi itu menepuk bahu si pemilik warung.
"Tenanglah, Hao Chi. Luluskan saja permintaan mereka! Biarlah kami duduk di bangku mereka. Tidak apa-apa. Jangan takut!"
"Tong-hiante benar...! Biarlah kami duduk saja di bangku mereka." Toat-beng-jin tersenyum. Tokoh tua ini tersenyum melihat kesabaran Tong Ciak Cu-sinya kali ini.
"Tapi... tapi... mana aku berani..."
"Sudahlah! Biarlah kami semua duduk di bangku mereka." Tong Ciak menukas, lalu melangkah menuju ke tempat si tinggi besar, diikuti Toat-beng-jin dan sepasang remaja itu. Ternyata hal itu justru sangat mengagetkan si tinggi besar dan kawan-kawannya. Mereka benar-benar tak mengira kalau orang-orang yang baru datang itu demikian mudahnya mereka kuasai. Mereka menjadi salah tingkah malah ketika keempat orang yang baru datang tersebut mendatangi ke tempatnya. Tapi si tinggi besar dan kawan-kawannya itu tentu saja tak mau kalah gertak. Dengan senyum memandang rendah mereka bertolak pinggang.
"Nah, begitu! Kalian datang belakangan. Sudah seharusnya kalau harus duduk pula di sini menggantikan kami..." si tinggi besar membuka mulut dangan nada sinis. Ketika nona Souw dan Yang Kun melangkah ke depan, Tong Ciak cepat-cepat menahan lengan mereka. Orang tua itu mengisyaratkan kepada muda mudi itu agar bersabar. Kemudian dengan penuh hormat tokoh Im-yang-kauw bertubuh pendek itu menjura.
"Sicu benar...! Memang kamilah yang seharusnya duduk di bangku itu... Maafkanlah Hao Chi... Eh! Anu... bolehkah kami berkenalan dengan cuwi semua?" ucapnya halus.
"Tuan-tuan ini adalah para... pengawal Tan-Wangwe (hartawan Tan), pemilik separuh dari perahu yang tertambat di atas sungai itu." Hao Chi membisiki Tong Ciak.
"Benar! Kami adalah orang-orang kepercayaan Tan-Wangwe." orang she Lam yang tinggi besar itu membenarkan ucapan Hao Chi.
"Namaku adalah Lam Hui, tapi orang-orang di daerah ini biasa memanggilku Houw ho (Si Harimau Air). Sedang kawan-kawanku ini juga bukan orang sembarangan. Mereka adalah Ngo-kui sui (Lima Siluman Air), dahulu adalah orang kepercayaan Sin-go Mo Kai Ci, datuk para bajak sungai!"
Agaknya selain Hao Chi memang tidak ada seorangpun di warung itu yang mengenal Tong Ciak, apalagi Toat-beng-jin! Sebaliknya, semua orang yang berada di warung itu amat mengenal siapa keenam orang kepercayaan Tan-Wangwe tersebut. Tetapi hal itu memang tidak aneh! Selain kedua tokoh Im-yang-kauw itu jarang sekali berkunjung ke daerah mereka, para penduduk di lembah itupun jarang sekali yang pernah bepergian jauh dari lembah mereka itu. Selama ini yang mereka kenal hanya para jagoan Tan-Wangwe yang rata-rata memang mempunyai kepandaian yang melebihi manusia biasa.
"Tapi Lam-sicu..., beliau ini adalah..."
"Sudahlah Hao Chi, kau tidak usah menyombongkan namaku! Sekarang aku juga seorang rakyat biasa seperti kalian," Tong Ciak lekas-lekas memotong perkataan Hao Chi. Tokoh bertubuh pendek ini memang tidak ingin dikenal orang.
"Kini lekaslah kau antar tamumu ini ke dalam! Aku dan kawan-kawanku sudah lapar sekali..."
"Baik, Tong... Tong Tai... Tong-sicu! Marilah, tuan...!"
"Eh, sebentar...! Aku juga ingin mengenal namanya." orang she Lam itu curiga. "Siapakah nama mereka?"
"Ah, namaku Ciak dari marga Tong! Sedang orang tua di sampingku ini adalah pamanku. Dan kedua muda-mudi ini adalah kemenakanku. Kami baru saja berkunjung ke kuil Delapan Dewa yang berada di atas bukit itu." Tong Ciak cepat menjawab.
"Sekarang kami sedang dalam perjalanan pulang kembali ke Liang yang."
"Apa maksud kalian mengunjungi kuil Im-yang-kauw itu?" Yang Kun mengerutkan keningnya. Hatinya mulai tidak sabar. Tapi Tong Ciak segera melangkah menengahinya.
"Kami semua adalah penganut lm-yang-kauw..." Tong Ciak pura-pura merasa tidak senang atas pertanyaan Lam Hui tersebut.
"...Tentu saja kami berbicara dan berunding tentang agama kami."
"Ahh, ternyata kalian adalah pendeta pendeta dari Im-yang-kauw!" sekali lagi Lam Hui tersenyum meremehkan, kecurigaannyapun lenyap.
"Tak heran sikapmu demikian tenang dan berani. Para penganut Aliran Im-yang-kauw rata rata memang mempunyai bekal iImu yang lumayan. Aku kenal baik dengan Han Su Sing, kepala kuil di atas bukit itu..."
"Ohh..." Tong Ciak menjura lagi, seolah-olah sikapnya semakin mengindahkan lawannya. Dan hal ini membuat orang she Lam itu semakin besar kepala.
"Sudahlah! Sekarang kalian duduk saja di sini menggantikan kami. kami akan duduk di dalam!" dengan lagak seorang jagoan Lam Hui melangkah pergi diikuti kawan-kawannya.
"Eh! O iya... tolong salamku kepada Tai-si-ong dan Lojin-ongmu apabila kalian nanti menghadap pimpinan kalian itu."
"Hei, tuan sudah mengenal pimpinan pusat kami itu?" Tong Ciak bertanya heran. Matanya saling memandang dengan Toat-beng-jin.
"Tentu saja. Memang ada apa? Hoho, kalian tidak usah takut!" orang she Lam itu menoleh dan membelalakkan matanya.
"Aku takkan melaporkan kejadian ini kepada mereka." Saking herannya mendengar 'ucapan' itu, Tong Ciak dan Toat-beng-jin justru hanya tertegun saja di tempatnya. Terlebih-lebih Lojin-ong atau Toat-beng-jin! Mereka benar-benar tidak menyangka akan ditakut-takuti oleh seseorang dengan nama mereka sendiri! Benar-benar konyol!
"Lojin-ong mengenal mereka?" akhirnya Tong Ciak bertanya kepada Toat-beng-jin. Orang tua itu menggeleng. Bibirnya yang tertutup kumis itu tersenyum masam.
"Dia takkan sekurang ajar itu kalau sudah benar-benar mengenal aku..." desahnya mendongkol.
"Hehe... orang sombong itu hanya bermaksud menggertak kita. Tapi kali ini gertakannya benar-benar tidak lucu!" Yang Kun tertawa lirih. Semuanya ikut tersenyum, cuma Souw Lian Cu yang tidak! Gadis itu diam saja di tempatnya. Matanya yang bulat besar penuh pesona itu melayang jauh ke luar halaman, seakan menghindar dari tatapan mata Yang Kun yang tidak disukainya.
"Sudahlah! Biarlah orang itu merasa puas atas kesombongannya. Kita tidak perlu melayaninya. Marilah kita duduk dan melanjutkan niat kita sendiri untuk melahap bubur panas di sini!" Toat-beng-jin berkata seraya melangkah ke bangku panjang yang ditinggalkan oleh para pengawal Tan-Wangwe tadi. Bangku yang mereka duduki sebenarnya tidak terlalu pendek, tapi karena mereka berempat, apalagi salah seorang di antara mereka adalah wanita, maka bangku itu terasa amat sempit bagi mereka. Hampir saja Souw Lian Cu tidak jadi meletakkan pantatnya ketika ia harus duduk bersebelahan dengan Chin Yang Kun. Tapi oleh karena tidak ada tempat yang lain lagi, maka dengan hati berat ia terpaksa duduk juga di sana.
la berusaha mengambil jarak sejauh mungkin, sehingga hanya separuh saja pantatnya yang berada di atas pinggir bangku. Meskipun begitu, karena tempatnya memang sangat terbatas, lengan mereka terpaksa bersinggungan juga. Gadis itu mengumpat di dalam hati! Apalagi ketika dilihatnya Yang Kun tidak berusaha bergeser barang sedikitpun juga! pemuda itu justru senyum-senyum seperti orang putus lotere. Hao Chi mengantarkan sendiri bubur pesanan mereka. Dengan terbungkuk-bungkuk pemilik warung tersebut meminta maaf berulang-ulang. Tentu saja kelakuannya itu sangat mengherankan orang-orang yang berada di tempat itu. Apalagi orang yang telah lama mengenalnya. Tidak biasanya Hao Chi gendut bersikap demikian takut dan menghormat kepada seseorang.
"Wah, kini semua orang memperhatikan kita"" Tong Ciak berdesah. "...Bubur ini menjadi liat rasanya dalam mulutku. Sukar benar kutelan...!"
"Ah... Tong-hiante, kau ini ada-ada saja! Ayohlah! Cepat habiskan mangkukmu! Kalau terlambat, kau tidak akan sempat lagi menghabiskannya...!" Toat-beng-jin menukas.
"Benar...! Hatiku rasanya kok tidak enak..." Yang Kun tiba-tiba menyela, seolab tahu dan merasakan pula perasaan kakek yang pintar meramal itu. Belum juga pemuda itu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba Souw Lian Cu menuding ke arah jalan.
"Lo-Cianpwe, lihat...! Ada orang datang lagi!"
Semuanya menoleh ke halaman. Tampak enam-tujuh orang berkuda memasuki halaman warung dan menambatkan kuda masing-masing di pagar samping. Orang-orang itu bersama-sama kudanya tampak lusuh dan kotor, seakan-akan baru saja datang dari perjalanan yang jauh dan panjang. Dengan langkah lesu dan gontai mereka berjalan memasuki warung tersebut. Tak seorangpun yang berbicara. Semua diam. Seluruh tamu yang sedang makan minum di warung Hao Chi mengawasi kedatangan orang-orang asing tersebut, termasuk Hao Chi pula. Malah beberapa orang diantara mereka telah mulai dijalari perasaan khawatir melihat tampang para pendatang yang seram dan galak-galak itu. Apalagi ketika orang-orang itu mulai berdesakan di muka pintu mengawasi mereka. Mata yang liar dan kemerah-merahan itu seakan-akan mau menelan mereka.
"Hmm! Di mana pemilik warung ini?" salah seorang diantara orang orang itu berseru dengan suara serak. Dengan sigap orang itu meloncat melangkah di depan teman-temannya. Tubuhnya yang gemuk bulat dengan kepala yang gundul kelimis itu seperti sebuah bola yang menggelinding ke depan. Kulitnya yang pucat kehijau-hijauan semakin menambah keseraman wajahnya.
"Ah, Lojin-ong benar...!" Tong Ciak berbisik setelah mengetahui siapa yang datang.
"Warung kecil ini benar-benar dalam bahaya bila Hao Chi tidak bisa melayani mereka."
"Tong-hiante mengetahui siapa mereka?" Toat-beng-jin berbisik pula.
"Lojin-ong adalah seorang tokoh yang sangat ternama. Setiap orang kang-ouw tentu pernah mendengar nama Toat-beng-jin. Sayang Lojin-ong tidak pernah keluar ke dunia persilatan, sehingga Lojin-ong tidak pernah berkenalan dengan tokoh-tokoh kang ouw..." Tong Ciak menjawab.
"Sebenarnya orang berkepala gundul ini bukan tokoh sembarangan pula. Dia adalah salah seorang dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to yang bergelar Ceng-ya-kang. Kepandaiannya sangat tinggi, terutama racun kelabangnya...!"
"Eh! Dia...? Tong-hiante, biarpun aku tak pernah keluyuran di dunia kang ouw tapi aku pernah pula mendengar nama itu," kakek itu menukas cepat. "Wah, kenapa orang itu keluyuran sampai kemari? Hati-hatilah, kudengar semburan ludahnya mampu membunuh lawan seketika!"
Yang Kun belum pernah mengenal orang berkepala gundul itu. Tapi ia pernah mendengar nama tersebut dari Chu Seng Kun. Sahabatnya itu pernah mengikuti perjalanan Hek-eng-cu yang dikawal oleh para pembantunya. Dan salah seorang di antara pengawal tersebut adalah si Gundul itu. Yang pernah dikenal dan dilihat oleh Yang Kun adalah Tee-tok-ci dan Jeng-bin Siang-kwi, saudara seperguruan si Gundul. Mengingat nama Tee-tok-ci, perasaan Yang Kun sedikit bergolak. Teringat ketika tokoh beracun itu berpura-pura menjadi tabib palsu untuk menjebak dirinya. Lalu teringat pula ketika iblis tersebut menyiksa dirinya dengan tikus-tikusnya yang buas. Agaknya perubahan dari wajah Yang Kun itu dilihat oleh Toat-beng-jin.
"Biarkanlah! Kita tidak usah turut campur dengan urusan orang lain. Kita ke sini hanya untuk mengisi perut. Dan... urusan kita sendiri sudah sangat banyak dan sangat mendesak. Kita tak perlu menambah urusan itu dengan masalah-masalah yang lain..." orang tua itu memberi peringatan kepada kawan-kawannya seraya menunduk lebih dalam, agar tidak mudah dikenali orang. Sementara itu Hao Chi tampak bergegas keluar menemui orang-orang itu. Melihat tampang tamunya yang galak dan seram, ia segera menyadari dengan siapa ia sedang berhadapan. Dengan sikap yang menghormat serta wajah yang penuh dengan senyuman ia mempersilahkan mereka masuk.
"Aduh, celaka...! Kami benar benar tidak tahu kalau hari ini tuan-tuan mau berkunjung ke warungku, sehingga kami tidak mempersiapkan kursi yang cukup..."
"Huh! Tak usah berbasa-basi! Lekas siapkan meja dan kursi buat aku dan kawan-kawanku! Potonglah ayam sebanyak-banyaknya, dan hidangkan kepada kami! Jangan membantah! Kami semua sangat lapar, oleh karena itu kami tak segan segan untuk membunuh siapa saja yang menghalang halangi kami." Ceng ya Kang berteriak memotong perkataan Hao Chi.
"Tapi..."
"Apa katamu? Mau membantah?"
"Kami hanya menjual bubur. Kami tidak... kami tidak punya ayam. Bagaimana kami dapat menghidangkannya...?" Hao Chi menjawab terbata-bata.
"Tidak perduli! Lekas kerjakan!" Beberapa orang tamu tampak mulai meninggalkan meja mereka. Melalui pintu samping mereka keluar meninggalkan warung itu.
"Tuan...! Sungguh mati kami tidak mempunyai persediaan daging ayam..." Hao Chi mulai ketakutan.
"Apaaa..??"
"Aku... eh, kami...tidak..."
"Kurang ajar! Nih rasakan! Cuh...!" Ceng ya kang meludah.
"Aduhh... ohh! Mati aku!" Ludah yang hanya segumpal itu melayang cepat menembus leher Hao Chi, sehingga pemilik warung itu terjengkang ke belakang dengan leher berlubang seperti terkena pisau. Darah merah yang agak bercampur kehijau-hijauan tampak menyembur dari luka yang menganga tersebut. Sementara tubuh yang gemuk itu berkelojotan seperti ayam disembelih, lalu diam tak bergerak. Mati. Para tamu menjadi gempar. Mereka lari berserabutan meninggalkan mejanya. Tinggal beberapa orang saja yang tinggal, termasuk rombongan Chin Yang Kun. Para pembantu Hao Chi hanya tertegun saja di tempat masing-masing. Dengan mulut ternganga mereka mengawasi majikan mereka yang telah terbujur menjadi mayat.
Tubuh itu berwarna kehijau-hijauan. Mulutnya tertarik ke samping seperti orang mau tersenyum atau tertawa. Hampir saja Souw Lian Cu tidak bisa mengendalikan hatinya. Tangannya yang tinggal sebelah itu telah bergerak untuk melabrak mereka, tapi dari samping Toat-beng-Jin memberi isyarat agar bersabar lebih dahulu. Agaknya ada sesuatu yang dinantikan oleh jago tua yang amat sakti itu. Terpaksa gadis itu mengekang kemarahannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Chin Yang Kun! Mayat Hao Chi yang tergolek kehijau-hijauan dengan muka yang seakan-akan tersenyum itu mengingatkan dia pada ibu dan adik-adiknya. Masih jelas terbayang di kepalanya seluruh peristiwa di hutan lebat yang tumbuh di lereng Bukit Ular itu.
Keadaan mayat ibu dan adiknya persis mayat Hao Chi yang kini terlentang di depannya. Dengan wajah kaku Yang Kun berdiri. Isyarat dari Toat-beng-jin tidak diacuhkannya. Buku-buku tangannya gemeratak menahan arus Liong-cu-i kang dan rasa sakit pada lukanya juga tidak diacuhkannya. Yang terbayang di depan matanya hanya mayat ibunya yang amat sangat dicintainya. Tentu saja keadaan pemuda itu sangat mengagetkan teman-temannya, Otomatis Tong Ciak dan Toat-beng-jin bangkit pula dari duduknya. Tapi sebelum pemuda itu melangkah lebih lanjut, tiba-tiba dari ruang dalam muncul kelima orang pengawal Tan-Wangwe tadi. Dengan muka merah seperti orang yang lagi diganggu kesenangannya mereka mendekati Ceng-ya-kang. Wajah itu semakin meradang ketika melihat mayat Hao Chi yang menggeletak di atas lantai.
"Ha, siapa membuat ribut di sini?" geram Lam Hui. Ceng-ya-kang melangkah maju. Matanya yang bulat agak kehijau-hijauan itu memandang Lam Hui tak kalah galaknya.
"Kau menanyakan aku?" jawab iblis itu tak kalah dinginnya.
"Bangsat! Siapakah kau? Berani benar kau membikin rusuh di daerah kami?" Dengan wajah kelam penuh nafsu membunuh Ceng-ya-kang maju lagi selangkah, sehingga Lam Hui terpaksa surut pula ke belakang. Kawan-kawan Ceng-ya-kang yang berada di belakang tampak menyebar ke samping diikuti oleh anak buah Lam Hui. Kedua pihak tampaknya sudah mulai bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan. Melihat situasi demikian seakan Toat-beng-jin mendapat jalan untuk menahan Chin Yang Kun. Dengan sigap orang tua itu melangkah di depan Yang Kun.
"Yang-hiante, ada apa? Mengapa sikapmu tiba-tiba menjadi aneh? Apakah kau mengenal para pendatang itu?" Yang Kun menggertakkan giginya untuk menahan perasaan sakit yang menyengat lukanya. Wajahnya masih tetap tegang ketika menjawab pertanyaan Toat-beng-jin.
"Lo-Cianpwe, seluruh keluargaku dibunuh orang! Namun pembunuhnya aku tidak tahu. Tapi mayat ibu serta adik-adikku keadaannya persis mayat pemilik warung itu. Kulit tubuh mereka juga kehijau-hijauan seperti kulit mayat itu. Mulutnyapun juga tersenyum seperti itu. Nah, siapa tahu orang itu adalah pembunuh ibuku?"
"Huh??" Hampir berbareng Toat-beng-jin, Tong Ciak dan Souw Lian Cu berseru kaget. Ketiga-tiganya memandang wajah Yang Kun yang kelam. Memang, bagi mereka keadaan dan asal usul pemuda itu masih sangat gelap. Meski begitu mereka benar benar tidak menyangka kalau pemuda di hadapan mereka tersebut telah sebatangkara. Ingin benar rasanya mereka mengetahui lebih lanjut riwayat pemuda itu. Tapi karena Yang Kun tidak mau berbicara lagi, maka merekapun terpaksa diam pula.
"Lalu apa yang akan hiante kerjakan?" Tong Ciak menyela.
"Siauwte akan bertanya kepada orang gundul itu! Jika dia memang benar orang yang membunuh ibuku... huh, akan kucincang dia sampai lumat!" ancam pemuda itu penuh dendam.
"Tapi engkau masih belum sembuh. Padahal orang itu bukan orang sembarangan. Kehebatannya mempergunakan racun telah engkau lihat sendiri. Dengan segumpal ludah saja ia mampu membinasakan Hao Chi." Toat-beng-jin memperingatkan.
"Siauwte tidak perduli!"
"Tapi itu konyol namanya!" tiba-tiba Souw Lian Cu berkata tandas.
"Apa gunanya membalas dendam kalau tidak berhasil dan jiwa sendiri malah menjadi kurban? Apa kata leluhurmu yang telah mati nanti? Dan siapa pula yang akan melampiaskan dendam yang belum terlaksana itu? Siapa? Huh, jangan bertindak bodoh! Pergunakanlah otakmu!"
Entah mengapa gadis itu seperti mau marah-marah melihat Yang Kun yang sakit tersebut akan maju menghadapi Ceng ya kang yang amat berbahaya itu. Agaknya perasaannya telah tersentuh sehingga kebenciannya terhadap pemuda itu menjadi agak berkurang begitu mendengar riwayatnya yang menyedihkan. Riwayat pemuda itu hampir-hampir seperti riwayatnya sendiri. Ibunya juga dibunuh orang secara kejam. Untung ayahnya telah membalaskan sakit hati itu. Agaknya kata kata Souw Lian Cu yang pedas itu justru sangat mengena di hati Yang Kun. Buktinya pemuda itu mengendorkan lagi urat-uratnya. Dengan menghela napas berat ia menatap gadis yang ia tahu sangat tidak menyukainya itu. Dan kesempatan ini benar-benar tidak disia-siakan oleh Toat-beng-jin untuk menasehati.
"Nona Souw benar...! Yang-hiante tidak boleh terlalu memperturutkan hati yang panas karena salah-salah urusanmu justru menjadi runyam malah. Iblis gundul itu mempunyai kepandaian tinggi. Biarpun kemungkinan tidak setinggi kepandaianmu, tapi kini engkau sedang terluka. Ya kalau engkau menang. Kalau kalah? Itupun kalau dia memang benar-benar pembunuh keluargamu, kalau bukan? Apakah urusan tidak bertambah menjadi berbelit lagi? Yang-hiante""
"Yang-hiante..." Tong Ciak ikut berbicara.
"Iblis gundul itu sangat terkenal di dunia kang ouw. Kalau engkau sudah sembuh, sangat mudah bagimu untuk menyelidiki dan mencari dia..." Sementara itu antara rombongan Ceng-ya-kang dan Lam Hui ternyata telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Masing-masing memperoleh lawan sendiri-sendiri. Tetapi oleh karena rombongan Ceng-ya-kang terdiri dari tujuh orang, maka Ceng-ya-kang sendiri tampak berdiri bebas di pinggir, menonton serta berjaga-jaga apabila kawan-kawannya membutuhkan pertolongan.
Lam Hui tampak bertempur dengan seorang tinggi kurus berambut panjang. Mereka sama sama mempergunakan golok, dan ilmu golok mereka juga sama-sama ganasnya. Masing-masing lebih menitikberatkan pada kekuatan tenaga dari pada keindahan jurusnya. Sehingga sepintas lalu pertempuran itu dapat diibaratkan sebagai dua ekor kerbau yang berlaga dari pada dua orang jago silat yang bertempur. Suara langkah dan napas mereka seperti akan merobohkan warung itu. Dan setiap senjata mereka beradu, suaranya berdentang memekakkan telinga. Tapi kekuatan mereka benar-benar seimbang, dalam tempo singkat amat sukar untuk menentukan siapa yang akan kalah atau menang.
Sedangkan anak buah Lam Hui, yaitu kelima anggota Ngokui-shui tampak berpencar melawan musuh masing-masing.Mereka berlima bersenjatakan ruyung (penggada) bersegi delapan, sementara kelima lawannya memegang beraneka macam senjata. Kelima pasangan itu juga bertempur dengan kekuatan seimbang. Masing-masing pasangan seperti mau berlomba untuk lekas-lekas membereskan lawannya dan membantu temannya yang lain. Tapi karena kemampuan mereka rata-rata seimbang maka pertempuran mereka benar benar sengit bukan main. Mereka saling tindih-menindih berganti-ganti. Setelah yakin bahwa kawan-kawannya tidak mungkin dikalahkan, Ceng-ya-kang sambil meringis mendekati para pelayan warung yang sejak tadi berdiri membisu bagai kawanan patung batu.
"Hei, mengapa kalian masih tetap berdiri di sini? Ingin kubunuh juga seperti kawanan itu?" Bagai sedang menghadapi buntu para pelayan itu menggigil ketakutan. Salah seorang di antaranya malah sudah bersimpuh di lantai, kakinya yang gemetaran sudah tak kuat lagi menyangga tubuhnya yang gemuk.
"Ampun tuan...! Ampunilah kami! Anakku amat banyak... masih kecil-kecil pula..."
"Nah! Kalau begitu mengapa kalian tidak lekas-lekas mengerjakan perintahku tadi?"
"Pe-perintah... yang... yang mana, tuan...?"
"Menyembelih ayam, kataku! Goblog!!" Ceng-ya-kang berteriak, sehingga pelayan gemuk yang bersimpuh tadi menjadi pingsan saking kagetnya. Dengan ketakutan terpaksa kawan-kawannya menggotong dia pergi.
"Awas! Kalau dalam seperempat jam kalian tidak datang membawa ayam, kubunuh seisi dusun ini! Mengerti?"
"Mengerti, tu-tuan..." Iblis gundul itu tersenyum puas. Ditariknya sebuah kursi, lalu duduk menonton pertempuran. Entah dimana ia mengambil, tahu-tahu tangannya telah memegang sebuah guci arak. Sambil menyaksikan teman-temannya yang berkelahi sesekali ia menuangkan isi guci itu ke dalam mulutnya. Pertempuran semakin bertambah hebat dan kacau, sehingga para tamu yang masih berada di dalam ruangan itupun terpaksa keluar pula. Toat-beng-jin dan kawan-kawannya terpaksa keluar pula untuk menghindar. Mereka mencampurkan diri dengan para penonton yang lain.
"Hmm! Meski Kaisar telah berganti, ternyata keadaan masih juga demikian rusuhnya. Kesewenang-wenangan masih meraja-lela dimana-mana..." Tong Ciak yang bekas pengawal Kaisar itu bergumam.
'"Tentu saja, Tong-hiante. Selama masih ada manusia yang mengumbar nafsunya, dunia ini tak mungkin menjadi aman dan damai." Toat-beng-jin yang berdiri di sebelahnya menyahut.
"Jika demikian halnya, mengapa kita ini tidak berusaha membantu terciptanya dunia yang aman dan damai seperti itu?" tiba-tiba Souw Lian Cu ikut berbicara.
"Maksud nona...?" Toat-beng-jin mengerutkan keningnya.
"Mengapa kita semua hanya diam saja menyaksikan kesewenang-wenangan yang terjadi di depan kita? Mengapa Io Cianpwe mencegah siauwte untuk turun tangan membantu pemilik warung itu?" Tong Ciak tampak tersenyum melihat semangat gadis cantik yang baru menginjak masa remaja tersebut. Sedang Yang Kun tampak mengangguk-anggukkan kepalanya, agaknya pendapatnya sama dengan pendapat gadis itu.
"Lalu aku mesti harus berbuat bagaimana, nona? Menghajar mereka? Haha, agaknya nona melupakan sesuatu, meskipun Lohu mempunyai jabatan sebagai Algojo di Im-yang-kauw, tapi lohu adalah seorang tokoh agama penganjur kebaikan dan kesucian! Apa jadinya kalau aku sendiri selalu berbuat kekerasan? Apa bedanya perbuatanku itu dengan perbuatan mereka?" orang tua yang bergelar Toat-beng-jin itu menegaskan dengan panjang lebar.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi... bukankah maksud dan tujuan kita baik? Kukira kekerasan yang kita lakukan berbeda sifatnya dengan kekerasan yang mereka perbuat." Yang Kun ikut mengeluarkan pendapatnya. Kakek sakti itu menatap Yang Kun sejenak, kemudian tertawa lirih.
"Aha, agaknya Yang-hiante mempunyai pendirian yang sama dengan nona Souw..."
"Aku... aku... maksudku, sikap Lo-Cianpwe itu benar benar sangat membuat penasaran di hati kami." Yang Kun membela diri dengan muka berubah merah.
"Alaa... Sudahlah, Yang-hiante," Tong Ciak Cu-si menengahi mereka.
"Kalau berbicara soal kebenaran, kesalahan atau kesewenang-wenangan, apalagi tentang mana yang salah atau yang benar, bisa lekas tua kita nanti. Pengertian tentang itu sangatlah dalam dan luas, tak selesai dalam dua-tiga hari bila kita perbincangkan. Pendapat nona Souw serta Yang-hiante untuk memberantas atau menghancurkan tindak kesewenang-wenangan di dunia ini memang benar. Tapi dalam hal ini pendapat Lojin-ong juga tidak salah. Soalnya setiap orang mempunyai keyakinan dan cara yang berbeda dalam melaksanakannya. Ibarat orang mau membunuh ular, ada yang memakai tongkat pemukul, ada yang memakai perangkap, tapi ada juga yang hanya memakai tangan kosong belaka. Jadi, mestikah hal seperti itu diperdebatkan? Bukankah setiap orang bebas untuk memilih cara masing masing?"
"Tapi..." Souw Lian Cu masih mau membantah.
"Sudahlah, nona...! Nanti kalau kita punya waktu, kita berbicara lagi mengenai soal ini. Lihatlah! Pertempuran mereka telah mencapai saat-saat yang menentukan!" Toat-beng-jin memandang ke arah pertempuran. Benarlah. Pertempuran sengit yang melibatkan beberapa jago silat tersebut ternyata telah menuju pada titik titik penyelesaian.
Selain Lam Hui yang masih bertempur satu lawan satu dengan lawannya, yang lain ternyata telah mengelompokkan diri dan bertempur dalam satu barisan. Ngo kui-shui yang semula berkelahi secara perseorangan ternyata sekarang telah berkumpul menjadi satu dalam suatu barisan yang kuat. Kemampuan perseorangan di antara mereka ternyata masih di bawah dari rata-rata kepandaian lawannya, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertempur secara bersama-sama. Memang benar, setelah mereka berlima bertempur dalam satu barisan, mereka dapat saling membantu dan menyerang musuh dengan lebih teratur. Mereka menyerang dan bertahan secara rapi. Akibatnya sungguh berat bagi kelima lawannya. Pertahanan bersama Ngo-kui-shui sekarang benar-benar sukar ditembus.
Padahal serangan bersama yang dilakukan oleh Lima Siluman Air itu semakin gencar dan berbahaya. Maka beberapa jurus kemudian orang-orang yang datang bersama Ceng-ya-kang itu menjadi repot dan terdesak dengan hebat. Beberapa orang di antara mereka malah sudah menderita luka tersabet ruyung lawannya. Sementara itu Lam Hui yang bertubuh lebih besar dan kekar dari pada lawannya, ternyata secara pasti juga dapat menindih musuhnya. Ayunan goloknya yang kuat dan keras itu semakin tak dapat ditahan oleh lawannya. Beberapa kali tampak si Tinggi Kurus terhuyung-huyung bila beradu tenaga. Sehingga tak lama kemudian anak buah Ceng-ya-kang itupun terjatuh di bawah angin.
Ceng-ya-kang yang menonton di tepi arena menjadi marah bukan main. Kulit mukanya yang pucat kehijau-hijauan itu semakin tampak hijau gelap. Tubuhnya yang tambun gemuk tampak bergetar. Lalu sambil membanting guci araknya yang telah kosong hingga berkeping-keping, ia bangkit dari kursinya. Dengan mata menyala ia mendekat ke arah pertempuran. Yang Kun dan Souw Lian Cu menjadi tegang sekali. Beberapa kali kedua remaja itu menoleh ke arah Toat-beng-jin, seolah menunggu reaksi atau perintah orang tua sakti itu. Tapi Toat-beng-jin seakan tak mengacuhkan keadaan di sekitarnya. Dengan tenang matanya masih mengawasi langkah iblis berkepala gundul itu.Sedikitpun tak ada tanda tanda kalau dia ingin membantu para pengawal Tan-Wangwe, atau paling tidak mencegah iblis beracun itu membunuh lawan lawannya.
"Lo-Cianpwe...!" dengan bibir bergetar saking tegangnya Yang Kun mendesak maju, diikuti Souw Lian Cu. Tanpa menoleh orang tua sakti itu menempelkan jari telunjuknya di atas bibir.
"Ssst! Jangan tergesa-gesa! Orang itu takkan membunuh Lam Hui dan kawan-kawannya. Tunggulah! Sebentar lagi akan tiba seorang yang akan mencegah perbuatannya..." bisiknya perlahan. Memang benar. Belum lagi Ceng-ya-kang melangkah lebih jauh, dari arah ujung jalan desa terdengar suara langkah kaki kuda berderap mendekati tempat itu. Iblis berkepala gundul itu tampak tertegun sebentar, kepalanya menoleh ke arah pintu halaman. LaIu setelah meneliti suara itu sejenak, iblis tersebut kemudian berteriak ke arah kawan-kawannya yang sedang bertempur.
"Awas, hati-hati! Anjing Kaisar itu datang lagi!" Tong Ciak dan Toat-beng-jin saling memandang dengan wajah penuh tanda tanya.
"Anjing Kaisar? Siapakah yang dimaksudkannya?" pengurus Agama bertubuh pendek itu berbisik perlahan.
"Entahlah...!" Toat-beng-jin menggeleng. Kawan-kawan Ceng-ya-kang tampak berloncatan mundur menjauhi lawannya. Mereka berkumpul di samping Ceng-ya-kang tanpa mengurangi kewaspadaan masing-masing. Senjata mereka tetap teracung ke arah lawan mereka.
"Huh! Bangsat perusuh! Jangan lari!" sambil berteriak Lam Hui melangkah memburu lawan lawannya.
"Berhenti!" tiba-tiba Ceng-ya-kang balas berteriak pula.
"Apakah engkau ingin menjadi mayat seperti orang itu?" sambungnya sambil menunjuk ke arah mayat Hao Chi. Lam Hui berhenti tepat di atas mayat Hao Chi. Matanya melotot mengawasi mayat yang berwarna kehijau-hijauan itu.Makin lama dia seperti mengenali ciri ciri kematian seperti yang kini berada di hadapannya. Mulut tersenyum mau tertawa dengan kulit tubuh yang tetap segar berwarna kehijau-hijauan! Kemudian Lam Hui kembali menatap ke arah Ceng-ya-kang. Hatinya mendadak seperti tersiram air dingin ketika lapat-lapat seperti mengenal orang berkepala gundul di hadapannya itu.
"Tuan... apakah tuan berasal dari Ban-kwi-to...?" gumamnya tak jelas. Ceng ya kang mendengus dengan angkuhnya. Tanpa memperdulikan lagi pada Lam Hui dan kawan-kawannya, iblis ke lima dari Ban-kwi-to itu memberi perintah kepada anak buahnya.
"Buanglah mayat ini keluar! Kemudian aturlah kembali meja dan kursi yang berserakan itu ke tempat semula! Biarlah kutemui anjing Kaisar itu di sini..." Dipandang rendah begitu rupa oleh lawannya, Lam Hui menjadi tersinggung. Tapi nama Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan) benar-benar membuat hatinya berkerut. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat seorang anak buah si Gundul sendiri berteriak setinggi Iangit dan menggelepar di atas lantai begitu menyentuh mayat Hao Chi.
"Goblok! Dia terkena racun Kelabang Hijauku! Mengapa kalian tidak memakai alas tangan?" Ceng-ya-kang berteriak nyaring, sehingga anak buahnya yang lain mundur ketakutan. Begitu pula Lam Hui dan teman-temannya. Tak terasa mereka mundur keluar pintu. Orang itu hanya menggelepar sebentar di atas lantai, kemudian mati. Perlahan-lahan kulit tubuhnya berubah menjadi kehijau-hijauan. Bibirnya tertarik ke samping seperti orang mau tersenyum atau tertawa, seolah-olah pada saat-saat terakhir nyawanya akan keluar, ia melihat bidadari yang datang menjemputnya. Sekali Iagi dada Yang Kun seperti berdentang dengan keras. Bayangan wajah para pemikul tandu ibunya yang berkelojotan di atas tanah yang becek kembali menggoda hatinya! Kematian para pemikul tandu itu benar-benar ia saksikan dengan jelas. Persis kematian orang ini!
"Huh!" Yang Kun menggeram tanpa terasa, seakan ingin mengeluarkan semua rasa geram, marah, serta lega yang menghimpit jantungnya. Kejadian yang baru saja berlangsung di depan matanya tadi membuat Yang Kun merasa yakin bahwa racun si Kelabang Hijau inilah yang membunuh ibu serta adik-adiknya.
"Hmm, keparat! Kubunuh kau!" desah pemuda itu hampir tak terdengar saking tegang hatinya. Ternyata semua gerak-gerik Yang Kun tersebut tak pernah terlepas dari pengawasan teman-temannya. Oleh karena itu begitu terlihat dia melangkah maju dengan tangan terkepal, Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si segera menahannya.
"Yang-hiante, bersabarlah...! Mengapa engkau tidak bisa mengendalikan diri lagi? Tadi sudah kami katakan bahwa saat ini belum waktunya engkau mengumbar kemarahanmu, apapun alasannya! Kalau kau paksa juga, kemungkinan besar justru akan gagal dan kau malah kehilangan kesempatan untuk membalaskan sakit hatimu." Tong Ciak membujuk.
"Tapi sekarang siauwte telah yakin seyakin-yakinnya, pasti orang itu yang membasmi keluargaku! Racun itulah yang membunuh ibuku! Dan seperti yang telah kita saksikan tadi, dialah si empunya racun aneh tersebut!"
"Benar! Memang benar dialah yang mempunyai racun inti kelabang hijau itu! Tap... siapa tahu bukan dia yang berbuat? Siapa tahu ada orang lain yang meminjam racunnya untuk membasmi... membasmi keluargamu?"
"Oleh karena itu siauwte ingin menanyakannya..." Tong Ciak menghembuskan napasnya kuat kuat, seolah olah ingin menutupi rasa dongkolnya.
"Itulah yang kami khawatirkan sejak tadi! Kesehatanmu belum mengijinkan kau berhadapan dengan orang itu! Dalam keadaan sehat kami tidak perduli apa yang akan kau lakukan!"
"Ohh...!" Bagai tersiram air dingin, api kemarahan yang berada di dalam dada Yang Kun surut kembali, kesadarannya menjadi pulih seperti sedia kala. Benar, hatinya berkata. Paman bungsunya pernah berkata, bahwa musuh keluarganya tidak hanya satu orang. Mereka terdiri dari banyak orang! Nah, mengapa sekarang ia harus tergesa-gesa terhadap orang ini? Bukankah lebih baik ia mempergunakan orang ini sebagai umpan untuk memancing musuh-musuhnya yang lain?
"Baiklah." pemuda itu berjanji di dalam hati, "Aku akan bersabar demi terlaksananya tugas yang diberikan oleh ayah dan paman. Ceng-ya-kang...! Hmm, aku tidak boleh lupa kepada nama ini, Ceng-ya-kang dari Ban-kwi-to! Akan kucari kelak nama ini, biar sampai di ujung langit sekalipun." Memperoleh keputusan demikian Yang Kun menjadi lega dan tenang kembali. Perlahan-lahan ia mundur kembali ke tempat semula. Meskipun demikian matanya tetap memandang dingin ke dalam warung, di mana iblis beracun itu sedang duduk dikelilingi kelima anak buahnya yang masih hidup.
"A-a...anu t-tuan, ma...maafkanlah kami!" tiba-tiba dari arah belakang warung muncul lagi para pelayan pembantu Hao Chi, yang tadi diancam oleh Ceng ya kang untuk membuat masakan ayam. Dengan tergesa dan ketakutan orang-orang itu membawa nampan-nampan berisi gorengan daging ayam ke meja iblis Gundul tersebut.
"Maaf kami... kami agak terlambat, sebab... sebab kami harus... kami harus mencarinya dahulu di rumah tetangga... sebab... kami tidak punya ayam sendiri!" Iblis dari Ban-kwi-to itu tampak tertegun sebentar. Sebenarnya ia telah melupakannya, tapi melihat gorengan ayam yang masih mengepul itu air liurnya otomatis menetes. Dengan wajah gembira ia mengangguk dan menyuruh para pelayan tersebut pergi dari sana.
"Hehehe... bagus! Bagus! Biarlah masakan ini kupakai untuk menjamu anjing Kaisar itu," katanya sambil menyambar sepotong paha ayam serta melahapnya.
Para penonton yang masih berdiri di halaman menoleh dengan serentak ke jalan, ketika seorang penunggang kuda tampak berhenti di pintu halaman. Seorang lelaki muda berbadan tegap gagah dan berwajah keren, turun dari punggung kudanya yang juga tegap perkasa. Lelaki tersebut kelihatan tertegun sebentar. Matanya yang mencorong tajam itu menatap nyalang ke arah orang-orang yang berdiri bergerombol di halaman warung, agaknya ia merasa heran melihat banyak orang yang berdiri di sana. Tapi serentak ia melihat Ceng ya kang sedang duduk di dalam warung bersama-sama anak buahnya, ia tampak tersenyum maklum. Dengan langkah tenang, setelah menambatkan kudanya, lelaki gagah itu berjalan menuju warung. Tak ada kesan apapun pada wajahnya yang putih bersih itu.
"Hehehe... selamat bertemu lagi, Hong-lui-kun Yap Kiong Lee!"
"Hem, kau berada di sini. Ceng ya kang!"
"Hehe... benar! Aku memang menunggumu di tempat ini. Sudah kusiapkan makanan untuk menjamu engkau. Marilah...!"
"Terima kasih!" Hong-lui-kun menarik sebuah kursi dan duduk di depan Ceng-ya-kang.
"...Tapi biarlah aku memesan makananku sendiri. Tak usah kau..."
"Heheheh... tidak usah repot-repot lagi. kau tak mungkin bisa memesan masakan lain lagi selain ini. Pemilik warung ini telah kubunuh, heheh..." Mata lelaki muda itu tampak berkilat sekejap, sehingga senyum di bibir Ceng-ya-kang juga ikut terhenti untuk beberapa saat. Tapi lelaki itu segera tersenyum kembali.
"Sudah kuduga. Dimanapun kau dan saudara-saudaramu dari Ban-kwi-to berada, di situ tentu segera terjadi kerusuhan atau pembunuhan! Kalian memang kumpulan iblis yang tidak berwatak manusia! Kalian lebih brutal dan lebih keji dari pada binatang!" Iblis Gundul itu tidak marah dicaci-maki seperti itu. Tangannya yang gemuk itu justru menyambar lagi daging ayam di hadapannya.
"Hehheh... ayoh, makanlah! Nanti masih banyak waktu kalau kita ingin saling memaki," katanya sambil tertawa serak. Sementara itu Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si yang berada tak jauh dan tempat itu kelihatan saling memandang satu sama lain.
"Tong-hiante! kau mengenai pemuda yang baru datang itu?"
"Ya! Aku mengenal dia dan keluarganya dengan baik. Bersama-sama dengan ayah dan adiknya yang kini menjadi panglima besar kepercayaan Kaisar Han, pemuda itu sering pergi ke Kotaraja, ketika lohu masih menjabat sebagai Panglima Pasukan Pengawal Istana, Siang-houw Nio nio, ibu pemuda itu, juga bukan orang sembarangan pula. Beliau masih terhitung bibi dari mendiang Kaisar Chin Si Hongte..."
"Ohh...!" Toat-beng-jin dan Chin Yang Kun mengeluarkan suara kaget hampir berbareng, meski kekagetan mereka mempunyai dasar yang berbeda. Tokoh lm yang-kauw itu agak kaget karena tak mengira bahwa pemuda gagah yang ia taksir tentu berkepandaian sangat tinggi itu, mempunyai latar belakang keluarga demikian hebat. Sementara di dalam hati kakek itu juga merasa heran, kalau benar ibu pemuda itu masih keluarga Kaisar lama, mengapa kini pemuda itu bersama adiknya malah menjadi pembantu dari Kaisar Han?
Sedangkan kekagetan Chin Yang Kun lebih dititikberatkan pada kenyataan bahwa pemuda itu masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kaisar Chin Si, sehingga berarti masih ada hubungan keluarga puIa dengan dirinya. Tapi seperti juga dengan Toat-beng-jin, pemuda ini juga merasa heran, apa sebabnya pemuda gagah itu dikatakan sebagai "anjing Kaisar" oleh Ceng-ya-kang? Apakah pemuda gagah itu mengkhianati keluarga ibunya dan membantu pihak musuh, yaitu pihak Kaisar Han? Tiba-tiba Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee tampak bangkit dari kursinya dengan tiba-tiba. Wajahnya berubah menjadi dingin dan kaku ketika matanya menatap Iblis Gundul yang sedang menikmati ayam gorengnya.
"Ayohlah Ceng-ya-kang! Dimana saudara-saudaramu yang lain?" lblis Gundul itu berhenti mengunyah. Matanya yang Iicik berwarna kehijau-hijauan itu mendelik seperti mata ular sanca. Lalu dengan geram ia berdiri dan membanting sisa tulang yang dipegangnya ke atas meja.
"Bah! Jadi... engkaulah orang yang selalu membayang bayangi kami itu!" desahnya.
"Benar! Aku tahu bahwa kau dan saudara-saudaramu menginginkan pula Cap Kerajaan itu! Kalian telah aku curigai sejak kalian ikut menguber-uber keluarga Chin setahun yang IaIu. Hanya yang belum aku ketahui sampai sekarang, untuk siapa kalian bekerja kali ini. Aku cuma mendengar bahwa kau dan saudara-saudaramu selalu bersama-sama dengan orang aneh yang selalu menutupi mukanya dengan kerudung. Orang aneh itu bergelar Hek-eng-cu...!" Tak terasa jari-jari Yang Kun mencengkeram lengan Toat-beng-jin yang berdiri di sampingnya. Setiap perkataan yang diucapkan oleh Hong-lui-kun Yap Kiong Lee tadi bagai suara petir yang menggetarkan dadanya. Dan getaran getaran itu seakan-akan membuka simpul kegelapan yang selama ini menutupi rahasia kehancuran keluarganya.
"Jadi... benar benar tidak salah lagi! Iblis Gundul ini adalah salah seorang dari para pembunuh yang selama berbulan bulan telah menguber uber keluarga itu." Yang Kun bergumam di dalam hati. Dan pemuda ini semakin yakin kalau pembunuh ibu, adik dan para pemikul tandu itu tentulah iblis ini pula! Tapi lapat lapat Yang Kun masih teringat akan kata-kata pamannya, bahwa musuh keluarganya tidak hanya satu golongan saja. Musuh yang menginginkan Cap Kerajaan tersebut lebih dari satu kelompok.
"Hmm. Kini semakin terang bagiku... Secara tak sengaja aku bisa memperoleh kepastian bahwa orang berkerudung itu benar-benar terlibat dalam peristiwa keji tersebut," Yang Kun menggeram.
"Yang-hiante, kau... kau kenapa?" Toat-beng-jin yang merasa dicengkeram oleh Yang Kun tersebut berbisik perlahan di kuping pemuda itu. Tapi Yang Kun seperti tidak mendengar bisikan tersebut. Matanya yang dingin itu kini beralih menatap Hong-lui-kun Yap Kiong Lee. Mulutnya berkemak kemik, seakan-akan mau mengucapkan sesuatu, tapi tak jadi sehingga yang terdengar hanyalah suara gumam yang tak jelas.
"Dan pemuda gagah yang disebut sebagai anjing Kaisar oleh Ceng-ya-kang ini tentulah dari kelompok lain yang menjadi saingan kelompok Hek-eng-cu. Hmh!!" geramnya.
Sebenarnyalah, secara tak sengaja kabut gelap yang semula menutupi rahasia pembantaian keluarga Chin Yang Kun mulai terungkap di muka pemuda itu sendiri. Yang terang, motif atau latar belakang semua kejadian itu hanya berkisar pada perebutan "Cap Kerajaan." Semua pihak berbondong bondong mendesak keluarga Chin Yang Kun, karena keluarga itulah yang selama ini memegang kunci rahasia dari benda pusaka tersebut. Hanya yang masih harus diselidiki oleh pemuda itu sekarang adalah siapa atau kelompok mana yang telah membunuh paman bungsu, ayah serta pamannya yang lain itu? Kelompok Hek-eng-cu ataukah kelompok Hong-lui-kun? Ataukah masih ada kelompok yang lain lagi?
"Heh-heh heh...!" Ceng-ya-kang tiba-tiba terdengar tertawa panjang,
"Apa yang kau tertawakan?" Hong-lui-kun membentak.
"Heh heh, selama ini kami memang telah menduga bahwa orang she Liu itu (Kaisar Han) tentu menghendaki pula benda pusaka tersebut. Tanpa memegang Cap Pusaka Kerajaan itu kedudukannya tidak akan abadi. Maka begitu aku melihat Kim-sute (Yap Tai-Ciangkun) ikut mengintai para pelarian keluarga Chin setahun yang lalu, aku juga sudah yakin kalau Liu Pang telah mengirimkan pula orang-orangnya... heh heh... Tapi kalau sekarang kalian masih membayang bayangi kami dan beranggapan bahwa kami telah memperoleh benda pusaka itu... heh-heh... Kalian benar-benar salah besar!" Ceng-ya-kang tertawa lagi terkekeh-kekeh. Tak terduga Hong-Iui-kun tetap tenang dan tidak tersinggung oleh ejekan iblis gundul tersebut. Wajahnya tetap tak berubah. Dingin dan kaku.
"Kami juga telah lama mengetahui, bahwa kalian belum menemukan Cap Kerajaan itu! Begitu pula para peminat yang lain! Kalau toh dalam beberapa hari ini aku selalu membayang bayangi kalian, hal itu disebabkan karena harta karun yang disembunyikan oleh bekas Perdana Mentri Li Su itu...! Siapa tahu cap yang hilang itu ikut terbawa dan tercampur menjadi satu dengan harta karun yang telah kalian temukan petanya itu?"
"Hah? Apa?" Ceng ya kang berseru kaget. Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mencengkeram pinggiran meja sehingga hancur. "...Dari mana kau tahu rahasia itu?"
Memang tidak mengherankan jikalau iblis gundul itu tersentak kaget dan tercengang mendengar ucapan Hong-lui-kun yang terakhir tadi. Tak seorangpun tahu bahwa secara tidak sengaja mereka mendapatkan peta yang tergambar pada potongan emas itu. Potongan yang pertama mereka dapatkan secara tak sengaja dari saku Chin Yang Kun, ketika pemuda itu dapat mereka jebak di kota Tie-kwan setahun yang lalu. Sedang potongan yang lain, yaitu potongan kedua, baru mereka dapatkan... sehari yang lalu! Maka sungguh sangat mengherankan sekali jika rahasia itu sudah dapat dicium oleh orang. Dan agaknya Hong-Iui-kun sangat puas melihat keheranan lawannya. Sambil mempermainkan jari-jari tangannya ia memandang ke atas, ke arah atap bangunan warung yang kecil itu.
"Janganlah heran! Secara kebetulan aku melihat apa yang dikerjakan oleh kedua temanmu ketika merampas barang itu dari tangan Tung-hai Nung-jin. Aku menjadi curiga saat itu, karena salah seorang dari temanmu itu pandai mempergunakan Ilmu Silat Mayat Mabuk, ilmu mana pernah kulihat di gedung Si Ciangkun di kota Tie-kwan setahun yang lalu, yaitu ketika aku bersama Yap Tai-Ciangkun menggerebeg gedung tersebut, karena Si Ciangkun telah terbukti mau berkhianat terhadap Kaisar Han!"
"Oh! Jadi kau melihatnya..."
Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2 Darah Pendekar Eps 24