Pendekar Penyebar Maut 21
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 21
"Wuuutt! Thaaarr!" Yang Kun buru-buru menarik tangannya, ia takkan membiarkan cambuk itu membelit lengannya seperti Toat-beng-jin tadi. Kemudian sambil mengerahkan Liong-cu i-kang ke arah lengan kiri, Yang Kun melompat ke depan lagi untuk memburu lawannya. Tapi pada saat itu pula sepasang tongkat berkait dari Huang-ho Heng-te telah datang menyerbu, dari belakang. Tongkat itu memukul ke arah pangkal lengannya, sementara kaitan baja yang dipasang pada ujungnya itu kelihatan meringis seperti taring yang siap menggigit pundaknya. Sedang tongkat yang kedua datang beberapa detik lebih lambat. Tongkat itu menyapu ke arah pinggang dari arah samping. Keduanya digerakkan oleh tenaga dalam yang amat kuat. Sebenarnya kalau Yang Kun mau meneruskan serangannya, yang ia tujukan ke arah Togu, dia pasti berhasil.
Tapi jikalau hal itu ia lakukan, ia tentu akan mendapat kesukaran dalam mengelakkan serangan Huang-ho Heng-te. Oleh karena itu dengan amat terpaksa pemuda itu mengurungkan serangannya. Lengan kirinya yang telah terulur ke depan itu ia tarik kembali, kemudian sambil bergeser ke samping dia memainkan Panglima Yi Po Mengatur Barisan, jurus ke tujuh belas dari Hok-te Ciang-hoat! Sambil menarik lengan kirinya tadi, Yang Kun menundukkan tubuhnya, sehingga ayunan tongkat yang pertama melayang lewat di atas kepalanya. Setelah itu tubuhnya bergeser ke samping dengan cepat sekali, sehingga tongkat yang kedua juga lewat di depan perutnya. Tapi ketika badannya mau tegak kembali, tiba-tiba luka di dalam dadanya terasa menyengat kembali dengan hebatnya.
"Oouwghh...!" pemuda itu berdesah sambil mencengkeram dadanya. Kejadian di atas, sejak penyerangan Togu ke arah Yang Kun sampai kedua orang bersaudara Huang-ho Heng-te menyerbu dengan tongkatnya berlangsung dalam tempo yang sangat cepat sekali. Sehingga dipandang sepintas lalu, seolah-olah serangan tongkat Huang-ho Heng-te tadi dapat mengenai sasarannya.
"Yang Kun...!" tanpa terasa Souw Lian Cu berdesah perlahan.
"Hei?!?" Tong Ciak Cu-si tersentak kaget pula. Tokoh itu merasa kalau Yang Kun tadi bisa menghindari serangan serangan lawannya dengan baik, tapi kenapa pemuda itu kini mengaduh kesakitan? Apakah pemuda itu terkena serangan gelap dari salah seorang musuhnya? Hampir berbareng Tong Ciak dan Souw Lian Cu melesat datang menghampiri Chin Yang Kun.
Tetapi pemuda itu segera menolak ketika tokoh Im-yang-kauw tersebut bermaksud menolong dia. Dengan air muka kesakitan, tetapi sinar matanya menunjukkan perasaan bahagia pemuda itu mengawasi Souw Lian Cu yang ikut datang di dekatnya. Sudah dua kali gadis yang amat membencinya itu menunjukkan perasaan khawatir terhadap keselamatannya. Sementara itu Souw Lian Cu yang tidak merasa kalau sedang diperhatikan oleh Chin Yang Kun, masih melihat dengan sibuk ke arah dada dan perut Yang Kun, mencari cari bagian mana dari tubuh pemuda itu yang terluka. Tampaknya gadis itu amat bernafsu sekali untuk mengetahui dan memeriksa badan Yang Kun, tapi terhalang oleh perasaan malu di hatinya. Oleh karena itu dengan tegang gadis tersebut hanya bisa meremas-remas tangannya sambil berulang-ulang menoleh kepada Tong Ciak Cu-si.
"Yang-hiante, apakah engkau terluka?" Tong Ciak bertanya.
"Hahahaha...anak ingusan! kau tahu sekarang bahwa tidak mudah melawan kami," salah seorang dari Huang ho Heng-te tertawa menghina.
"Pulang saja kembali ke pangkuan ibumu! Lihatlah! Kawan-kawanmu juga amat mengkhawatirkan keselamatanmu!" Yang Kun menoleh dengan cepat. Serasa ada bara api di dalam bola matanya yang mencorong bagai mata harimau itu. Kulit mukanya yang putih juga berubah menjadi kemerahmerahan. Kehadiran Souw Lian Cu di dekatnya membuat ia cepat sekali tersinggung oleh olok-olok tersebut. Maka ketika sekali lagi Tong Ciak mengulurkan tangnnya untuk menolong dia, Yang Kun segera menolaknya dengan tegas.
"Tong Lo-Cianpwe, siauwte tidak terluka oleh senjata monyet-monyet itu! Sungguh!"
"Lalu... apakah luka dalam itu terasa sakit lagi?" Chin Yang Kun mengangguk.
"Tapi sekarang sudah tidak terasa lagi..." sambung pemuda itu sambil melirik Souw Lian Cu.
"Kalau begitu kau beristirahatlah saja agar luka itu tidak semakin parah! Biarlah aku dan Souw-Kouwnio yang akan mengurus orang-orang itu..."
"Tidak! Saya tidak akan mundur. Monyet itu telah menghina aku..."
"Babi busuk yang mau mampus!" tiba-tiba Togu memaki keras sekali. Raksasa ini benar benar tak tahan melihat pemuda yang tadi sudah hampir termakan oleh cambuknya itu masih dapat membual dan sangat meremehkan dia dan kawan-kawannya. Apalagi kata makian "monyet" itu benar-benar menyinggung perasaannya.
"Anak ini memang ingin lekas-lekas menghadap Giam-loong (Dewa Kematian)!" Huang-ho Heng-te berteriak. Sepasang tongkat berkaitnya menyambar ke depan disertai hembusan angina yang kuat, suatu tanda kalau tenaga yang mereka pergunakan juga bukan tenaga sembarangan.
"Tong Lo-Cianpwe! Souw-Kouwnio! Silahkan minggir! Biar kuhadapi sendiri orang-orang ini!" Chin Yang Kun berseru. Dalam sekejap pemuda itu telah mengerahkan Liong-cu-ikangnya yang ampuh. Kemudian sambil meloncat ke samping pemuda itu mengibaskan lengannya yang penuh terisi tenaga sakti.
"Whuuussss!!" hembusan udara dingin yang bukan main kuatnya menerpa kearah lawan, sehingga senjata Huang-ho Heng-te yang terayun ke depan tadi melenceng ke samping dibuatnya.
Sementara kedua orang bersaudara itu tampak gelagapan seperti anak kecil yang terbenam di dalam air. Ternyata bukan hanya para pengawal Tan-Wangwe itu saja yang terpengaruh oleh keampuhan Liong-cu I-kang! Ternyata Tong Ciak Cu-si dan Souw Lian Cu yang berada di dekatnya juga merasakan kehebatan tenaga sakti tersebut. Tong Ciak yang bermaksud mendekati Chin Yang Kun juga merasakan hembusan angin dingin yang mendorong ke arah tubuhnya, sehingga tokoh sakti itu menjadi terkejut sekali. Otomatis Soa-hu-sinkangnya menebar melindungi tubuh. Udara yang sama-sama dinginnya keluar dari badan Tong Ciak Cu-si, menyongsong hembusan udara dingin yang berasal dari tangan Chin Yang Kun!
"Cesssss!" Untuk sesaat Souw Lian Cu yang juga ikut terdorong oleh tenaga Yang Kun tampak menggigil menahan dingin.
Pertemuan antara Liong-cu I-kang dan Soa-hu-sinkang yang sama-sama bersifat dingin itu menciptakan suasana yang luar biasa dinginnya, sehingga gadis yang belum sembuh dari sakitnya itu sangat menderita karenanya. Untunglah keadaan itu hanya berlangsung dalam sekejap mata saja. Bersamaan dengan tergempurnya kuda-kuda Tong Ciak Cu-si, serangan hawa dingin itu lenyap pula. Tanpa terasa Tong Ciak dan Souw Lian Cu telah terdorong mundur beberapa langkah ke belakang! Begitu sadar, tokoh sakti dari Im-yang-kauw itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya kagum bukan main! Biarpun tokoh sakti itu juga belum mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi pemuda itu juga belum pulih kesehatannya. Sedang Souw Lian Cu yang terpaksa tidak dapat bertahan dari kekuatan yang dikeluarkan oleh Chin Yang Kun, menjadi semakin tidak senang dengan pemuda itu.
Dalam hati ia menganggap Yang Kun terlalu sombong dan bermaksud memamerkan kehebatannya! Oleh karena itu sambil menggigit bibirnya keras-keras, gadis itu menatap ke depan dengan wajah keruh. Sementara itu Huang-ho Heng-te tampak berdiri termangu mangu di tempatnya. Mereka hampir tidak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi. Tahu-tahu tongkatnya seperti terdorong ke samping dengan kuatnya. Seolah-olah baru saja ada badai setan yang melanda mereka berdua. Tapi beberapa saat kemudian, setelah kedua orang bersaudara itu menyadari apa sebenarnya yang terjadi, mereka menjadi pucat dan gemetar. Sekarang mereka baru memaklumi bahwa terhindarnya pemuda itu dari reruntuhan tadi bukanlah sekedar hanya suatu kebetulan saja, tapi memang disebabkan oleh kepandaian dan kesaktian pemuda itu pula!
Mendadak saja keberanian mereka menjadi surut,apalagi ketika Yang Kun memandang mereka dengan bengis. Serasa ada jilatan api dalam bola mata itu yang akan membakar mereka. Togu dan Hui chio Tu Seng tercekat pula di dalam hati mereka. Seperti juga dengan Huang ho Heng-te, sekarang mereka menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi sekarang bukanlah lawan yang enteng! Tanpa terasa mereka menatap kedua orang kawan si pemuda yang berdiri tenang di pinggir. Rasa-rasanya mereka mengenal orang tua bertubuh pendek kekar itu pula! Tapi mereka berjumlah banyak, dan hal ini membangkitkan kembali keberanian mereka. Apalagi mereka berada di kandang sendiri. Masih banyak teman-teman mereka yang akan menolong apabila mereka mendapat kesukaran.
"Tangkap mereka...!" Hui-chio Tu Seng akhirnya berteriak ke arah anak buahnya. Belasan orang bersenjata itu serentak berloncatan menyerang Yang Kun dan kawan-kawannya. Ruangan restoran yang tidak begitu luas itu menjadi sesak dan riuh oleh perkelahian mereka yang tidak beraturan.
Segala macam senjata tajam yang berkilat-kilat saking tajamnya, tampak bersiutan mencari mangsa di antara keributan itu. Hui-chio Tu Seng segera menghambur kearah Tong Ciak. Tombaknya yang tajam itu meluncur ke depan, seolah terbang dari pegangannya. Dia memilih Tong Ciak sebagai lawannya karena ia menganggap bahwa orang tua itulah yang terlihai diantara ketiga orang lawannya. Dan di dalam hati ia juga ingin mengetahui siapa sebenarnya orang itu. Tong Ciak menghindar dengan cepat ke kiri, lalu membalas pula dengan tidak kalah hebatnya! Sepasang lengannya yang kuat itu berkelebat cepat menyerang dan menangkis gerakan tombak Tu Seng yang lincah dan cepat itu. Di tempat lain Souw Lian Cu tampak bertempur melawan lima orang anak buah Tu Seng. Meskipun kelima orang itu berkelahi dengan bersemangat dan ganas,
Apalagi mereka berlomba-lomba untuk segera mengakhiri perlawanan si gadis, tapi tampak dengan jelas bahwa mereka bukan lawan yang seimbang bagi gadis cantik tersebut. Biarpun hanya berlengan sebelah, tapi lengan yang putih mulus itu ternyata mampu melayani mereka dengan baik. Malahan kadang-kadang lengan itu mampu menangkis senjata tajam lawannya. Yang paling hebat dan seru adalah arena dimana Chin Yang Kun berkelahi! Seluruh anak buah Tu Seng yang masih tersisa menghambur semua kearah pemuda itu. Selain Togu dan Huang-ho Heng-te, ternyata lebih dari dua belas orang lagi menyerbu dan mengeroyoknya. Terpaksa pemuda itu menggerakkan lagi segala kekuatannya untuk melayani mereka. Beberapa kali tampak pemuda itu berdesis dan mendekap dadanya, terutama bila ia terpaksa harus menangkis senjata lawannya.
Luka yang diderita oleh Yang Kun itu memang sangat mengganggu perlawanannya. Beberapa kali pemuda itu harus menarik atau mengurungkan serangannya hanya karena luka itu tiba-tiba saja terasa menyengat dadanya. Atau kadang kadang tenaga yang telah ia persiapkan menjadi buyar ketika harus melewati daerah yang terluka. Atau kadang-kadang pemuda itu harus mengurungkan serangannya, karena apabila ia teruskan justru akan sangat berbahaya bagi kesehatannya. Oleh karena itu, biarpun berkepandaian sangat tinggi, Yang Kun kali ini benar-benar mengalami kerepotan. Padahal musuh yang mengeroyoknya demikian banyaknya! Untuk meminta tolong kepada Souw Lian Cu atau Tong Ciak, pemuda ini merasa malu.
Apalagi tadi ia sudah menolak ketika Tong Ciak bermaksud menolong dia. Dalam keadaan terpepet Yang Kun menjadi nekad! Tanpa memperdulikan lagi pada mati hidupnya, ia mengerahkan tenaga sakti Liong-cu I-kang sepenuh penuhnya! Dan bersamaan dengan suara desis ular dari bibirnya, badannya memancarkan gelombang udara yang luar biasa dinginnya. Begitu dingin sehingga untuk sekejap lawan lawannya seperti membeku tak bisa bergerak di tempat masing-masing! Tapi sekejap kemudian Togu dan Huang-ho Heng-te segera dapat melepaskan diri dari pengaruh itu. Selanjutnya, dengan berseru keras mereka melompat ke depan, menerjang Yang Kun dengan hebatnya. Sepasang tongkat berkait dari dua bersaudara itu menghantam ke arah Yang Kun dengan kekuatan penuh.
Sedangkan Togu juga tidak mau kalah dengan temannya, cambuk kulit ularnya tampak melayang ke arah pinggang Yang Kun dengan ganas sekali. Suaranya mengaung bagaikan suara angin topan bertiup. Yang Kun memang sudah tidak memikirkan lagi mati hidupnya! Ia telah merasa bahwa kekuatannya takkan dapat bertahan untuk beberapa lama lagi. Oleh karena itu sebelum kekuatan itu habis ia ingin melumpuhkan dahulu lawan-lawannya! Selagi yang lain belum mampu mengatasi pengaruh Liongcu-i-kangnya, Yang Kun mengumpulkan seluruh kekuatan tenaga saktinya ke arah lengan! Dan berbareng dengan datangnya serangan Togu dan Huang ho Heng-te, pemuda itu melontarkan serangan ke depan. Badai angin beracun yang luar biasa hebatnya terasa menghantam ke arah lawanlawannya! Suaranya menderu menggiriskan!
"Wuuuussss!!"
"Dheeesss!"
"Huuaaaakk!"
"Aduuuuuh!" Seperti diterjang oleh hembusan badai topan yang ganas, belasan anak buah Tu Seng yang mengeroyok Chin Yang Kun terpental kesana kemari. Sekejap mereka berkelojotan sambil menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal, lalu mati! Tapi Yang Kun juga tidak bisa mengelakkan serangan Togu dan Huang ho Heng-te yang menghantam tubuhnya! Dengan disertai suara keras tiga buah senjata itu menghajar dengan telak pada tubuhnya, sehingga di lain saat dari mulutnya tampak menyembur darah segar yang berwarna kehitamhitaman! Dan...Huang ho Heng-te yang berada di dekatnya tak mampu menghindarkan diri lagi dari semburan darah tersebut. Leher dan dadanya basah oleh darah Yang Kun!
"Waduh! ToIonnggg...!"
Sambil mencengkeram leher dan dadanya Huang-ho Heng-te berguling-guling di atas lantai. Jari jarinya sibuk mencakar-cakar kulitnya yang terkena darah beracun dari Chin Yang Kun. Akhirnya setelah kulit itu terkoyak-koyak, keduanya mati dengan wajah mengerikan! Togu yang berada di sebelah belakang Yang Kun terbelalak ngeri menyaksikan nasib kawan-kawannya itu. Dengan tubuh gemetar raksasa yang biasanya sangat pemberani itu melepaskan tangkai cambuknya yang membelit pinggang Yang Kun kemudian dengan wajah ketakutan raksasa Mongol itu meloncat melarikan diri! Yang Kun yang telah terluka parah itu menggeram. Ia tak mau kehilangan musuhnya itu. Tapi kakinya terasa kaku dan sukar untuk bergerak lagi. Oleh karena itu dengan kekuatannya yang terakhir ia mengerahkan ilmu pamungkasnya, Kim-coa ih-hoat!
"Hiyaaat!" Sambil membalikkan tubuh pemuda itu mengulurkan lengannya ke arah lawan yang telah berlari sejauh tiga meter dari tempatnya berdiri.
"Aughh...!!" raksasa itu berteriak mengerikan. Badan yang sebesar kerbau itu tertarik kembali ke belakang dan di lain saat terlontar ke atas ke arah lobang genting yang tadi dibuat oleh tubuh Toat-beng-jin!
"Hei! mengapa kau menyusul aku di ke sini?" tiba-tiba Toat-beng-jin muncul dari lobang itu seraya menangkap tubuh Togu, lalu dengan ringan orang tua itu melayang turun sambil membawa Togu ke bawah.
"Ohh... kau!?! K-kau belum m...mati? Auwghh...!" raksasa itu terbelalak begitu melihat siapa yang memondongnya, tapi sesaat kemudian tubuhnya tampak meronta, lalu mati. Cengkeraman jari tangan Yang Kun tadi ternyata telah mematahkan tulang lehernya. Tapi pada saat yang bersamaan Yang Kun juga jatuh terkulai dan menggeletak pingsan di atas lantai. Dari mulutnya masih mengalir darahnya yang berbahaya itu.
"Yang-hiante!"
"Oh, Yang Kun...!" Tong Ciak dan Souw Lian Cu menjerit berbareng. Keduanya bergegas datang, dan lawan yang mereka hadapi mereka tinggalkan begitu saja.
"Awasss! Jangan sentuh darahnya!!" Toat-beng-jin berteriak memperingatkan kedua orang itu. Toat-beng-jin lalu bergegas menotok beberapa jalan darah di badan Yang Kun dengan sebatang ranting, sehingga tidak berapa lama kemudian darah yang mengalir keluar itu berhenti.
Lalu bersama dengan Tong Ciak Cu-si, orang tua itu menyalurkan tenaga sakti yang mereka miliki ke tubuh Yang Kun. Dan lima menit kemudian Yang Kun telah siuman kembali. Sementara itu Tu Seng yang telah kehilangan banyak teman itu cepat-cepat meninggalkan restoran tersebut bersama anak buahnya yang tersisa. Ia bermaksud melaporkan kejadian itu kepada Tuan Tan dan memperingatkan majikannya agar berhati-hati. Ternyata lawan yang mereka tunggu adalah lawan yang sangat berbahaya. Tu Seng tidak tahu bahwa dia telah salah alamat kali ini. Sepeninggal Tu Seng dan kawan-kawannya, Toat-beng-jin memanggil pemilik restoran dan meminta tolong agar mengurus mayat-mayat yang berserakan di tempat itu.
"...Saudara telah menyaksikan sendiri, bahwa orang orang yang mengaku sebagai pembantu Tuan Tan itulah yang memulai peristiwa ini. Untunglah kami semua tak kurang suatu apa. Oleh karena itu, kalau saudara tidak terima dengan keadaan restoran yang rusak ini, saudara harap meminta ganti rugi kepada Tuan Tan..."
"...Dan jangan sekali-kali kau menyentuh darah itu!" Tong Ciak menyambung perkataan Toat-beng-jin seraya menunjuk ke arah ceceran darah yang tadi keluar dari mulut Yang Kun. Kemudian bersama-sama Souw Lian Cu dan Chin Yang Kun, kedua tokoh Im yang kauw itu keluar meninggaIkan tempat berdarah tersebut.
"Sekarang kita langsung ke rumah mendiang Sucouw saja." Tong Ciak bersungut-sungut.
"Lohu memang benar-benar sial hari ini. Ingin menikmati sarapan pagi saja tidak kesampaian..."
"Hahaha... apa kataku! Kesialan itu memang sering datang dengan beruntun..." Toat-beng-jin tertawa.
"Ini saja tentu belum selesai. Aku percaya sebentar lagi Tuan Tan tentu akan menemui kita bersama seluruh kekuatannya..."
"Heh?!?" Tong Ciak berhenti melangkah. "Ah, biar sajalah! Kuhabiskan sekalian mereka kalau berani datang."
"Ah!" Toat-beng-jin berdesah, tapi tak berkata lebih lanjut. Rumah kuno itu benar-benar sangat menyedihkan keadaannya. Selain kotor bangunan itu sudah banyak yang rusak. Genting dan dindingnya banyak yang telah pecah dan longsor. Begitu pula dengan kayu-kayunya, telah banyak yang lapuk dan patah. Bagian yang agak utuh hanyalah bangunan yang berdiri di pojok halaman belakang, yaitu bangunan yang dahulu merupakan bangunan yang diperuntukkan sebagai gudang, dapur maupun kandang binatang piaraan.
Biarpun juga tidak boleh dikatakan bersih, tapi bangunan yang disebut belakangan ini sedikit tampak kalau sering dijamah orang. Daerah di sekitarnya tampak bekas-bekas tangan manusia yang menjamahnya. Bekas-bekas goresan sapu tampak di atas tanah di sekitarnya, sementara di samping bangunan itu tampak terlihat sebuah lobang tempat sampah yang besar. Malahan pada saat itu gundukan sampah kering yang berada di dalamnya tampak mengeluarkan asap tipis, agaknya baru saja dibakar orang. Di depan rumah terdapat tali panjang yang direntang dari pohon kecil ke tiang kayu yang berada di pojok bangunan. Beberapa buah baju dan celana tua tampak tergantung di atasnya. Sedang di halaman sumur terlihat sebuah jambangan penuh terisi air, sementara ember untuk mengambil air yang terletak di dekatnya masih basah bekas dipakai orang.
"Hmm... sepi benar kelihatannya." Tong Ciak Cu-si bergumam di antara langkahnya. "Kemanakah kakek Kam itu...?"
"Mungkin sedang menyiapkan makanan di belakang. Lihat dapurnya berasap!" Toat-beng-jin menunjuk ke arah dapur. Dengan diikuti oleh ketiga orang kawannya Tong Ciak menyeberangi halaman tengah yang amat luas itu, menuju ke bangunan belakang, dimana kakek penunggu rumah tersebut tinggal. Mereka melewati pohon-pohon rindang yang banyak bertebaran tak terurus di tempat itu. Mereka langsung menuju ke arah dapur, dimana tadi mereka telah melihat asap yang mengepul di sana. Tiba-tiba mereka berhenti melangkah. Ada sesuatu yang membuat hati mereka merasa curiga. Mereka seperti mendengar suara orang bertempur di tempat itu.
"Lojin-ong...! Apakah Lojin-ong mendengar suara itu?" Tong Ciak menoleh. Toat-beng-jin mengangguk.
"Yaa... seperti orang bertempur dengan tangan kosong."
Tiba-tiba..."Braaak! Bluk!" Salah satu sisi dari dinding dapur yang terbuat dari anyaman bambu itu terlepas dari tempatnya, dan dari dalam melayang sesosok tubuh terjatuh keluar. Tapi dengan sigap orang itu melenting tegak kembali, sebelum beberapa orang tampak berloncatan keluar dari lobang dinding dan mengepungnya.
"Hong-lui-kun Yap Kiong Lee...!" Tong Ciak berseru tertahan begitu melihat siapa yang terjatuh keluar itu tadi.
"Tiat-tung Lokai!" Souw Lian Cu tanpa terasa juga menjerit lirih begitu matanya memandang kearah orang-orang yang mengepung pemuda itu. Tapi meskipun perlahan, ternyata seruan mereka itu telah terdengar oleh orang-orang yang sedang berkelahi tersebut. Bergegas mereka menoleh kearah rombongan Toat-beng-jin yang baru tiba. Hong-lui-kun menatap dengan pandang mata asing, karena pemuda itu telah lupa sama sekali dengan Tong Ciak. Telah lebih dari lima tahun mereka tidak saling bertemu, apalagi Tong Ciak sekarang memelihara kumis dan jenggot pula. Sementara itu salah seorang dari para pengepung Hong-luikun yang berbadan bongkok dan memegang tongkat besi, tampak terkejut ketika melihat Souw Lian Cu. Orang tua yang kira-kira berumur enam puluh tahun itu mengibaskan lengan bajunya yang penuh tambalan.
"Hei, Souw-Kouwnio!" sapanya ramah, meskipun matanya masih tetap tegang melirik ke arah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee. Souw Lian Cu melangkah tiga tindak ke depan. Dengan wajah heran gadis itu memandang kakek pengemis yang ia panggil Tiat-tung Lokai (Pengemis Tua Bertongkat Besi).
"Lo-Cianpwe... ada apa ini? Mengapa Lo-Cianpwe mengepung dia?"
"Souw-Kouwnio, kau beristirahat sajalah di pinggir! Biarlah orang ini kubereskan terlebih dahulu. Dia berani menghalang-halangi perintah Keh sim Siauwhiap..."
"Omong kosong! Kalian hanya berbohong didepanku. Tak mungkin seorang pendekar ternama seperti Keh sim Siauwhiap memberi perintah untuk merampok harta benda orang lain." Hong-lui-kun Yap Kiong Lee menangkis tuduhan tersebut.
"Huh! kau tahu apa tentang perjuangan kami!" Tiat tung Lokai membentak.
"Perjuangan?" Hong-lui-kun tersenyum. "Ah, kalian ini benar-benar sudah terbalik jalan pikirannya. Perjuangan macam apa perbuatan merampok milik orang-orang lain itu?"
"Persetan! kau memang mau menghina kami...!" Tiat tung Lokai berteriak. Tongkat besi yang mengkilap kehitam-hitaman itu terayun ke depan dengan derasnya, lalu diikuti oleh para pengepung yang lain. Mereka menyerang dengan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat besi yang bentuk maupun warnanya sama dengan kepunyaan Tiat tung Lokai! Hanya besar kecilnya yang berbeda. Mungkin hal itu untuk menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan mereka masing-masing di dalam perkumpulan. Dan tongkat Tiat tung Lo kai yang lebih kecil dan lebih pendek dari tongkat kawan-kawannya itu menunjukkan bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan mereka. Hong-Iui-kun menghindar dengan cepat, lalu tanpa sungkan ia membalas pula dengan tak kalah kerasnya.
Sehingga beberapa saat kemudian di halaman kosong yang sepi itu terjadi pertarungan yang hebat. Masing-masing tak mau mengalah, meskipun masing masing menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini adalah lawan yang amat sakti. Baik Hong-lui-kun maupun Tiat tung Lo kai dan kawan-kawannya sama-sama terkejut di dalam hati, masing-masing tidak menyangka bahwa lawan yang berada di depan mereka demikian kuatnya! Terutama bagi Tiat tung Lokai dan kawan-kawannya! Mereka sungguh terkejut setengah mati ketika menyadari betapa hebatnya kepandaian pemuda yang berani menghalangi rencana mereka itu. Tiat tung Lo kai yang menjabat sebagai ketua Tiat tung Kai pang itu hamper tidak mau mengerti kenapa dirinya yang telah dibantu oleh empat orang pembantu utamanya belum juga bisa menundukkan lawan yang hanya seorang itu?
Mungkinkah kesaktian pemuda tersebut melebihi kesaktian Keh sim Siauwhiap yang pernah mengalahkan mereka? Sedang rasa terkejut di hati Hong-lui-kun lebih dititikberatkan kepada bayangannya tentang tokoh yang bergelar Keh-sim Siauwhiap, yang mampu mengendalikan jago-jago sakti seperti kelima pengemis yang mengepungnya itu. Kalau untuk menundukkan kelima orang yang menjadi anak buahnya saja demikian sukarnya, bagaimana pula kehebatan orang yang disebut dengan Keh-sim Siauwhiap itu? Sementara itu Toat-beng-jin dan kawan-kawannya hanya dapat berdiri diam saja di tempat masing-masing. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, karena kedua duanya tidak mereka kenal. Dan persoalan yang mereka perdebatkan pun juga tidak mereka ketahui.
"Souw-Kouwnio...! kau mengenal para pengemis itu?" akhirnya Tong Ciak membuka mulut untuk bertanya kepada Souw Lian Cu.
"I-i-i...ya!" gadis itu mengangguk dengan gugup.
"Siapakah mereka?"
"Aaa... mereka adalah sahabat-sahabat Keh-sim Siauwhiap. Mereka adalah orang-orang dari Tiat-tung Kai-pang!"
"Orang Tiat-tung Kai-pang?" Yang Kun menyela dengan kaget, sehingga Tong Ciak dan Toat-beng-jin menatapnya dengan tajam. Yang Kun memang amat kaget. Ia menjadi teringat peristiwa di tempat pengungsian dulu, ketika ia secara tidak sengaja membunuh tiga orang Tiat-tung Kai-pang yang bermusuhan dengan orang Kim-liong Piauw-kok. Pemuda ini selalu teringat akan peristiwa itu, karena pada saat itu pulalah ia bertemu dengan Souw Lian Cu untuk pertama kalinya dan pada saat itu pulalah ia menyadari kehebatan ilmu yang diturunkan oleh nenek buyutnya.
"Wah, urusannya tentu akan bertambah runyam kalau orang-orang ini mengetahui kalau aku yang telah membunuh teman-temannya..." pemuda itu membatin. Tak terasa Yang Kun menoleh kearah Souw Lian Cu. Kebetulan gadis cantik itu juga baru memandang Chin Yang Kun sehingga kedua pasang mata mereka bentrok satu sama lain dan... keduanya buru-buru memalingkan mukanya dengan cepat. Sementara itu Tong Ciak dan Toat-beng-jin yang sedari tadi mengawasi Souw Lian Cu tampak melangkah maju dengan tegang.
"Sahabat-sahabat Keh-sim Siauwhiap...? Eh, jadi... Souw-Kouwnio, kau... apakah kau juga datang dari Meng-to?" Tong Ciak bertanya. Souw Lian Cu melirik sekejap kepada Yang Kun, kemudian mengangguk.
"Ooh!" Tong Ciak dan Toat-beng-jin berdesah perlahan. Di dalam arena, pertempuran semakin bertambah seru. Hong-lui-kun yang dikeroyok lima orang tokoh pimpinan Tiat-tung Kai pang itu tidak menjadi kendor, bahkan semakin tampak bertambah garang malah! Beberapa kali gerakan kaki dan tangannya yang selalu diikuti oleh tiupan angin yang menderu-deru itu membobol kepungan lawan yang rapat, meskipun sesaat kemudian kepungan itu menjadi rapat pula kembali.
Kelima tokoh puncak Tiat tung Kai-pang itu memang bukan tokoh tokoh sembarangan. Diantara banyak perkumpulan pengemis yang tumbuh di dunia persilatan, perkumpulan pengemis Tiat tung Kai pang adalah perkumpulan yang paling tersohor dan paling banyak pengikutnya. Mereka tersebar di mana-mana, di seluruh kota kota besar, baik di daerah selatan yang padat penduduknya maupun di daerah utara yang dingin dan kering tanahnya. Begitu hebat dan besarnya, perkumpulan itu sehingga untuk mengurusnya terpaksa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah selatan dan daerah utara. Tiat tung Kai pang daerah selatan diketuai oleh Tiat tung Lo kai yang kini sedang bertempur itu sedangkan daerah utara diketuai oleh Tiat tung Hong-kai (Pengemis Sinting Bertongkat Besi)!
Masing-masing daerah mempunyai jago-jago yang berkepandaian tinggi. Seperti keempat tokoh yang kini membantu Tiat tung Lokai tersebut! Mereka adalah para pembantu utama dari Tiat-tung Lo kai, pengurus harian perkumpulan Tiat tung Kai pang daerah selatan. Keempat orang itu lebih dikenal orang dengan sebutan Tiat-tung Su-lo (Empat orang tua dari perkumpulan tongkat besi). Setiap orang dari Tiat-tung Su-lo mempunyai kepandaian sangat tinggi dan hanya berselisih sedikit dengan ketuanya, Tiat tung Lokai! Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Hong-lui-kun Yap Kiong Lee yang mampu melayani keroyokan kelima tokoh sakti tersebut, tanpa sedikitpun kelihatan lelah ataupun terdesak!
"Gila! Sungguh gila! Pemuda ini memang keturunan iblis...!" Tiat tung Lokai mengumpat-umpat di antara ayunan tongkatnya. Sekali lagi tongkat besi dari kakek bongkok tersebut menyabet ke arah kaki Hong-Iui kun dalam Jurus Mengorek Sampah Mencari Tulang, sebuah jurus yang selalu dibangga banggakan oleh orang tua itu karena sangat luar biasa keampuhannya.
Selama hidupnya belum pernah ada seorang tokohpun yang mampu menghadapi jurus tersebut selain Kehsim Siauwhiap! Tongkat itu bergetar seolah-olah menjadi beberapa buah tongkat saking kuatnya tangan yang menggerakkannya. Lalu setelah sampai pada sasarannya, tongkat tersebut berputar dengan kencang dalam genggaman, seakan-akan tongkat itu benar-benar mengorek sampah untuk mencari tulang yang tertimbun di dalamnya. Kali ini Hong-lui-kun agaknya tak mungkin bisa mengelak lagi, apalagi ketika keempat tongkat Tiat tung Su-lo ikut menghantam ke arah dada dan kepalanya. Semua jalan untuk menghindar telah ditutup oleh tongkat lawan! Dan kelima orang jago Tiat tung Kai-pang itu sudah mulai mengembangkan senyumnya, mereka telah membayangkan lawan yang ulet itu jatuh terkapar di depan kaki mereka.
"Nah, sekarang hatimu tentu menyesal sekali...mengapa dirimu sampai ikut campur dalam urusan ini, haha... Tapi penyesalan itu takkan berguna lagi! Sebentar lagi tubuhmu akan tergeletak di atas tanah tak berdaya." Tiat tung Lokai tertawa gembira.
"Huh! Jangan bermimpi! kau lihatlah baik-baik... hiyaaat!" tiba-tiba Hong-Iui-kun menggeram bagai singa marah.
Entah dari mana pemuda itu mengambilnya, tahu tahu tangannya telah menghunus sepasang pedang pendek. Dan cara memegangnyapun sangat aneh! Tangkai pedang itu dipegang secara terbalik, sehingga mata pedang yang tajam itu melengket sejajar dengan lengannya dan terlindung oleh lengan bajunya yang lebar. Cara memegangnya persis orang memegang belati! Sepintas lalu seperti tak memegang apa apa. Di lain saat pemuda itu meloncat ke atas, menghindari sabetan tongkat Tiat-tung Lo kai, sambil mengerahkan tenaga untuk menangkis keempat tongkat lainnya yang menerjang ke arah tubuh atasnya. Terdengar suara gemerincing yang amat keras ketika sepasang pedang yang terlindung di balik lengan baju itu menghantam tongkat lawan, sehingga keempat tongkat itu terpental lepas dari genggaman para pemiliknya.
"Traaaang...!!!"
"Ochh...?!"
"Ahhh...?!?" Keempat Tiat-tung Su-lo itu terbelalak seperti orang kehilangan akal. Kejadian itu benar-benar mengejutkan mereka dan sedikitpun tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa kemenangan yang telah berada di depan mata tersebut berubah menjadi kekalahan yang amat memalukan. Tenaga gabungan empat orang Tiat-tung Sulo yang selama ini amat ditakuti orang, kini ternyata telah ditaklukkan oleh seorang pemuda! Bergegas keempat orang pengurus Tiat tung Kai-pang daerah selatan itu meloncat mundur.
Dengan mulut melongo mereka mengawasi tongkat mereka yang jatuh berserakan di atas tanah. Di pihak lain, Tiat-tung Lo kai yang telah kehilangan sasaran tongkatnya, menjadi marah bukan main. Tongkat yang berputar dalam genggamannya itu segera meluncur keatas mengejar lawan. Gerakannya sangat enteng dan sederhana, tapi ternyata mengandung tenaga yang hebat sekali. Itulah jurus Mencongkel Tanah Mencari Sisa-sisa Makanan yang ampuh! Tapi Hong-lui-kun yang berada di atas dan baru saja mementalkan tongkat lawan itu tak berdiam diri begitu saja! la tak ingin selangkangannya dihajar ujung tongkat Tiat tung Lo kai! Maka sebelum senjata itu menyentuh pakaiannya, Hong-Iui-kun cepat berjumpalitan dan menukik ke bawah. Sepasang pedang yang dipegangnya terayun menyilang, memapaki tongkat Tiat-tung Lo kai!
"Traanng!" Tubuh bongkok dari Tiat tung Lo kai terpental dan terjerembab ke depan, sedang Hong-lui-kun tampak terhuyung-huyung sedikit setelah mendarat di atas tanah. Dan di dekat mereka tampak potongan ujung tongkat besi Tiat-tung Lokai yang baru saja tergunting oleh sepasang pedang Hong-lui-kun Yap Kiong Lee. Lagi-lagi semua orang dikejutkan oleh kehebatan ilmu silat pedang warisan Sin-kun Bu tek yang jarang diketahui orang, tak terkecuali Toat-beng-jin dan Tong Ciak! Yang mereka ketahui selama ini, Sin-kun Bu-tek sangat terkenal dengan tangan kosongnya. Dan tokoh sakti itu tak pernah mempergunakan senjata selama hidupnya!
"Tong-hiante, agaknya selain mempelajari ilmu warisan leluhurnya, pemuda itu juga belajar kepada orang lain..." Toat-beng-jin bergumam.
"Mungkin...juga." Setelah dapat mengalahkan lawannya, Hong-Iui-kun segera menyarungkan pedang pendeknya kembali. Ternyata pedang itu disembunyikan di bawah lengan bajunya.
"Nah! Apa kata kalian sekarang?" katanya datar.
"Hmh! jangan sombong dahulu! Kami memang mengaku kalah sekarang. Tapi bagaimanapun juga kami tidak akan mengurungkan rencana kami semula. Kami tidak datang sendirian ke desa ini. Keh-sim Siauwhiap telah mengirim beberapa orang untuk mengawani kami. Tunggulah...!" Tiat-tung Lo kai menjawab dengan penasaran. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk orang tua itu mengajak Tiat-tung Su-lo meninggalkan tempat tersebut.
"Lo-Cianpwe...,." Souw Lian Cu berlari mendekati ketua pengemis itu. "Ooh...iya! Souw-Kouwnio!" Tiat-tung Lokai menghentikan langkahnya. Ia benar benar telah lupa bahwa di situ ada Souw Lian Cu, gadis yang selama ini sering kali ia lihat di Pulau Meng-to. Gadis yang ia tahu sangat lihai dan sangat dekat hubungannya dengan Keh-sim Siauwhiap. Tapi kakek bongkok itu segera mengerutkan dahinya.
"Souw-Kouwnio, pemuda itu telah menghina kita. Dan ia telah berusaha menggagalkan rencana Keh-sim Siauwhiap...Mengapa engkau berdiam diri dan tak mau membantu kami?" Souw Lian Cu tersentak kaget. la tak menyangka mendapatkan pertanyaan demikian.
"Lo-Lo-Cianpwe...aku...aku sedang terluka dalam..." katanya gagap.
"Oh??!" kini orang tua itu yang terkejut. "Luka dalam...? Mengapa nona tidak lekas-lekas pulang untuk berobat?"
"Lukaku bukan luka biasa. Hanya beberapa orang tertentu yang bisa mengobatinya. Dan di antaranya adalah kedua orang yang datang bersama aku itu..." Souw Lian Cu menunjuk ke arah Toat-beng-jin dan Tong Ciak.
"Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat atas dari Im-yang-kauw!"
"Im...yang...kauw?" kakek itu semakin kaget, kemudian bergegas meninggalkan Souw Lian Cu dengan tergesa-gesa. Souw Lian Cu menghela napas berat, lalu berjalan kembali ketempatnya semula.
"Nona, apa katanya? Rencana apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleb Keh sim Siauwhiap di sini?" Tong Ciak menyongsong Souw Lian Cu.
"Merampok Tan-Wangwe!" tiba-tiba Hong-lui-kun menjawab pertanyaan tersebut.
"Tapi aku tak mempercayainya. Tak mungkin pendekar ternama seperti Keh sim Siauwhiap mempunyai rencana seperti itu." Ketika semuanya memandang dirinya, Hong-lui-kun segera tersadar bahwa ia belum saling mengenal dengan mereka.
"Oh, maaf...Cuwi ini siapa? Apa keperluan cuwi datang ke tempat kakek Kam ini?" tanyanya agak tersipu. Chin Yang Kun yang sangat mengagumi sepak-terjang Hong-lui-kun sejak melihatnya pertama kali di warung Hao Chi itu cepat melangkah ke depan. Dengan tenang pemuda itu menunjuk ke arah Tong Ciak Cu-si.
"Beliau itu adalah pemilik dari rumah dan pekarangan peninggalan Kim-mou Sai-ong ini. Oleh karena kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka beliau bermaksud singgah sebentar untuk menemui penjaganya."
"Pemilik rumah ini...? Benarkah? Si-siapa...? hei, Tong Tai-Ciangkun rupanya!" tiba-tiba pemuda itu memekik kaget serentak mengenali wajah Tong Ciak Cu-si.
"Yap-Kongcu...!" Tong Ciak terpaksa balas menyapa pula.
"Ah, Tong Tai-Ciangkun. siauwte benar-benar tak mengenalmu tadi. Coba saudara ini tak mengatakan bahwa engkau adalah pemilik rumah, aku sungguh takkan menyangkanya...Oh! Mari silahkan masuk! Kam-Lojin (kakek Kam) sedang keluar mencari obat untuk mengobati racun yang mengeram dalam badanku..." dengan amat ramah pendekar muda itu mempersilahkan mereka masuk ruangan dapur yang jebol dindingnya tersebut.
"Ah, Yap-Kongcu...lohu sekarang tidak menjabat sebagai Tai-Ciangkun lagi." Tong Ciak membetulkan sebutan yang diucapkan oleh Hong-lui-kun kepadanya.
"Ah, benar...maaf...maaf!" Karena tak ada kursi yang dapat mereka gunakan untuk duduk, maka masing masing mencari tempat duduk sendiri seadanya. Sementara Hong-lui-kun sambil membersihkan bekas-bekas dinding dapur yang jebol, mempersilakan Tong Ciak beserta teman temannya untuk duduk menunggu Kam Lojin.
"Silahkan duduk...! Kukira sebentar lagi Kam Lojin tentu akan segera datang. Biarlah kubersihkan dahulu tempat ini..."
"Ah, Yap-Kongcu kuperkenalkan dulu dengan kawan-kawanku ini!" Tong Ciak menarik lengan pemuda tersebut.
"Wah, siauwte menjadi tidak enak hati terhadap Tong Lo-Cianpwe. siauwte telah menyebabkan dinding bambu ini roboh..."
"Alaa...biarlah, Yap-Kongcu tak perlu merasa sungkan. Toh bangunan rumah ini memang sudah lapuk." Kemudian tokoh Im-yang-kauw bertubuh pendek itu memperkenalkan teman-temannya kepada pemuda ahli waris Sin kun Bu-tek tersebut. MuIa mula Souw Lian Cu, lalu Chin Yang Kun dan kemudian yang terakhir Toat-beng-jin!
"Oh...jadi Lo-Cianpwee yang berada di mukaku ini adalah Algojo dari perkumpulan Im yang kauw yang sangat terkenal itu? Ah, Lo-Cianpwe...Siauwte sungguh amat beruntung sekali dapat berkenalan dengan Lo-Cianpwe." Hong-Iui-kun cepat-cepat menjura dengan hormat.
"Nama besar Lo-Cianpwe sudah lama terdengar sampai di Kotaraja."
"Ah, penghormatan Siauw Taihiap ini justru membuat lohu menjadi malu malah. Seharusnya aku yang tua inilah yang harus mengagumimu. Siauw-Taihiap masih sangat muda tetapi telah mempunyai nama yang demikian cemerlang. Setiap orang mengatakan bahwa Kaisar Han sekarang mempunyai pembantu seekor singa yang garang. Tak sebuah kekuatanpun di dunia ini yang mampu meruntuhkan kekuasaan Kaisar Han selama singa itu masih hidup. Dan kata orang singa itu adalah...Yap-Kongcu!"
"Hahahah...khabar itu juga terlalu dibesar-besarkan pula. Seekor singa yang garang? Haha...dahsyat benar! Mana kuat aku mengenakan nama sehebat itu?" pemuda sakti itu tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lo-Cianpwe..." tiba-tiba Hong-lui-kun menghentikan tertawanya, wajahnya menjadi serius.
"Lo-Cianpwe tahu? Apa sebabnya siauwte berada di sini...?" Dahi Toat-beng-jin tampak berkerut sebentar dan matanya yang tajam menatap secara aneh. Tapi sesaat kemudian kepalanya mengangguk tegas, bibirnya tersenyum.
"Tahu! Mau berobat, bukan?"
"Hei! Lo-Cianpwe sudah tahu?"
"Haha...bukankah Yap-Kongcu tadi pernah mengatakan bahwa Kam Lojin sedang pergi mencari obat untuk mengobati badannya yang keracunan?" Tong Ciak menyela.
"Kenapa Yap-Kongcu terkejut?"
"Wah, pikun benar aku ini." Hong-Iui-kun mengetuk-ngetuk jidatnya dengan jari. Lalu sambil membuang napas berat pemuda sakti itu melanjutkan perkataannya.
"Benar! siauwte memang terkena racun. Dan siauwte kemari ini mau berobat kepada Kam Lojin...Nah...siapa bilang siauwte tak terkalahkan? Siapa bilang siauwte ini seekor singa yang garang? Hehe...bukankah berita tersebut terlalu dibesar besarkan orang? Lo-Cianpwe..." Lalu tanpa diminta lagi Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee menceritakan semua kejadian yang baru saja dia alami, yang sebagian diantaranya juga telah disaksikan sendiri sendiri oleh Toat-beng-jin dan kawan-kawannya.
* * *
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kaisar Han yang cerdik itu telah memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari cap kerajaan yang hilang. Selain itu Baginda juga menyebar para anggota Sha cap-miwi yang terkenal kehebatannya, untuk mengadakan penyelidikan ke seluruh negara. Sejak peristiwa penangkapan Si Ciang kun di kota Tie kwan setahun yang lalu, dimana telah terbukti bahwa ada kekuatan tersembunyi yang bermaksud memberontak terhadap negara. Apalagi ketika sebulan yang lalu terjadi serbuan besar-besaran ke istana Kaisar, yang hampir saja berhasil menguasai Kotaraja, Baginda semakin yakin bahwa di dalam negara masih banyak golongan yang tidak menyukai kekuasaannya.
Kaisar Han sebenarnya bukanlah seorang yang haus kekuasaan ataupun kehormatan. Kaisar Han yang dahulu adalah seorang petani dusun itu juga bukan seorang yang berambisi besar untuk menjadi seorang raja diraja. Kaisar Han adalah seorang manusia yang sangat sederhana, dan tak suka pada sesuatu yang berbau gemerlapan. Baginda hampir tak pernah mengenakan pakaian-pakaian kebesaran yang indah, dan selama lima-enam tahun ia berkuasa belum pernah Baginda memakai mahkota intan berlian yang disediakan. Baju yang dipakai Baginda sehari hari tak bedanya dengan baju yang ia pakai sebelum ia menjadi Kaisar, yaitu pakaian seorang pendekar persilatan atau pakaian seorang petani dusun yang sederhana.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Baginda juga melarang para punggawa atau hamba sahayanya bersikap terlalu berlebih lebihan dalam menghormatinya. Tak jarang seorang penjaga atau seorang dayang istana hanya mengangguk atau tersenyum menundukkan kepala saja apabila berpapasan dengan Baginda. Tapi di dalam tubuh yang amat sangat sederhana itu ternyata berakar watak ksatria dan cinta tanah air yang hebat! Di dalam jiwa yang lemah lembut itu ternyata berisi tanggung jawab yang besar terhadap negaranya. Dan rasa tanggung jawab yang amat besar terhadap kelangsungan hidup bangsanya inilah agaknya yang membuat dia mau duduk di atas singgasana!
Kaisar yang amat sederhana tapi berjiwa besar ini tak rela bila negaranya diperintah oleh seorang raja yang kejam dan lalim. Dia rela terbelenggu di dalam lingkungan istana dan meninggalkan kehidupan bebasnya demi rakyat kecil yang dicintainya! Begitulah. Karena rasa kagum terhadap kebesaran jiwa Kaisar Han itulah Hong-lui-kun tanpa diperintah ikut pula berkelana mencari cap pusaka yang hilang! Dan demi Yap Kim, adiknya, Yap Kiong Lee turut pula mencari kaum perusuh yang berniat memberontak! Bersama para anggota Sha-cap mi-wi, pemuda sakti itu berkelana mencari berita ke seluruh pelosok negara.
Setiap bulan atau setiap saat yang telah ditentukan mereka pulang kembali ke Kotaraja untuk melaporkan hasil yang mereka peroleh, serta menentukan langkah langkah yang akan mereka tempuh selanjutnya. Tapi hampir setahun lebih pendekar muda itu berkelana, berita tentang cap kerajaan itu belum juga mereka peroleh. Yang mereka dapatkan dalam jangka waktu yang cukup panjang tersebut hanyalah berita tentang kaum perusuh yang berusaha menumbangkan kekuasaan Kaisar Han! Itupun tidak banyak! Mereka hanya tahu tentang pemusatan-pemusatan pasukan liar di beberapa daerah! Celakanya, ketika kaum perusuh menyusup ke Kotaraja diantara kaum pengungsi, mereka tidak ada yang tahu sama sekali.
Hampir saja Kotaraja yang baru saja dilanda gempa bumi itu digilas rata oleh pasukan perusuh. Untunglah para anggota Sha cap mi-wi kebetulan sedang pulang semua ke Kotaraja, sehingga kaum perusuh yang sudah hampir dapat menguasai istana itu dipukul mundur kembali. Beberapa hari setelah usaha pemberontakan yang gagal tersebut, Hong-lui-kun Yap Kiong Lee kembali berkelana mencari cap kerajaan lagi. Dia naik gunung turun gunung, masuk kota menjelajah desa, tanpa mengenal lelah. Akhirnya jerih-payahnya itu memperoleh hasil pula, meskipun belum seperti yang ia harapkan.
Jilid 16
Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee berjalan dari Kotaraja ke arah timur, sekalian mengikuti pasukan Adiknya yang beberapa hari sebelumnya dikerahkan ke sana untuk mengejar sisa-sisa pasukan perusuh yang mundur ke arah timur. Tapi di sebuah desa yang bernama Hok-cung, Yap Kiong Lee mendapatkan pasukan adiknya telah dapat memusnahkan pasukan lawannya. Meskipun adiknya itu tidak dapat menangkap pimpinannya, sebab khabarnya pimpinan pemberontak itu telah diselamatkan terlebih dahulu oleh pengawal pribadinya yang lihai. Dari Hok-cung, Yap Kiong Lee berjalan ke selatan, melewati jajaran pegunungan kecil yang membujur ke arah pantai timur. Dia mendaki Bukit Delapan Dewa yang terkenal karena bangunan Kuil Im-yang-kauwnya itu, lalu bermaksud menyusuri sungai yang berada di kakinya.
Tapi di lereng bukit itulah dia dengan tidak sengaja melihat musuh lamanya, yaitu Song bun kwi Kwa Sun Tek! Pemuda lihai putera ketua Tai-bong-pai itu bersama seorang temannya tampak sedang mempermainkan empat orang pengikut lm-yang kauw. Yang tiga orang malahan telah dibunuhnya, sementara yang seorang lagi ia lepaskan supaya dapat memberi laporan kepada pemimpinnya. Bukan main gembiranya Yap Kiong Lee! Ternyata di tempat yang sunyi sepi itu ia malah dapat menemukan orang yang selama ini ia curigai sebagai pimpinan kaum pemberontak. Padahal sudah setahun lamanya ia berusaha menemukan orang itu untuk menyelidiki keterlibatannya dalam kerusuhan yang terjadi di kota Tie-kwan tempo hari.
Di mana dalam pertempuran dengan kaum perusuh di gedung Si Ciangkun itu, ia melihat adiknya bertempur satu lawan satu dengan seorang musuh, yang mahir ilmu silat Tai-bong-pai! Meskipun saat itu orang tersebut menutupi wajahnya dengan saputangan, tapi Hong-lui-kun Yap Kiong Lee yakin bahwa orang tersebut tentulah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Musuh lama dari Kaisar Han! Maka ketika ia menyanggupi permintaan tolong Kaisar Han untuk ikut mencari siapa sebenarnya tokoh yang menggerakkan kaum perusuh itu, Hong-lui-Kun segera memusatkan pencariannya kepada Song-bun-kwi Kwa Sun Tek! Tetapi pemuda iblis itu ternyata sukar sekali dicari. Bagaikan hantu orang itu menghilang dan tak pernah kelihatan lagi! Malah di gedung pusat Tai-bong-pai sendiri orang telah melupakannya.
Biarpun putera ketua mereka sendiri, tapi Song-bun-kwi telah lama diusir oleh ayahnya, sehingga anggota perguruannya sendiri juga tak mempedulikannya lagi. Setelah membunuh tiga orang anggota Im-yang-kauw, Song-bun-kwi dan temannya lalu pergi meninggalkan Bukit Delapan Dewa. Mereka melintasi bukit-bukit yang berada di sebelahnya, lalu turun ke lembah, dan akhirnya menuju ke tepian sungai yang mengalir di tempat itu. Dengan sangat berhati-hati, Hong-lui-kun mengikuti saja ke mana mereka pergi. Begitu pula ketika dua orang itu mendekati beberapa buah perahu yang berlabuh di tepi sungai tersebut. Dua orang yang amat sangat dikenal oleh Yap Kiong Lee keluar dari sebuah perahu yang ditambatkan agak ke tengah. Kedua orang itu berdiri di atas geladak, menyongsong Song bun kwi yang baru saja datang.
"Tee-tok-ci dan Ceng-ya-kang...!" Hong-lui-kun bergumam perlahan. "Ahh...jadi benar juga dugaanku selama ini. Si Ciangkun telah diperalat oleh Song-bun-kwi dan orang-orang Ban-kwi-to!" Yap Kiong Lee menoleh kesana kemari, mencari jalan agar dapat mendekati perahu tersebut. Tapi perahu itu jauh terpisah dari perahu-perahu yang lain, sehingga sukar untuk mendekatinya tanpa terlihat oleh mereka.
"Satu-satunya jalan hanyalah menyelam dan berenang ke sana. Tapi apakah arus sungai ini tidak besar? Walaupun bisa, tapi aku tidak mahir dalam berenang..." Tapi karena hanya dengan jalan itu ia bisa mendekati lawannya, maka Hong-lui-kun nekad untuk menyelami sungai yang lumayan besarnya itu. Berhati-hati ia beringsut ke hilir. Lalu tempat yang terlindung oleh semak-semak, ia turun ke dalam air dan...menyelam!
Tiba-tiba dilihatnya perahu tersebut melepaskan ikatannya dan bergerak untuk berangkat. Perlahan-lahan perahu itu berputar, kemudian hanyut ke hilir. Seorang tukang perahu tampak berdiri di buritan mengendalikannya. Hong-lui-kun tidak jadi berenang. Sambil memegang patahan ranting berdaun rimbun di atas kepalanya, ia menanti lewatnya perahu tersebut di tempatnya. Kemudian dengan hati-hati ia 'menempel' pada dinding perahu. Ranting berdaun lebat yang dibawanya ia pakai untuk menutupi kepalanya yang tersembul di atas air. Beberapa saat lamanya perahu itu berjalan, tapi Yap Kiong Lee belum juga mendengar percakapan mereka. Suasana di dalam perahu masih tetap sunyi. Tak ada suara sedikitpun selain suara kecipaknya air sungai yang menjilat dinding perahu. Satu jam telah berlalu. Yap Kiong Lee sudah mulai bosan dan kedinginan.
"Kurang ajar! Apa yang diperbuat orang orang itu? Mengapa diam saja sejak tadi." pemuda itu menggerutu di dalam hati. Lalu dengan penasaran diraihnya tali yang tergulung di atasnya, yang terikat kuat pada pagar perahu. Ia bermaksud menjenguk ke dalam. Tetapi belum juga tali itu terjangkau oleh jarinya, tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah perahu lain. Perahu tersebut dengan cepat menyongsong perahu yang 'ditempelnya", Beberapa orang pendayung tampak bersemangat sekali dalam mengayunkan dayungnya.
"Ongya datang...!" mendadak Hong-lui-kun mendengar suara serak dari dalam perahu. Agaknya suara orang tinggi besar yang datang bersama dengan Song-bun kwi tadi. Yap Kiong Lie mengurungkan niatnya. Dia justru semakin membenamkan tubuhnya. Dari balik daun-daun yang menutupi kepalanya, ia mengintip ke arah perahu yang datang. Beberapa puluh meter sebelum kedua perahu tersebut berpapasan, perahu yang datang dari depan tadi tampak berputar berbalik haluan, kemudian berhenti menantikan perahu yang dinaiki Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Lalu keduanya berlayar berdampingan. Yap Kiong Lee yang kebetulan berada di antara dua dinding perahu yang sedang berdempetan, dengan leluasa dapat mendengarkan percakapan mereka.
"Ongya...! Apakah ongya sudah terlalu lama menunggu, sehingga terpaksa menyusul kami kemari?" Song-bun kwi yang cuma terlihat kepalanya saja dari tempat persembunyian Yap Kiong Lee itu membuka suara, menyambut seorang laki-laki misterius di atas perahu yang baru saja tiba.
"Uh! Uh! Uh!"
"Grobyag!!" Tiba-tiba dari dalam perahu orang misterius tersebut terdengar suara berisik yang disertai suara manusia yang ditutup mulutnya dengan paksa. Song-bun-kwi kelihatan tertegun di tempatnya. Begitu pula Tee-tok-ci, Ceng-ya-kang dan orang bertubuh tinggi besar yang berdiri di belakangnya! Hong-Iui-kun yang berada di dalam airpun ikut tegang dan berdebar-debar.
"Permainan apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh orang-orang ini? Song-bun-kwi yang telah diusir oleh perguruannya, iblis-iblis Ban-kwi-to yang biasa membuat kerusuhan dan...orang bertopeng yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik kerudung hitamnya!!" pemuda itu menduga-duga di dalam hatinya.
"...Uh...uh!" sekali lagi terdengar suara berbisik itu.
"Hmh! kau mau diam atau tidak?" orang berkerudung itu menoleh ke dalam perahu dan menghardik.
"Ongya, siapakah dia?" orang bertubuh tinggi besar itu bertanya.
"Dia adalah murid Si Tua Bangka dari Bing-kauw yang kurang ajar itu!"
"Oh! Mengapa ongya menawannya..?"
"Hmh!" orang berkerudung itu mendengus tak menjawab. Lalu badan yang terbungkus oleh mantel hitam tersebut tampak melayang, menyeberang ke perahu yang ditumpangi Song-bun-kwi dan kawan-kawannya. Dengan mengangguk hormat Song-bun kwi segera mempersilahkan orang itu ke dalam perahunya.
"Silahkan duduk, ongya!"
"Terima kasih!" orang misterius yang dipanggil dengan sebutan ongya itu mengangguk.Lalu katanya kemudian.
"Kwa-heng, Wan-heng, Tee-tok-ci dan...Ceng-ya-kang! Marilah kalian kupersilahkan pula duduk bersamaku di sini! Banyak yang hendak kubicarakan dengan cuwi semua..." Dari tempat persembunyiannya Hong-lui-kun mendengar suara kursi yang ditarik oleh orang-orang tersebut. Agaknya mereka duduk dalam satu meja.
"Hm, siapa pula orang ini? Kelihatannya semua orang sangat menghormatinya. Apakah dia yang memimpin kelompok perusuh itu?" pemuda ahli waris Sin-kun Bu-tek itu sibuk menduga-duga di dalam hati. "Kuharap aku tidak salah tebak! Dan...kuharap aku benar benar telah menemukan buruanku itu sekarang!" Dengan perasaan tegang Hong-lui-kun Yap Kiong Lee mendengarkan percakapan mereka.
"Kwa-heng...? Bagaimana dengan rencana yang hendak Kwa-heng lakukan bersama Wan-heng dulu itu? Apakah Kwaheng sudah melaksanakannya? Bagaimana pula perkembangannya?" orang misterius itu terdengar memulai percakapan mereka.Terdengar suara tertawa dari dua orang yang baru saja disebut namanya itu.
"Hahaha...! Ongya, semuanya benar-benar berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan dahulu. Dunia persilatan sudah mulai panas! Seluruh rencana yang telah kita laksanakan, sekarang sudah mulai membawa hasil. Masing masing perguruan dan golongan yang kita maksudkan telah mulai saling cakar dan saling curiga-mencurigai satu sama lain." Orang she Wan yang datang bersama Song-bun-kwi tadi menjawab pertanyaan itu.
"Apakah para pemimpin mereka telah bertempur satu sama lain?"
"Belum, ongya! Tapi hamba kira hal itu segera akan terjadi takkan lama lagi..." Song-bun kwi menerangkan.
"Masing-masing telah terbakar hatinya, sehingga mereka telah saling mempersiapkan diri..."
"Bagus! Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih! Kwa-heng dan Wan-heng memang hebat sekali! Jadi sekarang kita tinggal menanti saja...saat yang tepat! Kita bersama-sama akan bergerak, dan...eh, lalu bagaimana dengan cap kerajaan itu? Apakah kalian semua telah mencium jejaknya?" tiba-tiba orang berkerudung itu mengalihkan pembicaraannya. Hong-lui-kun yang masih berada di bawah perahu itu menjadi tegang bukan main. Cap kerajaan! Mereka ternyata juga mencari benda keramat itu! Maka dengan hati berdegup keras, pemuda itu menempelkan telinganya lekat-lekat ke dinding perahu, agar dapat lebih jelas mendengarkan perkataan mereka. Hening sejenak. Semuanya terdengar menghela napas panjang.
Darah Pendekar Eps 41 Darah Pendekar Eps 19 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12