Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 24


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 24




   "Lian-moi, dalam hati aku juga tidak mempercayainya. Aku sudah sangat mengenal calon iparku itu luar dalam. Tak mungkin rasanya dia berbuat seperti itu...tapi, rasa-rasanya Yap-Kongcu juga tak mungkin membohongi kita pula. Yap-Kongcu adalah seorang pendekar besar, kepercayaan Kaisar pula serta kakak dari Yap Tai-Ciangkun pula. Tak mungkin dia omong sembarangan..."

   "Lalu...bagaimana Cici?"

   "Marilah kita buktikan kebenarannya! Kita pergi ke Pantai Karang sekarang!"

   "Ayoh!" Ho Pek Lian menjawab tak sabar. Sementara itu di tempat lain, Yap Kiong Lee sedang sibuk berputar-putar mencari jejak buruannya. Ternyata waktu yang hanya sebentar tadi telah membuat dia kehilangan jejak mereka. Hampir saja pemuda itu berputus-asa, ketika tiba-tiba ia mendengar suara telapak kaki kuda di arah peternakan kuda itu. Bergegas Yap Kiong Lee berlari kesana dan ternyata...benar juga! Di atas padang rumput itu dilihatnya Ceng-ya-kang bersama enam orang kawannya, sedang memacu kuda masing-masing.

   Tidak ada jalan lain bagi Yap Kiong Lee untuk dapat mengejar mereka selain turut mencuri seekor kuda pula seperti mereka. Dan diatas tanah peternakan tersebut memang amat banyak kuda-kuda yang berkeliaran. Yap Kiong Lee memilih seekor yang tegap dan gagah, kemudian menaikinya. Sambil berjanji di dalam hati, bahwa pada suatu saat ia akan mengembalikannya kepada yang empunya, Yap Kiong Lee memacu kuda tersebut untuk mengejar Ceng-ya-kang. Semalam suntuk mereka berkuda naik gunung turun bukit, menyusuri aliran sungai, menuju ke arah timur laut. Dalam perjalanan Yap Kiong Lee selalu mengambil jarak agar tidak diketahui oleh orang-orang yang dibuntutinya, sementara di dalam hatinya selalu bertanya-tanya, dimana sebenarnya para iblis Ban-kwi-to yang lain?

   Ternyata yang sedang ia buntuti sekarang hanyalah Ceng-ya-kang dan anak buahnya yang tadi mendayung perahu. Tee-tok-ci dan yang lain-lain tak kelihatan sama sekali. Pada saat fajar mulai menyingsing, mereka memasuki dusun Ho-ma-cun. Dusun yang dikatakan oleh kakek Kam Song Ki sebagai desa tempat tinggalnya. Yap Kiong Lee bertanya kepada salah seorang petani yang sedang mengerjakan sawahnya, dimana gerangan rumah kakek Kam atau yang lebih dikenal dengan Kam Lojin itu? Dan begitu tahu bahwa rumah tersebut tidak demikian jauh lagi dari tempat itu, Yap Kiong Lee tidak segera meninggalkan tempatnya berdiri. Sambil beristirahat ia menonton petani itu mengayunkan cangkulnya.

   "Ah...pagi yang segar!" pemuda itu merentangkan lengannya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya.

   "Biarlah aku beristirahat disini sebentar. Kukira mereka juga takkan segera melanjutkan perjalanan ini. Mereka tentu mampir di warung untuk mencari sarapan pagi." Petani itu meletakkan cangkulnya. Dengan heran ia mengawasi Yap Kiong Lee yang tidak segera meninggalkan tempat itu.

   "Tuan mau kemana...?" Tanyanya ingin tahu.

   "Oh! Aku adalah keponakan Kam Lojin yang ingin menjenguk dia. Tapi hari masih demikian pagi, lebih baik aku melepaskan lelah dahulu disini. Boleh, bukan?"

   "Ah, tentu...tentu saja boleh." Petani itu menjawab dengan tersipu-sipu. "Tapi...tapi harap tuan berhati-hati di dusun kami. Banyak orang di tempat kami yang tak suka kepada orang asing, terutama para anak buah Tan-Wangwe," lanjut orang itu polos.

   "Hei, begitukah? Ah, biarlah. Asal aku baik-baik membawa diri, tak mungkin mereka mengganggu aku." Yap Kiong Lee tersenyum. "Hei, mengapa paman berhenti mencangkul? Silahkan paman bekerja! Atau...apakah beradanya aku disini telah mengganggu pekerjaan paman?"

   "Ah, tidak...tidak!" petani itu segera mengambil cangkulnya kembali dan mengayunkannya ke tanah. Yap Kiong Lee tersenyum melihat betapa tanah yang gembur itu amat mudah sekali dicangkul.

   "Wah, tanah paman sungguh subur sekali..." Pemuda itu memuji.

   "Oo...bukan...bukan! sawah ini bukan kepunyaanku! Tak seorangpun di seluruh lembah yang mempunyai sawah sendiri. Sejak kedatangan Tan-Wangwe di dusun Ho-ma-cun, seluruh daerah yang ada di lembah sungai ini jatuh dalam cengkeramannya. Eh...eh, maaf...maksudku...maksudku, daerah ini telah dibeli semuanya!" dengan wajah ketakutan petani itu memperbaiki kata-katanya yang "terlanjur" lepas dari mulutnya tadi.

   "Eh? Ada apa paman? Jangan takut, aku bukan kerabat Tan-Wangwe. Aku benar-benar orang asing disini, aku datang dari Kotaraja."

   "Ohh...anu...eh...bukan...bukan itu...!" petani itu terbelalak, memandang ke arah seberang jalan dengan wajah pucat. Yap Kiong Lee menoleh dan...matanya ikut terbelalak! Tampak Tiat-tung Lokai dan Tiat-tung Su-lo berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Dan ketika pemuda itu memandang kepada si petani lagi, keheranannya semakin tambah memuncak. Petani itu membuang paculnya dan lari terbirit birit.

   "Tidak! Tidak...! aku tidak apa-apa...!" jeritnya ketakutan. Belum juga Yap Kiong Lee tahu apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba dilihatnya Tiat-tung Lokai dan Tiat-tung Su-lo telah berkelebat mengejar petani itu.

   "Tangkap dia! Dia tentu mata-mata Tan-Wangwe yang mau melaporkan kedatangan kita." Ketua Tiat-tung Kai-pang daerah selatan itu berteriak. Apa dayanya seorang petani dusun biasa melawan jago silat seperti mereka. Belum juga ada sepuluh meter ia berlari, para pengemis itu telah datang menangkapnya. Petani itu menggeliat-geliat dan melonjak-lonjak ketakutan, mengira bahwa dia telah ditangkap oleh para pengawal Tan-Wangwe.

   "Lepaskan dia!" tiba-tiba Yap Kiong Lee membentak. Agaknya Tiat-tung Lokai telah menduga sebelumnya, bahwa Yap Kiong Lee tentu akan membantu petani itu. Dari jauh mereka telah melihat kedua orang itu saling berbincang dan bercakap-cakap sebelum mereka datang.

   "Pegang dulu orang ini!" orang tua itu mendorong si petani kearah Tiat-tung Su-lo. "Biar kuhadapi temannya yang sombong itu." Tiat-tung Lokai berdiri menghadapi Yap Kiong Lee.

   "Anak muda, kelihatannya kau mempunyai bekal kepandaian juga, sehingga berani membentak kami. Tapi engkau benar-benar akan menyesal nanti, kalau tahu siapa sebenarnya yang kau hadapi kali ini."

   "Menyesal? Eh, mengapa saya mesti menyesal? Saya hanya ingin mencegah, agar Lo-Cianpwe tidak menyakiti petani yang tidak tahu apa-apa itu. Aku tahu bahwa Lo-Cianpwe adalah Tiat-tung Lokai yang terkenal itu."

   "Ho...jadi kau sudah tahu siapa aku? Kalau begitu kau memang benar-benar bernyali besar. Tapi aku tahu, keberanianmu itu tentu disebabkan oleh karena kau merasa berada di daerah sendiri, hingga sewaktu-waktu kau dapat meminta bantuan teman-temanmu yang berkumpul di tempat Tan-Wangwe."

   "Maksud Lo-Cianpwe...?"

   "Maksud kami? He-he...maksud kami tetap akan kami laksanakan. Pihak kami juga tidak takut menghadapi kawan-kawanmu yang banyak itu. Harta benda Tan-Wangwe yang tidak halal itu akan tetap kami ambil dan akan kami bagikan kepada para penduduk yang membutuhkan. Nah, kau mau apa?"

   "Tapi...tak mungkin rasanya kalau Keh-sim Siauwhiap memberi perintah seperti itu." Yap Kiong Lee menatap tak percaya.

   "Huh, kau tahu apa tentang Keh-sim Siauwhiap?" Yap Kiong Lee mengusap dagunya yang licin, sementara sepasang matanya menatap kosong ke depan. Benar, ia membatin. Ia memang belum mengenal pendekar itu. Yang ia kenal dan ia ketahui barulah ceritera tentang kesaktian dan sepak-terjang pendekar itu di dunia persilatan. Meskipun khabarnya pendekar itu suka mengganggu harta benda para hartawan, tapi semuanya dilakukan demi menolong rakyat miskin. Jadi tak mungkin rasanya kalau pendekar itu sampai memerintahkan anak buahnya untuk merampok. Masih terngiang-ngiang di dalam telinganya, pesan-pesan yang bernada bersahabat dari pendekar itu tadi malam.

   "Ah, Lo-Cianpwe...sudahlah! aku takkan mencampuri urusan Keh-sim Siauwhiap dan Tan-Wangwe. Tapi aku minta dengan sangat agar petani itu dilepaskan!" akhirnya pemuda itu mengambil keputusan.

   "Kurang ajar! kau bilang tidak akan mencampuri urusan kami, tapi kau meminta agar kami melepaskan tawanan kami. Huh, apa bedanya itu?" Tiat-tung Lokai berteriak sambil mempersiapkan tongkat besinya. Tapi Yap Kiong Lee telah berketetapan hati untuk membebaskan petani tersebut, meskipun dalam hati sebenarnya ia tak ingin bentrok dengan mereka. Apalagi iapun tak ingin berlama-lama di tempat itu. Maka dia segera mengerahkan segenap kemampuannya, dan sekejap kemudian ia telah bergerak mendahului lawannya! Tubuhnya yang tegap gagah itu mendadak melenting tinggi ke atas, melampaui kepala Tiat-tung Lokai dengan cepat sekali. Dan sebelum ia mendaratkan kakinya di dekat Tiat-tung Su-lo yang menjaga si petani, Yap Kiong Lee melontarkan pukulan Thian-lui-gong-ciangnya!

   "Bummmm!" Tanpa ampun lagi keempat orang itu terjengkang ke belakang, dan sebelum semuanya menyadari apa yang terjadi, Yap Kiong Lee telah menyambar si petani dan membawanya ke atas punggung kudanya, dan di lain saat kuda tersebut sudah melompat pergi meninggalkan mereka.

   "Kejar dia!" begitu sadar Tiat-tung Lokai berteriak marah. Tapi sebentar saja kuda itu telah hilang dari pandangan mereka, membuat mereka semakin marah dan mendongkol. Yap Kiong Lee memperlambat langkah kudanya. Mereka telah memasuki jalan besar yang menjadi jalan utama dusun Ho-ma-cun.

   "Tuan...biarlah aku turun di sini saja. Rumahku sudah tidak jauh lagi dari sini," pinta petani itu dengan suara gemetar. Peristiwa tadi benar-benar amat menakutkan bagi dirinya.

   "Baiklah, paman, kau pulanglah! Ingatlah, kau tidak perlu takut kepada siapapun! Para pengemis yang menangkapmu tadi bukanlah anak buah Tan-Wangwe, tapi justru orang-orang dari pihak lawan Tan-Wangwe." Petani itu mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih, lalu melangkah pulang dengan cepat sedangkan Yap Kiong Lee segera meneruskan perjalanannya pula. Perlahan-lahan ia mengendarai kudanya memasuki jantung dusun yang amat ramai itu. Dilihatnya orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan dengan seksama, siapa tahu Ceng-ya-kang dan kawan-kawannya berada diantara mereka?

   Toko-toko dan warung-warung makanan telah mulai ramai pula dengan pembelinya, sehingga pemuda itu juga harus menambah lagi kewaspadaannya. Tiba-tiba di depan warung bubur Yap Kiong Lee melihat banyak orang berkerumun. Oleh karena sangat tertarik, ia membelokkan kudanya kesana. Siapa tahu orang-orang Bankwi to yang biasa membikin keributan itu ada disana. Ternyata dugaannya betul. Begitu masuk ke halaman warung, semua orang telah memperhatikannya. Dan di dalam warung itu sendiri ia melihat Ceng-ya-kang beserta anak buahnya telah duduk menunggu dia. Karena sudah terlanjur, maka Yap Kiong Lee juga tidak mau kalah gertak. Dengan tenang ia memasuki warung tersebut, dan duduk di hadapan Ceng-ya-kang.

   * * *

   "Sudahlah, Yap-Kongcu. Cerita selanjutnya telah kami saksikan sendiri tadi pagi. Tak usah engkau melanjutkannya...!" Tong Ciak memotong ceritera yang dituturkan oleh Yap Kiong Lee.

   "Hei, dimana Lo-Cianpwe menyaksikannya?" Hong-lui-kun Yap Kiong Lee mengerutkan dahinya.

   "Ha-ha-ha...! Kami semua berada di halaman warung itu pula, bercampur dengan para penonton yang lain." Toat-beng-jin tertawa. "Oleh karenanya kami dapat menyaksikan sepak terjang Yap-Siauwhiap dari awal hingga akhir."

   "Cuma yang kami herankan ialah mengapa Yap-Kongcu tidak segera menghentikan perlawanan Ceng-ya-kang, sehingga akibatnya justru Yap-Kongcu sendiri yang menderita rugi. Soalnya menghadapi iblis-iblis beracun yang suka mengobral racun seperti mereka, kita harus lekas-lekas melumpuhkannya. Kalau tidak...nah, justru kita sendirilah yang termakan oleh racun mereka!" Tong Ciak memberi komentar lagi. Yap Kiong Lee mengangguk.

   "Memang benar perkataan Lo-Cianpwe tadi. Tapi...selain iblis itu memang lihai, siauwte memang juga tidak tega untuk membunuhnya. Bagaimanapun juga iblis itu dahulu adalah sahabat dari Kim-sute."

   "Eh...ya! lalu bagaimana dengan jam enam pagi besok? Apakah Yap-Kongcu benar-benar akan menemui dia di warung bubur itu lagi?" Yap Kiong Lee tertawa terbahak-bahak, sehingga Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu yang sedari tadi selalu merengut saja menjadi ikut-ikutan tersenyum.

   "Ha-ha-ha...mungkin Lo-Cianpwe sudah menduga sejak semula, bahwa perbuatanku itu sebenarnya hanya gertak sambal belaka, agar iblis itu sungguh-sungguh memberikan obat pemunah racunnya yang asli, ha-ha-ha..."

   "lalu...?" Tong Ciak menegaskan.

   "Lo-Cianpwe! Guruku tak pernah mempunyai jarum Ulat, apalagi memberikannya kepadaku. Semuanya itu hanyalah karanganku saja, agar dia ketakutan dan benar-benar memberikan obatnya yang asli kepadaku. Ternyata tipu muslihatnya itu memang benar-benar berhasil. Hal itu dapat dibuktikan ketika akar obat yang diberikan kepadaku itu siauwte serahkan kepada Kam Lo-Cianpwe...untuk diperiksa."

   "Wah, celaka!" tiba-tiba Tong Ciak memekik dengan nada sesal, sehingga sangat mengagetkan teman-temannya yang lain. "Jadi...jadi Kam Lojin yang selama lebih dari lima tahun kusuruh menunggu rumah ini, sesungguhnya..., adalah Song Ki Lo-Cianpwe yang terkenal itu? Sungguh bodoh dan berdosa sekali aku! Mataku benar benar buta, tak bisa melihat permata di depan hidungku..."

   "Loya..." terdengar suara halus dan tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang kakek tua renta menjinjing keranjang obat-obatan. Biarpun sudah amat tua, tetapi badannya masih kelihatan kuat dan kokoh. Dengan pandang mata heran orang tua itu mengawasi tamu-tamunya yang memenuhi ruangan kecil itu. Lalu dengan hormat kakek sakti itu menjura kepada Tong Ciak, majikannya.

   "Loya...!" sapanya sekali lagi. Semuanya bergegas berdiri, tak terkecuali Tong Ciak Cu-si. Dengan khidmat mereka menghormat kepada orang tua itu, sehingga Kakek Kam yang belum menyadari keadaannya menjadi kaget dan bingung.

   "Kam Lo-Cianpwe...! Maaf kami mengganggu ketenangan rumah ini." Toat-beng-jin yang sudah tua itu membuka suara mewakili teman-temannya. Kakek tua itu tidak segera menjawab. Matanya yang sipit tertutup keriput itu berkilat-kilat memandang ke arah Yap Kiong Lee. Pemuda ahli waris dari perguruan Sin-kun Bu-tek itu segera maju dengan tersipu-sipu.

   "Maaf, Lo-Cianpwe. siauwte sudah menceriterakan semuanya kepada mereka."

   "Ohh..." akhirnya Kam Song Ki menunduk, lalu dengan halus mempersilahkan para tamunya untuk duduk kembali.

   "Silahkan! Silahkan cuwi semua duduk! Silahkan Tong Loya!Maaf, aku tak mempunyai tempat duduk yang baik...!"

   "Kam Lo-Cianpwe, jangan membuatku malu di depan begini banyak orang. Sekarang siauwte sudah tahu, siapa sebenarnya Lo-Cianpwe. Dan hal itu benar benar membuat siauwte merasa amat malu dan berdosa sekali. Oleh karena itu sekarang tidak ada lagi sebutan Loya atau pelayan penunggu rumah lagi. Yang ada sekarang adalah Tong Ciak dan Kam Lo-Cianpwe!" pengurus bagian keagamaan dari lm-yang-kauw itu menyesali kebodohannya.

   "Baiklah...baiklah! Sekarang memang sudah saatnya bagiku untuk meninggalkan dunia ini dan mengembara lagi entah ke mana. Sudah terlalu lama aku beristirahat."

   "Kam Lo-Cianpwe...!" Tong Ciak berseru.

   "Maaf, Tong-sicu. Aku memang sudah merencanakan hal ini berbulan-bulan yang lalu, bukan karena apa-apa. Sungguh kebetulan Tong-sicu berkunjung kemari, sehingga aku tak perlu mencarimu untuk menyerahkan kembali rumah ini. Dan aku sungguh amat berterima kasih sekali atas kemurahan hati Tong-sicu memberi tempat berteduh padaku."

   "Kam Lo-Cianpwe...!"

   "Sudahlah, Tong-sicu. Marilah, lebih baik kau perkenalkan tamu-tamuku ini kepadaku!"

   "Ba-baik, Kam Lo-Cianpwe!" Karena merasa tak mungkin dapat lagi menahan maksud orang tua itu, maka Tong Ciak tak ingin mempersulit pula. Satu-persatu ia memperkenalkan teman temannya. Ketika ia menyebutkan nama Toat-beng-jin, Kam Song Ki segera menjura dan memotong.

   "Ah, kiranya Toat-beng-jin Loheng adanya...Kudengar dalam Aliran Im-yang-kauw terdapat sebuah ilmu yang ditulis dalam lembaran kulit domba, namanya Im-yang Kun-hoat, benarkah?"

   "Ah, pengetahuan Lo-Cianpwe sungguh luas sekali. Apa yang Lo-Cianpwe dengar itu memang benar. Tapi ilmu tersebut bukanlah sebuah ilmu yang sangat baik, apalagi jika diperbandingkan dengan Kim-hong Kun-hoat warisan Bu eng yok-ong." Toat-beng-jin berkata merendah.

   "Ah, Toat-beng-jin LoHeng-terlalu merendahkan diri. Padahal mendiang Kim-mou-Sai-ong juga mengakui kehebatan ilmu tersebut. Malah katanya ilmu yang dipelajari oleh datuk besar itu juga bersumber pada lembaran kulit domba tersebut. Bukankah begitu, Tong-sicu?" Kam Song Ki menoleh dan menanyakan hal itu kepada Tong Ciak.

   "Be-benar!" terpaksa tokoh bertubuh pendek itu mengiyakan.

   "Nah, marilah...! Sebelum aku pergi, aku akan mengobati Yap-Kongcu dahulu." Tapi ketika terpandang oleh orang tua itu wajah Chin Yang Kun yang pucat, ia menjadi tertegun. Tergesa gesa ia melangkah mendekati si pemuda.

   "Eh, kelihatannya Siauw sicu ini sedang menderita luka dalam..."

   "Hei! Benar! Mengapa kita sampai melupakannya?" sekali lagi Tong Ciak berteriak mengagetkan teman-temannya.

   "Wah! Tong Lo-Cianpwe ini mengejutkan orang saja! Ada apa,sih...?" Souw Lian Cu menggerutu.

   "Ah, maaf...maaf! Anu...maksudku..., mengapa kita sampai melupakan bahwa Kam Lo-Cianpwe ini adalah murid mendiang Hu-eng Sin-yokong? Mengapa kita tidak meminta tolong sekalian, agar beliau mau mengobati luka nona Souw dan luka Yang-hiante? bukankah luka itu akan segera sembuh dan tidak usah bertele-tele lagi seperti sekarang?"

   "Hmm, betul juga." Toat-beng-jin mengangguk membenarkan. Lalu tokoh sakti dari Im yang kauw ini segera mengatakan hal itu kepada Kam Song Ki. Kam Song Ki juga tidak berkeberatan. Tapi ketika orang tua itu mencari tahu, siapa yang melukai kedua muda-mudi tersebut, ia menjadi kaget setengah mati. Jawaban yang ia terima dari Toat-beng-jin sungguh membuatnya tertegun. Tapi perasaan kaget itu ternyata tidak hanya dimonopoli oleh Kam Song Ki saja. Diam-diam Souw Lian Cu sendiri juga menjadi terkejut bukan main. Sebelumnya gadis itu memang tidak tahu atau lebih tepatnya, gadis itu tidak pernah mempedulikan siapa yang melukai pemuda yang dipandang sangat sombong itu.

   "Yang melukai saudara ini Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Hah? Dan yang melukai nona itu Pek-i Liong-ong dari Mo kauw?" Kam Song Ki berseru kaget.

   "Benar, Lo-Cianpwe. Mengapa...?" Tong Ciak menjawab dengan tergesa-gesa. Kam Song Ki menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya.

   "Pek-i Liong-ong itu adalah suhengku..." jawabnya pelan.

   "Ohh...!?!" Souw Lian Cu yang baru menderita kaget itu tertunduk kehilangan semangat. Harapan yang semula telah mekar di dalam hatinya kembali hilang begitu tahu si kakek itu adalah sute dari Pek-I Liong-ong sendiri. Agaknya Kam Song Ki melihat juga kekecewaan yang tersimpul pada wajah gadis cantik itu. Maka kakek tua itu segera melanjutkan ucapannya,

   "Baiklah! Kalau yang melukai Nona Souw itu memang benar suhengku sendiri, malah menjadi kewajibanku untuk mengobatinya. Anggap saja pertolonganku ini sebagai tebusan dari kesalahan suhengku itu." Demikianlah, hari itu Kam Song Ki benar-benar sibuk sekali. Seorang diri ia harus mengobati Yap Kiong Lee, Chin Yang Kun dan Souw Lian Cu. Biarpun tidak semahir gurunya, Bu-eng Sin-yok-ong, tapi kalau Cuma mengobati luka dalam seperti itu ia masih bisa juga. Ketika senja telah mulai turun, semuanya telah dapat ia selesaikan. Yang Kun dan Souw Lian Cu masih harus beristirahat di atas pembaringan sampai besok pagi, sementara Yap Kiong Lee sudah bebas untuk pergi kemana mana. Malam itu semuanya terpaksa menginap di dalam rumah induk serta membersihkannya. Lumayan buat tidur mereka.

   "Tadi malam aku seperti mendapat firasat bahwa Tong-sicu akan berkunjung kemari. Itulah sebabnya setelah ikut membantu membereskan akibat kerusuhan di pesta pengantin, aku langsung pulang kemari. Untung badan yang telah rapuh ini masih kuat juga untuk berlari." Kam Song Ki berceritera sebelum mereka berangkat tidur.

   "Ah, Lo-Cianpwe ini suka benar bergurau." Tong Ciak segera memotong perkataan kakek itu. "Siapakah orangnya di dunia ini yang mampu berlari lebih kencang daripada Lo-Cianpwe? Sedangkan Bit-bo-ong yang mahir Bu eng Hweteng saja tak mampu mengejar, apalagi yang lain!"

   "Benar...! siauwte yang berangkat lebih dulu dan...naik kuda, toh masih tetap kalah cepat juga." Yap Kiong Lee tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Wah, Yap-KongCu-sih...anak muda, suka mampir mampir!" Kam Song Ki membantah dengan nada bergurau. Semuanya tertawa, sampai cangkir teh yang dipegang oleh Toat-beng-jin miring tak terasa, dan isinya tumpah membasahi jenggotnya putih panjang itu.

   "Eeeh?!" tiba-tiba Kam Song Ki menjadi bersungguh sungguh. "Toat-beng-jin Loheng, siapa sebenarnya kedua anak muda itu? Maksudku asal usulnya...?"

   "Maksud Lo-Cianpwe...kedua anak muda yang terluka dalam itu? Ah, mengapa Lo-Cianpwe bertanya demikian? Apakah Lo-Cianpwe sudah mengenal mereka?" Kam Song Ki menggeleng dengan cepat.

   "Bukan! Bukan itu yang kumaksudkan,..."

   "Lalu...? Ooh...maaf Lo-Cianpwe. Kalau Lo-Cianpwe bertanya tentang asal usul kedua anak muda itu..., hem...sungguh menyesal kami juga tidak tahu. Mereka selalu menyembunyikan keadaan mereka selama ini."

   "Uh, heran! Mengherankan benar!" Kam Song Ki mengetuk-ngetuk dahinya.

   "Kam Lo-Cianpwe? Ada apa dengan mereka?" Yap Kiong Lee menjadi heran juga melihat kelakuan orang tua itu.

   "Begini. Tadi ketika aku memeriksa denyut nadi Nona Souw, aku menemukan suatu keanehan pada sistim peredaran darahnya. Bahagian kanan dan bahagian kiri dari tubuhnya sama sekali berbeda tekanannya. Bahagian kanan, tekanan darahnya Iebih kuat dan alirannya juga lebih cepat dari pada yang sebelah kiri. Sehingga ketika kusuruh mengerahkan tenaga, anggota badannya yang sebelah kanan amat panas, sementara yang sebelah kiri amat dingin. Ketika secara sambil lalu kutanyakan asal usulnya, dia diam saja dan...meneteskan air mata!" kakek itu menghentikan kata-katanya sebentar untuk melihat kesan para pendengarnya, sesaat kemudian baru ia melanjutkan perkataannya.

   "Loheng, Tong-sicu...kelihatannya gadis itu memendam sebuah rahasia tentang kesedihan yang sangat mendukakan hatinya. Padahal kalau melihat tenaga dalamnya yang aneh tadi, terang kalau dia bukan orang sembarangan. Paling tidak tentu keturunan atau anak murid orang sakti!"

   "Menurut penuturannya sendiri tadi pagi, dia tinggal bersama Keh sim Siauwhiap di Pulau Meng-to. Mungkin juga dia adalah murid atau keluarga dari pendekar yang amat terkenal itu?" Tong Ciak menduga-duga.

   "Mungkin betul juga dugaan Tong Lo-Cianpwe itu." Yap Kiong Lee mengangguk-angguk.

   "Apakah Lo-Cianpwe tidak memperhatikannya ketika aku sedang bercerita panjang lebar pagi tadi? Hmm..., kulihat wajahnya berubah hebat ketika siauwte mulai menyebut nama Pantai Karang yang merupakan pintu gerbang penyeberangan ke Pulau Meng-to. Beberapa kali kulirik wajah gadis itu kelihatan sedih mendengarkan ceritaku." Kam Song Ki cepat-cepat mengangkat dan menggerak gerakkan tangannya tanda tak setuju.

   "Tidak! Tidak! Eh...anu, maksudku dia bukan murid atau keluarga dari Keh-sim Siauwhiap. Bukan..." katanya sedikit ragu-ragu.

   "Maksud Kam Lo-Cianpwe? Apakah Lo-Cianpwe mengenal Keh-sim Siauwhiap dan keluarganya?" Yap Kiong Lee bertanya heran.

   "Ya...ya...aku sangat mengenalnya."

   "Hah? Tapi gadis itu memang benar-benar mengenal anak buah Keh-sim Siauwhiap. Tadi pagi dia saling menyapa dengan Tiat-tung Lokai...Dari pembicaraan mereka dapat ditarik kesimpulan bahwa gadis itu memang tinggal di pulau itu."

   "Entahlah! Tapi aku yakin bahwa Keh-sim Siauwhiap tak punya hubungan apa-apa dengan gadis itu." Kam Song Ki juga merasa heran. Hening sejenak. Masing-masing berpikir dan menduga-duga di dalam hati sendiri.

   "Hmm. kalau begitu memang penuh rahasia dan sangat aneh asal-usul gadis itu." Toat-beng-jin menghela napas.

   "Jadi...jadi hal itukah yang membebani perasaan Kam Lo-Cianpwe tadi?"

   "Benar! Tapi tidak cuma itu saja..."

   "Maksud Lo-Cianpwe?"

   "Seperti sudah kita ketahui tadi bahwa keadaan gadis itu sangat aneh dan penuh rahasia, bukan? Tapi ternyata...pemuda itu jauh lebih aneh dan mengerikan lagi dari pada keadaan gadis itu!"

   "Maksud Lo-Cianpwe...saudara Yang Kun?"

   "Ya!...Keadaan tubuh pemuda itu benar-benar sangat aneh dan mengerikan. Darahnya sangat beracun. Racun asli dari tubuhnya, bukan karena terkena racun dari luar! Aneh sekali, bukan? Masa ada manusia beracun di dunia ini?" orang tua itu kelihatan sangat heran dan penasaran. "Padahal ketika kuperiksa...tenaga saktinya hebat bukan main! Mungkin orang-orang tua seperti kita yang telah bergelut dengan ilmu silat selama puluhan tahun, masih harus pikir pikir dulu kalau bentrok dengan dia! Sungguh!"

   "Apakah Lo-Cianpwe juga menanyakan pada dia tentang asal-usulnya?" Tong Ciak yang sedikit banyak telah mengenal keadaan Yang Kun itu bertanya.

   "Ya! Tapi seperti juga dengan gadis itu, ia tidak mau mengatakannya. Dia cuma mengatakan bahwa dia sudah tak mempunyai keluarga lagi. Seluruh keluarga dan kerabatnya telah habis dibantai orang."

   "Memang demikian juga yang dia katakan kepada kita..." Toat-beng-jin mengiyakan. Semuanya terdiam kembali. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Yap Kiong Lee tampaknya ingin bertanya tentang sesuatu hal kepada Kam Song Ki, tapi melihat orang tua itu seperti sedang memikirkan sesuatu, hatinya menjadi ragu-ragu. Sebenarnya Yap Kiong Lee ingin menanyakan, siapa sebenarnya Keh-sim Siauwhiap itu. Mengapa pendekar itu kelihatannya telah mengenal dia? Apakah hubungannya pendekar itu dengan Kam Song Ki? Tapi semua pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulutnya, sehingga pertemuan itu bubar cuma bergulung-gulung saja dalam hatinya.

   "Besok saja kalau ada waktu Iuang akan kutanyakan..." pemuda itu berkata di dalam hati. Tapi esok paginya orang tua itu telah pergi! Di atas pembaringannya dia meninggalkan pesan bahwa ia akan berkelana kembali menurutkan langkah kakinya.

   "Orang seperti Kam Lo-Cianpwe itu memang takkan betah tinggal terlalu lama di suatu tempat. Padahal usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Tapi karena pandai ilmu pengobatan dan kepandaiannya sangat tinggi, maka tubuhnya masih kokoh kuat untuk berkelana kemana saja." Tong Ciak berkata seperti kepada dirinya sendiri. Toat-beng-jin dan Yap Kiong Lee yang berada di sampingnya tidak menyahut. Keduanya hanya berdiam diri saja, seolah menyesalkan kepergian orang tua yang terlalu cepat itu.

   "Lalu...apa rencana kita sekarang, Tong Cusi?" Algojo tua dari Im-yang-kauw itu akhirnya membuka mulut.

   "Tentu saja pulang ke Gedung Pusat. Masalahnya sekarang cuma kedua anak muda itu ikut kita lagi atau tidak? Mereka sudah sembuh dan tidak membutuhkan pertolongan kita lagi," Tong Ciak menjawab.

   "Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk menarik dia ke perkumpulan kita itu?" Tong Ciak menghela napas.

   "Lojin-ong, apa gunanya kita memaksa kalau dia sendiri tak mempunyai minat sama sekali kepada aliran kita? Kita tak usah tergesa gesa. Biarlah dia berpikir dan menentukan pilihannya sendiri. Sekarang hatinya masih diliputi dendam, sehingga tak mempunyai waktu untuk memikirkan masalah yang lain. Kita nantikan saja perkembangannya kelak setelah hatinya menjadi dingin kembali. Pokoknya kita berdua telah menanamkan pengertian dalam dadanya, macam apa Aliran Im-yang-kauw kita."

   "Wah, Tong Cusi benar. Memang tak ada gunanya kita memaksakan kehendak kita!" Kedua orang tokoh lm-yang-kauw itu lalu mempersiapkan segala sesuatunya sebelum mereka berangkat. Sementara Yap Kiong Lee juga bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu bersama kudanya.

   "Yap-Kongcu hendak pergi kemana?" Tong Ciak mendekati Yap Kiong Lee yang sedang sibuk membenahi kudanya.

   "Menemui Ceng-ya-kang dulu di warung Hao Chi."

   "Hahaha...!" Tong Ciak yang jarang-jarang tertawa itu terkekeh kekeh geli.

   "Maksudku...setelah Yap-Kongcu menemui dia?"

   "Entahlah, Lo-Cianpwe. Mungkin ke Pantai Karang..." Akhirnya Yap Kiong Lee berangkat mendahului yang lain. Kudanya yang tegar itu melangkah pelan ke jalan besar, menuju ke bekas Warung Hao Chi.

   "Tong Lo-Cianpwe..., pergi ke manakah Yap-Twako tadi?" tiba-tiba Souw Lian Cu keluar dan mendekati Tong Ciak Cu-si.

   "Ooh, Nona Souw...Sudah baikkah kesehatanmu? Syukurlah! Anu...Yap-Kongcu telah berangkat meneruskan perjalanannya." tokoh bertubuh pendek itu menerangkan. Matanya yang tajam itu menatap wajah gadis di depannya lekat-lekat, agaknya ingin menjenguk isi hati gadis yang sangat misterius itu. Souw Lian Cu tidak menyadari kalau sedang diperhatikan orang. Matanya yang bulat indah itu menatap redup dan kosong ke depan, ke arah mana Yap Kiong Lee tadi pergi. Wajahnya pucat dan rambutnya kusut. Meskipun demikian kecantikannya yang khas dan masih asli itu ternyata tidak menjadi surut, tapi justru semakin tampak menonjol malah.

   "Lo-Cianpwe, di manakah Kam Lo-Cianpwe? Apakah dia masih tidur?"

   "Dia sudah pergi, nona. Dia meninggalkan rumah ini sebelum kita semua bangun." Toat-beng-jin keluar menghampiri mereka. Tangannya menjinjing buntalan.

   "Ooh...?!" gadis itu terhenyak. "Siauwte belum mengucapkan terima kasih padanya."

   "Ah...tak perlu, nona. Bagi Kam Lo-Cianpwe mengobati orang itu sudah ia anggap sebagai kewajibannya." Toat-beng-jin tersenyum. "Lalu apa rencana nona sekarang? Pulang atau terus ikut kami? Sekarang kami tidak bisa memaksa lagi, karena nona sekarang sudah sembuh."

   "Benar, Nona Souw...Engkau sudah sembuh sekarang, dan tidak memerlukan lagi pengobatan kami. Nona kini bebas untuk menentukan tujuan nona..." Tong Ciak ikut memberi keterangan.

   "Baik, Lo-Cianpwe! siauwte memang bermaksud untuk pergi pula sekarang. siauwte ingin lekas-lekas pulang ke Pulau Meng-to. Tapi lebih dulu terimalah rasa terima kasih siauwte yang sebesar besarnya atas budi baik Lo-Cianpwe berdua, yang sudi merawat siauwte sehingga siauwte masih bisa hidup sampai sekarang." gadis itu menekuk kedua kakinya dan berlutut di depan Tong Ciak dan Toat-beng-jin.

   "Hai! Hai! Bangunlah...!" tergopoh-gopoh Tong Ciak membangunkan si gadis.

   "Terima kasih Jiwi Lo-Cianpwe, siauwte mohon permisi..." Tanpa menantikan keluarnya Chin Yang Kun lagi, Souw Lian Cu meninggalkan rumah bersejarah tersebut. Toat-beng-jin dan Tong Ciak mengawasinya sampai hilang dari pandangan mereka. Sebenarnya banyak hal-hal yang ingin mereka ketahui dari gadis itu, tapi keduanya enggan untuk menanyakannya, khawatir akan melukai perasaan gadis yang sangat aneh tersebut.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Seorang gadis yang aneh! Siapakah sebenarnya dia?" Tong Ciak bergumam. Sementara itu Chin Yang Kun juga sudah bangun pula. Sambil mengucak-ucak matanya pemuda itu melompat dari tempat tidurnya. Tubuhnya terasa amat enteng dan segar. Dadanya tak terasa sesak dan sakit lagi. Dan ketika ia mencoba mengerahkan tenaga saktinya, semuanya berjalan baik dan lancar. Malah rasanya lebih baik lagi dari pada dahulu. Sinar matahari telah menerobos lobang-lobang jendelanya. Di atas meja kecil di dekat pembaringan telah tersedia pula secangkir teh.

   "Wah...terlambat bangun aku rupanya!" Yang Kun berkata perlahan. Chin Yang Kun berdiri tegak di tengah ruangan. Kedua lengannya ia silangkan di depan dada. Berkonsentrasi. Dia ingin mencoba Liong cu-i-kang dan Kim-coa ih-hoatnya! Apakah semuanya sudah lancar kembali seperti dahulu? Sekejap kemudian mulutnya berdesis seperti ular merah. Dan sesaat kemudian hawa dingin meniup dari dalam perutnya, menebar memenuhi ruang tidur yang besar itu. Makin lama udara dingin itu semakin bertambah menggigilkan, sehingga cangkir teh yang berada di atas meja itu seperti bergetar dan menguapkan asap.

   "Ah, ternyata tenagaku benar-benar sudah pulih kembali. Kini akan kucoba mengerahkan kim coa ih-hoat...!" Yang Kun menarik kaki kirinya lurus ke belakang, sementara kaki kanannya tetap berada di tempatnya. Cuma kaki kanan itu ia tekuk ke bawah, agar lebih kuat untuk menyangga tubuhnya. Kedua lengannya tetap ia silangkan di depan dada. Kemudian matanya yang telah berubah tajam mencorong itu menatap ke depan, ke arah jendela yang jaraknya sekitar tiga meter dari tempatnya berkonsentrasi. Tiba-tiba...

   "Hiyaaaaaat!" Telapak tangan kiri pemuda itu tiba-tiba terayun deras ke depan, menimbulkan desiran suara angin yang mendesis.

   "Wuuuuusss...!" Tapi anehnya, meski lengan itu telah terulur penuh ke muka, telapak tangan itu masih tetap saja meluncur jauh ke depan, menjangkau kancing jendela serta membukanya. Padahal jarak jendela itu tidak kurang dari tiga meter jauhnya!

   Jilid 18
"Oh" bukan main segarnya udara pagi...!" Yang Kun berseru sambil menghirup udara segar yang masuk dari jendela yang baru saja dibukanya.

   "Wah...dan bukan main pula hebatnya ilmu Yang-hiante tadi!" Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si yang telah berdiri di ambang pintu itu memuji. "Sudah sehat benarkah kau, Yang-hiante?"

   "Ah, Jiwi Lo-Cianpwe! Jiwi tentu telah menyaksikan permainan siauwte yang jelek tadi, bukan?"

   "Hei! Siapa berani bilang jelek? Oh, kalau ilmu seperti itu masih juga dikatakan jelek...hmm, orang itu tentu buta! Hehehe..." Toat-beng-jin menggoyang-goyangkan tangannya.

   "Lo-Cianpwe...? Mana yang lain?" Yang Kun mengalihkan pembicaraan yang tak mengenakkan hatinya itu.

   "Sudah berangkat semua. Tinggal kita ini..." Tong Ciak tersenyum. Tapi Chin Yang Kun tidak ikut tersenyum. Pemuda itu justeru tertegun. Tiba-tiba seperti ada yang hilang di dalam dadanya. Bergegas tubuhnya meloncat keluar, menjenguk ke setiap kamar yang malam tadi dipakai oleh Kam Song Ki, Yap Kiong Lee dan..., Souw Lian Cu! Di kamar yang terakhir ini ia terpaku untuk beberapa lama, seolah-olah dunia ini menjadi sunyi dengan mendadak.

   "Yang-hiante, engkau mencari siapa? Ada apa...?" Toat-beng-jin yang tua itu datang menghampiri.

   "Ah, Lo-Cianpwe...mengapa mereka tak pamit kepadaku?" desah Yang Kun lesu.

   "Pamit? Eh...oh...anu, mungkin mereka segan untuk membangunkan Yang-hiante."orang tua itu memandang heran. Mengapa mesti pamit segala? Bukankah mereka sama sama tamu di rumah itu? Dan bukankah mereka itu bukan saudara atau sahabat akrab satu sama lain? Mengapa pemuda ini merasa kecewa tak dipamiti oleh mereka? Sungguh aneh sekali! Dipandang begitu rupa oleh Toat-beng-jin, membuat Chin Yang Kun segera sadar akan kejanggalan dirinya. Maka dengan kikuk pemuda itu cepat cepat memperbaiki kekeliruannya.

   "Anu...eh, maksud siauwte...siauwte belum sempat berterima kasih kepada...kepada Kam Lo-Cianpwe," katanya gagap.

   "Ooh, tak usahlah. Mungkin bagi Kam Lo-Cianpwe hal seperti itu cuma dia anggap sebagai kewajiban saja." Toat-beng-jin membesarkan hati Yang Kun.

   "Tapi...Siauwte juga akan berangkat saja sekarang. Terima kasih atas bantuan dan budi Jiwi Lo-Cianpwe, yang mau bersusah susah merawat siauwte sehingga siauwte sekarang dapat sehat kembali. Pada suatu saat nanti siauwte akan berkunjung ke tempat Lo-Cianpwe untuk minta sedikit ilmu kepandaian."

   "Ah, jangan bergurau! Mana mampu harimau memberi pelajaran kepada naga. Tapi meskipun demikian aku selalu berharap akan kedatangan Yang-hiante di Gedung Pusat kami."

   "Tong Lo-Cianpwe! Toat-beng-jin Lo-Cianpwe! siauwte mohon diri..." Chin Yang Kun berlutut di depan mereka sebentar, untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Dan sebelum kedua tokoh Im-yang-kauw itu datang membangunkannya, Chin Yang Kun telah melesat pergi dengan cepat sekali. Sebentar saja telah lenyap dari pandang mata orang tua itu.

   "Anak-anak muda sekarang banyak yang berwatak aneh!" sekali lagi Tong Ciak bergumam. Toat-beng-jin tersenyum.

   "Mungkin watak Tong Ciak Cu-si dulu juga takkan kalah anehnya!" orang tua itu memberi komentar sambil pergi membawa buntalannya.

   * * *

   Seperti orang bingung Chin Yang Kun berjalan bolak-balik mengitari dusun Ho-ma cun yang besar dan ramai itu. Di dalam hatinya Chin Yang Kun berharap semoga dapat berjumpa dengan Souw Lian Cu. Tetapi sampai matahari naik sepenggalan, gadis yang dia harapkan itu tetap tak diketemukannya.

   "Betul-betul goblog! Mengapa aku tadi lupa bertanya kepada Tong Ciak Cu-si, kemana sebenarnya tujuan gadis itu?" sesal Chin Yang Kun di dalam hati. Akhirnya bosan juga Chin Yang Kun berjalan kian kemari. Dengan tubuh Iemas dan pikiran lesu, pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon Pek yang tumbuh lebat di pinggir sungai. Dipilihnya sebuah batu besar yang bagian bawahnya terendam aliran sungai. Sambil merenungi bayangan wajahnya yang terpantul di atas permukaan air, Chin Yang Kun mencoba untuk mengenang kembali saat-saat dia berkumpul dengan Souw Lian Cu. Perkenalan mereka belumlah dapat dikatakan lama, kalau toh hubungan mereka selama itu boleh disebut berkenalan.

   Soalnya, meskipun mereka setiap hari selalu makan minum bersama, berjalan bersama dan menghadapi bahaya bersamasama, tetapi mereka tak pernah berbicara atau saling menyapa satu sama lain. Mereka berdua lebih cenderung untuk saling menghindari dan saling membenci. Tapi sebenarnya Chin Yang Kun tidak merasa membenci Souw Lian Cu. Di dalam hati kecilnya, pemuda itu justru merasa suka dan bersimpati. Tetapi" gadis itulah yang membenci Chin Yang Kun dan selalu menghindarinya! Sehingga lambat laun timbul juga perasaan tak puas di hati Yang Kun. Akibatnya, pemuda itu sering kali balas menggoda dan membuat dongkol Souw Lian Cu. Tapi sebenarnya hal itu dilakukan oleh Chin Yang Kun hanya sekedar untuk membalas perlakuan Souw Lian Cu kepadanya.

   "Ah! Gila! Tak seharusnya aku terlalu memikirkan gadis cacat itu. Aku bertemu dengan dia baru beberapa hari yang lalu. Aku belum mengenalnya dengan baik. Ya kalau dia orang baik-baik, kalau tidak? Ya kalau dia masih perawan, kalau sudah bersuami atau bertunangan? Aaaah...!" Chin Yang Kun berdesah berulang-ulang. Chin Yang Kun bangkit berdiri. Dilihatnya matahari telah naik tinggi. Beberapa buah perahu nelayan telah mulai berdatangan kembali dari tempat pekerjaan mereka. Mereka merapat kembali ke bandar mereka untuk beristirahat siang.

   "Hah, aku harus dapat melupakannya. Harus! Urusanku sendiri masih sangat banyak, tugas yang diberikan oleh mendiang ayah dan paman-pamanku masih bertumpuk. Aku harus segera menyelesaikannya!" akhirnya Chin Yang Kun menetapkan keputusannya. Dibuangnya segala macam pikiran yang memberatkan dirinya itu jauh-jauh. Kini dengan dada sedikit lapang Chin Yang Kun berjalan menyusuri sungai itu.

   Sambil melangkah pemuda itu membuat rencana. Pertama tama ia harus mencari para pembunuh keluarganya. Yang kedua, ia harus mencari Cap Kerajaan yang ternyata diperebutkan oleh banyak orang pula. Ketiga, dan ini yang paling memberatkan perasaan hati Yang Kun, yaitu menegakkan kembali Dinasti Chin! Tugas yang ketiga ini yang selalu ditekankan oleh ayahnya dan juga kemudian oleh nenek buyutnya, benar-benar sangat berat untuk dilaksanakan oleh Chin Yang Kun. Pemuda itu sedikitpun tak mempunyai minat untuk menjadi penguasa, apalagi menjadi raja. Sejarah keluarganya yang bergelimang dalam kancah permusuhan, perebutan pengaruh dan kekuasaan, yang akhirnya justru memusnahkan mereka sendiri itu benar-benar sangat dibencinya. Pemuda itu lebih suka hidup tentram dan damai sebagai rakyat biasa.

   "Ah, tugas yang terakhir itu biar kupikir nanti sajalah..." pemuda itu menghela napas.

   "Sekarang yang mula-mula harus kulakukan adalah mencari para pembunuh itu! Dan lobang yang harus aku masuki, agar dapat bertemu dan mendapatkan mereka adalah...Ceng ya kang! lblis itulah satu-satunya petunjuk yang kuperoleh." Mengingat nama Ceng-ya-kang pemuda itu Iantas teringat pada ceritera Yap Kiong Lee.

   Dan begitu mengingat ceritera Yap Kiong Lee, Yang Kun juga lantas teringat pula ceritera sahabatnya, Chu Seng Kun! Menurut ceritera Yap Kiong Lee kemarin, iblis gundul itu menjadi anggota sebuah kelompok yang bermaksud akan menggulingkan kekuasaan Kaisar Han. Kelompok itu dipimpin oleh seorang aneh bernama Hek-eng-cu. Dan menurut cerita dari Chu Seng Kun, orang berkerudung hitam ini sudah bersiap diri menyusun sebuah kekuatan besar yang ditempatkan di mana-mana. Dalam ambisinya untuk menjadi Kaisar, tokoh misterius itu juga telah berusaha untuk mendapatkan pusaka Cap Kerajaan. Jadi kemungkinan besar memang kelompok itulah yang dimaksudkan oleh ayah dan paman-pamannya. Sebuah kekuatan besar yang memusuhi keluarganya dan mau merampas Cap Kerajaan, Chin Yang Kun berkata di dalam hati.

   "Kini sudah terang bagiku, siapa lawan yang mesti kuhadapi." Yang Kun melangkah sambil menggeram. Tangannya meraih sebatang ranting kemudian meremasnya hingga hancur, lalu dibuangnya ke sungai.

   "Kecopakk!"

   "Eeii...kurang ajar! Mengintip orang sedang mandi, kau yaa"...?"

   "Haah?!??" Chin Yang Kun terperangah, lalu cepat-cepat menghindar ketika dilihatnya seorang wanita muda sedang merendam diri di tepian sungai yang dangkal. Tapi belum juga pemuda itu sempat melangkah lebih jauh lagi, dari atas pohon tiba-tiba meloncat turun seorang Iaki-laki tampan menghadang di depannya. Pakaian orang itu sangat baik dan bersih, sementara wajahnya yang tampan itu juga dirawat dengan baik. Terlalu baik malah, sehingga berkesan sebagai seorang yang sangat pesolek. Usianya sudah tidak muda lagi, tapi matanya masih bersinar nakal dan genit.

   "Ahaa...pengintip perempuan yang goblog! Tidak begitu caranya mengintip wanita yang sedang mandi! Hahaha...kau ini benar-benar pemuda canggung yang masih ingusan!" datang-datang orang itu sudah mengolok-olok Chin Yang Kun. Tentu, saja Chin Yang Kun menjadi marah.

   "Aku tidak mengintip!" bentaknya keras. Tapi orang itu justru tertawa semakin terpingkal-pingkal. Apalagi ketika tampak olehnya wajah Chin Yang Kun yang merah padam.

   "Hoho, tidak usah malu. Aku dulu juga begitu. Ketika mengintip yang pertama kalinya, aku juga ketahuan tetanggaku, hoho...Aku menjadi malu bukan main, saking maluku, aku jadi mata gelap! Kubunuh tetanggaku yang sial itu!"

   "Keparat! Aku tidak sekotor pikiranmu!" Chin Yang Kun benar-benar naik pitam. Tangannya diulur ke depan untuk mencengkeram baju orang bermulut kotor itu. Ternyata orang itu juga gesit sekali. Tubuhnya berputar tiga kali ke kanan, dan serangan Yang Kun menemui tempat kosong,

   "Hohoho...ternyata engkau juga kalap seperti aku dulu. Hanya sayang yang kau ketemukan sekarang bukan tetanggaku itu, tapi seorang hantu pencabut nyawa, hehe...!"

   "Aku tidak peduli hantu atau bukan, tapi kalau kau tak mencabut kata-katamu yang kotor itu, kau akan kulempar ke dalam sungai!" Yang Kun memukul dengan tangan kiri ke arah kepala.

   Lagi-lagi orang itu mengelak dengan berjongkok. Cuma kali ini dia tidak tinggal diam dan membiarkan dirinya diserang terus-menerus oleh Yang Kun. Mendadak dari bawah orang itu menotok jalan darah tia-teng-hiat di ketiak Yang Kun. Bersamaan dengan itu dari mulutnya juga menyembur asap putih bergulung gulung, persis seorang perokok yang menyemburkan asap dari pipanya. Chin Yang Kun meloncat ke belakang, sehingga totokan dan semburan asap itu luput dan tak mengenai dirinya. Meskipun demikian hati pemuda itu menjadi kaget juga.Ternyata lawannya seorang yang berwatak licik dan berbahaya. Sekilas tercium bau yang memabokkan pada asap tadi. Orang itu tidak mengejar Chin Yang Kun. Sambil tertawa dia menimang-nimang sebuah hun-cwe (pipa tembakau) panjang yang berasap pada ujungnya.

   "Haa...kau terkejut?" katanya. Sikapnya sangat memandang rendah sekali. Diam-diam Chin Yang Kun mengerahkan Liong-cu i-kangnya, sehingga tulang-tulang di badannya terdengar berkerotokan. Sekejap orang yang memegang huncwe itu mengerutkan dahinya, lalu melangkah setindak ke belakang ketika tiba-tiba dirasakannya ada hawa dingin yang menghembus ke arah dirinya. Senyumnya hilang. Dengan perasaan tegang ia menatap Chin Yang Kun.

   "Hah!" sambil membentak Yang Kun memukul ke perut lawan. la mengerahkan sepertiga dari seluruh tenaga saktinya. Perbawanya sungguh menggiriskan. Untunglah orang itu telah bercuriga sejak tadi. Maka begitu Chin Yang Kun memukul dengan disertai hembusan angin dingin, cepat-cepat ia menjejakkan kakinya ke atas tanah. Tubuhnya segera melayang tinggi keatas melewati kepala Chin Yang Kun. Sambil melayang tak lupa orang itu menyedot pipa huncwenya, dan kemudian sebelum kakinya turun di belakang Chin Yang Kun, pipa tembakau yang panjang itu menyabet ke arah tengkuk lawannya.

   "Wuuut!" Chin Yang Kun melangkah setindak ke depan, sehingga sabetan pipa itu melayang lewat, kemudian tubuhnya berputar dengan cepat. Berbareng dengan mendaratnya kaki lawan di atas tanah, Chin Yang Kun mengirim pukulan lagi ke arah pinggang! Sekali lagi pemuda itu cuma mengerahkan sepertiga dari tenaga saktinya. Sebenarnya orang itu dapat mematahkan serangan Chin Yang Kun dengan menarik sikunya ke belakang. Tapi orang itu ternyata tak mau melakukannya. Sekali lagi dia tak mau adu tenaga dengan membenturkan siku itu ke arah pukulan Yang Kun. Orang itu benar-benar berhati-hati sekali, sehingga akhirnya justru Chin Yang Kun yang menjadi kesal dan tak sabar. Maka ketika dengan tubuh miring orang itu meloncat menjauh, Yang Kun cepat mengerahkan Kim-coa ih-hoatnya.

   "Haiiit!" Lengan itu bertambah panjang sejengkal jauhnya, sehingga lawan yang merasa telah terbebas dari jangkauan Yang Kun itu menjadi kaget setengah mati! Ternyata pukulan yang telah dihindari itu masih saja mengejarnya! Dengan muka pucat orang itu bergegas melangkah Iagi ke belakang. Tapi sungguh hampir pingsan rasanya ketika lengan itu masih saja mengikutinya! Hampir saja orang yang bersenjata huncwe itu berteriak. Tapi sebelum ada suara yang keluar dari mulutnya, tubuhnya telah terangkat ke atas, dan di lain saat badannya telah terlempar ke dalam sungai.

   "Byuuuur!"

   "Hei, ada apa di sini? Apakah yang terlempar ke arah sungai tadi? Apakah...oohh, kau! Tukang ngintip...!" tiba-tiba seorang wanita bermuka cantik dan manis datang menghampiri Chin Yang Kun. Pakaiannya berwarna hitam, rambutnya disanggul tinggi seperti seorang puteri Istana. Usianya mungkin sudah lebih daripada tiga puluh tahun, tapi oleh karena selalu dirawat dengan baik, maka kelihatannya seperti seorang gadis remaja saja. Chin Yang Kun mengenali wanita yang baru saja tiba itu sebagai wanita yang tadi dilihatnya sedang berendam di dalam sungai. Mengingat wanita itu yang membikin gara-gara hingga ia sampai berkelahi dengan seseorang, maka Chin Yang Kun segan untuk melayani. Tanpa mengeluarkan perkataan sepatahpun ia melesat pergi meninggalkan tempat itu.

   "Tunggu!" Wanita ini berkelebat cepat mendahului Chin Yang Kun dan menghadang di mukanya. Terpaksa pemuda itu berhenti melangkah. Ditatapnya wanita cantik itu dengan seksama.

   "Maaf, apa maumu? Mengapa menghentikan langkahku?" Yang Kun bertanya dengan suara kaku.

   "Hei, mengapa malahan engkau yang menjadi marah? Seharusnya akulah yang menjadi marah. Engkau mengintip aku, lalu kawanku yang menegurmu kau lemparkan ke dalam sungai, bagaimana ini? Apakah kau mau main pukul dan ingin mau menang sendiri?"

   "Huh! Siapa yang mengintip engkau? Jangan terlalu sombong dan besar perasaan!"

   "Apa? kau maki aku sombong? kau maki aku besar perasaan? Kurang ajar! kau memang layak diberi pelajaran...!" wanita itu berseru marah. Telapak tangannya menampar ke arah pipi Chin Yang Kun.

   Tapi dengan mudah pemuda itu mengelakkannya, lalu tubuhnya melejit ke samping dan berusaha lari meninggalkan tempat itu. Tapi wanita itu tak mau melepaskannya begitu saja. Dengan lincah ia mengejar. Lalu dari belakang, tangan kanannya menghantam ke arah punggung Chin Yang Kun. Chin Yang Kun terpaksa meloncat ke kiri. Tapi secara tak terduga kaki lawannya melayang ke atas, menghantam ke selangkangannya, sehingga akibatnya Chin Yang Kun terpaksa berjungkir balik ke belakang lagi. Dan belum juga kakinya berdiri tegak, wanita itu sudah mengejar pula dengan tendangan berantainya. Mau tak mau Chin Yang Kun terpaksa mengelak mundur lagi. Repotnya bukan main! Kini Chin Yang Kun benar-benar hilang kesabarannya!

   "Berhenti! Atau...kulempar pula kau ke sungai!" pemuda itu menghardik.

   "Eee, mengancam...? Coba saja kalau mampu!"

   "Siau-kwi...! Berhenti!" tiba-tiba orang yang tercebur ke dalam sungai tadi muncul dan berteriak ke arah wanita itu. Wanita cantik yang dipanggil dengan nama Siau kwi itu benar-benar mematuhi perintah tersebut.

   "Ada apa? Mengapa kau melarang aku membunuh dia?" protesnya penasaran.

   "Jangan gegabah! Dialah yang telah membunuh Togu dan Huang-ho Heng-te..." orang itu berseru sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang basah. Pipa tembakaunya yang panjang itu ia ketuk-ketukkan pada pahanya supaya kering.

   "Haah?" Siau-kwi terbelalak. "Kau tidak main-main?"

   "Aku tidak main-main, Pek pi Siau kwi (Hantu Cantik Berlengan Seratus)..."

   "Bagaimana kau mengetahuinya?"

   "Sudahlah! kau turut saja kata kataku!" laki-laki bersenjata huncwe itu menarik lengan Pek-pi Siau kwi.

   "Saudara, maafkan kekasaran kami tadi. Kami cuma bermaksud... mencoba orang yang telah mampu membunuh dua orang jago kami. Ternyata saudara memang lihai sekali. Ooh, ya...bolehkah kami mengetahui nama dan gelar saudara?" Chin Yang Kun mengendorkan urat-uratnya yang tegang. Namun demikian ia tetap selalu waspada. Bagaimanapun juga ia belum mengenal mereka dengan baik. Apalagi mereka ternyata adalah kawan dari orang yang terbunuh di restoran itu. Kalau sekarang mereka bersikap halus dan mau mengalah, hal itu cuma disebabkan karena mereka takut atau segan pada kepandaiannya. Lain tidak! Maka dia harus tetap berhati-hati.

   "Jadi...jiwi ini kawan-kawan dari orang yang terbunuh itu?" Chin Yang Kun menegaskan.

   "Maaf, aku terpaksa membunuh mereka, karena merekalah yang mengepung aku dan mendesakku! Tentang nama...panggil saja aku Yang Kun! Tak punya gelar atau nama besar yang lain! Apakah kalian mau membalas dendam?"

   "Ah, tidak! Tidak! Mana aku berani? Kami justru ingin berkenalan atau" bersahabat, kalau boleh!" orang yang bersenjata huncwe itu berkata hati-hati.

   "Hai, kau ini bagaimana sih? Sudab gila kau barangkali? Kawan sendiri telah dibunuh, kau malah mengajaknya bersahabat..." Pek-pi Siau-kwi menarik lengan kawannya.

   "Kaulah yang gila dan buta! Apa gunanya melawan orang yang berkepandaian melebihi kita? Ingin bunuh diri? Sudahlah kau turut saja aku..." laki-laki itu mencubit tangan kawannya.

   "Dan lagi kawan-kawan kita sendirilah yang membuat kesalahan, bukan saudara ini..."

   "Sudahlah, kalian jangan bercekcok. Temanmu yang mati itu memang telah salah mengenali aku dan kawan-kawanku. Temanmu menyangka kami akan menyerang Tan-Wangwe, padahal sama sekali tidak! Buat apa kami menyerang orang yang tak kami kenal?"

   "Wah, kau dengar itu? saudara Yang ini bukan anggota rombongan Keh-sim Siauwhiap." laki-laki itu menoleh kepada Pek-pi Siau-kwi.

   "Ooo, tahu aku sekarang. Jadi kalian ini sedang menunggu rombongan Keh-sim Siauwhiap. Oleh karena itu ketika teman kalian melihat rombonganku, mereka menyangka bahwa rombongan Keh-sim Siauwhiap telah tiba. Begitukah?"

   "Betul!" laki-laki bersenjata huncwe itu mengangguk.

   "Ahh...kalau begitu kasihan sekali kematian orang-orang itu. Mereka mati karena kesalah-pahaman. Aku sungguh berdosa sekali..." Chin Yang Kun menyesali diri.

   "Ah, Yang sicu tidak bersalah. Kawan-kawankulah yang terlaIu bodoh dan buta."

   "Terima kasih. Tetapi akupun ikut bersalah dalam hal ini. Coba aku lebih sabar sedikit dan merundingkannya dengan baik, kukira kesalahpahaman itu takkan sampai terjadi." Ketiga orang itu berdiam diri untuk beberapa saat, seolah olah mengenangkan nasib orang yang telah meninggal dunia itu.

   "Yang-sicu..!" akhirnya laki-laki bersenjata huncwe itu menyapa perlahan. "Maukah Yang-sicu kubawa ke tempat kawan-kawanku? Marilah kita jernihkan kesalahpahaman antara kita ini di sana! Biarlah mereka mengetahui atau menyadari kesalahan mereka dan biarlah mereka meminta maaf kepada Yang sicu.."

   "Benar, saudara Yang,..., Kalau saudara Yang mau ke tempat kami dan menerangkan sendiri kesalahpahaman ini, kukira semuanya akan menjadi beres. Tak ada lagi dendam mendendam di antara kita." Pek-pi Siau-kwi ikut membujuk Chin Yang Kun. Urat-urat Chin Yang Kun kembali tegang untuk sesaat. Ada dua kemauan yang saling bertentangan di dalam hatinya. Keinginan untuk meluluskan permintaan orang itu, dan membereskan semua kesalahpahaman mereka, serta keengganan untuk mendatangi tempat yang berbahaya itu, demi keselamatan dirinya. Agaknya laki-laki itu dapat membaca pikiran Chin Yang Kun. Oleh karena itu dengan lantang ia berkata.

   "Apakah Yang-sicu belum mempercayai aku? Kalau umpamanya Yang-sicu memang tidak percaya kepadaku, lalu apa yang harus ditakutkan pada diriku ini? Tadi aku baru saja saudara kalahkan. Padahal aku adalah kepala dari semua pengawal Tan-Wangwe. Nah, kalau kepalanya saja dapat saudara tundukkan, lalu apa yang mesti ditakuti pada anak buahnya?"

   "Bagaimana saudara Yang...?" Pek-pi Siau-kwi ikut mendesak.

   "Baiklah! Mari kita berangkat!" Chin Yang Kun mengangguk dengan dada tengadah.

   "Terima kasih!" Pek pi Siau-kwi dan laki-laki itu saling melirik, kemudian sambiI tersenyum penuh arti mereka menyatakan rasa terima kasih. Bertiga mereka berjalan menyusuri tepian sungai itu ke arah bandar yang berada di pinggir dusun. Orang orang di atas perahu yang lewat ataupun para pejalan kaki yang kebetulan berpapasan dengan mereka, tentu menyapa dan memberi hormat kepada Pek pi Siau-kwi dan lelaki pemegang huncwe itu.

   

Darah Pendekar Eps 2 Darah Pendekar Eps 11 Darah Pendekar Eps 24

Cari Blog Ini