Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 26


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 26




   Karena tak bisa bertempur dalam jarak dekat, sehingga huncwenya tak bisa ia pergunakan dengan baik, maka hantu cabul itu segera mengobral asap mautnya. Malahan sering-sering, di antara asap tembakaunya yang bergulung-gulung itu, Jai-hwa Toat beng kwi menyelipkan serangan jarum rahasianya. Ternyata cara yang dilakukan oleh Jai-hwa Toat beng-kwi ini memang benar-benar menyulitkan Tiat-tung Lokai. Bagaimanapun juga, hembusan asap dan luncuran jarum-jarum rahasia itu ternyata lebih jauh dan lebih luas daya jangkaunya dari pada tongkat besi Tiat-tung Lokai. Sehingga lambat laun pengemis tua itu terpaksa hanya sibuk untuk menghalau dan mengelakkan serangan asap dan jarum rahasia tersebut, sedikit pun tak ada kesempatan lagi untuk membalas. Tentu saja keadaan tersebut membuat Tiat-tung Lokai terjatuh di bawah angin.

   "Hehehe...pengemis tua yang malang, kini giliranmu untuk menghadap kepada Giam loong. kau tadi telah membunuh temanku, sekarang akulah yang ganti membunuhmu..."

   "Persetan kau...aduuh!" Sedikit saja pengemis itu memecah perhatiannya, sebatang jarum yang dilepaskan oleh Jai hwa Toat-beng kwi menancap di atas sikunya. Tentu saja hal itu membuat Tiat-tung Lokai semakin mendongkol dan marah, sehingga gerakannyapun semakin ngawur dan sia-sia.

   "Heheh.,,...kau jangan terlalu bernafsu begitu, pengemis tua! Ingatlah tubuhmu yang sudah waktunya pensiun itu! Belum-belum sudah kehabisan napas kau nanti..., atau janganjangan tubuhmu tak mau menuruti perintahmu lagi nanti! heheh...semangat besar, tapi tenaga...apa daya! Huah-hahah...!" Jai-hwa Toat beng-kwi tertawa terbahak-bahak untuk memanasi perut lawannya.

   "Babi! Anjing! Keparat...aduuh!"

   Jilid 19
ORANG tua itu terluka lagi. Gerakannya yang ngawur dan tak terkontrol itu mengakibatkan banyak lobang kelemahannya sehingga dengan mudah Jai hwa Toat beng kwi memasukkan jarum-jarumnya. Kini sudah ada empat jarum lagi yang menembus kulitnya, dua buah di dada dan dua buah lagi di dekat pusarnya. Racun yang terkandung pada jarum keciI itu memang bukan jenis racun yang amat ganas, tapi meskipun demikian racun itu juga bukan racun yang tidak berbahaya. Hanya daya kerjanya saja yang lamban, padahal pengaruh yang diakibatkannya juga sama saja. Orang yang terkena racun tersebut apabila tidak lekas Iekas diobati, otot-otot tubuhnya akan semakin melemah, sehingga akhirnya orang itu akan menjadi lumpuh dan tak bisa bergerak sama sekali.

   "Pengemis malang...! Lihat! Sudah ada lima jarum rahasiaku yang terbenam dalam dagingmu! Nah, mulai sekarang tidak kulawanpun sebenarnya kau sudah akan terjatuh sendiri. Badanmu sedikit demi sedikit akan menjadi lemah dan akhirnya kau akan tergelimpang tak berdaya dengan sendirinya, heheh..."

   "Bangsat..."

   "Ssst!" Jai-hwa Toat-beng-kwi buru-buru memberi tanda agar lawannya tidak berteriak lagi. "Kau jangan banyak bicara lagi, karena hal itu hanya akan mempercepat kematianmu saja! Menyerahlah saja kepadaku, nanti akan kuberi jalan kematian yang lebih enak, hehe...!" Ternyata nasib yang amat buruk itu tidak hanya menimpa Tiat tung Lokai saja, karena di arena yang lain kawan-kawannya juga mengalami nasib yang tidak kalah buruknya.

   Tiat tung Su-lo yang lihai itu bersama-sama dengan sepasang gadis berbaju hitam, ternyata juga sedang didesak habis-habisan oleh kedua orang lawannya. Kepandaian Pek-pi Saukwi memang tidak begitu mengejutkan, yang amat merepotkan justru ilmu pedang Jit-seng kiam-hoat dari Pendekar Li itu. Ujung pedang yang dihiasi dengan batu permata itu selalu berkelebat mencegat permainan gabungan mereka. Langkah-langkah kaki yang berbentuk empat persegi itu selalu dapat membendung serangan-serangan yang dilancarkan dari mana saja. Lambat-laun mereka berenam seperti terjerat dalam kotak kotak segi empat yang tak ada habis-habisnya! Darah mulai menetes dari lobang-lobang luka yang diakibatkan oleh pedang lawan.

   Chin Yang Kun yang berada di atas genting menonton pertempuran itu dengan tenangnya. Dia tidak mempunyai kepentingan sama sekali dengan mereka. Oleh karena itu ia juga tidak mau terlibat dalam pertempuran tersebut. Yang ia cari dan ia nantikan hanyalah Keh sim Siauwhiap, orang yang menurut penuturan Tan Hok atau Pendekar Li adalah pembunuh ayah dan pamannya! Ia percaya, sebentar lagi pendekar yang sangat ternama itu tentu akan muncul untuk menolong anak buahnya. Jika ia turut campur dan membantu salah satu pihak, kemungkinan besar pendekar tersebut malah takkan keluar dari persembunyiannya. Benarlah! Panca indera dan perasaannya yang amat terlatih itu mendadak seperti mendengar langkah beberapa orang di luar pintu gerbang halaman, dan sebentar kemudian pintu besar yang tertutup rapat itu telah didobrak dari luar.

   "Brraak! Grobyaag!"

   "Lam-Pangcu (Ketua Perkumpulan Daerah Selatan)...! Jangan khawatir, aku datang menolongmu!"

   "Siang-sumoi (kedua orang adik seperguruan)...! Lihatlah, kami telah datang!" Dari luar pintu, tiba-tiba masuk seorang pengemis dan dua orang gadis manis berbaju serba putih. Pengemis itu berusia kira-kira lima puluh tahun, bermata kocak dengan rambut putih terurai acak-acakan sampai ke bahu. Tangannya menggenggam sebatang tongkat besi yang bentuk dan ukurannya, persis dengan kepunyaan Tiat-tung Lokai. Begitu datang pengemis tua berambut acak-acakan itu langsung terjun membantu Tiat-tung Lokai. Tongkat besinya yang panjang terayun datar menghantam perut Jai-hwa Toat-beng kwi.

   Dilihat sepintas lalu gerakan tongkatnya amat mirip dengan gaya permainan tongkat Tiat-tung Lokai. Hanya tenaga dan kecepatannya saja yang berbeda. Gaya permainan tongkat pengemis yang baru tiba ini tampak lebih lamban tetapi tenaga atau kekuatan yang ditimbulkan, ternyata jauh lebih kuat dan lebih dahsyat dari pada kekuatan Tiat-tung Lokai. Oleh karena itu ketika Jai-hwa Toat-bengkwi mencoba untuk menangkis serangan tersebut, menjadi terkejut setengah mati. Huncwe yang dipegang oleh hantu cabul itu terpental dan hampir saja terlepas dari tangannya. Untunglah dia cepat-cepat melompat meraihnya kembali. Tapi untuk beberapa saat lamanya hantu cabul tersebut hanya berdiri tertegun di tempatnya, seolah-olah ia tak percaya pada kenyataan itu. Dan kesempatan itu dipakai oleh lawannya untuk menolong Tiat-tung Lokai.

   "Lam-Pangcu, kau tidak apa apa bukan!" pengemis berambut acak-acakan itu bertanya.

   "Ah, untung saja Pak-Pangcu (Ketua Perkumpulan Daerah Utara) segera datang, kalau tidak...yah, mungkin saja aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Eh, di mana Keh-sim Siauwhiap...?"

   Tiat-tung Lokai memijit-mijit lengan dan dadanya dan berusaha mengeluarkan jarum yang terbenam di tempat itu. Sementara itu dua orang gadis berbaju putih yang datang bersama-sama dengan ketua Tiat tung Kai-pang bagian utara itu langsung menghambur ke arena pertempuran yang lain. Sepasang gadis berbaju putih itu menghunus pedangnya dan menyerang Pendekar Li dan Pek-pi Siau-kwi. Pedang mereka menusuk dan kemudian memotong jalur pengepungan yang dilakukan oleh kedua orang itu terhadap kawan-kawan mereka sehingga kepungan itu menjadi patah dan tak berfungsi lagi. Tiat-tung Su-lo dan kedua orang gadis berbaju hitam-hitam itu meloncat mundur dan berpencar. Semuanya menghela napas lega, seolah-olah batu yang menghimpit mereka telah hilang. "Siang su-ci, terima kasih...!" sepasang gadis berbaju hitam itu mengangguk.

   "Maaf, sumoi...kami datang terlambat." Mereka lalu berdiri bahu membahu menghadapi Pendekar Li dan Pek-pi Siauw-kwi. Begitu pula dengan Tiat-tung Lokai dan ketua Tiat-tung Kaipang daerah utara yang bergelar Tiat-tung Hong-kai itu!

   Kedua orang Tiat-tung Kai-pang tersebut juga berdiri bahu membahu di hadapan Jai-hwa Toat beng kwi! Dan tanpa mereka kehendaki bersama sebelumnya pertempuran itu terhenti untuk sementara. Perkembangan yang terjadi di halaman itu membuat Chin Yang Kun merasa berdebar debar juga di dalam hatinya. Perimbangan kekuatan itu sekarang kelihatannya menjadi berubah lagi. Tampaknya pihak tuan rumah atau pihak dari Pendekar Li jatuh di bawah angin lagi sekarang. Bala bantuan lawan yang baru tiba itu kelihatannya terdiri dari orang orang kuat yang berkepandaian tinggi. Dan hal ini benar-benar menggelisahkan hati Chin Yang Kun, karena bila orang orang itu sudah dapat menguasai pihak Pendekar Li, alamat Keh-sim Siauwhiap takkan muncul sendiri di tempat itu.

   "Aku harus memaksa orang itu keluar dari persembunyiannya," pemuda itu menggeram di dalam hatinya.

   "Asal semua anak buahnya itu dapat kukuasai, mustahil dia takkan keluar..." Memperoleh keputusan demikian, Chin Yang Kun segera bersiap siap untuk terjun dalam arena pertempuran tersebut. Dikerahkannya seluruh kekuatan Liong-cu-ikang ke seluruh tubuhnya. Sementara itu orang-orang yang saling berhadapan di halaman rumah depan itu telah berbaku hantam kembali dengan dahsyatnya.

   Jai-hwa Toat-beng-kwi dikeroyok oleh dua orang ketua Tiat tung Kai pang, sedangkan Pendekar Li yang dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi dikeroyok delapan orang, yaitu Tiat-tung Su-lo, dua orang gadis berbaju hitam-hitam dan dua orang gadis berbaju putih-putih. Bagaimanapun juga lihainya Pendekar Li, menghadiri jago jago silat kelas satu seperti delapan orang itu, kewalahan juga akhirnya. Mula-mula Pek-pi Siau-kwi dahulu yang jatuh terkena senjata lawan, kemudian baru Jai-hwa Toat-beng-kwi. Hantu cabul itu harus mengakui kelihaian permainan tongkat gabungan lawannya. Tapi sebelum orang kaya itu jatuh pula terkena serangan para pengeroyoknya, Chin Yang Kun keburu datang menolongnya. Pemuda itu melesat turun sambil melancarkan pukulan jarak jauhnya.

   "Buuuum!" Mereka berloncatan menghindarkan diri dari pukulan itu, sehingga angin pukulan tersebut menghantam tanah berpasir yang mereka pijak. Debu berhamburan ke mana-mana. Sesaat halaman itu menjadi gelap, sehingga rasa-rasanya tak seorangpun bisa melihat kedatangan Chin Yang Kun di tengah-tengah kepulan debu tersebut. Baru beberapa saat kemudian mereka dapat melihat dengan jelas setelah debu yang memenuhi tempat itu habis larut terbawa angin.

   "Yang Siauwhiap...! Akhirnya kau datang juga." Pendekar Li menyambutnya dengan hati lega.

   "Huh...kau lagi!" dua orang gadis berbaju serba hitam itu tersentak kaget. Otomatis pertempuran menjadi terhenti untuk beberapa saat. Semua mata memandang Chin Yang Kun yang kedatangannya seperti hantu malam yang tersembul dari dalam tanah begitu saja.

   "Siapakah dia? Apakah nona mengenalnya...?" Salah seorang dari Tiat tung Su-lo bertanya kepada gadis berbaju hitam.

   "Sumoi, kau kenal pemuda itu?" gadis berbaju putih itu ikut pula bertanya.

   "Suci...dialah pemuda yang kemarin kuceriterakan itu."

   "Yang membunuh anggota Tiat-tung Kai-pang dan merebut pedangmu...?"

   "Betul!"

   
"Sungguh kurang ajar! Lo-Cianpwe, awas...! Pemuda inilah yang membunuh anak buah Lo-Cianpwe di tempat pengungsian itu!"

   "Heh? Diakah orangnya..? Bangsat!" Tiat-tung Lokai mengumpat marah.

   "Su-lo! Bunuh dia! Jangan diberi ampun orang yang telah berani membunuh anggota perkumpulan kita!"

   "Baik, Pangcu!" Sementara itu Pendekar Li beserta Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi merasa terkejut bercampur gembira mendengar pemuda andalan mereka itu ternyata justru sudah bermusuhan dengan orang-orangnya Keh-sim Siauwhiap. Dengan begitu rencana yang telah mereka susun menjadi semakin licin jalannya. Tidak usah mereka dorong lagi pemuda itu tentu akan bertanding mati-matian dengan Keh-sim Siauwhiap.

   "Lihat serangan!" Salah seorang dari Tiat-tung Su-lo berteriak ketika empat orang tokoh pengurus Tiat-tung Kaipang itu menyerbu kearah Chin Yang Kun.

   "Huh, ternyata kau juga hanya seorang pengikut dari orang she Li itu! Lo-Cianpwe, awas...! Dia lihai sekali!" gadis berbaju hitam-hitam itu meloncat maju pula sambil memperingatkan para pengemis tersebut. Sekaligus diserang oleh enam orang lawan, sedikitpun Chin Yang Kun tidak merasa gentar. Dengan mudah pemuda itu mengelakkan serangan serangan para pengeroyoknya. Malah kadang-kadang pemuda itu mencoba menepiskan serangan tongkat atau pedang lawannya dengan lengan telanjangnya. Dan akhirnya setelah yakin kekuatan tangannya mampu menahan senjata lawan, Chin Yang Kun menjadi semakin berani pula.

   Tebasan pedang lawannya ia tangkis begitu saja dengan lengannya! Melihat kesaktian Chin Yang Kun, kedua orang gadis berbaju putih itu segera terjun pula ke dalam arena. Ayunan pedang mereka yang lebih galak dan lebih mantap dari pada sumoi mereka yang berbaju hitam itu menyambar-nyambar dengan ganas dan selalu mengarah ke tempat-tempat yang mematikan. Tapi Chin Yang Kun tetap tak terpengaruh ataupun tergoyahkan oleh serangan-serangan itu. Meskipun sekarang dia dikeroyok delapan orang, tapi mereka tetap tak mampu mendekatinya. Tubuhnya yang terlindung oleh Liong cu-i-kang itu bagaikan kebal terhadap segala macam senjata dan pukulan. Malahan perbawa hawa dingin yang tersebar dari pengaruh tenaga sakti Liong-cu i-kang, membuat lawan lawannya menjadi sesak serta menggigil kedinginan.

   "Lam-Pangcu! Pak-Pangcu...! Anak ini mempunyai ilmu siluman!" akhirnya salah seorang dari Tiat-tung Su-lo berteriak karena tak tahan.

   "Heh? Hem, kurang ajar...! Pak-Pangcu, mari kita labrak bersama-sama anak itu!" Tiat-tung Lokai mengajak rekannya, Tiat tung Hong-kai! Tiat tung Hong-kai mengangguk ragu, tapi tidak segera beranjak dari tempatnya, pengemis yang dianggap gila oleh kebanyakan orang itu belum juga mempercayai apa yang telah dia lihat di depan matanya. Dalam hati Tiat tung Hong-kai benar-benar belum dapat menerima seorang pemuda belasan tahun yang belum hilang wajah kekanak-kanakannya mampu menahan pukulan tongkat besi dan sabetan pedang tanpa menderita luka sedikitpun.

   Padahal lawannya terang bukan tokoh-tokoh sembarangan. Tiat-tung Su-lo adalah pengurus pusat Tiat-tung Kaipang bagian selatan. kepandaiannyapun hanya di bawah ketua perkumpulannya. Sedang dua pasang gadis berbaju putih dan hitam itu adalah pembantu-pembantu utama dari Keh-sim Siauwhiap sendiri, kepandaiannya justru lebih tinggi bila dibandingkan dengan Tiat tung Su-lo. Tapi meskipun begitu mereka berdelapan masih terdesak juga menghadapi pemuda itu. Sungguh tak masuk akal! Kini Lam-Pangcu dari Tiat-tung Kai pang malah sudah terjun pula ke dalam gelanggang. Sembilan orang yang mengeroyok Chin Yang Kun sekarang.

   Tapi lagi-lagi tambahan bala bantuan tersebut seperti tidak ada artinya pula bagi pemuda itu. Kepandaian atau kesaktian pemuda itu seperti tak ada batasnya. Setiap lawan yang mengeroyoknya bertambah, kekuatan dan kesaktiannya seperti ikut bertambah pula. Akhirnya Tiat-tung Hong-kai sadar juga dari rasa ketidakpercayaannya yang keliru itu. Pemuda yang berada di hadapannya itu memang benar benar seorang pemuda yang lain dari pada yang lain. Pemuda itu benar benar seorang pemuda yang berkepandaian sangat tinggi. Mungkin tidak kalah tingginya dengan kepandaian Keh-sim Siauwhiap yang juga sangat hebat itu. Oleh karena itu tanpa rasa sungkan sungkan lagi Tiat tung Hong-kai segera terjun pula membantu kawan-kawannya, sehingga sekarang mereka berSepuluh orang mengeroyok pemuda sakti tersebut.

   Setelah ikut terjun sendiri dalam arena pertempuran, barulah pengemis gila itu benar-benar terbuka hatinya. Sekarang dia sungguh sungguh percaya dan mengakui bahwa pemuda itu memang lihai bukan main! Biarpun mereka berjumlah banyak tetapi seluruh badan pemuda itu seperti terlindung dalam perisai besi yang kokoh kuat, sehingga tak sebuah senjatapun yang mampu menembusnya. Sebaliknya, Chin Yang Kun juga tak mudah untuk mengalahkan para pengeroyoknya itu. Selain mereka berjumlah banyak, kepandaian merekapun juga tidak rendah. Mereka bertempur bahu-membahu dan saling melindungi, sehingga Hok-te Ciang-hoat yang dikeluarkan oleh pemuda itu tidak bisa berbuat banyak terhadap mereka. Berkali-kali orang yang akan menjadi kurban pukulannya selalu dapat diselamatkan oleh yang lainnya.

   Kalau Chin Yang Kun mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulannya mereka tentu menyambutnya secara beramai-ramai pula. Lima belas jurus telah berlalu dan pertempuran itu belum juga menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Pendekar Li dan dua orang kawannya, mendadak seperti tersadar dari rasa kagum dan rasa heran mereka melihat pertempuran yang berlarut-larut itu. Mereka bertiga segera menyadari bahwa pemuda itu bukanlah seorang dewa yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Oleh karena itu mereka harus ikut pula turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertempuran tersebut. Maka setelah memberi tanda kepada Jai-hwa Toat bengkwi dan Pek-pi Siau-kwi agar mengikuti dirinya, Pendekar Li terjun pula ke dalam gelanggang pertempuran.

   Pendekar Li langsung mencegah Tiat tung Hong-kai, orang yang ia anggap paling berbahaya di antara mereka. Sedang Jai-hwa Toat-beng kwi cepat memilih sepasang gadis berbaju putih sebagai lawannya. Hantu cabul itu membiarkan Pek-pi Siau-kwi sendirian melawan Tiat-tung Lokai! Kini tinggal Tiat-tung Su-lo dan seorang gadis berbaju hitam itulah yang menghadapi Chin Yang Kun. Maka tak heran kalau sebentar saja mereka sudah didesak habis-habisan oleh pemuda itu. Malahan sebentar kemudian salah seorang dari gadis berbaju hitam itu tampak terpental jatuh terkena pukulan Chin Yang Kun. Beberapa saat kemudian diikuti pula oleh dua orang dari Tiat tung Su-lo, mereka juga menggeletak tak berdaya terkena tendangan Chin Yang Kun.

   "Cici...lepaskan tanda peringatan ke atas!" gadis berbaju hitam yang masih sehat itu menoleh, lalu berteriak memperingatkan gadis berbaju putih yang sibuk berunding dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi.

   "Hehe...kau mau memanggil bala bantuan lagi? Eee, nanti dulu...! Kita belum puas bertanding..." Jai-hwa Toat-beng-kwi menyahut sambil memperhebat serangannya, sehingga kedua orang lawannya tak punya kesempatan untuk melepas tanda peringatan itu. Hal itu memang bisa terjadi karena kekuatan kedua belah pihak memang berimbang. Kekuatan dan kemampuan dua orang gadis itu secara bersama-sama berimbang dengan kekuatan dan kemampuan Jai-hwa Toat-beng-kw! Malah dalam beberapa hal kemampuan Hantu Cabul itu agak lebih menang bila dibandingkan dengan lawannya.

   Oleh karena itu tidak heran kalau kedua orang gadis itu tak mampu berbuat lain selain harus bertempur dengan konsentrasi penuh ketika Jai hwaToat-beng kwi memperhebat serangannya. Sedangkan pertempuran antara Pendekar Li dan Tiat-tung Hong-kai tidak kalah pula serunya. Sebagai seorang ketua perkumpulan besar seperti Tiat-tung Kai pang, apalagi Tiat-tung Kai pang bagian utara yang lebih besar dan lebih banyak anggotanya dari pada bagian selatan, Tiat-tung Hong kai benar benar mempunyai kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi dari pada Tiat-tung Lokai! Tetapi lawannya sekarang adalah Pendekar Li, seorang jago silat yang telah mempunyai nama besar pula seperti dirinya, sehingga pertempuran diantara mereka memang sungguh seru sekali. Sulit untuk dapat memastikan dengan segera, siapa yang lebih unggul di antara keduanya.

   Begitu pula dengan pertempuran antara Pek-pi Siau-kwi dengan Tiat-tung Lokai. Sebenarnya dalam keadaan biasa kepandaian Tiat-tung Lokai masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian Pek-pi Siau-kwi, tapi karena pengemis tua itu telah terkena lima buah jarum Jai-hwa Toat-beng-kwi maka kekuatan dan kelincahannya sudah banyak berkurang. Malahan sejalan dengan semakin kuatnya daya pengaruh racun jarum itu ke dalam tubuh Tiat-tung Lokai, Pek pi Siau-kwi semakin mempunyai banyak kesempatan untuk menundukkan orang tua itu. Tetapi seperti juga dengan kedua orang kawannya yang lain, hantu cantik itu harus berjuang dahulu untuk waktu yang lama agar bisa mengalahkan lawannya. Yang paling celaka dan paling menderita dalam pertempuran itu adalah orang-orang yang terpaksa harus menghadapi Chin Yang Kun!

   Karena tidak berimbang, maka satu persatu orang-orang yang mengeroyok pemuda itu jatuh terkapar di atas tanah. Mula mula yang jatuh adalah salah seorang dan gadis berbaju hitam itu, kemudian yang kedua adalah dua orang dari Tiat-tung Su-lo. Sekarang tinggal tiga orang yang melayani Chin Yang Kun, tapi sebentar kemudian merekapun terpaksa mengikuti jejak kawan-kawannya pula. Terpental bergelimpangan di atas tanah! Selesai membereskan para pengeroyoknya Chin Yang Kun mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya tapi Keh-sim Siauwhiap belum juga muncul. Apakah pemilik Pulau Meng-to itu belum mengetahui kalau anak buahnya sedang di dalam kesukaran? Tiba-tiba Chin Yang Kun menoleh ke arah gadis berbaju putih yang sedang bertempur melawan Jai hwa Toatbeng-kwi.

   Sebelum roboh gadis yang berbaju hitam tadi telah menyuruh gadis berbaju putih itu untuk melepaskan tanda peringatan ke atas. Apakah tanda itu dimaksudkan untuk memanggil atau memberi tahu kepada Keh-sim Siauwhiap? Memperoleh pikiran demikian Chin Yang Kun segera melesat menghampiri mereka. Tanpa memberi peringatan lagi tangannya segera bekerja. Mula mula tangan kirinya justru menangkis pukulan Jai hwa Toat beng kwi yang tertuju ke arah tengkuk lawan setelah itu tangan kanannya sebat bagai kilat mencengkeram lengan salah seorang dari kedua gadis itu. Gadis itu bergerak dengan tidak kalah gesitnya. Dengan mudah serangan Chin Yang Kun yang datang dengan secara tiba-tiba itu dapat ia elakkan. Tapi gadis itu lupa bahwa di dekatnya masih ada Jai hwa Toat-beng kwi yang segera memanfaatkan kelengahan gadis tersebut.

   "Wuus!" Gadis itu terbatuk batuk dengan hebatnya. Ternyata Jai hwa Toat-beng kwi memanfaatkan kesempatan itu dengan meniupkan asap pipanya ke wajah gadis tersebut. Lalu sebelum gadis itu dapat membebaskan diri dari pengaruh asap huncwe, sekali lagi Chin Yang Kun menyambar. Dan kali ini lambaian tangannya benar-benar berhasil! Sekali angkat gadis itu telah terlempar jauh.

   "'Nah, lepaskan tanda peringatanmu itu! Panggil Keh-sim Siauwhiap kemari!" Chin Yang Kun berteriak lantang. Suaranya yang dilandasi Liong-cu I-kang itu membuat orang orang yang berada di tempat itu menjadi tertegun dan tergetar hatinya. Sekejap semuanya berhenti bergerak.

   "Saudara...aku sudah berada di sini sejak tadi," tiba-tiba terdengar suara halus. Semua orang memandang ke atas tangga pendapa. Dalam keremangan cahaya obor tampak seorang laki-laki muda berdiri tenang di tengah-tengah pintu pendapa yang besar. Biarpun tidak jelas tetapi dengan dandanannya yang rapi itu Keh-sim Siauwhiap kelihatan tampan dan menarik. Pakaiannya yang lebar dan anggun itu menyebabkan dia lebih tampak sebagai seorang pelajar dari pada sebagai seorang jago silat yang ditakuti orang.

   "Keh sim Siauw-hia...!" Semua mulut hampir berbareng mengucapkan kata-kata itu. Cuma nada dan cara menyebutkannya yang berlainan. Kawan-kawan dari Keh-sim Siauwhiap sendiri menyebutkan nama itu dengan wajah dan suara bersyukur, sementara pihak dari Pendekar Li menyebutkannya dengan suara kaget serta khawatir.

   Tapi dari semuanya itu yang paling mengagetkan adalah reaksi dari Chin Yang Kun sendiri! Begitu tahu orang yang berada di ambang pintu pendapa itu adalah Keh-sim Siauwhiap, pemuda itu segera berlari meninggalkan lawan lawannya, lalu meloncat menaiki tangga yang tinggi itu. Matanya telah berapi-api seakan akan mau melumatkan orang yang telah berani membunuh orang tuanya itu. Sebaliknya, seperti orang yang mau menghindarkan diri, Keh-sim Siauwhiap mendadak terbang lewat di atas kepala Chin Yang Kun dan turun di halaman. Kemudian tubuhnya yang tegap itu melesat menghampiri anak buahnya yang tergeletak berserakan di tengah-tengah halaman. Gerakannya cepat bukan main, sehingga tak seorangpun dapat melihat gerakan kakinya. Pendekar itu seolah-olah terbang begitu saja!

   "Sebentar, anak muda! Aku akan melihat kawan-kawanku dahulu. Setelah itu baru aku dapat menemui engkau dengan bebas dan leluasa,.." Keh-sim Siauwhiap berkata diantara langkahnya. Chin Yang Kun berdiri tertegun di tengah-tengah anak tangga. Matanya menatap kagum seolah-olah tak percaya kepada laki-laki yang kini tampak berlutut di halaman mengobati anak buahnya itu. Hampir-hampir Chin Yang Kun tak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia dapat bergerak sedemikian cepatnya. Rasa-rasanya orang itu bukanlah seorang manusia, tetapi...seekor burung! Tetapi bayangan tubuh ayahnya yang mandi darah dan pamannya yang terluka parah membuat pemuda itu menggeretakkan giginya kembali.

   "Pembunuh keji! Jangan lari kau..!" Chin Yang Kun menjerit. Pemuda itu melompat turun dari atas tangga, lalu menyerbu Keh-sim Siauwhiap kembali. Dari jauh Chin Yang Kun sudah melancarkan pukulan Tiat gong ciangnya (pukulan udara kosong atau pukulan jarak jauh). Suaranya menderu serta memancarkan hawa dingin yang hebat, sehingga Keh sim Siauwhiap dan orang-orang yang berada di tempat itu terkejut juga dibuatnya.

   Orang-orang itu segera menyingkir. Tangan Keh-sim Siauwhiap yang cekatan itu sudah bisa mengobati empat orang pengemis yang tergabung dalam Tiat tung Su-lo itu. Kini tinggal dua orang lagi yang terluka dan harus lekas-lekas diobati, yaitu dua orang gadis berbaju hitam-hitam itu. Seperti para pengemis tadi, kedua orang gadis itu terluka karena pukulan beracun Chin Yang Kun. Tapi sebelum pendekar itu sempat memeriksa luka si gadis, pukulan Chin Yang Kun sudah tiba. Karena tidak ada waktu lagi, terpaksa Keh-sim Siauwhiap mengungkit tubuh yang tergeletak tersebut dengan sepatunya sehingga melayang ke atas. Lalu sambil berjumpalitan menjauh, Keh sim Siauwhiap menyambar tubuh yang terluka itu.

   "Buuum!" Tanah dan pasir bekas tempat berpijak Keh-sim Siauwhiap tadi bertebaran ke udara. Tapi Keh sim Siauwhiap bersama gadis itu telah tiada lagi di tempat itu. Pendekar dari Pulau Meng-to itu telah mendaratkan kakinya beberapa langkah dari sana dan meletakkan gadis yang dibawanya di atas tanah. Tangannya cepat mengurut di bagian yang luka, setelah itu tangannya merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih. Tapi sebelum pil tersebut sempat dimasukkan ke dalam mulut si gadis, pukulan Chin Yang Kun keburu datang lagi. Keh-sim Siauwhiap bergegas menyambar gadis itu lagi. Bagaikan burung walet tubuhnya meluncur jauh ke dekat tangga dan kemudian meletakkan tubuh gadis tadi di sana.

   "Buuuum!" Sekali lagi debu dan pasir beterbangan terkena pukulan Chin Yang Kun! Tapi kali inipun tidak menemui sasarannya lagi. Dengan geram pemuda itu melihat lawannya telah berada di dekat tangga dan baru melolohkan sesuatu kepada gadis yang terluka itu. Chin Yang Kun mengerahkan lagi Liong-cu i-kangnya, kemudian tubuhnya meloncat lagi kearah Keh-sim Siauwhiap.

   Tapi Chin Yang Kun kecele lagi! Begitu tubuhnya mulai bergerak mau meloncat, Keh-sim Siauwhiap sudah terlebih dahulu melesat ke tempat gadis berbaju hitam lainnya. Gadis itu juga tergeletak luka di atas tanah. Seperti juga yang telah dia lakukan terhadap gadis yang pertama, Keh-sim Siauwhiap dengan cekatan segera memeriksa luka-luka gadis itu. Setelah diurut beberapa kali, gadis itu diberi sebutir pil berwarna kuning. Tapi seperti juga tadi, pukulan Chin Yang Kun kembali datang dengan menderu-deru, sehingga pil tersebut gagal untuk dimasukkan ke dalam mulut. Keh-sim Siauwhiap sambil membawa tubuh gadis itu melenting tinggi ke udara, kemudian meluncur ke dekat tangga lagi dengan manisnya. Sambil meletakkan tubuh itu berdampingan dengan tubuh gadis yang pertama, pendekar dari Pulau Meng-to itu memasukkan pil kuning tadi ke dalam mulut si gadis!

   "Nah, aku sudah selesai mengobati mereka. Kini aku sudah leluasa untuk menghadapi engkau. Nah, saudara...coba katakan! Apa sebabnya kau menuduh aku seorang pembunuh keji? Dan kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, tapi mengapa kau sudi menjadi pembantu dari Pendekar Li itu?" dengan tenang Keh-sim Siauwhiap menghadapi Chin Yang Kun. Wajahnya yang tampan tapi amat pucat itu tampak tak bergairah sama sekali ketika menatap Chin Yang Kun. Pendekar Li segera meloncat ke depan Chin Yang Kun. Sambil bertolak pinggang putera mendiang Perdana Menteri Li Su tersebut berdiri menghadapi Keh-sim Siauwhiap.

   "Keh-sim Siauwhiap! Apa sebenarnya kemauanmu sehingga kau selalu memburu aku kemanapun aku pergi?" tanyanya penasaran, "Bukankah benda itu milikku sendiri? Bukankah sudah wajar kalau aku memiliki harta warisan orang tuaku? Kenapa kau selalu ingin merebutnya?" Wajah yang amat pucat itu mencoba untuk tersenyum, tapi gagal. Agaknya sudah lama pendekar yang namanya menjulang ke langit itu tidak pernah tersenyum. Buktinya wajah itu bukannya tersenyum, tapi lebih tepat dikatakan meringis!

   "Pendekar Li, sepintas lalu apa yang kau katakan itu tampaknya benar. Tapi kalau caramu menilai tidak hanya sesempit itu, artinya tidak hanya dari sudut kepentinganmu saja, kukira engkaupun akan segera menyadari sendiri kekeliruanmu. Coba kau pikirlah yang lebih jauh lagi...! Siapakah sebenarnya pemilik harta karun yang tersimpan dalam peta itu?"

   "Bukankah harta itu milik ayahku? Mendiang Perdana Menteri Li Su? Beliaulah yang mengumpulkannya..."

   "Benar sekali! Dialah yang mengumpulkannya. Bagus! Tapi katakan...dari mana ayahmu itu mengumpulkan harta sebanyak itu? Coba katakan...!"

   "Ini...aku...aku tak tahu." Pendekar Li menjawab kikuk.

   "Nah, kau sukar menjawabnya, bukan? Kalau begitu marilah kubantu kau menjawabnya. Dengarlah...! Mendiang Perdana Menteri Li Su mengumpulkan harta benda sebanyak itu dari hasil kerja paksa dan memeras keringat rakyat. Selain itu bersama-sama dengan pejabat-pejabat korup yang lain, ayahmu mencuri dan menggerogoti kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri. Nah, sekarang katakan...! sudah semestinya atau tidak kalau harta itu dikembalikan kepada rakyat kecil lagi? Dan sudah wajar atau tidak bila harta karun itu dibagikan kepada fakir miskin?"

   Pendekar dari Pulau Meng-to itu mendesak Pendekar Li dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi. Pendekar Li terdiam tak bisa menjawab. Wajahnya merah padam, bibirnya gemetar tapi tak sepatah katapun yang keluar dan mulut itu. Lambat laun dapat juga bibir itu berbicara, tapi ternyata yang keluar hanyalah umpatan-umpatan kasar.

   "Persetan...! Aku tidak peduli dari mana asal usul harta karun itu! Yang kuketahui hanyalah harta itu kepunyaan mendiang ayahku, karena itu aku harus memilikinya...!"

   "Hmm, jangan bermimpi! kau tak mungkin dapat memilikinya." Keh-sim Siauwhiap mendengus.

   "Heh? Apa...? Apa maksudmu? kau mau merampasnya dari tanganku?" Pendekar Li melangkah setindak ke depan. Kedua orang pengawalnya, Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi, segera maju pula mendampinginya. Mereka berdiri di kanan kiri Pendekar Li, siap untuk membantu majikan mereka itu. Melihat itu Tiat-tung Hong kai dan Tiat-tung Lokai segera ikut bergerak pula ke depan. Kedua orang tua ini bersiap-siap pula untuk membantu Keh-sim Siauwhiap.

   "Benar, Pendekar Li. Aku memang bermaksud merampas harta itu bila kau tak mau menyerahkannya dengan baik-baik. Harta itu akan kukembalikan kepada rakyat yang berhak. Nah, kini lebih baik kau tak usah banyak omong. Berikan potongan emas yang berisi peta itu!" Keh-sim Siauwhiap mulai serius.

   "Hahaha...alasan kuno! Merampas harta untuk dibagikan kepada fakir miskin! Hahaha!" Pendekar Li tertawa mengejek.

   "Ho, siapa percaya omonganmu? Apakah harta itu tidak akan kau simpan sendiri? Hahah..."

   "Diam! Lekas serahkan! Atau...aku harus membunuhmu dahulu, baru nanti kugeledah tempat tinggalmu ini?" Keh sim Siauwhiap menghardik, tangannya telah diangkat, siap untuk melancarkan serangan maut.

   "Berhentiii...!" tiba-tiba Chin Yang Kun yang berada di belakang rombongan Pendekar Li itu berteriak keras sekali. Tangannya mendorong ke arah punggung Pendekar Li dan Jai hwa Toat-beng-kwi.

   "Ayoh, menyingkirlah kalian dari depanku!" Pendekar Li dan kedua orang pembantunya terpaksa melompat ke samping ketika tiba-tiba terasa ada hembusan angin dingin yang menyerang punggung mereka. Kebetulan ketiga-tiganya melompat mendekati tempat Tiat-tung Lokai dan Tiat-tung Hong-kai berdiri. Maka tanpa diberi komando lagi mereka segera bergebrak dengan sengitnya. Ketika Keh sim Siauwhiap melangkah lagi ke depan untuk membantu anak buahnya, Chin Yang Kun segera mencegatnya.

   "Keh-sim Siauwhiap, jangan hiraukan mereka! Biarlah mereka bertempur sendiri!" Pendekar dari Pulau Meng-to itu menghentikan langkahnya. Wajahnya yang pucat tak bergairah itu menoleh. Dahi yang selalu tampak berkerut itu kelihatan berkilat-kilat ditimpa sinar obor yang suram.

   "Apa maksud saudara...?" tanyanya datar. Chin Yang Kun mendekat lagi. Dengan sinar mata penuh dendam pemuda itu menggeram.

   "Kau tak perlu terlalu mendesak atau membunuh orang itu! Tidak ada gunanya...Dia tak membawa potongan emas itu!"

   "Hmh? Lalu...maksud saudara, saudarakah yang membawanya?" mata yang redup itu mulai berkilat, sehingga Chin Yang Kun agak tergetar juga memandangnya.

   "Aku juga tidak..." Chin Yang Kun menggeleng. Mata yang dingin itu semakin berkilat. Kerut-merut pada dahi itu juga semakin bertambah banyak.

   "Lalu siapa...?" Mereka berdiri berhadapan, tak lebih dari lima langkah jauhnya. Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauwhiap! Sama-sama masih muda, tapi juga sama-sama mempunyai kepandaian yang tidak lumrah manusia. Keduanya saling menatap bagai ayam aduan yang siap mau berlaga.

   "Siapa...?" Keh-sim Siauwhiap bertanya lagi, kini suaranya sedikit lebih keras.

   "Hek-eng-cu...? Mata itu terbelalak sekejap, tapi kemudian meredup kembali, "Jangan mengada-ada! Orang itu tak mungkin tahu tentang persoalan ini. Dia hanya sibuk dengan rencana pemberontakannya saja." Chin Yang Kun tersenyum mengejek.

   "Benar. Semula dia memang tak tahu menahu tentang peta harta karun itu. Tapi dia dan kawan-kawannya secara tak sengaja telah menemukannya. Lengkap. Dua potong emas itu sekaligus!"

   "Hei, di mana mereka menemukan benda itu? Dan...bagaimana kau juga tahu tentang masalah dua potong emas itu?" Keh-sim Siauwhiap menatap tajam. Kini pendekar itu mulai percaya pada omongan Chin Yang Kun.

   "Yang sepotong mereka merampasnya dari tanganku dan yang sepotong lagi mereka merampas dari tangan Tung-hai Sam-mo. Nah, jelas bukan? Kini mereka telah berangkat ke tempat yang ditunjukkan dalam peta itu. Besok malam...tepatnya pada saat tengah malam, mereka akan sudah berkumpul di tempat tersebut untuk mengambil harta karun itu..."

   "Hah...?" wajah yang pucat itu tampak menegang, lalu dengan cepat kakinya bergeser ke depan, mendekati Chin Yang Kun. Tapi sebaliknya Chin Yang Kun juga bergeser pula ke samping dengan gesitnya, sehingga mereka tetap berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah.

   Sementara itu pertempuran antara Pendekar Li dan dua orang ketua partai pengemis tersebut benar-benar ramai bukan main! Kepandaian dari Pendekar Li memang lebih tinggi daripada kepandaian Tiat tung Hong-kai serta Tiat-tung Lokai. Oleh karena itu sebentar saja Pendekar Li yang dibantu oleh kedua orang pembantunya itu dapat mendesak lawannya. Tapi ketika dua orang gadis berbaju putih datang menolong Tiat-tung Hong kai, maka pertempuran itu menjadi agak berimbang. Salah seorang dari gadis berbaju putih itu bersama-sama dengan Tiat-tung Hong-kai, mengeroyok Pendekar Li. Sedangkan gadis yang satunya lagi bersama dengan Tiat-tung Lokai menghadapi Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi. Meskipun begitu tampaknya kedudukan Pendekar Li agak sedikit lebih baik dari pada lawannya.

   "Yang Siauwhiap, marilah kita selesaikan mereka dengan segera, sebelum bala bantuan mereka datang lagi...!" Pendekar Li masih juga sempat berteriak ke arah Chin Yang Kun. Agaknya orang ini merasa takut apabila Chin Yang Kun terlalu banyak omong dengan Keh-sim Siauwhiap. Sementara itu Keh-sim Siauwhiap sendiri dalam keadaan tegang masih tetap mendesak Chin Yang Kun dengan pertanyaannya yang gencar.

   "Saudara, benarkah ceritamu itu...? Benarkah?"

   "Mengapa aku mesti berbohong kepadamu? kau dapat bertanya juga kepada Hong-Iui-kun Yap Kiong Lee, apakah kata-kataku tadi bohong atau tidak! Hmm, kenal tidak kau dengan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee?" Chin Yang Kun menjawab pertanyaan lawannya dengan keras pula.

   "Gila!" Keh-sim Siauwhiap mengumpat. Tapi pendekar itu semakin percaya seratus persen pada kata-kata Chin Yang Kun.

   "Tentu saja aku kenal padanya. Tapi...eh, mengapa dia juga tahu tentang masalah peta ini?"

   "Hehehe...kau jangan mengira bahwa hanya engkau sendirilah yang mengetahui tentang rahasia peta itu. Setiap orang kini sudah tahu belaka akan rahasia harta karun tersebut! kau datang ke tempat yang ditunjukkan dalam peta itu besok tengah malam...hehe, kau akan melihat banyak orang yang berebut untuk mengambil harta itu!" Mata Keh-sim Siauwhiap terbelalak karena hatinya semakin tegang. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan, kedua belah tangannya menerkam pundak Chin Yang Kun. Gerakannya sungguh amat mendadak dan cepatnya bukan main, sehingga tak seorangpun tahu bagaimana caranya ia bergerak!

   Tahu-tahu kedua belah tangan itu tinggal beberapa jengkal saja dari sasarannya! Chin Yang Kun mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengelak. Memang sejak semula pemuda itu sudah bersiap-siaga! Dari Hong-lui-kun Yap Kiong Lee dia telah mendengar bahwa ginkang Keh-sim Siauwhiap benar-benar tiada taranya di dunia ini. Meskipun demikian ternyata Chin Yang Kun tetap saja agak terlambat. Memang, Keh-sim Siauwhiap gagal mencengkeram pundak Chin Yang Kun. Tapi cengkeraman tersebut hanya selisih beberapa senti saja dari pundaknya, sehingga bajunya yang lebar itu menjadi hancur pangkal lengan bajunya akibat jeriji Keh-sim Siauwhiap yang luput mencengkeram dagingnya. Dan kelambatan yang mengakibatkan rusaknya lengan baju itu membuat Chin Yang Kun menjadi marah sekali.

   "Berhenti!" pemuda itu berteriak dengan Liong-cu i-kangnya, sehingga rasa-rasanya malam yang cerah penuh bintang itu tiba-tiba ada petir menyambar dengan dahsyatnya.

   Beberapa orang penjaga yang berjaga jaga di sekeliling halaman itu langsung menggeletak karena tak tahan. Orang orang yang sedang asyik bertanding itu juga menghentikan gerakan mereka dengan mendadak. Yang lweekangnya sedikit rendah tampak sempoyongan mau jatuh. Masing masing berusaha dengan sekuat tenaga agar selaput pendengarannya tidak pecah. Tapi sekejap kemudian Jai-hwa Toat-beng-kwi telah memulai lagi pertempurannya itu. Hantu cabul itu tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi lawannya, Tiat-tung Lokai, belum bisa mengatasi pengaruh teriakan Chin Yang Kun tadi. Untunglah gadis berbaju putih, yang berada di samping Tiat-tung Lokai, mengetahui siasat licik tersebut. Dengan marah sekali pedangnya menghantam huncwe Jai-hwaToatbeng-kwi! Dan pertempuran yang tertunda itu berkobar pula kembali dengan hebatnya.

   Keh-sim Siauwhiap menatap mata Chin Yang Kun lekat lekat. Rasanya mata itu semakin lama semakin tampak mencorong seperti mata seekor naga di kegelapan malam. Diam-diam pendekar dari Pulau Meng-to itu sedikit merinding juga hatinya. Tak ia sangka ia kan bertemu dengan seorang pemuda hebat di rumah Pendekar Li ini. Tadi secara mendadak ia benar-benar telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang pemuda itu. Ia sudah amat yakin bahwa serangannya akan berhasil, karena selama ini ia belum pernah gagal dengan serangan seperti itu. Tapi kenyataannya sungguh memalukan. Biarpun dia dapat mencengkeram lengan baju pemuda itu hingga hancur, tapi sebagai seorang pendekar ternama mukanya benar-benar terasa panas karena malu. Dia yang telah mencuri kesempatan ketika menyerang tadi ternyata mengalami kegagalan!

   "Mengapa saudara menyuruh aku berhenti untuk menyerangmu?" Keh-sim Siauwhiap membuka mulut untuk mengurangi rasa kikuknya. Pendekar ini bertanya seolah-olah dia tadi memang sudah benar-benar mau memulai pertempuran, padahal sebetulnya dia tadi ingin menangkap Chin Yang Kun untuk memaksa agar pemuda itu lekas-lekas mengatakan tempat dimana harta karun itu berada. Pemuda yang sebenarnya telah mulai marah karena bajunya terobek itu tersenyum mengejek.

   "Kita belum selesai berbicara, mengapa engkau tadi tiba-tiba menyerangku? Huh! Aku telah berbicara banyak dan aku telah menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, kini ganti aku yang akan bertanya kepadamu dan engkau kuharap menjawab pula pertanyaanku dengan baik!"

   "Aku belum selesai dengan pertanyaanku..." Keh-sim Siauwhiap memotong.

   "Persetan! kau telah menyerang aku...Itu berarti kau telah selesai! Tapi kalau kau memang masih ingin bertanya lagi, akupun juga masih bersedia menjawabnya. Tapi...nanti setelah aku selesai bertanya kepadamu. Bagaimana...?"

   "Baik! Cepatlah kau bertanya, aku akan menjawabnya bila aku dapat!"

   "Sebentar...!" Chin Yang Kun berdesah melalui hidungnya. Matanya memandang ke langit seolah-olah ingin menghitung ribuan bintang yang pada saat itu tampak bertaburan di sana. Lalu sambil melangkah perti menjauhi arena itu pemuda tersebut berkata pelan, "Ikutilah aku...!" Wajah yang pucat itu tampak kemerah-merahan karena merasa dipermainkan.

   "Mau kemanakah kau? Mengapa tidak lekas kau sebutkan pertanyaanmu itu?" Keh-sim Siauwhiap menggeram marah.

   Baru sekali ini saja sejak namanya menjadi terkenal dan ditakuti orang, Keh-sim Siauwhiap menemui orang yang berani bertingkah di depannya. Sudah berani bertingkah orang itu tak mengenal rasa takut pula, seolah-olah yang dihadapinya Cuma seorang dari tingkat rendahan saja! Memang bisa dimaklumi bila Keh-sim Siauwhiap sampai merasa tersinggung menghadapi tingkah Chin Yang Kun tersebut. Selama lima-enam tahun ini pendekar dari Pulau Meng-to itu selalu dihormati, disegani dan ditakuti orang. Nama Keh-sim Siauwhiap sudah begitu termashurnya hingga tak seorangpun berani bertingkah atau mempermainkannya! Dan citra seperti itu sudah merasuk mendarah daging dalam jiwa Keh-sim Siauwhiap, sehingga pendekar itu merasa tersinggung melihat tingkah polah Chin Yang Kun yang seenaknya sendiri itu.

   "Anak muda! Engkau masih ingin berbicara dengan baik baik atau tidak? Kalau masih, lekas katakan kemauanmu...! Kalau tidak, hmm...jangan menyesal...!" Keh-sim Siauwhiap sekali lagi menggeram. Kedua belah tangannya kelihatan terkepal dan siap untuk turun tangan! Mata yang semula redup dan tak bergairah itu kini tampak mencorong marah ketika menatap punggung Chin Yang Kun yang berjalan menjauhinya. Tetapi Chin Yang Kun seperti orang yang tak mengenal bahaya! Tanpa memperdulikan kemarahan maupun ancaman Keh-sim Siauwhiap terhadapnya, pemuda itu tetap berjalan ke pojok pendapa tanpa menoleh. Dengan tidak kalah garangnya pemuda itu justru membentak.

   "Apakah kau ingin agar setiap orang mendengar tempat harta karun itu? Hmm...baik!" Chin Yang Kun berhenti melangkah lalu badannya berputar menghadap Keh-sim Siauwhiap dengan cepat sekali. Dalam keremangan malam itu tatapan matanya tidak kalah mencorongnya dengan sinar mata Keh-sim Siauwhiap ketika berteriak.

   "Baik! Kalau begitu aku akan berteriak sekeras-kerasnya di sini, supaya seluruh dunia tahu tempat itu! Dengarrrr...! Tempat itu berada di""

   "Tutup mulutmu!" tiba-tiba Keh-sim Siauwhiap menjerit dengan tidak kalah kerasnya. Kemudian pendekar itu melesat bagai kilat ke depan Chin Yang Kun. Suaranya gemetar ketika berkata.

   "Keparat! kau benar-benar...gila! Baik, aku mengalah. Mari kira pergi dari tempat ini!"

   "Hmh!" Chin Yanug Kun mendengus atau membuang napas kuat-kuat dari hidungnya. "Tapi kau jangan dekat-dekat denganku..!"

   "Mengapa...?"

   "Untuk menjaga diri! Ginkangmu terlalu cepat bagiku! Aku khawatir kau akan menyerangku Iagi dengan mendadak seperti tadi." Chin Yang Kun menjawab sambil melangkahkan kakinya.

   "Dan...kau takut tak bisa mengelak atau menghindarinya?" Keh-sim Siauwhiap mengejek.

   "Benar! Aku memang takut dan khawatir tak bisa mengelakkan seranganmu. Dan hal itu berarti..." Chin Yang Kun tidak meneruskan perkataannya.

   "Berarti apa?" Keh-sim Siauwhiap tersenyum bangga.

   "Berarti bahwa aku...terpaksa harus membunuhmu!"

   "Hah? Apa katamu?" pendekar dari Pulau Meng-to itu tersentak kaget. Matanya berkilat marah. Otomatis langkahnya berhenti. Chin Yang Kun berhenti pula. Tubuhnya yang jangkung itu segera bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.

   "Mengapa? Apakah engkau tersinggung mendengar kata kataku tadi? Jangan terburu nafsu! Masih banyak waktu untuk kita bertanding nanti. Urusan kita atau pembicaraan kita itu selesaikan dahulu..." desahnya pelan.

   "Tapi...apa maksud perkataanmu tadi?" Keh-sim Siauwhiap penasaran. Benar-benar penasaran sekali!

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya." Chin Yang Kun menjawab. "Kalau aku sudah terpepet dan tak bisa mengelak lagi, apa yang mesti kukerjakan selain" menyongsong seranganmu itu dengan seluruh tenagaku pula? Dan hal inilah yang sebenarnya kutakutkan dan kukhawatirkan! Aku takut kau takkan kuat menahan gempuran lweekangku..." Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Keh-sim Siauwhiap mendengar kata-kata yang sombong luar biasa itu! Hanya karena ia masih membutuhkan keterangan tentang tempat harta karun itu saja yang membuat pendekar tersebut tidak segera mencekik leher Chin Yang Kun.

   "Dan kalau kau mati..." pemuda itu masih meneruskan perkataannya yang menyakitkan itu, ""Aku akan kehilangan jejak pembunuh ayahku lagi! Maaf! Maaf...aku tidak bermaksud menyombongkan diri, aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan dalam benakku saja, lain tidak""

   "Bocah sombong...!"

   "Kau tidak percaya? Boleh coba!" Chin Yang Kun menantang. "Kaulihat tiang pojok pendapa itu? Tiang itu ada sepuluh meter jaraknya dari tempat ini. Nah, apakah kau mampu menghantamnya hingga roboh dari sini? Ingat, hanya dengan tangan kosong saja...! Kalau dengan bantuan kerikil, batu atau lainnya...aku percaya engkau dapat melakukannya. Tapi dengan tangan kosong dan hanya mengandalkan lweekang saja, apakah kau mampu?"

   "Kurang ajar! Bocah sombong, apakah...kau juga mampu?" pucat pias wajah Keh-sim Siauwhiap saking tak kuat menahan perasaannya.

   "Tentu saja! Lihatlah...!"

   "Yang Siauwhiap...! Menunggu apa lagi? Bereskan saja Keh-sim Siauwhiap itu!" Pendekar Li yang sibuk melawan Tiat-tung Hong-kai itu berteriak. Chin Yang Kun tidak memperdulikan teriakan itu.

   Ia baru menghimpun tenaga sakti Liong-cu i-kangnya! Dengan posisi badan lurus kaki kirinya ia lempar ke belakang sejauhjauhnya, sehingga tubuhnya yang jangkung itu seakan-akan seekor ular yang tiarap di atas tanah. Kaki kanannya tertekuk rendah sekali sebagai tiang tumpuan seluruh berat badannya. Kedua belah telapak tangan pemuda itu dirangkap di depan mukanya seolah-olah orang menyembah. Dan sebentar kemudian dari mulut pemuda itu terdengar suara desis ular yang makin lama semakin keras. Dan sejalan dengan suara desis ular tersebut, tiba-tiba Keh-sim Siauwhiap merasakan hembusan udara dingin yang semakin terasa menggigilkan.Lalu sesaat kemudian kedua belah telapak tangan tadi tiba-tiba mendorong ke depan, ke arah tiang pendapa yang terbuat dari kayu besi sebatang paha orang dewasa itu!

   "Ssssssssssss...!"

   "Kraaak! Broooool!" Tiang kayu itu patah di tengah dan dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk pojok pendapa itu runtuh ke bawah. Orang-orang yang sedang bertempur di halaman itu seketika berhenti semua, dengan air muka heran mereka mengawasi Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauwhiap yang berdiri berhadapan.

   "Yang Siauwhiap, ada apa...?" Pendekar Li berseru dengan dahi berkerut.

   "Jangan pikirkan aku! Selesaikan saja urusanmu sendiri! Aku sedang mencoba kekuatan dengan Keh-sim Siauwhiap..." Chin Yang Kun berteriak pula menjawab. "Benar! Pemuda itu berkata benar. Marilah kita selesaikan dulu pertempuran kita! Jangan mengurusi yang lainnya!" Tiat-tung Hong-kai berkata sambil mengayunkan tongkatnya ke tengkuk Pendekar Li. Pendekar Li terpaksa mengelak, kemudian dengan pedangnya ia membalas pula serangan itu. Gerakan tersebut lalu diikuti oleh yang lainnya sehingga sebentar kemudian mereka telah bertempur kembali dengan serunya. Sementara itu Keh-sim Siauwhiap benar-benar merasa terpukul hatinya melihat kekuatan lweekang Chin Yang Kun yang luar biasa dahsyatnya itu. Dalam hati pendekar itu terpaksa mengakui kehebatan lweekang lawannya.

   "Keh-sim Siauwhiap, bagaimana...?" Chin Yang Kun minta pertimbangan.

   "Hebat sekali! kau memang benar benar hebat!" Seret sekali rasanya kata-kata itu keluar dari tenggorokan Keh-sim Siauwhiap, sehingga hampir hampir suara itu hanya dapat dia dengar sendiri saja. Segala macam perasaan dongkol, marah, penasaran, terhina, tapi juga sekaligus kagum, seperti bergabung menjadi satu, sehingga terasa memenuhi rongga dadanya dan menyumbat tenggorokannya!

   "Maaf, sebenarnya bukan sifat saya menyombongkan diri di muka orang lain," Chin Yang Kun berkata lagi. Agaknya pemuda itu merasakan juga apa yang kini sedang berkecamuk di dalam hati lawannya.

   "Tetapi semua itu terpaksa kulakukan demi untuk meyakinkan kau, serta untuk menarik perhatianmu pula, agar kau mau bersungguh-sungguh dan tidak terlalu memandang enteng kepadaku. Aku ingin agar kau menanggapi dengan serius persoalan persoalan atau pertanyaan yang akan kuajukan kepadamu nanti, bukan hanya sekedar sebuah persoalan sepele yang datang dari seorang anak kemarin sore yang belum punya nama di kalangan persilatan!" Chin Yang Kun menghentikan kata-katanya. Dengan tenang dipandangnya Keh-sim Siauwhiap yang berdiri tidak jauh darinya. Beberapa saat kemudian, setelah dilihat oleh pemuda itu mata yang mencorong dari Keh sim Siauwhiap telah meredup kembali, ia berbalik dan melangkahkan kakinya menuju ke pohon rindang yang tumbuh di pinggir halaman depan tersebut.

   "Marilah ke bawah pohon itu. Kita berbicara di sana." pemuda itu berkata di antara langkahnya.

   "Yang-Siauwhiap, mau kemanakah kau...? Jangan terlalu memberi hati kepada Keh sim Siauwhiap! Bunuh saja dia, habis perkara!" lagi-lagi Pendekar Li berteriak di belakang mereka.

   "Tutup mulutmu, pengecut! Ayoh, selesaikan dulu urusan kita ini!" Tiat tung Hong-kai membentak. Tongkat besinya dengan galak menyambar nyambar mencari sasaran.

   "Bangsat! kau pengemis tua ini memang sudah bosan hidup rupanya!" Pendekar Li menjadi marah bukan main. Dengan ganas pedangnya menghujam ke arah tenggorokan lawan, tapi ujung pedang itu segera berputar setengah lingkaran ketika tampak Tiat-tung Hong-kai mengelak ke kiri.

   Kini ujung pedang tersebut berusaha mencocok sepasang mata pengemis tua itu. Tiat tung Hong kai berusaha menangkis dengan tongkatnya, tapi sudah tak keburu lagi. Satu-satunya jalan hanyalah menjatuhkan diri ke belakang, tapi itu pun tak berani ia lakukan sebab di belakangnya berdiri Jai hwa Toatbeng-kwi yang sedang bertempur dengan Tiat tung Lokai. Kalau melakukannya, itu sama saja ia menyerahkan diri untuk dihantam oleh Hantu Cabul tersebut.Untunglah dalam keadaan sulit seperti itu, datang pertolongan dari gadis berbaju putih. Dengan berteriak keras gadis itu melompat dan menangkis ujung pedang yang sudah nyaris mencocok mata itu dengan pedangnya. Traaang! Biarpun harus terhuyung-huyung, tapi jiwa Tiat-tung Hong-kai selamat.

   "Wah, terima kasih nona. Marilah kita hadapi lagi orang ini bersama-sama...!" Demikianlah, mereka lantas terlibat dalam pertempuran yang sengit kembali. Begitu juga halnya dengan arena yang lain. Jai-hwa Toat-beng-kwi tampak bertanding dengan seru melawan Tiat-tung Lokai yang dibantu oleh sepasang gadisberbaju hitam yang agaknya telah sembuh dari luka-lukanya. Sedangkan Pek-pi Siau-kwi tampak masih bertanding seimbang dengan gadis berbaju putih lainnya. Sementara itu Chin Yang Kun dan Keh-sim Siauwhiap sudah berada di bawah pohon yang rindang itu. Mereka berdiri berhadap-hadapan sejauh lima langkah, karena seperti kata-katanya tadi, Chin Yang Kun takut kalau mereka berdiri terlalu dekat.

   "Nah, lekaslah kau katakan saja semua kemauanmu, aku akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh!" Keh-sim Siauwhiap mendahului berkata.

   "Terima kasih!" Chin Yang Kun mengangguk. Lalu, "Pertama-tama ingin kuajak tuan untuk mengingat-ingat sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira setahun yang lalu. Peristiwa itu berlangsung di suatu daerah terpencil di luar kota Tie-kwan. Tepatnya di rumah Pendekar Li yang dibangun di tengah-tengah padang ilalang. Sebuah rumah bergenting merah...masih ingatkah kau?"

   "Setahun yang lalu...di rumah Pendekar Li...yaa...ya aku masih ingat. Lantas bagaimana?" Keh-sim Siauwhiap mengangguk-angguk.

   "Bagus! Terima kasih! Sekarang kulanjutkan..." Chin Yang Kun menatap lawannya dengan air muka tegang. "Peristiwa itu terjadi pada waktu lewat tengah malam, sudah menjelang pagi malah."

   "Lewat tengah malam...menjelang pagi...lalu terus bagaimana?"

   "Pada saat itu di rumah tersebut sedang berlangsung sebuah pertempuran seru, antara para pembantu Pendekar Li melawan lima orang tak dikenal yang kesasar memasuki rumah itu. Kelima orang tak dikenal itu semuanya membawa golok dan salah seorang diantaranya ternyata Cuma pelayan mereka saja. Pelayan itu sudah amat tua dan menderita sakit." Chin Yang Kun menghentikan kata-katanya sebentar. Lalu sambungnya lagi.

   "Nah, pada saat sedang berlangsung pertempuran sengit itulah datang lagi seorang laki-laki tak dikenal ke rumah itu untuk mencari Pendekar Li. Laki-laki tak dikenal itu datang untuk meminta sebuah benda pusaka yang berwujud potongan emas kepada Pendekar Li. Karena benda itu tak diberikan oleh Pendekar Li, maka laki-laki tak dikenal itu lantas mengamuk! Semua orang yang berada di rumah dibunuhnya tanpa pandang bulu, termasuk wanita, anak-anak dan...sekaligus lima orang lelaki yang sebelum kedatangannya telah bertempur dengan pihak tuan rumah!" Pendekar dari Pulau Meng-to itu mendengarkan ceritera Chin Yang Kun dengan sungguh-sungguh.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 11 Darah Pendekar Eps 36

Cari Blog Ini