Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 3


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 3




   "Tuan muda, tenanglah! Jangan berteriak begitu, nanti semua penghuni penginapan ini akan keluar dan menuju kemari." Hek-mou-sai cepat memegang lengan Yang Kun dan menenangkannya. Benarlah, tampak beberapa orang mendatangi kamar mereka dengan curiga, tapi Hek-mou-sai cepat keluar menemui mereka.

   "Maafkan kami! Mungkin suara anakku yang sedang sakit itu mengagetkan tuan semua. Dia baru saja terjatuh dari punggung kuda dan sekarang sedang diobati oleh tabib. Anakku memang seorang yang tak biasa menahan sakit." Orang-orang itu kembali ke kamar mereka masing-masing dengan menggerutu. Tapi dua orang wanita yang wajahnya sangat mirip satu sama lain tampak tersenyum ketika melihat tabib tua itu.

   "Aha... tapi tuan tidak usah merasa khawatir! Di mana di situ ada Ang-sinshe, di situ pula semua penyakit akan hilang! Di dunia ini tak ada seorangpun tabib yang mampu melebihi dia," kata salah seorang di antaranya.
Lalu setelah mengangguk ke arah Hek-mou-sai kedua orang itu berlalu pula dari tempat itu.

   "Tapi... aku tidak mau menjadi lumpuh, paman!" Yang Kun berkata lagi setelah suasana telah menjadi sepi kembali.

   "Harap tuan muda jangan khawatir lebih dahulu. Angsinshe tentu tidak akan kekurangan akal, bukankah begitu, Ang-sinshe?"

   "Entahlah, tuan. Akan kupelajari dahulu daya serang dari racun itu di rumah, setelah itu baru akan kuusahakan untuk mendapatkan obat pemunahnya. Sementara ini akan kuberikan obat untuk menghentikan daya kerja dari racun itu." jawab orang tua itu sambil mengeluarkan bubuk putih dari kantong obatnya. Rasa perih dan panas yang tak terkatakan hebatnya menyerang tubuh pemuda itu ketika obat bubuk berwarna putih tersebut ditaburkan di atas luka-lukanya. Begitu hebatnya rasa sakit tersebut mencekam tubuhnya sehingga Yang Kun tak kuat lagi menahannya. Pembaringan yang semula tersusun rapi itu kini menjadi berantakan ke sana kemari karena desakan kaki tangannya yang menggeliat-geliat menahan sakit.

   Bayangan Hek-mou-sai dan tabib tua itu seperti saling berkelebatan di depan matanya bercampur dengan bendabenda di dalam kamarnya yang melayang-layang pula ke sana ke mari. Akhirnya sebelum ia jatuh pingsan, lapat-lapat ia seperti mendengar suara nyanyian dan gelak ketawa tabib serta Hek-mou-sai yang keras. Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan, hanya ketika pemuda itu telah menjadi siuman kembali, ia mendapatkan dirinya seperti berada di dalam ruangan sempit yang selalu bergoyang-goyang. Agaknya sebuah kereta atau gerobak yang sedang berjalan di jalan umum. Terdengar suara orang berlalu lalang di sekitar ruangan sempit dan gelap tersebut. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika tangannya seperti menyentuh tubuh seseorang yang berbaring di sampingnya. Tubuh yang gemuk besar serta banyak ditumbuhi bulu yang lebat. Tubuh Hek-mou-sai!

   "Ah! Uh!" Gila, Yang Kun mengumpat di dalam hati. Urat gagunya ternyata telah ditotok orang. Begitu juga kaki dan tangannya! Sedikitpun tak bisa digerakkan, sehingga maksudnya untuk menyapa atau membangunkan orang yang berbaring di sebelahnya tersebut menjadi gagal. Yang Kun berusaha memunahkan totokan itu, tetapi gagal pula!

   Arus tenaga dalam yang dikerahkannya selalu membalik begitu sampai di urat darah yang tertotok, sehingga hal tersebut justru mengakibatkan badannya sakit bukan main. Seluruh urat darahnya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum! Sebuah tiam-hoat (ilmu totok jalan darah) dari golongan sesat, pemuda itu berpikir di dalam hati. Ilmu ini tentu ada rahasianya tersendiri dan tidak mungkin lain orang dapat memunahkannya. Maka dari itu tak ada gunanya membuangbuang tenaga secara percuma. Lebih baik berdiam diri dan menghimpun kekuatan, biarlah semuanya ia pasrahkan kepada nasib, pikir pemuda itu selanjutnya! Yang Kun lama-kelamaan terbiasa oleh kegelapan yang melingkupi ruangan sempit tersebut, sehingga akhirnya dia bisa melihat tubuh Hek-mou-sai yang terbaring di sisinya dengan jelas.

   Tampak olehnya tubuh itu terikat dengan tali yang sangat kuat. Tak mungkin pula untuk membebaskan diri. Ternyata firasatnya tentang tabib itu adalah benar. Orang itu memang benar bukan orang baik-baik. Dan mereka berdua telah tertipu dan terjebak! Mungkin orang tersebut justru ialah seorang dari kelompok para pembunuh keluarganya yang menyamar sebagai tabib. Kurang ajar, Yang Kun menggeretakkan giginya. Dan orang seperti itu telah ia biarkan dengan sesuka hati untuk menyakiti dirinya. Menaburkan bubuk putih yang dikatakan sebagai obat penawar racun untuk menyiksa dirinya sehingga pingsan. Dan selama ia pingsan orang itu telah merampok semua miliknya pula!

   "Binatang! Tabib keparat!" tiba-tiba Hek-mou-sai yang telah siuman dari pingsannya mengumpat dengan keras. Lalu nampak orang yang belum terbiasa dengan suasana gelap itu berusaha dengan keras memutuskan ikatannya. Berguling ke sana kemari sehingga akhirnya tubuhnya menimpa tubuh Yang Kun.

   "Heh? Siapa kau?" Dengan cepat tubuhnya berguling menjauhi tubuh Yang Kun. Kemudian matanya terbuka lebar-lebar berusaha menembus kegelapan yang menyelubungi ruangan itu. Akhirnya lapat-lapat ia mengenali wajah Yang Kun.

   "Oh tuan muda! kau...! Hah, bangsat benar tabib itu! Aku kena ditipunya. Seseorang memperkenalkan dia kepadaku. Dia mengaku bahwa dialah yang disebut orang sebagai Ang-sinshe. Seorang tabib yang... eh, tuan muda! kau?" Hek-mou-sai berhenti bicara. Matanya yang kini telah terbiasa di tempat gelap itu dengan heran mengawasi Yang Kun. Agaknya baru maklum kalau pemuda di depannya tersebut ternyata dalam keadaan lemas tertotok jalan darahnya. Akhirnya iapun berbaring diam di tempatnya sambil menghela napas berkali-kali.

   "Baiklah, kita memang tinggal menunggu nasib. Tuan muda sedang terluka parah dan kini tertotok pula. Sedangkan aku biarpun bisa bergerak tetapi ternyata tidak mampu melepaskan diri dari belenggu ini. Hemmm... agaknya kita memang ditakdirkan untuk musnah semuanya..." Terasa oleh mereka kereta itu berbelok ke arah kiri. Jalannya halus dan nyaman, tidak berguncang seperti tadi. Cuma jalannya kini agak sedikit lambat. Terdengar pula olah telinga mereka suara gema percakapan orang banyak yang menyerupai kawanan lebah di sekitar kereta mereka. Sesekali diselingi suara ledakan petasan dan suara gembreng ditabuh. Agaknya kini mereka sedang melalui sebuah jalan besar di tengah-tengah kota, di antara keramaian orang yang baru berpesta pora!

   "Huh! Mereka tentu telah mulai dengan pesta perayaan itu," Hek-mou-sai bergumam lagi.

   "Sungguh menyebalkan!" Dan ketika tampak olehnya wajah Yang Kun yang memandang ke arahnya dengan penuh tanda tanya, Hek-mou-sai cepat memberi keterangan.

   "Hari ini adalah hari peringatan bagi para perampok itu untuk merayakan keberhasilan mereka dalam menduduki singgasana kerajaan. Mereka merampok singgasana itu dari tangan nenek moyang tuan muda dan mendudukinya! Setiap tahun mereka memperingatinya secara besar-besaran di seluruh negeri. Dan hari ini merupakan peringatan yang kelima kalinya. Celakanya, perampok-perampok itu sangat pandai mengelabui mata rakyat, sehingga mereka memperoleh banyak dukungan dan pengikut!"

   Yang Kun mendengarkan keterangan Hek-mou-sai yang panjang lebar itu dengan dahi berkerut. Memang selama ini ia tak pernah mengikuti perkembangan negaranya. Sejak jatuhnya Dinasti Chin lima tahun yang lalu dia beserta seluruh keluarganya buru-buru menyembunyikan diri mereka di suatu tempat yang terpencil dan tak diketahui orang. Kereta itu semakin lama semakin terasa lambat jalannya dan suara ramai serta ribut di sekitarnya semakin terdengar dengan nyata pula. Agaknya kereta tersebut kini semakin mendekati tempat yang menjadi pusat keramaian. Beberapa saat kemudian terasa oleh Yang Kun kereta itu berbelok lagi ke arah kanan, lalu berhenti. Sinar obor menerobos masuk ke dalam kereta dan menyilaukan mata mereka ketika pintu kereta tersebut dibuka orang. Beberapa saat lamanya mereka berdua justru tidak dapat melihat apa apa.

   "Bawa kedua orang ini ke ruang belakang! Tutup mereka di dalam sebuah kamar dan jagalah dengan ketat! Jangan sampai terlepas! Aku akan menghadap Ongya (pangeran) lebih dahulu," terdengar sebuah suara kecil nyaring. Suara dari orang yang menyamar sebagai tabib itu! Mereka masing-masing digotong oleh dua orang yang berpakaian ringkas, masuk ke dalam gedung besar yang sangat megah dari pintu samping. Mereka langsung dibawa ke ruangan belakang dan ditutup di sebuah kamar yang kokoh kuat.

   Beberapa orang yang rata rata mempunyai kepandaian cukup menjaga di sekitar mereka. Hek-mou sai selalu mengumpat-umpat dan menantang untuk berkelahi, tetapi tak seorangpun meladeninya. Mereka semua diam seperti bonekaboneka penjaga yang sangat seram! Satu jam kemudian datang seorang penjaga lagi yang membawa perintah dari Ongya agar kedua tawanan itu dibawa menghadap ke ruang tengah. Yang Kun digotong kembali oleh orang-orang itu bersama-sama Hek-mou-sai melalui sebuah petamanan yang luas. Naik turun jembatan kayu berukir yang sangat indah, berkelok-kelok menyeberangi kolam luas yang penuh dengan bunga teratai dan menerobos lorong-lorong yang penuh bergantungan lampu-lampu minyak beraneka warna! Kedua orang itu dibawa masuk ke sebuah ruangan yang lebar dan luas.

   Di sana telah berdiri dua-tiga puluh orang, berkelompok-kelompok di pinggir mengelilingi bagian tengah yang telah dikosongkan. Yang Kun dan Hek-mou-sai mereka diletakkan pada tempat yang kosong tersebut, di bawah pengawasan puluhan pasang mata yang mengelilinginya. Ternyata Hek-mou-sai tidak rewel dan mengumpat-umpat lagi. Suasana serta pemandangan yang selalu besar dan megah, apalagi kini berada di tengah-tengah puluhan pasang seram dan aneh membuat hatinya menjadi kuncup dan kecil. Beberapa lampu minyak yang ditaruh di sana tidak cukup untuk menerangi ruangan tersebut, sehingga suasana menjadi remang-remang. Remang dan sunyi! Tak sebuah suarapun terdengar. Mereka bagaikan sekelompok hantu yang berada di sebuah gedung tua yang angker.

   "Ongya datang!" Tiba-tiba suasana yang lengang itu dikejutkan oleh suara penjaga yang nyaring. Orang-orang yang berada di ruangan itu tampak bergerak sekarang. Mereka menghadap ke arah pintu masuk dengan khidmat. Menghormat kepada seorang laki-laki jangkung yang baru saja memasuki ruangan bersama beberapa orang pengawalnya. Laki-laki itu mengenakan baju longgar dari kain sutera yang putih bersih berenda-renda, sehingga di tempat gelap benarbenar terasa menyolok dan mengesankan. Dia mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan orang, lalu berjalan menuju ke ujung ruangan di mana telah tersedia kursi kehormatan. Tetapi ternyata ia tidak langsung duduk di tempat yang telah disediakan itu. la hanya berdiri saja di bawahnya dan menyuruh semua orang untuk mengambil tempat duduk mereka di kursi masing-masing.

   "Maaf, saudara-saudara, karena harus menyelesaikan sebuah urusan yang sangat penting maka kali ini Ongya akan terlambat datang menemui saudara! Tetapi beliau telah berkuasa mengirim aku kemari untuk mewakili beliau selama beliau belum datang."

   Terdengar oleh Yang Kun orang-orang yang berada di sekitarnya berdesah pelahan sambil mengambil tempat duduk masing-masing. Sekelebatan terlihat olehnya orang yang menyamar sebagai tabib itu berada di sebelah kanan bersama-sama dengan dua orang wanita. Mereka duduk di tempat yang agak tinggi di dekat kursi kehormatan. Agaknya mereka termasuk orang-orang yang berkedudukan penting di dalam pertemuan tersebut. Yang Kun mengedarkan pandangannya ke tempat yang lain. Biarpun tidak begitu jelas, tetapi ia ingin mengingat sedapat-dapatnya wajah-wajah mereka satu persatu. Siapa tahu dugaannya benar, bahwa mereka adalah komplotan yang telah membantai seluruh keluarganya.

   "Saudara-saudara semua, sebelum Ongya datang nanti, beliau menugaskan aku yang rendah untuk mengurus sesuatu hal di sini. Beliau baru saja memperoleh laporan bahwa Teetok-ci Lo-Cianpwe (Tikus Tanah Beracun) telah berhasih menangkap anak muda yang bernama Chin Yang Kun itu. Benarkah begitu Lo-Cianpwe?"

   Yang Kun terkejut mendengar kata-kata orang berbaju putih tersebut. Terkejut tetapi juga terselip perasaan gembira di dalam hatinya. Betapa tidak? Kesengsaraan dan penderitaan yang telah disandangnya sejak dia beserta keluarganya meninggalkan tempat persembunyian mereka, sekarang agaknya telah membawa hasil. Berhari-hari, berbulan-bulan. ia dan seluruh keluarganya harus berlari-lari menyembunyikan diri dari teror dan kejaran musuh yang tak mereka ketahui orangnya. Satu-persatu keluarganya terbunuh. Mulai dari paman bungsunya, lalu para wanita dan anak-anak, dan paling akhir adalah ayahnya sendiri. Semuanya mati dengan bermacam-macam cara tanpa mereka ketahui siapa pembunuhnya! Maka tidaklah mengherankan jikalau pemuda itu sangat gembira begitu mendengar perkataan orang berbaju putih tersebut.

   Menilik dari perkataan yang baru saja dikeluarkan tadi, dapat diduga bahwa Yang Kun memang telah lama dicari dan dibutuhkan oleh mereka, terutama oleh orang yang mereka sebut sebagai Ongya itu. Padahal selama ini pemuda tersebut bersama keluarganya tidak pernah berhubungan dengan orang luar, apa lagi orang orang dari kalangan persilatan. Jadi apabila ada orang yang mencari dia atau keluarganya, tidak boleh tidak tentu berhubungan dengan "benda warisan keluarga" yang diperebutkan itu. Dan apabila memang benar begitu keadaannya, jelaslah sudah, merekalah para pembunuh keluarganya itu! Maka tidaklah heran kalau Yang Kun sangat gembira di dalam hatinya, karena kegelapan yang selama ini menyelubungi dirinya agaknya telah mulai terbuka.
"Kwa-sicu, laporan yang telah ditampilkan kepada Ongya tersebut adalah benar. Lihatlah! Pemuda itu telah saya tangkap bersama seorang pengawalnya." Orang yang menyamar sebagai tabib itu menjawab pertanyaan laki-laki berbaju putih tadi.

   "Terima kasih! Jasa Lo-Cianpwe sungguh amat besar kali ini! Ongya akan bergembira sekali Apakah Lo-Cianpwe telah memeriksa dan menanyai pemuda itu?"

   "Belum. Silahkan Kwa-sicu memeriksanya sendiri! Tetapi ketika lohu (aku orang tua) menggeledah badannya. lohu mendapatkan potongan emas ini." orang yang bergelar Teetok-ci itu menyerahkan benda tersebut kepada laki-laki berbaju putih itu. Laki-laki itu menimang-nimang potongan emas itu di dalam tangannya.

   "Inikah benda yang dimaksudkan oleh Ongya itu? Kenapa seperti ini?" gumamnya dengan ragu-ragu.

   "Baiklah, akan kuperiksa sendiri. Pengawal bawa kemari pemuda itu!" Pengawal-pengawal itu dengan tangkas menyeret tubuh Yang Kun dan Hek-mou-sai ke hadapan laki-laki tersebut, lalu dengan gesit pula mereka kembali berdiri di belakang tuannya. Orang berbaju putih itu maju selangkah mendekati Yang Kun.

   Wajahnya yang putih pucat itu tersembunyi di balik gumpalan rambut yang sengaja dibiarkan terurai lepas, hingga sukar bagi orang lain untuk melihat jelas wajahnya. Selelah meneliti sebentar kedua tawanannya orang itu lalu memberi isyarat kepada Tee-tok-ci untuk memunahkan totokannya. Dengan tertatih-tatih Yang Kun bangkit dari lantai tempat ia menggeletak. Luka-luka yang ia derita pada kedua buah pahanya masih terasa sakit sekali, sehingga serasa masih sukar untuk berdiri tegak. Meskipun demikian matanya dengan tajam menatap tak berkedip kepada laki-laki berbaju putih yang berdiri tak jauh di hadapannya. Jelas terpancar di dalamnya sebuah perasaan dendam yang tiada taranya. Tetapi laki-laki pucat berbaju putih itupun ternyata balas memandang dengan tidak kalah pula tajamnya. Justru kelihatan lebih seram malah!

   "Apakah engkau yang bernama Chin Yang Kun?" Pemuda itu mengangguk. Matanya tetap menyala memandang ke arah lawannya. Sukar untuk mengatakan apa yang tersirat di dalam hati kecilnya pada saat itu. Mungkin suatu perasaan sedih, gembira, marah, penasaran, yang semuanya bergolak menjadi satu di dalam dadanya. Bila dilihat dari sorot matanya, bisa diduga betapa inginnya pemuda itu mengamuk dan membunuh seluruh orang yang berada di tempat tersebut. Tetapi bila dibaca dari sikapnya yang diam itu, bisa diduga pula bahwa pemuda tersebut telah dapat mempergunakan otaknya untuk mengekang perasaan hatinya. Apakah faedahnya melawan mereka yang sekian banyaknya itu dengan tubuh yang terluka parah seperti ini?

   "Dimanakah benda itu disimpan oleh keluargamu?" laki-laki berbaju putih itu bertanya lagi.

   "Nah, apalah kataku." Yang Kun membatin. Mereka semua inilah yang selama ini telah mengincar benda pusaka itu dan dia semakin yakin pula bahwa orang ini pulalah yang telah membantai keluarganya.

   "Benda apakah yang kau maksudkan? Sedikitpun aku tidak memahami pertanyaanmu. Kalau yang kau maksudkan benda tersebut adalah potongan emas itu, kurasa kini kau telah memegangnya..." Yang Kun berusaha mengekang perasaannya.

   "Hah! jangan berpura-pura! Tak ada gunanya berdusta di tempat seperti ini. kau lihat di sekelilingmu, semua ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang biasa menyiksa orang! Tak terasakan hal itu olehmu? Mereka ini semuanya mempunyai seribu macam cara untuk dapat membuka mulutmu, tahu? Perlukah semua itu dicoba terlebih dahulu kepadamu?"

   "Tetapi apa yang mesti kukatakan kalau aku memang benar-benar tak paham apa yang kau maksudkan? kau siksa sampai sejuta kalipun aku tetap tidak tahu apa yang kau kehendaki itu. Paling hebat aku akan mati. Nah, coba katakan kepadaku! Benda apakah yang kau maksudkan itu?" dengan tenang Yang Kun menghadapi orang itu. Benar-benar dengan hati yang sangat tenang! Yang Kun sendiri sampai heran memikirkan sikapnya yang sangat tenang tersebut. Padahal kondisi tubuhnya demikian jelek, berada di mulut singa pula! Ah, inilah agaknya sikap jago silat sejati seperti yang selalu didengung-dengungkan serta selalu ditanamkan oleh paman bungsu kepadanya!

   "Sebuah CAP KERAJAAN! Nah, di mana benda itu sekarang?" laki-laki itu berkata tandas. Tampak oleh semua orang betapa marah sebenarnya laki-laki tersebut.

   "Cap kerajaan? Wah, apa pula itu? Baru kali ini aku mendengarnya. Sebenarnyalah kalau kukatakan bahwa aku benar-benar tidak mengetahuinya. Kurasa seluruh keluargaku juga belum pernah mendengar apalagi sampai memilikinya..." Yang Kun mengerutkan dahinya. Memang pemuda itu berkata yang sebenarnya. Sesungguhnyalah, sampai saat meninggalnya, ayah dan pamannya belum mengetahui, apa wujud dari benda pusaka yang diwariskan kepada keluarganya itu. Malah baru saat inilah ia mendengar tentang wujud dari benda pusaka tersebut, justru dari mulut orang lain!

   "Anak bodoh! Masih berbelit-belit juga! kau memang perlu mendapat sedikit siksaan. Tee-tok-Cianpwe, tolong siksa dia agar mengaku!"

   "Jangan! Jangan kalian siksa dia! Dia memang benar-benar tidak tahu-menahu tentang cap itu! Tak ada gunanya menyiksa dia, kalau kalian ingin menyiksa orang...nah, siksalah saja aku!"" tiba-tiba Hek-mou-sai yang masih terikat erat itu berteriak. Laki-laki itu mengibaskan ujung bajunya yang putih bersih tersebut ke samping, lalu dengan lagak yang angkuh ia mendongak ke arah langit langit rumah.

   "Siapakah dia?" katanya dingin. Terdengar suara tertawa yang nyaring dari tempat di mana Tee-tok-ci duduk. Suara seorang wanita yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu Iweekang.

   "Dia adalah Wan It, bergelar Hek-mou-sai! Dahulu merupakan salah seorang dari pengawal rahasia Kaisar Chin. Kepandaiannya memang tidak boleh dipandang rendah, terutama sepuluh jari-jari tangannya. Dia mampu membunuh lawan dari jarak sepuluh langkah!"

   "Jeng bin Siang kwi (Sepasang Iblis Berwajah seribu) terima kasih!" Laki-laki berbaju putih itu menoleh, lalu ia menatap kearah wajah Yang Kun dengan tajam.

   "Kau sungguh tidak kecewa mempunyai pembantu seperti dia," katanya

   "Tetapi aku tetap pada pendirianku. Nah, sekali lagi, katakan di mana cap itu disimpan oleh keluargamu?" Yang Kun diam tak menjawab.

   "Kalian semua ini benar-benar keterlaluan sekali. Memaksa seseorang anak mengatakan apa yang tidak diketahuinya..." Hek-mou-sai berteriak kembali.

   "Diam! Tee tok-ci Lo-Cianpwe, silakan kau mulai!" Orang tua yang bergelar Tee-tok-ci itu melangkah ke depan. Satu langkah saja! Tapi biarpun hanya melangkah saja, ternyata tubuhnya yang kecil itu telah berada di depan Yang Kun. Padahal jarak antara tempat duduknya dengan tempat di mana Yang Kun berdiri, lebih dari pada tujuh meter! Hal itu menunjukkan betapa hebat ilmu kepandaian orang bertubuh kecil itu sebenarnya.

   "Heh-heh... anak muda, kau sungguh sangat sial pada hari ini. Dua kali engkau jatuh ke tangan Tee-tok-ci. Pertemuan pertama engkau telah merasakan Ji hoan Tatbeng-soa (Bubuk Pasir Pencabut Nyawa Dalam Dua Langkah) kepunyaanku. Khasiat dari bubuk beracun itu terbagi dalam dua tingkat. Tingkat pertama telah kau rasakan tapi sayang engkau keburu pingsan. Tingkat yang ke dua akan terjadi selang enam jam kemudian. Pada saat itu engkau akan merasakan kesakitan yang maha hebat, sehingga engkau tidak akan kuat menanggungnya dan... mati! Tetapi agaknya hal seperti itu tidak keburu terlaksana, karena saat ini aku akan menyiksa engkau dengan cara yang lain lagi. Dan penyiksaan yang akan kupersembahkan kepadamu kali ini akan berakhir dengan kematian! Hihihi... lihatlah!"

   Hampir saja Yang Kun mengerahkan tenaga untuk menghajar muka orang itu, apapun yang akan terjadi. Tetapi kembali otak sehatnya melarang, dia harus bersabar sampai saat yang terakhir. Siapa tahu ada jalan yang terlebih baik nanti, dari pada harus berjibaku seperti itu? Orang itu mengeluarkan sebuah alat kecil terbuat dari kulit bambu. Alat seperti itu sering dibuat oleh para penggembala di kala senggang untuk bermain tiup-tiupan, sebab alat itu akan mengeluarkan bunyi melengking apabila ditiup. Benarlah, tak lama kemudian terdengarlah suara tinggi melengking seperti suara ribuan nyamuk yang terbang bersama-sama. Makin lama makin tinggi, sehingga akhirnya membuat telinga merasa riuh dan sakit. Beberapa orang tampak mulai tidak tahan dan menutup telinga mereka dengan tangannya.

   Suara itu mengalun panjang pendek, bergetar-getar, sehingga membentuk sebuah irama yang aneh. Seperti suara sepasang nyamuk yang sedang bercanda di malam sunyi. Seram dan ngeri. Apalagi suara itu didorong dengan Iweekang yang amat kuat, sehingga selain terasa aneh, seram, ngeri, juga sangat berbahaya. Tampak beberapa orang penjaga terpaksa keluar dari ruangan itu, sebab biarpun telinga mereka telah ditutup dengan tangan, suara itu masih saja menyakitkan gendang telinga mereka. Semula Yang Kun merasakan juga pengaruh suara ini di telinganya, tapi begitu ia mengerahkan Iweekang, tubuhnya menjadi nyaman dan pengaruh dari suara itu menjadi lenyap. Malah sekarang ia bisa menikmati irama yang dihasilkan oleh alat tiup sederhana itu. Tiba-tiba suara itu berhenti dengan mendadak!

   "Nah, permainan ini benar-benar akan saya mulai. Lihat!" Semua orang menjadi lega kembali, karena suara yang menyakitkan itu telah hilang. Tetapi mendengar suara Teetok-ci yang mengatakan bahwa permainan justru baru hendak dimulai mereka menjadi berdebar-debar kembali. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa irama melengking tadi ternyata cuma dipakai sebagai pembukaan saja dari penyiksaan yang sebenarnya. Mendadak... ya... mendadak saja semua orang mendengar suara menCicit sambung-menyambung dari segala penjuru. Makin lama makin riuh dan akhirnya mereka dikejutkan oleh datangnya berpuluh-puluh, bahkan beratusratus ekor tikus ke dalam ruangan itu.

   Beberapa orang menjadi terkejut sehingga mereka terpaksa memukul atau menginjaknya. Tetapi tikus-tikus itu tetap datang dengan tertib dan berkumpul di sekeliling tubuh Teo-tok-ci. Mereka saling bertumpang tindih saking banyaknya yang datang dan juga saking kepinginnya mereka berada terlebih dekat dengan orang tua itu. Sehingga otomatis orang-orang yang berada di dekatnya, seperti Chin Yang Kun, Hek-mou-sai dan laki-laki berbaju putih itu, semuanya menjadi ikut terkepung di tengahtengah kawanan tikus tersebut. Tetapi binatang itu benarbenar sangat tertib. Biarpun saling berdesakan di sekitar kaki mereka, tetapi tak seekorpun yang mengganggu atau berusaha untuk menyerang mereka. Dan tentu saja ketiga orang itu juga tak mau dikatakan sebagai orang penakut, sehingga biarpun merasa risih mereka tetap berdiri di tempatnya masing-masing.

   "Aha, ternyata banyak juga tikus-tikus di sekitar tempat ini." orang tua itu berkata dengan gembira.

   "Nah, anak muda! Lihatlah! Tikus-tikus ini dapat menjadi buas dan bisa kuperintah untuk apa saja. Lihat contohnya!" katanya pula dengan bengis ke arah Yang Kun.

   Orang tua itu kembali meniup alatnya tadi dan tiba-tiba kawanan tikus itu berubah menjadi buas dan sekonyongkonyong...menyerang Hek-mou sai! Terdengar suara jeritan yang disertai tenaga khikang, sehingga gedung itu seakan menjadi bergetar mau roboh, bahkan puluhan ekor tikus yang semula menempel di tubuh Hek-mou-sai tampak terpental pergi dalam keadaan hangus. Tapi agaknya binatang itu telah menjadi gila karena tiupan kulit bambu tersebut. Begitu mati Sepuluh, datang lagi dua puluh. Mati lagi seratus, datang lagi duaratus. Begitu seterusnya, sehingga akhirnya pada jeritan yang ke enam dan ke tujuh, tak seekor tikuspun yang terpental mati! Dan kini jeritan yang keluar dari mulut Hek-mou-sai bukanlah jeritan yang mengandung khikang tetapi benar-benar suatu jeritan ketakutan.

   "Haha, Sai-Cu Ho-kangnya (Tenaga Sakti Singa Mengaum) sungguh hebat! Sayang kaki tangannya terikat, sehingga tak leluasa dia mengeluarkannya!"

   Tee tok ci tertawa sadis. Beberapa saat lamanya Yang Kun seperti terpesona oleh kejadian tersebut, tapi begitu terdengar suara jeritan Hekmou-sai berubah menjadi jeritan ketakutan, ia segera menjadi sadar kembali. Kemarahan yang sejak semula selalu ditahantahannya kini terlepas tak terkendalikan lagi. Tanpa menghiraukan kedua belah pahanya yang sakit, ia meloncat menyerbu ke arah tubuh pengawalnya yang telah lenyap dirubung oleh kawanan tikus gila itu. Kerumunan tikus itu tersibak ke samping, bahkan beberapa di antaranya terlempar hancur dilanggar oleh arus tenaga yang tersalur dari kedua lengan pemuda itu. Dan sebelum semuanya menyadari apa yang telah diperbuat oleh anak muda itu, anak muda itu sendiri telah berhasil mencengkeram ikat pinggang temannya dan mengangkatnya di atas kepalanya.

   Disertai dengan sebuah geraman yang dasyat tubuh itu diputar-putar bagaikan sebuah baling-baling. Dan suasana di dalam ruangan itu menjadi kalang kabut, ketika puluhan bahkan ratusan ekor tikus yang semula menempel pada tubuh Hek-mou-sai itu terlempar menyebar bagai hujan ke segala penjuru. Keadaan itu membuat Tee-tok-ci menjadi marah sekali. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berada di belakang tubuh Chin Yang Kun. Dan sebelum pemuda itu sempat mengelak, jalan darah poh-ki-hiat yang berada di bawah pinggang telah kena ditotoknya hingga lumpuh. Kontan saja pemuda itu roboh menimpa tikus-tikus yang berkerumun di bawah kakinya. Sedang tubuh Hek-mou-sai yang semula dipegangnya, terlempar jatuh mengenai meja dan kursi di pinggir ruangan. Dan tubuh yang gemuk itu benar-benar sangat mengerikan keadaannya.

   Biarpun belum terlanjur habis dimakan tikus tetapi tubuh itu telah penuh berselimutkan cairan darah segar. Pakaian serta rambut yang semula menempel di badannya kini sudah habis tandas tercabik-cabik taring kawanan tikus yang sangat tajam. Malah beberapa buah jari kakinya tampak ikut lenyap pula dilahap binatangbinatang menjijikkan tersebut. Hanya yang sangat mengherankan adalah keadaan tali pengikat dari tubuh Hek Mou sai tersebut. Tali itu tetap utuh seperti semula, seakan tidak mempan oleh gigitan binatang yang bergigi tajam itu. Melihat suasana demikian. Tee-tok-ci cepat meniup alatnya yang aneh tadi. Dan sungguh menakjubkan. Kawanan tikus yang semula telah menjadi gila itu mendadak berubah menjadi jinak kembali, dengan patuh mereka berkumpul kembali di sekitar orang tua itu dan seakan-akan menanti perintah selanjutnya.

   "Nah, anak muda! Sekali lagi kuberi waktu untuk berterus terang. Jawab sejujurnya pertanyaan yang telah kuajukan kepadamu tadi! Lihatlah! Apakah engkau ingin dikeroyok tikus seperti temanmu itu? Apakah engkau ingin mati dengan cara dicabik-cabik hingga tinggal tulang-tulang saja?" laki-laki berbaju putih itu kembali menggertak Yang Kun.

   "Pembunuh-pembunuh kejam! Lakukanlah ancamanancamanmu itu segera, kenapa mesti ditunda-tunda juga? Sekali kukatakan tidak tahu tetap tidak tahu!" pemuda itu menjawab tegas.

   "Anak tolol! Baiklah! Nah, silakan kau lanjutkan Tee-tok-ci Lo-Cianpwe!"

   "Hihihi... baiklah!" orang tua itu mengangguk kesenangan. Ketika alat tiup yang aneh itu telah ditempelkan pada mulutnya, itba-tiba dari atas genting meluncur sesosok bayangan yang menerjang ke arah orang tua itu. Gerakannya cepat bukan main, sehingga hampir tak seorangpun yang mengetahuinya.

   "Tahan!" Tee-tok-ci berusaha mengelak, tetapi karena sama sekali tidak mengira, apalagi gerakan orang itu memang cepat sekali, maka alat tiup yang telah berada di atas bibirnya itu dapat disambar oleh bayangan itu dengan mudah. Tentu saja Tee-tok-ci menjadi marah sekali. Begitu juga semua orang yang saat itu berkumpul di tempat tersebut. Mereka bersiap siaga menghadapi pendatang baru itu. Setelah berhasil menyambar alat tiup itu, bayangan yang mempunyai gerakan seperti kilat tersebut melayang ke arah kursi kehormatan. Tentu saja laki-laki berbaju putih itu tidak tinggal begitu saja. Entah dari mana ia mengambilnya, tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang hio (dupa) yang telah terbakar ujungnya. Tapi begitu ia bermaksud membidik bayangan yang datang ke arah kursi kehormatan itu tiba-tiba telinganya mendengar sebuah bisikan halus.

   "Kwa-heng (saudara Kwa), akulah yang datang!"

   "Ongya!" teriak orang berbaju putih itu dengan kaget. Semuanya tertegun di tempat masing-masing. Apalagi ketika melihat bayangan itu duduk di kursi kehormatan. Wajahnya teraling oleh kain sutera tipis yang dipasang pada topinya yang lebar, membuat dia tampak asing dan aneh. Suasana menjadi sunyi. Barulah semua tersadar ketika orang berbaju putih itu berlutut.

   "Ong ya!" semuanya ikut berlutut.

   "Terima kasih! Silahkan cuwi duduk kembali! Tee-tok-Ci Loheng, maafkan kekasaranku tadi. Soalnya aku tak mempunyai jalan yang lain lagi untuk menahan agar benda itu tidak terlanjur Loheng bunyikan."

   "Ah. Ongya jangan terlalu sungkan." Tee-tok-ci menjawab dengan tergesa-gesa.

   "Aku memang terlalu suka bermain main."

   "Sekali lagi terima kasih, Tee-tok-ci Loheng, inilah alat tiupan yang hebat itu, silahkan kau bubarkan saja tikus-tikus ini. Biarlah aku sendiri yang menyelesaikannya. Hai penjaga! Bersihkan lagi tempat ini!" Binatang-binatang itu serentak pergi meninggalkan tempat itu, begitu Tee-tok-ci meniup alatnya sehingga dengan mudah para penjaga membersihkan dan mengatur kembali ruangan tersebut. Mereka menggotong tubuh Hek-mou-sai yang terluka parah itu ke tengah ruangan kembali dan menutupi tubuhnya yang berdarah dengan sebuah mantel lebar.

   "Ongya, Tee-tok-ci Lo-Cianpwe telah menemukan sebuah barang aneh di saku baju Chin Yang Kun. Sebuah potongan emas yang mempunyai guratan-guratan menyerupai sebuah peta," orang berbaja putih itu melapor.

   "Hah? Mana barang itu?"

   "Inilah, Ongya." Orang yang disebut Ongya itu menimang-nimang potongan emas tersebut untuk beberapa lamanya, kemudian tampak kepalanya yang tertutup topi berkain sutera tipis itu menggeleng-geleng.

   "Apakah benda itu ada hubungannya dengan barang yang sedang kita cari selama ini?" pembantunya yang berbaju putih itu menegaskan.

   "Entahlah. Kwa-heng. Aku juga tidak mengerti. Aku belum pernah mendengar atau melihatnya pula. Tapi baiklah kita simpan saja dia. Siapa tahu ada gunanya nanti! Bagaimana dengan pengakuan pemuda itu sendiri?"

   "Itulah sebabnya saya menyuruh Tee-tok-ci Lo-Cianpwe untuk menyiksanya. Pemuda itu selalu mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu soal cap yang disimpan oleh keluarganya..."

   "Sudahlah, bawa dia bersama pengawalnya itu ke ruang bawah tanah! Biarlah mereka berdua mati di sana."

   "Lalu bagaimana dengan keterangan yang kita butuhkan itu, Ongya? Bukankah Ongya pernah mengatakan kepada kita bahwa benda itu disimpan oleh keluarga Chin? Padahal keluarga Chin tinggal dia saja di dunia ini."

   "Kwa-heng, sudahlah! Serahkan semua itu kepadaku! Aku sudah mendapatkan sebuah jalan yang lebih baik! Marilah kita merundingkan sesuatu yang lain, yang lebih penting dari pada urusan ini!" Orang berbaju putih itu masih ragu-ragu, tapi akhirnya ia mengangguk.

   "Terserah Ongya kalau demikian." Chin Yang Kun dan Hek-mou-sai digotong keluar oleh para penjaga. Kali ini langsung dibawa ke ruang bawah tanah, yaitu sebuah ruangan yang khusus dibuat untuk memenjarakan para penjahat berbahaya. Keduanya diletakkan begitu saja di atas lantai yang kotor dan berlumut. Padahal mereka tidak bisa bergerak sama sekali! Yang Kun masih lumpuh akibat totokan Tee-tok-ci tadi, sedangkan Hek-mou-sai kini lebih parah lagi keadaannya. Sementara itu sepeninggal Yang Kun dan Hek-mou-sai, mereka melanjutkan perundingan mereka. Ong ya itu memanggil pembantunya, yaitu laki-laki berbaju putih, dan yang lain-lain untuk datang lebih dekat ke tempat duduknya.

   "Kwa-heng, di manakah Si-Ciangkun sekarang?"

   "Si-Ciangkun berada di gedung kepala daerah saat ini. Dia mendapat undangan untuk menghadiri perayaan yang diadakan di sana. Apakah Ongya memerlukan dia sekarang? Biarlah siauwte pergi ke sana untuk memanggilnya."

   "Tak usah! Biarlah dia tetap di sana. Itu justru lebih baik buat dia kalau kita bergerak nanti. Tak seorangpun yang akan mencurigainya! Sementara kita dapat mempergunakan rumahnya sebagai tempat perlindungan yang aman."

   "Bergerak? Apakah kita akan bergerak sekarang, Ongya? Apakah kekuatan kita telah cukup?" salah seorang dari Jeng bin Siang-kwi ikut menyela pembicaraan itu.

   "Oh, tidak. Kita belum akan memulainya sekarang. Kita harus mempunyai beberapa ribu orang perajurit, jadi belum saatnya kita memulai gerakan kita."

   "Kalau begitu apa maksud Ongya dengan gerakan itu?" beberapa orang bertanya.

   "Sabarlah! Nanti akan kujelaskan juga. Tetapi Iebih dulu saya i"ngin mengetahui perihal beberapa buah urusan yang pernah aku mintakan tolong kepada saudara-saudara untuk menyelesaikannya... Eh. Kwa-heng! Kwa-heng tadi berkata bahwa keluarga Chin kini hanya tinggal Chin Yang Kun seorang, benarkah itu?"

   "Begini, Ongya. Sejak Ongya memberikan tugas itu kepada Siauwte, siauwte telah berusaha dengan sekuat tenaga bersama beberapa orang teman untuk mendapatkannya. Tetapi hingga saat ini benda itu tetap belum siauwte peroleh. Padahal kami juga telah mengusahakannya dengan berbagai macam cara, termasuk pula pesan Ongya bahwa kami diperbolehkan menyiksa, membunuh, memusnahkan semua keluarga itu asal benda itu kita peroleh."

   "Lalu...?" Ongya itu mendesak.

   "Ketika kami mendatangi tempat persembunyian keluarga Chin, ternyata kedatangan kami sudah terlambat. Seluruh keluarga itu telah pergi melarikan diri. Kami hanya menemukan mayat Chin Bu, orang termuda dari Chin bersaudara. Meskipun demikian kami tetap mengobrak-abrik tempat itu guna mendapatkan benda tersebut." Tee-tok-ci ikut memberi keterangan.

   "Tentu saja benda itu takkan ditinggalkan oleh mereka..." Ongya itu menyela lagi.

   "Benar. Kami tak dapat menemukannya. Oleh karena itu kami berusaha mengejar mereka. Setelah itu agar supaya kami dapat mengetahui dengan pasti di mana sebenarnya benda itu berada, siauwte telah menangkap beberapa orang pengawal mereka serta menyiksanya. Tetapi tak seorangpun dari pengawal itu yang mengetahuinya. Cuma dari hasil penyiksaan tersebut kami dapat menarik kesimpulan bahwa benda itu tidak mereka bawa tetapi telah disimpan entah di mana," laki-laki berbaju putih itu meneruskan keterangan temannya.

   "Oleh sebab itu Kwa-heng bersama para saudara yang lain akhirnya berketetapan hati untuk berhadapan langsung dengan Chin bersaudara. Hidup atau mati. Dan begitu kedua bersaudara itu tetap tidak mau mengaku, Kwa-heng lalu membunuhnya. Begitukah...?" Ongya itu mengutarakan dugaannya.

   "Ah, tidak demikian..." Tee-tok-ci cepat menyanggah dugaan itu. Orang berbaju putih itu memberi isyarat kepada Tee-tok-ci agar sedikit bersabar. Lalu dengan tenang ia meneruskan keterangannya.

   "Maksud kami memang begitu. Kami akan membunuh mereka semuanya apabila mereka tetap tidak mau mengaku. Tetapi sebelum rencana itu kami jalankan, tiba-tiba muncul sebuah tembok penghalang di hadapan kami..."

   "Hei, tembok penghalang? Apakah itu?"

   "Benar. Ongya." Tee-tok-ci menyahut lagi.

   "Kemarin malam ketika kami mulai memasuki hutan di Bukit Ular. Tiba-tiba kami berhadapan dengan beberapa orang yang berjalan mengendap-endap pula seperti kami. Ternyata mereka juga sedang memata-matai buronan kita. Agaknya orang-orang itu juga menginginkan benda pusaka itu pula. Oleh karena saling berebut mangsa, akhirnya di dalam kegelapan bayang-bayang pohon kita saling bertempur dengan seru..."

   "Tapi agar kami tidak kehilangan jejak dari keluarga Chin, maka saudara Kwa telah meminta adik kami yang ke lima, yaitu Ceng-ya-kang (Si kelabang Hijau ) untuk berangkat lebih dahulu," salah seorang dari Jeng-bin Siang-kwi menambahkan.

   "Ternyata lawan kami bertempur itu benar-benar sangat tangguh. Mereka adalah jago-jago silat kelas satu. Buktinya biar hampir setengah malaman kita bertempur secara kucingkucingan, diantara lebatnya pohon dan rimbunnya daun di hutan itu, kami tidak dapat mengalahkan mereka. Sayang demi kerahasiaan tugas itu kami tidak diperbolehkan mengeluarkan ilmu racun kita secara sembarangan. Coba..." yang lain juga turut menceriterakan pengalamannya. Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi. Masing masing sibuk dengan angan-angan mereka sendiri. Ongya itu juga kelihatan termangu-mangu. Tak disangkanya suasana telah berkembang begitu pesat. Kini ternyata mereka tidak sendiri lagi dalam usaha mencari cap kerajaan itu. Beberapa orang telah tampak turut pula memperebutkannya.

   "Apakah saudara bisa menduga, dari golongan manakah orang-orang itu?" tanya orang berkerudung itu.

   "Sukar, Ongya. Selain hutan tersebut sangat gelap dan lebat, merekapun agaknya selalu menjaga kerahasiaan diri mereka," laki-laki berbaju putih itu menerangkan.

   "Kalau begitu... kini semakin sukar pula maksud kita untuk memiliki cap itu. Sekarang ternyata ada satu orang lagi yang juga menginginkannya..." Ongya menghela napas panjang.

   "Ah, tak hanya satu orang, Ongya!" Jeng-bin Siang-kwi cepat memotong perkataan itu.

   "Ngo-sute (adik kami yang ke lima) juga menjumpai kelompok yang lain ketika dia mendahului kami..."

   "Kelompok yang lain lagi? Apakah bukan anggauta kelompok yang pertama itu pula? Mungkin mereka memang menyebar...," Ongya itu semakin kaget.

   "Bukan, Ongya! Orang-orang yang terlihat oleh ngo-sute itu terang bukan berasal dari satu golongan dengan orang yang sedang bertempur melawan kami itu. Sebab kebetulan ngo-sute sudah mengenal pimpinan mereka."

   "Siapa...?"

   "Yap Tai-Ciangkun (Panglima Yap)! Seorang panglima besar kepercayaan Kaisar Han." Jeng-bin Siang-kwi menjawab dengan mantap.

   "Kata ngo-sute panglima itu hanya dikawal oleh dua orang jagoan istana, seorang laki-laki dan seorang wanita." Orang berkerudung yang selalu disebut Ongya oleh anak buahnya itu berdiri dengan tegang. Mantel hitam yang lebar menutupi pundaknya itu ia sibakkan ke punggung, sehingga pakaiannya yang berwarna kuning emas itu kelihatan menyolok di dalam keremangan sinar lampu.

   "Yap Tai-Ciangkun? Gila! Jadi Kaisar sendiri juga telah ikut memperebutkan benda keramat itu?" geramnya keras-keras. Membuat semua pembantunya terdiam dan tak berani bersuara

   "Jadi itukah sebabnya kenapa Kaisar Han berada di kota ini sekarang?."

   Jilid 03
Kini ganti para pembantunya yang menjadi terkejut!

   "Kaisar berada di sini?" mereka berseru hampir berbareng.

   "Benar! Inilah soal penting yang akan saya rundingkan dengan saudara-saudara pada saat ini. Bukankah tadi telah saya katakan bahwa saya mempunyai sebuah persoalan yang lebih penting untuk kita rundingkan? Tapi...baiklah, sebelum persoalan ini kita rundingkan, saya ingin mendengarkan laporan saudara-saudara terlebih dahulu sehingga selesai. Nah, Kwa-heng, bagaimana akhir dan pertempuran saudara dengan kelompok pertama tersebut?"

   "Begini, Ongya. Setelah kami pikirkan lebih lanjut, akhirnya kami merasa bahwa pertempuran itu sungguh tidak bermanfaat sebenarnya bagi kami. Oleh karena kekuatan kita seimbang, maka biar semalaman kita berkelahi keadaan tentu tidak akan berubah. Tidak akan ada yang menang ataupun kalah. Salah-salah kita justru akan kehilangan jejak buruan kita malah. Maka akhirnya kami mengalah dan pergi dari tempat itu. Kami berusaha mengejar COngya-kang melalui tanda-tanda yang telah ditinggalkannya. Tetap ketika kami sampai di suatu tempat yang agak lapang, kami hanya mendapatkan puing-puing bekas tandu mereka serta sebuah kuburan besar."

   "...Dan bekas-bekas racun kelabang hijau milik ngosute!" Tee-tok-ci menambahkan.

   "Tetapi di sana tidak ada seorangpun yang tinggal. Maka dengan perasaan khawatir kami membongkar kuburan itu. Jangan-jangan ngo-sute menjadi tidak sabaran dan menyerang mereka seorang diri, sehingga akhirnya kedua belah pihak sama-sama hancur. Tetapi hati kami menjadi lega ketika kuburan tersebut hanya berisi wanita, anak-anak dan para pemikul tandu saja."

   "Kemudian kami berputar-putar di hutan yang lebat dan sukar ditempuh tersebut untuk mencari ngo-sute dan sisa-sisa keluarga Chin yang masih hidup!" Jong-bin Siang kwi ikut pula menambahkan.

   "Tetapi kami tidak dapat menemukan mereka, sehingga kami terpaksa kembali menuju ke kota ini sesuai dengan perintah Ong ya..."

   "Tetapi kami benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau di tengah perjalanan itu kami justru dapat menemukan buron kita yang hilang." Laki-laki berbaju putih itu melanjutkan kisahnya.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mula mula Tee-tok-ci Lo-Cianpwe melihat sebuah rumah bergenting merah di tengah-tengah padang ilalang. Kami menjadi curiga melihatnya, sehingga kami bersepakat untuk pergi menengoknya. Astaga! Begitu kami memasuki pintu halaman kami menyaksikan tumpukan mayat yang masih baru, bergelimpangan di mana mana. Dan beberapa di antaranya adalah mayat dari keluarga Chin, buronan kita yang hilang itu. Kami segera memeriksanya dengan teliti tapi cap kerajaan itu tidak ada pada tubuhnya..."

   "...Dan kami menjadi bingung sekali pada saat itu." Tee-tok-ci menyambung kisah itu.

   "Selain kami tidak bertemu dengan ngo-sute yang kami tugaskan memata-matai mereka, kami juga tidak bisa menduga apa yang sebenarnya terjadi di tempat tersebut beberapa saat yang lalu."

   "Dengan perasaan lesu kami meninggalkan tempat itu. Tugas yang dibebankan di atas pundak kami ternyata telah gagal sama sekali. Keluarga Chin telah musnah seluruhnya dan kami belum bisa mendapatkan benda yang disimpannya itu. Maka kami bermaksud menghadap Ongya untuk menerima hukuman..." laki-laki berbaju putih itu berkata lemah.

   "Benar! Kami bermaksud menghadap Ongya ketika tiba-tiba muncul ngo-sute di hadapan kami." Jeng bin Siang-kwi mengiyakan kata-kata yang diucapkan temannya tersebut.

   "Ngo-sute lancang menceritakan semua pengalamannya setelah pergi meninggalkan kami. Dia berpendapat bahwa untuk memperoleh cap kerajaan itu kita harus bertindak lebih cepat, sebab sekarang terbukti bahwa tidak hanya kita saja yang menginginkan benda tersebut. Maka tanpa menanti persetujuan dari kami dia telah bertindak lebih lanjut dengan membuat surat ancaman kepada keluarga Chin. Dan untuk lebih mengokohkan serta lebih menguatkan bahwa surat ancaman itu tidak main-main ngo-sute telah membunuh semua wanita dan anak-anak dengan racun kelabangnya. Nah, pada saat dia menantikan hasil dari surat ancamannya itulah dia melihat Yap Tai-Ciangkun bersama dua orang rekannya melewati hutan tersebut..."

   "Haha...melihat bekas teman akrabnya lewat, ngo-sute kontan mengikutinya," Tee-tok-ci meneruskan sambil tertawa.

   "Benar teman akrabnya?" Ongya itu menegaskan.

   "Benar, Ongya! Dahulu, ketika masih berpetualang di dalam dunia persilatan Yap Tai-Ciangkun memang pernah bersahabat dan merantau bersama-sama dengan ngo-sute kami. Tapi persahabatan itu akhirnya putus akibat ulah ngosute yang suka membunuh orang!"

   "Ah... lalu apa yang terjadi setelah Ceng-ya-kang Loheng mengikuti Yap Tai-Ciangkun...?" orang berkerudung itu menjadi tidak sabar. Laki-laki berbaju putih itu cepat-cepat menyelesaikan laporannya.

   "Akhirnya Ceng-ya-kang Loheng kehilangan jejak mereka. Begitu pula ketika ia kembali ke tempat semula, keluarga Chin telah pergi dari tempat itu! Ceng-ya-kang Loheng bergegas pergi menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sesuai dengan isi dan surat ancaman yang telah dibuatnya sendiri. Tapi sampai di tempat tujuan Ceng-ya-kang Loheng menjadi terkejut sekali. Ternyata dugaannya salah. Ternyata Ceng-ya-kang Loheng tidak menjumpai keluarga Chin yang datang ke tempat itu untuk memenuhi surat ancamannya, tapi Ceng-ya-kang Loheng justru bertemu dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai (Pendekar Gila) yang berada di sana!"

   "Hong-gi-hiap Souw Thian Hai juga berkeliaran di daerah itu?" Ongya itu bertanya dengan suara tinggi. Orang-orang yang berkumpul di dalam ruangan itu semuanya memandang ke arah pimpinan mereka dengan perasaan ragu-ragu. Ragu-ragu akan kemampuan pemimpin mereka itu apabila akan berhadapan dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Soalnya nama itu memang sangat terkenal, ia menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi sejak pendekar itu dapat membunuh Bit-Bo-Ong (Raja Kelelawar) pada lima tahun yang lalu. Padahal Bit-Bo-Ong tersebut adalah seorang raja di raja dari kaum sesat! Kesaktiannya tak terlawan oleh pendekar manapun, termasuk pula pendekar-pendekar angkatan tua yang biasanya sangat disegani orang.

   "Menurut penuturan Ceng-ya-kang Loheng memang benar demikian..." laki-laki berbaju putih itu menjawab pertanyaan pemimpinnya.

   "Lalu bagaimana kelanjutan dan perjumpaan mereka yang tak disangka sangka itu? Apakah mereka berdua lalu bertempur?"

   "Ah, tidak Ongya!" Jeng-bin Siang-kwi cepat menyela,

   "Ngo-sute adalah orang yang sangat cerdik. Biarpun ia tidak takut. Tapi ia juga merasa bahwa dirinya bukanlah tandingan pendekar besar tersebut. Oleh karena itu ngo-sute lalu segera menghindar dari tempat tersebut dan mencari buronannya di tempat lain. Hampir seharian penuh ngo-sute berputar-putar di hutan yang lebat itu, tapi tak seorangpun dapat dijumpainya. Akhirnya menjadi putus-asa dan kembali ke kota ini seperti kami. Sehingga bertemu dengan kami di tengah jalan."

   "...Dan surat tadi... saudara-saudara sekalian, telah menerima surat pemberitahuan dari seseorang yang tak mau dikenal wajahnya, bukan? Isi surat tersebut mengatakan bahwa Chin Yang Kun, satu-satunya ahli waris dari keluarga Chin yang masih hidup, saat itu sedang menuju ke kota bersama-sama dengan salah seorang pengawalnya yang bernama Hek-mou-sai. Dalam surat itu juga dikatakan bahwa Chin Yang Kun dalam keadaan terluka parah dan Saudarasaudara dipersilakan untuk mempersiapkan sebuah jebakan guna menangkapnya. Bukankah begitu?" orang berkerudung itu melanjutkan sendiri kisah yang diceritakan oleh anak buahnya tersebut.

   "Hei?" semuanya saling berpandangan.

   "Ongya sudah tahu? Oh, surat itu tentu Ongya sendiri yang mengirimkan," Tee-tok-ci berseru gembira.

   "Jadi orang yang tak mau dikenal tersebut adalah Ongya sendiri!"

   "Bukan! Tee-tok-ci Loheng salah menduga kali ini. Bukan aku tapi dia adalah salah seorang anggauta kita yang baru. Baru dalam arti jika dipertemukan dengan saudara semua tetapi sebenarnya dia justru merupakan anggauta perkumpulan kita yang paling lama...!"

   "Eh! Siapakah dia, Ongya?" orang berbaju putih yang merasa paling lama menjadi pembantu Ongya tersebut mengerutkan dahinya.

   "Kwa-heng harap bersabar dulu! Pada saatnya nanti, yaitu setelah tugas rahasia yang dilakukannya telah selesai, dia tentu akan datang dengan sendirinya di hadapan saudara-saudara untuk memperkenalkan dirinya. Nah, sekarang marilah kita membicarakan persoalan kita yang lain..."

   "Ongya, maafkan kami. Ternyata, kami semua benarbenar orang yang tidak berguna, sehingga selalu membuat kekecewaan di hati Ongya. Tugas yang demikian ringannya ternyata tidak dapat kami selesaikan dengan baik," orang berbaju putih itu menyatakan penyesalannya.

   "Benar, Ongya! Seperti niat kami semula, kami siap untuk diberi hukuman," Jeng-bin Siang-kwi ikut pula menyatakan perasaan menyesalnya.

   "Dan kami juga minta maaf atas kelakuan ngo-sute kami yang teledor dan..." Tee-tok-ci menundukkan kepalanya.

   "Ongya, maafkan siauwte terlambat datang!" Tiba-tiba terdengar suara Ceng-ya-kang dari balik pintu.

   "Tee-tok-ci suheng, biarlah aku sendiri yang menerima hukuman itu!" Pintu terbuka dan muncullah seorang laki-laki gemuk gundul memasuki ruangan itu. la memakai pakaian berwarna hijau tua, sehingga sangat sesuai dengan warna kulitnya yang putih pucat kehijau-hijauan itu. Dia mengangguk ke arah laki-laki berbaju putih sebentar lalu maju ke depan untuk menghadap orang berkerudung tersebut. "Ongya. siauwte datang terlambat sebab..."

   "Sudahlah. Ceng-ya-kang Loheng. Loheng tak perlu meminta maaf kepadaku. Jika Loheng sampai terlambat datang, itu tentu disebabkan oleh sesuatu hal yang sangat penting. Nah, silakan Loheng mengatakannya kepadaku!" Ongya itu cepat memotong perkataan Ceng-ya-Kang.

   "Terima kasih, Ongya. Sebenarnyalah bahwa keterlambatan siauwte ini memang disebabkan oleh sesuatu hal yang amat penting bagi kita semua." Orang gundul itu menerangkan.

   "Begini, Ongya, Ketika sore tadi siauwte keluar dari penginapan dan bermaksud datang ke sini, secara kebetulan siauwte melihat Yap Tai-Ciangkun lagi di antara kerumunan orang yang sedang bergembira di jalan." sambungnya sambil melihat ke arah Jeng-bin Siang-kwi.

   "Kami telah melaporkan semua keterangan yang telah kau ceritakan kepada kami itu di hadapan Ongya." kedua wanita kembar itu memberi keterangan.

   "Biarpun dia menyamar sebagai perajurit peronda siauwte tetap mengenalnya. Seperti juga ketika siauwte melihat dia di hutan itu, kali ini siauwte juga mengikutinya dari belakang. Di setiap tempat dia menemui orang-orangnya yang menyamar di antara penduduk. Berkali-kali ia berbuat demikian sehingga akhirnya siauwte merasa kuatir terhadap keselamatan saudara-saudara kita.Orang-orangnya Yap Tai-Ciangkun sangat banyak dan dipasang di mana-mana, seakan-akan kota ini sudah diawasinya dengan ketat. Ongya, ketika Yap Tai-Ciangkun menyelinap melalui sebuah gang kecil dan masuk ke gedung kepala daerah dari pintu belakang, siauwte tidak berani terlalu mendekatinya. Setelah beberapa saat kemudian, siauwte baru berani mendekat dan rnengintip gedung itu. siauwte melihat di halaman belakang berkumpul kira-kira tiga puluh orang perajurit berpakaian biasa seperti kita, tetapi dilihat sepintas lalu bisa diduga bahwa mereka rata-rata adalah seorang jago silat kelas satu! Ongya, siauwte menjadi sangat khawatir sekali! Jangan-jangan Kaisar Han telah mencium jejak kita dan kini Kaisar mengirim Yap Tai-Ciangkun bersama perajurit-perajurit pilihannya ke sini untuk menangkap kita. Oleh karena itu siauwte lekas-lekas kembali ke sini untuk melaporkan hal itu." Ceng-Ya-kang menutup laporannya.

   Suasana ruangan itu menjadi berisik. Semuanya terpengaruh oleh kekhawatiran itu. Masing-masing menyatakan pendapatnya. Orang berkerudung itu akhirnya mengangkat lengannya ke atas dan menenangkan mereka.

   "Saudara-saudara sekalian, harap jangan tergesa-gesa mengambil keputusan dahulu! Kita bicarakan dan kita rundingkan laporan Ceng-Ya-kang Loheng itu secara matang terlebih dahulu, baru kita menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan nanti. Kemungkinan apa yang dikhawatirkan oleh Ceng-ya-Kang LoHeng-tersebut benar juga tetapi mungkin juga tidak benar! Seperti yang saya katakan sejak tadi, bahwa Kaisar Han saat ini berada di kota ini tanpa diketahui siapapun juga.Artinya, Kaisar itu telah datang ke kota Tie-Kwan ini secara rahasia.Dan apabila hal itu memang benar, maka kita tak usah heran kalau penjagaan di kota ini menjadi diperketat. Tapi untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas, marilah kita tunggu kembalinya Si Ciangkun dari rumah kepala daerah...!" Belum juga kata-kata yang diucapkan oleh Ongya itu selesai, tiba-tiba terdengar ramai suara langkah kaki di luar.

   "Ongya! Ongya!" dari luar pintu menerobos seorang perwira muda dengan terburu-buru, sehingga semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi kaget sekali. Apalagi ketika mereka tahu bahwa perwira muda tersebut adalah pengawal kepercayaan dari Si-Ciangkun!

   "Liok Cian-bu (kapten Liok), ada apa?" Orang berbaju putih itu cepat menahannya.

   "Kwa-Sicu... ah Ongya! Anu... anu... semuanya lekaslah pergi dari sini! Si...Si Ciangkun telah ditangkap oleh Yap Tai-Ciangkun atas perintah dari Kaisar!" teriaknya. Suasana di dalam ruangan itu menjadi ribut seketika!

   "Saudara-saudara sekalian, dengarlah...!" orang berkerudung itu membentak. Tidak begitu keras tetapi semuanya menjadi terdiam pula seketika. Rasa-rasanya seperti ada halilintar yang meletus di dalam gendang telinga mereka! Semuanya berdiri diam termangu-mangu, heran, kagum, takut dan juga sedikit harapan melihat kemampuan Ongya mereka yang hebat itu.

   

Darah Pendekar Eps 8 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12 Darah Pendekar Eps 24

Cari Blog Ini