Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 41


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 41




   "Bressss!" Iblis itu terlempar ke samping dengan kuatnya, kemudian jatuh terguling-guling di atas tanah.

   "Mampus kau! Hahahaha...!" Tung-hai Nung-jin dan Tung-hai-tiau tertawa terbahak bahak. Keduanya bertolak pinggang sambil memandang ke arah Song-bun-kwi yang terkapar di depan mereka. Tapi suara tertawa itu berhenti dengan tiba-tiba. Dengan mata melotot kedua orang tokoh bajak laut itu memandang tubuh Song-bun-kwi. Korban cangkul Tung-hai Nung-jin itu tiba-tiba menggeliat, lalu meloncat bangun kembali dengan tangkas! Dan di lain saat iblis itu telah berdiri kembali di depan mereka seperti tak pernah terjadi apa-apa!

   "Gila! Setan mana yang telah masuk ke dalam tubuhnya?" Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin saling memandang dengan mulut mengumpat-umpat. Sementara itu Song-bun-kwi melepaskan bajunya yang robek lebar di bahagian punggungnya. Dan sekali lagi Tunghai-tiau terbelalak mengawasinya. Di bawah baju yang robek terkena cangkul itu tampak selapis lagi baju pendek berwarna kuning keemasan. Itulah Kim pouw-san (Baju Mustika Emas), baju yang tidak mempan senjata!

   "Kim-pouw-san...?" bibir Tung-hai-tiau berdesah gemetar begitu mengenali benda pusaka miliknya sendiri itu. Dengan mata beringas Tung-hai-tiau menoleh mencari puterinya, Tiau Li Ing, yang telah membawa baju tersebut.

   "Ayah, dia mengambil baju itu ketika aku ditangkapnya..." Tiau Li Ing yang berada di tepi arena lekas-lekas berteriak dengan suara ketakutan. Bagaimanapun manjanya gadis itu ternyata sangat takut kepada ayahnya.

   "Bangsat! kau sungguh berani sekali merampas barang milik keluarga Tung-hai-tiau!" raja perompak itu kembali menggeram ke arah lawannya. Lalu, "Nung-jin...! Kita bunuh saja orang ini!" serunya kepada Tung-hai Nung-jin.

   "Marilah, Hai-ong!" petani dari lautan timur itu menjawab seraya mengayunkan cangkulnya ke muka Song-bun-kwi.

   "Bagus!" Tung-hai-tiau berteriak ke arah pembantunya tersebut. "Hantam saja kepala atau kaki tangannya! Jangan sekali-kali menghantam badannya! Marilah kita lihat, apakah ia mampu melindungi kepala dan kaki tangannya terus-menerus?"

   Sementara itu yang kaget karena Baju Mustika Emas itu ternyata bukan hanya Tung-hai-tiau dan pembantunya saja! Song-bun-kwi sendiri ternyata juga merasa terkejut bukan main! Iblis itu sejak semula sudah lupa dan tak ingat lagi kalau ia mengenakan Kim-pouw-san yang dirampasnya dari Tiau Li Ing. Coba kalau sejak tadi ia mengingatnya, tak mungkin ia ketakutan menghadapi golok pusaka Tung-hai-tiau itu. Dan ayunan cangkul yang nyaris merenggut nyawanya itu kini justru telah menyadarkannya kembali. Maka dari kaget iblis itu menjadi gembira bukan kepalang. Wajahnya tampak berseri-seri dan hatinya besar kembali!

   "Baju pusaka begini setiap orang boleh memakainya, hehehe...! Siapa yang kuat dan lihai, dialah yang berhak mengenakannya. Mengapa mesti engkau sendiri yang harus memilikinya? Memangnya nenek moyangmu yang membuat dia? Huh!" Song-bun-kwi meludah sambil mengelakkan serangan Tung-hai Nung-jin.

   "Bangsaatt!" Tung-hai-tiau naik pitam. Golok pusaka raja perampok itu menyambar kaki, lalu berputar ke atas menuju leher.

   Semua gerakan itu dilakukan sambil melompat ke depan dalam jurus Melepas Kail Menarik Pelampung! Dan serangan itu dibarengi oleh Tung-hai Nungjin dengan sodokan gagang paculnya ke arah selangkangan. Song-bun-kwi buru-buru mengangkat kakinya ke atas sambil menggeliatkan tubuh atasnya ke belakang, sehingga serangan Tung-hai-tiau tidak mengenai sasarannya. Sementara itu sodokan gagang pacul Tung-hai Nung-jin cepat dijepitnya dengan kedua belah pahanya, sehingga tubuh petani lautan itu ikut tertarik ke depan. Dan sebelum bajak laut ini mampu melepaskan ujung gagang paculnya, kaki Song-bun-kwi telah menjejak ke arah dadanya. Tentu saja Tung-hai Nung-jin itu tak ingin kehilangan cangkulnya. Cepat dia melepaskan salah sebuah tangannya yang memegang cangkul dan memapaki tumit itu dengan tenaga penuh.

   "Bressssss!" Tung-hai Nung-jin terjengkang ke belakang, tapi Song-bunkwi terpaksa melepaskan jepitannya pula.

   Dengan demikian masing-masing dapat melepaskan diri dari kesukarannya. Cuma kalau hendak diperbandingkan, terang kalau kekuatan lweekang Song-bun-kwi masih sedikit lebih kuat dari pada Tung-hai Nung-jin. Demikianlah, Song-bun-kwi yang menjadi berbesar hati kembali karena merasa terlindung oleh Baju Mustika Emas, kini dikeroyok oleh Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin. Sungguh berat memang bagi Song-bun-kwi, tapi dengan mengenakan Kim-pouw-san di badannya iblis itu menjadi lebih sulit lagi untuk dikalahkan. Setidak-tidaknya Tung-hai-tiau dan pembantunya harus membutuhkan waktu untuk dapat membunuhnya. Sementara itu pertempuran antara sisa-sisa pasukan Song-bun-kwi melawan para bajak laut anak buah Tung-hai-tiau sudah sampai pada saat-saat akhir pula.

   Pasukan Song-bunkwi yang sudah tidak begitu banyak lagi itu memang bukan lawan yang seimbang bagi bajak-bajak laut yang setiap harinya selalu bergelut dengan kekerasan. Apalagi serangan mendadak dari para bajak laut yang semula mereka kira merupakan teman sendiri itu benar-benar sangat mengagetkan mereka, sehingga mereka yang tidak menyangka dan menduga sebelumnya itu menjadi bingung dan mudah dicerai-beraikan. Matahari telah jauh condong ke barat. Sinar matahari yang semula tajam menyengat itu mulai meredup, dan angin selatanpun mulai bertiup pula dengan sedikit kencang. Daun-daun kering yang semula masih menempel pada gagangnya, kini tampak bertanggalan dan meIayang-layang tertiup angin. Mereka bertebaran ke bawah bagaikan taburan bunga di atas sosok-sosok mayat yang terbaring di bawahnya.

   "Ah! Aku telah banyak kehilangan waktu karena mengurusi pemuda tam...eh, gadis bengal itu, sehingga urusanku sendiri menjadi terbengkalai karenanya..." tiba-tiba Chin Yang Kun yang menonton di pinggir arena itu berdesah perlahan. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, Ialu melangkah pergi meninggaIkan tempat itu. Sambil menghindar dari tempat tempat pertempuran yang masih berlangsung dia menuruni puncak bukit yang kini berubah menjadi neraka pembantaian tersebut.

   "Toat-beng-jin...!" Tiau Li Ing yang mendadak melihat bayangan Chin Yang Kun itu berteriak memanggil, dan kemudian tubuhnya yang mungil itu cepat berkelebat mengejar.

   "Hei! Li Ing...! Mau pergi kemana lagi kau? Ayoh, kembali...!" Tung-haitiau yang sibuk bertempur itu ternyata tak pernah melepaskan perhatiannya kepada puteri kesayangannya.

   "Ayah! Aku ingin menangkap seorang pemuda yang telah berani kurang ajar kepadaku!"

   "Apa?? Kurang ajar...!" Tung-hai-tiau berteriak. Tiba-tiba tubuh Tung-hai-tiau melesat pergi meninggalkan pertempuran. Badannya yang tegap kekar itu melayang turun cepat sekali melewati Tiau Li Ing, dan di lain saat dia telah berada di hadapan Chin Yang Kun.

   "Pemuda inilah yang berani kurang ajar kepada...eh, kau rupanya!" Tung-hai-tiau yang siap untuk marah itu tiba-tiba tertegun begitu melihat wajah Chin Yang Kun. Sebaliknya Chin Yang Kun yang telah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan itu untuk sesaat juga bingung melihat sikap Tung-hai-tiau yang baru kali ini dilihatnya. Raja bajak laut yang amat ternama itu kelihatannya sudah mengenalnya, padahal dia sendiri merasa belum pernah bertemu dan berkenalan.

   "Oh, rupanya kau pemuda yang tadi mengendap-endap di lereng bukit ini..." raja perampok itu menghela napas.

   "Ohhh...jadi kau rupanya yang menulis pada secarik kertas itu," Chin Yang Kun tiba-tiba juga teringat pada orang misterius yang meninggalkan surat di atas gerumbul perdu itu.

   "Ayah, mengapa kau tidak lekas-lekas meringkusnya? Dia telah berani kurang ajar kepadaku..." Tiau Li Ing yang sudah sampai di tempat itu cepat memegang lengan ayahnya.

   "Kurang ujar...? Apa maksudmu? Apa yang telah dilakukannya terhadapmu?" Tung-hai-tiau menatap puterinya dengan kening berkerut.

   "Ahh, ayah...!" tiba-tiba Tiau Li lng merengek manja sambil bergantung di lengan ayahnya. Wajahnya yang cantik itu berubah menjadi merah sekali.

   "Apa yang dia lakukan terhadapmu? Lekas katakan!" Tung-hai-tiau menjadi tegang. Tiau Li Ing tersentak kaget dan ketakutan.

   "Anu...anu, yah...dia...dia telah melihat, eh...meraba-raba badanku. Padahal...padahal...padahal aku...ahh, ayah ini!" Tiau Li Ing meremas dan mengguncang-guncang lengan ayahnya dengan mulut bergetar hampir menangis.

   "Apaaa...?? Katakan yang jelas! Jangan berbelit-belit begitu!" Tung-hai-tiau membentak. Dibentak-bentak begitu Tiau Li lng semakin menjadi gugup dan tak bisa bicara. SeIain takut gadis itu juga malu untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Dan oleh karena tak tahan selalu didesak terus, akhirnya Tiau Li Ing berlari pergi sambil menutupi mukanya.

   "Tidak! Tidak mau...! Aku tidak akan mengatakannya! Ayah...sih!" jeritnya dengan suara gemas.

   "Hei! Berhenti! Mau ke mana kau...?" Tung-hai-tiau yang merasa bingung melihat tingkah laku anaknya itu membentak lagi. Kakinya melangkah mau mengejar Tiau Li Ing. Tapi Chin Yang Kun cepat menahannya.

   "Biarkanlah saja dia, Lo-Cianpwe...Aku yang akan memberi keterangan." Tung-hai-tiau cepat membalik, dipandangnya Chin Yang Kun lekat-lekat.

   "Lekas katakan!" katanya geram. "Ada apa ini sebenarnya?"

   Sementara itu sepeninggal Tung-hai-tiau keadaan Tung-hai Nung-jin menjadi kalang kabut. Kalau semula Petani Lautan itu bersama ketuanya mampu mendesak Song-bun-kwi, kini setelah dia sendirian keadaan berubah menjadi sebaliknya. Cangkulnya yang ia bangga-banggakan itu kini seperti menjadi tidak berguna lagi, karena setiap kali mengenakan sasaran, lawannya seperti tidak pernah merasakannya. Song-bunkwi yang mengenakan Baju Mustika Emas itu bagaikan manusia besi yang tak mempan segala macam senjata.

   "Licik! Pencuri! Maling...!" Tung-hai Nung-jin bertempur sambil mengumpat tiada habisnya.

   "Hehehe...kau jangan meratap tidak keruan begitu! Sendirian kau takkan mampu melawanku. kau bukan tandinganku," dalam kegembiraannya Song-bun-kwi mengejek.

   "Bangsat! Anjing busuk kau!"

   "Hihihi...ayoh! Merataplah sepuas-puasnya sebelum putus nyawamu!" Ternyata Tung-hai-tiau mendengar pula umpat dan cacian pembantunya tersebut. Raja bajak Laut itu segera menyadari bahwa pembantunya dalam bahaya, maka bentaknya dengan tegang kepada Chin Yang Kun,

   "Ayoh, katakan cepat! Apa yang kau lakukan terhadap puteriku?" Chin Yang Kun menghela napas.

   "Lo-Cianpwe...! Seperti kau ketahui, aku menyelundup ke puncak bukit ini memang untuk menolong puterimu itu. Kami telah berkenalan sebelumnya..." pemuda itu memberi keterangan. "Sayang aku terlihat oleh para penjaga, sehingga aku dikepung dan dikeroyok beramai-ramai. Ketika aku terdesak aku terjeblos ke dalam sumur tua. Tak tahunya sumur itu mempunyai jalan tembus ke ruang bawah tanah tempat iblis Song-bun-kwi itu menyekap puterimu. Di sana aku melihat Song-bun-kwi akan memperkosa puterimu. Untunglah sebelum itu terjadi seorang penjaga datang memberitahukan tentang pertempuran besar ini kepada Song-bun-kwi, sehingga iblis itu cepat-cepat pergi meninggaIkan tempat itu. Nah, pada saat itulah aku masuk ke ruangan itu untuk menolong nona Li Ing. Tapi tampaknya dia merasa malu mengingat keadaannya pada saat itu. Dan dari malu ia menjadi marah, apalagi ketika aku berani menotok dan menyentuh tubuhnya yang lumpuh. Aku dianggapnya kurang ajar karena berani menyentuh tubuhnya yang...yang telanjang. Padahal aku hanya bermaksud membebaskan dia dari pengaruh totokan Song-bun-kwi..."

   "Hmm, begitu kiranya..." bajak Iaut itu bernapas lega. Tapi ketika sekali lagi terdengar jerit umpatan Tung-hai Nungjin, raja perompak itu menjadi tegang kembali. Dipandangnya wajah Chin Yang Kun dengan tegang pula.

   "Anak muda...Aku minta tolong sekali lagi kepadamu. Tolong kau bawa kembali puteriku yang nakal itu kemari! Aku tak punya waktu untuk mengejarnya sendiri, karena aku harus menolong anak buahku." Selesai berkata demikian Tung-hai-tiau segera melesat kembali ke arena pertempuran. Dan kedatangannya di sana sungguh tepat pada waktunya. Hampir saja pembantunya yang sakti itu mati dicekik Song-bun-kwi.

   "Gila!" Raja perompak itu memaki sambil mengayunkan goloknya ke arah lengan Song-bun-kwi. Golok pusakanya berkelebat ke depan setengah lingkaran, lalu berubah arah ke samping untuk menebas Ieher. Semuanya menuju ke bagian-bagian yang tidak terlindung oleh Baju Mustika Emas. Jari-jari Song-bun-kwi yang sudah berhasiI mencengkeram leher Tung-hai Nung-jin itu terpaksa dilepaskan. Iblis itu dengan lincah berjumpalitan ke belakang menghindarkan diri. Setelah menyelamatkan Tung-hai Nung-jin, Tung-hai-tiau cepat maju menghadapi Song-bun-kwi kembali. Keduanya lantas bertempur dengan dahsyatnya seperti tadi.

   Hanya bedanya setelah kini Song-bun-kwi menyadari kegunaan baju Kim pouw san, mereka bertempur dengan seimbang. Memang ilmu golok Tung-hai-tiau yang hebat itu mampu mendesak Song-bun-kwi, apalagi permainan golok itu diselingi dengan Tiau jiau kang yang maha ganas pula. Tapi dengan selalu berlindung pada kesaktian baju Mustika Emas itu Song-bunkwi juga selaIu bisa menyelamatkan dirinya pula. Apa pula Tung-hai-tiau tampaknya tidak sampai hati membenturkan golok pusakanya pada baju Kim-pouw-san. Bajak laut itu kelihatannya masih merasa sangsi, jangan-jangan baju pusaka keluarganya itu akan rusak dibentur golok pusaka yang sangat tajam luar biasa itu. Tung-hai-tiau menjadi penasaran sekali. Dan rasa penasaran itu semakin memuncak ketika goIok pusakanya yang ampuh itu ternyata juga tidak mampu merusakkan Baju Mustika Emas!

   "Gila! Tak kusangka baju itu mampu menahan sabetan golok pusaka yang bisa mematahkan besi baja ini! Sungguh gila!" bajak laut itu marah-marah.

   "Hihihi...ayoh, kuraslah semua ilmu kepandaianmu!" Song-bun-kwi tertawa mengejek.

   "Keparat! Jangan buru-buru tertawa dulu!" Tung-hai-tiau membentak. Lalu teriaknya ke arah Tung-hai Nung-jin. "Nungjin! Ambil cangkulmu, mari kita cincang orang ini!"

   "Baik, Hai-ong...!" Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya Petani Lautan itu cepat menyerbu ke dalam arena lagi. Paculnya yang mengerikan itu diayun berputar-putar di atas kepala, lalu menukik menuju ke kepala Song-bun-kwi.

   Suaranya mengaung menyakitkan telinga saking cepatnya. Bagaimanapun juga kepandaian Tung-hai Nung-Jin itu sebenarnya tidak berselisih banyak dengan lawannya. Hanya karena Kim pouw san itulah yang menyebabkan jago cangkul itu cepat berada di bawah angin. Demikianlah ketiga orang itu kembali bertempur dengan sengitnya. Meskipun dikeroyok dua, Iblis dari Tai-bong-pai itu ternyata masih dapat bergerak leluasa. Dibiarkannya saja semua serangan lawan yang tertuju ke arah badannya, iblis itu baru bergerak menghindar bila cangkul dan golok itu menyerang ke arah tubuhnya yang lain. Sementara itu Chin Yang Kun meneruskan langkahnya menuruni puncak bukit tersebut. Pemuda itu sama sekali tidak ambil pusing terhadap permintaan Tung-hai-tiau tadi.

   "Peduli amat gadis bengal itu! Urusanku sendiri menjadi terlantar karena mengurus dia. Kalau hal ini masih juga kulanjutkan, hmm...lama-lama aku akan menjadi pelayan gadis manja itu nanti," gumam pemuda itu penasaran. Maka tanpa menoleh lagi pemuda ini lantas berlari turun dengan cepatnya. Dengan lompatan-lompatan panjang dia meluncur turun seperti seekor kijang sedang berpacu. Sebentar saja telah tiba di kaki bukit. Pemuda itu berhenti sejenak di sini. Sambil menghela napas pemuda itu melayangkan pandangannya kembali ke atas bukit. Kepulan debu yang diakibatkan oleh pertempuran itu kelihatan semakin menipis, suatu tanda bahwa pertempuran besar itu sudah hampir berakhir.

   "Sebentar lagi pasukan Song-bun-kwi itu tentu menyerah kalah. Demikian pula dengan iblis itu sendiri. Tak mungkin dia bisa menyelamatkan diri dari keganasan Tung-hai-tiau dan pembantunya..." Chin Yang Kun lalu berjalan lagi meninggalkan tempat itu. Dia berjalan menuju ke arah kota Poh-yang kembali. Sambil melangkah pikirannya masih terbayang pada pertempuran besar di puncak bukit tersebut.

   "Huh, tampaknya iblis Tai-bong-pai itu memang bermaksud melawan kekuasaan pemerintah Kaisar Han. Tapi sayang pasukan itu sudah terlanjur musnah sebelum dipergunakan." Matahari semakin jauh condong ke barat. Sinarnya yang tidak begitu panas lagi itu mulai berwarna kemerah-merahan.

   Udarapun terasa semakin sejuk, apalagi langit tampak bersih dan cerah, seolah-oIah gumpalan-gumpalan awan yang siang tadi bergulung berdesakan, kini telah kembali pulang ke tempat masing-masing. Chin Yang Kun melangkah di jalan besar yang menghubungkan kota Poh-yang dan Ko-tien. Sambil melangkah pemuda itu menimang-nimang pundi-pundi uang pemberian Liu-Twakonya. Dengan uang tersebut Chin Yang Kun bermaksud membeli kuda dan pakaian yang bersih. Setelah itu dia akan berpacu ke kota Sin-yang. Orang-orang yang lewat di jalan itu selalu memandang keadaan Chin Yang Kun dengan kening berkerut. Tampaknya mereka menganggap pemuda yang bercelana compang camping dan tidak berbaju itu sebagai orang gila. Apalagi tangan dan kaki pemuda itu kotor oleh bercak-bercak darah yang mengering.

   "Teretet...tet! Tet! Teretet-tet...!" Sore hari yang cerah itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara terompet panjang berkali-kali. Dan tak lama kemudian dari dusun sekitar jalan itu tampak berlarian anak-anak disertai kakak dan orang tua mereka. Mereka berlarian melalui pematang-pematang sawah dan tegalan sambil bersorak-sorak dan berteriak-teriak gembira menuju ke jalan raya. Sambil mengacungkan kedua tangannya yang memegang apa saja, anak-anak itu berloncatan dan bersorak-sorak di jalan raya. Sementara di belakang mereka para kakak dan orang tua mereka melihat dengan bibir tersenyum.

   "Hidup pasukan Kaisar...!"

   "Hidup pasukan pelindung rakyat!"

   "Hidup pasukan Kaisar...!"

   "Horeee...!"

   Chin Yang Kun berhenti, lalu dengan wajah bingung ditatapnya anak-anak kecil yang bergembira ria itu. Semuanya memandang ke arah timur, seolah-olah mereka menantikan sesuatu dari balik bukit.

   "Tet-tet tet-tet! Teretet-tet...!"

   "Ah, tampaknya orang ini mau menyongsong kedatangan para perajurit..." Chin Yang Kun berkata di dalam hati.

   "Tapi...dari manakah prajurit-prajurit itu? Mengapa mereka dielu-elukan rakyat sedemikian rupa?"

   Suara terompet itu semakin dekat dan beberapa waktu kemudian dari kelokan jalan muncul pasukan perajurit berkuda berbaris rapi memasuki jalan. LaIu di belakang mereka tampak pula pasukan perajurit berjalan kaki, lengkap dengan segala macam senjata mereka. Barisan mereka luar biasa panjangnya sehingga dari jauh seperti ular yang berkelok kelok di atas jalan raya. Chin Yang Kun ikut terseret pula diantara para penonton. Dan karena tak ingin menjadi perhatian orang, pemuda itu mengikuti saja ke mana didesak orang. Beberapa orang perajurit berkuda tampak mendahului barisan untuk menertibkan penduduk yang berdesak-desakan di pinggir jalan itu. Dengan senyum ramah para perajurit itu mempersilakan para penonton agar berdiri tertib di tepi jalan. Mereka melarang anak-anak berlarian di tengah jalan.

   "Eh, Lo-pek...mau ke manakah para perajurit ini? Kelihatannya mereka baru saja berjalan jauh." Chin Yang Kun bertanya kepada seorang petani tua yang ada di sampingnya. Sejenak petani tua itu mengawasi Chin Yang Kun, lalu jawabnya perlahan.

   "Mereka memang datang dari Kotaraja. Mereka didatangkan kemari oleh Kaisar Han untuk menumpas pasukan pemberontak yang diperkirakan berada di sekitar daerah ini. Khabarnya Baginda telah mendengar adanya pemusatan-pemusatan pasukan perusuh di beberapa daerah, sehingga Baginda cepat-cepat mengirimkan pasukannya untuk menumpas perusuh-perusuh itu."

   "Oh, begitu..." Chin Yang Kun mengangguk-angguk dan pikirannya segera melayang ke puncak bukit yang baru saja ditinggalkannya itu.

   Demikianlah, beberapa saat kemudian barisan itu telah lewat di depan mereka. Meskipun tampak lelah para perajurit itu tetap berjalan tetap dan teratur. Wajah merekapun kelihatan gembira dan bersemangat, sedikitpun tidak tersimpul dalam sikap mereka bahwa kedatangan mereka untuk berperang mengadu nyawa. Beberapa lamanya Chin Yang Kun ikut menonton diantara penduduk itu. Tapi setelah sekian lamanya pemuda itu menonton tidak seorangpun dari para prajurit itu yang dikenalnya, maka perlahan-lahan ia keluar dari kerumunan para penonton dan berjalan kembali ke arah yang berlawanan.Pemuda itu tidak meneruskan langkahnya ke kota Poh-yang seperti maksudnya semula, tetapi langsung pergi ke kota Ko-tien yang masih seratus lie jauhnya dari tempat tersebut.

   "Percuma aku pergi ke kota itu. Poh-yang akan menjadi luar biasa ributnya dengan kedatangan pasukan dari Kotaraja itu. Lebih baik aku langsung pergi ke Ko-tien saja. Meskipun lebih jauh aku akan lebih mudah mendapatkan apa yang kuperlukan di sana." Begitulah, dengan langkah pasti pemuda itu berjalan cepat ke arah Ko-tien. Mula-mula pemuda itu terpaksa harus berjalan di atas pematang sawah dan tegalan karena jalan masih dipenuhi oleh jejalan penduduk yang menonton barisan itu. Tapi setelah barisan itu habis jalan menjadi lapang kembali, sehingga ia bisa melangkah kembali dengan leluasa di sana. Hari semakin kelam dan lambat laun menjadi gelap juga.

   Chin Yang Kun terpaksa harus mengendurkan langkahnya karena suasana jalan itu tidak bisa dilihatnya dengan jelas lagi. Baru setelah bintang bintang mulai muncul di atas langit keadaan menjadi bertambah terang.Sambil berjalan Chin Yang Kun mencoba untuk mengingat kembali apa yang telah terjadi kepadanya sejak pagi tadi. Mula-mula pertemuannya dengan Tiau Li Ing yang menyamar sebagai pemuda tampan itu, lalu perjumpaannya kembali dengan Song-bun-kwi yang pernah memenjarakannya di gedung Si Ciangkun itu. Kemudian pertemuannya yang tak tersangka-sangka dengan pendekar Souw Thian Hai dan...bekas pengawal ayahnya, Hek-mou-sai Wan It, Ialu pertempuran dahsyat antara pasukan Song-bun-kwi dan Tung-hai tiau.

   "Hmmm, heran benar aku. Mengapa tiba-tiba paman Wan It menjadi begitu baik dengan bangsat Song-bun-kwi itu? Apa sebenarnya yang telah terjadi? Dan...ke mana paman Wan It sekarang pergi? Mengapa tiba-tiba saja ia lenyap bersama dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Apakah mereka tidak bersama-sama dengan Song-bun kwi di ruang bawah tanah itu? Tapi di mana? Mengapa mereka tidak keluar?"

   Chin Yang Kun melangkah sambil merenungkan kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya. Sementara itu di atas langit tampak semakin banyak bintang-bintang yang bermunculan. Mereka berkelap-kelip di kejauhan, seakan-akan ribuan lampu minyak yang bergantungan di angkasa raya. Sesekali ada yang melesat dengan cepat untuk berpindah tempat. Begitu cepat gerakannya sehingga bintang itu seperti meninggalkan ekor yang amat panjang. Dan bila sekali waktu ada beberapa buah yang beralih tempat secara bersamaan, maka pemandangan menjadi bukan main indahnya!

   Chin Yang Kun menghela napas berulang-ulang. Sambil merenungi pengalamannya, dan sambil menikmati juga keindahan alam yang tergelar di sekitarnya, pemuda itu terus menjejakkan kakinya di atas jalan yang berkelok-kelok panjang itu. Selain melingkar-lingkar jalan itu juga naik-turun di antara tebing dan lereng-lereng gunung yang membatasi kota Poh-yang dan Ko-tien. Di kanan kiri jalan hanya hutan saja yang tampak. Yaitu hutan yang tidak begitu rapat, tetapi pohonnya tinggi-tinggi dan besar-besar, sehingga tanah di bawahnya selalu tampak kering dan tidak basah. Meskipun begitu tiupan angin malam yang menerobos di tempat itu ternyata amat dingin sehingga Chin Yang Kun yang tak berbaju itu terpaksa harus melipat lengannya di atas dada.

   "Wah, dingin-dingin begini seharusnya duduk-duduk di dekat perapian sambil minum minuman penghangat badan..." pemuda itu menyesali dirinya yang tak jadi pergi ke kota Poh-yang. Dan begitu mengingat makanan, pemuda itu lantas ingat juga bahwa perutnya belum terisi sejak pagi tadi. Tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang dan tiba-tiba pula hidung Chin Yang Kun mencium bau daging bakar yang bukan main sedapnya. Kontan saja perutnya yang lapar itu segera berkeruyuk bagai ayam jago memperoleh tantangan lawan.

   "Kurang ajar! Siapa malam-malam begini membakar daging di dalam hutan?" pemuda itu menggerutu di dalam hati. Tapi seperti tersedot magnit Chin Yang Kun melangkah memasuki hutan mencari tempat di mana asal mula bau sedap itu berkembang. Dan tempat itu cepat sekali ia temukan karena tempat itu ternyata tidak terlalu jauh dari jalan raya. Seorang laki-laki bertubuh besar tampak duduk santai menghadapi api unggun. Chin Yang Kun melangkah mendekati orang itu, kemudian berdiri beberapa langkah di belakangnya. Sambil membungkukkan badan Chin Yang Kun bermaksud menyapanya, tapi...

   "Duduklah, saudara...! Aku mempunyai banyak daging di sini. Marilah kita menikmatinya bersama-sama!" tiba-tiba orang yang sedang membakar daging itu menegur terlebih dahulu.

   "Ah! Ba"baik...! Terima kasih!" Chin Yang Kun tergagap kaget karena tidak menyangka orang itu akan menegur terlebih dulu. Terpaksa dengan agak sedikit curiga Chin Yang Kun mendekat dan duduk di dekat orang itu. Sambil meletakkan pantatnya di atas sebuah batu Chin Yang Kun berusaha melihat wajah orang itu. Tapi yang dilihat justru menoleh dengan tiba-tiba sehingga Chin Yang Kun tersipu karenanya.

   "Hmm, ada apa...?" orang itu bertanya dengan mulut tersenyum.

   "Oh, kau...!" Chin Yang Kun berdesah lega.

   "Ya! Bagaimana khabarnya? Tampaknya kau ikut terseret juga dalam kancah pertempuran itu," orang yang tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu tersenyum geli melihat keadaan Chin Yang Kun yang seperti gelandangan itu.

   "Benar!" akhirnya pemuda itu ikut tersenyum pula membayangkan keadaannya yang konyoI itu.

   "Aku tidak hanya ikut terseret, tapi malah terjun menjadi pemeran utamanya..."

   "Hahaha..., dan akibatnya kau terserang penyakit kelaparan sekarang!"

   "Be-betul!" Chin Yang Kun menunduk dengan wajah yang semakin memerah.

   "Nah...kalau begitu kau jangan malu-malu lagi! Marilah kita makan bersama-sama! Aku toh takkan bisa menghabiskan semua daging ini sendirian..." Souw Thian Hai mempersilahkan sekali lagi.

   "Baik!" Chin Yang Kun mengiyakan karena tak enak menolak maksud baik orang. Chin Yang Kun lalu mengambil segumpal daging dan ikut membakarnya di dalam api unggun itu. Sambil membakar sesekali pemuda itu melirik ke arah Souw Thian Hai. Di dalam hati pemuda itu mulai tidak tentram lagi bila teringat akan persamaan she (marga) pendekar sakti itu dengan gadis yang selalu dikenangnya. Sebenarnya ada maksud di hati pemuda itu untuk menanyakannya, tapi setiap saat mulutnya selalu batal mengatakannya.

   "Bagaimana dengan kawanmu? Apakah kau sudah menemukannya?" justru Souw Thian Hailah yang tiba-tiba memecahkan kebisuan tersebut.

   "Sudah...sudah...!" dalam kekagetannya Chin Yang Kun menjawab. Dan mendadak saja keringat dingin bermunculan di keningnya. Tentu saja perubahan sikap Chin Yang Kun itu sangat mengherankan hati Souw Thian Hai. Tapi melihat pemuda itu bersikap seperti seorang gadis yang tak ingin diketahui rahasianya, maka Souw Thian Hai juga diam saja dan tak ingin menanyakannya.

   "Lalu...di mana dia sekarang?"

   "Entahlah! Setelah dapat kubebaskan kami berdua lalu berpisah kembali. Mungkin dia pergi ke Poh yang..."

   "Ooh!" pendekar sakti itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hening lagi sejenak.

   "Dan...kau? Kemana saja kau mengejar bayangan Song-bun-kwi dan Hek-mou-sai Wan It itu? Kenapa aku tak bisa mengejar kalian?" Chin Yang Kun ganti melontarkan pertanyaannya.

   "Wah! Akupun telah kehilangan jejak mereka pula. Entahlah! Mula-mula bayangan Song-bun kwi hilang di dekat sebuah sumur tua. Lalu sebentar kemudian ganti bayangan...eh, siapa tadi?"

   "Hek-mou-sai Wan lt!"

   "Ya...sebentar kemudian ganti bayangan Hek...Hek-mou-sai Wan It yang hilang di antara kerumunan orang di lereng bukit itu. Aku telah berusaha mencarinya kemana-mana tapi tak berhasil. Aku lalu kembali ke tempat kita semula bersembunyi, tapi kau tak kuketemukan lagi di sana. Sebaliknya aku malah melihat sebuah pertempuran yang tak kumengerti sebab-sebabnya...Oleh karena engkau tetap tak kujumpai maka aku lantas meninggalkan puncak tersebut."

   "Oooo...?!"

   "Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Apa yang telah terjadi padamu?" Chin Yang Kun tersenyum getir, Ialu diceritakannya semua yang telah terjadi sepeninggal Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Bagaimana ia dikeroyok ribuan orang, dan bagaimana ia terjeblos ke dalam sumur tua itu. Lalu pertemuannya dengan Song-bun-kwi dan kawan yang dicurinya itu di dalam ruangan di bawah tanah. Dan akhirnya diceritakannya juga tentang pertempuran hebat di luar gedung itu.

   "Kalau begitu Song-bun-kwi itu memang kembali lagi ke gedung melalui sumur tua itu...Makanya kucari kemana-mana tidak ada." Souw Thian Hai berkata perlahan. Sambil bercakap-cakap mereka menikmati daging bakar yang amat lezat itu. Chin Yang Kun yang seharian penuh tidak makan itu tampak lahap sekali. Beberapa kali pemuda itu mengambil irisan daging yang telah tersedia dan membakarnya di dalam api. Begitu getolnya sehingga diam diam Souw Thian Hai tersenyum melihatnya.

   "Ah...aku sampai lupa! Kenapa aku sampai hati benar membiarkanmu telanjang dada begitu," tiba-tiba Souw Thian Hai berhenti mengunyah dan menepuk-nepuk dahinya sendiri dengan wajah menyesal. Lalu dengan tergesa-gesa pendekar sakti mengambil buntannya dan mengeluarkan sepotong baju bersih yang tampaknya masih baru.

   "Nih! kau pakailah untuk sementara, agar kau tidak dikira orang sebagai gelandangan...!"

   "Wah, tidak usahlah...! aku...aku..." Chin Yang Kun menolak.

   "Sudahlah! Pakailah saja! kau tak usah berasa sungkan kepadaku. Baju itu belum pernah kupakai, sebab ukurannya terlalu sempit buatku..." Chin Yang Kun ingin membantah lagi. Tapi keinginan itu batal ia utarakan ketika terpandang oleh pemuda itu wajah Souw Thian Hai yang ikhlas dan berwibawa.

   "Ini...ini...eh, mengapa kau membawa juga baju yang sudah terlalu sempit buat dirimu?" akhirnya diterima juga baju itu oleh Chin Yang Kun, meski dengan hati berat. Souw Thian Hai bangkit seraya menghela napas panjang sekali. Sisa daging yang berada di tangannya dibuangnya ke dalam api. Kemudian sambil menyilangkan lengannya di depan dada pendekar sakti itu berjalan menjauhi api unggun. Di tempat yang agak Iapang pendekar itu menengadahkan mukanya ke langit yang biru.

   "Baju itu dibuat sendiri oleh puteriku ketika dia berumur lima belas tahun. Katanya dia sudah dewasa, maka ia ingin membuat sendiri baju-baju ayahnya dan pakaian-pakaiannya sendiri. Tapi karena baru mulai belajar maka baju yang pertama kali dibuatnya itu terlalu kecil buatku. Tapi agar supaya puteriku itu tidak kecewa, maka aku tetap menyimpannya juga."

   "Ah!" Chin Yang Kun tersentak kaget. "Kalau begitu baju ini mempunyai arti tersendiri buatmu. Mengapa sekarang malah kau berikan kepadaku?" Souw Thian Hai membalikkan tubuhnya, lalu berjalan kembali ke tempatnya semula.

   "Tidak apa. Biarlah kuberikan saja baju itu kepada kau yang membutuhkan dari pada aku selalu bersedih bila melihatnya. Dan...sejak semula aku memang sudah bermaksud untuk membuangnya atau memberikannya kepada orang lain. Hampir empat tahun aku berkelana mencari puteriku itu tanpa hasil. Kini aku sudah mulai putus-asa..." Chin Yang Kun mendengarkan penuturan pendekar sakti itu dengan kepala tunduk. Hatinya seperti ikut merasakan kesedihan pendekar tersebut.

   "Hei??" tiba-tiba mata Chin Yang Kun terbelalak. Ditatapnya dua buah huruf yang terlukis di pojok baju itu. Huruf "Lian" dan "Cu"!

   "Ada apa?" Souw Thian Hai mengerutkan keningnya.

   "Ini...! ini...! Hei...apakah puterimu itu bernama Souw Lian Cu?" Chin Yang Kun berseru tegang.

   "Betul! Ada apa...?"

   "Apakah puterimu itu...lengannya...lengannya..."

   "Yaaa! Lengannya memang cacat sebelah! Ada apa? Apakah kau pernah berjumpa dengan dia?" Souw Thian Hai berseru pula dengan tidak kalah tegangnya. Tanpa terasa tubuhnya yang tinggi besar itu telah melesat ke depan Chin Yang Kun.

   Sementara itu Chin Yang Kun sungguh-sungguh menjadi kelabakan sekarang. Setelah kini dia benar-benar yakin bahwa Souw Lian Cu itu memang sungguh-sungguh puteri Souw Thian Hai, tiba-tiba hatinya menjadi tegang dan bingung. Dengan gelisah pemuda itu menundukkan kepalanya, sementara bibirnya yang pucat itu tampak bergetar dan tak bisa berkata-kata malah! Tentu saja melihat sikap pemuda itu Souw Thian Hai ikut menjadi kelabakan pula. Segala macam pikiran buruk segera menghantui hati pendekar sakti itu. jangan-jangan sesuatu yang jelek telah menimpa diri anaknya. Maka saking tegangnya pendekar sakti itu mencengkeram pundak Chin Yang Kun tanpa terasa. Dan tanpa terasa pula tenaga sakti Ang-pek Sinkang meluncur ke luar dan...menerjang tubuh Chin Yang Kun!

   Sekejap tampak asap tipis mengumpul di atas ubun-ubun pendekar sakti tersebut. Ternyata dalam ketegangannya segala macam ilmu yang melekat di dalam tubuh Souw Thian Hai telah keluar dengan sendirinya. Dan kini yang menjadi korbannya adalah Chin Yang Kun. Tanpa disadari oleh Souw Thian Hai sendiri ilmunya telah menyerang Chin Yang Kun! Ilmu yang amat dahsyat, yang jarang ada tandingannya di muka bumi ini! Tapi satu keajaiban benar-benar telah terjadi! Chin Yang Kun yang berdiri diam seperti orang yang sedang kehilangan akal itu, yang secara tak sengaja kini dihantam tenaga Ang-pek Sinkang itu sama sekali tak bergeser dari tempatnya! Jangankan bergeser, kalau dilihat dari tampangnya yang masih terlongong-longong itu tampaknya merasapun dia tidak! PadahaI akibat dan pengaruh dari ilmu itu sendiri bukan main hebatnya!

   Dalam sekejap pundak yang dicengkeram oleh jari-jari Souw Thian Hai itu tampak bergetar hebat seperti sedang menahan beban yang sangat berat. Dan bersama dengan itu semacam kabut tipis berwarna putih tampak menyelubungi lengan Souw Thian Hai dan pundak Chin Yang Kun yang saling bersentuhan itu. Kabut tipis yang luar biasa dinginnya, yang pengaruhnya dapat dirasakan sampai beberapa tombak jauhnya. Begitu luar biasa hawa dingin itu sehingga dalam sekejap rambut dan pundak Chin Yang Kun seperti dilapisi dengan salju. Meskipun demikian Chin Yang Kun sendiri kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali oleh keadaan itu. Pemuda itu tetap saja berdiri termangu-mangu di tempatnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Malahan Souw Thian Hai itulah yang kemudian tersentak kaget dan tersadar dari keadaan mereka yang aneh tersebut.

   "Hai? Apa yang telah kulakukan?" pendekar sakti itu memekik seraya meloncat mundur dengan wajah pucat. Lalu dengan tergesa-gesa melompat maju lagi untuk memeriksa keadaan Chin Yang Kun, sehingga pemuda itu malah menjadi kaget karenanya. Tapi pendekar sakti itu segera mengernyitkan alisnya dengan wajah keheranan. Jangankan pemuda itu merasa sakit, merasa diserangpun ternyata tidak! Pemuda itu justru kaget dan bingung ketika tubuhnya diperiksa oleh Souw Thian Hai.

   "Eh...ada apa ini?" Chin Yang Kun berseru dengan wajah bingung, apalagi ketika dilihatnya pundak dan rambutnya diselimuti salju tipis berwarna putih. Souw Thian Hai menatap Chin Yang Kun seolah tak percaya, lalu sambil menghela napas berat ia duduk kembali di tempatnya.

   "Kau dudukIah...!" katanya kepada Chin Yang Kun perlahan. Chin Yang Kun duduk pula kembali. Matanya tetap menatap Souw Thian Hai dengan tajamnya, seolah-olah mau menuntut kepada pendekar itu agar mengatakan apa yang telah terjadi.

   "Anak muda, tenaga dalammu sungguh hebat sekali...! Benar-benar tak kusangka! Meskipun sejak semula telah kuketahui bahwa lweekangmu sangat tinggi, tapi aku benar benar tidak menyangka bahwa engkau akan mampu mengimbangi Ang-pek sinkangku. Padahal Ang-pek sinkangku selama ini belum pernah ada yang bisa menahannya..." Souw Thian Hai memberi keterangan.

   "Ang-pek sinkang...? Lweekangku...? Apa maksudmu?"

   "Ketahuilah! Saking tegangnya aku tadi telah mencengkeram pundakmu tanpa terasa. Dan celakanya...tanpa kusadari pula tenaga saktiku membanjir keluar, menghantam tubuhmu melalui jari-jariku itu. Tapi tak kusangka sinkangmu secara otomatis juga keluar untuk melindungi pundakmu..."

   "Ah...mana aku berbuat demikian? Ini...ini..."

   "Sudahlah! Marilah kita duduk kembali yang baik! Kita berbicara dengan tenang!" Keduanya lalu duduk kembali di tempat masing-masing. Souw Thian Hai mengambil kayu-kayu kering agar api unggun itu dapat menyala lebih besar lagi, sementara Chin Yang Kun yang masih juga memegang baju pemberian Souw Thian Hai itu belum juga bisa menenangkan perasaannya yang tergoncang.

   Jilid 31
"Saudara Yang...eh, kalau tak salah namamu Yang Kun, bukan? saudara Yang, coba ceritakan yang jelas...benarkah engkau pernah melihat puteriku?" Untuk sesaat Chin Yang Kun masih belum juga dapat menenangkan hatinya. Baru beberapa waktu kemudian dengan kekerasan hatinya pemuda itu dapat mengatasi ketegangannya.

   "Aku memang pernah bertemu dengan nona Souw Lian Cu beberapa hari yang lalu. Bersama-sama dengan Toat-beng-jin dan Pangcu-si Tong Ciak dari Im-yang-kauw, kami berjalan dari Kuil Delapan Dewa...ke desa Ho-ma-cun"" akhirnya Chin Yang Kun dapat juga bercerita. Bercerita dari awal pertemuan mereka di Kuil Delapan Dewa sampai dengan saat perpisahan mereka di rumah kediaman Kakek Kam. Hanya dalam ceritanya itu Chin Yang Kun tidak menyinggung sama sekali tentang perselisihannya dengan gadis tersebut. Souw Thian Hai mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-angguk.

   "Begitukah...? Lalu ke mana kira-kira anak itu sekarang?" tanya pendekar itu.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Katanya dia mau pulang ke Pulau Mimpi, yaitu tempat tinggal Keh-sim Siauwhiap."

   "Pulau Mimpi...?" pendekar sakti itu menegaskan. Wajahnya tampak gembira dan penuh harapan.

   "Ya...benar!"

   "Wah, terima kasih! Kalau begitu aku akan pergi ke sana sekarang." Souw Thian Hai berkata dan cepat-cepat bangkit dari tempatnya. Lalu seraya menyambar buntalannya pendekar sakti itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

   "Maaf...aku sudah tidak sabar lagi untuk mencari puteriku, maka biarlah aku pergi lebih dahulu. Terima kasih atas petunjukmu." Kemudian dengan hanya sekali berkelebat pendekar itu telah lenyap dari pandangan Chin Yang Kun. Dan kini tinggallah pemuda itu sendirian di sana, merenungi nyala api yang semakin tinggi menjilat udara. Angin malam terasa berhembus kembali dengan tajamnya, sehingga nyala api unggun itu tampak bergoyang-goyang. Chin Yang Kun cepat-cepat mengenakan baju pemberian Souw Thian Hai tadi untuk mengurangi resapan hawa dingin yang menggigit tubuhnya. Lalu dengan tenang pemuda itu melangkah pula meninggalkan tempat tersebut.

   Sambil berjalan pikiran Chin Yang Kun masih dipenuhi dengan bayangan Souw Lian Cu yang cantik itu. Kecantikan yang menurut pandangan Chin Yang Kun amat agung dan menumbuhkan perasaan hormat, tapi sekaligus juga perasaan kasihan yang sangat mendalam. Dan diam-diam...entah mengapa pemuda itu merasa amat berbahagia bisa mengenakan baju buatan gadis itu. Demikianlah, Chin Yang Kun keluar lagi dari dalam hutan itu dan melangkah pula kembali di jalan raya. Wajahnya kelihatan gembira dan berseri-seri. Pertanyaannya dengan Souw Thian Hai, ayah dari gadis yang dikaguminya, sungguh saat membahagiakan hatinya. Apalagi di dalam pertemuan yang amat sangat singkat itu ayah Souw Lian Cu kelihatan sangat bergembira sekali dan amat menyukai dirinya, sampaisampai baju yang mengandung sejarah itu diberikan pula kepadanya.

   "Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam hutan, sehingga buyarlah semua lamunan dan khayalan Chin Yang Kun! Kemudian dari balik pohon-pohon berloncatan keluar belasan orang perajurit yang seragamnya sama dengan seragam para perajurit yang berbaris di jalan itu sore tadi. Perajurit-perajurit itu segera mengepung Chin Yang Kun dengan tombak-tombak mereka yang panjang.

   "Maaf...kami adalah perajurit-perajurit kerajaan yang ditugaskan oleh Baginda Kaisar di daerah ini," salah seorang perajurit yang tampaknya adalah pimpinan mereka melangkah maju ke depan Chin Yang Kun. Lalu,

   "Saudara siapa...? Apakah keperluan saudara sehingga malam-malam begini masih bepergian juga?" Chin Yang Kun mengumpat di dalam hati. Tapi mengingat yang dihadapinya sekarang adalah para perajurit kerajaan yang sedang dalam tugas, apabila kalau diingat mungkin mereka adalah anak buah Liu-Twakonya sendiri, maka pemuda itu segera menekan kedongkolan hatinya. Teringat akan Liu-Twakonya Chin Yang Kun lantas teringat pundi-pundi uangnya pula.

   "Hmm...baiklah! Aku seorang pengembara, namaku...Yang Kun. Aku memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, dan aku sudah biasa berjalan...di malam hari! Tapi selama ini aku tak pernah mendapat kesukaran dengan kebiasaanku itu. Mengapa sekarang tuan-tuan malah menghentikan aku?" Pemimpin perajurit itu mengangguk-angguk.

   "Saudara, ketahuilah...! Keadaan dalam negeri akhir-akhir ini sedang gawat. Benar-benar gawat! Kelompok-kelompok perusuh kini sedang dipersiapkan oleh orang-orang yang ingin menumbangkan kekuasaan Baginda di seluruh negeri. Untunglah Baginda segera dapat mencium gerakan mereka, sehingga Baginda cepat-cepat mengirimkan kami untuk menumpasnya."

   "Oh...itulah sebabnya tuan-tuan sekarang berada di daerah ini?" Chin Yang Kun menegaskan.

   "Benar! Dan...oleh sebab itu pulalah kami semua mencurigai saudara pula. saudara berjalan sendirian...di tempat sunyi...malam-malam begini...dan di daerah yang rawan pula! Maka kami terpaksa harus memeriksa saudara. Sekarang marilah kita menghadap kepada Kim Cian-bu (Kapten Kim)! Biarlah komandan kami itu yang memeriksa saudara kami..." perajurit itu memberi keterangan dengan suara halus namun sangat tegas. Untuk sesaat perasaan Chin Yang Kun bergolak. Ada terselip perasaan tersinggung dan terhina mendapatkan perintah seperti itu.

   Dia yang cucu Kaisar Chin Si, yang sesungguhnya berhak atas negeri ini, sekarang justru malah dicurigai sebagai perusuh dan ditangkap oleh anak buah musuhnya, yaitu Kaisar Han! Sungguh penasaran! Chin Yang Kun perlahan-lahan mengangkat tangannya. Terdengar suara berkerotok di dalam tubuhnya, seakan-akan semua tulang-tulangnya saling beradu satu sama lain. Kulitnya yang putih itu tiba-tiba berubah mengkilat kekuning-kuningan, sementara hawa yang luar biasa dingin terasa menghembus keluar dalam tubuhnya. Tentu saja para perajurit itu menjadi kaget sekali. Mereka segera menyadari bahaya yang sedang mengancam jiwa mereka. Tapi pancaran udara dingin itu telah mencengkeram seluruh urat-urat tubuh mereka sehingga darah mereka seolah membeku dan tak bisa bergerak sama sekali.

   Jangankan untuk bergerak menyelamatkan diri, untuk berteriakpun lidah mereka rasanya sudah menjadi kaku sehingga tak mungkin bisa mengeluarkan suara Iagi! Maka dengan air muka ketakutan mereka terpaksa hanya menanti maut yang akan mencabut nyawa mereka! Tetapi...Chin Yang Kun tiba-tiba menghela napas dalam sekali. Otot-ototnya yang telah menegang itu mengendur kembali. Dalam saat-saat terakhir ternyata pemuda itu seperti diingatkan kembali pada keadaan dan kedudukannya sekarang. Betapa selama ini dengan kesadarannya sendiri ia telah merelakan haknya tersebut, dan ia lebih suka menjadi orang biasa seperti halnya penduduk yang tinggal di dusun atau di pegunungan. Dan ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia takkan ikut campur lagi dalam urusan pemerintahan.

   "Hmmmh! Marilah...! Jikalau tuan memang ingin memeriksa saya, sayapun juga tidak berkeberatan," katanya perlahan. Dan pengaruh hawa dingin itu tiba-tiba juga lenyap seperti tertiup angin lalu, sehingga patung-patung hidup itu dapat bergerak pula seperti semula.

   "Ah...eh anu...ya...ya, marilah!" perajurit yang baru saja terbebas dari serangan udara dingin itu tergagap-gagap kaget.

   Suaranya terdengar sumbang dan gemetar, suatu tanda bahwa hatinya masih tercekam oleh kengerian. Perajurit itu lalu berjalan mendahului, kemudian diikuti Chin Yang Kun dan para perajurit yang lain. Chin Yang Kun melangkah dengan tenang, sementara para penangkapnya malah tampak tegang, gelisah dan takut-takut, seolah-olah mereka sedang mengiringkan seekor singa yang setiap saat bisa menerkam mereka. Chin Yang Kun dibawa ke sebuah tanah lapang di pinggang bukit, di mana di tempat tersebut didirikan kemah-kemah darurat ratusan jumlahnya. Meskipun malam hari dan udara sangat dingin pula, banyak sekali perajurit-perajurit yang berada di luar kemahnya. Ada yang main kartu dengan kawan-kawannya, ada pula yang hanya duduk-duduk mengelilingi perapian sambil mengobrol.

   Sementara yang sedang bertugas jaga tampak hilir mudik dengan senjata selalu siap di tangan. Sikap mereka tampak garang-garang dan angker-angker seperti layaknya para perajurit yang biasa mengadu jiwa di medan laga. Sekejap tergetar juga hati Chin Yang Kun melihat bala tentara sedemikian banyaknya! Sungguh kekuatan yang sukar dihadapi bilamana terjadi perselisihan nanti. Maka untuk sesaat pemuda itu menjadi ragu-ragu, jangan-jangan ia nanti justru terjebak seperti ikan di dalam jaring. Tapi sungguh janggal dan tidak enak hatinya bila secara tiba-tiba dia lalu membatalkan niatnya untuk pergi memasuki kemah tersebut. Apa kata para perajurit yang membawanya itu nanti kalau ia sungguh-sungguh berbuat demikian? Mereka tentu akan mencap dirinya sebagai pengecut! Dan ini benar-benar tidak diingininya.

   "Ah, peduli amat! Kalau toh mereka ingin membunuhku juga...hmm, kurasa juga bukan hal yang mudah bagi mereka. Paling tidak mereka juga akan kehilangan sepertiga atau separuh dari kekuatan mereka!" geramnya di dalam hati. Dan keputusan ini membuatnya tenang kembali. Dengan langkah tegap ia mengikuti orang-orang yang membawanya. Sebaliknya para perajurit itu menghela napas lega. Setelah berada kembali di antara kawan-kawannya yang banyak, para perajurit itu seperti terbebas dari bencana yang selalu mengincarnya. Di depan pintu gerbang perkemahan mereka dihentikan oleh empat orang penjaga.

   "A Kuang! Apa yang terjadi? Siapakah pemuda yang kau bawa ini?" salah seorang penjaga yang berjanggut lebat segera maju ke depan menyongsong iring-iringan itu.

   "Kami...kami akan menghadap Kim Cian-bu. Kami menangkap...eh, anu...kami membawa seorang yang sangat mencuriga...eh, maksudku seseorang yang patut kita curigai." perajurit yang membawa Chin Yang Kun yang dipanggil dengan nama A Kuang itu melapor. Suaranya gemetar sambil beberapa kali matanya memberi isyarat kepada penjaga itu. Isyarat yang maksudnya memberitahukan bahwa orang yang dibawanya itu mempunyai kepandaian yang menggiriskan hati. Tapi penjaga itu sedikitpun tidak bisa menangkap isyarat tersebut. Penjaga itu justru merasa terheran-heran melihat sikap kawannya yang amat aneh tersebut.

   "Hei? kau ini ada apa? Sakit gigi? Kalau begitu lekas kau bawa tangkapanmu itu ke hadapan Kim Cian-bu. Kebetulan beliau juga belum tidur. Baru saja seorang gadis cantik membuat onar di tepi jalan sana. Gadis itu sempat melukai beberapa orang kita. Untunglah beberapa orang anggota Sha-cap mi-wi kebetulan berada di sini malam ini, sehingga gadis itu dapat kita tangkap pula. Kim Cian-bu sedang memeriksa gadis itu sekarang." Berdebar hati Chin Yang Kun mendengar kata-kata penjaga itu. Entah mengapa bayangan Li Ing tiba-tiba berkelebat di depan matanya. Jangan-jangan gadis itu yang ditangkap oleh para perajurit ini.

   "Tuan, marilah kita lekas-Iekas menghadap Kim Cian-bu itu!" desaknya kepada perajurit yang menangkapnya. "Malam telah larut. Padahal aku harus berada di Ko-tien besok pagi..."

   "Baik...baiklah! Kami memang akan pergi ke sana." A Kuang itu menjawab gagap. Mereka berjalan diantara kemah-kemah itu. Melewati para perajurit yang sedang santai menurut kegemaran mereka sendiri-sendiri, atau melewati pos-pos penjagaan yang penuh dengan perajurit-perajurit yang sedang bertugas. Semuanya tentu menegur atau menanyakan apa yang telah terjadi kepada perajurit yang membawa Chin Yang Kun itu. Setelah melewati beberapa penjagaan barulah kemah Kim Cian-bu yang besar dan megah itu kelihatan di depan mereka. belasan orang perajurit bertombak tampak berdiri berjaga jaga mengelilingi tenda tersebut.

   "Kami ingin menghadap Kim Cian-bu," A Kuang melapor kepada penjaga yang berdiri di depan pintu. "Kami membawa seseorang untuk diperiksa." Penjaga itu mengawasi Chin Yang Kun dengan seksama, lalu,

   "Baiklah! Aku akan melapor dulu kedalam. Kalian nantikan saja dulu di sini!"

   "Terima kasih!" A Kuang mengangguk lalu mengajak kawan-kawannya duduk di atas tanah di depan pintu tenda tersebut. Chin Yang Kun tetap saja berdiri sambil melihat kesana kemari, sikapnya tenang luar biasa, membuat orang-orang yang menangkapnya semakin kagum dan segan.

   "Nah, kalian masuklah...!" tiba-tiba penjaga pintu tadi telah keluar lagi menemui mereka. "Kebetulan Kim Cian-bu sedang memeriksa seorang pesakitan pula." Orang-orang yang menangkap Chin Yang Kun itu bergegas bangkit berdiri dan menyatakan terima kasihnya, kemudian salah seorang diantaranya, yaitu A Kuang mengajak Chin Yang Kun masuk. Chin Yang Kun melihat seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluhan tahun, duduk dengan garang diatas kursi kayu. Pakaian perangnya yang indah itu tampak gemerlapan kena sorot lampu minyak. Di sekitarnya berdiri delapan orang pengawalnya yang bertubuh tegap-tegap. Sedangkan di depan lelaki gagah yang tidak lain adalah Kim Cian-bu sendiri itu tampak berdiri seorang gadis cantik yang diikat kaki tangannya.

   "Li Ing...!" teriak Chin Yang Kun begitu mengenal siapa sebenarnya gadis cantik tersebut.

   "Toat-beng-jin!" Si gadis menjerit pula. Wajah yang cantik itu mendadak berubah menjadi merah jengah, lalu tertunduk dengan tiba-tiba. Tanpa mempedulikan para perajurit yang berada di sekitarnya Chin Yang Kun tiba-tiba melompat ke samping Tiau Li Ing.

   "Nona, apakah engkau sudah menemui ayahmu?" tanyanya kepada gadis itu. Tiau Li Ing menggeleng lemah. Kepalanya tetap tertunduk dan mukanya semakin bertambah merah. Sedikitpun ia tidak berani menoleh, apa lagi menatap wajah Chin Yang Kun. Bagaimanapun juga bebas dan bengalnya watak gadis itu ternyata ia masih tetap seorang perempuan juga. Perempuan muda yang sedang tertarik kepada lawan jenisnya. Apa pula lawan jenisnya itu pernah melihat pula seluruh miliknya yang terahasia, yang tidak sembarang orang boleh melihatnya.

   "Hei, nona...bagaimana kau ini sebenarnya? Ayahmu dengan susah payah telah mencarimu. Jauh-jauh dia datang ke bukit itu hanya untuk membebaskan puteri kesayangannya. Tapi kini kau malah lari meninggalkannya. Bagaimanakah kau ini? Apakah kau tidak merasa kasihan kepada ayahmu itu?" Chin Yang Kun mendesak lagi. Tapi yang didesak lagi, semakin merapatkan mulutnya. Dan sementara itu delapan orang pengawal Kim Cian-bu telah berloncatan ke depan untuk mengepung Chin Yang Kun dan Tiau Li Ing. Dengan garang mereka mengacungkan senjata mereka.

   "Diam! Ayoh, beri hormat kepada Kim Cian-bu! Kalian sekarang ini sedang berada di depan pemimpin dari seluruh perajurit di perkemahan ini! Tahu...? Jangan bersikap seenakmu sendiri!" salah seorang dari para pengawal itu membentak.

   Chin Yang Kun cepat memalingkan mukanya dan menatap pengawal itu Iekat-lekat. Untuk sesaat mata pemuda itu tampak berkilat-kilat menyeramkan seperti mata harimau marah. Tetapi beberapa waktu kemudian mata itu kembali meredup seperti sedia kala, dan lalu untuk selanjutnya terdengarlah suara tarikan napasnya yang dalam dan panjang. Ternyata dalam waktu yang sekejap itu telah terjadi pula pergolakan di dalam dada Chin Yang Kun, yaitu perasaan tersinggung dan marah karena dibentak oleh pengawal tersebut. Tapi seperti yang telah terjadi di tengah jalan tadi, kinipun pemuda itu dapat pula mendinginkan hatinya Iagi.

   "Ohh...maafkanlah aku! Karena melihat kawanku di tempat ini aku lantas lupa bahwa aku sekarang sedang berada di tempat orang." pemuda itu meminta maaf.

   

   "Hmmmh! Berada di tempat orang katamu? Kurang ajar! kau kini memang ditangkap dan dijadikan pesakitan, tahu...?" pengawal yang tidak tahu diri itu masih tetap juga mengumbar kemarahannya, sehingga A Kuang yang masih tetap berdiri di dalam ruangan itu menjadi gemetaran badannya, takut kalau tawanan yang dibawanya itu menjadi marah seperti tadi. Memang. Mendengar bentakan yang menyakitkan hati itu Chin Yang Kun hampir saja tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Tapi dengan mati-matian pemuda itu dapat juga menahannya.

   "Aku tadi telah mengalah, dan ternyata sikapku itu benar-benar membuahkan keuntungan buatku. Aku dapat berjumpa dengan Tiau Li Ing. Coba aku tadi terus saja menyikat para perajurit yang menghadang itu, aku tentu tidak akan bisa bertemu dengan gadis itu di sini...nah! Apa salahnya aku mengalah sekali lagi sekarang?" Chin Yang Kun menimang-nimang di dalam hati. Demikianlah, pemuda itu tidak melayani bentakan-bentakan lawannya. Dengan tenang dia menghadap ke arah kursi Kim Cian-bu dan menjura dengan hormat.

   "Siauwte mohon maaf sebesar-besarnya kepada Kim Cian-bu. Karena tidak menyangka bertemu teman di tempat ini, maka siauwte menjadi lupa diri tadi. Maaf..." katanya halus. Sebagai seorang perwira tinggi kepandaian Kim Cian-bu juga tidak rendah.

   

Darah Pendekar Eps 17 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Darah Pendekar Eps 30

Cari Blog Ini