Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 44


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 44




   "Heh! Iblis itu meninggal dunia? Siapakah yang membunuhnya? Apakah Tunghai-tiau dan kawan-kawannya?" pemuda itu menduga-duga di dalam hati. "...Tampaknya memang demikian. Siapa lagi yang mampu membunuh Iblis itu selain Tung-hai-tiau? Dan musibah atau bencana yang mereka katakan itu tentulah peristiwa hancurnya kekuatan mereka di puncak bukit itu."

   "Sebaiknya kita membagi tugas," tiba-tiba Chin Yang Kun mendengar lagi suara bisikan mereka, sehingga pemuda itu buru-buru menghentikan lamunannya.

   "Kau pergi ke daerah-daerah mengabarkan berita musibah ini, dan...aku akan ke Laut Timur menyusul Wan Lo-Cianpwe untuk melaporkan hal itu pula. Sukur aku bisa menghadap Ongya sendiri. Bagaimana? Ataukah kau yang ke Laut Timur?" terdengar suara perusuh, yang dikenal oleh Chin Yang Kun sebagai penjaga itu membagi tugas yang harus mereka lakukan.

   "Ah, aku tak biasa berhadapan dengan Wan Lo-Cianpwe, apalagi dengan Ongya sendiri. Twako, kau sajalah yang ke sana, biarlah aku yang ke daerah-daerah mengabarkan hal ini." kawannya lekas-lekas menyahut.

   "Baiklah kalau begitu. Kita makan dahulu, setelah itu kita berpisah, untuk menunaikan tugas masing-masing. Moga-moga saja Wan Lo-Cianpwe dan Ongya tidak terkejut mendengar laporanku nanti." Kedua orang perusuh itu lalu makan makanan yang telah dihidangkan oleh pelayan, sementara Chin Yang Kun malahan menjadi hilang nafsu makannya. Mendengar percakapan itu pikirannya lantas menjadi sibuk sendiri malah! Beberapa kali telinganya mendengar sebutan Wan Lo-Cianpwee dan Ongya.

   Siapakah sebenarnya tokoh-tokoh itu? Tampaknya kedua tokoh itu adalah tokoh puncak atau pimpinan mereka, yang memimpin dan menghimpun kaum perusuh di seluruh daerah. Dan tokoh yang mereka sebut "Ongya" itu tentulah orang berkerudung hitam dan bergelar Hek-eng-cu itu, yaitu orang yang pernah menyekap dia di rumah Si Ciangkun setahun yang lalu. Persoalannya sekarang adalah, siapa sebenarnya tokoh yang mereka sebut dengan panggilan Wan Lo-Cianpwe itu? Jangan-jangan orang itu adalah Wan It atau Hek-mou-sai Wan It, bekas pembantu atau bekas kepercayaan mendiang ayahnya. Demikianlah, sementara dua orang anggota kaum perusuh yang ada di belakangnya itu sibuk dengan makanan mereka, Chin Yang Kun juga sibuk dengan angan-angan dan pikirannya sendiri pula.

   "Tampaknya yang mereka sebut Wan Lo-Cianpwe itu memang paman Wan it adanya." pemuda itu meneruskan renungannya. "Buktinya aku telah melihat sendiri kemarin paman Wan It bersama-sama dengan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek di puncak bukit itu. Dan..." Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi pucat, hatinya terasa dingin. Lapat-lapat ia teringat akan penuturan Chu Seng Kun beberapa waktu yang lalu. Pemuda ahli obat itu pernah bercerita kepadanya tentang seorang lelaki tinggi gemuk berbulu lebat, yang kemana-mana selalu bersama-sama dengan Hek-eng-cu.

   "Yaa, tampaknya orang itu memang paman Wan It dan tak dapat dipungkiri lagi. Tapi lalu apa maksudnya ia berkawan atau menjadi pembantu Hek-eng-cu, padahal ia pernah ditangkap dan disakiti oleh iblis berkerudung itu? Mungkinkah paman Wan It telah mencurigai Hek-eng-cu sebagai pembunuh keluarga Chin sehingga ia menyelidikinya dengan cara mendekati iblis itu? Tapi rasanya juga tidak mungkin pula kalau ia berbuat demikian. Sebab kalau paman Wan lt memang bermaksud menyelidiki keterlibatan Hek-eng-cu dalam masalah pembunuhan keluargaku, tak mungkin rasanya sampai memakan waktu yang sedemikian lamanya. Dua atau tiga bulan rasanya sudah cukup, tidak perlu sampai berbulan-bulan atau setahun lebih seperti sekarang ini. Ah, jangan jangan...jangan-jangan paman Wan It...paman Wan It..."

   Pemuda itu tak berani meneruskan dugaannnya. Rasanya sungguh ngeri kalau membayangkan bekas tangan kanan ayahnya itu berkhianat terhadap keluarganya.

   "Hatiku benar-benar penasaran sekali. Aku harus menyelidikinya sampai jelas." Setelah memperoleh keputusan apa yang seharusnya ia Iakukan pemuda itu lalu menghela napas lega kembali. Matanya melirik sekilas ke belakang, melihat kalau-kalau dua orang itu telah selesai dengan makan siangnya. Tapi betapa terperanjatnya dia! Dua orang itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Meja itu sudah bersih. Tempat itu telah diduduki orang Iain lagi sekarang, yaitu seorang kakek tua yang membawa-bawa sepasang tongkat penyangga tubuh, yang kini disandarkan pada kursinya. Dan kakek itu tampak sedang menatap Chin Yang Kun pula dengan tajamnya!

   "Ah!" Chin Yang Kun berdesah, lalu bangkit dengan tergesa-gesa untuk memanggil pelayan.

   "Sabarlah, anak muda...! Kenapa kau lantas terburu-buru pergi? Marilah kita bercakap-cakap sebentar! Aku ingin bertanya sepatah dua patah kepadamu..." tiba-tiba telinga Chin Yang Kun berdengung perlahan tapi jelas sekali. Dan ketika pemuda itu menoleh, dilihatnya kakek tua itu masih tetap mengawasinya. Bibirnya yang berkeriput itu tampak bergerak-gerak, tetapi tak sebuah suarapun yang terdengar keluar.

   "Kakek ini sengaja berbicara dengan aku memakai Ilmu Coan im-jib bit. Apa maksudnya? Baiklah kululuskan saja permintaannya barang sebentar...setelah itu aku akan mengikuti orang yang hendak menemui paman Wan It itu. Biarlah, terlambat satu dua hari ke Sin-yang tidak apa. Toh semuanya juga untuk menyelidiki persoalan keluargaku pula..." Oleh karena itu Chin Yang Kun lantas mengangguk, kemudian kakinya segera melangkah menghampiri kakek tersebut,

   "Apakah Lo-Cianpwe memanggil saya?" tanyanya pelan seraya menarik kursi yang tersedia di meja kakek itu. Dan tanpa sengaja pemuda itu melirik ke bawah sehingga kedua buah kaki kakek yang lumpuh itu terlihat jelas olehnya. Kakek itu meringis sambil memutar-mutarkan biji matanya ke atas dan ke bawah seperti orang yang tak waras. Setelah berhenti, mata yang kocak itu lalu menatap Chin Yang Kun dengan tajamnya. Dan mata itu menatap terus hampir tak pernah berkedip seolah-olah mata kucing yang sedang mengincar korbannya. Tentu saja Chin Yang Kun menjadi risih dan hilang kesabarannya.

   "Kakek, apakah yang kau kehendaki sebenarnya? Katakanlah cepat atau...aku akan pergi dari tempat ini! Aku harus lekas-lekas mengejar dua orang lelaki yang duduk di sini tadi..." bisiknya sedikit keras.

   "Ahh!" kakek itu tergagap seperti orang yang baru dibangunkan dari tidurnya. Matanya kembali berputar-putar dengan kocaknya, sementara bibirnya terbuka lebar memperlihatkan mulutnya yang ompong tak bergigi sama sekali.

   "Ah-uh, kau maafkanlah aku...anak muda! Begitu asyiknya aku menaksir-naksir dirimu, sehingga aku sampai melupakan segalanya..."

   "Menaksir-naksir diriku? Apa maksudmu?" Chin Yang Kun bertanya bingung.

   "Begini, anak muda! Kulihat usiamu masih sangat muda. Gerak-gerikmu juga amat halus...Tapi kata orang kau telah mengalahkan...Put-pat-siu Hong jin tadi pagi! Benarkah itu? Kalau benar, lalu...di manakah orang sinting yang telah kau kalahkan itu sekarang?" Chin Yang Kun mengerutkan keningnya. Matanya yang mencorong tajam itu balas menatap kakek tersebut dengan berani. Nada suaranya terdengar kaku ketika menjawab pertanyaan itu.

   "Hmm, aku tidak tahu ke mana orang sinting itu selanjutnya! Dia segera pergi begitu kalah bertaruh denganku. Nah...puas? Atau masih ada lagi pertanyaanmu yang lain? Kalau tidak...akulah yang akan ganti bertanya kepadamu. Dengarlah...! Siapakah kau ini sebenarnya? Mengapa kau menahan aku di sini?" Kakek itu menutupi mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar oleh orang di sekitar mereka.

   "Anak muda, kau bersabarlah...! Pertanyaanku belum habis. Coba katakan! Apakah orang sinting itu tidak mengatakan apa-apa kepadamu ketika akan pergi? Maksudku, apakah dia tidak mengatakan kepadamu...mengapa dia terburu-buru pergi dari rumah penginapan itu?" Chin Yang Kun tertegun, matanya sedikit memerah.

   "Yang dikatakannya kepadaku? Ya, orang sinting itu memang ada mengatakan sesuatu kepadaku. Katanya dia sedang dikejar-kejar dan dicari-cari oleh gurunya. Nah, memangnya kenapa? Mengapa kau tanyakan itu kepadaku? Apakah kau kenal dengan gurunya?"

   "Tentu saja! Akulah...gurunya orang sinting itu!" Chin Yang Kun terbelalak.

   "Kau...eh, Lo-Cianpwe gurunya?"

   "Tidak salah! Akulah Put-chien-kang Cin-jin..."

   "Put-chien-kang Cin-jin?" tiba-tiba pemuda itu teringat lagi akan dugaannya tentang tokoh-tokoh bernama "PUT" itu. "Eh, apakah...Lo-Cianpwe ini tokoh dari Aliran Bingkauw?" Kakek itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan dia berdiri, lalu meletakkan sekeping uang tembaga di atas mejanya. Tangannya meraih tongkat yang tersandar pada meja, kemudian melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Dan sebelum kakinya yang lumpuh itu melangkah keluar pintu, dia menoleh.

   "Benar! Aku memang seorang tokoh dari Aliran Bing-kauw. Bekas ketuanya malah..." gumamnya dengan Ilmu Coan-im-jib-bit.

   "Ohhh...!" Chin Yang Kun yang sedianya mau mengejar itu terhenyak di atas kursinya dan dibiarkannya kakek tua itu lenyap di balik pintu. Chin Yang Kun lalu bergegas memanggil pelayan dan membayar makanannya. Kemudian tanpa menunggu uang kembaliannya lagi pemuda itu cepat-cepat keluar. Digapainya anak kecil yang tadi ia serahi tugas mengurus kudanya.

   "Tuan muda sudah selesai makan?" anak itu bertanya.

   "Ya! Aku akan berangkat sekarang...eh, adik kecil...apakah kau tadi melihat dua orang lelaki berpakaian ringkas dan bersenjata pedang yang keluar dari rumah makan itu?"

   "Dua orang lelaki berpakaian ringkas?" anak itu berpikir. "Maksud tuan muda...dua orang Ielaki berkuda yang berpisah ketika tiba di jalan raya itu?"

   "Ya...ya! Kemana mereka?" Anak kecil itu menunduk sebentar sambil memegang dahinya.

   "Oh, ya...aku ingat sekarang...Orang yang lebih tua mengendarai kudanya ke pintu gerbang kota sebelah timur, sedangkan orang yang lebih muda kalau tidak salah terus memacu kudanya ke selatan."

   "Terima kasih! Nah, sekarang kau bawalah kemari kudaku itu! Aku akan segera berangkat..."

   "Baik tuan muda." anak kecil itu mengangguk, lalu berlari ke belakang mengambil kuda Chin Yang Kun. Kuda yang kini sudah bersih dan tampak segar itu dituntunnya ke depan. Kendali dan pelananya sudah terpasang pula dengan rapi.

   "Nih, ambillah lagi untuk membeli makan dan minummu nanti!" Chin Yang Kun melemparkan sekeping uang perak kepada anak kecil itu, Ialu meloncat ke punggung Cahaya Biru.

   "Terima kasih, tuan muda..." anak kecil itu menangkap uang tersebut dengan wajah gembira. Chin Yang Kun lalu memacu kudanya ke pintu kota sebeIah timur. Dari sana pemuda itu lalu memacu kudanya kembali melalui jalan yang keras dan berdebu. Panas matahari yang menyengat punggung tidak dirasakannya. Kuda itu terus dipacunya melewati sawah, ladang dan lereng-lereng bukit yang gersang. Cahaya Biru berderap terus tanpa mengenal lelah. Kuda itu hanya mengendurkan langkahnya bila memasuki perkampungan penduduk. Meskipun demikian orang yang dikejarnya itu belum tampak juga batang hidungnya.

   "Gila! Kenapa orang itu belum kelihatan juga? Masakan kuda yang ditungganginya juga kuda pilihan yang dapat berlari cepat seperti angin?" Chin Yang Kun bersungut-sungut di dalam hati.

   Jilid 33
Chin Yang Kun berpacu terus. Semakin dekat dengan kota Sin-yang semakin sering pula mereka melewati perkampungan penduduk. Meskipun demikian orang yang mereka kejar itu tetap tidak mereka ketemukan juga. Sementara itu hari telah menjadi sore. Matahari telah hampir mencapai cakrawala barat, sehingga sinarnyapun menjadi semakin redup. Tetapi keredupan ini justru membuat suasana menjadi segar dan nyaman. Angin timur yang membawa air itu bertiup lembut, menghalau udara sore yang sudah tidak begitu panas lagi. Tapi udara yang sejuk dan nyaman itu ternyata tidak dapat mengobati hati Chin Yang Kun yang penasaran. Pemuda itu tetap saja merasa jengkel karena tak bisa menemukan
buruannya.

   "Baiklah, agaknya aku memang takkan bisa menemukan orang itu. Lebih baik aku pergi saja sekarang ke Sin-yang meneruskan rencanaku semula, menemui Thio Lung di Gedung Kim-liong Piauw-kiok," akhirnya pemuda itu mengambil keputusan.

   Demikianlah, Chin Yang Kun Ialu memacu kudanya kembali. Semakin dekat dengan kota Sin-yang, tanah ladang dan persawahan semakin berkurang jumlahnya. Di kanan kiri jalan yang dilaluinya sekarang mulai banyak didirikan bangunan dan perkampungan penduduk. Dan makin dekat dengan Sin-yang, bangunan dan perkampungan itu semakin tumbuh rapat. Tiba-tiba pemuda itu menarik tali kendali kudanya. Sekejap pemuda itu berdebar-debar hatinya ketika mendadak dilihatnya sebuah iring-iringan gerobag berjalan perlahan di depannya. Iring-iringan itu terdiri dari lima buah gerobag besar, yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kudan beban yang kuat-kuat. Beberapa orang penunggang kuda tampak berjaga-jaga di depan dan di belakang barisan.

   "Kim-liong Piauw-kiok..." Chin Yang Kun bergumam perlahan ketika dilihatnya sebuah bendera besar bersulamkan gambar naga di tengah tengahnya.

   "Sungguh kebetulan sekali aku bersua dengan mereka disini. Aku tak usah bersusah-susah mencari mereka di Sin-yang nanti..." Dengan hati gembira Chin Yang Kun memacu kudanya mengejar iring-iringan gerobag tersebut. Di dalam hati pemuda itu sudah merencanakan, bagaimana dia akan menegur orang-orang itu nanti. Siapa tahu diantara mereka ada yang telah mengenal dirinya.

   Tapi kegembiraan itu segera musnah ketika Chin Yang Kun melihat kain-kain putih yang melilit di kepala mereka. Orang-orang itu sedang berkabung! Wajah mereka tampak sedih, pucat dan lelah! Chin Yang Kun cepat menahan kendali kudanya. Tapi karena jarak mereka sudah dekat dan suara kaki Cahaya Biru sangat nyaring, maka kedatangan pemuda itu segera didengar oleh orang-orang Kim-liong Piauw-kiok tersebut. Dengan tangkas dan sigap orang-orang itu menoleh dan bersiap-siaga. Terpaksa Chin Yang Kun tak dapat menghindarkan diri lagi. Dengan perasaan tegang pemuda itu mengendarai kudanya melewati mereka. Mulut yang sedianya mau menyapa tadi mendadak bungkam, sebab diantara orang-orang itu ternyata tak seorangpun yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang sedang berkabung itu menatap dirinya dengan pandangan asing dan curiga.

   Angin bertiup sedikit kencang dan tiba-tiba Chin Yang Kun mencium bau yang tidak sedap. Pemuda itu menjadi curiga. Diliriknya gerobag-gerobag yang ditutup rapat dengan kain tebal itu. Apakah gerangan isi gerobag itu sebenarnya? Chin Yang Kun menjadi bimbang, apa yang sebaiknya harus ia lakukan! Menyapa mereka dan mengatakan maksudnya untuk menemui Thio Lung, sehingga mereka bisa berjalan bersama-sama ke kota Sin-yang? Ataukah lebih baik ia diam saja meninggalkan mereka dan langsung menemui Thio Lung disana? Pemuda itu tidak dapat segera mengambil keputusan. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang bergemuruh di kejauhan. Semuanya terperanjat, tak terkecuali Chin Yang Kun! Untuk sesaat mereka melupakan kecurigaan masing masing, karena seluruh perhatian mereka sedang tertuju kepada suara gemuruh tersebut.

   "Suara apa itu...?" salah seorang dari anggota Kim-liong Piauw-kiok itu bertanya kepada temannya.

   "Tampaknya seperti suara barisan berkuda berjumlah besar. Hah!! Lihatlah itu...! Debu di depan itu!" Semuanya berdiri di atas punggung kuda masing-masing.

   "Oh...pasukan kerajaan kiranya!" orang-orang Kim-liong Piauw-kiok itu bernapas lega begitu melihat bendera dan panji-panji yang dibawa oleh barisan itu.

   "Ya! Hampir terbang semangatku! Kukira kaum perusuh itu..." yang lain mengangguk sambil menyeka keringatnya. Tanpa terasa semuanya mempercepat langkah kaki kuda mereka, sehingga roda-roda gerobag itu berdentangan pula semakin riuh. Chin Yang Kun dan kudanya ikut terseret pula dalam iring-iringan mereka.

   "Hei...pasukan itu ternyata tidak sedang menuju ke arah kita!" anggota Kim-liong Piauw-kiok yang berada di depan sendiri berteriak memberi tahu kawan-kawannya yang berada di antara iring-iringan gerobag itu.

   "Apa...?" orang yang berada di belakang iring-iringan itu berseru menegaskan.

   "Mereka tidak melintasi jalan ini! Mereka cuma memotong jalan ini menuju ke bukit-bukit itu!" orang yang di depan itu berteriak lagi seraya menuding ke arah perbukitan di sebelah utara.

   "Yaa...tampaknya pasukan itu sedang mencari tempat berkumpulnya gerombolan-gerombolan perusuh itu. Kata orang Baginda Kaisar secara diam-diam telah mengerahkan tentaranya untuk menggempur tempat-tempat pemusatan mereka di seluruh negeri," yang lain memberi keterangan pula.

   "Hei! Mengapa bendera Hong-thian-liong-cu (Burung Hong Langit Mustika Naga) itu ada diantara panji-panji mereka?" dengan kaget salah seorang diantara orang Kim-liong Piauw kiok itu berseru.

   "Apa? Bendera Hong-thian-liong-cu? Hei...benar juga penglihatanmu! Itu memang bendera Hong-thian-liongcu...Panji KeKaisaran! Apakah Baginda berada diantara mereka?"

   Chin Yang Kun mengernyitkan alis matanya. Dilihatnya diantara bendera-bendera dan panji-panji itu memang ada sebuah panji besar berwarna merah bergambarkan seekor burung Hong dan naga sedang bercengkeraman. Dan menurut apa yang telah didengarnya, panji tersebut memang bendera pertanda keKaisaran Tiongkok. Barisan itu berderap seperti tiada habis-habisnya. Selain pasukan berkuda, di dalam barisan itu ternyata ada pula pasukan panah dan perbekalan. Mereka berjejal di atas pedati-pedati yang mereka bawa, bercampur dengan makanan dan perbekalan yang mereka angkut. Dan di ekor barisan tampak gerobag-gerobag pengangkut peralatan perang, seperti jaring, alat-alat perangkap, senjata dan alat pelempar batu dan api.

   "Wah, biarpun bukan sebuah laskar yang besar, tetapi kekuatan itu benar-benar merupakan pasukan penggempur yang komplit," terdengar salah seorang anggota Kim-liong Piauw-kiok itu berkata.

   "Dan tampaknya dipimpin oleh Baginda Kaisar..." yang lain menambahkan.

   Begitulah, pasukan yang kurang lebih berjumlah lima ratus orang perajurit lengkap itu memotong jalan di depan mereka, menuju ke perbukitan yang memanjang di sebelah utara jalan. Yaitu sebuah perbukitan yang mempunyai banyak lembah lembah subur. Dan derap langkah pasukan itu meninggalkan kepulan debu yang bergulung-gulung tinggi di udara. Beberapa saat lamanya Chin Yang Kun dan orang-orang Kim-liong Piauw-kiok itu tetap berdiam diri saja di tempat masing-masing, menanti hilangnya atau habisnya kepulan debu yang menggelapkan jalan di depan mereka. Dan sambil menanti itu tanpa sadar mereka saling berpandangan lagi. Dan Chin Yang Kun kembali bimbang dan ragu-ragu pula.

   "Keteprak...! Keteprak...! Keteprak...!" tiba-tiba mereka dikejutkan lagi dengan suara derap kaki kuda yang datang ke arah mereka. Dan sebelum semuanya bisa menduga siapa yang telah datang, dari balik kepulan debu muncul bayangan lima orang penunggang kuda berpacu ke arah mereka. Saking kencangnya lima orang berkuda itu hampir saja menabrak iring-iringan gerobag mereka. Untunglah orang orang Kim-liong Piauw-kiok itu sudah berwaspada sebelumnya. Dengan tangkas mereka mengelak dan menyabetkan cambuknya.

   "Taar! Taar! Taaaaar!" ujung cambuk mereka menyengat kuda-kuda yang hampir melanggar mereka itu. Kontan saja kuda-kuda yang terkena sabetan itu melonjak tinggi ke atas, seolah mau melemparkan penunggangnya ke udara.

   "Kurang ajar! Siapa berani mengganggu jalannya kuda-kuda kami?" salah seorang dari lima penunggang kuda itu menjerit marah. Tubuhnya yang terlempar ke atas itu berjumpalitan di udara dengan manisnya, lalu mendarat di atas tanah tidak jauh dari penyerangnya!

   "Kalianlah yang tidak punya mata...!" orang Kim-liong Piauw-kiok yang baru saja mengayunkan cambuknya itu memaki pula tidak kalah berangnya.

   "Bangsat! kalian...hei! sute, kau...?" Penunggang kuda yang marah-marah itu tiba-tiba berteriak kaget serentak mengenali siapa yang mencambuk kudanya tadi. Ternyata orang yang menghadang jalan dan mencambuk kudanya itu adalah adik seperguruannya sendiri. Yang lain-lainpun segera menjadi kaget pula. Ternyata mereka segolongan, sama-sama anggota Kim-liong Piauw-kiok juga. Maka beberapa saat kemudian merekapun lantas saling berpelukan dengan hangatnya. Tapi sekejap kemudian kegembiraan itu segera beralih menjadi tersendat-sendat lagi manakala mereka teringat akan keadaan mereka yang sedang dalam keadaan berkabung itu. Dan kesedihan mereka itu ternyata masih berlanjut dan...belum selesai!

   "Suheng, kenapa kau membawa kemari saudara-saudara kita ini? Apakah Thio suhu mengkhawatirkan keadaan kami sehingga kalian mengutus suheng kemari untuk menyongsong rombongan ini?" orang yang memimpin iring iringan gerobag itu bertanya kepada penunggang kuda yang baru tiba. Orang yang dipanggil suheng itu tiba-tiba merangkul lagi dengan sedihnya. Sesaat lamanya dia tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

   "Sute..." rintihnya. Tentu saja sikap itu membuat cemas dan gelisah orang orang yang membawa iring-iringan itu. Apalagi ketika mereka melihat saudara-saudara mereka yang baru datang itu tiba-tiba meruntuhkan air mata semuanya. Dan entah apa kabarnya, melihat keributan kecil itu Chin Yang Kun menjadi tertarik. Tanpa terasa pemuda itu ikut berhenti pula diantara mereka. Matanya hampir tak pernah berkedip memandang orang-orang itu.

   "Suheng, ada apa pula ini? Mengapa semuanya lantas menangis? Bukankah kita semua sudah menangis kemarin?" orang yang disebut sute itu menggoyang-goyangkan tubuh suhengnya. "Sudahlah! Suheng dan kawan-kawan jangan menangis lagi! Kita selesaikan dulu tugas kita. Jenazah para susiok itu telah kubawa pulang semua...lihatlah gerobag-gerobag itu! Marilah kita segera membawanya ke hadapan Thio Lung suhu!"

   "Sute, kau belum mengetahui semuanya..." orang yang dipanggil suheng itu meratap semakin sedih. "Ketahuilah! Thio...Thio suhu juga mati dibunuh orang!"

   "Huh...? apa...??" orang-orang yang membawa iring iringan gerobag itu menjerit kaget. Berita itu seperti petir di siang bolong.

   "Thio suhu dibunuh orang?"

   "Be-benar...! malam tadi..."

   "Lalu...siapa yang membunuhnya?" orang yang dipanggil suheng itu menatap sutenya dengan air mata berlinang.

   "Sute, kau jangan kaget...! kau pun pernah pula mendengar nama si pembunuh itu sebelumnya, karena namanya pernah kita sanjung-sanjung sebagai "dewa penolong" Kim-liong Piauw-kiok beberapa waktu yang lalu..."

   "Maksud suheng...yang membunuh Thio suhu itu adalah si pemuda aneh yang menolong Kim-liong Piauw-kiok ketika berhadapan dengan Tiat-tung Kai-pang di tempat para pengungsi dahulu itu?"

   "Tepat! Pemuda itulah pembunuhnya! Entah mengapa...pemuda itu tiba-tiba berbalik memusuhi Kim-liong Piauw-kiok dan...membunuh suhu Thio Lung malam tadi!"

   "Ah, benarkah itu? Tapi Tuan Hua dan pembantunya itu bilang..."

   "Eh, benar! Dimanakah Tuan Hua itu sekarang?" orang yang disebut suheng itu cepat-cepat memotong perkataan sutenya yang menyebut-nyebut nama Tuan Hua. Orang yang memimpin iring-iringan gerobag itu menghela napas sedih.

   "Luka yang diderita oleh Tuan Hua itu benar benar sangat parah, sehingga ia tak dapat mengikuti rombongan gerobag pengambil jenazah ini. Dia dan pembantunya terpaksa kutinggalkan di Ko-tien untuk berobat dulu...eh! Suheng, benarkah kata-katamu tadi? Benarkah pemuda yang menolong kita itu yang membunuh Thio suhu? Apakah suheng tidak salah?"

   "Apa katamu? kau kira aku membohongimu? sute, kenapa kau ini...!" orang yang disebut suheng itu melangkah mundur dengan mata terbelalak.

   "Ah, suheng! kau jangan terburu-buru marah dulu! Aku tidak bermaksud demikian," adik seperguruannya cepat-cepat berkata.

   "Lalu...mengapa kau berkata begitu tadi?"

   "Ahh...!" Adik seperguruannya berdesah. Wajahnya tampak kebingungan dan serba salah. Berkali-kali kepalanya menoleh ke belakang ke arah para pembantunya.

   "Wah, pusing aku...!" akhirnya ia berkata. "Suheng, sebenarnya keterangan siapa yang benar dalam masalah ini? Keterangan yang suheng berikan tadi atau...atau keterangan yang diberikan oleh Tuan Hua?"

   "Maksudmu?"

   "Suheng tadi mengatakan bahwa orang yang membunuh Thio suhu itu adalah pemuda yang dulu pernah menolong kita. Tapi...Tuan Hua tadi pagi juga berkata kepadaku bahwa orang yang telah menolong dia menghadapi para perampok kemarin siang juga pemuda itu pula. Eh, bagaimana ini...? jarak antara Poh-yang dan Sin-yang yang luar biasa jauhnya, tak mungkin ditempuh hanya dalam beberapa jam saja. Masakan pemuda itu sedemikian saktinya sehingga dia bisa "terbang" secepat burung walet? Maksudku, masakan hanya dalam beberapa jam saja setelah pemuda itu membantu Tuan Hua, dia sudah berada di Sin-yang untuk membunuh Thio suhu?"

   "Tidak! Apa yang dikatakan oleh Tuan Hua itu tentu salah! Dia pasti telah salah lihat kemarin..." orang yang disebut suheng itu berteriak keras sekali.

   "Suheng, kau..."

   "Sute, percayalah kepadaku. Apa yang kukatakan tadi adalah benar, karena orang yang melihat si pembunuh itu adalah Sucouw Kim-liong Lojin sendiri. Beliaulah yang memergoki pembunuh itu ketika keluar dari kamar Thio suhu..."

   "Sucouw Kim-liong Lojin? Bukankah Sucouw itu...?"

   "Sucouw itu sakit keras maksudmu?" orang yang dipanggil suheng itu memotong.

   "Benar! Sucouw memang masih selalu berbaring di tempat tidurnya. Tapi justru karena tidak pernah pergi kemana-mana itulah beliau dapat melihat keterangan si pembunuh itu. Sayang Sucouw sedang sakit parah..."

   "Jadi...jadi...?"

   "Nah, sute...kini kau lebih percaya kepadaku dari pada keterangan Tuan Hua itu bukan?"

   "Ohhh..." pemimpin iring-iringan gerobag yang dipanggil sute itu menundukkan kepalanya seraya menghela napas panjang. Dan orang yang disebut suheng itu segera menghampiri sutenya serta menepuk-nepuk bahunya.

   "Sute, marilah...! Kedatanganku ini memang atas perintah Sucouw untuk menolongmu membawa jenazah-jenazah itu pulang..." Sementara itu debu tebal yang menutupi jalan itu sudah hilang, sehingga semuanya bisa saling melihat wajah masing-masing dengan jelas. Dan orang yang disebut suheng itu tiba-tiba tertegun tatkala pandang matanya terbentur pada seraut wajah asing yang belum pernah dilihatnya. Wajah yang tampan namun bermata tajam mengerikan! Dan orang itu berada di atas punggung kuda tunggangannya yang tegar dan gagah di tepi jalan.

   "Sute! Siapakah dia...?" orang yang disebut suheng itu berbisik.

   "Siapa yang suheng maksudkan? Dia? Ohhhh...entahlah! Entahlah! Aku juga belum mengenalnya..." pemimpin rombongan gerobag pembawa jenazah itu menggelengkan kepalanya.

   "Tapi...kulihat dia disitu sejak tadi. Kukira ia memang ikut dalam rombonganmu ini."

   "Tidak! Orang itu baru saja muncul beberapa saat yang lalu. Semula aku juga mencurigainya karena matanya selalu mengawasi kami dan gerobag-gerobag itu."

   "Sute, kalau begitu bersiaplah! Aturlah semua anak buahmu! Kita harus berhati-hati terhadap orang ini. Meskipun demikian kita tak perlu merisaukannya. Yang penting kita harus menyelesaikan tugas kita dahulu. Marilah...!" demikianlah, orang-orang Kim-liong Piauw-kiok itu lalu bersiap-siap kembali untuk membawa gerobag-gerobag pembawa jenazah itu ke Sin-yang.

   Mereka berharap, sebelum matahari benar-benar tenggelam dan hari menjadi gelap, mereka telah memasuki kota Sin-yang. Segala sesuatupun akan lebih mudah diselesaikan disana dari pada di tempat lain. Nama Kim-liong Piauw-kiok merupakan jaminan yang tak tergoyahkan bagi setiap orang di kota besar itu. Sementara itu pemuda yang mereka percakapkan dan mereka curigai, yaitu Chin Yang Kun, tiba-tiba maju ke depan rombongan mereka dan melintangkan kudanya di tengah jalan! Wajah pemuda itu tampak kaku dan pucat, sementara tatapan matanya terasa dingin menyeramkan, sehingga penampilannya yang tiba-tiba di tengah jalan itu bagaikan malaikat elmaut yang mendirikan bulu roma di setiap hati anggota rombongan Kim-liong Piauw-kiok tersebut.

   "Dia...dia merintangi jalan yang akan kita lalui, suheng! Heran! Mengapa perbawanya demikian besarnya? Dia cuma sendirian, tapi...tapi kenapa hatiku menjadi ketakutan begini?" pemimpin iring iringan gerobag yang dipanggil sute itu berdesah kepada suhengnya.

   "Kau benar, sute...aku merasa seperti yang kau rasakan juga. Aku yang tidak pernah merasa takut selama hidupku ini tiba-tiba juga seperti seorang yang sedang dirayapi perasaan ngeri dan gelisah. Pemuda ini mempunyai perbawa yang luar biasa..."

   "A-apa yang...harus kita lakukan, suheng?"

   "Eng...entahlah!" matahari sudah tidak kelihatan lagi. Yang kini tertinggal hanyalah sisa-sisa sinarnya yang kemerah-merahan di langit sebelah barat. Suasana di jalan tersebut sudah tidak begitu terang lagi. Yang masih tampak jelas tinggallah pucuk pepohonan tinggi di sekitarnya.

   "Semuanya berhenti!" Chin Yang Kun menggertak. Suaranya terdengar nyaring dan bergema seolah-olah suara guruh yang menggelegar di atas awan.

   "Dengarlah...! Sucouw (kakek guru) kalian itulah yang telah salah mengenali pembunuh suhumu! Pemuda yang pernah menolong kalian itu tak pernah memusuhi Kim-liong Piauw-kiok, apa lagi sampai membunuh Thio Lung! Mengerti...?" belasan orang anggota Kim-liong Piauw-kiok itu terdiam tak berkutik. Semangat mereka seperti tiada lagi dalam tubuh mereka. Keberanian yang selama ini selalu menjadi ciri khas para anggota Kim-liong Piauw-kiok kini seolah-olah menjadi melempem. Seluruh jiwa dan semangat mereka menjadi
hancur tertindih perbawa Chin Yang Kun!

   "Dan...kau!" tiba-tiba pemuda itu menuding ke arah si pemimpin iring-iringan gerobag pembawa jenasah. "Apa yang dikatakan oleh Tuan Hua itu...Benar! Memang pemuda itulah yang membantu dia menghadapi para perampok di lereng bukit itu!"

   "Kau...kau, eh...bagaimana kau bisa memastikan hal itu?" orang yang dipanggil suheng itu akhirnya memperoleh keberaniannya kembali. "Dan...dan siapakah kau ini? Mengapa tiba-tiba ikut mencampuri urusan kami?"

   "Yaa...ya, siapakah tuan ini?" sutenya ikut mendesak. Chin Yang Kun menyibakkan rambut yang menutupi pipi dan pelipisnya. "Lihatlah baik-baik! Akulah pemuda itu!"

   "Hah?"

   "Ohh?!"

   "Eh...!??" Tiba-tiba belasan orang anggota Kim-liong Piauw-kiok itu mencabut senjata masing-masing. Mereka menyebar ke segala penjuru dengan perasaan was-was.

   "Apa yang hendak kalian lakukan? Mengeroyokku? Hmmm...jangan gegabah. Meskipun jumlah kalian banyak, tapi kalian masih tetap bukan lawanku. Masih ingat bentrokan antar kaum kalian melawan Tiat-tung Kai-pang di tempat para pengungsi itu? Hmm, tujuh orang susiok kalian yang lihai-lihai itu tak mampu melawan tiga orang pengemis Tiat-tung Kaipang. Coba, kalau aku tak tampil di arena itu dan membunuh tiga orang pengemis itu, apa jadinya nasib tujuh orang susiok kalian itu? Nah, sekarang pikirkanlah baik-baik! Apakah kepandaian kalian ini sudah lebih hebat dari tujuh orang susiok atau tiga orang pengemis itu?"

   "Tapi..." kedua orang suheng dan sute itu mencoba membela diri.

   "Tidak ada tetapi...! kalian harus percaya bahwa bukan aku pembunuhnya. Aku akan membuktikannya nanti." Chin Yang Kun memotong dengan suara tegas.

   "Bagaimana tuan membuktikannya...?" suheng dan sute itu masih belum percaya juga.

   "Dan kalau memang bukan tuan, lalu siapakah...pembunuhnya?"

   "Bodoh! Kalau aku kalian pertemukan dengan Tuan Hua atau Sucouw kalian itu, bukankah semuanya akan menjadi beres? Masakan mereka tidak bisa menimbang dan membedakan antara aku dan si pembunuh itu? Dan...tentang pembunuh itu, aku tidak tahu-menahu! Itu urusan kalian sendiri! Aku tidak mau mencampurinya."

   "Baik! Kalau begitu tuan kami undang ke gedung kami. Tuan akan kami pertemukan dengan Sucouw Kim-liong Lojin," orang yang dipanggil suheng itu menyetujui pendapat Chin Yang Kun. Chin Yang Kun menghela napas, laIu membalikkan kudanya dan melangkah mendahului rombongan itu. "Aku akan berangkat lebih dahulu. Aku akan menanti kalian di sana."

   "Eh, bagaimana kami menghubungi tuan nanti?"

   "Jangan terlalu repot! Akulah yang akan menghubungi kalian nanti. Bukan kalian!" Chin Yang Kun berseru sambil melarikan kudanya. Demikianlah, dengan perasaan dongkol dan geram Chin Yang Kun memaCu-si Cahaya Biru ke kota Sin-yang.

   "Kurang ajar...aku telah kehilangan jejak! Orang yang kucari-cari dan ingin kudengar keterangannya telah mati dibunuh orang. Dan kau justru didakwa sebagai pembunuhnya, sungguh penasaran!"

   Hari semakin gelap dan semuanya tampak remang-remang. Bulan belum muncul, sementara bintang-bintangnya juga baru beberapa buah saja yang kelihatan. Namun demikian si Cahaya Biru tetap saja berderap dengan kencangnya. Kuda jantan yang berwarna hitam legam itu menerobos kegelapan tanpa kesukaran. Sepasang matanya yang terlatih itu menembus kepekatan malam seperti mata kucing dalam kegelapan. Beberapa saat kemudian kota Sin-yangpun telah kelihatan di depan mereka. Kota besar yang dilingkari parit dan tembok tinggi yang tampak kehitam-hitaman dari kejauhan, sepintas lalu seperti raksasa tidur dalam kegelapan. Satu-satunya petunjuk atau tanda bahwa tempat itu adalah kota yang dihuni manusia hanyalah sinar-sinar lampunya yang gemerlapan di balik tembok tinggi berwarna hitam tersebut.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lihatlah, Cahaya Biru! Kita telah sampai di Sin-yang. Sebentar lagi kita akan mencari penginapan yang baik dan kau boleh beristirahat lagi sepuas-puasmu." Chin Yang Kun mengelus-elus rambut kudanya yang berkibaran tertiup angin.

   Kuda itu meringkik, lalu melesat ke depan lebih cepat lagi, seakan-akan ikut bergembira dan ingin lekas-lekas pula sampai di sana. Pintu gerbang kota itu masih terbuka lebar dan jembatan gantungnyapun masih terpasang di atas paritnya yang lebar. Masih banyak orang yang hilir mudik melewati jembatan tersebut sehingga kedatangan Chin Yang Kun diantara orang orang itu benar-benar tidak menarik perhatian sama sekali. Banyak juga diantara orang itu yang naik kuda, keledai atau pedati yang ditarik kuda beban. Di dalam tembok suasana sungguh ramai dan meriah. Sinyang memang sebuah kota yang amat besar. Penduduknyapun sangat banyak, berjejal di dalam kampung kampungnya yang rapat. Maka tak heran kalau kehidupan kota itu setiap harinya amat sibuk dan hiruk-pikuk luar biasa.

   Toko-toko, warung-warung buka di jalan-jalan setiap saat selalu ramai dengan orang. Apalagi di jalan besar, para penjaja makanan dan minuman, penjual obat dan pedagang pedagang lainnya selalu ribut bersaing menawarkan dagangan mereka. Chin Yang Kun mengendarai kudanya perlahan-lahan.

   Sambil menikmati kehidupan malam yang riuh dan semarak itu ia akan mencari sebuah rumah penginapan yang baik dan bersih. Malahan kalau bisa ia akan mencari yang mewah, agar istirahatnya nanti dapat lebih nikmat dan tidak terganggu. Soal uang ia tidak perlu khawatir, uang pemberian LiuTwakonya itu masih lebih dari cukup untuk membeli hotel dan seluruh isinya. Pemuda itu tidak menjadi heran tatkala beberapa kali harus berpapasan dengan perajurit kerajaan yang bersenjata lengkap.

   Sebagaimana layaknya sebuah kota besar kota itu tentu juga diperlengkapi dan dijaga oleh pasukan kerajaan yang cukup besar pula, sehingga kehadiran perajurit-perajurit itu di jalan tidak perlu diherankan lagi. Tapi ketika pemuda itu melihat kereta-kereta perang dan persenjataan-persenjataannya yang lengkap diparkir di depan sebuah penginapan besar dan mewah, hatinya menjadi terkejut juga. Keadaan itu benar-benar aneh. Tak biasanya alat-alat perang seperti itu ditaruh di depan rumah penginapan. Lain halnya kalau alat-alat itu ditaruh di tangsi atau barak-barak para perajurit! Apalagi ketika pemuda itu melihat puluhan atau belasan orang perajurit memenuhi ruangan depan rumah penginapan itu, hatinya semakin bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi di dalam rumah penginapan mewah itu?

   Saking tertariknya, tanpa terasa Chin Yang Kun membawa kudanya berbelok ke tempat itu. Dan ketika pemuda itu menyadari apa yang telah dilakukannya, ia sudah terlanjur memasuki halaman rumah penginapan tersebut, sehingga ia tak enak hati untuk berbalik keluar lagi tanpa alasan. Apalagi ketika dilihatnya beberapa orang perajurit berkuda juga ikut pula memasuki halaman itu, rasa sungkan itu menjadi semakin besar. Maka untuk menghilangkan rasa canggungnya pemuda itu lalu berpura-pura sebagai pelancong biasa yang tak tahu apa-apa. Dengan tenang ia menuju tempat penambatan kuda untuk menitipkan kudanya. Tapi baru beberapa langkah kudanya berjalan, empat atau lima orang perajurit pengawal yang berjaga-jaga di halaman itu telah mencegatnya. Dengan sopan namun tegas para perajurit pengawal itu menyuruhnya turun.

   "Saudara mau kemana?" salah seorang dari para pengawal itu bertanya.

   "Ohh...? Ada apa ini?" Chin Yang Kun berpura-pura kaget.

   "Saya sedang mencari tempat penginapan. Mengapa tempat ini dijaga para perajurit...?"

   "Maaf, saudara...kau cari saja di tempat lain. Penginapan ini telah penuh, karena semua kamar telah kami sewa sejak kemarin." Pengawal itu menjawab sambil tersenyum sabar.

   "Sudah tuan sewa semuanya? Eh, mengapa begitu? Apakah asrama atau barak-barak perajurit yang ada di kota ini telah penuh sesak sehingga sudah tidak bisa memuat tuan-tuan lagi? Waduh, celaka...! Aku terus menginap dimana sekarang? Aku sudah terbiasa menginap di penginapan ini kalau singgah kemari sehingga aku tak mempunyai langganan yang lain. Ahhhhh...!" Chin Yang Kun berpura-pura bingung.

   "Ah, saudara tak usah merasa bingung. Kota ini adalah kota yang sangat besar, dimana-mana banyak penginapan. saudara bisa memilih salah satu diantaranya..."

   "Yaa...tapi tentu tidak akan sebaik rumah penginapan ini. Dan...suasananya serta pelayanannyapun tentu juga tidak sebagus suasana dan pelayanan di sini. Apalagi aku mempunyai kesenangan-kesenangan dan selera khusus yang telah dikenal baik oleh para pelayan di rumah penginapan ini. Aku tidak perlu meminta ini dan itu, atau harus memberi perintah ini dan itu kepada para pelayan, karena para pelayan di sini sudah mengenal baik semua adat kebiasaan saya. Oleh karena itu..."

   "Yaa...ya, kami tahu semua itu," perajurit pengawal itu cepat-cepat memotong perkataan Chin Yang Kun yang panjang lebar itu.

   "Tapi bagaimana lagi kalau tempat ini sudah terlanjur kami sewa semuanya? Masakan saudara mau mengusir kami yang datang lebih dahulu?"

   "Ah...tidak begitu maksudku. Masakan aku berani mengganggu para petugas negara? Yang hendak kuminta kepada tuan-tuan cuma pengertian dan sedikit belas kasihan, yaitu berikanlah padaku sebuah kamar saja untuk tidur malam ini. Biarlah yang paling kotor dan paling jelekpun tidak apa..." Chin Yang Kun yang semakin tergelitik hatinya untuk mengetahui rahasia para perajurit itu mencoba berbohong untuk mendapatkan tempat di penginapan itu.

   "Maaf, kami tetap tak bisa meluluskan permintaan saudara. Kami cuma pengawal-pengawal yang diberi tugas utuk menjaga tempat ini. Dan tugas yang diberikan kepada kami itu diantaranya ialah...menjaga jangan sampai orang luar memasuki rumah penginapan ini! Oleh karena itu kami terpaksa dengan berat hati mengusir saudara dari halaman ini...!" pengawal itu menjawab sedikit kaku. Tampaknya sikap Chin Yang Kun yang agak kepala batu itu mulai menjengkelkannya.

   "Kalau begitu tolong tuan katakan kepada pimpinan tuan, siapa tahu beliau mengijinkannya? Soalnya..." Chin Yang Kun tetap saja tak mau beranjak dari tempat itu. Dalam hati pemuda itu berharap semoga ada salah seorang pengawal atau anak buah Liu-Twakonya di tempat itu, sehingga suara ribut-ribut itu terdengar oleh mereka.

   "Maaf, saudara...! Sekali lagi kami minta kau meninggalkan tempat ini dengan segera! Kuharap kau jangan menyusahkan dan menjengkelkan hati kami!" perajurit itu akhirnya membentak karena sudah hilang kesabarannya.

   Perajurit-perajurit pengawal itu lalu menodongkan tombak tombak mereka ke arah Chin Yang Kun sehingga Si Cahaya Biru menjadi kaget dan melonjak-lonjak. Dan keributan itu segera dilihat oleh pengawal-pengawal yang lain. Mereka bergegas mendatangi tempat itu dan sebentar saja Chin Yang Kun telah dikepung oleh belasan orang perajurit. Tapi keributan itu juga telah menarik perhatian para perwira yang tadi berkuda di belakang Chin Yang Kun ketika memasuki halaman rumah penginapan tersebut. Para perwira itu cepat membelokkan kudanya ke tempat Chin Yang Kun dikepung.

   "Ada apa ribut-ribut di sini?" salah seorang perwira itu yang bertubuh tegap dan berkumis Iebat membentak. Kepungan itu segera menyibak untuk memberi jalan masuk perwira berkumis lebat itu. Dan perajurit pengawal yang mula-mula mencegat Chin Yang Kun tadi segera maju ke depan dengan tergopoh-gopoh menyongsongnya. Lalu dengan singkat namun jelas ia melaporkan semua kejadian yang telah terjadi di tempat itu. Perwira berkumis lebat itu lalu turun dari punggung kudanya. Diambilnya sebuah obor dari tangan perajurit di dekatnya, kemudian berjalan mendekati Chin Yang Kun.

   "Kau sia...eh, Tuan Yang Kun rupanya!" perwira berkumis lebat yang sudah siap untuk marah itu tiba-tiba terbelalak kaget.

   "Wah, maaf...maaf. Kami sungguh tidak tahu kalau tuan yang akan datang berkunjung kemari..." Katanya meminta maaf. Lalu dengan garang perwira itu membubarkan kepungan tersebut. Sesaat lamanya Chin Yang Kun hanya terIongong-longong bingung mengawasi lawannya. Baru beberapa saat yang lalu dia berharap agar supaya ia dapat bertemu dengan salah seorang pengawal atau anak buah Liu-Twakonya, tapi setelah harapan itu kini benar-benar terkabul ternyata dia telah melupakannya malah. Tampaknya perwira berkumis lebat itu tahu kalau Chin Yang Kun sudah lupa kepadanya.

   "Tuan, marilah kita masuk dulu ke dalam! Kami akan menyediakan sebuah kamar yang bagus kepada Tuan Yang, setelah itu kita dapat saling berbicara tentang diri kita masing-masing. Bagaimana...?" Chin Yang Kun tetap belum bisa mengingat nama perwira berkumis lebat itu. Tapi melihat kesungguhan orang itu, ia tak bisa berdiam diri terus menerus. Akhirnya ia mengangguk ketika perwira itu mempersilahkannya sekali lagi.

   "Baiklah...Terima kasih! Maaf, aku benar-benar sudah tak ingat lagi kepada tuan. Ehm...bolehkah aku mengetahui nama tuan?" sambil melangkah Chin Yang Kun bertanya kepada perwira tegap berkumis lebat tersebut. Sementara itu dengan cekatan seorang pengawal sudah mengambil si Cahaya Biru dan membawanya ke belakang.

   "Ahaa...baru kemarin kita berjumpa, Tuan Yang sudah lupa lagi. Eh, aku adalah pengawal Hong...Hong...uh, bukan. Aku adalah pengawal Tuan Liu...Liu-Ciangkun, yang kemarin berjumpa dengan tuan di jalan dekat kota Poh-yang itu." Perwira itu menjawab dengan gagap dan hampir saja dia melupakan pesan junjungannya, yaitu menyebutkan sebutan "Hongsiang" atau Baginda di depan Chin Yang Kun. Untunglah pemuda itu tidak bercuriga.

   "Ohh...jadi tuankah pengawal yang hampir saja marah karena aku telah menghentikan kereta Liu-Twako itu?" pemuda itu bertanya dengan suara gembira.

   "Benar! Setelah itu...setelah itu Tuan Liu, eh...Liu-Ciangkun bercerita tentang Tuan Yang. Dan beliau juga berpesan kepada kami semua agar menghormati tuan Yang seperti kami menghormati beliau sendiri."

   "Wah...Liu-Twako itu ada-ada saja." Chin Yang Kun pura pura tidak senang. Mereka melangkah naik ke atas pendapa, melewati beberapa orang penjaga yang berdiri tegak memegang tombak. Dan diatas pendapa itu terang benderang dengan lampu-lampu yang tergantung disana-sini, menerangi semua perabotan mewah yang diletakkan dan dipajang di dalam ruangan itu. Beberapa orang perwira berpakaian indah gemerlapan kelihatan sedang duduk-duduk disana, dilayani oleh pelayan-pelayan cantik berpakaian bersih menarik.

   belasan orang perajurit pengawal juga tampak berdiri dimana-mana. Mereka bersikap biasa dan santai, berjalan hilir mudik kian kemari, sambil kadangkala mengambil minuman dan makanan yang telah tersedia dan memakannya bersama para penjaga yang berdiri tegak di depan pintu tersebut. Meskipun begitu tampak benar bahwa mereka selalu waspada dan siap siaga menjaga segala kemungkinan. Sekejap Chin Yang Kun menjadi silau dengan sinar lampu yang tiba-tiba menimpanya. Dan tiba-tiba pula dia menjadi risih dan sungkan dengan keadaannya yang kotor dan berdebu itu. Apalagi ketika beberapa orang pelayan cantik cantik dan berpakaian bersih-bersih itu datang menyongsongnya! Rasa-rasanya kaki yang bersepatu kotor berlepotan lumpur itu menjadi berat untuk melangkah di atas lantai pendapa yang licin mengkilap seperti kaca.

   "Ohh...Siangkoan Ciangkun telah pulang. Selamat datang, Ciangkun! Mari, silahkan...!" pelayan-pelayan cantik itu menyapa dan memberi hormat kepada perwira kumis lebat yang datang bersama Chin Yang Kun itu. Lalu mereka tertawa cekikikan melihat tampang Chin Yang Kun yang merah padam dan kemalu-maluan itu. Mereka saling mencubit satu sama lain.

   "Hai, kalian mentertawakan siapa? Jangan kurang ajar! Ayoh, panggil teman-teman kalian yang lain! Siapkan sebuah kamar yang baik untuk tuan Yang ini! Awas, jangan sembrono...!" Siangkoan Ciangkun pura-pura membentak mereka.

   "Baik, Ciangkun!"

   "Baik, Ciangkun...! Akan kami laksanakan!"

   "Baik, Siangkoan Ciangkun...akan hamba kerjakan!" para pelayan itu menjawab seperti anak ayam yang menciap-ciap di hadapan induknya. Mereka saling berebut di depan untuk mendapatkan perhatian Siangkoan Ciangkun yang tegap dan gagah itu. Dan sebelum Chin Yang Kun menyadari keadaannya, pelayan-pelayan cantik itu telah menariknya ke ruangan yang lain.

   "Ciangkun! Ciangkun! Ini...ini...bagaimana ini?" Chin Yang Kun berteriak-teriak kebingungan. Pemuda itu meronta-ronta, tapi karena ia tak ingin melukai gadis-gadis itu maka diapun tak bisa melepaskan pegangan mereka pula. Malahan sebentar kemudian ada suatu perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar dari jari-jari halus dan lembut yang berpegangan pada tubuhnya tersebut. Dan makin lama perasaan aneh itu berkembang semakin mengasyikkan bagi Chin Yang Kun sehingga akhirnya pemuda itu menjadi keenakan dan tak mau meronta lagi! Gadis-gadis itu lalu menyiapkan air hangat dan pakaian bersih untuk Chin Yang Kun. Setelah itu mereka mempersilakan pemuda itu mandi.

   "Tuan Yang, silakan kau mandi dulu! Biarlah kami semua ke pendapa untuk menyiapkan makan malam."

   "Terima kasih...!" Dengan dada berdebar-debar pemuda itu mengawasi kepergian gadis-gadis cantik tersebut.

   "Ah, gila...! Kenapa aku ini? Mengapa watakku menjadi jorok dan mudah terangsang paras cantik sekarang? Heran aku...!" Pemuda itu lalu menghela napas sedih. Perlahan-lahan direbahkannya tubuhnya diatas pembaringan, kemudian dipandangnya langit-langit kamarnya yang berwarna kelabu tua itu. Warna sedih yang selama ini selalu merundung dirinya.

   Pemuda itu lalu memejamkan matanya. Bau harum yang keluar dari pembaringan itu membuat pikirannya lantas melayang jauh menyelusuri bayang-bayang hidupnya. Mula-mula terlintas di dalam pikiran pemuda itu nasib seluruh keluarga dan kerabatnya yang amat buruk. Satu persatu keluarga dan kerabatnya meninggal dunia dengan cara yang sangat menyedihkan. Mereka dibunuh dan dibantai oleh lawan yang tak pernah menampakkan dirinya, sehingga akhirnya tinggal dia sendirilah yang masih hidup di dunia ini. Pemuda itu menghela napas sekali lagi. Setelah itu berkelebat pula di dalam pikirannya bayangan-bayangan dendam kesumat yang dibawanya akibat peristiwa yang sangat menyedihkan itu.

   Dendam kesumat itu menuntun dirinya menjadi pemburu manusia yang sekiranya dapat ia curigai dan ia sangka sebagai pembunuh keluarganya. Berbagai macam cobaan dan pengalaman telah melanda dirinya, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang biasa sampai yang aneh-aneh, sehingga semua itu membuat dirinya menjadi seorang manusia aneh seperti keadaannya sekarang ini. Chin Yang Kun berdesah sedih seperti mau menyesali hidupnya yang kurang berbahagia itu. Bagaimana dia bisa berbahagia kalau kini hanya tinggal sebatangkara di dunia? Bagaimana dia bisa berbahagia kalau sanak keluarganya dibantai orang tanpa ia tahu siapa yang melakukannya? Bagaimana dia bisa berbahagia kalau dalam tubuhnya mengalir racun aneh yang sangat menyusahkan kehidupannya kelak?

   Dan...sekarang ada satu gejala lagi di dalam tubuhnya yang sangat mencemaskan hatinya. Beberapa hari terakhir ini nafsu berahinya terasa mudah sekali bergolak. Dan apabila sudah terlanjur bergolak, rasa-rasanya otak dan akal sehatnya sudah tidak bisa mengendalikannya lagi. Rasa-rasanya seperti ada suatu dorongan aneh di dalam tubuhnya sendiri yang sulit dijinakkan ataupun dielakkan. Dan dorongan nafsu iblis itu belum akan hilang kalau belum terlampiaskan! Chin Yang Kun lalu teringat akan pengalamannya bersama Tiau Li Ing. Kemudian pemuda itu teringat pula pengalamannya yang mengerikan dan menjijikkan bersama wanita muda isteri pemilik rumah penginapan itu. Wanita itu mati keracunan karena telah berhubungan dengannya!

   "Ohhh...!" Chin Yang Kun menutup mukanya dengan telapak tangannya. Batinnya benar-benar merasa terpukul oleh peristiwa itu. Ia sungguh menyesal bukan main. Kejadian itu benar-benar membuat dirinya merasa kotor dan berdosa!

   "Ada apa sebenarnya di dalam tubuhku ini? Mengapa selalu ada-ada saja cobaan yang harus kuterima? Semakin lama rasanya aku menjadi semakin asing terhadap diriku sendiri..." Chin Yang Kun meratapi nasibnya.

   "Tok! Tok! Tok!" Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk orang dari luar. Dan sebelum Chin Yang Kun bangkit untuk membukanya, dari luar sudah menerobos masuk pelayan-pelayan cantik tadi. Begitu masuk mereka langsung mengepungnya.

   
"Tuan Yang Kun sudah selesai mandi? Kalau sudah...hei!? mengapa tuan belum mandi juga?"

   "sebentar...ini...ini..." Chin Yang Kun mencoba menerangkan sambil tersenyum. Tapi gadis-gadis cantik itu ternyata sudah tidak sabar lagi. Sambil tertawa cekikikan mereka menyergap Chin Yang Kun dan...melucuti pakaiannya! Sedetik lamanya Chin Yang Kun melongo saking kagetnya. Serentak sadar ia langsung meronta sebisa-bisanya. Dipertahankannya habis-habisan selapis celana dalam yang masih tersisa!

   "Ini...ini...jangan! Ja-jangan...!" Teriaknya ketakutan. Gadis-gadis itu melangkah mundur dengan tertawa cekikikan.

   "Nah! Tuan Yang Kun ingin kami mandikan sekalian...atau mandi sendiri?" mereka bertanya dengan nada menggoda.

   "Aaaaa...tidak! Jangan! Aku akan mandi sendiri...!" Chin Yang Kun menjerit seraya berlari tunggang-langgang ke kamar mandi. Ditutupnya pintu kamar mandi itu keras-keras, sehingga gedung itu rasanya mau runtuh. Sekali lagi gadis-gadis itu tertawa gembira menyaksikan tingkah laku Chin Yang Kun yang konyol dan menggelikan itu.

   "Cepat sedikit Tuan Yang! kau telah dinantikan oleh Siangkoan Ciangkun di pendapa depan!" mereka berteriak dengan suara genit. Lalu dengan tertawa riang mereka kembali ke ruang depan. Sama sekali mereka tidak mengira atau menyadari bahwa perbuatan mereka tadi sungguh sangat berbahaya sekali. Hampir saja Chin Yang Kun tadi tidak bisa mengekang nafsu iblisnya yang mulai merambat naik ke otaknya. Sementara itu di dalam kamar mandi Chin Yang Kun langsung saja terjun ke dalam bak air dan membenamkan diri untuk beberapa saat lamanya. Dikibas-kibaskannya kepalanya di dalam air agar supaya menjadi dingin kembali.

   Setelah itu barulah ia keluar dari bak air itu dan mandi seperti biasanya. Dan beberapa waktu kemudian ketika gadis-gadis itu kembali lagi Chin Yang Kun telah siap berdandan. Sepatu dan celananya sudah berganti dengan yang baru, sementara rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan kain sutera kuning gemerlapan. Hanya baju pemberian Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu saja yang tidak berganti. Meskipun demikian karena baju tersebut juga masih baru, maka pemuda itu benar-benar tampak rapih dan tampan sekali. Sesaat lamanya gadis-gadis itu hanya berdiri saja mengawasi di depan pintu. Tampak benar bahwa mereka terkejut melihat Chin Yang Kun yang tampan itu. Kelihatannya mereka tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda desa yang dekil dan kotor itu ternyata demikian tampan dan menariknya!

   "Oh, Tuan Yang..." Mereka menyapa, dan kini mereka benar-benar tidak berani atau sungkan mengolok-olok lagi.

   Kini merekalah yang menjadi canggung dan salah tingkah! Tapi Chin Yang Kun tidak mempedulikan sikap mereka itu. Dengan tenang pemuda itu melangkah keluar menuju ke pendapa. Di tempat itu Siangkoan Ciangkun telah menunggu di pojok ruangan, menghadapi sebuah meja besar yang telah siap dengan segala macam masakan untuk makan malam. Beberapa orang perwira tampak berada di meja itu pula menemani Siangkoan Ciangkun. Bagaikan sedang menghadapi tamu besar saja Siangkoan Ciangkun dan para perwira itu berdiri menyambut kedatangan Chin Yang Kun. Akibatnya Chin Yang Kun menjadi malu dan sungkan ketika diperkenalkan kepada para perwira itu. Sikap para perwira yang sangat menghormat itu sungguh membuat pemuda itu menjadi kikuk dan tidak enak hati.

   "Tuan Yang, perkenalkanlah...! Tuan-tuan yang sekarang duduk bersama kita ini adalah para pembantu dekat Liu...Liu-Ciangkun! Atas perintah Hongsiang mereka membawa pasukan mereka masing-masing kemari untuk membantu LiuCiangkun..." perwira berkumis lebat itu berkat. Dan kepada para perwira itu Siangkoan Ciangkun juga berkata.

   "Dan...seperti yang telah saya katakan tadi, inilah Tuan Yang...saudara angkat Liu-Ciangkun." Mereka lalu saling memberi hormat. Dan sekali lagi sikap para perwira yang sangat menghormat dirinya itu membuat Chin Yang Kun menjadi sungkan sekali. Sementara di dalam hatinya Chin Yang Kun semakin heran sekaligus kagum terhadap Liu-Twakonya. Ternyata Liu-Twakonya itu sedemikian tinggi kedudukannya, sehingga perwira-perwira itupun cuma merupakan pembantu-pembantunya saja.

   

Darah Pendekar Eps 10 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12

Cari Blog Ini