Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 48


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 48




   "Brraaaaak!" Untuk sekejap pertempuran di sekitar kereta itu berhenti dengan mendadak! Terjunnya Chin Yang Kun dari atas, yang kemudian menyebabkan hancurnya kereta perang yang dipertahankan secara mati-matian oleh para perajurit itu sungguh sangat mengagetkan dan mengejutkan semua orang!

   Jilid 36
Tapi Chin Yang Kun sendiri ternyata juga tidak kalah kagetnya dibandingkan dengan orang-orang itu. Begitu atap kereta itu hancur tertimpa tubuhnya, sekilas pemuda itu melihat tubuh Liu-Twakonya terbujur kesakitan di dalam kereta tersebut!

   "Liu-Twako...!" pemuda itu menjerit keras sekali. Lalu seperti kilat cepatnya pemuda itu menyambar tubuh yang terbaring diam di dalam kereta tersebut. Dan hanya sekejap saja, selagi semua orang terpaku diam menyaksikan kejadian yang mendadak itu, Chin Yang Kun telah melesat tinggi ke udara, membawa tubuh Liu-Twakonya ke atas dinding, untuk mencapai tali yang tergantung itu. Barulah orang-orang itu, baik dari pasukan kerajaan maupun pasukan pemberontak, menjadi sadar kembali dari kekagetan mereka, ketika Chin Yang Kun telah mencapai tali yang tergantung dari atas itu.

   "Hai! Orang itu telah menculik Hongsiang...!"

   "Hongsiang diculik orang...!"

   "Lepaskan panahhh...!"

   "Hah! Jangan...! Nanti mengenai tubuh Hongsiang! Goblog!"

   "Bangsat! Kaisar itu lepas dari kepungan kita!" Tempat itu lalu menjadi riuh oleh teriakan dan umpatan. Para perajurit berteriak-teriak khawatir atas keselamatan Hongsiang, sementara para pemberontak mengumpat-umpat marah karena korban yang telah berada di depan mulut itu kini dirampas orang.

   Sementara itu Chin Yang Kun telah dapat menggapai talinya kembali. Dan selagi orang-orang yang berada di bawahnya itu masih kebingungan dan tak tahu apa yang mesti mereka lakukan, pemuda itu telah bergerak naik dengan cepatnya. Tali kecil dari urat kerbau itu bergetar hebat karena harus menahan beban berat dua orang sekaligus! Dan sesaat kemudian orang-orang yang berada di bawah tebing itu bertempur pula kembali dengan hebatnya ketika para perajurit kerajaan berusaha menghalang-halangi para pemberontak melepaskan anak panah mereka. Begitu dahsyatnya pertempuran mereka sehingga mereka tak ada waktu lagi untuk mengurus Chin Yang Kun. Dan kesempatan tersebut benar-benar dipergunakan oleh Chin Yang Kun. Dengan mengerahkan segala kemampuannya pemuda itu merangkak naik bagaikan seekor monyet yang menggendong anaknya.

   "Liu-Twako...bertahanlah! Kita akan selamat! Percayalah...!" Chin Yang Kun menghibur ketika terdengar suara desah kesakitan Liu-Twakonya.

   "Kau...kau kah itu, adik Yang?" Hongsiang mengerang.

   "Benar, Twako...! Adikmu datang menolongmu! Jangan khawatir, kita akan selamat! Mereka tak mungkin bisa mengejar kita...!"

   "Hahahaha...siapa bilang kalian akan selamat? Sekali kuputuskan tali ini, kalian berdua akan segera menghadap Giam-lo-ong (Raja Akhirat), hahahaha...!" Tiba-tiba tali tempat Chin Yang Kun dan Liu-Twakonya bergantung itu bergoyang-goyang dengan hebat! Dan ketika dengan perasaan kaget pemuda itu menengadahkan kepalanya, wajahnya menjadi pucat seketika! Di atas tebing, yaitu di tempat mana ia menambatkan tali itu, tampak berdiri beberapa orang lelaki dan seorang perempuan tua menantikan kedatangannya!

   "Gila...!" Chin Yang Kun mengumpat. Pemuda itu berusaha berpegangan atau mencengkeram dinding tebing, tapi tak bisa. Tali itu bergoyang dan berputar-putar dengan hebat sehingga otomatis Chin Yang Kun juga terayun dan berputar-putar pula dengan cepatnya.

   "Hayo, anak muda kau lepaskan tidak Kaisar busuk itu? Hahaha"! Lepaskanlah saja, nanti kami akan mempertimbangkan, apakah kau juga akan kami bunuh atau tidak, hahaha...!" terdengar lagi suara tawa orang yang berada di atas tebing itu.

   "Benar! Kami akan menghitung sampai Sepuluh! Pikirkanlah baik-baik! kau ingin mati bersama Kaisar busuk itu atau mau mendapatkan kesempatan untuk hidup?" yang Iain ikut mengancam pula.

   "Nah, kami akan mulai menghitung...! Satu!" terdengar suara wanita melanjutkan kata-kata itu. Peluh bercucuran di tubuh Chin Yang Kun dan kekhawatirannya semakin memuncak! Ada sedikit perasaan takut menyelinap ke dalam hati pemuda itu.

   Tapi bukan khawatir terhadap keselamatannya sendiri, melainkan khawatir terhadap keselamatan Liu-Twakonya! Selain itu, pemuda itu dibuat bingung dengan teriakan-teriakan atau ancaman-ancaman lawannya, tentang "Kaisar busuk" yang dibawanya. Beberapa kali orang yang berada di atas tebing itu selalu menyebut Liu-Twako sebagai...Kaisar Busuk! Apakah orang-orang itu telah salah melihat? Jangan-jangan orang-orang itu menyangka Liu-Twakonya sebagai Kaisar Han, karena Liu-Twakonya itu berada di kereta Hongsiang? Tiba-tiba pemuda itu seperti melihat secercah harapan di hadapannya. Bukankah orang-orang itu tampaknya hanya menginginkan jiwa Kaisar Han? Nah, kalau ia bisa menunjukkan kepada mereka, bahwa Liu-Twakonya itu sama sekali bukan Kaisar Han, bukankah ia dan Liu-Twakonya akan dilepaskan oleh mereka?

   "Hei...! Siapa yang berteriak-teriak tentang Kaisar Busuk? Jangan ngawur! Lihatlah baik-baik! Orang yang kugendong ini adalah Liu-Ciangkun, seorang perwira kepercayaan Kaisar Han! Dia bukan...Kaisar Han! Tahu?" Chin Yang Kun berseru kuat-kuat untuk meyakinkan orang-orang itu.

   "Hah...? Apa? Huuah-hah-hah-hahahaha...! Bocah goblog! Bocah sinting! kau mau mengelabuhi kami, yaa...? Hahahaha...tidak bisa! kau kira kami belum pernah mengenal dan melihat Kaisar Han atau Kaisar Busuk itu, hah? kau lah yang ngawur! Kami semua ini telah mengenal Kaisar Busuk itu seperti kami mengenal orang tua kami sendiri, hahahah...! Ayoh, cepat lepaskan!"

   "Benar! Kami tidak bisa kau tipu dengan akal bulusmu, anak muda! Nah...dua! Tiga"! Empat...,! Lima...!" suara wanita tadi menyahut pula, lalu meneruskan hitungannya.

   "Kurang ajar! kau...eh, kalian tidak percaya kepadaku? Kubunuh..." Chin Yang Kun berteriak marah-marah. Tapi tiba-tiba lengannya dicengkeram oleh Liu-Twakonya...!

   "Adik Yang...! kau tak perlu berteriak-teriak lagi! Mereka takkan bisa kau kelabuhi lagi! Mereka benar-benar telah mengenal aku..." Hongsiang berbisik perlahan di telinga Chin Yang Kun.

   "Liu-Twako, mereka ingin membunuh Kaisar Han! Bukan kau...!" Hongsiang mencengkeram lengan Chin Yang Kun lebih erat lagi dan mulutnya tersenyum pahit.

   "Adik Yang, maafkanlah aku...! Selama ini kakakmu telah membohongimu...Mereka memang benar. Aku adalah...Kaisar Han! Adik, maafkanlah...!"

   "Ohh!" Pukulan itu benar-benar mengejutkan Chin Yang Kun! Saking kagetnya hampir saja pegangan tangan pemuda itu lepas dari tali yang digantunginya.

   "Liu...Liu-Twako, mengapa kau berbuat itu? Padahal...padahal aku sudah terlanjur menyayangimu...menghormatimu, karena kau telah menolong jiwaku."

   "Itulah pula yang menjadi sebabnya, adikku. Entah mengapa akupun lantas merasa tertarik pula kepadamu, seolah-olah aku ini...bertemu dengan adik atau keluargaku sendiri. Itulah pula yang menyebabkan aku lalu berbohong kepadamu. Aku ingin bersahabat atau mengangkat saudara denganmu. Dan hal itu hanya dapat aku lakukan dengan wajar bila kau tahu bahwa aku bukan seorang raja atau Kaisar..."

   "Twako..." Sementara itu wanita tua yang berada di atas tebing itu telah menghitung sampai hitungan ke Sepuluh!

   "Anak bandel! Kalian tampaknya memang ingin mati bersama. Baik. Silahkan...!" terdengar suara keras dan kasar dari lelaki yang pertama tadi. Tiba-tiba tali tersebut putus! Otomatis tubuh Chin Yang Kun dan Kaisar Han tersentak jatuh ke bawah.

   "Adik Yang, ternyata kita berdua akan mati bersama...!" sambil berteriak Kaisar Han merangkul Chin Yang Kun lebih erat.

   "Tidaaaak...! Aku belum mau mati!" pemuda itu menjerit. Mendadak dengan kekuatan penuh, kedua tangan Chin Yang Kun mencengkeram ke arah dinding tebing! Dalam keputus-asaannya, tenaga sakti Liong-cu I-kang pemuda itu ternyata menjadi berlipat ganda besarnya!

   "Krrrrrrr...!" Secara tiba-tiba kedua lengan pemuda itu bertambah panjang dua atau tiga kali lipat panjangnya, sehingga jari-jarinya dapat mencapai dinding tebing dengan kerasnya!

   "Crrrept! Crept!" Dinding batu yang keras bukan kepalang itu ternyata dengan mudah dicengkeram oleh jari-jari tangan Chin Yang Kun! Begitu mudahnya seolah-olah dinding batu itu Cuma terbuat dari tepung atau agar-agar saja! Dan jari-jari itu kemudian mencengkeram dengan kuatnya untuk menahan agar tubuh itu tidak terus meluncur ke dalam jurang! Sekejap kedua lengan Chin Yang Kun, yang menahan beban berat itu, memanjang lagi seperti karet, lalu setelah daya luncur itu habis, secara pelan-pelan kemudian kembali lagi ke ukuran semula. Dan...pemuda itu bersama Liu-Twakonya, selamat dari kehancuran di dasar jurang. Dan semua yang dilakukan oleh pemuda itu diikuti dengan mata terbelalak oleh Kaisar Han!

   "Sungguh mentakjubkan! Adik Yang...apa yang telah kau kerjakan tadi?" Kaisar Han berseru hampir tak percaya. Saking kagum dan takjubnya, Kaisar itu sampai melupakan rasa takut yang mencekam hatinya ketika terjatuh tadi. Tapi Chin Yang Kun tidak menjawab pertanyaan Kaisar Han tersebut. Dengan cekatan pemuda itu justru mengambil tali yang masih membelit tubuhnya. Dan hanya dengan satu tangan bergantung di dinding tebing pemuda itu mengikat tubuh Kaisar Han.

   "Twako, maaf...kau terpaksa kuikat dulu pada lubang yang kubuat ini. Nanti setelah aku membereskan orang-orang yang berada di atas itu, akan menarikmu ke atas tebing." pemuda itu berkata kepada Kaisar Han atau Liu-Twakonya. Kaisar Han mengangguk-anggukkan kepalanya serta menatap Chin Yang Kun dengan sinar mata penuh kepercayaan.

   "Baik, adik Yang...kau berhati-hatilah! Terutama kau harus berhati-hati dengan wanita tua itu. Dialah yang pertama kali melukai aku. Yang lain tidak perlu kau khawatirkan. Mereka cuma kepala-kepala suku liar yang hanya mengandalkan otot belaka. Diantara mereka cuma satu yang harus sedikit kau awasi, yaitu lelaki yang berteriak dengan suara kasar tadi. Dia mahir pukulan beracun!"

   Chin Yang Kun mendengarkan pesan itu sambil menyelesaikan ikatan Hongsiang sebaik-baiknya, agar supaya tidak terjatuh atau merasa sakit bila terlalu lama ia tinggalkan nanti. Setelah itu Chin Yang Kun menggerakkan segala kemampuannya kembali untuk merayap ke atas tebing. Jari jarinya yang penuh tenaga sakti Liong-cu I-kang itu melubangi dinding batu bagaikan melobangi tanah yang lunak saja, sehingga beberapa saat kemudian dia telah berada di bibir tebing tanpa kesuIitan. Dan kemunculan Chin Yang Kun yang tak terduga itu sungguh sangat mengejutkan orang-orang tadi. Mereka benar kaget karena mereka sedang membujuk dan mengagumi kuda yang ditinggalkan oleh Chin Yang Kun. Dan kuda itu tampak melawan!

   "Awas...! Anak muda itu datang memanjat tebing!" lelaki bersuara kasar itu berteriak sambil menunjuk ke arah Chin Yang Kun. Orang-orang itu yang ternyata terdiri dari tiga orang lelaki dan satu orang wanita tua, segera bersiap-siaga menghadapi Chin Yang Kun. Dan pemuda itu sendiri juga kaget sekali ketika mengenali wanita tua itu.

   "Huh...Siang-houw Nio-nio!" pemuda itu menggeram begitu ingat kepada wanita tua yang dulu pernah bertempur dan menenggelamkan dirinya di telaga belakang istana itu. Sebaliknya wanita tua yang tidak lain adalah Siang houw Nio-nio itu ternyata sudah tidak mengenal Chin Yang Kun Iagi.

   "Benar, akulah yang datang...!" teriaknya seraya menyerang Chin Yang Kun. Kedua tangan wanita itu berputar ke depan, seperti orang mau menyerahkan nampan berisi makanan, setelah itu lalu menyodok lagi ke depan seraya melangkahkan kaki kanan ke muka. Dan tiba-tiba saja ujung jari kiri itu telah mengancam ulu hati Chin Yang Kun! Tampaknya gerakan itu sangat sederhana, tetapi ternyata pengaruhnya bukan main hebatnya! Dari ujung jari-jari itu seolah-olah meluncur hawa tajam yang mampu mengiris atau membelah benda-benda yang dilaluinya.

   "Ssrrrt...!"

   "Terimalah jurus menyusupkan Benang ke Lobang Jarum ini...!" Siang-houw Nio-nio membentak keras. Chin Yang Kun cepat memiringkan tubuhnya lalu dengan ujung lengan bajunya pemuda itu menangkis telapak tangan itu.

   "Taas...!" Telapak tangan wanita tua itu terpental ke samping dengan kuatnya, sehingga tubuh wanita tua itu sampai terhuyung huyung mau jatuh. Tapi sebaliknya pemuda itu sendiri juga terperanjat sekali begitu melihat ujung lengan bajunya terpotong, bagai kena gunting atau pisau cukur yang tajam!

   "Jahanam! Ternyata kau memiliki ilmu juga kiranya..." dalam kemarahannya Siang-houw Nio-nio mengumpat-umpat.

   "Ah, kau pun semakin tua ternyata juga semakin berbahaya..." Chin Yang Kun menjawab pula.

   "Hei...Nio-nio! Mari kita cincang saja anak ini bersama-sama, biar menghemat waktu!" lelaki bersuara kasar itu datang memasuki arena pula.

   "Benar juga apa yang telah dikatakan oleh saudara Kosang itu, Nio-nio...! Mari kita lumpuhkan saja anak ini bersama-sama, agar lebih cepat selesai!" seorang kepala suku yang lain ikut menyetujui pendapat lelaki bersuara kasar itu.

   "Betul! Akupun sepakat pula denganmu. saudara Wei! Mari kita sikat dia!" lelaki ketiga, yang berkulit hitam dan mengenakan pakaian model Bangsa Uighur, berteriak pula sambil menyerang Chin Yang Kun dengan pedang bengkoknya. Demikianlah, Siang-houw Nio-nio terpaksa tidak bisa menolak bala bantuan para kepala Suku Bangsa Mongol, Wei dan Uighur itu. Mereka adalah orang-orang kasar yang sangat besar sekali rasa setia kawannya. Dan mereka justru akan tersinggung dan menjadi marah apabila maksud baiknya itu ditentang. Kepala Suku Mongol yang bernama Kosang itu bersenjatakan sebuah penggada besar, sementara kedua kawannya memegang pedang. Cuma bedanya pedang yang dipegang oleh orang Uighur itu badannya bengkok, seperti pedang bangsa Parsi atau Persia. Mereka bertiga membantu Siang-houw Nio-nio, menyerang Chin Yang Kun!

   Sebenarnya kepandaian ketiga kepala suku bangsa liar itu tidaklah berbahaya. Tapi oleh karena yang dihadapi Chin Yang Kun tersebut adalah Siang houw Nio-nio, maka kehadiran mereka itu cukup mengganggu pula. Malahan beberapa kali serangan mereka itu membuat pemuda itu salah langkah, sehingga serangan-serangan Siang-houw Nio-nio yang berbahaya itu hampir-hampir mencelakakan pemuda itu. Akhirnya Chin Yang Kun menjadi marah pula. Apalagi jika pemuda itu mengingat bahwa Liu-Twakonya masih tergantung di bawah tebing, dan lekas-lekas memerlukan bantuannya. Maka tidak boleh tidak pemuda itu lalu mengerahkan Kim-coa ih-hoatnya! Mulutnya berdesis, sementara kulitnya secara perlahan-lahan berubah kekuning-kuningan. Dan Siang-houw Nio-nio segera mencium bahaya itu.

   "Awaaaas! Hati-hati...!" wanita tua itu memperingatkan kawan-kawannya.

   Tapi orang-orang yang memperoleh peringatan itu tidak mempedulikannya. Orang-orang yang di dalam suku bangsanya merupakan orang terkuat dan tidak terkalahkan itu terlalu percaya kepada kehebatannya sendiri, sehingga mereka tidak percaya atau mengabaikan peringatan itu. Sama sekali mereka tidak percaya kalau pemuda kurus itu akan bisa membahayakan jagoan-jagoan terkenal dari suku bangsa liar seperti mereka. Apalagi kini mereka bertiga! Maka pertempuran satu lawan empat itu Ialu berlangsung kembali dengan serunya. Masing-masing berusaha dengan sekuat tenaga mereka untuk cepat-cepat membereskan Iawan mereka. Cuma sekarang keempat lawan Chin Yang Kun ini menjadi tercengang dan sibuk menyaksikan perubahan ilmu silat pemuda itu. Sebuah ilmu silat yang menakutkan serta mengerikan!

   Dengan ilmu silat yang sedang dimainkannya itu Chin Yang Kun seperti berubah menjadi seorang manusia tak berbentuk! Enak saja pemuda itu memutar lehernya sehingga kepalanya menghadap ke belakang, atau kadang-kadang pemuda itu melangkah ke belakang dengan gesit dan tangkasnya seperti orang yang sedang bergerak ke depan saja! Maka tidaklah heran kalau lawan-lawannya itu semakin lama semakin bingung menghadapi pemuda itu! Lambat laun orang-orang itu tidak bisa membedakan mana bagian muka dan mana bagian belakang dari Chin Yang Kun! Mulailah kepala-kepala suku yang semula tak mempunyai perasaan takut itu menjadi ketakutan dan merasa ngeri! Dan ketakutan mereka semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan lengan dan kaki pemuda itu dapat memanjang dan memendek sesuka hatinya!

   "Ini...ini...ooh, gila! Masakan ju...jurang ini ada hantunya?" Kosang yang kasar dan berangasan itu meloncat mundur dengan mata terbelalak. Dan kawan-kawannya pun ikut berloncatan mundur pula. Semuanya tampak menggeletar tubuhnya. Apalagi angin malam tiba-tiba meniup dengan kencangnya!

   "Bukan! Dia bukan hantu! Dia seorang manusia biasa! Dia memang mempunyai ilmu seperti hantu, tapi bukan hantu...!" Siang-houw Nio-nio berteriak.

   "Tetapi..." Kosang membantah dengan suara ragu.

   "Sudahlah, hilangkan saja ketakutan kalian itu! Yang penting kita harus lekas-lekas membereskan dia! Bukankah kalian tadi...?" Siang-houw Nio-nio yang sedang berusaha meyakinkan teman-temannya itu tiba-tiba menghentikan perkataannya. Dengan wajah pucat wanita tua itu memasang telinganya.Sayup-sayup terdengar sorak-sorai yang bergemuruh di bawah jurang itu, yang makin lama makin jelas dan keras. Wanita tua itu cepat meninggalkan Chin Yang Kun dan pergi ke bibir tebing. Dengan hati berdebar wanita itu menjenguk ke bawah. Dan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi gembira dan berseri-seri.

   "Hihihi...bagus! Semua berjalan sesuai dengan rencana, hihihi...!" Wanita itu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Nio-nio, apa yang telah terjadi di bawah sana?" Kosang bertanya tanpa berani memalingkan mukanya dari Chin Yang Kun.

   "Ya! Apa yang terjadi?" kepala suku Wei turut pula mendesak.

   "Sudah! Tinggalkan saja bocah itu! Bi arlah ia tetap hidup! Semuanya telah selesai..."

   "Jadi...?" Kosang yang berwatak kasar itu tetap belum mengerti juga.

   "Pasukan Siangkoan Ciangkun telah tiba!" Siang-houw Nio-nio menjelaskan dengan suara gembira. "Marilah kita ke sana...!"

   "Baiklah, mari...!" serempak kawan-kawannya menjawab.

   "Anak muda...kau benar-benar beruntung hari ini," sebelum meninggalkan tempat tersebut Siang houw Nio-nio berkata kepada Chin Yang Kun. Chin Yang Kun membiarkan saja mereka pergi. Bagi pemuda itu semakin cepat mereka pergi semakin baik, karena ia dapat lekas-lekas menolong Liu-Twakonya pula. Maka begitu keempat orang itu sudah tidak kelihatan lagi, ia bergegas menjenguk ke bawah. Dilihatnya tali itu masih terikat baik seperti ketika ia tinggalkan tadi. Kemudian dengan sangat hati-hati sekali Chin Yang Kun turun. Perasaan pemuda itu menjadi lega sekali begitu melihat Liu-Twakonya tidak kurang suatu apa. Perlahan-lahan pemuda itu membawa Liu-Twakonya ke atas, kemudian membaringkannya di atas rumput.

   "Twako, engkau selamat sekarang. Marilah kubawa kau ke kota, agar lukamu cepat mendapatkan pengobatan!" Kaisar Han membuka matanya. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng.

   "Adik Yang, bawalah aku sejauh-jauhnya dari tempat ini! Sukurlah kalau kau mau membawaku ke muara Sungai Huangho..."

   "Twako...kau gila! Tempat itu sangat jauh dari sini, dan kau sedang menderita luka dalam...Mengapa kau tidak ke Kotaraja? Di sana ada Siangkoan Ciangkun dan pasukannya yang akan melindungimu."

   "Apa? Bangsat bermuka dua itu? Hmmh!" Kaisar Han mendengus marah.

   "Hei! Twako...ada apa dengan perwiramu itu?"

   "Sudahlah! Panjang ceritanya. Nanti kuceritakan kepadamu. Sekarang bawalah aku cepat-cepat pergi dari sini!"

   "Baik! Baiklah...!" meskipun masih bingung Chin Yang Kun cepat mengiyakan. Sebentar kemudian keduanya telah menerobos kegelapan malam, meninggalkan tempat itu. Karena tidak mengenal jalan, maka sekali lagi Chin Yang Kun mempercayakan jiwanya kepada Si Cahaya Biru.

   "Sebaiknya kita kembali saja ke kota. Bagaimana, Twako?" Yang Kun mencoba bertanya kepada Kaisar Han.

   "Hah? Jangan...!" Hongsiang menjawab cepat.

   "Lhoh...kenapa? Bukankah pasukanmu kau pusatkan di sana?" pemuda itu bertanya tak mengerti.

   "Kita mengambil jalan ke selatan saja, lalu berbelok ke timur. Kita menuju ke muara Sungai Huang-ho malam ini. Besok pagi kita akan bisa menemui Yap Tai-Ciangkun dan pasukannya di sana. Itu lebih aman..." Hongsiang menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Ya, baiklah...! Tapi...tolong katakan kepadaku, mengapa Twako tak ingin kembali ke Sin-yang?" Chin Yang Kun mendesak Kaisar Han. Kaisar Han termenung sebentar. Wajahnya yang pucat itu tampak sedih dan penasaran. Lalu jawabnya seraya menghela napas panjang.

   "Pasukan yang berada di Sin-yang itu ternyata tidak bisa kuharapkan Iagi. Pasukan itu telah banyak kemasukan penghianat yang ingin menumbangkan kekuasaanku..."

   "Ohh...! Siangkoan Ciangkun...?"

   "Dialah dalang atau biangkeladinya! Dia telah bersekongkol dengan bekas Putera Mahkota Wangsa Chin, yang beberapa bulan lalu menyerang Kotaraja. Siangkoan Ciangkun itulah yang merencanakan perangkap di jurang itu. Dia dan bekas Putera Mahkota itu ingin menjebak dan membunuhku di tempat tersebut."

   "Hmm...tapi tampaknya dia..." Chin Yang Kun mencoba mengingat sikap dan tingkah laku perwira berkumis lebat itu ketika menjamunya.

   "Tampaknya rapi sekali, bukan? Memang benar, akupun telah terkecoh dan terpedaya pula olehnya. Padahal orang itu telah menjadi pengawalku sejak aku naik tahta."

   "Ahhh..." Chin Yang Kun berdesah. Pemuda itu lalu teringat kepada Tung-hai Sam-mo. Semula dia memang heran sekali melihat penjahat itu dapat menjadi perajurit Kerajaan. Padahal selain bekas penjahat yang terkenal, iblis-iblis itu pernah dilihatnya sebagai pengawal Siau Ongya, di dusun Hok cung beberapa pekan yang lalu. Kini semuanya menjadi terang sudah baginya, bahwa antara Tunghai Sam-mo dan para perwira itu memang sudah terjalin semacam persekutuan yang tersembunyi.

   "Makanya Siangkoan Ciangkun itu enak saja melihat Hongsiang tidak pulang-pulang sampai larut malam. Tak tahunya semuanya memang telah direncanakan..." pemuda itu menghela napas dan bergumam di dalam hatinya. Hening sejenak. Mereka berdua berkuda menyusuri perbukitan itu ke arah selatan. Chin Yang Kun duduk di depan mengendarai Si Cahaya Biru, sementara Kaisar Han yang sedang sakit itu berada di belakang berpegangan Chin Yang Kun.

   "Adik Yang..." tiba-tiba Kaisar Han memanggil.

   "Ya, Twako...?"

   "Aku tadi benar-benar khawatir dan ketakutan setelah mengatakan kepadamu siapa aku ini sebenarnya...,..."

   "Takut? Kenapa...?"

   "Aku takut kau lantas berubah sikap begitu mendengar aku ini adalah Kaisar Han. Tapi ketakutanku itu ternyata tak beralasan sama sekali. kau tetap bersikap biasa dan masih menganggapku sebagai kakak..."

   "Hmm..."

   "Eh, mengapa kau diam saja? Adik Yang, bagaimana pendapatmu?" Chin Yang Kun tertunduk diam dan tidak lekas-lekas menjawab. Baru beberapa saat kemudian pemuda itu menyahut,

   "Untunglah Twako mengatakannya sekarang. Coba kalau hal itu kau katakan kemarin atau kemarin dulu, di mana hatiku belum dingin dan mengendap seperti sekarang, kukira tanggapanku akan lain sama sekali. Mungkin akupun juga akan marah serta memusuhimu pula seperti orang-orang itu tadi. Malahan kemungkinan juga aku akan membunuhmu. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Api yang berkobar di dalam dadaku telah padam. Tumpukan dendam yang mengganjal di dalam jantungku telah larut sementara nafsuku untuk berkuasa telah lama sirna pula..."

   "Adik Yang, kau...!" Kaisar Han mencengkeram lengan Chin Yang Kun dengan tubuh bergetar.

   "Ketahuilah, Twako...aku ini sebenarnya cucu Kaisar Chin Si. Namaku Yang Kun, lengkapnya Chin Yang Kun! Ayahku adalah Chin Yang, putera ketiga dari Kaisar Chin Si Hong-te. Lihatlah...!" Chin Yang Kun menjelaskan seraya menunjukkan guratan huruf "CHIN" di atas pundaknya.

   "Chin Yang...?" tiba-tiba Kaisar Han menjerit dengan suara tertahan. "Oh, Tuhan...terjawablah sudah teka-teki yang selama ini selalu mengganggu hatiku? Kiranya...kiranya anak ini adalah puteranya. Ahh...Makanya begitu melihatnya aku lantas menyukainya..." Kaisar Han mendongakkan kepalanya ke langit. Tampak keharuan membelit hatinya, sehingga beberapa tetes air mata kelihatan menitik di sudut matanya.

   "Twako? Apa katamu? Haah? kau sudah kenal ayahku?" sekarang ganti Chin Yang Kun yang terkejut melihat sikap Kaisar Han. Diguncangnya tubuh Kaisar itu kuat-kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan.

   "Tidak! Oh, tidak...! Aku tidak mengenalnya, aku hanya pernah mendengar namanya saja..." Kaisar Han berbohong agar supaya pemuda itu tidak mendesak terus dengan pertanyaannya. Chin Yang Kun merasakan Liu-Twakonya itu menyembunyikan sesuatu hal kepadanya. Tapi karena Liu-Twakonya itu tak mau mengatakannya, maka diapun juga tak bisa memaksa untuk mengatakannya. Mereka Ialu berdiam diri lagi. Dibiarkannya saja Si Cahaya Biru memilih sendiri jalannya. Pokoknya mereka menuju ke arah selatan. Dan jalan mulai melintasi hutan-hutan yang besar-besar, suatu tanda bahwa mereka sudah mendekati daerah perairan Sungai Huang-ho.

   "Twako...! Omong-omong, bagaimana kau bisa mengetahui kalau Siangkoan Ciangkun itu telah mengkhianatimu?" Chin Yang Kun bertanya. Kaisar Han menggeram perlahan.

   "Sama sekali aku tak mengetahuinya. Aku baru sadar kalau orang itu mengkhianati aku setelah dia dan komplotannya berhasil menjebak aku di jurang tadi. Coba tadi kau tak datang menolong aku, kesadaranku itu sudah tidak ada gunanya lagi. Aku tentu sudah menjadi mayat di bawah jurang tadi."

   "Ohh...?"

   "Seharusnya aku sudah mencurigainya ketika dalambeberapa hari terakhir ini ia selalu menambah jumlah perajuritnya dengan mengambil siapa saja yang mau menjadi perajurit. Dan seharusnya aku juga sudah mencurigainya ketika dia memilih sendiri para perwira yang akan turut dalam perjalananku ini. Tapi...ternyata aku tidak mencurigainya. Malah ketika dia menyarankan agar aku pergi sendiri ke jurang itu, akupun tidak mencurigainya pula. Aku baru sadar tatkala pasukan pemberontak yang terdiri dan suku suku liar menyerbu rombonganku. Dan aku semakin sadar akan terjadinya pengkhianatan itu ketika separuh dari pasukan yang kubawa berbalik menyerangku."

   "Lalu...siapakah yang telah melukaimu, Twako?"

   "Aku dikeroyok banyak orang, diantaranya adalah Sianghouw Nio-nio dan kepala-kepala suku liar itu. Sebenarnya aku dapat melumpuhkan beberapa orang diantara mereka, tapi karena jumlah mereka sangat banyak, maka akhirnya aku tak bisa bertahan pula. Aku terluka dan hampir saja dapat mereka bunuh. Untunglah para pengawal yang masih setia kepadaku cepat menyelamatkan aku. Mereka berusaha mati-matian membawa tubuhku ke kereta, kemudian mempertahankan kereta tersebut..., sampai kau datang menolongku!"

   "Hmmm!" Keduanya lalu berdiam diri lagi. Masing-masing sibuk dengan jalan pikiran mereka sendiri-sendiri. Dan sementara itu kabut pagi mulai turun dengan pekatnya, sehingga udara menjadi semakin dingin menusuk tulang. Apa lagi mereka telah mulai memasuki daerah perairan Sungai Huang-ho yang lembab dan basah. Mereka berbelok ke timur menyusuri aliran Sungai Huangho, dan semakin ke timur udara laut semakin terasa tajam menghembus tubuh mereka. Dan tanah yang mereka lalui juga bertambah sukar karena di tepi sungai itu hutannya semakin rapat dan lebat. Si Cahaya Biru terpaksa berputar dan menerobos ke sana ke mari untuk mencari jalan yang dapat dilalui.

   Beberapa saat kemudian sinar fajar mulai membayang di ufuk timur, dan hutan belukar yang mereka lalui juga semakin menjadi jarang, malahan akhirnya hanya semak-semak perdu saja yang mereka temukan. Tapi semak-semak itu begitu lebatnya sehingga mereka terpaksa harus menjauhi aliran sungai. Bersamaan dengan terbitnya matahari di langit, mereka tiba pula di dusun dekat muara Sungai Huang-ho itu. Dan dengan petunjuk dari Kaisar Han, Chin Yang Kun membawa kudanya ke desa tempat pasukan Yap Tai-Ciangkun itu berkumpul. Dan di sana mereka segera disongsong oleh para perajurit yang dengan cepat mengenal wajah junjungannya. Malahan sesaat kemudian dengan tergopoh-gopoh Yap Tai-Ciangkun dan Gui-goanswe ke luar pula menjemput mereka. Kaisar Han yang mengalami luka itu segera dibawa ke dalam kamar untuk diperiksa.

   "Haa! Kalian tidak perlu khawatir! Aku tidak apa-apa, cuma luka ringan saja. Sebentar juga akan sembuh dengan sendirinya...Hei, Yap Tai-Ciangkun...bagaimana dengan tugasmu?" Semuanya sangat mengkhawatirkan luka sri Baginda, tapi Baginda sendiri ternyata malah tidak mempedulikannya. Yang ditanyakan justru tugas yang dia berikan kepada Yap Tai-Ciangkun.

   "Sebagian besar dari para pemimpinnya dapat kami binasakan, Hongsiang. Cuma ada beberapa orang yang dapat lolos, termasuk pemimpin utama dan pembantunya." Yap Tai-Ciangkun menjawab.

   "Sukurlah...!" Demikianlah, setelah mengurus tempat dan keadaan Baginda, Yap Tai-Ciangkun segera keluar untuk menemui kakaknya, Hong-lui-kun Yap Kiong Lee. Bersama-sama dengan kakaknya itu Yap Tai-Ciangkun pergi ke kamar Chu Seng Kun untuk minta tolong, agar pemuda ahli pengobatan itu mau mengobati Baginda. Dan Chu Seng Kun yang baru saja mengobati dan mendengarkan kisah adiknya itu segera bergegas ke tempat Kaisar Han. Sebenarnya belum hilang rasa rindu pemuda itu kepada adik perempuannya, tapi karena tenaganya sedang dibutuhkan orang, maka terpaksa perasaannya itu ia pendam dulu dalam hati. Selesai memeriksa dan mengobati luka Kaisar Han, Chu Seng Kun lalu mengajak Yap Kiong Lee dan Chin Yang Kun ke kamarnya untuk meramu obat yang dia janjikan kepada Baginda. Setelah obat itu siap, obat itu lalu dibawa Yap Kiong Lee keluar.

   "Awas...jangan sampai keliru! Obat itu cuma digosokkan saja di tempat yang terluka..." sambil tersenyum Chu Seng Kun berseru di belakang pintu. Yap Kiong Lee menoleh dan tersenyum pula, tapi ia tak menjawab sepatah katapun. Chu Seng Kun menutup pintu, lalu menemui Chin Yang Kun kembali.

   "Adik Yang Kun, bagaimana khabarmu selama ini? Ke mana saja kau sejak di desa Hok-cung itu? Aku tak bisa mengejarmu ketika itu." Chu Seng Kun segera memberondong Chin Yang Kun dengan pertanyaannya begitu mereka hanya tinggal berdua saja. Chin Yang Kun berdesah.

   "Wah, panjang kalau diceritakan..." pemuda itu menjawab, lalu serba sedikit diceritakannya juga apa yang telah dialaminya.

   "Ah...jadi kau belum juga menemukan pembunuh keluargamu? Lalu bagaimana dengan pembantu ayahmu yang bernama Hek-mou-sai Wan It itu? Apakah kau belum menemukannya pula?" Sekali lagi Chin Yang Kun berdesah dan menghela napas panjang. Tentu saja Chu Seng kun menjadi heran atas sikap kawannya itu.

   "Eh, apakah yang telah terjadi? Mengapa kau diam saja, adik Yang...?" tanyanya mendesak.

   "Aku memang sudah menemukan pembantu ayahku itu, tapi..."

   "Tapi...apa?"

   "Tapi aku menjadi kecewa melihatnya."

   "Kecewa...? Ayoh! Cepatlah kau bercerita, jangan disimpan saja!" Chin Yang Kun menundukkan kepalanya.

   "Begini, Chu-Twako...Kelihatannya apa yang kukhawatirkan selama ini memang benar juga. Dulu, ketika Chu-Twako bercerita tentang Hek-eng-cu, yang mempunyai seorang pembantu tinggi besar berbulu lebat itu, aku sudah curiga di dalam hati. Jangan-jangan orang yang Chu-Twako lihat itu adalah paman Hek-mou-sai Wan It, orang yang kucari itu. Hmm...ternyata dua hari yang lalu aku benar-benar melihat dia bersama Song-bun-kwi Kwa Sun Tek! Dan...mereka berdua kelihatan akrab sekali. Ohhhh...!"

   "Hei...?? Benarkah...?"

   "Wah! Padahal tadi malam dia baru saja di sini bersama Hek-eng-cu..." Chu Seng Kun berkata. Kemudian secara singkat tabib muda itu bercerita tentang pertempuran yang terjadi di Pantai Karang tadi malam.

   "Ah, kalau begitu aku telah terlambat datang..." Chin Yang Kun bergumam dengan kecewa. Keduanya lalu diam.

   "Kalau begitu Chu-Twako juga sudah bertemu dengan adik Chu-Twako yang hilang itu?" tiba-tiba Chin Yang Kun menengadahkan kepalanya dan bertanya kepada Chu Seng Kun.

   "Yah...!" dengan lesu tabib muda itu menjawab dan menganggukkan kepalanya. Sekarang giliran Chin Yang Kun yang menjadi heran melihat perubahan sikap kawannya itu. Tampaknya tabib muda itu juga tidak bergembira setelah bisa menemukan adiknya.

   "Lhoh! Twako, apa yang terjadi? Mengapa engkau malah kelihatan bersedih? Bukankah Twako seharusnya bergembira karena adikmu telah kembali?" Chu Seng Kun tidak menjawab, tapi secara perlahan-lahan diceritakannya tentang keadaan adiknya sekarang. Bagaimana adiknya itu telah terpaksa kawin dengan Put-ceng-li Lojin untuk menutupi aibnya. Dengan terus terang pemuda itu juga menceritakan kebiadaban iblis yang bernama Hek-eng-cu terhadap adiknya. Bagaimana dua tahun yang lalu iblis itu menculik adiknya, lalu membawanya ke kediaman Hong-gihiap Souw Thian Hai untuk memeras peti pusaka warisan Bit -bo-ong asli yang disimpan oleh pendekar sakti itu.

   "Kurang ajar! Orang itu memang benar-benar iblis, bukan manusia!" Chin Yang Kun menggeram mendengar kelicikan dan kekejian orang berkerudung itu.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar! Dan kini kepandaiannya benar-benar hebat bukan main. Dulu, kalau tidak dengan akalnya yang licik, tak mungkin dia bisa menculik adikku. Tetapi sekarang, setelah mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Bit-bo-ong, akupun bukan lawannya lagi! Hmm...sungguh penasaran sekali!" Chu Seng Kun juga menggeram dengan wajah merah padam. Matanya menatap ke depan dengan sinar kebencian dan penuh rasa dendam kesumat.

   "Jangan khawatir, Chu-Twako. Aku akan membantu menghadapi iblis itu. Biarkanlah aku dengan ilmu yang tidak seberapa tinggi ini ikut membantu orang yang pernah menyelamatkan jiwaku..." Chin Yang Kun berkata dengan tegas.

   "Terima kasih, adik Yang Kun..." Chu Seng Kun menyahut dengan terharu. Mereka lalu berdiam diri kembali.

   "LaIu...dimanakah adikmu itu sekarang? Apakah dia telah kembali ke Bing-kauw lagi?" Chin Yang Kun membuka mulutnya.

   "Belum. Dia masih di sini sekarang. Dia pergi ke halaman belakang untuk menemui Put-ceng-li Lojin," Chu Seng Kun menjawab lirih hampir tak terdengar.

   "Eh...orang tua itu juga sudah sampai di sini pula? Tadi malam aku masih melihat dia di Gedung Pusat Im-yang-kauw di kota Sin-yang. Hmmm...cepat benar! Kalau begitu dia segera bertolak kemari seusai pertemuan itu..." Chu Seng Kun menatap Chin Yang Kun dengan tajamnya. Dahinya yang lebar itu kelihatan berkerut-kerut.

   "Jadi...adik Yang Kun sudah kenal dengan ketua Aliran Bing-kauw itu? Apakah...eh...apakah kedatangannya pagi tadi juga bersamamu?" tanya tabib muda itu sedikit curiga.

   "Ah, tidak...! Aku dan orang tua itu cuma bertemu dan berkenalan di sebuah pertemuan yang diadakan di Gedung Pusat Aliran Im-yang-kauw di kota Sin-yang tadi malam..." Chin Yang Kun lekas-lekas menjawab. Lalu untuk menghilangkan kecurigaan temannya, pemuda ini bercerita serba sedikit tentang pertemuannya dengan tokoh-tokoh ketiga aliran kepercayaan itu di kota Sin-yang. Lalu serba sedikit pemuda ini juga bercerita tentang bagaimana dirinya menolong Kaisar Han dari pengkhianatan para perwiranya.

   "Ooo...begitukah? Hmm...jadi adik Yang Kun sekarang sudah tahu kalau Liu-Twakomu itu tidak lain adalah Kaisar Han juga?" Chin Yang Kun mengangguk.

   "Ya. Kalian semua memang pandai bersandiwara..."

   "Maafkanlah! Akupun tidak berani membocorkan rahasia Hongsiang itu seperti yang lain pula." Chu Seng Kun cepat-cepat membela diri.

   "Eee...Twako, omong-omong...apa rencanamu selanjutnya, setelah kau dapat menemukan kembali adikmu yang hilang itu?" Chin Yang Kun segera membelokkan pembicaraan yang tak mengenakkan hatinya itu.

   "Tentu saja aku akan tetap mencari Hek-eng-cu! Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dan...bagaimana dengan kau, adik Yang Kun? Apakah kau juga akan terus mencari para pembunuh keluargamu itu?"

   "Tentu saja! Bagaimanapun juga aku akan mengusutnya sampai selesai!" Chin Yang Kun lalu berdiri. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah ke pintu dan membukanya. Seraya melangkahkan kakinya ke luar pemuda itu menoleh, "Chu-Twako, aku akan beristirahat dulu. Sudah tiga malam ini aku tak tidur barang sekejabpun. Nanti kita omong-omong Iagi..." katanya sambil tersenyum.

   "Beristirahatlah saja di sini! Mau ke mana kau..."

   "Terima kasih. Aku akan beristirahat di luar saja, udaranya segar. Maaf, Chu-Twako...aku pergi dulu," Chin Yang Kun menjawab seraya menutup pintu.

   "Hmmm...pemuda aneh," Chu Seng Kun, menghela napas panjang sekali, kemudian merebahkan badannya di atas pembaringan. Tiba-tiba pintu itu terbuka kembali dan kepala Chin Yang Kun tersembul diantara kedua daun pintunya. Pemuda itu seperti mau mengatakan sesuatu, tapi melihat Chu Seng Kun telah berbaring di tempat tidurnya, pemuda itu tak jadi mengeluarkannya.

   "Ahhh...kau sudah tid...tidur, Chu-Twako?" katanya sedikit gugup sambil menutup pintu itu kembali. Chu Seng Kun cepat meloncat ke pintu dan membukanya. Dilihatnya kawannya yang aneh itu telah melangkah pergi.

   "Eeee...adik Yang Kun! Aku belum tidur. Ada keperluan apa...?" tabib muda itu berseru dengan kening berkerut. Heran. Chin Yang Kun menoleh sekejap, tapi tidak berhenti. Sekilas tampak oleh Chu Seng Kun wajah kawannya itu menjadi merah sekali seperti udang direbus.

   "Ah...tidak apa-apa! permisi dulu, Chu-Twako..." Chin Yang Kun menjawab singkat. lalu menghilang di balik pintu ruang tengah. Chu Seng Kun menundukkan kepalanya dengan amat heran sekali. Dahinya berkerut-kerut memikirkan sikap temannya yang sangat aneh itu. Tiba-tiba berkelebat dalam pikiran tabib muda itu sesuatu yang sangat mengkhawatirkannya.

   "Hei! Pemuda itu seperti sedang menderita...menderita keracunan. Tapi...tapi seingatku tubuhnya sudah kebal terhadap racun, sebab ia sendiri adalah seorang manusia beracun. Hanya saja...kenapa mukanya...eh!" Karena khawatir Chu Seng Kun bergegas mengejar Chin Yang Kun. Tapi ketika tabib muda itu keluar dari rumah itu, bayangan Chin Yang Kun sudah tidak kelihatan lagi. Yang terlihat di halaman depan hanya perajurit-perajurit penjaga yang sedang menunaikan tugasnya. Seorang penjaga yang berada di dekat Chu Seng Kun segera mendekati pemuda yang sedang kebingungan mencari kawannya tersebut.

   "Tuan mencari Yang-Siauwya (Tuan Muda Yang)...?" tanyanya.

   "Benar, kau melihatnya?"

   "Yang-Siauwya berlari ke arah sungai dengan cepat sekali. Mungkin...eh...mungkin...hehe...hendak buang anu...habis mukanya merah sekali!" perajurit itu menjawab sambil menahan rasa geli. Tapi Chu Seng Kun tidak mempedulikan sikap perajurit itu. Bagai kilat cepatnya pemuda itu berlari ke arah sungai. Saking cepatnya, perajurit itu sampai tidak bisa melihat, ke mana Chu Seng Kun pergi. Pemuda itu seperti lenyap begitu saja dari depan perajurit tersebut.

   "Eh...ada setan!" perajurit itu berteriak. Sementara itu dengan cepat Chu Seng Kun telah berada di pinggir sungai. Mata pemuda itu dengan nyalang mencari bayangan Chin Yang Kun diantara perahu dan sampan yang banyak tertambat di sana. Tapi pemuda yang dikejarnya itu sudah tidak kelihatan pula di tempat itu. Yang tampak di sana hanya para nelayan, yang berdiri bergerombol-gerombol di tepian, dengan mata menatap jauh ke seberang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh dan menarik di sana. Otomatis Chu Seng Kun mengikuti arah pandangan mata orang-orang itu dan...tiba-tiba jantungnya terasa berdegup lebih kencang! Jauh di tengah-tengah sungai atau muara yang amat lebar itu terlihat sebuah pemandangan yang sangat mentakjubkan dan mendebarkan hati!

   Entah dengan maksud apa, Chin Yang Kun yang sedang dicari oleh Chu Seng Kun itu sedang berloncatan di atas permukaan air dengan cara yang sangat mentakjubkan! Tanpa alas kaki atau landasan berpijak pemuda sakti itu berloncatan di atas gelombang air bagaikan seekor capung atau burung camar yang sedang mandi atau bermain-main dalam kehangatan sinar mentari pagi! Setiap tubuh pemuda itu meluncur turun ke permukaan air, kedua belah telapak tangannya yang terbuka itu menghantam ke bawah dengan kekuatan Iweekang sepenuhnya, sehingga permukaan air itu berdebur dengan dahsyatnya, seolah-olah di bawah air tersebut ada sebuah gunung yang sedang meletus. Dan di lain saat tubuh pemuda itu melenting ke atas kembali, bagaikan sebongkah batu kecil yang dilontarkan oleh dahsyatnya letusan gunung di bawah air tersebut!

   "Bukan main! Sungguh sebuah pertunjukan tentang kekuatan Iweekang yang susah diukur karena kesempurnaannya! Tapi...apa maksudnya adik Yang mengobral tenaga seperti itu? Perbuatan itu hanya akan membuatnya lemas dan kelelahan saja!" Chu Seng Kun bergumam perlahan. Benar juga perkataan Chu Seng Kun itu. Makin lama, yaitu semakin mendekati tanah seberang, ledakan air yang diakibatkan oleh pukulan tenaga sakti Chin Yang Kun semakin mengecil pula, sehingga daya lontar yang diperoleh pemuda itu juga semakin lemah. Maka tak heran kalau pemuda itu harus lebih sering mengerahkan tenaganya, agar supaya tubuhnya tidak terjun ke dalam air.

   Malah pada pukulan yang terakhir, permukaan air itu Cuma bergelombang sedikit saja, sehingga daya lontarnya juga tak ada sama sekali. Akibatnya tubuh Chin Yang Kun tidak bisa melenting ke atas lagi dan langsung ke dalam air. Untunglah tepian sungai tinggal dua atau tiga meter lagi, sehingga dengan sisa-sisa tenaganya pemuda itu dapat berenang ke pinggir. Dengan tubuh lemas dan hampir tidak bertenaga lagi, pemuda itu melangkah terseok-seok menjauhi pinggiran sungai. Rasanya seluruh tenaga pemuda itu sudah diperas habis, sehingga semua otot-otot tubuhnya bagai tak punya kekuatan lagi. Maka tidaklah mengherankan kalau beberapa saat kemudian pemuda itu rubuh ke tanah dan tak bisa bangun kembali. Dan secara kebetulan sekali pemuda itu jatuh tersungkur di dekat sebuah perapian darurat, di mana seseorang sedang asyik membakar kelinci.

   "Hei...Saudara Yang! kau kah itu? Kenapa kau...?" orang itu berseru kaget dan bergegas menolong Chin Yang Kun.

   "Aku...aku lelah...lelah sekali..." Chin Yang Kun berbisik.

   "Eh! Bajumu basah semua. Apakah kau tadi tenggelam di dalam muara itu?"

   "Ooouughhh..." Chin Yang Kun membuka mulutnya, tetapi cuma suara keluhan saja yang keluar dari sana.

   "Baiklah! Mari kutolong kau lebih dahulu," orang itu berkata, lalu membuka baju dan celana Chin Yang Kun yang basah. Melihat goresan luka pada tubuh Chin Yang Kun, yaitu luka yang diperoleh pemuda itu ketika bertempur dengan Yap Cu Kiat tadi malam, orang yang menolong Chin Yang Kun itu mengerutkan dahinya.

   "Hmmm, tampaknya dia baru saja berkelahi dengan lawan yang berkepandaian tinggi. Dan kelihatannya pemuda ini telah kehabisan tenaga karenanya. Baiklah, aku akan menyelamatkannya. Tapi...hari ini aku tak ingin berselisih atau berurusan dengan orang lain, oleh karena itu aku akan membawanya ke tempat lain saja..."

   Orang itu berkata kepada dirinya sendiri. Kemudian setelah selesai mengganti pakaian pemuda itu dengan pakaian yang dibawanya, orang itu menggendong tubuh Chin Yang Kun dan membawanya pergi dari tempat itu. Itulah sebabnya ketika Chu Seng Kun datang dengan perahunya, tabib muda itu sudah tidak bisa menemukan Chin Yang Kun lagi. Ketika Chin Yang Kun telah menjadi sadar kembali, maka yang mula-mula terdengar dalam telinganya adalah suara debur ombak yang bergemuruh di dekatnya. Tapi ketika pemuda itu membuka matanya, yang mula-mula tampak di depannya adalah langit-langit gua yang lembab dan basah. Pemuda itu lalu bangkit dengan cepat. Tubuhnya sudah terasa segar kembali.

   "Saudara Yang..." sebuah suara tiba-tiba mengagetkan pemuda itu.

   "Hah? Souw-Taihiap?" Chin Yang Kun menoleh dengan cepat, dan berdesah kaget begitu melihat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai berada tak jauh darinya.

   "Ya! Aku membawamu kemari, karena aku sedang tak ingin berurusan dengan orang lain. Eh, apakah engkau sudah menjadi segar kembali?"

   "Eh-uh...sudah. Terima kasih." Chin Yang Kun mengangguk dengan agak malu.

   "Saudara Yang, apakah kau baru saja berkelahi dengan seseorang? Kulihat ada goresan luka pada tubuhmu..." Chin Yang Kun tersentak kaget, "Tidak! Aku tidak berkelahi dengan siapa-siapa. Aku...eh, maksudku...aku tidak berkelahi dengan siapapun hari ini," kilahnya.

   "Tapi...luka itu?" Souw Thian Hai mendesak.

   "Ah, luka itu kudapatkan ketika bertempur dengan Yap Lo-Cianpwe tadi malam," Chin Yang Kun menjawab cepat.

   "Yap Lo-Cianpwe? Maksudmu...ayah dari saudara Yap Kiong Lee?" Chin Yang Kun mengangguk.

   "Hmm...kau memang hebat dan aneh! Lalu kenapa kau kehabisan tenaga tadi?"

   "Anu...oh...eh!" Secara mengherankan tiba-tiba wajah Chin Yang Kun berubah menjadi merah kemalu-maluan. Sikap pemuda itupun mendadak juga berubah kikuk dan canggung. Tentu saja perubahan yang sangat mendadak itu benar-benar amat mengherankan Souw Thian Hai!

   "Saudara Yang, kau kenapa...? Apakah pertanyaanku tadi salah?" pendekar sakti itu berseru keheranan.

   "Ah...tidak! Tidak! Aku...eh...aku tidak apa-apa..." Chin Yang Kun lekas-lekas menjawab dengan gugup. Sikap pemuda itu semakin kacau dan canggung. Souw Thian Hai menghela napas panjang dan tidak mendesak lagi. Pendekar itu merasakan sesuatu yang tidak beres pada sikap pemuda di hadapannya itu. Tapi karena pemuda itu tampaknya tak mau mengatakan hal yang tidak beres itu kepadanya, maka pendekar itu juga tak mau mendesak pula lagi. Pendekar sakti itu justru bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar gua. Angin senja menerpa tubuhnya yang tinggi tegap di mulut gua, sehingga rambutnya yang hitam panjang itu berkibaran ke belakang. Di dalam keremangan cahaya matahari pendekar sakti itu kelihatan gagah perkasa, sehingga diam-diam Chin Yang Kun mengaguminya di dalam hati.

   "Aku akan menyeberang ke Pulau Mimpi besok pagi," pendekar sakti itu berkata seperti kepada dirinya sendiri. Mendengar kata-kata itu Chin Yang Kun cepat berdiri, lalu bergegas melangkah mendekati Souw Thian Hai.

   "Taihiap, kau belum berjumpa dengan puterimu?" tanyanya. Souw Thian Hai menoleh.

   "Aku datang di pantai ini baru kemarin sore. Sebenarnya pagi tadi aku bermaksud mencari perahu untuk menyeberang ke Meng-to, tapi...aku tak tega meninggaIkanmu sendirian di sini. Sekarang matahari sudah mau tenggelam pula lagi. Tak berani aku berlayar ke tengah lautan..."

   "Heh? Matahari sudah mau tenggelam?" Chin Yang Kun berseru kaget. Cekatan pemuda itu melompat ke mulut gua. Tapi...hampir saja pemuda itu terjerumus ke bawah! Di depannya atau di bawahnya, ternyata terbentang laut luas yang bergelombang ganas! Ombak berdebur memecah tebing di mana mulut gua itu berada. Chin Yang Kun melihat sinar lembayung menyelubungi gumpalan-gumpalan awan yang berarak di atas langit. Dan haI itu berarti bahwa senja memang telah datang dan malampun segera menjelang.

   "Kalau begitu...kalau begitu saya tadi tertidur hampir seharian penuh? Mengapa Taihiap tidak membangunkan aku?" Chin Yang Kun bertanya hampir tak percaya.

   "Benar, kau betul-betul kehabisan tenaga pagi tadi. Maka begitu kau dapat kesempatan untuk mengendorkan urat-uratmu kau pun Iantas jatuh tertidur sampai sehari penuh. Dan aku tak tega untuk meninggalkanmu..."

   "Dan hal itu sungguh kebetulan sekali malah!" Yang Kun cepat-cepat menyahut. Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Matanya yang tajam menatap Chin Yang Kun dengan pandangan bingung dan tak mengerti.

   "Kebetulan? Apa maksudmu?" tukasnya. Chin Yang Kun tersenyum. Entah mengapa pemuda itu merasa bergembira sekali bisa mempertemukan pendekar yang dikaguminya itu dengan puterinya.

   "Nona Souw Lian Cu...tidak berada di Meng-to sekarang. Dia kini sedang berkumpul dengan kawan-kawannya di desa di tepi muara itu." Katanya bersemangat. Untuk pertama kalinya Chin Yang Kun melihat pendekar yang selalu bersikap tenang dan berwibawa itu gemetaran tubuhnya. Wajah yang biasanya selalu menampilkan sikap yang tenang dan percaya diri itu kini tampak pucat seperti orang yang sedang kehilangan pengamatan diri. Ternyata, bagaimanapun hebat dan tinggi ilmunya, pendekar itu masih seorang manusia yang mempunyai jiwa dan perasaan juga seperti yang lain. Kenyataan bahwa anak yang disayanginya itu sudah berada di ujung hidungnya, perasaan rindu yang ditahan-tahannya selama bertahun-tahun itu hampir tak bisa dikuasainya lagi.

   "A-apa...? Dia a-ada di desa yang penuh dengan perajurit itu? Ohh, jadi...kau juga datang dari sana pula? Bagaimana de-dengan puteriku? Dia" dia sehat-sehat saja, bukan?" pendekar sakti itu memberondong Chin Yang Kun dengan pertanyaan-pertanyaannya.

   "Tenanglah, Souw-Taihiap...Puterimu tidak apa-apa. Dia sehat."

   "Bagus! Kalau begitu...tunggulah di sini! Aku akan menjemputnya." Souw Thian Hai berseru kegirangan, lalu meloncat keluar gua dan memanjat dinding tebing itu dengan tangkasnya.

   "Heh? Taihiap, aku ikut...!" Chin Yang Kun berteriak pula. Lalu pemuda itu melompat keluar juga dari dalam gua itu. Lagi-lagi pemuda itu lupa bahwa mulut gua itu berada di dinding tebing laut yang tinggi, sehingga pemuda itu nyaris terjun ke laut yang bergelora. Untunglah pada saat-saat terakhir pemuda itu dapat menghentikan langkahnya. Ketika pemuda itu menengadahkan mukanya, ia melihat Souw Thian Hai memanjat tebing terjal itu seperti seekor kera. Melompat kesana kemari dengan tangkasnya dan hanya berpegangan pada batu batu karang yang menonjol. Sedikitpun tak kelihatan kalau pendekar itu takut, padahal jauh di bawahnya terbentang laut ganas yang siap menerkamnya, bila ia lengah. Sekejap Chin Yang Kun menjadi berdebar-debar hatinya.

   "Gila! Bagaimana dia bisa membawaku ke sini tadi pagi?" Tapi pemuda itu tak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Souw Thian Hai sudah hampir mencapai puncak tebing. Maka pemuda itu lalu mengerahkan seluruh ginkang dan lweekangnya, kemudian memanjat tebing itu pula seperti Souw Thian Hai tadi. Sampai di atas pemuda itu sudah tidak melihat Souw Thian Hai lagi.

   "Bukan main! Cepat benar...!" bisiknya kagum. Pemuda itu lalu berlari menyusuri muara sungai, dengan harapan bahwa ia masih akan mampu mengejar Souw Thian Hai. Tapi ketika pemuda itu sampai di tempat di mana ia menyeberang pagi tadi, ia melihat Souw Thian Hai telah berada di tengah sungai naik sebatang pohon yang telah diambil cabang dan ranting-rantingnya. Chin Yang Kun berhenti melangkah. Mulutnya melongo memandang ke tengah-tengah sungai. Matanya memancarkan sinar kekaguman yang tiada tara.

   "Hanya beberapa detik saja ia di depanku tapi langkahnya tetap tak bisa kukejar juga. Padahal ia harus merobohkan sebatang pohon pula untuk menyeberang. Sungguh gila kepandaiannya...!" Terpaksa Chin Yang Kun berbuat serupa pula dengan Souw Thian Hai. Dirobohkannya sebuah pohon yang cukup besar kemudian dipatahkannya dahan dan ranting-rantingnya. Dan ketika pohon itu sudah siap dan ia ceburkan ke dalam air, udara telah menjadi gelap. Malam telah benar-benar turun menyelimuti bumi.

   Chin Yang Kun sudah tidak bisa melihat Souw Thian Hai lagi. Pendekar sakti itu seolah-olah sudah hilang tertutup kabut di tengah-tengah sungai. Maka Chin Yang Kun lalu mengayuh batang pohon itu sekuat tenaganya. Sementara itu Souw Thian Hai ternyata tak mudah menyeberangi muara sungai yang lebar dan luas itu. Batang pohon itu ternyata sangat berat untuk memotong atau melawan arus sungai yang ganas. Di tengah-tengah muara itu arus ternyata tidak setenang dan sejinak di tepian. Di tengah-tengah, gelombang air ternyata sangat liar dan ganas. Arus air berputar-putar dan melaju dengan cepatnya. Begitu batang pohon itu terseret ke dalamnya maka Souw Thian Hai sudah tak bisa menguasainya Iagi. Kayu yang besar dan berat itu segera timbul tenggelam terbawa oleh ganasnya pusaran air. Souw Thian Hai berpegangan pada batang pohon itu kuat kuat.

   Pendekar sakti itu berusaha agar dirinya tidak terlempar ke dalam arus sungai yang hitam kelam itu. Dengan mengerahkan seluruh kesaktiannya, pendekar ternama ituberusaha membawa batang kayu itu ke pinggir atau ke seberang. Sedikit demi sedikit pendekar sakti itu dapat melepaskan diri dari libatan arus yang berputar-putar di tengah-tengah muara sungai itu. Namun demikian belum berarti bahwa pendekar itu sudah terbebas dari bahaya arus sungai tersebut. Arus air yang ganas berputar-putar itu memang hanya terdapat di tengah muara saja, tapi hal itu bukan berarti bahwa arus yang mengalir di daerah pinggiran tidak berbahaya pula. Justru arus yang tampaknya tenang dan jinak itulah yang kadang-kadang membawa korban di antara para nelayan yang sering mencari ikan di sana.

   Arus itu memang tidak seganas dan seberbahaya arus air yang mengalir di tengah-tengah sungai tetapi kekuatan yang ditimbulkannya sebenarnya juga tidak kalah dahsyatnya dengan arus air yang berputar-putar itu. Arus yang tampaknya tenang itu kadang-kadang mampu menyeret sebuah perahu besar ke tengah, untuk kemudian menghempaskan ke arus berputar di tengah sungai yang sangat ganas itu. Tetapi dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai kesempurnaan itu, Souw Thian Hai dapat juga melewati daerah yang cukup berbahaya tersebut. Dengan pakaian basah kuyup pendekar itu dapat mencapai seberang dengan selamat. Hanya saja tempat pendaratannya ternyata tidak di desa yang ia maksudkan tetapi karena terseret arus air, pendekar itu mendarat jauh di mulut muara. Souw Thian Hai meloncat ke daratan.

   Di tempat itu hanya ada batu-batu karang besar yang berserakan di mana-mana. Di dalam keremangan malam, batu-batu besar itu seperti sebuah perkampungan manusia-manusia raksasa yang sangat menyeramkan. Apalagi angin laut bertiup dengan sangat kencangnya sehingga menimbulkan suara-suara aneh yang mendirikan bulu roma. Tapi Souw Thian Hai tak mempedulikan semua itu. Ketegangan hatinya yang ingin Iekas-Iekas melihat wajah anaknya itu membuat pendekar sakti tersebut tidak sempat memikirkan yang lain-lain. Dengan perasaan tak sabar lagi pendekar itu melangkah cepat melintasi hutan batu karang tersebut. Pikirannya hanya penuh dengan bayangan dan angan-angan tentang puterinya, Souw Lian Cu saja! Tiba-tiba Souw Thian Hai tersentak dari lamunannya.

   

Darah Pendekar Eps 28 Darah Pendekar Eps 2 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2

Cari Blog Ini