Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 58


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 58




   Pendekar itu sungguh-sungguh tak mengira bahwa keadaan akan berbalik menjadi kalut dan tidak terkendalikan seperti itu. Dan pendekar itu malah menjadi semakin gugup ketika tiba-tiba beberapa orang tamu yang dapat meloloskan diri dari keributan itu tampak berloncatan ke arahnya. Mereka saling berebut lebih dulu untuk mencapai kursi emas itu! Ketika Keh-sim Siauwhiap berusaha untuk menahan orang orang itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya belasan buah am-gi (senjata gelap) yang menyerang ke arah dirinya. Dan am-gi itu terdiri dari berbagai macam bentuk, dengan kekuatan dan cara menyerang yang berlainan pula, sehingga Keh-sim Siauwhiap segera dapat mengetahui bahwa pelepas am-gi tersebut tidak hanya seorang saja. Terpaksa pemilik Pulau Meng-to itu memperlihatkan ginkangnya yang maha hebat untuk mengelakkan senjata rahasia tersebut.

   Sambil memperingatkan kawan-kawannya pendekar itu "beterbangan" melesat kesana kemari bagai burung walet yang sedang bermain-main diantara derasnya tetesan air hujan! Dan...tak sebuahpun dari am-gi yang mampu menyentuh pakaiannya! Tetapi akibatnya sungguh hebat! Senjata rahasia yang tidak mengenai sasarannya itu melesat turun ke arah pertempuran!Mereka yang tahu akan datangnya am-gi itu segera mengelak, tapi yang tidak tahu segera melengking tinggi sambil menyumpah-nyumpah karena menjadi korban am-gi nyasar tersebut. Darah mulai menetes membasahi pendapa itu, mengakibatkan orang-orang yang berada di dalamnya semakin bertambah ganas dan garang pula. Orang-orang itu seolah-olah sudah menjadi lupa diri.

   Kursi emas itu seakanakan telah membutakan mata dan hati mereka, hingga yang ada di dalam hati mereka sekarang hanyalah membunuh saingan mereka untuk dengan segera dapat mengambil harta karun tersebut.

   Jilid 44
Dan pertempuran itu menjadi semakin kejam dan ganas tatkala orang-orang seperti Siang-hou Nio-nio, Siangkoan Ciangkun dan para pengawal mereka ikut pula terjun dalam kancah perebutan harta karun tersebut. Korbanpun segera berjatuhan. Darah segera mengalir membasahi lantai pendapa yang licin itu. Keh-sim Siauwhiap sudah tidak bisa mencegah orang-orang itu lagi. Pendekar itu bersama-sama teman dan pengikutnya segera terdesak ke pinggir menjauhi kursi emas itu sementara orang-orang yang telah kalap tersebut sudah mencapai kursi emas dan saling memperebutkannya.

   "Kraaak...!" Dengan suara keras kursi itu patah dan tercabik-cabik menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Dan bagian-bagian yang kecil itupun lalu rebutan pula diantara mereka.

   "Saudara Kwee, marilah kita tinggalkan pendapa ini! Sudah amat sulit untuk mengatasi orang-orang kalap itu! Mereka tidak akan mau berhenti sebelum mereka berhasil atau mati!" Souw Thian Hai berbisik di telinga Keh-sim Siauwhiap.

   "Tapi..." Keh-sim Siauwhiap masih ragu-ragu.

   "Koko...!" Ho Pek Lian berdesah pula seraya memegang lengan kekasihnya. "Saudara Souw memang benar. Kita tak perlu melibatkan diri dengan mereka. Biarlah mereka saling berebut sisa emas itu. Marilah kita semua keluar...!"

   "Tapi emas itu hendak kugunakan untuk membangun tanggul sungai di hulu Sungai Wei-ho..." Belum juga pendekar itu menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba Siang In datang tergopoh-gopoh mendekati mereka.

   "Tocu! Pulau ini sudah dikepung oleh pasukan kerajaan di bawah pimpinan Gui-Goanswe! Ratusan buah perahu telah berlabuh di seluruh pantai pulau ini. Katanya mereka hendak menangkap seorang bekas Putera Mahkota Chin yang ikut menyusup diantara tamu-tamu kita." gadis itu melapor.

   "Heh...? Bekas Putera Mahkota Chin?" Keh-sim Siauhiap berseru kaget, lalu menoleh ke tempat di mana Sianghou Nio-nio dan rombongannya tadi berada. Tapi sulit sekaIi menemukan mereka. Tempat itu telah menjadi ajang pertempuran dahsyat untuk memperebutkan potongan-potongan kursi emas itu.

   "Baiklah! Mari kita semua keluar menemui Gui-Goanswe!" akhirnya Keh-sim Siauwhiap berkata. Kemudian pemilik Pulau Meng-to itu mendahului keluar, diikuti oleh para pembantunya dan sahabat-sahabatnya. Hong-gi-hiap Souw Thian Hai menempatkan dirinya di barisan paling belakang bersama Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu.

   Pendekar sakti itu tampak tenang sekali dan tidak tergesa gesa. Sambil melangkah, beberapa kali pendekar sakti itu menangkis atau meruntuhkan senjata atau am-gi yang meluncur ke arah rombongannya. Atau kadang-kadang pendekar sakti itu sengaja memperlihatkan kesaktiannya dengan membiarkan saja am-gi dan senjata itu mengenai tubuhnya. Benarlah. Di tepian pantai yang berpasir lembut itu telah berbaris ribuan prajurit kerajaan, lengkap dengan senjata dan panji-panji mereka. Di dalam keremangan sinar bintang di langit, barisan itu bagaikan pagar manusia yang mengelilingi Pulau Meng-to. Kedatangan Keh-sim Siauwhiap dan rombongannya segera disambut oleh beberapa orang perwira dan prajurit pengawal. Seorang perwira setengah umur bersama dua prajurit pengawalnya, maju ke depan menghentikan langkah mereka.

   "Berhenti! Siapakah kalian?" perwira itu membentak. Keh-sim Siauwhiap menyuruh rombongannya berhenti, lalu ia maju pula ke depan.

   "Siauwte Keh-sim Siauwhiap, pemilik pulau ini. Siapakah Ciangkun ini? Dan mengapa malam-malam begini berkunjung kemari? Apakah ada sesuatu urusan penting yang tidak bisa ditunda-tunda lagi?" Perwira setengah umur itu kelihatan terperanjat.

   "Oh... Keh-sim Siauwhiap rupanya. Maaf! Maaf...!" perwira itu tiba-tiba menjura. Lalu sambil menoleh ke arah prajuritnya perwira itu berbisik, "Lekas kalian melapor kepada Gui-Goanswe, bahwa Keh-sim Siauwhiap telah keluar menemui kita!"

   "Baik, Ciangkun!" kedua prajurit tersebut memberi hormat, lalu berlari pergi.

   "Ah, sekali lagi kami semua minta maaf kepada Siauwhiap, karena kami telah mengejutkan Siauwhiap dan seluruh isi pulau ini. Biarlah nanti Gui-Goanswe sendiri yang memberi penjelasan kepada Siauwhiap, kenapa secara mendadak kami berkunjung ke pulau ini..." sambil menantikan kedatangan jendralnya, perwira itu berkata lagi.

   "Oh... jadi kedatangan Ciangkun dan para prajurit ini bersama-sama dengan Gui-Goanswe? Bagus! Bagus! Memang sudah lama siauwte tidak pernah berjumpa dengan Gui-Goanswe. Sungguh kebetulan sekali kalau begitu..." Tidak lama kemudian Gui-Goanswe datang dengan kudanya. Meskipun sudah tua jendral itu belum juga kehilangan ketangkasannya. Belum juga kudanya berhenti, jendral itu telah melompat turun dengan lincahnya.

   "Hei... Siauwhiap! Apa khabar?" begitu tiba jendral tua itu segera memeluk dan menepuk-nepuk punggung Keh-sim Siauwhiap. "Sudah lama kita tak bertemu. Kita bertemu yang terakhir kali... kalau tak salah... di Kotaraja, yaitu ketika Hongsiang berkenan memberi tanda penghargaan kepada Siauwhiap itu, bukan? Ha-ha-ha... benar! Benar!" Keh-sim Siauwhiap tersenyum juga melihat kehangatan Gui-Goanswe itu.

   "Ah... Goanswe! siauwte justru merasa kikuk dan malu kalau teringat peristiwa itu. Tidak seharusnya siauwte memperoleh penghargaan yang begitu tingginya dari Hongsiang, siauwte cuma berdiri saja di belakang tembok, orang lainlah yang melaksanakannya." pendekar itu merendahkan diri.

   "Hei, kenapa begitu? Justru itulah yang penting. Tanpa Siauwhiap yang mengatur dan memimpin mereka, apa yang dapat mereka hasilkan? Lihatlah para prajurit kerajaan ini. Tanpa perwira dan pimpinan yang pandai, mereka tak ubahnya seperti penyamun yang tercerai-berai."

   "Ah, benar...!" Keh-sim Siauwhiap pura-pura kaget, "Semula siauwte memang mengira ada perampok yang datang untuk menghancurkan tempat kediamanku ini. Eh, tak tahunya... Goanswe yang datang. Maaf, siauwte terlambat menyambutnya."

   "Wah... Siauwhiap menyindir kami." Gui-Goanswe tertawa. Lalu katanya lagi dan kini dengan suara bersungguh-sungguh.

   "Siauwhiap...! Kedatangan kami ini memang sangat mendadak sekali, sehingga kami tidak sempat lagi memberi kabar kepada Siauwhiap. Soalnya di dalam penyelidikan kami, kami memperoleh petunjuk bahwa bekas Putera Mahkota Chin yang lari bersembunyi di Pegunungan Kun-lun itu, malam ini telah berlayar ke Pulau Meng-to bersama-sama para pembantunya. Malahan di antara mereka itu terdapat pula Siangkoan Ciangkun dan para perwiranya, yaitu para perwira kerajaan yang membangkang dan memberontak di kota Sin-yang beberapa hari yang lalu. Hmm... benarkah berita yang kami dengar itu, Siauwhiap?" Keh-sim Siauwhiap memang tak bermaksud untuk menutup nutupi peristiwa yang terjadi di tempat kediamannya itu. Oleh karena itu ia lantas bercerita apa adanya dan apa yang kini sedang berlangsung di Pendapa Utamanya.

   "Siauwte tak hendak menghalang-halangi niat Goanswe untuk menangkap bekas Putera Mahkota itu. Tapi sebelumnya siauwte hendak memohon kemurahan hati Goanswe, yaitu agar Goanswe mau melindungi pulau dan isinya ini dari kehancuran. Sebab, hanya pulau sunyi inilah satu-satunya tempat siauwte berlindung selama ini. Dan selain itu, siauwte juga hendak memberi sedikit peringatan kepada Goanswe, yaitu agar Goanswe berhati-hati menghadapi bekas Putera Mahkota Chin itu, karena di antara mereka itu terdapat pula Yap Lo-Cianpwe, Beng Lo-Cianpwe dan Siang-hou Nio-nio." pendekar itu berkata halus.

   "Ahh, terima kasih Siauwhiap. Kami memang tak bermaksud untuk merusak tempat kediaman Siauwhiap ini. Oleh karena itu kami akan bertanggung jawab penuh atas segala kerusakan akibat pertempuran kami nanti. Dan sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas peringatan Siauwhiap tadi. Kami memang telah mengetahui pula akan beradanya ketiga tokoh besar itu di samping bekas Putera Mahkota Chin itu. Oleh karenanya kami juga telah mempersiapkan pula beberapa orang anggota Sha-cap mi-wi untuk menghadapi mereka..."

   "Sukurlah kalau Goanswe telah tahu. Hmm...kalau begitu kami akan menghindar dari pulau ini untuk sementara waktu. siauwte serahkan seluruh pulau ini kepada Goanswe dan... eh, benar... siauwte belum memperkenalkan para sahabat baikku ini. Mereka adalah..."

   "Ah, sudahlah! Kami sudah mengenal mereka semua. Siauwhiap boleh membawa mereka keluar pulau ini. Bukankah mereka ini Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan sahabat sahabatnya yang terkenal itu? Apa lagi di sini ada Nona Ho Pek Lian pula, mana kami berani mencurigai mereka? Ha ha ha..." Gui-Goanswe cepat memotong.

   "Terima kasih kalau begitu..." Demikianlah, rombongan Keh-sim Siauwhiap itu lalu pergi ke pantai dan meninggalkan pulau itu dengan naik perahu. Karena sudah mendapatkan perintah dari Gui-Goanswe, maka tak seorangpun dari ribuan prajurit itu yang menghalangi kepergian mereka. Para prajurit itu justru membantu mempersiapkan perahu mereka dan mendorongnya ke laut. Beberapa saat lamanya Keh-sim Siauwhiap tetap memandangi Pulau Meng-to yang mereka tinggalkan. Ada sedikit keharuan di hati pendekar itu, seolah-olah pendekar itu telah merasa bahwa ia takkan kembali lagi ke sana. Pendekar itu baru tersenyum kembali tatkala Pek Lian menyentuh lengannya.

   "Koko, apakah yang sedang kau pikirkan?" gadis itu bertanya perlahan. Keh-sim Siauwhiap menatap wajah kekasihnya itu dengan mesra, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak ada yang kupikirkan, moi-moi. Aku hanya merasa agak terharu, karena pulau itu pernah menjadi tempatku mengenang dan memikirkan kau selama delapan tahun lebih..."

   "Ah, kau ini...!" Ho Pek Lian pura-pura mengomel seraya mencubit lengan Keh-sim Siauwhiap.

   "Itukan salahmu sendiri! Mengapa kau tak mau berusaha mencari aku selama ini? Bukankah semuanya akan lekas menjadi beres kalau kau bisa bertemu dengan aku?"

   "Hei! Hei! Bagaimana aku berani menemuimu kalau di saat perpisahan kita dulu saja sikapmu demikian dinginnya terhadapku?" Keh-sim Siauwhiap berbisik menggoda.

   "Huh! Siapa yang bersikap dingin kepadamu? kau lah yang salah mengira. Hmm...itulah kalau jejaka kurang pengalaman! Aku sebenarnya tidak bersikap dingin pada waktu itu, tapi... aku sedang bingung! Tahu?!?" Ho Pek Lian menjawab dengan mulut cemberut.

   "Baiklah! Baiklah...! Akulah yang saat itu tidak bisa melihat keadaan. Maafkanlah...!" Keh-sim Siauwhiap mengalah. Ho Pek Lian tersenyum sambil menatap wajah Kwee Tiong Li. Diam-diam gadis itu menjadi kasihan melihat bekas-bekas penderitaan di wajah kekasihnya itu.

   "Koko, maafkanlah aku...! Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku cuma bergurau denganmu. Akulah yang dulu bersalah kepadamu. Akulah kini yang seharusnya meminta maaf kepadamu. Koko..., maukah kau memaafkan aku?" Kwee Tiong Li atau Keh-sim Siauwhiap menundukkan kepalanya dan menatap wajah kekasihnya dengan mesra. Dan kemudian untuk beberapa saat lamanya mereka saling menatap tanpa berkedip. Kedua telapak tangan mereka saling remas satu sama lain.

   Mereka tampak berbahagia sekali, dan remasan jari-jemari mereka itu seolah-olah merupakan sebuah ikrar, bahwa mereka berdua takkan ingin berpisah lagi selamanya. Ternyata kebahagiaan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Keh-sim Siauwhiap dan Ho Pek Lian saja. Siang In dan gadis-gadis pembantu Keh-sim Siau hiap lainnya, yang selama ini selalu melayani keperluan pendekar itu, ternyata juga kelihatan berbahagia pula menyaksikan kebahagiaan mereka. Mata para gadis itu saling melirik satu sama lain, untuk kemudian saling menyembunyikan senyum mereka di balik saputangan masing-masing.Begitu pula dengan para sahabat Keh-sim Siauwhiap yang lain. Kelihatannya saja mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri, padahal secara diam-diam mata mereka melirik dengan wajah gembira pula.

   "Sukurlah, Thian telah mempertemukan mereka kembali..." Kwa Siok Eng berbisik di telinga Chu Seng Kun.

   "Kau benar, kekasihku...Akupun merasa gembira sekali melihat mereka. Dan perasaan gembiraku ini rasa-rasanya juga terdorong oleh perasaan bahagiaku melihat Chu Bwee Hong telah mendapatkan kembali kebahagiaannya..." Chu Seng Kun mengangguk haru seraya menatap punggung adiknya yang berdiri berjajar dengan Souw Thian Hai di anjungan perahu. Memang. Chu Bwee Hong kelihatan berbahagia sekali malam itu. Wajahnya tampak cerah, bibir selalu tersenyum, sehingga wajahnya yang memang cantik luar biasa itu semakin tampak gilang gemilang ditimpa sinar bintang di langit.

   Sebentar-sebentar gadis ayu itu melirik ke arah Souw Thian Hai, kekasihnya. Demikianlah, semuanya tampak bergembira dan berbahagia. Kalaupun ada yang tak bergembira, orang itu tak lain hanyalah Souw Lian Cu sendiri. Gadis remaja itu kelihatan termenung sendirian di pinggir perahu. Sambil bertelekan di pagar perahu gadis itu memandang air laut yang kehitam-hitaman di bawahnya. Sekali-sekali terdengar tarikan napasnya yang berat. Begitu banyaknya penumpang di dalam perahu besar berukuran sepuluh tombak itu, namun demikian gadis ini masih tetap merasakan kesepian juga. Dan bila sesekali terpandang wajah Keh-sim Siauwhiap, gadis itu lantas teringat pula akan wajah seorang pemuda tampan bertubuh jangkung yang selalu mengusik hatinya.

   "Aku telah mengundangnya pula untuk datang ke Pulau Meng-to hari ini. Apakah ia lupa bahwa hari ini adalah tanggal lima yang telah kujanjikan itu? Apakah ia memang tak ingin datang untuk mewakili pihak Kim-liong Piauw-kiok seperti yang pernah dikatakannya dulu itu? Aaaaaah...!"

   Souw Lian Cu berpikir dan berdesah berulang-ulang. Lalu gadis itu mencoba untuk menilai dan membaca perasaan hatinya sendiri. Adakah kepulangannya ke Meng-to kali ini benar-benar karena memenuhi panggilan dan karena ingin membantu Keh-sim Siauwhiap? Apakah kedatangannya kali ini bukan karena ingin bertemu Chin Yang Kun, dan untuk selanjutnya menguji kepandaian pemuda yang secara diam-diam telah menarik hatinya itu? Selanjutnya Souw Lian Cu mencoba pula untuk melihat serta menilai sikapnya terhadap pemuda itu selama ini.

   "Selama ini aku selalu acuh tak acuh dan dingin setiap kali bertemu atau berdekatan dengan dia. Kadang-kadang aku malah menunjukkan sikap tak suka dan benci kepadanya. Apakah sebenarnya yang menyebabkan semua itu? Benarkah aku ini tak suka dan benci kepadanya? Bukankah sebenarnya aku tak mempunyai alasan untuk membencinya? Bukankah dia pemuda yang baik dan tak pernah berbuat jelek terhadapku? Lalu apa sebabnya aku lantas membencinya? Ohhh... rasa-rasanya semua itu hanya satu jawabannya, yaitu... karena aku telah jatuh cinta kepadanya! Hmm... benar! Semua itu karena hati kecilku telah tertarik kepada pemuda itu, padahal saat itu pikiranku sedang kalut memikirkan Keh-sim Siauwhiap. Maka masuknya pemuda itu ke dalam pintu hatiku itu kuanggap sebagai godaan dan beban yang semakin memberatkan jiwaku. Oleh karena itu aku lantas menjadi uring-uringan tanpa sebab dan membencinya tanpa alasan, padahal semuanya itu bersumber pada rasa marah dan rasa benciku terhadap diriku sendiri, karena aku telah tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Ouhhhh..."

   Tak terasa butir-butir air mata menetes dari sudut mata Souw Lian Cu. Gadis itu menjadi kaget sendiri, dan dengan tergesa-gesa lalu menghapusnya dengan sapu tangannya. Kemudian sambil berpura-pura mengusap rambutnya yang tergerai ditiup angin laut, gadis itu menatap jauh ke depan. Sedikit demi sedikit kegelapan yang menyelubungi udara di atas permukaan air laut itu kian sirna, dan kemudian diganti dengan sinar terang dari matahari yang mulai mengintip di balik cakrawala. Angin lautpun mulai tenang sehingga gelombang airpun tidak sebesar tadi.

   "Ohh... betapa hangatnya sinar matahari pagi!" Tiat-tung Lokai menarik napas seraya menggeliatkan badannya ke kanan dan ke kiri.

   "Ya! Tapi... hei! Lihat! Ada perahu datang...!" tiba-tiba Tiat-tung Hong-kai menunjukkan jarinya ke depan. Semua orang yang ada di dalam perahu itu tersentak kaget. Mereka lantas memandang ke arah mana ketua perkumpulan Tiat-tung Kai-pang daerah utara itu menunjukkan jarinya.

   "Ah, benar... Perahu kecil dengan seorang penumpang. Hmm, siapakah dia?" Chu Seng Kun cepat menyahut pula.

   "Wah! Paling-paling juga seorang nelayan. Bukankah kita telah mendekati daratan Tiongkok?" Tiat-tung Lokai menjawab. Perahu yang datang itu tampak seperti sebuah kotak kayu kecil yang hanyut di tengah-tengah lautan. Dari kapal Keh-sim Siauwhiap yang besar, perahu kecil itu kelihatan dengan jelas terombang-ambing dan timbul-tenggelam dipermainkan ombak.

   "Haaaaaiii...!" begitu melihat kapal Keh-sim Siauwhiap, orang yang berada di atas perahu kecil itu berteriak dan mendayung perahunya lebih giat lagi.

   "Hei...siapakah dia? Hebat benar tenaga dalamnya!" Tiat-tung Hong-kai bergumam seraya berdiri mendekati Tiat tung Lokai.

   "Entahlah! Kita nantikan saja dia...!" Sebentar saja perahu kecil itu telah datang, lalu dengan mahirnya orang itu memotong arus air yang diakibatkan oleh kapal Keh-sim Siauwhiap, dan merapatkan perahunya dari arah belakang.

   "Heiii... siapa di atas?" orang itu mendongakkan kepalanya dan berteriak kembali. Keh-sim Siauwhiap dan sahabat-sahabatnya, berbondong bondong menuju ke pagar kapal, sehingga kapal besar itu sedikit miring karenanya. Mereka segera menjenguk ke bawah untuk melihat siapa yang datang.

   "Chin Yang Kun...!" semuanya berdesah kaget.

   "Yang Kun...!" Souw Lian Cu yang masih tetap melekat di pagar perahu itu juga berdesah pula.

   "Eeehh...!" tiba-tiba Chin Yang Kun berseru kaget pula. Ternyata pemuda itu juga tidak mengira sama sekali kalau hendak berjumpa dengan mereka di tempat itu. Pemuda itu hanya menduga bahwa kapal besar tersebut tentu datang dari Pulau Meng-to. Dan maksudnya menghampiri kapal besar tersebut adalah untuk menanyakan keadaan di Pulau Meng-to malam itu.

   "Saudara Yang Kun, kau kah itu? Marilah naik...!" Kehsim Siauwhiap berseru.

   "Eh... anu, apakah... apakah Souw-Taihiap ada di atas pula?" mendadak Chin Yang Kun menjadi gugup ketika melihat wajah Souw Lian Cu di antara orang-orang di atas kapal besar itu.

   "Aku ada di sini, saudara Yang! Apakah kau mencari aku?" Souw Thian Hai menyeruak maju dan menjengukkan kepalanya pula.

   "Ya... ya! Ada sesuatu yang hendak siauwte sampaikan kepada Taihiap..." Chin Yang Kun cepat-cepat menjawab.

   "Kalau begitu, naiklah...!" Souw Thian Hai mempersilakan seraya melemparkan tali ke bawah.

   "Terima kasih!" Chin Yang Kun menangkap tali tersebut, kemudian mengikatkan ujungnya di tiang perahunya. Setelah itu dengan ringan dan gesit pemuda itu melompat ke atas kapal Keh-sim Siauwhiap. Dan Keh-sim Siauwhiap sendiri bersama kawan-kawannya segera mundur pula untuk memberikan tempat. Begitu menginjakkan kakinya di atas kapal Chin Yang Kun lantas menjura ke sekelilingnya.

   "Maafkanlah siauwte kalau siauwte mengganggu cuwi sekalian..." pemuda itu berseru perlahan. Lalu katanya lagi seraya menghadap ke arah Keh-sim Siauwhiap, "Siauwhiap, sebenarnya siauwte hendak berkunjung ke Meng-to untuk menemui Souw-Taihiap. Tapi sungguh kebetulan sekali siaute sudah bisa menjumpainya di sini. Eh... anu, bolehkah siauwte menjumpainya sekarang?"

   Keh-sim Siauwhiap mengerutkan keningnya. Sebenarnya pendekar dari Meng-to itu agak curiga terhadap Chin Yang Kun, apalagi bila melihat baju dan celana Chin Yang Kun yang bernoda darah itu. Namun karena pemuda itu berkehendak untuk bertemu dengan Souw Thian Hai, pendekar itu tak bisa menolak atau menghalang halanginya. Siapa tahu mereka berdua mempunyai urusan pribadi? Dan siapa tahu pula mereka hendak berbicara tentang Souw Lian Cu? Oleh karena itu Keh-sim Siauwhiap segera mengajak kawan-kawannya yang lain untuk menyingkir.

   "Ohhh... silakan! Tapi... nanti aku juga ingin berbicara sebentar dengan saudara Yang, yaitu tentang... dendam saudara Yang tempo hari."

   "Ah... benar! Keh-sim Siauwhiap, maafkanlah siauwte...! siauwte telah menemukan pelaku pembantaian itu, dan siauwte telah membalasnya! Hmm... maafkanlah kekurang-ajaranku beberapa hari yang lalu, siauwte benar benar ceroboh telah menduga yang tidak-tidak terhadap Siauwhiap..." Chin Yang Kun buru-buru memotong perkataan Keh-sim Siauwhiap.

   "Hei? Jadi... saudara Yang telah dapat menemukan orang itu? Oh, siapakah dia...?" Keh-sim Siauwhiap berseru kaget. Mendadak wajah Chin Yang Kun berubah. Sinar kekecewaan kembali memancar dari sorot matanya.

   "Orang itu adalah...Hek-eng-cu! Dan...Tanganku...tanganku telah membunuhnya!" pemuda itu menjawab dengan suara hampa dan tak bergairah, seolah olah pemuda itu justru menjadi kecewa dan menyesal telah dapat membalaskan dendam keluarganya. Tentu saja perubahan sikap dan wajah pemuda itu tak luput dari perhatian Keh-sim Siauwhiap dan kawan-kawannya.

   "Hek-eng-cu...? Jadi orang itu adalah Hek-eng-cu yang sangat terkenal itu? Dan orang itu telah mati di tangan saudara Yang?" Keh-sim Siauwhiap berseru seakan-akan tak percaya. Demikian pula dengan orang-orang yang berada di atas kapal besar itu. Kata-kata yang diucapkan oleh Chin Yang Kun itu seperti geledek di telinga mereka, dan tak seorangpun dari mereka yang percaya pada ucapan pemuda itu. Hek-eng-cu adalah tokoh besar yang berkepandaian amat tinggi, dan mungkin justru lebih tinggi dari pada Keh-sim Siauwhiap sendiri. Oleh karena itu sungguh mustahil kalau pemuda itu bisa membunuhnya. Tapi Chin Yang Kun tak peduli dengan keragu-raguan orang di sekelilingnya. Dengan acuh tak acuh pemuda itu membuka buntalan yang dibawanya.

   "Justru kedatangan siauwte ini juga ada hubungannya dengan orang itu. Karena sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, Hek-eng-cu telah minta tolong kepada siauwte untuk mengembalikan benda-benda pusaka peninggalan Bit-bo-ong ini kepada Hong-gi-hiap Souw Thian Hai."

   "Oooh!"

   "Ooh...!" Tiba-tiba semuanya melangkah mundur begitu melihat benda-benda mengerikan yang telah memakan banyak korban itu. Hanya Souw Thian Hai saja yang tidak beranjak dari tempatnya. Dengan wajah tegang pendekar sakti mengawasi Chin Yang Kun.

   "Kau... kau telah membinasakan iblis keji itu? kau tidak berbohong?" Chin Yang Kun menggeleng lemah.

   "Siauwte tidak berbohong. siauwte memang benar-benar telah membunuhnya. Tapi...tapi...ahh, sudahlah! Biarkanlah siauwte pergi sekarang..." Chin Yang Kun menjawab lemah lalu melangkah kembali ke pinggir kapal. Dan ketika melewati Souw Lian Cu pemuda itu tampak tersipu-sipu sedih.

   "Maafkanlah aku, Nona Souw..." katanya lirih. Lalu pemuda itu meloncat kembali ke dalam perahunya. Sekali lagi ia menoleh ke atas, kemudian mengayuh perahunya cepat-cepat pergi dari tempat itu. Sungguh berbeda sekali sikapnya sekarang dengan ketika ia datang tadi. Semua kejadian itu berlangsung dengan cepat dan tidak terduga sama sekali. Semuanya masih tertegun di tempat masing-masing. Dan begitu mereka tersadar kembali, Chin Yang Kun telah berlayar jauh meninggalkan kapal mereka, pemuda itu kembali menuju ke daratan Tiongkok lagi.

   "Yang Kun, tungguuuu...!" tiba-tiba mereka dikejutkan lagi dengan adanya jeritan Souw Lian Cu. Dan sebelum semuanya sadar apa yang telah terjadi, Souw Lian Cu telah mengambil sebuah perahu kecil yang terikat di atas buritan, dan melemparkannya ke dalam air. Gadis itu segera meloncat ke bawah, lalu mendayung perahu kecil itu kuat-kuat untuk mengejar perahu Chin Yang Kun.

   "Nona Souw...!" Keh-sim Siauwhiap memanggil.

   "Lian Cu...!" Souw Thian Hai dan Chu Bwee Hong berteriak pula.

   "Aaaagh!" yang lain berdesah kaget dan bingung. Tapi gadis itu telah jauh meninggalkan kapal mereka. Dan demikian pula halnya dengan perahu Chin Yang Kun. Sebentar saja perahu mereka telah hilang di balik gelombang air laut yang tinggi.

   "Oh, Hai-ko...! Bagaimana dengan Lian Cu nanti?" Chu Bwee Hong mengeluh. Souw Thian Hai menghela napas panjang.

   "Sudahlah, dia bukan anak kecil lagi! Biarlah ia
menemukan jalannya sendiri...!"

   "Tapi... tapi aku kurang begitu percaya kepada pemuda itu. Sikapnya amat aneh dan mengkhawatirkan. Aku takut jangan-jangan Souw Lian Cu nanti..."

   "Ah, sudahlah! Sudahlah...! kau jangan berpikir yang bukan-bukan! Lebih baik kita berdoa saja untuk keselamatan Lian Cu." Souw Thian Hai berkata sambil memeluk pundak Chu Bwee Hong. Lalu pendekar sakti itu mengambil buntalan yang diberikan oleh Chin Yang Kun tadi. Keragu-raguannya tentang Chin Yang Kun seketika lenyap. Benda benda itu memang benar-benar pusaka mendiang Bit-bo-ong yang diambil secara licik oleh Hek-eng-cu beberapa tahun yang lalu.

   "Tampaknya pemuda itu memang tidak berbohong. Ini betul-betul pusaka Bit-bo-ong asli. Sungguh hebat sekali kepandaian pemuda itu. Baru sekarang kudengar ilmu warisan Bit-bo-ong dikalahkan orang..." Souw Thian Hai bergumam seperti kepada dirinya sendiri.

   "Tapi... bukankah saudara Souw juga pernah mengalahkan duplikat Bit-bo-ong yang meraja-lela di dunia kang-ouw pada sepuluh tahunan yang lalu?" Keh-sim Siauwhiap yang mendengar kata-kata Souw Thian Hai itu cepat cepat memotong. Souw Thian Hai menoleh dan tersenyum kecut.

   "Tidak. Bukan itu yang kumaksudkan. Bagi aku dan seluruh keluarga Souw, ilmu warisan Bit-bo-ong ini sudah bukan barang yang aneh dan asing lagi, karena diantara Bit-bo-ong dan kami sebenarnya masih sekeluarga. Apalagi Duplikat Bit-bo-ong yang kubunuh itu juga masih terhitung adik seperguruanku sendiri. Berbeda dengan Hek-eng-cu itu. Dia terbunuh oleh seseorang yang tidak mempergunakan ilmu keluargaku... Oleh karena itu tadi kukatakan bahwa baru sekarang ini kuketemukan ilmu warisan Bit-bo-ong itu dikalahkan orang."

   "Aaah!" semuanya menarik napas panjang.

   Demikianlah, selagi semua orang membicarakan dirinya, ternyata Chin Yang Kun sendiri telah pergi jauh meninggalkan mereka. Perahu kecil yang ditumpanginya itu meluncur cepat dibawa angin. Sesekali terlihat pemuda itu merentangkan lengannya dan menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Keretakan dan kehancuran hatinya akibat kekecewaan hidup yang dihadapinya, membuat pemuda itu merasa segan untuk kembali lagi ke dunia ramai. Apalagi pemuda itu merasa sudah menyelesaikan semua tugas-tugas pokok yang diberikan oleh ayahnya. Hanya beberapa hal saja yang belum ia laksanakan. Itupun karena sejak semula ia memang tak berhasrat untuk melakukannya, yaitu mencari Cap Kerajaan, menghimpun kekuatan dan merebut kembali kekuasaan Wangsa Chin.

   "Aku tak ingin menjadi Kaisar. Apalagi untuk menjadi Kaisar aku harus... merebutnya dari tangan Liu..., Liu... ah!" pemuda itu tak bisa melanjutkan keluhannya. Pemuda itu lalu menatap ke sekelilingnya. Dilihatnya ombak yang bergulung-gulung di sekitarnya. Dinikmatinya suara kecipak air yang menghantam badan perahunya. Lalu dikaguminya pula gumpalan awan yang berarak beraneka warna di atas langit yang membiru. Dan semuanya itu ternyata sangat melegakan serta terasa lapang di dalam dada pemuda itu.

   "Ahh... ternyata hidup bersama alam begini justru lebih nyaman dan membahagiakan dari pada hidup bersama manusia yang tamak dan kotor hatinya. Hmm, baiklah... aku tinggal mempunyai satu tugas lagi, yaitu menabur abu Nenek Hoa di samping makam Kakek Piao Liang. Setelah itu aku akan mencari pulau kecil di tengah lautan untuk mengasingkan diri, seperti halnya Keh-sim Siauwhiap itu. Dengan demikian penyakitku yang membahayakan orang itu juga tidak akan menimbulkan korban yang lebih banyak lagi..." Chin Yang Kun kembali merenung. Wajahnya tertunduk lama sekali, seperti orang yang sedang samadhi atau memusatkan pikirannya.

   "Eh...!" Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget dan wajahnya menjadi tegang luar biasa! Dalam ketermenungannya tadi mendadak berkelebat di angan-angan Chin Yang Kun sejumlah kapal besar berisi prajurit berseragam saling bentrok satu sama lain.

   Dan tempat di mana pertempuran itu berlangsung rasa-rasanya hanya di depan perahunya saja. Namun secepat angan-angan itu datang, secepat itu pula ia pergi. Mendadak saja bayangan itu menghilang lagi dan diganti dengan bayangan yang lain, yaitu bayangan seorang kakek tua, berjenggot dan berambut putih panjang sampai di telapak kakinya. Kakek itu seperti sedang berayun-ayun di atas selembar daun teratai, yang mengambang di atas permukaan air laut. Dan tubuh kakek itu tidak tertutup oleh pakaian atau kain selembarpun. Satu-satunya penutup tubuhnya hanyalah uraian rambutnya yang luar biasa panjangnya itu. Tapi ketika Chin Yang Kun telah tersadar kembali, ia tak melihat siapapun di sekitarnya. Yang ada tetap hanya gelombang air laut yang bergulung-gulung dan percikan air yang membasahi lantai perahunya.

   "Ah, lagi-lagi pikiranku telah dibajak oleh ilmu Lin-cui Sui-hoat yang tak sengaja kupelajari itu. Hmmm..." pemuda itu menggerutu. Namun betapa terperanjatnya pemuda itu tatkala didengarnya suara nyanyian mengalun di telinganya. Tidak begitu keras, tapi kata-katanya sangat jelas didengarnya.

   Langit dan Bumi itu abadi.
Sebabnya Langit dan Bumi abadi
Adalah karena tidak hidup untuk diri sendiri, maka itu abadi.
Inilah sebabnya orang suci
Membelakangkan dirinya
Dan oleh karenanya dirinya tampil ke depan
Ia menyampingkan dirinya.
Dan oleh karenanya dirinya utuh.
Karena ia tak ada kehendak pribadi,
Maka ia dapat menyempurnakan pribadinya.

   "Ah... Penyanyi Sinting itu lagi! Gila! Siapa sebenarnya dia? Kenapa ia tak pernah mau menampakkan dirinya? Dan... hei! Apakah dia itu Si Kakek Telanjang yang melintas dalam angan-anganku tadi?" Chin Yang Kun tergagap kaget, lalu...sibuk memandang kesana kemari untuk mencari orang tua itu. Tapi yang terlihat dari perahu itu cuma air dan air saja. Tak ada yang lain.

   "Lo-Cianpwe...! Kalau Lo-Cianpwe bermaksud menemui aku, mengapa Lo-Cianpwe tidak menampakkan diri saja?" akhirnya Chin Yang Kun berseru dengan mengerahkan lweekangnya. Tak ada jawaban. Suara nyanyian itu berhenti dan tak terdengar lagi, namun demikian Penyanyi Sinting itu tak menjawab pertanyaan Chin Yang Kun. Tentu saja Chin Yang Kun menjadi kesal.

   "Hmm... apakah Lo-Cianpwe merasa malu menemui aku karena Lo-Cianpwe tidak mengenakan pakaian?"

   "Kurang ajar! Bagaimana kau tahu? Apakah kau bisa melihatku?" Tiba-tiba saja Chin Yang Kun merasa ada angin bertiup di belakang perahunya, dan... entah dari mana datangnya, mendadak di beIakang perahunya itu telah berdiri seorang kakek tua, yang ujudnya persis dengan yang ada di dalam angan-angannya tadi.

   "Hayo, jawab! Bagaimana caranya kau bisa melihatku tadi, he?" kakek tua itu membentak penasaran. Chin Yang Kun tidak segera menjawab. Selain masih kaget pemuda itu juga merasa geli pula melihat ulah Si Kakek Aneh yang tiba-tiba datang itu. Kalau tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang sakti, mungkin pemuda itu sudah tertawa terbahak-bahak sejak tadi. Bagaimana Chin Yang Kun tak hendak tertawa kalau orang tua yang sering menyanyikan ujar-ujar Lao-tse itu, dan yang kini sedang membentak bentak dirinya itu, ternyata hanya seorang kakek yang tingginya tidak lebih dari seorang anak lelaki berusia sepuluh tahunan? Dan bagaimana pula Chin Yang Kun tidak merasa geli melihat "bocah tua" itu kini berusaha dengan sekuat tenaga untuk "menutupi" bagian-bagian tubuhnya yang telanjang?

   "Hei! Apa yang kau lihat, heh? Mau mengintip punyaku, yaa? Kurang ajar...! Hayo... kau menghadap ke sana! Dan cepat jawab pertanyaanku tadi! Lekas!"

   "Eh-oh... anu... nama siauwte Chin..."

   "Goblok! Siapa tanya namamu? Tanpa kau beritahupun aku sudah tahu kalau namamu Chin Yang Kun. Tapi bukan itu yang kutanyakan kepadamu. Yang kutanyakan adalah... bagaimana kau bisa melihatku tadi?"

   "Wah, kalau itu...kalau itu sih Cuma kebetulan saja. Pada waktu...pada waktu siauwte termenung sendirian tadi, tiba-tiba melintas di dalam angan-angan siaute... bayangan wajah dan bentuk tubuh Lo-Cianpwe... persis seperti keadaan Lo-Cianpwe sekarang ini. Maka... maka..."

   "Huh... jangan membual kau! kau pikir berapa umurmu sekarang, heh? kau pikir dengan usiamu yang baru belasan tahun ini kau hendak mengatakan kepadaku bahwa kau sudah mampu meyakinkan ilmu Lin-cui-sui-hoat, begitu? kau tahu berapa batasan umur seseorang yang ingin mempelajari ilmu itu? Paling sedikit dua puluh lima tahun, tahu? Itupun kalau semenjak lahir dia langsung belajar lweekang. Kalau tidak... huh, ya... belajar Iweekang dulu selama dua puluh lima tahun, baru kemudian berpikir untuk meyakinkan Lin-cui-sui-hoat itu..." Chin Yang Kun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

   "Lo-Cianpwe, ini... ini... wah! Siapa yang bilang kalau siauwte mempelajari ilmu Lin-cui-sui-hoat? Bukankah siauwte tadi cuma berkata, bahwa bayangan tentang Lo-Cianpwe itu hanya melintas sekejap di dalam angan-angan siauwte?"

   "Huh! Apa bedanya itu? kau pikir tanpa ilmu itu kau bisa berkonsentrasi dan bisa membayangkan hal-hal yang tak dapat kau lihat dengan matamu itu, demikian jelasnya? Bocah sombong!"

   "Wah! Sungguh repot benar Lo-Cianpwe ini...! Siapa yang berkonsentrasi? Bukankah siauwte sedang... sedang termenung?"

   "Termenung? kau hanya termenung dan..., bisa melihat hal-hal yang belum kau saksikan? Omong kosong! Pembual!" Penyanyi Sinting itu "mencak-mencak" di atas daun teratainya. Lalu teriaknya lagi.

   "Kau maksudkan hanya dengan termenung kau sudah bisa melihat diriku yang bersembunyi di bawah air? Dan dengan termenung itu kau bisa melihat sesuatu yang belum terlihat oleh matamu?"

   "Entahlah... siauwte sendiri kadang-kadang merasa bingung dan tidak mengerti pula. Apa yang pernah kupikirkan atau apa yang pernah terlintas di dalam angan-anganku, kadang-kadang cocok dengan kenyataannya. Seperti ini tadi, siauwte memang benar-benar melihat bayangan Lo-Cianpwe di dalam angan-angan. Malah tidak cuma itu saja. Selain bayangan Lo-Cianpwe, siauwte juga melihat bayangan yang lain, yaitu bayangan tentang beberapa buah perahu berisi prajurit, yang bertempur satu sama lain..."

   "Apaaa...? kau melihat pertempuran di Pantai Karang itu pula?" Penyanyi Sinting itu semakin kaget.

   "Pertempuran di Pantai Karang? Pertempuran apa itu?"

   "Mana kutahu? Mereka sama-sama prajurit kerajaan, tapi tampaknya mereka saling berselisih paham. Nah, lihatlah itu...!" Penyanyi Sinting itu berkata seraya mengacungkan jarinya ke depan. Chin Yang Kun cepat membalikkan tubuhnya. Sayup-sayup terdengar suara terompet dibawa angin dan jauh di depan sana lamat-lamat terlihat asap hitam mengepul tinggi ke udara.

   "Itukah pertempuran yang Lo-Cianpwe katakan itu?" Chin Yang Kun bertanya.

   "Ya! Dan tampaknya sudah selesai sekarang, karena pertempuran itu sudah berlangsung sejak fajar tadi." Keduanya lalu memperhatikan tempat yang sangat jauh itu dengan saksama. Untuk sekejap mereka lupa pada pertengkaran mereka tadi. Tapi suasana yang tenang itu ternyata tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian mereka dikejutkan oleh suara teriakan Souw Lian Cu yang sudah sampai di tempat itu pula.

   "Yang Kunnnnn...!"

   "Heh, celaka! Ada suara wanita di sini! Aku harus cepat-cepat pergi...!" mendadak seperti orang kebakaran jenggot kakek bertubuh pendek itu menjerit, lalu bergegas mengambil daun teratainya dan...ambles ke dalam air! Dan yang tampak kemudian hanyalah daun itu saja yang hanyut menjauhi perahu Chin Yang Kun.

   "Ah, makanya aku tak melihat orang tua itu tadi. Tak tahunya ia bersembunyi di bawah daun teratainya..." pemuda itu berkata di dalam hati. Lalu, "Hei! bukankah suara itu tadi seperti suara Souw Lian Cu? Apa-apakah ia mengejar aku?" Dengan sedikit gemetar Chin Yang Kun mengedarkan pandangannya, mencari gadis yang selama ini selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya. Dan sesaat kemudian jantungnya segera berdenyut semakin keras ketika dari jauh terlihat sebuah perahu kecil mendatangi.

   "Yang Kuuun...!"

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, benar-benar dia! Benar-benar dia! Ouh... apa... apa maksudnya mengejar aku? Apakah... apakah dia ingin mengadakan perhitungan dengan aku sekarang? Ah, tidak! Tidaaaaak! Aku tidak ingin mencelakainya! Aku harus lekas-lekas pergi menghindarinya, sebelum tanganku yang kotor dan bernoda darah ini mencelakainya..." tiba-tiba Chin Yang Kun berdesah ketakutan. Lalu tanpa berpikir panjang lagi pemuda itu mendayung perahunya kuat-kuat. Perasaan takut apabila dirinya nanti berbuat tak senonoh dan tidak baik terhadap gadis yang dicintainya itu membuat Chin Yang Kun mendayung perahunya seperti dikejar setan. Sebentar saja perahu Souw Lian Cu telah jauh ketinggalan dan tidak kelihatan pula lagi. Chin Yang Kun bernapas lega, apalagi ketika dilihatnya Pantai Karang telah kelihatan dari perahunya.

   Namun rasa leganya tersebut segera berganti menjadi perasaan was-was tatkala dilihatnya ada "kesibukan" yang mengkhawatirkan di perairan pantai itu, yaitu kesibukan para perajurit dan perahu-perahunya setelah peperangan selesai. Sebenarnya Chin Yang Kun tak ingin berurusan dengan mereka, tapi karena sudah terlanjur dilihat oleh mereka, maka ia terpaksa tidak bisa menghindar Iagi. Pemuda itu terpaksa mengayuh perahunya untuk mendarat di pantai tersebut. Air laut di pantai itu tampak keruh dan amis. Dan beberapa kali pemuda itu harus menyingkirkan mayat-mayat atau pecahan-pecahan perahu yang menghalangi jalannya. Dan beberapa kali pula pemuda itu harus menahan napas karena terpaksa menerobos gulungan asap tebal, yang mengepul dari perahu atau kapal besar yang terbakar.

   "Hei! Berhenti! Siapakah kau...?" Mendadak dari arah kanan meluncur sebuah perahu menghalangi jalan Chin Yang Kun. Seorang perwira bertubuh pendek kekar tampak berdiri di ujung perahu, sementara di belakangnya, tampak enam orang perajurit bertombak berdiri mengawalnya. Chin Yang Kun terpaksa membelokkan moncong perahunya dan berhenti di samping perahu perwira tersebut. Tapi ketika pemuda itu mau menjawab, tiba-tiba perwira itu berseru kaget.

   "Ong ya (Pangeran)...!" Dan seperti sedang bermimpi saja Chin Yang Kun melihat perwira dan para perajurit itu berlutut ke arahnya. Tentu saja kejadian yang amat mendadak serta tidak dimengerti oleh Chin Yang Kun itu sangat mengejutkan dan membingungkan pemuda itu. Apa lagi ketika perajurit-perajurit itu memanggil "pangeran" terhadap dirinya.

   "Ini..., ini... eh, apa maksud kalian ini sebenarnya?" dalam gugupnya Chin Yang Kun bertanya kepada perwira itu. Dengan agak takut-takut perwira itu menjawab.

   "Ampun Ongya...! Kedatangan kami ke pantai ini memang untuk menjemput Ongya. Kemarin Hongsiang telah memerintahkan kepada kami dan seluruh perajurit kerajaan, untuk mencari paduka dan mempersilakan paduka pulang ke Kotaraja secepatnya. Hongsiang bermaksud untuk mengadakan pembicaraan empat mata dengan paduka." Chin Yang Kun berdesah panjang dan menundukkan kepalanya.

   Sejak semula pemuda itu memang telah menduga akan hal ini, yaitu cepat atau lambat Hongsiang tentu akan mengerahkan bala tentaranya untuk mencari dia. Bagaimanapun juga pemuda itu adaIah satu-satunya putera Kaisar Han, sebab hingga kini Baginda itu tetap tidak mau kawin dengan siapapun juga. Dan bila mengenang akan hal ini, secara diam-diam pemuda itu merasa kasihan dan tersentuh pula hatinya. Demikian agung dan besar cinta Baginda itu terhadap ibunya, sehingga Kaisar itu rela tidak kawin selama hidupnya. Padahal dengan kekuasaannya yang tidak terbatas itu Kaisar Han bisa memilih setiap wanita yang diingininya. Sementara itu melihat Chin Yang Kun hanya tertunduk diam dan tak berkata-kata, perwira di atas perahu itu menjadi gelisah. Maka untuk menghilangkan kegelisahannya tersebut perwira itu lalu meneruskan keterangannya.

   "Tak kami sangka di pantai ini kami justru bisa bertemu dengan pasukan Siangkoan Ciangkun yang telah membelot dan hampir mencelakai Hongsiang di kota Sin-yang beberapa hari yang lalu. Tampaknya pasukan itu sedang bersiap-siap untuk menyerbu Pulau Meng-to. Dan melihat kesiap-siagaan pasukan itu, kami tidak berani membuang-buang waktu lagi. Kami segera menyerang pasukan itu sebelum mereka jauh meninggalkan pantai. Dan ternyata kami memenangkan pertempuran ini." Chin Yang Kun masih tetap tertunduk diam. Pemuda itu hampir tak mendengarkan cerita perwira itu. Di dalam hati pemuda itu sedang terjadi pula perang batin yang hebat, yaitu antara keinginan untuk menuruti ajakan perwira itu dan keinginan untuk menolak ajakan tersebut. Keduanya sama sama beratnya bagi pemuda itu.

   "Ongya...!" akhirnya perwira itu memberanikan dirinya menegur Chin Yang Kun. Namun Chin Yang Kun masih tetap berdiam diri. Dan sementara itu dari arah pantai tiba-tiba muncul sebuah perahu besar mendekati mereka. Beberapa orang perwira berseragam gemerlapan tampak berdiri di atas perahu itu.

   "Ada apa di sini?" seorang perwira tua yang pernah dilihat Chin Yang Kun di istana Kaisar Han, maju ke depan dan bertanya kepada perwira pendek kekar tadi.

   "Goanswe, kami telah menemukan Ongya di sini!"

   "Apa...? Di manakah dia?" perwira tua itu tersentak kaget. Perwira bertubuh pendek itu segera mengangguk ke arah Chin Yang Kun.

   "Inilah Ongya..." lapornya dengan suara bangga.

   "Ongya...?? Ohh...!" perwira tua itu menatap Chin Yang Kun dengan air muka seolah tak percaya. Tapi sesaat kemudian perwira tua itu segera mengenal Chin Yang Kun.

   "Ongya...!" sekali lagi perwira tua itu menyebut, lalu menjura dengan sangat hormatnya. Perwira-perwira yang lainpun segera mengikutinya.Chin Yang Kun semakin menjadi kikuk dan tak enak hatinya.

   "Terima kasih, Ciangkun... terima kasih! Sungguh tak enak benar perasaanku menerima penghormatan Ciangkun yang berlebih-lebihan ini. Ahh... apa sebenarnya maksud Ciangkun menyongsong aku ini?" akhirnya Chin Yang Kun terpaksa menanggapi perkataan mereka. Perwira tua itu menoleh sekejap ke arah temannya, Si Perwira Pendek Kekar tadi. Lalu katanya sambil membungkukkan tubuhnya.

   "Ampun Ongya... saya kira Giam Ciangkun tadi telah mengatakan pula kepada paduka, apa yang menjadi tugas kami saat ini. Tapi tak apalah kiranya kalau saya mengulanginya kembali. Ongya, kami mendapat perintah dari Hongsiang untuk mencari dan menjemput paduka di manapun paduka berada, dan kemudian mengawal paduka pulang ke Kotaraja secepatnya. Saat ini Hongsiang sedang menderita sakit. Oleh karena itu beliau sangat mengharapkan sekali kedatangan paduka..."

   "Apa...? Liu-Twako sakit... eh, Hongsiang sakit? Sakit apa?" tiba-tiba Chin Yang Kun berseru kaget. Dan sambil berseru pemuda itu melompat dari perahunya ke perahu Si Perwira tua itu. Gerakan pemuda itu begitu cepatnya sehingga orang-orang di atas perahu itu baru sadar ketika Chin Yang Kun telah berdiri memegangi tangan perwira tua itu. Para prajurit itu benar-benar tidak bisa percaya bahwa putera Kaisar Han tersebut mampu meloncati jarak yang sangat jauh itu.

   "Ooh... bukan main!" seorang perwira muda berdesah kagum.

   "Yaaah... itulah sebabnya Yap Tai-Ciangkun memberi pesan secara sungguh-sungguh kepada kita, agar kita jangan berlaku sembrono bila berhadapan dengan Ongya itu," perwira yang berdiri di sampingnya berkata.

   "Dan rasa-rasanya kita semua ini juga takkan mampu menangkapnya bila dia menolak untuk dibawa ke Kotaraja." seorang perwira yang lain memberi komentar. Sementara itu Chin Yang Kun segera menggoncang goncangkan lengan perwira tua itu saking tegangnya.

   "Ciangkun...! Katakanlah! Apa yang sedang diderita oleh Hongsiang?" Perwira tua malah menjadi pucat wajahnya.

   "Hongsiang... jatuh sakit karena merasa...merasa terpukul batinnya akibat penolakan paduka dua hari yang lalu. Hongsiang...Hongsiang merasa sedih luar biasa!" dengan tergagap-gagap perwira tua itu memberi keterangan.

   "Ooough...!" Chin Yang Kun terhenyak di tempatnya. Perlahan-lahan pegangan tangannya terlepas. Matanya berkaca-kaca. Pemuda itu lantas teringat akan kebaikan Hongsiang atau Liu-Twakonya itu selama ini. Bagaimana nasibnya di kota Tie-kwan setahun yang lalu bila tidak memperoleh pertolongan ayahandanya itu, padahal waktu itu masing-masing belum tahu sama sekali bahwa mereka adalah ayah dan anak.

   "Ongya...?" perwira tua itu tiba-tiba menyapa dan menyentuh lengan Chin Yang Kun, sehingga pemuda itu menjadi sadar akan dirinya kembali.

   "Baiklah, Ciangkun... marilah kita kembali ke Kotaraja menemui Hongsiang...!" seperti tidak mempunyai pilihan lain lagi pemuda itu akhirnya berkata kepada perwira tua itu.

   "Aaaah...!" semua perwira itu bernapas lega, seakan-akan mereka terbebas dari sebuah beban yang sangat berat.

   "Oh, marilah Ongya... marilah!" perwira tua itu cepat-cepat mengangguk-angguk di depan Chin Yang Kun. Seketika wajahnya menjadi cerah luar biasa. Demikianlah, seperti orang yang sedang melamun Chin Yang Kun mengikuti saja semua perintah perwira tua tersebut. Pasukan kerajaan yang baru saja bisa menumpas anak buah Siangkoan Ciangkun itu segera berangkat setelah berbenah diri dan merampungkan urusan mereka di tempat itu.

   Dan Souw Lian Cu yang tiba di tempat tersebut tinggal menemukan sisa-sisa atau bekas-bekas pertempuran itu saja. Gadis itu telah kehilangan jejak Chin Yang Kun. Sementara itu pasukan yang membawa Chin Yang Kun ke Kotaraja tetap meneruskan perjalanan mereka. Sesampai mereka di kota yang terdekat, pasukan itu Ialu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu para prajurit yang tidak mempunyai kuda, mereka tinggalkan di kota tersebut. Sedang kelompok kedua, yaitu kelompok prajurit berkuda, yang terdiri dari empat puluhan orang prajurit, tetap meneruskan perjalanan untuk mengawal Chin Yang Kun. Karena semuanya sekarang menunggang kuda maka perjalanan mereka itupun lantas menjadi lebih cepat pula.

   Dan di setiap tempat atau kota mereka selalu bertambah jumlahnya. Para perajurit kerajaan yang dua hari lalu disebar Yap Tai-Ciangkun ke seluruh pelosok timur negeri itu, segera bergabung dengan mereka begitu berjumpa dengan rombongan tersebut. Rombongan itu menginap dua malam di perjalanan. Dan setiap kali mereka menginap, mereka terpaksa mencari tempat yang lapang di luar kota, karena jumlah mereka sudah mencapai hampir seribu orang lebih sekarang. Seribu orang dengan seribu kuda pula. Benar-benar sebuah barisan berkuda yang luar biasa panjangnya. Pada hari yang ketiga barisan itu sudah mencapai batas Kotaraja. Seorang perwira tinggi yang mulai kemarin menggabungkan diri dengan rombongan itu dan sekarang berada di samping Chin Yang Kun bersama-sama perwira tua itu, segera menghentikan barisan tersebut.

   "Maaf, Ongya...! Kita telah sampai di tapal batas Kotaraja dan sebentar lagi kita akan memasuki pintu gerbang kota sebelah Timur. Oleh karena di jalan-jalan nanti tentu akan banyak penduduk yang menyambut dan mengelu-elukan kedatangan Ongya, maka kami memohon dengan sangat kepada paduka untuk berganti pakaian yang sesuai dengan kedudukan paduka." Chin Yang Kun mengerutkan dahinya tanda kurang setuju. Tapi serentak melihat semua orang menundukkan kepala kepadanya, pemuda itu tidak tega untuk menolaknya. Apalagi pemuda itu ingin lekas-lekas berjumpa dengan ayahandanya.

   "Baiklah! Manakah pakaianku itu?" sahut pemuda itu singkat. Seorang perwira muda segera turun dari atas kudanya dan berlari-lari datang mempersembahkan sebuah buntalan kepada perwira tinggi itu. Dan selanjutnya perwira tinggi itu lalu mempersilakan Chin Yang Kun untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang berada di dalam buntaIan tersebut.

   Dan beberapa saat kemudian Chin Yang Kun benar-benar telah berubah menjadi seorang pangeran yang tampan berwibawa. Rambutnya yang gemuk tebal itu digelung ke atas dan diberi hiasan emas permata yang gemerlapan. Sedangkan pakaian dalamnya berwarna kuning emas dan ditutup dengan sebuah mantel sutera hitam berhiaskan benang berwarna-warni di bagian pundak dan punggungnya. Sepatunya juga berwarna hitam dengan hiasan permata merah di ujungnya. Chin Yang Kun menghela napas panjang ketika melihat para perwira itu menatap kagum dan bangga kepadanya. Di dalam hati kecilnya pemuda itu sebenarnya malah merasa kikuk dan kaku berpakaian seperti itu. Tapi apa boleh buat, pokoknya dia dapat lekas menjumpai ayahandanya yang sedang sakit.

   "Ongya...! Ongya benar-benar cocok dan serasi sekali mengenakan pakaian seperti ini." perwira tinggi itu memuji. Dan betul juga kata-kata perwira itu. Di setiap jalan mereka disambut dan dielu-elukan oleh para penduduk. Lelaki perempuan, anak-anak dan dewasa, semuanya berlari-lari ke jalan besar dan berdesakan di sana.

   "Hidup Pangeran...!"

   "Hidup Putera Mahkota!" Para penduduk itu berteriak-teriak, menjerit-jerit gembira, seakan-akan mereka itu sedang menyambut pasukan yang pulang dari medan perang. Dan semakin mendekati pintu gerbang kota, penduduk yang menyambut rombongan itupun juga semakin banyak pula. Chin Yang Kun semakin kikuk pula di atas punggung kudanya. Belum pernah rasanya pemuda itu dihormat dan disanjung-sanjung orang seperti itu. Apa lagi ketika pemuda itu melihat di antara mereka yang berdesakan di pinggir jalan itu amat banyak gadis-gadis Kotaraja yang sangat terkenal cantiknya itu, otomatis wajah pemuda itu menjadi merah dan keringat dinginnya keluar. Namun demikian agar jangan mengecewakan mereka, terpaksa pemuda itu menyambut lambaian tangan mereka.

   "Ciangkun...!" Chin Yang Kun berbisik kepada perwira itu yang selalu mendampinginya itu. "Mengapa mereka mengetahui kedatanganku? Dan mengapa mereka juga mengetahui kalau aku putera Hongsiang?" Perwira tua itu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Namun demikian dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, matanya yang telah mulai berkeriput itu melirik kepada Perwira Tinggi yang berkuda bersama dengan mereka itu.

   "Hongsiang adalah Kaisar yang berani dan suka berterus terang, Ongya sendiri tentu masih ingat akan pertemuan di desa ln-ki-cung beberapa hari yang lalu. Sebenarnya pertemuan antara keluarga ln Leng Hoan dan Hongsiang itu sifatnya sangat rahasia dan pribadi. Meskipun demikian ternyata Hongsiang tidak berusaha untuk merahasiakannya.Hongsiang justeru mengumpulkan seluruh perwira dan pembantu-pembantunya untuk ikut menyaksikan pertemuan itu. Dan agaknya sekarangpun Hongsiang telah berbuat demikian pula terhadap kita," perwira tinggi itulah yang akhirnya membuka mulut untuk memberi keterangan.

   "Maksud Goanswe?" Chin Yang Kun mendesak dengan wajah tak mengerti.

   "Kemarin kami telah mengirimkan kurir untuk berangkat Iebih dulu ke Kotaraja. Kurir itu kami perintahkan untuk melapor kepada Hongsiang tentang kedatangan Ongya kemari. Dan agaknya... Hongsiang demikian gembiranya sehingga beliau lalu memerintahkan para pembantunya untuk memberitahukan kegembiraan itu kepada seluruh penduduk Kotaraja. Dan inilah akibatnya..."

   Ternyata pintu gerbang kota itu telah dihias dan dipajang pajang pula dengan meriahnya. Seregu perajurit pengawal utama yang berseragam indah gemerlapan tampak menjemput rombongan itu di pintu gerbang tersebut. Tambur dan terompet segera dibunyikan sebagai ucapan selamat datang. Dan rakyat yang berjejal-jejal di tempat itupun lantas bersorak-sorak gembira sekali, suatu tanda bagaimana cintanya mereka terhadap Kaisar junjungan mereka. Begitu kuda yang dinaiki Chin Yang Kun menginjakkan kakinya ke atas jembatan penyeberangan, semua perajurit penyambut segera berlutut ke arah Chin Yang Kun. Setelah mereka berdiri kembali, lalu seorang perajurit bergegas maju ke depan seraya menuntun...Si Cahaya Biru, lengkap dengan pakaiannya yang gemerlapan!

   "Hei! Cahaya Biru...!" Chin Yang Kun berseru kaget, lalu bergegas turun menghampiri kuda kesayangannya itu. Prajurit yang menuntun kuda itu segera berlutut dan menyerahkan tali kendali kuda itu kepada Chin Yang Kun.

   "Ohh... apa khabar Cahaya Biru?" Chin Yang Kun menyapa dan mendekati kuda itu, lalu merangkul lehernya dengan penuh kecintaan.

   

Darah Pendekar Eps 8 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7 Darah Pendekar Eps 17

Cari Blog Ini