Pendekar Penyebar Maut 7
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 7
"Awas! Jangan sampai racun itu menular ke pada tubuh kalian!" Baginda memperingatkan. Tentu saja Yang Kun heran sekali mendengar kata peringatan sahabatnya itu. Apalagi ketika dilihatnya semua orang berwajah pucat. Tanpa bersuara mereka menggotong tubuh Tio shao-ping keluar dari ruangan itu.
"Liu-Twako! Apa yang terjadi? Kenapa Tio shao-ping itu?" pemuda itu berteriak.
"Kun-te... sudahlah! Lihat dahulu lukamu, baru kita pikirkan yang lain!"
"lihat! Perutku benar-benar hanya tergores sedikit saja! Aku sungguh tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit mual dan pusing akibat hentakan tombak Tio shao-ping yang menghantam perutku tadi." Yang Kun berkata sambil memperlihatkan perutnya yang terluka.
"Sukurlah!" Baginda merasa lega. "Ketahuilah, Kun-te, Tio shao-ping telah meninggal dunia terkena tamparan tanganmu tadi...!"
"Hah? Mati? Bagaimana mungkin? Bukankah tamparan itu hanya sebuah tamparan biasa saja tanpa dilandasi lweekang?"
"Benar, tapi ketahuilah bahwa telapak tanganmu telah lecet-lecet berdarah sebelum menampar Tio shao-ping tadi. Padahal seperti yang telah kuceritakan kepadamu dahulu bahwa darahmu telah mengandung racun dahsyat, yang dapat membunuh orang..."
"Oooohh...!"
"Sudahlah, Kun-te, engkau tidak usah menyesalinya. Hal ini memang tidak kau sengaja. Hanya mulai saat ini kau harus hati-hati dengan darah yang keluar dari tubuhmu, sebab darah itu mengandung racun yang dapat membunuh orang selain dirimu sendiri. Marilah kita keluar...!"
"Baik, Liu Twako..." Hari semakin malam, udara juga semakin terasa dingin. Bulan purnama juga telah mendaki semakin tinggi pula. Kaisar Han mengajak Yang Kun ke halaman istana bagian tengah di mana bangunan-bangunan indah didirikan, yaitu beberapa bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi tempat Kaisar dan seluruh anggota keluarganya bertempat tinggal. Di sana penjagaan lebih ketat dan keras dari pada bagian istana yang lain.
"Kita tidak usah masuk ke dalam. Soalnya harus ada ijin khusus selain keluarga Kaisar yang ingin masuk ke tempat itu." Kaisar Han berkata. "Kita lewat melalui jalan di luar temboknya saja."
"Liu Twako, apakah pengaruhmu tidak sampai di dalam tembok itu?"
"Haha" tentu saja kakakmu ini mempunyai juga pengaruh di sana. Tetapi punya pengaruh atau tidak punya pengaruh tetap sama saja kalau akan memasuki daerah terlarang itu. Tetap harus mempunyai ijin khusus dari Kaisar!" Akhirnya mereka sampai di halaman istana bagian tengah di mana terdapat sebuah bangunan yang besar dan megah. Di depan pintu masuknya yang besar dan indah tampak berderet-deret belasan buah patung manusia setinggi dua meter, terbuat dari batu pualam putih. Halamannya sangat luas dan ditanami pohon-pohon cemara sehingga terasa sejuk dan agung. Di sebelah belakang dari bangunan itu berdiri sebuah pagoda besar yang bertingkat tujuh menjulang ke angkasa. Beberapa orang pendeta tampak hilir mudik di dalamnya.
"Inilah kuil agung tempat para bangsawan istana bersembahyang." Baginda memberi keterangan kepada Yang Kun. "Kepala kuilnya adalah ayah saudara Chu yang mengobati engkau dahulu itu. Bangunan ini telah berdiri kira-kira 200 tahun yang lalu... dan satu-satunya bangunan di dalam istana ini yang lolos dari gempa."
"Bolehkah aku melihat ke dalam?"
"Tentu saja..." Yang Kun kagum sekali pada gaya bangunan yang sangat megah itu. Semua kayu-kayunya diukir dengan indah sekali. Lantainya juga terbuat dari batu pualam putih.
Ruangan depan yang luas itu dihiasi dengan beberapa patung dewa dewi di bagian tepinya, sementara altar tempat bersembahyang yang terletak di tengah-tengah ruangan itu terbuat dari batu pualam bening seperti kaca setebal satu jengkal lengan manusia. Persis di atas altar tersebut, yaitu pada atap di gentingnya dibuat sebuah lubang seluas altar itu pula, sehingga sinar matahari maupun bulan dengan bebas dapat masuk menerangi altar kaca itu. Beberapa orang pendeta menyambut kedatangan mereka, tetapi Kaisar Han cepat memberi keterangan bahwa mereka hanya ingin melihat-lihat saja keindahan dari kuil itu, sehingga pendeta-pendeta tersebut kembali lagi ke dalam setelah mempersilahkan mereka untuk melihat-lihat sepuas-puasnya.
"Liu Twako, lihatlah! Altar itu sungguh menggetarkan hati! Altar bening yang tertimpa sinar bulan purnama itu seakan akan mempunyai perbawa yang hebat pada diri orang yang melihatnya." Yang Kun berbisik kepada sahabatnya.
"Benar. Aku juga merasakan sesuatu pengaruh yang membuat diriku merasa segan dan takut untuk berbuat sesuatu yang jelek di tempat ini..."
"Twako... aku tiba-tiba jadi kepingin sembahyang di tempat ini..." Yang Kun berbisik lagi. Kaisar Han tercengang! Tapi serentak dilihatnya pemuda itu tampak bersungguh sungguh dan tidak hanya sekedar bergurau dengan dia, Baginda segera mempersilahkannya.
"Silahkan, Kun-te! Aku akan menunggu di luar saja." Sebenarnyalah, memang secara tiba-tiba hati pemuda itu ingin sekali berdoa dan bersyukur di atas altar yang menyilaukan itu. Ia ingin bersyukur atas keselamatan dirinya dari kematian ataupun dari luka-lukanya yag berbahaya itu,
Ia ingin mengucapkan terima kasihnya kepada Thian atas semua itu dan ia juga secara tiba-tiba ingin menyembahyangkan semua arwah keluarganya yang sampai saat ini belum pernah ia lakukan. Mumpung sekarang berada di tempat yang begini agung dan mengesankan hatinya, siapa tahu ia takkan sempat lagi melakukan di tempat lain? Yang Kun mencopot sepatunya kemudian membersihkan kedua belah kakinya sebelum naik ke atas altar. Pertama-tama ia menyembahyangkan arwah ibu yang sangat dicintainya, baru setelah itu ia menyembahyangkan arwah ayah dan paman-paman yang lain. Sinar bulan purnama yang menyorot cemerlang tepat di atas kepalanya itu semakin menambah perbawa yang menakjubkan pada altar bening yang kini berada di bawah kakinya.
Bayangan langit, mega, bulan dan bintang seakan terpantul di sana, sehingga pemuda itu merasa berada di atas mega yang tinggi bersama-sama dengan mereka! Yang Kun merasa seakan bayangan bulan yang terpantul di bawah kakinya itu sedang tersenyum kepadanya. Tersenyum bangga, karena dialah yang menjadi ratu pada malam ini. Tanpa kehadirannya, semuanya akan menjadi gelap dan tak berarti lagi. Tetapi tiba-tiba Yang Kun terkejut! Rasa-rasanya ia melihat dua buah bulan sedang tersenyum kepadanya di dalam altar itu. Yang ke dua justru lebih cemerlang dari pada bulan yang pertama, sehingga rasa-rasanya altar tersebut semakin terasa menyilaukan pandangannya. Ketika pemuda itu memandang lebih teliti lagi, ternyata ia melihat lubang kecil sebesar kepalan tangannya di bawah altar itu.
Dan jauh di dasar lubang tersebut Yang Kun melihat benda berwarna kuning mengkilat cemerlang terkena sinar bulan yang memasuki lubang kecil itu. Dari tempat itulah sinar bulan yang kedua datang. Yang Kun cepat-cepat turun dari atas altar tersebut dengan maksud memberi tahu tentang penemuannya itu kepada sahabatnya. Tapi di luar kuil Yang Kun tidak melihat sahabatnya. Halaman depan kosong, begitu pula halaman samping. Pemuda itu berlari masuk kembali ke dalam kuil, tapi ia tetap tidak menemukan sahabatnya itu. Seperti orang sinting Yang Kun berlari kembali ke atas altar. Tapi betapa kagetnya ketika lubang yang berisi benda kuning itu telah lenyap dan tiada lagi di sana, seakan hilang bersama gerakan bulan yang telah sedikit mendoyong ke arah barat.
"Liu Twako... Liu Twako! Dimanakah engkau?" pemuda itu berseru. Beberapa orang pendeta tampak keluar dari dalam kuil dan dengan tergesa-gesa menghampiri Yang Kun.
"Siauw-sicu, kau mencari siapakah?" salah seorang pendeta yang berusia paling tua di antara mereka bertanya.
"Oh, siauwte sedang mencari kawan siauwte yang tadi datang ke sini bersama Siauwte..." pemuda itu menjawab.
"Apakah sicu adalah teman..."
"Kun-te...!" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari jauh.
Yang kun bergegas meloncat keluar pintu, diikuti oleh para pendeta itu. Tampak oleh mereka di atas pagoda dua orang sedang bertempur dengan seru. Salah seorang di antara mereka dikenal oleh Yang Kun sebagai Liu Twako, sahabat yang sedang dicarinya itu. Mereka berlari-lari menghampiri tempat itu. Dari bawah terlihat dengan nyata, kedua orang yang sedang berkelahi di tingkat ke tiga itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang Kun mengenal bahwa yang laki-laki adalah Liu Twako, sahabatnya, tapi yang lain pemuda itu tidak mengenalnya. Kedua orang tersebut bertempur dengan seru. Masing-masing ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, apalagi wanita itu. Pukulan mereka yang dilandasi oleh tenaga dalam tingkat tinggi terdengar bersiutan dari bawah, sehingga pagoda itu seperti bergetar dilanda angin pukulan mereka.
Kaisar Han yang sebelum menjadi Kaisar adalah seorang pendekar besar yang sangat terkenal di dunia persilatan tentu saja mempunyai kesaktian yang bukan main hebatnya, sebab tanpa mempunyai kesaktian yang hebat tidak mungkin dia bisa memimpin barisan para pendekar yang rata-rata juga merupakan seorang pendekar yang sudah punya nama pula di dunia persilatan. Meskipun demikian dalam pertempuran seorang lawan seorang dengan wanita itu ternyata Baginda berada di bawah angin. Wanita yang sekarang sedang bertempur dengan Baginda adalah seorang wanita yang telah berumur sekitar 60-an, tapi meskipun begitu ternyata gerakannya masih tetap gesit dan tangkas. Dengan langkah-langkah kaki yang cepat serta lweekang yang tinggi, ia mengurung Kaisar Han yang selalu terdesak mundur.
Beberapa kali wanita itu memaksa Baginda untuk saling beradu kepalan atau lengan dan setiap kali pula Baginda harus mengakui kehebatan tenaga dalam lawannya. Meskipun hanya seorang wanita apalagi sudah tua ternyata kekuatannya masih berada di atas kekuatan Baginda. Baginda semakin terpepet di pagar kayu yang berada di tingkat tiga tersebut. Anehnya sampai saat itu tak seorang pengawalpun yang datang ke tempat itu untuk menolong Baginda. Agaknya para pengawal istana yang berada di sekitar tempat itu telah dilumpuhkan oleh wanita tersebut. Sedangkan para pendeta yang berada di dalam kuil itu tak seorang pun yang mengerti ilmu silat selain kepala kuilnya yang bernama Chu Sin, ayah Chu Seng Kun! Tapi sampai saat itu Chu Sin pun belum kelihatan di tempat tersebut.
Akhirnya Yang Kun tidak tega melihat keadaan sahabatnya. Tapi sebelum ia berlari menyusul ke atas, tiba-tiba terdengar suara berdentam yang keras disertai ambrolnya pagar kayu yang melingkari teras di tingkat ke tiga. Tampak oleh Yang Kun sahabatnya terlempar ke bawah akibat beradu tenaga dengan lawannya. Yang Kun berusaha menyanggah tubuh sahabatnya. Tetapi oleh karena lweekangnya telah tiada, apalagi Kaisar Han ternyata juga telah terluka dalam akibat pukulan lawan, maka keduanya justru jatuh terguling-guling di atas rumput. Tapi hal itu juga sudah merupakan sebuah keuntungan pula bagi Kaisar Han. Tanpa disanggah oleh Yang Kun, meskipun Baginda juga telah mengerahkan ginkangnya, jatuh dari tempat yang begitu tinggi niscaya akan berbahaya pula bagi tulang-tulang kakinya.
Yang Kun menolong sahabatnya untuk bangkit dari rumput. Tampak oleh pemuda itu darah segar mengalir dari mulut sahabatnya, menandakan bahwa sahabatnya itu mendapat luka dalam yang tidak ringan. Tapi sebelum mereka berdiri tegak, mereka dikejutkan oleh hembusan tenaga dalam yang dilontarkan dari atas kepala mereka. Ketika mereka mendongakkan kepala mereka, tampak bayangan wanita itu meluncur turun ke arah mereka, dengan kedua belah lengannya menghantam ke depan. Kedua orang sahabat itu merasa seperti dihimpit oleh tenaga yang amat berat, sehingga untuk mengambil napas saja sukar sekali rasanya. Apalagi untuk dapat menghindar dari tempat itu. Terpaksa secara bahu-membahu kedua sahabat itu bersama-sama memapaki pukulan lawan yang saat itu sedang meluncur tiba.
"Buuummm...!" Debu tampak mengepul tinggi. Rumput-rumput bagai tercabut dari akar-akarnya. Kerikil dan pasir berhamburan ke mana-mana. Kedua sahabat itu seakan lenyap tertutup oleh semuanya itu. Sedangkan wanita yang terjun dari tingkat ke tiga itu kelihatan mendarat dengan ringan tak jauh dari sana.
Daya perlawanan kedua orang itu justru sangat menguntungkan bagi wanita tersebut, sebab dengan
mendapatkan perlawanan itu membuat laju tubuhnya menjadi tertahan untuk sesaat. Bersama dengan makin menipisnya debu yang menutupi tempat itu terdengar pula suara-suara tanda bahaya yang dipukul memenuhi angkasa. Wanita itu tampak kaget, sekilas dilihatnya kedua orang korban pukulannya itu masih tergeletak pingsan di tempatnya. Tapi sebelum ia beranjak pergi untuk meninggalkan tempat itu, telinganya yang sangat tajam mendengar derap kaki orang dari segala penjuru. Dan sebelum ia memutuskan apa yang mesti diperbuatnya untuk dapat meninggalkan tempat tersebut tampak puluhan bahkan ratusan prajurit pengawal tampak memenuhi halaman kuil itu!
Wanita itu terdengar menggeram dengan marah. Agaknya kedatangannya kali ini telah diperhitungkan oleh lawannya, buktinya ia melihat beberapa orang prajurit serta perwira pasukan kerajaan di antara para pengawal istana itu. Tetapi meskipun demikian kedatangannya kali ini untuk membunuh Kaisar Han ternyata justru memperoleh keberhasilan. Secara tak terduga wanita itu dapat bertemu dengan Kaisar di tempat tersebut, padahal kemarin malam ia telah berputar-putar hampir di segala sudut istana tanpa membawa hasil. Sekali lagi wanita itu menoleh ke arah Kaisar Han dan Chin Yang Kun yang masih pingsan dan tiba-tiba saja ia memperoleh jalan keluar untuk meloloskan diri dari kepungan para prajurit itu. Wanita itu meloncat dengan cepat dan di lain saat kedua tubuh Kaisar Han dan Yang Kun telah berada dalam genggaman tangannya.
Dengan kedua sosok tubuh di tangannya wanita itu berusaha membobol kepungan tersebut. Tubuh Yang Kun dan tubuh Kaisar Han diayun ke sana ke mari untuk menghantam ke arah mereka. Tentu saja para perwira yang memimpin pengepungan itu menjadi kalang kabut mengatur anak buahnya agar tidak salah tangan membunuh raja mereka sendiri. Pasukan anak panah yang datang juga ke tempat itu tidak dapat berkutik pula di menghadapi keadaan seperti itu. Sehingga akhirnya pasukan pengepung yang beratus-ratus jumlahnya itu hanya bisa mengikuti saja ke mana wanita itu membawa korbannya. Mereka berteriak-teriak dan memaki-maki wanita tersebut dari kejauhan. Kaisar Han dan Yang Kun dibawa lari ke arah halaman istana bagian belakang.
Di tengah-tengah taman istana wanita itu telah dihadang pula oleh sejumlah perwira yang berkepandaian tinggi. Mereka inilah yang akhirnya dapat sedikit menghambat langkah kaki orang yang akan menculik dan membawa pergi junjungannya. Dengan kepandaian mereka yang tinggi mereka dapat memilih sasaran-sasaran yang mereka kehendaki, biarpun untuk berbuat begitu juga tidak mudah, karena orang yang mereka hadapi kali ini juga bukan orang sembarangan. Alhasil para perwira itu tetap tidak dapat menangkap musuh yang menawan Kaisarnya, tetapi penculik yang berusaha membunuh Kaisar itupun juga mengalami kesukaran untuk meloloskan diri dari istana itu. Pertempuran itu makin lama makin bergeser ke arah belakang sehingga akhirnya mencapai celah lebar bekas gempa yang pernah diceritakan oleh Kaisar Han itu.
Tempat itu kini malah menjadi tempat bercengkrama yang indah bagi keluarga Kaisar, karena celah yang panjang dan lebar itu entah dari mana datangnya telah dipenuhi dengan air yang sangat bening, sehingga dasar celah yang terdiri dari lapisan batu kapur yang sangat keras dan terdiri dari bermacam-macam warna itu memantul ke atas bagaikan warna pelangi yang berkilau-kilau di atas permukaan air. Lambat laun wanita itu mendekati daerah tepi tebing celah tersebut yang penuh ditumbuhi pohon-pohon cemara yang rimbun. Sambil berlari berputar-putar di antara pohon-pohon tersebut, wanita itu sesekali melongok ke bawah tebing, ke arah permukaan air telaga yang bening yang berada sejauh tiga empat meter dari permukaan tanah itu.
Atau kadangkadang matanya melirik ke arah permukaan air telaga yang bermandikan cahaya bulan itu. Agaknya wanita tersebut sedang berpikir keras untuk mencari jalan yang lebih aman baginya, yaitu menyeberangi telaga kecil itu ataukah menyusuri saja celah tersebut. Dan agaknya maksud hatinya itu dapat dibaca juga oleh para pengepungnya, buktinya salah seorang dari para perwira itu cepat memerintahkan para prajuritnya untuk menyingkirkan perahu-perahu kecil yang berada di sana. Selain itu juga diperintahkan untuk memperketat pengepungan di kedua belah tepian telaga itu, sehingga akhirnya ruang gerak dari wanita itu menjadi sangat terbatas. Tentu saja hal itu membuat wanita itu menjadi marah sekali.
Tampak wanita itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan menyerang para pengepungnya dengan lebih ganas. Ia tidak lagi memperdulikan apakah kedua korbannya yang saat itu berada di dalam cengkramannya akan mati atau tidak. Ketika salah seorang perwira mendapat kesempatan untuk menyerang punggung wanita itu justru menjadi terkejut setengah mati ketika wanita itu memapaki serangannya dengan tubuh sri Baginda sendiri. Dengan kalang kabut perwira itu berusaha menarik dan menghindarkan arah serangannya, tapi dengan berbuat begitu ia menjadi lengah akan pertahanan tubuh sendiri. Dan kesempatan ini memang tidak disia-siakan oleh wanita yang sakti itu. Dengan sedikit merendahkan tubuh, wanita itu menghantamkan ujung tumitnya ke arah tubuh lawan yang sudah kehilangan keseimbangan tersebut.
"Heeekkk...!!" Bagai sebuah layang-layang putus badan perwira itu terlempar tinggi ke udara dengan nyawa sudah meloncat pula dari tubuhnya. Tubuh tersebut jatuh ke atas tanah dalam keadaan hancur semua tulang dadanya.
Darah segar mengalir dengan deras dari mulutnya yang ternganga! Ketegangan telah menyelimuti udara di pinggir telaga itu. Darah telah mulai mengalir! Semua perwira dan prajurit yang saat itu berada di tempat tersebut seakan terpukau oleh kejadian yang baru saja terjadi. Dan lagi-lagi kesempatan itu tidak disia-siakan pula oleh wanita perkasa itu. Dengan berteriak nyaring wanita tua itu menggerakkan lehernya kuat-kuat, dan melesatlah tiga buah tusuk kundai kemala yang berada di atas sanggulnya, meluncur ke arah para perwira yang berdiri di sekitarnya. Terdengar suara mengaduh yang hebat dan kembali tiga orang perwira telah jatuh terkapar dengan nyawa melayang. Darah merah mengucur dari dahi setiap perwira itu yang berlubang karena tertambus oleh tusuk kundai wanita itu.
"Adikku... tahan! kau jangan membunuh orang...!" tiba-tiba terdengar sebuah seruan nyaring dari puncak menara pemandangan yang berdiri di pinggir telaga. Bersama dengan hilangnya suara teriakan itu, tampak oleh semua orang yang berada di tempat itu seorang pendeta tua melayang turun dari puncak menara bagaikan burung terbang saja. Kain lebar yang menutupi pundaknya yang telanjang tersebut berkibar-kibar tertiup angin, sepintas lalu seperti sepasang sayap yang menggelepar pada tubuh tua yang sedang terbang ke bawah itu. Sebelum sampai tanah orang tua itu tampak berjumpalitan beberapa kali di udara, baru setelah itu mendarat dengan empuk di atas tanah. Benar-benar suatu pertunjukan ginkang yang telah mencapai tingkatan tinggi.
"Bu Hong Seng-jin!" Wanita itu berseru kaget. "Adikmu ini telah beberapa hari mencarimu ke mana-mana tanpa membawa hasil, eh... ternyata Sin-ko (nama kecil pendeta tua itu adalah Chu Sin) berada di tempat ini."
"Benar Siang-moi...! Aku sebenarnya juga tahu bahwa engkau sedang mencari aku dalam beberapa hari ini. Tapi... aku juga mengetahui bahwa engkau ingin mengajak aku untuk berbuat yang tidak baik di dalam istana ini. Maka oleh karena itulah aku menyembunyikan diriku di tampat ini..." pendeta tua yang dipanggil dengan nama Bu Hong Seng-jin itu menjawab teguran wanita tersebut.
"Berbuat yang tidak baik? Eh...Sin-ko, apakah perbuatanku dalam membela nama keluarga kita ini adalah jelek? Aku ingin membalaskan dendam keluarga Chin yang dihancurkan oleh Kaisar Han ini, apakah hal itu juga tidak baik?" Hening sesaat. Pertempuran berhenti dengan mendadak. Semua orang mengawasi kedua orang itu dengan tegang. Para perwira dan prajurit yang kini mengepung tempat itu tahu belaka siapakah pendeta tua tersebut, karena selain menjabat sebagai kepala kuil di istana, orang tua itu juga merupakan salah seorang dari penasehat Baginda Kaisar yang sangat dihormati. Tetapi beberapa orang dari para prajurit itu, yang dahulu pernah pula mengabdi kepada Kaisar lama, juga tahu siapakah sebenarnya wanita tua yang sangat sakti itu.
Karena pada zaman pemerintahan Kaisar Chin Si, wanita tua itu merupakan seorang pengawal pribadi Kaisar yang sangat ditakuti lawannya. Sebab selain sangat sakti wanita itu masih terhitung sebagai seorang bibi dari Kaisar sendiri. Wanita tua itu tidak lain adalah Siang-houw Nio-nio, adik sepupu dari Bu Hong Seng-jin sendiri, yang kawin dengan salah seorang keturunan langsung dari Sin-kun Bu-tek si Datuk Besar dari utara itu. Pada waktu Kaisar Chin Si jatuh dan diganti oleh Kaisar baru, wanita itu lari bersama suaminya dari istana untuk mencari putera mahkota yang pada saat itu sedang berperang di daerah perbatasan. Wanita itu bersama suaminya berharap agar Sang Putera Mahkota lekas-lekas mengambil kembali singgasana yang telah diduduki oleh seorang yang tidak berhak.
Tetapi ternyata mereka telah terlambat! Sebelum Putera Mahkota itu sempat membawa bala tentaranya ke Kotaraja, barisan para pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang telah lebih dahulu menduduki istana dan mengangkat Liu Pang tersebut menjadi Kaisar Han seperti sekarang ini. Hingga kini segala usaha dari Putera Mahkota itu untuk kembali ke istana selalu gagal, maka tidak heran jikalau wanita tua itu sebagai pendampingnya merasa sangat masgul dan sakit hati. Apalagi ketika wanita tua itu mendengar kabar tentang kedua orang puteranya yang kata orang justru telah terbujuk oleh Kaisar Han untuk menjadi pembantunya. Pendeta tua yang dipanggil dengan nama Bu Hong Seng-jin itu melangkah beberapa tindak ke depan, lalu dengan sabar dan tenang ia menjawab ucapan adik sepupunya itu.
"Adikku..., kau lihatlah baik-baik! Kulit kita telah berkeriput..., rambut kitapun telah memutih seperti perak"! Itu tandanya bahwa kita ini sungguh telah lama sekali berada di dunia ini. Sungguh jauh sekali perjalanan yang telah kita lalui dan sungguh banyak benar pemandangan yang telah kita nikmati selama ini. Betapa banyak pula segala macam berita yang telah kita dengar...! Oleh karena itu seharusnyalah kalau kita ini sudah mengetahui dan memahami apakah sebenarnya arti dan makna dari pada kehidupan kita di dunia ini..."
"Huh! Sin-ko, hentikan khotbahmu itu! Engkau salah tempat mengucapkannya. Seharusnya hal itu kau ucapkan di depan para muridmu, bukan di depanku, apalagi di depan prajurit yang siap bertempur seperti sekarang ini."
"Siang-moi, kau benar-benar tidak berubah. Tabiatmu dikala engkau masih muda masih kau bawa hingga sekarang.Tapi aku tetap ingin menasehatimu" Hentikanlah pertumpahan darah ini! kau kembalikanlah Kaisar Han itu kepada mereka!"
"Mengembalikan orang yang telah menghancurkan keluarga Chin ini kepada mereka? Huhh" enaknya! Sin-ko, tak kusangka engkau telah menyeberang pula kepada musuh. Agaknya engkau pulalah yang membujuk kedua orang keponakanmu untuk mengabdi kepada perampok ini."
"Engkau salah, adikku. Justru kedua orang puteramu itu yang lebih dahulu bersahabat dengan Kaisar Han itu dari pada aku. Nah, Siang-moi, lekaslah kau serahkan Baginda itu kepada mereka, agar kau tidak menyukarkan puteramu sendiri!"
"Orang ini tidak akan aku serahkan kepada siapapun, ia akan kubawa menghadap Putera Mahkota untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!" wanita itu berteriak. Kemudian mengerahkan ginkangnya, ia meloncat tinggi ke udara melewati kepala para pengepungnya. Kedua tubuh tawanannya sekali lagi ia putar-putar di sekeliling badannya, sehingga otomatis para pengepung buyar dengan sendirinya. Dengan mudah wanita itu berlari menyusuri tebing telaga yang menuju ke arah tembok samping istana.
"Tunggu!" Tiba-tiba terasa ada hembusan angin yang sangat kuat di sampingnya dan...pendeta tua itu telah berada di depannya kembali, sehingga terpaksa wanita itu menghentikan langkahnya. Meskipun begitu, sambil berhenti kaki kanannya dengan gesit meluncur ke arah pusar penghadangnya dalam jurus Ular Sakti Memperlihatkan Ekornya.
Ujung sepatu dari wanita itu mematuk dengan cepat menuju ke arah pusar, tapi dengan gerakan tenang pendeta tua itu menarik pinggangnya ke kiri dalam jurus Busur Kemala Tong Pin (Tong Pin adalah ksatria ahli panah dalam cerita rakyat), sehingga serangan wanita itu menemui tempat kosong. Dan sebelum wanita itu menarik kembali kakinya, tiba-tiba pendeta tersebut mengulurkan tangannya ke arah lutut lawannya. Karena tidak ingin mendapat malu apabila kakinya sampai terpegang oleh lawan, wanita tua itu cepat menyusuli dengan tendangan kakinya yang lain, kali ini ke arah lengan lawan yang terjulur ke depan itu. Tapi dengan berani pendeta tua itu memapakinya dengan lengannya.
"Dessss..." Keduanya terdorong tiga langkah ke belakang. Meskipun demikian apabila diperbandingkan, agaknya tenaga dalam dari wanita itu sedikit lebih tinggi dari pada tenaga dalam pendeta tua tersebut. Hal itu dapat dilihat dari bekas tanah yang terinjak oleh kaki mereka tadi. Biarpun harus membawa dua buah beban ternyata tak sedikitpun kaki wanita itu meninggalkan jejak, lain halnya dengan kaki pendeta itu, selain meninggalkan jejak yang dalam, bekas dari jejak kaki itupun tidak dalam posisi yang teratur. Jejak itu mencang menceng ke kanan dan ke kiri tanda bahwa pendeta itu melangkah mundur dengan kuda-kuda yang goyah. Tetapi dalam pertempuran selanjutnya selisih yang sedikit tersebut menjadi tidak begitu berarti lagi, justru kedua buah beban yang dibawa oleh wanita itulah yang akhirnya sangat menganggu sepak terjang wanita tua itu.
Bagi seorang sakti seperti pendeta tua itu tidaklah sukar untuk menghindarkan serangannya dari tubuh Kaisar Han yang berada di dalam cengkeraman lawan. Dengan mudah pendeta itu mencari lowongan-lowongan di antara ayunan tubuh Kaisar Han yang diputar-putar oleh wanita itu, sehingga tidak lama kemudian wanita itu telah mulai terdesak. Beberapa orang perwira yang ingin lekas-lekas membebaskan Kaisar mereka tampak mulai bersiap-siap pula untuk terjun ke dalam pertempuran. Salah seorang diantaranya malah sudah mempersiapkan sebuah jaring besar dengan anak buahnya. Jaring itu mereka bentangkan di atas tanah dekat menara pemandangan tanpa setahu wanita tua itu.
"Siang-moi, lekas kau serahkan Kaisar Han itu kepada mereka sebelum terlambat! Lihat, mereka sudah tidak sabar lagi!" pendeta tua itu memperingatkan adik sepupunya.
"Hmm... lihat serangan!" wanita itu berseru dengan keras. Tak ada sedikitpun niatnya untuk membebaskan Kaisar Han itu, apalagi sampai menyerahkan diri. Tubuh Yang Kun yang dia jinjing dengan tangan kiri ia hantamkan ke depan, ke arah kepala Bun Hong Seng-jin. Pendeta tua itu cepat membungkukkan badannya, sehingga serangan tersebut lewat di atas kepalanya. Kemudian dengan tangkas ia melangkahkan kakinya ke depan malah dan dari samping itulah ia melepaskan totokan jarinya yang ampuh ke arah pinggang lawan. Akibatnya Siang-houw Nio-nio menjadi terkejut sekali! Terpaksa wanita tua itu mengangkat lutut kirinya ke atas untuk menahan ujung jari lawannya.
"Tukk!" Siang-houw Nio-nio tampak meringis menahan sakit. Untuk beberapa saat lamanya lutut kirinya terasa bebal terkena totokan lawan, tetapi setelah beberapa saat kemudian telah pulih kembali seperti sediakala.
Sementara itu Bu Hong Sengjin terpaksa tidak dapat melanjutkan pula serangannya yang hampir membawa hasil tersebut karena ujung jari yang mengenai lutut lawan itu juga terasa sakit bukan main! Tetapi beberapa orang perwira yang sedari tadi telah bersiap-siap di sekitar mereka, ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Selagi wanita itu terhuyung-huyung menahan rasa sakit pada lututnya, mereka langsung terjun ke arena untuk mengeroyoknya. Akibatnya memang terasa sangat berat bagi Siang-houw Nio-nio, setiap kali ia terhuyung-huyung ke belakang menahan serangan mereka,sehingga akhirnya tanpa terasa ia mundur ke arah bentangan jaring yang telah dipasang oleh para prajurit tadi. Awal mendung yang tebal tampak menutup bulan di atas langit dan untuk beberapa saat udara pun menjadi gelap gulita.
Suasana di dalam arena pertempuran itupun tampak gelap, hanya sinar-sinar kecil dari lampu-lampu tamanlah yang menerangi tempat tersebut. Keadaan itu tentu saja membuat pertempuran tersebut menjadi kacau balau. Siang-houw Nio-nio juga tidak merasa sama sekali bahwa ia semakin mendekati bentangan jaring yang akan menjerat tubuhnya. Ketika pada suatu saat ia meloncat mundur untuk menghindari serangan Bu Hong Seng-jin, salah satu dari kakinya telah menginjak pinggiran jaring. Para perwira yang mengeroyoknya semakin meningkatkan desakan mereka, dengan maksud agar wanita itu segera memasuki jaring yang mereka pasang tersebut. Dengan dilindungi oleh kawan-kawannya, salah seorang perwira tampak menyerang dengan nekad ke arah Siang-houw Nio-nio, sehingga akhirnya wanita itu terpaksa mundur juga.
Kemudian terdengar suara aba-aba dan jaring itu digulung dengan cepat. Tapi terbuktilah di sini bahwa wanita tua tersebut memang bukan seorang tokoh sembarangan. Perasaannya yang tajam segera mencium suatu yang tidak beres pada tanah tempat ia berpijak, sehingga dengan kesaktiannya yang menakjubkan dia lekas-lekas melenting tinggi ke udara bersama dengan aba-aba ditariknya jaring itu dari atas tanah. Wanita tua itu meluncur tinggi ke arah puncak menara pemandangan dengan menjinjing ke dua orang tawanannya, sehingga maksud lawan untuk menjaring tubuhnya mengalami kegagalan, Dan jika mereka beberapa saat yang lalu mereka telah dibuat kagum oleh cara Bu Hong Seng-jin ketika turun dari atas menara, kini mereka justru lebih dikejutkan lagi oleh kehebatan wanita itu dalam menghindari tangkapan jaring mereka.
Beberapa meter dari atas puncak menara, daya luncur dari wanita itu telah habis. Tapi sebelum tubuh itu melayang kembali ke bawah, tampak tubuh Yang Kun ia lepaskan. Lalu dengan menjejakkan kakinya pada tubuh pemuda itu ia meluncur kembali ke arah puncak dengan manisnya. Sebaliknya, tubuh Yang Kun yang dipakai sebagai batu loncatan tersebut melesat dua kali lebih cepat ke arah permukaan air telaga. Disertai dengan muncratnya air telaga, tubuh pemuda itu tenggelam ke dasar telaga dengan cepat sekali. Sementara itu para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengepung kaki menara. Mereka tidak mungkin untuk naik ke atas menara dengan melalui tangga yang tersedia. Hal itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka, karena dengan melalui jalan tersebut adalah sangat mudah bagi wanita itu untuk membunuh mereka.
"Siang-moi, engkau tidak mungkin lagi untuk meloloskan diri dari tempat ini. Kenapa engkau tidak lekas-lekas menyerahkan saja tawananmu itu? Biarpun engkau telah membunuh salah seorang diantaranya, tetapi kukira apabila engkau menyerahkan Kaisar Han itu dengan tak kurang suatu apa, engkau akan diberi kelonggaran juga nanti." Bu Hong Seng-jin berteriak dari bawah.
"Hmm, jangan bermimpi! Sampai matipun aku tidak akan menyerahkannya. Sekarang aku akan beristirahat sebentar, nanti aku akan berusaha untuk menerobos kembali kepungan kalian. Kalau toh aku tidak dapat melakukannya, Kaisar ini akan aku bunuh lebih dahulu baru aku mengadu jiwa dengan kalian semua." Semua terdiam. Mereka menanti dengan tegang. Melihat gelagatnya wanita itu benar-benar akan membuktikan segala ucapannya tersebut. Para perwira dan Bu Hong Seng-jin hanya saling pandang dengan bengong. Mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk membebaskan junjungan mereka itu. Tiba-tiba...
"Yap Tai-Ciangkun telah datang...! Harap semua prajurit minggir!" terdengar para prajurit yang berada di daerah belakang berteriak-teriak bersahut-sahutan. Kepungan itu otomatis menyibak ke samping dengan sendirinya. Mereka dengan tegap memberi penghormatan kepada panglima mereka yang baru tiba. Yap Tai-Ciangkun dengan pakaian kebesarannya yang gemerlapan tampak berjalan dengan gagah diiringi oleh para pengawal khususnya. Di depan Bu Hong Seng-jin panglima itu tampak mengangguk dengan hormat sekali, lalu berhenti. Kepalanya mendongak ke atas ke arah puncak menara itu.
"Bu Hong supek, apakah penculik itu masih berada di atas sana? Bagaimana dengan keadaan Baginda Kaisar?"
"Kim-ji... kau... ah... kau..." Bu Hong Seng-jin tak bisa bicara.
"Supek, ada apakah? Kenapa supek kelihatan...?"
"Hmmm...Kim-ji, akhirnya kau datang juga ke tempat ini. Apakah engkau akan menangkap aku pula?" tiba-tiba wanita yang berada di atas menara itu berseru ke bawah. Kalau ada halilintar menyambar di dekat telinga Yap Tai-Ciangkun pada saat itu mungkin tidak akan mengagetkannya seperti ketika ia mendengar suara wanita yang datang dari atas menara itu. Sedikitpun panglima itu tidak membayangkan bahwa ia akan bertemu dengan ibunya di tempat ini dan dalam suasana seperti ini pula. Sejenak Yap Tai-Ciangkun hanya terlongong-longong diam tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan sedang bergulat di dalam hatinya! Antara perasaan senang, sedih, kaget, gembira, menyesal, takut dan lain sebagainya.
"Ibuuu..." Panglima itu menyapa ibunya lirih. Bayangan seorang panglima besar yang setiap kali membuat ketakutan barisan musuh kini seperti hilang lenyap dari tubuhnya. Yang terpancar dari wajahnya kini hanya sebuah bayangan dari seorang anak yang ketakutan di hadapan ibunya. Tentu saja semua gerak-gerik serta keadaan Yap Tai-Ciangkun yang seperti itu membuat para perwira dan prajurit yang berada di tempat itu menjadi terheran-heran tak mengerti. Mereka tidak mengerti, kenapa panglima mereka yang gagah perkasa itu memanggil ibu kepada musuh yang menculik Kaisar mereka? Kenapa agaknya panglima mereka itu menjadi ketakutan di hadapan wanita tua itu?
"Kim-ji! Kenapa engkau diam saja? Benarkah engkau akan menangkap ibu sendiri? Apa kata ayahmu nanti kalau mendengar sepak terjangmu ini?" Kembali suara wanita itu terdengar dari puncak menara. Dan suara ini semakin membuat panglima yang sudah biasa menghancurkan lawan di medan laga ini makin bertambah bungkam seribu bahasa.
"Siang-moi, kenapa engkau tidak juga berasa kasihan kepada puteramu sendiri? Apakah engkau ingin agar puteramu ini kehilangan muka di hadapan semua anak buahnya? Apakah engkau ingin agar puteramu ini mengorbankan jiwa untuk menebus semua ini?" Tiba-tiba Bu Hong Seng-jin berseru sambil maju ke depan.
Pendeta itu merasa kasihan melihat keponakannya kehilangan akal di hadapan ibunya. Bagai tersentak pula Yap Tai-Ciangkun dari keadaannya mendengar seruan supeknya itu. Keadaan yang tak terduga ini memang sangat mengejutkan hatinya. Tetapi seruan pamannya itu benar-benar membuat dirinya sadar kembali akan kedudukannya. Ia adalah seorang panglima kerajaan. Dan Kaisarnya kini dalam cengkeraman seorang musuh. Ia harus berusaha untuk membebaskannya biarpun musuh itu adalah ibunya sendiri. Dan ia bersedia untuk berkorban jiwa seperti ucapan supeknya itu, demi untuk tanggung jawabnya ini. Maka dengan langkah yang tegap dan penuh kepercayaan diri Yap Tai-Ciangkun maju ke samping Bu Hong Seng-jin.
"Supek, silahkan supek mundur! Biarlah keponakanmu saja yang menyelesaikannya!" Dengan dada tengadah panglima muda itu menghadap ke puncak menara. Suaranya terasa getir di dalam hati, meskipun diucapkan dengan tegas dan lancar.
"Ibu, agaknya ibu memang tidak menyukai aku. Agaknya ibu memang sudah tidak perduli akan kebahagiaan puteramu ini. Dahulu ketika aku masih kecil, di mana aku benar-benar sangat membutuhkan kasih sayang ibu, ibu justru pergi meninggalkan rumah untuk menjadi pengawal pribadi Kaisar Chin. Aku hanya tinggal bersama ayah yang lebih banyak di ruang samadinya dari pada membimbing diriku. Untunglah di rumah itu ada Yap suheng yang memanjakan aku. Sekarang setelah anakmu ini memperoleh kebahagiaan di sini ibu datang lagi untuk menghancurkannya..."
"Kim-ji, anakku..."
"Sebentar, ibu, jangan potong dahulu kata-kataku! Ibu, meskipun begitu sebagai seorang anak yang berbakti, aku tidak akan melawan kepada ibu. Tetapi aku hanya memohon kepada ibu untuk melepaskan Hongsiang demi tanggung jawab dan nama baik anakmu yang tidak kau sukai ini..."
"Kim-ji..."
"Sepatah kata lagi, ibu. Dan untuk kebebasan dari Hongsiang itu aku bersedia menghabisi nyawaku sendiri di hadapan ibu, agar ibu merasa puas di dalam hati. Nah, ibu... aku akan menghitung sampai tiga. Bersama dengan hilangnya nyawaku nanti kuharap ibu menepati janji untuk melepaskan Hongsiang! Nah... satu...!" Yap Tai-Ciangkun mulai menghitung sambil menempelkan ujung pedangnya di dadanya.
"Anakku... kau...!" wanita itu berdesah dengan wajah pucat.
"Yap Tai-Ciangkun...!" para perwira berseru.
"...Dua...!"
"Kim-ji...!" Bu Hong Seng-jin melangkah maju.
"Tiga!" Yap Tai-Ciangkun menghabiskan hitungannya. Dengan tenang ujung pedang yang ia bawa itu ia tusukkan ke arah dadanya.
"Kim-ji! Tahan! Aku menyerah!" wanita itu berteriak tinggi. Tubuh Kaisar Han ia buang begitu saja ke arah para prajurit yang berada di bawah menara, sementara ia sendiri terjun ke arah putera satu-satunya.
"Trakk...!"
Bu Hong Seng-jin yang saat itu telah berada di samping Tai-Ciangkun cepat menghantam ke arah ujung pedang itu, sehingga dua buah jari tangannya putus. Tetapi ujung pedang itu dapat terpental ke samping, meskipun ujungnya yang telah menembus daging tersebut sempat mematahkan sebuah tulang iga Yap Tai-Ciangkun! Darah menyembur keluar, tapi jiwa panglima itu tertolong. Wanita tua yang sangat sakti itu langsung menubruk puteranya dengan air mata bercucuran. Sementara itu tubuh Kaisar Han yang melayang dari atas itu telah ditangkap beramai-ramai oleh para prajurit dan dibawa ke tempat yang aman. Beberapa orang perwira tampak maju bersama para anak buahnya untuk meringkus wanita sakti yang sedang lengah karena menangisi Yap Tai-Ciangkun itu. Senjata mereka meluncur dengan cepat ke arah punggung wanita yang sedang membungkuk tersebut.
"Tahan!" Bu Hong Seng-jin berteriak menggeledek.
"Kraaaaaak...! Dessss...!" Bersama-sama dengan Bu Hong Seng-jin, Yap Tai-Ciangkun yang mengetahui bahaya tersebut, sehingga tubuh ibunya ikut terjengkang ke belakang. Wanita Sakti itu lolos dari kematian, tetapi sepasang lengan Yap-Tai-Ciangkun dan Bu Hong Seng-jin juga mengalami luka-luka pula terkena senjata mereka.
"Berhenti!" Yap Tai-Ciangkun menggertak anak buahnya.
"Siapapun tidak boleh melukai ibuku. Beliau telah menyerahkan tubuh Hongsiang kepada kita dengan tidak kurang suatu apa. Kini beliau aku bebaskan untuk pergi dari tempat ini. Untuk itu aku akan mempertanggungjawabkan sendiri kepada Hongsiang nanti. Tan-Ciangkun...!"
"Ya...!"
"Beri ibuku ini sebuah perahu dan biarkan beliau menyeberangi telaga ini!"
"Baik, Tai-Ciangkun!"
"Ingat, tak seorangpun boleh mengganggu dia!"
"Anakku... Bagaimana luka-lukamu? mengapa engkau berlaku bodoh seperti itu? Bagaimana semuanya menjadi seperti ini? Ohh... ibumu memang telah berlaku kejam terhadapmu selama ini..." wanita itu merintih.
"Perahu untuk ibu telah tersedia, Ibu... lekaslah ibu keluar dari tempat ini! Jangan menunggu sampai Hongsiang siuman dari pingsannya!" Yap Tai-Ciangkun memotong katakata ibunya.
"Tidak! Aku tidak akan pergi lagi dari sisimu! Biarlah mereka membunuhku, aku tidak takut! Aku tidak akan pergi jika tidak dengan engkau, anakku!"
"Ibu, kenapa ibu masih saja tidak mengerti hati anakmu ini? Apakah ibu ingin melihat kehancuranku? Kenapa ibu tidak membiarkan aku hidup tenteram dan bahagia dengan jalan hidupku sendiri? Jalan hidup yang kurintis sendiri sejak ibu meninggalkan diriku dahulu?"
"Kim-ji... aku sangat menyayangimu, nak!"
"Aku tahu, ibu...Tapi silahkanlah sekarang ibu naik perahu untuk meninggalkan tempat ini. Pada suatu saat nanti apabila aku masih hidup, aku akan mengunjungi ibu."
"Kim-ji... anakku!"
"Lekaslah, ibu! Atau ibu benar-benar ingin melihat aku bunuh diri sekarang?"
"Siang-moi, ayolah... kau masih menyayangi anakmu seperti katamu tadi, bukan? Biarlah kau turuti katakatanya..." Bu Hong Seng-jin cepat menengahi. Ditariknya lengan wanita itu ke arah perahu yang telah disiapkan oleh Tai-Ciangkun.
"Baiklah... baiklah, aku menurut. Tapi... kuharap engkau benar-benar mencari ibumu kelak." Wanita itu melangkah ke perahu sambil mencucurkan air mata. Yap Tai-Ciangkun mengangguk. Dia juga tidak kuasa lagi untuk berkata-kata. Dipandanginya ibunya itu sehingga mendarat di pinggir seberang.
* * *
Dasar Telaga itu sungguh sangat dalam. Tubuh Yang Kunyang bagaikan dilempar dari atas itu tenggelam ke bawah dengan cepat hingga hampir mencapai dasar telaga. Dan ketika daya lontar dari atas itu telah habis sehingga tubuh pemuda tersebut mulai terangkat kembali ke atas permukaan air, tiba-tiba datang sebuah arus air yang menyeret tubuh itu berputar menyusuri dasar telaga.
Arus tersebut menyeret tubuh Yang Kun ke arah sebuah lubang besar yang berada di dekat dasar telaga. Seperti mulut seorang raksasa lubang itu menyedot tubuh Yang Kun ke dalamnya serta menggulungnya di dalam aliran sungai di bawah tanah. Entah berapa saat lamanya pemuda itu terseret oleh aliran sungai tersebut. Tahu-tahu ketika pemuda itu siuman kembali dari pingsannya, ia telah mendapatkan dirinya di sebuah gua yang aneh. Sebuah gua yang langit-langit dan dindingnya terdiri dari batu bening yang beraneka macam warnanya, sehingga rasanya seperti di dalam mimpi saja. Tubuhnyapun terbaring di atas pasir lembut yang berkilau berwarna-warni. Yang Kun meringis menahan sakit ketika mencoba untuk bangkit, sehingga niatnya untuk duduk diurungkannya.
Rasanya tulang-tulang rusuk dan lengannya pada berpatahan semua. Maka pemuda itu membiarkan dirinya terbaring diam di tempat tersebut. Hanya kedua buah matanya saja yang sedang melirik ke sana ke mari, memperhatikan segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Di manakah dirinya sekarang? Apakah dia telah ditawan oleh wanita sakti itu dan kini telah dibawa ke sarangnya? Lalu ke mana sahabatnya itu? Apakah Liu-Twakonya itu dapat menyelamatkan diri dari keganasan musuh? Yang Kun sibuk mengingat-ingat segala kejadian yang telah menimpa dirinya beberapa saat yang lalu. Sejak ia menolong sahabatnya yang terpukul jatuh dari atas pagoda sampai ia tidak sadarkan diri akibat ikut menangkis pukulan wanita sakti itu. Peristiwa selanjutnya ia sudah tidak tahu menahu lagi.
"Biarlah aku tetap berbaring saja di sini sembil menanti kedatangan orang yang telah membawa diriku kemari..." pemuda itu berkata di dalam hati. Lalu dipejamkannya matanya sehingga akhirnya ia tertidur. Yang Kun tidak mengetahui berapa lama ia telah tertidur ketika mendadak ia terbangun. Telinganya yang sudah terlatih untuk mendengarkan suara suara lembut itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara hantu bernyanyi yang telah sangat dikenalnya itu. Hanya bedanya suara seruling itu sekarang terdengar begitu kerasnya sehingga hantu tersebut seperti meniupnya di ruangan itu juga. Malah ketika hantu tersebut mengucapkan pantunnya, pemuda itu merasa seakan-akan hantu tersebut mengucapkannya di depannya.
Sinar bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang.
Tak terasa mulut Yang Kun ikut bergumam menyanyikan lagu itu. Tapi ia menjadi kaget dan heran ketika mendadak suara nyanyian itu berhenti. Dan tidak tahu dari mana datangnya tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang nenek tua renta. Bukan main kagetnya pemuda itu. Nenek tua tersebut tak ubahnya seperti hantu. Begitu tuanya nenek itu sehingga hampir-hampir tiada lagi rambut yang tumbuh di kepalanya.
Beberapa lembar rambutnya yang putih yang masih tinggal itu juga lebih tepat disebut tengkorak dari pada dikatakan sebagai kepala dari seorang manusia yang masih hidup. Mulutnyapun kelihatan kosong tak bergigi sama sekali. Nenek itu hampir tak memakai penutup badan sama sekali, hanya sebuah sobekan kain kecil yang menutupi bagian bawahnya, sehingga tubuhnya yang seperti kerangka berselaput kulit tipis itu kelihatan nyata sekali. Satu-satunya tanda yang bisa dipakai untuk membedakan apakah orang itu laki-laki atau wanita hanyalah kedua buah dadanya yang tergantung tipis bagai lidah yang terulur keluar itu.
"Siapakah yang mengajarkan bunyi pantun itu kepadamu?" Yang Kun menoleh ke kanan dan ke kiri dengan bingung, lalu sekali lagi ia berusaha untuk bangkit tetapi tetap tidak bisa. Pertanyaan itu seperti diucapkan oleh nenek tersebut, tapi herannya bibirnya yang telah keriput itu sedikipun tidak kelihatan bergerak.
"Ayo, jawab! Kenapa malah menoleh ke sana kemari? Siapa yang kau cari? Tidak ada orang lain di gua ini selain aku dan kau!"
"Aku... ah... aku..." Yang Kun masih bingung. Sekali lagi matanya mengawasi nenek tua tersebut, tapi bibir itu tetap diam tak bergerak seperti tadi.
"Hmmm, agaknya engkau heran melihat aku bisa berkata kata tanpa menggerakkan bibirku. Uh, apa sukarnya berbuat seperti itu... hei, kenapa diam saja? Ayo jawab pertanyaanku tadi!"
"Aku... aku telah sering mendengar lagu itu."
"Heh, kurang ajar! Apakah engkau telah siuman beberapa hari yang lalu? Lalu kenapa berpura-pura masih pingsan, begitu?"
"Siuman beberapa hari yang lalu? apakah maksud Lo-Cianpwe? Aku sungguh tidak mengerti. Aku pingsan baru beberapa saat yang lalu, kenapa Lo-Cianpwe katakan telah beberapa hari yang lalu?"
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hihihihi...sungguh menyebalkan! Beberapa saat yang lalu? Hihihihi... ketahuilah, anak muda... eh, siapakah namamu?"
"Chin Yang Kun!"
"Heh, ketahuilah... kau telah pingsan selama satu bulan di sini."
"...satu bulan?" Yang Kun tersentak kaget. Satu bulan. Benarkah itu? Lalu apa yang terjadi setelah dia pingsan itu? Bagaimana kelanjutan dari peristiwa yang terjadi pada saat itu? Dan di manakah dia sekarang? Siapa pula nenek tua itu?
"Hei... siapa namamu tadi?" Tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh pertanyaan nenek tersebut. Yang Kun menatap wajah berkeriput itu dengan termangu mangu. Ia melihat mata yang cekung itu menatap dirinya dengan tegang.
"Siapa namamu? Kenapa diam saja?" nenek tua itu berteriak. Lagi-lagi meremang bulu kuduk pemuda itu mendengar suara tanpa gerakan mulut atau bibir tersebut.
"Chin Yang Kun... Chin Yang Kun nama Siauwte!" jawabnya terbata-bata.
Jilid 06
Tiba-tiba lengan kiri nenek itu terjulur ke arah leher Yang Kun. Jarak diantara mereka berdua ira-kira setombak, tapi betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika lengan tersebut dapat mencapai leher bajunya! Gila, ilmu apa pula ini, pemuda itu membatin.
"Engkau she Chin juga? Huh, tidak banyak orang yang memakai she Chin di dunia ini selain eluarga kerajaan. Agaknya engkau hanya mengaku-aku saja sebagai keluarga Chin agar dikira sebagai salah seorang keluarga kerajaan pula!" wanita tua renta itu berteriak sambil mencengkram leher baju Yang Kun. Marah juga hati pemuda itu disangka sebagai orang yang hanya mengaku-aku sebagai keturunan keluarga Chin.
"Maaf, Lo-Cianpwe jangan sembarangan menuduh orang! Memang aku masih keturunan dari keluarga raja. Kakekku adalah Kaisar Chin Si yang agung! Karena ayahku adalah putera beliau dari selir yang ke empat. Puteri Hiang Su!"pemuda itu menyanggah perkataan nenek tua tersebut dengan berapi-api.
"Raja Chin Si? Siapakah dia? Apakah dia adalah pengganti Raja Chin Bun yang mangkat karena gempa besar itu?" nenek tersebut bertanya keheranan.
"Bukan! Pengganti Raja Chin Bun adalah Raja Chin Lu, ayah dari Kaisar Chin Si. Nah setelah berada di bawah pemerintahan kakekku itulah semua negara-negara kecil dapat dipersatukan. Itulah sebabnya kakekku tidak bergelar Raja Chin Si lagi tetapi Kaisar Chin Si!" dengan lancar pemuda itu menerangkan silsilah keluarganya.
"Ohhh... keturunan dari Pangeran Chin Lu!" nenek tua itu berkata dengan tandas, seakan-akan sudah mengenal dengan baik Raja Chin Lu. Tentu saja Yang Kun menjadi terheran-heran. Nenek tua itu agaknya sudah mengenal para nenek moyangnya yang telah tiada. Nenek tua itu melepaskan leher baju Yang Kun, lalu perlahan-lahan dia duduk pula di atas tanah. Diliriknya wajah Yang Kun yang terheran heran tersebut.
"Aku percaya pada kata-katamu! Agaknya engkau memang benar-benar keturunan keluarga Chin..."
"Bukan agaknya..., aku memang cucu Kaisar Chin Si! terserah Lo-Cianpwe percaya atau tidak." Yang Kun memotong penasaran.
"Baiklah... baiklah! Aku percaya kepadamu! Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apa sebabnya engkau sampai terbawa oleh arus sungai yang berada di bawah tanah ini, hah? Beruntunglah engkau karena saat itu aku sedang memancing ikan. Coba tidak, tubuhmu akan terus terseret sampai di air terjun itu dan dihempaskan ke bawah jurang yang dalam."
"Arus Sungai di bawah tanah? Apa? Jadi aku kini berada di dalam tanah? Ohh, Tuhan... benarkah itu? Lalu bagaimana aku bisa keluar nanti?" Yang Kun terbelalak kaget.
"Hihihihi... anak muda, engkau takkan pernah lagi dapat keluar dari tempat ini! kau lihat aku ini? Aku terjebak di dalam lorong-lorong gua di bawah tanah ini semenjak aku berumur 17 tahun. Yaitu ketika aku masih merupakan seorang gadis remaja."
"Ohhhh... tidak!" pemuda itu lemas seketika.
"Sudahlah... menyesalpun sudah tidak berguna. Aku dahulu juga kecewa bukan main. Tapi lambat laun aku juga menyerah kepada keadaan ini."
"Tapi aku tidak akan menyerahhh...!" Yang Kun berteriak keras untuk melampiaskan keputus-asaannya. Nenek tua itu tersenyum, sehingga mulutnya yang berkeriput semakin terhisap ke dalam mulutnya.
"Hihihi... Engkau juga sama dengan aku dahulu. Akupun dulu berteriak-teriak juga seperti engkau ini sambil berlari ke sana ke mari untuk mencari jalan keluar. Setiap lubang aku masuki, setiap celah aku selidiki, tapi apa hasilnya? Sampai tua begini aku tetap tidak dapat keluar juga..."
"Ooooohhh...!" pemuda itu merintih dan semakin terasa hilang harapannya. Nenek itu bangkit dari duduknya, lalu begitu kakinya yang reyot itu meloncat lenyaplah ia dari tempat tersebut, sehingga Yang Kun yang sedianya masih ingin berkata sesuatu menjadi terlongong-longong keheranan. Dan tak beberapa lama kemudian terdengar lagi suara seruling yang menggetarkan hati di kejauhan.
Sinar bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang...
Yang Kun mendengarkannya dengan hati sedih dan nelangsa. Dia tidak tahu bagaimana halnya dengan dirinya sampai di tempat ini, sehingga ia harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya seperti nenek tua itu di lorong-lorong gua ini. Betapa sunyinya. Yang Kun memiringkan badannya, sekedar untuk mengobati kepenatan punggungnya. Tapi dia melihat sebuah mangkuk dari batu yang berisi bubur berwarna putih di sampingnya. Ketika Yang Kun melihatnya terlebih dekat, ia melihat beberapa huruf tergores di atas lantai gua di bawah mangkuk batu itu.
Karena kini engkau bisa makan minum sendiri,
Sekarang aku tidak perlu menyuapi kau lagi!
Tanpa merasa curiga lagi Yang Kun memakan bubur itu dengan lahap. Yang Kun sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Matipun ia tidak akan berkeberatan lagi, toh lebih baik dari pada seumur hidup berada di dalam liang-liang tikus seperti itu. Selesai makan ia tertidur lagi. Begitu terjadi setiap hari. Bangun pagi-pagi telah tersedia di sampingnya semangkuk bubur hangat, lalu tertidur. Sore hari baru terbangun. Dan di sampingnya juga telah tersedia lagi bubur tersebut. Makan lagi, dan... tertidur lagi!
Kadang-kadang sebelum tertidur, telinganya sempat mendengar suara nyanyian dan suara seruling yang ditiup oleh wanita tua renta itu. Dan sejak pertemuan mereka yang pertama itu Yang Kun tidak pernah lagi melihat nenek tersebut datang ke tempat itu. Tahu-tahu segala keperluannya telah ada berada di sampingnya. Sebulan telah berlalu lagi tanpa terasa. Selama itu pula nenek tua itu tak pernah memperlihatkan batang hidungnya. Tapi selama itu kesehatan Yang Kun semakin bertambah baik. Dari bisa bangkit, duduk, merangkak sampai akhirnya sudah dapat berjalan kembali seperti biasa. Badannya juga terasa bertambah segar dan sehat. Hanya pemuda itu merasa heran pada kulit tubuhnya. Ia tak pernah mendapatkan sentuhan sinar matahari, tapi kulit tubuhnya tampak kemerah-merahan seperti kulit perawan yang terbakar oleh sinar matahari.
Sejak mulai dapat berjalan Yang Kun terus meneliti segala sudut dan lubang yang berada di dalam gua tersebut. Ternyata gua itu cukup luas dan terdiri dari dua buah ruangan besar. Salah satu ruangannya ternyata dipakai untuk lewat oleh sungai di bawah tanah itu. Sebuah sungai yang tidak begitu besar maupun dalam, tetapi karena berada di tempat yang aneh dan gelap maka kesannya sungguh sangat menyeramkan. Yang membuat pemuda itu merasa heran adalah nenek tua tersebut. Betapapun ia mencari kemana-mana, sehingga boleh dikatakan sampai setiap jengkal tanah dia amat-amati dengan teliti, toh nenek tua itu tidak dapat ia temukan. Sehingga pemuda itu hampir-hampir mulai percaya bahwa nenek tersebut memang bukan manusia tetapi hantu.
Darah Pendekar Eps 39 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 3