Naga Sakti Sungai Kuning 16
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Keraguan yang membuat hati Han Beng merasa bimbang ini akhirnya membuat dia khawatir untuk mengintai terus, bayangan suhunya, yang telah demikian baik kepadanya, semua budi yang dilimpahkan suhunya kepadanya, sejak suhunya menyelamatkannya dari ancaman maut di Sungai Huang-ho, lalu betapa suhunya mendidik dan menggemblengnya dengan kesungguhan hati selama lima tahun dan suhunya tidak pernah minta belas jasa. Suhunya hanya membuat dia berjanji untuk memenuhi pesannya itu, hanya satu saja permintaannya, yaitu membalas dendam kepada suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, dan kini dia ragu-ragu, bahkan condong untuk tidak memenuhi pesan suhunya. Kalau dia berada di situ lebih lama lagi, dia khawatir kalau pikirannya akan berubah lagi. Tanpa diketahui suami isteri dan anak tereka, diapun meninggalkan tempat pengintaiannya.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci membawa anak mereka memasuki rumah selelah senja melarut dan malam hampir tiba. Mereka hidup bertiga saja, tanpa Pembantu di dalam rumah mereka yang tidak berapa besar namun yang bersih dan rapi. Hanya ada dua buah kamar dalam rumah itu, kamar suami isteri dan kamar untuk anak mereka den pintu tembusan antara dua kamar. Mereka lalu makan malam dan setelah selesai makan malam, Sim Lan Ci membersikan meja makan dan mencuci mangkok, piring, sedangkan Coa Siang Lee mengajak Thian Ki bermain-main di ruang tengah. Sehabis makan malam tadi, mereka membersihkan mulut dan gigi, suatu kebiasaan yang dipakai oleh Sim Lan Ci sejak ia masih kecil. Ibu kandung Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, biarpun usianya sudah setengah abad lebih, masih nampak cantik dengan gigi yang putih rapi karena ibunya juga mempunyai kebiasaan membersihkan mulut dan gigi setiap kali mau tidur dan kebiasaan menurun kepada Sim Lan Ci. Nyonya muda itu kini menularkan kebiasaan yang amat baik kepada suaminya dan juga kepada anaknya.
Malam itu hawa udara amat dinginnya. Biarpun bulan sedang purnama sehingga dunia diluar rumah amatlah indah dan romantisnya, namun jarang ada penghuni dusun yang mau keluar meninggalkan kamar mereka yang hangat karena diluar, hawa dingin menusuk tulang, bahkan mereka itu tidur sore-sore. Demikian pula dengan keluarga Coa Siang . Mereka berdua sudah berada di kamar putera mereka, dan keduanya meninabobok putera tersayang itu dengan nyanyian dan dongeng.
Setelah Thian Ki akhirnya tidur pulas ayah ibunya menyelimutinya, meniggalkan kamar putera mereka itu dengan membiarkan sebuah pelita kecil bernyala di sudut kamar, lalu mereka sambil bergandengan tangan lalu memasuki kamar mereka sendiri yang bersambung dengan kamar putera mereka.
Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar mereka, suami isteri itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat karena mereka melihat bahwa di atas pembaringan mereka telah duduk seorang laki-laki muda yang mengenakan caping lebar! Pemuda itu menurunkan capingnya ke belakang dan kini dia memandang kepada suami isteri itu sambil terseny um. Wajah pemuda itu sungguh tampan ketika tersenyum, dia nampak semakin ganteng dan melihat pakaiannya, mudah diduga bahwa dia seorang sastrawan atau setidaknya seorang pelajar! Sebuah buntalan berada di atas meja.
"Siapa engkau?" Coa Siang Lee tanya dengan suara kaku dan alis berkerut.
"Dan mau apa engkau datangi kamar kami?"
"Bagaimana engkau dapat masuk sini?" Sim Lan Ci juga bertanya. Wajah pemuda ini tadi mengerling ke kanan dan melihat betapa jendela dan pintu masih tertutup, lalu bagaimana orang muda ini dapat berada di dalam kamarnya tanpa ia dan suaminya mendengar, suara sedikit pun?
Pemuda itu tersenyum makin lebar sepasang matanya berbinar-binar penuh kegembiraan, mata yang sejak tadi ditujukan kepada Sim Lan Ci sedemikian rupa sehingga ibu muda ini merasa seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya, membuatnya bergidik, akan tetapi juga marah.
"Manis, aku datang karena aku jatuh cinta padamu ketika melihat engkau di taman tadi." katanya dengan sikap biasa saja seolah-olah dia mengeluarkan ucapan yang wajar.
Tentu saja seketika wajah suami isteri itu menjadi merah padam. Coa Siang Lee melangkah maju dan membentak,
"Engkau ini seorang yang gila atau memang sengaja hendak mengganggu kami! ayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu datang seperti ini?"
Kini sepasang mata itu ditujukan kepada Siang Lee yang menjadi terkejut melihat mata itu mencorong.
"Aku tidak butuh denganmu!" kata pemuda itu degan sikap yang angkuh sekali.
"Keluarlah engkau dari kamar ini, aku hanya ingin meminjam isterimu untuk malam ini!"
Coa Siang Lee terbelalak dan Lan Ci bahkan mengeluarkan jerit kecil. Kemarahan mereka tidaklah sebesar keheranan mereka mendengar ucapan seperti itu. Kiranya hanya orang yang berotak miring saja yang mampu bicara seperti itu, hendak meminjam isteri orang dan menyuruh suaminya keluar dari kamarnya sendiri! Akan tetapi, setelah keheranan itu lewat, kemarahan membawa wajah Siang Lee merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Selama dua belas tahun mereka tinggal di dalam dusun itu, tidak pernah satu kali mereka terlibat urusan kekerasan, dan mereka sama sekali tidak pernah mempergunakan ilmu silat mereka, bahkan untuk berkelahi maupun hanya sebagai latihan. Dan malam ini, muncul seorang pemuda yang demikian beraninya melakukan penghinaan secara luar biasa sekali. Sikap pemuda itu membuat mereka dua saling pandang dan merasa curiga.
"Sobat, katakan siapa engkau mengapa engkau sengaja datang untuk mengganggu kami yang tidak mengenalmu! Siapakah yang menyuruh engkau bersikap seperti ini terhadap kami?" Sim Lan Ci kini bicara dan sikapnya tidak lagi seperti seorang wanita biasa, melainkan ia sudah kembali bersikap seperti dulu, seorang wanita gemblengan yang sudah biasa menghadapi kekerasan.
Sikap ini membuat pemuda yang bukan lain adalah Can Hong San itu berdiri dan memandang heran. Mana mungkinn ada seorang wanita dusun bersikap gagah ini? Akan tetapi, melihat wanita yang digilainya itu dapat bersikap segagah itu, dia menjadi semakin tertarik dan kembali dia tersenyum.
"Manis, engkaulah yang menyuruh aku datang malam ini. Sore tadi aku kebetulan lewat di luar taman dan melihat engkau demikian cantik jelita dan manis............. hmmmmm, aku merasa seperti ditarik besi semberani dan di sinilah aku sekarang! Mari, Manis, mari kaulayanilah gairahku ............." Dia mengembangkan kedua lengan seperti hendak memeluk!
Suami isteri itu tidak dapat menahan kesabaran mereka lebih lama lagi. manusia gila! Engkau sungguh kurang ajar dan patut dihajar!" bentak Coa Siang Lee yang sudah mengirim tamparan keras kearah mulut pemuda itu.
Tamparan Coa Siang Lee bukan tamparan biasa, melainkan tamparan yang amat kuat karena biarpun selama belasan tahun pria ini tidak pernah berlatih, namun dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan memang ilmunya sudah mendarah daging dalam dirinya.
Diam-diam Can Hong San terkejut bukan main. Tadinya dia mengira bahwa suami isteri itu hanyalah orang-orang dusun biasa. Sungguh tidak disangkanya bahwa "petani" itu mampu menamparnya dengan kekuatan sedahsyat itu! Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan lihai. Akan tetapi, dengan tenang saja dia sengaja mengangkat lengan untuk menangkis, tentu saja diam-diam mengerahkan pula tenaga sin-kangnya.
"Dukkk.......!!" Akibat tangkisan ini, tubuh Coa Siang Lee terpelanting! Bukan main heran dan kagetnya Siang Lee. sungguh tak disangkanya bahwa orang yang amat kurang ajar dan mendekati gila ini memiliki tenaga yang sedemikian hebatnya! Maka, tanpa banyak cakap lagi karena dia kini maklum bahwa orang itu memang sengaja datang untuk mencari keributan, dia lalu maju menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari ilmu silat Hek-houw-pang. Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya selain cepat, juga penuh tenaga dasyat, mencengkeram kesana-sini di
bagian tubuh berbahaya dari lawan.
"Aha, kiranya engkau bukan petani dusun biasa, melainkan seorang ahli silat yang agaknya menyembunyikan diri di sini!" Hong San berseru heran, akan tetapi dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dengan amat lincahnya, mengelak, menangkis dan membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru di dalam kamar itu. Namun, Siang Lee merasa semakin kaget khawatir karena dia mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda bercaping lebar ini!
Sim Lan Ci juga melihat betapa suaminya tidak akan menang menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan pemuda yang luar biasa lihainya itu! Tentu senngaja datang mencari mereka untuk membunuh! Tidak banyak terdapat orang selihai ini di dunia kang-ouw, pikirnya dan tidak mungkin hanya kebetulan saja datang di tempat itu, melihatnya tergila-gila kepadanya. Diam-diam nyonya ini lalu menuju ke sebuah almari mana ia masih menyimpan beberapa buah senjata rahasianya yang sudah belasan tahun tidak pernah dipergunakannya. Untung bahwa di dalam kantung itu masih terdapat empat batang Toat-beng tok-piauw (Piauw Beracun Pencabut Nyawa). Cepat ia mengambilnya dan menyambit-nyambitkan empat batang piauw itu dengan hati-hati agar jangan mengenai suaminya sambil berteriak nyaring.
"Lee-ko, mundur! Jahanam busuk, makanlah piauw-ku!"
Terdengar suara bersiutan ketika empat batang piauw itu menyambar, dan Siang Lee sudah melompat ke belakang, empat batang senjata rahasia beracun itu menyambar dengan cepat sekali ke arah tubuh
(Lanjut ke Jilid 17)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
Hong San, namun betapa kagetnya hati nyonya muda itu ketika tiba-tiba saja tubuh pemuda bercaping lebar itu berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakangnya, menyentuh pinggulnya dengan jari tangan, mencubit pinggul itu.
"Lhhh!" la membalik dan seperti sekor singa betina mengamuk ia pun menyerang dengan ilmu silat Ban-tok-hwa-im yang amat dahsyat! Diam-diam Hong San semakin kagum dan terkejut. Kiranya wanita ini memiliki ilmu silat yang leih lihai daripada suaminya! Juga Siang Lee sudah maju menerjang dan Hong San dikeroyok suami isteri itu di dalam kamar yang tidak begitu luas.
Barulah Hong San merasa kecelik terkejut. Dia maklum bahwa kalau menandingi suami isteri itu sa.tu demi sa tu dia masih sanggup untuk menang. Akan tetapi dikeroyok dua oleh suami isteri yang lihai ini, sungguh amat berbahaya baginya. Namun, dia bukan orang yang suka mengaku kalah. Apalagi, hasratnya menjadi semakin bernyala-nyala setelah kini dia melihat bahwa wanita yang membuatnya tergila-gila itu bukan sekedar cantik manis saja, melainkan juga amat lihai! Dia semakin tergila-gila dan mengambil keputusan bahwa harus memiliki wanita itu.
Coa Siang Lee dan Si m Lan Ci mengeroyok pemuda itu, kini menjadi yakin bahwa pemuda ini memang datang bukan sekedar tertarik oleh kecanti Lan Ci, melainkan tentu mempunyai tujuan yang sudah direncanakan untuk mencelakan mereka. Mereka merasa menyesal sekali mengapa selama ini mereka lengah sehingga bukan saja mereka tidak pernah berlatih silat sehingga tentu saja gerakan mereka tidaklah selincah dahulu, akan tetapi juga mereka telah menyimpan pedang mereka dan sudah lupa lagi dimana mereka menyimpan senjata mereka itu. Kalau mereka kini dapat memegang senjata pedang mereka, kiranya mereka akan dapat mengalahkan musuhnya dengan cepat.
Betapapun juga, suami isteri yang memang lihai itu mulai dapat mendesak Hong San. Mereka berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kehormatan, sebaliknya, Hong San hanya main-main saja karena memang maksudnya bukan memusuhi suami isteri itu, melainkan "meminjam" sang isteri! Biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka namun dikeroyok dua oleh suami isteri yang nekat itu dia menjadi kewalahan juga.
"Ayah........, Ibu...........!" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil ini dan yang muncul di pintu tembusan adalah Thian Ki, anak laki-laki berusia tiga tahun itu. agaknya dia terbangun karena suara ribut-ribut.
"Thian Ki..........! Kembali ke kamarmu......!" Sim Lan Ci berseru kaget bukan main, namun terlambat. Melihat munculnya anak itu, Hong San yang cerdik seperti setan itu sudah menyanbut ke belakang dan tahu-tahu anak itu telah berada dalampondongannya. Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi sekali Hong San menekan tengkuknya, anak itu terkulai lemas, tertotok dan tak mampu bergerak atau berteriak lagi.
Melihat anak mereka berada dalam cengkeram penjahat itu, suami isteri yang tadinya mengamuk itu, terpaksa menahan gerakan mereka dan memandang dengan mata terbelalak dan pucat.
"Kembalikan anakku.............!" Sim Lan berseru, siap untuk menubruk maju.
"Heinttttt............ tenanglah, manis. Apakah kalian menghendaki aku membanting anak ini di depan kaki kalian sampai remuk, baru kemudian kubunuh kalian?" Hong San mengancamdan mengarkat anak itu, siap untuk membantingnya.
"Jangan..........., jangan lakukan itu......... Siang Lee berseru, wajahnya semak pucat.
"Apakah yang" kaukehendaki benarnya? Siapakah engkau? Jangan membunuh anak kami yang tidak berdosa!
"Aku tidak akan membunuh anak mungil ini kalau kalian menurut kata-kataku. Akan tetapi, sedikit saja kalian membuat gerakan mencurigakan atau tidak menurut perintahku, tentu aku akan membanting remuk anak mungil ini!"
"Jangan bunuh dia.........., katakan yang harus kami lakukan!" kata Sim Lan Ci, juga merasa khawatir dan merasa tidak berdaya sama sekali setelah, puteranya ditawan.
"Bagus, Manis. Nah, perintahku pertama, kautotok jalan darah suami agar dia tidak mampu bergerak lagi kemudian ikat kaki tangannya di tiang sudut kamar itu."
Sepasang mata Sim Lan Ci terbelalak, alisnya berkerut dan tentu saja ia tidak setuju, akan tetapi tidak berani terang-terangan menolak. Melihat sikap ragu-ragu wanita itu, Hong San mengancam,
"Cepat lakukan perintahku, atau kau lebih suka melihat anakmu ini kubanting?"
"Ci-moi, lakukanlah perintahnya." kari Siang Lee yang merasa tidak berdaya dan amat mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang terjatuh ke tangan orang yang agaknya sinting itu.
Lan Ci menghampiri suaminya, pandang matanya sayu dan menderita sekali.
"Maafkan aku..........." bisiknya dan ia pun menotok jalan darah di pundak suaminya. Seketika tubuh itu lemas dan tentu roboh kalau tidak cepat ditangkap 'oleh Lan Ci yang memapahnya, menariknya ke tiang di sudut kamar. Dengan iti tidak karuan rasanya, Lan Ci terpaksa mengikat kaki tangan suaminya pada tiang itu, menghadap ke arah kamar karena ia ingin suaminya tetap waspada walaupun untuk sementara tidak mampu bergerak.
"Ha-ha, jangan mencoba menipu aku, Manis. Aku adalah seorang ahli totok jalan darah, tahu? Hayo totok lagi jalan darah thian hu-hiat agar dia tidak dapat lepas pula dari totokan, lalu ikat dia!"
Lan Ci terkejut. Akalnya ketahuan dan hal ini hanya membuktikan betapa lihainya lawan itu. Memang tadi ia menotok lemas suaminya, hanya totokan hanya sementara saja, dan dalam beberapa menit suaminya akan pulih kembali. Terpaksa ia melaksanakan perintah dan sekarang keadaan suaminya benar-benar lemas dan tidak mampu bergerak untuk waktu sedikitnya dua jam! Karena merasa percuma untuk menipu, ia pun mengikat kaki tangan suaminya dengan sabuk sutera yang kuat.
"Sudah kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku!" kata Sim Ci.
Pemuda itu menyeringai dan bair pun dia tampan, namun pada saat itu bagi Lan Ci dia kelihatan seperti iblis yang menyeramkan. Sim Lan Ci sendiri adalah puteri Ban-tok Mo-li. Sudah biasa melihat kekejaman-kekejaman walau pun ia sendiri tidak berbakat untuk menjadi jahat. Namun karena sekarang ia yang menjadi korbannya, maka ia merasa begitu marahnya sehingga kalau saja bidak teringat akan keselamatan puteranya, ingin rasanya ia menyerang dan mengadu nyawa dengan pemuda itu.
"Heh-heh-heh, sudah kukatakan. Aku ldatang bukan untuk membunuh kalian. Manis. Kalau aku ingin membunuh kalian, apa sukarnya? Aku hanya tergila-gila kepadamu, Manis. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga kalau engkau sikap manis padaku. Nah, sekarang perintahku ke dua. Tanggalkan semua pakaianmu!"
Sepasang mata itu terbelalak dan kedua pipi Lan Ci berubah merah lagi. Ada hawa keluar dari dadanya yang membuat ia ingin sekali menerjang laki-laki yang menghinanya itu.
"Jahanam keparat! Engkau hendak menghinaku.......... memperkosaku di depan suamiku dan anakku? Keparat, iblis.........!"
"Ingat, aku banting anakmu kalau engkau bergerak menyerang!" Hong San berseru dan mengangkat tubuh Thian Ki "Aku tidak ingin memperkosamu, aku ingin engkau melayani aku dengan penuh kemesraan dan kasih sayang!"
Aku tidak sudi...........!" Lan Ci berteriak.
"Lebih baik aku mati!"
"Engkau tidak akan mati, Manis. Akan tetapi anakmu ini yang akan remuk kepalanya, dan engkau akhirnya akan jatuh pula ke dalam pelukanku, walau untuk itu aku harus melakukan paksaan. Nah, lihat kepala anakmu akan hancur dan otaknya berantakan!"
"Tunggu.............. ! Jangan bunuh anakku..........!" siang Lee berseru dengan lemah.
"Ci-moi ............ lakukanlah apa yang dikehendakinya" katanya dan suaranya mengandung isak saking marah dan tidak berdaya.
Sim Lan Ci membelalakkan matanya kepada suaminya.
"Apa? Engkau suamiku sendiri, engkau satu-satunya pria varig kucinta, engkau menyuruh aku membiarkan diriku dihinanya? Kemudian, kalau dia sudah menggauli di depan matamu, ialu kelak engkau memandang rendah padaku, ya? Engkau menghinaku, engkau bahkan akan membenciku...........!"
"Tidak, isteriku! Sama sekali tidak. Kalau hanya untuk keselamatan diriku sampai mati pun aku tidak rela melihat engkau disentuhnya. Akan tetapi untuk Thian Ki......! Ingat Thian Ki anak kita satu-satunya.........! Dia tidak boleh mati konyol begitu saja!"
Sim Lan Ci menjadi lemas. Ia mandang ke kanan kiri bagaikan seekor kelinci yang sudah disudutkan, siap diterkam harimau. Ia tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi melihat anaknya diangkat tinggi-tinggi itu, ia merasa hatinya seperti hancur luluh.
"Baiklah ......... baiklah...........!" Ia berbisik dan terdengar isak tertahan.
"Aku turut perintahmu, akan tetapi................ kaubebas dulu anakku......... , lepaskan dia ..........."
"Ha-ha-ha, kaukira aku ini anak kecil yang mudah kautipu begitu saja? Namanya menjual barang, belum memberi dan memperlihatkan barangnya sudah mau minta bayarannya! Hayo kau tanggalkan dulu pakaian itu satu demi satu, dan aku akan membebaskan anakmu!"
Sim Lan Ci merasa bahwa ia berada di dalam cengkeraman seorang gila, atau seorang yang luar biasa jahatnya, kejamnya, akan tetapi juga amat cerdiknya. Bicara dengan orang seperti itu, tidak ada gunanya, juga akan menyakitkan hati saja kalau mencoba untuk mengakalinya. Maka, dengan hati penuh kemarahan sehingga tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena arah, mulailah ia menanggalkan pakainya, di depan penjahat muda yang gila itu, juga di depan suaminya yang memandang tidak berdaya.
"Bagus......... bagus........... ah, sudah kuduga......... engkau memiliki tubuh yang hebat sekali.........! Ah, engkau sungguh manis......." Hong San terbelalak, matanya mengeluarkan sinar aneh dan hidungnya mendengus seperti seekor kuda, napasnya terengah. Lan Ci tidak peduli, nenanggalkan pakaian seolah-olah disitu tidak ada seorang pun yang memandangnya, seperti kalau ia sedang hendak mandi saja.
"Sudah, kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku, berikan kepadaku!" kata Sim Lan Ci.
Hong San tertawa.
"Ha-ha-ha, aku masih belum selesai denganmu, Manis, Masih belum selesai, bahkan baru mulai........., akan tetapi aku pun bukan orang yang tidak memegang janji. Nah, ini anakmu sudah kulepaskan, akan tetapi engkau naiklah ke atas pembaringan itu. Engkau harus melayani aku dengan suka rela, dengan mesra ........ ah, aku sungguh semakin tergila-gila padamu, Manis.............!"
Hong San benar saja melepas Thian Ki yang tidak mampu bergerak itu ke atas lantai, di mana anak itu menggeletak tak mampu bergerak, hanya memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Kemudian, dia menghampiri Lan Ci. Wanita ini maklum apa yang akan dilakukan penjahat yang seperti iblis gila Itu. Kalau ia menolak, tetap saja anaknya berada dalam bahaya. Ia harus pura-pura menurut, dan nanti di atas pembaringan, masih ada kesempatan baginya untuk mengadu nyawa! Yang penting, anaknya haruslah benar-benar bebas dari ancaman maut lebih dulu. Maka, ia pun mundur dan duduk di tepi pembaringan, seolah-olah menanti Hong San yang bagaikan seekor harimau menghampiri seekor kelinci gemuk yang sudah menyerah, dan gairah di dalam hati penjahat muda Ini semakin bergelora karena dia pun mengira bahwa sekali ini wanita manis itu telah benar-benar menyerah dan takluk kepadanya.
Sementara itu, sejak tadi Coa Siang Lee menjadi penonton yang tidak berdaya. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hatinya. Dia melihat puteranya terancam maut tanpa mampu melindungi, kini dia bahkan disuruh melihat isterinya tercinta akan diperkosa orang dan dia sama sekali tidak mampu bergerak! Ingin dia memaki, ingin dia berteriak, ingin dia menangis, namun dia tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, balkan kalau penjahat itu marah jangan-jangan Thian Ki akan dibunuhnya lebih dulu!
Hong San kini sudah tiba dekat sekali dengan Lan Ci, dan napasnya semakin memburu dan seluruh tubuhnya seolah-olah kebakaran, bahkan Lan Ci dapat merasakan betapa hawa panas keluar dari tubuh pemuda yang seperti iblis gila itu.
"Hemmm, aku tidak ingin menotokmu, aku ingin engkau hidup dalam pelukanku, ingin engkau menyerahkan diri dengan mesra, dengan suka rela. Aku cinta padamu, Manis ..................."
Pada saat pemuda itu masih bicara dan berada dalam keadaan penuh nafsu sehingga seperti sebuah balon akan meledak itu, Lan Ci yang sudah siap si sejak tadi, tiba-tiba saja mengirim pukulan ke arah perut Hong San sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Pukulan Itu adalah pukulan beracun yang amat hebat dan sekali terkena pukulan itu biar seorang yang bagaimanapun lihainyn, jangan harap akan dapat hidup lagi. Isi perutnya tentu akan hangus dan membusuk oleh hawa beracun yang amat hebat.
Namun, Hong San memang seorang yang amat cerdik. Biarpun dia dikuasai nafsu berahi yang memuncak pada saat itu, namun dia tidak pernah lengah dan tetap waspada. Hal ini adalah karena dia pun telah maklum bahwa wanita itu amat lihai. Andaikata dia tidak tahu akan hal ini, mungkin saja dia telah terkena pukulan maut itu.
Dia tahu bahwa wanita itu lihai sekali, memiliki senjata rahasia dan pukulan beracun yang bahkan lebih berbahaya daripada suami wanita itu. Maka, biarpun seluruh tubuhnya dikuasai hawa nafsu, tetap saja dia waspada dan begitu Lan Ci menggerakan.tangan memukul, tubuhnya sudah berkelebat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu tidak mengenai sasaran! Tentu saja Lan Ci kaget bukan nain karena dia mengkhawatirkan putranya. Pada saat itu, tiba-tiba daun jendela diterobos tubuh orang dari luar, dan esosok bayangan berkelebat ke dalam kamar.
"Selamatkan anak itu!" terdengar suara yang tenang dan bayangan itu sudah menerjang kearah Hong San dengan dorongan tangan kanan yang datangkan angin keras.
"Wuuuuuttttt.........!" Telapak tangan orang itu mendorong dan Hong San terkejut sekali, merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat menerjang Dia pun cepat mengerahkan tenaga menangkis.
"Desss............!!" Akibat benturan kedua lengan ini, Hong San terhuyung dan hampir terpelanting! Akan tetapi, penyerang itu, seorang pemuda tinggi besar gagah, juga terhuyung. Hong San jadi gentar. Baru suami isteri itu kalau mengeroyoknya, dia sudah kewalahan. Kalau kini muncul seorang yang agaknya bahkan jauh lebih lihai dari mereka berarti dia akan celaka. Maka, tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya sudah berkelebat lenyap. Dia meloncat keluar melalui jendela yang sudah terbuka, tidak seperti ketika masuk ke kamar itu dia tadi membongkar genteng.
"Hemmm, jahanam keparat, hemdak lari ke mana kau?" Pemuda Tinggi Besar melompat pula menerobos jendela dan mengejarnya.
Sementara itu, begitu mendengar suara pemuda tinggi besar tadi, Lan Ci sudah melompat, tidak peduli akan keadaan tubuhnya yang telanjang bulat, dan menyambar puteranya, cepat membebaskan puteranya dari totokan. Anak itu segera menangis dalam pondongannya. Lan Cl cepat menghampiri suaminya, membebaskan totokan pada tubuh suaminya dan membantunya melepaskan ikatan.
"Kaupondong dulu Thian Ki, aku akan mengenakan pakaian!" kata Lan Ci. Cepat ia mengenakan pakaiannya kembali, kemudian bersama suaminya, sambil menggendong Thian Ki, dan kini masing-masing membawa pedang mereka, suami isteri itu telah berloncatan keluar dan melakukan pengejaran.
Sementara itu, ketika Hong San melihat bahwa pemuda tinggi besar itu mengejar, dia merasa penasaran sekali. Kini dia berada di luar rumah, di tempat yang luas, maka tidak berbahaya sekali kalau dikeroyok. Dia penasaran belum dapat menandingi pemuda tinggi besar yang telah mencampuri urusannya dan telah mengganggu kesenangannya. Bayangkan saja, tadi wanita manis sudah berada di depannya, bagaikan potong daging sudah berada di bibir tinggal menelannya saja dan muncul orang usil itu yang menggagalkan segalanya! Maka, dia pun segera menghentikan larinya dan mempersiapkan pedang di tangan kanan dan suling ditangan kiri. Dia memang suka bermain suling, pandai meniup suling menyanyikan lagu-lagu yang merdu, akan tetapi dia pandai pula mempergunakan musik tiup itu untuk mengimbangi pemainan pedangnya!
Begitu pemuda itu muncul, Hong menyerangnya dengan tusukan pedang diikuti sambaran suling yang mengeluarkan suara melengking nyaring! Pemuda tinggi besar itu kagum melihat gerakan lawan dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang, bergulingan dan ketika dia meloncat bangun, dia sudah memegang sepotong dahan pohon kering yang dipungutnya ketika dia bergulingan tadi. Hong San tersenyum menyeringai melihat lawannya memegang sebatang tongkat sederhana sebagai senjata. Mampus kau, pikirnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang pendekar sembarangan saja. Dia berhadapan dengan Huang-ho Sin-liong! Dan tongkat di tangan pendekar itu dapat menjadi senjata yang amat ampuh, karena dia sudah mewarisi ilmu dari seorang di antara guru-guruya, yaitu Sin-ciang Kai-ong dan ilmu itu adalah Ilmu Tongkat Dewa Mabuk! Bukan itu saja, Huang-ho Sin-liong Si Han Beng ini telah menerima gemblengan dari seorang kakek sakti, yaitu Pek I Tojin. Biarpun gemblengan itu tidak lebih dari satu tahun, namun gemblengan tu telah mematangkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari dua orang gurunya, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin ciang Kai-ong, di samping tenaga saktinya bertambah kuat bukan main.
Seperti kita ketahui, Han Beng telah menemukan rumah Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Sore tadi, seperti juga Hong San, dia melihat betapa suami isteri itu bersama anak mereka hidup berbahagia dan sedang bergembira dalam taman. Keadaan suami isteri itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu. Dia merasa tidak sanggup memenuhi janjinya kepada gurunya untuk menghancurkan kebahagiaan suami isteri itu, apalagi dengan cara mengusahakan agar isteri muda itu melakukan penyelewengan dengannya! Dalam keadaan ragu-ragu itulah dia meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, kalau dia tidak mau melaksanakan pesan dan perintah gurunya, berarti dia telah mengingkari janji. Hal ini amat menggelisahkan hatinya dan membuatnya tidak dapat tidur malam itu. Dia bermalam di rumah seorang petani di luar dusun.
Kemudian muncul pikiran. Siapa tahu kkalu-kalau suami isteri yang menurut gurunya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi itu diam-diam melakukan perbuatan jahat. Kalau benar demikian, berarti ada jalan baginya untuk menentang mereka. Dan sebaiknya kalau malam itu dia melakukan penyelidikan.
Demikianlah, tanpa menyangka bahwa di rumah suami isteri itu terjadi peristiwa yang hebat, dia pergi ke rumah itu, baru setelah dia mengintai ke dalam, dia melihat dan mendengar semuanya! Betapa suami isteri yang tadinya mengeroyok seorang pemuda bercaping lebar yang amat lihai itu menjadi tidak berdaya setelah pemuda bercaping lebar itu menangkap anak mereka. Dari percakapan itu, diam-diam dia merasa kagum. Suami itu adalah seorang yang gagah perkasa, dan isterinya amat setia. Hanya mereka itu terpaksa menyerah karena si penjahat kejam telah menguasai anak mereka! Dan di saat terakhir, Han Beng melihat betapa isteri yang setia itu tidak menyerah begitu saja, melainkan setelah melihat anaknya dilepaskan dengan nekat dan mati-matian ia pun melakukan perlawanan.
Melihat itu. Han Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Dia menerobos jendela lalu menyerang si penjahat yang ternyata memang amat lihai, hal itu dibuktikannya dari benturan antara tanngan mereka. Dan kini, ketika dia mengejar, penjahat itu telah menantinya dan menyerangnya dengan pedang suling. Gerakan serangannya juga a cepat dan dahsyat sekali. Jalan satu-satunya bagi Han Beng untuk menyelamatkan diri hanyalah membuang diri bergulingan, sambil menyambar sebatang tongkat di atas tanah.
Kini mereka saling berhadapan. Hong San masih menyeringai, tersenyum mengejek melihat lawan hanya bersenjatakan tongkat butut. Sebaliknya, Han Beng memandang kagum. Pemuda di depannya itu nampak gagah perkasa. Biarpun wajah itu hanya diterangi sinar bulan purnama, juga dibantu penerangan lampu gantung di luar rumah, namun jelas nampak bahwa pemuda di depannya ini orang yang ganteng, gerak-geriknya halus, wajah yang selalu tersenyum dengan tarikan muka yang menarik. Tentu banyak di antara para wanita yang jatuh hati kalau bertemu dengan pemuda itu. Akan tetapi, mengapa wataknya demikian kotor dan kejamnya ketika dia menginginkan Sim Lan Ci, wanita yang sudah bersuami dan berputera itu? Diam-diam dia bergidik membayangkan kekejaman yang diperlihatkan pemuda ini tadi, memaksa seorang ibu untuk menyerahkan diri dengan mengancam anaknya yang masih kecil, dan membiarkan si suami dalam keadaan terikat menjadi menonton pula! Hanya orang yang wataknya seperti iblis saja yang memiliki kekejaman seperti itu.
Setelah saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba saja Hong san menerjang ke depan lagi, kini pedangnya diputar sangat cepat dan di seling tusukan sulingnya yang melakukan totokan pada jalan darah di tubuh lawan.
"Sing-sing-wuuuuuttttt...........!" Serangan bertubi-tubi itu dielakkan dengan mudah oleh Han Beng. Kemudian, ketika untuk kesekian kalinya pedang itu menyambar ke arah lehernya, dia mengelak dengan menekuk lutut kirinya dalam-dalam saat itu juga, tongkatnya menyambar ke arah lutut kiri lawan. kalau terkena sasaran, tentu sambungan lutut akan terlepas! Namun, Hong San juga sudah mengelak dengan meloncat ke atas dan kembali pedangnya menyambar kini membacok dari atas mengarah kepala Han Beng, disusul tusukan suling ke arah leher. Kembali Han Beng mengelak dengan loncatan ke belakang, lalu dengan gerakan berputar, tongkatnya terayun-ayun hendak memukul lawan.
Melihat gerakan ini, Hong San yang tinggi hati itu tertawa. Gerakan iti sungguh lucu dan buruk, seolah-olah di gerakkan oleh orang sinting atau orang yang mabuk. Akan tetapi, baru saja tertawa, suara ketawanya berubah menjadi seruan tertahan karena kaget.
"Bukkk!" Pinggulnya terkena hantaman tongkat itu! Sungguh aneh dan sukar dipercaya. Gerakan tadi demikian canggung dan kaku, sehingga dia menjadi lengah, mengira bahwa pukulan itu tentu tidak akan mengenai dirinya karena dia sudah menggeser kaki ke kanan dan pedangnya sudah menusuk lagi ke arah lambung lawan. Gerakan yang seperti orang mabuk itu dilanjutkan. Lawannya yang tinggi besar terhuyung, akan tetapi pedangnya tidak mengenai sasaran dan sebaliknya, tongkat itu tahu-tahu menyeleweng dan menggebuk pinggulnya! Tentu saja Hong San menjadi marah bukan main. Dia tidak tahu bahwa memang yang dimainkan oleh lawan adalah Ilmu Tongkat Dewa Mabuk. Justeru dalam gerakan yang terhuyung, lucu dan buruk itulah letak keampuhan ilmu dari Sin-Ciang Kai-ong itu. Gerakan yang seperti orang mabuk itu membuat lawan menjadi lengah dan memandang rendah! Akan tetapi di samping kemarahannya, juga Hong San mulai merasa gentar. Apalagi ketika itu, dia melihat suami isteri tadi sudah berlarian keluar membawa pedang di tangan. Tahulah dia bahwa kalau dia melanjutkan perlawanan, dia akan celaka di tempat itu. Maka, melihat betapa lawan yang telah menggebuk pinggulnya itu tidak mendesak, dia pun lalu meloncat jauh dan melarikan di secepatnya.
"Jahanam busuk, kau hendak lari mana?" Coa Siang Lee berseru dan mengejar.
"Kita kejar dan bunuh iblis itu!" ka pula Sim Lan Ci.
"Harap Ji-wi (Kalian) tidak mengejarnya. Hal itu amat berbahaya bagi Ji-wi, terutama bagi putera Ji-wi!" kata Han Beng.
Mendengar itu, suami isteri itu menghentikan langkah mereka dan kini mereka berdua menghampiri Han Beng penuh kagum. Mereka tadi telah meliha betapa pemuda tinggi besar ini telah menyelamatkan mereka dari keadaan yang amat gawat, dari malapetaka yan mengerikan, yang mungkin bagi seorang wanita lebih hebat daripada maut! Bahkan mungkin akan menimbulkan kehancuran kebahagiaan keluarga itu. Dan mereka pun melihat betapa hanya dengan sebatang tongkat saja, pemuda tinggi besar itu mampu membuat penjahat tadi melarikan diri. Padahal, penjahat tadi memiliki ilmu silat yang amat hebat!
Saking terharu mengingat akan hebatnya ancaman bahaya tadi, Coa Siang Lee lalu menuntun tangan isteri dan anaknya, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Beng!
"Tai-hiap, kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu..........!"
Han Beng menjadi sungkan sekali dan cepat dia membangunkan mereka dan berkata,
"Harap Ji-wi tidak melakukan sesungkanan seperti ini! Sudah semestinya kita menentang orang-orang jahat. Mari kita bicara di dalam saja, hawa udara terlalu dingin dan dapat membuat anak kalian masuk angin."
Suami isteri itu nampak gembira bukan main karena Han Beng sudi singgah di rumah mereka. Mereka memasuki rumah dan duduklah Han Beng dan Siang Lee di ruangan dalam, sedangkan Sim Lan Ci minta diri untuk menemani Thian Ki tidur kembali.
Melihat sikap kedua suami isteri itu demikian sopan dan halus, kembali Han Beng condong merasa suka kepada mereka dan merasa heran bagaimana suhunya yang gagah perkasa menghendaki kehancuran kedua orang yang nampak baik-baik ini.
"Apakah yang telah terjadi di sini dan siapa sebenarnya pemuda bercaping lebar yarg amat lihai tadi itu?" Han Beng segera mengajukan pertanyaan ini begi mereka duduk menghadapi meja.
Siang Lee menarik napas panjang "Sungguh kami sendiri tidak mengenalnya, Tai-hiap. Menurut pengakuannya, kebetulan lewat saja.......... ah, sungguh aneh sekali peristiwa malam ini, muncul penjahat yang kebetulan lewat, kemudian muncul pula penolong yang kebetul lewat."
Han Beng tersenyum.
"Juga amat kebetulan bahwa yang diganggu penjahat Itu bukanlah suami isteri petani biasa melainkan suami isteri yang memiliki Ilmu kepandaian tinggi."
"Tidak ada harganya untuk dipuji, Tai-hiap. Buktinya, kalau tidak ada Tai-hiap, entah apa jadinya dengan kami. Kami akui bahwa kami memang pernah mempelajari ilmu silat, cukup mendalam, akan tetapi selama dua belas tahun ini kami tidak pernah bersilat, baik berkelahi maupun latihan. Kami hidup aman dan tenteram di tempat ini, siapa sangka malam ini hampir terjadi malapetakan. Perkenalkan, Taihiap. Saya bernama Coa Kiang Lee dan isteri saya tadi Sim Lan Ci. Anak kami tadi bernama Coa Thian Ki. Seperti saya katakan tadi, sejak dua belas tahun yang lalu kami berdua meninggalkan dunia persilatan dan tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk melibatkan diri dengan urusan kang-uuw. Kami tidak ingin mengajarkan ilmu silat kepada anak tunggal kami, agar dia tidak perlu melibatkan diri dalam kekerasaan dan permusuhan. Maka, sungguh kami merasa penasaran sekali melihat munculnya penjahat yang amat lihai tadi." Dia berhenti sebentar, lalu memandang wajah Han Beng penuh kagum dan berkata,
"Tai-hiap masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Kalau boleh saya mengetahui nama besar Tai-hiap "
"Namaku Si Han Bcng dan harap Coa Toako tidak bersikap sungkan dan menyebutku tai-hiap, membuat aku merasa canggung dan tidak enak saja."
Coa Siang Lee makin kagum terhadap pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu. Masih begitu muda bukan saja sudah lihai bukan main, akan tetapi juga sudah pandai merendahkan diri, tanda dari kerendahan hati. Dia pun merasa girang sekali di balik kekhawatirannya karena peristiwa tadi.
"Baiklah, Siauw-te (Adik). Sebenarnya, seorang dengan kepandaian sepertimu, sudah sepatutnya disebut tai-hiap (pendekar besar), akan tetapi karena engkau merasa canggung, biarlah kusebut Siauw-te. Terus terang saja, kami sama sekali tidak pernah mengenal orang tadi, dan karena sudah belas tahun kami menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, maka munculnya orang lihai itu pun kami tidak ketahui. Engkau yang
tentu sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw, barangkali mengenal dia, Siauw te?"
Han Beng menggeleng kepalanya, sedikit memincingkan matanya suatu kebiasaan kalau dia berpikir-pikir.
"Tidak, aku pun tidak pernah melihatnya. Akan tapi jelas bahwa dia seorang penjahat cabul!" sambungnya gemas.
"Kukira bukan hanya penjahat cabul, Siauw-te," Coa Siang Lee membantah, Kami merasa curiga bahwa dia memang datang dengan sengaja untuk memusuhi kami sekeluarga."
"Kurasa memang demikian, dan aku dapat menduga siapa dia!" Tiba-tiba terdengar suara Sim Lan Ci yang muncul dari kamar. Puteranya sudah tidur kembali dan ketika ia keluar, ia mendengar ucapan suaminya, maka ia lalu menjawab, mendengar ucapan itu, Han Beng dan Siang Lee cepat memandang dengan mata bertanya.
Lan Ci duduk di dekat suaminya yang segera menegurnya.
"Bagaimana engkau bisa tahu siapa dia? Sedangkan Siauw-te Si Han Beng ini saja yang amat ini tidak mengenalnya, apalagi engkau yang selama belasan tahun tidak pernah meninggalkan dusun ini?"
"Aku juga tidak tahu, akan tetapi dapat menduganya. Lee-koko, lupakah engkau kepada orang yang amat membenci kita, yang ingin melihat kita lebih menderita daripada kematian sendiri?"
"Kaumaksudkan Sin-tiauw Liu Bhok Ki?" tanya suaminya, kini nampak teringat dan terkejut pula. Mereka saling pandang sehingga tidak melihat betapa wajah tamu mereka berubah dan nampak kaget pula mendengar ucapan nyonya rumah itu.
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa lagi kalau bukan Kakek Iblis yang jahat itu? Hanya dialah seorang dunia ini yang amat membenci kita dan dia akan girang sekali melihat kita hancur atau terbasmi, termasuk anak kita. Aku hampir yakin bahwa pemuda bercaping itu tentulah utusannya, entah pembantunya atau muridnya!"
"Ah, engkau benar, isteriku! Memang masuk akal sekali pendapatmu itu. Melihat kelihaiannya, agaknya memang dia itu orangnya kakek jahat Sin-tiauw Liu Bhok K i!"
"Bukan! Dia sama sekali bukan murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki, dan kakek yang gagah perkasa itu tidak membenci kalian, tidak ingin membunuh kalian!"
Mendengar ucapan Han Beng itu, Siang Lee dan Lan Ci cepat memandang kepadanya dan mereka merasa heran sekali "Siauw-te, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak mengenal pemuda bercaping itu, bagaimana sekarang bisa tahu bahwa dia bukan murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki?"
"Karena murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki hanya ada seorang saja, yaitu aku sendiri."
"Ahhh.........!" Suami isteri itu berseru kaget dan keduanya bangkit dari tempat duduk mereka, memandang kepada Han Beng dengan mata terbelalak. Akan tapi Han Beng tersenyum dan menggerakkan tangan memberi isarat agar tereka tenang.
"Sekarang harap Ji-wi suka menceritakan, mengapa Ji-wi menganggap bahwa orang tadi murid Suhu dan mengapa pula Ji-wi agaknya membenci Suhu dan menyebutnya kakek iblis. Aku sebagai muridnya berhak mengetahuinya, bukan?"
Siang Lee menarik napas panjang juga isterinya dan mereka berdua lalu duduk kembali.
"Maafkan kami, Siauw-te. Bukan maksud kami menghina Suhumu, akan tetapi memang sungguh orang tua itu bagi kami amatlah jahatnya bahkan sebetulnya kamilah yang sepatutnya mendendam sakit hati kepadanya. Akan tetapi karena kejahatannya terhadap kami itu berakhir dengan baik dan membahagiakan bagi kami, maka kami mencoba untuk melupakan dia, dan karena kami masih takut terhadap dia, maka selama ini kami mengasingkan diri di dusun sunyi ini."
Hati Han Beng semakin tertarik.
"Ceritakanlah, Toako. Ceritakan saja apa adanya dengan terus terang, tidak perlu merasa sungkan kepadaku karena sudah dapat mempertimbangkan mana benar dan mana salah. Kalau tidak demikian, tentu aku tidak akan membantu kalian tadi, bukan? Apalagi karena sebelumnya aku pun sudah tahu bahwa kalianlah yang dicari oleh Suhu."
Kembali dua orang itu terkejut mendengar bahwa mereka dicari oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki, akan tetapi karena sikap Han Beng jelas baik, tidak memusuhi mereka bahkan telah menyelamatkan mereka, maka mereka pun tidak merasa ragu lagi untuk menceritakan semua yang mereka alami ketika mereka menyerbu tempat tinggal Liu Bhok Ki, sekitar dua belas tahun yang lalu.
"Mendiang Ayahku bernama Coa Kun Tian, putera Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung. Sungguh tidak beruntung sekali Ayah jatuh cinta kepada isteri Liu Bhok K i yang bernama Phang Hui Cu. Mereka saling jatuh cinta dan melihat bahwa isterinya dan Ayahku saling mencinta, Liu Bhok Ki marah sekali, lalu dia membunuh Ayahku dan isterinya sendiri. Kalau saja hal itu cukup sampai di situ, kiranya aku pun akan memaklumi keadaan dan menyadari bahwa kematian Ayahku adalah karena kesalahan sendiri. Akan tetapi, ternyata tidak demikian Kakek yang kejam itu memenggal kepala Ayahku, memberi obat pengawet menggantungkan kepala Ayahku itu rumahnya! Mendengar ini, pada suatu hari, dua belas tahun yang lalu, mendatangi rumahnya untuk membalas dendam atas kematian dan penghinaan terhadap kepala jenazah Ayahku. Dan pada waktu aku tiba di sana, aku ber temu dengan isteriku ini."
"Aku pun hendak membalas dendam atas kematian Bibiku, yaitu Phang Hui Cu. Kepala Bibiku juga diawetkan dalam sebuah botol besar, direndam anggur seperti juga kepala kekasih Bibiku iti Kuanggap perbuatannya itu amat keterlaluan dan menghina sekali!"
Siang Lee melanjutkan.
"Kami berdua mengeroyoknya, akan tetapi kami kalah d.an dia berhasil merobohkan kami. Akan tetapi, kami tidak dibunuhnya! Dia memiliki rencana yang lebih kejam lagi untuk memuaskan hatinya. Kami diberi obat perangsang sehingga di luar kesadaran kami, kami melakukan hubungan suami isteri! Baiknya kami memang saling tertarik dan saling mencinta, maka kami melanjutkan hubungan itu dengan ikatan suami isteri. Akan tetapi akibatnya, aku diusir oleh Kakekku di Hek-bouw-pang, dan ketika kami berkunjung ke Ibu isteriku, kami pun diusir. Maka, kami lalu menyembunyikan diri di sini dan kini sudah mempunyai seorang anak laki-laki."
"Akan tetapi, kenapa Suhu melakukan hal itu? Kenapa Suhu ingin melihat kalian menjadi suami isteri kalau memang dia membenci kalian?" tanya Han teng, tidak mengerti.
"Hal itu hanya membuktikan betapa besarnya kebenciannya terhadap kami. Dia ingin kami menjadi suami isteri untuk kemudian dia dapat menghancurkannya, seperti rumah tangganya sendiri yang hancur karena hubungan antara mendiang Ayah dan mendiang isterinya sendiri."
"Tapi........, tapi, dua orang musuhnya itu sudah terbunuh. Mengapa kalian yang harus dibalas seperti itu?"
Kini Lan Ci yang menjawab,
"Karena wajah suamiku mirip dengan mendiang, Ayahnya, dan wajahku mirip dengan mendiang Bibiku. Dia seolah-olah ingin melihat Coa Kun Tian dan Phang Hui Cu hidup kembali, menjadi suami isteri agar dia dapat membalas dengan gangguan yang sama, yaitu membikin pernikahan itu menjadi hancur berantakan."
Diam-diam Han Beng bergidik. Dan percaya akan keterangan mereka karena dia sendiri melihat betapa dua buah tengkorak manusia itu masih disimpan suhunya dan akhirnya dia yang memintanya dan menguburkannya. Suhunya memang telah menjadi seperti gila oleh rasa cemburu yang berkobar menjadi dendam kebencian selebar lautan!
Han Beng menarik napas panjang "Aihhh, sungguh aku merasa menyesal Sekali Dan Suhu mengutus aku yang harus menghancurkan rumah tangga dan kehahagiaan kalian! Mana mungkin aku lakukan hal yang sekeji itu?"
Suami isteri itu saling pandang dan merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Kalau saja pemuda perkasa ini melaksanakan perintah suhunya, bagaimana mereka akan mampu menyelamatkan diri? Memang belum tentu pemuda mi akan mampu membujuk rayu dan menjatuhkan hati Lan Ci yang mencinta suaminya dan memiliki kesetiaan, tidak seperti mendiang bibinya. Akan tetapi kalau pemuda ini menggunakan kekerasan, bagaimana mereka akan mampu menghindarkan diri?
"Dan engkau tidak mengganggu kami sama sekali, bahkan menyelamatkan kami
dari malapetaka, Si-siauwte? Sungguh untuk itu, kami merasa berterima kasih
dan hutang budi kami semakin mendalam."
"Tidak perlu berterima kasih, Toako. Aku hanya melakukan hal yang wajar dan semestinya saja. Aku belajar silat bukan untuk melakukan kejahatan, bahkan sebaliknya, aku harus menentang kejahatan, dari mana pun juga datangnya!" "Bagus! Omongan besar! Kiranya aku telah memelihara anak harimau, setelah besar hendak menerkam aku sendiri!'
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak berkelebat bayangan orang.
"Suhu...............!"
"Liu Bhok Ki .................!" Suami isteri itu pun berseru kaget setengah mati melihat munculnya kakek yang tinggi besari itu. Akan tetapi kakek itu berdiri tegak dan memandang kepada muridnya dengan sepasang mata terbelalak penuh kemarahan. Han Beng bersikap tenang dan dengan hormat dia pun lalu rnenjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Si Han Beng!" bentak Kakek itu dengan suara menggeledek.
"Tahukah engkau siapa aku?"
Sambil memberi hormat dan berlutut Han Beng menjawab,
"Suhu adalah Sin tiauw Liu Bhok Ki, guru tee-cu (murid) yang bijaksana."
"Hemmm, kalau engkau masih ingat apa pesanku kepadamu terhadap dua orang suami isteri itu?"
"Teecu masih ingat, Suhu. Suhu mengutus teecu untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga ini."
"Murid gila! Lalu mengapa tidak segera kaulakukan itu?"
"Maaf, Suhu, teecu melihat bahwa mereka adalah orang baik-baik, saling mencinta dan saling setia. Karena itu teecu tidak dapat melaksanakan tugas yang Suhu berikan kepada teecu." jawaban ini diucapkan dengan suara tenang sedikit pun tidak memperlihatkan bahwa murid itu merasa takut.
Marahlah kakek gagah perkasa yan berwatak keras itu.
"Bagus! Kiranya engkau berubah menjadi seorang yang berhati lemah dan lunak sekali! Kalau engkau tidak sanggup menghancurkan mereka, biarlah aku yang akan membunuh sendiri mereka!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba sekali tubuh kakek tinggi besar itu meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung rajawali menyambar calon mangsanya, dia sudah menerkam dan menyerang Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Serang-Itu dahsyat bukan main karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dalam jurus maut dari Hui-tiauw Sut-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) itu. Betapapun lihainya suami isteri itu, kiranya menghadapi jurus maut ini mereka akan sukar untuk dapat menghindarkan diri. Dan menangkis serangan itu berarti mereka harus menghadapi gelombang tenaga yang amat dahsyat. Mereka tentu akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang parah kalau melakukan tangkisan.
"Wuuuuuttttt............... desssss.!!!"
Tubuh Sin-tiauw Liu Bhok Ki terpental dan hampir terpelanting, namun Han Beng yang menangkis serangan itu pun terjengkang sampai terguling-guling karena memang dia tadi tidak berani mengerahkan tenaga terlalu kuat agar tidak melukai gurunya. Dia tidak rela melihat gurunya menyerang suami isteri itu dengan jurus maut yang dia tahu amat berbahaya, maka cepat dia menangkis serangan itu dari samping.
Liu Bhok Ki sudah berdiri tegak lagi dan kini mukanya berubah merah, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang kepada muridnya yang kembali sudah berlutut di depan kakinya.
"Si Han Beng! Apa yang kaulakukan ini? Engkau hendak melawan aku dan melindungi dua orang musuhku ini?"
"Maaf, Suhu. Sama sekali teecu tidak berani melawan Suhu dan teecu buta melindungi Coa-toako dan isterinya, melainkan teecu harus mencegah Suhunya melakukan perbuatan yang tidak benar. Suhu, mereka ini bukanlah musuh Suhu. Bukankah dua orang musuh Suhu telah Suhu bunuh selama bertahun-tahun, Suhu bahkan telah menyiksa tengkorak mereka? Dua orang ini sama sekali tidak bersalah kepada Suhu. Karena itu, Suhu teecu mohon agar Suhu menyadari kekeliruan tindakan ini, agar Suhu dapat membuang jauh cemburu dan dendam yang tidak pada tempatnya."
Sepasang mata itu semakin terbelalak marah.
"Apa? Engkau berani bicara seperti itu? Bagus! Engkau murid murtad engkau sudah berpihak kepada musuh oleh karena itu, engkau pun kini menjadi musuhku. Aku akan bunuh dulu engkau, baru mereka!" Berkata demikian kaki kakek itu menendang.
"Desss......... !" Tubuh pemuda itu terpental dan terbanting keras. Akan tetapi Han Beng yang sama sekali tidak melawan itu, sudah bangkit duduk, lalu berlutut kembali ke arah suhunya, memberi hormat tanpa mengusap darah yang keluar dari ujung bibirnya.
Melihat keadaan itu, Coa Siang Lee menggandeng tangan isterinya dan cepat mereka berlutut di depan kaki Liu Bhok Ki, menghalangi kakek itu menghajar muridnya.
"Lo-cian-pwe, dia adalah penyelamat nyawa kami. Jangan Lo-cian-pwe membunuh dia. Kalau Lo-cian-pwe menghentikan nyawa kami, silakan, kami menyerahkan nyawa kami kepadamu!"
Melihat dua orang suami isteri itu berlutut di depan kakinya dan minta dibunuh untuk menyelamatkan Han Beng, ! Liu Bhok K i menjadi bengong. Pada saat itu, terdengar suara anak kecil.
"Ayah.......... Ibu..........!" dan muncullah Thian Ki. Anak
itu mencari-cari dengan pandang mata nya. Ketika melihat mereka itu berlutut di depan kaki seorang kakek yang tinggi besar, Thian Ki lalu berlari menghampiri mereka, dan dia pun ikut-ikutan berlutut di depan kakek itu!
Melihat ini, Sin-tiauw Liu Bhok Ki menjadi semakin bengong. Tadinya di melihat Coa Siang Lee sebagai Coa Ku Tian dan Sim Lan Ci sebagai Phang Hui Cu, akan tetapi kini dia melihat mereka sebagai sepasang suami isteri denga seorang anak mereka.
"Lo-cian-pwe, kami ibu ayah dan anak menyerah kepada Lo-cian-pwe, dan mohon Lo-cian-pwe suka mengampuni Adik Si Han Beng." kata Sim Lan Ci.
Hati kakek itu seperti ditusuk-tusuk rasanya. Dia menunduk dan memandang mereka, dan kebetulan Thian K i menengadah. Pandang mata mereka bertemu dan seketika Sin-tiauw Liu Bhok Ki menjadi lemas. Entah daya kekuatan apa yang terkandung dalam sepasang mata anak berusia tiga tahun itu! Mata yang bebas dari perasaan hati dan akal pikiran, sepasang mata yang menyinarkan suatu yang suci, seperti mata malaikat, atau mata yang mengandung sinar mata kasih dan kekuasaan Tuhan, yang ampuh melumpuhkan dan mencairkan semua kekerasan yang menggumpal di dalam hati Sin-tiauw Liu Bhok Ki! Pada saat pertemuan pandang mata itu, seketika Liu Bhok Ki menyadari akan semua sepak terjangnya yang dipenuhi nafsu dendam kebencian yang timbul dari cemburu. Baru dia merasa betapa jahat dan kejamnya dia selama ini dan tak dapat ditahannya lagi, kakek itu meringis sampai mengguguk!
Melihat keadaan suhunya ini, Han Beng merasa terkejut, heran dan juga terharu. Dia merasa bersalah, mengira ihwa karena dia tidak mentaati gurunya maka orang tua itu kini merasa menyesal dan menangis. Dia segera berlutut dan menyentuh ujung sepatu gurunya.
"Suhu, ampunkan teecu...............!"
Liu Bhok Ki menangis semakin sedih, sampai terisak-isak dan sesenggukan, kedua tangan menutupi mukanya. Air mata mengalir keluar dengan derasny amelalui celah-celah jari tangannya. Seolah-olah semua gumpalan yang tadinya membeku di dalam dirinya telah mencair dan menjadi air mata, kini tertumpah keluar semua. Dadanya terasa lapang dan dia lalu menurunkan kedua tangannya, memegang kedua pundak muridnya dan menariknya berdiri.
"Han Beng, kaumaafkan Suhumu........ Kemudian dia menyentuh kepala Sian Lee dan Lan Ci sambil berkata,
"Kalian.............. kalian maafkanlah semua perbuatanku yang lalu............."
"Lo-cian-pwe.......... !" Sim Lan Ci kini menangis, tidak dapat menahan keharuan hatinya mendengar betapa kakek yang keras hati itu kini menangis dan minta maaf padanya.
Liu Bhok Ki kini membungkuk mengangkat Thian Ki dalam pondongannya. Anak itu sama sekali tidak merasa takut, merangkul leher kakek itu d terdengar suaranya yang merdu.
"Kong-kong (Kakek), kenapa engkau menangis?"
Pertanyaan itu membuat air mata makin deras keluar dari kedua mata Liu hok Ki, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia mengejap-ngejapkan mata memandang wajah yang mungil, tampan dan merah itu. Senyumnya makin melebar dan akhirnya dia pun tertawa bergelak gelak. Suara ketawanya menggetarkan keadaan sekitarnya dan belum pernah Han Beng-mendengar gurunya tertawa seperti itu, bebas lepas dan ini merupakan tanda bahwa orang tua itu telah benar-benar terbebas dari siksaan batin berupa racun dendam kebencian.
"Ha-ha-ha............ Cucu yang baik, siapakah namamu?" Dia mengakhiri tawanya
dan menimang Thian Ki.
"Namaku Coa Thian Ki, Kong-kong." kata anak itu manja.
"Bagus! Terima kasih, Thian Ki, terima kasih Cucu yang baik........!" Dia menurunkan anak itu, kemudian menoleh kepada Han Beng.
"Han Beng, engkau benar, lanjutkan perjalanan dan pertahankan sikapmu yang tadi. Aku bangga menjadi gurumu."
"Teecu akan mentaati pesan Suhu."
"Dan kalian, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, kalian jaga baik-baik anak kalian ini, jangan biarkan dia menjadi hamba kekerasan seperti kita. Kalian benar anak ini tidak perlu diperkenalkan dengan ilmu silat dan kekerasan! Nah, selamat tinggal semua. Han Beng, kalau engkau perlu bertemu denganku, aku berada di Kim-hong-san!" Setelah berkati demikian, kakek itu berkelebat dan le nyap dari situ.
Pedang Naga Hitam Eps 1 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 4 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 4