Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 4


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   "Yang Mulia, tugas apakah yang telah gagal dilakukan tiga orang anak buah paduka itu?" Semua orang mendengarkan penuh perhatian, ingin tahu jawaban orang aneh yang penuh rahasia itu.
(Lanjut ke Jilid 04)

   Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
"Kami mengirim tiga orang anak buah kami menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo untuk membunuhnya. Akan tetapi, mereka bukan hanya gagal, bahkan seorang yang kami percaya memiliki kemampuan, telah tewas dan dua orang tadi melarikan diri membawa luka-luka."

   Mendengar ini, Coa Ok yang berwatak sombong itu tersenyum menyeringai.

   "Heh, kalau hendak membunuhnya, kenapa harus menyusup ke istana di mana terdapat banyak pengawal? Serahkan saja kepada kami. Kami akan menghadang dan raja muda itu keluar dari istana, kami akan sanggup membunuhnya!"

   Akan tetapi si kedok hitam mengangkat tangan dan menggeleng kepala.

   "Tidak selain mereka kini tentu lebih waspada dan melakukan penjagaan juga kami telah mengubah siasat. Setelah mendengar hasil penyelidikan jaringan mata-mata kami di kota raja selatan, dan setelah menerima pesan dari Pangeran Thian-cu (Anak Langit), siasat kami berubah sama sekali. Kami tidak lagi menggunakan kekerasan melainkan mengatur siasat yang halus."

   "Siapakah Pangeran Thian-cu?" tanya Pek-bin Moli.

   "Siasat apa yang akan dipergunakan dan apa pula tugas kami?" tanya Coa Ok mewakili semua saudaranya.

   "Dan pesan apa yang harus saya sampaikan kepada majikan saya Naga Lautan Timur?" tanya Bu-tek Kiam-mo.

   "Tenanglah dan dengarkan penjelasanku. Juga engkau Bu-tek Kiam-mo, dengarkan baik-baik agar kelak dapat kaulaporkan kepada majikanmu. Kalian tentu tahu siapa Kaisar Thai-cu yang telah memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol). Dia tadinya bernama Chu Goan Ciang dan siapa dia? Seorang petani! Bayangkan saja. Seorang petani busuk menjadi kaisar dan akan memerintah kita! Bagaimana mungkin kita dapat direndahkan sampai seperti itu? Tidak! Kita harus mengenyahkan kekuasaan para petani busuk itu"

   "Maaf, Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.

   "Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat melakukan hal itu? Kaisar Thai-cu telah membangun Kerajaan Beng, dan memiliki pasukan besar yang amat kuat. Bagaimana kita mampu melawan sebuah kerajaan yang memiliki pasukan besar?"

   Semua orang mengangguk membenarkan pendapat Ang-bin Moko itu. Merekapun akan pikir-pikir dulu kalau diharuskan melawan pasukan pemerintah yang ratusan ribu jumlahnya.

   "Heh..heh, kita tidak begitu bodoh. Kalau dengan jalan kekerasan tidak mungkin, masih banyak jalan yang lebih halus. Dan baru saja kami mendapat keterangan dari para penyelidik. Kalian dengarkan baik-baik siasat yang akan kami atur."

   Dengan suara yang halus dan jelas, si kedok hitam lalu menggambarkan rencana siasatnya. Mula-mula dia menceritakan keadaan keluarga kaisar, betapa kaisar telah mengangkat pangeran Yung Lo menjadi raja muda di Peking karena pangeran ini memang ahli dalam mengatur pasukan untuk menahan gelombang serangan orang-orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaannya di selatan.

   "Nah, Raja Muda Yung Lo, walaupun bukan pangeran sulung, bukan pangeran mahkota karena dia lahir dari selir, tentu saja menganggap dirinya sebagai pangeran yang paling gagah, paling cakap untuk kelak menggantikan ayahnya. Akan tetapi dia harus mengalah terhadap Pangeran Mahkota, putera pertama kaisar dari permaisuri, yaitu Pangeran Chu Hui San yang telah ditetapkan kelak menggantikan ayahnya karena diapun merupakan putera sulung. Dan di antara kedua pangeran ini seperti terdapat persaingan, dan akan mudah dicetuskan api permusuhan antara Raja Muda Yung Lo dan kakaknya, Pangeran Mahkota Chu Hui San. Inilah jalan yang kami maksudkan, cara halus yang kalau berhasil, jauh lebih menguntungkan dari pada sekedar penyerbuan dan pertempuran."

   "Akan tetapi bagaimana caranya, Yang Mulia? Kami berdua masih belum jelas benar, walaupun sudah mengerti apa yang paduka maksudkan dengan cara yang halus tanpa kekerasan itu," kata Pek-bin Moli.

   "Jalan satu-satunya adalah melakukan penyusupan ke dalam istana Pangeran Mahkota. Kita harus mengobarkan persaingan itu menjadi permusuhan. Sukar untuk mempengaruhi Raja Muda Yung Lo karena wataknya keras dan dia dapat berbahaya. Akan tetapi, Pangeran Chu Hui San adalah seorang pangeran yang lemah dan kita akan dapat mempengaruhinya. Nah, menyusup ke istana Pangeran Mahkota dan mempengaruhinya merupakan satu di antara tugas kita. Ada pula tugas lain yang tidak kalah pentingnya."

   "Apakah tugas itu, Yang Mulia?" tanya Ang-bin Moko.

   "Kami lebih menyukai tugas yang membutuhkan kekuatan. Menyusup ke istana dan bermain sandiwara terlalu sukar bagi kami."

   "Heh..heh, kami juga tidak akan mengutus kalian melakukan penyusupan ke istana, Moko. Kalian berdua dikenal oleh para tokoh persilatan, dan kalau para tokoh mengetahui kalian menyusup ke istana pangeran Mahkota, tentu kalian akan dicurigai. Tidak, kalian lebih tepat untuk tugas kedua, yaitu berusaha merebut kedudukan bengcu (pimpinan) yang akan diadakan oleh para datuk persilatan beberapa bulan mendatang di puncak Thai-san. Kalian harus dapat merebut kedudukan bengcu sehingga dengan mudah kita akan mendapat dukungan dari dunia persilatan kalau saatnya tiba bagi kita untuk bergerak."

   Sepasang iblis itu saling pandang dan mereka terbelalak.

   "Wah, kami sendiripun sejak dulu berkeinginan menjadi bengcu dan kami berlatih keras untuk dapat mengikuti pemilihan bengcu. Akan tetapi, Yang Mulia, kami tahu bahwa tidaklah mudah untuk menjadi orang yang paling tangguh. Banyak orang sakti akan mengikuti pemilihan itu, dan mereka memiliki pendukung, sedangkan kami tidak."

   "Heh..heh, kami dapat mempersiapkan pendukung yang amat banyak. Kami berdiri di belakang kalian, dan akan kami usahakan sedapatnya agar kalian yang menang. Selain itu, juga kami akan mengirim pembantu untuk menyusup ke dalam perkumpulan pengemis. Kalau kita dapat menguasai para kai-pang, mereka dapat menjadi pendukung yang besar jumlahnya dan kuat. Nah, sekarang sudah ada tiga macam tugas kita. Pertama, menyusup ke istana Putera Mahkota. Kedua, mencoba untuk menguasai kai-pang (perkumpulan pengemis), dan ke tiga, berusaha meraih gelar bengcu agar dapat menguasai dunia kangouw. Untuk yang ke empat, kami sendiri yang akan mengaturnya, yaitu menyambut kedatangan Yang Mulia Pangeran karena beliau sendiri yang akan memimpin kita agar perjuangan ini berhasil baik."

   "Yang Mulia Pangeran?" Ang-bin Moli berseru heran.

   "Siapakah beliau? Dan siapa pula paduka? Mengapa paduka selalu menyembunyikan wajah di balik kedok? Tidak enak rasanya bagi kami tidak mengenal siapa pemimpin kami. Dan Yang Mulia Pangeran itu, diakah pemimpin kita yang utama?"

   Si kedok hitam mengangguk-angguk.

   "Pertanyaan yang pantas dan memang kalian perlu mengetahui agar tidak ragu-ragu lagi. Ketahuilah bahwa perjuangan kita ini dipimpin langsung oleh Pangeran Yaluta yang mulia, bijaksana dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Beliau yang menjadi pemimpin besar dan selama ini beliau mewakilkan kepada kami. Karena aku tidak ingin dikenal agar aku dapat bergerak dengan leluasa, maka aku memakai kedok sutera hitam. Kini, Yang Mulia Pangeran merasa sudah tiba saatnya beliau sendiri yang memimpin langsung, maka beliau akan datang. Kelak, kalau beliau sudah datang, akan kami perkenalkan kepada kalian semua. Sekarang, mari kita membagi tugas masing-masing."

   Si kedok hitam lalu mengatur siasat, membagikan tugas kepada mereka semua dengan teliti sekali.

   Melihat cara kerja si kedok hitam, sepasang iblis itu kagum karena siasat itu rapi dan seperti siasat seorang panglima perang saja. Kepada Bu-tek Kiam-mo, si topeng hitam itu memberi kiriman benda-benda berharga untuk dihadiahkan kepada Tung-hai-liong Ouwyang Cin, juga diharapkan bantuan datuk itu agar cita-cita Pangeran Yaluta dapat terkabul, yaitu menjatuhkan kaisar petani seperti yang disebut oleh si kedok hitam dan mendirikan kembali Kerajaan Goan yang sudah runtuh.

   Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang amat kuat daya pengaruhnya terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta, manusia lupa diri dan tidak segan melakukan perbuatan apapun juga. Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya. Kalau sudah begini, manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai mahluk yang mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri. Manusia lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu merupakan sumber segala malapetaka dalam kehidupan, sumber sengketa, sumber derita sengsara.

   Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut akan kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, dan kesenangan yang dihasilkan oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan. Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati merusak pertimbangan, membuat kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang yang pada akhirnya akan membuahkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kita terkadang silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengajaran mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil daripada caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.

   Kaisar Thai-cu, pendiri Kerajaan Beng (Terang) adalah seorang yang pandai. Biarpun ia terlahir sebagai anak petani, namun berkat pengalaman dan kepemimpinannya, dia berhasil menyusun kekuatan, menarik dukungan hampir seluruh rakyat dan akhirnya berhasil pula menumbangkan kekuasaan Mongol yang sudah menjajah selama hampir seratus tahun itu. Dan diapun maklum bahwa orang-orang Mongol tentu saja tidak rela melepas kekuasaan mereka dan pasti mereka akan selalu berusaha untuk merebut kembali tahta kerajaan.

   Oleh karena itu, maka diapun mengangkat puteranya yang sejak muda memiliki kemampuan seperti dia, yaitu pandai mengatur pasukan, Pangeran Yung Lo, sebagai raja muda di Peking sehingga puteranya itu akan menjamin bahwa orang-orang Mongol tidak akan menyeberangi Tembok Besar. Juga dia mengerahkan kekuatan untuk melakukan penjagaan di perbatasan, mempertanankan kedaulatan Kerajaan Beng. Untuk tugas-tugas ini, dia memiliki banyak pembantu.

   Para panglimanya adalah orang-orang yang cakap, di antaranya yang menjadi orang kepercayaannya adalah Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti. Kedua orang jenderal ini merupakan panglima-panglima perang yang pandai dan merekalah yang mengatur semua penjagaan, walaupun keduanya tetap tinggal di kota raja. Jasa keduanya amat besar dalam meruntuhkan Kerajaan Goan (Mongol), maka kaisar memberi mereka kedudukan tinggi yang membuat mereka berdua dapat menetap di kota raja dan sekali-sekali saja melakukan peninjauan ke perbatasan. Di kalangan sipil, Kaisar Thai-cu juga mempunyai banyak menteri yang pandai. Seorang kaisar memang harus dapat mempergunakan orang-orang pandai kalau dia menghendaki kemajuan dalam pemerintahan yang dikendalikannya.

   Kaisar Thai-cu yang kini telah berusia enam puluh tahun itu mempunyai banyak anak dari para selirnya, akan tetapi dari permaisuri, dia hanya mempunyai seorang putera, yaitu Pangeran Chu Hui San yang diangkat menjadi putera mahkota. Hanya ada satu hal yang kadang merisaukan hati sang Kaisar, yaitu melihat betapa puteranya yang menjadi Pangeran Mahkota itu dianggapnya tidak memiliki kewibawaan dan kekuatan yang patut membuat dia menjadi calon kaisar, tidak seperti puteranya yang kini menjadi raja muda di Peking. Pangeran Mahkota yang sudah berusia empatpuluh tahun itu lemah dan hanya berfoya-foya saja, sama sekali tidak memperdulikan urusan pemerintah. Padahal, Putera Mahkota itu sudah cukup dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Dia sudah mempunyai beberapa orang anak, dari isterinya mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah berusia enam tahun dan bernama Pangeran Chu Song, sedangkan dari para selirnya, dia juga mempunyai beberapa orang anak. Bahkan ada puterinya yang sudah berusia delapanbelas dan tujuhbelas tahun.

   Namun, tetap saja Pangeran Mahkota ini berwatak kekanak-kanakan dan selalu mengejar kesenangan. Tidak mengherankan apabila dia dikelilingi penjilat-penjilat yang memanfaatkan kelemahannya untuk mendapatkan keuntungan darinya. Pangeran Chu Hui San hidup bermewah-mewah, setiap hari hanya berpesta, bermain judi, bahkan dia terkenal sekali di antara rumah-rumah pelesir yang dikunjunginya secara diam-diam dan menyamar, tentu saja atas anjuran para penjilat yang menjadi teman-temannya, yaitu para pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi di kota raja.

   Pangeran Mahkota dan teman-temannya itu merupakan sebuah gerombolan bangsawan yang mempunyai tukang-tukang pukul sendiri, dan kadang mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti merampas barang berharga yang mereka senangi dari siapa saja, dan tidak jarang mereka merampas seorang gadis cantik dan menculiknya dengan kekerasan. Tak seorangpun berani menentang mereka, karena pemimpin gerombolan itu adalah Pangeran Mahkota! Bahkan tidak ada yang berani melapor kepada kaisar yang amat menyayang putera mahkota ini, sehingga kaisar sendiri tidak tahu akan sepak terjang calon penggantinya itu.

   MEMANG sesungguhnya, tidak ada yang sempurna di seluruh alam mayapada ini kecuali Tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada seorangpun yang hidupnya mulus tanpa cacat. Tidak ada hati yang selalu mengenal senang tanpa mengenal susah. Kaisar Thai-cu memang dari luar nampak hidup penuh kesenangan, penuh kebahagiaan. Dia merupakan pendiri sebuah kerajaan baru yang berhasil. Hidup penuh kemuliaan sebagai kaisar, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara ratusan juta manusia. Dia tidur di atas puncak kekuasaan, berenang di lautan kemewahan. Berkuasa, mulia, terhormat, kaya raya, mempunyai banyak isteri dan banyak anak. Lengkap semua!

   Itu hanya nampaknya saja bagi orang lain. Namun, betapa kaisar yang satu ini seringkali termenung bertopang dagu memikirkan keadaan putera mahkota, tidak ada yang tahu! Betapa hatinya seringkali gelisah, khawatir kalau-kalau kerajaan yang dibangunnya itu tidak akan bertahan, tidak akan berkembang menjadi besar dan jaya.

   Betapa dia selalu dirongrong oleh berita tentang pemberontakan di perbatasan, tentang usaha orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaan, negara-negara tetangga di selatan dan barat yang tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Beng, dan para bajak laut yang mengacau di sepanjang pantai timur. Tentang pejabat yang korup, pengkhianat, dan masih banyak hal lagi yang cukup membuat kaisar merasa hidupnya tidak berbahagia!

   Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tak pernah berhenti selama ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar, ditinggalkannya menjadi abu, tak dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Kalau kita sudah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki. Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya, tidak lagi menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum dijamahnya.

   Nafsu membuat segala sesuatu hanya nampak indah menyenangkan bagi yang belum memiliki! Akan tetapi yang sudah memiliki, menjadi bosan dan yang dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja yang menganggap bahwa kaya raya itu amat membahagiakan, sebaliknya, yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya itu.

   Hanya yang tidak memiliki kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat tinggi itu senang dan bahagia, namun seringkali dia tersiksa justeru oleh kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya yang tinggal di gunung rindu kepada kota!

   Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tidak merasa puas dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal yang belum kita miliki. Ini memang wajar. Nafsu memang amat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita "hidup". Namun, kalau dia menjadi alat, menjadi hamba kita.

   Kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba, celakalah! Kita akan menjadi robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Seperti api yanq terus menjalar mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.

   Namun kaisar Thai-cu adalah seorang yang gigih, tidak pernah menyerah kepada segala macam kesukaran. Dia selalu berusaha menanggulangi segala masalah. Dia seorang yang sadar akan romantika kehidupan. Hidup memang merupakan perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di segala saat. Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justeru itulah romantika kehidupan.

   Betapa akan hampa dan haramnya penghidupan ini tanpa adanya tantangan! Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah perjuangan menghadapi semua tantangan.

   Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tigaperempat mati. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan, itu seni kehidupan!

   Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggauta jasmani, hati akal pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan, persoalan lahiriah dah mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah, kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani adalah tugas kewajiban kita sendiri.

   Kaisar Thai-cu tak pernah tunduk terhadap segala kesukaran yang berdatangan semenjak dia menjadi kaisar. Bukan saja dia memilih para pembantu yang pandai untuk dijadikan pejabat yang bijaksana, akan tetapi dia bahkan tidak melupakan para tokoh di dunia persilatan untuk memanfaatkan tenaga mereka. Dia tahu benar bahwa para pendekar yang tidak mau memegang jabatan merupakan orang-orang yang dapat berjasa banyak demi lancarnya roda pemerintahannya.

   Oleh karena itu, dia selalu menghubungi mereka untuk dimintai pendapat, nasihat dan bahkan bantuan. Ketika banyak pusaka istana lenyap dari gudang istana, belasan tahun yang lalu, dia juga minta bantuan para tokoh persilatan, bahkan kemudian, Sam-sian (Tiga Dewa) yang berhasil mendapatkan kembali kumpulan pusaka yang dicuri oleh mendiang Se Jit Kong itu.

   Kemudian dia mendengar akan adanya usaha orang-orang Mongol untuk menyebar mata-mata yang mungkin akan membahayakan, maka diapun segera mengirim utusan mencari dan mengundang Sam-sian untuk datang menghadap. Akan tetapi, yang datang menghadap hanya Ciu-sian seorang, karena dua orang rekannya, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, telah meninggal dunia. Kaisar Thai-cu lalu minta bantuan Ciu-sian untuk menanggulangi dan menyelidiki gerakan jaringan mata-mata Mongol. Ciu-sian menyanggupi, akan tetapi dia merasa tua, maka dia mewakilkan pelaksanaan tugas penting yang berat itu kepada muridnya, yaitu Sin Wan.

   Bayangan merah muda itu meluncur cepat menuruni lembah gunung sebelah timur. Baru setelah ia berhenti di tepi padang rumput kehijauan, nampak jelas bahwa ia seorang gadis yang berpakaian serba merah muda. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah yang cerah, sepasang mata yang berkilat tajam, mulut yang mungil terhias senyum mengejek dan mulut itu dihias lesung pipi yang manis sekali. Ia mengagumi pemandangan alam yang indah di pagi itu, menghirup udara yang sejuk hangat sehingga cuping hidungnya yang tipis nampak kembang kempis. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk liku sempurna karena ia seorang gadis muda usia.

   Sesungguhnya, usianya sudah duapuluh dua tahun, akan tetapi takkan ada orang menyangka begitu, tentu ia akan disangka berusia paling banyak delapanbelas tahun. Begitu segar berseri, anggun seperti setangkai bunga yang baru merekah dihembus semilirnya angin gunung, bermandi embun dan sinar matahari pagi.

   Pakaiannya ringkas, namun pakaian berwarna merah muda itu terbuat dari sutera yang mahal. Tubuhnya terbungkus ketat sehingga nampak jelas tonjolan dan lekukannya. Rambut kepalanya digelung ke atas dan diikat dengan pita berwarna hijau dan kuning, tusuk sanggulnya terbuat dari emas berbentuk burung merak yang indah. Kakinya yang kecil memakai sepatu dari kulit hitam mengkilap. Di punggungnya terdapat buntalan pakaian dan sebatang pedang melintang di bawahnya dengan gagang di belakang pundak kanan.

   Gadis itu adalah Tang Bwe Li atau yang biasa disebut Lili. Setelah menerima tugas dari sucinya, ia meninggalkan Bukit Ular tempat tinggal suhunya, See-thian Coa-ong Cu Kiat, dan hatinya merasa riang gembira. Tidak saja ia merasa seperti seekor burung bebas lepas di udara, dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya tanpa harus mentaati perintah siapapun, menjadi majikan dirinya sendiri, akan tetapi juga ia merasa dirinya penting sekali.

   Sucinya yang lihai dan yang semula malah menjadi gurunya itu, yang merawat dan mendidiknya sejak ia kecil, sucinya yang amat dihormati dan disayangnya, begitu percaya kepadanya untuk mewakili membalas dendam kepada seorang laki-laki yang dianggap telah menghancurkan kehidupan sucinya! Dan ia akan menunaikan tugas itu dengan baik. Ia harus dapat melaksanakan balas dendam itu, demi sucinya ia rela mempertaruhkan nyawanya.

   Tidak aneh kalau Lili merasa bebas dan gembira. Ia penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan pada saat itu, ia memang merupakan seorang gadis yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dahulu, ketika ia belum digembleng oleh See-thian Coa-ong sendiri yang ketika itu adalah kakek gurunya, ia sudah merupakan seorang gadis yang sukar dicari bandingnya dalam ilmu silat.

   Apalagi sekarang, setelah menerima gemblengan datuk itu, ilmu kepandaiannya meningkat dengan cepatnya sehingga kini tingkatnya hampir sejajar dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas gurunya yang kini menjadi sucinya. Dengan ilmu kepandaian sehebat itu, tentu saja Lili merasa kuat dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, apalagi memang pada dasarnya ia seorang gadis yang pemberani bahkan tidak mengenal artinya takut.

   Sudah belasan hari ia meninggalkan Bukit Ular dan selama itu ia sudah melewati banyak gunung, padang rumput, gurun dan lembah yang amat sukar dilalui. Juga banyak ia melewati perkampungan bermacam suku bangsa, namun tidak pernah ada gangguan.

   Pagi hari ini, dengan gembira ia menuruni bukit menuju ke sebuah dusun yang tadi sudah dilihatnya dari puncak bukit itu. Perutnya terasa lapar pagi itu, dan perjalanan sejak matahari terbit tadi menambah rasa laparnya. Di dusun bawah sana tentu ia akan dapat membeli sesuatu untuk sarapan. Bekal makanan yang masih ada dalam buntalan di punggungnya hanya roti kering dan daging asin, untuk minum hanya ada air putih. Ia ingin sarapan makanan yang hangat seperti bubur, dan ingin minum air teh panas-panas.

   Ketika ia menuruni lembah terakhir dan tiba di sebuah tikungan, ia mendengar suara banyak orang dan melihat bahwa di depan sana terdapat banyak orang sedang mengaso, duduk di bawah pohon-pohon dan batu-batu besar. Banyak di antara mereka berada di balik pohon dan rumpun semak belukar, maka ia tidak dapat melihat jelas berapa banyaknya orang yang berada di sana dan sedang apa mereka itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang laki-laki sudah meloncat dan berdiri di depannya.

   Lili memperhatikan mereka. Dua orang ini bertubuh tinggi besar dan memakai topi bulu putih. Mereka kelihatan kokoh kuat, dan keduanya memandang kepadanya seperti dua ekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mata mereka seperti hendak menelannya bulat-bulat, bahkan seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang menjuntai ke bawah, terang-terangan menjulurkan lidah dan menjilati bibir sendiri seperti seekor anjing mengilar melihat sepotong tulang. Orang ke dua, yang mukanya bopeng karena cacar, menyeringai dan nampak giginya yang besar-besar dan hitam. Agaknya orang ini pecandu rokok yang berat atau pengunyah tembakau.

   Lili adalah seorang gadis cantik yang usianya duapuluh dua tahun dan sudah banyak melakukan perjalanan, dan mengalami banyak gangguan dari para pria yang mata keranjang. Tentu saja sekilas pandang dara ini tahu bahwa ia berhadapan dengan dua orang pria yang kurang ajar.

   "Hemm, kalian ini pringas-pringis seperti monyet, mau apa?" Lili bertanya, dan senyumnya tambah mengejek.

   "Heh..heh, aku mau mencium kamu!" kata si kumis bergantung.

   ''Ha..ha, dan aku mau memeluk kamu!" kata si muka bopeng.

   Mulut itu masih tersenyum, mata itu masih bersinar-sinar, akan tetapi cuping hidung tipis itu kembang kempis. Dua orang itu mengira bahwa gadis manis di depan mereka menyambut dengan gembira, tidak tahu bahwa kalau cuping hidungnya sudah kembang kempis, itu tandanya Lili mulai marah.

   "Benarkah kalian hendak memeluk dan mencium?" tanya Lili suaranya masih ramah.

   "Heh..heh, mari beri aku sebuah ciuman manis, sayang!" kata si kumis.

   "Mari rebah dalam pelukanku yang hangat, manis!" kata si bopeng.

   Tiba-tiba tubuh Lili bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata, hanya terdengar ia berkata,

   "Nah, ciumlah sepatuku ini dan peluklah tanah!" Ucapannya itu disusul gerakan kaki menendang mulut si kumis dan tangan kiri menampar tengkuk si bopeng.

   "Dukk! Plakk......!"

   Dua orang itu terpelanting. Si kumis terjengkang oleh sambaran kaki, mulutnya benar-benar mendapat ciuman sepatu yang keras sehingga bibirnya pecah-pecah berdarah, beberapa buah giginya rontok! Sedangkan si bopeng terpelanting dan jatuh menelungkup, memeluk dan mencium tanah dalam keadaan puyeng karena bumi rasanya berputar, dadanya sesak dan sukar bernapas.

   "Heiiii.....! Gadis liar, apa yang kau lakukan itu?" terdengar bentakan orang dan nampak lima orang sudah berlari ke tempat itu. Mereka juga mengenakan topi bulu yang berwarna putih dan melihat dua orang rekan mereka roboh dan mengaduh-aduh, apalagi melihat si kumis megap-megap dengan mulut remuk berdarah, mereka marah sekali.

   "Kalian ingin seperti mereka?" Lili bertanya dengan sikap mengejek dan suaranya masih ramah dan lembut. Ia memang memiliki suara yang basah, seperti orang berbisik mesra.

   Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali.

   "Gadis liar dan sombong, engkau patut dihajar!" teriak seorang di antara mereka dan mereka pun sudah menerjang ke depan dengan maksud untuk menangkap gadis yang telah merobohkan dan melukai dua orang rekan mereka itu.

   Namun mereka disambut kilat yang menyambar-nyambar! Seperti kilat saja tubuh Lili bergerak, kedua tangan dan kakinya berkelebatan dan lima orang itupun terpelanting satu demi satu, merintih kesakitan, ada yang mulutnya penyok, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dicium sepatu, ada yang berjingkrak karena tulang kering kakinya retak. Dalam segebrakan saja Lili telah membuat lima orang laki-laki yang bertubuh kuat itu tidak berdaya melanjutkan serangan mereka!

   Setelah lima orang itu roboh, Lili mendapatkan dirinya dikepung sedikitnya duabelas orang laki-laki dan mereka semua memegang senjata, ada pedang, golok atau ruyung! Lili bersikap tenang, mulutnya masih tersenyum mengejek dan matanya mengerling ke kanan kiri.

   "Hemm, kalau mereka tadi hanya layak dihajar, kalian ini memegang senjata tajam, apakah kalian sudah bosan hidup?" suaranya terdengar merdu dan ramah, sama sekali tidak membayangkan kemarahan. Lili memang tidak marah karena ia memandang rendah semua pengepungnya itu.

   Yang marah dan penasaran adalah belasan orang yang mengepungnya. Gadis itu telah merobohkan tujuh orang rekan mereka dan kini dalam keadaan terkepung masih mengeluarkan ucapan yang memandang rendah sekali kepada mereka. Betapapun cantik menariknya gadis itu, perasaan marah membuat mereka merasa gatal tangan untuk membunuhnya. Mereka mulai membuat gerakan mengelilingi gadis itu dengan senjata di tangan. Lili masih tersenyum, berdiri tegak dan tenang seperti sikap seekor ular yang melingkar di tengah-tengah, dikepung dan dikelilingi belasan ekor tikus yang mencoba untuk mengganggunya.

   "Hemm, tikus-tikus ini memang sudah bosan hidup," kata Lili seperti kepada diri sendiri.

   "Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan dan belasan orang itu mengenal suara komandan mereka, lalu mereka semua menahan senjata dan mundur, membiarkan dua orang laki-laki berusia limapuluhan tahun maju, menghadapi Lili. Mereka itu juga memakai topi bulu putih, akan tetapi melihat pakaian mereka yang lebih mewah dan sikap mereka yang berwibawa, nampak jelas perbedaannya dan mereka tentu merupakan pimpinan, pikir Lili. Juga mereka tidak bersikap sombong seperti para anak buah mereka tadi. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah bersih tanpa jenggot dan kumis, akan tetapi orang kedua bercambang bauk dengan kumis dan jenggot lebat. Di pinggang mereka tergantung pedang, dan sikap mereka sama menunjukkan bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang "berisi", bukan kaleng-kaleng kosong macam yang mengeroyoknya tadi.

   "Nona, siapakah nona dan mengapa nona menganiaya tujuh orang anak buah kami?" tanya yang bermuka bersih.

   Lili tersenyum mengejek.

   "Siapa aku tidak perlu kalian ketahui, dan mengapa aku menghajar anak buah kalian? Karena mereka yang minta dihajar, bukan aku yang sengaja menghajar."

   "Tidak mungkin!" bentak yang berewok karena jawaban gadis itu dianggapnya tidak masuk diakal.

   "Mana ada orang minta dihajar?"

   "Hemm, kalau tidak percaya, tanya saja kepada mereka," kata pula Lili sambil menunjuk ke arah tujuh orang yang masih nampak kesakitan itu.

   Mendengar ucapan itu, tentu saja dua orang pemimpin itu menoleh ke arah tubuh anak buah mereka yang tadi kena dihajar, Mereka itu sambil meringis kesakitan, menggeleng kepala dan seorang di antara mereka, yang tulang keringnya retak, menudingkan telunjuknya ke arah Lili dan berseru.

   "Toako (kakak tertua), Ji-ko (kakak ke dua), gadis itu sombong dan jahat sekali. Tolong balaskan penghinaan atas diri kami!"

   Si berewok kini menghampiri Lili dan membentak,

   "Nona, engkau masih muda akan tetapi sudah bersikap sombong dan kejam. Sungguh engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri!"

   Lili tersenyum dan matanya mengerling tajam.

   "Orang hutan, kalau begitu engkau mau apa?" tantangnya.

   "Bocah sombong, engkau patut dihajar!" bentak si berewok sambil menyerang dengan tangannya yang besar, panjang dan kuat. Temannya, si muka bersih juga sudah siap untuk menyerang.

   Pukulan tangan yang besar dan kuat itu cukup berbahaya, mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Lili maklum akan hal ini, namun ia tetap memandang rendah. Orang itu hanya tenaga otot yang kuat, tidak terlalu berbahaya baginya. Dengan gerakan ringan sekali, iapun menggeser tubuh ke kiri, pinggangnya meliuk seperti tubuh ular saja dan pukulan si berewok yang amat kuat itupun luput.

   Dari sebelah kirinya, datang angin pukulan menyambar dahsyat. Ah, kiranya si muka bersih itu malah lebih kuat dari pada si berewok, pikir Lili dan kembali tubuhnya membuat gerakan meliuk dan pukulan itupun luput. Dua orang itu terkejut. Mereka melihat gerakan tubuh gadis itu amat aneh, tidak seperti orang bersilat, lebih mirip gerakan seekor ular kalau mengelak, tubuhnya begitu lentur dan dengan mudah saja menghindarkan pukulan mereka. Tentu saja keduanya merasa penasaran bukan main dan menyerang lebih gencar.

   Kini Lili memperlihatkan kepandaiannya. la memang telah mewarisi ilmu silat dari See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) yang memiliki ilmu silat aneh, ilmu silat yang mengandung gerakan ular. Tubuh Lili meliuk-liuk dengan cepatnya ketika menghindarkan semua serangan dan begitu ia membalas, kedua orang lawan itupun terkejut dan cepat menghindar dengan loncatan seperti orang dipagut ular. Kedua tangan gadis itu membentuk kepala ular dengan jari-jari disatukan, dan ketika tangan itu meluncur dan menyerang, maka terdengar suara mendesis, seolah kedua tangan itu benar-benar telah berubah menjadi dua ekor ular berbisa yang ganas!

   Akan tetapi kedua orang itu tidak boleh disamakan dengan tujuh orang yang tadi sudah dikalahkan Lili. Kalau hanya seperti mereka, biar ia dikeroyok puluhan orang, ia tidak perlu bekerja keras untuk merobohkan mereka. Dua orang pengeroyoknya ini lain. Mereka ternyata adalah dua orang yang tangguh, memiliki gerakan silat yang baik, mantap dan bertenaga. Memang, kalau Lili mau menurunkan tangan maut, kiranya tidak akan terlalu lama ia dapat merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak ingin membunuh orang tanpa sebab yang kuat. Ia selalu tidak setuju dengan watak gurunya atau sucinya yang mudah saja membunuh orang. Di dasar hatinya, Lili bukan seorang yang jahat atau kejam. Ia hanya galak dan ganas karena sejak kecil ia hidup di dekat orang-orang yang biasa mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendaknya.

   Sampai belasan jurus, belum juga dua orang setengah tua itu mampu merobohkan Lili. Apa lagi merobohkan, bahkan semua serangan mereka, baik dengan tangan ataupun kaki, tidak pernah mampu menyentuh tubuh gadis itu.

   Sebaliknya, Lili yang memang suka bertanding mengadu ilmu itu, sengaja mempermainkan mereka. Ia menanti saat baik dan memancing-mancing dengan membiarkan diri di tengah, diapit oleh kedua orang lawan dari kanan kiri. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba, yaitu ketika kedua orang itu dengan hampir berbareng memukulnya dengan tangan mereka yang besar dan lengan yang panjang dari kanan agak ke depan, ia tidak bergerak mengelak, melainkan menyambut pukulan mereka itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia bukan sekedar menangkis. Begitu pergelangan kedua tangannya bertemu dengan pergelangan tangan lawan yang memukulnya, ia meliuk maju, kedua tangannya itu bagaikan seekor ular membelit lengan lawan!

   Dua orang lawan itu terkejut, berusaha untuk menarik kembali tangan mereka, akan tetapi, seperti melekat dengan kedua lengan gadis itu yang bukan saja membelit, bahkan seperti dua ekor ular, tangan dan lengan gadis itu merayap maju cepat sekali dan tahu-tahu kedua tangan yang membentuk kepala ular itu telah mematuk dada mereka tanpa dapat mereka hindarkan lagi.

   "Tuk! Tuk!" Dua orang itu mengeluh dan roboh terjengkang. Untung bagi mereka bahwa Lili memang tidak berniat membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya ketika kedua tangannya yang membentuk kepala ular itu mematuk.

   Dua orang itu tidak tewas, hanya merasa betapa mereka kehilangan tenaga dan dada terasa nyeri, napas mereka menjadi sesak. Akan tetapi karena merekapun bukan orang lemah, sebentar saja mereka dapat memulihkan keadaan tubuh mereka. Keduanya berloncatan berdiri dan nampak sinar berkilauan ketika mereka berdua mencabut pedang.

   Berkembang kempis cuping hidung Lili, tanda ia marah. Kalau lawan menyerangnya dengan tangan kosong, ia menganggap mereka itu hanya menguji ilmu, maka ia tidak mau membunuh orang. Akan tetapi kalau lawan sudah mencabut senjata, berarti bahwa lawan menginginkan kematiannya, maka ia menganggap sudah sepatutnya kalau iapun berusaha membunuhnya!

   Dalam keadaan yang menegangkan, kedua orang itu dengan pedang di tangan berhadapan dengan Lili yang masih berdiri tenang dengan mulut tersenyum. Akan tetapi tangan kanannya sudah siap untuk mencabut pedang di punggungnya, dan sekali pedang itu tercabut, akan celakalah kedua orang lawan itu. Pedang Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih), jarang dicabut dari sarungnya, akan tetapi biasanya, sekali dicabut, tentu akan jatuh korban!

   "Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan mendengar bentakan ini, dua orang yang memegang pedang itu cepat menengok dan menjatuhkan diri setengah berlutut, menyimpan pedang dan memberi hormat kepada pria yang muncul di situ.

   "Kongcu......!" kata mereka dengan sikap merendah sekali. Melihat ini, Lili merasa heran dan iapun memandang kepada orang yang baru muncul itu penuh perhatian. Dia seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kokoh namun pembawaannya lembut dan sopan seperti pembawaan seorang bangsawan terpelajar. Pakaiannya rapi, pakaian seorang sasterawan dan diapun memakai sebuah topi bulu yang indah. Wajahnya tampan dan cerah sehingga dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya, wajah yang halus dan tidak berkumis atau berjenggot karena dicukur bersih. Matanya tajam berwibawa dan mata itu jelas menunjukkan kecerdikan.

   Diam-diam Lili merasa heran bagaimana dua orang yang tangguh itu bersikap demikian merendah terhadap seorang kongcu yang nampaknya lemah. Juga mereka yang tadi mengepungnya, kini bersikap hormat dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang mencabut senjata lagi.

   Pria itu menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu terdengar dia bicara dengan suara lantang namun lembut.

   "Apa yang telah terjadi di sini dan mengapa kalian mengepung siocia (nona) ini?"

   Karena pertanyaan itu ditujukan kepada dua orang yang tadi mengeroyok Lili, maka dua orang itu saling pandang dan si muka bersih memberi hormat lalu menjawab.

   "Maaf, kongcu. Kami berdua menyerangnya karena nona ini menghajar dan merobohkan lima orang anak buah kami."

   Pria itu mengangguk, lalu menengok ke arah mereka yang masih meringis kesakitan. Kemudian dia menghadapi Lili, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan.

   "Nona, kalau boleh aku bertanya, mengapa nona menghajar lima orang anak buah kami? Kesalahan apakah yang mereka lakukan terhadap diri nona?"

   Melihat sikap yang sopan dari pria itu, Lili juga bersikap baik dan sambil tersenyum ia menjawab,

   "Ah, kiranya mereka itu anak buahmu? Jadi engkau ini majikan mereka? Tanya saja kepada mereka karena mereka mengeroyok dan menyerangku maka kurobohkan mereka."

   Pria itu mengerutkan alisnya, lalu menoleh kepada lima orang yang masih kesakitan itu.

   "Hei kalian berlima. Benarkah kalian mengeroyok nona ini, dan kalau benar kenapa?" Dalam suaranya yang lembut itu terkandung teguran keras.

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil menahan rasa nyeri, lima orang itu menjatuhkan diri berlutut menghadap pria itu dan seorang di antara mereka mewakili teman-teman menjawab,

   "Maafkan kami, kongcu. Karena melihat nona itu memukul roboh dan melukai dua orang rekan, maka kami berlima turun tangan mengeroyoknya."

   Pria itu kini kembali menghadapi Lili, sepasang matanya mengamati penuh selidik dan nampak kekaguman dalam pandang matanya. Gadis yang demikian muda, cantik manis dan nampak lembut, telah memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga dua orang pembantunya yang dia tahu cukup lihai, tadi nampaknya tidak berdaya melawan nona ini.

   "Nona, agaknya terpaksa aku harus kembali kepada nona dan bertanya mengapa nona melukai dua orang anak buah kami."

   Senyum dibibir Lili melebar. Ia merasa tertarik. Pria ini demikian lembut dan tenang, akan tetapi dalam menyelidiki urusan dan mengajukan pertanyaan, cukup adil dan tidak berat sebelah, tidak memihak seperti seorang hakim yang jujur.

   "Engkau ingin tahu mengapa aku hajar mereka? Yang seorang ingin menciumku, dan orang ke dua ingin memelukku, maka aku lalu membiarkan yang seorang mencium sepatuku, dan orang ke dua memeluk tanah!"

   Wajah pria itu berubah kemerahan dan dengan suara yang meninggi dia lalu menoleh dan berseru.

   "Siapakah kalian berdua? Maju ke sini!"

   Dua orang yang tadi mencari gara-gara dengan Lili, merangkak maju, berlutut menghadap pria itu. Karena si kumis mulutnya remuk dan dia tidak dapat bicara, maka si bopeng yang mewakili.

   "Kongcu, ampunkan kami........"

   "Jawab, benarkah kalian hendak memeluk dan mencium nona ini? Ceritakan apa yang terjadi?"

   "Ampun, kongcu. Kami berdua melihat nona ini lewat..... melihat ia begitu cantik, kami..... kami hanya ingin main-main........"

   "Cukup! Kalian tahu bahwa satu di antara larangan keras kita adalah mengganggu wanita?"

   "Kami..... kami tahu, kongcu."

   "Dan kalian tahu apa hukumannya kalau melanggar larangan itu?'

   Dua orang itu menjadi ketakutan. Mereka membenturkan dahi di tanah dan merintih minta ampun, akan tetapi karena ketakutan, si bopeng masih dapat berkata dengan suara menggigil,

   "Kami...... kami siap meneriam hukuman......"

   "Bagus! Setidaknya kalian mati sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!" kata pria itu dan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak, nampak sinar berkelebat dan dua tubuh yang berlutut itu terpelanting dengan kepala terpisah dari badan. Lili memandang kagum. Gerakan pria itu sungguh cepat bukan main. Bagi mata biasa, gerakan itu tidak dapat diikuti, akan tetapi Lili tadi dapat melihat betapa cepatnya pria itu bergerak mencabut pedang yang berada di pinggangnya tertutup jubah panjang, mengelebatkan pedangnya memancung kepala dua orang itu lalu menyarungkan kembali pedangnya yang tidak ternoda darah! Demikian cepatnya gerakan itu, menunjukkan ilmu pedang dahsyat seorang ahli!

   "Kuburkan mayat mereka," kata pria itu kepada para anak buahnya. Mayat dua orang itu lalu digotong pergi dan pria itu memberi hormat kepada Lili.

   "Kami harap nona memaafkan kami dan puas dengan pelaksanaan hukuman bagi anak buah kami yang telah menghina nona."

   Lili masih tertegun karena kagum. Orang ini jelas bukan orang sembarangan, pikirnya. Kelihatan lemah lembut dan seperti seorang bangsawan terpelajar, namun memiliki ilmu pedang yang dahsyat! Selain itu, juga amat berwibawa dan sikapnya mengingatkan ia akan gurunya, See-thian Coa-ong yang juga dapat bertindak tegas berwibawa terhadap anak buahnya. Pula, dia menghukum mati dua orang anak buahnya yang mengganggu wanita, hal ini saja sudah mendatangkan rasa kagum dan suka di hati Lili.

   "Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat!" katanya memuji.

   "Aih, dibandingkan nona, aku bukan apa-apa," pria itu merendah.

   "Kalau nona tidak menganggap aku terlalu rendah untuk menjadi kenalanmu, perkenalkanlah. Namaku Lu Ta dan semua Orangku menyebut aku Ya-kongcu. Bolehkah aku mengetahui nama nona?"

   Karena sikap orang ini baik dan cukup berharga untuk dijadikan teman, setidaknya kenalan, Lili menjawab sederhana.

   "Namaku Tang Bwe Li dan orang biasa memanggil Lili."

   Ya Lu Ta atau Ya-kongcu kembali memberi hormat, kemudian dia menoleh ke belakang, kepada anak buahnya dan berteriak,

   "Heiii, kalian lihat. Ini adalah Tang Siocia, mulai sekarang menjadi sahabatku. Kalian harus bersikap hormat kepadanya!" Kemudian dia berkata kepada Lili,

   "Tang Siocia, kami persilakan engkau untuk menjadi tamu kehormatan kami dan sudi makan minum bersama kami."

   Lili memang sedang lapar. Menghadapi sikap yang demikian hormat dan baik, dan penawaran itupun dilakukan dengan sikap hormat dan jujur, iapun tertawa lepas.

   "Heh..heh, memang aku sedang lapar dan sedang bingung bertanya-tanya dalam hati ke mana harus mencari sarapan. Terima kasih, aku akan suka sekali makan minum denganmu, Ya-kongcu."

   Pria itu nampak gembira sekali. Lili memang seorang gadis yang berwatak polos dan bebas, tidak terikat oleh sikap malu-malu seperti para wanita lainnya. Namun, Ya-kongcu maklum sepenuhnya bahwa walaupun gadis itu bebas, jangan dikira bahwa ia boleh dipermainkan begitu saja! Buktinya, anak buahnya sempat dihajar habis-habisan oleh gadis ini. Dia lalu mengajak Lili ke tempat peristirahatannya, tidak jauh dari situ, di bawah pohon-pohon rindang dan ternyata di sana terdapat banyak kuda pilihan dan anak buah kongcu itu tidak kurang dari tigapuluh orang!

   Di bawah pohon itu telah diatur makanan dan minuman yang cukup lezat. Lili semakin kagum. Kiranya kongcu ini bersama rombongannya membawa peralatan masak pula karena masakan itu masih mengepul panas dan tak jauh dari situ nampak dapur darurat. Ya-kongcu dengan gembira mempersilakan Lili untuk duduk menghadapi meja sederhana yang dibuat secara darurat pula, duduk di atas bangku.

   Lili makan minum dengan lahapnya, senang karena tuan rumah tidak banyak cakap, hanya bicara kalau mempersilakan ia mengambil hidangan dan menambah minuman yang terdiri dari dua macam. Ada anggur dan ada pula teh harum.

   Setelah selesai makan minum dan meja dibersihkan, Ya-kongcu berkata.

   "Tadi kulihat gerakanmu yang mirip gerakan seekor ular. Mungkin masih ada hubungan antara nona dengan See-thian Coa-ong, yaitu locianpwe (orang tua gagah) Cu Kiat?"

   Kembali Lili dibuat kagum. Jelaslah bahwa orang ini memang lihai dan bermata tajam, tentu luas pengetahuannya tentang ilmu silat sehingga melihat gerakannya sedikit saja sudah dapat mengenal ilmu silatnya.

   "Dia adalah guruku" katanya.

   Kini Ya-kongcu yang terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri.

   "Pantas kalau begitu! Biar seluruh anak buahku maju mengeroyok kau, tentu mereka semua akan dapat kaurobohkan! Kiranya nona adalah murid See-thian Coa-ong, datuk wilayah barat yang terkenal itu." Dia cepat bangkit berdiri.

   "Maafkan kalau aku tadi bersikap kurang hormat, Tang Siocia (nona Tang)."

   Lili cepat membalas penghormatan itu.

   "Aih, jangan terlalu merendah, Ya-kongcu. Engkau sendiri memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat."

   "Aku mendengar bahwa See-thian Coa-ong merupakan seorang di antara calon bengcu yang akan diadakan oleh para tokoh dan datuk persilatan di puncak Thai-san. Benarkah itu, Siocia?"

   Kembali Lili kagum. Memang orang ini memiliki pengetahuan yang luas. Iapun mengangguk membenarkan.

   "Kalau begitu, tentu kepergianmu ini ada hubungannya dengan pemilihan bengcu yang akan diadakan sebulan sesudah sin-cia tahun depan, bukan?"

   "Tidak, Ya-kongcu. Urusan pemilihan bengcu itu adalah urusan suhu dan suci, sedangkan aku mempunyai tugas lain."

   "Ah, begitukah? Kalau kau hendak mengurus pemilihan bengcu, katakan saja terus terang, nona. Karena sesungguhnya, kami sudah sejak semula siap untuk memilih locianpwe See-thian Coa-ong sebagai bengcu."

   "Eh, kenapa begitu?" Lili tertarik.

   "Apakah engkau sudah mengenal suhu?"

   Pria itu menggeleng kepala sambil tersenyum.

   "Mengenal secara pribadi memang belum, akan tetapi aku telah lama mendengar nama besar gurumu itu dan aku yakin bahwa hanya dia yang pantas untuk menjadi bengcu. Kami siap untuk membantunya agar dia yang kelak terpilih. Kami mempunyai banyak anak buah yang tersebar di seluruh kota besar, juga di kota raja, maka kalau kami membantu, pasti gurumu akan memperoleh suara dukungan terbanyak."

   "Aku tidak tahu apakah suhu memerlukan bantuan itu, akan tetapi mungkin saja engkau dapat membantuku dengan keterangan, kongcu. Aku sedang mencari seseorang,......" kata Lili, timbul harapannya untuk dapat segera menemukan orang yang dicarinya ketika mendengar bahwa Ya-kongcu mempunyai banyak anak buah di kota besar dan di kota raja. Apalagi sikap dan pernyataan Ya-kongcu yang hendak membantu dan mendukung suhunya itu menimbulkan rasa suka dan percaya, maka ia tidak ragu untuk minta bantuan.

   Wajah itu berseri dan sepasang mata itu bersinar-sinar.

   "Katakanlah, siapa orang yang kaucari itu, nona? Kami akan membantumu sekuat tenaga dan kami yakin dalam waktu singkat kami akan dapat memberitahu kepadamu di mana adanya orang yang kaucari itu. Siapa dia?"

   "Dia seorang tokoh Butong-pai berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) dan namanya Bhok Cun Ki," kata Lili sambil menatap tajam wajah itu untuk melihat reaksinya.

   Ya-kongcu terbelalak.

   "Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki? Ah, tentu saja aku mengenal siapa dia, nona! Akan tetapi, sebelum kuberitahu kepadamu di mana dia, aku ingin tahu lebih dulu, apa hubunganmu dengan Sin-kiam-eng?"

   Tentu saja gembira sekali rasa hati Lili mendengar bahwa Ya-kongcu mengenal orang yang dicarinya. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya ia dapat menemukan musuh besar sucinya. Karena ia seorang yang jujur dan terbuka, apalagi kalau ia sudah percaya kepada seseorang, mendengar pertanyaan Ya-kongcu iapun mengaku terus terang.

   "Aku mencari Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."

   "Ahhh........!" Ya-kongcu berseru, terbelalak.

   "Mengapa, kongcu?" tanya Lili dan alisnya berkerut ketika ia teringat sesuatu.

   "Apakah dia sahabat baikmu atau keluargamu?"

   Pria itu tertawa dan menggeleng kepala.

   "Sama sekali bukan, nona. Bahkan sebaliknya, diapun musuh besarku dan tentu saja aku suka sekali membantumu menentangnya. Akan tetapi, aku hanya terkejut mendengar engkau hendak membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki. Dia seorang pendekar ahli pedang yang amat tangguh, nona. Bahkan namanya paling terkenal di antara para tokoh Bu-tong-pai!"

   "Hem, boleh jadi dia lihai, akan tetapi aku tidak takut," jawab Lili gagah dan dingin, penuh kepercayaan kepada kemampuannya sendiri.

   "Tang Siocia, kalau boleh kami mengetahui, permusuhan apa yang ada antara engkau dan dia?"

   "Ini merupakan urusan pribadi yang tak dapat kuceritakan kepada siapapun juga, kongcu. Cukup kauketahui bahwa aku mencari dia untuk mengajaknya bertanding dan kalau mungkin membunuhnya."

   Dalam suara gadis itu terkandung ketegasan yang membuat Ya-kongcu berhati-hati dan tidak berani mendesak.

   "Aku mengerti, nona, dan aku tidak berani mencampuri urusan pribadi nona. Akan tetapi, kurasa tidaklah mudah untuk melaksanakan keinginanmu itu, sungguh tidak mudah sama sekali."

   Dengan alis masih berkerut Lili berkata,

   "Katakan saja di mana aku dapat menemukan Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki dan selanjutnya aku tidak berani merepotkanmu, kongcu."

   "Nona Tang, dalam hal ini, sebaiknya kita bekerja sama. Aku akan membantumu menemukan dan menghadapi Sin-kiam-eng, dan aku akan mengerahkan kawan-kawanku untuk membantu suhumu agar terpilih sebagai bengcu."

   Lili adalah seorang gadis yang cukup cerdik. Mendengar janji kesanggupan ini, ia menatap tajam.

   "Dan sebaliknya? Apa yang harus kulakukan untukmu?"

   Pria itu tersenyum.

   "Tidak apa-apa, nona. Cukup kalau nona menganggap kami sebagai sahabat baik, cukuplah. Di antara sahabat baik tentu saja saling membantu tanpa pamrih, bukan?"

   "Ya-kongcu, aku akan berterima kasih sekali kalau engkau suka membantuku memberitahu di mana musuh besarku itu. Dan engkau akan kuanggap seorang sahabat baik kalau keteranganmu itu betul dan aku dapat menemukan musuh itu. Nah, katakan di mana dia?"

   "Tang Siocia, Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki telah berjasa besar terhadap Kerajaan Beng dan karena jasa-jasanya ketika para petani memberontak dan menggulingkan pemerintah Goan, maka kini dia diangkat menjadi seorang jenderal yang berkuasa dan berkedudukan tinggi di kota raja."

   "Hemm, dia tinggal di kota raja?" tanya Lili. Kedudukan tinggi itu sama sekali tidak berkenan baginya. Yang penting, ia dapat menemukan orang itu!

   "Dia tinggal di kota raja, nona. Akan tetapi, sebagai seorang jenderal, dia tinggal di dalam benteng di mana terdapat ribuan orang tentara. Kiranya tidak mungkin bagi nona untuk mencari dia di dalam tempat tinggalnya."

   Mendengar ini, barulah Lili tertegun. Tentu saja, betapa tinggipun ilmu kepandaiannya, kalau harus mencari musuh besarnya ke dalam benteng pasukan yang ribuan orang banyaknya, sama saja dengan bunuh diri. Tidak mungkin ia akan berhasil.

   "Hemmm, begitukah? Lalu bagaimana aku akan dapat berhadapan dengan dia?" gumamnya seperti pada diri sendiri.

   "Itulah sebabnya mengapa tadi aku menawarkan bantuan kepadamu, nona. Kita harus bekerja sama dan aku akan mendapatkan jalan agar engkau dapat bertemu muka dengan jenderal itu. Kalau engkau mau bekerja sama, mari kita melakukan perjalanan bersama karena kamipun ingin pergi ke kota raja."

   Tentu saja Lili menyetujuinya. Biarpun ia seorang gadis dan akan melakukan perjalanan yang jauh bersama seorang pria yang mempunyai anak buah banyak dan kesemuanya pria, ia sama sekali tidak merasa canggung. Ia seorang gadis yang bebas dan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga ia tidak khawatir akan gangguan pria. Apalagi semua anak buah Ya-kongcu sudah mengenal siapa gadis itu dan tentu takkan ada seorangpun yang berani mengusiknya. Hajaran yang diberikan Lili kepada tujuh orang itu sudah cukup keras, apalagi dua orang pengganggu pertama dihukum pancung kepala oleh Ya-kongcu.

   Lili juga tidak ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Andaikata ia tahu akan keadaan Ya-kongcu yang sesungguhnya, agaknya ia tidak akan perduli. Yang penting baginya adalah menemukan Sin-kiam-eng agar ia dapat melaksanakan tugas yang diberikan sucinya kepadanya.

   Siapakah sebetulnya Ya Lu Ta yang disebut Ya-kongcu itu? Dia bukan orang sembarangan, karena dia adalah Pangeran Yaluta, seorang di antara para pangeran dari Kerajaan Goan, yaitu Kerajaan Mongol yang telah runtuh. Bersama sisa keluarga kerajaan, Pangeran Yaluta ini juga terpaksa melarikan diri mengungsi ke utara, kembali ke tanah air bangsa Mongolia di utara karena semua usaha sisa pasukan Mongol untuk melawan pasukan Kerajaan Beng gagal. Semua pasukan Mongol dihancurkan, banyak yang tewas dan yang masih dapat menyelamatkan diri, melarikan diri ke Mongolia.

   Tentu saja banyak anggauta keluarga, terutama para pangeran Mongol, yang masih penasaran dan
(Lanjut ke Jilid 05)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
tidak mau menerima nasib. Bagaimana mungkin keluarga yang tadinya merajai seluruh daratan Cina, yang berada di puncak kekuasaan, hidup mulia, terhormat dan kaya raya, kini harus kembali ke daerah tandus di utara dan hidup sebagai bangsa pengembara lagi? Tidak, mereka akan tetap berusaha untuk mencoba menguasai kembali daerah selatan dan di antara para pangeran yang paling gigih adalah Pangeran Yaluta yang memang memiliki kemampuan besar itu. Dia memiliki ilmu silat tinggi, pandai memimpin pasukan, dan juga dia ahli sastera.

   Selama hampir seabad menjajah Cina, orang-orang Mongol, terutama sekali kaum bangsawannya, melebur diri menjadi pribumi, mempelajari kebudayaan dan peradaban mereka yang lebih tinggi. Maka, tidak sukar bagi Pangeran Yaluta untuk mengaku bernama Ya Lu Ta seperti orang pribumi dan kalau saja dia berpakaian pribumi, takkan ada seorangpun menyangka dia seorang pangeran Mongol. Tidak ada sedikitpun pada dirinya berbekas Mongol.

   

Pedang Sinar Emas Eps 46 Si Pedang Tumpul Eps 11 Pedang Sinar Emas Eps 22

Cari Blog Ini