Si Pedang Tumpul 4
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Tiga orang pertapa itu saling lirik.
"Kami bertiga hanyalah orang-orang yang tidak biasa berada di tempat ramai, kami hanya pertapa-pertapa Mau apa engkau ikut kami, Sin Wan?" Dewa Arak memancing.
"Kalau sam-wi sudi menerima saya, saya akan bekerja sebagai apa saja, sebagai bujang, kacung atau apa saja. Sam-wi lo-cianpwe adalah orang-orang yang sakti, pandai dan budiman. Saya akan dapat memetik banyak pelajaran kalau menghambakan diri kepada sam-wi. Hanya sam-wi yang saya percaya di dunia ini "
Senang hati tiga orang kakek itu mendengar ucapan anak itu. Seperti yang telah mereka duga, anak ini selain memiliki bakat yang baik untuk belajar silat juga mempunyai budi pekerti yang baik menurut didikan mendiang ibunya, sama sekali tidak mirip ayah tirinya, Iblis Tangan Api yang kejam dan jahat itu.
"Siancai ".!" kata Kiam-sian.
"Agaknya sudah dikehendaki Tuhan engkau berjodoh dengan kami, Sin Wan. Bagaimana kalau engkau ikut kami sebagai murid kami?"
Anak itu tertegun, matanya terbelalak, lalu wajahnya menjadi cerah gembira dan dengan gugup dan gemetar dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu.
"Terima kasih kalau suhu bertiga sudi menerima teecu (murid) sebagai murid. Sebetulnya, tidak ada yang lebih teecu inginkan daripada menjadi murid sam-wi suhu (guru bertiga), akan tetapi teecu tentu saja tidak berani minta menjadi murid "...
"
"Hemm, kenapa tidak berani, Sin Wan? Kukira engkau bukan seorang anak penakut!" cela Dewa Arak.
"Maaf, suhu, bagainanapun juga, sam-wi mengetahui bahwa teecu adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong dan semenjak bayi teecu telah dididik olehnya. Teecu khawatir kalau sam-wi suhu menganggap teecu bukan anak yang terdidik baik-baik. Akan tetapi siapa kira, sam-wi suhu yang mengambil teecu sebagai murid. Terima kasih kepada Allah Yang Maha Kasih ....."
Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Anak ini tidak berani minta dijadikan murid bukan karena merasa takut, melainkan karena merasa rendah diri sebagai putera seorang datuk besar yang kejam seperti iblis
"Bangkit dan duduklah, Sin Wan. Kalau engkau ikut dengan kami, lalu bagaimana dengan rumah dan harta peninggalan Se Jit Kong ini?" tanya si Dewa Arak.
"Teecu tidak menginginkan sedikitpun dari harta peninggalan Se Jit Kong. Ayah kandung teecu sendiri tidak meninggalkan apa-apa ketika tewas, demiklan pula ibuku. Teecu akan meninggalkan rumah dan seluruh harta ini kepada para pelayan. Teecu akan pergi mengikuti suhu bertiga tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian teecu."
Kembali tiga orang pendeta itu saling pandang dan mereka menjadi semakin kagum. Baru berusia sepuluh tahun akan tetapi Sin Wan tidak terikat oleh harta benda! Ini membuktikan bahwa anak itu memiltki keberanian dan harga diri. Anak seperti ini kelak kalau sudah dewasa tidak akan mudah dicengkeram dan dipermainkan nafsu yang timbul oleh daya benda yang amat kuat.
Harta benda yang mendorong sebagian besar manusia menjadi lupa diri, dan dalam pengejaran terhadap harta benda, manusia terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menipu dan lain macam perbuatan jahat lagi demi mengejar harta benda. Harta benda pula yang membuat manusia yang memilikinya menjadi sombong, merasa berkuasa dan merendahkan orang lain.
"Bagus! Kalau begitu malam ini juga harus dilakukan penyerahan harta benda itu agar besok pagi kita dapat berangkat," kata si Dewa Arak. Tujuh orang pelayan itu lalu dipanggil dan dikumpulkan di ruangan tamu, juga kepala kampung yang mengepalai daerah tempat tinggal Se Jit Kong diundang menjadi saksi. Di depan kepala kampung, Sin Wan menerangkan bahwa dia akan pergi merantau dan seluruh harta kekayaan yang berada di rumah itu, berikut rumahnya, dia berikan kepada tujuh orang pelayan.
Tentu saja semua orang merasa terkejut dan terheran, akan tetapi tujuh orang pelayan itupun menjadi gembira bukan main. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Wan .dan berulang-ulang menghaturkan terima kasih mereka. Biar dibagi tujuh sekalipun, mereka akan mendapat bagian yang akan membuat masing-masing pelayan menjadi orang yang kaya!
Juga kepala kampung terkejut dan terheran, akan tetapi ketika si Dewa Arak yang mewakili Sin Wan mengatur semua urusan itu mengatakan bahwa sebagai saksi dan pengawas agar pembagian dilakukan seadil-adilnya, kepala kampung mendapat pula upah yang cukup layak, kepala kampung menjadi gembira pula.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Wan dan tiga orang gurunya meninggalkan rumah Se Jit Kong di Yin-ning itu dengan kereta rampasan mereka. Tujuh orang pelayan mengantarkan sampai di luar pintu gerbang, dan setelah kereta membalap di luar kota.
Sin Wan menghela napas panjang, seolah dia terlepas dari belenggu yang amat tidak menyenangkan hatinya. Belenggu itu terasa olehnya, sejak dia mendengar keterangan ibunya bahwa Se Jit Kong bukan ayah kandungnya, bahkan pembunuh ayah kandungnya, dan bahwa ibunya menjadi isteri Se Jit Kong karena terpaksa untuk menyelamatkannya! Sejak saat itu, rumah dan harta milik Se Jit Kong itu seperti sebuah penjara baginya, lantai rumah terasa seperti api membara, harta kekayaan itu seperti lintah-lintah bergayutan di tubuhnya.
Kini dia merasa bersih dan ringan, dan dia dapat memandang ke depan dengan wajah cerah penuh harapan. Akan tetapi teringat akan penderitaan ibunya, kedua matanya menjadi basah dan cepat dia menghapus air matanya. Ibunya sudah meninggal dunia, berarti sudah terbebas dari penderitaan hidup di dunia yang penuh kepalsuan. Dia hanya dapat berdoa dengan diam-diam semoga Allah Maha Pengampun sudi mengampuni semua dosa ibunya.
Semua keindahan pemandangan alam yang terbentang luas disekelilingnya menghilangkan semua kenangan sedih tentang ibunya. Baru sekarang Sin Win melakukan perjalanan jauh, melalui daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Dan tiga orang pendeta itupun merupakan pencinta alam. Setiap kali terdapat pemandangan yang amat indah, si Dewa Arak yang duduk di tempat kusir bersama Dewa Pedang, menghentikan kuda penarik kereta dan mereka berhenti, menikmatl keindahan alam.
Sin Wan memperhatikan mereka dan segera melihat perbedaan di antara mereka kalau menghadapi keindahan alam yang mempesona itu. Dewa arak menikmati keindahan alam sambil meneguk araknya, Dewa Pedang melihat ke sekeliling seperti orang terpesona dan termenung, sedangkan Dewa Rambut Putih, kalau tidak meniup sulingnya tentu bersajak!
Belasan hari lewat tanpa ada gangguan diperjalanan dan pada suatu senja, kereta berhenti di puncak sebuah bukit. Puncak itu datar dan dari tempat itu, pemandangan alam amatlah indahnya. Apalagi mereka dapat melihat matahari senja mengundurkan diri di atas kaki langit di barat, hampir menyembunyikan diri di balik bayangan gunung-gunung.
Melihat matahari senja memang merupakan suatu pengalaman yang mempesonakan. Langit di barat berwarna kemerahan, diseling warna perak, biru dan ungu, ada sebagian yang warnanya keemasan. Matahari sendiri berwarna merah cerah namun tidak menyilaukan, seperti tersenyum memberi ucapan selamat berpisah, seperti hendak mengucapkan selamat tidur.
Matahari menjadi bola merah yang besar, perlahan namun pasti makin menyelam ke balik bukit-bukit. Angin senja semilir menggoyang pucuk-pucuk ranting pohon, membuat pohon itu seperti kekasih"kekasih yang ditinggal orang yang dicintanya dan melambai-lambai mengucapkan selamat jalan untuk bersua kembali esok hari.
Burung-burung terbang melayang, berkelompok sambil mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk, sekelompok mahluk yang setelah sehari rajin bekerja. kini pulang ke sarang mereka yang hangat, atau berlindung di ranting-ranting pohon berselimutkan daun-daun yang melindungi.
Tanpa diperintah lagi, setelah mendapat pengalaman selama beberapa hari dan tahu apa yang harus dilakukannya, Sin Wan mencari kayu dan daun kering dan menumpuknya di atas tanah, tak jauh dari kereta. Dia harus mengumpulkan cukup banyak kayu bakar untuk membuat api unggun malam ini. Kalau mereka tidur di tempat terbuka, harus ada api unggun yang selalu dapat memberi penerangan, juga dapat mengusir nyamuk dan binatang lain. Dapat pula mengusir hawa dingin yang dibawa angin malam.
Tiga orang pendeta itupun turun dari kereta, duduk bersila untuk memulihkan tenaga setelah kelelahan melakukan perjalanan dengan kereta sehari penuh. Sin Wan mengambil sebuah buntalan yang berisi bekal makanan dan minuman yang dibeli tiga orang suhunya di dusun yang mereka lewati siang tadi.
Tanpa banyak bicara, mereka lalu makan malam di dekat api unggun yang sudah dibuat oleh Sin Wan. Tiga orang kakek itu makin suka kepada murid mereka. Biarpun sejak kecil hidup sebagai putera orang kaya raya, ternyata Sin Wan tidak manja, tidak cengeng, berani menghadapi kesukaran dan rajin, tidak canggung melakukan pekerjaan kasar.
Setelah makan malam, mereka duduk dekat api unggun dan Dewa Arak berkata kepada Sin Wan.
"Sin Wan, sekarang engkau sudah menjadi murid kami. Kami ingin melihat apa saja yang pernah kaupelajari dari Iblis Tangan Api. Nah, cobalah engkau mainkan ilmu-ilmu silat yang pernah kaupelajari darinya."
Sin Wan mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak suka memainkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari pembunuh ayahnya. Akan tetapi, untuk membantah perintah gurunya dia tidak berani.Melihat keraguan anak itu, dan kerut di alisnya, Kiam-sian bertanya.
"Kenapa, Si Wan? Engkau kelihatan tidak suka memainkan ilmu yang pernah kaupelajari dari Se Jit Kong?"
"Maaf, suhu, Se Jit Kong adalah seorang datuk sesat yang amat kejam dan jahat. Teecu ingin melupakan saja semua yang pernah teecu pelajari darinya karena kalau orangnya jahat, ilmunya pasti juga jahat."
"Siancai, engkau tidak boleh berpendapat seperti itu, Sin Wan. Ilmu adalah ilmu pengetahuan dan merupakan alat bagi manusia dalam kehidupannya. Ilmu, seperti alat-alat hidup yang lain, tidak ada sangkut pautnya dengan sifat jahat atau baik. Jahat atau baiknya ilmu, seperti jahat atau baiknya alat, tergantung dari pada orang yang menggunakannya. Kalau orang itu berniat jahat, segala macam alat apa saja, ilmu apa saja, dapat dia pergunakan untuk berbuat jahat, Yang jahat bukan ilmunya, melainkan orangnya! Andaikata di waktu hidupnya Se Jit Kong mempergunakan semua ilmunya untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, apakah engkau akan mengatakan bahwa ilmu-ilmunya jahat?"
Mendengar ucapan Kiam-sian ini, Sin Wan segera menjadi sadar dan diapun memberi hormat kepada Dewa Pedang itu.
"Maafkan teecu, suhu, Pandangan teecu tadi memang keliru dan picik. Baiklah, teecu akan memainkan semua ilmu silat yang pernah teecu pelajari dari Se Jit Kong."
Anak itu lalu bersilat, diterangi sinar api unggun, dan ditonton ketiga orang gurunya.
Se Jit Kong memang seorang datuk besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sejak Sin Wan berusia empat tahun, anak itu telah digemblengnya. Bahkan tubuh anak itu telah dibikin kuat dengan obat-obat gosok maupun minum. Sejak berusia enam tahun, Sin Wan sudah diajar melakukan siulian (semadhi) dan latihan pernapasan untuk menghimpun teraga sakti. Tidak mengherankan ketika berusia sepuluh tahun. Sin Wan telah menjadi seorang anak yang cukup lihai, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh orang dewasa biasa, betapapun kuatnya orang itu.
Sin Wan tidak hendak menyembunyikan sesuatu. Dia bersilat sepenuh hatinya, memainkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, bahkan mengerahkan tenaga sin-kang seperti yang pernah diajarkan Se Jit Kong kepadanya. Dan perlahan-lahan, dari kedua tangan anak itu mengepul uap panas!
Tiga orang pertapa itu mengangguk-angguk. Dalam usia sepuluh tahun, Sin Wan telah dapat mencapai tingkat seperti itu. Sungguh hebat, walaupun dia belum sepenuhnya menguasai ilmu Tangan Api, namun kedua tangannya telah mengepulkan uap panas, dan pukulan-pukulannya mengandung hawa panas. Setelah anak itu selesai bersilat dan mengatur kembali pernapasannya yang agak terengah, Kiam-sian bertanya.
"Pernahkah diajari ilmu pedang?"
Sin Wan mengangguk dan Dewa Pedang menggerakkan tangan kirinya ke arah pohon yang berada di dekat rnereka. Diam-diam dia mengerahkan Kiam-ciang (Tangan Pedang), ilmu pukulan yang mengandung sin-kang amat kuat, dan terdengar suara gaduh ketika dua batang cabang pohon itu runtuh. Dia mengambil dua batang cabang itu, membersihkan daunnya dan menyerahkan sebatang kepada muridnya.
"Nah, pergunakan pedang ini dan serang aku!" katanya dan diapun memegang kayu cabang yang kedua.
"Baik, suhu." Kata Sin Wan dan anak ini lalu memutar-mutar kayu itu bagaikan sebatang pedang, dan mulai melakukan serangan-serangan dengan sepenuh hati kepada gurunya.
Sambil mengamati gerakan muridnya, Kiam-sian menangkis dan balas menyerang. Dengan cara mengajak muridnya bertanding seperti ini, lebih mudah baginya untuk mengukur dalamnya ilmu yangng telah dimiliki muridnya, dari pada kalau hanya melihat anak itu bersilat pedang seorang diri saja.
Setelah semua jurus dimainkan habis dan Sin Wan meloncat ke belakang menghentikan serangannya, Kiam-sian mengangguk-angguk.
"Duduklah kembali, Sin Wan."
Sin Wan duduk bersila lagi menghadapi api unggun. Tiba-tiba Dewa Arak telah berada di belakangnya, juga duduk bersila dan gurunya ini berkata sambil tersenyum.
"Sin Wan, coba kau kerahkan seluruh tenaga sin-kang yang pernah kau latih."
Setelah berkata demikian, tangan kirinya ditempelkan di pundak, tangan kanan melingkari perut dan menempel di pusar.
Sin Wan tidak membantah. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan tengadah. Gerakan ini oleh mendiang Se Jit Kong dinamakan "Menyambut Api Dari Langit". Kedua tangan yang tengadah itu menggetar kemudian perlahan-lahan turun ke bawah, kini kedua telapak tangan menempel dengan tanah. Ini yang dinamakan "Menyedot Api Dari Bumi".
Dia menghimpun tenaga seperti yang diajarkan Se Jit Kong, merasakan betapa ada hawa panas memasuki pusarnya, berputaran dan seperti yang biasa dilatihnya, dia mencoba untuk menguasai hawa yang berputaran itu agar dapat dia salurkan ke arah kedua lengannya. Akan tetapi, tiba-tiba ada hawa sejuk masuk ke dalam pusar, dan ketika tenaga panas yang disalurkan ke lengan tiba di pundak, hawa itu terhenti dan kembali ke pusar.
"Cukup, hentikan latihanmu," terdengar suara lembut dan baru dia teringat bahwa Dewa Arak bersila di belakangnya.
"Siancai, murid kita ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang sifatnya ganas. Akan tetapi, jangan dilupakan begitu saja ilmu-ilmu itu, Sin Wan. Engkau berhak menguasainya, dan kalau pandai mempergunakannya untuk berbuat kebaikan, maka ilmu-ilmu itu akan hilang keganasannya dan berubah menjadi ilmu yang amat bermanfaat bagimu," kata Dewa Rambut Putih.
"Teecu akan mentaati semua nasihat dan petunjuk suhu bertiga," jawab Sin Wan dengan kesungguhan hati.
Malam itu mereka beristirahat dan pada keesokan harinya, ketika mereka hendak melanjutkan perjalanan. Sin Wan minta ijin tiga orang gurunya untuk mencari sumber air atau anak sungai untuk mandi. Tiga orang pertapa itu tersenyum dan Dewa Arak berkata sambil tertawa.
"Ha .. ha .. ha, kami sudah biasa bertapa tanpa mandi tanpa makan tanpa tidur sampai berbulan, maka pagi hari ini kamipun tidak membutuhkan air. Akan tetapi engkau terbiasa mandi setiap hari dan kemarin engkau sudah mengeluh karena sehari tidak mandi. Pergilah, kurasa di sebelah kiri sana ada anak sungai yang airnya cukup jernih, Sin Wan."
Pemuda kecil itu berterima kasih, membawa ganti pakaian dan lari ke kiri. Benar saja, tak lama kemudian, dia melihat sebuah anak sungai yang airnya cukup jernih karena seperti anak sungai di pegunungan, dasar sungai terdapat banyak pasir dan batunya sehingga airnya tersaring jernih.
Dengan girang Sin Wan menanggalkan pakaiannya, menaruhnya di tepi anak sungai bersama pakaian bersih yang dibawanya tadi, kemudian dengan bertelanjang bulat Sin Wan memasuki sungai kecil yang airnya jernih itu. Airnya sejuk segar dan Sin Wan memilih bagian yang dalamnya mencapai dadanya, mandi dengan gembira. Tubuhnya terasa nyaman bukan main ketika berendam di air itu. Dia menggunakan sebuah batu halus untuk menggosok-gosok kulit tubuhnya dan membersihkan debu-debu yang menempel.
Dia tidak melihat atau mendengar betapa dua orang lain yang juga sedang mandi tak jauh dari tempat dia mandi akan tetapi tidak nampak dari situ karena berada di balik belokan sungai, menjadi marah sekali ketika mendengar ada orang turun ke sungai dan mandi di hulu tak jauh dari mereka. Perbuatan itu dengan sendirinya mengotorkan air yang mengalir ke arah mereka. Dengan bersungut-sungut, keduanya naik ke tepi sungai dan cepat mereka mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian.
Mereka itu adalah dua orang wanita, yang seorang berusia sekitar tigapuluh tahun akan tetapi masih nampak seperti gadis duapuluh tahun saja, cantik jelita dan anggun akan tetapi sinar matanya keras dan tajam, dan seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih baru sembilan tahun akan tetapi sudah kelihatan cantik manis!
"Subo (ibu guru), mari kita lihat siapa orangnya. Dia harus dihajar!" kata anak perempuan itu dengan wajah bersungut-sungut.
Wajah yang manis itu kulitnya kemerahan karena digosok-gosoknya ketika mandi tadi dan ia memang seorang anak perempuan yang manis. Rambutnya hitam dan gemuk sekali, dibiarkan panjang sampai ke punggung dan diikat pita merah. Wajahnya yang bentuknya bulat itu memiliki mata yang seperti sepasang bintang, hidungnya mancung dan mulutnya kecil, dagunya meruncing.
Wanita cantik itu tersenyum dan nampak lesung di kedua pipinya melekuk manja. Yang paling mempesona pada diri wanita ini adalah mulutnya. Mulut itu berbentuk demikian indah, dengan bibir yang merah membasah, penuh dan seperti gendewa terpentang, kalau tersenyum nampak kilatan gigi yang berderet putih seperti mutiara, kalau bicara kadang nampak rongga mulut yang merah dan ujung lidah yang jambon. Bibir yang bawah dapat bergerak-gerak hidup, penuh gairah dan memiliki daya pikat yang kuat sekali.
"Li Li, jangan terburu nafsu. Kita lihat dulu apakah sikapnya buruk. Dia mandi di sana disengaja ataukah tidak. Kalau sikapnya buruk, baru kita hajar dia!"
Dan di dalam suaranya yang merdu itu tersembunyi ancaman yang akan membuat orang yang mendengarnya menjadi ngeri. Wanita itu memang cantik sekali. Rambutnya yang halus dan hitam panjang digelung seperti model rambut seorang puteri bangsawan dan dihias dengan tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong dan bunga teratai.
Ketika mandi tadi, walaupun ia hanya mengenakan pakaian dalam, ia membenamkan dirinya sampai ke leher dan menjaga agar rambutnya tidak sampai basah, tidak seperti anak perempuan yang mencuci rambutnya. Kini setelah berpakaian, wanita itu makin nampak seperti wanita bangsawan. Pakaiannya serba indah dan mewah. Lehernya memakai kalung dan kedua lengannya dihias gelang emas. Alisnya melengkung hitam di atas sepasang mata yang bersinar tajam dan Kadang amat keras sehingga nampak galak.
Hidungnya juga mancung dan manis, namun daya tarik yang paling memikat adalah mulutnya. Di dahinya nampak anak rambut halus berjuntai ke bawah, dan di depan telinga terdapat untaian rambut yang melengkung indah.
"Mari kita ke sana, subo!" anak perempuan itu nampak tergesa karena ia sudah marah sekali, merasa mandinya terganggu orang. Ia juga mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera mahal, walaupun bentuknya sederhana, tidak ada kesan mewah seperti pakaian wanita cantik yang disebutnya subo. Anak ini hanya memakai sepasang gelang batu giok (kumala) sebagai perhiasannya.
Guru dan murid itu lalu mengitari semak-semak belukar di belokan sungai dan tak lama kemudian mereka melihat Sin Wan yang sedang mandi. Anak laki-laki itu dengan gembiranya membenamkan kepalanya ke air berulang kali.
"Kiranya hanya seorang bocah. Tentu dia anak nakal sekali," anak perempuan yang disebut Li Li tadi mengomel.
"Dia harus diberi hukuman atas kelancangannya yang sudah mengganggu kita."
Dengan gerakan yang cepat sekali ia meloncat ke arah tumpukan pakaian Sin Wan. la menyambar tumpukan dua stel pakaian kotor dan bersih itu, meninggalkan sebuah celana pendek saja dan meloncat kembali ke belakang semak-semak di mana subonya menunggu.
Biarpun gerakan anak perempuan itu cepat sekali, bagaikan seekor kelinci, namun Sin Wan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat. Dia menengok dan melihat bayangan itu lenyap ke balik semak belukar. Akan tetapi yang membuat dia terkejut, ketika dia menengok ke arah tumpukan pakaiannya, tumpukan itu telah lenyap, hanya tinggal sepotong baju atau celana di sana.
"Heiiiii "".!" Dia berteriak dan hendak keluar dari sungai itu. Akan tetapi dia ingat bahwa dia bertelanjang bulat, maka dia meragu, lalu kembali dia berteriak.
"Heii, siapapun yang berada di daratan! Aku akan keluar dari sungai dalam keadaan telanjang bulat. Kembalikan pakaianku!"
Akan tetapi tidak terdengar suara dari balik semak, juga tidak ada gerakan apapun. Tentu pencuri pakaian itu telah melarikan diri jauh-jauh, pikir Sin Wan. Dia lalu melompat ke atas daratan, dan menyambar celana dalamnya yang masih tertinggal di tempat tumpukan yang lenyap tadi. Dipakainya celana dalam itu, sebuah celana yang hanya menutup dari pinggang sampat ke paha, dan larilah dia ke belakang semak untuk mengejar orang yang mencuri pakaiannya.
Dan dia hampir saja menabrak seorang wanita cantik dan seorang anak perempuan manis yang berdiri di belakang semak belukar itu.
"Eh, maaf!" kata Sin Wan dan cepat dia melempar diri ke kanan sehingga bergulingan akan tetapi dia tidak sampai menabrak orang. Ketika dia bangkit berdiri lagi, dia melihat bahwa pakaiannya masih dipegang oleh anak perempuan yang manis itu, yang kini berdiri di situ memandang kepadanya dengan senyum mengejek dan pandang mata penuh kemarahan.
Guru dan murid itupun memandang kepadanya. Kalau anak perempuan itu memandang dengan senyum geli dan mengejek, wanita itu wajahnya berubah kemerahan dan ia membuang muka sambil berkata ketus.
"Anak laki-laki tak tahu malu!"
Sin Wan merasa penasaran. Tentu saja dia pun merasa canggung dan malu harus berdiri dalam keadaan tiga perempat telanjang di depan dua orang wanita yang tidak dikenalnya ini. Akan tetapi, yang membuat dia hampir telanjang itu adalah anak perempuan ini! Bukan dia yang tidak tahu malu atau kurang ajar, melainkan anak perempuan itu yang telah mencuri pakaiannya selagi dia mandi.
Biarpun dia menjadi marah dan ingin memaki, ingin menampar anak perempuan itu, namun pendidikan mendiang ibunya membuat dia mampu menahan diri. Dia menekan perasaannya yang marah dan penasaran, lalu membungkuk depan anak perempuan itu dan berkata.
"Nona, harap dikembalikan pakaianku itu!" katanya, biarpun kata-katanya dan sikapnya sopan, namun suaranya keras mengandung kemarahan yang tertahan.
Akan tetapi, anak perempuan itu membelalakan matanya.
"Apa kaubilang? Engkau tidak cepat berlutut minta ampun atas kesalahanmu. malah menuntut dikembalikanya pakaianmu? Hemm, engkau memang anak yang kurang ajar, nakal dan tak tahu diri!"
Sikap dan ucapan anak perempuan itu bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api bernyala. Sin Wan marah bukan main. Dia malah dimaki-maki oleh anak yang mencuri pakaiannya! Aturan apa macam ini?
"Nona sungguh tak tahu diri!" katanya, biarpun marah masih menjaga kata-katanya.
"Nona telah mencuri pakaianku, sedangkan selama hidupku, aku tidak pernah bertemu denganmu, tak pernah mengganggumu. Dan sekarang dengan hormat aku minta dikembalikan pakaianku yang nona curi, nona malah memaki-maki aku!"
"Siapa bilang engkau tidak mengganggu kami? Guruku dan aku sedang enak-enak mandi di situ," ia menuding ke sebelah hilir.
"dan engkau mengotori air dengan mandi di sebelah atas! Setan kurang ajar, sepatutnya engkau dihajar. Akan tetapi cukup engkau minta maaf kepada kami dan kehilangan pakaian ini!" Anak perempuan itu lalu merobek-robek semua pakaian Sin Wan yang berada di tangannya!
Saking marahnya, Sin Wan sampai tidak menyadari bahwa sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali bagi seorang anak perempuan dapat merobek-robek pakaiannya seolah-olah pakaian itu terbuat dari pada kertas saja! Dia terlalu marah untuk ingat akan hal itu.
"Engkau sungguh tidak tahu aturan!" bentaknya.
"Andaikata benar tuduhanmu tadi bahwa aku mandi di sebelah hulu dan membuat air menjadi keruh, hal itu kulakukan tanpa kusadari. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ada orang mandi di hilir. Dan engkau kini malah merobek-robek pakaianku. Sungguh engkau kurang ajar. Kalau tidak ingat engkau ini anak perempuan, tentu hemmm """"
Anak perempuan itu melangkah, maju sampai berdiri dekat sekali di depan Sin Wan, hanya dalam jarak kurang dari satu meter.
"Hemmm apa? Hemmm apa? Hayo katakan, mau apa kau?"
"Kalau bukan anak perempuan. tentu kupukul kau agar tahu aturan!" Sin Wan terpaksa melanjutkan ancamannya karena diapun merasa penasaran dan marah sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang anak perempuan senakal dan segalak ini!"
"Apa? Kamu? Mau memukul aku? Pukullah "., hayo pukullah ".!" anak perempuan itu maju lagi sehingga dadanya membentur dada Sin Wan dan kedua tangannya bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.
"Aku bukan pengecut yang suka memukul anak perempuan cengengl" Sin Wan menghardik.
Anak perempuan itu menjadi semakin marah. Kedua matanya yang lebar itu terbelalak, hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kuda marah.
"Kau bilang aku cengeng? Setan iblis jahanam keparat kamu, ya? Hayo pukul, kalau kau tidak mau pukul, aku yang akan memukulmu!"
Akan tetapi Sin Wan tidak perduli lagi dan melangkah mundur untuk pergi saja dari situ, tidak mau melayani anak perempuan yang galaknya melebih ayam bertelur itu. Melihat dia tidak mau memukul dan malah mundur, anak perempuan itu makin marah.
"Kau tidak mau pukul, kaulihat pukulanku ini "." Dan iapun menerjang maju dan tangannya memukul ke arah dada Sin Wan, juga kakinya bergerak menyambar dari pinggir, menyapu kedua kaki Sin Wan.
Tadinya Sin Wan menganggap bahwa pukulan seorang anak perempuan tentu tidak ada artinya. Apa lagi dia kebal dan tubuhnya sudah terlatih. Dia bahkan ingin diam-diam membuat anak perempuan itu menderita karena kegalakannya dan dia mengeraskan dadanya yang terpukul untuk menyambut pukulan dan membuat tangan yang memukul itu kesakitan.
"Dukk ".. bressss ""!"
Sin Wan terpelanting dan terjengkang! Terpelanting karena kedua kakinya disapu dari pinggir oleh sebuah kaki kecil yang amat kuat, dan pukulan pada dadanya membuat dia terjengkang! Pukulan itu ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali dan biarpun dia tidak terluka dan juga tidak menderita nyeri terlalu hebat, namun dia terjengkang sampai terguling-guling! Dia meloncat bangkit kembali dan melihat betapa orang yang dipukulnya tidak menderita apa-apa, bahkan mampu bangkit dengan cepat, anak perernpuan itu merasa penasaran dan meloncat memberi serangan yang lebih hebat lagi. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mengandung tenaga sehingga tiap kali digerakkan, terdengar suara angin.
Tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang anak perempuan yang sama sekali tidak lemah, bahkan pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang kuat. Maka, begitu melihat anak perempuan itu menerjangnya, diapun cepat mengelak dan menangkis. Tangkisannya yang disertai tenaga membuat lengan anak perempuan itu terpental dan hal ini membuatnya semakin galak dan ganas lagi. Serangan datang bertubi-tubi, bahkan kini kakinya juga menyambar-nyambar.
Sin Wan sama sekali tidak ingin membalas, karena dia tetap berpendapat bahwa amat memalukan bagi seorang anak laki-laki untuk memukul perempuan. Biarpun dia terdesak, dia hanya menangkis dan mengelak saja. Akan tetapi, anak perempuan itu ternyata bukan hanya mengerti sedikit ilmu silat. Sama sekali tidak! Bahkan andaikata dia sungguh-sungguh melawan dan membalas, belum tentu dia akan mampu mendapatkan kemenangan dengan mudah! Anak ini telah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti, mungkin seperti mendiang Se Jit Kong saktinya!
"Desss """ Kembali dia terjengkang ketika sebuah tendangan yang tak disangka-sangka memasuki pertahanannya dan menghantam perut yang untung dapat dia keraskan sehingga tidak terluka.
Ketika dia meloncat bangkit kembali, dia melihat anak perempuan itu membuat gerakan dengan kedua tangan, mirip gerakan menghimpun sin-kang seperti yang pernah dilatihnya, yaitu "Menyambut Api Dari Langit", akan tetapi ketika turun, lanjutannya berbeda. Kedua tangan anak itu melengkung ke kanan kiri, kemudian ketika kedua tangan itu membuat gerakan mendorong terdengar suara yang seperti ular mendesis. Kedua tangan itu seperti kepala dua ekor ular menghantam ke arah dadanya. Sin Wan cepat mengumpulkan tenaga sin-kang dari pusarnya dan menyambut pukulan yang dia tahu merupakan pukulan berbahaya itu dengan kedua tangannya sendirl.
"Desss ......!!" Kini tubuh anak perempuan itu yang terpental dan terhuyung, bahkan ia tentu akan roboh kalau saja lengannya tidak disambar oleh wanita cantik yang menjadi gurunya.
"Kau tidak apa-apa?" Wanita cantik itu bertanya sambil meraba dada muridnya. Ailsnya berkerut ketika ia merasakan ada suatu ketidakwajaran pada muridnya.
"Subo, tangannya panas sekali "".!" kata anak perempuan itu yang segera duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Wanita itu memandang kepada Sin wan dan melihat betapa kedua tangan anak laki-laki itu masih mengeluarkan uap tipis. Sekali tubuhnya bergerak, wanita itu sudah meloncat dan berada di depan Sin Wan, membuat anak ini terkejut sekali. Gerakan wanita itu seperti menghilang saja!
"Katakan, apa hubunganmu dengan Iblis Tangan Api?" wanita itu kini membentak, suaranya tetap halus namun mendesis seperti ular, dan dingin seperti salju, dan ketika Sin Wan memandang, sepasang mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng.
"Tidak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat dan dia memutar tubuh hendak pergi dari tempat itu.
"Tunggu! Engkau tidak boleh pergi begitu saja setelah memukul muridku."
Sin Wan menghadapi wanita itu dengan penasaran.
"Bibi, aku sama sekali tidak memukulnya."
"Hemm, coba kaupukul aku seperti-gerakanmu tadi."
"Sungguh, aku tidak memukulnya, aku hanya menangkis pukulannya!" Sin Wan memrotes.
"Kalau begitu, kau tangkis pukulanku ini!" Wanita itu lalu menggerakkan kedua tangan, cepat sekali, seperti yang dilakukan muridnya tadi, ke arah dada Sin Wan. Terpaksa, untuk menjaga diri, Sin Wan menyambut dengan dorongan kedua tangannya seperti tadi.
"Desss ....... !!"
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini tubuh Sin Wan yang terjengkang, bahkan terbanting keras dan dia merasa betapa dadanya sesak dan sukar bernapas. Ketika dia bangkit duduk, dia muntahkan darah segar dan merasa betapa dadanya nyeri. Dengan terhuyung Sin Wan bangkit berdiri memandang kepada wanita itu dan bertanya.
"Bibi, kenapa engkau memukulku ? Apakah engkau akan membunuhku?" Pertanyaan itu mengandung keheranan dan penasaran, sama sekali tidak membayangkan perasaan takut sedikitpun.
"Aku belum membunuhmu agar engkau dapat memberitahu kepada Se Jit Kong bahwa aku akan membunuhnya!"
Mendengar bahwa wanita ini musuh Se Jit Kong, berkurang rasa tak senang dalam hati Sin Wan.
"Bibi siapakah?"
"Katakan saja bahwa Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) yang memukulmu!"
Sin Wan lalu membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dalam keadaan hampir telanjang, hanya memakai celana dalam yang pendek.
Tentu saja tiga orang kakek itu terkejut dan heran melihat murid mereka kembali ke situ dalam keadaan hampir telanjang, bahkan terluka dalam sehingga mukanya pucat dan bibirnya berlepotan darah.
"Siancai ...... apa yang terjadi padamu?" tanya Dewa Pedang, sedangkan Dewa Arak tanpa bicara lagi segera memeriksa tubuh muridnya. Melihat betapa muridnya terluka dalam karena guncangan tenaga sin-kang yang kuat, dia lalu menyuruh muridnya duduk bersila, dan diapun bersila di depannya dan menempelkan telapak tangan kirinya ke dada muridnya, Sementara itu, Pek-mau-sian si Dewa Rambut Putih membantu dengan beberapa kali totokan dan tekanan pada punggung dan kedua pundak Sin Wan. Dalam waktu singkat saja kesehatan Sin Wan pulih kembali.
"Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu," kata Dewa Pedang.
Sin Wan menarik napas panjang dan memakai pakaian yang diambilkan oleh Dewa Rambut Putih, kemudian menjawab.
"Teecu sendiri masih merasa bingung dan heran, suhu. Ketika teecu mandi di anak sungai, ada seorang anak perempuan mencuri pakaian teecu, hanya meninggalkan sebuah celana pendek. Teecu naik ke darat, mengenakan celana pendek dan mengejar anak perempuan yang mencuri pakaian itu. Kiranya ia seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang nakal dan lihai. Ia merobek-robek pakaian teecu dan menuduh teecu mengotorkan air karena mereka tadi mandi di sebelah hilir. Teecu tidak melihat mereka karena terhalang belokan sungai. Anak itu kemudian menantang. Teecu tidak melayani, akan tetapi ia menyerang bertubi-tubi sampai beberapa kali teecu jatuh. Ketika ia menyerang dengan pukulan yang mengandung sin-kang, teecu terpaksa menangkis dan iapun terhuyung. Lalu gurunya memukul teecu ........"
"Hemm, sungguh sewenang-wenang memukul anak kecil. Siapa gurunya itu?"
tanya Dewa Arak dengan alis berkerut.
"Akulah yang memukulnya. Kalian mau apa?"
Mendengar suara merdu itu, tiga orang pertapa segera memutar tubuh dan memandang. Mereka tertegun, sama sekali tidak mengira bahwa guru anak perempuan seperti yang diceritakan Sin Wan tadi adalah seorang gadis cantik yang nampaknya baru berusia duapuluh tahun walaupun sikapnya menunjukkan bahwa ia jauh lebih tua dari pada nampaknya. Seorang gadis yang berpakaian mewah seperti wanita bangsawan.
"Siancai ....! nona, kenapa engkau memukul seorang anak kecil yang tidak berdosa?" Dewa Arak berseru.
"Pertama, karena ia mengotori air tempat kami mandi. Kedua, karena dia telah membuat muridku terhuyung hampir jatub. Ketiga, karena dia mempunyai ilmu pukulan Tangan Api! Di mana Se Jit Kong? Apakah kalian anak buahnya? Suruh dia keluar untuk menerlma kematian!" Wanita itu berkata dengan suara galak.
Tiga orang pertapa itu saling pandang, Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih tersenyum, akan tetapi Dewa Arak tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh engkau memandang remeh kepada kami kalau menganggap kami anak buah Se Jit Kong! Anak ini memang pernah belajar ilmu dari Se Jit Kong, akan tetapi sekarang dia menjadi murid kami dan Se Jlt Kong telah meninggal dunia!"
Wanita cantik itu mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung panjang dan hitam itu.
"Mati? Dia sudah mampus? Hemm ........ akan sia-sia sajakah perjalananku ini?"
Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang nyaring.
"Subo, pusaka-pusaka itu berada di dalam peti, di kereta ini!"
Semua orang menoleh ke arah kereta! Sebuah kepala terjulur keluar dari tirai kereta, kepala anak perempuan yang dipanggil Li Li.
"Ihhh! Kiranya kalian telah membunuhnya dan merampas pusaka-pusaka istana? Kalau begitu, serahkan nyawa dan pusaka!"
"Heiii, nona! Ketahuilah bahwa kami adalah utusan kaisar dan kami akan membawa kembali pusaka itu ke istana di kota raja!" Dewa Arak berteriak.
"Pusaka dan nyawa kalian harus diserahkan!" Wanita itu membentak dan tiba-tiba ia sudah bergerak maju, jari tangannya meluncur dengan membentuk kepala ular menotok ke arah leher Dewa Arak.
"Haiii .... ah, sungguh berbahaya dan galak!" Dewa Arak melempar tubuh ke belakang ketika melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Dari gerakan tangan itu saja dia tahu bahwa lawannya ini, biarpun masih muda, namun ganas dan lihai sekali. Benar dugaannya, begitu dia melempar tubuh ke belakang, wanita itu sudah menerjangnya lagi dengan serangan susulan. Gerakan kedua lengannya seperti dua ekor ular yang menyambar-nyambar, menimbulkan suara bercuitan, dan diam-diam Dewa Pedang terkejut karena dia mengenal ilmu pukulan yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan ilmu pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang dikuasainya. Dewa Arak juga tahu akan hal ini, diapun kini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk menghadapi desakan itu dan balas menyerang.
Wanita itupun kelihatan terkejut melihat betapa lawannya tidak seperti yang disangkanya semula. Lawannya memiliki gerakan yang amat lincah biarpun perutnya gendut, dan ketika menangkis, ia mendapat kenyataan bahwa orang itupun memiliki sin"kang yang kuat!
Melihat dua orang lain berdiri di pinggir, ia lalu mendapat akal. Ia harus merobohkan mereka yang paling lemah lebih dahulu karena kalau mereka itu keburu mengeroyoknya, mungkin ia akan kewalahan!
Tiba-tiba saja tubuhnya menyambar ke kiri. ke arah Dewa Rambut Putih, dan begitu ia menggerakkan tangan kiri, tujuh batang jarum secara bertubi-tubi menyambar ke arah tiga orang kakek itu, dan yang dijadikan sasaran adalah dada dan tenggorokan, tempat-tempat yang paling lemah!
"Siancai ....!" Dewa Rambut Putih berseru dan seperti dua orang rekannya, diapun berhasil mengebut jarum-jarum itu sehingga runtuh. Kembali wanita itu terkejut. Serangan jarumnya dapat diruntuhkan dengan mudahnya oleh tiga orang kakek itu!
"Mampuslah!" Ia menubruk ke kiri, menyerang Dewa Rambut Putih dengan dahsyatnya, mulutnya mendesis dan kedua tangan yang membentuk kepala ular itu kini terbuka dan mencengkeram, seperti ular-ular yang menggigit, sedangkan kuku-kuku jari tangannya berubah menghijau!
"Hemmm, sungguh ganas ........!" Dewa Rambut Putih melompat ke belakang menghindar, kemudian kipas di tangan kirinya mengebut. Angin keras menyambar ke arah wanita itu yang menjadi gelagapan dan terkejut karena ia mendapat kenyataan betapa kakek rambut putih ini tidak kalah lihainya dibandingkan kakek perut gendut.
"Wirrr ..........!" Tiba-tiba saja tangannya merenggut ke kepalanya sendiri dan semua tusuk sanggul telah direnggut dan dimasukkan saku, rambutnya yang panjang sampai ke pinggul itu terlepas dan begitu ia menggerakkan kepala, gumpalan rambut hitam yang harum dan panjang menyambar ke arah Si Dewa Rambut Putih.
"Hebat .......!" Kembali Pek-mau-sian Thio Ki berseru dan kebutan kipasnya ternyata tidak mampu menangkis rambut yang terus meluncur ke arah lehernya! Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik lima kali baru berhasli terhindar dari sergapan rambut panjang.
Wanita itu marah bukan main. Wajahnya yang cantik berubah kemerahan, matanya mencorong, mulutnya mendesis-desis dan dengan rambut riap-riapan, biarpun ia masih amat cantik, namun ada sesuatu yang menyeramkan karena ia seperti berubah menjadi iblis yang cantik, atau siluman ular yang cantik namun berbahaya sekali.
Ia memang marah karena begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut sebatang pedang dari balik bajunya. Pedang itupun aneh gagang dan pedangnya menjadi satu, gagangnya merupakan ekor ular yang melingkar tebal, ujung pedangnya berbentuk kepala seekor ular yang menjulurkan lidahnya. Lidah itu yang amat runcing, dan sisik-sisik ular itu tajam. Sebatang pedang mirip ular! Dengan pedang aneh ini ia menyerang ke arah Kiam-sian!
Si Dewa Pedang tentu saja maklum akan kelihaian lawan. Diapun sudah mencabut pedang Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) dan menangkis sambaran pedang ular.
"Cringgg .......!!" nampak banyak bunga api berpijar dan berhamburan. Keduanya terkejut dan memeriksa pedang masing-masing. Kiranya kedua pedang itu sama kuatnya dan tidak menjadi rusak.
Wanita itu menjadi semakin penasaran. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada atau jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandinginya, maka dengan penuh keyakinan diri ia memastikan bahwa Iblis Tangan Api pasti akan tewas ditangannya, dan pusaka istana akan terjatuh ke tangannya. Akan tetapi, siapa sangka, kini bertemu dengan tiga orang pendeta ini, ia tidak mampu mengalahkan seorang saja di antara mereka walaupun ia sudah mencoba menyerang dengan ilmu pukulan beracun yang ampuh, jarum-jarum beracun, rambutnya, dan bahkan pedangnya!
Ia lalu mengamuk dengan pedang dan rambutnya dan sepak terjangnya memang menggiriskan sekali. Kalau bukan Sam Sian yang diamuknya, tentu sudah jatuh korban di antara mereka. Tiga orang pendeta itu membela diri dan sengaja tidak mau merobohkan wanita itu, apa lagi membunuh atau melukainya.
Sementara itu, ketika melihat betapa anak perempuan yang nakal dan galak itu sudah berada di kereta, agaknya ketika subonya muncul tadi, kesempatan itu dipergunakan oleh si anak perempuan untuk menyusup ke atas kereta, cepat lari menghampiri kereta.
"Engkau pencuri kecil! Engkau hendak mencuri apa lagi di situ? Hayo cepat turun atau ......"
"Atau apa, hah?" Anak perempuan itu kini membuka tirai dan berdiri di dalam kereta sambil bertolak pinggang dan memandang galak.
"Atau apa? Mau apa kamu kalau aku tidak mau turun?"
Sin Wan memandang gemas. Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Anak ini keterlaluan sekali. Akan tetapi, Sin Wan masih teringat bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Tidak pantas seorang anak laki-laki menyerang dan memukul anak perempuan. Bagaimana sikapnya andaikata anak itu adiknya yang nakal?
"Akan kuseret kau turun dari kereta dan kupukul pinggulmu lima kali biar kau tahu rasa!" Sin Wan mengancam, menganggap anak perempuan itu adik sendiri yang perlu dihajar. Hal ini menolong meredakan kemarahannya, karena kalau dia tidak menganggap anak perempuan itu adik sendiri, tentu akan timbul kemarahan yang melahirkan kebencian.
Akan tetapi jawaban itu bahkan membuat si anak perempuan membelalakkan mata saking kaget dan marahnya.
"Apa .....? Kamu ..... kamu ......, kurang ajar, berani hendak menyeretku dan memukuli pinggulku? Engkau agaknya sudah bosan hidup, ya?" teriaknya dan iapun meloncat turun, bukan sembarang meloncat, melainkan meloncat sambil menerkam seperti seekor burung garuda yang menyerang seekor domba!
Sin Wan mengelak dan ketika tubuh anak itu lewat, dia mencoba untuk menangkap lengan anak itu. Dia berhasil menangkap lengan kiri anak itu dengan tangan kanannya dan selagi dia hendak meringkusnya, tiba-tiba anak itu membalik tangan kanan yang membentuk kepala ular meluncur ke arah matanya dan lengan yang dipegangnya tadi, licin bagaikan ular, sudah dapat melepaskan diri dan mencengkeram ke arah lehernya! Sungguh merupakan serangan yang amat hebat, biarpun dilakukan dua tangan anak perempuan!
"Ihh, kau ular kecil!" Sin Wan memaki sambil meloncat ke belakang. Gerakan kedua lengan anak itu mengingatkan dia akan gerakan ular.
Dimaki ular kecil, anak perempuan itu semakin marah.
"Kuhajar kau, kubunuh kau!"
Dan ia lalu mengamuk, menyerang bertubi-tubi dan saking marahnya, serangannya banyak ngawur dan tidak menurut gerakan silat lagi, melainkan gerakan seorang perempuan yang marah, mencakar, mencengkeram, menampar dan menjambak!
Menghadapi anak perempuan yang mengamuk itu, Sin Wan menjadi kewalahan bahkan pipi kirinya sudah kena dicakar kuku jari tangan anak itu sehingga lecet dan berdarah! Namun akhirnya dia dapat menangkap kedua pergelangan tangan anak itu. Anak itu meronta, kemudian menggigit lengan Sin Wan.
"Aduh!" Sin Wan merenggut lengannya lepas dan kulit lengannya juga lecet berdarah.
"Kau anak liar!" bentaknya dan berhasil menelikung kedua lengan anak itu ke belakang. Ditariknya anak itu mendekati kereta. Dia lalu duduk di anak tangga kereta dan memaksa anak perempuan itu menelungkup melintang di atas pahanya, kemudian, dengan tangan kanan memegang kedua pergelangan tangan anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi, dia menggunakan telapak tangan kirinya untuk menampari pinggul yang menonjol ke atas itu.
"Engkau mencakar dan menggigit, hukumannya kutambah menjadi sepuluh kali pukulan!" Dan tangan Sin Wan menampari pinggul anak perempuan itu, berulang-ulang.
"Plak .. plak .. plak .......!"
Anak perempuan itu menjerit-jerit, bukan karena sakit pada pantatnya, melainkan sakit pada hatinya. Ia merasa dihina bukan main oleh anak laki-laki itu.
"Plak .. plak .. plak ......" Setelah sepuluh kali, baru Sin Wan menghentikan tamparannya. Telapak tangannya terasa panas setelah sepuluh kali menampar itu.
"Subo ..... tolong .....!" Anak perempuan itu menjerit-jerit dan menangis!
"Hemm, engkau bersalah, pantas dihukum, kenapa menangis?" Sin Wan melepaskan anak itu dan memandang dengan hati mulai merasa kasihan. Bagaimanapun galaknya, ia hanya seorang anak perempuan kecil.
Dia mulai merasa malu atas perbuatannya sendiri, akan tetapi ketika melihat lengan dan pipinya berdarah, penyesalannya menghilang dan dia bahkan merasa geli melihat anak itu menggunakan kedua tangan mengusap-usap pinggulnya yang ditampari tadi.
Anak perempuan itu menoleh kepada subonya untuk minta bantuan. Akan tetapi, ia tertegun melihat subonya terlempar dan jatuh terjengkang!
Wanita itu bangkit, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan mereka bertiga, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, kedua tangan mulai menyanggul rambutnya yang awut-awutan, tiada hentinya memandang kepada tiga orang itu dan bertanya.
"Siapakah kalian bertiga?" Suaranya tetap merdu akan tetapi mengandung kemarahan tertahan.
Dewa Arak mewakili rekan-rekannya berkata.
"Hemmm, kepandaianmu hebat sekali, nona, akan tetapi sayang, engkau sungguh ganas dan kejam! Kami adalah tiga orang tua yang tidak suka mencari permusuhan. Aku Si Tukang Mabuk, dia ini Si Tukang Pedang dan yang itu Si Rambut Putih!" Mereka bertiga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai dewa seperti yang dikatakan orang-orang kang-ouw untuk menghormati mereka, walaupun kadang-kadang untuk mengejek mereka saling menyebut dewa!
Wanita itu terbelalak. Kini ia telah selesai menyanggul rambutnya, walaupun masih kasar dan kacau kusut.
"Aih, kiranya aku berhadapan dengan Huang-ho Sam Sian (Tiga Dewa Sungai Kuning)? Baiklah Sam Sian, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi akan tiba saatnya aku mencari kalian untuk menebus kekalahan ini!"
"Hei, kamu! Siapa namamu agar kelak aku membalas penghinaan ini!" anak perempuan itupun bertanya kepada Sin Wan.
"Aku tidak punya nama," jawab Sin Wan yang tidak ingin anak itu mengingat namanya sebagai musuh dan kelak mencarinya seperti yang dikatakan wanita itu terhadap ketiga orang gurunya.
"Kau tidak bernama? Kau kerbau sapi kuda babi anjing kucing ......! Yang mana di antara itu namamu?" Anak perempuan yang galak itu memaki saking marahnya.
"Semua itu namaku," jawab Sin Wan sambil tersenyum.
"Kau jahat .......!" anak perempuan itu mengepal tinju dan hendak menyerang lagi.
"Li Li, mari kita pergi!" kata gurunya, dan wanita cantik itu berkelebat, menyambar lengan muridnya dan iapun lari sepertl terbang cepatnya meninggalkan tempat itu.
"Siancai ..... seorang gadis yang amat berbahaya!" kata Pek-mau-sian Thio Ki.
"Benar, ilmu pedangnyapun hebat. Kelak ia pasti akan merupakan lawan yang amat sukar dikalahkan," sambung Kiam-sian Louw Sun.
"Sayang, kita tidak tahu siapa wanita itu," kata pula Ciu-sian Tong Kui.
"Suhu, teecu tahu siapa namanya .....!" Sin Wan menghampiri tiga orang gurunya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik kuda dan dua ekor kuda di depan kereta itu roboh!
Tiga orang pendeta itu cepat meloncat ke dekat kereta, untuk menjaga agar peti pusaka tidak diambii orang, dan mereka masih melihat berkelebatnya bayangan wanita tadi yang kini melarikan diri amat cepatnya.
Mereka memeriksa dan dua kuda itu sudah mati. Leher mereka ditembusi pisau kecil yang beracun, tepat mengenai jalan darah besar sehingga racun cepat membunuh dua ekor binatang itu.
"Hemm, ia membunuh kuda kita," kata Dewa Arak.
"Pinto tahu maksudnya. Tentu ia bermaksud agar perjalanan kita ke kota raja membawa pusaka"pusaka itu menjadi lambat," sambung Dewa Pedang.
"Siancai ......!" Benar sekali. Ini berarti bahwa wanita ganas itu masih ingin mencoba untuk merampas pusaka. Ia lihai, kalau ia membawa teman"teman yang banyak, bisa berbahaya. Kita harus mencari jalan agar dapat menyelamatkan pusaka-pusaka ini. Kalau sampai terjatuh ke tangan golongan sesat, akan sukarlah merampasnya kembali," kata Dewa Rambut Putih.
"Aku tahu jalannya!" Dewa Arak berseru sambil tersenyum gembira.
"Tidak jauh dari sini terdapat benteng pasukan penjaga keamanan tapal batas. Kalau kita datang ke sana dan memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) tentu komandan pasukan itu akan suka memberi pasukan untuk mengawal keamanan pusaka untuk dikirim kembali ke kota raja."
"Itu bagus sekali!" kata Kiam-sian.
"Kalau begitu, mari kita cepat bawa pusaka itu ke sana!"
Mereka lalu membuka peti pusaka, mengambil isinya dan membagi belasan buah benda pusaka itu menjadi tiga bagian, menyimpan dalam bungkusan masing-masing dan menggendongnya di punggung.
"Kau tadi mengatakan bahwa engkau mengetahui nama wanita itu. Siapakah namanya, Sin Wan?" tanya Dewa Rambut Putih.
"Ketika ia memukul teecu, ia mengatakan bahwa ia tidak membunuh teecu agar teecu dapat memberitahu Se Jit Kong bahwa wanita itu yang bernama Bi-coa Sian-li akan membunuh Se Jit Kong!"
"Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik)?" Dewa Arak berkata sambil tertegun.
"Belum pernah aku mendengar julukan itu. Akan tetapi melihat kelihaiannya, mungkin sekali masih ada hubungannya dengan See-thian Coa-ong (Raja Ular Daerah Barat)!"
"Siancai ......" Dewa Pedang berseru.
"Raja Ular itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi dia bukanlah golongan sesat, bukan orang jahat walaupun dia merupakan datuk yang memiliki watak luar biasa."
"Wanita tadipun belum tentu jahat walaupun ia ganas dan kejam. Buktinya, ia mencari Se Jit Kong untuk dibunuhnya. Siapa yang memusuhi Se Jit Kong, agaknya tidak dapat digolongkan sesat."
Tiga orang kakek itu lalu melakukan perjalanan cepat. Bahkan Sin Wan digendong bergantian oleh mereka agar perjalanan dapat dilakukan secepat mungkin. Hal ini dilakukan agar mereka dapat segera tiba di benteng pasukan penjaga keamanan, sebelum tiba serangan dari orang-orang yang hendak merampas pusaka istana.
Perhitungan mereka memang tepat. Setelah dilakukan perjalanan sehari penuh, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu. Dan komandan benteng menyambut mereka dengan penuh kehormatan ketika tiga orang itu mem perlihatkan tek-pai dan memberi keterangan bahwa mereka adalah utusan kaisar untuk mencari dan merampas kembali pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana.
Setelah bermalam satu malam di benteng itu, pada keesokan harinya, mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi sekali ini, perjalanan dilakukan dengan kereta dan dikawal oleh seratus orang perajurit!
Tentu saja orang-orang golongan sesat yang tadinya hendak menghadang dan merampas pusaka, menjadi mundur teratur melihat pengawalan yang ketat itu. Menghadapi Sam Sian saja adalah merupakan usaha yang berbahaya dan berat, apa lagi ditambah pasukan seratus orang perajurit! Andaikata mereka memberanikan diri menyerbu pasukan itu, mereka akan dicap pemberontak dan selanjutnya kehidupan mereka tidak akan aman lagi, menjadi orang-orang buruan atau musuh pemerintah!
Tiga orang pertapa itu bersama Sin Wan merasa tenang dan mereka dapat tiba di Nan-king, kota raja yang baru dari Dinasti Beng-tiauw dengan selamat.
Pada waktu itu, yang manjadi kaisar dari Kerajaan Beng adalah Kaisar Thai-cu, yaitu kaisar pertama atau pendiri dari Dinasti Beng-tiauw. Pendiri Kerajaan Beng (Terang) ini berasal dari keluarga petani. Dia dilahirkan dalam tahun 1328 di dusun yang terletak antara Sungai Huai dan Sungai Kuning, di daerah pertanian, dari keluarga petani biasa.
Ketika dia berusia enam tahun, di dusun tempat tinggalnya berjangkit wabah yang membunuh banyak keluarga para petani di dusun itu. Keluarga anak yang kini menjadi Kaisar Thai-cu, dan yang dulu bernama Chu Goan Ciang ini pun terbasmi habis. Ayah ibunya, saudara-saudaranya, mati semua oleh wabah. Hanya tinggal Chu Goan Ciang seorang diri yang tinggal. Dia menjadi seorang anak berusia enam tahun yang yatim piatu dan hidup sebatang kara!
Riwayat kaisar pertama Dinasti Beng ini ketika masih kecilnya memang amat menarik, hidupnya selain miskin juga penuh dengan kesengsaraan! Setelah hidup seorang diri, sebatang kara, dia lalu bekerja sebagai penggembala kerbau. Kemudian dia bahkan mengikuti seorang hwesio tua ke kuil dan menjadi seorang hwesio kecil berkepala gundul.
Bertahun-tahun dia mempelajari ilmu bun dan bu (sastera dan silat) di kuil itu, berguru kepada para hwesio (pendeta Buddha) sehingga dia menjadi pandai, bukan saja bertubuh kuat dan pandai ilmu silat, bersemangat, juga pandai dalam hal ilmu membaca dan menulis.
Namun, kehidupan sebagai pendeta di kuil tidak memuaskan hatlnya. Dia meninggalkan kuil, hidup terlunta-lunta dan dalam usia belasan tahun itu, dia bahkan pernah mengikuti seorang pengemis sakti, hidup sebagai seorang pengemis!
Pedang Sinar Emas Eps 15 Pedang Sinar Emas Eps 26 Pedang Sinar Emas Eps 52