Pedang Naga Hitam 16
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Tentu saja, Yang Mulia. Paduka akan memimpin sepasukan pengawal istimewa dan juga hamba sendiri akan mengawal paduka. Kita boleh menghancurkan mereka sepuas hati paduka"
"Baik, kalau begitu lekas atur pemecahan pasukan menjadi rombongan-rombongan agar semua perusuh dapat di cari dan dikejar lalu di basmi" kata Kaisar Yang Ti.
Lui-ciangkun lalu memerintahkan para pembantunya untuk memecah-mecah pasukan itu menjadi beberapa rombongan.
Dia memilih pasukan pengawal yang hanya terdiri dari dua ratus orang untuk mengawal Kaisar dan tentu saja di dalamnya terdapat Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang menyamar sebagai prajurit. Dengan kedua pembantunya ini dia sudah mengatur siasat. Malam nanti, ketika rombongan itu berhenti berkemah, dua orang pembunuh itu akan mengenakan kedok dan akan melakukan pembunuhan. Dengan demikian, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa pembunuhnya adalah orang-orang dalam, melainkan mata-mata yang dikirim musuh. Dengan kesaktian mereka, andaikata ketahuan oleh pengawal, mereka akan mampu memukul mundur para pengawal dan melanjutkan usaha pembunuhan mereka sampai berhasil.
Setelah hari mulai gelap, mereka pun membuat perkemahan dilereng sebuah bukit. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa ada ribuan pasang mata mengintai mereka sejak hari mulai gelap. Begitu malam tiba, Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng hitam pula. Akan tetapi sebelum mereka melaksanakan tugas keji itu, tiba-tiba terdengar ledakan keras di susul sorak sorai. Kiranya ribuan orang suku Yak-ka bercampur dengan bangsa Turki datang menyerbu. Tentu saja para prajurit yang hanya dua ratus orang jumlahnya itu menjadi kacau balau. Lui-ciangkun terkejut dan disertai dua orang yang berkedok itu diapun membela diri dan mengamuk. Banyak musuh dapat mereka bertiga robohkan. Melihat kekuatan musuh yang demikian besar, Lui-caingkun lalu berseru kepada dua orang pembantu rahasianya.
"Kita tinggalkan pergi. Biar mereka yang mewakili pekerjaan kalian"
Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo juga mengerti bahwa betapapun sakti mereka, tak mungkin mereka melawan ribuan orang itu. Pula, bukankah tugas mereka membunuh kaisar dan tentu kaisar akan terbunuh oleh orang-orang ini? Maka dalam kegelapan malam mereka bertiga melarikan diri. Para prjaurit juga banyak yang mengikuti jejak mereka. Perkemahan itu di bakar dan ketika musuh sudah pergi, Lui-ciangkun mengumpulkan sisa pasukannya, Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo sudah berganti pakaian prajurit biasa lagi. Mereka memeriksa keadaan dan mencari-cari mayat kaisar. Akan tetapi mereka tidak menemukan mayat itu. Bahkan tidak ada pula mayat seorangpun selir. Yang ada hanya mayat beberapa orang prajurit yang tewas.
Tentu saja mereka menjadi heran dan tiga orang pengkhianat itu menjadi agak panik.
"Heran sekali, kemana kaisar pergi?" kata Lui-ciangkun.
"Tentu telah di tawan, karena kalau dibunuh tentu ada mayatnya" kata Pak-Te-Ong.
"Hem, apa bedanya? Ditawan musuh sama saja dengan di bunuh" kata See-Thian-Mo.
Agak lega hati Lui-ciangkun dan dia segera menghubungi pasukan lain yang berpencaran. Setelah dalam tiga hari dia bertemu dengan pasukan lain. kiranya pasukan lain juga mengalami serangan mendadak di tengah malam dan banyak mengalami kerugian. Akan tetapi para perwira terkejut setengah mati mendengar berita yang di sampaikan Lui-ciangkun bahwa kaisar beserta para selirnya jatuh ke tangan musuh dan ditawan.
Selagi mereka kebingungan dan ramai membicarakan malapetaka itu, datang dua orang utusan bangsa Turki. Mereka menunggang kuda dan membawa bendera tanda utusan sehingga mereka tidak di ganggu dan di terima oleh Lui-ciangkun dan para perwira lainnya. Dua orang utusan itu membawa pesan raja Turki bahwa Kaisar Yang Ti berada di tangan mereka sebagai sandera dan kalau Kerajaan Sui tidak cepat menarik pasukan mereka, kaisar akan segera dibunuh.
Mendengar pesan ini, tentu saja para panglima tidak ada yang berani melanjutkan pertempuran dan mereka semua menarik pasukan mereka dan mundur sampai ke Tai-goan.
Sementara itu, pasukan yang di pimpin Li Si Bin juga sudah mendengar akan tertawannya Kaisar oleh bangsa Turki. Dia lalu menyuruh pasukannya untuk pulang dan dia sendiri cepat membalapkan kudanya menuju ke utara, ke pertengahan bangsa Turki di luar tapal batas.
Li Si Bin diterima oleh para pimpinan Bangsa Turki dengan baik karena dia dianggap keluarga. Ibunya adalah seorang puteri Turki dan hubungannya dengan Bangsa Turki memang baik sekali. Apalagi ayahnya, Gubernur Li Goan. Juga bersahabat dan diantara keduanya tidak pernah terjadi permusuhan, walaupun Li Goan menjadi Gubernur di Shan-si.
"Hemm, tentu maksud kunjunganmu ini ada hubungannya dengan kaisarmu yang tertawan, Li Si Bin" kata pimpinan suku Turki itu sambil mengelus jenggotnya yang pendek dan memuntir kumisnya yang panjang.
"Tidak salah, yang Mulia. Saya bermaksud untuk mencegah kekeliruan besar yang mungkin paduka lakukan"
"Kekeliruan besar? Apa maksudmu?"
"Kalau paduka mengganggu atau membunuh kaisar Yang Ti, maka akan terjadi malapetaka di sini. Membunuh Kaisar itu tidak ada gunanya, tidak menguntungkan malah merugikan saja. Kaisar itu seperti boneka, tidak ada gunanya dan selama dia yang menjadi kaisar di Kerajaan Sui, paduka boleh tenang-tenang saja karena pasukannya tidak akan mungkin menyerbu ke sini. Akan tetapi kalau sampai dia terbunuh, lalu kerajaan Sui mengangkat seorang kaisar baru yang gagah perkasa seperti mendiang Kaisar Yang Chien, kita bisa celaka. Tempat ini pasti akan di serbu oleh puluhan laksa prajurit dan tempat paduka akan menjadi lautan api"
Pemimpin Turki itu mengangguk-angguk setelah berpikir sejenak.
"Hemmm, bicaramu masuk di akal. Memang kami masih ragu untuk membunuh kaisar pengecut itu yang dalam tahanan masih saja bersenang-senang dengan para selirnya dan selalu merengek minta ampun. Akan tetapi apa untungnya membebaskan kaisar seperti itu bagi kami?"
"Untungnya banyak sekali, Yang Mulia. Selain kaisar merasa berhutang budi sehingga tidak memusuhi paduka, juga paduka mendapat kesempatan untuk menyusun kekuatan dan pada saatnya kelak kita bergerak ke selatan. Bahkan ada baiknya paduka menghadiahkan beberapa orang selir terdiri dari wanita-wanita yang cerdik untuk dijadikan penyelidik dan mata-mata di sana"
"Bagus, bagus. kami setuju sekali"
"Juga saya dapat membujuk Kaisar bahwa kalau paduka membebaskannya, kaisar akan memberi hadiah yang pantas untuk paduka"
"Baik, laksanakanlah"
Li Si Bin lalu memasuki tempat tahanan dan dia berlutut di depan kaisar. Kaisar memandang kepadanya dan bertanya "Kau siapakah? Kau seperti seorang Han"
"Yang Mulia, hamba adalah Li Si Bin, putera Gubernur Li Goan"
Kaisar terkejut sekali dan heran.
"Eh, bagaimana kau dapat masuk ke sini?"
"Yang Mulia, ketika mendengar bahwa paduka di tawan, hamba memberanikan diri menghadap pemimpin orang Turki untuk membujuknya agar mereka membebaskan paduka"
"Hamba berhasil membujuknya dengan syarat bahwa kalau paduka di bebaskan, pertama akan memberi hadiah yang layak kepada mereka"
"Tentu saja, itu hal mudah"
"Dan kedua kalau paduka dibebaskan mereka mohon agar paduka tidak memusuhi dan menyerang mereka lagi"
"Tentu, hal itupun pasti kulakukan. kalau dibebaskan, aku akan segera pulang ke selatan dan menarik mundur semua pasukan"
"Kalau begitu, hari ini juga paduka akan bebas"
"Bagus sekali, jasamu akan besar sekali, Li Si Bin"
Pemimpin orang Turki lalu menghadap Kaisar dengan sikap hormat dan menyerahkan tiga orang gadis Turki yang cantik-cantik sebagai persembahan. Tentu saja mereka ini di terima dengan girang oleh Kaisar Yang Ti yang mata keranjang.
Pembebasan itu di atur dengan mudah. Sepasukan pengawal ditugaskan mengantar rombongan Kaisar bersama Li Si Bin untuk meninggalkan tempat itu. Mereka lalu menuju ke Tai-goan.
Tentu saja munculnya kaisar ini di sambut oleh Gubernur Li Goan dengan gembira sekali. akan tetapi pasukan kerajaan sudah meninggalkan Shan-si, di suruh kembali ke selatan oleh Lui-ciangkun. Sedangkan Lui-ciangkun sendiri sudah mendahului untuk memberi kabar kepada kota raja ditemani dua orang perajurit yang bukan lain adalah Pak-Tek-Ong dan See-Thian-Mo. Padahal, dia mendahului ke selatan ini adalah untuk melaksanakan rencana mereka yang busuk, yaitu mencoba untuk merampas tahta kerajaan.
Saking girangnya dibebaskan oleh Bangsa Turki, Kaisar Yang Ti tidak tergesa-gesa pulang ke kota raja, melainkan tinggal beberapa lamanya di tai-goan dan tetap berseng-senang, terutama dengan tiga orang selir barunya dari Turki.
***
Cian Han Sin melakukan perjalanan meninggalkan kota raja untuk melakukan pengejaran terhadap Lui-ciangkun. Akan tetapi dalam perjalanan itu dia mendengar tentang tertawannya Kaisar oleh musuh. Berita ini tidak terlalu diperdulikan karena dalam hatinya, Han Sin juga tidak begitu suka kepada Kaisar Yang Ti. banyak berita di dengarnya tentang kaisar itu, berita yang tidak baik saja. Bahkan dia dan ibunya diusir keluar dari rumah mendiang ayahnya yang sudah banyak jasanya dalam membantu Kaisar Yang Cien membangun Dinasti Sui.
Mendengar di tariknya mundur pasukan Kerajaan dari utara, Han Sin menghentikan usahanya melakukan pengejaran ke utara karena dia tahu bahwa orang yang dia cari tentu bersama pasukan itu kembali pula ke kota raja. Lebih baik dia menanti di kota raja dan kelak menyelidiki kalau Lui-ciangkun sudah kembali ke kota raja. Sementara itu, lebih baik dia mencari Kim Lan untuk dipertemukan dengan ibu kandungnya. Akan tetapi kemana dia harus mencari?.
Pada suatu hari dia memasuki kota Tai-bun yang terletak di tepi sungai Fen-ho. Kota itu cukup besar dan ramai karena mempunyai hubungan langsung dengan Tai-goan melalui sungai Fen-ho.
Setiap hari hilir mudik perahu-perahu pedagang yang pergi dan datang. Karena hari telah mulai gelap, Han Sin mengambil keputusan untuk bermalam di kota Tai-bun. Dia memilih sebuah rumah penginapan yang juga sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Pelayan menyambutnya dan mempersilahkannya masuk dengan sikap ramah.
"Kongsu hendak makan? Silahkan, masih banyak meja yang kosong di bagian dalam. Atau ingin makan di loteng?"
"Nanti dulu. Aku hendak menyewa sebuah kamar malam ini, apakah masih ada yang kosong?"
"Ada, kong-cu. Silahkan ikut saya"
Pelayan itu membawanya ke sebuah kamar yang tidak begitu besar namun cukup bersih. Setelah mandi dan bertukar pakaian, Han Sin lalu keluar dari kamarnya menuju ke rumah makan yang berada di bagian depan rumah penginapan itu. Ternyata rumah makan itu kini sudah penuh tamu dan dia mendapatkan meja yang berada di sudut. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tiga pasang mata mengamatinya dari atas loteng. Tiga orang itu duduk menghadapi meja dan sedang makan ketika Han Sin muncul.
Mereka itu bukan lain adalah Lui Couw atau Lui-ciangkun, murid keponakannya, Bong Sek Toan dan seorang Tosu tua yang bukan lain adalah Ngo-heng Thian-cu.
"Itu dia, Cian Han Sin" bisik Bong Sek Toan ketika melihat Han Sin.
"Wah, pinto pernah bertemu dengan dia dan bertanding. Dia lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan sakti yang amat kuat" kata Ngo-heng Thian-cu.
Lui Couw memandang tajam "Tidak salah lagi, tentu dia putera mendiang Cian Kauw Cu dan agaknya dia memiliki Bu-tek Cin-keng. Dia dapat merupakan orang yang amat berbahaya bagi kita. Mari kita pergi, jangan sampai dia melihat kita"
Mereka bertiga meninggalkan loteng dan pergi dari rumah makan itu tanpa diketahui Han Sin. Dalam perjalanan Ngo heng Thian-cu mencela "Lui-ciangkun, kenapa kita melarikan diri? Pinto tidak takut kepadanya, apalagi kalau kita maju bertiga, mustahil dia dapat menandingi kita"
"Hemm, kita harus berhati-hati. Aku hendak mengerahkan pasukan untuk mencegatnya besok. Pula, kita masih menanti munculnya puteraku dan Ma Goat. Bukankah janjinya hari ini mereka akan datang ke kota ini?"
Mereka bertiga menuju ke sebuah rumah besar dan setelah tiba di situ, ternyata Ma Goat telah berada di situ.
Begitu bertemu dengan Lui Couw, Ma Goat menghampiri lalu berkata dengan muka pucat "Lui-ciangkun, celaka sekali. Telah terjadi malapetaka hebat atas diri puteramu"
Lui Couw terkejut bukan main dan memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya kuat-kuat. kalau Ma Goat bukan seorang gadis lihai, tentu kedua pundaknya sudah terluka atau setidaknya akan hancur tulang pundaknya. Dia mengguncang dan berseru "Apa? Apa yang terjadi dengan puteraku Sun Ek? Dimana dia?"
"Dia ". Dia telah tewas terbunuh """ kata Ma Goat.
Panglima itu melepaskan pegangannya lalu melangkah mundur seperti terhuyung, matanya terbelalak" Apa yang terjadi? Siapa pembunuh anakku? Katakan, siapa?"
"Yang membunuhnya adalah Cian Han Sin dan Cu Sian. Mula-mula kami berdua telah berhasil menawan Cu Sian. Akan tetapi kemudian muncul Han Sin dan seorang gadis berpakaian putih yang tidak saja menolong Cu Sian, akan tetapi juga membunuh Lui-kongcu
Bahkan gadis bernama Cu Sian itu menggunakan kipas milik Lui-kongcu untuk menghancurkan tubuh Lui-kongcu"
"Aahhhh "" Lui Couw terhuyung dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri di atas kursi, tentu dia sudah jatuh tersungkur. Mukanya pucat sekali dan wajahnya diliputi kedukaan yang mendalam. Kemudian dia melompat bangun.
"Jahanam Cian Han Sin. Aku akan membunuhmu, aku akan menghancur leburkan tubuhmu. kita tidak boleh gagal. Aku akan mengerahkan pasukan"
Dengan hati terasa sakit sekali, malam itu juga Lui Couw menghubungi pembesar setempat dan berhasil mengumpulkan pasukan sebanyak limapuluh orang penjaga keamanan kota. Dia tidak segera melakukan penagkapan atau penyerbuan malam itu juga karena dia tidak ingin gagal. Kalau malam itu di sergap, mungkin Han Sin yang berkepandaian tinggi itu akan mampu meloloskan diri. Dia lalu menaruh penjaga di sekeliling rumah penginapan untuk melakukan pengintaian. Demikian rapat penjagaan itu sehingga tidak mungkin pemuda itu meninggalkan rumah penginapan tanpa diketahui.
Han Sin sama sekali tidak menyangka buruk. Malam itu dia tidur nyenyak, bahkan bermimpi bertemu dengan Kim Lan, mempertemukan gadis itu dengan ibu kandungnya dan saking girang dan berterima kasihnya, Kim Lan dalam mimpi itu merangkul dan menghadiahinya sebuah ciuman. Tentu saja semua ini timbul dari keinginan dan harapannya sendiri.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Han Sin sudah mandi dan dengan tubuh terasa segar dan pikiran juga penuh dengan harapan yang indah, dia melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu karena dia ingin mencari jejak Kim Lan. Dia berkeliling ke dalam kota itu untuk melihat kalau-kalau gadis itu berada di dalam kota. Setelah tidak berhasil, dia melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena dia bermaksud untuk pergi ke kota An-yang. Di depan nampak deretan pegunungan Tai-hang-san dan baru beberapa li meninggalkan kota Tai-bun, dia sudah melalui jalan mendaki yang sunyi. Pagi itu amat cerah dan di pohon-pohon banyak burung berkicau. Biarpun musim semi sudah lewat namun masih banyak bunga menghias alam diantara daun-daun hijau.
Han Sin sama sekali tidak mengira bahwa sejak dia meninggalkan rumah penginapan, banyak orang telah membayanginya. Ketika dia tiba di tempat yang sunyi, tiba-tiba dari empat penjuru bermunculan banyak orang. Tadinya dia sama sekali tidak menduga bahwa kemunculan mereka itu ada hubungannya dengan dirinya. Tahu-tahu mereka itu telah mengepungnya. Lebih dari limahpuluh orang dan mereka berpakaian seragam prajurit penjaga keamanan kota.
"Heiii, ada apakah ini?" teriaknya heran melihat puluhan orang itu mengepungnya dengan golok siap di tangan dan dengan sikap mengancam. kalau mereka itu sebangsa perampok tentu dia tidakakan merasa heran. Akan tetapi mereka adalah pasukan keamanan.
Kemudian muncul empat orang dan melihat tiga diantara mereka, mengertilah Han Sin bahwa dia berhadapan dengan musuh yang amat berbahaya. Dia tentu saja mengenal Bong Sek Toan, Ngo-heng Thian-cu dan Ma Goat. Dan yang seorang lagi tidak dikenalnya, seorang berpakaian panglima yang nampak bengis sekali ketika memandang kepadanya.
Tentu saja Han Sin maklum bahwa dia terancam karena tiga orang itu pernah bermusuhan dengan dia. Akan tetapi anehnya, bukan tiga orang itu yang kelihatan marah sekali, melainkan si panglima yang kelihatan gagah perkasa itu. Kalau tiga orang itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian, kecuali Ma Goat yang masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh gairah di samping kemarahan si panglima itu mengacungkan telunjuknya menuding ke arah muka Han Sin dan membentaknya.
"Kamu yang bernama Cian Han Sin?"
Karena memang merasa tidak mengenal panglima itu, Han Sin menjawab dengan heran "Rasanya aku belum pernah mengenalmu, ciang-kun. mengapa tiba-tiba saja kau mengepung dan marah-marah kepadaku?"
Ma Goat tertawa "Heh he, Cian Han Sin. Kau telah membunuh kong-cu Lui Sun Ek dan Lui-ciangkun ini adalah ayahnya. Tentu saja dia kini menghendaki kematianmu. Bersiaplah kau untuk mati, Han Sin"
"Aku akan mencincang tubuhmu sampai hancur" bentak Lui Couw penuh geram.
Diam-diam Han Sin terkejut sekali dan juga girang. Di cari kemana-mana tidak tahunya kini berdiri di depannya. Akan tetapi dia menahan diri dan mencoba untuk membela diri "Bukan aku yang membunuh Lui Sun Ek temanmu itu, akan tetapi Cu Sian"
"Kalau bukan kau yang datang menolong, bagaimana mungkin Cu Sian dapat membunuhnya? Kau yang memberi kesempatan Cu Sian untuk membunuhnya" kata Ma Goat.
Akan tetapi Han Sin tidak peduli lagi kepada gadis itu. Dia memandang Lui Couw penuh perhatian dan diam-diam merasa heran bagaimana ibunya dapat mempunyai seorang sute seperti panglima ini?
"Jadi kaukah yang bernama Panglima Lui Couw itu? Sudah lama aku memang mencarimu. Kaulah yang dahulu membunuh ayahku dengan curang dan merampas Hek-Liong-Kiam, kemudian kau pula yang membunuh ibuku, sucimu sendiri"
Mendengar ucapan yang tegas itu, Lui Couw terkejut dan wajahnya agak berubah pucat. Akan tetapi karena rahasia sudah dibuka, dan pemuda ini sudah berada di ambang maut, diapun tertawa bergelak untuk menutupi keguncangan hatinya.
"Ha-ha-ha-ha-ha. Dan sekarang aku akan mengirim kau menyusul ayah dan ibumu, keparat" Setelah berkata demikian, panglima itu menggerakkan tangannya, mencabut pedang, bukan pedang panglima yang tergantung di pinggang, melainkan pedang yang tersembunyi si balik bajunya.
"Singggg "" Nampak sinar hitam berkilauan menyilaukan mata. Itulah Hek-Liong-Kiam dan Han Sin mengetahui ini. Timbul perasaan haru di hatinya. Inilah pedang peninggalan ayahnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tertawa.
"Ha-ha, seorang panglima besar memegang pedang curian menghadapi seorang muda dan masih menggunakan pengeroyokan puluhan orang lagi. Kau sungguh seorang yang gagah, Lui Couw"
"Lui-ciangkun, biarkan pinto menghajar bocah lancang mulut ini" tiba-tiba Ngo-heng Thian-cu berseru dan tosu ini sudah mengebutkan hud-tim (kebutan) di tangan kiri dan menggerakkan tongkat putih di tangan kanan.
Han Sin menoleh kepadanya dan tertawa "Bagus. Kau tentulah Ngo-heng Thian-cu yang telah membunuh guruku Ho Beng Hwesio. Akupun akan membalaskan kematian Ho Beng Hwesio guruku"
"Ho Beng Hwesio perutmu. Dia adalah Hek-Liong-Ong Poa Yok Su, seorang datuk sesat yang amat jahat dan kau sebagai muridnya tentu jahat pula. Terimalah ini"
Tongkat putih itu berkelebat menjadi sinar putih ketika dia menyerang kearah leher Han Sin, di susul sambaran kebutan yang menjadi kaku dan menotok kearah pusar.
Serangan itu hebat sekali, akan tetapi dengan lincahnya Han Sin mengelak sambil melompat ke belakang. Ketika di belakangnya empat orang prajurit menggerakkan golok, Han Sin memutar tubuh, kedua tangannya bergerak dan empat orang prajurit itu roboh mengaduh-aduh. Tongkat dan kebutan sudah menyambar lagi dan Han Sin menangkis tongkat, bahkan berusaha menangkap ujung kebutan, lalu balas menyerang dengan tangan kosong. Tamparan tangannya mengandung kekuatan yang amat hebat dan kedua lengannya bergerak bagaikan gelombang samudera. Dia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun yang dia pelajari dari ibunya. Tentu saja dalam memainkan ilmi ini. Han Sin sekarang jauh lebih lihai dari mendiang ibunya karena dia memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sampai tigapuluh jurus bertanding, belum juga Ngo-heng Thian-cu yang memegang dua macam senjata itu dapat mendesak Han Sin. Dia merasa penasaran sekali, mengeluarkan bentakan nyaring dan dua senjata itu bergerak semakin cepat.
Akan tetapi, Han Sin juga sudah tidak sabar lagi. Dia mengerahkan Bu-tek Cin-keng dan tiba-tiba dia merendahkan tubuh sambil mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak dengan suara melengking.
"Hyyaatttttt """"
Hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar dan tubuh Ngo-heng Thian-cu terlempar ke belakang. namun tosu ini memang memiliki kekebalan. Biarpun dia terbanting keras, dia tidak mengalami luka dalam terlalu parah, hanya kepalanya berpusing rasanya dan sampai beberapa detik dia tidak mampu bangkit kembali. Akan tetapi sepasang senjata itu masih tergenggam di tangannya. Orang yang dapat menahan pukulan tidak langsung dari Bu-tek Cin-keng jarang ada dan tosu ini adalah seorang diantaranya, tanda bahwa dia memang seorang yang amat tangguh. Tidak terlalu mengherankan kalau Hek-Liong-Ong sampai tewas di tangannya.
Melihat kawannya roboh, Lui Couw marah sekali dan sambil membentak nyaring dia sudah menyerang dengan Hek-Liong-Kiam. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang ampuh. Baru angina pukulannya saja terasa membawa ketajaman yang dingin sekali. Han Sin maklum akan kehebatan pedang dan pemegangnya, maka diapun mengandalkan keringanan tubuhnya, berkelebatan mengelak ke sana sini. Untung baginya bahwa ilmu pedang andalan lawan itu adalah Lo-hai-kun (Ilmu Pedang Pengacau Lautan), ilmu yang pernah dipelajari dari ibunya maka dia sudah mengenal gerakan dasarnya sehingga lebih mudah baginya untuk menghindarkan diri.
Diapun menggunakan Bu-tek Cin-keng untuk melawannya dan sambaran tangannya mengeluarkan hawa yang mampu menangkis dan menolak pedang.
Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ngo-heng Thian-cu, ilmu kepandaian Lui Couw masih kalah setingkat. Akan tetapi karena ia memegang Hek-Liong-Kiam, maka dia lebih berbahaya dan Han Sin tahu benar akan hal ini.
Untung bahwa ketika berada di kuil Siauw-lim-pai dan di gembleng oleh Hek-Liong-Ong, dia dengan tekun berlatih gin-kang sehingga kini dia dapat bergerak ringan dengan cepatnya seperti seekor burung wallet saja. Tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar pedang berwarna hitam itu.
Akan tetapi begitu melihat pemimpin mereka bertanding, para prajurit itu tidak mau tinggal diam lagi. Lebih dari lima puluh orang mengepung dan mengeroyoknya. Bukan itu saja, juga Ngo-heng Thian-cu yang sudah bangkit kembali kini maju. Ma Goat pun tidak tinggal diam. Gadis ini merasa sakit hati kepada Han Sin yang bukan saja menolak cintanya, bahkan telah merobohkannya dan membantu Cu Sian sehingga Lui Sun Ek tewas di tangan Cu Sian. Dengan suling mautnya Ma Goat ikut pula menyerang dan serangan gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dalam hal kelihaian, gadis ini tidak kalah dibandingkan dengan Lui Couw sekalipun. Suling mautnya di tangan kanan diselingi pukulan Tian Ciang (Tangan Halilintar) di tangan kiri mengirim serangan-serangan maut.
Dikeroyok tiga orang sakti itu di tambah lagi kurang lebih enampuluh orang prajurit yang mengepungnya, Han Sin menjadi kewalahan juga. Dia tidak dapat melarikan diri karena untuk lolos dari kepungan itu saja amatlah sukarnya. Pedang Naga Hitam mengurungnya dari segala jurusan, di tambah kebutan dan tongkat putih di tangan Ngo-heng Thian-cu dan suling maut di tangan Ma Goat, sudah cukup merepotkannya. Biarpun dia dapat melindungi dirinya dengan hawa sakti dari Bu-tek Cin-keng, namun dia tidak diberi kesempatan untuk membalas serangan lawan yang bagaikan hujan lebat datangnya.
Keadaan Han Sin gawat, kalau di teruskan seperti itu, akhirnya dia dapat saja roboh terkena satu diantara banyak senjata ampuh itu. Akan tetapi dia bertekad untuk melawan sampai titik terakhir dan beberapa kali dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung Bu-tek Cin-keng sepenuhnya dia dapat memaksa tiga orang lawannya mundur dan sebagian prajurit tersungkur. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat lolos dari lingkaran yang berlapis"lapis itu.
Tiba-tiba terjadi perubahan. Han Sin merasakan betapa pengeroyokan para prajurit itu mengendur, bahkan kacau sehingga dia hanya menghadapi pengeroyokan Lui Couw, Ma Goat dan Ngo-heng Thian-cu bertiga saja. Apakah yang terjadi? Han Sin segera tahu bahwa ada orang-orang yang datang membantunya, menyerang para prajurit itu dari luar kepungan.
"Ha-ha-ha, tiga orang di bantu puluhan prajurit mengeroyok seorang pemuda. Sungguh tidak tahu malu" terdengar suara seorang kakek yang bertubuh sedang dan dengan sebatang tongkat di tangan dia merobohkan banyak prajurit dengan amat mudahnya.
"Orang-orang yang tak tahu malu ini patut di hajar" teriak seorang wanita setengah tua dan iapun menggerakkan sebatang pecut yang meledak-ledak dan merobohkan banyak prajurit.
"Heeiii, dia itu Han Sin" teriak seorang gadis yang memegang sebatang tongkat pula.
Han Sin melayani tiga orang pengeroyoknya lalu melompat jauh ke belakang. Hal ini dapat dia lakukan karena semua prajurit kini sibuk menghadapi tiga orang pendatang itu. Dia melihat dan terheran-heran. Bukankah kakek itu Kui Mo yang gila itu bersama isterinya dan anaknya Kui Ji? Akan tetapi mereka kini tidak lagi berpakaian kembang-kembang yang aneh. Kalau dulu Kui Mo berpakaian kembang-kembang tambal-tambalan, rambutnya riap-riapan suka tertawa dan menangis, kini dia berpakaian rapi, bahkan setengah mewah dan rambutnya pun di ikat ke atas dengan rapi, di ikat dengan sutera biru. Dan isterinya, yang usianya lima puluh tahun kurang itu, rambutnya juga tersisir dan tergelung rapi, tidak riap-riapan seperti dulu. Pakaiannya juga rapi, tidak berkembang-kembang. Kemudian gadis itu, Kui Ji nampak cantik sekali dengan pakaiannya yang serba hijau dan rambutnya di gelung ke atas seperti gelung rambut seorang puteri bangsawan.
Senjatanya tongkat berwarna hitam dan gadis itu dengan gerakan yang indah menotok sana sini merobohkan para prajurit lalu memandang kepada Han Sin dengan sinar mata bercahaya dan mulut tersenyum manis.
Keluarga gila. Han Sin merasa girang sekali. Keluarga itu jelas tidak gila lagi, dapat dilihat dari dandanan mereka dan juga sikap mereka. Mereka merobohkan para prajurit tanpa membunuh dan sebentar saja para prajurit itu kocar kacir. Kui Mo kini menerjang kearah Ngo-heng Thian-cu sambil berseru "Bukankah ini Ngo-heng Thian-cu yang tersohor itu? Ha-ha-ha, kiranya yang bernama Ngo-heng Thian-cu hanya seorang manusia curang dan licik mengeroyok seorang muda mengandalkan banyak teman"
Tongkat kakek itu menyambar ke depan.
"Trakkk" Ngo-heng Thian-cu menangkis dengan tongkat putihnya dan sejenak mereka berdiri saling pandang.
"Hemm, pinto tidak mengenalmu. Siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami?"
"Mau tahu namaku? Ouwyang Mo namaku dan mengapa aku mencampuri urusan kalian? Karena melihat ketidak-adilan. Aku mengenal pemuda ini sebagai seorang yang gagah perkasa dan melihat dia di keroyok segerombolan srigala, bagaimana aku tidak akan mencampurinya?"
"Bagus kalau begitu, aku akan membunuhmu lebih dulu, Ouwyang Mo" teriak Ngo-heng Thian-cu yang menjadi malu dan marah sekali. Dua orang itu segera bertanding dengan serunya karena ilmu kepandaian mereka memang seimbang.
Kui Ji tidak mau kalah dengan ayahnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok itu terdapat suling, iapun meloncat ke depan Ma Goat dan menudingkan tongkatnya.
"Dan kau inipun gadis tak tahu malu, main keroyokan"
Akan tetapi sebelum ia menyerang Ma Goat, ibunya yang tadi sudah melihat betapa gerakan Ma Goat lihai sekali dan ia khawatir kalau puterinya akan celaka, segera melompat maju dan berkata kepada puterinya" Kui Ji, kau hajar gerombolan anjing itu dan biar gadis tak tahu malu ini ibu yang menghajarnya" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban puterinya, Nyonya Ouwyang Mo yang bernama Liu Si itu sudah menggerakkan cambuknya dan menerjang ke arah Ma Goat.
"Tar-tar-tar "" Cambuk itu meledak-ledak dan melecut kearah kepala dan muka Ma Goat, Maklum bahwa ia menghadapi lawan berat, Ma Goat lalu memutar sulingnya dan terjadilah perkelahian seru antara kedua orang wanita itu. Kui Ji sendiri yang telah di dahului ibunya, tentu saja tidak mau mengeroyok dan iapun mengamuk diantara para prajurit yang sudah mulai kacau dan kocar kacir itu.
Sementara itu, pertandingan antara Han Sin yang kini berhadapan satu lawan satu dengan Lui Couw terjadi amat hebatnya karena keduanya berusaha mati-matian untuk merobohkan lawan. Kini Han Sin yakin bahwa selain Lui Couw membunuh ayah dan ibunya dan mencuri Hek-Liong-Ong, juga orang jahat ini merencanakan terhadap Kaisar seperti yang diceritakan oleh Thian Ho Hwesio kepadanya. Buktinya kini Ma Goat berada bersamanya, berarti bahwa See-Thian-Mo dan Pak-Te-Ong tentu diperalat panglima ini karena Ma Goat adalah puteri Pak-Te-Ong. Orang ini jahat sekali harus dibinasakan agar tidak membahayakan manusia di dunia.
Karena itulah menghadapi Hek-Liong-Ong yang ampuh itu, Han Sin mengerahkan seluruh tenaganya dan mainkan ilmu silat Bu-tek Cin-keng, ilmu peninggalan ayahnya. Beberapa kali tubuh Lui Couw terpental oleh pukulan jarak jauhnya dan tenaga Lui Couw makin lama semakin lemah. Ketika melihat lawannya terhuyung, Han Sin cepat mengirim tendangan kearah tangan kanan yang memegang pedang dan dia berhasil menendang tangan itu sehingga Hek-Liong-Kiam terpental jauh. Khawatir kalau pedang pusaka itu hilang, Han Sin tidak memperdulikan lawannya dan dia melompat dan berhasil menyambar pedang itu. Hek-Liong-Kiam milik ayahnya telah kembali ke tangannya. Bukan main girang dan leganya hati Han Sin, akan tetapi ketika dia mencari musuhnya, ternyata Lui Couw telah menghilang. Kiranya panglima itu telah kehilangan pedang dan melihat kawan-kawannya juga terdesak, menggunakan kesempatan selagi Han Sin mengejar pedang, dia dapat melarikan diri memasuki hutan lebat.
Han Sin tidak tahu harus mengejar kemana. Dia melihat Kui Ji dikeroyok puluhan prajurit maka setelah menyimpan pedang Hek-Liong-Kiam, di selipkan di ikat pinggangnya, diapun membantu gadis itu mengamuk, menampar dan memandangi para prajurit yang akhirnya melarikan diri ketakutan.
Ketika Han Sin menoleh, dia melihat Ng-heng Thian-cu sudah roboh terkapar dengan kepala pecah terpukul tongkat di tangan Ouwyang Mo, sedangkan Ma Goat juga tewas oleh lecutan cambuk di tangan Liu Si yang menotok pelipisnya. Han Sin menghela napas, diam-diam merasa kasihan kepada Ma Goat.
Semua lawan telah pergi, meninggalkan mayat Ngo-heng Thian-cu dan Ma Goat. Han Sin berhadapan dengan tiga orang itu dan diapun cepat mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan berkata" Terima kasih atas pertolongan lo-cian-pwe bertiga. Kalau tidak ada samwi (kalian bertiga), tentu saya mengalami bahaya maut.
"Ha-ha-ha, kau pandai sekali merendahkan diri, Han Sin. Kami melihat bahwa ilmu kepandaianmu memang hebat sekali"
"Orang-orang jahat ini memang sudah sepantasnya di hokum, bukan hanya karena membantumu saja kami menentang mereka" kata Liu Si.
"Telah lama sekali kami mencarimu kemana-mana, Han Sin. Kemana saja kau pergi?" Tanya Kui Ji dengan manis.
Han Sin memandang kearah kedua mayat itu, terutama mayat Ma Goat. Kalau saja dia yang menghadapi Ma Goat, dia tentu tidak akan sampai hati membunuhnya.
"Cian Han Sin, mengapa Ngo-heng Thian-cu memusuhi?"
Pertanyaan Kui Mo yang ternyata kini bernama Ouwyang Mo itu membuat Han Sin tersadar dari lamunannya "Dia telah membunuh guru saya"
"Siapa gurumu?"
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Guru saya Hek-Liong-Ong Poa Yok Su"
"Ah, datuk besar dari Pulau Naga itu?" Ouwyang Mo memandang heran dan kaget.
"Dan mengapa gadis ini juga memusuhi mu, Han Sin?" Tanya Kui Ji.
"Ia bernama Ma Goat, puteri Pak-Te-Ong. Sudahlah, kita bicara nanti saja. Harap Lo-cian-pwe maafkan saya, saya harus mengubur dulu dua jenazah ini" kata Cian Han Sin.
"Han Sin, gadis ini memusuhimu, mengeroyokmu dan nyaris membunuhmu, kenapa kau hendak mengurus jenazahnya?"
"Nona, ia pernah menyelamatkan nyawaku" jawab Han Sin yang segera mulai menggali lubang-lubang untuk mengubur dua jenazah itu.
"Hemm, dan tosu itu pembunuh gurumu. Kenapa ia juga kau urus penguburannya?" Kui Ji mengejar dengan penasaran.
"Nona, yang berbuat salah adalah orangnya ketika masih hidup. Kalau sudah mati, semua manusia sama saja dan kita harus menghormati orang yang sudah mati" jawab Han Sin tanpa berhenti menggali lubang.
"Ha-ha, Kui Ji. Kau harus banyak belajar adab dari Cian Han Sin. Dia benar sekali" kata Ouwyang Mo yang segera turun tangan membantu pemuda itu menggali lubang.
Setelah dua jenazah itu dikubur sepantasnya, barulah mereka melanjutkan percakapan.
"Han Sin apa yang dikatakan Kui Ji tadi benar. Kami telah lama mencarimu dan kebetulan sekali sekarang kita dapat saling bertemu di tempat ini" kata Ouwang Mo.
"Akan tetapi, saya tidak mempunyai urusan apa-apa lagi dengan lo-cian-pwe bertiga. Ada urusan apakah lo-cian-pwe mencari saya?"
"Cian Han Sin, kami masih ingin menyambung hubungan antara kita yang dahulu putus. terus terang saja. Kami bertiga sepakat untuk menjodohkan puteri kami Kui Ji denganmu. Maafkan perbuatan kami dulu yang kami lakukan di luar kesadaran kami. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh untuk melanjutkan ikatan tali perjodohan itu"
Han Sin menoleh dan memandang Kui Ji dan sama sekali tidak seperti dulu. Kini Kui Ji menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan seperti layaknya gadis biasa. Juga Liu Si memandang kepadanya dengan senyum penuh harapan.
Han Sin bangkit dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Ouwyang Mo "Banyak terima kasih saya haturkan kepada Lo-cian-pwe yang telah memberi kehormatan besar itu bagi saya. Akan tetapi, saya mohon maaf sebesarnya karena terpaksa saya tidak dapat memenuhi keinginan hati samwi"
"Eh, Han Sin mengapa kau menolak? Apakah kau tidak suka karena kami bertiga pernah menjadi tidak waras karena keracunan? Ataukah, apakah anakku Kui Ji kurang cantik bagimu?" Liu Si bertanya penasaran.
"Maaf, bibi. Sama sekali tidak. Biarlah saya berterus terang saja. Saya telah mencinta gadis lain dan hanya dengan gadis itulah saya mau menikah.
Saya telah mencinta gadis itu jauh sebelum saya bertemu dengan nona Kui Ji"
***
Terdengar Kui Ji menghela napas panjang "Ayah, ibu tidak baik memaksanya. Aku dapat memaklum keadaan hatinya"
Han Sin merasa kagum sekali dan dia memberi hormat kepada Kui Ji "Nona, sungguh hatimu bijaksana dan mulia. Harap sudi memaafkan aku kalau aku mengecewakan dan terima kasih atas pengertianmu"
Ayah dan ibu gadis itu saling pandang dan merekapun menghela napas panjang, nampak kecewa sekali. Han Sin sudah bersiap-siap, kalau-kalau keluarga itu akan memaksanya dengan kekerasan seperti dahulu lagi. Akan tetapi ternyata tidak, bahkan kakek itu berkata "Kalau begitu kamipun tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya kami minta agar kita dapat terus menjadi sahabat. Han Sin, aku tadi melihat panglima yang memegang pedang hitam itu siapakah dia?"
Dia itu Panglima Lui Couw yang telah membunuh ayah dan ibuku"
"Ah, sayang dia dapat lolos. Dan pedang hitam yang kau rampas itu, bukankah itu Hek-Liong-Kiam?"
"Benar, pedang milik mendiang ayahku yang dia curi setelah dengan curang dia membunuh ayah dari belakang"
"Ah, jadi Hek-Liong-Kiam itu milik ayahmu? dan kau she Cian? Ya, Tuhan, kalau begitu kau ini putera Panglima Cian Kauw Cu yang terkenal itu?"
Han Sin terkejut "Bagaimana lo-cian-pwe bisa tahu?"
"Jangan sebut aku lo-cian-pwe, cukup sebut paman saja. Siapa yang tidak mengenal nama besar Panglima Cian Kauw Cu yang telah berjasa besar mendirikan Kerajaan Sui? Ketahuilah, aku adalah putera dari Mendiang Ouwyang Koksu dari Kerajaan Sun yang juga telah ditundukkan oleh pasukan yang dipimpin ayahmu dan mendiang Kaisar Yang Chien"
"Ah, kalau begitu saya telah bersikap kurang hormat kepada paman, harap maafkan"
"Han Sin, aku suka sekali kepadamu karena kau sungguh seorang pemuda yang tahu sopan santun dan bersusila. Sayang kau tidak berjodoh dengan puteriku. Akan tetapi masih ada satu hal yang kami harapkan untuk mendapatkan keterangan darimu"
"Apakah itu paman? Tentu akan saya bantu kalau saya mampu"
"Begini Han Sin. Kami bertiga dapat sembuh karena pertolongan seorang gadis berpakaian putih yang menurut keterangan yang kami dapat dari Pek Mau To-kow ketua Hwa-li-pang di Hwa-san bernama Kim Lan. Nah, apakah kau mengetahui dimana adanya gadis itu? Kami ingin sekali bertemu dengannya dan menghaturkan terima kasih kami"
Han Sin tersenyum. Tentu saja saya mengenalnya, paman. Akan tetapi namanya yang asli adalah Ang Swi Lan, alias Kim Lan alias Lan Lan. Ia adalah murid Thian Ho Hwesio yang berjuluk Siauw Bin Yok-sian, maka pandai dalam ilmu pengobatan. Memang ia yang telah menyembuhkan paman bertiga dan saya menjadi saksinya. Akan tetapi saya tidak tahu entah dimana adanya ia saat ini. Terus terang saja, saya sendiri juga sedang mencarinya.
"Ah, penolong kami itu gadis yang kau cinta, Han Sin?" tiba-tiba Kui Ji berseru kaget akan tetapi juga girang.
Han Sin terkejut sekali. Tak dapat dia menyangkal, maka dia bertanya "Adik Kui Ji bagaimana " kau bisa tahu "?"
Kui Ji tersenyum. Lenyap sudah garis-garis kekecewaan yang tadi menghias wajah yang manis "Mudah saja, Han Sin-ko, ketika kau menyebutkan nama Ang Swi Lan, sepasang matamu bersinar-sinar dan pipimu menjadi kemerahan wajahmu berseri-seri"
"Ha-ha-ha, alangkah tajamnya pandang matamu, Kui Ji" Ouwyang Mo tertawa. Han Sin jadi kau sekarang tidak dapat mengira-ngirakan dimana adanya nona Ang Swi Lan?"
"Tidak, paman. Akan tetapi aku yakin akan dapat menemukannya"
"Nah, kalau begitu, andaikata kau yang lebih dulu berjumpa dengannya tolong sampaikan perasaan terima kasih kami yang mendalam kepadanya"
"Baik, paman, akan saya sampaikan"
Karena ingin segera melanjutkan perjalanannya, terutama mencari Kim Lan dan melakukan pengejaran terhadap musuh besarnya, yaitu Lui Couw yang lolos dari tangannya, Han Sin lalu berpamit kepada keluarga yang telah menyelamatkannya itu. Perpisahan berjalan dengan hati ringan karena ternyata Kui Ji dapat mengatasi kekecewaannya dan kedua orang tuanya juga menghadapi penolakan itu dengan sikap yang bijaksana.
"Semoga kau kelak berbahagia dengan Ang Swi Lan, Sin-ko" kata Kui Ji yang kini menyebut Han Sin dengan sebutan koko dan sikapnya juga tidak malu-malu seperti terhadap kakaknya sendiri.
Han Sin merasa terharu sekali. Gadis ini boleh jadi pernah gila karena keracunan, akan tetapi sesungguhnya memiliki watak yang bijaksana, seperti ayahnya.
"Terima kasih, Ji-moi. Dan semoga kau segera dapat bertemu dengan jodohmu yang cocok"
Mereka berpisah dan mengambil jalan masing-masing.
***
Han Sin melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Pedang Hek-Liong-Kiam telah berhasil dia rampas kembali dan menurut cerita Panglima Coa Hong Bu, Kaisar Yang Ti menghendaki pedang Hek-Liong-Kiam dan Kitab Bu-tek Cin-keng. Dia sudah berjanji apabila berhasil merampas Hek-Liong-Kiam, akan dikembalikan kepada Kaisar dan kalau Kaisar ingin belajar Bu-tek Cin-keng, dia akan mengajarkannya karena kitabnya sudah dia baker. Kini dia harus menghaturkan pedang itu kepada Kaisar susuai dengan janjinya kepada Panglima Coa Hong Bu yang tentu melapor kepada Kaisar tentang hal itu.
Setelah tiba di kota raja, hari sudah sore dan Han Sin segera mencari kamar di rumah penginapan. Dia tidak tahu bahwa sejak dia memasuki pintu gapura kerajaan, dirinya sudah di incar dan dibayangi beberapa orang mata-mata yang menjadi anak buah Lui Couw atau Lui-ciangkun, segala gerak-geriknya diamati orang.
Begitu melihat pemuda itu memasuki kota raja, Lui Couw segera menghadap Kaisar dan memberi laporan "Yang Mulia, pemuda putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu yang memberontak itu kini nampak berada di kota raja"
Kaisar mengerutkan alisnya "Putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu memberontak? Apa maksudmu, Lui-ciangkun?"
"Pemuda itu menyembunyikan pedang Hek-Liong-Kiam dan ilmu Bu-tek Cin-keng yang paduka kehendaki. Bukan itu saja, ketika hamba mencoba untuk memintanya, dia melawan bahkan telah membunuh putera hamba dan banyak prajurit tewas di tangannya. Sekarang dia datang ke sini tentu bukan dengan niat baik terhadap paduka"
"Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu?" Bukankah dahulu ayahnya, Panglima Cian Kauw Cu merupakan seorang pahlawan yang setia?"
"Apakah paduka lupa? Paduka telah memerintahkan agar rumah mereka di kosongkan, dan hal itu rupanya menimbulkan dendam di hati pemuda itu. Dia dapat berbahaya sekali karena ilmu kepandaiannya tinggi, Yang Mulia"
"Kurang ajar. Berani dia memberontak? Tangkap dia"
"Hamba akan lakukan, akan tetapi mengingat dia seorang yang berkepandaian tinggi, hamba mohon diberi surat perintah paduka agar dia tidak melawan"
Kaisar Yang Ti segera membuat surat perintah itu dan Lui Couw lalu mengumpulkan dua ratus orang prajurit dan pagi"pagi sekali dia memimpin para prajuritnya mengepung rumah penginapan dimana Han Sin berada.
Tentu saja pemilik rumah penginapan menjadi ketakutan melihat demikian banyaknya prajurit mengepung rumah penginapannya. Dia segera keluar menghadap Lui-ciangkun menanyakan apa kesalahannya.
"Suruh tamu yang bernama Cian Han Sin keluar, atau ku obrak abrik rumah penginapan ini" kata Lui Couw.
Pemilik rumah penginapan itu segera berlari masuk, mencari Han Sin dan setelah bertemu, dia segera berkata dengan muka pucat "Sicu, kami mohon sicu segera keluar. Sicu di cari oleh panglima Lui yang membawa ratusan prajurit yang sudah mengepung rumah penginapan ini. Kalau sicu tidak keluar, rumah penginapan ini akan di obrak abrik. Kasihanilah kami, sicu. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan urusan sicu" kata pemilik rumah penginapan itu dengan wajah hampir menangis.
Han Sin bersikap tenang saja. Dia tahu bahwa tentu Lui-ciangkun telah mengetahui akan kedatangannya dan telah bersiap-siap. Maka diapun berkata "Keluarlah dan katakan bahwa aku akan menemuinya"
Han Sin lalu berkemas. Menggendong buntalan pakaiannya dan pedang Hek-Liong-Kiam dia selipkan dipinggang, dibalik bajunya. Kemudian dia melangkah keluar dengan sikap tenang. Kalau Lui Couw hendak menggunakan kekerasan menangkapnya, dia akan melawan. Akan tetapi kalau kaisar yang menyuruh tangkap, kebetulan baginya karena dia hendak menghadap kaisar dan selain akan menyerahkan pedangnya, juga dia akan membeberkan semua kebusukan Lui Couw.
Setelah tiba di halaman rumah penginapan, benar saja di situ sudah berkumpul banyak sekali prajurit dan Lui Ciangkun dengan pakaian perangnya nampak gagah memimpin mereka. Disebelah kiri telah siap barisan anak panah yang sudah memasang anak panah pada busurnya. Siap membidik dan menyerang.
Han Sin tersenyum kepada Lui-ciangkun.
"Lui Couw, apa maksudmu dengan semua ini? Kalau kau hendak melawanku, kenapa harus mengerahkan banyak prajurit?" Tegur Han Sin sambil tersenyum mengejek.
"Pemberontak Cian Han Sin. Berlututlah dan atas nama Sribaginda Kaisar kau di tangkap" Lui Couw tiba-tiba mengeluarkan surat perintah dari Kaisar itu dan melihat ini Han Sin terkejut. Kiranya benar kaisar yang menyuruh menangkapnya.
"Apakah aku akan di hadapkan kepada Sri baginda kaisar?"
"Tentu saja. Yang Mulia Kaisar sendiri akan menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan padamu"
"Baiklah, kalau aku akan dihadapkan kepada sribaginda Kaisar, aku tidak akan melawan dan aku akan menyerah" kata Han Sin dengan tenang dan mendengar ini, Lui Couw merasa girang bukan main. Tidak disangkanya pemuda itu akan sedemikian mudahnya ditangkap.
"Bagus" serunya dan dia lalu memerintahkan kepada para pembantunya.
"Rampas buntalannya dan ringkus, belenggu kaki tangannya"
Empat orang pembantunya melangkah maju menghampiri Han Sin. Akan tetapi ketika mereka hendak melaksanakan perintah itu, tiba-tiba mereka berempat terjengkang ke belakang.
"Hemmm, Lui-ciangkun. Aku menyerah dan tidak akan melawan untuk di bawa menghadap Sri baginda kaisar akan tetapi bukan sebagai tawanan terbelenggu. Aku tidak akan melawan, maka tidak ada gunanya membelenggu aku"
Lui Couw marah sekali akan tetapi dia memandang bimbang. Dia tahu benar akan kelihaian pemuda ini dan kalau dia menggunakan kekerasan, bisa jadi dia akan gagal dan pemuda ini akan dapat meloloskan diri. Dua orang pembantu yang paling diandalkan, yaitu Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo tidak berada di situ, yang berada dengannya hanyalah Bong Sek Toan, murid keponakannya yang biarpun cukup lihai, namun belum cukup menyakinkan. Dia sedang menyuruh pembantunya mengundang kedua orang datuk itu, akan tetapi belum kelihatan mereka muncul di situ. Dia menahan sabar dan memaksa diri tersenyum.
"Hemm, maafkan aku. Ini hanya kebiasaan saja dan kalau benar kau tidak akan melakukan perlawanan, baiklah, kami tidak akan membelenggumu"
Lalu kepada anak buahnya dia berseru "Biarkan dia berjalan sendiri. Kepung saja dia"
Demikianlah, dengan di tonton banyak sekali orang, Han Sin melangkah dengan tenang di tengah-tengah kerumunan para prajurit yang berbaris rapi dan yang selalu siap dengan senjata ditangan kalau-kalau pemuda itu memberontak.
Tentu saja peristiwa itu menjadi buah bibir penduduk kota raja dan merupakan berita hangat hari itu sehingga sebentar saja tersebar luas diantara pelosok kota. Seorang pemuda bernama Cian Han Sin di tangkap Panglima Lui. Bahkan ada yang mengenal nama itu sebagai putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu sehingga berita itu menjadi lebih menarik lagi.
Sambil melangkah dengan tegap, Han Sin selalu waspada. Maka dia dapat melihatnya ketika muncul dua orang kakek diluar kerumunan prajurit dan bersatu dengan Lui-ciangkun. Dia mengenal pula Bong Sek Toan yang juga berada di dekat Lui-ciangkun. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Dan diapun tahu bahwa dia tidak dibawa menuju ke istana kaisar, melainkan dibelokkan kearah lain. Tahulah dia bahwa dia telah tertipu dan sedang di bawa ke tempat berbahaya dimana sudah menunggu perangkap yang akan mencelakakannya.
Dia bersiap-siap dan tahu bahwa dia tidak jauh dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Tiba-tiba saja Han Sin menggerakkan tubuhnya dan belasan orang di sebelah kanannya roboh saling tabrak. Han Sin melompat dengan cepat sekali, bagaikan seekor burung terbang melalui kepala para prajurit dan sudah tiba di luar kepungan.
Segera dia melarikan diri dan ketika beberapa belas orang prajurit paling luar menghadangnya, dia mencabut Hek-Liong-Kiam dan sekali pedang itu berkelebat, belasan buah golok dan pedang beterbangan dan Han Sin terus berlari.
Melihat ini, Lui Couw terkejut dan marah sekali "Kejar" bentaknya dan dia sendiri lalu mengejar, diikuti Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Juga Bong Sek Toan ikut pula mengejar, demikian pula para prajurit yang banyak jumlahnya itu. Para penduduk dan pejalan kaki menjadi panik dan geger mereka berlarian karena takut terbawa-bawa.
Sambil berlari, Han Sin merobohkan setiap orang yang menghadang diperjalanan. Juga dia merobohkan para penjaga pintu gerbang sehingga dia kini dapat melarikan diri keluar dari pintu gerbang. Dia telah dapat lolos dari kota raja.
Akan tetapi, baru kurang lebih lima mil dia melarikan diri dari kota raja, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika dia menoleh, dia melihat belasan penunggang kuda mengejarnya. Tentu Panglima Couw, kedua orang datuk itu, Bong Sek Toan dan beberap orang perwira yang tangguh. Mereka itu menunggang kuda yang baik dan kuat. Sebetulnya dia dapat terus melarikan diri dengan kecepatan yang dapat mengimbangi larinya kuda, akan tetapi kalau dia terus berlari, akhirnya dia akan kehabisan napas dan kalau dia tersusul dalam keadaan kehabisan napas dan tenaga, dia dapat celaka. Karena yang mengejar hanya belasan orang lebih baik dia melawan sekarang.
Setelah mengambil keputusan demikian, Han Sin berhenti, membalikan tubuh menunggu dan Pedang Hek-Liong-Kiam telah berada di tangan kanannya. Dia berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, akan tetapi seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya dalam keadaan siap siaga.
Benar saja dugaannya. Setelah para pengejar itu tiba di depannya, ternyata mereka adalah Lui Couw, Pak-Te-Ong, See-Thian-Mo, Bong Sek Toan dan sepuluh orang perwira lain yang agaknya memiliki kepandaian pula. Mereka sudah berlompatan dari atas kuda mereka dan dengan senjata di tangan mereka mengepung Han Sin.
"Ha-ha-ha, Cian Han Sin, Kau hendak lari kemana? Kau tidak akan terlepas dari tanganku" kata Lui Couw.
"Lui-ciangkun, serahkan saja bocah ini kepadaku. Aku harus mencabut nyawanya untuk membalas kematian anakku" kata Pak-Te-Ong. Setelah berkata demikian, Pak-Te-Ong yang marah sekali itu sudah melancarkan pukulan Tian-Ciang ke arah Han Sin. Tian Ciang (Tangan Halilintar) dari Pak-Te-Ong ini lihai bukan main. Lawan yang di serang itu, terkena pukulan ini dari jarak jauh saja dapat roboh dan tewas. Serangkum angina pukulan yang amat panas menyambar dahsyat kearah tubuh Han Sin.
Akan tetapi Han Sin yang pernah merasakan pukulan dahsyat ini, sudah siap siaga. Dia mengelak dengan melompat ke kiri, akan tetapi dari kiri menyambar angin pukulan yang teramat dingin. Tanpa menoleh tahulah Han Sin bahwa See-Thian-Mo yang memukulnya dengan Swat-Ciang (Tangan salju).
Diapun pernah menderita karena pukulan ini, maka diapun mengelak lagi, kini kedua orang datuk itu memukul dengan berbarengan. Menghadapi pukulan ini, Han Sin mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng dan dia menyambut dengan kedua tangannya setelah menggigit pedang Hek-Liong-Kiam.
"Desss "" Akibatnya, kedua orang kakek itu terjengkang. Hebat bukan main Bu-tek Cin-keng itu. Han Sin sendiri terhuyung, lalu dia mengambil pedang yang di gigitnya, siap menghadapi pengeroyokan.
Dua orang itu terjengkang dan dada mereka terguncang hebat, akan tetapi tidak sampai melukai mereka. Kini dengan marah Lui Couw memberi isyarat dan majulah semua orang mengeroyok Han Sin.
Lui Couw sendiri menggunakan pedang yang cukup baik. Karena pedang itu adalah pedang pemberian kaisar sebagai tanda pangkatnya dan ia sudah memainkan lo-hai-kiamsut untuk menerjang Han Sin.
Disampingnya, Bong Sek Toan juga memainkan pedangnya dengan ilmu pedang yang sama pula, membantu paman gurunya untuk menyerang Han Sin dari depan.
Pak-Te-Ong Ma Giok menggunakan senjatanya tongkat kepala naga yang diputar dahsyat, menyambar-nyambar bagaikan seekor naga yang mengancam kepala Han Sin. Demikian pula See-Thian-Mo, datuk barat yang bekas lama ini menggunakan senjatanya berupa tasbeh yang menyambar dengan aneh, di seling pukulan Swat Ciang yang ampuh.
Selain empat orang lawan tangguh ini, sepuluh orang perwira yang semua memegang pedang sudah mengepung dan ikut mengeroyok. Han Sin memutar Hek-Liong-Kiam dan mengamuk sekuat tenaga karena dia maklum bahwa lengah sedikit saja dia tentu akan terkena senjata lawan yang banyak dan semua lihai, terutama dua orang datuk itu.
Hebat memang sepak terjang Han Sin di saat itu. Dia memainkan pedangnya dengan sepenuhnya memainkan ilmu silat Bu-tek Cin-keng, membuat pedang itu membentuk sinar yang bergulung-gulung berwarna hitam. Dari jauh nampak seolah dua ekor naga hitam yang mengamuk diantara sinar senjata lawan yang mengeroyoknya. Hanya empat orang pengeroyok yang berilmu tinggi saja, yaitu Lui Couw, Bong Sek Toan, Pak-Te-Ong dan see-thian mo yang masih dapat menghujankan serangan mereka kepada Han Sin. Sedangkan sepuluh orang perwira itu sudah beberapa kali terjungkal oleh tendangan kaki Han Sin atau oleh hawa sambaran pedang Hek-Liong-Kiam.
Namun harus di akui kenyataannya bahwa saat itu Han Sin terancam bahaya besar. Betapapun lihainya, para pengeroyoknya amat tangguh, terutama sekali Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang berusaha mati-matian untuk merobohkannya.
Pak-Te-Ong terutama sekali bernafsu untuk membunuh pemuda ini karena pemuda inilah yang di anggapnya telah menyebabkan kematian puterinya.
Demikian pula Lui Couw yang berusaha keras membalaskan kematian puteranya dan juga untuk menguasai kembali pedang pusaka Hek-Liong-Kiam dari tangan pemuda itu.
"Wuuktttt "" Tongkat kepala naga dari Pak-Te-Ong itu kembali menyambar ganas. Pada saat itu Han Sin sedang menggunakan pedangnya untuk menghalau senjata para pengeroyok lain maka hantaman tongkat kepala naga ke arah kepalanya ini terpaksa di tangkisnya dengan tangan kiri.
"Wuuutttt " plakkk" Tongkat terpental, akan tetapi dia masih dapat memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga pada saat dia terhuyung tidak ada yang dapat mendekatinya.
Akan tetapi para pengeroyok mengepung lagi dan pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Han Sin itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus dan berwibawa sekali "Hei, kalian yang mengeroyok ini mengapa saling tempur dengan kawan sendiri?"
Dan terjadilah kekacauan. Para perwira itu merasa betapa mereka tidak mengeroyok Han Sin melainkan bertanding melawan teman-teman sendiri. Tentu saja mereka terkejut dan berloncatan ke belakang. Bahkan Lui Couw dan Bong Sek Toan sendiri juga terkejut karena terpengaruh bentakan tadi dan mereka seolah bertanding melawan teman sendiri. Hanya Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang dapat melawan pengaruh itu karena sin-kang mereka sudah amat kuat.
Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 2 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 15 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 9