Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 7


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   Juga Kaisar Thai-cu yang dahulunya bernama Cu Goan Ciang ini memanfaatkan akar dari pohon pemerintahannya, yaitu balatentara dan rakyat jelata. Dia merangkul keduanya. Dia menghargai jasa balatentaranya, menjamin kehidupan keluarga mereka, menambah daya kekuatan mereka dengan menggembleng semua perajurit dengan ilmu-ilmu perang, tidak pelit membagi-bagi hadiah, pandai menghargai jasa setiap orang perajurit. Juga kaisar ini merangkul rakyat, memperhatikan kehidupan rakyat jelata, menyuburkan perdagangan dengan membuka pintu selebarnya.

   Dia membangkitkan semangat membangun dalam segala bidang karena semangat rakyat harus disalurkan dan penyaluran yang paling sehat dan menguntungkan bangsa hanyalah semangat membangun! Di samping itu, Kaisar Thai-cu juga menggunakan tangan besi untuk menertibkan keamanan, menjaga ketenteraman kehidupan rakyat dan menumpas semua golongan yang sifatnya hanya menjadi perusak dan penghalang pembangunan.

   Pada masa itu, gangguan yang terbesar bagi kerajaan baru Beng-tiauw adalah rongrongan orang-orang Mongol yang tentu saja masih merasa penasaran dan ingin menegakkan kembali kekuasaan mereka yang hancur. Mereka melakukan gangguan di sepanjang perbatasan barat dan utara.

   Di samping gangguan dari orang-orang Mongol ini, yang tidak segan-segan mempergunakan segala daya untuk bersekutu dan membujuk pejabat-pejabat daerah untuk memberontak, juga pemerintah menghadapi rongrongan dari para bajak laut yang merajalela di lautan timur. Mereka ini kebanyakan adalah orang-orang Jepang yang terkenal sebagai bajak laut yang tangguh.

   Karena sukar untuk membasmi bajak laut ini yang mempunyai daerah pelarian yang luas di lautan apabila dikejar, Kaisar Thai-cu bersama para penasihatnya memperlihatkan perhatian yang serius terhadap keadaan rakyat di pantai-pantai yang menjadi sasaran para bajak laut. Para penduduk pantai itu ditampung dan dlpindahkan ke daerah pedalaman sehingga menyulitkan para bajak laut untuk mengganggu mereka.

   Demikianlah, di bawah pimpinan Kaisar Thai-cu yang bijaksana, tentu saja sebagian besar rakyat mendukungnya dan Kerajaan Beng (Terang) menjadi benar-benar gemilang. Tensu saja, tidak ada yang sempurna di dunia yang dwimuka ini. Demikian pula dengan keberhasilan yang dicapai Kaisar Thal-cu. Ada saja

   Golongan yang merasa tidak puas. Mereka ini sebagian besar adalah mereka yang di waktu pemerintahan penjajah berhasil menduduki pangkat yang tinggi dan kehidupan yang mewah dan mulia. Setelah Kerajaan Goan-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mongol runtuh, runtuh pula kedudukan mereka, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perang, sebagal pihak yang membela kerajaan penjajah yang kalah.

   Ada pula golongan yang tidak puas kerena merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kemenangan pemerintah Beng-tiauw. Ada pula golongan hitam dan kaum sesat yang merasa tersudut karena pemerintah menggunakan tangan besi menentang kejahatan dan memberi hukuman berat kepada para pengacau. Adapula pejabat daerah yang merasa bahwa jasanya lebih besar dari pada kedudukan yang mereka peroleh sehingga mereka ini condong untuk merasa tidak puas dan mudah dihasut golongan yang tidak suka kepada pemerintah baru.

   Golongan-golongan itulah, orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan negara dan bangsa, yang mudah dibujuk oleh orang-orang Mongol untuk meagadakan persekutuan! Akan tetapi, golongan rakyat yang menentang pemerintahan ini diimbangi dengan golongan para pendekar yang mendukung pemerintah!

   Maka bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan yang saling bertentangan, yaitu perkumpulan golongan sesat atau para penjahat yang dipergunakan oleh para pembesar yang berniat memberontak, dan golongan para pendekar yang membantu pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Tentu saja golongan para pendekar ini mendapatkan dukungan rakyat jelata yang tidak ingin melihat kehidupan mereka dirusak kembali oleh para pengacau. Juga mereka baru saja terbebas dari perang yang amat mengerikan dan menjatuhkan banyak korban, dan mereka tidak ingin timbul perang baru yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata belaka.

   Pada suatu pagi, dua orang wanita cantik mendayung perahu mereka yang kecil mungil ke darat sungai Kuning di sebelah utara kota besar Lok-yang. Mereka, menarik. perahu ke darat. memanggil seorang diantara para nelayan yang berada di pantai.

   "Paman, maukah engkau menyimpan perahu ini untuk kami? Boleh paman pakai untuk keperluan paman, akan tetapi sewaktu-waktu kami datang membutuhkannya, paman harus mengembalikan kepada kami," kata wanita yang muda. Nelayan itu memandang heran, akan tetapi karena perahu itu biarpun kecil cukup kokoh dan indah, dia mengangguk.

   "Baiklah, nona. Biar anakku yang merawatnya dan dia pula yang menggunakan untuk sekadar mencari ikan, Namaku A Liok, nona. Kelak kalau nona hendak mengambilnya kembali, tanyakan saja kepada orang di sini."

   Gadis itu mengangguk, kemudian dua orang wanita yang cantik itu pergi meninggalkan pantai sungai, menuju ke barat, melalui jalan raya yang menuju ke kota Lok-yang.

   Dua orang wanita itu adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan Tang Bwe Li! Setahun lebih yang lalu, mereka datang ke Pek-in-kok dan Si Dewi Ular itu telah berhasil membunuh Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, walaupun ia sendlri juga terluka parah. Namun, sekarang ia telah sembuh sama sekali dan biarpun usianya kini sudah empatpuluh tahun lebih, Cu Sui In masih nampak cantik jelita seperti belum ada tigapuluh tahun usianya.

   Rambutnya masih digelung tinggi, dan rambut itu masih hitam panjang, gelungnya model sanggul para puteri bangsawan dengan dihias emas perrnata berbentuk burung Hong dan bunga teratai. Pakaiannya juga indah, terbuat dari sutera mahal berkembang dan wajahnya yang cantik jelita itu bertambah cantik dengan olesan bedak tipis dan pemerah bibir dan pipi. Alisnya kecil melengkung dan hitam karena ditata dengan cukuran dan penghitam alis, sepasang matanya, tajam dan mengandung sesuatu yang dingin dan menyeramkan.

   Hidungnya mancung, akan tetapi yang paling menggairahkan hati pria adalah mulutnya. Mulut itu memang indah bentuknya, bahkan tanpa pemerah bibirpun sebetulnya sepasang bibir itu sudah merah membasah karena sehat, sepasang bibir yang hidup dan dapat bergerak-gerak pada ujungnya, penuh dan tipis lembut.

   Akan tetapi semua kecantikan itu menjadi keren dengan adanya sebatang pedang yang bergagang dan bersarung indah tergantung di punggungnya, tertutup buntalan pakaian dan sutera kuning.

   Tang Bwe Li yang kini berusia duapuluh tahun, tidaklah secantik dan seanggun gurunya yang kini menjadi sucinya itu. Namun, dara ini jauh lebih manis! Lesung di pipinya, kerling tajam pada matanya, senyum sinis pada mulutnya, hidung yang dapat kembang kempis itu, ditambah gayanya yang lincah jenaka dan galak, membuat hati setiap orang pria yang melihatnya menjadi gemas-gemas sayang.

   Beberapa bulan yang lalu, Tang Bwe Li atau yang biasa dipanggil Lili, pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Himalaya di mana suhunya, See-thian Coa-ong Cu Kiat dan sucinya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In, tinggal. Dara ini telah melakukan perjalanan seorang diri untuk mencari Dewa Arak dan muridnya, anak laki-laki yang pernah menampari pinggulnya sampai panas dan merah, yang tidak diketahui namanya akan tetapi amat dibencinya itu.

   Ia hendak mewakili sucinya yang sedang mengobati luka dalam karena tendangan Pek-mau-sian. Akan tetapi, Lili tidak berhasil menemukan Dewa Arak di Pek-in-kok. Ia hanya melihat dua buah makam, yaitu makam Kiam-san dan Pek-mau-sian. Ia mencari ke sekitar lembah itu, namun sia-sia dan dengan marah-marah terpaksa ia kembali ke rumah suhunya dan melapor kepada sucinya.

   Dewi Ular juga menjadi kecewa sekali, maka setelah ia sembuh sama sekali, ia mengajak sumoinya turun gunung. Mereka berdua selain hendak mencari Dewa Arak dan muridnya, juga ingin memenuhi pesan See-thian Coa-ong Cu Kiat. Datuk ini sudah mendengar Akan perubahan besar yang terjadi sejak penjajah Mongol diusir dari Cina. Dia merasa sudah tua dan tidak semestinya mengasingkan diri di Pegunungan Himalaya.

   "Sekarang tiba waktunya bagi kita untuk mencari kedudukan, karena kaisarnya adalah bangsa sendiri." katanya.

   "Apakah ayah bercita-cita untuk menjadi seorang pembesar?" tanya Dewi Ular heran.

   "Ha..ha..ha, siapa ingin menjadi pejabat? Kalau menjadi pejabat, aku harus menjadi kaisar! Ah, tidak, Sui In. Kita adalah orang-orang dunla persilatan. Aku mendengar bahwa sekarang para orang gagah di dunia kang-ouw, mendapat angin baik dari pemerintah yang baru. Aku ingin menjadi beng-cu (pemimpin) dari rimba persilatan!"

   "Suhu, dalam perjalananku mencari Dewa Arak, akupun mendengar bahwa tahun ini, pada akhir tahun, akan ada pertemuan besar antara para pimpinan partai persilatan, dan mungkin dalam pertemuan itu akan dilakukan pemilihan ketua atau pemimpin baru," kata Lili.

   "Bagus! Akhir tahun masih lama, masih sembilan bulan lagi. Kalian berangkatlah lebih dulu, menyusun kekuatan dan sedapat mungkin membentuk sebuah perkumpulan yang kuat untuk menjadi anak buah kita. Kelak, pada saatnya, aku akan muncul di tempat pertemuan puncak itu. Bwe Li, di mana pertemuan itu diadakan? Biasanya, pertemuan semacam itu diadakan di Thai-san "

   "Menurut yang kudengar memang akan diadakan di puncak Thai-san, suhu," kata gadis itu.

   "Nah, kalau begitu, kalian berangkatlah. Menurut sejarah, dahulu perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan yang amat kuat dan memiliki anak buah paling banyak di antara semua perkumpulan. Bahkan partai pengemis di utara pernah menjadi penghalang bagi penjajah Mongol ketika hendak menyerbu ke selatan. Akan tetapi, karena adanya pengkhianatan di antara para pimpinan, partai pengemis dapat dikuasai orang-orang Mongol dan akhirnya diadu domba dan pecah belah. Bahkan ketika jaman penjajahan Mongol, partai itu dilarang sehingga anak buahnya cerai berai. Sekarang, setelah penjajah lenyap, kurasa mereka tentu membangun kembali partai pengemis. Kalau kalian dapat menguasai mereka, kalau kalian dapat menjadi pimpinan kai-pang (partai pengemis), tentu kedudukan kita akan menjadi kuat dan disegani."

   Demikianlah, dua orang wanita itu melakukan perjalanan dan pada pagi hari itu, mereka turun dari perahu dan menuju ke Lok-yang. Mereka mendengar dalam perjalanan mereka bahwa memang kini kai-pang mulai nampak kuat kembali, di mana-mana diadakan persatuan pengemis dan pusatnya berada di tiga tempat.

   Pengemis utara berpusat di Pe-king, pengemis barat berpusat di Lok-yang dan pengemis timur dan selatan berpusat di Nan-king, kota raja. Itulah sebabnya, dua orang wanita itu kini menuju ke Lok-yang. Kalau saja mereka dapat menguasai cabang barat di Lok-yang ini, akan memudahkan mereka menuju kepada kedudukan puncak yang berpusat di Nan-king.

   Ketika mereka memasuki Lok-yang, Lili yang jarang melihat kota besar, menjadi kagum. Kota Lok-yang merupakan bekas kota raja, maka selain besar dan ramai, juga indah, banyak bangunan indah bekas istana di sana, juga gedung-gedung besar yang dahulu menjadi tempat tinggal para pembesar tinggi. Toko-toko besar penuh barang dagangan, juga terdapat banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar.

   Akan tetapi, setelah berjalan-jalan di kota itu, Sui In yang tidak heran melihat keramaian kota karena ia sudah sering berkunjung ke kota-kota besar, berkata.

   "Sungguh luar biasa!"

   "Apanya yang luar biasa, suci? Memang kota ini ramai dan indah......"

   "Bukan itu maksudku. Coba kaulihat sumoi, tidak ada seorangpun pengemis nampak di kota ini. Pada hal, menurut keterangan, Lok-yang merupakan pusat dari para pengemis daerah barat."

   "Ah, benar juga, suci. Tentu telah terjadi sesuatu, atau mungkin mereka itu sudah pindah ke kota lain?"

   "Andaikata benar mereka pindahpun, kenapa di kota besar seperti ini tidak nampak seorangpun pengemis? Ini sungguh aneh!" kata Dewi Ular. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan. Karena baru saja mereka melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, mereka beristirahat siang itu dan setelah mandi sore, Dewi Ular mengajak sumoinya untuk keluar mencari makanan dan juga untuk berjalan-jalan melihat keadaan dan menyelidiki tentang para pengemis.

   Kota Lok-yang di malam hari memang makin semarak. Toko-toko dibuka dengan lampu-lampu gantung yang terang, juga jalan raya diterangi lampu-lampu. Banyak orang lalu lalang, berjalan-jalan atau berbelanja di toko, di warung-warung, bahkan di taman kota yang indah, yang di waktu jaman penjajahan hanya untuk kaum bangsawan atau pembesar saja, kini dibuka untuk umum dan ramai sekali.

   Dua orang wanita itu ikut merasa gembira dengan ramainya suasana. Langit cerah dan bulan mulai muncul membuat suasana semakin gembira. Sui In dan Bwe Li kini duduk di sebuah kedai nasi, duduk di meja paling luar sambil menonton keramaian di jalan raya, memesan makanan dan air teh.

   Selagi mereka makan, tiba-tiba Bwe Li menyentuh lengan sucinya dan dengan pandang mata ia memberi isyarat ke sebelah kanan. Sui In menengok dan ia melihat seorang pengemis datang rnenghampiri kedai itu.

   Seorang pengemis yang usianya sekitar tigapuluh tahun, tubuhnya tegap dan sehat, pakaiannya serba hitam, bahkan rambutnya yang panjang juga diikat dengan pita hitam. Melihat perawakannya, sungguh tidak pantas seorang pria muda yang masih kuat dan tidak cacat itu menjadi pengemis! Juga gerak-geriknya tidak seperti orang pemalas, melainkan sigap dan langkahnya lebar. Akan tetapi, wajahnya membayangkan kekerasan dan matanya liar.

   Dua orang wanita itu kini menunda makan dan mengikuti gerak gerik pengemis itu dengan pandang mata mereka. Pengemis muda itu kini menghampiri sebuah meja paling depan dekat pintu kedai, di mana duduk tiga orang laki-laki yang sedang makan bakmi.

   "Tuan-tuan, bagilah sedikit rejeki untukku dan, beri sedekah untukku." kata pengemis itu, sikap dan suaranya angkuh seperti orang menagih hutang saja.

   Tiga orang yang sedang makan itu nampak terganggu, akan tetapi yang paling tua di antara mereka agaknya tidak ingin ribut-ribut, mengambil sepotong uang kecil dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada si pengemis. Pengemis baju hitam itu menerima uang kecil, mengamatinya dan diapun mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang itu dengan marah.

   "Kalian hanya memberi sekeping tembaga ini? Untuk membeli semangkok bakmi juga tidak cukup! Kalian berani menghinaku, ya?" Pengemis itu membanting uang kecil itu ke atas meja. Uang itu menancap di meja depan tiga orang itu yang menjadi terkejut sekali.

   Pria yang tertua itu berkata.

   "Engkau tidak mau diberi sebegitu? Lalu, berapa yang kauminta?"

   Pengemis itu menggapai ke arah pelayan yang kebetulan berada di dekat situ, lalu dia bertanya.

   "Coba hitung, berapa harga semua hidangan tiga orang ini."

   Pelayan itu memandang heran. Benarkah pengemis ini hendak membayar makanan tiga orang itu maka menanyakan harganya? Dia menghitung-hitungkan lalu berkata.

   "Semua sekeping uang perak," jawabnya.

   Pengemis itu lalu menjulurkan tangannya ke arah tiga orang tamu itu.

   "Nah, berikan sekeping perak kepadaku!"

   Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mana ada pengemis minta sedekah sebanyak harga makanan mereka bertiga? Dengan paksaan pula! Dan pelayan itupun kini mengerti bahwa pengemis baju hitam ini mencari gara-gara. Pada waktu itu. keadaan kota Lok-yang aman dan hampir tidak pernah ada gangguan kejahatan. Hal ini membuat pelayan itupun berani menentang, merasa bahwa ada pasukan keamanan di Lok-yang.

   "Bung, harap jangan memaksa dan membuat ribut di kedai ini, jangan mengganggu tamu kami." bujuknya.

   Pengemis baju hitam itu menoleh. memandang kepada pelayan itu, lain tangannya meraih ujung meja, mencengkeramnya dan ujung meja dari kayu keras itu remuk dalam cengkeraman si pengemis! "Apakah kepalamu lebih keras dari pada kayu meja ini?" katanya lirih namun penuh seram.

   Pelayan itu mundur dengan muka pucat, dan tiga orang tamu juga menjadi pucat. Tamu tertua segera mengambil sekeping perak dan menyerahkannya kepada pengemis itu. Tanpa bicara lagi, pengemis itu menerima uang sekeping perak, lalu meninggalkan meja itu. Ketika dia memandang kepada Sui In dan Bwe Li, matanya terbelalak dan mulut yang tadinya kaku dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar secara kurang ajar. Dia kini menghampiri meja Sui In dan Bwe Li.

   Agaknya sikap pengemis muda itu semakin berani ketika dia melihat wanita cantik yang lebih tua memandang kepadanya dengan tenang dan tidak malu-malu, sedangkan gadis yang manis itu bahkan memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum!

   "Aih, nona-nona yang cantik manis seperti bidadari kahyangan, berilah sedekah kepadaku, kudoakan semoga kalian semakin cantik dan semakin menggairahkan!" kata pengemis itu. Sikap dan suaranya sama sekali bukan lagi seperti seorang pengemis yang minta-minta, melainkan seperti seorang laki-laki mata keranjang menggoda wanita.

   Sui In tidak sudi melayani orang itu dan melanjutkan makan dan seolah-olah pengemis itu hanya seekor lalat saja. Akan tetapi Bwe Li yang diam-diam menjadi marah karena pengemis itu berani mengeluarkan ucapan kurang ajar terhadap ia dan sucinya, bertanya.

   "Hemm apa yang kau minta, pengemis?"

   Kalau tadi pengemis itu memperlihatkan kekerasan dan paksaan ketika minta kepada tiga orang tamu, Sui In dan Bwe Li hanya memandang saja dan sama sekali tidak perduli. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi sekarang, pengemis itu langsung mengganggu mereka!

   Pengemis itu tersenyum semakin lebar dan matanya bermain dengan kedipan penuh arti.

   "Perhiasan di rambut enci itu indah sekali, berikan kepadaku sebagai sedekah." Katanya sambil memandang kepada perhiasan burung hong dan teratai terbuat dari emas permata di rambut Sui In.

   Bwe Li mendongkol bukan main. Perhiasan sucinya itu adalah sebuah benda yang amat mahal harganya, apa lagi itu pemberian suhunya dan menurut sucinya, benda itu dahulu pernah menjadi perhiasan rambut seorang puteri kaisar Jenghis Khan dari Kerajaan Mongol. Maka, selain mahal, juga benda itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dan kini seorang jembel minta benda ini begitu saja sebagai sedekah!

   Ingin Bwe Li tertawa karena menganggap hal ini amat lucu. Ia melirik kepada sucinya yang masih tenang dan enak-enak makan saja, maka ia tahu bahwa sucinya tidak sudi melayani pengemis itu.

   "Kalau tidak kami berikan, lalu kau mau apa?" tanya Bwe Li, mengira bahwa pengemis itu tentu akan menjual lagak lagi dengan mempertontonkan kekuatan tangannya mencengkeram hancur ujung meja. Akan tetapi, sekali ini pengemis itu agaknya tidak ingin menunjukkan kehebatannya. Dia mendekatkan mukanya kepada Bwe Li dan berkata lirih,

   "Kalau tidak kalian berikan, boleh sebagai gantinya engkau ikut dengan aku dan melayaniku semalam ini, nona manis."

   Bwe Li terbelalak. Mukanya berubah merah dan terasa panas bukan main. Akan tetapi hanya sebentar. Ia sudah menerima gemblengan seorang datuk besar seperti See-thian Coa-ong, maka tentu saja la sudah dapat menguasai perasaannya.

   "Haii, kalian lihat ada monyet menari-nari!" teriaknya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menggerakkan sisa kuah yang berada di mangkoknya. Kuah itu mengandung saos tomat dan bubuk merica yang pedas.

   Demikian cepatnya gerakan tangan Bwe Li sehingga sama sekali tidak disangka oleh si pengemis dan dia tidak sempat mengelak. Kuah dengan sambalnya itu tepat mengenai mukanya, memasuki hidung dan matanya.

   Dan seketika pengemis baju hitam itu berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari-nari, persis seperti yang diteriakkan Bwe Li atau Lili tadi! Semua orang menengok dan terdengar ada yang tertawa, terutama sekali tiga orang yang tadi kena diperas sekeping perak oleh si pengemis.

   Hanya orang yang pernah terkena merica pada mata dan hidungnya yang dapat menceritakan bagaimana rasanya. Pengemis itu berjingkrak-jingkrak, menggosok mata dan hidungnya, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, lalu berbangkis-bangkis dengan air mata bercucuran. Makin digosok, makin pedas rasa matanya dan makin hebat "tangisnya".

   Saking nyeri, pedih dan panasnya, dia membuat gerakan seperti monyet menari-nari, berlenggang-lenggok dengan kaki naik-turun, tubuh berputar-putar dan kedua lengan membuat gerakan yang lucu dan aneh-aneh. Akhirnya, dibawah suara tawa para penonton, pengemis itu dapat membuka matanya yang menjadi merah, juga semua merica agaknya sudah keluar melalui bangkis-bangkis tadi, akan tetapi alr matanya masih bercucuran dari kedua mata yang masih terasa panas dan pedas! Dia memandang kepada Lili dengan mata mendelik, walaupun harus sering berkedip menahan pedas!.

   Lili dan Sui In masih melanjutkan makan, bahkan Sui In sudah selesai dan Lili juga sudah hampir selesai. Pengemis itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah dan para penonton sudah tidak berani tertawa lagi, dan kini memandang dengan hati tegang. Apa lagi mereka yang tadi melihat betapa kuat tangan pengemis itu menghancurkan ujung meja. Mereka mengkhawatirkan nasib dua orang wanita cantik itu.

   Mendengar suara gerengan itu, Lili menoleh memandang.

   "Ih, anjlng geladak ini sungpuh tak tahu aturanl" kata Lili sambil tersenyum mengejek.

   "Sudah diberi kuah, masih tidak puas dan menggereng-gereng minta lagi. Cepat pergilah dari sini, memualkan perut dan mengurangi selera makan saja. Kau bau!"

   Dapat dibayangkan betapa marahnya pengemis baju hitam itu. Dia menggereng lagi dan dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan terbuka, dia menubruk ke arah Lili, hendak menangkap wanita itu. Lili tidak bangkit dari duduknya, hanya kakinya mencuat dengan kecepatan kilat ketika tubuh orang itu sudah dekat dan kedua tangan itu sudah hampir menyentuh pundaknya.

   "Ngekkkl" Ujung sepatu itu tepat memasuki perut di bawah ulu hati dan tubuh si pengemis baju hitam terjengkang, dan pantatnya terbanting keras ke atas tanah. Sejenak dia hanya mampu bangkit duduk, tangan kiri menekan perut yang seketika terasa mulas, dan tangan kanan meraba-raba pantat yang nyeri karena ketika terbanting tadi, pantatnya menjatuhi sebuah batu sebesar kepalan tangan.

   Dia menyeringai, akan tetapi seringainya tidak seperti tadi ketika dia menggoda dua orang wanita itu. Dia menyeringai kesakitan, akan tetapi juga bercampur kemarahan. Orang yang biasa mengagulkan diri sendirl memang tidak tahu diri, selalu meremehkan orang lain sehingga pelajaran yang diterimanya tadi tidak cukup membuat dia sadar, bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran.

   "Keparat, kubunuh kau ......!" bentaknya dan kini tangannya sudah memegang sebatang golok kecil yang tadi disembunyikan di bawah bajunya. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar menyambar dari samping, ke arah muka pengemis itu.

   "Crottt ...... aughhhh .....!" Pengemis itu terpelanting, goloknya terlepas dan kedua tangannya meraba mukanya dengan mata terbelalak. Sebatang sumpit bambu telah menembus muka dari pipi kanan ke pipi kiri! Sumpit itu memasuki kulit pipi, menembus geraham kanan sampai keluar dari kulit pipi yang lain sehingga muka itu seperti disate!

   "Suci .....!" kata Lili memandang sucinya.

   "Aku mendahului, agar engkau tidak membunuhnya. Kita butuh keterangan darinya ........."

   Tiba-tiba dua orang wanita itu terkejut mendengar pengemis itu mengeluarkan suara aneh. Ketika mereka memandang, tubuh pengemis itu berkelojotan dalam sekarat. Tentu saja Sui In kaget. Ia tadi menyerang dengan sambitan sumpit tidak dengan niat membunuh dan ia yakin bahwa orang itu hanya terluka dan tidak akan mati. Kenapa kini tahu-tahu orang itu berkelojotan sekarat? Tentu ada penyerang lain, pikirnya.

   Akan tetapi pada saat itu, muncul dua orang pengemis berpakaian hitam. Mereka adalah orang-orang yang berusia kurang lebih limapuluh tahun, sikap mereka berwibawa dan gerakan mereka ringan karena tahu-tahu mereka telah berkelebat dan muncul di situ. Mereka memandang ke arah tubuh pengemis yang berkelonjotan, lalu mereka menghadapi Cu Sui In dan Tang Bwe Li, mengamati dua orang wanita itu sejenak, kemudian mereka menghampiri meja dua orang wanita itu.

   "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang merobohkan dia?" tanya seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus sambil menuding ke arah tubuh pengemis yang masih berkelonjotan.

   "Aku yang melukainya dengan sumpit," kata Sui In tenang dan suaranya acuh saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang perlu diributkan.

   Lili yang galak segera berkata pula.

   "Anjing geladak ini perlu dihajar. Apakah kalian pemeliharanya? Kenapa tidak kalian ajar adat kepadanya?"

   Dua orang pengemis tua itu saling pandang, kemudian mereka melangkah maju mendekat. Si tinggi kurus mengangkat kedua tangan depan dada, sedangkan orang ke dua yang bertubuh gemuk pendek juga mengangkat kedua tangan depan dada. Mereka lalu memberi hormat kepada Sui In dan Lili.

   "Kami dari Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) mohon maaf kepada nona," kata si tinggi kurus.

   "Kami berterima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada anggauta kami," kata si gemuk pendek. Dua orang pengemis tua itu memberi hormat. Sui In dan Bwe Li tersenyum mengejek. Tanpa berdiri, sambil duduk, mereka. pun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membalas penghormatan itu.

   Dua orang pengemis itu tadi bukan sembarang menghormat saja, melainkan mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan melalui lengan mereka dan ketika mereka menggerakkan tangan memberi hormat. Sebetulnya mereka telah melakukan penyerangan jarak jauh untuk menguji kepandaian dua orang wanita yang telah merobohkan anak buah mereka itu. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika dari gerakan tangan kedua orang wanita itupun menyambar tenaga dahsyat yang menyambut tenaga mereka dan membuat tenaga mereka membalik dan merekapun terhuyung!

   Pada saat itu, terdengar suara orang.

   "Ciangkun lihat saja, di mana-mana anggauta pengemis Baju Hitam membikin kekacauan!"

   Nampak serombongan orang datang ke tempat itu. Pasukan yang terdiri dari belasan orang dikepalai seorang perwira datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang juga mengenakan pakaian tambal-tambalan. Akan tetapi pakaiannya bukan berwarna hitam seperti pengemis yang lain, melainkan berkembang-kembang! Dialah yang tadi bicara dengan lantang kepada komandan pasukan kecil itu.

   Melihat yang datang rombongan penjaga keamanan, dua orang pengemis baju hitam yang sudah dapat menguasai diri mereka karena terkejut mendapat sambutan dua orang wanita itu, lalu memberi hormat kepada komandan pasukan dan pengemis baju kembang.

   "Sobat dari Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), kenapa menuduh yang bukan"bukan kepada kami segolongan?" kata pengemis baju hitam yang tinggi kurus.

   Pengemis baju kembang yang tinggi besar dan bermuka hitam itu tersenyum mengejek.

   "Sobat-sobat dari Hek I Kai-pang, aku bukan menuduh yang tidak-tidak kepada orang segolongan. Akan tetapi, semua orang di kedai ini tahu belaka betapa anggauta kalian ini tadi memaksa ketika minta sedekah, kemudian bahkan menggoda dua orang nona ini. Bukankah itu berarti bahwa para pengemis Hek I Kai-pang adalah orang-orang yang suka membuat kekacauan?"

   Dua orang pengemis baju hitam memandang ke sekeliling dan melihat betapa semua orang mengangguk dan membenarkan ucapan pengemis baju kembang, mereka menghela napas dan pengemis tinggi kurus berkata,

   "Anggauta perkumpulan kami telah membuat kesalahan. Akan tetapi dia sudah menebus dengan nyawanya, sudah terhukum. Biarlah ini menjadi peringatan bagi kami agar kami lebih ketat mengawasi anak buah kami. Ciangkun, maafkan, kami akan membawa pergi mayat anggauta kami."

   Setelah berkata demikian, si gemuk pendek memondong tubuh pengemis yang telah mati itu, dan setelah keduanya memandang sejenak kepada Sui In dan Bwe Li, mereka lalu pergi dari situ dengan cepat.

   "Ciangkun, seharusnya mereka berdua tadi ditangkap saja untuk dihadapkan ke pengadilan." kata pengemis baju kembang kepada perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan.

   Perwira itu menggeleng kepala.

   "Yang bersalah sudah mati. Dua orang pengemis baju hitam itu tidak melakukan kesalahan apapun, bagaimana kami dapat menangkapnya? Sudahlah, selama ini tidak ada pengemis baju hitam yang membuat kekacauan."

   Sui In segera membayar harga makanan, dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk cepat meninggalkan tempat itu. Ketika sucinya mengajak ia berlari menyelinap dalam kegelapan, Bwe Li bertanya lirih.

   "Ada apakah, suci?"

   "Ssttt, kita membayangi para pengemis baju hitam itu," kata Sui In. Mereka berdua mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan sebentar saja mereka telah dapat menyusul dua orang pengemis baju hitam yang memondong tubuh anak buah mereka yang telah menjadi mayat itu.

   Dua orang baju hitam itu keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah barat dan kurang lebih tiga li kemudian dari kota, mereka memasuki sebuah perkampungan di mana terdapat rumah-rumah yang cukup besar. Kiranya Hek I Kai-pang mempunyai perkampungan para pengemis baju hitam di situ, dan di tengah perkampungan berdiri sebuah gedung yang cukup besar dan cukup megah, dikelilingi rumah-rumah yang lebih kecil.

   Ketika dua orang pengemis itu masuk memondong mayat seorang pengemis baju hitam, gegerlah perkampungan itu. Mereka semua mengikuti dua orang pengemis itu menuju ke gedung besar dan memasuki ruangan yang luas di mana telah menunggu ketua mereka yang sudah lebih dulu dlberitahu.

   Karena mereka semua mencurahkan perhatian kepada dua orang pengemis yang memondong mayat seorang rekan mereka, maka para pengemis baju hitam itu menjadi lengah. Hal ini tentu saja memudahkan Sui In dan Lili yang mempergunakan ilmu kepandaian mereka menyelinap memasuki perkampungan itu dan mereka sudah mengintai ke dalam ruangan dari atas atap.

   Lebih dari duapuluh orang berada di ruangan itu. tentu mereka ini adalah tokoh-tokoh Hek I Kai-pang, pikir Sui In, karena ia melihat betapa lebih banyak lagi pengemis yang berada di luar ruangan itu. Di sebuah kursi yang agak tinggi duduk seorang kakek pengemis yang usianya kurang lebih enampuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan wajahnya membayangkan kegagahan, mukanya berbentuk persegi dan matanya lebar, kumis dan jenggotnya teratur rapi walaupun pakaiannya sederhana sekali, yaitu dari kain berwarna hitam. Kalau ada perbedaan dengan para anak buahnya, perbedaan itu hanya karena di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam yang panjangnya tiga kaki dan besarnya seibu jari kaki.

   "Ceritakan apa yang terjadi," kata ketua itu kepada dua orang pengemis yang tadi membawa mayat pengemis muda berbaju hitam ke dalam ruangan itu. Mayat itu kini rebah telentang di depan mereka.

   Si pengemis tinggi kurus bercerita singkat.

   "Ketika kami berdua lewat di depan kedai nasi itu, kami melihat anak buah kita ini dirobohkan seorang di antara dua wanita yang sedang makan di kedai. Kami mendekat dan ternyata dia ini sudah berkelonjotan sekarat, kedua pipi ditembusi sebatang sumpit. Dengan hati"hati kami menguji kepandaian mereka dan ternyata mereka itu amat lihai. Dalam menguji dengan sin-kang (tenaga sakti), kami bukan tandingan dua orang wanita itu. Dan pada saat itu, sebelum kami bergerak lebih jauh, muncul Lui-pangcu (ketua Lui), seorang di antara tokoh Hwa I Kai-pang. Dia datang bersama sepasukan penjaga keamanan dan dia menuduh kita sebagai kai-pang yang suka membikin kacau. Bahkan kemudian dia mengatakan bahwa anak buah kita ini telah melakukan pemerasan di kedai itu, dan mengganggu kedua orang tamu wanita itu. Semua orang yang berada di sana membenarkan keterangan itu, maka kami segera minta maaf dan membawa jenazah ini ke sini untuk menerima petunjuk dari pangcu (ketua)."

   Pengemis tinggi besar itu adalah ketua umum dari Hek I Kai-pang. Namanya Souw Kiat dan dialah ketua umum yang menguasai seluruh anggauta Hek I Kai-pang di daerah barat dan merupakan seorang di antara empat pemimpin kai-pang terbesar di empat penjuru. Sikapnya tenang dan berwibawa, dan mendengar laporan itu tidak timbul emosinya. Dia tetap tenang, lalu memandang ke arah mayat yang rebah di atas lantai.

   "Hemm, sumpit yang menembus kedua pipi itu tidak mungkin membunuhnya. Ji-pangcu (ketua Ji ), coba periksa, apa yang menyebabkan dia mati," perintah ketua umum itu kepada seorang di antara ketua cabang yang dia tahu ahli dalam hal pengobatan.

   Seorang pengemis tua bertubuh kurus kering segera berjongkok dan memeriksa jenazah itu. Diperiksanya muka yang ditembusi sumpit dari pipi yang satu ke pipi yang lain itu dan dia membenarkan pendapat ketua umum bahwa sumpit itu bukan yang menyebabkan kematian. Dia lalu merobek baju di bagian dada untuk memeriksa. Dan, tepat di bawah, tenggorokan, di dada bagian atas, nampak tanda seperti tiga bintik kecil yang warnanya biru menghitam.

   "Pangcu, yang menyebabkan kematiannya adalah tiga batang jarum yang menembus bajunya dan memasuki dadanya," Ji-pangcu melapor kepada atasannya.

   "Hemm, melihat sumpit itu, jelas bahwa penyambitnya seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi kenapa ia menggunakan jarum beracun pula untuk membunuhnya? Kalau sambitan itu dinaikkan sedikit saja, tentu orang inipun akan tewas seketika!" kata Souw-pangcu dengan alis berkerut.

   Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dl tengah ruangan itu sudah berdiri dua orang wanita cantik. Melihat Sui In dan Bwe Li, dua orang pengemis yang tadi membawa jenazah itu pulang, terkejut bukan main.

   "Kami tidak menggunakan jarum beracun!" kata Sui In dengan suara lantang namun lembut.

   Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pangcu..... mereka ..... mereka inilah dua orang tamu di kedai itu .......," kata pengemis tinggi kurus.

   Souw Kiat sejenak memandang kepada dua orang wanita itu penuh perhatian dan diam-diam dia kagum dan terkejut. Dua orang wanita ini memasuki ruangan seperti siluman saja.

   Dia sendiri yang biasanya amat peka dan hati-hati, sama sekali tidak tahu akan kedatangan mereka. Dan mereka ini masih muda, wanita pula, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian luar biasa. Dia lalu membentak para pembantunya yang nampak siap siaga dengan sikap menantang ketika mendengar bahwa dua orang wanita ini pembunuh anak buah mereka.

   "Kalian semua mundur dan sediakan tempat duduk untuk kedua lihiap (pendekar wanita) ini!"

   Setelah berkata demikian, Souw Kiat lalu memberi hormat kepada Sui In dan Bwe Li, memberi hormat dengan sungguh, bukan seperti dua orang pembantunya tadi yang memberi hormat untuk menguji kekuatan.

   "Selamat datang di tempat tinggal kami, ji-wi li-hiap (pendekar wanita berdua). Saya Souw Kiat ketua Hek I Kai-pang, merasa girang sekali bahwa ji-wi sudi datang berkunjung. Tentu ji-wi akan memberi penjelasan tentang peristiwa yang terjadi di kedai nasi itu, bukan?"

   Melihat sikap gagah dan sopan dari ketua itu, baik Sui In maupun Bwe Li merasa senang dan tidak jadi marah yang tadi tlmbul melihat sikap para pimpinan pengemis di situ yang memandang marah dan siap mepgeroyok itu. Sui In mengangguk.

   "Bukan hanya memberi penjelasan, juga kami minta penjelasan tentang kai-pang pada umumnya." suara Sui In tenang, lembut namun penuh wlbawa.

   "Silakan duduk, ji-wi li-hiap," kata Souw Kiat yang disambungnya setelah mereka duduk.

   "Bolehkah kami mengetahui siapa nama ji wi dan dari partai mana?"

   "Cukup kau ketahui bahwa aku she Cu dan ini sumoi ku she Tang. Souw-pangcu, seperti diceritakan dua orang pembantumu tadi, pengemis ini tadi mengganggu kami di kedai nasi ketika kami sedang makan. Karena dia kurang ajar sekali, maka aku telah melukainya dengan sumpit. Akan tetapi, bukan aku yang membunuhnya dengan jarum beracun walaupun aku memiliki pula jarum beracun, dan untuk membuktikan, dapat dibandingkan jarumku dengan jarum yang membunuh itu."

   Tiba-tiba nampak tangan kiri Sui In bergerak, tidak terlihat ia melemparkan jarum, akan tetapi ketika semua orang memandang, di dada mayat yang bajunya masih terbuka itu nampak pula tiga titik baru di dekat tiga titik yang lama.

   Akan tetapi kalau tiga titik yang lama itu dikelilingi warna kehitaman pada tltik-tltik yang baru itu nampak jelas betapa kulit dan daging yang tertembus jarum itu mencair seperti terbakar! Tentu saja semua orang terkejut bukan main.

   "Ahhh ..... jarum-jarummu mengandung racun yang lebih dahsyat lagi, Cu-lihiap!" seru ketua itu.

   Sui In tersenyum dingin.

   "Ini hanya untuk membuktikan bahwa aku bukan pembunuh anak buahmu, pangcu. Dan sekarang, sebelum bicara lebih lanjut, aku ingin sekali mengetahui bagaimana pertanggungan jawabanmu kalau ada anak buahmu yang begini menjemukan, melakukan kekerasan ketika mengemis, dan mengganggu wanita, mengandalkan kepandaiannya yang masih amat dangkal itu!"

   Wajah Souw Kiat berubah kemerahan. Ucapan itu walaupun lembut, namun sungguh tajam seperti pedang menusuk ulu hatinya. Sinar matanya menjadi keras dan marah ketika dia memandang ke sekeliling, ke arah para pembantunya.

   "Kalian semua lihat baik-baik, anak buah siapa jahanam yang membikin malu nama Hek I Kai-pang ini!"

   Duapuluh empat orang ketua cabang itu segera menghampiri mayat dan melakukan pemeriksaan dengan teliti. Akan tetapi, satu demi satu mereka mundur lagi dan menggelengkan kepala. Akhirnya, duapuluh empat orangi itu semua menyangkal dan tidak ada yang mengakui mayat itu sebagai bekas anggauta mereka. Melihat ulah itu, Lili yang nakal dan galak lalu berkata kepada sucinya, cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

   "Suci, pernahkah engkau mendengar ada orang berani mengakui cacat cela dan kesalahannya? Aku sendiri belum pernah!"

   Sui In menjawab dengan suara dingin.

   "Yang berani melakukan pengakuan seperti itu hanyalah orang-orang gagah saja, sumoi."

   Mendengar ini, wajah Souw Kiat menjadi semakin merah. Matanya melotot dan dia memandang kepada dua orang wanita itu.

   "Ji-wi li-hiap, bukan watak kami untuk menyangkal kesalahan yang kami lakukan. Kalau para pembantuku ini mengatakan tidak, berarti memang tidak! Kami bukan pengecut! Akan tetapi kalau ji-wi tidak percaya, kamipun tidak dapat memaksa."

   Cu Sul In adalah seorang tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan-ia terkenal amat cerdik. Dengan tajam matanya tadi menatap semua wajah pimpinan para pengemis ketika mereka satu demi satu memeriksa mayat itu, dan iapun mengamati wajah Hek I Kai-pangcu dengan seksama.

   Ia percaya bahwa mereka memang tidak berpura-pura, dan ia teringat akan peristiwa yang terjadi di kedai itu. Sikap pengemis baju hitam yang tewas itu terlalu menyolok, terlalu berani dan tidak sesuai dengan kepandaiannya yang tidak berapa hebat, seolah-olah dia sengaja hendak menarik perhatian dengan perbuatan dan sikapnya yang jahat dan membuat kekacauan.

   Kemudian muncul pengemis baju kembang dan sepasukan penjaga keamanan yang agaknya sengaja memburukkan pengemis baju hitam. Dan pembunuhan rahasia terhadap pengemis yang mengacau itu! Semua itu merupakan serangkaian peristiwa yang kait mengait dan pasti ada apa-apanya.

   "Pangcu, apakah Hek I Kai-pang di Lok-yang mempunyai musuh-musuh?" tiba-tiba Sui In bertanya. Souw Kiat dan para pembantunya memandang wanita cantik itu dengan heran.

   SOUW KIAT lalu menggeleng kepala.

   "Sepanjang yang kami ketahui, Hek I Kai-pang tidak mempunyai musuh. Musuh kami hanyalah orang-orang Mongol, akan tetapi setelah mereka diusir, kami tidak mempunyai musuh. Kenapa li-hiap bertanya tentang itu ?"

   "Jawab sajalah," kata Sui In berwibawa.

   "Bagaimana dengan Hwa I Kai-pang? Apakah mereka bukan musuh Hek I Kai-pang?"

   Souw Kiat saling pandang dengan para pimpinan cabang.

   "Hwa I Kai-pang? Aih, lihiap, Hwa I Kai-pang adalah segolongan dengan kami. Mereka adalah rekan-rekan kami dan Hwa I Kai-pang adalah perkumpulan yang menguasai daerah timur, sedangkan kami menguasai daerah barat. Batasnya justeru di Lok-yang ini, maka di kota ini terdapat anggauta-anggauta kedua perkumpulan. Akan tetapi di antara kami tidak pernah ada permusuhan."

   "Hemm, kulihat tadi sikap pengemis baju kembang itu tidak bersahabat terhadap pengemis baju hitam. Bahkan dia memburukkan Hek I Kai-pang di depan umum dan di depan perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan." Sui In mendesak.

   Souw Kiat mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, terus terang saja, lihiap, memang ada persaingan di antara kami, maklum karena Lok-yang merupakan perbatasan. Kami sama-sama ingin agar hubungan kami lebih dekat dengan para penguasa, dan mendapat nama baik di kota sehingga banyak hartawan suka menderma kepada kami. Hanya persaingan, akan tetapi bukan permusuhan, tidak pernah terjadi bentrokan ...." dia berhenti dan mengamati wajah cantik itu.

   "Akan tetapi kenapakah, lihiap?"

   "Orang ini bukan anggauta Hek I Kai-pang akan tetapi dia memakai pakaian Hek I Kai-pang dan mengaku anggauta. Dia bersikap jahat dan membuat kekacauan di tempat umum yang ramai. Kemudian, dia dibunuh secara rahasia dan kebetulan sekali di sana muncul pasukan penjaga keamanan yang menyaksikan kejahatan yang dilakukan anggauta Hek I Kai-pang, diperkuat oleh pengakuan semua orang yang berada di sana. Nah, kalau orang ini benar bukan anggauta Hek I Kai-pang, kemungkinannya hanya satu, yaitu bahwa orang ini palsu sengaja dibayar oleh pihak yang ingin memburukkan nama Hek I Kai-pang, lalu membunuhnya agar dia tidak membocorkan rahasia itu."

   "Ahhh ....." Souw Kiat dan para pembantunya berseru kaget dan penasaran.

   "Tapi ...... tapi ......."

   "Souw pangcu, ceritakan, apakah di antara Hek I Kai-pang dan Hwa I Kai-pang terjadi perebutan sesuatu? Sekarang atau dalam waktu dekat ini?"

   Souw Kiat mengerutkan alisnya.

   "Tidak ada perebutan sesuatu atau ..... ah, mungkinkah? Dalam waktu dekat ini, sebulan lagi, seluruh kai-pang di empat penjuru memang sedang direncanakan mengadakan pertemuan besar dan kami semua sudah sepakat untuk mengangkat atau menunjuK seseorang untuk menjadi pemimpin besar kai-pang yang menjadi atasan atau penasihat dari semua ketua empat kai-pang terbesar di empat penjuru. Tapi ..........

   "

   "Souw-pangcu, ceritakan kepadaku tentang semua itu, tentang keadaan semua kai-pang dan apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu, dan siapa pula sekarang yang menjadi pemimpin besar kai-pang."

   Kini ketua Hek I Kai-pang mengubah sikapnya dan menatap tajam wajah Sui In. Kemudian, terdengar suaranya yang tegas.

   "Maaf, Cu-lihiap. Semua itu adalah urusan pribadi kai-pang, tidak ada sangkut-pautnya dengan lihiap. Kami tidak boleh bicara tentang urusan dalam kai-pang kepada orang luar. Dan pula, untuk apa lihiap hendak mengetahui semua itu? Tidak ada manfaatnya bagi lihiap."

   "Souw-pangcu. Ketahuilah bahwa aku telah mengambil keputusan untuk mendapat dukungan Hek I Kai-pang, bahkan mewakili Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti."

   Tentu saja ketua itu terkejut, dan para pembantunya juga memandang heran dan kaget.

   "Ah, apa maksud lihiap? Bagaimana mungkin lihiap sebagai orang luar dapat mewakili perkumpulan kami? Dan dukungan apa yang dapat kami berikan kepada lihiap?"

   "Tentu saja mungkin kalau memang engkau sebagai ketua Hek I Kai-pang menyetujui, pangcu. Aku dan sumoiku dapat saja menjadi anggauta rombongan Hek I Kai-pang dalam pertemuan rapat besar itu. Adapun dukungan yang kuminta itu agar Hek I Kai-pang mendukung dipilihnya calon yang akan kuajukan dalam rapat itu, yaitu calon pemimpin besar kai-pang!"

   Souw Kiat bangkit dari tempat duduknya, alisnya berkerut dan mukanya berubah merah. Juga para pembantunya banyak yang bangkit dan memandang kepada dua orang wanita itu dengan marah.

   "Cu-lihiap, permintaanmu itu sungguh tidak mungkin! Pemimpin besar kai-pang kelak akan mewakili kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu di dunia persilatan! Bagaimana seorang yang bukan pangemis dapat menjadi calon pemimpin besar kai-pang? Dan juga lihiap tidak berhak untuk mencampuri urusan kai-pang!"

   Sui In tersenyum dingin dan memandang kepada ketua itu dengan sinar mata tajam.

   "Souw Kiat, mengapa orang seperti engkau dapat diangkat menjadi ketua Hek I Kai-pang? Tentu karena di antara semua tokoh Hek I Kai-pang, engkau yang paling lihai bukan?"

   Souw-pangcu memandang tak senang.

   "Kalau benar begitu, apa hubungannya denganmu?"

   Sui In bangkit dengan tenang.

   "Kalau begitu, aku akan merebut kedudukan ketua Hek I Kai-pang dari tanganmu dengan mengalahkanmu! Kalau aku yang menjadi ketua, tentu aku akan dapat mencalonkan pilihanku itu untuk menjadi pemimpin besar kai-pang." Semua orang menjadi gaduh dan bicara sendiri-sendiri mendengar ucapan wanita cantik yang mereka anggap keterlaluan itu. Souw-pangcu marah bukan main, akan tetapi sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menahan diri dan berkata dengan suara yang tegas.

   "Cu-lihiap, apakah sesungguhnya yang kaukehendaki! Tidak mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita. Dan engkau juga bukan orang pengemis! Bagaimana mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita yang bukan pengemis? Andaikata ada yang setujupun, seluruh anggauta yang jumlahnya ratusan orang tentu akan merasa berkeberatan!"

   "Hemm, kalau begitu, jangan memaksaku untuk merampas kedudukan ketua! Akupun tidak suka menjadi ketua kaum jembel. Aku hanya menghendaki dukungan Hek I Kai-pang untuk memilih calonku menjadi pemimpin besar kai-pang."

   "Hemm, lalu siapakah calon yang kaupilih untuk menjadi pemimpin besar kai-pang?" Souw-pangcu bertanya, semakin penasaran.

   Dengan wajah dingin namun bibirnya yang amat manis menggairahkan itu tersenyum mengejek, Sui In berkata, suaranya lantang terdengar semua anggauta kai-pang yang berada di situ.

   "Calonnya adalah aku sendiri! Aku ingin menjadi pemimpin besar kai-pang agar kelak aku dapat mewakili seluruh kai-pang dalam pemilihan Beng-cu."

   Semua orang terbelalak, lalu suasana menjadi gaduh. Ada yang tertawa geli, ada yang mengomel panjang pendek, ada pula yang berseru kagum akan keberanian wanita cantik jelita itu. Kalau Sui In tenang-tenang saja menghadapi sikap para pengemis itu, sebaliknya Lili menjadi marah melihat gurunya ditertawakan orang. Biarpun sekarang Sui In telah menjadi kakak seperguruannya, namun dalam beberapa hal ia masih menganggapnya sebagai gurunya.

   "Heiii, kalian ini jembel-jembel busuk dan bau! Suci ingin menjadi pemimpin besar kai-pang, kalian tidak cepat menyambutnya dengan baik malah mentertawakan! Hayo siapa yang berani menyatakan tidak setuju, boleh maju melawan aku!"

   Sebetulnya karena melihat kedua orang wanita ini datang tidak untuk memusuhi mereka, ketua Souw Kiat tidak ingin memusuhi mereka dan menyambut mereka dengan sikap hormat. Akan tetapi, mendengar permintaan mereka` untuk menjadi ketua Hek I Kai-pang dan kemudian bahkan ingin menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang, dia terkejut dan merasa penasaran. Oleh karena itu, ketika wakilnya yang bernama Lu Pi maju menghadapi gadis muda yang galak itu, diapun mendiamkannya saja. Bagaimanapun juga, kedua orang wanita ini harus dihadapi dengan kegagahan kalau dia tidak ingin perkumpulannya menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw. Dipimpin oleh wanita muda yang cantik! Bagaimana mungkin?

   Lu Pi adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus, kelihatannya saja lemah dan berpenyakitan, akan tetapi sesungguhnya dia seorang ahii silat yang pandai. Dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat, juga memiliki gerakan yang cepat yang licin bagaikan belut.

   Oleh karena kepandaiannya itu, maka dia dapat diangkat menjadi wakil ketua Hek I Kai-pang dan merupakan tangan kanan Souw Kiat. Orangnya pendiam akan tetapi hatinya keras dan mendengar ucapan Lili tadi, mukanya berubah merah dan diapun sudah meloncat ke depan dara itu. Dengan telunjuk tangan kiri ditudingkan ke arah muka Lili, diapun membentak.

   "Bocah sombong, berani engkau menghina Hek I Kai-pang? Aku Lu Pi, wakil ketua Hek I Kai-pang yang akan menghajarmu!" Dia melintangkan tongkat hitamnya, sama dengan tongkat hitam ketua Souw Kiat, di depan dada lalu menantang.

   "Hayo cepat keluarkan senjatamu!"

   "Untuk apa senjata? Melawan orang macam engkau ini, dengan tangan kosongpun sudah terlalu kuat!" kata Lili dan kembali ucapannya itu membuat banyak orang terkejut. Ada yang kagum akan keberaniannya akan tetapi lebih banyak yang marah karena, gadis ini dianggap terlalu sombong.

   "Sumoi, jangan bunuh orang!" kata Sui In. Ia tidak menghendaki Hek I Kai-pang mendendam kepadanya karena ia membutuhkan bantuan dan dukungan perkumpulan pengemis ini.

   "Jangan khawatlr, suci. Aku hanya ingin memberi hajaran kepada anjing kurus ini."

   Mendengar ucapan kedua orang wanita itu Lu Pi menjadi semakin marah. Mereka sungguh amat memandang rendah kepadanya. Dia sudah memutar tongkat hitamnya sehingga benda itu berubah menjadi gulungan sinar hitam dan dia berseru lantang.

   "Bocah sombong, lihat seranganku!" Tanpa sungkan lagi dia menyerang gadis muda, yang tidak memegang senjata itu. Wakil ketua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman. Biarpun dia marah bukan main namun dia bersikap waspada dan hati-hati karena dia maklum bahwa sikap sombong gadis itu tentu ditunjang kepandaian yang tinggi.

   Setelah membentak sebagai peringatan pembukaan serangan, gulungan sinar hitam itu semakin meluas dan tiba-tiba ujung tongkatnya mencuat dari gulungan sinar itu, menyambar dengan totokan ke arah pundak kiri Lili. Bagaimanapun juga, Lu Pi agaknya masih teringat bahwa yang diserangnya adalah seorang gadis belasan tahun yang tidak bersenjata, maka serangannya pun masih lunak dan hanya ditujukan ke pundak orang untuk menotoknya.

   Namun, yang diserang enak-enak saja berdiri santai, sama sekali tidak membuat gerakan untuk menghindarkan diri dari totokan itu. Baru setelah ujung tongkat mendekati pundak, tangan kanannya bergerak ke atas dan jari tengahnya menjentik ke arah ujung tongkat yang orang menyambar pundaknya.

   "Takkk!"

   Lu Pi terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya tergetar dan hampir saja tongkat itu terlepas dari genggamannya. Ujung jari tengah gadis itu membuat tongkatnya terpental keras! Kini tahulah dia bahwa lawannya bukan sekedar membual belaka. Gadis yang masih amat muda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian hebat dan tenaga sin-kangnya lewat jentikan jari tadi saja sudah terbukti kekuatannya, Diapun tidak sungkan lagi dan serangan berikutnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bertubi-tubi ujung tongkatnya mengirim serangkaian totokan maut!

   Akan tetapi yang diserangnya tetap tenang dan bahkan enak-enak saja. Lili telah dapat mengukur tingkat kepandaian lawan dan iapun bergerak dengan santai saja, bahkan kedua kakinya jarang digeser, hanya kedua lengannya saja yang bergerak seperti dua ekor ular. Begitu lentur dan begitu aneh gerakan lengannya, sungguh mirip dua ekor ular menari-nari dengan kepala terangkat. Dan ke manapun ujung tongkat menotok, selalu bertemu dengan "kepala" dua ekor ular itu yang setiap kali menangkis membuat tongkat terpental.

   Ketika tongkat kembali meluncur, kini menusuk ke arah tenggorokan gadis itu, Lili menangkis dengan tangan kanannya, sekaligus menangkap ujung tongkat dengan tangannya, gerakannya seperti ular yang membuka moncongnya dan menggigit. Ujung tongkat tertangkap dan sebelum Lu Pi dapat menarik kembali tongkatnya, pergelangan tangannya kena diketuk oleh jari tangan kiri Lili. Seketika lengan kanan itu menjadi lumpuh dan dengan amat mudahnya, tongkat hitam itu sudah berpindah ke tangan Lili. Gadis itu menggunakan tongkat rampasannya untuk menyerang. Gerakannya aneh dan cepat dan tubuh Lu Pi menjadi bulan-bulan tongkatnya sendiri. Biarpun dia berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetap saja gerakannya kalah cepat dan terdengas suara bak-bik-buk ketika tongkat itu menggebuki kepala, punggung, dan pinggulnya. Pukulan itu datang bertubi-tubi dan akhirnya tubuh Lu Pi terpelanting roboh.

   Setelah lawannya roboh tanpa menderita luka parah, barulah Lili menghentikan pukulan tongkat. Dia lalu meremas tongkat itu dengan kedua tangannya. Bagian yang diremas itu menjadi hancur berkeping dan ia lalu melemparkan sisa tongkat dan remukannya ke arah tubuh Lu Pi yang mulai merangkak bangun, lalu ia menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan telapak tangan dari remukan kayu tongkat! Sikapnya angkuh dan memandang rendah sekali.

   Semua anggauta kai-pang memandang dengan mata terbelalak. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa wakil ketua mereka yang amat lihai dengan tongkatnya itu, dalam beberapa gebrakan saja roboh, bahkan setelah dipermainkan oleh dara remaja ltu, seperti seorang dewasa mempermainkan seorang kanak-kanak saja! Lu Pi juga tahu diri. Dia maklum sepenuhnya bahwa dia bukanlah lawan gadis itu, maka dengan muka pucat dan kepala ditundukkan, diapun mundur ke sudut.

   

Pedang Sinar Emas Eps 51 Pedang Sinar Emas Eps 14 Pedang Sinar Emas Eps 36

Cari Blog Ini