Pemberontakan Taipeng 19
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Han Le juga merampas sebatang pedang dan ketika hendak keluar dari dalam tenda, dia telah mengambil kembali pistolnya yang tadi dibawa oleh Song Kim dan diletakkan di atas bangku di sudut tenda. Kini pistol kecil kesayangannya itu telah diselipkan di pinggang dan dia mengamuk besama Yu Bwee, dikeroyok banyak orang. Kemana perginya Lee Song Kim? Ketika dia meloncat keluar dari dalam tendanya, dia terkejut sekali mendengar ribut-ribut di luar seperti terjadi penyerbuan. Dia cepat meneriaki para pebantunya yang datang berlarian dan segera para pembantunya itu mengepung dan mengeroyok Bun Hong dan Eng Hui, sedangkan Lee Song Kim sendiri cepat lari keluar setelah mendengar bahwa memang terjadi penyerbuan dari tentara rakyat, dipimpin oleh seorang Kakek bermuka buruk yang lihai sekali.
Ketika dia tiba di tempat di mana pasukan rakyat itu menyerbu, benar saja dia melihat seorang Kakek bertubuh jangkung yang pakaiannya sederhana serba putih, mukanya penuh cacat dan buruk sekali, tubuhnya agak bongkok, sedang mengamuk! Kakek itu memimpin pasukan rakyat yang juga mengamuk dan menyerbu pasukan Tai Peng, dan sepak terjang Kakek itu sungguh menggiriskan sekali. Belum pernah Song Kim melihat sepak terjang oang seperti Kakek buruk rupa itu. dengan kedua tangan kosong, Kakek itu menyambut datangnya hujan senjata dan setiap kali ada senjata bertemu dengan kedua tangannya, maka senjata itu akan terlepas dari tangan pemegangnya dan Kakek itu menangkap-nangkapi orang seperti orang mencabut rumput saja, melempar-lemparkannya dengan ringan sekali!
Diam-diam Lee Song Kim terkejut dan juga gentar. Mudah sekali diketahui bahwa Kakek itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang wanita di belakang Kakek itu dan jantungnya berdebar keras. Sheila! Itulah Sheila! Ibu dari Gan Han Le yang kini mungkin telah bebas dan ikut mengamuk lagi bersama Yu Bwee dan dua orang anak muda yang baru datang menyelamatkan mereka. Tahulah Song Kim bahwa keadaannya amat berbahaya. Kakek ini harus dilenyapkan lebih dulu, kalau tidak, akan celakalah pasukannya menghadapi amukan seorang Kakek yang kekuatannya tidak lumrah manusia itu. Diapun segera membari isyarat kepada pasukan senjata api yang sudah siap. Pasukan ini tadi tidak dapat mempergunakan senapan, karena hal ini akan membahayakan teman-teman sendiri.
"Tembak mampus Kakek itu!" teriak Lee Song Kim kepada pasukan senapan yang hanya belasan orang jumlahnya itu. kini sia merasa menyesal mengapa dia tidak embawa pasukan senapan yang lebih besar.
"Tapi... Ciangkun, berbahaya sekali, bisa mengenai teman sendiri..." kata komandan pasukan kecil itu.
"Tidak perduli! Yang penting, Kakek itu harus memapus! Tembak dia!" bentak Lee Song Kim yang merasa semakin gentar melihat betapa Kakek itu sudah merobohkan lagi empat orang dengan beberapa gerakan saja.
Kakek itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi! Dia terpaksa memenuhi permintaan Sheila yang telah menjadi isterinya, untuk pergi mencari Han Le yang telah melarikan diri meninggalkan mereka karena marah dan menyesal melihat betapa Ibunya telah menjadi isteri dari musuh besar keluarga mereka. Bu Beng Kwi mengajak isterinya mencari Han Le dan mereka berdua dapat menduga bahwa tentu Han Le telah pergi ke tempat di mana terdapat pertempuran karena mereka maklum bahwa pemuda itu bercita-cita untuk mengikuti jejak Ayah kandungnya, menjadi seorang pejuang dan pendekar. Akan tetapi usaha mereka selalu menemui kegagalan dan sampai sekian lamanya mereka belum juga dapat menemukan jejak Han Le. Akhirnya, Bu Beng Kwi mengajak isterinya mengunjungi dua orang muridnya yang kini telah menjadi pemimpin-pemimpin rakyat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong
Cang.
Dua orang pemimpin pasukan pejuang ini girang menerima kunjungan guru mereka walaupun mereka merasa agak canggung ketika melihat betapa Sheila, wanita kulit putih yang pernah membuat mereka berdua tergila-gila ketika mereka masih merupakan pemuda-pemuda romantis itu, kini telah menjadi isteri guru mereka. Di tempat inipun Bu Beng Kwi tidak menemukan Han Le, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa ada mata-mata pejuang yang mendengar bahwa kini Gan Han Le telah menjadi seorang panglima di pasukan Tai Peng! Mata-mata tu menderitakan pula betapa kini panglima Gan Han Le membawa pasukan dan mengadakan pembersihan di sekitar perbatasan dan betapa banyak mata-mata pasukan pejuang dan pasukan pemerintah dibasmi oleh gerakan pembersihan yang dilakukan oleh Gan Han Le.
"Celaka!" teriak Bu Beng Kwi.
"Hal ini harus dicegah! Dia telah menyeleweng. Aku sendiri yang akan menyadarkannya!"
"Aku akan ikut, aku akan dapat menyadarkannya!:" kata Sheila. Sebetulnya Bu Beng Kwi agak keberatan. Dia akan memimpin pasukan untuk mencari muridnya itu di perbatasan yang berbahaya di mana banyak terjadi pertempuran. Akan tetapi Sheila tidak mau dibantah dan akhirnya diapun membiarkan isterinya ikut bersamanya, dan kedua orang muridnya itu menyerahkan sepasukan pejuang pilihan untuk menyertai guru mereka. Demikianlah Bu Beng Kwi, Sheila dan pasukan itu berangkat ke perbatasan dan dari mata-mata pejuang dia mendengar bahwa kini pasukan Gan Han Le sedang mengadakan pembersihan di mana mereka melakukan pembunuhan dan perampokan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Mendengar ini, Bu Beng Kwi dan Sheila cepat membawa pasukan ke tempat itu dan di tengah hutan itulah mereka melihat pasukan yang sedang mengeroyok Bun Hong dan Eng Hui. Bu Beng Kwi yang mendengar dari anggauta pasukan bahwa dua orang itu adalah dua di antara para pendekar yang bergabung dengan pasukan pejuang rakyat dan menjadi mata-mata bagi pasukan rakyat, tanpa ragu lagi segera memerintahkan pasukan untuk menyerbu pasukan Tai Peng dan membantu dua orang pendekar itu. Sedangkan dia sendiri ikut mengamuk sambil melindungi Sheila yang berada di belakangnya. Pada saat Bu Beng Kwi mengamuk sambil melindungi isterinya, tiba-tiba terdengar letusan dahsyat beruntun. Api menyambar dari asap moncong belasan buah senapan yang semuanya dibidikkan ke arah tubuh Bu Beng Kwi!
Akan tetapi, ketangkasan ilmu silat telah mendarah daging dalam diri Kakek ini, sehingga begitu telinganya mendengar letusan, otomatis tubuhnya melesat dengan cepatnya seperti burung walet saja dan semua peluru yang menyambar tubuhnya itu tidak ada yang mengenainya. Akan tetapi, para perajurit yang memegang senjata api itu terus memberondongkan senjata mereka ke arah bayangan putih yang berkelebatan. Bu Beng Kwi terus berloncatan sambil mendekati penembaknya dan dia berhasil melemparkan dua buah golok yang dirampasnya. Dua buah golok itu terbang dan menembus dada dua orang di antara para penembak! Tembakan terus berbunyi gencar dan banyak pula para pengeroyok Kakek itu yang terkena tembakan kawan-kawan sendiri! Ketika Bu Beng Kwi hendak melanjutkan amukannya, tiba-tiba terdengar suara rintihan isterinya.
"Sheila...!" Seketika tubuh Bu Beng Kwi lemas ketika dia melihat betapa isterinya telah menggeletak dengan baju bagian dada penuh darah.
"Sheila...!" Dia menubruk dan cepat memeriksa kedaan isterinya. Dua butir peluru memasuki dada isterinya dan keadaannya amat parah.
"Sheila... kau... kau..."
"Dar...!" Letusan pistol kecil dari moncong pistol di tangan Lee Song Kim tepat mengenai punggung Bu Beng Kwi.
Kakek itu tidak roboh, hanya tersentak kaget, sedikitpun tidak menoleh, masih berlutut dan memangku tubuh isterinya. Sebelum Lee Song Kim sempat menembakkan pistolnya lagi, sebuah tendangan mengenai tangannya dan pistol itupun terlepas dan terlempar. Song Kim cepat membalikkan tubuhnya dan dia berhadapan dengan Han Le! Ketika Han Le dan Yu Bwee berloncatan keluar dari tenda dan melihat pertempuran, Yu Bwee langsung saja membantu pemuda dan gadis yang tadi menolongnya tanpa banyak cakap lagi, sedangkan Han Le segera membawa pedang rampasannya mencari Lee Song Kim! Dia harus menemukan panglima yang jahat itu dan membunuhnya, sebagai hukuman atas apa yang telah dilakukannya tadi terhadap Yu Bwee, hampir memperkosa gadis itu di depan matanya.
Ketika dia mendengar suara tembakan berkali-kali dengan gencar, dia cepat berlari ke tempat itu dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat Ibunya dan gurunya berada di situ, betapa Ibunya telah roboh mandi darah dan gurunya memangku Ibunya. Dia melihat pula betapa Lee Song Kim dengan amat curang menembak gurunya dari belakang, maka dengan kemarahan berkobar di dalam dadanya, dia melompat dan tepat dapat menendang tangan Lee Song Kim yang sudah siap menembakkan pistolnya lagi. Pistol itu terlempar dan kalau dia menghendaki, dengan mudah saja Han Le dapat membunuh Song Kim dengan pistolnya. Akan tetapi dia tidak mau melakukan kecurangan seperti itu dan kini dia menghadapi Song Kim dengan mata mendelik penuh kemarahan. Mengingat betapa orang ini telah menembak gurunya dan betapa Ibunya juga tertembak dan mungkin sudah tewas, kedua mata Han Le menjadi basah dan dia marah bukan main.
"Jahanam busuk!" Bentaknya dan dia segera menyerang dengan pedangnya.
Song Kim yang kehilangan pistol, menyambut dengan pedangnya pula dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian antara kedua orang itu. Dalam kemarahannya, Han Le mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mendesak dan menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Namun, Lee Song Kim memang amat lihai, jauh lebih berpengalaman dan orang yang suka mencuri dan mempelajari berbagai macam ilmu silat aliran lain ini terlalu tangguh untk dapat dirobohkan, bahkan sukar bagi Han Le untuk mendesaknya, dan segera dia sendiripun mulai terdesak oleh permainan pedang Song Kim yang berubah-ubah secara aneh dan lihai bukan main. Bu Beng Kwi yang merangkul isterinya, malihat munculnya Han Le yang kini seorang diri melawan Song Kim, merasa terharu sekali.
"Sheila..." bisiknya.
" Lihat, itu anak kita..." Sheila belum tewas walaupun keadaannya sudah payah. Ia membuka mata memandang dan ketika ia melihat Han Le, Sheila tersenyum, akan tetapi hanya sebentar karena ia segera merasa khawatir. Karena keadaannya sudah payah, ia tidak mampu lagi bersuara. Akan tetapi pada saat itu, Sheila dan Bu Beng Kwi melihat seorang gadis yang menerjang maju membantu Han Le sambil berkata,
"Toako, mari kita bunuh manusia iblis ini!" Melihat munculnya Yu Bwee, giranglah hati Han Le. Bukan hanya girang karena memeperoleh bantuan menghadapi lawan yang amat tangguh ini, melainkan terutama sekali girang melihat gadis itu dalam keadaan selamat dan mau membantunya.
"Yu-Siocia, kita basmi orang jahat ini!" katanya dan Yu Bwee segera menerjang Song Kim dengan pedangnya. Song Kim menyambutnya dengan tangkisan yang dilanjutkan serangan balasan yang amat dahsyat. Namun, Han Le sudah menerjang dari samping sehingga terpaksa Song Kim menarik kembali serangannya terhadap Yu Bwee. Demikianlah, dua orang muda itu mengeroyok Lee Song Kim. Namun, orang she Lee ini memang lihai bukan main. Biarpun dikeroyok oleh dua orang muda yang berkepandaian tinggi, tetap saja dia tidak merasa gentar, tidak terdesak, bahkan dia mengubah ilmu pedangnya menjadi dahsyat sekali dan mampu membendung serangan Yu Bwee dan Han Le dengan baiknya, mampu pula membalas dengan tidak kalah hebatnya.
Melihat betapa muridnya dan gadis cantik itu tdak mampu mendesak Song Kim, Bu Beng Kwi merasa penasaran. Dia dapat melihat betapa lihainya Lee Song Kim dan tahulah dia bahwa murid pertama dari mendiang Hai-Tok cu agaknya telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Agaknya, biarpun mengeroyok dua, muridnya dan nona itu tidak akan mampu memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Padahal mereka berada di daerah yang dikuasai musuh, amatlah berbahaya kalau muncul pasukan Tai Peng yang lebih besar jumlahnya, padahal dia sendiri sudah luka parah. Sebutir peluru memasuki punggungnya dan bersarang di dalam tubuhnya. maka, diapun dengan lembut merebahkan isterinya sambil berbisik,
"Aku harus membantu anak kita." Sheila mengangguk dan Bu Beng Kwi sejenak mengamati jalannya perkelahian itu, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang, lalu tubuhnya sudah melayang ke arah Lee Song Kim!
Orang ini terkejut bukan main. Dia tahu betapa lihainya Kakek buruk rupa itu, maka begitu melihat Kakek itu menubruk dari atas, dia menyambutnya dengan tusukan pedang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bu Beng Kwi menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, menangkis dengan tangan diputar bagian siku, dan tangan kirinya tetap melanjutkan serangan dengan tamparan ke arah kepala Lee Song Kim. Lee Song Kim terkejut merasa betapa pedangnya bertemu dengan tangan yang kerasnya seperti baja dan dia tahu akan dahsyatnya tamparan itu, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dengan maksud hendak bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi, Han Le yang melihat serangan gurunya, segera siap siaga dan melihat Lee Song Kim melempar tubuh ke belakang, dia menyambutnya dngan tendangan.
"Dukkk!" Biarpun Lee Song Kim yang tidak sempat mengelak lagi telah melindungi pahanya yang tertendang dengan tenaga sinkang, tetap saja tubuhnya terlempar dan terbanting keras, Dia menjadi marah sekali dan begitu dia meloncat bangun, dia sudah menodongkan sebuah pistol kepada Han Le! Dia menyeringai beringas.
"Pengkhianat, mampuslah!" dan diapun menarik pelatuk pistolnya.
"Darrr! Darrr!" Dua kali pistolnya meletus, akan tetapi Han Le sudah melempar tubuh ke atas tanah dan bergulingan, dan sebelum Lee Song Kim sempat menembak lagi, pistol di tangan Han Le yang dicabut cepat sekali telah memuntahkan peluru panas dengan suara ledakan keras. Lee Song Kim terhuyung dan saat itu Yu Bwee menusukkan pedangnya, pertama mengenai pergelangan tangan kanannya sehingga pistolnya terlepas, kemudian pedang itu menusuk lambung. Robohlah Lee Song Kim karena dadanya sudah ditembusi peluru, ditambah lagi dengan tusukan pedang di lambungnya. Orang yang selama ini malang melintang dan menjagoi akhirnya roboh berkelojotan dan tewas.
"Ibuuuu... Han Le lari menghampiri Ibunya dan dia melihat gurunya sudah pula berlutut dekat tubuh Ibunya. Gurunya juga terluka parah, tertembus punggungnya dan kini gurunya nampak menggigil ketika berlutut di dekat tubuh Sheila yang suda terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar suara terompet dan tambur, dan pasukan pejuang mundur dengan gentar melhat datangnya pasukan besar Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Raja Ong Siu Coan! Kiranya raja ini yang sedang berburu binatang di hutan-hutan daerah itu, mendengar laporan komandan pasukan tentang pasukan yang dipimpin oleh Lee Song Kim terlibat pertempuran dengan pasukan rakyat pejuang, bahkan sang permaisuri juga sudah membawa pasukan membantu Lee Song Kim. mendengar ini, Raja Ong Siu Coan cepat mengerahkan semua pasukan yang ada utuk mengejar ke tempat pertempuran. Dia marah sekali mendengar berita bahwa isterinya, sang permaisuri, telah tewas tertembak oleh panglima Gan Han Le yang memberontak.
Pasukan pengawal Raja Tai Peng ini tentu saja merupakan pasukan pilihan, dan raja ini memiliki wibawa yang besar sehingga begitu pasukannya menyerbu, pasukan rakyat pejuang menjadi gentar. Serbuan pasukan yang dipimpin Raja Ong Siu Coan ini melegakan hati para sisa pasukan Lee Song Kim. Mereka tadi sudah ketakutan melihat tewasnya para pembantu Lee Song Kim yang lihai, seperti Tiat-Pi Kim-Wan, Seng-jin Sin-touw, Sin-kiam Moli, dan Theng Ci di tangan orang-orang muda yang lihai bukan main. Empat orang pembantu ini tewas ketika tadi mereka berhadapan dengan Tan Bun Hong, Thio Eng Hui, dan Yu Bwee sebelum Yu Bwee mencari dan embantu Han Le menghadapi Lee Song Kim.
"Gan Han Le, pengkhianat dan pemberontak jahat! Menyerahlah engkau!" bentak Ong Siu Coan sendiri sambil mengamangkan pedangnya dengan sikap marah. Raja ini duduk di atas seekor kuda yang tinggi besar, sikapnya gagah bukan main, di kanan kirinya terdapat beberapa orang yang menodogkan senapan ke arah Han Le dan yang lain-lain. Akan tetapi pada saat itu, Bu Beng Kwi mengeluarkan teriakan nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke arah raja itu. para pengawal yang memegang senapan tidak sempat menembak, demikian cepat gerakan Bu Beng Kwi dan dia telah mencengkeram ke arah kepala raja itu. Ong Siu Coan bukan seorang yang lemah.melihat ada orang menyerangnya seperti seekor burung rajawali dari angkasa, dia menambut dengan tusukan pedangnya.
"Trakkk!" Pedang itu ditangkis tangan Kakek itu dan sebelum Ong Siu Coan melanjutkan serangannya, Kakek itu telah menyambar tengkuknya. Raja itu terlempardari atas kuda, tengkuknya masih dicengkeram dan mereka bergumul di atas tanah. Akan tetapi, tubuh Ong Siu Coan seketika lemas karena dia telah ditotok dan kini Bu Beng Kwi memeluknya sambil bersru nyaring.
"Mundur semua, kalau ada yang menyerang dengan senjata api, akan kubunuh lebih dulu raja kalian ini!" Pasukan pengawal raja itu menjadi pucat dan tentu saja mereka tidak berani menyerang, melihat betapa jari-jari tangan yang besar itu sudah siap untuk berkata dengan nada penuh ancaman di dekat telinga Ong Siu Coan.
"Ong Siu Coan, suruh mundur semua pasukanmu, atau demi Tuhan, akan kuhancurkan kepalamu!" Raja ini terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah berada dalam kekuasaan Kakek buruk rupa yang amat lihai itu. Dia juga merasa heran bukan main karena dia mengenal semua gerakan Kakek itu dan ketika Kakek itu menotoknya,
Lalu mencengkeram dan mengancam dengan cengkeraman pada pelipisnya, maklumlah dia bahwa Kakek ini memiliki ilmu yang sama sumbernya dengan ilmu silatnya sendiri. Maklum betapa Kakek ini tidak menggertak kosong saja dan bahwa nyawanya berada dalam taruhan, diapun lalu berseru nyaring, menyuruh pasukannya menghentikan serangan dan mundur! Legalah hati Bu Beng Kwi melihat mudurnya pasukan Tai Peng dan diapun mengendurkan pelukannya, bahkan kini dia melepaskan pegangannya dan berdiri menghadapi raja yang masih lemas tertotok itu. Raja Ong Siu Coan mengamati Kakek itu. Teringatlah dia akan pelaporan bawahannya tentang mata-mata orang kulit putih yang menukarkan dua ratus pucuk senjata untuk menebus Sheila dan puteranya. Mata-mata itu juga seorang Kakek yang amat buruk!
"Siapakah engkau...?" tanyanya, penasaran karena dia seorang raja dan seorang ahli silat tingkat tinggi, dapat dibuat tidak berdaya hanya oleh seorang Kakek buruk rupa yang tidak terkenal. Bu Beng Kwi meraba mukanya sambil berkata,
"Sute, lupakah engkau kepadaku?" Begitu topeng kulit tipis itu dibuka, Ong Siu Coan terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Toa-Suheng Koan Jit...!"
Dia terbelalak seperti melihat setan saja.
"Suheng bukankah engkau... engkau..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Dahulu, belasan tahun yang lalu, sebelum dia menjadi raja, dia melihat dengan mata sendiri betapa Suhengnya ini mengorbankan dirinya untuk menolong para pemimpin pejuang rakyat, betapa kakak seperguruannya ini tewas, bahkan lenyap teruruk lorong bawah tanah yang runtuh akibat alat peledak yang diledakkan oleh Koan Jit untuk menutup lorong itu sehingga para pimpinan pejuang rakyat dapat meloloskan diri. Dia melihatnya sendiri. Walaupun tidak dapat melihat mayat Kakek seperguruannya yang teruruk reruntuhan tanah dan batu, namun dia sempat menemukan sepatunya dan menangisi sepatu Suhengnya itu. dan kini, Suhengnya, muncul! Tentu saja dia tidak mau percaya ini benar Suhengnya.
"Memang, Sute. Koan Jit telah mati, namanya saja yang mati. Agaknya Tuhan masih membiarkan tubuhnya hidup dan dia hidup kembali sebagai Bu Beng Kwi, yaitu aku ini. Dan engkau... engkau telah menjadi raja... akan tetapi engkau membiarkan pasukanmu menyeleweng! Engkau menjadi raja yang menyeleweng, lalim dan gila!"
"Suheng...!"
"Sudahlah. sekarang berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengerahkan pasukanmu menyerang kami dan membiarkan kami semua pergi dari sini dengan aman. Engkau boleh membawa jenazah isterimu, juga para panglimamu. berjanjilah, biar didengarkan oleh semua orang. Aku masih percaya akan janji seorang bekas Suteku, biar dia sekarang telah menjadi raja sekalipun. Berjanjilah, atau demi Tuhan, aku terpaksa akan membunuhmu!" Wajah Ong Siu Coan sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa terkejut, heran, terharu, akan tetapi juga marah. Permaisurinya, yang merupakan pembantu utamanya, tewas, demikian pula Lee Song Kim yang merupakan pembantu berharga pula. Dan kini dia harus berjanji untuk membebaskan mereka semua. Akan tetapi, nyawanya lebih berharga daripada nyawa semua orang itu.
"Baiklah, aku berjanji takkan mengganggu kalian dan membiarkan kalian pergi. Akan tetapi, kelak kalau kalian sampai terjatuh ke dalam tanganku lagi, aku tidak akan memberi ampun, terutama sekali Gan Han Le!" setelah berkata demikan, dia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menarik mundur semua pasukan dan menghentikan pertempuran.
"Aku percaya padamu, Sute. Nah, kuharap saja mudah-mudahan engkau akan dapat mengubah jalan hidupmu dan menjadi seorang pimpinan patriot yang benar-benar membela rakyat dan mengusir penjajah." Koan Jit atau Bu Beng Kwi lalu membebaskan totokan pada tubuh Ong Siu Coan yang segera pergi menunggangi kudanya dengan muka ditundukkan. Orang-orangnya lalu mengusung jenazah Tang Ki, Lee Song Kim, dan yang lain-lain sehingga pasukan itu sibuk mengangkuti jenazah teman-teman mereka. Setelah Ong Siu Coan pergi menunggangi kudanya, Bu Beng Kwi terhuyung dan tentu dia sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh Han Le.
"Suhu...!" Koan Jit memandang wajah Han Le dan dia tersenyum.
"Aku... aku terluka tembakan... Han Le..." Diapun merangkul dan kedua matanya menjadi basah. Han Le juga mengedipkan matanya untuk mengusir air mata yang membuat pandangannya kabur.
"Suhu..." hanya demikian dia dapat bicara karena keharuan mencekik leher pemuda ini. Sampai sedemikian rupa Suhunya ini membelanya, membela Ibunya, dan kini mengorbankan dirinya lagi, untuk kedua kalinya, demi keselamatan orang lain. Betapa mulia hati Suhunya ini, agaknya untuk menebus semua penyelewengannya yang pernah dilakukan di waktu mudanya. Tidak mengherankan kalau Ibunya jatuh cinta kepada orang ini. Teringat akan Ibunya, dia menoleh dan mengeluh,
"Ibuuu...!"
"Han Le, bawa aku kepada Ibumu..." kini napas Kakek itu terengah-engah. Semua pengerahan tenaga yang dilakukannya tadi menambah parah lukanya, sehingga kini untuk bernapaspun amat sukar rasanya. Han Le membawanya ke dekat Ibunya yang juga sudah empas-empis napasnya. Bu Beng Kwi rebah miring setengah duduk memandang isterinya dan Sheila lalu memandang Han Le dengan kedua mata penuh air mata.
"Henry... engkau... engkau maafkan Ibumu dan gurumu... Henry..." katanya dalam Bahasa Inggris.
"Ibuuuu...!" Han Le atau Henry menubruk dan menciumi wajah Ibunya, membasahinya dengan air matanya sendiri.
"Aku... akulah yang mohon ampun padamu, Ibu..." Ibu dan anak itu saling rangkul sambil menangis. Pada saat itu, Yu Bwee juga ikut berlutut di dekat Han Le. melihat gadis ini, Han Le lalu berbisik kepada Ibunya dalam bahasa Inggris.
"Ibu, nona ini Yu Bwee, seorang puteri bangsawan peranakan Mancu, akan tetapi ia berjiwa pendekar dan aku... aku amat cinta padanya, Ibu." Sheila membelalakkan matanya, menatap wajah Yu Bwee yang cantik dan iapun tersenyum di balik air matanya. Tangannya bergerak dan ia memegang tangan Yu Bwee.
"Nona..." katanya, suaranya lirih sekali namun cukup untuk dapat ditangkap dan dimengerti oleh gadis yang diajaknya bicara,
"Anakku Han Le... mencintaimu... maukah engkau... menjadi jodohnya...?"
Yu Bwee mengangkat muka memandang wajah yang pucat dan amat cantik itu. Mata yang sudah sayu itu masih nampak biru bening dan rambut yang sudah mulai bercampur putih itu seperti benang-benang Sutera emas dan perak. Pandang mata wanita itu demikian penuh permohonan, penuh harapan sehingga biarpun ia merasa malu dan tidak pantas dalam keadaan seperti itu membicarakan urusan jodoh, merasa tidak tega untuk menolak. Ia melirik ke arah Han Le yang masih merangkul Ibunya dan air matanya bercucuran, dan iapun menarik napas panjang lalu memandang lagi kepada wanita itu dan mengangguk!
"Ah, terima kasih, nona... terima kasih anakku, mantuku..." Ibu itu kini menoleh kepada Han Le, napasnya memburu,
"Han Le... berbahagalah... kalian..." dan tubuhnya terkulai, akan tetapi pada saat itu Bu Beng Kwi mencengkeram pundaknya dan mengguncangnya.
"Sheila...! Tunggu...!" Aneh sekali. wanita yang sudah di ambang kematian itu membuka lagi matanya, memandang kepada Koan Jit dan berbisik,
"Marilah... marilah... suamiku..." Dan kembali ia terkulai dan napasnya terhenti.
"Sheila... tunggu aku...!" Koan Jit berteriak dan dia muntah darah, lalu terkulai dan tewas seketika.
"Ibuuu...! Suhuuu...!" Han Le merangkul mereka dan pemuda inipun tak sadarkan diri. Dia merasa menyesal bukan main mengingat betapa kematian dua orang yang disayang dan dihormatinya ini disebabkan oleh dia! Kalau saja dia tidak minggat meninggalkan mereka! Kalau saja dia tidak menjadi panglima Tai Peng. Belum tentu Ibu dan gurunya tewas.
Ketika Han Le sadar kembali, Yu Bwee yang menghiburnya. Hanya gadis ini yang berhasil mengajaknya melepaskan kedua jenazah itu dari tempat berbahaya itu. Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui juga merasa terharu dan mereka pun berkenalan dengan Han Le dan Yu Bwee, menjadi sahabat karib. Ong Siu Coan memegang janjinya. Para pendekar itu bersama sisa pasukan rakyat tidak diganggu sampai mereka mengangkut semua mayat dari teman-teman mereka keluar dari daerah itu. Setelah selesai mengubur jenazah Ibunya dan gurunya, Han Le lalu bersama Yu Bwee ikut Bun Hong dan Eng Hui, menghadap kedua orang Suhengnya, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang. Dua orang pemimpin pejuang itu merasa berduka mendengar berita dari Sute mereka bahwa Suhu mereka telah tewas dalam pertempuran.
"Ibuku juga tewas tertembak, dan Suhu meninggal dunia dalam keadaan gagah perkasa. Beliau mengorbankan nyawanya demi keselamatan kami berempat yang sudah terancam bahaya maut," kata Han Le kepada dua orang Suhengnya.
"Sute, syukurlah kalau engkau telah sadar akan penyelewengan Tai Peng dan melihat betapa gagah perkasanya mendiang Suhu, kami yakin bahwa engkaupun tentu akan mengikuti jejaknya. Maukah engkau, seperti para pendekar lainnya, bergabung dengan kami untuk menghadapi Tai Peng dan menghancurkannya?" tanya Ceng Kok Han kepada pemuda itu.
"Tentu saja, Ceng-Suheng. Memang sejak dahulu aku bercita-cita untuk menjadi pejuang, seperti mendiang Ayahku, seperti mendiang guruku. Setelah mengalami sendiri, baru aku yakin bahwa Tai Peng telah menyeleweng menjadi penjahat-penjahat yang bukan membela rakyat, melainkan menindas rakyat jelata dengan kedok perjuangan. Akan tetapi aku masih mempunyai suatu urusan pribadi yang akan kuselesaikan lebih dulu, Suheng. Setelah itu pasti aku akan datang untuk membantu gerakan Suheng dan para pendekar pembela rakyat."
Setelah memenuhi upacara berkabung karena kematian Suhunya dan Ibunya, Han Le pergi bersama Yu Bwee, mengunjungi rumah orang tua Yu Bwee seperti yang diminta gadis itu kepadanya. Yu Kiang dan Ceng Hiang tentu saja menjadi girang bukan main ketika mereka melihat pulangnya Yu Bwee, akan tetapi mereka merasa terheran melihat puteri mereka itu pulang bersama seorang pemuda tampan. Ketika melihat pemuda itu, Ceng Hiang dan suaminya sudah dapat menduga bahwa tentu inilah pemuda yang pernah diceritakan oleh puteri mereka sebagai putera mendiang Gan Seng Bu itu. Diam-diam mereka mereka merasa tidak senang bagaimana puteri mereka, seorang gadis, berani mengajak pulang seorang pemuda! Akan tetapi mereka menahan sabar dan membalas penghormatan Han Le yang bersama Yu Bwee menghadap mereka dengan sikap hormat.
"Ayah dan Ibu, inilah saudara Gan Han Le yang bersama aku baru saja mengalami peristiwa hebat dan baru saja lolos dari maut karena mengalami hal yang amat hebat, Ayah dan Ibu. Bahkan dalam peristiwa ini, Gan-toako berhasil menewaskan sang permaisuri raja Tai Peng, dan kami semua kemudian berhasil membunuh Lee Song Kim. Akan tetapi Gan-toako juga kehilangan Ibu kandungnya dan gurunya yang tewas dalam pertempuan itu." Mendengar ucapan ini, Ceng Hiang dan Yu Kiang terkejut bukan main. mereka tidak menduga akan terjadi hal yang sedemikian hebatnya.
"Aih, telah terjadi peristiwa yang demikian hebatnya?" tanya Ceng Hiang sambil memandang Han Le.
"Kami telah mendapatkan kembali barang-barang yang dirampok pasukan Tai Peng, dan menurut penuturan seorang penduduk, yang mengembalikan adalah seorang perwira muda Tai Peng berpakaian putih. Engkaukah orangnya yang melakukan itu, orang muda?" Han Le merasa malu untuk menjawab dan untung terasa olehnya bahwa Yu Bwee segera menjawab pertanyaan Ibunya itu.
"Benar sekali, Ibu. Gan-toako inilah yang mengembalikan barang-barang rampokan itu. Gan-toako menjadi panglima pasukan Tai Peng karena tertipu. Dia ingin berjuang dan dia mengira bahwa Tai Peng merupakan pasukan pejuang yang gagah. Baru setelah dia melihat sepak terjang anak buah Lee Song Kim, dia menyadari dan dia lalu membalik dan menentang Lee Song Kim sehingga dikeroyok. Aku membantunya dan kami lalu ditangkap." gadis itu dengan panjang lebar lalu menceritakan segala yang telah terjadi, betapa mereka ditawan, ia hampir diperkosa akan tetepi tertolong oleh munculnya dua orang pendekar muda, yaitu Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui. Betapa kemudian di pihak Tai Peng muncul sang permaisuri dengan pasukannya sehingga mereka terkepung dan terancam bahaya. Akan tetapi Han Le telah berhasil menewaskan sang permaisuri dan membebaskannya dari ancaman maut. Kemudian ia mencritakan tentang munculnya guru dan Ibu Han Le yang membawa pasukan pejuang sehingga terjadi pertempuran yang menewaskan Lee Song Kim, akan tetapi Ibu dan guru Han Le terluka parah.
"Kemudian muncul Raja Tai Peng sendiri, Ibu! Dia membawa pasukan besar dan kami semua tentu celaka, terbunuh atau setidaknya tertawan kalau saja tidak terjadi hal yang amat luar biasa!"
"Hemm, apakah yang telah terjadi?" tanya Ceng Hiang dan Yu Kiang dengan hati tertarik dan tegang. Pengalaman puteri mereka memang amat menegangkan dan berbahaya dan kini mereka memandang kepada Han Le dengan sinar mata kagum dan suka.
"Locianpwe yang menjadi guru Gan-toako itu, yang telah terkena tembakan dan terluka parah, tiba-tiba saja dapat menerjang dan menawan Raja Tai Peng, mengancamnya dan mengundurkan semua pasukan Tai Peng. Dan ternyata locianpwe itu dapat menguasai Raja Tai Peng yang kelihatan terkejut dan sudah mengenalnya baik-baik, bahkan memenuhi permintaannya sehingga kami semua dibebaskan!"
"Ah, Gan Han Le, siapakah gurumu itu dan apa hubungannya dengan Raja Ong Siu Coan?" Han Le menjawab,
"Suhu bernama Koan Jit dan beliau adalah Suheng dari Raja Tai Peng."
"Ahhh...!" Ceng Hiang tekejut bukan main.
"Aku mendengar bahwa tokoh yang bernama Koan Jit telah meninggal dunia, ketika dia menyelamatkan para pendekar pemimpin pejuang..." Suami isteri itu mengangguk-angguk.
"Jadi engkau bahkan telah membunuh permaisuri Raja Tai Peng? Ia bernama Tang Ki dan dahulu pernah menjadi sahabat baikku, bahkan kami seperti saudara saja..."
"Ibu! Ia jahat sekali, juga amat lihai. Aku dikeroyoknya bersama dua orang wanita lainnya yang juga lihai. Aku sudah terluka dan tentu tewas di tangan permaisuri itu kalau saja Gan- toako tidak cepat merobohkannya dengan tembakan pistolnya. Ceng Hiang mengangguk-angguk.
"Aku sudah mendengar betapa ia kini menjadi permaisuri Raja Tai Peng dan membantu suaminya yang telah menyeleweng. Engkau berhutang budi kepada pemuda ini..."
"Bukan hanya sekali, Ibu."
"Hemm, dan apa maksudmu mengajak dia datang menghadap kami?" Wajah kedua orang muda itu menjadi merah.
"Ibu, kami berdua telah bertemu muka dengan kedua bengcu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang yang menjadi Suheng dari Gan-toako." Kembali Ceng Hiang tercengang, tak disangkanya bahwa pemuda yang jelas menarik hati puterinya ini adalah Sute dari dua orang pemimpin rakyat yang amat terkenal itu, terkenal pula di kalangan pemerintahan karena dua orang pendekar itu melakukan gerakan menentang Tai Peng dan tidak segan-segan bekerja sama dengan pemerintah. Dua orang itu bagi pemerintah bukan merupakan pemberontak, melainkan pendekar-pendekar yang bahkan dianggap menguntungkan pemerintah. Rasa suka dan kagumnya terhadap Han Le bertambah.
"Lalu, apa maksud dia ikut menghadap kami?" desaknya pula.
"Ibu, kami berdua sudah bersepakat untuk membantu perjuangan rakyat menentang pemberontak Tai Peng yang jahat itu. Sebelum itu, aku ingin pulang dan memberitahukan kepada Ibu dan Ayah, dan... dan... Gan-toako ikut karena... karena" Gadis itu merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya. melihat ini, Han Le merasa kasihan dan diapun menyambung dengan suara yang halus dan hati-hati.
"Harap paman dan bibi memaafkan saya, sesungguhnya, saya ikut menghadap ke sini sehubungan dengan pesan terakhir dari Ibu saya sebelum beliau meninggal dunia."
"Pesan terakhir Ibumu? Lalu apa pesan itu?" Ceng Hiang bertanya. Kini Han Le yang tidak dapat melanjutkan keterangannya karena dia merasa sungkan sekali. Dan Yu Bwee yang kini menolongnya.
"Ibu, sebelum Ibu kandung Gan-toako meninggal dunia, beliau menjodohkan kami dan... dan saya sudah menyetujuinya. Saya tidak tega untuk menolak permintaannya terakhir itu..." gadis itu menundukkan muka yang menjadi merah. Ceng Hiang mengerutkan alisnya, diam-diam ia merasa geli menyaksikan tingkah polah kedua orang muda itu.
"Bwee-ji (anak Bwee), jadi engkau mau menjadi jodoh Gan Han Le ini hanya karena ingin memenuhi permintaan terakhir dari Ibunya? Tidak ada alasan lain?"
"Sungguh aneh dan tidak baik sekali kalau perjodohan dilakukan hanya karena tidak tega menolak permintaanseorang yang mau meninggal dunia. Apakah engkau ingin mengorbankan seluruh kehidupanmu hanya untuk itu?" kata pula Yu Kiang.
"Ibu, Ayah, tentu saja bukan hanya untuk itu, akan tetapi kami... kami berdua... telah saling setuju..."
"Paman dan bibi, saya telah berani lancang jatuh cinta kepada adik Yu Bwee, harap ji-wi (kalian) sudi memaafkan saya." Gan Le menyambung, tidak ingin melihat Yu Bwee sendirian saja menghadapi keadaan yang membuat mereka merasa kikuk dan rikuh itu. Suamii isteri itu saling pandang dan merekapun tersenyum. melihat ini, Yu Bwee lalu merangkul Ibunya.
"Ibu dan Ayah... setuju, bukan?"
"Tentu saja kami setuju kalau kalian berdua sudah saling mencinta," kata Yu Kiang.
"Akan tetapi kami berdua tidak akan menikah sebelum Tai Peng dapat dihancurkan!" kata Yu Bwee dan Han Le mengangguk tegas menyetujui.
"Baiklah, akan tetapi, Han Le. Kami setuju dengan satu syarat, yaitu kalian boleh membantu gerakan pasukan rakyat untuk menghancurkan Tai Peng. Setelah itu, kalau timbul perang antara para pejuang dengan pemerintah, kalian tidak boleh mencampuri. Tentu engkau dapat memaklumi perasaan kami," kata Ceng Hiang.
Han Le mengangguk. Dia mengerti. Bagaimanapun juga, Ibu gadis yang dicintanya ini adalah keturunan Mancu sehingga tentu amat tidak enak kalau kelak dia sebagai mantunya ikut memusuhi Bangsa Mancu! Setelah tinggal di dusun itu selama tiga hari, Han Le dan Yu Bwee berangkat, kembali ke perbatasan untuk membantu perjuangan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bergabung dengan para pendekar, di bawah pimpian Ceng Kok Han. Pasukan rakyat yang dipimpin Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dibantu oleh para pendekar, makin lama menjadi semakin kuat karena para petani banyak yang membantu dan masuk menjadi sukarelawan. Makin hebat pasukan ini menyerang kedudukan Tai Peng dari segala penjuru.
Sebaliknya, setelah kematian permaisurinya, Tang Ki, dan panglimanya, Lee Song Kim dan anak buahnya, kedudukan Tai Peng menjadi lemah. Ong Siu Coan semakin aneh-aneh tindakannya, semakin gila dan tidak mampu lagi mempertahankan kekuatannya yang dahulu. Apalagi para perwiranya melakukan penyelewengan-penyelewengan, hanya mengejar kesenangan sendiri saja dan tidak setia lagi kepada Tai Peng. Oleh karena itu, hantaman-hantaman yang dilakukan oleh pasukan rakyat itu membuat pasukan Tai Peng mundur terus dan kedudukan mereka menjadi semakin lemah. sedikit demi sedikit, daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dapat direbut oleh pasukan pejuang rakyat, dan pasukan itu terpaksa mengundurkan diri ke Nan-king, kotaraja mereka.
Akhirnya, Nan-king dikepung oleh pasukan pejuang rakyat yang semakin kuat itu karena kepercayaan rakyat menjadi semakin besar terhadap pasukan ini. Harga diri rakyat diangkat, kebanggan mereka bangkit karena yang kini menyerang Tai Peng bukan pasukan Kerajaan Mancu, melainkan pasukan rakyat jelata. Melihat ini, orang-orang Barat tidak tinggal diam pula. Mereka memang waspada dan cerdik, dan dapat mempergunakan setiap kesempatan demi keuntungan mereka. Mereka melihat betapa lemahnya Tai Peng, oleh karena itu, untuk menyenangkan hati pemerintah Mancu dan juga rakyat, mereka lalu membantu gerakan pasukan rakyat itu. Seorang jenderal mereka, Jenderak Gordon, terjun menjadi penasihat dan pelatih pasukan sejata api yang disumbangkan oleh orang kulit putih kepada pasukan rakyat pejuang.
Akhirnya, pasukan Tai Peng dapat dihancurkan dan pada tahun 1864, kotaraja Nan-king dikepung. Sebelum kotaraja ini jatuh, lebih dahulu terjadi peristiwa yang semakin melemahkan perlawanan Tai Peng, yaitu matinya Raja Ong Siu Coan! Raja gila ini akhirnya mati membunuh diri karena putus harapan.Setelah dia meninggal dunia karena membunuh diri, pertahanan kotaraja menjadi kacau dan lemah, semangat para pasukannya hampir padam dan dengan mudah kotaraja Nan-king diduduki pasukan rakyat pejuang. Habislah sudah riwayat Tai Peng yang cukup menggemparkan itu. Menurut catatan sejarah, pasukan rakyat yang dipimpin oleh dua orang pemimpin rakyat ini, bukan hanya berhasil menghancurkan Tai Peng, melainkan memadamkan pemberontakan-pemberontakan lainnya, di antaranya pemberontakan Nian-fei yang dipadamkan pada tahun 1867, bahkan pemberontakan bangsa Turki yang dipimpin Yakub Beg juga dapat dihancurkan dalam tahun 1877.
Akan tetapi, setelah semua pemberontakan dapat dihancurkan, terjadi perbedaan pendapat antara Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, Ceng Kok Han tidak mau melanjutkan perjuangan dan tidak mau mengganggu pemerintah Ceng (Mancu) lagi. Ceng Kok Han membubarkan pasukannya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Li Hong Cang. Pendekar ini mempetahankan pasukannya, bahkan kelak pasukannya akan memegang peranan penting dalam sejarah Cina, bahkan memiliki saham besar sekali dalam pendirian negara republik dan jatuhnya Kerajaan Mancu kelak. Setelah Tai Peng jatuh, para pendekar banyak yang mengundurkan diri, termasuk Han Le dan Yu Bwee. Juga Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui, Dua pasangan ini mengundurkan diri lalu menikah dan selanjutnya hidup dengan tenteram tanpa mencampuri lagi urusan perang.
Bagaimana dengan Ibu Suri Cu Si? Janda ini sungguh luar biasa sekali. Biarpun dahulu ia hanya seorang selir, akan tetapi kini ia menjadi seorang yang paling berkuasa di dalam Kerajaan Mancu dan dengan hati membaja dan otak yang amat cerdik, ia mampu mempertahankan kedudukannya itu sampai matinya! Setelah Tai Peng jatuh, ia masih tetap memegang kendali Kerajaan Mancu selama empat puluh tahun lagi karena ia meninggal dalam tahun 1908! Bagaimana tercela sekalipun jalan hidupnya, namun tak seorangpin dapat menyangkal bahwa Cu Si merupkan seorang wanita luar biasa sekali, menguasai negara yang sedemikian besarnya dengan rakyat sedemikian banyaknya, selama hampir setengah abad, atau kurang lebih empat puluh tujuh tahun ia menjadi orang nomor satu di negaranya!
Demikianlah, cerita ini berakhir sampai di sini dengan catatan pengarang bahwa betapapun mulianya sebuah perjuangan dimulai, kalau kelanjutannya meninggalkan jalan kebenaran dan keadilan, seperti yang dilakukan Tai Peng, akhirnya akan mengalami kehancuran pula. Berbahagialah bangsa yang dipimpin oleh patriot-patriot yang dengan murni memegang teguh jalan kebenaran dan keadilan seperti yang dicita-citakan pada awal perjuangan.Semoga ada manfaatnya, di samping sebagai bacaan hiburan di kala senggang.
TAMAT
Lereng Lawu, akhir Mei 1981
ardi4n, 16 Juni jam 9:13am
http://indozone.net/literatures/literature/1755
Pedang Naga Kemala Eps 34 Dewi Ular Eps 6 Pedang Naga Kemala Eps 13