Ceritasilat Novel Online

Dewi Sungai Kuning 3


Dewi Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




Tapi dalam beberapa jurus saja dia terpaksa mengakui keunggulan Huang-ho Sian-li yang walaupun masih sangat muda namun memiliki kepandaian yang berlipat ganda lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Sebuah tusukan yang tepat menembus lehernya membuat dia roboh berguling-guling dari atas genteng dalam keadaan tidak bernyawa pula! Setelah mendengar cerita kepala kampung, maka seluruh penduduk baru mengerti mengapa Tan-chungcu demikian berubah. Tidak tahunya, beberapa pekan yang lalu, pada suatu malam, lima orang penjahat itu masuk dan menyerbu dari atas genteng ke dalam gedung Tan-chungcu. Lalu mereka itu mengancam kepala kampung untuk memeras rakyat dan menyerahkan semua hasil pemerasan kepada mereka! Mereka ini bersembunyi di dalam gedung Tan-chungcu dengan menyamar sebagai pengawal-pengawal yang katanya datang dari kota raja!

Tentu saja Cun Sam juga mereka yang membunuhnya. Semua keluarga kepala kampung tidak berdaya dan tidak seorang pun berani membuka rahasia mereka karena itu berarti bencana bagi keluarga kepala kampung itu! Semua penduduk kampung menyambut kedatangan Thian Hwa yang menyeret tubuh Si Gemuk Pendek yang tak bernyawa lagi itu dengan sorakan gemuruh. Mereka berterima kasih sekali, terutama Tan-chungcu sendiri. Kepala kampung yang sudah tua ini mengumpulkan seluruh keluarganya dan bersama-sama mereka berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala di depan Thian Hwa! Tentu saja gadis itu menjadi repot dan bingung, karena tak mungkin ia dapat mencegah orang sebanyak itu yang berlutut padanya, maka tiada lain jalan baginya selain ikut pula berlutut membalas hormat mereka!

Maka berpestalah seluruh kampung pada hari itu dan tiap bibir menyebut-nyebut nama Huang-ho Sian-li! Pada keesokan harinya, setelah menanyakan jalan, Thian Hwa meninggalkan kampung Lun-cwan dengan diantar oleh seluruh penduduk kampung, tua muda, laki-laki perempuan, sampai jauh di luar kampung. Gadis ini diberi seekor kuda yang bagus dan banyak pula bekal makanan dan pakaian yang diberikan padanya dengan setengah memaksa sehingga ia tidak dapat menolak lagi! Di sepanjang jalan, Thian Hwa merasa betapa senangnya memberi pertolongan kepada orang yang sedang menderita kesukaran, dan jika ia mengenang kembali kemesraan yang ia dapat dari para penduduk kampung Lun-cwan, ia tidak merasa hidup sebatang kara lagi, bahkan merasa bahwa seluruh penduduk kampung itu adalah saudara dan keluarganya!

Karena telah mendapat petunjuk dari kepala kampung Tan tentang jalan dan jurusan yang menuju ke kota raja, pula karena kini telah mempunyai seekor kuda yang kuat dan cepat larinya, maka perjalanan Thian Hwa menjadi lancar dan cepat. Biarpun semenjak kecil hidup di atas air sungai Huang-ho, tapi karena kakeknya seorang yang berpemandangan luas, maka ia pernah dilatih menunggang kuda, sehingga kini tidak kaku lagi dan dapat melakukan perjalanan jauh dengan kuda. Beberapa hari lewat tanpa terjadi sesuatu yang penting. Pada hari yang ketiga, Thian Hwa tiba di tepi sebuah sungai tapi jika dibandingkan dengan Huang-ho tampak tidak berarti, tapi cukup lebar karena pada waktu itu musim hujan telah tiba,

Thian Hwa telah diberitahu oleh orang di kampung yang baru dilewatinya bahwa jembatan besar yang menyeberangi sungai itu terdapat kira-kira lima li di sebelah barat. Karena semenjak kecil selalu hidup dekat sungai, maka melihat sungai ini timbullah kegembiraan Thian Hwa. Ia melihat di tempat itu sunyi sekali, maka segera ia tambatkan kudanya pada sebatang pohon dan ia cepat menanggalkan pakaian luarnya dan mengganti pakaian mandi yang ringkas. Rambutnya yang panjang itu ia gelung ke atas dan diikatnya dengan sepotong sutera halus. Kemudian ia terjun ke dalam air yang dalam dan mengalir deras itu! Sebentar kemudian tubuhnya berenang hilir mudik dengan cepat sekali dan Thian Hwa merasa tubuhnya segar dan enak. Alangkah nikmatnya mandi di sungai yang airnya dalam dan dingin itu.

Ternyata air sungai itu jernih dan lebih dingin daripada air Sungai Huang-ho, maka Thian Hwa merasa betah sekali mandi di situ. Ia menyelam ke dalam air mencari kerang dan mengejar ikan-ikan kecil yang bermacam-macam warna dan bentuknya, seperti yang tiap hari dilakukannya di Huang-ho dulu ketika ia masih kecil. Pada saat seperti itu ia lupa akan segala, lupa akan orang tua yang sedang dicarinya, lupa akan kakek yang ditinggalkannya, pendeknya lupa akan segala kesusahan dan hanya merasa gembira dan bahagia. Ia merasa dirinya benar-benar menjadi dewi air! Air sungai itu makin ke hilir makin besar. Dan dalam kegembiraannya, Thian Hwa telah berenang mengikuti aliran air sungai jauh juga dari tempat kudanya ditambatkan! Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengerikan terjadi di permukaan air, agak jauh ke hilir.

Sebuah perahu kecil yang indah terombang-ambing di permukaan air karena sedang diserang oleh seekor ular air warna hitam yang besar dan panjang! Ular itu telah menggunakan ekor dan tubuhnya membelit perahu dan kepala dijulurkan ke dalam hendak menerkam seorang yang mempertahankan dirinya dengan sebuah dayung kayu dan mencoba untuk memukul kepala ular itu dengan dayung. Tapi usaha orang itu sia-sia karena kepala ular makin dekat dan tiap saat tentu ia akan menjadi mangsa binatang itu yang agaknya tidak terburu-buru untuk segera menerkam mangsanya dan hendak mempermainkan lebih dulu! Melihat ini, Thian Hwa mempercepat berenangnya menuju ke perahu itu dan sekali meloncat sambil menekan pinggiran perahu, ia telah berada di atas perahu dan tanpa berkata ia telah merampas dayung dari tangan orang itu.

Orang itu ternyata seorang tua yang berpakaian bangsawan dan sikapnya gagah dan kini berdiri dengan mata terbelalak memandang gadis yang pakaian dan keadaannya bagaikan seorang dewi yang baru saja muncul dari Kerajaan Hai Liong Ong yang berada di bawah air! Dalam keadaan yang demikian mendesak untuk menolong jiwa orang, Thian Hwa tidak menggunakan banyak peradatan dan upacara lagi, bahkan ia lupa bahwa dengan pakaiannya yang ringkas dan basah itu sebetulnya tidak pantas untuk memperlihatkan diri di depan seorang laki-laki. Ia menggunakan dayung itu untuk memukul kepala ular. Tadi ketika dayung itu masih berada di tangan laki-laki bangsawan itu dan digunakan untuk menyerangnya, binatang itu dengan mudah dan secara main-main mengelakkan tiap pukulan.

Kini menghadapi serangan Thian Hwa, sekali pukul saja dayung itu tepat mengenai kepala ular sehingga ular itu mengamuk karena merasa sakit. Dari mulutnya keluar busa dan ia menyembur-nyembur dan mendesis-desis! Tapi Thian Hwa tidak takut bahkan ia menggunakan dayungnya menghantam tubuh dan ekor yang melilit perahu. Ular itu memberontak keras dan perahu itu hampir terguling dan terbalik! Orang tua bangsawan itu berteriak ketakutan karena dia tidak pandai berenang dan jika jatuh ke dalam air berarti mati baginya, maka dia berpegang kepada pinggiran perahu dan duduk dengan tubuh menggigil. Melihat hal ini, Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air dan menggunakan tangannya menahan badan perahu sehingga tidak berguncang lagi. Tapi pada saat itu, ular yang panjangnya lebih sepuluh kaki itu meluncur di permukaan air dan menyerangnya dengan hebat dan mulut terbuka lebar!

"Awaaaassss!!!" bangsawan itu menjerit ngeri ketika melihat hal ini, tapi Thian Hwa cepat bergerak menjauhi perahu karena ia hendak memancing ular itu menjauhi perahu.

Kalau harus bertempur di dekat perahu, maka ia akan sibuk sekali dan harus memecah perhatian dan tenaganya menjadi dua, sebagian untuk melawan ular, sebagian lagi untuk menjaga perahu. Ia berenang cepat dan dikejar dari belakang oleh ular itu! Sebetulnya, melihat badan ular yang panjang dan kelihatan licin berlenggang-lenggok itu, timbul ngeri dan jijik di dalam dada Thian Hwa, tapi sekali-kali tidak merasa takut. Ia mencari akal untuk melawan sebaiknya dan secepatnya menjatuhkan atau membinasakan ular itu. Tiba-tiba ia membalik dan berenang sambil telentang menghadapi ular itu. Ia sengaja berenang perlahan dan kadang-kadang mengangkat tubuhnya tinggi untuk memanaskan hati ular itu. Benar saja, ular itu makin marah dan mempercepat berenangnya.

Ia kini meluncur cepat sekali ke arah gadis itu dengan mulut dibuka selebar-lebarnya. Thian Hwa membuat perhitungan tepat, lalu ia siap sedia. Ketika ular datang mendekat dan menerjangnya dengan mulut terbuka lebar sehingga giginya yang runcing tampak nyata, Thian Hwa memapakinya dengan dayung di tangan dan gerakan dayungnya sedemikian rupa sehingga dayung kecil itu tepat sekali memasuki mulut ular dan terus disodokkan ke dalam sehingga memasuki perutnya! Ular itu berontak, sebagian tubuh belakang dan ekornya menyabet-nyabet dan berdaya melepaskan diri, tapi tusukan dayung itu terlampau dalam sehingga hampir saja seluruhnya masuk ke dalam tubuh! Ia hendak selulup (menyelam) tidak dapat, hendak berenang lari pun sukar karena kepala dan leher tidak dapat digerakkan lagi,

Maka ia hanya dapat menggerak-gerakkan tubuh belakangnya melilit-lilit dan berputar-putar menimbulkan ombak besar pada air yang telah mulai memerah bercampur dengan darahnya yang keluar dari mulut yang tak berdaya itu. Sementara itu, Thian Hwa berenang cepat menuju ke perahu kecil indah yang kini terputar-putar di tengah sungai karena tidak ada dayung yang mengemudikannya lagi. Bangsawan tua tadi hanya duduk bengong karena masih merasa ngeri dan heran melihat perkelahian antara ular dan gadis aneh itu. Dan dari tepi sungai tampak beberapa orang laki-laki berteriak-teriak bingung. Thian Hwa lalu menghampiri perahu dan sambil berenang ia mendorong perahu itu ke pinggir di mana orang-orang menyambut perahu itu dengan teriakan-teriakan girang.

"Kau... kau... manusiakah?" tanya bangsawan tua itu. Thian Hwa memandangnya dengan senyum manis. Wajah bangsawan itu mendatangkan rasa simpatinya, karena wajah itu membayangkan watak yang agung dan gagah.

"Aku orang biasa saja yang kebetulan lewat di sini." Bangsawan tua itu tak dapat berkata apa-apa lagi dan sementara itu perahunya telah tiba di tepi dan banyak tangan kini membantunya ke tepi. Begitu naik, bangsawan itu lalu melepas baju luarnya yang lebar dan indah lalu melemparkannya ke arah Thian Hwa yang masih berada di air.

"Siocia, kaupakailah ini dan naiklah. Aku ingin sekali bicara denganmu dan menyatakan terima kasihku." Thian Hwa makin tertarik melihat kesopanan dan kebaikan orang tua itu, apalagi sikap orang tua yang terus terang dan tanpa banyak peradatan itu mengingatkan ia akan kakeknya. Ia tahu bahwa dalam pakaian mandinya tak pantas kalau ia keluar dari air, maka ia lalu menggunakan pakaian luar bangsawan itu untuk menutupi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut, lalu mendarat. Semua orang heran melihat Thian Hwa dan memandang dengan bengong, bahkan beberapa orang bertanya.

"Siapakah gadis cantik ini?" Karena banyak mata orang memperhatikannya, Thian Hwa menjadi tidak senang dan malu, maka bangsawan itu membentak.

"Kalian semua manusia yang tidak bisa diharapkan! Baru ada serangan ular begitu saja kalian melarikan diri dan semua memikirkan keselamatan diri sendiri dan meninggalkan aku seorang diri di tengah sungai! Sungguh semangat kalian dibandingkan dengan semangat tikus pun masih kalah besar. Lihatlah Siocia ini. Ia adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dengan sebatang dayung kecil ia berhasil membuat ular air tadi tak berdaya. Ia menusuk mulut ular itu sehingga dayung perahuku masuk sampai ke perut ular! Ha, ha! Sungguh hebat, sungguh lucu! Aku ingin sekali melihat muka ular air itu sekarang! Tadi ketika ia menyerangku sangat ganas sekali!" Kemudian bangsawan itu bertanya kepada Thian Hwa tentang asal-usulnya yang dijawab oleh gadis itu dengan sederhana saja.

"Aku adalah seorang dari Sungai Huang-ho, dan hidup sebagai nelayan. Aku pada waktu ini sedang merantau meluaskan pengalaman dan hendak pergi ke kota raja." Mendengar kata-kata gadis yang sangat sederhana dan tidak banyak menggunakan peradatan seperti yang biasa ia mendengar orang bersopan-sopan padanya, pembesar itu semakin tertarik, lalu ia memperkenalkan diri.

Ternyata bangsawan itu adalah seorang pangeran bernama Ciu Wan Kong yang menduduki tempat penting juga di dalam istana raja. Pada waktu itu dia sedang pesiar dan dengan diikuti oleh beberapa orang teman dan pengawal, dia lewat di tempat itu dan bermain-main di atas perahu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di sungai yang tak berapa besar itu terdapat ular air yang demikian besar dan galak sehingga hampir saja menewaskan jiwanya kalau tidak segera datang gadis itu menolong. Ketika melihat ular itu, semua sahabat dan pengawalnya cepat-cepat mendayung perahu dan berenang lari ke tepi, tanpa sedikit pun pedulikan jiwa pangeran itu. Oleh karena pertolongan ini maka pangeran itu sangat berterima kasih kepada Thian Hwa.

"Lihiap tentu seorang pendekar gagah. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu?"

"Aku bernama Thian Hwa dan sudah lama ada orang menyebut diriku Huang-ho Sian-li," jawab Thian Hwa, kemudian gadis itu memohon diri karena teringat akan kuda dan pakaiannya.

"Lihiap, kalau hendak ke kota raja, marilah ikut saja dengan kami. Kami ada kendaraan dan kuda di kampung dekat itu." Thian Hwa menolak dengan halus dan biarpun dibujuk-bujuk oleh bangsawan yang sangat berterima kasih dan hendak memperlihatkan keramahan dan kebaikan untuk sekedar membalas budi, tetapi gadis itu menolak.

"Lopeh, Kakekku selalu berkata bahwa manusia hidup harus selalu menolong sesamanya di saat yang perlu, karena untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Aku hanya mentaati pesan Kakekku, dan sekali-kali bukan hendak menanam budi dan mengharap balas. Nah, selamat tinggal, Lopeh!"

Thian Hwa adalah seorang gadis didikan kampung yang tidak tahu akan adat istiadat atau tata cara kesopanan, maka ia pun menyebut bangsawan itu dengan "Lopeh" atau paman saja, panggilan yang selalu ditujukan kepada seorang laki-laki tua! Tapi pangeran itu tidak marah bahkan ia terharu sekali mendengar kata-kata filsafat yang tinggi itu keluar begitu saja dari mulut seorang gadis muda yang berilmu silat tinggi ini! Padahal gadis itu sedemikian bodoh dan sederhana sehingga menyebut orang dengan patut saja tidak pandai! Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air kembali dan dari situ ia melemparkan jubah luar pangeran itu ke darat sambil berkata,

"Aku kembalikan pakaian luar, terima kasih!" Sehabis berkata demikian ia menggerakkan kaki tangannya dan sebentar saja ia lenyap di bawah permukaan air! Pangeran Ciu Wan Kong dan kawan-kawan serta sekalian pengiringnya merasa kagum dan heran sekali, dan berkali-kali pangeran tua itu menghela napas karena merasa kecewa dan menyesal tak dapat bicara dan mengetahui riwayat gadis itu lebih banyak lagi.

Dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Kemudian setelah menegur lagi orang-orangnya yang memperlihatkan sifat pengecut ketika menghadapi bahaya, dia lalu kembali ke kota raja. Thian Hwa berenang kembali ke tempat semula dan alangkah kagetnya ketika ia tidak melihat lagi kudanya di tempat tadi! Kuda dan bungkusan pakaiannya telah lenyap! Ia menjadi bingung sekali dan hampir saja menangis di pinggir sungai itu karena tak mungkin ia melanjutkan perjalanan dengan pakaian seperti itu dan pakaian mandinya basah pula! Dengan bingung dan gemas Thian Hwa berlari cepat menuju ke jembatan untuk menyeberangi sungai itu, karena ia merasa di tempat itu tentu terdapat kampung di mana ia dapat meminjam pakaian!

Untung baginya bahwa ketika itu sudah hampir senja sehingga ia tidak lama menanti hari menjadi gelap dan memasuki sebuah kampung di dekat jembatan itu. Dengan menggunakan kepandaiannya, mudah saja ia memasuki rumah yang agak besar dan indah bagaikan seorang maling yang pandai ia masuk ke dalam kamar dan memilih seperangkat pakaian wanita. Akhirnya ia mendapat juga pakaian berwarna biru yang lumayan dan segera dipakainya lalu ia pergi dari rumah itu. Karena ia tidak ingin lagi keesokan harinya terlihat oleh pemilik pakaian yang dicurinya itu, maka malam itu juga ia menyeberang sungai dan tiba di sebuah dusun. Ia naik ke atas wuwungan dan tidur di atas rumah orang. Hawa sangat dingin, tetapi Thian Hwa sudah biasa tidur di udara terbuka sehingga hawa dingin tidak lagi merupakan gangguan hebat baginya.

Apalagi ia telah memakai pakaian yang agak tebal maka sebentar saja ia telah tidur nyenyak di atas genteng rumah orang! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Tapi pada saat itu ia merasa lapar sekali dan bingunglah dia. Hendak membeli makanan, tidak membawa uang, karena semua barangnya telah disambar orang. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dan giranglah hatinya. Itu adalah ringkik kudanya! Segera ia menuju ke tempat itu dan tampak olehnya seorang hwesio sedang menuntun kudanya. Hwesio itu masih muda dan memakai jubah hitam. Thian Hwa merasa heran sekali karena tidak mungkin seorang hwesio mau mencuri kuda dan pakaiannya! Maka dengan sabar ia maju menghampiri hwesio itu dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata,

"Kalau aku tidak salah, kuda dan bungkusan pakaian itu adalah milikku yang hilang di pinggir sungai. Dari manakah kauperoleh kuda dan barang-barang yang sedang kucari-cari ini?" Hwesio itu terkejut dan memandangnya untuk beberapa lama, kemudian ia menyeringai,

"Oh, oh, jadi engkau yang meninggalkan pakaian di pinggir sungai? Dan waktu itu kau sedang ke mana?" Thian Hwa menganggap pertanyaan itu biasa saja, maka ia menjawab sejujurnya.

"Aku sedang mandi di sungai." Hwesio itu memandangnya dengan mata terbelalak, dan mulut yang tebal itu tersenyum-senyum kurang ajar, lalu katanya sambil tertawa.

"Aih, aih! Mengapa tadi aku tidak melihatmu? Ah, sungguh sayang, sungguh sayang! Alangkah senangnya melihat kau mandi!" Sambil berkata demikian, kedua mata hwesio itu dengan secara kurang ajar sekali memandangi tubuh Thian Hwa dari atas sampai ke bawah. Hal ini membuat gadis itu marah sekali dan hampir saja ia menggerakkan tangan menyerang, tapi karena di situ mulai banyak orang lewat, ia hanya memaki perlahan.

"Hwesio kurang ajar, lekas kau kembalikan kuda dan bungkusan pakaianku, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan menghina seorang hwesio di muka umum dengan pedangku!" Tapi ditantang dan diancam secara demikian, hwesio muda itu ternyata tidak takut sama sekali, bahkan dia lalu tertawa besar.

"Ha, ha! Nona manis agaknya bisa juga bermain pedang. Hayo, kulayani kau beberapa jurus, kalau permainan pedangmu cukup baik, boleh kauambil kuda dan pakaian ini." Lalu hwesio itu menuntun kuda menuju ke luar kota dengan cepat diikuti oleh Thian Hwa. Ketika tiba di tempat yang sunyi, hwesio itu menambatkan kuda Thian Hwa pada sebatang pohon, lalu dia menghadapi Thian Hwa dengan senyum dibuat-buat.

"Nona, kau masih muda dan cantik. Tidak baik kau merantau seorang diri saja. Aku suka mengembalikan kuda dan pakaianmu dan selanjutnya marilah kita jalan bersama. Aku akan menjadi pelindungmu." Sikapnya masih kurang ajar sehingga kemarahan Thian Hwa meluap.

"Bangsat gundul, jangan kau kurang ajar! Lekas serahkan bungkusan pakaianku itu. Kalau aku hilang sabar, kepala gundulmu itu tentu akan menggelinding dari batang lehermu!" Sekarang marahlah hwesio itu. Dia menganggap Thian Hwa terlalu sombong dan tidak mengindahkannya.

"Eh, perempuan muda! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah murid ke tiga dari Pat-chiu Lo-mo."

"Aku tidak peduli kau murid siapa, biar murid Iblis Tua Tangan Delapan atau siluman aku tidak takut! Jangankan kepalamu yang gundul hanya sebutir, biar kau tambah sepuluh butir lagi, kalau barang-barang dan kudaku tidak lekas Kau kembalikan, pasti akan kutebas buntung semua!"

"Setan kurang ajar!" Hwesio itu membentak dan mencabut pedangnya dari punggung lalu menyerang dengan gemas. Thian Hwa melihat datangnya serangan hebat dan cepat juga, segera kelit serangan itu dan mencabut pedangnya pula. Sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat, tapi terpaksa hwesio muda itu harus mengakui keunggulan Kwam-im Kiam-hoat dari Thian Hwa. Dia mulai terdesak hebat dan gadis itu tidak mau memberi hati kepadanya. Pada suatu saat yang tepat, Thian Hwa berhasil
(Lanjut ke Jilid 03)
Dewi Sungai Kuning/Huang Ho Sianli (Seri ke 01 " Dewi Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

Jilid 03
memasukkan pedangnya di antara tangkisan lawan dan ujung pedangnya menyambar dada! Hwesio itu terkejut sekali dan buru-buru menggulingkan tubuh ke belakang, tapi masih saja ujung pedang merobek jubahnya dan melukai kulit dadanya sehingga dia terus menggelinding di atas tanah sampai jauh, meloncat dan berlari pergi meninggalkan buntalan pakaian dan kuda!

Thian Hwa tertawa geli, lalu ia menghampiri kudanya dan mengelus-elus kepala kuda itu. Binatang itu meringkik girang karena ia pun masih mengenali kawan seperjalanannya itu. Kemudian Thian Hwa membuka buntalan dan memeriksa isinya. Ternyata pakaian masih lengkap, bahkan bertambah dengan satu stel pakaian hwesio itu. Dengan jijik ia melempar pakaian hwesio itu ke atas tanah dan pada saat itu ia melihat sehelai surat melayang keluar dari saku jubah itu. Surat itu kertasnya berwarna merah dan indah, maka Thian Hwa tertarik akan surat itu. Dipungutnya surat itu, lalu dibukanya. Ternyata itu adalah surat yang ditujukan kepada pangcu atau ketua perkumpulan Lian-bu-pang di kota Twi-lok. Bunyi surat itu sebagai berikut.

Lian-bu-pangcu yang terhormat,
Pembawa surat ini sangat boleh dipercaya untuk dikirim sebagai penghubung dengan Pangeran Leng di kota raja.
Tertanda, Pat-chiu Lo-mo

Thian Hwa memutar otaknya. Ia tidak tertarik akan nama-nama seperti Ketua Lian-bu-pang maupun Pat-chiu Lo-mo yang ia ingat adalah suhu dari hwesio jahat tadi. Tapi disebutnya Pangeran Leng di kota raja membuat ia berpikir. Bukankah ini suatu kesempatan baik untuk memudahkan penyelidikannya? Ia hendak menyelidiki para bangsawan di kota raja untuk mencari orang tuanya dan adanya hubungan dengan seorang pangeran tentu akan sangat menolong usahanya itu. Di dalam surat ini tidak disebut nama, maka apa salahnya kalau ia mewakili hwesio itu? Dengan hati tetap Thian Hwa lalu menaiki kudanya dan membedal binatang itu cepat-cepat kembali ke kampung yang baru saja ditinggalkan.

Ia membeli makanan dan mengisi perutnya, lalu minta keterangan di mana letak kota Twi-lok. Bukan main girangnya ketika mendapat keterangan bahwa kota itu justru berdekatan dengan kota raja yang tidak membuang banyak waktu lagi. Ia membalapkan kudanya dan melanjutkan perjalanannya. Beberapa hari kemudian, sampailah ia di kota Twi-lok dan mudah sekali baginya untuk mencari gedung perkumpulan Lian-bu-pang karena hampir semua orang mengenal nama ini. Ketika Thian Hwa tiba di depan pintu gedung itu, ia heran bahwa di dalam gedung berkumpul banyak tamu. Hatinya agak berdebar karena ia merasa khawatir kalau pemalsuannya ini diketahui orang. Tapi dasar ia memang seorang gadis yang berjiwa besar dan berhati tabah, ia masuk dengan muka terangkat. Seorang penjaga pintu menyambutnya dengan hormat dan berkata,

"Lihiap, silakan masuk!" Ternyata ruang dalam gedung itu luas sekali dan beberapa belas orang, di antaranya tiga orang wanita, duduk mengitari meja besar sambil menghadapi hidangan dan arak. Melihat kedatangan Thian Hwa semua orang memandang dengan penuh perhatian.

"Maafkan aku, Cu-wi." kata Thian Hwa sambil mengangguk sederhana,

"Apakah di antara kalian ada terdapat ketua dari Lian-bu-pang?" Seorang laki-laki tinggi kurus kurang lebih berusia empat puluh tahun berdiri menjura.

"Nona mencari aku ada keperluan apa?" Thian Hwa mengeluarkan surat dan berkata,

"Aku membawa surat dari Pat-chiu Lo-mo!" Kagetlah semua orang yang berada di situ mendengar ini, dan ketua dari Lian-bu-pang sendiri buru-buru maju dan memberi hormat.

"Maaf, kiranya Lihiap utusan dari Cio-locianpwe? Silakan duduk." Setelah memberikan surat, Thian Hwa duduk dan melirik semua orang yang duduk di situ dengan sudut matanya. Mereka semua tampak gagah dan berkepandaian, maka ia semakin berlaku hati-hati. Ketua itu setelah membaca habis surat dari Pat-chiu Lo-mo, segera tertawa dan kembali menjura kepada Thian Hwa.

"Lihiap, maaf kami tidak tahu dan kurang menghormati Lihiap yang datang tiba-tiba ini, maka mohon maaf. Aku adalah pangcu dari Lian-bu-pang dan namaku Lauw Cin. Cu-wi sekalian, Nona ini membawa surat dari Cio-locianpwe yang mempercayakannya untuk menjadi penghubung." Semua orang terkejut dan seorang bertubuh gemuk berdiri dan berkata dengan suara kurang senang.

"Pat-chiu Lo-mo sungguh menghina kita! Dia terlalu memandang rendah kita rupanya! Masa ia mengirim seorang nona muda ini untuk menjalankan pekerjaan itu? Apakah ia menganggap kita anak-anak kecil yang tidak becus apa-apa?" Sambil berkata demikian, Si Gemuk itu memandang kepada Thian Hwa dengan mata tajam dan memandang rendah, sedangkan mendengar ini semua orang diam.

Untuk sesaat suasana menjadi sunyi sekali, tak seorang pun berani mengeluarkan suara dan Si Gemuk lalu duduk kembali dan mengangkat cawan araknya ke mulut. Tapi pada saat itu terdengar suara nyaring dan cawan beling di tangannya telah pecah menjadi dua! Ketika semua orang melihat, ternyata yang membuat pecah cawan itu adalah sebutir kacang tanah. Mereka terkejut sekali dan cepat memandang ke arah Thian Hwa. Gadis itu dengan tenangnya memakan kacang tanah yang tersedia di atas piring dan agaknya dengan menggunakan jari tangan ia menyentil sebutir kacang tanah untuk memecahkan cawan Si Gemuk yang tadi telah mencelanya! Si Gemuk yang tidak melihat bagaimana caranya cawan di tangannya itu tahu-tahu menjadi pecah, lalu tersenyum dan sambil berdiri dia mengambil secawan arak lain lalu diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata,

"Aku harap Saudara yang tadi membikin pecah cawanku suka mengulangi lagi perbuatannya sehingga kita semua dapat melihatnya, jangan berlaku sembunyi-sembunyi seperti tindakan seorang pengecut!" Si Gemuk itu adalah seorang yang ahli ilmu golok dan kepandaian silatnya tergolong tinggi juga, maka dia merasa penasaran telah dipermainkan orang. Kini dia siap sedia untuk membuat malu orang yang mengganggunya itu. Dia yakin bahwa kini orang takkan mudah begitu saja membuat pecah cawan di tangannya, dan jika orang itu berani lagi mencoba, tentu ia akan dapat mengelak dan orang itu akan mendapat malu. Tiba-tiba Thian Hwa tertawa nyaring dan sambil memperlihatkan sebutir kacang tanah ia berkata,

"Eh, tuan yang gemuk, aku datang-datang telah mendengar kata-katamu yang mengejek Pat-chiu Lo-mo dan memandang rendah padaku. Aku habiskan perkara itu karena mengingat bahwa aku sedang mabok. Tapi jangan harap kau akan mencegah aku memecahkan setiap cawan arak yang hendak kau minum, karena aku tidak senang melihat kau semakin mabuk bicara tak karuan! Lihat ini!"

Dengan jari telunjuknya, Thian Hwa menyentil kacang tanah itu yang meluncur cepat sehingga tak terlihat ke arah cawan di tangan Si Gemuk. Si Gemuk itu telah menduga akan datangnya senjata rahasia yang aneh ini dan yang cukup berbahaya, maka cepat dia menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke bawah. Dia merasa betapa benda kecil itu menyambar di dekat lengannya dan tidak mengenai sasaran! Ia merasa girang sekali dan membuka mulut untuk menertawakan, tapi pada saat itu juga terdengar suara "prak!" dan cawan di tangannya itu pecah sehingga araknya tumpah membasahi lengan dan tangan kanannya!

Ternyata bahwa Thian Hwa menggunakan dua butir kacang tanah yang dilepas bergiliran. Yang pertama hanya untuk memancing saja dan pada saat ia berkelit, ia lepaskan pula yang kedua sehingga tepat mengenai sasarannya! Tentu saja kepandaian ini membuat semua orang merasa kagum. Mereka yang terdiri dari ahli-ahli silat berilmu tinggi maklum bahwa untuk dapat menggunakan kacang tanah itu memecahkan cawan dengan hanya disentil dengan jari tangan, orang harus mempunyai tenaga lweekang yang sangat tinggi dan latihan yang sempurna. Mereka tidak tahu bahwa sentilan jari telunjuk Thian Hwa sering dilatih untuk menggunakan benda-benda kecil apa pun saja disentilkan ke arah ikan-ikan di Sungai Huang-ho dan betapa dalam pun ikan itu berenang,

Sekali terkena benda yang disentilkan dari atas perahu oleh Thian Hwa pasti akan mati dan terapung! Si Gemuk itu kini tak dapat menahan lagi marahnya. Dia memang terkenal berangasan dan sangat mengagungkan kepandaiannya bermain golok. Memang dia pandai sekali bermain Hui-eng To-hoat yakni Ilmu Golok Elang Terbang. Goloknya besar dan berat sehingga permainan goloknya yang istimewa itu sangat ditakuti orang. Namanya adalah Phang Houw dan dia dijuluki orang Si Golok Elang Terbang. Kini melihat betapa seorang gadis muda yang masih hijau berani menghinanya sedemikian rupa di muka orang banyak, dia memukul meja sehingga cawan arak berhamburan dan membentak keras dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

"Nona, kau sebagai utusan Pat-chiu Lo-mo seharusnya mengenal dan tahu bahwa aku Hui-eng-to bukan orang yang mudah saja menerima hinaan! Tapi, mengingat nama Pat-chiu Lo-mo dan melihat muka para saudara di sini, aku masih mau mengampuni perbuatanmu tadi karena kau masih begini muda dan bodoh. Akan tetapi untuk menerima kau sebagai penghubung sebagaimana yang diusulkan oleh orang tua she Cio itu, sungguh aku masih sangsi! Sekarang kau cabutlah senjatamu dan coba kaulayani golokku. Jika kau sanggup bertahan sampai lima puluh jurus, barulah aku orang she Phang mau menerimanya sebagai penghubung." Thian Hwa sebenarnya marah sekali melihat lagak Si Gemuk itu dan kalau menuruti hatinya ingin benar ia sekali serang merobohkan orang angkuh itu. Tapi karena ia teringat akan kepentingannya sendiri, yakni untuk menghubungi pangeran dan mencari orang tuanya, maka ia menahan kemarahannya dan segera berdiri sambil menjawab.

"Baik sekali, kawan. Aku pun tidak suka menghina orang asalkan orang jangan mengganggu aku lebih dahulu! Biarlah kuperlihatkan bahwa tidak sia-sia Pat-chiu Lo-mo mempercayaiku. Silakan kau menggunakan golokmu!" Gadis itu lalu maju ke ruang yang luas itu dan mencabut pedangnya. Phang Houw mencabut goloknya yang lebar, berat dan berkilauan itu, sehingga sangat mengerikan tampaknya, lalu dengan tindakan bebas dia menghampiri Thian Hwa. Sebelum dia mulai menyerang, dia menjura ke arah tuan rumah dan berkata,

"Lauw Pangcu, maafkan aku kalau aku terpaksa menguji Nona ini, karena ini untuk kepentingan urusan kita." Lauw Cin berkata tenang.

"Memang itu patut sekali, Phang-hiante, asal saja kau berhati-hati dan ingat bahwa Lihiap ini adalah utusan Cio-locianpwe!" Kata-kata ini membuat Thian Hwa heran karena agaknya Iblis Tua Tangan Delapan itu sangat dihormat dan ditakuti. Kemudian Phang Houw berseru keras.

"Nona, kau lihat golokku!" Golok besar itu segera menyambar sehingga mendatangkan angin. Serangan pertama ini cukup hebat karena tiba-tiba Phang Houw menggunakan tipu gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan. Datangnya serangan sangat keras dan golok besar itu berputar-putar menebas dari kanan ke kiri ke arah leher Thian Hwa dan ketika gadis itu berkelit mundur, golok itu melayang dari kiri ke kanan berkali-kali dan kini menyabet ke pinggang gadis itu dengan gerakan yang sangat cepat sekali! Thian Hwa dapat menduga bahwa kalau ia berkelit terus, golok itu juga terus akan mengejar dan menyerangnya karena gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan memang terus-menerus bergerak menyerang dari kanan ke kiri dan sebaliknya sehingga golok itu terus menerus diobat-abitkan dengan gerakan cepat dan berbahaya sekali.

Thian Hwa lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia menggunakan gerak tipu Tiang-khing-king-thian atau Pelangi Panjang Melengkung di Langit menyerang dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawannya! Serangan ini berbahaya sekali karena ujung pedang itu kalau ditangkis dapat diubah gerakannya menjadi serangan melintang menyabet leher. Phang Houw terkejut sekali dan ia meloncat mundur lalu bersamaan menyerang lagi ketika tubuh lawannya yang ringan bagaikan burung itu telah menginjak tanah. Mereka bertempur lagi dengan hebat. Kini Thian Hwa tidak mau berlaku ragu-ragu dan ia mengeluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat. Gerakannya sebentar lemas dan lemah-gemulai, tapi kadang-kadang berubah ganas dan cepat sekali sehingga setelah mereka bertempur lebih dari lima puluh jurus,

Phang Houw mulai merasa kepalanya pening dan tak mampu menyerang lagi, hanya dapat menangkis dan berkelit karena pedang lawannya bagaikan telah berubah menjadi puluhan banyaknya! Pada suatu saat Phang Houw merasa begitu terdesak sehingga dia menjadi nekad dan mengeluarkan gerakan mengadu jiwa. Ketika dia merasa betapa ujung pedang lawannya mengancam dadanya sebelah kanan, dia barengi menubruk maju dengan goloknya untuk mengadu jiwa dan mati bersama! Tentu saja Thian Hwa tidak sudi melayani kehendak lawannya ini, dan segera menggunakan pedangnya menangkis. Kali ini karena kedua senjata digerakkan dengan sekuat tenaga, maka dua tenaga beradu keras sekali dan kesudahannya membuat Phang Houw berteriak kaget karena dia merasa betapa telapak tangannya sakit sekali sehingga tak kuasa lagi mempertahankan goloknya yang terlepas dan terpental ke atas.

Ketika golok yang besar dan berat itu meluncur ke bawah dan tepat menuju ke arah di mana Thian Hwa berdiri, gadis itu dengan tenang sekali menggunakan pedangnya menyambut dan memutar pedang itu sedemikian rupa, sehingga golok besar itu terputar-putar dengan ujungnya seakan-akan menempel di pedang Thian Hwa! Pertunjukan ini sungguh hebat dan indah sehingga semua orang menjadi sangat kagum dan bertepuk tangan memuji. Bahkan Phang Houw sendiri berdiri bengong karena heran. Thian Hwa lalu mengulur tangan kiri dan menangkap gagang golok lawannya itu, lalu dengan tersenyum ia mengembalikan golok itu kepada Phang Houw. Si Gemuk itu kini menjadi tunduk betul, dia menghela napas berulang-ulang dan berkata,

"Seumur hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang muda yang selihai kau ini, Nona. Siapakah namamu yang mulia dan siapa pula Suhumu yang terhormat?" Semua orang juga ingin tahu nama dan suhu dan gadis lihai itu. Thian Hwa menjawab sederhana.

"Aku bernama Thian Hwa dan orang di sebelah selatan menyebutku Huang-ho Sian-li. Suhuku adalah Huang-ho Sui-mo." Semua orang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sian-li, tapi nama Huang-ho Sui-mo pernah mereka dengar, maka mereka mengangguk-angguk dan menyatakan kagum.

"Memang patut sekali Lihiap diserahi tugas ini," kata Louw Cin dengan girang.

"Jika Cu-wi sudah cukup percaya kepadaku, harap urusan ini lekas diterangkan dengan jelas kepadaku, karena sesungguhnya Pat-chiu Lo-mo tak pernah memberitahu apa-apa, hanya minta aku supaya datang saja ke sini," kata Thian Hwa. Maka Louw Cin lalu menerangkan duduknya persoalan. Ternyata bahwa di lingkungan kerajaan kaisar, terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan di antara para bangsawan tinggi. Mereka berlomba untuk merebut hati Kaisar yang sudah tua, dan sementara itu, dengan diam-diam mereka menggunakan segala daya untuk menyingkirkan bangsawan lain yang dianggap sebagai saingan terbesar. Di antara para pembesar itu, terdapat seorang pangeran yang bernama Leng Kok Cun. Pangeran ini mempunyai kekuatan dan pengaruh besar juga karena dia adalah putera seorang selir yang tercinta.

Tapi pangeran ini mempunyai watak yang buruk dan dia bahkan mengandung niat untuk merampas kedudukan Kaisar jika Kaisar tua itu telah meninggal dunia. Dia mengumpulkan banyak ahli-ahli silat berkepandaian tinggi untuk menjadi sahabat dan kaki tangannya. Di antaranya adalah Louw Cin yang sudah dipercayainya benar-benar. Beberapa waktu yang lalu, Pangeran Leng minta agar dikirim seorang penghubung yang pandai dan yang datang dari luar kota, karena para bangsawan lain telah menaruh curiga dan tidak baik kalau penghubung yang mendatangi rumah pangeran itu orang-orang yang tinggal di kota raja. Hal ini akan mudah mereka ketahui. Karena inilah maka Louw Cin lalu minta tolong Pat-chiu Lo-mo yang juga telah terbujuk olehnya untuk mengabdi kepada Pangeran Leng, untuk mengirim seorang yang pandai.

"Dan demikianlah, maka ternyata Cio-locianpwe telah mengirim Lihiap ke sini, yakni untuk membantu Pangeran Leng dan menjalankan perintah-perintah rahasia dari sana. Kalau tidak salah, Pangeran Leng hendak memberi perintah-perintah kepada para pembantunya di barat dan selatan untuk bersiap sedia, maka lebih baik Lihiap segera mendatangi gedungnya dengan membawa surat dari kami." Mengertilah kini Thian Hwa bahwa dengan tak disengaja ia telah melibatkan diri sendiri dengan urusan negara yang ruwet. Maka segera ia minta surat itu, lalu setelah mendapat petunjuk di mana letak gedung Pangeran Leng, ia segera menuju ke sana. Gedung pangeran itu ternyata besar dan mewah sekali, tapi terjaga keras. Setelah memberitahu bahwa ia datang dari Lian-bu-pang, barulah ia diperkenankan masuk ke dalam sebuah kamar dan menanti di situ,

Thian Hwa merasa bahwa dari balik pintu dalam tentu ada mata orang mengintai, maka ia pura-pura tidak tahu dan diam saja, karena ia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya curiga kepadanya. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki yang berpakaian mewah. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, mukanya licin dan sepasang matanya yang sipit itu hampir-hampir tertutup. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah sekali. Inilah Pangeran Leng Kok Cun. Thian Hwa berdiri dan memberi hormat sepantasnya, lalu ia menyerahkan surat itu. Setelah pangeran itu membacanya, dia merasa sangat heran mengapa orang mengirim seorang gadis muda lagi cantik untuk menjadi penghubung? Tapi ketika melihat pedang di punggung Thian Hwa, dia dapat menduga bahwa ilmu silat gadis ini tentu hebat, kalau tidak, Louw Cin takkan begitu gila mengirimnya ke situ.

"Nona, sungguh tak kusangka bahwa kau yang semuda ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dipercaya oleh Louw Cin. Nona, kau mendapat kamar di bangunan sebelah kiri dan malam nanti akan kuberi tugas pertama padamu. Sekarang beristirahatlah!"

Thian Hwa tidak senang melihat orang ini. Sikapnya demikian memerintah dan tidak mengindahkan orang lain. Gagallah maksudnya hendak mendengar sesuatu tentang orang tuanya dari orang sekaku ini. Maka untuk sementara waktu ia harus menurut saja, dan pergilah ia ke tempat yang disediakan untuknya itu. Ternyata ia mendapat kamar yang cukup mewah dan menyenangkan. Dengan hati-hati sekali Thian Hwa memeriksa jendela dan pintu kamar itu, tapi ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia beristirahat di atas pembaringan yang indah dan bersih itu. Malamnya, setelah keadaan di luar gelap, ia dipanggil ke ruang dalam di mana Pangeran Leng telah menantinya.

"Duduklah, Nona. Sebetulnya aku mempunyai sesuatu yang sangat penting dan rahasia untuk disampaikan ke luar kota dan kaulah yang telah dipilih untuk melakukan tugas berat ini. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang menghendaki barang yang kuserahkan padamu itu dan mungkin kau akan mendapat rintangan di jalan. Maka agar hatiku tenteram, dan untuk mengujimu, lebih dulu kau malam ini harus melakukan sesuatu untukku. Kau pergilah ke gedung Pangeran Ciu Kiong di sebelah timur kota. Dia ini adalah musuhku yang paling besar dan kau harus dapat membunuhnya! Dan kalau bisa malam ini juga!" Terkejutlah Thian Hwa mendengar ini. Celaka sekali, ia harus memasuki urusan yang kotor dan ruwet. Datang-datang ia disuruh membunuh orang begitu saja! Dan sikap pangeran ini demikian tinggi, seakan-akan ia memang bujangnya yang setiap waktu diperintah sesukanya! Sebelum ia sempat membantah, tiba-tiba dari atas terdengar seruan orang.

"Thaijin, awas, gadis itu adalah mata-mata musuh!" Dan berbareng dengan itu, dari atas melayang tiga batang huito atau golok terbang menyambar ke arah Thian Hwa! Gadis itu loncat menyingkir dan tertawa geli.

"Sudahlah, kalian orang-orang rendah! Aku tak perlu mencampuri urusanmu yang kotor!" Lalu ia meloncat keluar. Tapi Pangeran Leng sudah berteriak.

"Tangkap penjahat!" Sehingga para pengawalnya telah maju mengejar. Juga dari luar datang Louw Cin dan seorang tua bongkok dan wajahnya buruk sekali dan memegang sebatang tongkat, serta di punggungnya yang bongkok tampak tempat golok-golok kecil, maka tahulah Thian Hwa bahwa yang melepas golok terbang tadi adalah Si Bongkok itu!

"Setan perempuan, berhenti!" Louw Cin yang mencegat di depannya membentak.

"Mengakulah terus terang, siapakah engkau dan apa kehendakmu memalsukan surat dari Cio-locianpwe?"

"Aku sudah mengaku tadi dan namaku sudah kuterangkan pula. Tentang memalsu, aku tidak memalsu hanya menyampaikan surat yang kutemukan dari seorang maling kecil!" Tiba-tiba Si Bongkok menuding.

"Hemm, jadi kau yang telah melukai muridku?" Thian Hwa melengak.

"Eh, eh, kau yang disebut Iblis Tua Tangan Delapan? Pantas, pantas..." Marahlah orang itu.

"Kau lancang mulut, rasakan tanganku!" Kakek bongkok ini maju menyerang dengan tongkatnya.

Sambaran tongkatnya demikian hebatnya, sehingga Thian Hwa terkejut sekali karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi seorang lawan yang benar-benar perkasa. Ia cepat berkelit dan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. Mereka berdua lalu bertempur seru sekali, ditonton oleh Pangeran Leng dan kawan-kawannya. Setelah bertempur seratus jurus lebih, diam-diam Thian Hwa mengeluh karena lawannya ini benar-benar hebat dan tangguh. Sebaliknya Pat-chiu Lo-mo juga penasaran dan malu karena belum pernah ada seorang lawan yang sanggup bertahan melawan dia sampai seratus jurus lebih tanpa dia dapat melukainya sedikit pun. Sementara itu, Louw Cin dan kawan-kawannya sangat kagum melihat pertempuran itu. Tidak mereka sangka sedikit pun bahwa gadis muda itu demikian pandai sehingga sanggup menandingi Si Tua Bongkok yang lihai.

Pangeran Leng merasa penasaran lalu berteriak agar orang membantu Si Bongkok itu. Maka majulah beberapa pahlawan mengeroyok Thian Hwa! Gadis itu merasa sibuk juga dan sambil berseru nyaring ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa sehingga lawan-lawannya terpaksa mundur beberapa tindak. Kesempatan ini ia pergunakan untuk meloncat keluar dari kalangan dan berlari cepat! Tiga buah golok terbang yang dilepas oleh Pat-chiu Lo-mo dengan mudah dapat ia tangkis dan kelit tanpa menoleh, kemudian ia menghilang ke dalam gelap. Pat-chiu Lo-mo merasa penasaran sekali lalu mengejar, juga Louw Cin dan beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi ikut mengejar. Mereka ini semuanya mempunyai kepandaian lari cepat yang boleh juga sehingga dapat juga mengejar Thian Hwa dari jauh.

Biarpun sebenarnya ginkang gadis itu lebih tinggi, tapi karena ia belum mengenal jalan dan tempat itu masih asing baginya, ia tidak dapat maju cepat. Ia hanya menuju ke timur karena ia teringat akan pesan Pangeran Leng padanya untuk membunuh seorang pangeran lain. Kalau Pangeran Leng dan kaki tangannya jahat, maka Pangeran Cu Kiong yang dimusuhinya itu tentu orang baik. Biasanya, yang dimusuhi oleh orang jahat tentu orang-orang baik dan sebaliknya! Karena inilah, maka Thian Hwa lari ke jurusan timur sambil mencari-cari. Akhirnya, ia sampai juga ke sebuah gedung yang tinggi dan besar, bahkan lebih tinggi daripada gedung Pangeran Leng. Inikah gedung Pangeran Cu Kiong itu? Baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba di sebelah kirinya berkelebat bayangan putih. Ia mengangkat pedang menyerang ke kiri, tapi bayangan itu demikian gesitnya dan cepat dapat berkelit.

"Sabar, Nona. Aku bukan lawan, tapi kawan. Mari kita hadapi mereka yang mengejarmu!" Bayangan yang berpakaian putih itu lalu berdiri menanti datangnya para pengejar. Ketika Si Bongkok dan Louw Cin tiba di situ, bayangan putih itu menegur.

"Apakah Pangeran Leng sudah tidak tahu adat menyuruh kaki tangannya membikin kotor genteng rumahku?" Louw Cin terkejut ketika melihat siapa yang menegur mereka. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata,

"Mohon beribu maaf, Thaijin. Kami hanya mengejar seorang penjahat perempuan."

"Jangan kurang ajar! Tidak ada penjahat perempuan di sini, yang ada ialah tamuku ini dan kalian pergilah dari sini. Atau kalian sengaja hendak mengacau?" Si Bongkok perdengarkan suara menyindir.

"Hm, jadi setan itu telah menjadi kaki tangan Pangeran Cu? Bagus! Mari kita pergi, Louw Cin!" Dan pergilah para pahlawan Pangeran Leng itu. Si Baju Putih itu lalu berkata kepada Thian Hwa dengan suaranya yang halus dan sopan.

"Nona, kau sungguh gagah perkasa sehingga sanggup seorang diri membuat pusing Si Iblis Tua Tangan Delapan! Sudilah kau mampir sebentar ke pondokku." Kagetlah Thian Hwa mendengar ini.

"Apa? Jadi kau adalah... Pangeran Cu Kiong?" Orang itu menjura dengan hormat dan berkata,

"Dugaanmu tepat, Nona. Marilah kita bicara di bawah." Thian Hwa tidak merasa keberatan, bahkan timbul harapan baru dalam hatinya untuk minta bantuan pangeran yang sopan dan halus ini mencari keterangan tentang orang tuanya. Ia lalu ikut meloncat turun dan ketika mereka tiba di tempat terang dan saling memandang maka kedua-duanya terkejut dan kagum. Thian Hwa melihat bahwa Si Baju Putih itu, yang sebenarnya Pangeran Cu Kiong sendiri, ternyata adalah seorang pria muda yang berwajah sangat tampan. Mukanya bulat putih dengan sepasang mata yang lebar dan terang, dihias sepasang alis mata yang panjang hitam berbentuk golok sehingga paras yang cakap itu tampak gagah sekali. Pakaiannya yang putih itu pinggirnya disulam dengan benang emas indah sekali dan sikap serta gerak gayanya lemah lembut menandakan bahwa dia seorang terpelajar.

Thian Hwa kagum sekali karena biarpun tampaknya demikian sopan santun dan lemah lembut lagi masih muda, namun dari gerakannya ketika mengelit serangannya tadi ia tahu bahwa pangeran itu pun memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebaliknya Pangeran Cu Kiong ketika melihat wajah Thian Hwa di bawah sinar penerangan lampu, menjadi kagum sekali dan menatap wajah yang cantik itu dengan hati tertarik. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu ternyata masih sangat muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa pula. Karena dua-duanya saling pandang, maka akhirnya mereka sama-sama menundukkan muka dan wajah Thian Hwa menjadi merah karena segan dan malu. Heran sekali! Belum pernah ia merasa malu di bawah pandang mata laki-laki dan ia merasa betapa dadanya berdebar aneh!

"Lihiap silakan duduk." kata Cu Kiong dengan ramah dan cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan.

"Jangan berlaku sungkan, Kongcu," kata Thian Hwa dengan sikap hormat, lalu ia duduk di atas sebuah bangku yang terukir indah, menghadapi meja, dan Cu Kiong duduk di hadapannya.



Kasih Diantara Remaja Eps 24 Jodoh Si Naga Langit Eps 16 Kisah Si Naga Langit Eps 17

Cari Blog Ini