Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 16


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




Biarpun dia dikeroyok dua orang murid Ouw Kan yang lihai itu, namun Bi Lan dengan mudah saja berkelebatan menghindarkan diri. Sejak menjadi murid Si Mayat Hidup, ia tidak lagi memerlukan bantuan senjata karena benda apa pun dapat ia jadikan senjata ampuh! Sambaran sepasang pedang dan tongkat hitam itu dihindarkannya dengan cara mengelak, menangkis dengan kedua tangan kosong, bahkan sekali-kali ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang dikepang dua itu dapat ia pergunakan untuk menangkis pedang atau tongkat dan sedikitpun tidak ada rambut yang putus, sebaliknya pedang dan tongkat yang tertangkis tergetar hebat dan terpental!

Mereka saling serang dan seperti yang terjadi dengan pertandingan pertama di mana Siang In membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh lawan, juga Bi Lan membatasi tenaganya. Ia memang membenci dua orang yang mengakibatkan kematian ayahnya ini. Kalau saja ia tidak segan kepada Tiong Lee Cin-jin yang ia tidak ingin bantah pesannya, tentu dua orang itu sudah diserangnya dengan hebat dan dibunuhnya dalam waktu singkat!

Kembali Tung-sai memberi isyarat, sekali ini kepada pasangan ketiga, yaitu Jiu To murid Pak-sian dan Golam murid Gwat Kong Lhama. Dia memperhitungkan bahwa dua orang ini akan dilawan oleh. Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong sehingga di pihak musuh tinggal Tiong Lee Cin-jin yang akan dihadapi Empat Datuk Besar dan Can Kok sehingga dia memperhitungkan akan dapat membunuh Tiong Lee Cin-jin yang juga dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa atau Dewa Obat) itu.

Jiu To dan Golam, seperti juga Kui Tung, berbesar hati karena merasa kuat dengan adanya banyak kawan, maka mereka melangkah maju dengan sikap gagah, Jiu To sudah menghunus pedangnya dan Golam melolos rantai baja yang tadi dililitkan di pinggangnya.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk ketika Moguhai minta persetujuannya untuk menghadapi dua orang ini. Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai yang dikenal dengan julukan Pek Hong Niocu, melompat ke depan dua orang itu sambil mencabut pedang bengkoknya. Tanpa banyak cakap lagi, Jiu To dan Golam sudah menggerakkan senjata mereka menyerang Moguhai. Puteri Tiong Lee Cin-jin itu mengelebatkan pedang bengkoknya.

"Trangg...... cringgg......!" Bunga api berpijar dan berhamburan ketika pedang bengkok itu menangkis pedang di tangan Jiu To dan rantai baja yang digerakkan Golam menyambar ke arah kepala gadis itu. Seperti juga Siang In, setelah mendapat gemblengan dari ayah kandung mereka, Puteri Moguhai kini juga memperoleh kemajuan hebat. Tenaga sakti yang mengalir di tubuhnya demikian kuat sehingga bukan saja tenaganya mampu menandingi tenaga dua orang pengeroyoknya, namun ia memiliki kecepatan gerakan yang membuat dua orang pengeroyoknya bingung seolah menghadapi lawan bayangan. Namun, dua orang ini telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, ditambah lagi Puteri Moguhai tidak mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ingin membunuh mereka seperti yang dikehendaki Tiong Lee Cin-jin, maka pertandingan itu juga berlangsung seru bukan main.

Setelah tiga orang gadis pendekar itu menghadapi lawannya masing-masing, kini tinggal Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong yang tersisa di pihak Yok-sian. Tung-sai lalu menyuruh Can Kok maju.

Begitu Can Kok melangkah maju dengan bibir tersenyum mengejek dan sikap congkak sekali, Thian Liong mendapat perkenan gurunya untuk menghadapi pemuda sombong yang sinar matanya aneh tanda ada kelainan dalam pikirannya. Setelah melihat Thian Liong maju mengha-dapinya, Can Kok membentak sombong.

"Kamu minggirlah! Aku datang untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin, bukan bertanding melawan bocah yang tiada artinya macam kamu!"

Thian Liong tidak dapat disulut kesabarannya oleh ucapan yang sombong dan memandang remeh itu. Dia tersenyum dan berkata dengan tenang.

"Can Kok, engkau perlu belajar seratus tahun lagi untuk pantas menjadi lawan Suhu. Suhu bukan lawanmu. Akulah lawanmu dan engkau boleh mengeluarkan segala kemampuanmu untuk mengalahkan aku."

Can Kok marah sekali dan seperti kebiasaan anehnya kalau dia marah, dia mengeluarkan suara mengguguk seperti orang menangis! Suara ini sesungguhnya mengandung getaran tenaga dalam yang amat kuat. Bahkan Thian Liong yang diserang langsung oleh suara itu merasa betapa jantungnya tergetar! Akan tetapi dengan pengerahan tenaga sakti dia mampu melindungi tubuhnya sehingga getaran suara itu lewat begitu saja tanpa mengganggunya.

Tiba-tiba tanpa memberi peringatan apa pun tubuh Can Kok sudah membuat lompatan seperti terbang menerjang ke arah Thian Liong seperti seekor burung rajawali menyerang kelinci! Kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya membentuk cakar menyerang ke arah kepala dan leher Thian Liong!

Thian Liong maklum akan kelihaian lawannya yang digembleng secara khusus oleh Empat Datuk Besar ini. Dia mengenal serangan dahsyat yang berbahaya, maka dia pun mengerahkan tenaganya menyambut. Kedua tangannya memapaki serangan Can Kok dan dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat, bertemu di udara.

"Blaarrr"...!" Ketika dua pasang tangan bertemu, terasa getaran mengguncang sekelilingnya sehingga mereka yang sedang bertanding di pekarangan itu pun merasakan getaran itu. Akibat pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu, Thian Liong yang menangkis sambil berdiri di atas tanah, tertekan dan kedua kakinya ambles ke dalam tanah sampai ke mata kakinya. Akan tetapi tubuh Can Kok yang menyerang dari atas tadi, terpental sampai jauh dan setelah membuat pok-sai (salto) lima kali baru dia turun ke atas tanah dengan wajah agak pucat.

Sambil mengeluarkan teriakan melengking, Can Kok sudah menyerbu lagi dan mengirim serangan-serangan maut. Akan tetapi Thian Liong tetap tenang dan menyambut semua serangan itu dengan kokoh sehingga semua rangkaian serangan itu dapat dia hindarkan dengan elakan atau tangkisan. Mereka lalu bertanding dengan amat serunya dan keduanya mengeluarkan semua jurus simpanan masing-masing karena tahu bahwa lawannya memiliki kesaktian.

Setelah melihat semua pembantunya maju menghadapi lawan mereka masing-masing, Tung-sai dan tiga orang datuk lainnya menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, Tiong Lee Cin-jin, sekarang hadapilah kami berempat! Sudah bertahun-tahun kami mencari kesempatan ini dan sekali ini, kami akan berhasil membunuhmu!"

"Siancai, hidup satu kali di dunia maya ini, tidak mencari kedamaian malah menimbulkan kekacauan dan permusuhan, membiarkan nafsu setan merajalela menguasai hati kalian. Ingatlah bahwa setiap orang akan memetik dan makan buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Sebelum terlambat, aku minta kepada kalian untuk menghentikan semua permusuhan dan perkelahian ini dan pergilah dengan damai."

Akan tetapi, ucapan Yok-sian itu bukannya menyadarkan mereka, bahkan bagaikan minyak menyiram api, semakin mengobarkan kemarahan mereka. Mereka berempat mengeluarkan teriakan masing-masing yang khas, lalu bergerak cepat sekali, mengambil posisi mengepung Tiong Lee Cin-jin dari empat jurusan. Pak-sian dan See-ong berada di kanan kiri Yok-sian, Lam-kai di belakangnya dan Tung-sai di depannya! Dikepung Empat Datuk Besar itu, Yok-sian Tiong Lee Cin-jin masih bersikap tenang saja. Namun kewaspadaannya menyatu dan tidak ada gerakan empat orang itu, sedikitpun juga, yang tidak tertangkap panca indranya.

Pak-sian sudah memegang senjatanya yang berupa sebatang tongkat hitam berkepala ular. Tongkat ini selain kuat sekali, mampu beradu dengan senjata logam yang kuat dan ampuh, juga mengandung racun yang berbahaya. Dia berdiri di sebelah kiri Tiong Lee Cin-jin.

See-ong yang berdiri di sebelah kanan pertapa itu, sambil menyeringai lebar seperti kebiasaannya, memegang sebatang hud-tim (kebutan dewa) yang berbulu putih panjang. Biarpun bulu kebutan itu tampak lemas, namun See-ong dapat membuatnya menjadi kaku seperti bulu-bulu baja.

Lam-kai yang berdiri di belakang, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Pedang ini sebetulnya berwarna putih seperti perak, akan tetapi karena tangan Lam-kai mengandung tenaga sakti dari Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), maka tenaga yang mengandung warna merah itu menjalar ke dalam pedang sehingga pe-dangnya mengeluarkan sinar kemerahan. Tentu saja pedang itu ampuh bukan main.

Yang paling hebat adalah Tung-sai. Orang pertama dari Empat Datuk Besar ini memegang sebatang tombak yang terkenal sebagai tombak maut sehingga Tung-sai juga disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding).

Sebagai isyarat kepada tiga orang rekannya, Tung-sai mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah, itulah Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat menggetarkan jantung dan melumpuhkan lawan. Setelah mengeluarkan auman itu dia langsung menyerang dengan tombaknya. Serangannya amat dahsyat sehingga tombak itu menembus udara mengeluarkan suara berdesing seperti melesatnya anak panah, menusuk ke arah dada Tiong Lee Cin-jin. Pada detik-detik berikutnya, tiga senjata di tangan para datuk yang lain juga sudah datang menyerang.

Namun, tubuh Tiong Lee Cin-jin berkelebatan di antara sinar empat senjata yang menyambarnya itu. Serangan bertubi-tubi itu dapat dihindarkan Tiong Lee Cin-jin dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya. Dengan tangan kosong pertapa ini berani menangkis senjata-senjata ampuh para pengeroyoknya! Hal ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat hebat, apa lagi ketika setiap tangkisan itu membuat para datuk itu merasa tangan mereka yang memegang senjata tergetar.

Pertempuran yang terjadi di pekarangan luas itu amat serunya. Akan te-tapi setelah berlangsung puluhan jurus, ternyata pihak Tiong Lee Cin-jin dapat mendesak lawan-lawannya, Ang Hwa Sian-Li Thio Siang In dapat membuat Kui Tung kewalahan dan main mundur. Juga Pek Hong Niocu, Puteri Moguhai yang dikeroyok Jiu To dan Golam membuat dua orang itu terus mundur dan repot menghindarkan diri dari sambaran pedang bengkok puteri itu. Bi Lan juga membuat Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bingung dan kewalahan dengan gerakannya yang aneh ketika gadis ini mainkan ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup!

Pertandingan antara Thian Liong dan Can Kok juga amat seru. Sekali ini dua orang muda itu dapat bertanding dengan bebas dan masing-masing mengerahkan seluruh kepandaiannya. Karena Thian Liong tidak ingin membunuh lawan, maka tentu saja daya serangannya kurang kuat dan tidak sepenuhnya. Hal ini membuat keadaan mereka seimbang dan per-tandingan itu menjadi seru bukan main.

Tiong Lee Cin-jin maklum bahwa kalau pertempuran itu tidak segera diakhiri, dia khawatir empat orang muda yang membantunya itu tidak akan dapat menahan diri lagi dan melakukan pembunuhan. Maka, dia mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba empat orang pengeroyoknya itu berteriak kaget karena ada kekuatan dahsyat yang tak dapat mereka tahan sehingga senjata mereka itu terpental dan terlepas dari pegangan mereka! Ketika mereka terbelalak memandang, mereka melihat Tiong Lee Cin-jin berdiri tegak di tengah antara mereka, dengan kedua lengan bersedakap (bersilang) dan kedua matanya terpejam!

Tung-sai memberi isyarat kepada tiga orang kawannya, lalu mereka berempat menggerak-gerakkan tangan menghimpun tenaga sakti dalam kedua lengan mereka. Suara mengiuk dan mendesis ketika empat orang itu menghimpun tenaga sakti dapat ditangkap oleh Tiong Lee Cin-jin. Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya dalam bentuk sembah ke atas kepala. Dengan begini, maka tubuhnya menjadi terbuka dan tidak terlindung.

Empat Datuk Besar itu menerjang ke depan dengan lompatan dan dalam saat yang bersamaan, mereka sudah melancarkan pukulan. Kedua tangan Tung-sai dengan jari terbuka menghantam dada Tiong Lee Cin-jin sehingga kedua telapak tangannya menempel pada dada pertapa itu. Pada saat yang hampir bersamaan, tiga orang datuk lainnya juga me-mukul dengan pengerahan sin-kang. Lam-kai memukulkan kedua telapak tangannya ke punggung, Pak-sian dan See-ong memukulkan telapak tangannya ke lambung kiri dan kanan. Empat pasang telapak tangan itu memukul dengan kuat sekali.

"Plak-Plak-plak-Plak!" Tangan-tangan yang mengandung tenaga sin-kang itu menempel pada tubuh Tiong Lee Cin-jin dan melekat di situ! Wajah Tiong Lee Cin-jin agak menyeringai seperti menahan sakit. Sejenak lima orang itu diam tak bergerak, akan tetapi empat orang Datuk Besar itu mengerahkan tenaga saktinya untuk menembus hawa yang melindungi tubuh Tiong Lee Cin-jin. Terjadi adu tenaga sin-kang yang hebat sekali. Kalau dilihat dari luar, mereka itu seperti telah berubah menjadi arca, diam tak bergerak, akan tetapi dari ubun-ubun kepala mereka mengepul uap tebal!

Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua tangannya yang tadinya dirangkap menyembah ke atas itu.

"Blaarrr......!" Tubuh Empat Datuk Besar itu terlempar ke belakang dan terbanting roboh tak bergerak lagi!

Tiong Lee Cin-jin membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah pucat lalu dia pun duduk terkulai lemas, bersila di atas tanah.

Robohnya empat orang pemimpin itu seolah menjadi isyarat karena tigapuluh orang lebih anak buah Pulau Udang itu berteriak-teriak dan mereka menyerbu masuk sambil mengamangkan senjata, lalu mengeroyok empat oraug muda yang masih bertanding dan mulai mendesak lawan-lawannya itu! Terjadilah pertempuran kacau balau karena Thian Liong, Bi Lan, Moguhai dan Siang In kini dikeroyok sekitar empatpuluh orang!

Sungguh sulit bagi empat orang itu. Sesungguhnya kalau mereka mau mengamuk, dengan kesaktian mereka, masih ada kemungkinan mereka mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, untuk dapat mengalahkan mereka yang banyak itu, empat orang ini harus mengamuk dan membu-nuh. Padahal, mereka tidak berani melanggar larangan Tiong Lee Cin-jin yang tidak menghendaki terjadinya pembunuhan di situ. Hal ini membuat mereka berempat kini dikeroyok ketat seperti empat ekor harimau dikeroyok serombongan anjing yang banyak jumlahnya.

Pada saat yang gawat itu, terdengar sorak sorai dan limapuluh lebih orang perajurit Kin menyerbu masuk pekarangan itu, dipimpin dua orang pemuda tampan, yang menggerakkan pedang mereka. Menghadapi penyerbuan perajurit yang lebih banyak jumlahnya, pihak anak buah Empat Datuk Besar terkejut dan kewalahan. Banyak di antara mereka roboh dan pekarangan itu mulai banjir darah mereka yang terluka dan tewas.

Siang In tiba-tiba terbelalak ketika melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang siucai (sastrawan) datang membantunya. Pemuda itu menggerakan pedangnya dan ternyata ilmu silat pedangnya juga cukup hebat. Yang membuat Siang In terbelalak adalah ketika ia mengenal siapa pemuda itu.

"Han-ko (Kakak Han)......!" serunya ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Cin Han putera Pangeran Cin Boan yang tinggal di kota Kang-cun yang tadinya ia kenal sebagai seorang sastrawan yang dianggapnya seorang kutu buku yang lemah!

"In-moi, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!" kata Cin Han sambil membabat roboh seorang anak buah gerombolan itu.

"Han-ko, jangan bunuh orang......!" Siang In berseru, gembira, heran dan juga terharu.

Sementara itu, Moguhai juga terkejut bukan main ketika Kuang Lin, saudara sepupunya muncul membantunya dan mengamuk dengan pedangnya. Hampir ia tidak percaya bahwa itu adalah benar-benar Pangeran Kuang Lin. Ia baru yakin ketika pemuda itu berseru.

"Dinda Moguhai, mari kita hancurkan gerombolan, jahat ini!"

Seperti juga Siang In, Moguhai berseru.

"Kanda Kuang Lin, benar engkaukah ini?" Ketika melihat betapa pangeran itu mengamuk dan merobohkan dua orang pengeroyok, Moguhai berseru, "Kanda, jangan bunuh orang!"

Keadaan kini menjadi terbalik sama sekali. Pasukan perajurit itu tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa mereka dilarang membunuh, maka anak buah Empat Datuk Besar itu berpelantingan. Melihat keadaan pihaknya terancam bahaya, Can Kok memberi aba-aba nyaring.

"Hayo kita lari!"

Can Kok dan kawan-kawannya segera melarikan diri menuruni puncak itu, diikuti sisa anak buah mereka yang belum roboh, meninggalkan kawan-kawan yang tewas dan terluka parah. Mereka semakin gentar ketika mendapat kenyataan bahwa Empat Datuk Besar juga telah tewas!

Para perajurit hendak melakukan pengejaran, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lembut penuh wibawa.

"Berhenti semua! Jangan mengejar!"

Semua orang terkejut dan berhenti.

"Suhu......!" Teriakan ini keluar dari mulut Thian Liong yang sudah lari menghampiri Tiong Lee Cin-jin. Puteri Moguhai dan Siang In juga lari menghampiri. Mereka melihat Tiong Lee Cin-jin bangkit berdiri dengan wajah pucat sekali dan kedua matanya basah, bahkan ada beberapa titik air mata keluar dari sepasang matanya.

Dua orang gadis itu merangkul dari kanan kiri, tidak berani memanggil ayah, karena di situ terdapat banyak orang. Ayah kandungnya ini sudah pesan wanti-wanti (dengan sungguh-sungguh) agar mereka berdua tidak membuka rahasia mereka di depan umum karena hal itu akan mendatangkan akibat yang yang hebat dalam kehidupan mereka berdua. Kini, dua orang gadis itu hanya merasa khawatir sekali.

Thian Liong berlutut di depan kaki gurunya.

"Suhu......, apakah yang menyebabkan Suhu berduka? Suhu...... tidak...... terluka bukan?"

Tiong Lee Cin-jin memandang ke sekeliling, ke arah orang-orang yang tewas dan terluka, terutama kepada jenazah Empat Datuk Besar. Kemudian dia berkata lirih.

"Aku telah menyebabkan kematian mereka. Tempat ini telah menjadi tempat terkutuk di mana terjadi pembunuhan-pembunuhan antara manusia." Suaranya terdengar menggetar sedih.

"Akan tetapi, teecu (murid) tadi melihatnya. Empat Datuk Besar itu tewas bukan Suhu bunuh, melainkan salah mereka sendiri. Mereka terpukul tenaga serangan mereka sendiri yang membalik," bantah Thian Liong yang membela gurunya.

"Sama saja, aku yang menjadi penyebab kematian mereka. Dan semua pertempuran ini, bunuh-membunuh ini, terjadi karena aku pula. Ah, Thian, hamba telah menanam karma yang tidak baik...... hamba siap memetik buahnya......"

"Suhu......!" Thian Liong berseru dan dua orang gadis itu mulai menangis di kedua pundak ayah kandungnya.

Thian Liong memandang wajah gurunya yang tampak berduka dan dia menjadi terharu sekali. Tiong Lee Cin-jin tersenyum mengelus kepala dua orang gadis itu, meletakkan telapak kedua tangannya di atas kepala mereka dan berkata lembut.

"Pek Hong......, Siang In......, pulanglah kalian dan jadilah manusia yang baik seutuhnya, menjadi anak yang baik, isteri yang baik, ibu yang baik, warga negara yang baik, manusia yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Kelak, kalau kalian menikah, aku akan usahakan agar aku dapat menghadirinya."

Dua orang gadis itu hanya dapat merangkul dan menangis.

"Thian Liong, bersihkan tempat ini dari semua bekas perkelahian dan pembunuhan ini. Kemudian, turun dari sini laksanakan kewajibanmu sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan. Jangan lagi mencari aku di sini karena aku tidak akan berada di tempat terkutuk ini."

Kemudian dia menoleh kepada Bi Lan.

"Han Bi Lan, engkau anak baik, kupujikan semoga engkau hidup berbahagia, akan tetapi berhati-hatilah terhadap Si Mayat Hidup karena dia pasti akan menagih janji."

Pada saat itu, kedua orang putera pangeran itu, Cin Han dan Kuang Lin, yang sejak tadi hanya berdiri mendengarkan, menghampiri Tiong Lee Cin-jin.

"Lo-cianpwe, saya Cin Han, murid Kui Sim Tosu, menghaturkan hormat. Saya telah banyak mendengar akan nama besar Lo-cianpwe dari Suhu."

Tiong Lee Cin-jin memandang Cin Han dan mengangguk-angguk.

"Bagus, Kui Sim Tosu adalah seorang yang bijaksana dan engkau muridnya yang baik."

"Lo-cianpwe, saya Kuang Lin, sute (adik seperguruan) dari Suheng Cin Han. Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami kalau kedatangan kami membawa pasukan ini tidak berkenan di hati Lo-cianpwe."

Kembali Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk.

"Sungguh baik nasib Kui Sim Tosu, memiliki dua orang murid yang baik budi bahasanya, juga lumayan ilmu silatnya. Melihat kalian dua orang pemuda yang bersikap lemah lembut dan berpakaian sebagai siucai (sastrawan), aku dapat mengatakan bahwa kalian berdua, Cin Han dan Kuang Lin, tentulah bun-bu-coan-jai (ahli sastra dan silat)."

Dua orang pemuda bangsawan Kin itu memberi hormat.

"Kami masih mengharapkan banyak petunjuk Lo-cianpwe yang mulia."

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu melihat lagi ke arah mayat dan yang terluka bergelimpangan, menghela napas panjang dan berkata.

"Sudah, aku tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Pek Hong, Siang In, Thian Liong, aku pergi!" Setelah berkata demikian Tiong Lee Cin-jin berkelebat sedemikian cepatnya sehingga dia seolah menghilang dari situ. Pek Hong atau Moguhai dan Siang In saling rangkul dan menangis.

Thian Liong berkata kepada Cin Han dan Kuang Lin, "Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan ji-wi (kalian berdua)."

Cin Han dan Kuang Lin membalas penghormatan Thian Liong dan Cin Han berkata, "Saudara Souw Thian Liong, biarpun baru sekali ini aku berjumpa denganmu, namun nama besarmu sudah lama kudengar. Kerajaan Kin menganggap engkau sebagai pendekar dan jasamu besar sekali terhadap Kerajaan Kin. Perkenalkan, aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan dan tinggal di kota Kang-cun. Ini suteku bernama Kuang Lin, putera Pangeran Kuang dan tinggal di kota raja."

"Senang sekali aku dapat berkenalan dengan putera-putera pangeran. Sekarang, menaati perintah Suhu tadi, aku ingin membersihkan tempat ini," kata Thian Liong.

"Jangan khawatir, kami akan memerintahkan pasukan untuk membersihkan tempat ini, mengubur yang tewas dan mengurus yang terluka. Mereka merupakan tawanan pasukan kami," kata Cin Han.

"Terima kasih, Pangeran."

"Jangan sebut aku Pangeran, cukup Cin Han saja," kata Cin Han dan dia lalu menghampiri Thio Siang In yang sudah menghentikan tangisnya karena sepasang saudara kembar ini merasa malu kalau membiarkan tangis menguasai dirinya, tidak pantas bagi orang-orang gagah perkasa seperti mereka.

"Han-ko, sungguh aku tidak pernah bermimpi bahwa engkau ternyata bukan hanya merupakan seorang siu-cai (satrawan) akan tetapi juga seorang bu-hiap (pendekar silat)!"

"Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan ilmu silatmu, In-moi!"

"Bagaimana engkau dapat datang ke sini membawa pasukan?" tanya Siang In, jantungnya berdebar karena kagum dan juga girang karena ternyata pemuda yang mencintanya ini bukan seorang pemuda lemah, melainkan seorang gagah pula.

"Nanti saja kita bicara, In-moi. Sekarang aku hendak mengatur pembersihan tempat ini." Cin Han tersenyum dan meninggalkan Siang In.

Pangeran Kuang Lin juga menghampiri Moguhai dan keduanya saling pandang.

"Kanda Kuang Lin, selama ini engkau membodohi aku!" kata Moguhai cemberut.

"Eh? membodohi bagaimana, Dinda Moguhai?"

"Habis, engkau berlagak seorang siucai yang lemah, kiranya engkau murid Kui Sim Tosu yang sudah kudengar namanya sebagai seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya."

"Ah, aku tidak sengaja berbohong, Dinda. Aku hanya malu untuk mengaku bahwa aku pernah belajar silat, malu kepadamu karena aku tahu bahwa engkau seorang pendekar wanita yang amat lihai."

"Akan tetapi bagaimana engkau dan Pangeran Cin Han dapat tiba-tiba muncul membawa pasukan?"

"Nanti saja, Dinda Moguhai. Aku harus membantu Suheng Cin Han mengatur pembersihan tempat ini." Setelah berkata demikian, Kuang Lin pergi menyusul Cin Han yang mulai membagi-bagi tugas kepada pasukan kerajaan.

Thian Liong diam-diam girang sekali melihat betapa Siang In mengenal baik Pangeran Cin Han dan Moguhai mengenal baik Pangeran Kuang Lin. Biarpun baru satu kali bertemu, dia merasa kagum dan suka kepada dua orang pangeran itu. Mereka tampan, gagah dan ramah, tidak angkuh seperti para muda bangsawan kebanyakan. Diam-diam dia mengharapkan dua orang pangeran itu akan dapat menjadi jodoh gadis kembar itu.

Thian Liong menghampiri dua orang gadis kembar itu yang kini sudah tampak gembira lagi.

"Wah, kita masih beruntung dua orang pangeran itu datang membawa pasukan sehingga pertempuran dapat segera dihentikan. Akan tetapi, tadi aku melihat bahwa kalian sudah akrab dengan mereka!"

Moguhai tersenyum.

"Ketahuilah, Thian Liong. Pangeran Cin Han itu adalah calon suami Siang In!"

"Ih, jangan ngawur!" kata Siang In sambil mencubit lengan Moguhai.

"Liong-ko, jangan percaya obrolannya!"

"Wih, siapa yang membuat obrolan kosong? Thian Liong, ia bahkan sudah dilamar oleh Pangeran Cin Han!" kata Moguhai dan terkekeh-kekeh ketika Siang In hendak mencubitnya.

"Liong-ko, engkau tahu? Pangeran Kuang Lin itu adalah pilihan hati Pek Hong! Hayo, mau sangkal? Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa engkau tertarik dan kagum kepada Pangeran Kuang Lin, hanya engkau sayangkan dia lemah seperti persangkaanmu. Dan sekarang ternyata dia gagah perkasa. Hemm...... kemana lagi?"

Kini Moguhai yang pura-pura marah.

"Sudahlah, kalian harus bersikap jujur dan terbuka," kata Thian Liong.

"Kalau memang kalian saling mencinta dengan dua orang pangeran itu, apa salahnya? Aku pun suka dan kagum kepada mereka, dan aku ikut bahagia kalau kalian dapat menjadi isteri mereka yang hidup bahagia, ha-ha-ha!" Sekarang Thian Liong tertawa-tawa, menertawakan kedua orang gadis yang tersipu-sipu malu dengan muka kemerahan.

"Eh, Thian Liong! Itu Han Bi Lan, ia lari dari sini!" Moguhai tiba-tiba ber-seru.

Thian Liong terkejut, menengok dan benar saja, dia melihat Bi Lan pergi menuruni puncak itu.

"Lan-moi""!!" Thian Liong memanggil dan dia pun mengejar gadis baju merah itu.

Kini Moguhai dan Siang In yang tertawa-tawa menertawakan Thian Liong yang berlari-larian, mengejar Bi Lan sambil memanggil nama gadis itu. Tawa mereka semakin geli ketika mereka melihat

Bi Lan menoleh lalu gadis itu berlari cepat. Thian Liong tetap mengejarnya dan sebentar saja dua bayangan mereka sudah tidak tampak lagi.

Dua orang gadis kembar itu masih tertawa-tawa ketika Cin Han dan Kuang Lin menghampiri mereka.

"Eh, ada apa sih kalian tertawa-tawa?" tanya Cin Han.

"Dinda Moguhai, apa sih yang lucu?" tanya pula Kuang Lin kepada Moguhai.

"Tidak ada apa-apa," jawab Moguhai.

"Hanya kami geli melihat Thian Liong dan Bi Lan berkejar-kejaran menuruni puncak."

Dua orang pemuda itu menengok ke bawah, akan tetapi mereka tidak melihat lagi Thian Liong dan Bi Lan.

"Biar aku cari dia, untuk berpamit," kata Cin Han.

"Tidak perlu, Han-ko, biarkan mereka berdua," kata Siang In. Jawaban ini sudah cukup membuat dua orang pemuda itu mengerti.

"Kalau begitu, mari kita meninggalkan puncak ini. Para perajurit sudah kami perintahkan untuk mengurus semua mayat dan yang luka, membersihkan tempat ini seperti yang dipesan Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin tadi!' kata Cin Han.

"Benar, mari kita tinggalkan puncak ini. Kami sudah mempersiapkan kuda untuk kita berempat," kata pula Kuang Lin.

Dua orang gadis itu tidak membantah dan tak lama kemudan mereka berempat sudah menunggang kuda, sepasang-sepasang. Kuda mereka menuruni puncak perlahan-lahan dan Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan Pangeran Kuang Lin, sedangkan di depan mereka Thio Siang In berjejer dengan Cin Han juga asyik bercakap-cakap perlahan. Wajah mereka berempat berseri-seri penuh senyum. Mereka melakukan perjalanan satu jurusan, yaitu ke kota raja, walaupun Siang In dan Cin Han akan berhenti di kota Kang-cun yang tidak jauh letaknya dari kota raja.

"Bi Lan tunggu"..!!" Souw Thian Liong berseru memanggil gadis yang berlari cepat sekali di depannya itu. Jarak di antara mereka cukup jauh, akan tetapi seruan Thian Liong yang didorong tenaga sin-kang itu dapat terdengar oleh Bi Lan. Gadis itu sama sekali tidak berhenti, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari semakin cepat! Semenjak menerima gemblengan Si Mayat Hidup, kepandaian Bi Lan meningkat pesat sehingga kini larinya seperti terbang cepatnya.

Thian Liong merasa heran dan penasaran sekali. Selama melakukan perjalanan bersama, ketika Bi Lan menyamar sebagai seorang pemuda bernama Han, sikap gadis itu amat baik kepadanya. Amat ramah dan terkadang sinar mata gadis itu jelas membayangkan bahwa hatinya senang sekali. Malah dia mulai merasa yakin bahwa Bi Lan juga suka atau cinta kepadanya seperti juga dia yang telah lama jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi mengapa kini Bi Lan berlari demikian cepat seolah tidak mau lagi bertemu dan bicara dengannya?

Timbul bermacam dugaan dalam hatinya dan dia teringat bahwa tadi, dua orang murid Ouw Kan yang dimusuhi gadis itu karena mereka menyebabkan kematian ayahnya, dapat meloloskan diri dan tidak terbunuh. Dan hal itu terjadi karena Tiong Lee Cin-jin melarang dilakukannya pembunuhan di situ. Apakah Bi Lan marah karena kecewa tidak diberi kesempatan membunuh dua orang musuhnya itu?

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Bi Lan tunggu! Aku mau bicara!" teriaknya lagi.

Akan tetapi gadis itu malah berlari semakin cepat. Kalau dia kehendaki, tentu saja Thian Liong sejak tadi mampu menyusul Bi Lan. Betapa pun lihainya gadis itu, dalam hal tenaga sakti ia masih belum mampu menandingi Thian Liong. Akan tetapi Thian Liong tidak mau melakukan hal itu, khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati Bi Lan. Kini, karena gadis itu tidak mau berhenti dan tidak mau menjawab, dia berteriak lagi.

"Bi Lan! Berhentilah atau jawablah mengapa engkau melarikan diri dariku! Kalau engkau diam saja dan tetap berlari, aku akan menyusulmu!"

Bi Lan tetap tidak menjawab dan tidak berhenti, maka Thian Liong lalu berlari cepat sekali untuk mengejar gadis itu. Setelah tiba dekat, dengan kaget dan heran dia mendengar gadis itu berlari sambil menangis!

Dia melompat jauh ke depan dan turun di depan Bi Lan sehingga terpaksa gadis itu berhenti.

"Pergi! Pergilah engkau beramah tamah akrab dengan dua orang gadis cantik itu! Aku memang orang yang tidak berharga......! Tinggalkan aku""!" Bi Lan menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas sehingga ia jatuh berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tubuhnya terguncang ketika ia menangis sampai mengguguk.

Dengan bingung dan khawatir, Thian Liong berlutut dekat Bi Lan dan berkata dengan lembut dan hati-hati.

"Lan-moi (Adik Lan)......, engkau marah kepadaku? Apakah kesalahanku padamu, Lan-moi? Kalau aku bersalah, hukumlah aku, aku akan rela menerimanya. Akan tetapi kalau penyebab kemarahanmu karena Siang In dan Moguhai, engkau salah sangka. Mereka itu adalah saudara-saudara seperguruanku, murid Suhu Tiong Lee Cin-jin. Tidak ada hubungan apa pun antara kami bertiga selain saudara seperguruan."

Gadis itu masih menangis, tangisnya membayangkan betapa ia berada dalam keadaan yang berduka sekali. Thian Liong merasa iba dan juga khawatir.

"Aih, Bi Lan, bicaralah padaku, aku mohon padamu, jangan membuat aku bingung. Katakanlah, mengapa engkau menangis begini sedih? Apakah...... apakah engkau merasa kecewa kepada Suhu Tiong Lee Cin-jin karena engkau tidak boleh membunuh dua orang murid Ouw Kan itu?"

Bi Lan tak dapat menjawab karena terisak-isak, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, dia menggeleng-geleng kepalanya. Thian Liong merasa lega, dan dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, Bi Lan tidak akan mampu bicara. Maka dia pun lalu mendiamkan saja, memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menumpahkan segala ganjalan hati dan pikirannya melalui tangisnya.

Akhirnya, gadis itu dapat menguasai dirinya dan tangisnya mereda, lalu berhenti, hanya terisak-isak sesekali. Thian Liong lalu berkata lagi dengan lembut.

"Lan-moi, selama melakukan perjalanan bersama, hatiku gembira sekali karena kita bergaul dengan akrab. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba engkau menjauhkan diri dan menangis? Apa yang menjadi sebabnya kalau tadi engkau menyangkal bahwa engkau kecewa kepada Suhu?"

Bi Lan menyusut mata dan hidungnya dengan saputangan dan kini ia sudah tenang kembali. Akan tetapi suaranya masih gemetar ketika ia berkata.

"Mengapa engkau mengejarku? Mengapa engkau meninggalkan Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Niocu? Mereka tentu menantimu. Kembalilah kepada mereka dan jangan hiraukan aku yang bodoh dan hina-dina ini."

Thian Liong menyangka bahwa Bi Lan ini agaknya merasa cemburu kepada dua orang gadis itu, maka dia cepat berkata, "Mereka tidak akan menanti aku, Lan-moi. Mereka berdua sudah mempunyai teman yang dekat sekali, mungkin menjadi calon suami-suami mereka, yaitu Pangeran Cin Han dan Pangeran Kuang Lin."

Keterangan ini semakin menenangkan hati Bi Lan. Harus ia akui bahwa tadi, melihat Thian Liong tertawa-tawa ketika bicara dengan dua orang gadis itu, ia merasa iri. Bukan cemburu, melainkan iri karena ia teringat akan keadaan dirinya yang anak bekas pelacur, sedangkan dua orang gadis itu adalah anak-anak orang yang terhormat dan makmur, terutama sekali Puteri Moguhai. Hal ini membuat ia merasa rendah diri dan sedih sekali.

Jelas dan tidak aneh kalau Thian Liong lebih tertarik kepada mereka. Akan tetapi setelah mendengar keterangan Thian Liong bahwa dua orang gadis itu telah memiliki calon suami, ia menjadi lebih tenang, sungguhpun ingatan akan keadaan dirinya masih membuat ia sedih dan batinnya tertekan sekali.

"Mengapa engkau mengejarku?" Ia bertanya dan sepasang matanya yang kemerahan dan agak membengkak karena tangisnya tadi kini menatap tajam wajah Thian Liong.

Pemuda itu meragu. Apakah dia harus berterus terang menyatakan isi hatinya? Bagaimana kalau pernyataannya itu salah alamat dan membuat Bi Lan semakin marah dan benci kepadanya? Sejak pertemuan mereka yang pertama kali, terjadi ketegangan di antara mereka dan gadis ini pernah sakit hati dan mendendam kepadanya. Akan tetapi teringat kepada Siang In dan Moguhai yang agaknya juga telah mendapatkan pilihan hati masing-masing, dia nekat memberanikan diri.

"Aku mengejarmu karena aku tidak mau kautinggalkan begitu saja, karena aku ikut susah melihat engkau bersedih dan...... karena...... aku cinta padamu, Bi Lan!"

Pernyataan cinta Thian Liong itu tidak mengejutkan hati Bi Lan karena sudah lama perasaan wanitanya dapat menangkap cinta kasih pemuda itu kepadanya melalui sinar mata dan sikap serta ucapannya. Mendengar pernyataan ini, ia tidak menjadi marah seperti yang di khawatirkan Thian Liong, sebaliknya ia malah mulai menangis lagi!

"Tidak...... tidak......, aku...... aku tidak berharga...... aku seorang hina dina......!"

Thian Liong memegang kedua pundak gadis itu dan mengguncangnya perlahan.

"Bi Lan, mengapa engkau berkata begitu? Dalam pandanganku, engkau adalah gadis yang paling mulia di dunia ini! Siapa yang berani mengatakan bahwa engkau seorang yang tidak berharga dan hina? Akan kuhajar mulut kotor orang yang mengatakan itu!"

"Liong-ko, aku tidak berharga menjadi...... menjadi......"

"Siapa bilang tidak berharga, Lan-moi? Sekarang juga, kalau engkau sudi, aku meminangmu untuk menjadi isteriku!"

"Tidak Liong-ko, tidak! Engkau akan diejek dan dicemooh semua orang. Aku tidak pantas menjadi isterimu......, namamu akan ikut tercemar......"

"Lan-moi, apa sih maksud ucapanmu itu? Engkau adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi, penegak kebenaran dan keadilan. Lebih dari itu, engkau puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri yang terhormat dan dikagumi, dihormati banyak orang! Engkau adalah gadis paling mulia yang pernah kujumpai! Kalau mau bicara tentang tidak berharga, sesungguhnya akulah yang tidak berharga menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang itu masalahnya, katakan saja, Lan-moi. Aku memang hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa......"

"Cukup! Liong-ko! Jangan merendahkan diri seperti itu. Aku amat menghormatimu, amat mengagumimu. Akan tetapi sungguh, aku sama sekali tidak berbohong kalau aku mengatakan bahwa aku tidak berharga untuk menjadi isterimu! Ah, engkau tidak tahu......!" Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi pucat.

Thian Liong kembali menangkap kedua pundak Bi Lan dan berkata dengan suara tegas.

"Bi Lan, di mana kegagahanmu? Tidak pantas puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami isteri pemimpin Pasukan Halilintar yang gagah perkasa kalau engkau menjadi begini penakut untuk bicara terus terang! Katakanlah kepadaku apa yang mengganjal di hatimu. Percayalah, aku akan menerima hal yang paling buruk sekalipun dengan tabah!"

"Benarkah itu? Apakah engkau masih dapat...... mencintaku kalau engkau mengetahui bahwa namaku tercemar, kotor dan hina?"

"Moi-moi, aku cinta padamu! Bukan pada namamu! Ceritakanlah dan bersikaplah jujur, terbuka dan tabah sebagai mana layaknya seorang pendekar!"

Mendengar ini, timbul semangat Bi Lan dan muncul keberaniannya. Ia bangkit dan duduk di atas sebuah batu dan Thian Liong segera duduk di atas batu lain di depannya.

"Baiklah Liong-ko, aku akan bercerita sejujurnya. Terserah kepadamu nanti bagaimana tanggapanmu. Dengarlah baik-baik. Liong-ko, aku adalah anak seorang pelacur! Ibu kandungku, Liang Hong Yi, adalah seorang bekas pelacur!"

Sepasang mata Thian Liong terbelalak, mukanya berubah merah sekali, alisnya berkerut dan dia menatap wajah Bi Lan dengan tajam. Suaranya mengandung penuh teguran ketika dia berkata, "Bi Lan! Jangan menjadi anak durhaka! Bibi Liang Hong Yi adalah seorang pendekar wanita, mengapa engkau begitu tega untuk memberi keterangan seperti itu? Siapa pun tidak akan percaya!"

"Liong-ko, apa kaukira aku senang mendapatkan kenyataan ini? Hatiku hancur lebur, dunia seperti kiamat bagiku, hidup seolah tidak ada gunanya lagi. Aku malu, Liong-ko, terutama malu kepadamu! Akan tetapi yang kuceritakan adalah sesungguhnya. Tadinya aku juga tidak percaya, akan tetapi setelah kutanyakan langsung kepada Ibuku ia...... ia mengaku terus terang bahwa memang benar dahulu sebelum menikah dengan Ayah, ia adalah seorang pelacur!" Kembali gadis itu terisak, akan tetapi dengan air mata menuruni kedua pipinya, ia menatap wajah Thian Liong.

"Nah, sekarang kalau engkau hendak memaki, menghina aku, lakukanlah!"

Kini tiba giliran Thian Liong yang bungkam. Dia berdiam diri seperti orang linglung, hanya memandang gadis itu dengan mata tidak percaya, terkejut, dan terheran. Bagaimana mungkin wanita setengah tua yang gagah perkasa itu, dahulu pernah menjadi seorang pelacur? Bagaimana seorang pendekar gagah perkasa seperti mendiang Han Si Tiong dapat menikah dengan seorang pelacur?

Melihat pemuda itu hanya bengong, Bi Lan menyusut air matanya dan suaranya tergetar dan terputus-putus ketika ia bertanya, "Kau...... kau jijik dan benci padaku sekarang......?" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat jauh dan lari sekuatnya.

"Bi Lan......!" Thian Liong juga melompat dan mengejar. Setelah dapat menyusul, dari belakang dia menubruk dan memeluk tubuh gadis itu sehingga mereka berdua jatuh bergulingan di atas rumput. Bi Lan bangkit berdiri, akan tetapi sebelum ia sempat lari, Thian Liong telah merangkulnya.

"Lepaskan aku! Engkau nanti ikut kotor kalau berdekatan dengan aku!"

"Bi Lan jangan bersikap begitu. Aku cinta padamu, Lan-moi."

"Hemm, bagaimana engkau dapat mencinta aku setelah engkau tahu bahwa aku ini anak pelacur?"

Tanpa melepaskan gadis itu dari rangkulannya Thian Liong berkata, "Bi Lan, dengarlah. Aku mencinta engkau! Mengerti? Aku cinta engkau, siapapun juga namamu! Aku cinta engkau, anak siapa pun engkau, baik raja maupun anak pengemis, anak pendeta maupun anak penjahat! Aku cinta engkau, Bi Lan, tidak cukupkah itu?"

"Tapi...... tapi Ibuku......"

"Hushh, jangan lanjutkan. Ibumu tetap Ibumu, apa pun dan bagaimana pun keadaannya. Engkau wajib menghormatinya, menyayangnya, berbakti kepadanya! Ibumu seorang pendekar wanita, seorang isteri setia, seorang ibu yang baik, seorang wanita terhormat. Setiap orang manusia sudah pasti pernah melakukan dosa, pernah sesat jalan. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Akan tetapi, kalau manusia yang melakukan dosa mohon pengampunan kepada Thian dan bertaubat, tidak mengulang lagi dosa yang telah dilakukan, maka Tuhan itu Maha Murah, Maha Kasih, dan Maha Adil! Mungkin di waktu mudanya ibumu pernah sesat jalan, akan tetapi setelah menjadi isteri Paman Han Si Tiong, ia telah bertaubat dan meninggalkan kesesatannya."

Bi Lan memandang wajah Thian Liong dan kini dia tidak meronta lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pucat, agaknya ia telah mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat.

"Benarkah semua omonganmu, Liong-ko? Engkau tidak menganggap rendah, kotor dan hina kepada Ibuku?"

Thian Liong menggeleng kepalanya dan tersenyum.

"Tidak, Lan-moi. Pekerjaan melacur memang tidak baik dan. merendahkan martabat kaum wanita. Akan tetapi pelacur bukan penjahat. Laki-laki yang datang melacur lebih rendah, kotor dan hina, jahat pula. Terutama para pria yang sudah mempunyai pacar, tunangan atau isteri karena perbuatannya itu berarti mengkhianati pacar, tunangan, atau isterinya. Walaupun pelacur itu tidak baik dan patut dicegah, namun pelacur bukan penjahat dan tidak mengkhianati siapa-siapa. Dalam pandanganku, Bibi Liang Hong Yi tetap sebagai wanita terhormat dan mulia."

Kini Bi Lan menangis sambil merapatkan mukanya di dada Thian Liong sehingga air matanya menembus baju Thian Liong membasahi dadanya. Thian Liong merasa seolah-olah air mata itu menembus kulit dagingnya dan menyiram jantungnya, mendatangkan perasaan nyaman dan bahagia.

"Liong-ko......, tadinya aku takut sekali...... takut engkau membenciku, meninggalkan aku...... padahal, hanya engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kupandang, kuhormati dan kukagumi, satu-satunya orang yang kucinta......"

Thian Liong mendekap kepala itu dan mengelus rambut Bi Lan.

"Lan-moi sayang, di sana masih ada seorang yang kaucinta, yang juga kucinta dan kuhormati, yaitu Ibumu! Mari kita menghadap Ibumu untuk minta doa restunya."

"Ibu...... entah di mana, Liong-ko!"

"Ehh......?? Mengapa begitu?"

Tanpa melepaskan diri dari pelukan Thian Liong, Bi Lan menceritakan semua yang ia alami bersama ibunya sejak ayahnya tewas. Bagaimana ia lalu meninggalkan ibunya karena menyesal, kecewa, malu dan berduka mendengar pengakuan ibunya bahwa ibunya dahulu adalah seorang pelacur.

"Aku pergi meninggalkannya dan aku tidak tahu ia sekarang berada di mana, Liong-ko."

"Mari kita mencarinya, Lan-moi. Kita pergi ke kota raja dan mencarinya sampai dapat kita temukan."

Bi Lan hanya mengangguk dan terisak. Sampai lama mereka saling berpelukan sampai akhirnya Bi Lan berhenti menangis. Kemudian, kedua orang itu menuruni bukit itu sambil bergandengan tangan, dengan sinar mata penuh gairah hidup, dengan semangat baru, menyongsong kehidupan yang cerah, penuh kasih sayang, penuh harapan.

Sampai di sini berakhirlah Kisah Si Naga Langit ini, harapan pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembacanya.

TAMAT

Lereng Lawu, medio September 1991.
Alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1394
8 November 2013 jam 3:42pm




Kasih Diantara Remaja Eps 24 Kisah Si Naga Langit Eps 10 Kasih Diantara Remaja Eps 13

Cari Blog Ini