Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 12


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




"Leng Hwa......, Leng Hwa anakku......!" Nyonya itu menjerit-jerit sambil memeluk dan menciumi anaknya yang sudah menjadi mayat.

Ketika Tung-sai Kui Tong memegang pundak isterinya yang kesetanan itu untuk menghiburnya, tiba-tiba Nyonya Kui membalik kepadanya.

"Engkau......! Engkau yang telah membunuhnya!" Ia membentak dan, matanya terbelalak lebar, rambutnya awut-awutan, kemudian wanita yang lemah ini tiba-tiba menyerang suaminya, mencakar dengan kedua tangannya.

"Tenang......, anak kita membunuh diri, gara-gara si jahanam Ho Lam!" katanya.

"Tidak! Engkau yang membunuhnya! Engkau terkutuk, engkau membunuh anakku!" Wanita itu berteriak-teriak dan menangis, lalu terkulai dan jatuh pingsan. Tung-sai Kui Tong memondongnya dan membawanya ke dalam kamar. Hati datuk yang biasanya keras itu kini bersedih melihat keadaan isterinya dan anaknya. Sekarang baru terasa olehnya betapa dia amat menyayang puterinya sehingga kematiannya mendatangkan luka parah dalam hatinya.

Hati datuk timur itu semakin remuk ketika isterinya siuman dari pingsan lalu mengamuk, menangis dan tertawa. Isterinya mengalami tekanan batin yang demikian hebatnya, membuat pikirannya terguncang dan berubah. Dan yang lebih menyedihkan hati Singa Timur, tiga hari kemudian isterinya itu tewas menggantung diri dalam kamarnya! Hal itu dilakukan di tengah malam, ketika dia sedang tidur nyenyak karena sorenya dia minum arak sampai mabuk.

Tiga orang datuk besar yang lain datang melayat. Setelah upacara penguburan isteri dan anaknya selesai, empat orang datuk itu mengadakan perundingan bersama Can Kok.

Di depan mereka, Can Kok menceritakan tentang kematian Leng Hwa.

"Kalau saja tidak muncul jahanam itu, pasti aku dapat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri. Jahanam itulah yang memberi kesempatan kepada Leng Hwa untuk membunuh diri. Jahanam itulah yang seolah telah membunuh Leng Hwa."

"Can Kok, mengapa engkau dulu tidak cepat membunuhnya agar engkau dapat menyelamatkan Leng Hwa?" Singa Timur bertanya, suaranya bernada menegur.

"Paman, jahanam itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan ilmu silatnya mengingatkan aku kepada ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis yang mengeroyok aku dulu itu. Tentu ada hubungannya antara dia dan kedua orang gadis itu."

"Maksudmu Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang murid Tiong Lee Cin-jin itu?"

"Benar, Paman. Aku yakin bahwa dia tentu murid Tiong Lee Cin-jin pula."

"Murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Hemm, apa maksud kalian?" tanya Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian. See ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang dan Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin juga ikut memandang dengan pertanyaan yang sama.

"Secara kebetulan aku telah bertemu dan bertanding dengan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li......"

"Hemm, aku tahu bahwa Pek Hong Niocu adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kin!" kata Pak-sian.

"Dan aku pernah mendengar akan nama Ang Hwa Sian-li. Ia seorang gadis pendekar yang malang melintang di daerah Kerajaan Sung!" kata pula Lam-kai.

"Omitohud, apakah engkau yakin bahwa dua orang gadis itu adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin, Can Kok?" tanya See-ong.

"Tentu saja aku yakin, See-suhu (Guru Barat). Mereka memperkenalkan nama mereka dan juga guru mereka."

"Wah, lalu bagaimana tingkat kepandaian mereka, Can Kok?" tanya Pak-sian.

"Pak-suhu (Guru Utara), mereka cukup lihai, akan tetapi kalau menghadapi seorang dari mereka, aku pasti dapat mengalahkannya."

"Hemm, bagaimana ketika mereka maju berdua? Apakah engkau dapat menandingi pengeroyokan mereka?" tanya Lam-kai.

"Memang berat kalau mereka maju berdua mengeroyokku, Lam-suhu (Guru Selatan), namun aku tidak akan kalah! Ketika itu, aku menghadapi mereka dengan murid suhu Kui Tung, dan kami berdua sudah hampir berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi muncul ratusan orang perajurit kerajaan. Terpaksa kami meninggalkan musuh yang terlalu banyak itu."

"Can Kok, ceritakan tentang jahanam yang menghalangimu sehingga engkau tidak sempat mencegah anakku membunuh diri. Siapakah dia? Benarkah dia itu juga murid Tiong Lee Cin-jin?" tanya Tung- sai.

"Dia seorang pemuda, usianya sekitar duapuluh dua tahun. Orangnya biasa saja, pakaiannya juga sederhana seperti seorang petani. Namanya Souw Thian Liong, Paman, dan dari gerakan silatnya ketika kami bertanding, aku melihat persamaan dasar dengan ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin itu, Paman. Maka aku hampir yakin bahwa dia juga seorang murid dari musuh kita itu!"

"Omitohud!" See-ong Hui Kong Ho-siang menggeleng-geleng kepalanya yang gundul.

"Kalau manusia sombong itu mempunyai tiga orang murid yang lihai, kedudukannya menjadi kuat. Tentu terlampau kuat kalau dihadapi Can Kok seorang diri!"

"Itulah, maka aku mengajak kalian mengadakan perundingan," kata Tung-sai Kui Tong.

"Kalau kita hanya menyuruh Can Kok mewakili kita untuk menghadapi Tiong Lee Cin-jin seorang diri, tentu saja akan terlalu berat bagi Can Kok untuk menghadapi keparat itu yang dibantu oleh tiga orang muridnya. Akan sulitlah diharapkan hasilnya kalau Can Kok dikeroyok empat!"

"Tak dapat disangkal kebenaran kata-katamu, Tung-sai. Lalu bagaimana baiknya?" tanya Pak-sian dengan suaranya yang melengking tinggi.

"Aku mempunyai usul, Pak-suhu, See-suhu dan Lam-suhu. Seperti yang sudah kusampaikan kepada Paman Tung, cara satu-satunya agar kita berhasil adalah kita harus maju bersama ramai-ramai melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Tiong Lee Cin-jin, membunuh dia dan semua muridnya. Akan tetapi sayang, aku belum dapat menemukan di mana dia tinggal."

"Omitohud......! Kebetulan sekali aku mendengar berita bahwa dia kini di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san (Pegunungan Gobi)," kata See-ong.

"Bagus kalau begitu, kita beramai-ramai ke sana. Sekali ini kita tidak boleh gagal. Ingat, kalau kita berhasil, bukan saja kita dapat membalas kekalahan kita, akan tetapi aku yakin manusia sombong itu masih menyimpan banyak kitab-kitab langka. Kita dapat memiliki kitab-kitab yang amat berharga itu!" kata Tung-sai.

Ucapan Singa Timur ini disambut gembira oleh rekan-rekannya dan mereka berlima lalu berunding untuk membuat persiapan keberangkatan mereka ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.

Thian Liong yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak akan dapat mengalahkan Can Kok apabila Tung-sai datang membantu, pula karena melihat bahwa dua orang yang harus dilindunginya itu sudah tewas, menghentikan larinya setelah tiba di bawah bukit karang itu. Kemudian dia mengambil jalan memutar untuk mengintai apa yang terjadi di depan guha. Dia melihat Tung-sai memondong jenazah gadis yang ternyata puterinya itu sambil menangis dan pergi dari depan guha. Kemudian Can Kok juga mengikutinya.

Setelah kedua orang itu pergi, barulah Thian Liong kembali ke depan guha dan dia mengerutkan alisnya melihat mayat pemuda itu terpotong menjadi empat.

"Kejam, bukan manusia mereka itu!" gerutunya dan dia pun segera menggali tanah dan mengubur mayat pemuda yang tidak diketahuinya siapa itu. Akan tetapi dia menemukan dua buntalan pakaian pria dan wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis puteri Tung-sai itu agaknya melarikan diri dengan pemuda ini, kemudian dikejar Can Kok dan Tung-sai. Si pemuda tewas di tangan Can Kok dan gadis itu membunuh diri!

Setelah selesai mengubur jenazah yang terpotong-potong itu, Thian Liong lalu melanjutkan perjalanannya. Dia berniat mencari Bi Lan dan ibunya yang pergi ke kota raja untuk melihat apakah dugaannya benar bahwa ibu dan anak itu pergi berkunjung ke rumah keluarga Panglima Kwee dan untuk melangsungkan pernikahan seperti yang direncanakan Panglima Kwee dan isterinya. Dia tidak akan menemui mereka, dan kalau Bi Lan sudah menikah dengan putera Panglima Kwee, dia akan ikut merasa bahagia. Bahagia? Memang ada perasaan tidak enak dan hampa, akan tetapi dia tetap akan merasa bahagia melihat gadis itu mendapatkan suami yang baik dan kehidupannya dengan ibunyanya tenteram dan berbahagia.

Menjelang sore Thian Liong tiba di luar sebuah dusun yang cukup besar. Melihat sawah ladang di luar dusun demikian luas, dengan tanaman yang subur, juga adanya sebuah anak sungai yang airnya cukup banyak dan jernih mengalir di luar dusun, dia dapat menduga bahwa tentu penduduk dusun itu berkeadaan cukup makmur. Kalau sebuah dusun memiliki tanah subur dan air cukup, sudah dapat dipastikan penduduknya tentu hidup makmur, cukup sandang pangan papannya.

Thian Liong mengetahui dari pengalamannya bahwa kebutuhan hidup penduduk dusun tidaklah banyak. Asalkan sebuah keluarga setiap hari dapat makan kenyang, berpakaian utuh dan memiliki pengganti pakaian, lalu memiliki sebuah rumah untuk tidur dan berteduh, walaupun ketiga kebutuhan hidup itu tidaklah mewah, mereka akan merasa cukup makmur! Cukup sandang pangan papan, keluarga sehat, itulah dambaan setiap keluarga dusun.

Akan tetapi dia melihat di luar dusun itu sepi dan setelah agak dekat dia mendengar suara ribut-ribut di dalam dusun. Dia merasa heran dan cepat dia berlari memasuki dusun itu. Pertama-tama yang ditemuinya adalah rumah-rumah yang sama sekali di luar perkiraannya. Rumah-rumah itu sebagian besar hanya merupakan gubuk-gubuk reyot, bukan sederhana lagi akan tetapi lebih tepat disebut miskin, sepantasnya menjadi gubuk para gelandangan. Juga dia melihat beberapa orang anak-anak yang berseliweran di sekitar rumah-rumah gubuk itu berpakaian kotor dan compang-camping seperti pakaian pengemis! Akan tetapi Thian Liong tidak sempat terlalu memperhatikan keadaan yang di luar perkiraannya tadi karena dia sudah lari ke tengah dusun di mana terdapat banyak orang yang berteriak-teriak dan mereka berkumpul di depan rumah-rumah gedung yang mentereng dan mewah!

Sungguh seperti langit dan bumi keadaan deretan gedung yang terdiri dari sepuluh bangunan besar itu. Gedung-gedung itu kokoh dan indah, seperti bangunan rumah-rumah para bangsawan dan hartawan besar di kota-kota, dikelilingi dinding tembok yang dihias patung-patung singa dan binatang lain dan memiliki pintu gerbang besi! Hebatnya lagi, di depan gedung-gedung itu pada saat itu terdapat puluhan orang berbaris melindungi gedung-gedung itu, dan mereka ini mengenakan pakaian seragam seperti perajurit, dengan memegang senjata tombak atau pedang di tangan! Sikap mereka itu galak dan gagah, wajah mereka bengis memandang ke arah kerumunan orang di jalan depan gedung-gedung itu.

Thian Liong memperhatikan mereka yang berkerumun di situ. Tidak kurang dari seratus limapuluh orang yang berkumpul di situ sambil berteriak-teriak. Melihat keadaan mereka, Thian Liong kembali merasa kaget dan heran. Pakaian mereka itu sebagian besar juga kotor dan compang-camping seperti pakaian anak-anak tadi. Hanya belasan orang saja yang berpakaian tidak compang-camping, akan tetapi pakaian mereka juga kotor dan dari kain murah. Dibandingkan pakaian para penjaga rumah itu, sungguh jauh bedanya! Mereka berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan-tangan yang kasar dan kulitnya hitam terbakar sinar matahari, tangan-tangan yang biasa kerja berat.

"Pembesar lalim!"

"Munafik!"

"Penipu!"

Demikian mereka berteriak-teriak dan berdesak-desakan hendak memasuki pintu gerbang sebuah di antara gedung-gedung itu yang berada di tengah. Gedung ini tidaklah semewah gedung-gedung di kanan kirinya, biarpun cukup besar namun tidaklah tampak mentereng.

Akan tetapi barisan penjaga itu menghadang dengan senjata mereka dan seorang kepala pasukan jaga ini membentak, "Mundur semua! Apakah kalian hendak memberontak? Mundur atau kami bunuh kalian yang berani melawan penguasa!"

"Kami tidak memberontak, tidak melawan!" terdengar seorang di antara para penduduk miskin itu berseru.

Suaranya cukup lantang dan dia adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih yang pakaiannya amat sederhana, walaupun tidak compang-camping. Wajahnya lembut, akan tetapi matanya me-ngeluarkan sinar berapi penuh keberanian.

"Kami hanya menuntut keadilan! Kami minta agar Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo) menemui kami dan memenuhi janji-janjinya kepada kami, rakyat dusun Be-san ini!"

"Keparat, engkau yang memimpin pemberontakan ini, ya?" Komandan penjaga itu menggerakkan cambuk di tangannya.

"Tar-tarrr......!" Laki-laki yang bicara lantang tadi melindungi mukanya dengan kedua tangan. Cambuk melecuti tubuhnya dan dia pun terpelanting roboh, bajunya robek tercabik-cabik sengatan ujung cambuk dan tampak darah di sana sini keluar dari kulit yang ikut pecah.

Penduduk yang berkerumun di situ menjadi panik dan mereka bergerak mundur. Komandan gerombolan penjaga itu menyeringai dan melihat wajah para penduduk yang ketakutan, merasa mendapat angin. Dengan bengis dia lalu maju dan mengangkat cambuknya untuk menghajar laki-laki yang sudah roboh itu.

"Mampuslah engkau, pemberontak!" bentaknya. Akan tetapi sebelum cambuknya menyambar ke bawah, tiba-tiba saja cambuk itu direnggut orang. Renggutan itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu mempertahankan cambuk dan tahu-tahu sudah terlepas dari pegangannya dan dirampas orang. Ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, ternyata yang merampas cambuknya itu seorang pemuda asing yang berpakaian sederhana. Pemuda itu jelas bukan penduduk dusun Be-san itu karena dia tidak mengenalnya.

"Jahanam busuk, siapa kamu berani merampas cambukku? Hayo kembalikan, cepat!" Dia maju dan hendak merampas kembali cambuknya yang berada di tangan Souw Thian Liong.

Pemuda yang merampas cambuk kepala pasukan penjaga itu adalah Thian Liong. Tadi dia marah sekali melihat perbuatan kepala jaga itu mencambuki orang yang tidak dapat melawan, maka dia lalu merampas cambuk itu. Kini melihat tukang pukul itu memakinya dan hendak merampas kembali cambuknya, Thian Liong menangkis dengan tangan kirinya dan begitu lengan mereka bertemu, tukang pukul itu pun terpelanting roboh.

Dia marah bukan main. Cepat dia bangkit berdiri, mencabut goloknya dan membacok ke arah kepala Thian Liong.

Thian Liong menggerakkan tangan sambil mencondongkan tubuh ke kiri mengelak. Ketika golok meluncur lewat, tangan kirinya menyambar dan dia pun sudah merampas golok penyerangnya. Dengan mudah seperti orang mematahkan sebatang ranting kecil saja, Thian Liong mematah-matahkan golok itu lalu membuang ke atas tanah. Kemudian dia menggerakkan cambuk rampasan itu sehingga terdengar ledakan-ledakan cambuk yang menari-nari di atas tubuh kepala jaga itu. Tukang pukul itu mengaduh-aduh dan roboh menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan berlepotan darah.

Melihat ini, timbul keberanian para penduduk. Mereka berdesakan maju dan dengan wajah beringas mereka hendak mengeroyok komandan jaga yang galak itu. Kalau hal ini dibiarkan, tentu komandan jaga itu akan dihujani pukulan dan tak dapat ditolong lagi. Akan tetapi Thian Liong menghadang dan mengayun cambuknya ke atas sehingga terdengar meledak-ledak.

"Mundur! Ada urusan dapat dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan!" bentaknya dan para penduduk itu lalu menghentikan niat mereka menghajar komandan jaga itu. Setelah Thian Liong tidak mencambuki lagi, komandan jaga itu tertatih-tatih bangkit berdiri dan ditolong oleh beberapa orang temannya.

Pada saat itu muncul seorang laki-laki dari dalam gedung. Karena pendapa rumah besar itu lebih tinggi daripada pekarangan, maka semua orang dapat melihatnya, seolah dia berdiri di atas panggung. Kalau tadinya para penduduk itu saling bicara dengan suara riuh, kini mereka berhenti mengeluarkan suara sehingga suasananya hening. Thian Liong sendiri memandang ke arah pendapa dan melihat laki-laki itu melangkah dengan tenang sampai ke tepi pendapa menghadapi orang-orang yang berdiri di pekarangan, di bawah pendapa.

Laki-laki itu sudah tua, sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua dan wajahnya mengandung senyuman, sikapnya tampak lembut sehingga Thian Liong diam-diam merasa heran. Kakek ini tampaknya baik hati dan penuh kesabaran. Mengapa kini penduduk ribut-ribut dan dari teriakan-teriakan mereka tadi seolah merasa penasaran dan menuntut? Kakek inikah yang tadi dimaki sebagai pembesar lalim, munafik dan penipu?

Sejenak kakek itu melayangkan pandang matanya kepada semua orang dan kini Thian Liong melihat bahwa di balik kelembutannya, kakek itu memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati. Semua penduduk diam dan tampak gelisah. Lalu terdengar suara kakek itu, suaranya juga terdengar lembut namun cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Hei, para penduduk Be-san. Kalian ini mau apa ribut-ribut di sini? Kalau ada urusan, siapa pun boleh menghadap padaku untuk membicarakannya, bukan ribut-ribut datang ke sini seperti perampok. Kalau kalian menggunakan kekerasan, aku pun dapat memerintahkan para pengawalku untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, kakek itu menggapai ke dalam dan muncullah lima orang laki-laki tinggi besar yang berwajah menyeramkan.

"Lihat, kalian semua tahu bahwa Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar) ini adalah para pengawal pribadiku. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan dan hendak memberontak, aku dapat memberi perintah kepada mereka untuk membunuh kalian!" Kini suara yang lembut itu mengandung ancaman.

Lima orang tinggi besar itu berdiri tegak sambil tersenyum simpul, mengangkat dada dan memandang rendah semua orang yang berdiri di pekarangan.

Laki-laki yang tadi dicambuk berdiri di depan. Dia berseru dengan lantang.

"Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo), kami sama sekali tidak ingin memberontak, hanya ingin menuntut hak kami dan menagih semua janji Chung-cu kepada kami beberapa tahun yang lalu. Kami merasa dibohongi!"

"Apa?" Lurah Mo itu membelalakan matanya dan kini wajahnya berubah merah.

"Kamu berani menuduh kami membohongimu? Aku sudah mati-matian berjuang demi kemakmuran desa dan rakyat dan kamu bilang aku berbohong? Pengawal, tangkap pemberontak itu!" Lurah Mo menuding ke arah laki-laki yang menjadi wakil pembicara penduduk dusun itu.

Seorang di antara lima pengawal itu menyeringai dan melangkah maju hendak turun dari atas pendapa, tangannya meraba gagang golok dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi sebelum dia turun, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Liong sudah berdiri di depannya.

Ketika Thian Liong menghajar kepala penjaga tadi, Lurah Mo dan lima orang pengawalnya tidak melihat hal itu. Maka kini melihat seorang pemuda asing, bukan penduduk dusun Be-san, tiba-tiba muncul, Lurah Mo membentak marah.

"Hei, siapa kamu berani naik ke sini tanpa kami panggil?"

Sementara itu, lima orang Twa-to Ngo-houw sudah bergerak mengepung Thian Liong dengan sikap mengancam. Thian Liong bersikap tenang saja dan dia berkata dengan suara lantang.

"Saya bernama Souw Thian Liong dan kebetulan saja saya lewat di dusun Be-san ini dan melihat para penduduk hendak menyatakan isi hati mereka kepada Mo-chungcu. Tadi engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalau ada urusan, mereka boleh bicara denganmu, akan tetapi mengapa, setelah kini ada yang mewakili para penduduk untuk bicara, malah kau ancam dan hendak menggunakan anjing-anjingmu untuk menggonggong dan menggigit penduduk?"

Tentu saja Lurah Mo marah sekali mendengar ucapan itu. Juga Twa-to Ngo-houw yang disebut anjing-anjing oleh pemuda asing sederhana ini.

"Tangkap bocah lancang mulut ini!" bentak Lurah Mo.

Karena mereka memang marah terhadap Thian Liong, maka tanpa diperintah dua kali, lima orang tukang pukul itu segera menerjang, ada yang menubruk, ada yang mencengkeram, ada yang memukul atau menendang. Agaknya mereka berlima berlumba untuk lebih dulu merobohkan pemuda itu. Para penduduk dusun yang menonton dari bawah pendapa, memandang dengan cemas karena mereka semua tahu betapa lihai dan kejamnya lima orang jagoan andalan Lurah Mo itu.

Akan tetapi, terjadilah hal yang membuat semua orang terperangah. Tiba-tiba tubuh Thian Liong berpusing seperti gasing dan tangannya berubah banyak, membagi-bagi tamparan kepada lima orang penyerangnya.

"Plak-plak-plak-plak-plak......!!" Dan lima orang tinggi besar itu berpelantingan roboh di atas lantai pendapa!

Lima orang jagoan itu sendiri terbelalak, heran dan juga pening. Akan tetapi mereka kini menjadi marah sekali, maklum bahwa pemuda itu bukan seorang lemah. Tanpa menanti komando lagi mereka sudah mencabut golok besar mereka dan kembali mereka mengepung Thian Liong.

"Hemm, orang-orang yang mengandalkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain adalah siauw-jin (orang berbudi rendah) dan menjadi permainan iblis yang akan menyeretnya ke neraka jahanam!" kata Thian Liong.

"Mundurlah kalian sebelum terlambat dan bertaubatlah!"

Akan tetapi ucapan ini bahkan menjadi minyak yang disiramkan ke api, membuat lima orang itu menjadi semakin marah. Mereka membentak nyaring dan golok mereka berkelebatan, diputar menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan sinar-sinar golok mencuat dan menyambar ke arah Thian Liong!

Thian Liong maklum bahwa lima orang yang menggunakan julukan Lima Harimau Bergolok Besar ini tentu merupakan ahli-ahli golok yang tangguh dan berbahaya, maka dia pun sudah mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) dan sekali dia berseru, pedangnya menjadi sinar panjang menyilaukan mata.

"Trang-trang-trang-trang-trang""!!" tampak api berpijar-pijar, disusul robohnya lima orang pengeroyok itu. Kejadian itu berlangsung amat cepatnya, tak dapat diikuti pandang mata dan tahu-tahu ketika semua orang memandang lagi, Thian Liong berdiri santai dan pedangnya sudah kembali ke tempatnya. Lima orang itu mengaduh-aduh, lengan kanan mereka berdarah karena terluka goresan pedang yang cukup dalam pada pangkal lengan kanan. Golok-golok besar mereka berserakan di atas lantai dalam keadaan patah menjadi dua potong!

Pada saat itu dari dalam gedung bermunculan empat orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh lima tahun, dan seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Lima orang laki-laki ini bukan tukang pukul. Pakaian mereka mewah dan mereka berdiri di belakang Lurah Mo dengan wajah pucat pula, seperti wajah Lurah Mo yang pucat dan matanya terbelalak, jerih memandang kepada Souw Thian Liong.

Akan tetapi, agaknya karena sudah banyak pengalaman, Lurah Mo dapat bersikap tenang dan dia lalu berkata kepada Thian Liong dengan suara yang lembut ramah dan membujuk setelah tahu bahwa pemuda ini tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

"Souw-sicu (orang gagah Souw), sebetulnya apakah yang kau inginkan? Kalau engkau menginginkan uang, katakanlah berapa kebutuhanmu? Akan kami cukupi. Atau engkau menghendaki kedudukan? Akan kami beri kedudukan yang layak dan terhormat."

"Tidak, Chung-cu, aku tidak butuh apa-apa. Aku hanya minta agar sekarang juga engkau mendengarkan tuntutan rakyat dusun yang kaupimpin ini." Setelah berkata demikian, Thian Liong lalu berdiri menghadapi penduduk dan berkata dengan suara lantang.

"Saudara-saudara sekalian, sekarang bicaralah, ceritakan semua isi hati dan tuntutanmu. Jangan takut, bukalah semua, aku yang menanggung bahwa tidak akan ada orang yang mengganggu kalian!"

Laki-laki yang menjadi juru bicara para penduduk itu lalu melangkah maju dan berkata dengan suara lantang.

"Saya Liu Cin mewakili seluruh penduduk Be-san menyampaikan rasa penasaran dan tuntutan kami kepada Lurah Mo. Beberapa tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan lurah baru untuk dusun ini, Lurah Mo berjanji kepada kami untuk berjuang memajukan dusun dan mendatangkan kemakmuran bagi kami semua. Untuk usaha itu, Lurah Mo mengadakan peraturan-peraturan yang memberatkan kami seperti pajak-pajak, sumbangan-sumbangan, dan lain-lain. Kehidupan kami selama bertahun-tahun menjadi semakin berat. Hasil sawah ladang kami memang subur dan banyak, namun semua itu sebagian besar habis untuk membayar pajak dan sumbangan-sumbangan yang mencekik sehingga kami hidup melarat. Untuk memberi makan semua keluarga pun terkadang kurang, apalagi untuk membeli pakaian dan membetulkan rumah."

"Akan tetapi, bukankah sudah sering kami katakan bahwa untuk mendatangkan kesejahteraan, kita harus prihatin? Bukankah sudah sering kami katakan bahwa ada pribahasa: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Kita berprihatin sekarang ini untuk membangun desa, untuk mempersiapkan kehidupan yang makmur bagi anak keturunan kita?" Demikian Lurah Mo membantah dengan suaranya yang khas, lembut namun lantang.

Tiba-tiba para penduduk menjadi gaduh lagi. Ada yang berteriak-teriak.

"Munafik......!"

"Penipu......!"

Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas.

"Saudara-saudara harap tenang dan dengarkan saja pembicaraan yang dilakukan wakil kalian dan Lurah Mo!" Semua orang lalu diam.

"Itulah yang selalu dikatakan Lurah Mo kepada kami seluruh penduduk dusun. Kami harus prihatin, hidup sederhana seadanya, demi pembangunan dusun, demi kemakmuran anak cucu. Kami menaati semua nasihat dan petunjuknya karena menganggap dia benar-benar berjuang demi kesejahteraan dusun dan penduduknya, akan tetapi apakah kenyataannya? Mungkin Lurah Mo sendiri tidak menonjolkan kekayaannya, akan tetapi lihatlah! Gedung-gedung besar dibangun oleh anak-anaknya dan saudaranya! Itu mereka berdiri di belakang Lurah Mo! Anak-anaknya dan saudaranya menjadi kaya raya, rumah gedung, memiliki ratusan ekor ternak, membeli hampir semua sawah ladang sehingga kami yang terpaksa menjual tanah untuk makan kini hanya menjadi buruh tani. Dan ke mana larinya semua hasil pajak yang kami bayar, semua sumbangan-sumbangan yang amat banyak diambil dari hasil keringat kami? Mana pembangunan untuk dusun ini? Yang ada hanya pembangunan untuk Lurah Mo sekeluarganya yang menjadi kaya raya. Demikian kayanya sampai gandum di lumbung mereka membusuk. Mereka sering mengadakan pesta pora dengan para hartawan dari kota."

Laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun yang berdiri di belakang Lurah Mo dan yang mengenakan pakaian mewah itu menjawab dengan suara lantang dan sikap gagah-gagahan.

"Heh, kalian orang-orang bodoh. Jangan menuduh sembarangan dan seenaknya saja! Kami memang kaya raya, akan tetapi kekayaan kami adalah hasil kami berdagang dengan para saudagar di kota!"

Empat orang Iaki-laki yang lebih muda juga berseru marah.

"Itu betul! Kami berdagang dan apa salahnya menjadi kaya karena keberhasilan kami berdagang?"

"Kalian hanya iri karena kalian tidak becus mencari uang! Karena kalian ini orang-orang desa yang bodoh! Kalau kami menjadi kaya karena pandai berdagang, dan kalian miskin karena kalian bodoh dan tidak becus, mengapa mau menyalahkan kami?"

Mendengar alasan-alasan keluarga lurah itu, kembali terjadi kegaduhan dan sekali lagi Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas.

"Tenanglah, biarlah wakil kalian yang bicara!"

Setelah suasana menjadi hening, wakil pembicara penduduk itu lalu berkata lagi dengan, lantang.

"Kami semua sudah mendengar ucapan keluarga Mo, putera-puteranya dan saudaranya. Jadi kalian menjadi kaya raya karena pandai dan berdagang sedangkan kami menjadi miskin karena bodoh? Memang kami akui, kami bodoh karena mudah saja dibodohi kalian. Kami masih ingat, ketika Lurah Mo dan keluarganya, anak-anaknya, saudaranya, dahulu sebelum Lurah Mo menjadi lurah, kalian semua tidak ada bedanya dengan kami! Kalian dulu juga hanya orang desa, kalian juga dulu miskin tidak punya apa-apa. Akan tetapi setelah Lurah Mo menjadi lurah di sini, kalian menjadi pedagang dan tuan tanah yang kaya raya dan berlebih-lebihan. Coba terangkan, dari mana kalian mendapatkan itu semua? Darimana kalian mendapatkan modal untuk berdagang secara besar-besaran, membeli ratusan ekor hewan ternak dan tanah yang luas sekali?"

Empat orang anak lurah dan seorang saudaranya itu menjadi pucat wajahnya dan tidak mampu menjawab, kini mereka semua memandang kepada Lurah Mo seolah minta pertolongan agar Sang Lurah yang menjawab. Melihat enam orang itu diam saja, mulailah penduduk ramai lagi saling bicara dan kata-kata keras dilontarkan mereka kepada keluarga itu.

Thian Liong mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang, kemudian dia berkata kepada sang Lurah.

"Mo-chungcu, silakan menjawab pertanyaan mereka. Dari mana keluargamu itu mendapatkan uang begitu banyak untuk dipakai modal berdagang? Kalau kalian tidak mau menjawab terus terang, terpaksa aku akan membiarkan para penduduk ini menggunakan kekerasan dengan cara mereka sendiri!"

Wajah Lurah Mo menjadi pucat dan wajahnya kini tampak lebih tua daripada biasanya. Berulang kali dia menghela napas panjang, memandang kepada anak-anak dan saudaranya, lalu berkata, "Mereka mendapatkan...... dari...... dari aku......"

Wakil pembicara para penduduk itu cepat bertanya lantang.

"Dan engkau mendapatkan uang demikian banyaknya itu darimana, Mo-chungcu?!?"

"Dari...... dari penghasilan kelurahan......!"

Thian Liong merasa betapa dadanya panas mendengar ini semua. Jelaslah baginya bahwa kepala dusun ini telah mempergunakan kesempatan selagi dia berkuasa di dusun itu untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa memperdulikan penduduk yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, padahal seluruh harta yang mereka miliki itu berasal dari hasil perahan keringat penduduk dusun Be-san. Maka, setelah mengerti dengan jelas permasalahannya, Thian Liong kini mewakili penduduk dan bertanya dengan suara mengguntur.

"Mo-chungcu, penghasilan kelurahanan yang kaumaksudkan itu adalah hasil tarikan pajak dan sumbangan dari penduduk, sebagian besar hasil sawah ladang mereka dan dari tanah mereka yang terpaksa dioperkan kepadamu karena kekurangan makan. Begitukah? Tidak perlu berbohong lagi, jawablah!"

Mo-chungcu tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk.

"Mo-chungcu, engkau telah menyalahgunakan kekuasaanmu untuk memperkaya diri sendiri dan keluargamu, tanpa memperdulikan rakyat dusun ini! Seluruh harta kekayaanmu dan keluargamu berasal dari hasil sawah ladang yang disiram keringat para penduduk. Sadarkah engkau akan hal itu?"

Kembali Lurah itu mengangguk. Dan dia tampak lemah sekali, tubuhnya menggigil, mukanya pucat. Kemudian dia terhuyung-huyung lalu tangannya bergerak, telunjuknya menuding ke arah empat orang anaknya dan seorang saudaranya itu sambil berkata, "Kalian...... bodoh...... kalian terlalu pamer......" Dia lalu terguling roboh ke atas lantai dan ketika diperiksa, ternyata Lurah Mo telah tewas. Mungkin rasa takut, malu, dan tegang telah menekan jantungnya dan menewaskannya.

Thian Liong tidak mau kepalang tanggung dalam menolong penduduk dusun Be-san itu. Dia bermalam di situ beberapa hari lamanya dan melakukan pembenahan. Atas keputusan orang-orang yang dianggap menjadi sesepuh dan pemuka di dusun itu, setelah mengadakan musyawarah, lalu diputuskan bahwa semua harta kekayaan Lurah Mo dan semua keluarganya, sanak kerabatnya yang kebagian harta tidak halal itu, disita oleh kepala dusun dan para pembantunya yang baru atas pilihan rakyat.

Harta sitaan itu dipergunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk, dan untuk pembangunan dusun yang diperuntukkan kesejahteraan penduduk. Sawah ladang penduduk dikembalikan kepada pemilik lama. Rumah besar itu menjadi rumah kelurahan dari lurah yang baru, dan rumah-rumah gedung yang tadinya milik para putera dan saudara mendiang Lurah Mo, kini menjadi gedung-gedung yang dipergunakan untuk penduduk melakukan berbagai kegiatan kesenian dan lain-lain.

Akan tetapi, atas usul Thian Liong yang dianggap sebagai pahlawan dan penolong penduduk Be-san, keluarga mendiang Lurah Mo tetap diperbolehkan tinggal di Be-san dan menempati rumah yang tidak banyak bedanya dengan perumahan penduduk. Mereka disadarkan dan mengakui bahwa selama ini mereka dibutakan oleh pengaruh harta dan kekuasaan. Setelah hidup sebagai penduduk biasa, sederajat dengan para penduduk lainnya, mereka malah merasa tenteram dan damai. Para tukang pukul yang memiliki kekejaman diusir dari dusun itu dan bagian keamanan dusun diserahkan kepada para pemuda.

"Dengar baik-baik," kata Thian Liong ketika hendak meninggalkan dusun itu.

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Kalian seluruh penduduk harus bersatu padu bergotong-royong saling bantu, bersama-sama menghadapi dan menentang kekuasaan yang sewenang-wenang hendak menindas kalian. Sama sekali bukannya jahat dan tidak boleh untuk menjadi orang berharta, asalkan harta itu didapatkan dengan cara yang wajar dan baik, bukan hasil pemerasan, pencurian, atau penipuan. Yang kaya membantu yang miskin, yang miskin juga dibutuhkan yang kaya. Kaya maupun miskin tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bantuan orang lain. Ingatlah kata-kata bijaksana. Guru Besar Khong Cu :

Se-hai-ce-nei-cai-syung-ti-ye (Di empat penjuru lautan semua adalah saudara).

Karena itu kita harus tolong menolong seperti saudara, jangan berpesta pora di depan orang-orang yang kelaparan, jangan bermewah-mewah, berfoya-foya di depan orang-orang yang miskin dan papa."

Setelah memberi nasihat kepada penduduk, dan berpamit kepada lurah baru dan para pembantunya, Thian Liong juga meninggalkan pesan kepada mereka, terutama kepada lurah baru itu.

"Ingatlah selalu bahwa kedudukan kalian ini diberi oleh rakyat dusun ini. Kalian dapat menjadi pemimpin karena mereka yang memilih dan menentukan. Kalian dipilih untuk mengatur dusun ini agar rakyatnya hidup sejahtera. Tanpa rakyat dusun ini, kalian ini bukan apa-apa. Karena itu, bekerjalah sebaik mungkin demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kalau kalian menjadi penguasa yang bijaksana dan mencinta rakyat, tentu rakyat akan mencinta kalian dan kalau sudah begitu, setiap perintah dan petunjuk kalian pasti akan ditaati dan dilaksanakan rakyat dengan senang hati dan patuh. Bukannya tidak boleh seorang penguasa hidup makmur, bahkan sudah sewajarnya seorang pemimpin hidup berkecukupan sebagai imbalan jasanya menyejahterakan rakyatnya, dan sudah menjadi kewajiban rakyatnya membagi sebagian dari penghasilannya kepada para pimpinan sebagai imbalan jasa. Akan tetapi sama sekali tidak benar kalau para pemimpin lain mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak wajar. Janganlah diulang lagi kesalahan pemimpin seperti yang sudah. Keluarga sendiri menumpuk harta sampai berlebihan, sedangkan sebagian besar rakyatnya hidup miskin sekali, padahal merekalah yang telah memilih pemimpin mereka. Penguasa seperti ini, yang mengandalkan kekuasaan dan mencari kesempatan memperkaya diri sendiri, bersenang-senang dan menari-nari di atas kepala rakyatnya, pasti tidak akan diberkati Thian dan akan terkutuk sehingga akhirnya mencelakakan diri dan keluarganya sendiri."

Setelah memberi banyak nasihat, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Be-san dan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja Lin-an (Hang-chouw), yaitu kota raja Sung Selatan.

Thian Liong melakukan perjalanan menuju Lin-an. Hatinya masih merasa risau dan pilu kalau dia memikirkan Bi Lan, yang sudah berbulan-bulan meninggalkan dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Dia merasa iba kepada gadis itu, juga merasa bersedih mendengar akan kematian Han Si Tiong. Mudah-mudahan saja dugaannya benar bahwa Bi Lan dan ibunya pergi ke kota raja Lin-an, ke rumah keluarga Panglima Kwee dan mungkin kini telah menjadi isteri Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee dan hidup berbahagia di kota raja. Kalau sekiranya dibutuhkan, dia akan membantu gadis itu mencari para pembunuh ayahnya.

Ketika dia memasuki wilayah kota raja, dia mendengar berita tentang Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) yang mengamuk di kota-kota besar, terutama di kota Cin-koan. Menurut kabar itu, Ang I Mo-li ini mengamuk, menghajar banyak laki-laki bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelesir. Wanita itu kabarnya amat lihai dan para laki-laki hidung belang itu ia lukai dan diberi cacat mukanya, akan tetapi tidak dibunuh. Rumah-rumah pelesir itu dirusak. Agaknya wanita itu mendendam dan membenci para pria yang suka berkeliaran dan bersenang-senang di rumah-rumah pelesir itu! Sungguh aneh, pikirnya.

Ketika dia mencari keterangan lebih lanjut dan mendengar bahwa Ang I Mo-li itu selain lihai juga masih muda dan cantik jelita, pikirannya melayang dan membayangkan Han Bi Lan. Gadis itu juga selalu berpakaian merah! Apakah Ang I Mo-li, Si Iblis Betina Baju Merah itu Han Bi Lan? Akan tetapi kalau benar, mengapa gadis itu mengamuk di rumah-rumah pelesir dan membikin cacat para pria yang berpelesir di situ? Rasanya tidak masuk akal. Apa hubungannya Han Bi Lan dengan mereka yang berpelesir? Ayahnya dibunuh seorang pemuda dan seorang gadis, demikian menurut penjaga rumah Han Si Tiong yang telah ditinggalkan keluarga itu. Akan tetapi kalau memang Ang I Mo-li itu Han Bi Lan, mengapa ia membenci para pria yang berada di rumah pelesir? Apakah dua orang pembunuh Han Si Tiong itu ada hubungannya dengan rumah pelesir? Hal ini meragukan hati Thian Liong. Kalau begitu agaknya Si Iblis Betina Baju Merah itu bukan Han Bi Lan.

Thian Liong melamun dan membayangkan wajah Han Bi Lan. Terbayang olehnya betapa Han Bi Lan mati-matian membelanya ketika dia difitnah dan hendak menerima hukuman dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai karena fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh Cia Song. Kemudian betapa dia yang ketika itu merasa penasaran dan marah kepada gadis yang mencuri kitab untuk Kun-lun-pai dari tangannya itu, dia tampari pinggulnya sampai sepuluh kali seperti yang dia janjikan dalam hatinya.

Sejak pertemuan terakhir itu, setahun lebih telah lewat. Pada pagi hari itu, Thian Liong menuruni sebuah bukit di puncak di mana dia melewatkan malam yang dingin. Tidak tampak dusun di sekitar bukit itu. Akhirnya dia menemukan jalan umum yang kasar dan dia ingat bahwa jalan ini menuju ke kota raja di sebelah timur, walaupun masih sekitar sehari penuh perjalanan dari tempat itu ke kota raja.

Jalan umum itu memasuki sebuah hutan yang lebat. Matahari pagi hanya mampu menyusup di antara daun-daun yang rimbun sehingga membentuk sinar-sinar putih menembus keremangan hutan. Indah sekali pemandangan itu. Thian Liong merasa seperti dalam dunia yang aneh dan asing, berjalan melalui berkas-berkas sinar putih itu.

Sunyi bukan main di jalan itu, tak tampak seorang pun manusia. Akan tetapi suasananya cukup riang dengan adanya kicau burung-burung yang berloncatan di dahan dan ranting pohon. Tiba-tiba Thian Liong berhenti melangkah. Di antara suara kicau burung-burung itu, dia mendengar suara lain yang aneh. Isak tangis tertahan! Dia memejamkan mata mengerahkan pendengarannya.

Tak salah lagi. Ada orang menangis dengan isak ditahan-tahan. Agak jauh dan lirih, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara itu dan dia lalu melangkah perlahan dan hati-hati menuju ke arah suara. Dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang menangis itu, hanya ingin melihat apa yang terjadi maka dia berjalan perlahan agar jangan sampai diketahui orang yang sedang menangis dan dia hampiri.

Tak lama kemudian dia melihat seorang gadis duduk bersandar pada batang pohon dan dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia menangis terisak-isak akan tetapi jelas bahwa ia menahan agar tangisnya tidak terlalu nyaring.

Jantung dalam dada Thian Liong berdebar keras, hatinya merasa tegang sekali. Melihat bentuk tubuhnya, gadis itu masih muda dan pakaiannya serba merah muda! Han Bi Lan? Ah, dia tidak dapat melihat mukanya, maka dia masih ragu, tidak yakin apakah gadis itu Han Bi Lan. Seingatnya, gadis itu lincah jenaka galak dan bukan model wanita yang cengeng. Akan tetapi mengapa kalau gadis itu Bi Lan ia menangis, dan lebih aneh lagi mengapa ia berada di hutan ini seorang diri? Semestinya ia berada di kota raja Lin-an bersama ibunya!

Dengan hati-hati Thian Liong menghampiri dan dia sengaja batuk-batuk setelah berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak dari gadis itu.

"Ugh-ugh-ugh......!"

Tiba-tiba gadis itu menghentikan tangisnya, menggunakan kedua tangan menggosok kedua matanya untuk menghapus sisa air mata lalu menurunkan kedua tangan memandang. Dua buah mata bintang menatapnya dengan tajam dan Thian Liong terbelalak.

"Kau...... eh, kau...... Nona Han Bi Lan......?"

Gadis itu memang Han Bi Lan. Sama sekali tidak pernah diduganya seujung rambutpun bahwa orang yang dicari-carinya selama ini, orang yang membuatnya mengertakan gigi saking gemas dan penasaran, membuat hatinya panas sekali setiap kali mengingatnya, tahu-tahu kini berada di depannya!

Kalau tahu bahwa Souw Thian Liong datang, sudah pasti ia tidak akan memperlihatkan tangisnya. Ia merasa malu bukan main telah dilihat orang bahwa ia menangis, apalagi yang melihatnya adalah Souw Thian Liong! Perasaan malu ini bagaikan minyak dituangkan ke dalam api, membuat hatinya menjadi semakin bernyala panas! Ia segera meloncat bangkit berdiri dengan cekatan sekali dan kini mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak sekitar tiga tombak (lima meter), saling pandang dengan penuh perhatian.

Diam-diam Thian Liong merasa kagum akan tetapi juga kasihan melihat Han Bi Lan. Gadis itu masih cantik jelita seperti dulu walaupun kini rambutnya kusut dan wajahnya tidak berseri. Akan tetapi ia masih tampak jelita dan manis sekali. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan agak kurus, rambutnya yang panjang hitam digelung sederhana dan sebagian terurai lepas, anak rambutnya semakin binal bermain di dahi dan pelipisnya.

Dahi yang berkulit halus putih kemerahan itu kini terhias dua garis melintang tanda bahwa gadis ini menderita batin. Alisnya hitam kecil dan tebal, matanya yang seperti sepasang bintang itu berkilauan, namun Thian Liong dapat menangkap kesayuan membayang dalam mata itu. Dia ingat betapa dahulu mata itu tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidung yang mancung itu sesuai sekali dengan bibirnya yang berbentuk indah penuh dan tipis kemerahan. Lesung pipi di kedua ujung mulut itu masih tampak. Dagunya agak meruncing seperti menantang. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya yang ramping padat itu agak kurus.

"Nona Han Bi Lan, mengapa Nona menangis?" tanya Thian Liong dengan lembut, karena dia tidak tahu harus bicara apa. Begitu berhadapan dengan gadis itu, dia seolah menjadi gugup dan bingung.

"Bukan urusanmu!" Bi Lan menjawab dengan suara membentak marah dan melanjutkan.

"Sungguh kebetulan sekali, sudah lama aku mencarimu, Souw Thian Liong!"

Thian Liong tersenyum, hatinya gembira mendengar ucapan itu.

"Ah, aku juga girang sekali dapat bertemu denganmu secara tidak tersangka-sangka seperti ini, Nona. Aku sedang mencari dan hendak menyusulmu ke kota raja Lin-an."

"Hemm, mau apa engkau mencari dan menyusulku?" pertanyaan ini keluar dengan ketus.

"Aku mau menyatakan ikut berduka cita kepada engkau dan lbumu atas kematian Ayahmu, dan aku...... aku hendak minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepadamu dahulu itu......" Lalu disambungnya, "dan engkau mencariku dengan keperluan apakah, Nona?"

"Enak saja sudah menghina orang minta maaf begitu saja! Aku mencarimu untuk membalas dendam atas penghinaanmu dahulu! Bersiaplah engkau, Souw Thian Liong! Aku akan menebus kekalahanku dan membalas penghinaanmu dengan menampar mukamu sebanyak duapuluh kali!"

Setelah berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda. Aneh kuda-kudanya ini, tubuhnya berdiri tegak, kedua lengannya tergantung lurus ke bawah, kaku seperti patung atau seperti...... mayat karena wajahnya yang agak pucat itu kini benar-benar seperti wajah mayat dengan mata yang "mati" dan kulit muka kaku! Inilah ilmu silat Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menaklukkan Langit) yang terdiri hanya dari tigabelas jurus yang ia pelajari dari gurunya yang baru, Si Mayat Hidup. Pembukaannya adalah seperti itu, kaku menyeramkan!

Thian Liong terbelalak heran dan juga merasa seram. Dia mengira bahwa tentu ilmu andalan gadis itu adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai itu, dari kitab yang dulu dicurinya, akan tetapi setelah ia menguasainya dan mengembalikan kitab itu kepada Kun-lun-pai, ia bahkan diterima menjadi murid. Akan tetapi kuda-kuda aneh menyeramkan itu jelas bukan dari ilmu silat Kun-lun-pai.

"Bersiaplah!"

Thian Liong semakin terkejut dan seram ketika mendengar bentakan itu seolah keluar dari dalam perut Bi Lan tanpa gadis itu membuka mulut! Dia memang tidak ingin berkelahi dan tidak mau melawan.

"Tidak, Nona. Aku dahulu telah bersalah kepadamu. Kalau sekarang engkau hendak membalas dan hendak menampari aku, jangankan hanya duapuluh kali, biarpun sampai seratus kali aku akan menerimanya dan tidak akan melawan."

Mendengar ucapan ini, Bi Lan mengurungkan kuda-kuda ilmu silatnya dan ia menghampiri Thian Liong dengan kedua pipi kini berubah merah saking marahnya.

"Engkau harus melawanku! Aku ingin mengalahkanmu lalu membalas tamparanmu dahulu itu. Hayo lawan aku!"

Thian Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, Nona Han Bi Lan. Engkau adalah puteri, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati, dan aku pernah bersalah kepadamu. Maka, kalau engkau hendak membalas, tamparlah aku sesukamu, aku tidak akan membalas."

"Keparat kau! Engkau hendak membuat aku menjadi seorang pengecut curang yang menyerang orang yang tidak mau melawan? Engkau telah menghinaku, dan sekarang engkau ingin membuat aku menjadi seorang pengecut pula?"

"Tidak, Nona, bukan itu maksudku. Kalau engkau merasa terhina dahulu, sekarang engkau boleh menghinaku kembali dan kalau engkau hendak membalas tamparanku, engkau boleh menampar sesuka hatimu. Ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyesali perbuatanku kepadamu dahulu itu. Tamparlah, Nona, engkau berhak melakukan itu!"

Bi Lan yang marah sekali kalau mengingat betapa pinggulnya telah ditampari sehingga kalau ia teringat, sampai sekarang kedua bukit pinggulnya masih terasa panas dan pedas, lalu melangkah maju dan kedua tangannya menampar dari kanan kiri.

"Plak-plak!" Tamparan itu kuat sekali, mengenai kedua belah pipi Thian Liong. Kepala pemuda itu sampai terguncang ke kanan kiri oleh kerasnya tamparan. Karena ia hendak menampar sedikitnya sepuluh kali untuk membalas, Bi Lan melanjutkan tamparannya, bertubi-tubi.

"Plak-plak-plak......!" Tiba-tiba Bi Lan menahan gerakan tangannya dan terbelalak memandang Thian Liong yang terhuyung-huyung ke belakang sampai belasan langkah dan darah mengalir dari kedua ujung bibir pemuda itu! Bi Lan terkejut bukan main. Ia memang tidak menggunakan sin-kang (tenaga sakti) ketika menampar karena bukan maksudnya hendak mencelakai pemuda itu, akan tetapi ia telah menggunakan tenaga kasar yang cukup kuat. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengerahkan tenaga untuk melindungi kedua pipinya. Akan tetapi ternyata Thian Liong sama sekali tidak melindungi kedua pipinya dengan tenaga sehingga ketika dia menerima tamparan-tamparan itu begitu saja, bibirnya pecah, mulutnya berdarah dan matanya berkunang-kunang, kepalanya berpusing sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memejamkan kedua matanya.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul dua orang. Yang seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun lebih, membawa sebatang tongkat hitam berkepala ular, dan orang kedua seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tinggi besar berkumis tebal. Tahu-tahu mereka muncul dari balik pohon besar dan berada dekat Thian Liong yang terhuyung-huyung dengan mata terpejam. Dan tanpa berkata apapun juga, orang yang muda menggerakkan tangan yang memegang pedang, lalu dia membacok ke arah leher Thian Liong yang terhuyung-huyung mundur di dekatnya.

Ketika itu, Thian Liong merasa kepalanya pening karena terguncang oleh tamparan Bi Lan yang lima kali itu. Karena dia menerima tamparan tanpa melindungi dengan tenaga, maka selain bibirnya pecah, juga kepalanya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi ketika ada pedang menyambar ke arah lehernya, pendengarannya yang peka tajam itu dapat menangkap desingan pedang. Dia mencoba untuk mengelak dengan membuang tubuh ke kiri.

"Sing...... crott......!!" Pedang itu masih menyambar bahu lengan kanannya sehingga darah muncrat dari bahunya yang terluka cukup parah. Akan tetapi tubuh Thian Liong telah memiliki gerakan otomatis. Biarpun kepalanya masih pening dan pangkal lengannya terluka parah, terasa panas dan pedih, namun secara otomatis tubuhnya memutar ke kanan dan tangannya menampar ke depan, ke arah orang yang membacoknya.

"Wuuuttt...... dessss......!" Tubuh pemegang pedang itu terlempar ke belakang, akan tetapi pada saat itu juga tubuh Thian Liong terpelanting karena sebuah pukulan dengan telapak tangan mengenai punggungnya. Ternyata laki-laki yang tua itu yang memukulnya dari belakang dan pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

Melihat Thian Liong terbacok pedang dan terpukul secara dahsyat Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah melayang ke depan, menyambar ke arah tubuh kakek yang tadi memukul punggung Thian Liong. Melihat serangan yang hebat datangnya itu, kakek berambut putih yang berpakaian jubah tosu terkejut sekali dan dia pun mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan Bi Lan.

"Wuuuttt...... dessss......!!" Dua tenaga sakti bertemu dengan dahsyatnya di udara dan akibatnya, tubuh Bi Lan yang masih berada di udara itu terpental ke belakang. Akan tetapi tubuh gadis itu membuat pok-sai (salto), berjungkir balik lima kali dan turun ke atas tanah dengan ringannya. Sebaliknya, tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan wajahnya yang kurus menjadi pucat. Dia terkejut bukan main karena pertemuan tenaga itu telah mendatangkan guncangan dalam dadanya dan ini menunjukkan bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali.

Apalagi melihat Thian Liong sudah bangkit kembali sambil menyeringai dan menahan rasa nyeri, dia menjadi semakin kaget. Padahal pukulannya tadi hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Lawan yang tangguhpun akan tewas terkena pukulannya seperti itu. Akan tetapi pemuda itu masih mampu bangkit! Ini juga membuktikan bahwa pemuda itu pun lihai bukan main. Kalau pemuda dan gadis itu maju bersama, dia pasti kalah.

"Hemm...... Pak-sian (Dewa Utara) ternyata seorang yang curang," kata Thian Liong dan mendengar ini, kakek berambut putih dengan tubuh tinggi kurus berjubah seperti tosu itu semakin jerih.

Ternyata pemuda ini mengenalnya. Maka tanpa banyak cakap lagi Pak-sian Liong Su Kian, datuk besar dari utara itu berkata kepada laki-laki berkumis itu.

"Mari kita pergi!" Keduanya lalu melompat jauh dan melarikan diri.

Bi Lan hendak mengejar, akan tetapi ia melihat Thian Liong terhuyung lalu roboh telentang di atas tanah. Ia tidak jadi melakukan pengejaran dan segera menghampiri Thian Liong dan berjongkok di dekatnya, memeriksanya. Bi Lan terkejut bukan main ketika memeriksa dengan teliti. Tamparan-tamparannya sendiri tidak mendatangkan luka parah, hanya membuat kedua bibir pemuda itu pecah-pecah. Luka bacokan pedang pada pangkal lengan kanan itu jauh lebih parah, dan ketika ia memeriksa punggung, wajah Bi Lan berubah pucat. Thian Liong telah menderita luka dalam yang amat parah terkena pukulan kakek tadi. Pukulan itu selain amat dahsyat juga mengandung hawa beracun yang berbahaya. Kalau tidak cepat hawa beracun itu dikeluarkan dari rongga dadanya, nyawa pemuda itu takkan dapat diselamatkan lagi!

Melihat wajah pemuda yang telentang itu amat pucat, di kedua ujung mulutnya berlepotan darah dan kedua matanya terpejam, napasnya agak terengah dan lemah, Bi Lan merasa jantungnya seperti diremas.

"Thian Liong......!" Ia berbisik, merasa menyesal sekali. Kalau ia tidak menampar pemuda yang sama sekali tidak melindungi dirinya itu sehingga terhuyung dan pening, tidak mungkin dia akan terluka bacokan pedang dan menerima pukulan yang amat dahsyat tadi. Ia yang menyebabkan pemuda itu sampai begini. Hatinya yang sejak tadi amat gundah sehingga tadi ia menangis, kini menjadi semakin sedih dan sambil menyusut darah dari kedua ujung bibir Thian Liong dengan saputangannya, Bi Lan mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian ia membuka kancing baju pemuda itu, menanggalkan baju itu dan kini Thian Liong bertelanjang bagian atas badannya.

Bi Lan mendorong tubuh pemuda itu sehingga miring, hampir menelungkup, lalu sambil duduk bersila di belakang tubuh itu ia menempelkan tangan kanannya pada punggung Thian Liong yang terdapat tanda telapak tangan menghitam. Bi Lan menyalurkan tenaga saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa beracun itu dari rongga dada Thian Liong. Akan tetapi ia harus berhati-hati sekali karena kalau salah perhitungan dan menggunakan tenaga terlalu besar, bukan tidak mungkin tenaganya itu malah akan merusak jantung dan paru-paru!

Sampai beberapa lamanya, Bi Lan melihat bahwa usahanya itu belum juga berhasil. Ia menjadi bingung, dan serba salah. Mengerahkan tenaga terlalu besar, ia takut kalau akan mendatangkan luka pada isi rongga dada. Kalau terlalu lemah, tidak kuat untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dada Thian Liong.

"Ah...... Thian Liong......." Ia mengeluh lagi dengan bingung dan panik karena melihat betapa pernapasan pemuda itu semakin melemah. Memandang wajah itu, kembali jantungnya seperti diremas dan kembali matanya menjadi basah dan dua butir air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya, jatuh menetes pada punggung pemuda itu.

Tiba-tiba saja Bi Ian merasa betapa sesungguhnya, wajah yang berada di depannya ini belum pernah hilang dari kenangannya. Wajah ini selalu terbayang dan ia memaksa hatinya menganggap bahwa ia mengenang pemuda itu karena sakit hati, karena merasa terhina, karena jengkel dan marah. Akan tetapi sesungguhnya, di balik itu semua, terdapat perasaan rindu dan sakit hatinya itu lebih disebabkan kekecewaan mengapa pemuda yang dikaguminya itu malah menampari pinggulnya. Mengapa pemuda itu membencinya! Padahal ia mengharapkan pemuda itu memperlihatkan keramahan kepadanya. Kini bagaikan sinar kilat memasuki kesadarannya bahwa sesungguhnya, sejak pertemuan pertama, tanpa disadarinya, ia mencinta Thian Liong!



Kisah Si Naga Langit Eps 3 Kasih Diantara Remaja Eps 8 Pedang Pusaka Naga Putih Eps 1

Cari Blog Ini