Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Naga Langit 8


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




"Hemm, otakmu hanya penuh gairah yang membuat engkau lemah, Kui Tung. Akan tetapi akan kupertimbangkan usulmu itu!"

Siang In sudah marah sekali, akan tetapi Pek Hong menahan kesabarannya dan ia ingin sekali mengetahui mengapa murid-murid Lam-kai dan Empat Datuk Besar memusuhi dan bahkan hendak membunuh ia dan Siang In.

"Heh, monyet babi tikus kecoa cacing busuk!" ia memaki untuk memanaskan hati orang agar merasa terhina dan mau mengaku apa yang menyebabkan Can Kok memusuhinya.

"Dalam mimpi pun belum pernah aku dan Saudaraku ini bertemu dengan kamu. Mengapa kamu gila-gilaan ingin membunuh kami?"

Sepasang mata Can Kok seperti memancarkan kilat saking panas hatinya mendengar penghinaan itu.

"Mau tahu mengapa? Baik, akan kuberi tahu agar kalian tidak mati penasaran. Aku mewakili Empat Datuk Besar untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin. Dia sudah kuanggap sebagai musuh besarku satu-satunya di dunia dan karena kalian adalah murid-muridnya, maka tentu saja kalian juga hendak kubunuh!"

Siang In tertawa, diikuti Pek Hong. Mereka tertawa bebas seperti kebiasaan para wanita dalam dunia persilatan, bebas dan tidak malu-malu, namun mereka masih mengingat akan kesopanan maka mereka menggunakan tangan untuk menutupi mulut mereka yang tertawa. Mereka merasa geli seolah mendengar lawakan badut.

"Heh-he-he-heh! Kunyuk (monyet) kecil macam kau ini hendak membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin? He-he-he! Melawan kami pun kamu tidak akan menang, bahkan kami yang akan membasmi dan mengirim kembali ke neraka jahanam dari mana kamu berasal!"

"Perempuan sombong!" Can Kok berteriak, matanya liar dan menyeramkan, seperti mata singa marah. Dia mengerahkan tenaga gabungan Empat Datuk Besar dan menekuk kedua lutut lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah dua orang gadis itu.

"Mampuslah kalian! Hyaaaaattt......!!!"

Pek Hong dan Siang In maklum akan kedahsyatan tenaga lawan. Mereka sudah saling mengerti, seolah ada suatu hubungan batin yang amat erat sehingga secara otomatis tangan kiri Pek Hong bertemu dengan tangan kanan Siang In, lima buah jari tangan mereka saling cengkeram sehingga dua tenaga sakti mereka bertemu dan bergabung, lalu tangan kanan Pek Hong dan tangan kiri Siang In didorongkan dengan telapak tangan terbuka ke depan, menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan dengan marah.

"Syuuuuttt...... blaarr ""!" Pek Hong dan Siang In terpaksa mundur tiga langkah saking hebatnya tenaga serangan Can Kok. Akan tetapi Can Kok juga terhuyung ke belakang. Bukan main dahsyatnya tenaga Can Kok sehingga tenaga dua orang gadis gemblengan Tiong Lee Cin-jin yang digabungkan itu hanya lebih kuat sedikit.

Can Kok mengeluarkan suara tawa menyeramkan yang terdengar seperti suara tangis mengguguk. Ini merupakan tanda bahwa Can Kok sedang dilanda kemarahan hebat! Dia meraba punggungnya dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika pedang Giam-ong-kiam (Pedang Raja Maut) yang sinarnya kemerahan telah tercabut.

"Huh, belum lecet kulitnya sudah mengeluarkan senjata!" Pek Hong mengejek dan ketika dua tangannya bergerak, tangan kirinya sudah melolos sabuk sutera merah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang bengkok bersinar emas.

"Siapa bilang dia orang gagah dan bukan pengecut?" kata pula Siang In me-ngejek dan ia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang bersinar kehitaman karena siang-kiam (sepasang pedang) ini beracun dan bernama Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa)!

Melihat dua orang gadis itu sudah mencabut senjata mereka, Can Kok lalu mengeluarkan suara mengaum seperti singa. Itulah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dia pelajari dari Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong. Auman atau gerengan yang amat kuat itu dapat menggetarkan jantung lawan sehingga kaki tangan lawan akan terasa lumpuh dan ketakutan. Singa juga mempunyai wibawa seperti itu. Kalau dia hendak menyerang calon korbannya, dengan mengaum seekor kelinci ataupun domba calon mangsanya menjadi lumpuh ketakutan sehingga akan mudah diterkamnya. Auman yang dikeluarkan Can Kok ini pun hebat sekali, akan tetapi sama sekali tidak mampu menggoyahkan ketabahan hati Pek Hong dan Siang In. Getaran auman itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat apa pun.

Selagi gema auman itu masih terpantul di empat penjuru dinding ruangan, Can Kok sudah menerjang ke depan dan sinar pedangnya menyambar ke arah dua orang gadis itu.

"Cringg......! Trangg""!!"

Bunga api berpijar terang ketika pedang Giam-ong-kiam di tangan Can Kok itu bertemu dengan pedang bengkok naga emas di tangan Pek Hong dan sepasang Toat-beng Siang-kiam di kedua tangan Siang In. Setelah mereka tidak menggabungkan tenaga sin-kang mereka, dua orang gadis itu baru merasakan betapa kuatnya tenaga pemuda itu. Senjata mereka terpental ketika bertemu pedang Can Kok dan tangan mereka tergetar.

Akan tetapi dua orang puteri Tiong Lee Cin-jin itu mendapat gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi selama setahun dari ayah mereka sehingga kini tingkat kepandaian mereka menjadi jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Pek Hong memang masih memainkan Sin-coa Kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) dibantu gerakan sabuk merahnya yang melecut-lecut ganas. Juga Siang In masih memainkan ilmu pedang yang dulu, yaitu Toat-beng Siang-kiam-sut (Ilmu Pedang Pasangan Pencabut Nyawa). Namun ilmu-ilmu mereka telah diperdalam dan disempurnakan di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin sehingga menjadi lihai bukan main.

Kedua gadis ini mengamuk, bagaikan sepasang naga terbang menyambar-nyambar. Senjata mereka berubah menjadi gulungan sinar. Dua gulungan sinar kehitaman dari Toat-beng Sin-kiam berpadu dengan gulungan sinar merah sabuk sutera dan gulungan sinar emas pedang bengkok, mengepung dan menyerang Can Kok dari segala jurusan!

Can Kok yang berwatak tinggi hati dan menganggap diri sendiri sebagai seorang yang tanpa tanding itu, diam-diam menjadi terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya dan melakukan perlawanan mati-matian, mengeluarkan seluruh kemampuannya. Namun, sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan amat kuat itu menjadi terdesak juga oleh pengeroyokan empat sinar senjata lawan, yaitu sepasang pedang, sabuk dan pedang bengkok. Gerakan dua orang gadis itu cepat bukan main sehingga Can Kok harus menjaga diri dengan sepenuh tenaga.

Setelah bertanding dengan seru selama kurang lebih limapuluh jurus, mulailah dia merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan dapat mengalahkan pengeroyokan dua orang gadis yang dapat bekerja sama amat baiknya. Senjata mereka itu saling menunjang, saling memperkuat serangan, juga saling membantu meng gagalkan serangannya.

"Kui Tung, engkau masih enak-enak saja? Kawan macam apa engkau ini?" Can Kok berseru marah.

Kui Tung sejak tadi hanya berdiri di sudut dan menjadi penonton. Dia telah menghentikan latihan pernapasan dan tenaganya sudah pulih kembali. Kalau dia hanya menonton, karena dia merasa yakin akan kelihaian Can Kok, dan bagaimanapun juga dia tidak jerih melihat kecepatan gerakan empat senjata dua orang gadis itu menyambar-nyambar. Akan tetapi mendengar ucapan Can Kok, Kui Tung menyadari bahwa kalau dia tidak membantu dan Can Kok roboh oleh dua orang gadis itu, dia sendiri pasti tidak akan mendapat ampun karena dialah yang memimpin perampokan. Maka dia lalu memutar tongkatnya dan terjun ke medan pertempuran sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring.

Melihat Kui Tung maju, Siang In segera menyambut dengan sepasang pedangnya. Ia membenci laki-laki ini yang dulu memimpin perampokan dan yang melukai ayahnya. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi Kui Tung bukan seorang lawan yang lemah. Dia adalah murid Lam-kai, seorang di antara Empat Datuk Besar yang sejak dia kecil menggemblengnya sehingga ilmu kepandaiannya juga sudah mencapai tingkat tinggi. Kui Tung cepat memutar tongkat yang berisi pedang menyambut sambaran sepasang pedang Siang In.

"Trang--tranggg......!" Bunga api berpijar dan Kui Tung terhuyung ke belakang. Ternyata dibandingkan Siang In, tenaga saktinya masih kalah kuat! Akan tetapi cepat dia memutar tongkat pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Benar saja, Siang In yang melihat lawannya terhuyung, cepat menerjang dengan dahsyatnya. Kembali terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar ketika Kui Tung menangkis. Mereka lalu saling serang dengan mati-matian, dan betapapun lihainya Kui Tung, sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar lihai bukan main. Perlahan-lahan dia mulai terdesak dan hanya mampu menangkis dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedang. Dia terdesak hebat dan berada dalam bahaya.

Akan tetapi setelah ditinggalkan Siang In, Pek Hong yang harus menghadapi Can Kok seorang diri, merasa berat sekali. Pemuda itu benar-benar amat lihai. Kalau tadi berdua dengan Siang In dia mampu mendesak Can Kok, kini setelah Siang In menghadapi Kui Tung, Pek Hong menjadi kewalahan menghadapi desakan lawan.

Siang In yang menghadapi lawan lebih ringan, mendapat kesempatan untuk memperhatikan keadaan Pek Hong dan melihat Pek Hong terkadang terancam pedang Can Kok, ia pun melompat ke samping dan membantu. Kalau dua orang gadis itu mendesak Can Kok, Kui Tung yang cepat membantu Can Kok. Dengan demikian, terjadilah perkelahian empat orang dan ternyata kekuatan mereka seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian.

Anak buah gerombolan perampok yang berjumlah tigapuluh orang lebih itu hanya mendengar suara perkelahian dari luar, akan tetapi mereka tidak berani masuk karena mereka amat takut kepada Kui Tung yang galak. Mereka tidak akan masuk tanpa dipanggil.

Selagi mereka bergerombol di sekeliling kuil, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah banyak sekali perajurit yang dipimpin oleh tiga orang perwira dan di antara mereka terdapat Cin Han yang menunggang seekor kuda!

Melihat pasukan ini, yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang, anak buah gerombolan menjadi terkejut dan panik. Tanpa komando, mereka terpaksa mempertahankan diri melawan ketika pasukan itu sambil bersorak menyerbu. Terjadi pertempuran yang berat sebelah di luar kuil.

Mendengar suara pertempuran, teriakan dan sorakan yang hiruk-pikuk itu, empat orang yang sedang berkelahi di ruangan dalam kuil, menjadi terkejut bukan main. Kedua pihak tidak tahu apa yang terjadi, tidak tahu apakah kejadian yang riuh di luar itu menguntungkan atau merugikan mereka.

"Kui Tung, kita keluar!" seru Can Kok.

Kui Tung tak dapat menandingi Can Kok dalam kecepatan sehingga Can Kok sudah melompat lebih dulu keluar ruangan. Can Kok cepat menggerakkan tangan kirinya yang berubah merah. Itulah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang mengandung hawa pukulan beracun, menyambar ke arah Siang In. Namun Siang In dapat mengelak ke samping dan kesempatan itu dipergunakan Kui Tung untuk melompat keluar dan menyusul temannya.

Pek Hong dan Siang In yang tidak tahu apa yang terjadi di luar, tidak berani mengejar dan mereka pun cepat keluar dari situ untuk melihat apa yang terjadi.

Ketika Can Kok dan Kui Tung tiba di luar, mereka terkejut bukan main melihat betapa anak buah Kui Tung yang berjumlah hanya tigapuluh orang lebih itu, dihimpit pasukan pemerintah yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Sudah banyak anak buah yang bergelimpangan dan sisanya hanya mati-matian mempertahankan diri.

Melihat keadaan berbahaya dan tidak menguntungkan ini, tanpa banyak cakap lagi Can Kok dan Kui Tung segera berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Ketika ada perajurit yang berani menghalangi, mereka berdua merobohkan para penghalang dan terus melarikan diri secepatnya tanpa memperdulikan nasib para anak buah yang sudah terhimpit dan tidak ada kesempatan untuk melarikan diri.

Pek Hong dan Siang In juga tiba di luar dan mereka berdua girang bukan main melihat pasukan pemerintah yang menghajar anak buah gerombolan. Melihat betapa pasukan jauh lebih banyak jumlahnya dan para anggauta gerombolan banyak yang roboh, mereka pun tidak membantu dan hanya berdiri di ruangan depan kuil.

Tak lama kemudian, sembilan orang anak buah gerombolan yang masih belum roboh membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut, menaluk. Mereka lalu diringkus dan bersama-sama mereka yang terluka, menjadi tawanan.

Cin Han yang tadi hanya ikut menonton karena dia sendiri adalah seorang sasterawan yang tidak pandai dan tidak suka bertempur, kini melangkah dan menghampiri dua orang gadis itu. Setelah berhadapan dia menjadi bingung karena dua orang gadis itu wajahnya serupa. Akan tetapi dia mengenal Pek Hong yang pernah datang ke rumah orang tuanya, mengenalnya dari pakaian puteri itu yang serba putih. Dia lalu memandang kepada Siang In dan hatinya merasa sedih, teringat betapa pinangannya terhadap gadis itu ditolak. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan apa pun dan segera mengangkat, kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

"Dinda Moguhai! Bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan selamat!" Dia memandang kepada Siang In dan meragu, tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada gadis yang wajahnya serupa dengan wajah Puteri Moguhai itu.

Melihat ini, Pek Hong menoleh kepada Siang In dan melihat betapa Siang In juga memandang kepada Cin Han dengan pandang mata kagum dan bimbang. Pek Hong tersenyum.

"Siang In, perkenalkan. Ini adalah Kakak misanku bernama Cin Han, putera tunggal Paman Pangeran Cin Boan!"

Mendengar ini, wajah Siang In seketika berubah merah. Jantungnya berdebar tegang dan ia merasa serba salah. Jadi inikah orangnya yang dulu pernah meminangnya? Sama sekali tidak pernah ia menduga bahwa putera Pangeran Cin Boan yang melamarnya ini merupakan seorang pemuda yang luar biasa tampan! Ia menjadi gagap gugup.

"Eh...... ohh...... senang sekali dapat berkenalan dengan...... Cin-kongcu (Tuan Muda Cin)......"

Cin Han tersenyum. Wajahnya yang berkulit putih kemerahan itu berseri. Sebagai seorang siu-cai (sastrawan) tentu saja dia pandai membawa diri, sikapnya lembut dan sopan dan kata-katanya juga teratur indah.

"Thio-siocia (Nona Thio), sayalah yang merasa berbahagia sekali. Merupakan kehormatan besar sekali bagi saya dapat berkenalan dengan Nona yang namanya sudah lama saya kenal."

"Eh, Kanda, bagaimana engkau dapat muncul di tempat ini bersama pasukan? Apakah engkau yang mengerahkan pasukan ini?"

"Nanti akan kuceritakan padamu, Dinda. Yang terpenting sekarang, apakah engkau telah dapat menemukan barang-barang Paman Thio yang dirampok itu?"

"Barang-barang itu lengkap berada di ruangan dalam kuil tua ini, Kanda. Juga barang-barang milik Paman Pangeran Cin Boan berada di dalam."

"Syukurlah kalau begitu," kata Cin Han dan dia memandang kepada tiga orang perwira setengah tua yang datang menghampirinya. Seorarig di antara mereka berkata dengan sikap hormat.

"Cin-kongcu, semua anggauta gerombolan telah dilumpuhkan. Sebagian tewas. Kami menangkap yang terluka dan yang menyerah. Kami menanti perintah Kongcu."

"Bagaimana dengan kerugian di pihak kita?"

"Tidak ada yang tewas, Kongcu hanya ada enam orang yang terluka."

"Bagus, Lu-ciangkun (Perwira Lu). Obati perajurit kita yang terluka dan angkutlah semua barang milik Paman Thio Ki dan Ayah yang berada di dalam. Bawa semua barang itu bersama semua tawanan ke kota Kang-cun sekarang juga. Jangan lupa tinggalkan perajurit secukupnya untuk mengubur semua mayat, kemudian suruh bakar kuil tua ini!"

Pek Hong tersenyum kagum melihat betapa kakak misannya yang sasterawan lemah itu dapat memberi perintah sedemikian tegasnya, seperti seorang jenderal saja.

"Siap laksanakan perintah, Kongcu!" kata perwira itu dan mereka bertiga lalu memimpin anak buah untuk mengangkat barang-barang, lalu siap untuk berangkat ke kota Kang-cun. Limapuluh orang perajurit ditinggalkan untuk melaksanakan tugas mengubur semua mayat dan membakar kuil tua yang dijadikan sarang perampok itu.

Cin Han, Pek Hong, dan Siang In menunggang kuda berdampingan. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan dan bercakap-cakap. Siang In masih merasa sungkan dan malu, maka ia lebih banyak mendengarkan saja percakapan mereka.

"Nah, sekarang ceritakanlah, Kanda, bagaimana engkau dapat muncul dengan pasukan untuk membantu kami.

"

"Begini, Dinda Moguhai. Setelah engkau pergi, aku pun mulai curiga terhadap diri Bhe Liang. Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan perampokan itu atau setidaknya dia tahu siapa yang melakukan. Maka setelah berunding dengan Ayah, kami menyuruh Lu-ciangkun untuk mengutus seorang perajurit yang pandai untuk cepat pergi melakukan penyelidikan ke rumah Bhe Liang. Perajurit itu ketika tiba di sana melihat engkau dan Thio-siocia keluar dari rumah bersama Bhe Liang yang agaknya kalian paksa menunjukkan tempat perampok. Perajurit itu diam-diam mengikuti dari kejauhan dan setelah tahu bahwa sarang para perampok berada di kuil tua yang tidak jauh dari kota Kang-cun, dia cepat memberi laporan. Maka aku lalu minta bantuan Lu-ciangkun dan dua orang perwira lain, membawa pasukan dan mengejar ke tempat itu."

"Wah, tidak kusangka engkau ternyata begitu pandai, Kanda!"

"Ah, aku tidak bisa apa-apa. Engkau dan Thio-siocia inilah yang hebat. Bagaimana hasilnya buruanmu? Siapa yang memimpin perampokan itu, Adinda Moguhai?"

"Kanda Cin Han, memang benar dugaanku. Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata memang Bhe Liang itu yang mendalangi perampokan. Kami memaksa dia mengaku dan dialah yang memberitahu kepada segerombolan perampok tentang pengiriman barang-barang berharga itu dipimpin seorang pemuda bernama Kui Tung yang lihai, kemudian muncul temannya seorang pemuda lain bernama Can Kok yang bahkan lebih lihai lagi. Mereka berdua itu pasti bukan orang-orang sembarangan, bukan sebangsa kepala perampok biasa. Kami berdua bertanding melawan mereka. Lalu pasukan datang dan kedua orang muda lihai itu melarikan diri."

Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai sengaja tidak menceritakan secara rinci mengenai pertandingan seru antara mereka itu karena Cin Han yang tidak pernah belajar ilmu silat itu tentu tidak akan mengerti.

"Aih, sayang sekali kedua orang penjahat itu tidak dapat ditangkap," kata Cin Han.

"Mereka itu lihai bukan main, Kanda Cin Han."

"Bagaimana dengan si jahat Bhe Liang?"

"Ah, dia telah tewas di tangan Siang In!"

Cin Han memandang kagum kepada Ang Hwa Sian-li Thio Siang In.

"Bagus, terima kasih, Thio-siocia (Nona Thio), jasamu besar. Orang itu jahat sekali, mengadu domba, melakukan fitnah, bahkan mengundang penjahat-penjahat yang lihai untuk mengacau."

"Ah, Pek Hong inilah yang lebih berjasa, Cin-kongcu (Tuan Muda Cin), bahkan kalau tidak ada ia, mungkin saya sudah celaka di tangan penjahat yang amat lihai itu."

Melihat pandang mata penuh kagum dari pemuda itu kepada Siang In, dan melihat pula betapa sepasang pipi Siang In kemerahan dan matanya hanya mengerling. Tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu dengan senyum malu-malu, Puteri Moguhai tertawa senang. Ia akan ikut merasa bahagia kalau saudara kembarnya itu dapat berjodoh dengan Cin Han, pemuda bangsawan yang dia tahu amat bijaksana, ahli sastra, tampan dan berpemandangan luas itu.

Mereka kembali ke kota Kang-cun. Tentu saja kembalinya dua orang gadis bersama Cin Han yang telah berhasil menumpas gerombolan penjahat dan membawa kembali barang-barang yang dirampok, membahagiakan Thio Ki dan Miyana, juga menyenangkan hati Pangeran Cin Boan dan isterinya. Yang lebih membahagiakan hati keluarga pangeran ini adalah bahwa nama baik mereka yang difitnah oleh Bhe Liang telah dapat dibersihkan dan penjahat itu telah terbunuh. Kini tentu keluarga Thio Ki tidak lagi menyangka bahwa dia yang mendalangi perampokan itu.

Setelah tinggal selama tiga hari di rumah keluarga Thio Ki dan melihat Thio Ki sudah sembuh kembali dari lukanya, Puteri Moguhai lalu berpamit meninggalkan kota Kang-cun untuk kembali ke kota raja. Siang In berjanji akan mengunjungi puteri itu dalam waktu dekat. Sebelum meninggalkan Kang-cun, Puteri Moguhai berkunjung ke rumah keluarga Pangeran Cin Boan dan dia disambut dengan gembira oleh Pangeran Cin Boan, isterinya, dan Cin Han.

"Dinda Moguhai, bagaimana kesehatan Paman Thio Ki? Apakah luka-lukanya telah sembuh kembali?" Cin Han menyambut kedatangan puteri itu dengan pertanyaan ini.

Moguhai tersenyum.

"Eh, Kanda Cin Han, yang kautanyakan itu sesungguhnya keadaan Paman Thio ataukah keadaan Siang In?"

Mendengar ini, Cin Han tersipu dan ayah ibunya tertawa.

"Aih, Moguhai, engkau tega sekali menggoda Kakakmu, padahal engkau sudah mengetahui bahwa pinangan kami atas diri Siang In ditolak, Cin Han tidak mempunyai harapan lagi."

"Eh, mengapa Bibi berkata demikian? Dahulu Siang In menolaknya karena ia belum mengenal Kanda Cin Han, bahkan melihat pun belum. Akan tetapi sekarang......"

"Sekarang bagaimana? Wah, Moguhai, jangan bermain teka-teki. Katakan saja, bagaimana sekarang? Apakah ada harapan?"

"Paman Pangeran, saya belum dapat mengatakan apa-apa. Akan tetapi sebaiknya dekati saja keluarga Thio. Ada baiknya kalau Kanda Cin Han datang menengok keadaan"", eh, Paman Thio Ki, menanyakan kesehatannya. Nanti Paman, Bibi, dan Kanda dapat melihat sendiri bagaimana sikap Siang In dan orang tuanya, dan akhirnya terserah Paman dan Bibi apakah ada baiknya kalau pinangan itu diulang."

"Eh, jangan main-main, Adinda! Mana kami berani mengajukan pinangan lagi setelah ditolak satu kali? Kalau untuk kedua kalinya ditolak, akan kutaruh di mana mukaku?"

Puteri Moguhai tertawa, tertawa bebas, tidak seperti para puteri istana yang kalau tertawa diatur agar tampak sopan, tertawa kecil hampir tanpa suara dan menutupi mulut dengan ujung lengan baju dan memiringkan mukanya. Akan tetapi tawa Puteri Moguhai adalah tawa lepas, tanpa ragu membuka mulut memperlihatkan giginya sehingga tampak deretan gigi putih rapi seperti mutiara dan rongga mulut yang merah, ujung lidah yang merah muda.

Sama sekali tidak mendatangkan penglihatan yang tidak sopan atau menjijikan, bahkan sebaliknya, tawa itu membuat wajahnya tampak manis sekali dan tawa itu menyengat dan menular karena orang yang mendengar dan melihatnya, tidak dapat mencegah dorongan dari dalam untuk ikut tertawa! Begitu mendengar mereka tertawa dan melihat isteri Pangeran Cin Boan tertawa sambil menutupi mulut dengan ujung bajunya, Moguhai teringat akan tata susila yang pernah ditanamkan kepadanya ketika kecil dahulu dan cepat ia pun menutupi mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi gerakan ini malah tampak lucu dan tiga orang itu tertawa semakin geli.

"Eh, Kanda Cin Han, ke mana lagi engkau akan menaruh mukamu kalau tidak di bagian depan kepalamu? Kalau kau simpan dalam almari, lalu bagaimana kalau engkau hendak mencuci muka?"

Ucapan Moguhai ini membuat mereka semakin geli dan mereka tertawa terpingkal-pingkal. Suasana ini terbawa kegembiraan hati mereka, bukan saja karena barang-barang kembali dan nama mereka tercuci, akan tetapi juga mendengar akan harapan baru bagi keinginan mereka meminang Siang In. Pangeran Cin Boan dan isterinya saling pandang setelah mereka berhenti tertawa dan pangeran itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

"Moguhai apakah engkau benar-benar dan tidak main-main mengenai kemungkinan perjodohan antara Cin Han dan Thio Siang In?"

"Kami masih ragu dan khawatir kalau kalau pinangan kami ditolak lagi, Moguhai," kata pula isteri pangeran itu.

"Harap Paman dan Bibi tidak khawatir. Saya mengenal benar watak sahabatku Siang In itu. Biarpun ia tidak berkata apa-apa, namun sikapnya terhadap Kakanda Cin Han dapat saya lihat dengan jelas bahwa ia juga tertarik. Akan tetapi Siang In adalah seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, tentu saja ia tidak mau kalau dalam soal perjodohan ia dipaksa. Karena itu, sebaiknya Paman dan Bibi tidak mengajukan pinangan lebih dulu, akan tetapi memberi kesempatan kepada Kanda Cin Han untuk bergaul dengan Siang In. Dekatilah ia, Kanda, dan kalau nanti sudah ada persetujuan kedua pihak, kalau Siang In sudah dapat menerima perasaan cinta Kakanda, barulah diajukan pinangan sehingga tidak mungkin gagal lagi."

Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pengawal memberitahu Pangeran Cin Boan bahwa di luar ada seorang tamu mohon bertemu Pangeran Cin Boan. Ketika mendengar bahwa tamu itu adalah Thio Ki, Pangeran Cin Boan segera menyuruh pengawal untuk membawa tamu itu ke ruangan tamu dan dia mengajak isterinya, Cin Han, dan Moguhai untuk menemaninya menerima kunjungan Thio Ki.

Thio Ki memasuki ruangan tamu dan melihat pangeran menyambut bersama isteri dan puteranya, juga melihat Puteri Moguhai berada di situ, wajah Thio Ki menjadi kemerahan dan dia tampak gugup.

"Ah, maafkan saya, Pangeran. Kalau saya mengganggu Paduka sekeluarga......"

"Tenanglah, Saudara Thio Ki, silakan duduk," kata Pangeran Cin Boan. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dia berkata, "Saudara Thio, engkau sama sekali tidak mengganggu kami, sama sekali tidak. Bahkan kami merasa ikut gembira melihat bahwa engkau sekarang telah sembuh dan sehat kembali. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan selamat atas kembalinya semua barang yang dirampok itu."

Melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah dari pangeran itu, Thio Ki merasa semakin terpukul dan dia berkata dengan suara gemetar.

"Pangeran, saya memberanikan diri menghadap Paduka sekeluarga ini, betul-betul untuk mohon maaf, bukan hanya karena mengganggu Paduka dengan kedatangan ini, melainkan untuk hal lain yang membuat saya merasa tidak enak hati dan malu."

Puteri Moguhai berkata, "Karena Paman Thio Ki hendak bicara dengan Paman Pangeran sekeluarga, maka lebih baik aku keluar dari ruangan ini."

"Ah, Moguhai, engkau termasuk keluarga kami, tentu saja engkau boleh ikut mendengarkan. Bukankah begitu, Saudara Thio Ki?"

Thio Ki mengangguk.

"Saya akan merasa senang kalau Puteri Moguhai sudi menjadi saksi dan ikut mendengarkan. Pangeran, sesungguhnya ketika Bhe Liang melaporkan kepada saya sekeluarga bahwa Paduka yang mendalangi perampokan itu, saya pernah bimbang dan percaya akan keterangan itu yang ternyata hanya merupakan fitnah belaka. Karena itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya, apalagi setelah mendengar bahwa Cin-kongcu yang membawa pasukan dan menyelamatkan puteri saya dan semua barang dapat direbut kembali. Sungguh kami merasa menyesal sekali pernah meragukan kebijaksanaan dan kebaikan hati Paduka."

Pangeran Cin Boan tersenyum dan dengan ramah berkata, "Saudara Thio engkau sekeluarga tidak perlu merasa bersalah dan minta maaf. Kalian sama sekali tidak bersalah. Puteri Moguhai telah menceritakan semuanya kepada kami dan keluargamu sama sekali tidak mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Hanya Si Jahat Bhe Liang yang menjatuhkan fitnah kepada kami. Bagaimana mungkin kami akan meragukan ketulusan hatimu, Saudara Thio Ki? Engkau melindungi barang-barang kami dengan taruhan nyawa, sehingga terluka. Juga, dalam usaha penumpasan gerombolan perampok sehingga menghasilkan direbutnya kembali barang-barang, puterimu juga memegang peran penting. Tidak, engkau sekeluarga tidak mempunyai kesalahan apa pun. Bahkan kami yang membuat engkau mengalami kesusahan dengan penitipan barang-barang kiriman itu sehingga memancing munculnya perampok."

Lega hati Thio Ki mendengar jawaban itu. Keluarga pangeran itu lalu bercakap-cakap dengan Thio Ki dalam suasana yang ramah dan akrab seperti dua orang sahabat lama. Melihat ini Puteri Moguhai menjadi senang sekali. Maka, ketika Thio Ki berpamit hendak pulang, ia berkata kepada Cin Han.

"Kanda Cin Han, sebaiknya Kanda mengantar Paman Thio Ki pulang untuk membuktikan bahwa keluarga Paman Pangeran Cin Boan tidak mempunyai perasaan buruk terhadap keluarga Paman Thio."

Thio Ki terkejut dan cepat berkata, "Ah, mana saya berani menerima kehormatan seperti itu? Saya tidak berani merepotkan Cin-kongcu......!"

Cin Han yang sudah menangkap apa yang tersirat dalam ucapan Puteri Moguhai tadi, sudah bangkit dan berkata, "Paman Thio Ki, sama sekali Paman tidak merepotkan dan ucapan Dinda Moguhai tadi memang sudah tepat sekali. Sewajarnyalah kalau saya mewakili Ayah mengantar Paman pulang sebagai bukti bahwa tidak ada perasaan buruk sedikit pun di antara keluarga kami dan keluarga Paman."

Mendengar ucapan itu, tentu saja Thio Ki tidak berani membantah lagi dan pergilah mereka berdua menuju rumah Thio Ki. Setelah mereka pergi, Puteri Moguhai berkata kepada Pangeran Cin Boan dan isterinya sambil tersenyum senang.

"Nah, dugaanku tadi benar, bukan? Percayalah, Paman dan Bibi, kalau Kanda Cin Han sudah berkenalan langsung dengan Siang In, maka perjodohan antara mereka itu bukan merupakan persoalan yang sulit lagi."

Suami isteri itu tertawa dan isteri Pangeran Cin Boan bertanya.

"Eh, Moguhai engkau tampaknya bersungguh-sungguh ingin melihat Kakakmu berjodoh dengan Siang In!"

"Dan betapa sama benar wajahmu dengan Thio Siang In!" kata pula Pangeran Cin Boan.

Moguhai tertawa.

"Paman dan Bibi, Siang In adalah seorang sahabatku yang paling baik, juga saudara seperguruanku. Selain itu, juga kami berdua amat mirip satu sama lain. Kami saling menyayangi dan saya ingin melihat Siang In hidup, berbahagia. Saya merasa yakin bahwa kalau ia menjadi isteri Kanda Cin Han, ia pasti akan menjadi seorang isteri yang baik dan berbahagia."

Pangeran Cin Boan mendesak.

"Dan engkau sendiri, Moguhai? Engkau pun sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau engkau juga menjadi seorang ibu rumah tangga."

Moguhai tertawa.

"Wah, kalau saya...... hemm, saya belum menemukan seorang jodoh yang cocok, Paman." Berkata demikian, wajah Souw Thian Liong terbayang dalam ingatannya.

"Kalau tidak ada yang cocok, saya tidak akan menikah."

Suami isteri itu saling pandang dan isteri pangeran itu berkata, "Hemm, anak sekarang memang aneh-aneh jalan pikirannya. Selain tidak sejalan dengan pikiran orang tua dan suka mencari jalan sendiri, juga terkadang bersikap aneh-aneh."

Moguhai tersenyum.

"Tidak semua, Bibi. Bukankah Kanda Cin Han seorang anak yang penurut, taat, berbakti dan baik?"

"Memang, dia baik sekali," ibu itu mengangguk-angguk.

"Akan tetapi dia juga mempunyai kebiasaan yang aneh. Sering kali dia mengunci diri dalam kamarnya dan tidak mau bertemu dengan siapapun juga. Kalau dia sedang dalam kamarnya, bahkan Ayahnya dan aku pun tidak dapat mengganggunya."

"Itu tidak aneh, Bibi, bukankah Kanda Cin Han seorang pemuda yang amat tekun belajar sastra sehingga dia lulus ujian dan menjadi siu-cai (satrawan)?"

"Memang dia aneh kalau sudah mengeram diri di dalam kamarnya, Moguhai," kata Pangeran Cin Boan.

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Dari luar kamar, kami sering mendengar dia bicara seorang diri."

"Ah, tentu dia sedang membuat dan membaca sajak, Paman!"

"Kami juga berpendapat begitu maka kami tidak mau mengganggunya. Akan tetapi hal itu dia lakukan bertahun-tahun dan tentu saja kami beranggapan bahwa dia pun mempunyai keanehan seperti orang muda lainnya!"

"Jangan khawatir, Paman dan Bibi. Kalau dia sudah menikah, maka dia tidak akan seorang diri lagi kalau mengunci kamarnya!" kata Moguhai sambi1 tertawa.

Suami isteri itu saling pandang, keheranan mendengar kelakar seperti itu keluar dari mulut Sang Puteri. Akan, tetapi Moguhai hanya tertawa dan ia lalu berpamit untuk pergi ke kota raja karena sudah setahun lebih ia meninggalkan istana.

Limabelas orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun itu bergerak menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohonan dalam hutan di tepi jalan raya itu. Pakaian mereka ringkas dan di punggung mereka tergantung golok telanjang yang mengkilap saking tajamnya. Wajah mereka bengis dan sikap mereka kasar. Mereka adalah segerombolan perampok yang tidak segan melakukan segala macam perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menganiaya, membunuh merupakan pekerjaan mereka sehari-hari.

Di antara limabelas orang itu terdapat seorang yang berusia empatpuluh tahun dan mukanya penuh brewok, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar dan liar. Dialah yang menjadi pemimpin gerombolan berjuluk Hek-kwi (Setan Hitam) yang terkenal kejam, ganas, namun juga tangguh sekali karena memiliki ilmu silat tinggi. Hek-kwi ini yang paling buas di antara mereka. Dia suka memperkosa wanita, menganiaya dan membunuh sambil tertawa-tawa karena semua perbuatan kejam dan jahat itu merupakan kesenangan baginya. Entah sudah berapa banyaknya wanita dia permainkan dan orang-orang dia bunuh.

Untuk sekitar daerah Kam-tin, namanya sudah terkenal dan ditakuti. Bahkan pasukan keamanan Kam-tin juga tidak berdaya karena gerombolan ini pandai menyembunyikan diri. Kalau disergap oleh pasukan yang kuat, mereka sudah menghilang dan kalau pihak penyerbu kurang kuat, tentu akan dibasmi habis oleh gerombolan yang ganas ini.

Para saudagar banyak yang mengalihkan daerah perdagangan mereka ke lain tempat sehingga jalan menuju ke Kam-tin menjadi sunyi. Karena tidak banyak yang dapat dirampok di jalan yang melalui hutan itu, Hek-kwi terkadang membawa anak buahnya untuk merampok dusun-dusun di daerah itu. Gerombolan kejam ini tidak segan untuk mengganggu dan merampok penduduk yang sudah melarat hidupnya.

Pada pagi hari itu, limabelas orang ini menyelinap di antara pohon-pohon, mengikuti dan mengintai seorang pejalan kaki yang mereka anggap aneh. Orang itu bertubuh kecil saja, dari belakang tampak seperti seorang pemuda remaja. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar sehingga mukanya tidak dapat tampak jelas karena, tertutup bayangan capingnya. Dari belakang orang itu tampak kecil tidak mengesankan, pakaiannya serba merah muda dan dari warna pakaiannya ini saja gerombolan itu dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang wanita! Wanita yang melihat bentuk tubuhnya yang kecil langsing tentu masih seorang gadis muda atau mungkin juga seorang nenek yang sudah tua. Akan tetapi kalau ia nenek, tentu tidak memakai pakaian berwarna merah muda seperti itu.

Hek-kwi memberi isyarat kepada anak buahnya dan limabelas orang itu lalu berloncatan sambil mengeluarkan pekikan seperti segerombolan binatang buas, menghadang pejalan kaki itu. Mereka memandang penuh perhatian kepada orang bercaping itu dan terpesona. Hek-kwi sendiri yang berdiri paling depan, terbelalak dan berdecak kagum, lalu menyeringai gembira.

Orang itu ternyata seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tahun. Kepalanya tertutup caping, namun dapat dilihat bahwa rambutnya hitam dan panjang, digelung ke atas dan ditutupi caping. Pakaiannya dari sutera merah muda, bentuknya sederhana saja namun bersih dan rapi. Wajah gadis itu bulat telur, sinom (anak rambut) di dahi dan pelipisnya membuat wajah itu tampak manis, dahinya halus, alis hitam tebal namun kecil panjang, matanya bersinar-sinar seperti bintang, bersinar tajam namun tampak sayu seperti merenung, hidungnya kecil mancung, mulutnya indah dengan bibir merah basah dan lesung pipit di kanan kiri mulutnya menambah kejelitaannya. Dagunya agak runcing. Kulitnya putih mulus dan tubuhnya ranum, padat dengan pinggang ramping. Tubuhnya bagian atas tertutup sebuah jubah yang lebar berwarna biru. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan!

Seperti kita ketahui, Han Bi Lan yang remuk perasaan hatinya mendapat kenyataan bahwa setelah ditinggal mati ayahnya ia mendapat keterangan bahwa ibunya seorang bekas pelacur, menjadi liar karena malu, marah dan sakit hati. Ia mengamuk di rumah-rumah pelacuran, menghajar dan melukai para laki-laki yang mengunjungi rumah pelesir, terutama para bangsawan dan hartawan, mengobrak-abrik rumah-rumah pelesir sehingga namanya terkenal dan ditakuti, bahkan dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Baju Merah)! Namun semua itu belum dapat menenteramkan hatinya. Ia menjadi gelisah oleh rasa malu dan duka sehingga ia tidak mengurus dirinya lagi.

Akhirnya ia bertemu dengan seorang yang aneh luar biasa, yang mengaku berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) dan akhirnya Bi Lan menjadi murid manusia aneh seperti setan ini selama kurang lebih setahun. Biarpun ia sudah berjanji bahwa setelah ia dianggap selesai belajar, ia harus mengubur gurunya itu hidup-hidup, namun setelah saatnya tiba, diam-diam Bi Lan minggat, meninggalkan gurunya itu karena bagaimanapun juga, tidak mungkin ia tega mengubur gurunya hidup-hidup!

Demikianlah, kini Bi Lan merantau lagi dengan hanya ada dua tujuan dalam hatinya. Pertama, ia akan mencari Ouw Kan dan dua orang murid Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya. Kedua, ia akan mencari Souw Thian Liong untuk membalas penghinaan yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Pemuda itu telah menampar bukit pinggulnya sebanyak sepuluh kali. Ia akan membalas kekalahannya dan membalas penghinaan itu. Ia harus menampar Thian Liong sebanyak dua kali lipat!

Kini setelah mendapatkan gemblengan selama setahun dari Si Mayat Hidup Berjalan, tingkat kepandaian Bi Lan menjadi berlipat ganda tingginya. Padahal, ia hanya digembleng untuk memperkuat tenaga saktinya dan mempelajari ilmu silat aneh sebanyak tigabelas jurus yang disebut Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Kolong Langit).

Pada pagi hari itu, ia berjalan melenggang seenaknya di jalan raya dalam hutan di daerah Kam-tin. Tentu saja pendengarannya yang amat peka itu telah dapat menangkap gerakan limabelas orang yang membayangi dan mengintainya, akan tetapi ia diam saja dan tetap melenggang dengari tenang.

Setelah melihat bahwa orang yang mereka intai itu hanya seorang gadis yang wajahnya tersembunyi di bawah bayangan caping lebar, Hek-kwi lalu memberi isyarat kepada empatbelas orang anak buahnya dan mereka berlompatan keluar dari tempat pengintaian mereka sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa bahkan ada yang menari-nari berjingkrakan di depan Bi Lan karena melihat bahwa yang mereka hadang itu hanya seorang wanita muda!

Bi Lan menahan langkahnya dan mengangkat mukanya menengadah. Gerakan yang disentakan ini membuat capingnya terlepas dari kepalanya dan tergantung di punggungnya dan wajahnya kini tampak seluruhnya.

Mereka yang sedang berteriak-teriak, tertawa dan menari tiba-tiba menghentikan suara dan gerakan mereka. Juga Hek-kwi tertegun dan terpesona memandang gadis yang berada di depannya itu.

"Bidadari......! Dewi dari sorga......!" kata Hek-kwi.

Limabelas orang laki-laki kasar dan buas itu memandang Bi Lan dengan mata yang seolah hendak menelan hidup-hidup gadis yang cantik jelita itu. Pandang mata Hek-kwi seolah menggerayangi dari kepala sampai ke kaki Bi Lan.

Setelah menjadi murid Si Mayat Berjalan selama setahun, watak yang lincah jenaka dari Bi Lan seolah menghilang. Atau lebih tepat lagi, semenjak ia mendapat kenyataan bahwa ibu kandungnya seorang bekas pelacur, gairah dan kegembirahn hidupnya seolah melayang pergi. Kini wajahnya yang cantik itu tampak muram seolah matahari tertutup mendung hitam tebal. Bibir yang bentuknya indah dan merah membasah itu kini terkatup dan tidak pernah tersenyum. Sepasang matanya yang biasanya kocak dan lembut gembira, kini tajam menusuk dan sering kali mencorong menyeramkan.

Akan tetapi sikap keren Bi Lan ini tidak terlihat oleh Hek-kwi dan anak buahnya yang mata keranjang dan selalu memandang rendah orang lain. Hek-kwi tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, yang ini untuk aku sendiri! Siapa berani mengganggunya akan kuhajar sampai mati!"

Dia memandang ke arah anak buahnya. Semua anak buahnya tertawa dan mengangguk menyetujui. Hek-kwi lalu menghadapi Bi Lan yang masih berdiri tegak dan tenang, lalu bertanya dengan suara nyaring dan sikap dibuat-buat agar tampak gagah menarik.

"Wahai bidadari yang cantik jelita. Siapakah namamu, datang dari mana dan hendak pergi ke mana? Ketahuilah, aku adalah yang terkenal di seluruh dunia dengan julukan Hek-kwi, akan tetapi aku tidak kasar seperti setan, melainkan lembut seperti dewa kalau berhadapan dengan bidadari seperti engkau. Betul tidak, kawan-kawan?"

"Betul""!!" Anak buahnya menjawab sambil tertawa ramai.

Bi Lan diam saja. Tidak bergerak dan tidak menjawab, bahkan pandang matanya tidak acuh seolah-olah belasan orang tidak tampak olehnya.

Melihat gadis itu diam saja, sama sekali tidak memandangnya dan tidak bergerak, apalagi menjawab, Hek-kwi mengerutkan alisnya.

"Hei, Nona manis. Mengapa engkau diam saja? Aih, jangan-jangan engkau tuli dan gagu! Wah, sayang kalau begitu, begini cantik tidak dapat mendengar dan tidak dapat bicara."

"Ha-ha, Twako, (Kakak), kebetulan kalau begitu. Kelak setelah menjadi isterimu tidak banyak rewel dan tidak dapat mengomel!" Anak buah gerombolan itu berkata dan semua kawannya tertawa riuh rendah.

Hek-kwi tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Wah, benar juga katamu itu! Kalau sudah menjadi isteriku lalu cerewet dan tukang mengomel, minta ampun! Eh, Nona manis calon biniku, mari ikut bersamaku pulang!" Hek-kwi lalu maju dan hendak merangkul.

Bagaikan baru menyadari bahwa di depannya terdapat banyak orang laki-laki hendak menyentuh dan merangkulnya, Bi Lan menggerakkan tangan kirinya dan mulutnya berkata lantang.

"Mampuslah!"

Hek-kwi adalah seorang yang tangguh, maka melihat berkelebatnya tangan Bi Lan, dia cepat mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis.

"Krekkk......!" Hek-kwi menjerit dan tubuhnya terpental sampai tiga meter ketika lengannya bertemu dengan tangan kiri Bi Lan! Dia cepat melompat bangun sambil menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya telah patah! Dia bukan hanya terkejut, akan tetapi marah bukan main.

"Perempuan keparat!" Dia memaki dan tangan kirinya mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Hek-kwi terkenal dengan permainan goloknya dan walaupun kini lengan kanannya tak dapat dipergunakan karena tulangnya patah, namun dengan tangan kirinya dia dapat memainkan golok itu sama mahirnya dengan tangan kanan. Setelah mencabut golok besarnya, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia lari menerjang ke arah Bi Lan lalu menyerang dan sabetan goloknya ke arah leher gadis itu. Kini semua gairah berahinya lenyap, terganti gairah untuk membalas dendam dan membunuh!

Sepasang mata indah itu mencorong dan seolah Bi Lan tidak tahu akan bahaya maut yang mengancamnya. Golok itu menyambar cepat sekali dan gadis itu masih diam saja. Akan tetapi ketika golok sudah dekat, ia merendahkan kepalanya dan tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas. Tahu-tahu golok itu sudah ditangkap jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut, golok itu terlepas dari pegangan Hek-kwi. Setelah golok terampas, Bi Lan menggerakkan tangan kanan ke depan.

"Cappp......!" Golok itu menancap di dada Hek-kwi.

Mata Hek-kwi terbelalak memandang ke arah dadanya, seolah tidak percaya akan apa yang terjadi, kemudian tubuhnya terpental ke belakang karena ditendang kaki Bi Lan. Dia terbanting roboh dan tewas seketika karena goloknya sendiri menembus jantungnya!

Empatbelas orang anak buah gerombolan terbelalak kaget, akan tetapi mereka juga marah sekali. Orang-orang kasar ini selalu merasa diri sendiri paling kuat, apalagi mereka berjumlah banyak. Mereka tidak menyadari bahwa dari kenyataan tadi betapa dalam segebrakan saja Hek-kwi tewas telah membuktikan bahwa gadis yang mereka hadapi itu lihai bukan main. Orang-orang bodoh itu lalu mencabut golok mereka dan serentak menyerbu dan mengeroyok Bi Lan!

Orang akan terheran-heran kalau menyaksikan apa yang selanjutnya terjadi di atas jalan dalam hutan itu. Bi Lan sama sekali tidak bergeser dari tempat ia berdiri. Ia menyambut semua serangan yang datang dari depan, belakang, ka-nan, dan kiri itu dengan menggerakkan kaki tangannya dan tubuh-tubuh para pengeroyok berpelantingan, terlempar ke belakang sejauh tiga meter lebih dan begitu jatuh mereka langsung tewas!

Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang anak buah gerombolan terlempar roboh dan tewas. Dua orang sisanya yang belum sempat menyerang dan belum tewas, menjadi pucat ketakutan dan mereka segera memutar tubuh melarikan diri. Bi Lan menendang dua kali ke arah golok-golok yang berserakan di depan kakinya. Dua batang golok meluncur seperti anak panah dan dua orang yang melarikan diri itu menjerit dan roboh dengan punggung tertembus golok dan tewas seketika. Limabelas orang gerombolan itu dalam waktu singkat tewas semua tanpa Bi Lan bergeser selangkah pun dari tempat ia berdiri!

Bi Lan memandang ke sekelilingnya, ke arah mayat-mayat yang berserakan di sekelilingnya, wajahnya masih muram tanpa membayangkan perasaan apa pun, lalu hidungnya mendengus seperti orang yang mencium bau tidak enak, lalu kakinya melangkah pergi dari tempat itu, melangkahi mayat-mayat sambil meletakkan kembali capingnya di atas kepalanya.

Dalam usahanya mencari Ouw Kan yang ia anggap sebagai musuh besarnya, datuk bangsa Uigur yang dulu pernah menculiknya ketika ia masih kecil, juga datuk yang memusuhi orang tuanya, bahkan dua orang murid datuk itu telah menyebabkan kematian ayahnya, Bi Lan menuju ke kota raja Kin. Gadis yang sakit hati ini juga menganggap bahwa Raja Kin juga bersalah dan harus dibalasnya karena tentu raja itu yang mengutus Ouw Kan untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang tewas di tangan ayahnya dalam perang. Apalagi ibunya menceritakan betapa dua orang murid Ouw Kan itu tidak jadi membunuh ibunya, setelah mereka melihat surat yang ditinggalkan Puteri Moguhai kepada orang tuanya. Ini hanya berarti bahwa dua orang murid Ouw Kan itu takut kepada puteri raja dan tentu Raja Kin ada hubungannya dengan pembunuhan terhadap ayahnya. Karena inilah maka Bi Lan menujukan perjalanannya ke kota raja Kin.

Ketika Bi Lan memasuki kota raja Kerajaan Kin di Peking, Bi Lan melihat bahwa biarpun kota raja ini lebih luas daripada Lin-an (Hang-chouw) kota raja Sung di selatan dan memiliki banyak bangunan besar dan kuno, namun kota raja Sung lebih indah. Akan tetapi kehadiran seorang gadis cantik bercaping lebar di kota itu tidak terlalu menarik perhatian orang karena memang banyak macam orang kang-ouw yang berdatangan di Peking. Juga banyak suku-suku bangsa utara dengan beraneka macam pakaian dan model topi atau caping.

Akan tetapi, di luar pengetahuan Bi Lan, semenjak ia memasuki pintu gerbang kota raja bagian selatan, beberapa pasang mata telah membayangi gerak-geriknya. Mereka yang membayanginya itu adalah para penyelidik dari pasukan keamanan kota raja. Mereka itu selalu mencurigai pendatang baru bangsa Han yang pribumi dari selatan karena bagaimanapun juga, masih ada kecurigaan terhadap Kerajaan Sung di selatan dan setiap pendatang baru dari selatan mungkin saja menjadi mata-mata Kerajaan Sung.

Bi Lan memilih sebuah rumah penginapan besar yang merangkap rumah makan di bagian depannya. Rumah makan Lok-koan merupakan sebuah di antara rumah-rumah makan terbesar, dengan banyak kamar penginapan yang bersih, dari kota raja itu. Begitu ia memasuki rumah makan, seorang pelayan tua segera menyambutnya dengan ramah. Pelayan ini tidak merasa heran menyambut seorang gadis cantik jelita berpakaian merah muda yang berwajah dingin. Sudah banyak tokoh aneh dia jumpai dan dia pun dapat menduga bahwa gadis ini tentu seorang gadis kang-ouw (sungai-telaga, persilatan) yang sedang merantau.

"Selamat sore, Nona. Silakan duduk, Nona hendak memesan makanan apakah?"

Bi Lan menjawab dengan suara datar.

"Aku ingin menyewa kamar dulu dan mandi, setelah itu baru makan."

"Ah, baik. Tentu saja, Nona. Mari, silakan bertemu pengurus kami untuk mendapatkan sebuah kamar." Pelayan itu lalu mengajak Bi Lan pergi ke sudut ruangan dalam di mana terdapat meja panjang dan di belakang meja itu duduk dua orang laki-laki.

"Nona ini ingin menyewa sebuah kamar," pegawai itu melaporkan.

"Baik, Nona. Kebetulan masih ada beberapa buah kamar yang belum terisi," kata seorang di antara mereka sambil membuka buku tamu dan siap dengan mouw-pit (pena bulu) untuk mencatat.

"Harap Nona menyebutkan nama dan tempat tinggal untuk kami catat, dan berapa hari Nona akan tinggal di rumah penginapan kami."

Bi Lan adalah seorang gadis yang sudah banyak melakukan perantauan dan ia tahu betul bahwa apabila menyewa kamar di rumah penginapan, tamu harus mencatatkan nama dan alamatnya karena pihak penginapan akan dapat mencari dan menagihnya kalau Si Penyewa pergi diam-diam tanpa membayar sewa kamarnya. Maka ia lalu mengambil kantung uangnya, mengeluarkan dua potong perak dan menaruhnya di atas meja.

"Apakah ini cukup untuk menyewa sebuah kamar selama lima hari?"

Dua orang pengurus itu tersenyum dan penanya tadi cepat berkata.

"Wah, biarpun dengan makan minumnya selama lima hari, uang Nona mungkin masih ada kelebihannya."

"Kalau begitu, terima uang ini untuk membayar lebih dulu sewa kamar dan bayar makanan selama lima hari. Kelebihannya boleh ambil. Tentang namaku, kiranya tidak perlu dicatat lagi karena sewanya sudah kubayar lunas di muka."

Dua orang itu saling pandang lalu mengangguk. Tidak biasa seorang tamu membayar di muka berikut makanannya. Akan tetapi karena gadis itu sudah membayar selama lima hari, mereka pun tidak merasa perlu lagi untuk mencatat nama dan alamat gadis itu walaupun di dalam hati mereka ingin juga mengetahui siapa nama gadis yang cantik jelita namun yang berwajah dan bersinar mata dingin itu.

"Ah, baiklah kalau Nona menghendaki demikian. Ini kunci kamar Nona."

"Aku menghendaki sebuah kamar yang tenang di sudut."

"Baik, Nona. Di sudut bagian belakang ada kamar kosong. Ini kuncinya. A-sam, antarkan Nona ini ke kamarnya," kata pengurus itu kepada seorang pelayan yang bertugas di rumah penginapan. Pelayan itu mengantarkan Bi Lan ke kamarnya.

Bi Lan cukup senang dengan kamar itu karena cukup bersih terawat baik. Kain alas pembaringan dan sarung bantalnya semua bersih dan habis dicuci. Kamar itu mempunyai sebuah jendela yang menghadap ke taman yang sederhana. Karena letaknya di ujung maka lebih sunyi dan tenang dibandingkan dengan kamar-kamar yang berada di depan dan tengah.

Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, Bi Lan menyerahkan semua pakaian kotor kepada pelayan untuk dicuci, kemudian ia meninggalkan buntalan pakaiannya, keluar dari kamar, mengunci pintunya dan pergi ke depan, ke rumah makan. Ia merasa segar sehabis mandi air dingin. Hawa udara pada waktu itu tidak dingin, bahkan agak panas karena musim panas sedang kuat-kuatnya. Ia memakai mantelnya, bukan karena dingin, melainkan untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ia tahu hanya akan menarik pandang mata yang kurang ajar dari para pria, hal yang terkadang membuatnya marah sekali.

Semenjak menjadi murid Si Mayat Hidup Berjalan, Bi Lan merasa tidak perlu lagi membawa senjata tajam walaupun ia memiliki keahlian bermain silat pedang. Sekarang, segala macam benda dapat saja ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh. Bahkan dua pasang kaki tangannya juga sudah merupakan senjata yang amat ampuh.

Pelayan rumah makan yang setengah tua tadi menyambut Bi Lan yang datang dari rumah penginapan dengan senyum ramah. Kini Bi Lan tidak memakai ca-pingnya dan wajahnya tampak cantik sekali. Pakaiannya berwarna merah muda dan biarpun potongannya sederhana dan ia tidak mengenakan perhiasan apa pun, namun pakaian itu bersih dan ia dalam kepolosannya bahkan tampak lebih segar dan kecantikannya aseli tanpa bedak atau gincu. Sayang bahwa wajah yang cantik itu muram dan mendatangkan kesan dingin karena sinar mata itu layu dan mulut itu pun tidak membayangkan perasaan apa pun.

"Selamat sore, Nona. Sayang tempatnya agak penuh, akan tetapi masih ada meja kosong di sudut sana. Mari, silakan, Nona," kata pelayan itu, sambil mendahului menuju ke sebuah meja kosong di sudut kanan bagian depan. Rumah makan itu kini penuh tamu yang hendak makan malam.

Bi Lan memesan nasi dan tiga macam masakan, juga minuman yang tidak begitu kuat seperti arak. Ada tersedia semacam minuman anggur atau sari apel yang tidak sekuat arak biasa.

Bi Lan menanti datangnya pesanannya sambil duduk diam di atas kursinya, menghadapi meja. Pada saat itu, ruangan penuh tamu yang sebagian besar adalah laki-laki. Lima meja yang berada tidak begitu jauh dari meja Bi Lan diduduki rombongan laki-laki dan mereka semua, tidak kurang dari duapuluh orang banyaknya, mengarahkan pandang mata mereka kepada Bi Lan. Bahkan yang duduk di meja yang berada di belakang gadis, itu, masih juga melayangkan pandang mata mereka ke arah Bi Lan walaupun yang mereka lihat hanya bagian belakang tubuh gadis itu. Di sana-sini terdengar suara tawa dan jelas bahwa mereka itu menujukan kelakar mereka kepada Bi Lan yang membuat mereka semua merasa kagum.

Tiba-tiba banyak tamu bangkit berdiri, mulai dari yang duduk di bagian terdepan. Mereka bangkit berdiri untuk menghormati rombongan yang baru masuk. Karena Bi Lan duduk menghadap ke arah pintu depan, maka tanpa disengaja ia pun melihat rombongan itu. Rombongan terdiri dari empat orang, akan tetapi semua orang itu menghormati orang yang berjalan paling depan. Dia seorang pria berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan wajahnya cukup tampan walaupun pandang mata dan senyum mengejek di bibirnya memberi kesan angkuh sekali. Melihat orang-orang memberi hormat kepadanya, dia mengangkat tangan kanan ke atas seperti seorang raja yang menerima penghormatan rakyatnya! Dari pakaian orang ini dapat diduga bahwa dia tentu seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya. Pakaian serba mewah gemerlapan, dengan mantel bulu indah dan topinya juga dari bulu biruang berwarna putih.

Tiga orang yang berjalan di belakangnya dapat diduga adalah para pengawalnya. Pakaian mereka juga indah, akan tetapi tidak semewah pakaian pemuda yang mereka kawal. Tiga orang laki-laki ini berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, ketiganya bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Di punggung masing-masing tergantung sebatang pedang yang besar panjang. Biarpun orang-orang di rumah makan itu menghormati pemuda yang mereka kawal, namun tiga orang ini berjalan dengan dada dibusungkan dan langkah mereka tegap, sambil tersenyum bangga seolah-olah merekalah yang diberi hormat banyak orang itu.



Pedang Pusaka Naga Putih Eps 1 Kisah Si Naga Langit Eps 7 Kisah Si Naga Langit Eps 5

Cari Blog Ini