Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 11


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




"Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu, kalau tidak dia akan membunuhi murid Siauw-lim-pai satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding dengan dia, akan tetapi lalu muncul murid Cia Song yang melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menangkap pelaku perkosaan itu dalam waktu satu bulan. Kwee Bun To menerima janji itu dan mengundurkan diri sehingga Siauw-lim-pai terhindar dari keributan."

Hui Sian Hwesio mengangguk-angguk dan memandang kepada muridnya.

"Cia Song, engkau berjanji kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku itu dalam sebulan, apakah engkau mengetahui siapa pelakunya?"

"Teecu belum mengetahuinya, suhu."

"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani berjanji hendak menangkapnya?"

"Akan teecu selidiki sampai teecu berhasil menangkapnya."

"Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalali seorang murid Siauw-lim-pai?"

"Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang sengaja menggunakan ilmu silat Lo-han-kun untuk menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan kepada Siauw-lim-pai. Teecu akan menyelidikinya, suhu."

"Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari keributan dan permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang gegabah! Seorang laki-laki sekali berJanJi harus dipenuhi dan engkau su-dah berjanji akan menangkap pelaku itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagai-mana kalau sampai sebulan engkau be-lum dapat menemukan pelaku kejahatan itu?"

"Kalau sampai teecu gagal, teecu akan mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun To, suhu."

"Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya dan harus berani mempertanggung-jawabkan semua .tindakannya! Engkau pantas menjadi seorang murid Slauw-lini-pai." Hui Sla Hwesio niemuji, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Thian Liong. Diam-diam dia merasa bangga dan girang karena utusan Tiong Lee Cin-jin mendengarkan semua percakapannya depgan Cia Song. Sungguh membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin mendengar akan kegagahan murid Siauw-lim-pai!

"Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee Cin-jin diutus berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita penting apakah? Ada petunjuk apakah dari guru?"

Thlan Liong memberl Hormat sambll berlutut.

"Loclnpwe, teecu diutus oleh suhu untuk pertama-tama menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe."

"Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat sungguh biJaksana dan baik hati. Salamnya pinceng terima dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau bertemu dengan beliau, sampaikan salam dan hormat plnceng yang mendalam untuk beliau."

"Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan tugas teecu yang kedua adalah untuk menyerahkan sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam perjalanannya ke barat yang menurut suhu kitab itu adalah hak milik Siauw-lim-pai." Setelah berkata demikian, Thian Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng yang tua itu dan dengan kedua tangan dia menyerahkannya kepada Hui Sian Hwesio.

Hwesio tua itu menerima kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membelalakkan matanya seolah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab di atas pahanya dan dia merangkap kedua tangan depan dada.

"Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya saat ini pinceng dapat memegang kitab Sam-jong Cin-keng yang sudah hilang puluhan tahun ini! Sungguh luar biasa sekali kebijaksanaan yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Setelah menemukan kitab ini, dia masih bersusah payah mengutus muridnya untuk mengembalikannya kepada kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada seorang yang demikian jujur dan mulia seperti dta? Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah puluhan tahun Siauw-lim-pai hilang harapan dan tidak mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab ini!"

"Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai, menjadi hak milik kita sepenuhnya!" seru Cu Sian Hwesio.

"Maafkan teecu, suhu. Teecu kira sudah sepatutnya kalau yang mulia Tiong Lee Cin-jin mengembalikan kitab Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau teecu sendiri menemukan kitab milik perguruan lain, tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan yang berhak. Teecu yakin bahwa kalau suhu memberlkan kitab Sam-jong-cin-keng itu kepada yang mulia Tlong Lee Cin-jin, sudah pasti beliau akan menolaknya."

Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian mereka yang pantas dan kuat, namun Hui Sian Hwesio tetap mengambll kltab Itu dan menyerahkan kepada Thian Liong sambil berkata.

"Souw Thlan Llong, terimalah kitab inl dan katakan kepada gurumu bahwa pinceng memberikan kitab ini kepadanya, karena plnceng menganggap dlalah yang berhak memlllkinya."

Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi hormat dan berkata,

"Maafkan teecu, locianpwe. Teecu pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwe-sio dan twako Cia Song tadi benar dan tepat, Kitab ini dahulu adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun menjadi hal millk Slauw-lim-pai, maka teecu harap sudllah klranya locianpwe suka menerimanya."

"Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan naluri hati nurani. Sekarang begini saja, Souw Thian Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau seorang murid yang amat baik dari Tiong Lee Cin-jin. Kita ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini sebagal hadiah dari Tiong Lee Cin-jin, akan tetapi karena Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga berhak maka pinceng akan mengajarkan ilmu yang terkandung dalam kitab ini kepadamu sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin. Kalau begitu, barulah enak rasa, hati pinceng terhadap Tiong Lee Cin-jin."

Thian Liong terkejut sekali.

"Akan tetapi.... teecu tidak berhak dan tidak berani menerimanya, locianpwe...."

"Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini, terpaksa pinceng juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab ini kepada gurumu. Pinceng tidak ingin disebut orang yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan setetespun keringat namun menikmati hasilnya. Nah, bawalah kitab itu dan pergilah!"

Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum menerima kitab itu.

"Aduh, locianpwe, teecu menjadi bingung dan tldak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu harus membawa kembali kitab ini tentu suhu merasa tldak senang. Seballknya kalau teeeu menerima usul locianpwe, sungguh teecu merasa tidak enak kepada semua murid Siauw-lim-pai."

"Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan, Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak enak kalau engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa yang akan menyalahkanmu kalau sebagai murid pinceng engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-lim-pai? Ataukah.... engkau menganggap pinceng tidak pantas menj'adi gurumu ke dua se-telah gurumu Tiong Lee Cin-jin?"

Diam-diam Thian Liong? merasa girang sekali. Dari gurunya dia sudah mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka alangkah beruntungnya kalau dia diterima menjadi murid dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka Sam-jong-cin-keng ttu. Akan tetapi yang membu-at dia meragu adalah kalau-kalau dia a-kan dlharuskan tlnggal terlalu lama dl Kull Siauw Lim.

"Terima kasih atas kemurahan hati suhu," katanya, tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada hwesio tua itu.

"Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu Tiong Lee Cin-jin untuk membela Kerajaan Sung dan menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan negara. Kalau teecu harus menjadi murid dan tinggal lama di Siauw-lim-si, bagaimana teecu akan dapat melaksanakan tugas itu?"

"Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata tidak berbeda dengan jalan pikiran pinceng. Yang dia maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui, bukan? Jangan khawatir, Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi kitab yang ditemukan kembali oleh gurumu pertama ini dan mengingat bahwa, engkau tentu telah memiliki dasar yang amat kuat, maka pinceng yakin bahwa dalam beberapa bulan saja engkau tentu akan mampu menguasainya dengan baik."

Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tlnggal dl kull Siauw-lim dan dl bawah blmbingan Hui Sian Hwesio sendiri dia mempelajarl dan berlatlh ilmu silat berdasarkan kltab pusaka San-jong Cin-keng yang menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud! Sementara itu, Cia Song yang memiliki tugas berat untuk rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti yang sudah dia janjikan, juga meninggalkan kuil untuk melaksanakan tugasnya.

Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong mendapat kenyataan yang iuar biasa dan menyenangkan hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan pernapasan menurut ilmu yang diajarkan Hui Sian Hwesio menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa tenaga dalam yang sudah dikuasainya dan berpusat di bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat. Ilmu silat yang terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus pokok. Akan tetapi delapan Jurus pokok ini mengandung tenaga saktl yang amat dahsyat dan juga memungklnkan perkembangan menurut bakat yang menguasai.

Pada suatu malam, Thlan Llong rebah di etas pembaringan dalam kamarnya dl kuil itu. Seperti biasa, waktu malam Itu dia membaca Kltab Sam-jong- Cln-keng dan melatlh siu-lian karena dl waktu siang dia berlatlh gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian Hweslo. Setelah merasa lelah dan mengantuk, dla menyimpan kitab itu dalam sebuah almarl yang terdapat di sudut kamarnya dan diapun merebahkan dlrlnya ke atas pembaringan untuk tidur.

Menjelang tengah malam keadaan kull itu sunyl sekali. Semua hweslo sudah tldur. Sesosok bayangan hltam yang gerakannya llncah dan ringan sekali dengan mudahnya karena dia menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dia melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka itu dan gerakannya benar-benar ringan seperti seekor kucing melompat sehingga ketlka kedua kakinya hlnggap di atas lantai kamar yang gelap itu, tidak terdengar suara sedlkitpun. Dia lalu bergerak ke depan, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, dalam kegelapan itu dia menghampiri almari dan membukanya. Dengan meraba-raba dia dapat menemukan Kitab Sam-jong Cin-keng dan cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan tetapi karena tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui jendela.

Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian Liong. Nalurinya yang kuat dan peka membuat Thian Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam kamarnya. Dia menengok dan melihat bayangan berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong bekerja. Seketika dia tahu bahwa ada orang memasuki kamarnya dan diapun segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mencuri Kitab Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu yang dlcuri, apa lagi? dia segera menyambar Thian-liong-kiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali melompat tubuhnya sudah melayang keluar jendela melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di ikat pinggangnya.

Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di langit hitam Thian Liong melihat sosok bayangan itu di atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar. Dia mengerahkan seluruh gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang orang yang berpakaian serba hitam dan mukanya memakai kedok hitam itu. Hanya sepasang matanya saja yang tampak melalui lubang pada kedok, sepasang niata yang bersinar tajam. Diapun melihat bahwa pencuri berkedok hitam itu membawa sebuah kitab di tangan kirinya. Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu benar bahwa kitab itu bukan laln adalah Kltab Sam-jong Cln-keng yang sedang dipelajarlnya di bawah plmpinan Hul Sian Hwesio.

"Pencuri! Kembalikan kitab itu!" Thian Liong membentak, suaranya melengking menembus malam sunyi.

Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong dapat bergerak sedemiklan cepatnya dan tahu-tahu telah menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju, kepalan kanannya menyambar ke arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Thian Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.

"Dukk!" Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua lengan itu dan pencuri itu mengeluarkan seruan kaget, namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki klrlnya meneuat dalam tendangan yang menyambar ke arah lambung Thlan Liong.

Thlan Uong maklum bahwa pencurl itu adalah aeorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat tinggi. Dla sudah waspada dan begltu kaki lawan menyambar, dlapun sudah menghlndar ke kiri. Pencurl itu memballkkan tubuh untuk melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!" Thian Liong mengerahkan gin-kangnya dan dia melompat tinggi mengejar. Ketika berada di atas pen-curi itu, tangannya menyambar ke bawah, yang kiri mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang kanan menyambar untuk merampas kitab dari tangan kiri lawan.

"Uhh....!" Pencuri itu makin terkejut dan cepat merendahkan diri mengelak sambii melompat ke samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun hampir saja kitab itu dapat direbutnya. Pencuri itu agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab itu teram-pas oleh Thian Liong. Mereka kini berhadapan dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba pencuri itu menggunakan tangan kanannya untuk diputar-pu-tar dan tubuhnya merendah, kedue lutut ditekuk hamplr berjongkok dan tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan ke arah Thlan Liong sambil membentak keras.

"Haaiiiilittt....!" Dari tangan kanan yang didorongkan itu keluar uap hiiam!

Thlan Liong terkejut. Orang itu menyerangnya dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan melihat uap hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya. Thian Liong segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan miringkan tangan kiri ke depan dada, lalu mendorong ke depan rnenyambut serangan lawan.

"Wuuuuttt.... bressss....!!" Dua tenaga bertemu dan uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu terhuyung ke belakatig. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan sekali sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong Cin-keng itu dari tangan si pencuri. Akan tetapi, sungguh tak disangka sama sekali tubuh pencuri itu bergulingan dan tahu-tahu kitab itu dapat dirampas kembali! Thian Liong terkejut karena tidak menyangka pencuri itu memiliki kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh yang bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera terlngat akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab Sam-jong Cln-keng, maka untuk merampas kembali kitab itu, dia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan kirinya untuk menyerang, mencengkeram ke arah leher lawan. Pencuri itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong, maka dia bermaksud mengelak dan melarikan diri. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan Thian Liong itu dapat mulur (memanjang) seperti karet dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari tangannya! Thian Liong merasa gembira karena ternyata ilmu mengulur tangan sehingga memanjang satu meter lebih itu telah berhasil dia kuasai dan kini telah memperlihatkan hasilnya!

Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar terlakan beberapa suara,

"Tangkap penjahat....!"

Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencurl terkejut dan dia melompat Jauh dengan gerakan cepat sekall dan menghilang dalam kegelapan yang remang-remang. Thian Liong tldak mengejar karena kitab yang dlcuri itu telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat turun dari atas genteng kuil besar dan di bawah sudah berkumpul banyak hwesio, di antaranya terdapat Ki Sian Hwesio.

"Souw-sicu, apakah yahg terjadl? Kenapa tadi ada murid-murid yang berteriak tangkap penjahat?" tanya Kl Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.

"Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas genteng, bertandlng dengan Souw-sicu, maka kaml berteriak-teriak." kata seorang murid Siauw-lim-pai.

Tlba-tlba muncul Cu Slan Hwesio, wakil Ketua Slauw-lim-pal dan dia segera berkata,

"Souw-sicu, tadi pinceng mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke atas atap. Akan tetapi penjahat itu telah melarikan diri dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan Cla Song, maka pinceng menyuruh dia untuk melakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan penjahat itu?"

"Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Sam-jong Cin-keng, Susiok (paman guru). Teecu terbangun dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap dan teecu beruntung dapat merampas kembali kitab ini, akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan melarikan diri." kata Thian Liong sambil memperlihatkan kitab yang telah dapat dirampasnya kembali,

"Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya kembali. Sekarang lebih baik jangan ribut-ribut dan jangan mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini sampai Cia Song kembali dari pengejarannya." kata wakil ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu. Thian Liong menceritakan lagi peristiwa pencurian dalam kamarnya itu.

Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok bayangan orang berkelebat. Semua orang menoleh dan memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia Song. Cu Sian segera bangkit berdlri, menyambut pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan,

"Bagaimana, Cia Song, berhasilkah engkau menangkap penjahat itu

Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang kepada Thian Liong dengan menyesal. Kemudian dia berkata kepada sang wakil ketua.

"Sayang sekali, susiok, teecu tidak berhasil menangkapnya. Teecu memang dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian. Ternyata penjahat itu lihai bukan main. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, teecu hanya berhasil merenggut topeng kain hitam yang menutupi wajahnya, akan tetapi dia melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan pohon-pohon di luar kuil kita." Pemuda itu mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan menyerahkan kain itu kepada Cu Slan Hwesio.

Pendeta itu menerima kain hitam yang tldak terlalu lebar itu dan mengamatlnya. Hanya kaln blasa yang dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan dua lubang di bagian mata.

"Kalau begitu, engkau tentu telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!" kata Cu Slan Hwesio girang.

Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

"Sayang sekali tidak, susiok. Teecu dapat mgnyusulnya setelah berada di luar kull dan kaml bertandlng dl kegelapan bayang-bayang, pohon, lebih mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika teecu berhasil merenggut lepas topengnya, teecu tidak dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia cepat melarikan diri."

"Cia-twako, apakah dia seorang wanita?" tanya Thian Liong.

"Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau masih menyebut twako (kakak) kepadaku? Bukankah aku ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?"

"Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang wanita?" Pertanyaan ini diajukan Thian Liong karena dla teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian merah yang telah mencurl Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li Thio Siang In yang juga berminat untuk pinjam Kitab Sam-jong Cin-keng.

Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui Sian Hwesio memandang heran.

"Sudah kukatakan bahwa aku tldak dapat melihai mukanya di tempat gelap Souw-sute. Melihat kelincahan gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak tahu jelas. Bagaimana pendapatmu? Bukankah engkau juga sudah bertanding melawannya?"

Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia Juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu jelas lihai sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama dengan gerakan Siang In.

"Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu seorang wanita, Souw-sicu?" Hwesio itu masih menyebut Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa sungkan mengingat bahwa Thian Liong adalah murid dan juga utusan Tiong Lee Cinjin yang amat dihormatinya.

"Teecu hanya nienduga saja, susiok. Bolehkah teecu meminjam sebentar kain topeng itu?"

"Ini, slmpanlah. Engkau yang digapg-gu pencuri, blar engkau yang menyimpan topeng ini. Siapa tahu dari topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan pencurinya." kata Cu Sian Hwesio sambil tersenyum dan menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong menerirnanya dan tak lama kemudian Cu Sian Hwesio menyerukan kepada semua orang untuk kembali ke kamar masing-masing. Akan tetapi dia juga memerintahkan para murid untuk malam itu melakukan penjagaan dan perondaan secara bergilir.

Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio bertiga, pendeta itu bertanya kepada Cia Song.

"Cia Song, bagaimana hasilnya dengan usahamu mencari pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah tiba waktu yang dijanjikan. Kalau pinceng tidak salah meng-hitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan datang menagih janji."

"Ah, jangan-jangan...." Thian Liong menahan kata-katanya.
"Apa maksudmu, Souw-sicu?" "Maksud teecu, jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu sama orangnya!"

"Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir. Teecu sudah melakukan penyelidikan dan sudah dapat menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia pencuri kitab tadi. Teecu pasti akan dapat menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok pagl. Sekarang juga teecu akan melanjutkan penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat teecu hadapkan kepada Kwee-kauwsu." kata Cia Song dengan suara mantap.

"Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia.... dia bukan murid Siauw-lim-pai?" tanya pendeta itu agak khawatir.

"Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai, hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu Lo-han-kun dan menggunakannya sehingga Kwee-kauwsu menyangka bahwa dia murid perguruan kita."

"Sukurlah. Pinceng dapat tidur nye-nyak malam ini." kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu berpisah. Hwesio itu dan Thlan Liong kembali ke kamar masing-masing sedangkan Cia Song keluar dari kuil untuk melacak pemerkosa yang d carinya.

Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa. Matahari pagi bersinar lembut dan hangat, mepghidupkan sega-la yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga sibuk dengan tugas pekerjaan mereka sehari-hari. Akan tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu, namun suasananya sungguh berbeda. Dalam hati para hwesio itu terda-pat kegelisahan. Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat Kwee Bun To. Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya Cia Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya belum juga dapat menangkap penjahat perperkosa puteri Kwee Bun To itu. Dan kafau sampai hari ini Cia Song belum juga dapat menyerahkan pemerkosa itu, tentu guru silat Kwee Bun To akan mengamuk dan membunuhl murld-murid Slauw-llm-pal! Karena itu, suaeana amat menegangkan hati dan blarpun para hwe-sio itu melaksanakan tugas mereka masing-masing dan tidak ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To namun diam-diam mereka sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.

Matahari telah naik tinggi dan Cla Song yang diharap-harapkan kedatangannya tnasih belum juga tampak batang hi-dungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantu-nya, Ki Sian Hweslo yang biasarya tenang itu kini juga mulal menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil besar, duduk menunggu kemunculan Cla Song.

"Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?" tanya Ki Slan Hweslo.

Cu Sian Hwesio menghela napas "Pinceng juga merasa heran. Malam tadi dia mengatakan bahwa pagi ini dia pastl akan datang membawa penjahat itu.''

"Bagaimana kalau Kwee-kauwsu datang dan menuntut?"

"Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimaria nanti saja. Apapun yang terjadi akan pinceng hadapi." kata Ci Sian Hwesio.

"Mari kita menanti di dalam saja sambil bersamadhi menenangkan hati agar nanti kuat menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kuil.

Tak lama kemudian suasana menjadi semakin menegangkan ketika terdengar orang berteriak dengan suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di seluruh kompleks bangunan kuil Siauw lim.

"Heii! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan penjahat laknat itu kepadaku atau mulai hari ini aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!"

Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke lima dalam kitab Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan ini dia baru berhasll menguasai empat jurus saja. Ketlka suara lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan yang menjadi kamar sang ketua, Hul Sian Hwesio menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian Liong.

"Thian Liong, keluarlah dan llhat apa yang terjadi. Bantulah Siauw-lim-pai kalau terancam, akan tetapi jangan menggunakan kekerasan agar tldak menimbulkan permusuhan."

"Balk, suhu," Thian Liong lalu keluar darl ruangan itu dan menuju ke pendopo. Ketika tlba dl pendopo, dla melihat semua murld Siauw-Lim-pal sudah berkumpul dl sltu dan mereka semua tampak tegang. Cu Slan Hweslo dan Ki Sian Hweesio juga sudah berdirl dl pendopo.

Di bawah anak tangga pendopo Itu berdlrl seorang lakl-lakl beruala sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan gagah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipis itu bergerak-gerak, matanya mencorong tajam ketika dla menyapu tempat itu dengan ge|andang matanya, mencarl-carl.

"Di mana dia, Cia Song yang telah berjanji sebulan yang lalu untuk menghadapkan keparat yang memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar menemuiku untuk mempertanggung-jawabkan janjinya kepadaku!"

Cu Sian Hwesio melangkah maju menuruni anak tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun To. Dia merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan suara lembut,

"Omltohud, selamat datang, Kwee-kauwsu. Hendaknya dlketahuil bahwa sejak malam tadi Cia Song teleh pergl untuk menangkap. penjahat itu,. Menurut katanya, pagi ini dia akan menghadapkan penjahat itu kepadamu di slni. Harap kauwsu bersabar dan menanti kedatangannya."

"Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia Song sudah datang berkunjung dan mendengar keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dla mengulang janjinya dalam waktu sebulan dia akan menangkap penjahatnya dan menyerahkannya kepadaku. Apakah dla hanya pendusta besar?" Guru silat itu tampak marah sekall. Thian Liong menghampiri dan berdiri di dekat Ki Sian Hweslo, siap untuk membantu kalau guru silat itu mengamuk.

"Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa wanita dan tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu. Pinceng harap engkau suka bersabar dan menunggu sejenak." kata Cu Sian Hwesio.

"Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau menunggu lagi!" Guru silat itu membentak marah.

Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil,

"Kwee-kauwsu, aku datang!" Para hwesio girang mengenal suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak pemuda itu berlari datang sambil menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Pemuda itu bertubuh sedang, wajahnya bersih tidak berkumis atau berjenggot akan tetapl wajah itu tak dapat dlsebut tampan. Hldungnya pesek dan blblrnya tebal, matanya sipit sepertl terpejam. Setelah berlarl menggandeng tangan o" rang itu dan tiba di depan Kwee Bun To, Cia Song mendorong pemuda itu ke depan sehlngga orang itu jatuh berlutut di depan guru silat yang mengamatinya dengan sinar mata tajam.

"Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu." kata Cia Song tegas.

"Terbuktilah sekarang bahwa pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!"

Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali. Matanya yang sipit dia coba untuk dibelalakkan, dan tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa lamanya, Kwee Bun To mengerutkan alisnya dan bertanya,

"Orang macam ini ....??" Lalu dia berkata kepada orang itu membentak,

"Siapa namamu?"

Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi hormat dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Hemm, dia gagu?" tanya Kwee Bun To.

"Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!" Setelah berkata demikian, Cia Song lalu menotok tengkuknya dan orang , Itu terbatuk-batuk.

"Hei, siapa namamu?" kemball Kauw-su (guru silat) Kwe Bun To membentak.

"Na.... nama saya.... Giam Ti...." kata orang itu dengan suara gemetar.

"Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan Terbang) dan menjadi kepala gerombolan di Bukit Angsa, Kwe-kauwsu." Cia Song menjelaskan. Kwee Bun To mengerutkan alisnya. Engkau sudah beristeri?" tanya guru silat itu ketus.

Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu diam saja, hanya mendekam seperti macan kelaparan.

"Plak!" Cla Song menampar pundaknya.

"Hayo jawab sejujurnya!"

Glam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri dan diapun mengangguk-angguk.

"Su....dah,... saya.... sudah beristerl...."

"jahanam busuk! Engkau sudah beristerl dan engkau berani memasuki kamar anakku, menotoknya lalu memperkosanya? Hayo jawab!" Kwee Bun To menghardlk.

"Saya.... saya...."

Cia Song menekan pundak orang itu.

"Hayo,mengaku, atau engkau ingin kusiksa lebth dulu?" Tekanan pundak itu mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Rasa jantung orang itu sepertl dltusuk ratusan batang jarum sehingga dia merintih lemah.

"Ya.... ya.... saya.... saya yang melakukan...perkosaan... itu....!"


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Keparat terkutuk!" Kwee Bun To menampar.

"Plakkkk!" tangan yang kokoh tegang itu menampar pipi. Giam Ti terpelanting dari tempat dia berlutut dan bibirnya yang tebal pecah berdarah. Dia mengaduh dan mencoba bangkit, akan tetapi Kwee Bun To kembali mengayun kaki menendang, mengenai dadanya.

"Dessss....!" Tubuh Glam Tl terjengkang dan dla muntah darah. Akan tetapl Thian Liong merasa heran mengapa guru sllat itu membatasl pukulan dan tendangannya. Kalau guru silat yang lihai itu menghendaki, sekali tampar saja kepala orang itu pasti akan pecah. Akan tetapi ternyata tamparan dan tendangan itu tidak membuat Giam Ti tewas dan ini merupakan bukti bagi Thian Liong bahwa guru silat itu sengaja tidak membunuh orang itu. Atau pemerkosa itu yang memiliki slnkang yang cukup, tinggi sehingga dia dapat melindungi dirinya dengan kekebalannya.

Tiba-tiba Thian Liong terkejut sekali ketika dia melihat Cia Song tiba-tiba menerjang maju dan mengayun tangan terbuka memukul ke arah kepala Giam Ti.

"Wuuuttt.... prakkk!" Tangan itu menghantam kepala Giam Ti. Orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi, tewas dengan kepala retak!

Kwee Bun To terbelalak. Agaknya dia juga terkejut sekali seperti Thian Liong. Juga Cu Sian Hwesio mengerutkan alisnya.

"Omitohud....! Cia Song, mengapa engkau lakukan itu? tegurnya.

"Cia-sicu, kenapa engkau membunuhnya?" Kwee Bun To juga menegur.

Cia Song menghela napas panjang.

"Susiok, maafkan teecu karena teecu tak dapat menahan amarah terhadap penjahat ini. Teecu merasa sakit hati karena dia melakukan perbuatan keji dan melempar fitnah kepada murid Siauw-lim-pai. Kwee-kauwsu, kenapa engkau menegur aku yang membunuhnya? Aku juga mendendam kepadanya dan bukankah engkau juga sedang menyiksanya untuk membunuhnya? Aku tidak suka melihat orang disiksa, kalau memang dia jahat dan hendak dihukum bunuh, segera lakukan saja dan tidak perlu menyiksanya. Itu terlalu kejam bagiku."

"Omitohud....! Bagaimanapun juga, ada benarnya pendapat Cia Song tadi. Menyiksa dulu sebelum dibunuh amatlah kejamnya. Kwe-kauwsu, sekarang pelaku kekejian itu sudah tertangkap dan sudah dihukum mati sehingga jelas bahwa di antara engkau dan kami tidak ada urus-an apapun. Harap engkau suka meninggalkan biara kami dengan damai dan sebagai seorang sahabat." kata Cu Sian Hwesio sambil memberi hormat kepada guru silat itu.

"Biarlah kami yang akan mengurus jenazah Giam Ti ini."

Kwe Bun To mengerutkan alisnya dan memandang kepada mayat kepala gerombolan itu.

"Memang urusan antara kita sudah beres dan ternyata murid Siauw-lim-pai tidak bersalah. Maafkan slkapku tadi. Akan tetapi, sungguh menyesal sekali bahwa Cia-sicu membunuh orang ini. Itu lancang dan tergesa-gesa namanya"

Cia Song melangkah maju menghadap guru silat itu.

"Maaf, Kwee-kauwsu. Bagaimana engkau dapat mengatakan aku lancang dan tergesa-gesa? Aku tidak membunuh dia karena kesalahannya kepadamu, melainkan aku membunuhnya karena dia melempar fitnah kepada Siauw-lim-pai! Dan aku tidak tergesa-gesa, karena aku membunuhnya setelah melihat engkau juga sedang menyiksanya dan hendak membunuhnya.

"Hemm, siapa bilang aku mau membunuhnya? Aku tadi hanya ingin menghajarnya, tidak membunuhnya."

"Akan tetapi mengapa? Bukankah dia .. dia telah menodai puterimu?"

"Justeru itulah! Kalau dia mati, lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tadinya mauku agar dia mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan mengawini anakku!'"

"Omitohud! Kenapa tidak engkau katakan sejak semula, Kwee-kauwsu? Kalau Cia Song tahu, pinceng yakin dia tidak akan membunuhnya'." kata Cu Sian Hwesio.

"Benar sekali. Ah, maafkan aku, Kwee-kauwsu. Siapa yang dapat mengira bahwa engkau akan mengambil dia sebagai mantu. Dia? Orang jahat terkutuk ini menjadi mantumu, menjadi suami nona Kwee Bi Hwa? Sungguh tidak patut orang macam dia mendapat kehormatan seperti itu! Sungguh sama sekali tidak pernah kusangka, maka maafkan aku, Kwee-kauwsu."

Kwee Bun To menghela napas panjang.

"Sudahlah, semua sudah terjadi. Agaknya memang nasib keluarga kami yang buruk. Selamat tinggal!" Guru silat itu lalu melangkah pergl, langkahnya loyo menunjukkan bahwa perasaan hatinya sedang gundah memikirkan nasib puterinya.

Setelah terjadinya peristiwa itu, Thian Liong masih tinggal di biara Siauw-lim selama dua bulan lagi. Sedangkan Cia Song telah meninggalkan Siauw-lim-pai untuk merantau dan melakukan tugas sebagai pendekar yang membela keadilan dan kebenaran, menentang yang jahat dan membela yang lemah.

Thian Liong membutuhkan waktu tiga bulan untuk mempelajari ilmu dari Kitab Sam-jong Cin-keng. Setelah melihat bahwa Thian Liong benar-benar sudah menguasai ilmu itu, Hui Sian Hwesio memanggilnya menghadap dan hwesio itu berkata,

"Souw Thian Liong, pelajaranmu telah selesai. Lega hati pinceng bahwa murid Tiong Lee Cin-jin telah menguasai ilmu dari kitab yang dia temukan. Dengan begini, selain dapat membalas budi kebaikan Tiong Lee Cin-jin yang telah mengembalikan kitab pusaka Siauw-lim-pai, juga Siauw-lim-pai telah membuktikan bahwa kami bukanlah partai yang serakah dan tidak pelit untuk membagi ilmu kepada sahabat baik."

"Akan tetapi sekarang teecu bukan orang luar, suhu, melainkan juga murid Siauw-lim-pai."

"Ha-ha, omitohud. Bagus sekali kalau engkau merasa demikian, Thian Liong, Memang, pinceng sudah mengakui engkau menjadi murid pinceng dan selanjutnya dalam sepak terjangmu, jangan lupa bahwa engkau selain murid Tiong Lee Cin-jin, juga murid Siauw-lim-pai. Kalau kelak engkau mempergunakan ilmu dari Sam-jong Cin-keng untuk melakukan perbuatan jahat, terpaksa pinceng sendiri yang akan mencari dan menghukummu.'"

"Peringatan dan nasihat suhu akan selalu teecu ingat dan laksanakan dengan baik."

"Pinceng yakln dan percaya kepadamu. Nah, sekarang, berangkatlah engkau melanjutkan perjalananmu dan sempatkan salam hormat pinceng kepada yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Engkau pernah bercerita bahwa kitab pusaka Kun-lun-pai yang ditemukan gurumu dan yang harus kaukembalikan kepada Kun-lun-pai telah dicuri orang dari tanganmu. Pinceng anjurkan agar engkau cari kitab itu sampai dapat, Thian Liong. Karena itu merupakan tanggung Jawabmu dan agar jangan mengurangi arti kebaikan yang ditunjukkan oleh yang mulia Tiong Lee Cin-jin."

"Baik, suhu. Memang teecu sudah mengambil keputusan untuk mencari kitab itu sampai dapat dan tidak akan kembali kepada suhu Tiong Lee Cln-jin sebelum kitab Itu dapat teecu temukan, dan teecu serahkan kepada Kun-lun-pai."

Thian Liong lalu betpamit dari semua . Hwesio di biara itu dan meninggalkan Siauw-lim-si, berjalan kaki dan menggendong buntalannya.

* *

Kakek Itu telah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Tubuhnya besar gendut dan tinggi. Biarpun usianya. sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan subur, juga wajahnya yang bundar gemuk itu belum dihias keriput. Kepalanya yang gundul itu memakai sebuah peci berwarna kuning dan jubahnya kunlng dengan kotak-kotak tnerah. Dari pakaiannya inl mudah diketahui bahwa dia adalah seo-rang pendeta Lama, yaitu pendeta Bud-dhis dari Tibet. Mengherankan sekaH melihat seorang pendeta Tibet berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Kun-lun. Bahkan sudah kurang lebih sepuluh tahun pendeta Lama itu bersem-bunyi di puncak Kun-lun-san. Pendeta Lama ini bukan laln adalah Jlt Kong Lama.

Sepertl sudah dlcerltakan di baglah depan kisah inl, Jit Kong Lama adalah seorang pendeta pelarlan darl Tibet. Karena melakukan penyelewengan, hidup bersenang-senang menuruti nafsu, dia terancam hukuman dari Dalai Lama dan terpaksa dia melarikan diri dar tidak berani kembali ke Tibet: Dia juga gagal untuk merebut kitab-kitab pusaka dari tangan Tiong Lee Cin-jin. Kemudian dia menyelamatkan Han Bi Lan yang berusia tujuh tahun dari tangan penculik anak itu, yaitu Ouw Kan, tokoh atau dukun dari Suku Uigur. Kemudian, dia mengambil Bi Lan sebagai muridnya dan sudah sepuluh tahun gadis itu menjadi rnuridnya. Dalam usianya yang sudah tua, Jit Kong Hwesio yang dulu hidup malang melintang mengandalkan kesaktiannya dan banyak mengalami suka duka dan pertentangan, merasa berubah hidupnya ketika bersama Bi Lian bersembunyi di puncak Kun-lun-san. Dia merasa tenteram dan damai, dan dia merasa amat sayang kepada Bi Lan.

Matahari telah condong ke barat. Burung-burung beterbangan pulang sarang Jit Kong Lama duduk di depan pondok kayu dan menatap ke depan, termenung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah tiga hari Bi Lan pergi meninggalkan pondok. Pamitnya hanya untuk bermaln-main di sekitar pegunungan Kun-lun-san. Dia merasa yakin bahwa muridnya itu tidak akan meninggalkannya tanpa memberita-hu. Karena itulah dia merasa tidak enak khawatir kalau-kalau muridnya itu meng-alami halangan. Memang, dia sudah menggembleng Bi Lan selama hampir sepuluh tahun. Dia telah mengajarkan semua ilmunya yang terampuh dan gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu kini telah menjadi seorang yang tangguh dan tidak sembarangan orang akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa betapapun lihainya, Bi Lan hanyalah seorang gadis muda yang kurang pengalaman, walaupun dia tahu bahwa muridnya itu memiliki kecerdikan yang luar biasa.

"Suhu.....! Aku datang.......'!" Tiba-tiba terdengar suara melengking dari jauh dan Jit Kong Lama tersenyum mengenal suara muridnya. Gadis itu telah menjadi begitu manja kepadanya, bahkan begitu akrabnya sehingga berani beraku dan berengkau kepadanya! Diapun menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri yang tidak pernah dipunyainya.

Segera tampak Bi Lan berlarian seperti terbang mendaki lereng-lereng puncak terakhlr. Tak lama kemudian la sudah berdlrl di depan Jlt Kong Lama dengan senyumnya yang cerah dan manis. jit Kong Lama mendadak melihat segala, sesuatu menjadl cerah dan indah.

"Bi Lan, ke mana saja engkau selama tiga hari ini? Engkau membikin aku gelisah saja!" kakek itu menegur, akan tetapi sambil tersenyum lebar.

"Aih, suhu. Mengapa mengkhawatirkan aku? Aku bukan anak kecil lagi. Dan pula, tidak percuma selama ini aku berguru kepadamu! Aku dapat menjaga diri. Aku membawa kabar gembira, suhu. Aku menemukan sebuah kitab pusaka pelejaran silat yang langka, kuno dan ampuh sekali! Akan tetapi setelah kupenksa isinya, aku menjadi bingung. Bahasanya kuno banyak huruf yang tidak kumengerti. Karena itu, aku harap suhu suka membimbingku mempelajari ilmu silati itu."

"Eh? Kitab pusaka? Coba perlihatkan padaku!" kata Jit Kong Lama sambil ter-senyum dan mengira muridnya bicara berlebihan. Bi Lan mengambil kitab dari buntalannya dan menyerahkannya kepada gurunya.

Jlt Kong Lama menerima kitab itu dan membuka-buka lembarannya. Bi Lan berdiri memandang dan merasa glrang dan bangga melihat kakek itu membelalakkan mata dan tampak terkejut dan heran sekali.

"Omitohud....!" Saking kaget dan herannya, Jit Kong Lama mengucapkan pujian ini yang selama sepuluh tahun ini hampir terlupa olehnya.

"Ini adalah Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka milik Kun-lun-pai! Dari mana engkau mendapatkan kitab ini, Bi Lan? Engkau tidak mencurinya dari Kun-lun-pai, bukan?"

Bi Lan memandang gurunya dengan bibir cemberut manja.

"Aih, suhu. Aku tidak mencurinya, hanya meminjaiTi. Kalau aku sudah selesai mempelajarinya, pasti kukembalikan kepada Kun-luri-pai kalau memang kitab ini milik Kun-lun-pai."

"Kitab pusaka ini memang merupakan puaaka Kun-lun-pai yang amat lang-ka!" Kakek itu mengahgguk-angguk dan membalik-balikkan lembaran kitab itu.

"Sungguh pelajaran silat yang hebatl Sayang aku sudah terlalui tua untuk mempelajarinya."

"Aku mendapatkannya bukan untukmu, suhu, akan tetapi untuk aku sendiri. Asal suhu mau membimbingku dan memberi penjelasan, aku tentu akan dapat menguasai ilmu itu."

"Baiklah. Akan tetapi setelah selesai harus kau kembalikan. Kalau sampai Kun-lun-pai mengetahui bahwa engkau mengambil kitab pusaka mereka, engkau tentu akan dimusuhi dan.... wah, berat sekali kalau harus bermusuhan dengan sebuah partai persilatan sebesar Kun-lun-pai yang mempunyai banyak sekali orang-orang sakti!"

"Aku pasti akan mengembalikannya kelak, suhu. Sekarang, ajarilah aku!" .

Setelah menyimpan buntalan pakaiannya dalam kamar, mulailah Bi Lan dilatih oleh Jit Kong Lama menurut kitab itu. Mula-mula dia memberi petunjuk seperti yang tertulis di halaman pertama.

"Kitab ini mengandung ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat atau singkatnya Ilmu Silat Berantai Lima Unsur utama, yaitu, air, api, logam dan kayu. Lima unsur inl mempunyai hubungan erat satu sama lain dan hubungan ini mengatur keseimbangan. Tanah mengalahkan air, air mengalahkan api, api mengalahkan logam, logam mengalahkan kayu dan kayu mengalahkah tanah. Juga kebalikannya, mereka saling menunjang. Kelimanya saling melengkapi sehingga mengatur keseimbangan dan kesempurnaan keadaan di bumi. Tanah berkedudukan di tengah, logam di utara, kayu di selatan, air di bawah dan api di timur. Tubuh kita merupakan alam kecil yang juga terikat pada hukum gerakan kelima unsur itu" Demikianlah, semalam suntuk Jit Kong Lama menjelaskan tentang Ngo-heng (Lima Unsur Pokok) kepada muridnya. Kemudian pada hari-hari selanjutnya dia mulai membimbing Bi Lan berlatih ilinu silat yang luar biasa dan yang menjadi pusaka perguruan Kun-lun-pai. Pada waktu itu, jarang ada murid Kun-lun-pai yang mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat karena kitab itu telah hilang seratus tahun lebih. yang lalu. Bahkan ketua Kun-lun-pai saat itu, Kui Beng Thaisu yang berusia tujuh puluh tahun, hanya menguasai tidak lebih dari tujuh bagian saja dari ilmu itu.

Demikianlah dengan amat tekun dan tldak mengenal lelah Bi Lan mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka itu. Saking tekunnya, setiap hari ia berlatih tanpa mengenal waktu sehingga waktu meluncur dengan cepat tanpa ia sadari dan tahu-tahu setahun sudah berlalu sejak ia mempelajari ilmu silat itu. Setelah setahun berlatih keras, barulah. Ia berhasil menguasal. seluruh ilmu silat itu.

Pagi hari itu Jlt Kong Lama sudah bangun dan mandi sehingga dia tampak segar. Namun ada sesuatu dalam sinar matanya yang mengandung kemuraman. Wajah bulat gemuk yang biasanya selalu dihias senyum itu pagi ini tampak lesu. Dia duduk menanti Bi Lan yang pagi-pagi sekali tadi sudah mandi dan sekarang sedang sibuk di bagian belakang pondok kayu itu menyiapkan minuman pagi untuknya. Akhirnya Bi Lan memasuki ruangan depan dan meletakkan sebuah poci air teh dan cawannya ke atas meja sambil berkata,

"Minumlah, suhu, selagi air teh ini masih panas." Dara itu kemndian hendak kembali ke belakang.

"Bi Lan, duduklah, aku ingin bicara denganmu." kata jit Kong Lama.

Bi Lan menahan langkahnya, lalu kembali dan duduk di seberang meja. la memandang wajah gurunya dan baru melihat wajah yang muram dan kehilangan kecerahannya itu.

"Eh? Ada apakah, suhu? Suhu tampaknya sedang memikirkan sesuatu dan merasa tidak gembira." tegurnya.

"Bi Lan, engkau telah berhasil menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, rnaka stidah sepahtasnya dan tiba saatnya bagimu untuk mengemballkan kitab pusaka itu kepada Kun-lun-pai."

"Ah, tentu saja, suhu! Memang akupun sedang memikirkan hal itu dan besok atau lusa aku akan mengembalikarinya ke sana. Akan tetapi hal itu tidak perlu disedihkan, bukan? Kitab pusaka itu memang hak milik mereka dan akukan sudah menguasai seluruhnya?"

"Aku tidak menyedihkan hal itu, Bi Lan, Akan tietapi tahukah engkau babwa engkau sudah sebelas tahun mempelajari ilmu dariku?"

Bi Lan mengangguk.

"Aku tahu, suhu. Setahun yang lalu, ketika aku belum menemukan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, aku sudah sepuluh tahun berada di sini bersamamu dan sudah selesai belajar."

"Kau tahu apa artinya itu? Apakah engkau lupa akan janjiku kepadamu dulu?"

"Aku tidak lupa, suhu. Suhu akan mengajarku selama sepuluh tahun. Karena itulah, setahun yang lalu aku sengaja turun dari sini dan selama tiga hari bermain-main di sekitar Kun-lun-san. Kemudian aku mendapatkan kitab itu dan ingin sekali mempelajarinya sehingga aku tinggal setahun lagi di sini. Berarti aku sudah sebelas tahun tinggal bersama suhu. Aku tahu bahwa sudah tiba saatnya aku harus turun gunung, mencari orang tuaku, membalaskan kematian Nenek Lu-ma yang dibunuh oleh tokoh Uigur yang bernama Ouw Kan seperti yang suhu pernah ceritakan, dan juga tidak lupa mencari musuh suhu yang bernama Tiong Lee Cin-jin untuk membunuhnya. Akan tetapi, mengingat bahwa suhu sekarang telah begini tua, bagaimana aku tega untuk meninggalkanmu hidup seorang diri disini?"

Wajah yang bulat itu kini berseri kembali, mulutnya tersenyum dan Jit Kong Lama menjulurkan kedua tangannya di atas meja, menangkap tangan Bi Lan dan menggenggamnya.

"Terima kasih, Bi Lan. Tidak percuma aku dahulu menyelamatkanmu, tidak sia-sia aku mendidikmu selama sebelas tahun. Aku telah mendapatkan hadiah yang teramat besar dan tak ternilai harganya, hadiah yang mendatangkan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan selama, hidupku, yaitu kasih sayangmu, Bl Lan. Selama ini engkau menyayangku seperti ayahmu sendiri, memasak, mencuci pakaian untukku. Engkau begitu manis, seperti matahari dalam hidupku. Ah, terima kasih Bi Lan." Sepasang mata kakek itu menjadi basah.

Bi Lan tersenyum.

"Aih, suhu ini, ada-ada saja! Sudah tentu saja aku sayang kepada suhu! Suhu bukan hanya menjadi guruku, juga menjadi pengganti orang tuaku, suhu mendidikku dengan penuh kasih sayang, tentu saja aku sayang kepada suhu. Karena itu pula aku tidak tega meninggalkanmu, suhu."

"Tidak, Bi Lan. Aku selama sebelas tahun ini juga belajar dengan tekun, belajar untuk menguasai nafsu-nafsu keinginanku sendiri, keinginan yang mengejar kesenangan hati bagiku sendiri. Nafsu keinginan untuk menang sendiri inilah yang dulu menyeretku ke dalam kesesatan sehingga terpaksa aku harus meninggalkan Tibet. Dan sekarang aku juga telah tamat belajar seperti engkau, Bi Lan. Aku menemukan jawabannya bahwa hanya dengan kasih sayang murni terhadap segala sesuatu yang tampak dalam dunia ini, terutama terhadap sesama manusia, maka aku akan mampu menundukkan nafsu-nafsuku sendiri. Dengan mengesampingkan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan orang lain, maka nafsu dalam diriku akan menjadi jinak.

Aku tidak mau menuruti keinginan hati sendiri dengan menahanmu di sampingku. Tidak, engkau harus turun gunung engkau harus mencari orang tuamu dan menentang si jahat Ouw Kan. Dan engkau tidak perlu lagi mencari Tiong Lee Cin-jin karena akulah yang bersalah terhadap dia. Pergilah, Bi Lan, pergilah tinggalkan aku dan doa restuku selalu menyertaimu." Kakek itu melambaikan tangan ke arah luar pintu pondok.

"Akan tetapi, bagaimana aku akan tega meninggalkanmu seorang diri di sini, suhu? Suhu sudah tua, siapa yang akan membuatkan air teh? Siapa yang akan memasakkan makanan? Siapa yang akan mencucikan pakaian suhu dan siapa yang akan merawat dan membersihkan isi rumah dan halaman?"

Kakek itu tersenyum.

"Jangan khawatir, aku dapat melakukannya sendiri. Dahulu, sebelum engkau menjadi muridku, akupun hidup seorang diri."

"Akan tetapi suhu sekarang sudah tua sekali. Ah, begini saja baiknya, suhu.. Mari suhu ikut bersama aku pergi ke Lin-an. Di kota raja itu orang tuaku memiliki rumah yang cukup besar. Suhu dapat tinggal bersama kami di sana!"

Jit Kong Lama menggeleng kepala sambil tersenyum.

"Tidak, Bi Lan. Aku harus kembali ke tempat asalku."

"Apa? Ke Tibet? Akan tetapi suhu akan dimusuhi di sana!" kata Bi Lan yang sudah pernah mendengar cerita gurunya bahwa gurunya seorang pelarian dari Tibet.

Jit Kong Hwesio tersenyum lebar.

"Sekarang aku mengerti bahwa aku tidak akan dapat melarikan diri dari jangkauan karma. Aku tahu bagaimana untuk menghadapi para pendeta Lama di Tibet, yaitu dengan kasih sayang! Aku sudah tua, kalau mereka ingin membunuhku, silakan. Akan tetapi aku tetap akan menghidupkan kasih sayang di dalam hatiku. Sudahlah, Bi Lan. Keputusanku sudah tetap. Engkau harus turun gunung dan jangan meinikirkan aku lagi. Tugasmu di masa depan masih banyak sekali dan jauh lebih penting daripada memikirkan tentang diriku."

Bl Lan tidak dapat membantah lagi. la lalu membungkus semua pakalannya dalam sebuah buntalan. la tidak membawa senjata karena memang tidak memiliki senjata. Gurunya mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga benda apapun di tangannya dapat dipergunakannya sebagai senjata, terutama sekali sepotong kayu yang menjadi senjata tongkat. Setelah siap berkemas, ia menghampiri gurunya. Mereka berdirl berhadapan di depan pintu pondok karena kakek itu mengantar muridnya sampai di depan pintu. Mereka saling berhadapan.

Bi Lan memandang wajah yang bulat dan yang tersenyum itu, namun ia melihat mata Itu demikian sayu.

"Selamat tinggal, suhu." katanya lirih.

"Selamat jalan, Bi Lan. Semoga hidupmu selalu bahagia, muridku.... anakku...." Bi Lan mengeraskan hatinya namun tidak dapat menahan keharuan hatinya.

"Suhu....!" la berseru dan merangkul kakek itu. Jit Kong Lairta juga merangkul Bi Lan dan mengelus kepala gadis itu dengan tangannya.

"Berangkatlah, anakku, jangan memperlihatkan kelemahan hati seperti ini." katanya menghibur. Bi Lan menangis sejenak, terisak di dada gurunya. Kemudian ia menguatkan hatinya dan tiba-tiba ia teringat betapa selama ini ia bersikap akrab dan tidak menghomati gurunya, maka ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.

"Suhu...." ia merangkul kedua kaki gurunya.

Jit Kong Lama mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata , dari pelupuk matanya. Kemudian dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu dan menariknya berdiri. Kakek Itu menepuk-nepuk pundak Bi Lan dan tersenyum lebar.

"Aih, engkau membikin aku malu saja mempunyal murid yang cengeng! Hei Bi Lan, sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, mengapa tidak tertawa saja daripada menangis? Tertawa lebih enak dilihat dan didengar, ha-ha-ha-ha"

Bi Lan segera tersenyum. Biasanya, setiap hari, gurunya ini memang selalu berkelakar dan tertawa. Kedua orang Itu tertawa dan aneh sekall melihat mereka tertawa dengan kedua mata basah.

"Selamat tinggal, suhu, selamat berpisah. Aku sayang kepadamu, suhu!"

"Selamat jalan, selamat berpisah. akupun sayang kepadamu, Bi Lan!"

Bi Lan lalu melompat pergi. Pada sebuah tikungan, ia menoleh dan melambaikan tangan dibalas oleh gurunya vang masih tertawa!

Setelah Bi Lan pergi meninggalkahi pondok kayu di sebuah di antara puncak-puncak Kun-lun-san, Jit Kong Lama juga meninggalkan pondok itu. Kakek ini tidak membawa apa-apa kecuali tongkat panjang berkepala naga. Dia menurunt puncak dan menuju ke barat karersa dia inengambil keputusan untuk kembali ke Tibet, siap menyambut apapun yang akan menimpa dirinya.

Pada sore harinya setelah Jit Kong Lama pergi, muncul seorang laki-lakl berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkepala gundul dan memakai peci kuning, berjubah pendeta Lama dan membawa sebatang pedang di pungungnya. Pendeta Lama ini bertubuh kekar, wajahnya penuhbrewokj ,dan matanya menyeramkan, mencorong seperti mata harimau. Mulut dan matanya menibayahgkan keke-rasan hati. Dia menendang daun pintu pondok sampai jebol, lalu masuk dan memeriksa ke dalam pondok itu. Tak lama kemudian dia keluar lagi, bersungut-sungut karena tidak menemukan seorangpun di sana. Dia lalu mengamuk. Kedua kakinya menendangi pondok kayu itu. Terdengar suara hiruk pikuk dan pondok kayu itupun ambruk. Tihang-tihang kayunya patah-patah. Atapnya ambruk dan rata dengan tanah. Setelah melampias-kan kemarahannya kepada pondok kosong itu, diapun segera memutar tubuh me-ninggalkan pondok lalu menggunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke markas. Kun-lun-pai.

Sementara itu" menjelarig tengah hari, para murld Kun-lun-pai laki maupun wanita, sedang sibuk bekerja. Ada yang bekerja dalam kompleks perkampungan Kun-lun-pai, ada pula yang bekerja di ladang. Seperti biasa, lima orang murid laki-laki duduk di gardu penjagaan di pintu gerbang Kun-lun-pai.

Kasih Diantara Remaja Eps 21 Kisah Sepasang Naga Eps 10 Kisah Sepasang Naga Eps 2

Cari Blog Ini