Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 9


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




Pelayan Itu memandang bodoh.

""Wah, pesanan nona terlalu mewah. Mana di dusun ada udang dah keplting? Ikan slrlp kunlngpun tidak ada, yang ada hanya ikan lee-hl biasa. Burung dara juga tldak ada, adanya ayam atau bebek."

"Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala macam masakan yang ada di sini! Ikan lee-hi, ayam dan bebek, apa saja. Cepat!"

"Baik, nona." Pelayan itu cepat mengundurkan dirl untuk menyampaikan pesan itu kepada tukang masak.

Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian berkata,

"Mari, nona, Silakan makan, selagi sayurnya masih panas."

"Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan saja sambil menunggu masakan lain yang kupesan."

"Bagiku ini saja sudah cukup." katag Thian Liong sambil mengambil sepasang sumpit bambu yang disediakan di atas meja. Gadis itupun memilih sepasang sumpit dengan hati-hati, mencari yang bersih, kemudian dia berkata.

"Tapi aku sudah memesan masakan-masakan laln untuk kita berdua!"

Thlan Llong tldak menjawab, akan tetapl diam-diam dla merasa tldak enak juga kalau tldak ikut makan begltu banyak maaakan yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar jangan mengecewakan hati gadis itu yang agaknya hendak menjamunya, diapun makan perlahan dan sedikit-sedikit untuk menanti masakan-masakan baru yang dipesan. Gadis itu minum anggur dengan lahap, menuangkan anggur ke dalam cawannya dan minum minuman keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali ia menawarkan kepada Thian Liong, namun pemuda itu selalu menolak. dengan lembut dan mengucapkan terima kasih. Bau anggur yang harum sedap itu memang merangsang seleranya, akan tetapi dla tidak mau mencoba-coba. Gurunya, Tiong Lee Cln-jin, pernah mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena dapat membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tiba-tiba gadls itu berkata.

"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja peminumnya mengenal batas kekuatannya. Kalau melampauhi batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan semua obat yang menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu banyak dimlnum dapat menjadl racun yang membahayakan kesehatan!"

Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu mempersilakan Thian Liong makan masakan baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi semakin akrab dan hangat,

la kembali niinum anggur dari cawannya sambil menatap wajah pemuda yang duduk di depannya. Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai saputangan.

"Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan bersama di satu meja, dan kita belum mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh sekali? Kalau ada orang melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling mengenal, pasti dia tidak percaya!"

Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya lalu minum air tehnya dan mengusap bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Dla maklum akan apa yang terkandung dalam ucapan gadis itu, maka dia lalu memperkenalkan namanya.

"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu yang sedang mengembara."

"Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah orangnya! Engkau tentu lebih tua beberapa tahun dari aku, maka aku akan menyebutmu Llong-ko (ka-kak Liong). Engkau tidak berkeberatan, bukan?"

Thian Liong tersenyum.

"tentu saja tldak."

"Engkau datang darl mana, Liong-ko? Dl mana tempat tlnggalmu dan kalau engkau yatlm piatu, siapa saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak, bukan? Dan sekarang hendak pergi ke mana?"

Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum. Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang dijumpatnya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa" kaian serba merah muda itu galaknya bukan alang kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau dengan setangkai bunga mawar di kepalanya inl tampaknya leblh ramah dan tldak galak.

"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hldup sebatang kara, tentu saja belum mempunyai isteri atau anak. Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyal tempat tinggal yang tetap. Dunta inl tempat tlnggalku, langit atap rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana aku datang dan ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah datang dari belakang dan hendak pergi ke depan."

"Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal sarang, ular mempunyal lubang, harlmau mempunyal guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia tidak? Dan hari inl engkau berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu mempunyai tuuan hendak ke mana?"

Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah mengambil kitab pusaka milik Kun-lun-pal. Dia harus berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diam-diam gadis ini berniat untuk merampas dua buah kitab yang masih berada dalam kantung emas yang tergantung di pinggangnya. Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.

"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku dengan pertanyaan dan aku memperkenalkan diriku. Akan tetapi engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga namamupun aku belum tahu."

"Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku? Aku bernama Thio Siang In dan karena aku menyebutmu Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik ln)."

"Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!" Thian Liong sengaja membalas, untuk menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan per" hatian agar gadis itu tidak banyak ber-tanya tentang dirinya.

Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam.

"Ah, kiranya engkau seorang yang pandai pula merayu, Liong-ko."

"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana tempat tinggalmu dan siapa keluargamu? Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu."

"Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?"

"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat?"

"Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun.... dan engkau ..."

"Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian Liong.

"Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Sln-klang. Bersama Ibu kandungku, seorang puterl Kepala Suku Ul-gur. Ayahku.... ayahku.... entahlah, kata Ibu ayahku telah lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah, heran sekali!" Tlba-tiba gadls Itu bangkit berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata terbelalak.

"He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.

"Heran sekall! Kenapa beginl aneh? Ibu memesan agar aku merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi tiba-tiba saja aku menceritakannyai kepadamu!"

"Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun juga, aku tidak suka mendengar seorang suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam kandungan!"

"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati."

"Eh! Kenapa begitu?"

Siang In menghela napas panjang dan 'memandang wajah Thian Liong dengan heran.

"Sungguh mati, tak tahu aku mengapa aku harus menceritakan semua rahasia ini kepadamu yang baru saja kukenal? Liong-ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa Ulgur den ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal dengan Ibuku dan aku menjadi murid dari paman tua (uwa), kakak ibu sendirl. Akan tetapi biarpun aku maslh mempunyai seorang ibu pada saat inl aku juga sebatang kara karena aku sudah pergi merantau meninggalkan kampung halam-an di Sin-kiang setahun yang lalu. Jadi, kita ini ada persamaan, sama-sama perantau, beratap langit berlantai bumi." Gadi ini tertawa lepas dan mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar terbuka dan mengandung getaran gembira seperti itu amat menular!

Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong dapat melihat dengan jelas bahwa benda berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin benar bahwa benda yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak mengarah tubuh mereka, melainkan menuju ke arah meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan sepasang sumpit di tangan kanannya untuk menjepit pisau terbang itu! Gerakannya demikian cepat sehingga Thian Liong merasa kagum bukan main. Gadis peranakan Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap pisau terbang itu hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya.

Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu dengan gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika ia menggerakkan tangan kiri.

"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur ke atas dan menancap di tiang kayu, tepat mengenai perut sebuah cecak yang sedang merayap di Uang itu. Tubuh cecak itu terpaku pada tiang!

Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan terpantek pada tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa ngeri dan betapa kejamnya gadis cantik ini mem-bunuh seekor cecak yang tidak bersalah apa-apa.

Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang kepada Siang In gadis itu tampak terseyuffl Jnepgejek dan melempapkan kertas itu ke atas meja.

'Hemm, orang-orang Bu-tong-pai som-bong! Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sin-kiam mereka?" Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu, Siang In berkata.

"Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau boleh ikut dan menjadi saksiku."

Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak akan berani membaca surat yang dikirim secara isti-mewa itu, tidak mau mencampuri urus-an prbadi orang kalau saJ'a gadis itu ti-dak menyuruhnya membaca. Dia mengam-bil kertas putih itu dan membaca tulisan yang bergaya gagah itu. Dia dapat men-duga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga dalamnya melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat kuat, coretan-coretan itu tajam dan run-cing sehingga tarnpak indah dan gagah.

Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan di tempat umum. Kalau engkau berani, datanglah besok pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu kepandaian. Kalau engkau tidak datang, berarti engkau hanya seorang pengecut!

Bu-tong-pai

Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah Slang !n dan bertanya,

"In-moi, siapakah itu Ang-hwa Sian-li?"

Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk menyentuh bunga mawar merah di kepalanya. Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa Siang In mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu cantik jelita seperti gambar dewi dan agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar merah.

"Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka orang-orang yang pernah berurusan denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li."

Thian Liong mengambil kesimpulan.

"In-moi, kalau orang-orang menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu tentu karena engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menolong orang. Sebutan Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau orang suka melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau Silu-man."

Gadis itu tersenyum.

"Terima kasih kalau engkau berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah aku ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas membutuhkan pertolongan, tentu aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada orang mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain, pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan untuk membunuh dan inem-basmi mereka!"

Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah seorarig ga-dis yang berwatak pendekar.

"Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu? Menurut apa yang kudengar, Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal engkau sendiri, menurut perkiraanku, adalah seorang pendekar wanita."

"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan dan akupun tidak perduli apakah Bu-tong-pai itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada orang-orang Bu-tong-pai yang sombong dan karenanya aku menentang mereka. Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini. Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya yang diisli penuh anggur lalu meminumnya.

Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar dan ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat akan slkap Biauw In Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kun-lun-pal, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah perguruan silat kaum pendekar Karena itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata Biauw In Suthai juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan main.

"In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang telah terjadi?"

Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke atas meja. Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa minuman itu telah mulai mempengaruhinya.

"Sungguh aku merasa heran sekali, mengapa terhadapmu aku seakan tidak dapat meraha-siakan sesuatu. Aku bahkan ingin menceritakan segalanya kepadamu. Terjadinya siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu menceritakan pengalamannya.

Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san, Telah setahun lebih ia meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Karena kelihaiannya, sepak terjangnya menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan segera orang-orang yang tidak pernah mendengar ia memperkenalkan nama, memberi julukan Ang-hwa Sian-li kepadanya kare-na gadis jelita dan gagah perkasa ini selalu memakai setangkai bunga merah pa-da rambutnya. Setelah mendengar julukan ini, Siang In menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa Sian-li!

Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah dusun, ia melihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta ampun kepada dua orang pemuda yang berusia kurang leblh dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.

"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan saya....! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa.... saya harus membeayai, anak yang sedang sakit parah...."

"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.

"Aduh"" ampun....,- biarlah saya kem-ballkan semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa buah benda terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alat-alat sembahyang.

"Saya kembalikan semua inidan ampunilah saya...." kembali orang itu berlutut, merintih dan mulutnya mengeluarkan darah.

Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk! Tidak mengenal budi! betelah bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri dan mencoba minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!" Dia sudah mengangkat tangan kanannya untuk memukul.

Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring,

"Tahan! Jangan pukull"

Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar tubuhnya. Demi-kian pula pemuda tinggi besar itu juga menoleh. Keduanya memandang dan ter-cengang melihat seorang gadis cantik sekali berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita, maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpe-sona dan sikap mereka berubah sama se-kali. Kalau tadi mereka kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan menghampiri Siang In.

Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda yang menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus.

"Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang dan berpakaian seperti pendekar! Akan tetapi yang kuli-hat ternyata kalian hanya orang-orang yang suka mempergunakan kekuatan un-tuk menindas dan menghina yang lemah!"

Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan depan dada memberi hormat, diturut oleh pemuda tinggi kurus.

"Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua adalah pendekar-pendekar yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah seorang maling jahat, seorang yang tidak mengenal budi. Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia minggat dan membawa lari alat-alat sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu, kami menghajarnya!"

Siang In mencibirkan bibirnya yang merah.

"Huh, pendekar macam apa itu? Memukuli orang yang lemah! Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa, karena ingin membeayai pengobatan anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar, kalian menolongnya, bukan memukulinya. Tak tahu malu!"

"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes.

"Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai'"

"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid perguruan apapun juga. Kalau jahat dan sewenang-wenang tentu akan kutentang!"

"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?" tanya yang tinggi besar, mulai marah. Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai Bu-tong-pai dan kekagumannya akan kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh kemarahan.

"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat yang sewenang-wenangl Aku pasti membelanya dan menentang kalian!"

"Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?" bentak yang tmggi kurus.

Siang In terseyum mengejek.

"Orang menyebutku Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini, tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!"

"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu, engkau mau apa?" bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan dan tal! ngannya terayun memukul ke arah tukang kebun itu.

"Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan yang mungil berkulit halus dari gadis itu ternyata mengandung tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda tinggi kurus merasa tulang lengannya seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia menj'adi marah.

"Berani engkau melawan aku'?" "Kenapa tidak?" Siang In mengejek.

"Biar ada sepuluh orang macaniengkau, aku tidak akan takut!"

"Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main keroyok! Sambut seranganku!" Pemuda tinggi kurus itu membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, susul menyusul, yang klri menyambar ke pelipis kanan Siang In dan yang kanan menonjok ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat dan mendatangkan angin pukulan kuat.

Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan lawan itu. Dengan tangan kirinya dia menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas dengan jari terbuka, menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan tebasan dari bawah ke arah pergelangan tangan. Pemuda itu terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja, dan kini lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkar terancam tebasan tangan lawan. Cepat dia menarik kembali tangan kirinya dan kaki kanarinya menendang. Kaki itu dengan kecepatan kilat mencuat ke arah dada Siang In. Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan ketika kaki menyambar lewat, didorongnya tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu sehingga pemuda itu tidak mampu menahan. dirlnya. Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah tenaga dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Setelah dua kali lengannya tertangkis sehingga terasa nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh terbanting, pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya bahwa gadis cantlk Itu llhal bukan main. Temannya, pemuda tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka diapun melompat ke depan dana berseru kepada pemuda tinggi kurus.

"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang menghadapi perempuan sombong ini!" Melihat suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur.

Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata,

"Nona, suteku telah kalah bertanding tangan kosong denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu ilmu pedang, tentu saja kalau engkau berani."

Siang In mencibirkan bibirnya.

"Bocah Bu-tong-pai sombongl Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pal terkenal dengan ilmu pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan tetapi aku tidak takut'" Setelah berkata demikian, dua tangan gadis Itu bergerak ke arah belakang punggung dan tampak dua sinar pedang berkelebat ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang pedang itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika dicabutnya terdengar bunyi berdesing nyaring.

Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang pedang) di kedua tangannya, pemuda tlnggl besar itu membentak,

"Sambut pedangku!" dan dia sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat, Slang In menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya itu.

"Crlnggg....!" Tampak bunga api berpijar dan pemuda itu segera memutar pedangnya untuk mendesak lawan dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah menjadl slnar bergulung gulung. Akan tetapl dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan Itu dengan gerakan kedua pedangnya yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat menghadang dan menangkis semua serangan lawan. Gadis itu telah memainkan Toat-beng Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambar-nyambar. Melihat ini, pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat memutar pedang melindungl dlrlnya dan tldak mampu balas menyerang.

"Haiiiittt....!l" Tiba-tiba gadis membentak, dua lingkaran slnar pedangnya itu membuat gerakan mengguntlng.
"Tranggg.... trakkkl" Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main karena pedangnya telah digunting oleh sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa kagetnya, kaki Siang In mencuat dan menendang dadanya.

"Dess...l" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh!

Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl dan mereka memandang gadls itu dengan sinar mata marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan sekall dua tangannya bergerak ke belakang punggung, sepasang pedangnya sudah tersimpan kemball.

"Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?" ia mengejek.

"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk mempelajari Thai-kek Sin-kiam. Tunggu sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua kesombonganmu akan terhapus!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu menarik tangan sutenya dan diajak pergl.

Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tong-pai itu lalu menghamplrl Siang In dan memberl hormat.

"Terima kaslh atas pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa Sian-Li takkan saya lupakan selamanya. Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl menyadarl bahwa sebetulnya saya tldak perlu mencurl. Kalau saya berterus terang mlnta bantuan, tentu para plmpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya harus mengembalikan semua Ini kepada BU-tong-pai!" Setelah berkata demikian, orang itu membungkus kembali barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan Siang In.

"Tunggu dulu, paman!"' Siang In ambil sepotong emas dari kantung uangnya dan memberikan kepada orang itu.

"Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan anakmu."

Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang kall dia memberl hormat dan membungkuk-bung-kuk.

"Terima kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla pergl untuk mengembalikan barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.

Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir darl gucinya yang kinl telah kosong.

"Demlklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini, kebetulan bertemu denganmu dan tadl tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau Itu."

Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia dapat menarlk kesimpulan bahwa dua orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap mereka terhadap tukang kebun yang mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia khawatir kalau kesalah-pahaman inl menjadi permusuhan yang meruncing, maka dia lalu berkata,

"In-moi, kukira semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja. Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan sekecil itu tldak semestlnya kalau dijadikan sebab permusuhan antara engkau dengan mereka. Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk menemul para plmplnan Bu-tong-pai, maka biarlah besok pagl aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk mendamaikan kallan."

"Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut melawan mereka!" kata Slang In penasaran.

"Kalau engkau mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka menglra bahwa aku takut!"

Thlan Liong tersenyum.

"Tldak, In-moi. Aku tldak akan mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut."

"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln berlstlrahat, ingin mandl yang segar kemudian tidur yang nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagalmana besok sajalah. la menggapal pelayan.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"In-mol, blarkan aku yang membayarnya." kata Thian Liong.

"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka harus aku yang membayarnya."

Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan mlnuman, lalu mereka masuk ke dalam dan menuju ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan termenung. Dalam waktu singkat, secara berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita yang terlibat urusan dengan dirinya. Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan serius dengan tiga orang wanita! Pertama, dengan gadis berpakalan merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu, gadis yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak dia ketahui namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan jawabnya terhadap Kun-lun-pai. Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang kemudian melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita itu, Kim Lan diharuskan menjadi isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya! Dan ketiga, pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak Bu-tong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja! Alangkah anehnya semua pengalaman Itu.

Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi. Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia khawatir kalau-kalau terjadl sesuatu yang tidak baik atas dlrl gadls yang tidur dl kamar sebelah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka pintu kamarnya. Dia melihat Siang In sudah bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia mehhat gadis itu duduk di atas bangku depan kamar dan ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar pakaian, rambutnya disisir rapi dan setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya. Bunga itu baru mekar setengahnya dan masih segar sekali, tampaknya baru saja dipetiknya.

la mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Baru bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku menantimu untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur ayam panas dan lezat!"

Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang, bahkan santai saja seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita, Padahal ia menghadapi tantangan yang berat dari Bu-tong-pai! Dla mengangguk lalu pergi ke kamar mandi membawa pakaian pehgganti.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam ruangan depan." yang biasanya dipergunakan untuk nnpah makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan bagian depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya rnereka berdua ,yang duduk di situ dan pelayan tua yang tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur setelah menghidangkan ma-kanan itu di atas meja mereka. Mereka berdua makan tanpa banyak cakap.

Sehabis makan, baru Siang In berkata.

"Nah, sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi ikut?" Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong hendak menemaninya ataukah tidak,

"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun pagi ini aku harus berkunjung ke Bu-tong-pai untuk sebuah urusan penting."

"Urusan penting?" Siang In mengamatl wajah pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata,

"Sudahlahl Kalau itu merupakan rahasia tidak perlu diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"

Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa semua barangnya, dimasukkan dalam buntalan pakaian lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk membayar harga bubur dan sewa kamar mereka. Thian Liong tidak dapat membantah. Mereka lalu meninggalkan dusun itu, menuju ke Bukit Cemara yahg sudah tampak dari luar dusun itu, di sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang sunyi. Bukit itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.

Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara, tampak dua orang pemuda, seorang tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang pemuda itu, Siang In cepat menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia tertawa mengejek

"Kallan berdua masih berani muncul? Apakah kalian yang hendak maju menandinigi aku, dan sekarang kalian hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun selama sepuluh tahun lagi baru agak pantas untuk menandingiku!" Thian Liong mengerutkan alisnya. Siang In terlalu memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat tidak baik.

Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus.

"Perempuan sombong! Kami bukan golongan pengecut yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam dari perguruan kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang telah mem-pelajari ilmu pedang itu untuk menghadapimu." Pemuda Itu lalu memutar tubuhnya dan berseru nyaring.

"Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sinl. Gadis sombong itu telah datang!"

Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang leblh enam puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih hitam, akan tetapi rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakalannya darl kain katun sederhana seperti pakaian pertapa. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce kuning. Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong maklum bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan tentu orang ini lihai sekali. Tubuhnya sedang namun tegap dan wajah yang berbentuk persegi dengan jenggot panjang itu juga tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum dan memandang ringan.

"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan yang memandang rendah ilmu pedang Thal-kek Sln-klam kaml?" Orang berambut dan berpakalan serba putih itu bertanya, sikapnya tenang dan agaknya dia seorang penyabar.

"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan engkau inl slapakah? Apakah engkau ketua Bu-tong-pai dan siapa namamu?" tanya Siang In, slkapnya blasa saja seolah ia berhadapan dan bicara dengan .orang seusia dan setingkat dengan nya.

"Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan mendamalkan.

"Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan engkau mencampuri. Setelah aku aelesai, baru engkau boleh berurusan dengan mereka!" Siang In berseru keras sehingga kata-kata Thian Liong terpotong.

"Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Bu-tong-pai itu dengan senyum sabar.

"Aku bukan Ketua Bu-tong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru berhasil menguasai ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam sepertiga baglan saja, akan tetapi aku ingin mencoba kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid keponakanku ini hebat sekali." Setelah berkata demikian, Pek Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut. Dia berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang menempel pundak kirinya. Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng menurunkan kedua tangan kakl kiri melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan jari tangan kanan menunjuk ke depan. Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sian-jin Ci-lu (Dewa Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke kanan pienghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu kaki kilri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap dikembangkan.

"Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang pedangmut" kata Pek Mau San-jin tenang.

Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum mengejek. Kedua tangannya meraih ke belakang dan tampak dua sinar kllat ketlka siang-kiam (sepasang pedang) itu telah berada dl kedua tangannya. la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki menyilang, pedang kiri diangkat ke atas belakang kepala, pedang kanan mellntang depan dada. Slkapnya gagah dan indah.

Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San jlnl" Slang In menantang,

"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!" kata Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri, kedua tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah berpindah ke tangan kanan. Thian Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia merasa kagum. Biarpun gerakan pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu dennkian lembut dan lentur, sambung menyambung seperti gelombang lautan, isi mengisi dan dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar berhadapan dengan seorang ahli silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya gadis itu tidak mengetahui akan hal itu sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu pedang yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja sudah mampu bergerak seperti itu, apalagi yang telah menguasai sepenuhnya!

"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In membentak dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu agaknya telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang membuat dia heran, kagum dan terkejut adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua serangan gadis itu. Tosu itu bergerak begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah terpejam, namun gerakan pedangnya itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga semua serangan sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu itu seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh pikiran, seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti memillki mata di mana-mana. Gerakan-nyapun sambung-menyambung dengan lembut dan lenturnya. seperti orang menari saja, menari di angkasa, di antara awan. tampaknya sama sekali tidak mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah -gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu seperti bersilat dalam keadaan samadhi, atau bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh kekuasaan gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.

Thian Liong mengikuti seiriua gerakan perkelahian itu dengan seksama. Pertandingan yang hebat dan seru. Gadis itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai sekall, berbahaya dan ganas sehingga setlap sambaran pedangnya merupakan cengkeraman maut. Dan tosu Itu ternyata tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya menguasai sepertlga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam. Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam, akan tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak banyak itu dia sudah mampu menahan semua serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti gelombang lautan, begitu lentur lembut dan otomatis seolah tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat lima puluh jurus, Siang In mulai berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh lebih tua itu masih bergerak dengan tenang seperti pada permulaannya.

Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia lapat membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kajau sampai kalah. Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu nyawa!

Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang tergantung dl gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Mong yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah sinar-sinar hitam itu.

Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis merribuang diri ke belakang. Narnun, dia akan tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin yang kuat dari samping yang meruntuhkan semua jarum halus itu. Thian Liong yang telah menyelamatkan tOsu itu segera melompat di tengah, antara niereka dan berseru nyaring dan penuh wibawa,

"Tahan, hentikan perkelahian!"

Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat sehinga Siang In yang biasanya keras hati dan tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana, menghentikan gerakannya dan bahkan mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek Mau San-jin yang maklum bahwa hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat ke belakang.

Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau San-jin, lalu memberl hormat dan berkata,

"Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini? Saya klra di antara Bu-tong-pai dan Ang-hwa Sian-li hanya terdapat kesalah-pahaman belaka."

Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak mcngenal pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda itu muncul bersama Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga.

"Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sian-li?"

"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk menghadap Ketua Bu-tong-pai untuk urusan yang amat penting."

"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"

Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan gurunya.

"Suhu adalah Tiong Lee Cln-jin...."

"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal itu? Kenapa tldak kau katakan kepadaku?" seru Siang In dengan heran. Dalarn perantauannya yang baru setahun itu, sejak dari Sin-kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin yang disebut-sebut sebagai seorang yang sakti dan bijaksana, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia dewa!

Juga Pek Mau San-jin terbelalak.

"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu patut didengar, Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Ang-hwa Slan-li hanya terjadi kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam kami."

"Siapa bilang aku memandang rendah? Mellhatpun baru sekarang ketika engkau memalnkannya. Bagaimana aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah kulihat? Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru menguasai sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai-kek Sin-kiam memang hebat seperti yang pernah kudengar." kata Siang In. Pek Mau San-jin menoleh ke arah dua orang murid keponakannya yang berdiri sambil menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang kepada Siang In dan berkata,

"Akan tetapi engkau telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"

Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau San-jin.

"Hei, Pek San-jin, jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya fitnah, tahu?"

Thian Liong berkata kepada tosu itu.

"Ang-hwa Sian-li berkata benar, totiang. la tidak menantang, melainkan dltantang. Inllah buktinya." Setelah berkata demikian, Thlan Llong mengeluarkan pisau terbang dan surat tantangan Itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin. Siang In sendiri memandang heran, tldak tahu bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan pisau yang sudah ia buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu saja. Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya, dan sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!

Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut dan dia lalu memutar tubuh menghadapi dua orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya.

"Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya. Suaranya masih lembut akan tetapi sekarang mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka pucat dan mereka rnenundukkan muka.

Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong, lalu berkata,

"Maafkan pinto yang mudah terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan dua orang murid keponakan kaml Inl."

Siang In tersenyum mengejek.

"Cerita mereka tentu lain lagi Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin. Ketika aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua orang ini. Aku lalu maju melerainya, akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela pencuri. Aku bukan membela pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orang-orang yang mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan aku mengalahkan mereka berdua. Tukang kebun yang mencuri barang-barang perak untuk membiayai anaknya yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan berjanji hendak mengembalikan barang-barangnya yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml di dusun sebelah selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang melempar pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah yang terjadi, Pek Mau San-jin."

Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid keponakan yang masih berlutut di depannya itu.

"Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian bertindak kejam memukuli tukang kebun yang terpaksa mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian? sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua) memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu datang menghadap dan mengembalikan barang-barang yang dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian dapat mengembalikan dan menebus apa yang telah kalian lakukan kepada dia? Memukuli dan menyiksanya? Itu kesalahanmu yang pertama!"

"Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong kemarahan karena dia telah melakukan pencurian." kata murid yang bertubuh tinggi kurus.

"Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa lagi terhadap seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk membeayai pengobatan anaknya! Dan kesalahanmu yang ke dua. Kalian melapor kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah menghina Bu-tohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian berani membohongiku!"

"Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela teecu berdua dan membalas kekalahan kami." Kata pemuda tinggi besar.

"Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk memanaskan hatiku dan sekarang kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga, lebih membuat aku malu lagi. Kalian telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan tetapi kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang menantangku! Murid macam apa kalian ini".

Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara berbareng mereka berkata,

"Ampunkan teecu, supek ...".

Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin,

"Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini dianggap tidak ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak terluka. Harap locianpwe mengampuni dua orang saudara inl...."'

"Apa" Siang In membentak dengan suara nyaring.

"Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum murid-murid yang bersalah. Kalau tidak, bagaimana sang guru aktin mempunyai wibawa terhadap murid-muridnya? Dia akan dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan kurang ajar!"

Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi agak merah. Dia merasa malu sekali.

"Kalian cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu (Ketua) dan jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!"

"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ dengan kepala ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata kepada Siang In.

"Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan juga berpemandangan jauh.

Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami minta maaf atas kesalahan mereka terhadapmu."

Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat, juga mendapat pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la, pandai membawa diri dan kalau orang bersikap baik dan lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut akan tetapi kalau ada yang mengasarinya, ia pandal juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum manis..

"Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran dan pengalaman yang baik sekall dengan bertanding melawan totlang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup bagi saya, tidak ada yang perlu dimaafkan, totiang."

"Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua kami, dan kami juga mengundang engkau, nona."

"Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara Souw Thian Liong ini!" kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena sebetulnya di dalam hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai untuk mengetahui keperluan apa yarig membawa pemuda itu menemuinya. Biarpun baru menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang? tinggi. Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh jarum-jarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) amat kuat saja yang mampu memukul runtuh jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran hawa pukulan.

"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua kami mendengar akan perbuatan tak terpuji dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu, tentu beliau akan marah dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun. Karena itu, deml menjaga agar aku tldak mendapat teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka menerima undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu kami."

Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui pandang mata dan senyumnya bahwa ia "terpaksa" ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah, kalau begitu, baiklah, totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti aku yang tidak mengenal sopan santun."

Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng menuju ke sebuah puncak bukit di maha perkampungan Bu-tong-pai berada.

Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun dan hanya dia seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan bagian. Sebe-lum dia juga tidak ada yang dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab pusaka pedang itu hilang tak tentu rlmbanya hampir seratus tahun yang lalu. Namun akhir-akhlr ini kesehatan Ciang Losu amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogotl usia sehingga dia lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan mengurus perguruan Bu-tong-pai. Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin yang merupakan sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya mencapai tingkat ke tiga saja di perguruan itu.

Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya untuk mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia merasa kagum sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang datang sekarang hanya seorang muda, akan tetapi karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang sengaja datang berkunjung, dia merasa girang sekali.

Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin memasuki bangun-an induk dari perkqinpungan Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggl kurus, rambut dan jenggotnya yang panjang sudah berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya lembut dan mulutnya terhias senyum sabar, segera memberi hormat. Mereka menduga bahwa kakek ini tentu ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang dijumpainya di pintu gerbang. untuk melapor kepada Ciang Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin, segera memperkenalkan.

"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang gagah) Souw Thian Liong murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan Ang-hwa Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu."

"Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan toclanpwe." kata Thian Liong dengan slkap hormat.

"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam." 'kata Ciang Losu dengan wajah ceria.

Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang tertutup. Seorang murid menyuguhkan air teh lalu keluar lagi.

"Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di sini. Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui pinto (saya)."

"Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan Pek Mau San-jin." kata Siang In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.

Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya.

"Suheng, Souw-sicu datang dan minta menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya untuk memblcarakan sesuatu yang penting dengan suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang membuat merasa tidak enak dan mengundangnya." Dengan singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara bentrokan antara Pek Mau San-jin dan gadis perkasa itu.

"Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan hukuman, menanti keputusan suheng." Pek Mau San-jin mengakhiri ceritanya.

Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan hatinya.

"Anak-anak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu sekarang juga, sute. Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya berhenti seharl sekali untuk makan. Dengan demikian kita harapkan mereka akan dapat menghilangkan kekejaman dari hati mereka.

"Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga." Pek Mau San-jin memberl hormat lalu menlnggalkan ruangan itu.

Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Slang In dan Thian Liong

"Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam hidup ini. Musuh utama itu adalah dirinya sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li...."

"Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu kalau lo-cianpwe yang menyebut saya dengan julukan kosong itu." kata Siang In.

Pedang Ular Merah Eps 2 Jago Pedang Tak Bernama Eps 1 Kasih Diantara Remaja Eps 19

Cari Blog Ini