Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 21

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 21


tubuhnya terhuyung dan roboh tak sadarkan pula !
Tok Mo bersiul nyaring, pertanda dari kepuasan hatinya.
Selekasnya dia menyimpan obatnya, dia berjongkok akan
memondong tubuhnya nona Cio, kemudian dengan tangannya
yang lain dia menjemput tubuhnya Lek Hoat Jiu Long, akan
akhirnya membuka tindakan kaki lebar buat berlompat masuk
ke dalam rimba dimana ia mau melenyapkan diri.
Ya Bie kaget sekali ketika dia melihat asap luar biasa itu,
lantas Kiauw In lenyap dari pandangan matanya. Ia pun
bingung sebab ia tidak berani menyerbu uap itu. Meski begitu
selang sesaat ia sempat melihat Tok Mo keluar dari alingan
uap dan berlari pergi dengan tangan kanan dan kirinya
memondong tubuh orang. "Tua bangka beracun, kemana kau hendak lari ?" ia
membentak sambil terus berlompat menyusul.
Si orang utan dengan berpekik beberapa kali lari menyusul
nonanya itu. Tok Mo menggunakan ilmu ringan tubuhnya yang lihai buat
menyingkir dari si nona. Dia tidak takut tetap dia segani ilmu
gaib si nona, ilmu Hoan Kak Bie Ciu itu, maka juga ia pikir
mengangkat kaki adalah terlebih baik buat ianya. Ia lari turun
bukit, ia tidak mengambil jalan besar hanya menuju ke arah
rimba di bagian gunung sebelah barat daya.
Kedua pihak berlari-lari dengan keras sekali, yang satu
kabur yang lain mengejar tetapi lama-lama Ya Bie kena
ditinggal di belakang sejauh tiga puluh tombak. Hebat ilmu lari
cepat dari si Bajingan. Saking kuatirnya Bajingan itu lenyap, Ya Bie kepada si
orang utan sambil menitahkan "Lekas susul !"
Binatang itu sangat cerdas, dia membuka matanya, dia
memekik beberapa kali, lantas dia lari keras buat menyusul
Tok Mo. Dia telah dilatih oleh Kip Hiat Hong Mo, dia pun bisa
menaiki pohon dan gunung, dia ulet dan larinya keras.
Tok Mo licik dan cerdik, dia tidak hanya lari di jalan
pegunungan, tetapi dengan ilmu ringan tubuh "Ciauw Siang
Hai, Terbang di Atas Rumput", dia lari berlompatan diantara
rumput semak dan pepohonan kecil. Ketika itu dia sudah
sampai ditengah puncak dan menoleh ke belakang, tampak
olehnya Ya Bie terpisah jauh tujuh atau delapan puluh tombak
dari ianya. Hal ia membuat pikirannya tenang. Lantas dia
menikung ke suatu jalan kecil untuk berdiam disitu, guna
meluruskan nafasnya. Ia pun masih memikirkan bagaimana
caranya supaya Ya Bie letih hingga tidak berdaya, dengan
begitu barulah dia merasa puas. Maka adalah tidak disangkasangka
tahu-tahu dia telah disusul si orang utan, tetapi
binatang itu sangat cerdik. Si orang utan tidak segera muncul
di depan orang yang disusulnya itu, hanya menyembunyikan
diri di tempat lebat kira dua tombak terpisahnya. Diam-diam
dia memasang mata. Tok Mo beristirahat sambil terus mengawasi Ya Bie, yang ia
hendak ajar adat. Sengaja ia menantikan sekian lama.
Pikirnya, setelah Ya Bie datang dekat baru dia mau lari pula.
Kalau Ya Bie mengejar terus, nona itu bakal letih luar biasa,
tenaganya akan habis sebab dia tak pernah beristirahat sama
sekali. Ia melihat Ya Bie ketinggalan masih jauh, ia
meletakkan tubuhnya orang yang ia bawa lari itu. Dengan
jailnya, ia perdengarkan tawa dinginnya beberapa kali, supaya
Ya Bie dapat mendengar dan menyusulnya ke situ.
Tepat Tok Mo sedang kegirangan itu sebab dia menerka Ya
Bie bakal dapat dipermainkan, mendadak dia menjadi kaget
sekali. Dari belakangnya orang telah menikam padanya,
walaupun dia lihai, dia toh tidak mendapat tahu sampai orang
telah menyekek belakang lehernya sampai dia sukar bernafas
dan peluhnya lantas saja mengucur keluar !
Dalam kagetnya dan sukar bernafas itu, Tok Mo toh masih
ingat buat membebaskan diri, maka dengan tangan kanannya
dia menghajar ke belakang atau mendadak dia merasa jalan
darah thian-cut dikerongkongannya kena tercekek keras,
tubuhnya terus bergemetar dan menggigil, terus tubuhnya
roboh tak sadarkan diri !
Si orang utan tak berhenti sampai disitu. Setelah berhasil
dengan membokong dan merobohkan si Bajingan, dia pun
maju, guna menjambret dada orang, untuk ditinju dengan
keras, menyusul mana, dia merobek baju orang. Saking girang
dan puas, dia terus berPekik nyaring berulang kali.
Selagi tertawa itu, si orang utan mendapat lihat tubuhnya
Kiauw In yang rebah tak berkutik ditanah. Lantas dia lari
menghampiri, dia angkat tubuh itu lalu dia bawa lari ke arah di
jurusan mana Ya Bie tengah lari mendatangi. Rupanya dia
hendak memapaki nonanya itu.
Ketika Ya Bie lari mendekati binatang piaraannya kira
sepuluh tombak lagi, ia melihat binatangnya itu telah berhasil
merampas Kiauw In. Dia girang sekali. Apa yang membuatnya
kuatir yaitu masih belum dapat diketahui bagaimana dengan
nona Cio, jiwanya telah melayang atau tidak.....
Hanya sesaat kemudian, orang utan dan nonanya sudah
datang dekat satu dengan lain.
Ya Bie girang, dia memberi isyarat kepada So Hua Cian Li,
atas mana si orang utan menyerahkan nona yang dia berhasil
merampas dari Tok Mo itu. Ia berPekik-Pekik pula dan
berjingkrakan, girangnya bukan buatan.
Ya Bie lantas menerima tubuh si nona Cio. Lega hatinya
apabila mendapati nona itu tidak terluka, kecuali dia tetap tak
sadarkan diri. Setelah itu ia bingung juga sebab tak tahu ia
caranya untuk membuat Kiauw In siuman. Ia tidak mempunyai
obat buat menyadarkan orang dari gangguan bubuk beracun.
Maka itu selagi memondong si nona, ia berdiam saja,
mengawasinya itu. Ia berduka hingga sepasang alisnya
berkerenyit. Sementara itu kira semakanan nasi lamanya, Tok Mo telah
sadar sendiri dari pingsannya itu. Itulah karena tanpa tercekek
lagi, nafasnya perlahan-lahan mulai berjalan pula dan ia lekas
pulih. Nyeri pada kerongkongannya itu pun lenyap seketika.
Setelah siuman dan ingat segala apa, lantas ia mendapati
orang tawanannya Kiauw In telah lenyap. Ia terkejut dan
mendongkol. Ia panas hati kapan ia ingat yang orang telah
membokongnya dan orang tawanannya itu dirampas.
"Aku mesti bekuk binatang jahat itu !" katanya sengit.
"Akan aku besut kulitnya !"
Tiba-tiba jago tua ini mendapat dengar suara Pekikan
orang utan, lantas ia lari ke sebelah depan, untuk melihat.
Maka ia mau dapatkan di kaki puncak, si orang utan lagi
berlompatan dan Ya Bie tengah memondong Kiauw In orang
tawanannya itu. "Bagus !" katanya dalam hati. Ia girang yang orang tak
pergi menghilang. Maka ia berlompat turun, guna lari kepada
nona itu. Ya Bie bingung tetapi dia tak kelelap dalam kebingungan,
maka juga ia mendapat lihat ketika Tok Mo tengah lari
mendatangi ke arahnya ! Ia tahu yang ia tidak dapat melawan
si Bajingan. Syukur ia tidak menjadi putus asa. Tiba-tiba ia
ingat satu akal. Dengan ilmunya, ia membuat sebuah batu didekatnya
berubah menjadi Kiauw In. Ia sendiri lantas kabur bersama
nona yang masih pingsan itu, sedangkan binatangnya lari
menyusul. Ia lari mendakii bukit.
Tok Mo lari turun terus. Beberapa kali ia teraling
pepohonan, maka ia tidak dapat melihat Ya Bie menghilang.
Waktu ia sudah sampai di tempat Ya Bie tadi, nona itu dan
orang utannya tidak ada, ada juga Kiauw In yang lagi rebah
tak bergerak. Hatinya lega juga sedikit. Lekas-lekas ia
menjemput Kiauw In untuk dipondong pula.
"Kau budak" katanya seorang diri, "Sekarang baru kau tahu
lihainya aku si orang tua ! Kau cerdas, kau kabur dengan
meninggalkan kawanmu ini tetapi berhati-hatilah, kau akan
aku tak lepaskan kamu berdua !"
Selagi berkata begitu di depannya si Bajingan berkelebat
dua bayangan orang mendaki bukut, waktu ia mengawasi, ia
mengenali Ya Bie dan orang utannya. Tiba-tiba ia tertawa
dingin, menandakan hatinya mendongkol puas. Mendongkol
sebab orang kabur dan puas karena ia melihat orang sedang
lari itu. Baru saja si Bajingan mau lari menyusul atau ia merasa
heran sebab tubuhnya Kiauw In terasa dingin dan bentuknya
pun rasanya lain. Ia tunduk akan melihat atau ia kaget dan
tercengang. Itu bukannya Kiauw In, hanya sebuah batu besar
! "Ah, aku diperdayakan !" seraya menyesal, ia lemparkan
batu itu ke bawah bukit. Menyesal dan gusar Tok Mo masih dapat mengendalikan
diri. Ia pungut Lek Hoat Jiu Long untuk dipondong buat
dibawa lari ke arah mana Ya Bie menyingkir. Ia hendak
menyusul nona itu, maka ia mesti menahan sabar.
Sayang bagi Ya Bie dalam ilmu ringan tubuh, dia kalah jauh
dari Tok Mo. Ia pun memondong Kiauw In, hingga larinya
bertambah kendor. Tapi ia cerdik, selekasnya ia mendapat
tahu dan masuk masuk ke dalam rimba lebat.
Rimba itu, ditengah-tengahnya ada sebuah kali kecil, yang
lebarnya sepuluh tombak lebih. Ketika Ya Bie tiba ditepi kali, ia
sudah bermandikan keringat dan nafasnya memburu. Ia
melihat air kali bersih sekali.
Si orang utan dapat mengikuti nonanya, di sisi si nona,
berulang kali ia memperdengarkan suaranya, tangannya
menunjuk ke belakang ! Ya Bie tahu ia diberi bisikan bahwa ada orang
mengejarnya. Ketika itu ia mendapati matahari sudah turun
jauh ke barat. Sudah mendekati magrib. Ia bingung juga.
Bagaimana ia harus menyingkir lebih jauh. Kiauw In terus tak
sadar. Itulah berabe dan berbahaya buat nona itu. Ia tidak
tahu tubuhnya si nona ada obat yang mujarab.
Di sana Tok Mo lari mendatangi semakin dekat. So Hun
Cian Li kembali berbunyi tak hentinya dan tangannya terus
menunjuk ke arah Tok Mo. Jilid 46 Dalam bingungnya, Ya Bie lari di sepanjang kali itu. Tidak
ada jalanan disitu, batu berserakan, rumput dan pohon duri
berimbunan. Hanya syukur rintangan itu tidak berarti bagi si
nona, yang biasa hidup ditanah pegunungan dan sering
berkeliaran. Walau demikian, waktu dia sudah lari lima lie, Tok
Mo menyusul makin dekat.........
Mulanya si nona takut sekali yang ia nanti dikejar tetapi
sekarang rasa takutnya itu lenyap dan sebaliknya diganti rasa
jemunya. Ia membenci orang jahat. Bahkan ia bertekad bulat
akan membantu Kiauw In, walaupun ia harus adu jiwa !
"Pergi kau kabur lebih dulu !" ia kata pada si orang utan
kepada siapa ia menyerahkan Kiauw In untuk dibawa kabur
kemudian ia menghunus pedangnya untuk terus lari balik
guna memapaki Tok Mo ! Kapan Ya Bie telah melihat tegas kepada Tok Mo, ia
mendapati si Bajingan tak lagi membawa-bawa Lek Hoat Jiu
Long. Mungkin si tangan buntung itu telah disembunyikan di
salah sebuah gua supaya si Bajingan leluasa bergerak.
Tok Mo heran menyaksikan Ya Bie datang dengan tampang
mukanya si nona merah karena marah, ia sampai melengak.
Ia pun mendapat kenyataan nona itu tidak lagi memondong
Kiauw In serta orang utannya lenyap bersama. Ia menanti
hingga tinggal tiga timbak dan nona itu berhenti berlari untuk
menghadapi orang seraya terus menegur, "He, budak liar !
Rupanya kau mengendali ilmunya Kip Hiat Hong Mo si siluman
bangkotan maka kau berani berlaku kurang ajar begitu rupa
terhadapku !" "Kaulah yang kurang ajar !" Ya Bie membentak gusar.
"Kenapa kau mengejar-ngejar aku dan sekarang kau berani
menghina guruku ?" Begitu suara berhenti, si nona lantas menikam !
Tok Mo berkelit. Dia tak segera membalas menyerang.
"Mana budak piaraanmu itu ?" tanya dia perlahan. "Kau
taruh dia dimanakah ?"
"Di sana !" sahut Ya Bie, suaranya keras dan tajam dan
tangannya pun menunjuk ke tepi kali.
Tok Mo menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Dia melihat
sesuatu yang meringkuk seperti rumput di pinggir kali. Muka
atau kepala orang tak tampak sebab tubuh itu menungging. Ia
melihat orang seperti tubuhnya Kiauw In. Maka lantas saja ia
bertindak ke sana. Tapi baru satu langkah, ia sudah
membatalkannya. Si Bajingan mendadak ingat Ya Bie sedang menggunakan
Hoan kak Bie Ciu, ilmu silumannya itu. Maka itu ia terus
menatap si nona, lalu dengan suara dingin, dia berkata pada
nona itu, "Ilmu gaibmu itu jangan kau pertunjukan pula di
hadapanku, cuma-cuma kau bakal mempertontonkan
keburukanmu !" Dan dia tertawa terbahak-bahak.
Ya Bie polos, kurang berpengalaman. Dia menunjuki
tampang heran, dia mengawasi si Bajingan itu, siapa
sebaliknya menatap muka orang untuk menerka hatinya.
"Hm ! Hm !" Tok Mo mengasih dengar pula suaranya yang
dingin. "Jangan kau mempermainkan pula padaku ! Awas,
akan aku membuat dan menderita hingga nanti mau mati kau
tak dapat, mau hidup kau tak bisa. Lihat siapa nanti yang akan
menolongmu." Tanpa menanti orang membuka mulutnya, ia
menambahkan pula, "Mana dia bocah she Cio itu " Kau mau
beritahu aku atau tidak ?"
Di mulut Tok Mo mengatakan demikian, sebaliknya terus
bekerja. Dia memukul ke arah yang lagi rebah melingkar itu.
Itulah pukulan tangan "Udara Kosong."
Walaupun terserang hajaran, tubuh itu tak bergeming.
Cuma rumputnya saja yang rebah bangun. Melihat itu, si
penyerang heran. Dia mengawasi tajam. Dia mau percaya
mungkin itu benar tubuhnya si nona.....
Ya Bie mengawasi saja gerak gerik orang, otaknya pun
bekerja. Selagi si Bajingan itu nampak ragu-ragu, ia tertawa
tawar dan kata dengan nada mengancam, ?"Kalau kau
membinasakan kau, apakah kau tidak takut guru nanti
mencari kau buat minta ganti jiwa ?"
Kata-kata itu sederhana tetapi hatinya Tok Mo goncang.
Dia jeri. Apakah yang sebenarnya dalam hal ini "
Kiranya To Mo ini si Bajingan adalah si Bajingan yang palsu.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebetulnya dialah Couw Kong Put Lo, yang tengah memahami
kitab kewanitaan So Lie Kang yang tinggalnya di dekat Cianglo
ciang. Selama dilembah Goh Cit Kok pernah dia merasai
tangannya Kip Hiat Hong Mo hingga hampir jiwanya
melayang. Sedangkan Tok Mo yang satu lagi yang merampas
Gak Hong Kun di rimba dekat Khotiam cun dari hadapannya
Hong Gwa Sam Mo serta Ya Bie, dia juga Tok Mo palsu. Sebab
dialah Kim Lam It Tok. Hanya Ya Bie sendiri yang tak dapat
membedakan yang mana Tok Mo yang palsu dan asli.
Tak berani Tok Mo palsu ini mencelakai Ya Bie, dia cuma
ingin mendapatkan Kiauw In sebagai muridnya, sedangkan
kecantikannya nona Cio membuat hatinya goncang. Tapi dia
terus membawa aksinya. "Gurumu berkepandaian apa maka kau gunakan dia buat
menggertak aku ?" demikian katanya sambil tertawa tawar.
"Sudah jangan kau sebutkan gurumu itu ! Baik aku jelaskan
kepada kau tentang tabiatku. Aku lemah menghadapi yang
lunak dan kokoh berhadapan dengan yang keras ! Kau baikbaiklah,
serahkan budak she Cio itu padaku, akan aku
bebaskan sehelai nyawamu !"
Tapi Ya Bie menjadi gusar.
"Siapa takut padamu ?" bentaknya. Ia maju pula dengan
tebasannya. Tok Mo menangkis. Kembali dia tak membalas.
Ya Bie menjadi berpikir. Ia pun ingat kepada Kiauw In.
Bukankah Tok Mo menggunakan racun " Pasti dia mempunyai
obat pemunah racunnya ! Maka itu perlu ia mendapatkan obat
guna membantu Nona Cio. Apa jalannya " Tiba-tiba ia
mendapat akal. "Kau lihat kakakku yang tidak sadarkan diri itu !" katanya
kemudian pada si Bajingan. "Baik kau berikan obat padaku,
untuk aku menyadarkan dia, nanti sesudah dia siuman akan
aku bujuki dia supaya dia suka menjadi muridmu !"
Tok Mo melihat ke sekitarnya. Sang magrib tengah
mendatangi. Maka pikirnya, tak dapat dia melayani nona ini
yang cuma akan membuang-buang waktu saja. Lantas dia
merogoh sakunya dan mengeluarkan obatnya. Hanya sesaat
dia bersangsi. Bagaimana kalau nona ini mengakalinya " Maka
dia mengulapkan obatnya itu.
"Inilah obat itu !" katanya. "Bagaimana dengan kau, bicara
benar-benar atau tidak "'
"Siapa menipu ?" sahut si nona yang justru mau
memperdayai si Bajingan. "Mari serahkan obatmu itu padaku,
lalu kau bawa nona itu kemari !"
"Jika aku si orang tua tak memberikan obat ?" tanya pula si
Bajingan. "Kau tak dapat menyentuh tubuhnya !" kata Ya Bie keras.
Karena berbareng dengan itu ia menggunakan ilmunya, Hoan
Kak Bie Ciu buat membikin kacau pikirannya Bajingan itu.
Hatinya Tok Mo goncang. Ia berpaling ke arah Kiauw In. Ia
bertindak ke arah Ya Bie. Di saat itu, lenyaplah keraguraguannya.
Ia membuka peles obatnya dan mengeluarkan dua
butir yang ia serahkan pada si nona, habis itu ia simpan pula
pelesnya. "Jika kau main gila terhadapku," katanya mengancam si
nona, "jangan kau sesalkan bila aku berlaku telengas
terhadapmu !" lantas ia memutar tubuhnya buat lari ke tepi
kali, untuk menghampiri tubuh yang dikatakan tubuhnya
Kiauw In itu. Segera ia mengangkatnya.
Tepat itu waktu Ya Bie menggerakkan tangannya
menyerang ke arah si Bajingan. Dia menggunakan pukulan
Udara Kosong menghajar punggung orang yang dia niat
merobohkannya kecemplung ke dalam kali !
Di saat Tok Mo mengangkat tubuhnya "Kiauw In", Ya Bie
bekerja lebih jauh. Dia menggunakan ilmu Sin Kut Kang
membuat tubuhnya menjadi ringkas, hingga ia mirip seorang
bocah umur lima atau enam tahun sesudah mana dia
mengerahkan tenaga dalamnya untuk lompat tinggi dua
tombak, lompat lurus ke tepi yang lain dari kali itu !
Tok Mo sendiri terkejut, selekasnya dia mengangkat
tubuhnya Kiauw In. Tubuh itu menjadi keras dan berat sekali.
Selekasnya dia mengawasi, dia menjadi kaget berbareng
gusar. Itulah bukan tubuh manusia, hanya sebuah batu besar
! Tentu sekali dia menjadi sangat gusar, sebab ternyata dia
telah diakali pula. Justru dia bergusar itu, tibalah serangan
angin dari si nona. Dia kaget tapi tak berdaya, tubuhnya
segera tertolak keras tercemplung di dalam kali !
Segera terdengarlah satu suaa nyaring dan air
bermuncratan tinggi. Ya Bie sendiri telah tiba di lain tepi, nafasnya memburu
sebab dia berlompat dengan sekuat tenaganya. Dia
mendengar suaranya air nyaring itu serta melihat air muncrat
naik, dia girang sekali. Itu artinya Tok Mo sudah tercebur.
Lebih girang pula ialah dia telah berhasil mengakali obat
orang. Lantas dia melepaskan Sin Kut Kang, hingga tubuhnya
menjadi besar seperti biasa. Lebih dahulu ia periksa obat, ia
mencium baunya, terus ia membungkus dengan sapu
tangannya, disimpan di dalam sakunya. Akhirnya ia lari ke
tempat kemana si orang utan membawa Kiauw In.
Tok Mo sementara itu tidak mati kelelap di dalam kali. Dia
bisa berenang, maka dia cuma kaget dan pakaiannya kuyup.
Dia menyesal dan gusar dengan berbareng. Dengan berenang
dia menyampaikan tepian, untuk merayap naik. Batu yang dia
peluki, dia telah lepaskan, dibiarkan tenggelam di dalam kali.
Ketika dia memandang ke atas dia melihat satu bayangan
orang. Dia menerka itulah Ya Bie si cerdik. Dia menggertak
gigi dan lalu bersiul nyaring sekali guna melampiaskan
penasarannya ! Sementara itu tadi, So Hun Cian Li sudah berlari-lari ke hulu
sungai. Dia mengikuti tepian. Dia menjalankan perintah
nonanya membawa lari nona Cio. Dengan cepat dia tiba di
hulu sungai, tempat sumbernya. Di situ air dangkal dan batubatu
besar berserabutan. Dia berhenti disitu akan menantikan
nonanya. Tanpa terasa sang sore telah tiba.
Duduk di tepi jalan, si orang utan menanti tetapi dia telah
terduduk sekian lama, tak juga nonanya muncul. Dia menjadi
heran terus dia berPekik berulang-ulang. Kalau nonanya
mendengar suaranya itu dia tentu akan dihampiri.
Belum lama si orang dikejutkan satu suara perlahan di
depannya, waktu ia mengawasi, kiranya itulah setangkai buah
yang baru jatuh ! Buah itu sebesar jari tangan. Melihat itu ia
mengilar sekali. Tetapi ia lagi bertugas melindungi nona Cio,
tidak berani ia memungut buah itu untuk memakannya.
Tak lama jatuh pula tangkai buah yang lainnya. Buahnya
selipat ganda besar dari buah yang pertama itu.
Orang utan itu mengawasi. Tampaknya dia sangat
mengilar. Dia menoleh ke arah darimana dia datang tadi, tetap
dia tidak melihat Ya Bie, nonanya. Dia heran. Dia menoleh
pula melihat kedua buah, lantas dia tak sanggup bertahan lagi
dari keinginannya memakannya. Maka ia meletakkan Kiauw In
ditanah dan lompat kepada buah itu. Dia menjemput dan
membawa buah itu ke hidungnya, untuk dicium atau dia
melemparkannya pula. Dia pun lompat minggir.
Sunyi suasana disekitar situ. Si orang utan melihat
kelilingan. Tetapi Ya Bie tak kelihatan. Maka ia menoleh ke
arah buah, lalu maju menghampiri, buat menjemputnya. Kali
ini tak sangsi pula, dia makan buah itu. Selekasnya habis buah
itu, dia lompat akan menjemput buah yang kedua. Kali ini dia
tak lompat mundur pula, dia terus makan itu.
Boleh dibilang baru habis buah yang kedua itu, jatuh pula
yang ketiga. Tanpa sungkan-sungkan, si orang utan pungut buah itu.
Lalu terjadilah lakon buah jatuh dan tak hentinya si orang
utan memungut dan memakannya. Dengan begitu tanpa
merasa, dia telah meninggalkan Nona Kiauw In yang tetap
rebah tak sadarkan diri itu. Dia menghampiri dan menjemput
buah tanpa lompat mundur pula. Itulah sebabnya kenapa dia
jadi terpisah dari nona Cio. Baru kemudian, tanpa merasa dia
telah menyeberangi kali dangkal itu dan tiba di tepi lainnya
terus ke dalam rimba ! Justru di depannya Kiauw In yang tengah rebah pingsan itu
muncul seorang wanita tua, yang tangannya memegang
tongkat. Dengan mata bersinar, nenek itu mengawasi si nona,
terus dia tertawa tawar dan kata seorang diri, "Dasar aku si
tua besar rejeki, aku dapat pula satu bahan yang berbakat
buat dijadikan muridku !"
Terus si nenek membungkuk dan mengulur sebelah
tangannya, yang taruh di depan hidung si nona, untuk merasai
hembusan nafas, setelah mana ia pun meraba nadinya nona
itu. Kemudian ia menatap muka orang, lalu pakaiannya, akan
akhirnya mengawasi pedang di bahu si nona.
Untuk sejenak, nenek ini memperlihatkan wajah seram,
terus dia menengadah langit dan tertawa dingin, lalau dia kata
pula seorang diri, "Rupanya nona ini muridnya si rahib tua she
Cio dari Pay In Nia, baik aku bawa pulang. Inilah kebetulan
sebab beberapa hari yang lalu, aku telah rampas si bocah she
Tio dari tangannya Tok Mo dan dia pun murid Pay In Nia !
Dua-dua anak itu berada ditanganku, dengan begitu aku akan
membuat malu pada si Cio imam tua, guna membalas sakit
hati tusukan pedangnya dahulu hari !"
Nenek itu ialah Im Ciu It Mo, orang yang merampas Gak
Hong Kun si It Hiong palsu. Dia tertawa pula dengan
girangnya. Kemudian dari sakunya dia mengeluarkan sebutir
obat pemunah racun, yang dia masukkan ke dalam mulutnya
Kiauw In sambil dia berkata, "Entah siapa yang dapat
mempelajari ilmu meracuninya Tok Mo dan dia melakukannya
terhadap anak muda. Hm, segala api kunang-kunang !"
Si nenek terus berdiam. Sambil mengawasi nona, ia
menantikan bekerjanya obatnya.
Lewat sekian lama, Kiauw In siuman. Ia bergerak untuk
terus bangun berduduk. Ketika ia membuka mata, ia melihat si
nenek di depannya. "Kau terkena racun, nona." si nenek lantas berkata. "Sekian
lama kau tinggal tak sadarkan diri. Siapakah yang telah
meracunimu ?" Kiauw In melegaka hatinya dengan menggerakkan kedua
tanganya, untuk diulurkan diluruskan. Setelah itu ia
mengawasi si nenek. Ia melihat sinar mata orang serta wajah
yang seram, lantas ia menerka yang ia kembali bertemu
dengan orang kaum sesat. Sendirinya, hatinya mengggigil.
Tapi menduga si neneklah yang menolong menyadarkanya, ia
lantas memberi hormat sambil berkata, "Boanpwe bertemu
Tok Mo ditengah jalan, dia merobohkan dengan racunnya.
Terima kasih yang locianpwe berprihatin terhadapku.
Locianpwe, siapakah yang telah membantu aku ?"
Si nenek tertawa dingin. "Tok Mo !" katanya. "Bajingan tak tahu malu !" Hanya
sedetik, dia menambahkan, "Obat Ceng Liang San buatanku
dapat memunahkan racun apa juga dan dalam waktu yang
singkat sekali !" Itulah jawaban yang tak langsung terhadap pertanyaan si
nona. Kiauw In cerdas, dapat ia menerka maksud orang itu.
Kembali ia memberi hormat, kali ini untuk mengucap terima
kasih. "Nona, kau terkena racun hebat, mungkin racun di dalam
tubuhmu tidak segera musnah seluruhnya." kata si nenek.
"Dan itu berbahaya buat hari depanmu, karena itu, supaya
aku tak menolong kepalang tangggung, maukah kau makan
sebutir lagi ?" Ia lantas merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir pil
merah dadu yang ia terus angsurkan kepada si nona.
Diam-diam Kiauw In mengatur pernafasannya. Ia merasa
sehat seluruhnya. Karena itu ia mengangsurkan kembali obat
itu sambil ia kata, "Terima kasih locianpwe. Aku merasa
tubuhku sudah sehat seluruhnya, karenanya tak berani aku
makan obat locianpwe ini."
Si nenek mengawasi. Diam-diam dia memuji kecerdasan
orang. Sebenarnya dia memberikan obat guna melemahkan
urat syaraf si nona, agar dia lupa ingatan, supaya dia dapat
dijadikan murid. Dia berbuat begini karena dia tahu pasti, di
dalam keadaan sehat, tak nanti Kiauw In sudi menjadi
muridnya. "Sebutir obat tak berarti apa-apa !" katanya tertawa. "Kalau
kau makan ini, nona, besar faedahnya untuk kesehatanmu.
Baiklah kau jangan sungkan."
Kiauw In bersangsi. Tak ada alasan buat ia menampik
terus, maka terpaksa ia menyambuti pula obat itu dan terus
menelannya. "Hahaha !" It Mo tertawa saking riang dan puas hatinya.
"Nah, nona kalau kau tidak menyela tempatku yang buruk,
maukah kau turut aku untuk bermalam di sana " Setelah
terang tanah kau boleh pergi."
Lantas si nenek mengulur tangannya buat memegang
tangan si nona, guna dituntun. Di dalam waktu yang singkat
itu, Kiauw In tetap sadar. Ia menyingkirkan tangannya sambil
ia mundur dua tindak. Nenek itu heran yang ia tak dapat mencekal tangan orang.
Ia insyaf itulah disebabkan si nona lihai ilmu silatnya. Tetapi ia
berpura wajar, maka ia kata, "Baiklah nona, kalau kau kuatir
tempatku buruk. Nah, kau pergilah !"
Dengan membawa tongkatnya, nenek itu memutar
tubuhnya dan berjalan dengan perlahan-lahan.
Kiauw In merasa tak enak hati. Ia mengenal budi dan
orang telah menolongnya. "Tunggu, locianpwe" katanya seraya ia bertindak
menghampiri. "Locianpwe, dapatkah aku yang muda
mengetahui nama atau gelaran mulia dari cianpwe ?"
Im Ciu It Mo berpaling dan berdiri diam, "Tak usah tergesagesa,
sanak." katanya. "Kelak di belakang hari kau akan
ketahui namaku." "Locianpwe." Kiauw In tanya pula, "ketika tadi Locianpwe
tiba disini apakah Locianpwe melihat seorang nona bersama
seekor orang utan ?"
"Orang utan ?" nenek itu menjawab. "Dia lari ke dalam
rimba sana dimana dia mencari makan. Tentang anak
perempuan, tak aku melihatnya."
Hatinya Kiauw In bercekat. Ia kuatir Ya Bie terbinasa
ditangannya Tok Mo sebab nona itu mau membantunya. Maka


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia kata, "Locianpwe, hendak aku mencari adikku itu. Sampai
jumpa pula !" Terus ia memutar tubuh dan berlalu.
Im Ciu It Mo mengawasi sambil menyeringai.
"Hendak aku lihat, berapa jauh kau dapat pergi." katanya.
Kiauw In baru berjalan sepuluh tombak lebih tatkala ia
merasai panas dalam tubuhnya. Ia terkejut dan heran.
Matanya segera berkunang-kunang, penglihatannya kabur dan
kepalanya pun pusing, bumi bagaikan berputar. Lekas-lekas
dia menjatuhkan diri untuk berduduk buat lantas mengatur
pernafasannya. Selama itu ia masih ingat segala apa, hingga
ia lantas menerka apa mungkin tubuhnya belum bebas dari
sisa racun........ Sama sekali ia tidak menyangka jelek pada si
nenek penolong. Hanya sesaat kemudian, pikirannya mulai
lemah, meskipun ia bisa berpikir tetapi tak dapat ia mengingat
sesuatu yang ia pikir itu. Matanya pun berkunangan semakin
hebat. Diakhirnya habis sudah tenaga berpikirnya. Maka ia
duduk diam bagaikan patung.
Tak lama maka terdengarlah suara bentrokannya tongkat
kepada tanah. Itulah Im Ciu It Mo yang telah tiba. Dia
menghampiri si nona. Dan mengawasinya seketika. Terus ia
tertawa terkekeh. Kemudian lagi dia menarik tangannya si
nona itu sambil berkata, "Mari turut aku !"
Kiauw In tetap berdiam saja, ia jinak bagaikan kambing.
Karena ditarik ia bangun berdiri.
Si nenek tertawa pula dan kata, "Seorang terhormat tak
akan melakukan sesuatu yang gelap, maka itu aku si wanita
tua, setelah aku merampas murid orang, perlu aku
meninggalkan tanda peringatan........"
Menyusul kata-katanya itu, Im Ciu It Mo menekan pesawat
rahasia pada gagang tongkatnya. Lantas melesat sesuatu
tinggi setombak lebih terus jatuh ke tanah hingga menerbitkan
suara. Inilah lambang peringatannya yang dia namakan "Pie
Hoat Kwie Lian Kim Pay" atau pay atau lencana emas "Muka
Bajingan dengan Rambut Riap-riapan".
Demikian Kiauw In dibawa si nenek, lenyap daLam Sang
gelap petang. Belum lama perginya si nenek, Ya Bie muncul bersama
orang utannya, yang ia berhasil mencarinya. Nona ini sia-sia
saja mencari Nona Cio. Adalah si orang utan yang berPekik tak
hentinya dan kemudian pergi ke tempat dimana Kiauw In
diletakinya. Disini dia menoleh kepada nonanya dan
menggerak-geraki kedua tangannya.
Ya Bie bingung sekali. Kiauw In adalah kenalan baru tetapi
kesannya terhadap nona itu mendalam sekali. Ia berdiri diam
mengawasi gerak gerik binatang piarannya itu. Si orang utan
mencium batu, tanah dan rumput dimana Kiauw rebah dan
duduk, terus dia berjalan mengikuti jalan yang dilalui Im Ciut
It Mo dan Kiauw In. Hanya selang beberapa puluh tombak,
segera dia kembali. Dia mencari terus disekitar situ sampai
mendadak berlompat dan tangannya lantas mencekal kimpay,
lencana emas yang ditinggalkan si Bajingan wanita tua. Dia
lari membawa itu kepada nonanya.
Ya Bie menyambuti lencana itu, yang bersinar di cahayanya
air kali. Ia mendapati ukiran yang merupakan sebuah muka
bengis seperti bajingan yang rambutnya terlepas dan terurai.
Lencana itu tidak ada hurufnya.
Tak dapat Ya Bie menerka benda itu berarti apa atau siapa
pemiliknya, ia membulak baliknya dengan sia-sia belaka.
Karena ia tetap tidak berdaya mencari tahu, kimpay itu ia
memasuiki ke dalam sakunya.
Di saat itu, mendadak si nona mendengar suara apa-apa
yang terbawa angin. Ia kuatir Tok Mo datang menyusul, lekaslekas
ia mengajak orang utannya lari untuk masuk ke dalam
rimba untuk bersembunyi. Demikianlah Ya Bie karena mencintai It Hiong telah
mengajak binatang piaraannya berputar-putar mencari si anak
muda dan kemudian Kiauw In dan nona Cio sebaliknya dalam
perjalanannya membuat penyelidikan telah terjatuh ke tangan
si nenek Im Ciu It Mo hingga selang satu bulan dia muncul di
Hek Sek San sebagai pesuruh dari Bajingan wanita tua itu
untuk mengusir pergi Hay Thian Sin Ni dari gua Lu Sian Giam !
In Ciu It Mo telah menyembunyikan diri selama tiga puluh
tahun. Setelah berhasil melatih ilmu Sun Im Cit Sat Kang, dia
muncul pula dalam dunia Kang Ouw dan kali ini dengan citacitanya
yang besar guna menjagoi dunia persilatan ! Buat
mencapai cita-citanya itu, dia membutuhkan dan mencari
banyak pembantu yang terdiri dari muda mudi. Demikian dia
mendapati Tio It Hiong palsu dan Cio Kiauw In yang dia beri
obat menghilangi ingatan pribadinya, hingga orang dapat
dititahkan berbuat segala apa menuruti kehendaknya, tanpa
orang sadar akan perbuatannya itu. Obatnya itu yang lihai dia
beri nama Thay Siang Hoan Huo Tan - pil mustajab berubah
roh atau sifat. Sesudah sadar habis makan Tay Siang Hoang Huo Tan,
Kiauw In cuma kenal Im Ciu It Mo seorang, yang segala
perintahnya ia turuti tak perduli ia dititahkan menyerbu api
atau air. Sementara itu Im Ciu It Mo jeri terhadap beberapa jago Bu
Lim rimba persilatan seperti Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia,
Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian, Pie Sie Siansu dari kuil Gwan Sak
Sie di Ngo Tay San dan Kio Hiat Hong Mo di Cenglo Ciang juga
Ie Tok Sinshe si jago racun yang empat puluh tahun dahulu
telah terjatuh kedalam lembah es. Seorang lagi yang dia
segani ialah Hay Thian Sin Ni dari Pouw To Sie di Haylam.
Sekarang hatinya menjadi besar sebab dia dapat kenyataan
separuh dari orang-orang yang disegani itu sudah menutup
mata sedangkan kepandaiannya sendiri bertambah lihai.
Sebenarnya ia menyuruh Kiauw In mengusir Hay Thian Sin Ni
dengan maksud memancing kemarahannya si nikouw supaya
nikouw ini datang mencari padanya, agar mereka bisa
mengadu kepandaian. Tidak ia sangka halnya Sin Ni
berpandangan jauh dan dengan lunak mengajak Cukat Tan
dan Teng Hiang meninggalkan guanya itu........
Setelah itu, Im Ciu It Mo hendak menyeterukan Pie Sie
Siansu dan Kip Hiat Hong Mo buat nanti menjagoi dalam
pertemuan Bu Lim Cit Cun. Ia percaya bahwa ia bakal dapat
mengalahkan kedua musuhnya itu ! Begitulah dengan
mengajak Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In ia berangkat ke
Ngo Tay San. Semua muridnya yang lainnya ia tinggalkan di
gunungnya sebab ia mempunyai suatu maksud lain.
Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In telah dikenal umum
menjadi murid-muridnya siapa. Kalau mereka melakukan
sesuatu karena diperintah Hant tua ini orang tak akan
menyangka jelek kepadanya. Dengan begitu, ia jadi seperti
memfitnah Pay In Nia sebab Hong Kun tengah menyamar
sebagai It Hiong. Sebaliknya murid-muridnya yang asli, tak
usah mereka itu menjual muka berkeliaran di tempat umum
kecuali nanti dalam pertempuran Bu Lim Cit Cun.
Satu hal lagi ialah It Mo menyerang Gwan Sek Sie secara
menggelap. Dia bersama dua orang muridnya yang mirip
boneka itu sampai di Ngo Tay San setelah perjalanan tak
kurang sepuluh hari. Gwan Sek Sie menjadi salah satu cabang dari Siauw Lim
Sie, kuilnya besar dan agung. Tiba di depan kuil, It Mo
mengawasi dengan perhatian kiri kanannya. Ia tiba waktu
fajar, maka itu dari dalam kuil masih terdengar suara para
pendeta tengah liam keng membaca ro la seperti biasanya
setiap pagi. Ketika itu hawa nyaman dan burung-burung masih
mengoceh disarangnya. Dengan senantiasa membawa tongkatnya, Im Ciu It Mo
mendaki tangga. Hong Kun dan Kiauw In mengikutinya. Tiba
di muka pintu gerbang, si Bajingan membisiki sesuatu kepada
kedua pengikutnya terus dia lompat naik ke tembok untuk
masuk ke dalam kuil. Kedua murid itu masih berdiam sekian
lama baru mereka pun turut berlompat masuk.
Selama itu disekitar situ tak ada seorang pendeta jua.
Semua tengah berkumpul di Toa tian pendopo besar, sedikit
yang berdiam di masing-masing ruang atau tempatnya. Itulah
yang menyebabkan tiga orang itu dapat memasuki kuil tanpa
rintangan. Semasuknya Hong Kun dan Kiauw In ke dalam kuil, mereka
lantas merabu setiap pendeta yang diketemukan. Maka juga
selewatnya beberapa ruang atau pendopo, setiap pendeta
yang bertugas di semua pendopo itu telah mesti menerima
bagiannya terluka atau terbinasa. Dan teriakan-teriakannya
mereka itu sampai terdengar ke Toa-tian, hingga para pendeta
disitu menjadi terkejut. Segera juga dari dalam Toa tian terdengar suara genta dan
nyaring mengalun sampai di luar pendopo itu. Dengan begitu
maka berhentilah suara membaca doa. Di dalam sekejap
seluruh pendopo menjadi sunyi sekali.
Di kuil Gwan Sek Sie, tak pernah terjadi disaat orang
melakukan ibadah itu orang berhenti serentak, dan semua hati
lantas menjadi tegang sendirinya.
Sebelum mereka mendapat perintah dari ketuanya, mereka
tidak berani sembarang bergerak. Semua berdiam dengan
hormat dan tenang dihadapan Sang Buddha. Semua duduk
dengan kepala tunduk dan mata dipejamkan. Tak ada seorang
juga yang berkisar dari tempatnya.
Segera setelah kesunyian itu, terdengarlah suaranya Pie Te
Siansu, ketua dari Gwan Sek Sie, yang perutnya besar, "Para
petugas, kalian kembali ke tempat masing-masing ! Para
murid, bersiaplah dengan senjatamu masing-masing guna
menghadapi setiap kejadian !"
Semua pendeta itu memperdengarkan penyahutan mereka
bahwa mereka sudah mengerti. Lantas semuanya memberi
hormat dan segera berlalu, pulang ke masing-masing tempat
tugasnya. Sedangkan para murid, habis bubaran, sudah lantas
kembali dengan membawa senjatanya masing-masing. Justru
itu tibalah Hong Kun berdua.
Pie Te Taysu bertindak ke depan dua orang muda-mudi itu
seraya terus memberi hormat.
"Sicu berdua," ia menegur, "kenapa sicu lancang memasuki
kuil kami serta sudah lantas melakukan penyerangan hingga
timbul korban-korban jiwa dan luka " Apakah sicu tidak
pernah membayangkan pikiran bagaimana menderitanya
orang-orang yang roboh sebagai korban-korban itu ?"
Pendeta ini sudah lantas menerima laporan tentang
penyerbuan tak disangka itu.
Kiauw In berdua Hong Kun melongo saling mengawasi,
mereka tidak menjawab teguran itu.
"Kedua sicu," Pie Te bertanya pula. "siapakah guru sicu dan
dengan kuil kami ada permusuhan apa ?"
Kiauw In tidak menjawab, dia hanya bersenyum. Lantas dia
maju dua tindak dibarengi dengan satu serangan jurus Hang
Liong Hok Houw Ciang. Pie Te terkejut tetapi dapat dia
berkelit ke samping. Terus ia mengawasi tajam nona
penyerangnya itu. Sama sekali ia tidak mau membalas
menyeranga, sebab ia merasa aneh akan serbuan itu. Kiauw
In berlompat maju, ia menyerang pula, bahkan kali ini ia
menghajar terus menerus sampai tujuh kali !
Pie Te Taysu repot mengelakkan dirinya. Di sebelah itu
herannya bertambah-tambah. Ia mengenali ilmu silatnya Pat
Pie Sin Kit, yang didasarkan atas tenaga Tong Cu Kang. In
Gwa Sian manusia aneh, dia tak kenal paras elok dan dia juga
tak pernah mempunyai murid perempuan. Maka itu siapa nona
ini yang justru menggunakan ilmu silatnya si pengemis "
Menguasai diri sendiri, Pie Te memuji Sang Buddha. Tetap
ia berlaku sabar. "Sicu," tanyanya pula, "kau pernah apakah dengan sicu In
Gwa Sian ?" Ditanya begitu dengan disebutnya nama In Gwa Sian,
Kiauw In berhenti menyerang, ia menggeleng kepala. Dengan
sinar mata buram ia mengawasi saja si pendeta. Sebagai
seorang pendeta tua dan banyak pengalamannya, Pie Te
lantas menerka sebabnya si nona berlaku aneh itu :
Menyerbu, menyerang dan berdiam......
Justru Kiauw In berdiam, justru Hong Kun menyerang,
bahkan dia ini menggunakan pedangnya. Dengan berkilauan
menyilaukan mata ujung pedang mencari sasaran pada perut
besar dari si pendeta ! Pie Te Taysu tak mundur atau berkelit,
dia membiarkan pedang mengenai perutnya itu.
Aneh, pedang itu melesat ke sisi dan cuma merobek
jubahnya si pendeta. "Sicu !" Pie Te tanya penyerang itu, "Sicu, pernah apakah
kau dengan It Yap Totiang dan Heng San ?" Inilah karena dia
mengenali ilmu silatnya kaum Heng San Pay.
Hong Kun tertawa. Dia tidak menyerang pula, sambil
menarik pulang pedangnya, dia terus berdiri diam. Pie Te
Taysu mengawasi tajam anak muda itu, lalu mendadak ia
berseru keras laksana bunyi guntur di siang hari. Ia mau
mencoba menyadarkan muda mudi itu., yang ia terka
sebabnya kenapa mereka menjadi demikian rupa.
Hong Kun dan Kiauw In tampak terkejut, keduanya
melengak. Tapi cuma sebentar, mereka pulang asal seperti
semula. Mereka berdiri bengong tak berbicara, tak bergerak.
Berdua mereka berhadapan. Hanya sebentar matanya Hong
Kun mencilas lalu mendadak dia menyerang pula.
Pie Te Taysu berkelit ke samping terus ia berseru :
"Ringkus mereka ini !"
Segera muncul dua orang pendeta setengah tua, yang
jubahnya abu-abu dan senjatanya golok kaylo dan sebatang
tongkat panjang masing-masing. Dan mereka lantas
menyerang Hong Kun dan Kiauw In. Menyusul itu, tiga puluh
enam pendeta lainnya turut bergerak pula, cuma mereka
bukan membantu menyerang hanya terus mengambil sikap
mengurung. Sebab mereka telah mengatur tiu atau pasukan
istimewa, yang diberi nama Lohan Tiu atau Tiu Arhat !
Pendeta bersenjata tongkat itu menempur Gak Hong Kun.
Dia bersilat dengan Lohan Thung hoat, ilmu silat Tongkat
Arhat. Dengan menderunya anginnya tongkat, terang ternyata
itulah Gwa Kang atau Nge Gung, ilmu silat keras. Tetapi dia
menghadapi ilmu silat pedang Heng San Pay yang
mengutamakan keringanan dan kegesitan tubuh, maka
tongkatnya tak dapat berbuat banyak. Pendeta yang
bersenjata golok menggunakan ilmu silat Golok Arhat,
nampaknya dia bisa bergerak cepat dan tenaga dalamnya
sempurna karena mana sanggup dia melayani Kiauw In hingga
senjata mereka berdua berkelebatan bagaikan kilat, naik dan
turun ke sisi kiri dan kanan.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pie Te Taysu menonton dengan kekaguman. Lekas juga
tiga puluh jurus telah berlalu tetapi si pendeta bergenggaman
tongkat tak dapat berbuat apa-apa terhadap lawannya. Ia
mencoba mengerahkan tenaga, tetap ia tak memperoleh hasil.
Walaupun otaknya tidak sadar, Hong Kun tak melupai ilmu
silatnya. Apa pula diapun mulai mendapat tambahan ilmu san
Im Cut Kang dari Im Ciu It Mo. Maka itu sesudah banyak jurus
itu, ia lalu mencoba kekerasan. Begitulah ketika satu kali
tongkat meluncur ke tubuhnya, ia menangkis dengan satu
tebasan ! Berisik suara terbenturnya kedua senjata yang percik
apinya berhamburan. Melihat beradunya senjata itu, Pie Te
Taysu terperanjat. Baru sekarang ia mendapat tahu yang
pemuda yang menggunakan Kie Kwat Kiam pedang mustika.
Hingga bisa-bisa tongkat muridnya nanti terbabat kutung.
"Tahan !" ia berseru. Ia berkuatir muridnya nanti bercelaka
dan nama Gwan Sek Sie tercemar.
Pertempuran berhenti lantas. Kedua lawan sama-sama
mundur. Bahkan Kiauw In dan lawannya turut berhenti juga.
Semua lantas mengawasi si pendeta tua !
"Kedua sicu." Pie Te menanya muda mudi itu. "Sicu,
apakah kalian ingat nama atau gelaran guru kalian " Dapatkah
sicu sekalian menyebutnya buat lolap dengar ?"
Suaranya pendeta ini perlahan dan ramah, suara itu
mendatangkan kesan baik bagi si muda mudi.
Kiauw In mengawasi, sinar matanya memain. Ia nampak
mengingat-ingat. "Guruku ialah Im Ciu It Mo." sahutnya sejenak kemudian.
Hong Kun mengulapkan tangannya dan tertawa. Katanya,
"Baru aku ingat itu. Tetapi kau telah mendahului
menyebutnya..." Kata-kata itu lucu, maka semua pendeta bersenyum tak
kecuali dua pendeta yang baru habis bertempur itu.
Pie Te tidak menghiraukan lagak orang, bahkan ia mencoba
menirunya. "Guru kalian bukannya cuma satu." katanya pula, tetapi
ramah. "Mesti ada guru kalian yang lainnya ! Coba sebutkan !"
Muda mudi itu saling mengawasi, mereka tidak lantas
menjawab, mereka hanya lantas tunduk untuk berpikir. Pie Te
Taysu semua mengawasi. Terus kedua muda mudi itu berpikir.
Mereka seperti lagi mengasah otak, buat mengingat-ingat.
Mereka menggaruk-garuk belakang kepala mereka atau
memegangi dahi. Masih mereka tak dapat ingat.
"Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian............." berkata Pie Te Taysu
perlahan. Ia mau membantu mengingati, "It Yap Totiang dari
Heng San !" Kata-kata itu diucapkan satu demi satu dan dengan
penuturan ilmu Toan im Jip Bie. Maka juga masuknya ke
dalam telinga tajam dan tegas sekali. Muda mudi itu nampak
terkejut, mereka mengangkat kepala mereka mau mereka
membuka mulut atau di detik yang lain mereka batal. Lantas
sinar mata mereka menjadi geram dan kepala mereka
digoyang-goyangi ! Hal itu menunjuki hebatnya obat Toay
Siag Hoang Hun Tan dari Im Ciut It Mo.
Ketika itu mendadak terdengar seruan yang sangat nyaring
dan tajam, entah darimana datangnya. Hanya tahu-tahu telah
masuk ke dalam pendopo besar. Suara itu membuat telinga
ketulian dan hati berdebaran. Sedangnya para pendeta heran,
Hong Kun dan Kiauw In mendadak lompat menyerang
menyerbu Lohan Tiu ! Ketigapuluh enam pendeta terkejut, tetapi mereka sempat
menangkis, buat seterusnya mereka melayani kedua penyerbu
itu, hingga mereka jadi bertarung seru sekali.
Kiauw In lemah lembut tetapi setelah mendengar seruan itu
mendadak dia menjadi beringas, ia selalu menyerang dengan
bengis. Hong Kun bengis juga tetapi dialah tak aneh sebab
sejak gagal dalam urusan asmara, dia berubah sifat, dia jadi
mudah membenci dan tak segan-segan melukai dan
membunuh orang, hanya saja, seruan itu membuatnya
bertambah ganas, dia bagaikan memandang para pendeta
seperti musuh-musuh besarnya !
Sudah seratus tahun lebih Lohan Tiu menjadi Barisan
istimewa dari Siauw Liem Sie. Barisan itu dianggap sebagai
pembela dan pelindung, maka juga setiap pendeta yang
menjadi anggautanya semua telah terlatih baik. Dengan
begitu, mereka dapat bekerja sama dengan sempurna. Cepat
dan lincah mereka mengambil tempatnya masing-masing,
terutama dalam hal mengganti kedudukan atau saling mengisi
kekosongan. Diantaranya ada dua jurus utama yang
dinamakan "It Ceng Jie Hu" atau Satu lurus, dua kiri dan
kanan". Artinya saban habis menikam atau membacok, golok
tentu diteruskan dipakai menebas kedua samping.
Apa yang merugikan Hong Kun dan Kiauw In ialah
walaupun mereka sama-sama lihai, perguruan asal mereka
berlainan, jadi dalam hal bekerja sama mereka tidak
mendapatkan kecocokan. Benar mereka sudah mempelajari
Sun Im Cit Sat Kang tetapi latihannya belum lama dan
karenanya belum sempurna. Demikianlah tidak lama, dari
rapat mereka dapat dipisahkan satu dari lain.
Pie Te Taysu memuji Sang Buddha setelah dia menonton
sekian lama dan mendapatkan muda mudi itu gagah berani
dan ulet sekali. Ia cuma heran yang seperti lupa ingatan.
Justru tengah pertempuran berlangsung dan Pie Te Taysu
lagi beragu-ragu, tiba-tiba ia lihat dari ambang pintu pendopo
munculnya seorang pendeta usia setengah tua, yang jubahnya
kuning, pendeta mana bertindak masuk dengan cepat. Dia
melihat pertempuran itu tetapi dia tidak menghiraukan,
langsung dia menghampiri Pie Te, untuk terus memberi
hormat sambil menjura dan memuji San Buddha.
Pie Te Taysu membalas hormat sambil mengawasi dengan
tajam, hingga ia mengenali bahwa orang adalah pendeta dari
Siauw Lim Sie pusat di Siong San. Maka lekas-lekas ia berkata,
"Ada apakah dengan kunjungan ini " Silahkan masuk !"
Walaupun pendeta itu ada dari tingkat lebih muda,
terhitung sebagai kemenakan murid, Pie Te toh berlaku
hormat seperti biasa. Pendeta itu menjura pula sambil mengucap terima kasih.
Kemudian dari punggungnya dia meloloskan satu bungkusan
kuning, dari dalam mana dia mengeluarkan sejilid naskah
hoat-tia sambil mengangsurkan dengan kedua tangannya, ia
berkata, "Tecu diperintahkan Paman guru Liauw In
menyampaikan hoat-tiap ini dengan permintaan supaya
paman menyampaikannya kepada bapak ketua disini."
Pie Te Taysu menyambut. Ia melihat hoat-tiap diikat
dengan tali kain kuning dan dilapis dengan tali sutera merah,
maka tahulah ia artinya kiriman itu.
"Apakah pesannya kakak seperguruan Liauw In ?"
tanyanya. Pesuruh itu menjawab dengan perlahan, "Paman guru
Liauw In berkatai bahwa hari upacara besar harus
dirahasiakan supaya pihak sesat tak dapat datang mengacau."
Pendeta tua itu mengangguk, terus ia memutar tubuh buat
berjalan dengan cepat ke dalam, tetapi baru beberapa tindak
dia sudah berhenti melangkah, dia memutar tubuh pula
sembari berkata, "Keponakan Bu Kie pergilah kau beristirahat
!" Setelah itu ia melanjuti berjalan masuk.
Pendeta pesuruh itu memang Bu Kie namanya. Dialah
murid tingkat dua dan gurunya ialah Ang Sian Siangjin,
Tianglo dari Kam Ih. Sejak wafatnya Pek Cut taysu dan matinya Ang Sian
Siangjin disusul dengan matinya ke empat Tianglo, Siauw Lim
Sie selalu berada dalam saat-saat tegang maka juga kuil
dijaga keras. Pendeta tertua tinggal Liauw In seorang, karena
mana pendeta ini harus bekerja keras memegang tampuk
pimpinan sementara sebelum pemilihan atau pengakuan ketua
baru, kemudian dengan persetujuannya semua pendeta
pemilihan ketua dilaksanakan dan diangkat ialah seorang
murid yang usianya masih muda dari Pek Cut Siansu,
sedangkan kelima Kam Ih dipilih dari angkatan kedua. Karena
itu upacara pelantikan harus dilakukan. Biasanya upacara itu
dilakukan secara besar dan agung dan khidmat. Maka juga
undangan harus dikirim secara meluas terhadap semua
cabang Siauw Lim Sie. Hanya kali ini disamping kehidmatan
upacara mau dilakukan secara tertutup supaya jangan ada
pihak luar yang mendapat tahu, agar tak ada pengacauan oleh
pihak luar itu. Hatinya Bu Kie lega setelah dia selesai menjalankan
tugasnya, maka itu sempat dia menyaksikan bentroknya
Lohan Tiu hanya tahu bahwa itulah pertempuran benar-benar
sedangkan mulanya dia menyangka kepada latihan biasa.
Selama memasuki kuil dia pula tidak melihat para pendeta
yang terbinasa dan terluka, maka dia tak tahu apa-apa. Hanya
apa yang mengherankannya ialah pihak yang diserang itu
cuma dua orang muda, sepasang muda mudi. Sendirinya dia
memasang mata tajam untuk melihat tegas terutama guna
mencari tahu dari ilmu silat mana muda mudi itu, mereka ada
rumah perguruan atau partai mana. Selekasnya dia melihat
tegas, dia heran hingga dia tercengang. Dia mengenali itulah
suami isteri Tio It Hiong dan Cio Kiauw In, dua orang
pelindung atau penolong dari Siauw Lim Sie. Hanya sedetik
itu, dia tak dapat mengenali penyamarannya Gak Hong Kun.
Maka dia hanya mengenali It Hiong.
"Aneh !" pikirnya. "Kenapa kedua penolong dari Siauw Lim
Sie justru bertempur di Gwan Sek Sie ini ?"
Tak lama Bu Kie ragu-ragu itu, sebab ia telah
terpengaruhkan perasaan hatinya sendiri yang tegang. Tibatiba
dia berseru dengan panggilannya, "Sicu Tio It Hiong !"
Sedangnya pertempuran berlangsung hebat itu, karena itu
seperti tidak ada yang dengar sebab orang bertempur terus
dengan serunya. Yang menyahuti ialah berisiknya bentrokan
pelbagai senjata tajam. Dari heran, Bu Kie menjadi penasaran. Dia memang
bertabiat keras. Dia melihat tegas, kecuali tiga puluh enam
pendeta yang lagi berkelahi itu, yang lainnya yang berkumpul
di pinggiran tidak ada yang tidak menunjuki tampang gusar.
Kenapakah orang agaknya sangat membenci muda mudi itu "
Segera setelah habis sabarnya, pendeta pesuruh dari Siauw
Lim Sie lantas berseru, "Tahan !" Hebat suaranya itu tetapi dia
tak dapat menghentikan Lohan Tiu. Adalah dua orang pendeta
yang tak turut bertempur yang lantas lari menghampiri
pendeta dari Siong San itu, untuk mengawasinya dengan mata
mendelik. Mereka memberi hormat tetapi keduanya menanya
dengan suara dalam, "Suheng, kalau suheng tidak punya
urusan apa-apa, silahkan istirahat di dalam pendopo samping
sana ! Buat apa suhen berseru ?"
"Su heng" ialah kakak seperguruan.
Bu Kie sedang mengawasi medan pertempuran, waktu ia
melihat dua pendeta muda itu dan mendengar suara orang
yang dalam itu. "Hm !" ia memperdengarkan suara dingin. "Sute berdua,
apakah kalian kenal atau mengenali sepasang muda mudi
yang sedang dikepung itu ?"
"Sute" ialah adik seperguruan.
Salah seorang pendeta bukannya menjawab hanya
menanya keras, "Suheng pernah apakah dengan mereka itu ?"
Itulah kata-kata yang nadanya mengejek.
Hampir Bu Kie mendamprat pendeta itu, baiknya ia ingat
bahwa mereka adalah dari satu perguruan dan ia sendiri
berkedudukan lebih tinggi.
"Hm !" ia mengasih dengar pula suara dinginnya, sebab
saking hebatnya ia menguasai hatinya yang panas itu, sedang
wajahnya terlihat merah padam. "Kedua muda mudi itu bukan
sanak atau kadang dari kakakmu ini tetapi mereka adalah
kedua penolong dan pembela dari kuil kami !"
Kedua pendeta itu heran sampai mereka mengawasi
dengan mendelong. "Apakah pria itu adalah Tio It Hiong yang melabrak dan
mengusir kawanan bajingan penyerbu Siauw Lim Sie ?"
mereka tegaskan. Bu Kie membaliki dengan suara dalamnya, "Sute, apakah
kau tidak kenal tuan penolong kami itu ?"
Belum lagi si pendeta menjawab, atau dari medan
pertempuran terdengar suara bentakan dan berisikanya
beradunya senjata. Kiranya pihak Lohan Tiu telah
memperkeras serangannya. Itulah yang dinamakan perubahan
tingkat dua dan namanya ialah "Bun Had Tiauw Thian,"
Berlaksa Buddha Menghadap Ke Langit kepada Tuhan".
Pendeta yang menjadi pimpinan Barisan sudah lantas lompat
kepada Hong Kun dan Kiauw In buat mulai dengan
seranganya dahsyat. Karena desakan itu, muda mudi itu
melawan dengan sama kerasnya.
Dengan perubahan itu, para pengurung lantas berubah
menjadi dua rombongan dan pengurungan atau penyerangan
menjadi bergantian. Yang kiri dan yang kanan bergantian
maju, serangannya hebat sekali. Itulah yang menyebabkan
suara berisik itu. Bu Kie terperanjat menyaksikan perubahan itu. Dan melihat
nyata bagaimana muda mudi itu didesak hebat.
Sampai disitu terlihat bedanya diantara Hong Kun dan
Kiauw In. Si anak muda ternyata kalah latihan, dia kalah ulet.
Kerja sama mereka jadi tak teratur dan berat sebelah.
Di pihak Lohan Tiu, orang tetap bersemangat dan ulet.
Kegagahan para pendeta itu tak berkurang bahkan lebih
mantap. Bu Kie menjadi mandi peluh tanpa merasa. Dia mesti
menyaksikan suasana hebat itu. Di dalam keadaan seperti itu,
lebih-lebih tidak sempat dia meneliti Hong Kun. Dia hanya
menyangkan bahwa It Hiongsudah mulai letih, ia tidak
memikir kenapa tuan penolong dari Siauw Lim Sie itu menjadi
demikian lemah, bahwa ilmu silatnya beda dari ilmu silatnya
Kiauw In. Mereka berdua toh suci dan sute, kakak beradik
seperguruan. Kenapa bukannya mereka menang atau dapat
merobohkan keluar dari tiu tetapi justru terus terkurung.
Di saat itu tampak Hong Kun dikepung empat buah golok,
yang menyerangnya dari atas dan bawah, dari kiri dan kanan.
Dari berkelit sambl menangkis jurus "Dengan Delapan Tangan
Membunuh Naga" sebuah jurus istimewa dari Heng San Pay.
Dengan berkelit itu, dapat dia mundur tiga tindak. Tapi dia tak
luput seluruhnya. Ada golok yang menggores celananya, serta
mengenai betisnya hingga kulitnya berdarah.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahan !" berteriak Bu Kie sambil dia berlompat maju,
niatnya membantu orang yang dia sangka It Hiong itu, tetapi
bukannya dia maju, dia justru tertarik balik sebab mendadak
ada tangan yang kuat yang membetotnya dari belakangnya.
Hingga dia menjadi heran dan lekas-lekas menoleh. Sehingga
dia melihat Pie Te Taysu dihadapannya.
"Susiok !" panggilnya sambil dia lekas-lekas memberi
hormat. Di saat itu mukanya masih merah sebab gusar dan
mendongkol. Pie Te Taysu mrengulapkan tangan terus ia tertawa.
"Sutit, selesailah tugasmu !" katanya. "Pergilah kau pulang
!" Bu Kie sang kemenakan murid melengak.
"Susiok," katanya pada paman guru itu, "orang didalam itu
ialah........" Belum habis ia berkata tubuhnya Bu Kie sudah terpental
keundakan tangga Toa tian. Tapinya dia tak jatuh, dapat dia
berdiri tegak. Lantas dia mendengar suara yang disalurkan
dengan ilmu Toan Im Jip Bit : "Dua orang ini sudah menyerbu
kuil, dia telah membinasakan dan melukai beberapa anggauta
kita, maka itu mereka berdua hendak ditawan untuk diperiksa.
Sutit, baik jangan campur tangan hanya lekas-lekas kau
pulang membawa laporan."
Bu Kie bingung, ia bersangsi. Tetapi ia mempunyai tugas, ia
pun mesti percaya paman gurunya itu. Maka itu dengan hati
tak karuan rasa lantas ia melakukan perjalanan pulang.
Hong Kun sementara itu letih sekali, kecuali luka dibetisnya
itu, ia terluka parah sebab ia masih dapat memaksa bergerak
dengan cepat dan cepat. Kiauw In tidak terluka, tapi sia-sia saja percobaannya akan
menerobos keluar. Beberapa kali ia mencoba selalu gagal
hingga ia kembali terdesak ke dalam tiu dan terkurung.
"Kedua sicu !" terdengar Pie Te Taysu berkata nyaring,
"jika kalian sudi meletakkan senjata kalian dan manda
ditangkap, pinceng akan memberi ampun kepada kalian !"
Suara itu mendapat jawaban tidak diperhatikan sama
sekali. Sekalipun telah diulang dan diulangi beberapa kali.
Muda-mudi itu berkelahi terus. Mereka tampak seperti tak
mendengar apa-apa. Pie Te Taysu telah melihat keadaan orang, ia menduga
muda mudi itu menjadi korban racun maka ia merasa kasihan
terhadap mereka dan tak ingin segera membinasakannya.
Tidaklah demikian dengan para pendeta yang bersakit hati
dan membenci hingga memikir menuntu balas bagi sekalian
saudara mereka. Demikianlah, habis seruan Pie Te berseruseru
itu, pemimpin tiu berseru nyaring goloknya diangkat naik
digeraki sebagai aba-bab, maka lagi sekali tiu bergerak secara
luar biasa gesit dan bengis. Bayangan orang dan sinar golok
bergerak makin cepat. Di dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dari pojok kiri
pendopo terlihatnya berkelebat satu bayangan terus tampak
munculnya seorang seebie, kacung pendeta. Dia lari
menghampiri Pie Te Taysu untuk memberi hormat dan
berkata, "Di houw tian terdapat musuh, maka itu Ciang bun Su
sun menitahkan Susiok pergi menghadangnya !"
Ciang bun Su Cun ialah ketua kuil dan houw tian pendopo
belakang. Di pendopo belakang itu terdapat banyak kamat,
satu diantaranya menjadi "Ceng sit" kamar istirahat dari Sie
Siansu, ketua dari Gwan Sek Sie. Kamar dipisahkan sendiri
dengan sebuah taman. Pie Te Taysu kaget sekali.
"Baiklah !" bilangnya sambil memberi isyarat.
Selagi kacung ini mengundurkan diri, Pie Te sudah
berlompat ke gang yang menuju ke belakang.
Semua pendeta di kiri dan kanan heran melihat Pie Te
Taysu berlalu secara demikian tergesa-gesa, tetapi karena
aturan kuil keras sekali, tanpa ijin atau perintah, mereka tidak
berani meninggalkan tempat.
Jilid 47 Mendadak ada terdengar sesuatu suara diatas penglari
Toa-tain disusul dengan terlihatnya beberapa titik hitam
menyambar ke arah Lohan Tiu. Berbareng juga mendengung siulan keras dan
nyaring, seperti tangisan iblis, sangat menusuk telinga dan
menembusi hati hingga tubuh orang menggigil karenanya.
Bukan itu saja, titik-titik hitam itu telah membentur beberapa
buah golok hingga goloknya tiga orang pendeta terlepas dari
cekalannya dan terpental jatuh, habis mana titik-titik hitam itu
lantas terbang pergi. Karena itulah beberapa ekor kampret.
Heran bahwa kampret dapat membuat golok terpental,
maka itu pada itu pastilah ada sebabnya dan sebab itu bukan
lain bahwa kampret itu telah ditimpukkan oleh seseorang yang
tenaga dalamnya mahir sekali.
Seterbangnya beberapa ekor kampret itu, lagi ada titik-titik
hitam seperti tadi yang menyambar kedalam tiu. Kembali ada
tiga buah golok yang jatuh ke lantai sedang si pendetanya
berkaok kesakitan dan tangannya yang kiri memegang
lengannya yang kanan yang memegang golok itu !
Kembali tiga ekor kampret terbang pergi.
Kejadian itu hebat bekerjanya, Lohan Tiu menjadi kacau
seketika, apa pula ketika terdengar pula siulan nyaring dan
menyeramkan, mendengar mana sebaliknya, Hong Kun dan
Kiauw In seperti mendapat semangat lantas keduanya
menyerang dengan hebat hingga dilain saat mereka berhasil
menerobos kurungan, tak perduli lowongannya tiu itu sudah
lantas ditambal oleh kawan-kawannya yang diluar kalangan.
Pemimpin Lohan Tiu yang merasa heran segera
memperdengarkan suaranya, "Orang pandai dari mana telah
datang kemari " Kenapa kau menyembunyikan kepala
menonjolkan ekor " Kenapa kau menyerang secara menggelap
" Bagaimana andiakata kau memperlihatkan dirimu ?"
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, hanya setelah
diulangi dengan terlebih keras, barulah terdengar jawabannya
yang berupa tawa dingin berulang-ulang. Kemudian barulah
terdengar kata-katanya, "Muridku, jangan libatkan diri dengan
ini rombongan keledia gundul ! Lekas kalian menyerbu ke
dalam kamar pertapaan, gurumu hendak menempur si keledia
tua Pie Sie !" Hong Kun dan Kiauw In melengak, tetapi segera mereka
menjawab, lantas mereka berlompat pergi menuju ke
belakang, memasuki gang untuk ke Houw tian. Kawanan
pendeta hendak menghadang, sayang mereka terlambat.
Itulah karyanya Im Ciu It Mo yang mula-mulanya terus
main menyembunyikan diri karena sifatnya ialah
menggunakan tenaga kedua murid istimewa itu, guna
mengacau pendeta-pendeta dari Gwan Sek Sie. Dengan begitu
dia juga main perang urat syaraf. Sebab aneh Kiauw In dan
"Tio It Hiong" menyerbu kuil Gwan Sek Sie yang menjadi
cabang dari Siauw Lim Sie. Dia girang melihat kedua murid itu
bisa mengacau dengan baik, sampai ia mendapatkan mereka
itu terkurung. Maka juga, sampai disitu, ia menolong
meloloskan mereka itu, yang terus diberi tugas lain.
Lebih dahulu daripada itu Im Ciu It Mo telah menghajar
mati beberapa pendeta houw tian. Dengan begitu dia
menggunakan akal mengacaukan kedua belah pihak hingga
saatnya Pie Te Taysu meninggalkan Toa-tian. Ia sengaja
memperdengarkan suara nyaring buat mengejutkan orang.
See bie yaitu kacung pendeta yang menjaga Ceng sit
menjadi murid termuda dari Pie Sie Siansu. Ketika dia
mendengar suara itu, dia keluar untuk melihat. Dia membekal
pedang. Dia muda tetapi cerdas. Dengan mengira-ngira dari
mana suara datang dia menuju ke arah suara itu lalu tiba
ditaman. Di sini dia tidak melihat musuh. Maka dia lantas
mendekam, bersembunyi diantara pepohonan bunga.
Belum lama maka muncullah Im Ciu It Mo di dalam taman
itu. Dia heran yang dia tidak melihat orang. Dia menghentikan
tindakannya sambil berpikir. Lalu dia bersiul pula terus tertawa
dingin. Dari tempat sembunyinya, si siebie melihat orang itu,
seorang wanita tua dengan pakaian kuning, matanya tajam,
tangannya memegang tongkat panjang. Wanita itu celinguk ke
empat penjuru. Dengan tangan memegang golok kaylo, ia
lantas menyiapkan biji thie-liam-cu, mutiara besi yang
dijadikan senjata rahasia, kemudian dengan berlompatan dia
pergi ke tempat lebat di depan wanita itu, jaraknya lima atau
enam kaki. Ia menanti si wanita justru melihat ke arah lain,
mendadak dengan cepatnya, ia mencelat tinggi melewati
semak, untuk menyerang dengan senjata rahasianya itu
dengan sasarannya ialah tu-tong, jiu-tong dan thian-cut,
ketiga jalan darah yang berbahaya. Ketika tubuhnya turun, dia
terus berjumpalitan menghampiri si wanita, buat melanjuti
menyerang dengan goloknya !
Siebie itu lihai tetapi ia masih terlalu muda bagi si nenek
yang lihai itu. Nenek itu terkejut tapi dia dapat segera berkelit mundur,
hingga dia bebas dari senjata rahasia, sebab tongkatnya
segera diputar dipakai melindungi tubuhnya sedang serangan
golok ditangkis keras sampai siebie itu kaget sebab tangannya
nyeri sebagai akibat beradunya kedua senjata tongkat kontra
golok, dan goloknya terbang pergi !
Ketika si siebie menginjak tanah, dia memisahkan diri
setombak lebih. Sebenarnya Im Ciu It Mo masih hendak menyembunyikan
dirinya, sekarang dia terpegok. Dia jadi benci si bocah dan
berniat membinasakannya. Itulah jalan membungkam mulut
orang. Maka juga dengan tak sudi memberi kesempatan
beristirahat kepada bocah itu, dia lompat menghantam dengan
tongkatnya ! Bocah itu kaget, dia lantas menjerit minta tolong, meski
begitu dia tidak diam saja, dengan cepat dia menjatuhkan diri
terus berguling sejauh empat kaki.
Hebat serangan si wanita, tongkatnya sampai nancap tiga
kaki dan tanah muncrat ke empat penjuru !
Im Ciu It Mo melengak sedetik. Adalah diluar dugaannya,
yang serangannya gagal. Hal itu menambah kegusarannya. Ia
mencabut tongkatnya dengan niat menghajar pula. Ia melihat
orang terpisah satu tombak dari ianya.
Siebie itu melihat sinar mata si nenek, ia memutar tubuh
dan lari pergi. Nenek itu penasaran, dia berlompat menyusul
terus dia menyerang ! Bocah itu sangat lincah, dia tersusul dan dihajar, tetapi dia
masih dapat berkelit. Maka dia terus diserang lagi, tetapi
sampai tiga kali, tetap dia selamat.
Si nenek heran hingga ia berdiam sampai ia melihat ujung
tongkatnya tercantelkan sebatang gelang emas.
"Ah !" serunya kemudian.
Itulah gelang, yang merintangi tongkatnya hingga ujung
tongkat gagal mengenakan si bocah. Pantas tadi dia merasa
tongkatnya tertahan sesuatu. Maka ia sekarang berpikir
menerka-nerka, siapa pemiliknya gelang emas itu. Ya,
siapakah " "Ah, mestinya ini gelang emasnya Pie Sie Siansu ketua
Gwan Sek Sie....." pikirnya kemudian. Karena ini, tidak
bersangsi pula, dia membentak, "Pie Sie si kepala gundul
bangkotan, kapannya kau pelajari ini kepandaian hina dina,
menyembunyikan kepala menongolkan ekor " Kenapa kau tak
berani menemui orang ?"
Tepat si nenek membuka suara jumawa itu, mendadak di
depan matanya muncul dua orang pendeta setengah tua,
jubahnya seragam dengan warna kuning, mukanya lebar,
tangannya sama-sama bersenjatakan sepasang Liong Houw
Kim Hoan, gelang emas naga-nagaan dan harimau-harimauan.
Melihat gelang emas itu maka mengertilah It Mo siapa
pelepasnya tadi. Hanya berbareng dengan ini, dia menjadi
heran sekali. Gelang emas pada tongkatnya lenyap secara tiba-tiba tanpa
dia merasakannya, hingga dia menjadi bingung. Dia juga
heran yang si siebie tadi pun hilang tak karuan. Dia tidak tahu,
justru Liong Houw Sian Ceng muncul justru siebie itu lari
menghilang kedalam semak pohon bunga.
Kedua pendeta lantas memberi hormat kepada wanita itu.
"Sicu," kata yang satu, "Sicu sudah langsung memasuki kuil
dan juga telah membinasakan dan melukai beberapa saudara
kami, sekarang sicu berkaok-kaok mengatai guru kami,
apakah artinya itu " Apakah sicu sangka Gwan Sek Sie dapat
membiarkan orang berbuat begitu kurang ajar dan kejam,
main membunuh orang ?"
Im Ciu It Mo sedang heran dan gusar, teguran itu
membuatnya naik darah. "Kamu mempunyai kepandaian apa maka kamu berani
begini kurang ajar terhaap aku si wanita tua ?" demikian
tegurnya. Bu Sek terbangun sepasang alisnya. Kata dia, "Aku yang
muda memang berkepandaian rendah sekali, itulah aku
ketahui maka itu aku bukanlah lawan sicu, akan tetapi walau
demikian gelang ditangan kami hendak mengajar adat kepada
orang yang tidak tahu aturan sopan santun !"
It Mo mengangkat tongkatnya, dia tertawa.
"Aku si wanita tua tidak memikir menempur segala anak
muda !" katanya menghina. "Maka itu lekas kamu suruh Pie
Sie si gundul bangkotan supaya dia muncul menemui aku,
supaya dia iseng-iseng mencoba kedua rupa kepandaianku,
Sun Im Lu San Kang dan tongkat Tuowlo Thung Hoat !"
Bu Sek tertawa. "Buat apa kau berjumawa begini rupa, sicu ?" katanya.
"Baiklah, dengan sepasang gelang emas Naga dan Harimau
kami, siauwseng akan mencoba melayani kedua rupa
kepandaian yang istimewa itu ! Tak usahlah sicu menganggu
ketenangan guruku !"
Pendeta ini bukan cuma berkata, dia malah segera
mengeluarkan senjatanya dengan apa dia mendahului
menyerang ! Tanpa bergerak tubuh dan kakinya, Im Ciu It Mo
menyambut serangan itu dengan tongkat. Sengaja ia
membuat ujung tongkat terkutungkan sepasang gelang lawan.
Bu Sek terkejut buat keberaniannya musuh itu, sampai
pucat. Tak ayal lagi dia mengerahkan tenaga Tay Poan liak
Sian Kang, Prajna besar. Dia menggerakkan kedua tangannya
menarik pulang gelangnya itu.
Im Ciu It Mo bersenyum dan kata, "Murid ajarannya Pie Sie


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si gundul tua ada juga kepandaiannya !" Dia memuji tetapi dia
pun mengejek. Tiba-tiba dia ingat bahwa datangnya ini ada
guna membantu kedua muridnya lolos dari Lohan Tiu, supaya
Pie Tie Taysu dapat dipancing pergi dari tin-nya itu, maka ia
lantas merubah sikapnya dari takabur menjadi sabar sekali.
Kata dia dengan tenang, "Akulah si wanita tua sengaja datang kemari buat dengan
ilmuku Sun Im Cit San Kang belajar kenal dengan ilmu silat
lihai Siauw Lim Sie, karena itu kalau ketua Pie Sie sedang
bertapa, baiklah sekarang kau bolah titahkan orang
memanggil Pie Te Taysu datang menemui aku."
Bu Sek dan Bu Siang saling mengawasi. Itulah pertanda
bahwa sekalipun mereka berdua bukannya lawan setimpal
nenek ini, dari itu baiklah permintaan si nenek diterima baik.
Dengan demikian Bu Sek lantas berpaling ke semak pohon
bunga untuk berkata dengan perintahnya, "Sute, lekas
mengundang paman guru datang kemari !'
Dari dalam pepohonan itu terdengar jawaban yang
mengiyakan lalu tampak satu bayangan orang kecil berlompat
lari ke jalan yang menjurus ke depan.
Im Ciu It Mo mendapat lihat kepergiannya bayangan kecil
itu. Ia kuatir sebelum Pie Te datang, Bu Sek dan Bu Siang
juga nanti pergi ke Toa-tian, maka itu ia lantas perdengarkan
siulannya yang nyaring itu guna memberi isyarat kepada Hong
Kun dan Kiauw In, setelah mana ia kata kepada kedua
pendeta di depannya itu, "Aku si wanita tua juga ingin belajar
kenal dengan kepandaian lihai dari Liong Houw Siang Ceng."
Itulah tantangan kepada kedua pendeta itu, supaya mereka
berdua bersama menyerangnya. Tapi dia juga bukan cuma
menantang, dia lantas mulai menyerang supaya si kedua
pendeta tak sempat memikir lainnya.
Kedua pendeta itu tak menyangka orang menantang sambil
terus menyerang. Terpaksa, terpaksa mereka harus
menyambut serangan itu, terutama pertama-tama untuk
mengelakan diri dari hajaran orang. Akan tetapi belum sampai
mereka bergerak lebih dahulu, mendadak Im Ciu It Mo sudah
berlompat pergi terus menghilang ! Sebaliknya yang tampak
ialah Pie Te Taysu, paman guru mereka ! Mereka heran
hingga mereka melengak. Lekas-lekas mereka memberi
hormat kepada paman guru mereka itu kemudian ketika
mereka mau bicara mereka didahului si paman guru !
Pie Te Taysu mengernyitkan alisnya dan berkata : "Sutit,
kita kena diakali si jahat dan licik itu ! Si bajingan tua sungguh
cerdik !" "Paman, apakah paman tak melihat Im Ciu It Mo ?" Bu
Siang tanya. "Rupanya dia sudah kembali ke pendopo besar," menyahut
sang paman guru, yang lebih dahulu memuji sang Buddha.
"Mungkin dia hendak membantu sepasang muda mudi yang
terkurung di dalam Barisan rahasia Lohan Tiu itu...."
Liong Houw Siang Ceng melengak.
"Bagaimana kalau kami berdua pergi ke pendopo besar ?"
tanyanya. Pie Te Taysu menggeleng kepala.
"Sudah, tak usah !" jawabnya.
Memang tepat terkaan Pie Te Taysu. Im Ciu It Mo sudah
menyingkir ke pendopo besar dimana ia membantu kedua
muridnya, sepasang muda mudi itu. Dan justru Pie Te Taysu
itu berbicara, muncullah Cio Kiauw In dan Gak Hong Kun yang
nampak sudah sangat letih sebab mereka masih bersiap
dengan pedangnya masing-masing.
Melihat orang muncul tanpa Im Ciu It Mo, Pie Te Taysu
kata kepada kedua kemenakan muridnya, "Kamu layani
mereka secara main-main, supaya mereka dapat terlibat. Aku
sendiri, hendak mencari si bajingan bangkotan itu !"
Belum berhenti suara pendeta ini, tubuhnya sudah
berlompat pergi, keluar dari taman bunga itu.
Liong Houw Siang Ceng tidak sempat memikir apa-apa.
Kiauw In dan Hong Kun sudah tiba di depan mereka dan
muda mudi itu sudah lantas menyerang pada mereka, yang
diarah dadanya. Mereka menangkis sambil berlompat mundur.
Bu Sek Hweshio heran, kapan ia melihat si pemuda yang ia
kenali sebagai murid dari Pay In Nia ialah Tio It Hiong. Sama
sekali ia tak dapat membedakan It Hiong tulen dari It Hiong
palsu, hingga ia tidak tahu bahwa pemuda ini sebenarnya
Hong Kun adanya. Lantas ia menjadi memikiri peristiwa baru-baru ini di luar
kota Gakyang, ditengah jalan dimana "Tio It Hiong" ini sudah
menggunakan bubuk beracun membinasakan dua muridnya, ia
pun lantas ingat keterangannya Koiy To Ciok Peng halnya ada
Tio It Hiong palsu. Dan sekarang It Hiong menyerang kemari !
Justru itu Bu Siang membentak si pemuda, "Murid licik dari
Pay In Nia, apakah sekarang kau masih hendak menipu orang
dengan wajah palsumu ?"
Mendengar suara saudaranya itu, Bu Sek menyangka pasti
kepada It Hiong palsu. Maka berdua mereka menyambuti
penyerangannya muda mudi itu, hingga sepasang pedang jadi
bentrok dengan gelang-gelang yang berkilauan hingga
terdengarlah suaranya yang berisik, sedang percikan apinya
pun berpeletikan, suara nyaring memekakkan telinga, percikan
yang menyilaukan mata. Yang mengagetkan ialah mereka harus mundur satu tindak
saking kerasnya bentrokan itu.
Kiauw In dan Hong Kun mundur juga, dengan sinar mata
lalu berdua mereka saling mengawasi. Jelas dari tampangnya
hal muda mudi itu sudah letih sekali. Toh mereka tetap gagah
! Sepasang pendeta Naga dan Harimau itu penasaran.
Dengan muka merah mereka maju pula, diwaktu mereka
menyerang mereka menggunakan silat gelang mereka yang
diberi nama Liong Houw Hong In - Angin dan Mega Naga dan
Harimau. Sebaliknya kedua pendeta yang sedang panas hati, telah
bergerak dengan keras dan lincah. Memangnya merekalah
tenaga-tenaga baru. Tengah muda mudi itu terdesak demikian hebat, tiba-tiba
dari kejauhan terdengar satu suara nyaring dan tajam. Mudamudi
itu mendapat dengar suara itu, sambil membela diri
mereka memasang telinga. Segera terdengar suara ulangan dari suara nyaring itu. Kali
ini suara itu sangat berpengaruh bagi si muda mudi.
Mendadak sontak lenyaplah keletihan mereka, secara tiba-tiba
mereka menjadi gagah pula, bahkan mata mereka juga lantas
berubah menjadi bersinar sangat tajam dan bengis.
Habis dua kali suara nyaring itu, tibalah gilirannya kedua
pendeta mendengar seperti suara laler. Itulah bukannya suara
dari orang yang pertama tadi hanya puji Sang Buddha dan
suara itu ialah isyarat dari Pie Sie Siansu yang menggunakan
ilmu saluran suara Thian Liong Sian Ciang "Nyanyian Suci
Naga langit". Kalau suara nyaring tadi menakuti, suara yang belakang ini
lembut dan membangunkan semangat dan suara ini
menentang suara yang pertama itu. Dengan demikian Thian
Liong Siang Ceng jadi tengah menempur suara iblis Sun Im Cit
Sat Kang dari Im Ciu It Mo.
Aneh pengaruhnya kedua suara itu. Kedua pendeta dan
sepasang muda mudi sudah lantas berhenti bertarung.
Sendirinya mereka pada mengundurkan diri, yang pertama
berwajah keren, yang kedua tampak tenang. Kedua belah
pihak sama-sama bungkam. Beberapa kali mereka maju pula, untuk bertempur lagi,
terus mereka mundur kembali. Hingga mereka seperti
bermain-main. Mereka bergerak mengikuti nada atau iramanya kedua rupa
suara keras dan lembut itu.
Secara demikian diam-diam Pie Sie Siansu dan Gwasn Sek
Sie tengah menempur ilmunya Im Ciu It Mo yang dilatih
selama empat puluh tahun. Mereka mengadu tenaga dalam
yang berupa suara, tanpa tangan-tangan mereka bentrok satu
dengan lain. Walaupun demikian, mereka bertempur jauh
terlebih hebat daripada Liong Houw Siang Ceng kontra
sepasang muda mudi itu. Im Ciu It Mo datang ke Gwan Sek Sie dengan berniat
melakukan penyerangan dan pembunuhan, buat memancing
munculnya Pie Sie Siansu, supaya nanti mereka bertemu dan
bertarung selama pertemuan di Bu Lim Cit Cun. Siapa tahu
disini mereka sudah mengadu kepandaian lebih dahulu. Hanya
kali ini, dia tak dapat sembarang mengundurkan diri. Siapa
mundur secara sepihak, dia bisa celaka sendiri.
Sesudah berlangsung sekian lama, suara keras dari Im Ciu
It Mo terdengar menjadi kendor dan kendor, hingga akhirnya
dia seperti tertindih puji sang Buddha.
Menghadapi Ceng-sit, kamar suci dari pendeta kepala,
terdapat sebuah taman, disitu tumbuh sebuah pohon cemara
yang besar dan tua, banyak dahannya dan lebat daunnya.
Justru selagi pertempuran luar biasa itu berlangsung, di atas
pohon itu terdapat seorang yang rambutnya terlepas terurai,
yang kedua biji matanya bersinar sangat tajam, sinarnya
kebiru-biruan. Itulah dia Im Ciu It Mo yang lagi menggunakan ilmunya,
San Im Cit Sut Kang. Sinar matanya itu sekarang tampak
kurang tenang. Sembari menongolkan sedikit kepala, kembali ia
memperdengarkan suaranya yang nyaring itu, yang
menyeramkan lebih hebat daripada yang semula. Terang ia
sudah mengerahkan tenaga dalamnya secara dahsyat sekali.
Tengah kedua gelombang suara yang keras dan lunak
bertempur seru itu, tiba-tiba saja keduanya berhenti di dalam
sekejap, menyusul mana sinar mencorong dari kedua matanya
Im Ciu It Mo pun menjadi suaram dan lenyap disusul dengan
berhentinya juga suara puji Buddha. Hanya berbareng dengan
itu, satu bayangan hitam kecil tujuh atau delapan kaki
panjangnya terlihat berkelebat
ke arah Cengsitu, kamar semedhi dari kuil, akan tetapi
belum lagi bayangan itu dapat masuk, dia sudah berhenti
setengah jalan bagaikan ada yang merintanginya, terus jatuh
ke tanah sambil memperdengarkan suara nyaring. Kiranya
itulah sebatang tongkat panjang.
Dari dalam kamar semadhi segera terdengar suara tawa
disusul kata-kata ini : "Kau berbelas kasihan sicu tua, terima
kasih ! Telah aku menerima pengajaranmu. Sicu, kesesatan itu
datangnya dari diri sendiri maka juga baiklah sicu jangan lupa
memuji." Apakah yang sebenarnya sudah terjadi "
Itulah pertanda bahwa pertarungan mengadu tenaga dalam
sudah sampai diakhirnya dan Sun Im Cit Sat Kang diperdalam
empat puluh tahun dari It Mo kalah dari Tay Poanjiak Sin Kang
dari Pie Sie Siansu, tenaga dalam yang diberi nama "Sian
Liong Ciang Im" Nyanyian Naga Langit itu. It Mo tidak sampai terluka atau
terbinasa, tetapi tenaga dalamnya telah terkuras habis
delapan atau sembilan bagian. Pie Sie Siansu masih berbelas
kasihan, kalau tidak It Mo tentu telah dihajar hingga dia
kehilangan nyawanya. Ia masih mengharap lawannya itu
sadar dan merubah kekuatannya untuk menjadi orang baikbaik.
Tapi It Mo bertabiat keras. Dia selalu mau menang
sendiri, sesudah kalah mengadu suara, dia masih penasaran,
dia menyerang dengan tongkatnya itu, tongkat mana kena
disampok jatuh oleh orang yang dibokongnya.
Menyusul berhentinya pertempuran kedua jago itu,
berhenti juga perkelahian diantara dua rombongan orang di
dalam taman karena herannya, mereka itu jadi saling
mengawasi. Im Ciu It Mo berlompat turun dari atas pohon, berdiri
ditanah, dia terhuyung-huyung dahulu, nafasnya pun
memburu. Masih dia penasaran, maka juga sambil menuding
ke arah Cengsit dia berkata termoga-moga : "Pie Sie tua
bangka gundul. Jangan kau bergirang dahulu ! Lain tahun di
ini hari, aku si wanita tua, akan aku datang pula guna
membalas dan membayarkan penasaranku ini !"
Ancaman itu diakhiri dengan satu suara seperti bersuit
perlahan, atas mana Cio Kiauw In dan Gak Hong Kun segera
bertindak menghampiri ke depan Bajingan itu.
Liong Houw Siang Ceng tak terbengong terlebih lama pula.
Mereka melihat kedua lawannya bertindak pergi, mereka
berlompat akan menyusul atau mereka terus merandak tubuh,
mereka mendengar ini suara yang halus sekali, "Muridku,
berikanlah mereka satu jalan hidup......"
Maka merekapun segera menyimpan gelang mereka.
Bu Sek Hweshio berpaling ke arah kuil, kata dia, "Suhu,
membinasakan orang jahat berarti berbuat kebaikan untuk
umum, kenapa mereka harus diberi hidup ?"
Dari dalam kamar bersemadhi terdengar pula suara halus
ini : "Amida Buddha ! Kau mengertilah muridku, baik atau
jahat semua itu tak akan lolos dari takdirnya. Karena itu buat
apa kau menambah kejahatan " Biarkan mereka pergi......"
Selagi si pendeta berkata-kata itu, Im Ciu It Mo telah
mengerahkan sisa tenaganya untuk berlompat keluar dari
taman kuil buat pergi mengangkat kaki dengan diikuti Hong
Kun dan Kiauw In. Liong Houw Siang Ceng mengawasi ketiga orang itu pergi
berlalu, hati mereka nyeri sekali. Mereka bersakit hati buat
beberapa adik seperguruannya yang berbinasa dan terluka
yang sakit hatinya tak terbalaskan. Tak dapat mereka
menentang guru mereka itu yang hatinya mulia hingga
kemudian mereka hanya dapat berdiam dan bertunduk saja.
Im Ciu It Mo keluar dari tembok tengah dengan terus
menuju ke gunung belakang. Selekasnya dia tiba diatas,
terang di dalam hati dia terkejut tak terkira. Itulah sebab dia
melihat lima tombak di depan dia, Pie Te Taysu lagi berdiri
sambil mengawasinya. Walaupun dia sudah tidak mempunyai tenaga lagi, dia toh
berlaku tenang, bahkan sembari tertawa dingin dia kata :
"Sungguh diluar dugaanku yang diluar kuil Gwan Sek Sie ini
aku dapat bertemu dengan bapak pendeta yang mulia !
Selamat bertemu !" Habis mengucap demikian kembali jago wanita ini
memperdengarkan suara perlahan terhadap Kiauw In dan
Hong Kun guna mengisiki kedua muda mudi yang berada


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawah pengaruhnya itu buat segera menyerang si pendeta
tua. Sepasang muda mudi itu masih sangat letih akan tetapi
mendengar perintah itu tiba-tiba mereka bersemangat pula,
mendadak saja mereka seraya terus berlompat maju, hendak
menyerang pendeta di depannya itu.
Pie Te Taysu tertawa. "Sicu, jangan kau salah paham !" katanya sabar. "Datangku
kemari bukannya buat menempur kalian bertiga guru dan
murid." Kiauw In berpaling pada It Mo, terus dia menyerang Pie Te
Taysu. Sungguh pendeta menangkis dengan satu kebutan ujung
jubahnya yang gerombongan.
"Sicu," katanya sabar. "Kau telah berkelahi satu malam
suntuk. Kau sudah letih sekali, maka itu jangan mencari
kesengsaraan lebih jauh......"
Justru pendeta itu berbicara dengan si nona, Gak Hong Kun
maju menyerang, menebas ke arah pinggang. Pie Te Taysu
tidak menangkis, karena ia lagi menghadapi Kiauw In.
Tubuhnya jadi berada disampingnya penyerang, maka itu ia
terus memutar tubuhnya itu, bahkan dengan berani ia
memasang perutnya, untuk dibiarkan kena tertebas !
Hebat, pedang mengenai perut tetapi tak mempan, bahkan
setelah satu suara nyaring, pedang itu terpental jatuh ke
tanah sejauh enam kaki sebab cekalannya Hong Kun terlepas
sendirinya ! Im Ciu It Mo terkejut menyaksikan kegagalannya kedua
murid itu. Ia sendiri tak berdaya, sebab ia terluka parah. Tapi
seorang It ciu. Sekarang tidak lagi memperlihatkan tampang
seram atau garang. Sebaliknya dia tertawa.
"Eh, anak-anak, jangan kalian sembrono !" demikian ia
tegur Hong Kun dan Kiauw In. "Baiklah kalian dengari apa
pengajarannya bapak pendeta yang mulia ini."
Pie Te Taysu memuji Sang Buddha.
"Sicu," tanyanya, "bagaimanakah dengan lukamu ?"
Pertanyaan diluar sangkaan itu membuat Im Ciu It Mo
melengak. Tak dapat ia menerka maksudnya si pendeta itu.
"Tak usah taysu merisaukan hati." sahutnya kemudian.
"Aku si wanita tua masih dapat bertahan !"
"Sicu," berkata pula si pendeta, "telah empat puluh tahun
kau bertapa, kau sudah mendapatkan kemajuan yang tak
sedikit. Hanya kau masih belum menyadari apa artinya nama
dan laba !" Kembali si wanita tua membungkam.
"Hm !" demikian terdengar suaranya paling akhir, suara
tawar. Dengan sinar mata tajam, Pie Te Taysu menatap wanita
tua itu, terus ia kata dengan kata demi kata yang terang dan
tegas : "Sicu, aku si pendeta tua menerima perintah dari ketua
kami buat pihak kami menyudahi semua perbuatan pihakmu
membinasakan dan melukai murid-murid kami, supaya kalian
bertiga dibiarkan bebas meninggalkan kuil kami ini !"
Cuma sedetik si pendeta berdiam, segera ia menambahkan
: "Cuma aku si pendeta tua ingin menasehati sicu secara
sungguh-sungguh hati."
Hatinya It Mo menggetar, akan tetapi ia mencoba
menenangi diri, selagi ia ditatap, ia membalas mengawasi.
"Silahkan bicara, taysu !" katanya.
Pie Te Taysu berkata : "Kesesatan itu adalah perbuatan diri
sendiri, maka itu aku si pendeta tua ingin memohon sicu suka
memikirkan dan menyadarinya, supaya kelak di belakang hari
tidaklah sampai sicu menyia-nyiakan kebaikan ketua ini yang
menjadi kakak seperguruanku, yang suka membebaskanmu
supaya sicu memperoleh jalan hidupmu ! "
Selekasnya dia mengucapkan kata-katanya itu, Pie Te
Taysu segera berlalu pergi menuruni lereng itu. Im Ciu It Mo
melongo saja. Coba ia tidak tengah terluka parah, pasti ia tak
mau mengerti. Tak puas ia dengan nasehat itu. Ia telah
dipengaruhi kejumawaannya, keinginannya menjadi orang
pandai dan disegani. Nama termashur dan kedudukan telah
menutupi kesadarannya. Dia telah dibudaki sigarnya suka
menang sendiri dan keunggulan yang melebihkan orang lain.
Demikian, seberlalunya si pendeta, dia tertawa dingin
berulang-ulang untuk mengejek pendeta yang murah hati itu.
Kemudian ia mengulapkan tangannya, menyuruh Hong Kun
menjemput pedangnya, buat mereka terus berjalan turun dari
lereng itu, guna meninggalkan gunung Gwan Sek Sie.
Mereka berjalan baru beberapa tombak atau dari balik
sebuah batu karang yang besar muncul seorang wanita
dengan dandanan jubah kependetaan, usianya setengah tua,
tampangnya genit, pinggangnya tergantungkan sepasang
golok. Dan wanita itu segera menghadang di tengah jalan.
Gak Hong Kun terkejut selekasnya dia melihat wajah wanita
itu. Dia sedang dibawah pengaruh It Mo tetapi dia masih ingat
orang yang menghadang di depan mereka ini. Dia hanya lupa
nama orang. Apa yang dia ingat adalah dia pernah roboh
dibawah pengaruh bubuk biusnya.........
Kapan Im Ciu It Mo sudah melihat orang itu, dia lantas kata
dingin : "Eh, Sek Mo Ceng Ciang Nikouw. Bagaimana kau
berani main gila dihadapan si wanita tua ?"
Wanita setengah tua itu, seorang nikouw ialah Ceng Kiang
Bajingan Paras Elok. Dia tertawa geli dan kepalanya
bergoyang-goyang seumpama bunga yang bertangkai. Ketika
dia membuka mulutnya, terdengarlah sahutnya yang sabar.
"Eh, perempuan tua, kau harus mengenali aku !" demikian
katanya. "Sekarang ini telah aku menukar gelarku ! Aku bukan
lagi Sek Mo hanya Peng Mo, si Bajingan Es ! Dan sekarang aku
berhadapan dengan kau karena aku ingin menguji
kepandaianku terhadap kepandaianmu "San Im Cit Sat Kang !"
It Mo heran hingga ia melengak, ia lagi terluka. Mana dapat
ia berkelahi " Sebalik kejumawaannya Peng Mo membuat
darahnya bergolak. Hatinya sangat panas. Saking mendongkol
ia lantas tertawa nyaring. Hanya kali ini suaranya tidak
berpengaruh dan menakuti seperti biasanya. Sekarang ini
suaranya lemah dan juga tidak lama. Ia mau menggertak
orang tetapi ia gagal. Selekasnya ia bersuara itu, lantas nafasnya memburu keras
sekali hingga ia lalu selekasnya memegangi bahunya Kiauw In
supaya tubuhnya tidak terhuyung roboh.
Pada mulanya hati Peng Mo menegang ketika ia mendengar
suaranya It Mo itu tetapi selewatnya itu dengan matanya yang
tajam ia mendapat kenyataan orang seperti lagi terluka parah,
maka berubahlah hatinya dari jeri menjadi berani ! Dan tak
lagi ia menunjuki tampang centilnya. Rupanya menjadi bengis
dan matanya menyorong galak sekali.
"Hai bajingan perempuan tua !" demikian tegurnya.
"Bajingan perempuan mana bisa kau menyembunyikan
kepadaku hal kekalahanmu di Gwan Sek Sie " Jika kau tahu
selatan, lekas kau serahkan murid orang yang kau rampas itu
kepadaku supaya dapat aku membawanya pergi ! Dengan
begini jadi tak usahlah kerukunan kita menjadi terganggu !"
Berkata begitu Peng Mo menunjuk Hong Kun.
Selama orang bicara It Mo berdiam saja. Diam-diam ia
mencoba meluruskan nafasnya dan mengumpulkan tenaganya
juga. Ia mencoba mencegah agar darahnya tak bergolak
terus. Kemudian ia mengawasi Hong Kun dan terutama Kiauw
In. Dengan mengawasi muda mudi itu, ia bagaikan tak
mendengar kata-kata lanjutan dari si Bajingan Es.
Ceng Ciat Nikouw juga mengawasi tajam pada Hong Kun, si
anak muda yang tampan. Pemuda itu tetap ganteng walaupun
pikirannya tak sadar hingga dia membuatnya si bajingan
wanita menjadi mengiler. Peng Mo ingin segera merangkul
pemuda tampan itu. Dengan Peng Mo berdiam dan It Mo tidak menjawab,
sejenak itu sunyilah suasana diantara mereka kedua belah
pihak. Hanya It Mo berpikir keras bagaimana harus melayani
bajingan yang menjadi saingannya itu. Ia lagi terluka, tak
dapat ia menggunakan kekerasan. Apa akal "
Karena Hong Kun kena dirampas Peng Mo itulah suatu
penghinaan dan kehinaan untuknya. Pasti nama besarnya
bakal tercemar. Asal namanya rusak, tak dapat ia berdiri pula
di muka orang banyak, diantara sesama kawannya kaum
sesat....... Ada satu hal yang dikuatirkan Im Ciu It Mo, Sek Mo atau
Peng Mo biasanya bertiga, sebagaimana julukan mereka ialah
Hong Gwa San Mo, Tiga bajingan dari luar perbatasan, kalau
sekarang muncul Peng Mo, siapa tahu kedua kawannya tak
berada di tempat yang berdekatan " Satu Peng Mo sudah tak
dapat dilawan, bagaimana lagi apabila datang dua saudaranya
itu " Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin tidak dapat
dipandang ringan ! It Mo mengawasi wanita di depannya yang lagi tersengsem
oleh ketampanannya Hong Kun. Diam-diam tetapi dengan
disengaja ia batuk untuk perlahan. Peng Mo sadar mendengar
suara batuk itu, kulit mukanya menjadi merah. Lekas sekali
telah muncul nafsu birahinya. Maka lantas dia mengawasi
tajam pada It Mo. "Bagaimana, eh ?" tegurnya. "Apakah kau tak sudi minum
arak hutangan hanya lebih suka menenggak arak doang" Hari
ini aku, Peng Mo mau mendapat bagianku !"
It Mo tidak menjawab pertanyaan orang, dia hanya
mengalihkan itu. "Aku heran akan Hong Gwa Sam Mo." demikian katanya.
"Kenapa sekarang cuma muncul Peng Mo, satu nikouw " Aku
Im Ciu It Mo, walaupun aku tengah terluka ingin aku belajar
kenal dengan kepandaiannya Sam Mo bertiga ! Jadilah perlu
supaya nanti di dalam pertemuan Bu Lim Cit Cun di In Bu San,
dapat kita mengambil keputusan !"
Peng Mo cerdas dan licik, mana ia tak dapat menerka
maksudnya It Mo itu " Maka ia tertawa dan kata, "Kau mau
maksudkan kedua saudara seperguruanku " Mereka berdua
berada diatas ! Mereka tengah menikmati kota dan hutan di
sana, disebelah dalam. Bajingan tua, kau tahulah diri sedikit !"
It Mo menahan sabar. "Oh, kiranya Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin, kedua
orang lihai itu juga takut menemui aku!" demikian katanya.
Peng Mo menjadi panas hati, alisnya terbangun, matanya
mencelak bengis ! "Jika kau bertemu dengan kakakku yang tua, Hiat Mo
Hweshio sukar dijamin yang darahmu tak akan bermuncratan
!" katanya sengit. Im Ciu It Mo menggerakkan kepalanya hingga rambutnya
turut bergerak juga. "Aku si orang tua tak memiliki apa juga !" katanya.
"Dengan sesungguhnya ingin sekali aku bertemu dengan Hiat
Mo ! Apakah yang aku takuti ?"
Peng Mo tak puas, ia pun berkata nyaring. "Mungkin
kakakku yang kedua Tam Mo Tojin menyukai jantungmu
untuk dikorek dikeluarkan guna dilihat-lihat warnanya putih
atau hitam !" Peng Mo tidak tahu bahwa dengan caranya itu It Mo
sedang mengulur waktu. Segera diam-diam wanita tua ini
tengah mengerahkan tenaga dalamnya guna menyembuhkan
lukanya. Dengan perlahan-lahan dia berhasil membuat
lukanya sembuh. Sebagai seorang licik telah dia memikir semakin lama dia
mengulur waktu, semakin baik untuknya. Asal dia sembuh ! It
Mo pun berlaku cerdik. Apa yang dikatakan Peng Mo tak dia
hiraukan, sedangkan dia biasanya pemarah, mukanya mudah
menjadi merah padam. Bahkan dia dapat bersenyum dan
tertawa. "Sebenarnya memang ada niatku memberi kau jantungku
kepada kakakmu yang nomor dua itu!" katanya sengaja.
"Hanya itu aku tidak tahu kakakmu menginginkan itu atau
tidak !" Dia hening sebentar untuk meneruskan, "Hari ini aku
si wanita tua sangat beruntung karena aku tidak bertemu
dengan Hiat Mo dan Tam Mo ! Dengan demikian maka
bebaslah aku dari ancaman darahku bermuncratan dan
jantungku dikorek keluar untuk dilihat warnanya ! Aku justru
bertemu kau, wanita tua hingga kita jadi berhadapan wanita
dengan wanita, hingga pertemuan ini tak merugikan siapa
juga ! Ha ha ha !" Alisnya Peng Mo terbangun.
"Eh, kau dengar tidak ?" tegurnya. "Bukankah barusan
telah kukatakan supaya muridmu kau serahkan padaku,
supaya dengan begitu dapat aku beri jalan hidup padamu ?"
It Mo melengak. Tak ia sangkat bahwa orang menimbulkan
pula hal yang ia telah alihkan itu. Tapi ia lekas bersenyum.
Kata ia, "Aku si wanita tua bukannya tak ikhlas memberikannya,
cuma aku pikir, aku memberikannya padamu juga tak ada
gunanya !" Peng Mo heran dengan jawaban itu. Sejenak ia pun
melengak. Lalu dia tersenyum dan kata : "Tak dapat aku
diperdaya kau ! Dia toh seorang pria, kenapa dia boleh tak
ada gunanya ?" Berkata begitu, dia melirik tajam pada Hong
Kun, sinar matanya menunjuki bahwa dia sangat mengiler
terhadap si pemuda. It Mo tertawa. "Aku si orang tua, aku juga seorang yang telah
berpengalaman !" katanya. "Dahulu hari lakon asmaraku
melebihi lakon asmaramu sekarang ! Dahulu itu, asal aku
menemui pria yang tampan, hatiku lantas goncang keras dan
semangatku seperti terbang pergi..........."
Bajingan ini berhenti bicara secara tiba-tiba. Terus dia
berdiam saja. Sebenarnya Peng Mo sangat tertarik hati mendengar katakata
orang itu. Asal ada soal asmara, tak perduli itu
sebenarnya soal nafsu birahi, lantas saja dia menjadi sangat
gembira. Maka juga, dengan tak sabaran dia lantas bertanya,
"Bagaimana, eh " Murid priamu itu apakah dia telah
kehilangan tenaga laki-lakinya " Dia pula, benarkah ?"
Dengan sendirinya, Peng Mo nampak kurang gembira.
Puas It Mo melihat rupa orang itu. Ia mengerti yang katakatanya
telah memberi pengaruh. Maka terus ia main komedi.
"Sahabatku, sabar !" demikian katanya. "Buat apa tergesagesa
" Kau tahu, bicaraku si wanita tua belum sampai
diakhirnya........"

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peng Mo menggertak gigi. Dia tak sabaran.
"Perempuan tua !" tegurnya. "Urusan asmara dahulu, hari
itu baiklah ditangguhkan dahulu ! Apa yang aku ingin ketahui
sekarang ialah apa benar dia pelu " Aku minta kau bicara
secara jujur!" It Mo berpikir keras. Inilah saat yang mendesak. Kalau ia
menjawab Hong benar pelu, Hong Kun pasti tak akan dibawa
pergi. Kalau ia menjawab, sebaliknya Peng Mo dapat menjadi
gusar dan ia dapat dimarahi. Itulah berbahaya. Bagaimana
kalau mereka bertiga diserang nenek cabul itu " Ia lagi terluka
parah, tak sanggup ia melawan wanita itu. Kalau Hong Kun
dibawa lari saja, pasti sudah ia bakal mendapat malu. Tapi
dasar cerdas, tiba-tiba ia mendapat pikiran.
"Muridku ini," kata ia sambil mengangkat kepalanya, "dia
sedang muda dan gagahnya. Kalau kau mendapati dia, kau
pasti bakal merasa puas luar biasa, cuma...."
Peng Mo bukan main tertarik ketampanannya Hong Kun,
yang ia kuatir ialah pemuda itu tak memiliki tenaga
kelelakiannya, sekarang ia mendengar It Mo mengatakan si
anak muda gagah sekali, girangnya bukan kepalang. Tapi,
mendengar kata-kata "cuma" dari si bajingan di depannya,
mendadak hatinya menjadi bimbang. Seketika juga ia menjadi
tak sabaran pula, hingga dia maju menghampiri It Mo, untuk
berkata keras, "Bajingan tua, jangan kau jual lagak pula !
Lekas kau bicara !" Matanya Peng Mo terbuka lebar, sinarnya bengis.
Selama itu Kiauw In dan Hong Kun berdiam saja. Mereka
mendengari pembicaraannya kedua bajingan tua itu tetapi
mereka tak mendengari apa-apa. Inilah sebab keduanya
tengah dipengaruhi Thay Siang Hoan Hun Tan, pil pelupa diri,
yang mereka diberi makan oleh It Mo. Berdua mereka cuma
bengong mengawasi It Mo saja.
Peng Mo mengerutkan alis, matanya mengawasi It Mo. Ia
heran orang tidak menjawabnya.
"Hayo, kau bicaralah !" desaknya. "Apa mungkin muridmu
itu berhati keras seperti Liu Hee Hui dijaman dahulu, yang tak
gentar akan soal asmara " Aku tak percaya ada pria yang lain
dapat lolos dari genggamanku !"
It Mo tertawa tawar. "Muridku ini bukannya suhengku Liu Hee Hui !" sahutnya.
"Dia juga bukan telah kehilangan tenaga kelaki-lakiannya. Dia
hanya makan obat Thay Siang Hoang Hun Tan dari si wanita
tua, dengan demikian, hilang sudah kecerdasannya ! Karena
itu, mana dia dapat mengerti urusan asmara ?"
Peng Mo melengak. Mulanya berdiam terus, dia tampak
murka, matanya mendelik pula.
"Aku tak perdulikan muridmu itu ada gunanya atau tidak !"
katanya kemudian sengit. "Hari ini dia bertemu denganku,
hendak aku bawa dia pergi ! Hendak aku mencobanya !"
Kata-katanya ditutup dengan tubuhnya si Bajingan
bergerak, agaknya dia hendak mengajukan diri buat
memegang Hong Kun buat diseret pergi.
It Mo berpikir keras. Selama memperdayai wanita itu, diamdiam
ia sudah mencoba terus mengerahkan tenaga dalamnya.
Lekas sekali ia telah memperoleh kemajuan. Maka itu sampai
disitu ia dapat berpikir, "Aku merasa kesehatanku sudah pulih
banyak. Bersama kedua muridku, kami ada bertiga ! Mustahil aku
tidak dapat lawan kepadanya " Sedikitnya kami dapat mundur
teratur......." Selam itu It Mo pun heran. Ia masih belum juga melihat
munculnya Hiat Mo Hweshio dan Tam Mo Tojin, dua anggota
lainnya itu dari Hong Gwa Sam Mo. Mereka itu biasanya tak
pernah memisahkan diri dan tadipun Peng Mo mengatakan
bahwa kedua saudara angkatnya itu berada berdekatan.
Dimana adanya mereka itu berdua " Apakah mereka lagi
menyembunyikan diri "
"Ah, perduli apa mereka itu !" pikir Im Ciu It Mo kemudian.
Sendirnya nyalinya menjadi besar pula.
Peng Mo maju lebih dekat pula. Orang tetap tak
menjawabnya. "Kau harus tahu diri !" tegurnya pula. "Kau harus tahu
selatan ! Mari dengan baik-baik kau serahkan muridmu supaya
persahabatan diantara kita tetap terjamin !"
It Mo berlaku sabar sekali.
"Orang setolol dia percuma aku serahkan dia padamu !"
sahutnya. "Maka itu aku pikir lebih baik kau memberi muka
kepada aku si perempuan tua supaya kita tetap bersahabat !"
Hatinya Peng Mo tergerak juga mendengar kata-kata orang
itu, ia ingat kalau It Mo tidak tengah terluka, sulit buat ia
menempurnya. Mungkin ia kalah seurat. Sekarang bagaimana
ia harus bertindak " It Mo agaknya membalas........
"Tak dapat aku sudah saja....." pikirnya lebih jauh. Daging
tinggal dicaplok saja ! Lantas Peng Mo mengawasi tajam kepada Hong Kun,
sekian lama, barulah ia berpaling kepada It Mo. Ia bersenyum,
bersenyum licik. Terus dia kata, "Bajingan tua, kau benar juga
! Memang kita kaum sungai telaga, baik digunung maupun di
air, ada saatnya buat kita saling bertemu ! Baiklah, bajingan
tua. Aku dengar kata-katamu, kita saling mengalah, untuk
melindungi kerukunan kita kelak di belakang hari. Cuma,
bajingan tua, kau harus menerima baik dahulu satu
permintaanku." Lega juga It Mo mendengar orang berubah sikap.
"Aku kagum yang kau dapat melihat selatan, sahabatku."
katanya. "Sekarang tolong coba beritahukan aku, apakah
permintaanmu itu ?" "Itulah permintaan yang sangat sederhana." sahut Peng
Mo, si Bajingan Es. "Kau bagi aku sedikit obat pemunah pil
Thay Siang Hoan Hun Tan, supaya aku dapat menyadarkan
muridmu itu, supaya dengan demikian dapat aku pinjam dia
selama satu bulan...."
It Mo melengak. Itulah permintaan yang diluar dugaannya.
Mana dapat ia memberikan obat pemunah itu " Mana dapat ia
meminjamkan Hong Kun, apa pula buat satu bulan " Apa
dayanya sekarang " Agaknya pertempuran tak dapat
disingkirkan........ Selagi berpikir keras, It Mo memandang ke sebelah depan,
sambil mengangkat kepalanya ia mengawasi heran diatas
tanjakan, di lereng di depannya itu. Ia melihat cahaya
matahari. Ketika itu sudah siang, sebab sang pagi telah lewat
sekian lama. Sunyi disekitar mereka. Cuma angin bertiup halus
dan burung-burung kecil beterbangan.
Parasnya si Bajingan Tunggal berubah dengan cepat. Dari
tenang ia menjadi bersungguh-sungguh, menjadi tegang.
Dengan tawar dia berkata kepada si Bajingan Es. "Bagaimana
sahabat andiakata aku si wanita tua tidak suka memberikan
obat pemunah kepadamu ?"
Dengan begitu, It Mo sudah mengambil keputusan akan
apabila perlu mengadu tenaga dan kepandaian ! Lalu terjadi
hal diluar dugaan ! Peng Mo, yang tadinya selalu bersikap keras, mendadak
saja bersenyum dan tertawa !
"Telah aku menerka bahwa tak nanti kau sudi memberikan
obat pemunahmu itu !" katanya. "Tapi tak apalah ! Aku Peng
Mo, aku pun telah membuat obat pemunah yang dapat
memusnahkan obat Thay Siang Hoang Hun Tan buatanmu itu
!" Berkata begitu, si bajingan mengawasi lawannya.
"Jika kau memberi pinjam muridmu padaku buat lamanya
satu bulan maka di belakang hari pastilah persahabatan kita
dapat dilanjuti seperti sediakala !" ia menambahkan kemudian.
Pergi pulang, Peng Mo tetap menghendaki murid orang itu.
Im Ciu It Mo tertawa nyaring. Tak lagi dia jeri seperti
semula tadi. "Jika aku tidak sudi memberikan muridku itu, kau akan
berbuat apa ?" tanyanya seperti menantang.
Parasnya Peng Mo menjadi merah padam, matanya
bercahaya jahat. "Kalau begitu, jangan kau sesalkan Peng Mo telengas !"
sahutnya keras. Begitu lekas ia berkata, begitu lekas juga Peng Mo
menyerang. Ia menggunakan tangan kirinya dan sasarannya
ialah dada orang. Tetapi serangan itu gertakan belaka, serangan benar-benar
adalah susulan tangan kanan, yang menuju ke buah pinggang
! Im Ciu It Mo juga menjadi seorang bajingan yang lihai dan
telengas, dia sudah berpengalaman di dalam pertempuran,
tidak mudah dia kena dijual. Dia tidak menangkis, hanya
dengan gesit sekali dia memutar tubuh sambil berkelit tiga
kali, sebaliknya, menyusuli kesulitan itu, tongkat panjangnya
dikasihh bekerja guna membalas menghajar. Dia
menggunakan jurus silat, "Si Sembrono Menggebuk padi". Dia
tidak menyerang cuma satu kali, hanya dimulai dengan ujung
yang satu diteruskan dengan ujung yang lain. Mengenai atau
tidak mengenai, ia membalas dan serempak !
Peng Mo terperanjat sebab dua-dua serangannya gagal,
lebih-lebih setelah tongkat panjang berkelebat ke arahnya.
Untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia menyingkir sambl
berlompat tujuh tindak, kalau tidak tongkat yang panjang ia
pasti bakal menegur juga tubuhnya. Sebab serangan tongkat
dilakukan dengan luar biasa cepatnya.
Selekasnya Peng Mo lolos dari serangannya, baru saja
orang berdiri tatap muka, Im Ciu It Mo sudah mengasih
dengar siulannya yang nyaring yang terkenal itu atas mana
Hong Kun dan Kiauw In yang semenjak tadi berdiri diam saja,
lantas maju sambil menggerakkan senjatanya, menghampiri si
Bajingan Es guna dikepung bersama, pedang mereka berdua
menikam berbareng ! Peng Mo terkejut. Itulah ia tidak sangka. Guna
menyelamatkan diri, dia berkelit dengan jurus silat Tiat Poan
kio, Jembatan Papan Besi, hingga tubuhnya melengak rata, kedua ujung pedang
lewat diatas perut atau dadanya. Dia kaget berbareng
mendongkol, maka juga selekasnya dia bisa bangkit berdiri,
dia lantas membalas menyerang dengan berjingkrak lompat,
menendang berbareng kepada muda mudi itu. Itulah jurus
silatnya yang diberi nama Wan Yon Twie Kaki, Burung
Mandarin. Kiauw In dan Hong Kun terkena pengaruh obat tetapi ilmu
silatnya tak terganggu seperti ingatan atas syarafnya, maka
juga ketika didepak itu, keduanya dapat menyingkirkan diri
dengan sama-sama berlompat mundur.
Habis mendepak itu, Peng Mo berlompat untuk berdiri,
karena selama menendang itu, kedua tangannya menekan
tanah, sebab tengah melengak tadi, kedua tangannya itu
diteruskan diturunkan. Sekarang, setelah bangun berdiri
dengan cepat ia menyambut kingato, sepasang goloknya yang
tergantung dipinggangnya. Oleh karena hatinya panas, tanpa
ayal pula ia maju menyerang dalam gerakan Sepasang Walet
Terbang Berbareng. ia menyerang pula kepada dua dua Hong
Kun dan Kiauw In, karena mana, sepasang goloknya
dilancarkan ke kiri dan kanan.
Sepasang anak muda itu berani, keduanya lantas
menangkis untuk seterusnya melakukan perlawanan, hingga
bertiga mereka menjadi bertarung, hingga pedang-pedang
dan golok-golok tak hentinya berkelebatan menikam dan
menebas, menyambar ke bawah.
Di dalam sekejap itu, orang bagaikan berkelahi untuk mati
dan hidup ! Im Ciu It Mo menyaksikan kedua pembantunya turun
tangan. Dia jeri terhadap Peng Mo maka dia mengajukan
muda mudi itu. Walaupun demikian dia masih memikir menguatirkan kedua
muridnya itu nanti kalah dari bajingan itu. Ia berdiri diam di
dekat mereka, siap sedia dengan tongkatna. Sembari
menonton dia memikirkan bagaimana ia harus turun tangan
guna merebut kemenangan. Ia ingin menyelak maju
selekasnya datang kesempatannya.
Dengan sepasang goloknya, Peng Mo benar-benar lihai,
walaupun demikian untuknya ia melayani dua orang yang urat
syarafnya terganggu, jika tidak, tidak nanti dia dapat melayani
Kiauw In dan Hong Kun, yang mempunyai masing-masing ilmu
pedangnya yang istimewa. Selainnya cahaya pedang berkilauan, percikan api pun
sering bermuncratan dan suara beradunya pedang dan golok
senantiasa mendatangkan suara berisik. Sekian lama itu,
mereka masih selalu berimbang.
It Mo memasang mata, tidak cuma terhadap medan
pertempuran, kadang-kadang ia melirik ke sekitarnya karena
ia kuatir akan munculnya si Bajingan lainnya, saudarasaudaranya
Peng Mo. Setelah bertempur sekian lama itu tanpa hasil, Peng Mo
lantas memikir buat menggunakan bubuk biusnya. Ia pula
mengawasi Hong Kun, ketampanannya yang membuat hatinya
goncang, ia suka menggertak gigi sekira gatal sendirinya.
Hong Kun tidak menghiraukan yang orang selalu
menginplangnya. Selagi urat syarafnya terganggu itu, dia tak
kenal akan asmara. Dia tetap berkelahi dengan keras sampai satu kali
mendadak pedangnya meluncur secara sangat membahayakan
Peng Mo hingga si Bajingan Es terkejut dan repot membela dirinya.
Hingga Peng Mo penasaran sekali belum juga ia bisa
membekuk anak muda, walaupun ia sudah mencoba pelbagai
macam ilmu silatnya. Diakhirnya likat atau tidak, ia memikir
terpaksa ia mesti minta bantuannya Tam Mo dan Hiat Mo, dua
orang saudaranya. Maka itu selekasnya ia sudah mengambil keputusan
sembari berkelahi itu, sekonyong-konyong, ia
memperdengarkan siulannya yang nyaring, siulan yang berupa
isyarat. Suaranya itu satu pendek dua panjang, iramanya mirip
"burung jenjang menangis atau bajingan memekik-mekik".
Sebenarnya sejak di Ngo Tay San, ditengah jalan, Hong
Gwa Sam Mo sudah melihat Im Ciu It Mo bersama-sama
Kiauw In dan Hong Kun, selekasnya melihat Hong Kun,
hatinya Sek Mo tergiur bukan main.
Jilid 48 Dimatanya, Hong Kun adalah si anak muda yang ia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketemukan di kota Gakyang, yang ia telah tawan tetapi yang
kena dirampas oleh Tok Mo. Ia tidak berani lantas turun
tangan setelah ia mengenali Im Ciu It Mo yang ia segani,
walaupun demikian ia minta dengan sangat agar dua
saudaranya suka mengikuti ia menguntit It Mo bertiga.
Selama Im Ciu It Mo menyerbu Gwan Sek Sie dan
bertempur seru itu, Peng Mo bertiga menonton sambil
bersembunyi dalam rimba, diatas pohon hingga mereka dapat
melihat tegas jalannya pertempuran. Peng Mo girang sekali
menyaksikan It Mo terluka di dalam, hingga ia membayangi
Hong Kun si tampan, sudah berada dalam
rangkulannya........... Dasar jumawa, disamping ingin mendapati si anak muda,
Sek Mo juga mau mempertontonkan kegagahannya. Begitulah
ia menemui Im Ciu It Mo sambil meminta dua saudaranya
tetap menyembunyikan diri dengan dipesan agar mereka itu
jangan muncul kecuali ia memberi isyarat. Ia ingin mereka
menonton bagaimana ia merampas Hong Kun
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1 Playboy Dari Nanking Karya Batara Pendekar Panji Sakti 2

Cari Blog Ini