Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman Bagian 2
mabuk-mabukan," kata Menik. "Coba lebih mendekat lagi pada mereka, Kadal
Ginding. Aku mau bicara dengan Suto."
Saat itu Pendekar Mabuk bicara kepada Mahkota
Dewi, "Ingat, Mahkota Dewi... bagiku sangat mudah membunuhmu pada saat tadi.
Tapi karena aku bukan berjiwa pembunuh keji seperti anggapanmu, maka hal itu tak
kulakukan. Kumohon kau mau membuang
tuduhanmu terhadap diriku. Aku bukan pembunuh
gurumu, walau aku tadi memang sangat kenal dengan Nyai Serampang Wilis."
Mahkota Dewi akhirnya mengakui kesalahpahamannya dalam hati. Ia menarik napas setelah memasukkan pedangnya ke
sarung pedang yang ada di pinggang.
"Kalau benar bukan kau, lantas siapa yang membunuh Guru?"
"Mungkin si Tapak Siluman, karena tadi gurumu mengejar Tapak Siluman setelah
gagal diserang dengan tiga pisau. Ketiga pisau terbangnya berhasil kutangkap
sebelum mengenai tubuh gurumu."
"Tapak Siluman..."!" gumam Mahkota Dewi. "Guru memang belum lama ini bercerita
tentang kebangkitan si Tapak Siluman. Tapi beliau tidak ceritakan adanya
permusuhan dengan si Tapak Siluman."
Sang Resi ajukan tanya, "Di mana jenazah gurumu sekarang?"
"Di sebelah barat sana!" jawab Mahkota Dewi masih bernada sedikit kaku. "Keadaan
jenazah Guru sangat menyedihkan. Seluruh dagingnya hancur, tapi bagian jantung
dan yang lainnya masih utuh. Kepala pun masih utuh. Jenazah Guru bagai
kehilangan raga, tinggal kepala dan isi perutnya yang tersisa."
"Ilmu 'Bajang Rampak'!" sentak Resi Pakar Pantun dengan tegang.
"Ilmu apa itu?" tanya Mahkota Dewi.
"Itu ilmu andalan si Tapak Siluman. Tak ada tokoh lain yang memiliki ilmu itu!"
Sang Resi ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba-mulutnya tak jadi bergerak. Dahi
sang Resi berkerut makin lama makin tajam. Pada saat itu, ia merasakan hembusan
angin yang berbeda dari biasanya.
Mahkota Dewi sempat merasa curiga dengan perubahan wajah sang Resi. Tapi ia ingin tidak
mempedulikan hal itu dan bermaksud segera tinggalkan tempat tersebut.
"Aku akan mengurus jenazah Guru!"
"Tunggu sebentar...!" cegah sang Resi. "Ada sesuatu yang aneh telah terjadi di
sekitar kita. Jangan jauh-jauh dari kami dulu Mahkota Dewi."
Suto Sinting mendengar nada bicara sang Resi, ia mulai merasakan kejanggalannya
sehingga bertanya dengan suara pelan.
"Ada apa, Eyang Resi?"
"Rasakan hembusan angin saat ini," jawab sang Resi dengan mata mulai melirik
tegang ke sana-sini.
Hembusan angin semakin kencang. Pendekar Mabuk
mulai rasakan hawa panas yang berhembus ke arah depannya. Mahkota Dewi pun mulai
kelihatan tegang, ia memandang ke arah atas ternyata dedaunan mulai
menguning dan sebentar lagi menjadi layu. Kadal Ginting buru-buru merapatkan
diri ke celah pohon besar sambil masih menggendong Menik.
"Angin ini bukan sembarang angin," ujar sang Resi bagal bicara sendiri.
Hembusan angin bertambah kencang. Daun-daun
yang mulai layu itu menjadi beterbangan. Hawa panas kian terasa di kulit tubuh
mereka. Mahkota Dewi memegangi gagang pedang, seakan siap mencabut
senjata sewaktu-waktu.
Sampah dan dedaunan kering yang ada di tanah pun kini beterbangan. Namun gerakan
terbang daun-daun kering itu tidak menuju ke satu arah. Kini daun-daun kering
dan yang berguguran dari pohon itu bergerak memutari tempat itu. Seperti ada
angin beliung yang datang secara perlahan-lahan. Semakin lama semakin keras,
semakin menimbulkan suara gemuruh yang
berputar-putar.
"Suto, bersiaplah! Ada yang menyerang kita!" ujar sang Resi dengan nada tegang.
Suto Sinting sempat berseru, "Menik...! Menik, di mana kau"!"
Kadal Ginting menyahut, "Dia di sini bersamaku, Suto!"
"Cari tempat berlindung, Kadal Ginting!"
"Sudah! Kami aman di sini!"
Deru angin semakin menyeramkan. Dahan-dahan
meliuk bagal ingin dijebol dari langit. Gerakan angin yang
memutar itu bertambah kencang, membuat Mahkota Dewi memperkuat kuda-kudanya. Pedang pun segera dicabut dari sarungnya
begitu ia yakin angin yang berhembus adalah angin kiriman dari seseorang.
"Cari pegangan!" seru Suto Sinting. "Angin ini bukan saja panas, tapi juga akan
menerbangkan kita ke atas!"
Mahkota Dewi bergegas mendekati Suto Sinting yang sudah berada di bawah sebuah
pohon. Sikap berdiri Suto agak merendah untuk menahan hembusan angin yang dapat
menerbangkan dirinya. Mahkota Dewi pun bersikap serupa, demikian pula Resi Pakar Pantun yang memperkuat kuda-kudanya
dengan merendahkan badan dan kedua tangannya merapat di dada. Ia biarkan
jubahnya beterbangan mengikuti arah angin yang
memutar. "Apakah ini kiriman dari si Tapak Siluman"!" tanya Mahkota Dewi kepada Suto
Sinting. "Aku tak tahu, Dewi. Sebaiknya peganglah tanganku supaya kau tidak terbawa angin
beliung ini."
Sang Resi berseru, "Bertahanlah kalian, aku akan melawan gangguan ini!"
"Kadal Ginting...!," seru Suto.
"Aman...!" jawab Kadal Ginting dari celah pohon besar. Pohon itu sendiri bagian
puncaknya meliuk berputar-putar, namun masih tampak kokoh dan tak
mengkhawatirkan akan terjebol oleh angin misterius.
"Aaauh...!"
pekik Resi Pakar Pantun sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan kekuatan penuh.
"Kenapa, Eyang Resi"!"
"Angin ini mengandung serbuk beling panas!"
"Celaka!" gumam Suto Sinting sambil sempoyongan karena badannya terasa ingin
terangkat ke atas oleh putaran angin itu.
Mahkota Dewi segera berseru, "Jurus
'Ladang Prahara'...! Kurasa tak jauh dari sekitar sini ada si Dewa Semprong!"
"Dari mana kau tahu"!"
"Aku mengenali jurus-jurusnya,
karena Dewa Semprong saudara seperguruan dengan Nyai Serampang Wilis, guruku!"
"Aaauh...!" Resi Pakar Pantun yang ada di tempat terbuka memekik lagi. Mahkota
Dewi terkejut. "Ooh..."!"
Nada suara kejutan itu tak bisa dipahami Suto Sinting yang tak melihat keadaan
Resi Pakar Pantun.
"Ada apa dengan Resi Pakar Pantun, Dewi...?"
"Tubuhnya mulai berdarah, ia tak kuat menahan angin yang mengandung serbuk
beling panas ini!"
"Celaka betul kalau begini!" geram Suto Sinting, ia pun berseru, "Eyang Resi,
lekas mundur kemari.
Berlindung di bawah pohon ini, Eyang!"
Tapi sang Resi justru menggerakkan kedua tangannya ke atas samping dalam keadaan
bergetar, ia kerahkan tenaga dalamnya untuk lawan-angin 'Ladang Prahara'
itu. Suaranya pun terlontar memanjang sebagai tanda
pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Heeeeeaaaahhh...!!"
Daun-daun kering yang berputar-putar itu menjadi menyebar ke berbagai penjuru.
Rupanya sang Resi berhasil keluarkan tenaga perlawanan. Gelombang badai keluar
dari kedua tangan sang Resi dibarengi dengan asap
biru samar-samar. Asap itu pun bergerak berkeliling namun berlawanan arah dengan gerakan putar angin 'Ladang Prahara'
itu. "Aku akan membantu Resi!" kata Mahkota Dewi yang segera melepaskan genggaman
tangannya dari lengan Suto Sinting. Kemudian ia maju beberapa
langkah dan segera memainkan jurus pedangnya dengan cepat hingga keluarkan
desing berkali-kali. .
Wuiz, wuiz, wuiz, ziing, zing, zing...!
Bledar, glaaar, bluuung...!
Pedang itu keluarkan cahaya biru petir serabutan.
Cahaya biru petir itu bagaikan membentur kekuatan dahsyat yang menimbulkan
ledakan cukup keras. Tanah berguncang bagai dilanda gempa. Cahaya matahari
menjadi redup bagai tertutup kabut.
Mahkota Dewi masih terus lakukan gerakan mengibas pedang ke sana-sini, dan dari pedangnya masih keluarkan cahaya petir
yang melesat ke berbagai penjuru.
Kulit tubuhnya mulai merah, seperti terpanggang hawa panas cukup tinggi.
Angin yang datang semakin kencang dan udara
panasnya kian terasa jelas. Kulit-kulit pohon mulai terkelupas dan mengerut
karena panas. Suto Sinting
sempat menjadi tegang karena merasakan tubuhnya bagai tersiram air mendidih.
"Bahaya sekali kalau aku tidak segera ikut campur mengatasi angin celaka ini!"
pikirnya sambil membuka tutup bumbung tuak. Ia pun menenggak tuaknya,
sebagian ditelan sebagian dibuat kumur-kumur di mulutnya.
Lalu dengan tubuh mengeras, tenaga dikerahkan, tuak di mulut itu segera disemburkan ke udara atas.
Bruuuwwrs...! Blegaaarr...! Ledakan sangat kuat terjadi begitu mengerikan.
Guncangan tanah bagai ingin menjungkir balikkan apa saja yang ada di atasnya.
Ledakan itu membuat tubuh Resi Pakar Pantun terlempar dan jatuh bergulingguling, sedangkan tubuh Mahkota Dewi terhempas menghantam batang pohon yang
dipakai berlindung Kadal Ginting dan Menik.
Semburan tuak Suto tadi bukan sembarang semburan tanpa arti. Air tuak yang
tersembur berubah menjadi percikan api ke mana-mana. Percikan api itu bagaikan
beradu kekuatan dengan hembusan angin 'Ladang
Prahara', hingga timbul ledakan cukup dahsyat. Itulah yang dinamakan jurus
'Sembur Bromo Wiwaha', sebuah jurus maut yang jarang digunakan oleh Pendekar
Mabuk. Beberapa pohon tumbang secara mengerikan akibat ledakan
dahsyat itu. Tumbangnya pohon-pohon membuat sesosok bayangan berkelebat dan muncul di depan mereka. Wuuus...!
Jleeg...! "Heh, heh, heh, heh...!" suara tawa terkekeh membuat Dewi Menik ingat tentang si
Dewa Semprong. "Pasti dia kakek ompong itu!" katanya kepada Kadal Ginting yang ketakutan dan
merapatkan punggung ke batang pohon itu. Ia tak sadar bahwa di belakangnya ada
Menik, sehingga Menik menjadi tergencet batang pohon.
Gadis kecil itu jengkel, maka tanpa basa-basi lagi kepala Kadal Ginting
dikeplaknya. Plook...!
"Auh...!" Kadal Ginting memekik, lalu segera maju setengah langkah. Menik segera
membentak. "Kau pikir kau menggendong karung beras! Seenaknya saja dipepetkan ke pohon! Aku hampir mati tak bernapas, tahu"!"
"Iya, tapi jangan main keplak kepala orang tua begini!" sentak Kadal Ginting.
"Aku tidak tahu kalau kau tua. Aku kan buta"!" debat Menik makin menjengkelkan
dengan ketengilannya.
Tapi Kadal Ginting tak melayani karena perhatiannya segera tertuju kepada tokoh
berjubah hijau dan berkepala nyaris gundul plontos itu.
"Keparat kau, Dewa Semprong!" sentak Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal tokoh
tersebut. "Apa-apaan kau, hah"! Mengapa kau serang kami begini"!"
"Aku menghendaki bocah kecil itu!" sambil ia menuding Kadal Ginting memakai
kepala tongkatnya.
Kadal Ginting menjadi cemas dan mundur selangkah lagi. Tapi tahu-tahu kepalanya
dikeplak lagi oleh Menik.
Plook...! "Jangan gencet aku, Tolol!" bentak Menik dengan
sok tua. * * * 6 PENDEKAR Mabuk rasakan ada gerakan cepat
menuju ke arah sampingnya, ia tahu di sampingnya ada pohon yang dipakai untuk
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersembunyi Kadal Ginting.
Ia yakin gerakan aneh yang datang dengan cepat adalah gerakan si Dewa Semprong.
Zlaaap. .! Pendekar Mabuk pun gunakan jurus 'Gerak Siluman'
untuk mematahkan gerakan si Dewa Semprong. Akibatnya, kedua tubuh yang bergerak sama-sama cepat melebihi angin
itu saling bertabrakan di udara.
Brruuss...! "Huuaahhg...!"
Brrruk...! Keduanya sama-sama terpental jatuh. Tapi Suto Sinting mengerang dan
memuntahkan darah kental dari mulutnya, ia tersodok kepala tongkat si Dewa
Semprong yang mengandung kekuatan tenaga dalam
cukup berbahaya itu.
Sedangkan Dewa Semprong sendiri juga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajah tuanya menjadi
biru legam. Rupanya dadanya sempat membentur bumbung tuaknya Suto yang juga mempunyai kekuatan sakti itu.
"Hooek...! Hoooeek...!" Dewa Semprong muntahkan
darah cukup banyak. "Hooeek...! Hoooek...!"
"Siapa yang sedang ngidam itu, Paman Kadal"!"
tanya Menik. "Si Dewa Semprong," jawab Kadal Ginting. "Ia bertabrakan dengan Suto, langsung
ngidam dan muntah-muntah."
Dewa Semprong sibuk menahan luka dalamnya, ia
berdiri dengan satu lutut, tundukkan kepala beberapa saat. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Suto Sinting untuk membagi tuaknya kepada Resi Pakar Pantun
dan Mahkota Dewi yang terluka karena angin panas tadi.
Dengan meneguk tuak Suto, maka keadaan mereka pun cepat menjadi sehat seperti
sediakala. Tak lupa Suto sendiri juga buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan luka akibat tabrakan dengan Dewa Semprong tadi.
"Kakang Andhigama...," sapa Resi Pakar Pantun kepada Dewa Semprong, ia
menyebutkan nama asli si Dewa Semprong.
"Hentikan kepicikanmu itu, Kakang Andhigama. Aku tahu kau memburu otak bocah
itu, tapi langkahmu tidak mencerminkan jiwamu yang dulu kukenal sebagai orang
bijak. Kakang Andhigama!"
"Aku sudah bosan jadi orang bijak," jawab Dewa Semprong. "Yang penting aku tak
mau mati di tangan si Tapak Siluman!"
"Kau tampaknya sangat ketakutan sekali, Eyang,"
ujar Mahkota Dewi.
"Ya, aku memang ketakutan. Sebab dulu aku pernah
kencing di kuburannya Tapak Siluman!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Kadal Ginting dan yang lain tertawa. "Mengapa kau kencingi
kuburan si Tapak Siluman?"
"Biar tidak bisa bangkit lagi. Eeeh... sekarang malah bangkit. Pasti dia tahu
kalau aku dulu mengencingi kuburannya dan pasti aku akan dijadikan sasaran
keganasannya. Sebab itu aku harus segera melapisi darahku dengan otak bocah."
Pendekar Mabuk angkat bicara, "Apakah kau tak berani melawan Tapak Siluman,
Eyang?" "Aku akan kalah!" jawab si Dewa Semprong dengan jujurnya. "Ilmunya lebih tinggi
dari ilmuku. Bahkan gurumu,
si Gila Tuak, juga akan binasa jika melawannya, seperti nasib adik seperguruanku yang sering cekcok denganku itu;
Nyai Serampang Wilis."
"Eyang,"
sahut Mahkota Dewi sambil maju selangkah. "Apakah Eyang sudah melihat nasib Nyai Guru Serampang Wilis"!"
"Kutemukan jenazahnya tergeletak di sebelah barat sana."
"Eyang yakin bahwa itu perbuatan si Tapak Siluman"!" tanya Mahkota Dewi dengan nada sedih.
"Ya. Pasti si Tapak Siluman yang membunuhnya dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya!
Dan aku takut kalau nantinya mati seperti Serampang Wilis; hanya tinggal kepala
dan jeroannya! Iih... aku tak mau mati begitu.
Ngeri. Nanti mayatku tak bisa dimandikan jika tinggal jeroan saja."
Dewa Semprong bergidik, namun segera menyeringai menahan sakit di dadanya.
Pendekar Mabuk terpaksa memberikan tuaknya untuk pengobat luka dalamnya si Dewa
Semprong. Sikap itu menunjukkan bahwa Pendekar Mabuk tidak ingin bermusuhan dengan Dewa Semprong. Maka, sang Dewa
Semprong pun mulai
mengurangi niatnya untuk merebut Menik.
"Dengar, Kakang Andhigama...," kata Resi Pakar Pantun. "Para tokoh rimba
persilatan memang sedang dibuat cemas oleh kemunculan si Tapak Siluman. Tapi
mereka mencari jalan keluar untuk menghadapi Tapak Siluman tanpa harus
mengorbankan otak bocah-bocah cilik, Kakang. Kuharap kau pun tidak memburu otak
anak-anak. Kasihan, mereka tak punya daya apa-apa jika kita buru dan kita ambil
otaknya." "Lalu, dengan cara apa aku harus menghadapi Tapak Siluman"!"
"Kami sudah sepakat untuk menjagokan Pendekar Mabuk dalam menghadapi Tapak
Siluman." "Alaaa... bisa apa murid si Gila Tuak itu," ejek Dewa Semprong. "Melawanku saja
sudah keteter begitu, apalagi
mau melawan Tapak Siluman, bisa-bisa dijadikan lontong isi kumis!"
Suto Sinting tersinggung dengan ucapan itu. Tapi ia segera menenangkan hatinya
dan memaklumi ucapan orang tua yang asal ceplas-ceplos itu.
"Eyang Dewa Semprong, kalau aku benar-benar mau membunuhmu, maka sejak tadi kau
sudah kehilangan nyawa, Eyang."
"Kenapa kau tidak lakukan?"
"Karena aku tidak ingin membunuh orang yang sedang
panik menghadapi kemunculan si Tapak Siluman. Eyang gugup dan tak bisa berpikir bijak lagi.
Aku perlu menyadarkan Eyang dengan cara tidak
mengorbankan nyawa Eyang."
"Hmmm...,"
Dewa Semprong manggut-manggut
walau dengan sikap mencibir.
"Jadi kau berani menghadapi si Tapak Siluman"!"
tanyanya dengan nada kurang yakin.
"Berani, Eyang!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi dengan syarat, kembalikan mataku!"
"Lho, kau sangka aku mencuri matamu" Jangan menuduh begitu, Nak. Aku tak mencuri
biji matamu. Kalau tak percaya, silakan geledah tubuhku...." Dewa Semprong mengangkat kedua
tangannya seakan siap untuk digeledah.
"Maksudku, kembalikan penglihatanku! Sembuhkan aku dan Menik dari kebutaan ini."
"Apa kau pikir aku tabib"!"
ujarnya sambil bersungut-sungut menjauh dua langkah.
Mahkota Dewi ikut bicara. "Eyang, kalau Eyang tak mau sembuhkan Suto dan Menik,
maka Tapak Siluman akan memburu Eyang, karena Eyang telah mengencingi
kuburannya!"
"Jangan menakut-nakuti aku begitu, Dewi!" bentak kakek tua yang konyol itu.
"Aku tidak menakut-nakuti, Eyang. Tapi apa yang kukatakan ini bisa menjadi
kenyataan, mungkin tak lama
lagi!" "Aaah...!" Dewa Semprong cemberut seperti anak kecil. Resi Pakar Pantun
mendekati dan menepuk
pundak Dewa Semprong.
"Kakang Andhigama... kau bisa membuat mereka buta, tentunya kau bisa
menyembuhkannya. Aku yakin kau punya obat penyembuh kebutaan itu. Kalau kau tak
mau lakukan, maka Pendekar Mabuk tak akan memihakmu jika si Tapak Siluman menyerangmu!"
"Biar saja!" ucapnya sambil masih bersungut-sungut.
Kadal Ginting segera berseru, "Hei, siapa itu yang melintas dari pohon ke
pohon"!"
Semua menjadi tegang.
"Mana, mana..."!" Dewa Semprong lebih tegang lagi.
"Itu di antara dedaunan rimbun itu! Ada yang mengintai kita dari sana! Oh,
sepertinya dia si Tapak Siluman!" kata Kadal Ginting.
"Hahh..."! Celaka...!" Dewa Semprong bergegas mundur mendekati Suto Sinting.
"Kalau begitu, berlututlah, Nak. Kusembuhkan kebutaanmu itu!" kata Dewa Semprong dengan rasa waswas, takut diserang Tapak
Siluman. "Aku mau disembuhkan asalkan Menik juga ikut disembuhkan."
"Iya, iya...! Cerewet kau ini, Nak! Cepat kalian berlutut, nanti Tapak Siluman
keburu menyerangku!"
kata Dewa Semprong dengan tegang.
Suto berlutut di depan Dewa Semprong, sedangkan Menik hanya berdiri di samping
Suto menghadap Dewa
Semprong. Gadis kecil itu berdiri dengan bertolak pinggang menampakkan
keberaniannya walau matanya buta.
Dewa Semprong sempat membatin, "Bocah ini mau disembuhkan apa mau dilukis, kok
lagak berdirinya begitu"!"
Tapi hal itu segera dilupakan oleh Dewa Semprong.
Kini kedua tangan Dewa Semprong mengeraskan dua jarinya.
Kemudian, masing-masing kedua jari itu mengeluarkan sinar putih. Dua sinar putih perak menembus sepasang mata Menik,
dan dua sinar putih lagi
menembus sepasang mata Pendekar Mabuk. Clappp...! Wwees...! Suto dan Menik terpental, namun tak
keras. Hanya saja sempat membuat mereka terpelanting jatuh.
"Tua ompong licik!" maki Menik sambil bergegas bangun, ia ingin marah kepada
Dewa Semprong, namun gerakannya tertahan sendiri oleh kesadarannya. Matanya
mengerjap-ngerjap dan ia mulai dapat melihat kembali.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk yang sudah dapat melihat walau masih
buram. Tapi dalam beberapa kejap kemudian penglihatannya menjadi pulih seperti
sediakala. Menik berpaling memandang Suto, mereka beradu
pandang. Menik tersenyum dan menyapa sok tua,
"Hei... bagaimana kabarmu?"
"Aku melihat kodok berdiri di depanku," ejek Suto.
"Ya, aku juga melihat kambing berdiri di depanku,"
balas Menik, lalu keduanya sama-sama tertawa. Menik melebarkan telapak
tangannya, lalu diayunkan ke depan, bertemu dengan ayunan telapak tangan Suto.
Plaak...! "Kita kibuli dia," kata Menik sambil cekikikan.
"Kibuli bagaimana?"
"Aku tadi berbisik kepada Kadal Ginting agar berpura-pura melihat Tapak Siluman
di pohon. Padahal Kadal Ginting tidak melihat apa-apa, aku pun juga tidak
melihat apa-apa. Hik, hik, hik, hik...!"
"Dasar otak bulus!" ujar Suto dengan tersenyum geli.
"Terima kasih atas pengobatanmu, Eyang," kata Suto kepada Dewa Semprong. Si
kakek cemberut setengah menyesal telah mengobati lawannya.
"Terima kasih itu tidak penting, yang penting hadapi si Tapak Siluman itu,"
ujarnya dengan mulut mirip cucur bantat.
"Kalau sekarang dia ada di sini, aku akan segera menyerangnya, Eyang."
"Lho, katanya tadi dia ada di pohon itu"!"
Kadal Ginting menyahut sambil nyengir, "He, he, he... ternyata yang kulihat tadi
seekor monyet, Eyang."
"Hah..."!"
Dewa
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semprong terbelalak. "Seekor monyet..."! Sial! Aku tertipu kalau begitu."
"Aku sendiri tertipu, Eyang," kata Kadal Ginting.
"Kusangka si Tapak Siluman, tak tahunya seekor monyet!"
"Itu pasti bapakmu yang kebingungan mencari anaknya yang hilang," kata Dewa
Semprong dengan hati
dongkol, semakin merasa dongkol setelah yang lain menertawakannya.
"Tidak lucu! Tidak lucu!" ujarnya bersungut-sungut cemberut.
Resi Pakar Pantun segera melontarkan pantunnya.
"Perawan juling naik perahu tanpa celana Terkena angin keluar bunyi berdenging
Biar gundul kepalamu bagai semangka
Tapi manis jika dipandang sambil nungging."
Dewa Semprong tak mau kalah, ia lontarkan
pantunnya sambil cemberut.
"Janda montok hamil menelan batu
Keringat perawan diseduh jadikan jamu
Biar aku tertipu oleh si pawang kutu
Tapi aku tetap lebih tampan dari congormu."
Tawa mereka berderai sebentar, tapi Mahkota Dewi hanya sunggingkan senyum, ia
masih menyimpan duka atas kematian gurunya. Karena itu, ia segera memotong tawa
ria mereka. "Maaf, Eyang Dewa Semprong... aku harus segera pergi menguburkan jenazah Guru."
"Oh, iya...!" Dewa Semprong mendadak berubah sedih. "Jenazah si Serampang Wilis
belum ada yang menguburkan. Sebaiknya, mari kita kuburkan jenazah gurumu, Dewi.
Biar aku sering bentrok dengannya, tapi dulu ia pernah memberiku sebuah ciuman
manis. Kurasa sekaranglah saatnya aku membalas ciuman manis itu dengan cara
menguburkan jenazahnya."
"Aku akan ikut memakamkan Nyai Serampang Wilis,
sebagai penghormatan terakhir dariku," kata Resi Pakar Pantun. "Sebab dulu dia
pernah menghormatiku, ketika aku terkena racun dia rela memanjat pohon kelapa
untuk mencarikan air kelapa untuk penawar racunku. Walau akhirnya aku pun ikut
naik ke pohon itu."
"Kenapa kau ikut naik?"
"Sebab dia tak bisa turun dari pohon."
Pendekar Mabuk tersenyum geli. Lalu ia berkata
kepada Resi Pakar Pantun yang bersebelahan dengan Dewa Semprong.
"Eyang, mohon doa restu, aku akan memburu si Tapak Siluman!"
"Kulihat ia bergerak ke arah barat," kata Dewa Semprong. "Kejar dia dan
hancurkan kekuatannya!"
"Baik, Eyang!"
"Aku ikut!" tiba-tiba Menik nyeletuk keras.
"Anak kecil tak, boleh ikut tawuran!" kata Dewa Semprong.
"Hei, aku bukan penakut sepertimu, Kakek Ompong!
Aku berani melawan Tapak Siluman!"
"Kalau didengar Tapak Siluman, mulutmu bisa dirobek menjadi tujuh bendera, Bocah
Bodong!" geram Dewa Semprong.
Suto berkata kepada Menik, "Sebaiknya memang kau tak usah ikut aku, Menik.
Ikutlah memakamkan Nyai Serampang Wilis bersama Eyang Resi Pakar Pantun."
"Enak saja! Perutku mual kalau harus ikut sama kakek ompong itu!"
"Aku tetap tidak izinkan kau mengikutiku, Menik!"
tegas Suto. Kemudian kepada yang lain ia berpamit,
"Aku berangkat sekarang juga, Eyang. Maaf, aku tak bisa ikut memakamkan gurumu,
Dewi." "Aku bisa memaklumi," kata Mahkota Dewi.
Blaaas...! Suto segera pergi tinggalkan tempat. Menik segera melompat dengan
gerakan lincah dan cepat, ia tahu-tahu sudah berada di atas pohon.
Plak, plak, plak, wuut, wuuut...!
"Sutooo... tunggu, ada yang ingin kukatakan padamu.
Penting sekali!" seru Menik sambil mengejar Suto Sinting. Seruan itu sempat
didengar Suto dan membuat pemuda tampan itu hentikan langkah.
"Ada apa?" tanya Suto setelah Menik mendekat.
"Aku lupa katakan sesuatu padamu. Ada pesan untukmu dari kakakku; Dewi Hening."
"Pesan apa?"
"Tentang isi hatinya."
"Jelaskan isi hatinya itu."
"Akan kujelaskan kalau kau mengizinkan aku ikut denganmu."
"Ayolah, Menik... jangan menggangguku begitu!"
"Kalau kau tak mau dengar pesan isi hatinya, akan kukembalikan kepada Hening.
Dan aku akan bilang kepada Hening bahwa Pendekar Mabuk tak sudi
menerima pesannya!"
"Hei, jangan begitu" Itu namanya melukai hati kakakmu?"
"Maukah kau mendengar pesan isi hatinya Hening?"
Pendekar Mabuk diam sebentar, mempertimbangkan
langkahnya sambil membayangkan kecantikan si Dewi Hening yang menggiurkan hati
itu. Akhirnya, Suto menyerah kepada Menik.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tapi tidak boleh nakal!"
"Aku hanya akan nakal jika bertemu lelaki tampan, hik, hik, hik...!"
"Husy! Kecil-kecil sudah ganjen."
"Melatih diri biar besok kalau besar tidak seperti Kejora; kuper alias kurang
pergaulan!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kita berangkat sekarang, Menik!"
"Aku siap, Suto!" jawab Menik dengan tersenyum bangga, wajahnya tampak ceria
sekali. Menik mendahului gerakan Suto. Ia melompat seperti anak
kijang. Slaap, slaap...! Pendekar Mabuk mengikutinya tanpa menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
* * * 7 SEBUAH kedai menjadi sasaran perhentian Suto dan Menik,
karena saat itu malam telah mulai menggerayangi seluruh permukaan bumi. Begitu mereka masuk ke kedai di sebuah
desa, beberapa mata mulai memperhatikan Suto dan Menik. Pandangan mereka
mencurigakan hati Pendekar Mabuk, sehingga kewaspadaan pun ditingkatkan.
"Suto, mereka memperhatikan kita terus," bisik Menik. "Jangan-jangan mereka
naksir aku, ya?"
"Naksir"! Hmmm... wajahmu tak punya kecantikan kok ditaksir," Suto Sinting
sengaja mengajak Menik bercanda supaya hati Menik tidak diliputi kecemassn.
Padahal dalam hati Suto sendiri telah timbul kecemasan akibat kecurigaan yang
tersembunyi. "Tenang saja, Menik. Kau tak perlu punya penafsiran yang bukan-bukan. Biarkan
mereka memandangi kita, karena mereka mempunyai mata."
"Iya. Kalau mereka tidak punya mata mana mungkin mereka memandangi kita" Apa
mereka mau memandang pakai mata kaki"!" ujar Menik bernada gerutu, ia langsung
duduk di bangku samping Suto.
"Perutku lapar sekali," bisiknya kepada Suto. "Kuharap kau mengajakku ke sini bukan sekadar untuk mengisi bumbung tuakmu dan
meminum wedang Jahe.
Setidaknya kau akan mengizinkan aku untuk memesan pengisi perut."
Suto Sinting tersenyum geli. "Pesanlah sendiri kepada Pak Tua pemilik kedai itu.
Aku akan menyuruh
pelayannya untuk mengisi bumbung tuakku."
Ketika mereka sedang menikmati makanan malamnya, tiba-tiba muncul seorang pemuda berparas cukup tampan dengan bercelana
ungu dan memakai baju tanpa lengan warna ungu juga. Pemuda itu berusia sekitar
dua puluh tahun. Rambutnya lurus dan panjang, diikat menjadi satu ke belakang,
ia menenteng pedang
perak bergagang ronce-ronce benang ungu. Pergelangan tangannya mengenakan gelang
kulit warna loreng hitam-hitam.
Pemuda itu segera duduk di samping Pendekar
Mabuk begitu ia melihat sang Pendekar Mabuk ada di kedai tersebut. Pedangnya
diletakkan di atas meja, seakan dipamerkan di depan Suto.
Brak...! Suara pedang dihentakkan di meja membuat Suto
Sinting dan Menik berpaling memandang pemuda
berkulit bersih itu. Mata Suto segera memandang punggung telapak tangan si
pemuda yang bertato gambar seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Tato itulah
yang membuat Suto Sinting sunggingkan senyum,
karena ia mengenali siapa pemilik tato elang biru.
"Hei Elang Samudera!"
Plok...! Suto segera menepuk punggung pemuda
tersebut. Si pemuda pun langsung berlagak memukul pinggang Suto sambil tertawa.
Tapi tangan Suto segera menangkis pukulan itu. Teeb...! Genggaman pemuda itu
ditangkap oleh Suto, maka tawa mereka sama-sama pecah berderai penuh keriangan.
"Kusangka kau telah lupa padaku, Suto!"
"Tak mungkin aku melupakan seorang sahabat sepertimu, Elang Samudera. O, ya...
mau ikut makan bersama" Silakan pesan sendiri."
"Kau yang akan membayarnya?"
"O, tentu saja kau harus bayar sendiri, jika perlu bayar pula makanan dan
minuman kami berdua ini!"
jawab Suto Sinting dalam kelakarnya. Elang Samudera hanya tertawa sambil memukul
kecil lengan Suto
Sinting. Elang Samudera adalah murid dari Pendeta Darah
Api dari Teluk Merah, ia bertemu dengan Pendekar Mabuk dan mulai bersahabat
sejak peristiwa hilangnya Tongkat Guntur Bisu milik Ratu Remaslega. Elang
Samudera mempunyai kakak perempuan yang menjadi Perwira Pulau Sangon, yaitu Dewi
Cintani, sahabat Suto juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Dendam Selir Malam").
"Mengapa kau ada di desa ini, Elang?"
"Aku diminta bantuannya oleh Ki Lurah Penawu, kepala desa ini, untuk menjaga
keamanan desa yang sedang diganggu oleh orang-orang Perguruan Macan Iblis."
Suto Sinting berkerut dahi karena baru mendengar nama Perguruan Macan Iblis.
Tetapi Menik yang sudah dikenalkan oleh Suto kepada Elang Samudera itu segera
menyahut percakapan mereka.
"Apakah maksudmu Perguruan Macan Iblis yang diketuai oleh Warok Suro Bangsat
itu, Kang?"
"Benar, Menik. Rupanya kau lebih tahu tentang perguruan tersebut ketimbang si
Pendekar Mabuk ini."
Suto Sinting hanya tersenyum bernada malu. Ternyata pengetahuannya tentang perguruan itu masih tertinggal dibanding si
kecil Menik. Tapi Suto maklum akan hal itu, karena Menik mungkin lebih sering
mencuri percakapan orang tua, sehingga ia mengetahui
tentang Perguruan Macan Iblis itu.
"Gangguan apa yang membuat Ki Lurah Penawu itu meminta bantuanmu, Elang
Samudera?"
"Apakah kau tak mendengar bahwa beberapa hari belakangan ini banyak anak kecil
yang menjadi korban penculikan" Dan pada umumnya anak yang diculik
ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa dengan tengkorak kepala rusak dan
otaknya hilang?"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kurasa ada hubungannya dengan
kemunculan tokoh hitam yang bernama Tapak Siluman itu, ya?"
"Benar! Ternyata kau sudah mendengar tentang hal itu, Suto," ujar Elang Samudera
setelah memesan minuman dan makanan untuknya.
"Aku hampir menjadi korban, Kang!" kata Menik seakan ingin ikut dilibatkan dalam
pembicaraan tersebut.
"Masuk akal sekali kalau kau nyaris menjadi korban, Menik. Karena yang dicari
adalah anak-anak seusia kau," kata Elang Samudera, lalu ia bicara kepada Suto
Sinting. "Karenanya, anak-anak kecil di desa ini sejak sebelum senja sudah disembunyikan
dalam satu ruangan bawah tanah di pendopo kelurahan. Tak ada anak kecil yang
berani berkeliaran selewat senja."
"Pantas ketika aku memasuki kedai ini, banyak orang yang memperhatikan aku,
Kang." "Itu lantaran mereka heran dan kagum melihat keberanianmu berada di luar rumah
di waktu malam."
Ki Lurah Penawu ternyata punya hubungan persahabatan dengan Dewi Cintani. Ketika utusan Ki Lurah Penawu datang kepada
Dewi Cintani dan meminta bantuan tenaga untuk melindungi desanya, Dewi Cintani
menyuruh adiknya: Elang Samudera untuk memperkuat keamanan di Desa Badaran itu.
Sebenarnya gangguan yang menyerang Desa Badaran bukan dari orang-orang Perguruan
Macan Iblis saja. Tapi dari beberapa pihak lain yang ingin mendapatkan otak
anak-anak juga ikut berkeliaran di Desa Badaran. Tetapi kebanyakan mereka datang
dari Perguruan Macan Iblis, karena letak perguruan itu lebih dekat dengan Desa
Badaran. Sudah tiga malam ini, Elang Samudera selalu berhasil melumpuhkan para pencari
otak anak-anak itu. Dan malam kemarin ia berhasil membunuh seorang murid
Perguruan Macan iblis. Dalam perhitungan otaknya, malam itu akan datang sejumlah
murid Perguruan
Macan Iblis ke desa tersebut dengan alasan ingin menuntut balas atas kematian
rekan mereka. "Karena itu, sangat kebetulan sekali kau singgah di desa ini, Suto. Setidaknya
jika aku sampai terpojok oleh kekuatan mereka, kau bisa membantuku."
"Dengan senang hati aku akan bertindak sebelum kau perintah, Elang Samudera."
"Kusarankan lebih baik kau bermalam di rumah Ki Lurah
Penawu saja, sekaligus memberi tempat perlindungan bagi Menik yang jika terlihat mereka pasti akan dijadikan sasaran
penculikan juga."
"Bagaimana, Menik?" tanya Suto.
"Terserah...." Menik sentakkan pundak. "Tapi kalian harus percaya bahwa aku
sebenarnya tidak merasa takut menghadapi orang-orang Perguruan Macan Iblis, atau
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mana saja!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera manggutmanggut sambil tertawa. Agaknya gadis kecil itu tidak mau diremehkan oleh yang
tua, dia selalu ingin dinilai bukan sebagai seorang bocah, tapi sebagai sang
pemberani yang tidak mempertimbangkan batas usia.
Elang Samudera merasa kagum melihat kepandaian
bicara Menik dan keberaniannya, terlebih setelah mendapat cerita dari Suto
Sinting tentang pertemuannya dengan Dewa Semprong yang membuat mereka menjadi
buta beberapa saat itu.
Ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Ki
Lurah Penawu dalam siraman cahaya rembulan, tiba-tiba Menik menahan tangan
Pendekar Mabuk yang membuat mereka bertiga terpaksa hentikan langkah.
"Ada apa, Menik?" tanya Suto dalam nada bisik.
"Aku melihat dua sosok manusia di atas atap rumah-rumah sebelah kiri kita,
Suto." Elang Samudera terkejut tipis, ia dan Suto sama-sama pandangi atap rumah yang
dimaksud Menik. Beberapa saat kemudian mereka baru melihat dua bayangan yang
dimaksud Menik.
"Kau melihatnya, Suto?" tanya Elang Samudera.
"Ya, aku melihatnya."
"Aku pun demikian. Pasti mereka punya maksud tak baik."
"Kita ikuti dengan sembunyi-sembunyi saja supaya tidak menggegerkan penduduk,"
bisik Suto sambil menggantungkan bumbung tuaknya di pundak, supaya sewaktu-waktu
terjadi sesuatu dapat segera digunakan sebagai senjata.
Dua sosok bayangan hitam itu melompat dari atap rumah yang satu ke atap rumah
yang lainnya. Sepertinya ada yang mereka incar di dalam rumah melalui atapnya.
Firasat Suto mengatakan, bahwa kedua sosok bayangan itu pasti sedang mencari
seorang bocah. Karenanya Suto segera mengingatkan Menik agar hati-hati dan
jangan sampai menjadi sasaran dua sosok bayangan itu.
"Apakah mereka orang Perguruan Macan iblis?"
tanya Pendekar Mabuk kepada Elang Samudera.
"Belum tentu. Tak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan ciri khas orang Perguruan
Macan Iblis. Kita tak bisa mengetahui sebelum kita menangkapnya dan memaksanya
mengaku dari pihak mana."
Suto Sinting menggumam lirih sekali sambil manggut-manggut. Suasana desa dicekam sepi, seakan para penduduknya berada dalam
pengawasan mata iblis yang menyeramkan. Tak satu pun penghuni rumah yang keluar
atau jalan-jalan menikmati malam terang bulan.
Bahkan orang-orang di kedai tadi sudah pergi lebih dulu sebelum Pendekar Mabuk
tinggalkan kedai tersebut.
Semakin lama kedua bayangan itu semakin bergerak mendekati pendopo rumah Ki
Lurah Penawu. Elang
Samudera tampak mulai cemas, karena takut jika kedua sosok bayangan itu
menemukan tempat penampungan
anak-anak yang disembunyikan. Sebab itulah Elang Samudera akhirnya segera
bertindak tanpa bicara apa-apa kepada Suto.
Elang Samudera lakukan lompatan ringan yang
membuat tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di salah satu atap rumah tanpa
timbulkan suara. Sama halnya dengan kedua bayangan itu, Elang Samudera bergerak
melintasi atap demi atap tanpa bersuara. Ini menandakan ilmu tenaga peringan
tubuh mereka cukup tinggi
dan mampu menapak di atas atap tanpa menimbulkan kegaduhan apa pun.
Wuuut...! Tab, tab, tab...!
Pendekar Mabuk dan Menik mengawasi gerakan
Elang Samudera dari bawah pohon rindang. Sesekali mereka pindah ke tempat yang
tersembunyi, mendekati gerakan Elang Samudera sebagai tindakan berjaga-jaga.
"Ssssstt...," desis Menik memberi isyarat kepada Suto. Ia menyentakkan tangan
Suto, sehingga pemuda tampan berbadan kekar itu berpaling memandangnya.
"Di sebelah timur juga ada dua bayangan, Suto.
Mereka juga berkeliaran di atas atap!"
Pendekar Mabuk buru-buru memandang ke arah
timur. Tak lama ia menemukan dua sosok bayangan hitam yang sedang melintas dari
atap ke atap tanpa timbulkan suara. Gerakan mereka juga makin lama semakin
mendekati ke arah pendopo rumah Ki Lurah Penawu.
"Menik, bersembunyilah di atas pohon rimbun itu.
Tetaplah di sana sebelum aku dan Elang Samudera
selesai melumpuhkan mereka."
"Kenapa harus bersembunyi?"
"Nanti kau yang dijadikan sasaran penculikan mereka jika kau tidak bersembunyi."
"Justru aku sedang berpikir bagaimana menculik salah satu dari mereka."
"Ah, konyol kau ini!" sergah Suto. "Sudah sana, naik ke atas pohon. Aku akan
menghadapi dua bayangan yang di timur itu!"
"Kita hadapi berdua saja!"
"Dasar bandel...!" gerutu Suto sambil mencekal lengan Menik, kemudian
melemparkan tubuh kecil itu ke ates pohon. Wuuut...! Gusraak...!
Teeb...! Menik berhasil meraih sebuah dahan dipakai bergelayutan. Kemudian ia
mengangkat tubuhnya hingga bisa duduk di dahan tersebut.
"Kambing congek betul si Suto itu!" gerutunya dengan jengkel. "Enak saja
melemparkan tubuhku ke sini, sementara dia menghilang dalam waktu singkat.
Awas, nanti kalau sudah selesai dia akan ganti
kulemparkan bukan di atas pohon, tapi di jamban salah satu rumah!"
Menik terpaksa diam di pohon tersebut. Tapi matanya dapat untuk memandang ke
arah timur dan barat, ia melihat
Elang Samudera sedang menyergap dua bayangan yang berkeliaran di atap rumah sebelah barat.
Gerakan Elang Samudera cukup cepat dan lincah.
Tanpa banyak tanya lagi ia berkelebat menerjang kedua bayangan itu dengan
tendangan serentak.
Wuuus ..! Prok, buhk...!
Kedua bayangan terjengkang karena tendangan Elang Samudera. Mereka jatuh ke
tanah dalam keadaan
sungguh mengenaskan.
Elang Samudera menyusul turun pada saat salah satu dari bayangan hitam itu
bangkit mencabut goloknya.
Kehadiran Elang Samudera segera disambut dengan tebasan golok lebar ke arah
leher. Wuuuss...!
Elang Samudera segera merundukkan kepala dilangsungkan dengan gerakan berguling di tanah.
Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berlutut di depan lawannya.
Sebelum sang lawan menyadari keberadaannya, Elang Samudera sudah lebih dulu
menghantamkan pukulan bertenaga dalam ke arah perut orang tersebut.
Buuuhk...! "Uuhg..."!!"
orang itu mendelik, langsung menyemburkan darah dari mulutnya setelah Elang
Samudera bangkit dan lakukan lompatan ke arah
samping. Weess...! Pada saat itu, lawan yang satunya lagi sedang
mengerahkan tenaga untuk melepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Tapi kaki Elang Samudera lebih dulu menendang tangan orang tersebut, lalu tubuh
Elang Samudera berputar cepat sehingga tendangan kaki lainnya mengenai pelipis
lawannya. Plak, praak...!
Tendangan pada pelipis menimbulkan bunyi berderak, menandakan tulang tengkorak orang tersebut menjadi retak seketika itu
pula. Darah keluar dari hidung dan telinga, lalu orang itu tumbang tak mampu
menjerit sedikit pun.
Melihat temannya ditumbangkan Elang Samudera,
orang yang tadi menyemburkan darah dari mulutnya segera menyambar temannya itu.
Weess...! Rupanya ia masih punya sisa kekuatan untuk melarikan diri, sehingga
dalam waktu cepat ia sudah memanggul
temannya dan melesat pergi melalui lorong di antara dua rumah.
Sementara itu, di sebelah timur Menik melihat
Pendekar Mabuk juga melompat ke atas atap tanpa timbulkan suara. Kedua bayangan
itu sengaja dibuat kaget atas kemunculan Suto.
Kedua bayangan tersebut segera menyerang Suto
lebih dulu. Tapi dengan cekatan Suto Sinting ambil bumbung tuaknya dan
disabetkan ke depan dari kanan ke kiri. Wuut...!
Weeess...! Brrruuk...!
Angin sabetan bumbung tuak itu membuat dua sosok bayangan tersebut terpental
bagai terkena tendangan keras. Mereka jatuh ke tanah tanpa berguling-guling di
atas pohon, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan sedikit pun.
Pendekar Mabuk segera mengejar kedua bayangan
yang jatuh ke tanah. Sampai di depan mereka, Pendekar Mabuk tak mau beri
kesempatan bagi lawannya untuk coba-coba menyerang lagi. Kaki Suto Sinting
melangkah dengan limbung, badannya menggeloyor bagai orang mabuk
mau jatuh. Tapi tangan kirinya segera menghantam ke arah dagu lawan dengan kuat. Pruuk...!
"Uuhfff...!" orang itu mengaduh kesakitan karena giginya rontok setelah terkena
sodokan kuat si Pendekar Mabuk.
Belum sempat orang itu jatuh, Suto Sinting sudah putar tubuh secara cepat dan
kakinya melayang ke arah lawan yang satunya lagi. Wees...! Plaaak...! Kaki itu
bagaikan melakukan tamparan sangat keras ke wajah lawan.
"Oouh..!"
orang itu memekik tertahan sambil terpelanting dan jatuh kembali di tanah.
Pada saat itu, orang yang tadi disodok dagunya
menjadi sangat penasaran. Maka dengan menggeram diiringi mata yang mendelik, ia
mencabut kapaknya dan ingin menghantam kepala Suto dari belakang dengan kapak
itu. Namun Pendekar Mabuk cukup sigap. Melihat
kelebatan angin aneh di belakangnya, ia langsung mengayunkan bumbung tuaknya ke
belakang. Wuuut...!
Praaak...! Kapak itu beradu dengan bumbung tuak dan kapak itu akhirnya pecah
menjadi tiga bagian. Orang itu tak tahu bahwa bambu yang dipakai bumbung tuak
Suto itu bukan sembarang bambu, melainkan mempunyai
kekuatan sakti tersendiri, sehingga mampu menghancurkan kapak baja tersebut.
"Keparat kau!" geram orang yang ditendang wajahnya tadi. Ia segera lakukan lompatan dengan tubuh
berputar cepat seperti baling-baling. Suto Sinting sentakkan kaki ke tanah dan
tubuhnya segera melesat ke atas melebihi ketinggian lompat lawannya.
Wuuut...! Terjangan lawan akhirnya tidak mendapatkan apaapa. Ketika Suto Sinting mendaratkan kakinya kembali, kedua lawan sempat dalam
keadaan berjejer dan sama-sama
memunggungi Suto. Sebelum mereka membalikkan tubuh, Pendekar Mabuk lakukan satu
lompatan kecil dan kedua kakinya menendang punggung kedua
lawan secara bersamaan. Wees...! Duuhk, duuhk...! "Oohk...!" salah seorang terpekik dengan suara tertahan. Ia memuntahkan darah
segar dari mulutnya, karena tendangan Suto tadi mengandung kekuatan
tenaga dalam yang cukup berbahaya. Sedangkan lawan yang satu juga begitu, bahkan
lebih parah lagi; tubuhnya tersungkur dan wajahnya membentur sebongkah batu
dengan keras. Selain ia memuntahkan darah segar juga mencucurkan darah dari
hidung karena bertabrakan dengan sebongkah batu tadi.
"Lari...! Cepat lari...!" suara lawan yang satu bagai ditekan, mirip orang
berbisik, ia menarik tangan temannya yang wajahnya hancur itu. Kemudian, mereka
akhirnya lari secara serempak menerabas semak dan menghilang di kegelapan kebun
kopi yang menjadi batas wilayah desa.
Sebenarnya Suto Sinting tak ingin lakukan pengejaran. Tetapi tiba-tiba ia melihat Menik berlari
memburu kedua orang tersebut. Gadis kecil itu ternyata nekat turun dari pohon
dan memperhatikan pertarungan Suto dari jarak dekat. Begitu melihat kedua lawan
kehabisan tenaga dan terluka cukup berbahaya, Menik segera mengejarnya dengan
membawa dua batu di
tangannya. Mau tak mau Suto Sinting bergerak cepat untuk menahan pengejaran si
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis kecil itu. Zlaaap...!
* * * 8 ESOKNYA mereka mendengar kabar bahwa Ketua
Perguruan Macan Iblis marah kepada penduduk Desa Badaran karena keempat muridnya
dilukai. Seorang pencari kayu datang kepada Ki Lurah Penawu dan
mengabarkan bahwa rombongan dari Perguruan Macan Iblis sedang bergerak menuju
desa tersebut. "Sekarang mereka sedang mendaki Bukit Liar untuk menuju kemari, Ki Lurah," kata
orang itu dengan wajah tegang penuh rasa ketakutan.
Pendekar Mabuk yang ikut mendengarkan laporan
tersebut segera berbisik kepada Elang Samudera.
"Dugaanku tak salah, keempat orang semalam adalah orang-orang Perguruan Macan
Iblis. Karena jurus-jurusnya kulihat mirip dengan gerakan seekor harimau."
"Ya, dan sekarang agaknya Warok Suro Bangsat ingin mengamuk di desa ini. Aku
harus segera menahan gerakan mereka di Bukit Liar."
"Akan kudampingi!"
ujar Suto Sinting sambil menepuk pundak Elang Samudera, bagai memberi
semangat yang menguatkan jiwa murid Pendeta Darah Api itu.
"Aku ikut, ya?" ujar Menik kepada Suto.
"Tidak. Kali ini kau harus tetap tinggal bersama Ki Lurah."
"Aku bisa menjaga diri, Suto!"
"Tidak boleh!" gertak Suto, dan Menik akhirnya menunduk dengan bibir
dimonyongkan, entah hatinya menggerutu apa, tak ada yang tahu.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera segera berangkat menghadang gerakan orang Perguruan Macan Iblis.
Dengan menggunakan gerakan cepat yang mengandung ilmu peringan tubuh, mereka sudah sampai di lereng Bukit Liar dalam
waktu yang terhitung singkat.
Langkah mereka terhenti karena mendengar suara
pertarungan di puncak Bukit Liar.
"Agaknya mereka terhambat oleh sesuatu," gumam Elang Samudera.
"Kurasa memang begitu. Mungkin mereka menemukan musuh lama dan melumpuhkannya lebih
dulu, setelah itu baru bergerak ke desa."
"Aku akan melihat lebih dekat melalui atas pohon, siapa yang bertarung melawan
mereka di puncak sana."
Wees...! Elang Samudera melambung tinggi dan
hinggap di dahan sebuah pohon. Dari pohon itu ia melompat dengan cepat ke pohon
yang lainnya hingga menuju ke puncak bukit.
Pendekar Mabuk menyelinap dari balik semak dan
batang pohon. Gerakannya begitu cepat hingga sulit diperhatikan oleh siapa pun.
Tapi ketika ingin mencapai puncak bukit, Pendekar Mabuk segera melenting ke
udara dan kakinya menapak pada dedaunan pohon.
Orang biasa akan jatuh menapak di dedaunan pohon itu, tapi Suto Sinting yang
mempunyai ilmu peringan tubuh mendekati sempurna bahkan mampu berdiri di atas
daun yang paling muda sekalipun.
Wuuut...! Elang Samudera mendekatinya. Tapi tak bisa berdiri di atas daun. Ia
berdiri di dahan tak jauh dari Pendekar Mabuk. Mereka menyaksikan pertarungan
dari atas pohon rindang itu.
Sekitar lima belas orang mengurung tanah kosong yang dipakai untuk arena
pertarungan. Saat itu, seorang anak buah Warok Suro Bangsat sedang berhadapan
dengan seseorang yang memakai pakaian hitam compang-camping. Sekujur tubuhnya penuh lumpur
kering, termasuk rambutnya yang panjang sepunggung juga bercampur dengan lumpur.
Wajah orang itu cukup dingin,
berkesan menyeramkan. Matanya kecil, memancarkan kebengisan, dagunya menjorok ke depan dengan kumis tipis namun
panjang hingga melewati dagu.
"Elang Samudera, siapa orang berkuku panjang seperti leak itu"!" bisik Suto
Sinting. "Kalau tak salah, dia itulah yang bernama Tapak Siluman. Ki Lurah Penawu pernah
melihatnya belum lama ini dan menceritakan ciri-cirinya kepadaku."
"Ooo...,"
Suto Sinting manggut-manggut,
perhatiannya semakin dipusatkan ke pertarungan.
"Lalu, orang yang memakai pakaian merah dengan kepala dibungkus kain batik biru
itu siapa?"
"O, kalau itu aku tahu. Dia yang bernama Warok Suro Bangsat, Ketua Perguruan
Macan iblis."
Pendekar Mabuk menggumam sambil manggutmanggut memandangi orang bertubuh tinggi-besar, berkumis lebat melintang,
mengenakan gelang binggel emas di kedua kakinya, dan memakai subang di telinga
kirinya. Ia tampak menyeramkan dan berwibawa dengan cambuk terselip di
pinggangnya. Ketika seorang anak buahnya yang maju melawan
Tapak Siluman itu dalam keadaan terdesak serangan lawan,
Warok Suro Bangsat segera mencabut cambuknya. Cambuk itu dilecutkan ke leher muridnya sendiri.
Ctaaarrr...! "Aaaahg...!" sang murid mengejang dengan leher robek, kejap kemudian tumbang tak
bernyawa lagi. "Daripada muridku menjadi korbanmu, lebih baik dia kubunuh sendiri!" ucap Warok
Suro Bangsat dengan suaranya yang besar dan menyeramkan.
"Kebo Gadung, maju kau!" perintah Warok Suro Bangsat.
Pendekar Mabuk terperanjat sedikit melihat kemunculan seorang lelaki berbaju hitam dan bercelana merah, karena ia kenal
dengan wajah angker orang tersebut yang tak lain adalah Kebo Gadung.
"O, rupanya Kebo Gadung murid Warok Suro
Bangsat"! Pantas dia bernafsu sekali ingin menculik Menik kala itu," ucap Suto
pelan kepada Elang Samudera.
"Setahuku, biasanya siapa pun yang diberi tugas oleh Ki Warok Suro Bangsat, jika
gagal akan dihukum mati.
Tapi mengapa orang bernama Kebo Gadung itu tidak dibunuhnya, ya?"
"Mungkin Ki Warok masih ingin memanfaatkan tenaga Kebo Gadung, sehingga orang
itu tidak dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku yakin, jika kali ini Kebo Gadung
gagal melawan Tapak Siluman, maka ia akan dibunuh seperti temannya yang tadi."
"Kita lihat saja pertarungan itu...."
Kebo Gadung mengeluarkan jurus tendangan beruntun. Dari kakinya keluar sinar hijau patah-patah seperti lempengan bundar.
Wut, wut, wut, wut...!
Clap, clap, clap clap...!
Wuub...! Sosok Tapak Siluman hilang seketika.
Tetapi bekas telapak kakinya masih kelihatan di tanah.
Bekas telapak kaki itu bertambah dan bertambah terus mengelilingi Kebo Gadung.
"Dia mengelilingimu, Kebo Gadung!" seru salah seorang murid Warok Suro Bangsat.
Kebo Gadung segera mencabut goloknya dan menebaskan ke sekelilingnya. Gerakan cepat itu menimbulkan bunyi dengung yang mengganggu pendengaran. Tapi tak satu pun tebasan golok kenai sasaran. Kebo
Gadung seperti menebas angin dengan tenaga penuh.
Kejap berikut, sosok Tapak Siluman menampakkan
diri lagi. Bluub...! Kemunculannya membuat Kebo Gadung terkejut. Dan pada saat
terkejut itulah tiba-tiba Kebo Gadung dihantam sinar merah berbentuk bola api.
Weess...! Sinar merah berbentuk bola api itu keluar dari telapak tangan Tapak Siluman.
Gerakan sinar begitu cepat, hingga tak memungkinkan dihindari atau ditangkis
oleh Kebo Gadung.
Blesss...! Sinar itu menghantam dada Kebo Gadung, lalu tembus ke belakang dan
menghantam tubuh
rekannya yang ada di belakang Kebo Gadung. Blees...!
Di belakang orang itu ada lagi seorang murid Ki Warok Suro Bangsat yang juga
terkena tembusan sinar merah.
Bleess...! Dalam satu gebrakan, tiga nyawa pun melayang.
Tubuh mereka bagaikan lenyap seketika menjadi uap.
Yang tersisa hanya bagian dalam tubuh; usus, jantung, paru-paru, limpa, dan
sebagainya serta bagian kepala mereka masih utuh. Namun jelas sudah tak mungkin
bisa dipakai bernapas lagi.
Melihat tiga orang tumbang dalam keadaan mengerikan, murid-murid Ki Warok menjadi tegang dan dicekam kecemasan. Tetapi
sang Ketua perguruan
menjadi berang. Matanya lebar memandang lawannya dengan bengis.
Elang Samudera yang terpaku melihat kematian Kebo Gadung dan dua temannya itu,
segera sadar setelah
ditepuk punggungnya oleh Pendekar Mabuk, ia menggeragap dan hampir jatuh dari tempat pijakannya.
"Itukah yang dimaksud jurus 'Bajang Rampak'"!"
tanya Suto lirih.
"Kurasa... kurasa memang Tapak Siluman tadi menggunakan ilmu 'Bajang Rampak'nya. Aku pernah mendengar ciri-ciri korban ilmu 'Bajang Rampak', yang
meninggalkan kepala serta bagian dalam tubuh korbannya."
"Kenapa wajahmu pucat, Elang Samudera" Kau takut atau memang belum sarapan"!"
ledek Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera nyengir malu.
"Kubayangkan seandainya dia menyerangku dengan ilmu
'Bajang Rampak', rasa-rasanya aku sukar menghindari atau menangkis kecepatan sinar merahnya tadi, Suto."
"Kalau begitu, biar aku saja yang menghadapinya.
Kau tetap saja di sini menjadi penonton yang baik.
Hanya saja, kalau nanti aku mati melawannya, tolong sampaikan salam rinduku
kepada Dyah Sariningrum, calon istriku di Pulau Serindu itu. Dan sampaikan juga
pesanku kepada Menik, agar ia menyampaikan salam kangenku kepada kedua kakaknya;
Dewi Hening dan Dewi Kejora."
"Mana mungkin aku bisa menyampaikan salammu kepada mereka?"
"Kenapa tidak?"
"Karena kalau kau mati di tangan si Tapak Siluman, aku pun tak mau pulang
membawa nyawa. Aku harus
melawannya walau pada akhirnya nanti aku pun mati sepertimu. Hanya saja...
sebaiknya kita memang tak perlu melawan dia, Suto. Dia bukan tandingan kita.
ingat, kita belum punya istri, dan belum pernah merasakan nikmatnya dikerok sang
istri saat kita masuk angin."
"Sudah, sudah... jangan melantur," kata Suto sambil mengulum senyum. "Kita lihat
saja, agaknya kali ini Warok Suro Bangsat maju sendiri. Apakah dia dapat unggul
melawan Tapak Siluman?"
"Kurasa ini hanya pemborosan nyawa, Suto!" ujar Elang Samudera sambil matanya
memandang ke arah pertarungan lagi.
Warok Suro Bangsat memainkan cambuknya, ia
sempat berseru menuding Tapak Siluman dengan
suaranya yang kasar.
"Tapak Siluman...! Aku tahu kau punya ilmu unggulan yang bernama 'Bajang
Rampak', tapi jangan anggap aku dapat kau lumpuhkan seperti murid-muridku tadi!
Ilmu 'Bajang Rampak' tak akan bisa menembus tubuhku, karena aku telah memakan
otak anak-anak."
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu kau hanya menggertakku, Suro Bangsat!"
ujar Tapak Siluman dengan suara seraknya. "Aku yakin kau belum memakan otak
anak-anak. Kini memang
saatnya nyawamu kucabut kecuali jika kau mau tunduk dan berlutut di depanku;
mengakui bahwa akulah tokoh paling sakti dan berhak menjadi penguasa rimba
persilatan!"
"Cuih...!" Warok Suro Bangsat meludahi wajah
Tapak Siluman. Tentu saja hal itu membuat Tapak Siluman menjadi murka.
Penghinaan itu benar-benar membakar amarah si Tapak Siluman dan tak bisa
bersabar lagi. Maka ketika Warok Suro Bangsat melecutkan cambuknya ke arah Tapak Siluman, ctaarr...! Tapi cambuk itu segera disambut oleh
tangan kiri Tapak Siluman. Wuuurt...! Tali itu digenggam dengan tenaga penuh
hingga sukar ditarik lagi. Kemudian tangan kanannya yang berkuku panjang itu
menyentak ke depan dan keluarlah bola api sebesar genggaman dari telapak tangan
itu. Weeess...!
Sinar bola api merah itu bergerak sangat cepat, dan tak bisa dihindari lagi oleh
Warok Suro Bangsat.
Akibatnya dalam sekali gebrak saja Warok Suto Bangsat yang menyandang gelar
sebagai guru di Perguruan Macan Iblis itu, mengejang seketika saat sinar merah
kenai perutnya. Bleess...!
Bles, bless, bless, bleess...!
Sinar itu menembus ke belakang Warok Suro
Bangsat, kenai empat orang yang berdiri sejajar dengan guru mereka. Dalam satu
gebrakan saja sudah lima orang menjadi korban ilmu "Bajang Rampak', dan jenazah
mereka mengalami nasib yang sama dengan jenazah Kebo Gadung.
Warok Suto Bangsat terkapar di tanah dalam keadaan tinggal kepala dan bagian
dalam perutnya. Melihat sang Guru tewas, para murid menjadi lebih ketakutan
lagi. Mereka segera melarikan diri agar tidak menjadi korban
keganasan ilmu 'Bajang Rampak' itu.
Tapi agaknya kemarahan Tapak Siluman tak dapat
ditahan lagi. Kini ia lepaskan kembali jurus 'Bajang Rampak' ke arah para murid
Perguruan Macan Iblis.
104 TAPAK SILUMAN
Claap, bless, bless, bless...!
Weeeut, claaap...! Bleess, bleess... bleess...!
"Aaaaa...!" beberapa orang yang masih selamat menjerit keras-keras melihat
teman-temannya tumbang tanpa raga lagi. Sekitar empat atau lima orang murid
Warok Suro Bangsat masih punya keberuntungan untuk melarikan diri. Tapi si Tapak
Siluman segera memburu mereka dengan melepaskan ilmu 'Bajang Ram-pak'-nya
beberapa kali. Zlaaap...! Sekelebat bayangan datang. Bayangan itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk yang meninggalkan tempat persembunyiannya tanpa pamit kepada Elang
Samudera. Karenanya, murid Pendeta Darah Api itu sempat terperangah kaget
melihat Suto ternyata sudah ada di puncak bukit, di belakang si Tapak Siluman.
"Jangan umbar murkamu kepada mereka, Tapak Siluman!" seru Suto Sinting yang
membuat Tapak Siluman
balikkan badan. Matanya yang kecil memandang tajam kepada Suto Sinting. Rambutnya
yang panjang dan lengket karena lumpur itu tak bisa meriap walau diterpa angin,
ia hanya menggeram dengan langkah pelan dekati Suto. Kedua tangannya bergerakgerak mekar, seakan melemaskan jari-jari untuk mencengkeram lawan memakai kuku-kukunya itu.
"Siapa kau, Bocah Dungu"!"
"Aku Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk.
Akulah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!" Tapak Siluman menggeram setelah terperanjat sekejap. "Kebetulan, pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku memang sedang mencari si Gila Tuak
dan ingin membantainya. Semua murid si Gila Tuak akan kuhabisi riwayatnya, biar tak ada
orang yang lebih sakti lagi dariku!"
"Kalau begitu, akulah lawanmu, Tapak Siluman!"
ujar Suto dengan tegas tapi tetap kelihatan kaiem.
"Keparat busuk! Masih ingusan berani buka mulut di depanku, hah"! Heeeah..!"
Lima kuku dari tangan kiri Tapak Siluman mengeluarkan lima baris sinar hijau lurus, sasarannya ke arah
dada Suto Sinting. Dengan cekatan Suto melawannya sambil melompat mundur selangkah. Seberkas sinar lebar warna biru besar melesat dari telapak tangan Suto. Itulah
jurus 'Tangan Guntur' yang cukup berbahaya. Sinar biru lebar itu seakan menjadi
perisai atas datangnya lima sinar hijau dari kuku-kuku runcing
tersebut. Kedua sinar itu pun akhirnya bertabrakan di pertengahan jarak.
Weeesst...! Blub, blegaaarr...!
Dentuman dahsyat terjadi bagai ingin membelah
bukit tersebut. Seluruh pepohonan berguncang, bahkan ada yang tumbang
berserakan. Gelombang ledakan itu begitu kuatnya sehingga
dapat melemparkan tubuh Suto Sinting ke bawah pohon.
Weess...! Brrukk...!
"Auuhk...!" Suto Sinting menyeringai kesakitan.
Tubuhnya tercabik-cabik mengenaskan sekali.
Pendekar Mabuk cepat-cepat membuka bumbu tuaknya dan mendongak untuk menenggak tuak tersebut.
Namun baru saja tuak tertelan beberapa teguk, tiba-tiba Tapak Siluman lepaskan
pukulan jarak jauhnya dan mengenai bumbung tuak itu. Wees...! Baaang...!
Bumbung tuak terpental karena terlepas dari pegangan Suto. Sebagian tuaknya tumpah berhamburan ke mana-mana. Pendekar Mabuk
sempat terperanjat kaget dan menjadi tegang.
Tapak Siluman segera menyerangnya dengan satu
lompatan secepat kilat. Weess...! Pendekar Mabuk bergerak
limbung ke samping memainkan jurus mabuknya. Tapi ternyata terjangan kaki Tapak Siluman berbelok arah, akibatnya
kepala Suto Sinting tertendang keras-keras oleh lawannya. Duuhk...!
"Aaauow...!" pekik Suto Sinting karena merasa kepalanya nyaris pecah. Tendangan
itu mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar. Untung Suto
Sinting sempat menyalurkan hawa murninya ke kepala pada saat sebelum terkena
tendangan, sehingga tulang kepalanya masih utuh. Hanya saja, selain ia terlempar
delapan langkah jauhnya, ia juga mengalami luka dalam.
Darah kental mengucur dari hidung dan telinga Suto Sinting. Pandangan matanya
sempat menjadi gelap
sesaat. Tapi saat ia bangkit berlutut, ia melihat sekelebat sinar kuning menerjangnya.
Sinar kuning itu berasal dari kedua kuku Tapak Siluman yang dikibaskan bagai
mencakar. Wees...! Claap...!
Dengan satu kaki menyentak ke tanah, tubuh Suto Sinting melambung ke depan dan
berjungkir balik di udara. Wuk, wuk... ! Kemudian ia mendaratkan kakinya dengan
sigap, sedikit merendah ke bawah. Jleeg ..!
Tapak Siluman berada di arah sampingnya. Kepala Pendekar Mabuk berpaling ke arah
kiri dengan kibasan cepat. Darah yang keluar dari hidungnya memercik tanpa
dipedulikan lagi. Sementara itu, bunyi ledakan terdengar akibat sinar kuning
tadi menghantam sebuah pohon, dan pohon itu langsung pecah menjadi serpihan
kecil dari akar sampai puncaknya.
"Gila! Kalau tubuh Suto yang kena sinar kuning itu, pasti dia hancur menjadi
serpihan yang tak bisa dipunguti lagi!" pikir Elang Samudera dengan tegang, ia
segera mencabut pedangnya untuk lakukan serangan sewaktu-waktu, ia tak ingin
tinggal diam jika Suto Sinting sampai terdesak dan sangat berbahaya.
Bluub...! Tapak Siluman menghilang dari pandangan Suto Sinting. Tetapi bekas
telapak kakinya tampak berjalan mendekati Suto.
"Hiah...!"
Suto lakukan plik-plak ke belakang beberapa kali untuk mengatur jarak dengan lawan. Plak, plak, plak, plak...!
Ketika ia berhenti berjungkir baiik secara plik-plak, tangan kanannya segera
mengusap kening. Di kening Pendekar Mabuk terdapat noda merah yang tak bisa dilihat oleh
sembarang orang kecuali yang berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah itu,
maka tubuh Suto menjadi lenyap karena masuk ke alam gaib.
Elang Samudera semakin terperanjat tegang melihat Suto lenyap, ia tak bisa
melihat bahwa Suto dan Tapak Siluman sama-sama beradu kekuatan di alam gaib.
"Edan! Benar-benar sinting ilmunya Suto itu. Tak kusangka ia bisa lenyap begitu
saja. Dan... oh, aku seperti mendengar suara letupan-letupan kecil. Apa yang
dilakukan Suto dengan si Tapak Siluman itu"!"
Tiba-tiba letupan kecil yang didengar Elang Samudera itu berubah menjadi ledakan besar.
Jegaarrr...! Bukit berguncang, tanah lereng menjadi longsor
sebagian. Pepohonan pun nyaris dibuat tumbang semuanya. Elang Samudera sendiri hampir saja terpelanting jatuh dari atas pohon kalau tidak segera menyambar dahan di
atasnya. Kejap berikutnya, Elang Samudera melihat sesosok tubuh terlempar bagai dibuang
dari langit. Brrruk...! "Oh..."! Tapak Siluman berdarah"!" Elang Samudera memandang dengan mata lebar.
Ia melihat dengan jelas mulut si Tapak Siluman keluarkan darah kental, wajah
angkernya menjadi biru samar-samar.
"Pasti ia terkena pukulan Suto!" pikir Elang Samudera. "Tapi... di mana Suto" Kenapa masih tidak kelihatan" Apakah ia juga
semakin terluka parah"!"
Beberapa saat kemudian, wujud sosok Pendekar
Mabuk muncul begitu saja bagaikan tersingkap dari lapisan mega putih. Suto dalam
keadaan segar. Luka yang tercabik-cabik itu sudah lenyap, karena ia tadi sempat
meneguk tuak dari bumbung bambu sakti itu.
Tapak Siluman menggeram menyeramkan dengan
mata berubah menjadi merah. Kedua tangan terangkat ke atas dengan kuku-kuku
runcing siap mencakar. Dari kuku ke kuku yang lainnya tampak mengeluarkan
cahaya kecil semacam aliran petir yang berlompatan siap dilemparkan.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera sentakkan
tangannya ke depan dalam keadaan telapak tangan miring. Sentakan itu
mengeluarkan pisau-pisau kecil bercahaya emas.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!
Tapak Siluman berkelit menghindari pisau-pisau
kecil bercahaya emas yang kecepatannya melebihi kecepatan gerak dari jurus
'Bajang Rampak'-nya. Tapi baru saja ia berjingkat ingin lakukan lompatan, tibatiba ulu hatinya telah terserang pisau-pisau bercahaya emas itu.
Zrrruuubb...! Seluruh pisau kecil yang jumlahnya puluhan biji itu menancap di
ulu hati Tapak Siluman.
Akibatnya, gerakan Tapak Siluman terhenti sampai di situ seperti patung hidup.
Jurus 'Manggala' pemberian Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, telah
digunakan untuk mengakhiri riwayat Tapak Siluman. Karena sejak saat itu, Tapak
Siluman tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan ketika angin berhembus agak
kencang, tubuh Tapak Siluman menjadi berhamburan dan akhirnya hancur tak
Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbentuk lagi.
Ternyata ketika pisau-pisau warna emas itu menancap di ulu hati Tapak Siluman,
tokoh tua itu seketika telah menjadi abu, namun masih menggumpal dalam bentuk
raga aslinya. Dan setelah tertiup angin, abu itu berhamburan lalu hancur tak
berbentuk lagi.
"Luar biasa kehebatan jurusmu, Suto!" ucap Elang Samudera dengan kekaguman yang
tulus. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum, tak
tampak membanggakan diri. Ia segera melangkah
mencari bumbung tuaknya. Setelah didapatkan, ia pun segera menenggak tuak yang
masih tersisa di dalam bumbung.
"Sial, hanya tersisa lima teguk lagi!" gerutunya.
Elang Samudera tertawa. Tenang, nanti kusuruh Ki Lurah Penawu memenuhi bumbung
tuakmu. Dia akan
sangat kegirangan jika mendapat kabar bahwa Tapak Siluman telah berhasil
dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk."
"Pendekar Mabuknya tak perlu disebutkan, yang penting sebutkan kemurnian tuak
yang harus diisikan ke bumbung ini."
"O, tentu, tentu...! Mari kita kembali ke Desa Badaran!"
"Baik. Karena aku harus membantu Menik mencari Kejora, kakaknya. O, ya...
katakan kepada warga desa
bahwa anak-anak mereka sekarang aman dari gangguan siapa pun. Tapi... anak gadis
mereka harus hati-hati,"
bisik Suto. "Kenapa?"
"Sebab kau pasti akan mengganggu mereka!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Elang Samudera tertawa terbahak-bahak penuh kegembiraan.
Mereka melangkahi mayat-mayat orang Perguruan Macan Iblis, lalu berkelebat
pulang ke Desa Badaran.
SELESAI Pendekar mabuk Segera terbit: GAIRAH SANG RATU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Kait Perpisahan 2 Pendekar Bloon Karya S D Liong Dendam Empu Bharada 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama