Ceritasilat Novel Online

Permainan Di Ujung Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut Bagian 2


kota itu terkepal erat. Gerahamnya bergemeletuk, serta pandangannya tajam lurus
ke depan. Sedangkan Gurata hanya tertunduk saja. Beberapa saat lamanya tak ada
yang berbicara sedikit pun. Raden Mandaka membalikkan tubuhnya, lalu melompat
cepat ke punggung
kudanya. "Raden...!" seru Rangga bergegas melompat dan
mencekal tali kekang kuda Raden Mandaka.
Kedua pemuda itu saling menatap tajam. Pelahan-lahan Rangga melepaskan cekatannya pada tali
kekang kuda hitam itu. Namun Raden Mandaka belum
juga menggebah kudanya. Matanya masih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Gurata.
"Kau ikut aku!" kata Raden Mandaka datar.
"Oh...! Hamba, Raden...," Gurata langsung
memberi hormat. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan
berjalan bersama Raden Mandaka.
Saat itu Rangga sudah melompat naik ke atas
punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang bernama
Dewa Bayu. Sedangkan Raden Mandaka menatap dalam-dalam pada Gurata. Sedangkan yang ditatap
hanya menunduk, bersikap penuh rasa hormat.
"Kau tidak punya kuda, Gurata?" tanya Rangga
mengetahui arti pandangan Raden Mandaka.
"Punya, Den. Tapi kuda hamba sangat jelek.
Bahkan mungkin tidak akan sanggup mengikuti kuda
Raden," sahut Gurata pelan.
"Di mana kudamu?"
"Tidak jauh, Den."
"Ambil."
Gurata memberi hormat sekali lagi, kemudian
bergegas pergi. Tidak berapa lama kemudian, laki-laki berkumis tebal itu sudah
kembali lagi sambil menunggang seekor kuda berwarna belang-belang. Memang tidak terlalu bagus, bahkan mungkin juga tidak kuat
berlari jauh. Tapi itu sudah cukup. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera
berangkat pergi. Rangga sengaja memacu kudanya pelahan-lahan, mengimbangi lari
kuda Gurata. Sedangkan Raden Mandaka kelihatan tidak sabaran, tapi terpaksa juga diperlambat lari kudanya.
*** 4 Malam baru saja beranjak turun. Suasana yang
hening sepi, mendadak pecah oleh suara teriakanteriakan dan jerit ketakutan serta lengking menyayat.
Tampak di sebelah barat Kotaraja Kerajaan Salinga,
api berkobar terang-benderang bagai terjadi pesta.
Namun itu bukanlah pesta rakyat, melainkan segerombolan orang yang memanfaatkan keadaan untuk
menjarah harta benda rakyat.
Suasana malam itu jadi gaduh. Rakyat berlarian keluar menyelamatkan diri masing-masing. Tak
ada yang mempedulikan harta benda. Nyawa lebih
penting dari segala yang ada. Di antara kepanikan
orang-orang jelata, tampak beberapa orang berkuda
sambil mengacung-acungkan senjata dan berteriakteriak. Mereka mengibaskan senjatanya dengan buas
pada setiap orang terdekat.
"Bakar! Bunuh semua...!" terdengar teriakan
memerintah. Terdengar jelas teriakan seorang berbaju merah
dengan seluruh kepala terselubung kain sutra halus
duduk di atas punggung kuda. Orang itu memberi perintah untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk. Sebilah pedang panjang terhunus mengibasngibas di udara. Angin kibasannya menderu-deru menggetarkan jantung!
Sementara orang-orang berkuda yang mengenakan baju hitam pekat terus beraksi membakar dan
membunuh rakyat yang tak berdosa. Bahkan juga merampas harta benda yang berharga, menculik gadisgadis, dan membunuh orang-orang tua serta anakanak. Siapa saja yang coba-coba melawan, tewas tanpa dapat berbuat banyak!
Sementara itu, tidak jauh dari daerah yang tengah dilanda amukan para perampok, terlihat tiga penunggang kuda tengah berpacu cepat. Mereka tidak
lain dari Raden Mandaka, Rangga, dan Gurata. Dari
ketiga orang itu, terlihat Rangga lebih dahulu berada jauh di depan. Kuda hitam
yang ditungganginya berlari bagai terbang!
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Suasana malam itu jadi semakin gaduh. Tampak Pendekar Rajawali Sakti mengamuk di atas punggung Dewa Bayu, menghajar orang-orang berpakaian
serba hitam yang tengah berpesta menjarah harta rakyat dan membakar rumah. Kedatangan Rangga membuat mereka jadi panik. Namun belum sempat berbuat
lebih banyak, Raden Mandaka datang, disusul Gurata.
Kedua orang itu langsung menghunus senjata dan
menyerang orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar.
Dan kali ini ditingkahi pekik pertarungan dan denting senjata beradu.
"Setan alas!" geram orang berbaju merah yang
menyaksikan anak buahnya banyak yang tewas dalam
waktu sebentar saja. "Mundur...!"
Orang berbaju serba merah itu bergegas menggebah kudanya, begitu memberi perintah. Mereka yang masih hidup dan sempat
melarikan diri, segera menggebah cepat kudanya. Sedangkan yang tidak sempat,
harus rela nyawanya melayang. Api masih berkobar,
namun suasana sudah agak tenang. Kini hanya terdengar tangisan dan ratapan para penduduk yang keluarganya terbantai, dan rumahnya hangus terbakar.
Raden Mandaka melompat turun dari punggung kudanya. Rangga dan Gurata bergegas mengikuti. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sungguh pemandangan yang sangat menyayat hati!
Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Gemeritik api masih terdengar melahap kayu-kayu rumah
penduduk. Belum lagi jerit tangis dan ratapan memilukan terdengar dari setiap pelosok. Tak ada seorang pun yang memperhatikan
ketiga orang itu.
"Oh, Dewata Yang Agung...," rintih Raden Mandaka lirih. Raden Mandaka mendongakkan kepalanya ke
atas. Pedih hatinya menyaksikan penderitaan rakyatnya. Baru kali ini disaksikan sendiri, rakyat telah jadi korban permainan orangorang yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang serakah, tamak, dan selalu mementingkan diri sendiri.
"Aku bersumpah! Demi Hyang Widi yang menguasai seluruh jagat! Takkan kubiarkan mereka hidup di bumi Salinga!" lantang
suara Raden Mandaka.
"Raden...," Rangga menepuk pundak Raden
Mandaka. Raden Mandaka menolehkan kepalanya, langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping kanannya. Kemudian
ditatapnya Gurata yang
berada di sebelah pemuda berbaju rompi putih itu.
Wajahnya memerah menahan geram. Rahangnya bergemeletuk dengan kedua tangan terkepal erat, membuat otot-ototnya bersembulan, berkilatan tertimpa
cahaya api. "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Raden,"
ajak Rangga. "Aku akan langsung ke istana," kata Raden
Mandaka tegas. "Sebaiknya jangan dulu, Raden. Ingat pesan Ki
Belabar. Raden harus menyelidiki lebih dahulu sebelum bertindak," Rangga mengingatkan.
"Aku mencemaskan Bunda Permaisuri, Kakang." "Gusti Permaisuri dalam keadaan sehat dan
aman, Raden," celetuk Gurata.
Raden Mandaka menatap dalam-dalam Gurata.
"Raden..., hamba adalah bekas prajurit pengawal Gusti Permaisuri. Hamba diminta Pendeta Seka
Gora untuk bergabung dengannya, tapi hamba menolak. Pendeta Seka Gora murka, lalu mengirim orangorangnya membunuh keluarga hamba, menyiksa hamba hingga tidak sadarkan diri. Hamba dibuang ke jurang, tapi untung masih selamat. Hamba tahu, sampai saat ini Pendeta Seka Gora
tidak mengusik Gusti Permaisuri," kata Gurata menjelaskan siapa dirinya
sebenarnya. "Hm...," gumam Raden Mandaka pelan.
Memang tidak semua pengawal dan prajurit
dapat dikenalinya. Kalau bukan pengawalnya sendiri,
sukar untuk mengenali satu persatu. Apalagi seluruh pengawal ibunya berjumlah
seratus orang. Tapi Raden Mandaka tahu, kalau semua pengawal mempunyai ciri
khas. "Apa jaminannya agar aku bisa mempercayaimu, Gurata?" agak dingin nada suara Raden Mandaka.
"Tanda ini, Raden."
Gurata menyobek lengan bajunya. Maka terlihatlah satu gambar teratai terjepit paruh seekor burung bangau yang sedang
terbang. Itu merupakan satu tanda yang tidak bisa hilang seumur hidup, dan
sebagai tanda kesetiaan untuk menjadi pengawal pribadi
permaisuri. "Kau benar, Gurata. Tidak ada yang memiliki
gambar tanda itu selain para pengawal Bunda Permaisuri," ujar Raden Mandaka baru mempercayai.
Raden Mandaka membalikkan tubuhnya, lalu
menghampiri kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi,
putra mahkota itu melompat naik ke punggung kudanya. Rangga dan Gurata juga bergegas melompat ke
punggung kudanya masing-masing. Tapi kali ini Gurata mengambil kuda para perampok yang kelihatan bagus dan gagah. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
*** Hampir setiap hari terjadi perampokan. Dan
hampir setiap ada kejadian, selalu muncul Raden
Mandaka, Rangga, dan Gurata. Tidak terhitung lagi,
berapa orang perampok yang tewas. Tapi setiap kali
muncul, jumlah mereka selalu saja banyak. Bahkan
belakangan ini semakin bertambah saja. Raden Mandaka sendiri jadi tidak mengerti. Sepertinya para prajurit mendiamkan saja aksi
mereka yang sangat merugikan rakyat jelata.
Sementara saat ini sudah hampir satu harian
Raden Mandaka mengawasi kuil semadi tempat ayahnya dikabarkan terbunuh oleh seseorang yang mengaku bernama Natapraja. Pemuda itu mengamati dari ketinggian sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dari kuil itu. Hanya Gurata yang
menemaninya. Tidak terlihat Rangga di situ.
"Kenapa Kakang Rangga lama sekali...?" gumam Raden Mandaka seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Katanya tadi hanya sebentar saja, Raden," sahut Gurata.
"Katanya dia akan pergi ke mana tadi?" tanya
Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke
arah kuil di bawah bukit sana.
"Tidak tahu, Raden," sahut Gurata.
Pada saat itu, di udara terlihat sebuah benda
berwarna keperakan tengah melayang-layang menembus mega. Raden Mandaka mendongakkan kepalanya
ke atas, demikian juga Gurata. Perhatian mereka tertumpah ke arah benda yang
melayang-layang di udara
itu. Semakin lama semakin terlihat kalau yang melayang di angkasa itu adalah seekor burung rajawali berbulu putih keperakan.
"Heh...!" Raden Mandaka tersentak kaget begitu
dapat melihat jelas.
Tampak di punggung burung rajawali putih itu
duduk seorang berbaju putih. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. Memang tidak begitu jelas, namun Raden
Mandaka dapat mengetahui kalau
orang yang duduk di punggung rajawali itu mengenakan baju berwarna putih tanpa lengan.
"Rangga...," desis Raden Mandaka tidak yakin.
Dan belum juga Raden Mandaka bisa meyakinkan dirinya, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa, menembus gumpalan
awan hitam pekat. Raden Mandaka kembali mengarahkan pandangannya ke kuil di bawah bukit sana.
Rupanya prajurit penjaga kuil itu juga melihat burung rajawali putih yang
melayang-layang di angkasa tadi.
Mereka semua mendongak ke atas. Tapi burung yang
sempat membuat seluruh perhatian tertumpah padanya itu tidak terlihat lagi, lenyap di balik awan hitam menggumpal pekat.
"Kau lihat burung rajawali tadi, Gurata?" tanya
Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke
kuil. "Hamba, Raden," sahut Gurata.
"Hm.... Siapa sebenarnya Rangga...?" gumam
Raden Mandaka bertanya pada dirinya sendiri.
"Raden..., mungkin Raden Rangga itu utusan
Dewata yang hendak menyelamatkan Salinga dari kehancuran," kata Gurata.
Raden Mandaka berpaling menatap dalamdalam Gurata. Memang sungguh tidak pernah terpikirkan sampai ke situ. Meskipun sudah beberapa hari bersama-sama, tapi dia belum
mengetahui Pendekar
Rajawali Sakti yang sebenarnya. Datang secara tibatiba, dan seperti mempunyai suatu kharisma yang
sangat kuat. Putra mahkota sendiri sampai tidak mengerti, kenapa begitu menurut
kepada pemuda yang baru dikenalnya beberapa hari ini. Padahal semua orang selalu mengatakan kalau
Raden Mandaka seorang putra mahkota pemberang yang tidak pernah menuruti
kata-kata orang yang lebih tua dan berpengalaman.
Tapi di depan Rangga, Raden Mandaka bagaikan anak
penurut dan sangat patuh terhadap orang tuanya.
"Bukan! Dia manusia biasa," tiba-tiba terdengar
suara dari arah belakang.
Raden Mandaka dan Gurata tersentak kaget.
Mereka segera berpaling. Dan lebih terkejut lagi begitu mengetahui siapa yang
ada di belakang mereka saat
ini. Seorang pemuda berambut panjang mengenakan
baju putih tanpa lengan. Pemuda itu duduk bersandar pada sebuah pohon yang cukup
rindang, menaungi di-ri dari sengatan terik matahari.
"Rangga...," desis Raden Mandaka hampir tidak


Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar suaranya.
Bergegas Raden Mandaka dan Gurata menghampiri. "Rangga, apakah kau yang tadi berada di atas
punggung burung rajawali?" tanya Raden Mandaka
langsung. "Aku..."!" Rangga tampak seperti orang bodoh.
"Sejak tadi aku di sini," sahutnya.
"Hm...," Raden Mandaka menggumam disertai
pandangan setengah tidak percaya.
"Aku juga melihat tadi. Semua orang pasti terpusat perhatiannya, sehingga tidak ada yang memperhatikanku," kata Rangga lagi.
"Ke mana saja kau tadi?" tanya Raden Mandaka. "Ke kuil itu," sahut Rangga menunjuk ke arah
kuil di bawah bukit ini.
"Ke kuil..."!" Raden Mandaka terkejut hampir
tidak percaya. Sejak tadi perhatiannya tidak pernah lepas ke
sekitar kuil, dan sama sekali tidak terlihat Rangga ada di sana. Cukup lama juga Pendekar
Rajawali Sakti itu
menghilang. Dan tahu-tahu sudah berada di tempat
ini, tanpa diketahui kapan datangnya. Raden Mandaka jadi teringat ucapan Gurata
yang menduga Rangga
adalah utusan Dewa untuk menyelamatkan Kerajaan
Salinga dari kehancuran.
Namun entah kenapa, Raden Mandaka belum
berani menanyakan tentang diri Pendekar Rajawali
Sakti itu. Dia hanya diam dengan pandangan tidak
percaya kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah manusia biasa. Sedangkan
Rangga sendiri kelihatan
tenang-tenang saja, dan malah memejamkan matanya
bersikap seperti akan tidur.
*** Lewat tengah malam Rangga baru terjaga dari
tidurnya yang nyenyak. Udara malam ini terasa begitu dingin, tapi langit
terlihat cerah. Bintang-bintang pun gemerlapan melingkari rembulan yang bersinar
penuh, menambah semaraknya alam raya ini. Rangga menggerak-gerakkan tubuhnya,
melemaskan otot-ototnya
yang terasa kaku setelah cukup lama tertidur.
"Eh...!" Rangga tersentak begitu menyadari kalau hanya sendirian di tempat sunyi ini.
Bergegas pemuda berbaju rompi putih itu
bangkit berdiri. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi tidak
terlihat Raden Mandaka maupun Gurata. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
mengarahkan pandangannya ke kuil di bawah bukit ini.
Tampak beberapa obor bambu terpasang di setiap sudut di sekitar halaman kuil. Beberapa pelita dari buah jarak juga terpasang.
Sekitar kuil kecil itu kelihatan terang benderang, sehingga memudahkan Rangga
untuk mengedarkan pandangannya.
"Uh! Ke mana anak itu...?" dengus Rangga.
Pandangan mata Rangga yang setajam mata rajawali, menangkap satu bayangan berkelebat di belakang kuil. Dan sebelum bayangan itu lenyap dari pandangan, muncul satu lagi dari
arah yang sama. Dua
bayangan itu menghilang di balik dinding batu kuil bagian belakang.
"Hhh...! Mau apa mereka ke sana?" desis Rangga yang telah mengenali dua bayangan di belakang kuil tadi. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga
bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu yang dimiliki,
sehingga larinya bagaikan terbang saja! Sepasang kakinya bergerak cepat seolaholah tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Rangga sudah berada di bagian
belakang kuil kecil itu. Dirapatkan tubuhnya di balik sebatang pohon beringin
yang cukup besar ukurannya.
Sepasang bola matanya menatap tajam dua sosok tubuh yang mengendap-endap merapat pada dinding batu kuil. Dari tempat ini semakin jelas terlihat dalam keremangan cahaya bulan,
bahwa dua orang itu tidak
lain Raden Mandaka dan Gurata.
Rangga mengedarkan pandangannya ke arah
lain. Dilihatnya beberapa orang berpakaian seragam
prajurit masih berjaga-jaga di sekitar halaman kuil.
Tapi tidak terlihat seorang pun yang berada pada bagian belakang ini. Perhatian
Rangga terpusat pada dua orang prajurit yang berjalan menuju ke bagian belakang.
Sementara terlihat juga kalau Raden Mandaka
dan Gurata melihat kedatangan dua orang prajurit itu.
Mereka bergegas menyelinap ke balik batu, menyembunyikan bayang-bayang dari sorotan cahaya rembulan. Dua orang berseragam prajurit itu semakin dekat saja. Mereka berjalan
pelahan sambil berbicara.
"Sudah hampir lima hari kita disuruh menjaga
kuil ini. Tidak ada pergantian sama sekali," ujar salah seorang yang berjalan di
sebelah kiri. "Jangan mengeluh begitu. Bagaimanapun juga,
tugas tetap harus dijalankan," seorang prajurit lainnya menasehati. Dia memang
kelihatan lebih tua sedikit, dan mungkin juga punya pengalaman lebih banyak dari temannya ini.
"Bukannya mengeluh, tapi...," prajurit itu memutuskan kalimatnya. Dia berhenti melangkah, tidak
jauh dari tempat Raden Mandaka dan Gurata bersembunyi di balik batu.
"Tapi kenapa?" tanya prajurit satunya lagi, juga
berhenti berjalan.
"Aku merasa ada yang aneh dari tugas ini," pelan suara prajurit muda itu.
"Ah...! Jangan berpikir macam-macam. Kita
menjaga kuil ini karena Gusti Prabu ada di dalam."
"Aku jadi heran, katanya Gusti Prabu telah
mangkat. Tapi kok, ya tidak juga dimakamkan" Aku
jadi berpikir lain...," prajurit itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya prajurit satunya
lagi. "Aku melihat semua kejadiannya sebelum ditarik kembali ke istana. Rasanya mustahil kalau Gusti Prabu bisa tewas hanya
karena tertusuk sebilah pisau.
Jangan-jangan...."
"Ah, sudahlah! Jangan berpikir macam-macam.
Ayo, kita terus."
Kedua prajurit itu kembali berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara Raden Mandaka menunggu
sampai kedua prajurit itu jauh, baru keluar dari per-sembunyiannya, diikuti
Gurata. Sedangkan Rangga
masih tetap berada di tempatnya, tanpa memperlihatkan diri sedikit pun. Semua pembicaraan prajurit itu dapat didengar jelas.
Bukan hanya Raden Mandaka, tapi juga Gurata jadi punya pikiran lain tentang
Prabu Jayengrana yang selama ini selalu dikabarkan
tewas tertusuk sebilah pisau seseorang yang mengaku bernama Natapraja.
"Raden, apakah kita jadi melihat ke dalam
kuil?" tanya Gurata, setengah berbisik.
"Hm...," Raden Mandaka menggumam tidak jelas. "Tampaknya penjagaan begitu ketat. Tidak ada
jalan masuk selain dari depan," kata Gurata lagi.
"Kau tunggu saja di sini, aku akan ke depan,"
kata Raden Mandaka.
"Raden...," Gurata hendak mencegah.
"Aku hanya ingin tahu, bagaimana reaksi mereka kalau melihatku," kata Raden Mandaka seraya
mengayunkan kakinya.
Gurata tidak bisa lagi mencegah. Hatinya jadi
gelisah dan serba salah. Sedangkan Raden Mandaka
sudah berjalan menuju ke bagian depan kuil. Gurata memandangi sekitarnya sesaat,
kemudian melentingkan tubuhnya ke atas kuil. Ringan sekali gerakan tubuhnya,
sehingga tidak menimbulkan suara sedikit
pun. Gurata hinggap di bagian atas kuil. Dirapatkan tubuhnya di batu.
Sementara Raden Mandaka berputar menuju ke
bagian depan, lalu berjalan tenang menuju bagian depan kuil. Prajurit-prajurit
penjaga nampak terkejut melihat kemunculan Raden Mandaka. Mereka bergegas
mengambil tempat berjajar, dan memberi hormat. Tanpa diperintah lagi, mereka berlutut. Raden Mandaka berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan prajurit-prajurit
penjaga kuil ini.
"Siapa kepala prajurit penjaga?" tanya Raden
Mandaka dengan suara dibuat berwibawa.
"Hamba, Raden," seorang prajurit berpangkat
tamtama menyembah seraya menggeser tubuhnya lebih ke depan. "Hm...," Raden Mandaka menatap kepala prajurit penjaga kuil itu.
Prajurit itu berusia sekitar empat puluh tahun.
Tubuhnya tegap berotot terbungkus seragam prajurit
berpangkat tamtama pada bagian lengan kiri dan kanannya. Raden Mandaka mengenal prajurit itu yang
biasa dipanggil Tamtama Wira Kerti. Seorang tamtama pilihan yang tidak pernah
jauh dari Prabu Jayengrana.
"Berapa jumlah prajurit yang ada di sini?"
tanya Raden Mandaka.
"Lima puluh, Raden. Semua prajurit pilihan,"
sahut Tamtama Wira Kerti.
"Tidak ada panglima di sini" Atau seorang patih?" "Tidak ada, Raden."
Raden Mandaka tidak bertanya lagi. Diayunkan
kakinya hendak mendekati kuil. Tapi baru saja berjalan sekitar tiga langkah,
Tamtama Wira Kerti mencegahnya. Raden Mandaka menghentikan langkahnya.
Ditatapnya tajam laki-laki berkumis tebal berpangkat tamtama itu.
"Ampun, Raden. Hamba tidak diperkenankan
memberi ijin pada siapa pun untuk memasuki kuil,"
tegas Tamtama Wira Kerti seraya memberi hormat
dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"O..., siapa yang memerintahkan begitu?" tanya
Raden Mandaka, agak sinis nada suaranya.
"Panglima Pramoda, Raden. Perintah itu datang
langsung dari Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya," sahut Tamtama Wira Kerti bersikap masih terlihat penuh rasa hormat.
"Tamtama, kau tahu kalau sampai sekarang ini
tersebar berita bahwa Ayahanda Prabu tewas, bukan?"
"Benar, Raden."
"Apakah kau pernah melihat jasadnya?"
Tamtama Wira Kerti tidak menjawab, tapi
hanya merapatkan kedua telapak tangannya di depan
hidung. Sejak mendengar kabar begitu, memang belum
pernah dilihat jasad Prabu Jayengrana. Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya
telah melarang siapa pun memasuki kuil tanpa terkecuali selain dirinya sendiri.
Tak ada seorang pun prajurit yang pernah melihat
Prabu Jayengrana.
"Kau percaya kalau Ayahanda Prabu bisa tewas
hanya karena sebilah pisau?" dingin nada suara Raden Mandaka.
"Ampun, Raden. Hamba tidak tahu pasti. Saat
itu hamba memang menyaksikan kejadiannya, tapi
hamba sudah disumpah agar tidak menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada siapa pun tanpa terkecuali. Juga semua prajurit
yang ada di sini. Mereka yang melanggar akan mendapat hukuman berat. Ampun,
Raden," pelan namun terdengar tegas nada suara Tamtama Wira Kerti.
"Siapa yang menyumpahmu?" tanya Raden
Mandaka lagi. "Pendeta Seka Gora, Raden."
"Kenapa Paman Pendeta Seka Gora melakukan
itu?" tanya Raden Mandaka jadi bertambah tebal kecurigaannya. "Hamba tidak tahu, Raden. Hamba hanya seorang prajurit. Hamba hanya melaksanakan perintah
dari atasan," tegas Tamtama Wira Kerti.
"Aku mengerti. Sekarang, jawab pertanyaanku.
Apakah kalian masih setia pada Prabu Jayengrana?"
tegas kata-kata Raden Mandaka.
"Hamba, Raden...!" jawab para prajurit serentak. "Apakah kalian masih menganggapku junjungan kalian?"
Semua prajurit itu memberi hormat.
"Bagus! Sekarang, aku beri perintah pada kalian. Jangan halangi aku masuk ke dalam kuil!" tegas nada suara Raden Mandaka.
"Raden...!" Tamtama Wira Kerti tersentak kaget.
"Kau tidak perlu takut, Tamtama. Juga kalian
semua! Aku yang akan bertanggung jawab dan melindungi kalian semua."
"Tapi, Raden..., Pendeta Seka Gora...," suara
Tamtama Wira Kerti terputus.
"Dia urusanku!" potong Raden Mandaka tegas.
Tamtama Wira Kerti tidak bisa lagi membantah.
Dibiarkan saja Raden Mandaka memasuki kuil itu, juga semua prajurit yang ada hanya diam memandangi
pemuda putra mahkota itu memasuki kuil. Tak ada
yang berani mencegahnya dan tak ada satu suara pun
terucapkan. Raden Mandaka telah lenyap di dalam kuil batu itu.
*** 5 Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam
kuil, dan kini telah ke luar lagi. Dalam siraman cahaya bulan dan obor, tampak
jelas wajahnya memerah dan
matanya bersinar tajam bagai sepasang mata serigala liar. Dipandanginya para
prajurit yang masih tetap berada di halaman depan kuil.
"Sudah berapa lama kalian berada di sini,
heh"!" keras sekali suara Raden Mandaka.
"Raden...," agak tertahan nada suara Tamtama
Wira Kerti. "Ada apa, Raden" Apa yang terjadi di dalam?" "Kalian semua bodoh!
Apa yang kalian jaga,
heh"! Hanya tumpukan batu! Lihat ke dalam!"
Tamtama Wira Kerti jadi kebingungan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Raden Mandaka jadi marah-marah begitu setelah berada di dalam kuil. Sebentar dipandangi para
prajuritnya, kemudian bergegas
masuk ke dalam kuil. Sementara Raden Mandaka melangkah pergi. Dia berhenti dan menghenyakkan tubuhnya di bawah sebatang pohon jarak.
Saat mendongak ke atas kuil, dari atas sana


Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur bayangan merah, langsung mendarat di depan pemuda itu. Gurata menghampiri dan duduk bersila di depan Raden Mandaka. Sementara Tamtama
Wira Kerti sudah keluar lagi dari dalam kuil. Bergegas dihampirinya Raden
Mandaka, dan berlutut memberi
hormat. "Raden.... Ampunkan hamba, Raden. Hamba...," suara Tamtama Wira Kerti tersendat-sendat, tidak sanggup mengangkat
kepalanya memandang wajah Raden Mandaka yang memerah menahan berang.
"Apa sebenarnya yang terjadi di dalam, Raden?"
tanya Gurata. Belum sempat Raden Mandaka menjawab,
Rangga muncul dari belakang kuil. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri, dan
berdiri saja di depan
orang-orang itu. Raden Mandaka bangkit berdiri diikuti Gurata. "Sejak semula aku
ingin mengatakan kalau di dalam kuil tidak ada siapa-siapa. Maaf, memang dengan
cara seperti ini lebih baik," kata Rangga kalem.
"Kau lebih tahu dariku, Rangga. Di mana Ayahanda Prabu berada sekarang?" tanya Raden Mandaka
langsung. "Di Istana Salinga," tiba-tiba ada suara menyahuti sebelum Rangga sempat membuka suara.
Semua orang yang berada di tempat itu langsung menoleh serentak ke arah datangnya suara tadi.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh di
depan pintu kuil sudah berdiri seorang laki-laki berpakaian sangat ketat
berwarna serba putih. Wajahnya
terlihat tampan, dan sebilah pedang tersampir di
punggungnya. Dia berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada.
"Siapa kau"!" bentak Raden Mandaka.
"Raden..., dialah Natapraja yang menikam Gusti Prabu Jayengrana," bisik Tamtama Wira Kerti yang mengenali pemuda itu.
Pada waktu peristiwa di depan kuil ini, Tamtama Wira Kerti memang berada di tempat ini. Masih dikenali betul laki-laki muda
berbaju putih itu. Orang yang menikam Prabu Jayengrana tepat pada dadanya.
"Rupanya kau biang keladi dari semua ini!" geram Raden Mandaka menahan amarahnya.
"Bukan. Aku hanya menjalankan tugas," sahut
Natapraja kalem.
"Kau menikam Ayahanda Prabu, dan sekarang
kau katakan hanya menjalankan tugas! Dan sekarang
juga kau katakan kalau Ayahanda Prabu ada di istana!
Permainan macam apa ini, heh"!" bentak Raden Mandaka meluap amarahnya.
"Hanya permainan kecil, Raden. Dan semua itu
sudah diatur sebelumnya," masih terdengar tenang
nada suara Natapraja.
"Dasar iblis keparat! Kau harus mampus di
tanganku! Hiyaaat...!"
Raden Mandaka tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, langsung menyerang Natapraja menggunakan jurus-jurus
pendek yang cepat dan dahsyat. Sedangkan Natapraja
melayani dengan gerakan-gerakan ringan tanpa menggeser kakinya setapak pun. Hanya tubuhnya saja bergerak-gerak meliuk seperti seekor belut yang sangat li-cin untuk ditangkap.
"Hanya hukuman mati yang pantas bagi pengacau busuk sepertimu! Yeaaah...!"
Raden Mandaka semakin gencar melakukan serangan lewat jurus-jurus tangan kosong dalam keadaan jarak yang sangat rapat. Dikerahkan tenaga dalam penuh dalam setiap serangannya. Tapi rupanya
Natapraja bukan manusia sembarangan yang bisa disepelekan begitu saja. Beberapa jurus telah berlalu, tapi belum ada satu pun yang
mengenai sasaran. Sedangkan Natapraja belum juga menggeser kakinya barang
setapak pun. "Hm...," Rangga yang sejak tadi hanya memperhatikan saja menggumam pelahan penuh arti.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa melihat,
kalau tingkat kepandaian Raden Mandaka masih berada jauh di bawah Natapraja. Rangga sudah bisa meramalkan, dalam satu gebrakan saja, Natapraja mampu melumpuhkan perlawanan Putra Mahkota Kerajaan
Salinga itu. Dan baru saja Rangga menduga, hal itu
sudah terjadi. Satu kebutan tangan kiri Natapraja tidak dapat
dibendung lagi, dan tepat menghantam bagian dada
kanan Raden Mandaka. Akibatnya membuat pemuda
itu terhuyung-huyung ke belakang sambil terpekik tertahan. Raden Mandaka
menggereng dahsyat seraya
memegangi dada kanannya yang tersepak kibasan tangan kiri lawannya.
"Keparat...!" geram Raden Mandaka.
Sret! Cepat sekali Raden Mandaka mencabut pedangnya, dan secepat itu pula melompat bagaikan kilat sambil mengebutkan
pedangnya beberapa kali ke depan. Dengan pedang di tangan, pemuda itu kini harus
berhati-hati menghadapinya. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Raden Mandaka yang cepat dan sukar
ditebak arahnya.
Namun bagi Natapraja, setiap serangan Raden
Mandaka bukanlah hal yang berarti, dan manis sekali dapat dihindarinya. Bahkan
kembali dikibaskan tangan kirinya, tepat mengenai bagian dada kanan pemuda itu kembali. Untuk kedua kalinya Raden Mandaka
terhuyung ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya
mengucurkan darah kental.
Wut! Wut...! Raden Mandaka mengebutkan pedangnya beberapa kali di depan dada, bersiap hendak menyerang
kembali. Sementara Natapraja tetap berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan
dadanya. Senyumnya mengembang bernada meremehkan. Dua kali Raden Mandaka berhasil dibuat terhuyung, tapi putra mahkota
itu kelihatan belum jera juga.
"Raden...," cegah Rangga cepat-cepat ketika
Raden Mandaka hendak menyerang kembali.
Raden Mandaka mengurungkan niatnya, lalu
sedikit menoleh menatap pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah melangkah maju
tiga tindak. "Dia bukan lawanmu, Raden," kata Rangga
memperingatkan.
"Manusia keparat itu patut mendapat hukuman, Rangga!" dengus Raden Mandaka sengit.
"Aku tahu! Tapi dia bukan lawanmu, bahkan
bisa menjatuhkanmu dengan mudah. Maaf, Raden.
Bukan maksudku merendahkan ilmu olah kanuragan
yang kau miliki," Rangga memperingatkan dengan sabar. "Kuserahkan dia padamu, Rangga," kata Raden
Mandaka seraya melangkah mundur dua tindak.
"Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Raden," ucap Rangga takut kalau putra mahkota itu tersinggung.
"Tidak! Memang sebaiknya aku tidak langsung
terjun. Aku masih punya prajurit, dan ada kau," sahut Raden Mandaka.
"Raden, sebaiknya kita bicara secara baik-baik
dengannya," usul Rangga.
"Tidak ada gunanya, Rangga. Semua prajurit
menyaksikan bahwa dialah yang menikam Ayahanda
Prabu!" "Dan aku juga tidak akan sukar melenyapkan
kalian semua!" celetuk Natapraja lantang.
Seketika itu juga memerah wajah semua orang
yang ada di sekitar halaman kuil kecil itu. Terlebih lagi
Raden Mandaka. Gerahamnya sampai bergemeletuk
menahan amarah yang meluap tak terbendung lagi.
Hanya Rangga yang masih kelihatan tenang. Diayunkan kakinya mendekati Natapraja.
Rangga mengambil jarak sekitar tiga langkah di
depan Natapraja. Pandangan matanya tajam menusuk
langsung pada bola mata laki-laki yang mungkin sebaya dengannya. Sedangkan Natapraja sendiri tidak
berkedip membalas dengan tajam pula. Untuk sesaat
lamanya mereka hanya saling tatap.
"Siapa kau, orang asing?" tanya Natapraja, dingin nada suaranya.
"Aku Rangga, berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," Rangga mengenalkan diri.
"Kau bukan orang Salinga, kenapa ikut campur
dalam persoalan ini?" tetap dingin dan datar nada suara Natapraja.
Untuk beberapa saat Rangga tidak bisa menjawab. Dalam beberapa hal, memang diakui kebenaran
dari pertanyaan Natapraja tadi. Dia memang bukan
orang asli Salinga, dan hanya seorang pengembara
yang kebetulan lewat dan melihat Raden Mandaka tengah dikeroyok saat itu. Pertemuan yang tidak direncanakan, tapi telah membuat
jiwa kependekaran Rangga
terketuk. "Aku pembela kebenaran, dan aku datang untuk mencari keadilan di Salinga ini," tegas Rangga, lantang suaranya.
"Keadilan..."! Ha ha ha...!" Natapraja tertawa
terbahak-bahak.
Rangga hanya diam saja, hatinya juga masih
terlalu dingin untuk bisa cepat menggebrak laki-laki di depannya ini. Tapi Raden
Mandaka sudah tidak sabaran lagi, namun tidak bisa bertindak begitu saja. Semua sudah diserahkannya pada Pendekar Rajawali
Sakti. Lagi pula, disadari kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi Natapraja.
"Kau tidak akan mendapatkan keadilan di negeri ini, Rangga. Sia-sia saja melindungi bocah ingusan yang manja itu!"
Natapraja menuding Raden Mandaka.
"Setan alas! Keparat...!" geram Raden Mandaka
hampir meluap kembali amarahnya.
Kalau saja tidak dicegah Gurata, pasti Raden
Mandaka sudah menghunus pedangnya kembali yang
sudah tersimpan di dalam sarungnya. Raden Mandaka
hanya bisa menggereng, mengumpat, dan memaki di
dalam hati. Baginya, Natapraja sudah begitu kurang
ajar. Berani menghina serta menudingnya di depan banyak orang. Satu penghinaan
besar baginya. "Tampaknya kau sangat membenci Raden
Mandaka, Kisanak," kata Rangga memancing.
"Benci..." Tidak! Aku tidak pernah membenci
seorang pun di dunia ini. Aku hanya menjalankan tugas!" "Siapa yang memberimu tugas?" desak Rangga.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku akan memberitahu"
Sayang sekali, aku sudah diperintahkan untuk mencegah siapa saja yang masuk ke dalam kuil. Dan tidak
mungkin kutarik sumpahku. Siapa saja yang telah
memasuki kuil harus mati!"
"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.
"Dan kalian harus mati semua! Tidak terkecuali, kau juga, Raden Mandaka!"
Setelah berkata demikian, Natapraja menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Lalu tiba-tiba saja dihentakkan tangannya
ke depan. Seketika itu ju-ga, entah dari mana datangnya, tahu-tahu bertiup angin
kencang. Begitu dahsyatnya, sehingga bumi bergetar, batu-batuan beterbangan, dan pepohonan bertumbangan! Para prajurit yang memiliki kepandaian rendah,
tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya. Bagai
daun kering tertiup angin kemarau, mereka beterbangan diiringi jeritan melengking menyayat hati. Tubuh-tubuh para prajurit itu
terhempas membentur pepohonan dan batu-batu keras.
Sedangkan yang memiliki kemampuan cukup
tinggi, berusaha untuk tidak terhempas dengan cara
masing-masing. Namun badai yang ditimbulkan Natapraja semakin dahsyat saja. Sedikit demi sedikit, terlihat Raden Mandaka,
Gurata, dan Tamtama Wira Kerti
mulai bergeser posisinya. Sementara Rangga masih
terlihat kokoh berpijak pada tempatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai
menggerakkan tangannya pelahan-lahan. "Aji 'Bayu Bajra'...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu merentangkan tangannya ke samping, lalu dengan cepat pula mengangkat ke atas. Dan
begitu kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala, terdengar ledakan dahsyat
bagai letusan gunung berapi. Mendadak saja badai itu jadi tidak menentu, dan
berubah berputar di sekitar Rangga maupun Natapraja.
Badai itu terus berputar, semakin mengecil
ruang lingkupnya. Tampak rerumputan dan batu-batu
kerikil beterbangan berputar mengelilingi Natapraja dan Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan lagi. Hanya Tamtama Wira
Kerti yang masih tetap berdiri di samping Raden Mandaka dan Gurata. Mereka hanya
bisa menyaksikan
adu kesaktian dua tokoh digdaya itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Natapraja melesat cepat bagaikan kilat sambil menjulurkan kaki kanan ke depan. Dan pada saat yang sama, Rangga menarik turun kedua tangannya. Tepat pada saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti berada di depan dada, telapak kaki Natapraja mendarat di tangan itu.
Glarrr...! Satu ledakan keras terjadi. Tampak Natapraja
terlontar ke belakang sejauh tiga batang tombak. Sedangkan Rangga hanya
terdorong selangkah. Dua kali
Natapraja berjumpalitan di udara, lalu mendarat manis di tanah.
"Kau hebat, Rangga," puji Natapraja tulus.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
"Tapi itu belum berarti kau menang. Nah! Terimalah jurus-jurusku ini. Hiyaaat...!"
Natapraja melesat cepat bagaikan kilat, langsung mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam
tinggi. Saat itu Rangga memang sudah siap menyambut serangan itu dengan manis. Pertarungan sengit tidak dapat dihindari lagi.
Tampak sekali kalau Natapraja begitu bernafsu hendak menjatuhkan lawannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya sesekali saja memberikan serangan balasan.
"Jangan menganggapku remeh, Rangga. Kau
akan menyesal!" seru Natapraja seraya melepaskan
dua pukulan beruntun disertai tendangan menggeledek yang mengandung tenaga dalam tinggi!
"Uts! Hap...!"


Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga mengelakkan dua pukulan itu dengan
mengegoskan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sesekali dikibaskan tangan kanannya
untuk menangkis satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi. Terdengar suara
keras berderak. Tampak Natapraja melompat mundur
agak terhuyung. Dan sebelum Natapraja sempat mengontrol dirinya, Rangga sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tena-ga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiyaaat...!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Natapraja untuk
berkelit. Buru-buru dihentakkan tangan kanannya,
memapak pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga menarik pulang pukulannya sebelum mencapai sasaran. Dan dengan gerakan yang cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan
kakinya menghantam perut Natapraja. Dug!
"Heghk!" Natapraja mengeluh pendek.
Pemuda berbaju putih ketat itu terdorong ke
belakang dengan tubuh agak membungkuk. Dan belum lagi sempat menguasai tubuhnya, kembali Rangga
melontarkan pukulan menggeledek yang sangat keras.
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!" Natapraja menjerit keras.
Pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti
tepat menghantam wajah Natapraja, membuat kepala
pemuda itu terdongak ke atas. Tampak darah langsung muncrat dari mulutnya.
Kembali Natapraja terlontar ke belakang saat satu pukulan tangan kiri Rangga
mendarat di dadanya.
Sebongkah batu besar berwarna hitam pekat
berlumut, hancur berkeping-keping ketika punggung
Natapraja menghantamnya! Pemuda itu menggeletak
dan menggeliat sambil mengerang. Hanya sebentar
menggeliat, lalu bergegas melompat bangkit. Dia berdiri
sempoyongan seraya menggelengkan kepala beberapa
kali. Dengan punggung tangan, Natapraja menyeka darah yang memenuhi mulutnya.
"Phuih!" Natapraja menyemburkan ludahnya
yang bercampur darah.
Sepasang mata pemuda itu memerah bagai mata serigala buas melihat seekor ayam betina yang gemuk. Natapraja menghimpun
tenaga, mencoba mengusir rasa sesak dan mual di perutnya. Sementara Rang-ga memberi kesempatan pada
pemuda itu untuk pulih
kembali, sambil berdiri tegak memandangi dengan sikap penuh waspada.
"Phuih! Kali ini kau menang. Rangga. Tapi aku
belum kalah!" kata Natapraja dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam tidak jelas.
"Tunggu pembalasanku, Rangga!"
Setelah berkata demikian, Natapraja langsung
melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap saja,
bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan.
Raden Mandaka dan Gurata hendak mengejar, tapi
Rangga lebih cepat mencegahnya.
"Biarkan, jangan dikejar!"
Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira
Kerti tidak jadi mengejar. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak mayat-mayat prajurit bergelimpangan
bersama reruntuhan pohon
dan bebatuan. Tak ada seorang pun prajurit yang hidup lagi, akibat terhempas angin badai buatan Natapraja tadi. "Hhh...!" Rangga menarik napas panjangpanjang. "Kenapa tidak kau bunuh, Rangga" Kau punya
kesempatan banyak untuk membinasakannya," tegur
Raden Mandaka. "Tidak perlu, Raden," sahut Rangga kalem.
"Tidak perlu..."!" Raden Mandaka membeliak.
"Dia sudah membunuh banyak prajurit, dan menyengsarakan banyak rakyat!"
"Dia hanya orang bayaran, Raden. Orang yang
berada di belakangnya yang harus dicari," jelas Rang-ga, masih tetap tenang nada
suaranya. "Tapi, paling tidak kita bisa memperoleh keterangan kalau bisa menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu."
"Percuma. Orang seperti Natapraja tidak akan
membuka mulut. Baginya lebih baik mati daripada
mengkhianati orang yang telah membayarnya."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Raden Mandaka menyerah.
Rangga tidak menjawab, dan hanya mendongakkan kepalanya ke atas sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara suasana jadi hening, tak ada
yang membuka suara. Mereka semua menunggu Pendekar Rajawali Sakti itu memutuskan sesuatu. Tapi setelah lama ditunggu, Rangga
hanya diam saja, malah
melangkah pelahan.
"Rangga...," panggil Raden Mandaka seraya
mengejar diikuti Gurata dan Tamtama Wira Kerti.
Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Raden Mandaka mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Gura-ta dan Tamtama Wira Kerti
mengikuti dari belakang.
Mereka berjalan pelahan, semakin jauh meninggalkan
kuil. "Kau akan pergi ke mana?" tanya Raden Mandaka penasaran.
"Menemui Prabu Jayengrana," sahut Rangga
datar. "Ke istana...?" Raden Mandaka ingin penjelasan. "Mungkin," desah Rangga.
Raden Mandaka terdiam.
"Rangga! Apakah kau yakin kalau Ayahanda
Prabu masih hidup?" tanya Raden Mandaka setelah
cukup lama berdiam diri saja.
"Entahlah," sahut Rangga mendesah.
*** 6 Rangga sengaja tidak membawa Raden Mandaka masuk ke Istana Salinga. Putra mahkota itu memang diminta untuk menunggu di tempat yang aman,
sementara Rangga sendiri menyelinap masuk melalui
tembok benteng bagian belakang. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengetahui kalau saat ini tengah memasuki taman
kaputren yang terlarang
bagi orang lain kecuali keluarga istana, atau para pembesar yang mendapat ijin
khusus dari Prabu Jayengrana atau Permaisuri Sara Ratan.
"Hei...!"
"Oh!" Rangga tersentak kaget begitu kakinya
mendarat di tanah.
Tampak seorang wanita berusia sekitar empat
puluh tahun terpaku sehingga bola matanya membeliak. Wajahnya nampak pucat menyiratkan keterkejutan dan rasa takut. Bergegas Rangga menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
Dia mengenali wanita
itu dari ciri-ciri yang diberikan Raden Mandaka. Wanita itu adalah Permaisuri Sara Ratan.
"Maaf, Gusti Permaisuri. Hamba datang tidak
melalui cara semestinya," ucap Rangga penuh rasa
hormat dan sopan.
"Siapa kau?" tanya Permaisuri Sara Ratan setelah sedikit hilang dari rasa terkejutnya.
"Nama hamba Rangga, Gusti Permaisuri. Hamba sahabat karib Raden Mandaka," sahut Rangga
memperkenalkan diri.
"Rangga...," Permaisuri Sara Ratan mengamati
pemuda berbaju rompi putih di depannya. "Sepertinya aku belum pernah mengenalmu,
Kisanak." "Memang belum, Gusti Permaisuri," sahut
Rangga. "Lalu, di mana kau kenal putraku?"
"Di hutan dekat kuil."
"Oh...!" Permaisuri Sara Ratan nampak terkejut. "Ada apa, Gusti Permaisuri?" tanya Rangga.
"Kisanak, apakah putraku masih hidup?" tanya
Permaisuri Sara Ratan tanpa menjawab pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Gusti..., kedatangan hamba ke sini sengaja untuk mengabarkan tentang Raden Mandaka. Putra Gusti Permaisuri sekarang ini dalam keadaan sehat, dan berada di tempat yang aman."
"Ohhh...," Permaisuri Sara Ratan mendesah
panjang, menarik napas lega.
Rangga mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba
mendengar langkah kaki orang menghampiri tempat
itu. Permaisuri Sara Ratan rupanya juga mendengar.
Dan mereka hanya saling berpandangan sesaat.
"Bersembunyilah, Kisanak. Itu pasti Pendeta
Seka Gora," kata Permaisuri Sara Ratan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga melesat
cepat ke atas pohon beringin yang tumbuh menaungi
tempat itu. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga cepat lenyap
bagaikan hilang saja. Permaisuri Sara Ratan tetap duduk di kursi di bawah pohon
itu, seakan-akan tidak ada seorang pun yang datang di
tempat itu. Dari kejauhan tampak seorang laki-laki tua
berjubah kuning gading dan berkepala gundul tengah
berjalan ringan menghampiri orang kedua di Kerajaan Salinga ini. Laki-laki tua
kurus itu langsung menghampiri dan membungkukkan badannya begitu sampai di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat, namun dari senyum
dan sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar ditebak.
"Ada apa, Paman Pendeta?" tanya Permaisuri
Sara Ratan. "Kereta sudah siap, Gusti Permaisuri. Juga seratus prajurit pengawal dan sepuluh emban serta beberapa pelayan," sahut Pendeta Seka Gora.
"Oh! Jadi hari ini aku harus meninggalkan istana?" ada nada kurang senang dalam suara Permaisuri Sara Ratan.
"Sudah jadi keputusan rapat Pembesar Istana,
Gusti. Tepat pada masa empat puluh hari meninggalnya Gusti Prabu Jayengrana, diadakan penobatan raja yang baru."
"Paman Pendeta! Tidakkah menunggu kabar
dulu, kalau-kalau putraku masih hidup?"
"Tidak, Gusti Permaisuri. Sudah terbukti kalau
Raden Mandaka telah tewas terjerumus ke dalam jurang. Jadi tidak ada lagi pewaris tahta kerajaan selain Raden Mandrakumara,
putra pertama dari Selir Rara
Munikaweni."
Permaisuri Sara Ratan terdiam membisu. Memang sudah diketahui kalau dirinya harus meninggalkan istana, karena tidak ada hak lagi untuk tinggal di sini setelah kematian
suami dan anak tunggalnya. Hak yang dicabut begitu saja tanpa diberikan
kesempatan untuk membela diri.
Wanita yang usianya hampir setengah baya itu
bangkit berdiri dari duduknya, dan sebentar menarik napas panjang dan berat.
Memang sudah menjadi satu
adat dan tradisi bagi seorang permaisuri raja di Salinga, harus meninggalkan
istana dan tinggal di dalam
pengasingan untuk selamanya jika rajanya mangkat.
Lain halnya kalau masih punya keturunan yang akan
mewarisi tahta. Sedangkan sekarang ini putra satusatunya sudah dikabarkan meninggal di dalam jurang.
Sebenarnya Permaisuri Sara Ratan hendak memberontak, karena jasad suaminya tidak terlihat, apalagi putranya yang dikabarkan
telah meninggal. Tapi dia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa. Hanya mampu
menerima nasib menjadi orang buangan di daerah
pengasingan. "Mari, Gusti Permaisuri. Putra hamba sendiri
yang akan mengawal secara pribadi sampai ke tempat
tujuan," kata Pendeta Seka Gora lagi.
"Putramu...?" Permaisuri Sara Ratan mengerutkan keningnya.
Bertahun-tahun Pendeta Seka Gora menjadi
penasehat pribadi Prabu Jayengrana, belum pernah
terdengar kalau pendeta ini mempunyai istri, apalagi memiliki seorang putra.
"Maksud hamba, putra angkat, Gusti," Pendeta
Seka Gora buru-buru membetulkan ucapannya.
"O...."
Permaisuri Sara Ratan mengayunkan kakinya
pelahan-lahan dengan anggun. Tidak ada pilihan lain lagi. Meskipun dengan hati
remuk, harus dituruti keputusan yang sudah ditetapkan. Suka atau tidak, ista-na
ini harus segera ditinggalkan. Hanya saja waktunya begitu cepat, dan tidak ada
perencanaan sama sekali sebelumnya. Terlebih lagi, Prabu Jayengrana sendiri
belum sampai empat puluh hari mangkat.
Sementara itu, Rangga masih berada di atas
pohon sampai Permaisuri Sara Ratan dan Pendeta Seka Gora meninggalkan kaputren ini. Pendekar Rajawali Sakti itu baru melompat
turun setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi. Sebentar matanya memandang ke
arah kepergian Permaisuri Sara Ratan, kemudian perhatiannya tertumpu pada sehelai saputangan dari bahan sutra berwarna merah muda. Saputangan itu tergolek di bawah kursi taman. Rangga tadi sempat melihat Permaisuri Sara Ratan
sengaja menjatuhkan sapu
tangannya tanpa diketahui Pendeta Seka Gora.
"Hm...," gumam Rangga pelahan.
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali
Sakti itu melesat cepat dan ringan melompati tembok benteng bagian belakang
pembatas kaputren ini. Dan
sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik tembok benteng itu. Keadaan
di kaputren kembali sunyi senyap tanpa terlihat seorang pun di sana.
*** Sebuah kereta kuda melaju keluar dari gerbang
benteng Istana Salinga. Kereta kuda yang cukup besar dan indah itu dikawal
seratus orang prajurit bersenjata lengkap. Para emban dan pelayan berada di
dalam ke-

Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reta lain yang ditarik empat ekor kuda. Tampak paling depan, seorang pemuda
berwajah tampan dan gagah
menunggang kuda putih yang tegap. Pemuda itu mengenakan baju putih ketat dengan pedang tersampir di punggung.
Rombongan itu bergerak cepat menuju utara,
tempat berdirinya sebuah bukit yang menjulang menentang langit. Di dalam kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda putih,
terlihat Permaisuri Sara Ratan duduk seorang diri. Wanita itu memandang ke luar
da-ri jendela kereta yang terbuka sedikit tirainya.
"Hm, ini bukan jalan menuju tempat pengasingan," gumam Permaisuri Sara Ratan begitu kereta melewati batas gerbang utara Kerajaan Salinga.
Belum sempat Permaisuri Sara Ratan berpikir
lebih jauh lagi, dirasakan kereta kuda yang ditumpanginya berhenti, tepat di
tengah-tengah hutan belanta-ra. Penunggang kuda yang berada paling depan menghampiri kereta kuda itu. Ringan sekali tubuhnya melompat turun dari punggung kuda, dan menghampiri
pintu kereta. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda berpakaian putih ketat itu
membuka pintu kereta.
"Sudah sampai, Gusti Permaisuri," ujar pemuda
itu bernada dingin dan datar.
"Ini bukan tempat pengasingan, Natapraja," kata Permaisuri Sara Ratan seraya turun dari dalam kereta. "Memang benar. Kami
hanya singgah sebentar
untuk melaksanakan tugas lainnya," sahut pemuda
berpakaian putih ketat yang ternyata memang Natapraja, pemuda yang menikam Prabu Jayengrana.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Natapraja?"
sentak Permaisuri Sara Ratan mulai merasakan
adanya sesuatu yang tidak beres.
Natapraja tidak menjawab. Segera dijentikkan
ujung jarinya. Sekitar sepuluh orang prajurit mendorong para emban dan pelayan
pribadi Permaisuri Sara Ratan, sehingga sampai jatuh tersuruk di depan
Permaisuri Sara Ratan. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya.
Permaisuri Sara Ratan memandangi emban-emban dan para pelayan yang berlutut di depannya sambil menundukkan kepalanya. Masing-masing di belakang para emban dan pelayan itu
berdiri satu prajurit yang menghunus pedang tertempel di batang leher.
Permaisuri Sara Ratan menatap tajam Natapraja yang ditugaskan memimpin rombongan ini oleh
Pendeta Seka Gora. Pemuda ini yang diakui sebagai
anak angkat. Perasaan tidak enak yang sudah terbawa sejak keluar dari istana,
rupanya akan terjawab di dalam hutan ini. Hutan yang tidak pernah dikenalnya
sama sekali. "Natapraja, apa arti semua ini?" tanya Permaisuri Sara Ratan, agak bergetar nada suaranya.
"Hamba hanya melaksanakan pembersihan,
Gusti Permaisuri," sahut Natapraja kalem.
"Pembersihan..." Apa maksudmu dengan pembersihan?" Permaisuri Sara Ratan mulai mendugaduga. Natapraja tidak menjawab, tapi hanya tersenyum. "Laksanakan!" perintah Natapraja tiba-tiba.
Dan.... "Tunggu...!" sentak Permaisuri Sara Ratan keras. Tapi terlambat! Para prajurit itu sudah mengibaskan pedangnya dengan cepat. Seketika itu juga kepala dari para emban dan
pelayan Permaisuri Sara Ratan terpenggal buntung menggelinding ke tanah. Tak
ada suara pekikan keluar, mereka langsung jatuh
menggelepar dan tewas seketika!
"Kejam...!" desis Permaisuri Sara Ratan.
Wajah wanita berusia empat puluh tahunan itu
seketika membias pucat pasi. Ditatapnya mayat para
emban dan pelayannya, lalu beralih ke arah Natapraja.
Permaisuri Sara Ratan melangkah mundur dua tindak.
Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola
mata laki-laki muda di depannya.
"Sudah sepantasnya mereka mati, Gusti Permaisuri," tegas Natapraja kalem.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Permaisuri Sara
Ratan, agak bergetar nada suaranya.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Hamba hanya seorang abdi yang hanya menjalankan tugas," sahut Natapraja seraya membungkuk sedikit memberi hormat.
"Tugas..."! Tugas apa"! Siapa yang memberimu
tugas kejam ini?" agak keras suara Permaisuri Sara Ratan.
"Maaf. Hamba harus merahasiakan setiap tugas
yang diperintahkan, Gusti Permaisuri. Sebaiknya Gusti kembali masuk ke dalam
kereta. Hamba harus meng-antarkan Gusti Permaisuri Sara Ratan sampai ke tempat tujuan."
Permaisuri Sara Ratan ingin menolak. Tapi melihat kesungguhan dari sinar mata pemuda itu, dan
banyaknya prajurit yang siap menunggu perintah,
Permaisuri Sara Ratan jadi tidak berdaya. Dia hanya wanita lemah yang tidak
pandai ilmu olah kanuragan.
Bagi Natapraja, semudah membalikkan tangan jika ingin membunuhnya. Dengan tubuh agak bergidik, Permaisuri Sara Ratan kembali masuk ke dalam kereta
yang akan membawanya ke tempat yang tidak jelas letaknya. Hanya Natapraja yang mengetahui akan membawanya ke mana. Permaisuri Sara Ratan langsung
menutup tirai jendela begitu berada di dalam kereta.
Wajahnya masih terlihat pucat pasi, dan tubuhnya
bergetar hebat. Terlebih lagi saat merasakan kereta kembali bergerak melaju
cepat. "Dewata Yang Agung... Apa sebenarnya yang terjadi?" desah Permaisuri Sara Ratan dalam hati.
Rombongan itu terus bergerak agak pelahan
semakin jauh menembus kelebatan hutan. Semakin
Cinta Bernoda Darah 2 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Pengejaran Ke Cina 3

Cari Blog Ini