Ceritasilat Novel Online

Darah Seratus Bayi 1

Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Bagian 1


DARAH SERATUS BAYI Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Pro's
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
Dalam Episode 058 :
Darah Seratus Bayi
1 "Oaaa...! Tangisan bayi terdengar begitu
menyayat, memecah kesunyian malam yang
begitu hening. Tangisan bayi itu berasal dari sebuah rumah kecil berdinding
bilik bambu. Di dalam kamar yang berukuran
tidak terlalu besar, seorang ibu muda
tengah berusaha membujuk bayinya agar
berhenti menangis. Tidak jauh dari dipan kayu, duduk seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Semua
penduduk di Desa Jati Wengker,
memanggilnya Ki Sampir.
"Susui saja biar diam, Nyai," ujar Ki Sampir sambil melinting daun
tembakau. "Heran! Dia tidak mau diam, Kang,"
jelas wanita muda itu lesu.
"Badannya panas, tidak?"
"Tidak."
Nyai Sampir mengeluarkan puting
susu, dan menyumpalkannya ke mulut bayi.
Tapi bayi berusia beberapa bulan itu
malah meronta, tak mau disusui ibunya.
Akibatnya, Nyai Sampir jadi kelabakan
juga melihat polah bayinya yang tidak
seperti biasanya ini.
"Aku takut, jangan-jangan ada yang mengganggunya, Kakang," kata Nyai
Sampir, agak bergetar nada suaranya.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, Nyai," sergah Ki Sampir.
Nyai Sampir menggendong bayinya,
sambil menimang-nimang supaya diam.
Tangisan bayi itu mulai mereda setelah
berada di dalam pelukan ibunya yang
hangat. Tak berapa lama kemudian, bayi
itu tidak menangis lagi. Nyai Sampir
mengeluarkan puting susunya kembali, dan menyumpalkan ke mulut yang mungil itu.
"Dia tidak mau menyusu, Kakang,"
kata Nyai Sampir.
Di wajahnya yang lesu, tersirat
kecemasan melihat bayinya tidak mau lagi menyusu. Sedangkan Ki Sampir diam saja,
seperti tidak peduli. Bahkan malah asyik mempermainkan asap tembakau yang
mengepul dari lubang hidungnya.
Pada saat itu terdengar ketukan di
pintu. Suami istri itu saling
berpandangan. Ketukan di pintu kembali
terdengar semakin keras.
"Siapa malam-malam begini
bertamu...?" dengus Ki Sampir enggan, seraya bangkit berdiri.
Laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun itu menghampiri pintu. Tapi belum juga sempat dibuka, mendadak saja
pintu yang terbuat dari kayu biasa itu
sudah terdobrak dari luar.
Brak! "Heh..."!"
Ki Sampir tersentak kaget. Cepat dia
melompat mundur, menghindari pecahan
daun pintu rumahnya. Belum juga hilang
keterkejutan Ki Sampir dan istrinya,
mendadak saja melesat masuk sesosok
tubuh hitam. "Siapa kau..."!" bentak Ki Sampir.
Sosok tubuh hitam yang wajahnya
tertutup kain hitam itu tidak menjawab.
Matanya malah menatap Nyai Sampir yang
memeluk bayinya erat-erat di tepi dipan.
Bola matanya nampak berkilat, melihat
bayi yang mungil dan montok di dalam
pelukan ibunya.
"Aku minta bayimu," tegas sosok tubuh hitam itu.
Suaranya terdengar dingin dan
menggetarkan. Tak ada tekanan nada
sedikit pun. Begitu datar, sehingga
membuat Ki Sampir dan istrinya
terhenyak, seakan-akan tidak percaya
dengan pendengarannya barusan. Dan
sebelum sempat ada yang menyadari,
mendadak saja sosok tubuh hitam itu
melompat ke arah Nyai Sampir. Kedua
tangannya terulur hendak merampas bayi
dalam pelukan Nyai Sampir.
"Hei..."!" seru Ki Sampir.
"Hiyaaat...!"
Ki Sampir langsung melompat cepat
begitu tersadar, dan secepat itu pula
dilepaskan satu pukulan keras ke arah
sosok tubuh hitam itu. Namun dengan hanya meliukkan tubuhnya sedikit, pukulan Ki
Sampir berhasil dielakkan. Dan kini
sosok tubuh hitam itu berbalik, tidak
jadi merampas bayi di dalam gendongan
ibunya. "Aku hanya ingin bayimu. Tapi kau
sudah membuat kesulitan!" desis sosok hitam itu dingin.
Ki Sampir melangkah mundur beberapa
tindak. Disambarnya sebatang golok yang
menempel di dinding rumah ini. Seketika golok itu dikebutkan cepat sekali,
sehingga saningnya terlempar ke depan.
Kalau saja sosok tubuh hitam itu tidak
cepat mengegoskan tubuhnya ke samping,
sarung golok yang meluncur deras itu
mungkin telah menghantam dadanya.
"Keluar kau dari rumahku!" bentak Ki Sampir.
Ki Sampir yang sedikit menguasai
ilmu silat, sudah bisa meraba kalau sosok tubuh hitam ini pasti akan membuat
malapetaka bagi keluarganya. Maka
goloknya cepat dikebutkan ke depan,
mengarah ke dada sosok tubuh hitam itu.
Tapi dengan sedikit saja menarik
tubuhnya ke belakang, orang itu berhasil mengelakkan tebasan golok Ki Sampir.
Dan sebelum Ki Sampir bisa menarik pulang
goloknya, dengan kecepatan yang luar
biasa orang berselubung kain hitam itu
memberi satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi ke kepala.
Ki Sampir tidak sempat lagi
menghindari serangan balasan yang cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Meskipun sudah berusaha, tapi
tetap saja pukulan itu menghantam keras kepalanya.
Prak! "Aaakh...!" Ki Sampir menjerit keras melengking tinggi.
Laki-laki itu terhuyung-huyung
sambil memegangi kepalanya yang retak
terkena pukulan begitu keras tadi.
Sebentar kemudian Ki Sampir jatuh
menggelepar di tanah. Darah tampak
merembes keluar dari kepalanya. Sosok
tubuh hitam itu mengambil golok Ki Sampir yang tergeletak di lantai, lalu
menghunjamkannya ke dada laki-laki
malang ini. Bres! "Aaa...!"
Jeritan panjang yang menyayat,
mengakhiri hidup Ki Sampir malam ini.
Sebentar tubuhnya masih mampu bergerak
meregang nyawa, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Darah semakin
banyak keluar dari dada yang tertembus
goloknya sendiri.
"Tolooong....'" jerit Nyai Sampir
sekuat-kuatnya.
"Huh!" sosok tubuh hitam itu
mendengus. Tubuh orang itu berputar, dan cepat
melompat menghampiri Nyai Sampir yang
menjerit-jerit meminta tolong. Pada saat itu, terdengar suara-suara kentongan
dipukul bertalu-talu saling sambut.
Suara itu semakin ramai terdengar
memecah kesunyian malam di Desa Jati
Wengker ini. *** Nyai Sampir terus menjerit-jerit
sambil mempertahankan bayinya yang
hendak dirampas sosok tubuh hitam itu.
Maka tarik-menarik pun terjadi. Yang
satu ingin merebut bayi, yang satu ingin mempertahankannya. Pertahanan Nyai
Sampir membuat sosok tubuh hitam itu jadi berang. Terlebih lagi, suara kentongan
semakin ramai terdengar.
"Keparat, hih...!"
Plak! "Akh...!"
Hanya sekali saja sosok tubuh hitam
itu melayangkan tamparan keras ke
kepala, membuat Nyai Sampir terpekik.
Dia langsung jatuh tersungkur ke lantai rumahnya. Bayi yang dipertahankannya,
kini sudah berpindah tangan. Malah
tangisnya semakin menggiris hati.
Sebentar sosok tubuh itu menatap Nyai
Sampir yang tergeletak berlumuran darah yang keluar dari kepalanya. Rupanya
pukulan sosok tubuh hitam itu demikian
keras, sehingga kepala Nyai Sampir
retak, dan tewas seketika.
Sementara suara kentongan di luar
semakin keras terdengar, dan menuju ke
rumah ini. Sosok tubuh hitam itu cepat
memutar tubuhnya, lalu melesat ke luar
melalui pintu yang terdobrak hancur.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah di
luar, beberapa orang sudah menyambutnya dengan golok terhunus di tangan.
"Bunuh maling keparat itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil menggendong bayi yang terus
menangis, sosok tubuh hitam itu
berjumpalitan di udara menghindari
serangan-serangan yang datang dari
beberapa orang. Sementara tidak jauh,
terlihat penduduk Desa Jati Wengker
berlarian sambil berteriak-teriak
mengacungkan parang dan obor. Tampaknya mereka menuju ke rumah Ki Sampir.
"Setan alas...!" desis sosok tubuh hitam itu ketika melihat penduduk Desa
Jati Wengker berhamburan kearahnya.
Ketika sosok tubuh hitam itu
menjejakkan kakinya di luar, beberapa orang sudah menyambutnya dengan golok
terhunus. "Bunuh maling keparat itu...!"
Sambil menggendong bayi yang terus
menangis, sosok tubuh hitam itu terus menghalau serangan-serangan yang datang
dari para penduduk.
Maka dia cepat cepat melepaskan
beberapa pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah
beberapa orang yang menyerangnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking
tinggi seketika terdengar, disusul
bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran
darah. Sosok tubuh hitam itu cepat melompat
kabur. Tapi beberapa penduduk yang
mungkin sudah begitu marah, langsung
menyergap kembali. Sosok tubuh hitam itu terpaksa bergerak cepat, berlompatan
sambil melontarkan pukulan-pukulan
keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Jeritan-jeritan panjang melengking
terdengar saling sambut. Sosok tubuh
hitam itu segera melentingkan tubuh ke
udara, lalu hinggap di atas sebatang
pohon yang tinggi. Sedikit matanya
melirik ke arah para penduduk yang terus berusaha mengejarnya. Namun, dia cepat
melesat kabur dan lenyap ke dalam
lebatnya pepohonan, terselimut
kegelapan malam. Penduduk Desa Jati
Wengker terus berusaha mengejar. Mereka semua membawa obor, membuat suasana
malam yang pekat menjadi terang
benderang. Tapi sosok tubuh hitam itu
benar-benar lenyap. Sementara itu di
rumah Ki Sampir, seorang laki-laki
setengah baya bertubuh tegap yang
terselimut baju putih agak ketat, tengah termenung memandangi mayat suami istri
itu. Beberapa orang masih terlihat di
sekitar rumah itu. Empat orang juga
terlihat di dalam rumah.
"Terlalu...!" desis laki-laki setengah baya itu meng-geram.
Dipandanginya empat orang yang
berada di dalam rumah ini. Mereka semua rata-rata masih muda, dan di pinggang


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing-masing terselip sebilah golok.
Pada saat itu seorang laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua,
menerobos masuk ke dalam. Dia sedikit tertegun
melihat mayat Ki Sampir dan istrinya
ter:geletak di lantai.
"Iblis itu sudah kabur," kata laki-laki tua berjubah biru itu
melaporkan. "Bagaimana mereka?" dia menunjuk kedua mayat itu.
"Sudah meninggal," sahut laki-laki setengah baya.
"Kau harus segera bertindak,
Jumpana. Penculik bayi itu tidak bisa
dibiarkan begitu saja," desis orang tua berjubah biru itu.
Laki-laki setengah baya yang
dipanggil Jumpana, hanya terdiam saja.
Kerut-kerut di wajahnya terlihat
menegang, menahan kemarahan yang meluap di dalam dada. Dia adalah Kepala Desa
Jati Wengker ini. Sedangkan laki-laki
tua berjubah biru itu adalah pamannya.
Dan empat anak muda yang bersamanya
adalah para pengawal kepala desa itu.
"Tidak ada jalan lain, aku harus
memberi tahu hal ini pada Eyang Wasista,"
Ki Jumpana memberi keputusan seraya
menatap laki-laki tua berjubah biru yang dikenal bernama Ki Ampal.
Sudah kukatakan sejak kemarin,
iblis itu memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Memang sudah saatnya kau meminta bantuan ke Padepokan Awan
Perak," tegas Ki Ampal seperti.
menyesali kelambanan Kepala Desa Jati
Wengker ini. "Landira...," panggil Ki Jumpana.
"Ya, Ki," sahut seorang anak muda yang mengenakan baju merah muda.
"Kau segera pergi ke Padepokan Awan Perak. Katakan pada Eyang Wasista kalau aku
membutuhkan bantuannya. Juga
ceritakan semua peristiwa yang terjadi
di sini," perintah Ki Jumpana.
"Malam ini juga, Ki?" tanya pemuda yang dipanggil Landira itu.
"Iya, cepat...!"
Landira kelihatan ragu-ragu, tapi
akhirnya berangkat juga. Ki Jumpana
kemudian memerintahkan pada tiga orang
pengawalnya yang lain untuk membereskan mayat Ki Sampir dan istrinya. Kemudian,
dia sendiri melangkah keluar dari rumah itu, diikuti oleh Ki Ampal.
Sementara di luar, masih banyak
penduduk yang berkerumun. Mereka
memandangi Ki Jumpana dan Ki Ampal dengan wajah yang sukar dinikmati.
Ki Jumpana hanya memandangi mereka
sesaat, kemudian melangkah pergi. Para
penduduk yang berkerumun bergegas
menyingkir memberi jalan pada kepala
desanya. *** Siang itu seluruh penduduk Desa Jati
Wengker diselimuti suasana berkabung.
Hampir semua penduduk desa mengantarkan jenazah Ki Sampir dan istrinya ke tempat
peristirahatan yang terakhir. Bagi
keluarga yang memiliki anak bayi, tentu merasa cemas akan keselamatannya.
Peristiwa semalam benar-benar telah
menggemparkan seluruh Desa Jati Wengker.
Setelah menguburkan jenazah Ki
Sampir dan istrinya, semua orang
bergegas masuk ke dalam rumah
masing-masing. Suasana di Desa Jati
Wengker benar-benar sunyi. Tak seorang
pun terlihat berada di luar. Jalan desa yang cukup besar tampak lengang. Hanya
hewan-hewan piaraan saja yang terlihat
berkeliaran di jalan tanah berdebu ini.
Sementara itu Ki Jumpana dan Ki Ampal
duduk-duduk di beranda depan rumah.
Mereka memandangi jalan yang tampak
lengang, tanpa seorang pun terlihat di
sana. Tiga anak muda pengawal kepala desa itu, berdiri di belakang Ki Jumpana.
"Kenapa Eyang Wasista belum datang juga, Paman?" tanya Ki Jumpana seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Tunggu saja sebentar lagi," sahut Ki Ampal menyabarkan.
Baru saja Ki Jumpana bangkit dari
duduknya, terdengar derap langkah kaki
kuda dari kejauhan. Tak berapa lama
kemudian, terlihat debu membumbung ke
angkasa di ujung jalan. Lamat-lamat,
terlihat empat ekor kuda dipacu cepat
membelah jalan yang berdebu ini, Ki
Jumpana bergegas melangkah keluar dari
beranda rumahnya, disusul Ki Ampal dan
tiga orang pemuda pengawal kepala desa
itu. Setelah cukup dekat, baru terlihat
jelas keempat penunggang kuda itu.
Seorang penunggang yang berada paling
depan adalah Landira, utusan Ki Jumpana yang ditugaskan ke Padepokan Awan Perak.
Sedangkan tiga penunggang kuda lainnya
yang berada di belakang, adalah tiga
orang pemuda yang cukup tampan dan tegap.
Masing-masing di pinggang mereka
tergantung sebilah pedang panjang yang
ujung gagangnya berbentuk bulan sabit
"Hooop...!"
Keempat penunggang kuda itu segera
berlompatan turun begitu berada dekat di depan Ki Jumpana. Mereka serentak
membungkuk memberi hormat. Landira
bergegas menghampiri kepala desa itu,
dan kembali memberi hormat.
"Mana Eyang Wasista?" Ki Jumpana langsung bertanya tidak sabar.
"Maaf, Ki. Eyang Wasista sedang
berhalangan. Dan beliau mengirimkan tiga orang murid utamanya. Widura, Jambala,
dan Sentaka," Landira memperkenalkan ketiga pemuda yang datang bersamanya.
Ki Jumpana memandangi ketiga anak
muda yang memberi hormat dengan
membungkukkan tubuhnya. Ki Jumpana sudah mengenal yang bernama Widura, tapi dua
orang lainnya tidak dikenalnya. Mereka
memang berasal dari Padepokan Awan
Perak, dan merupakan murid utama Eyang
Wasista. "Mari, silakan masuk," ajak Ki Jumpana. Semula kepala desa itu agak
kecewa. Tapi setelah mengetahui kalau
yang dikirim adalah Widura,
kekecewaannya sedikit terkikis. Dia
memang sudah melihat dan mengetahui
kemampuan yang dimiliki Widura. Meskipun masih berusia sekitar dua puluh lima
tahun, tapi Widura sudah memiliki
kepandaian tinggi. Malah boleh dikatakan sukar dicari tandingannya di sekitar
Desa Jati Wengker.
Mereka semua kemudian masuk ke dalam
rumah Ki Jumpana yang cukup besar ini.
Mereka duduk di depan, melingkari sebuah meja bundar yang cukup besar. Ki
Jumpana sendiri duduk didampingi pamannya, Ki
Ampal. Landira dan ketiga pengawal
lainnya berdiri di belakang kepala desa itu. Sedangkan di depan Ki Jumpana,
duduk Widura, Jambala, dan Sentaka.
Pada saat itu keluar seorang gadis
berwajah cukup cantik mengenakan baju
merah muda yang agak ketat, sehingga
memetakan bentuk tubuhnya yang ramping
dan gempal. Dia membawa sebuah baki
perak, berisi cawan perak dan tiga buah guci arak. Diletakkannya minuman itu di
atas meja, dan diisinya cawan-cawan itu dengan arak yang menyebarkan bau harum
mengundang selera.
"Silakan," ucap gadis itu lembut, sambil menghiasl bibirnya dengan senyum manis.
"Terima kasih," ucap Widura juga memberi senyum cukup manis pula.
Mereka kemudian menikmati arak yang
disediakan tadi. Ki Jumpana
memperkenalkan gadis itu, yang ternyata memang putrinya. Namanya Kinanti. Widura
sempat melirik ke arah Kinanti, yang pada saat itu juga melirik ke arahnya.
Entah kenapa, wajah Kinanti seketika berubah
memerah. Cepat-cepat kepalanya
tertunduk menyembunyikan rona merah di
wajahnya. "Aku ke belakang dulu, Ayah," pamit Kinanti.
Tanpa menunggu jawaban ayahnya,
Kinanti bergegas meninggaikan ruangan
depan ini. Sebentar Widura masih sempat memandangi, sampai gadis itu lenyap di
balik pintu. Kemudian pandangannya cepat dialihkan, saat mendengar batuk kecil
dari Ki Jumpana.
"Kalian pasti sudah tahu, apa yang sedang terjadi di desa ini," kata Ki Jumpana
membuka pembicaraan.
"Kakang Landira sudah bercerita
cukup banyak di perjalanan, Ki," jelas Widura dengan sikap sopan.
"Kalau begitu, aku tidak perlu lagi bercerita banyak," ujar Ki Jumpana.
"Hanya ada satu pertanyaan, Ki,"
pinta Widura. "Katakan," sahut Ki Jumpana.
"Apakah peristiwa ini sudah pernah terjadi sebelumnya di sini?" tanya Widura.
"Sejak aku menjadi Kepala Desa Jati Wengker ini, belum pernah terjadi suatu
peristiwa yang sampai menimbulkan korban jiwa. Dan ini peristiwa pertama yang
dialami penduduk Desa Jati Wengker,"
jelas Ki Jumpana.
"Lalu, apa saja yang diambilnya,
Ki?" tanya Widura lagi.
"Anak bayi," sahut Ki Jumpana.
"Bayi...?"
Widura mengerutkan
keningnya. "Tidak ada harta sedikit
pun...?" "Tidak. Hanya bayi yang diambil
iblis itu. Aku sendiri tidak tahu, untuk apa bayi yang baru berumur beberapa
bulan diculiknya. Dan peristiwa semalam, orang itu sempat membunuh dua suami
istri sebelum mengambil bayinya. Malah
beberapa penduduk yang mencoba
menangkap, juga ada yang tewas. Bahkan
tidak sedikit yang terluka parah."
"Hm.... Tampaknya orang itu
memiliki kepandaian tinggi juga. Dan
yang pasti, perbuatannya itu memiliki
tujuan," agak bergumam nada suara
Widura. "Kau tahu, kenapa dia menculik bayi?"
"Hanya ada dua kemungkinan, Kakang Widura," sahut Jambala.
"Apa?"
"Untuk dirinya sendiri, atau untuk orang lain."
"Maksudmu?"
Jambala tidak segera menjawab.
Pandangannya segera beredar merayapi
wajah-wajah yang ada di ruangan ini.
Mereka semua mengharapkan penjelasan
dari Jambala, yang tampaknya mengerti
persoalan seperti ini.
*** 2 "Pertama, orang itu menculik untuk dirinya sendiri. Entah untuk bersekutu
dengan iblis, atau untuk kesempurnaan
ilmu yang sedang dituntutnya," jelas Jambala.
"Lalu yang kedua?" tanya Ki Jumpana tidak sabar ingin tahu.
"Untuk orang lain," sahut Jambala.
"Maksudmu?"
"Orang yang menyuruhnya menggunakan bayi itu untuk menuntut ilmu hitam, atau
untuk membangkitkan orang mati. Memang
aku pemah mendengar adanya ilmu yang
dengan perantara darah dari bayi-bayi,
bisa membangkitkan orang mati," kembali Jambala menjelaskan.
"Ohhh...," desah Ki Jumpana
panjang. Sungguh tidak diduga kalau
persoalan penculikan bayi ini akan
melibatkan orang-orang berkepandaian
tinggi, yang tidak mungkin bisa
dihadapinya. Terlebih lagi untuk ukuran penduduk Desa Jati Wengker, yang
sebagian besar penduduknya bercocok
tanam. Bahkan banyak dari mereka yang
tidak mengerti ilmu olah kanuragan
sedikit pun juga.
Penjelasan Jambala memang bisa
membuat semua orang menjadi resah. Tapi memang itulah kenyataan yang sedang
dihadapi sekarang ini. Lagi pula, untuk apa orang berpakaian serba hitam itu
menculik bayi..." Bahkan sekarang ini
sudah mulai menggunakan kekerasan, dan
sudah menimbulkan begitu banyak korban
jiwa. "Apa yang harus kulakukan
sekarang...?" desah Ki Jumpana seperti mengeluh.
"Kita atur penjagaan di setiap sudut desa, Ki. Kumpulkan pemuda-pemuda yang
memiliki kepandaian silat, meskipun
hanya sedikit. Pokoknya semua orang di
desa ini bertanggung jawab atas
keselamatan diri sendiri dan semua orang di desa ini. Terutama, kaum
laki-lakinya," Widura langsung memberi saran.
"Tidak banyak pemuda di desa ini
yang mengerti ilmu silat, Widura," jelas Ki Jumpana, tentang keadaan desanya
yang memang sangat lemah di dalam pertahanan.
"Paling tidak, kita buat beberapa
pos penjagaan di luar batas desa yang
sering dilalui orang," saran Widura lagi.
"Benar, Ki. Penjagaan dapat diatur secara bergilir. Katakanlah, kita
membuat pagar betis, dan mewaspadai
siapa saja yang masuk ke desa ini,"
sambung Sentaka yang sejak tadi diam
saja. "Baiklah. Aku serahkan semua ini
padamu, Widura," Ki Jumpana menyetujui usul murid utama Padepokan Awan Perak
itu. Meskipun dicekam ketakutan yang


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat sangat, tapi penduduk Desa Jati
Wengker bersedia mengadu nyawa dalam
menghadapi manusia iblis penculik bayi
itu. Dan begitu mendengar kalau ketiga
murid utama Padepokan Awan Perak
membutuhkan tenaga untuk penjagaan
keamanan, tanpa disuruh lagi mereka
segera mendaftarkan diri. Bukan hanya
para pemuda, tapi juga orang-orang tua
ikut serta dalam barisan keamanan desa.
Hal ini membuat Ki Jumpana terharu
atas kesetiaan warga desanya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia turun
langsung dalam pembuatan pos penjagaan di
beberapa tempat di pinggiran desa, yang memang sering dilalui orang-orang keluar
masuk desa ini. Mereka juga membuat pos penjagaan di beberapa tempat yang
dianggap tepat untuk mendirikan pos
penjagaan. Malam itu suasana di Desa Jati
Wengker terlihat lain dari biasanya. Di beberapa sudut desa, terlihat obor
menyala terang dari pos-pos penjagaan
yang dibuat penduduk bersama ketiga
murid Padepokan Awan Perak. Setiap pos
penjagaan berisi paling tidak, tiga atau empat orang yang memegang senjata apa
saja yang bisa digunakan.
"Kau yakin dengan begini bisa
mengatasi keadaan, Kakang Widura?" tanya Sentaka.
Saat itu ketiga murid Padepokan Awan
Perak tengah berkeliling Desa Jati
Wengker. Mereka mengadakan perondaan
untuk menjaga segala kemungkinan yang
bakal terjadi setiap saat, meskipun
seluruh Desa Jati Wengker tampaknya
dalam penjagaan yang ketat malam ini.
"Kita lihat saja. Ini baru
permulaan," sahut Widura kalem.
Tapi mendadak saja ayunan langkah
mereka terhenti ketika terdengar
teriakan panjang melengking tinggi.
Sebentar ketiga murid Padepokan Awan
Perak itu saling melemparkan pandangan, kemudian serentak berlompatan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
menuju sumber teriakan tadi.
Begitu cepatnya mereka bergerak,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di depan sebuah rumah yang
dikerumuni orang-orang. Nyala api obor
menerangi sekitarnya. Mereka yang
berkerumun, segera menyingkir begitu
melihat kedatangan ketiga murid
Padepokan Awan Perak itu.
"Ada apa ini...?" tanya Widura seraya menerobos masuk dari pintu yang
hancur berantakan.
Di dalam rumah, terlihat dua mayat
tergeletak di lantai. Di dekat
mayat-mayat itu tampak seorang wanita
tengah terduduk sambil menangis
menggerung-gerung. Widura bergegas
menghampirinya. Darah mengucur dari bahu kanan wanita itu, seperti tersabet
senjata tajam. Pada saat itu, Ki Jumpana menerobos masuk diikuti Ki Ampal dan
Kinanti. "Ki... Tolong, Ki. Dia menculik
bayiku...," rintih wanita itu begitu melihat Ki Jumpana.
Wanita itu langsung menubruk Ki
Jumpana, dan menangis sesenggukan sambil memeluk kaki kepala desanya. Ki Jumpana
membangunkannya perlahan-lahan, lalu
menyerahkan wanita itu pada Kinanti
Putri kepala desa itu kemudian
membawanya duduk di balai-balai bambu
yang hampir berantakan.
"Kita kecolongan, Widura," desah Ki Jumpana seraya menatap Widura.
Murid Padepokan Awan Perak hanya
terdiam saja merayapi dua sosok tubuh
yang sudah tak bernyawa lagi. Darah masih mengucur menggenangj lantai. Malam ini
mereka benar-benar kecolongan. Korban
sudah jatuh lagi, meskipun penjagaan
begitu ketat. "Apa tidak ada yang melihat
kedatangannya?" tanya Ki Ampal.
Tak seorang pun yang menjawab.
Mereka yang bertugas jaga memang sama
sekali tidak melihat ke-datangan
penculik bayi itu. Semua peronda
langsung berdatangan begitu mendengar
jeritan, tapi keadaan di rumah ini sudah berantakan. Bahkan sudah tergeletak dua
mayat. *** Peristiwa semalam membuat Widura
jadi lebih senang menyendiri. Hal ini
merupakan pukulan berat bagi dirinya.
Dia tidak tahu lagi, harus berbuat apa
untuk mengatasi keadaan yang jelas
semakin memburuk. Meskipun semua
laki-laki di Desa Jati Wengker ini masih tetap meronda, tapi peristiwa
penculikan bayi itu tetap saja berlangsung. Bahkan sudah tiga malam ini kejadian
itu terulang, tanpa ada seorang pun yang
berhasil memergokinya.
Mereka yang sempat hidup, hanya
mengatakan kalau penculik itu mengenakan baju serba hitam. Tak ada seorang pun
yang bisa mengenali wajahnya yang
terselubung kain hitam. Hal ini membuat Widura harus memeras otak untuk
menghentikan penculikan bayi itu.
"Kakang...."
Widura berpaling ketika mendengar
sapaan lembut dari belakang. Tampak
Kinanti sudah berdiri dekat di
belakangnya. Sungguh tidak diketahuinya kalau gadis ini sudah di dekatnya.
Pikirannya memang tadi tengah melayang, sehingga tidak mengetahui kedatangan
Kinanti. Widura menggeser duduknya,
memberi tempat pada putri kepala desa
itu. Namun Kinanti malah duduk di depan pemuda murid Padepokan Awan Perak ini.
"Sejak pagi tadi, kau kuperhatikan tidak beranjak dari sini," kata Kinanti.
"Aku memikirkan keadaan yang
semakin memburuk," ujar Widura seraya menghembuskan napas panjang.
"Bukan hanya kau saja, Kakang
Widura. Semua orang juga resah. Iblis
penculik bayi itu benar-benar cerdik,"
timpal Kinanti.
Pada saat itu Jambala datang menghampiri tergopoh-gopoh. Widura
segera bangkit dan menunggu sampai
Jambala dekat "Ada apa, Jambala?" tanya Widura.
"Kau ditunggu Ki Jumpana. Ada utusan dari Desa Gadak Arum," sahut Jambala
memberi tahu. "Ada apa mereka datang ke sini...?"
tanya Widura seperti bertanya untuk
dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu. Sebaiknya,
segeralah temui mereka," sahut Jambala.
Widura bergegas melangkah tanpa
bicara lagi, sedangkan Jambala dan
Kinanti mengikuti dari belakang. Mereka kini berjalan cepat menuju rumah Kepala
Desa Jati Wengker. Beberapa orang
terlihat di depan rumah. Juga ada sekitar dua puluh kuda yang berjajar di bawah
pohon warn. Widura langsung menerobos masuk ke
dalam rumah yang cukup besar itu. Di
dalamnya, sudah menunggu Ki Jumpana yang selalu didampingi Ki Ampal. Ada enam
orang duduk di seberang meja kepala desa itu. Ki Jumpana langsung memperkenalkan
Widura pada empat orang utusan dari Desa Gadak Arum. Widura menganggukkan
kepala, kemudian duduk di samping Sentaka.
"Mereka datang untuk meminta si
lblis Seribu Nyawa...," kata Ki Jumpana langsung memberi tahu maksud kedatangan
utusan dari Desa Gadak Arum itu.
"Iblis Seribu Nyawa..." Siapa dia?"
tanya Widura. "Itulah yang tidak kumengerti,
Widura. Mereka menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa tinggal di desa ini," kata
Ki Jumpana, agak mendesah suaranya.
Widura memandangi empat orang
laki-laki dari Desa Gadak Arum. Dia tahu, Desa Gadak Arum cukup jauh letaknya
dari Desa Jati Wengker ini. Mereka harus
melewati Hutan Alas Waru yang jarang
sekali dilalui orang.
"Maaf. Kenapa saudara-saudara
menyangka kalau desa ini menjadi tempat tinggal si..., siapa tadi namanya?"
tanya Widura pada laki-laki bertubuh
kekar dan berkumis tebal melintang, yang duduk tepat di depannya.
"Iblis Seribu Nyawa," sahut
laki-laki kekar itu. Tadi Ki Jumpana
memperkenalkan namanya adalah Jongkor.
"Ya.... Kenapa saudara-saudara
menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa
tinggal di sini?" Widura mengulangi pertanyaannya.
"Sudah lama kami mengejar iblis itu.
Dan kami dengar, iblis itu sekarang
berada di sini...," jelas Jongkor.
"Begini, Saudara Jongkor. Saat ini kami juga tengah menghadapi malapetaka
besar. Hampir setiap malam kami
kehilangan anak-anak bayi...."
"Apa..."!" Jongkor terbeliak, sebelum
Widura menyelesaikan
kalimatnya. "Kenapa terkejut, Saudara Jongkor?"
tanya Widura. "Tunggu dulu...," ujar Jongkor.
"Jadi kalian juga sedang berhadapan dengan iblis itu...?"
Kini ganti Widura dan Ki Jumpana
yang terkejut. Mereka semua jadi terdiam dan saling pandang. Tanpa diduga sama
sekali, temyata utusan dari Desa Gadak
Arum ini juga berurusan dengan si
penculik bayi yang selama beberapa hari ini membuat keresahan di Desa Jati
Wengker. "Kenapa kau tidak mengatakannya
dari tadi, Kakang Jumpana?" Jongkor tampak menyesalkan Ki Jumpana yang tidak
mengatakan hal itu sejak tadi, dan malah menunggu kedatangan Widura.
"Aku ingin mengatakannya, tapi kau selalu saja mendesakku untuk menyerahkan
iblis itu. Mana sempat semuanya
kujelaskan padamu...?" dengus Ki Jumpana tidak terima disalahkan.
"Maaf. Masalahnya, Iblis itu sudah mengambil lebih dari dua puluh bayi di
desaku," jelas Ki Jongkor yang temyata memangku jabatan kepala desa juga di Desa
Gadak Arum. "Dua puluh bayi..."!" Ki Jumpana terbeliak mendengarnya.
"Benar! Dan entah berapa nyawa lagi yang akan melayang. Tapi, beberapa hari ini
dia tidak muncul. Dan baru dua hari yang lalu kudengar kalau iblis keparat
itu ada di sini. Bahkan beberapa desa
yang juga bernasib sama dengan Desa Gadak Arum, sudah tahu kalau si Iblis Seribu
Nyawa selalu masuk ke desa ini setelah
melakukan penculikan terhadap bayi-bayi berumur beberapa bulan," jelas Ki
Jongkor, singkat dan jelas.
"Ooo.... Jadi kau menyangka kalau
Iblis itu salah seorang warga
desaku...?" terdengar agak sumbang nada suara Ki Jumpana.
"Semula kuduga begitu. Maaf, aku
tidak tahu kalau di desa ini juga
mengalami hal yang sama," ucap Ki
Jongkor. "Ah, sudahlah.... Aku sedang
mengalami musibah besar, dan tolong
jangan menambah-nambahi lagi," desah Ki Jumpana.
"Kalau begitu, kami mohon diri. Maaf telah mengganggu ketenanganmu, Kakang
Jumpana," ucap Ki Jongkor seraya bangkit berdiri.
"Tunggu dulu...!" cegah Widura.
Ki Jongkor tidak jadi melangkah
keluar dari ruangan ini.
"Apa kau tidak ingin menangkap si
Iblis Seribu Nyawa itu?" tanya Widura.
"Sudah terlalu banyak aku
kehilangan orang, hanya untuk menangkap iblis itu. Bagiku sekarang, yang terbaik
adalah memperkuat keamanan desa sendiri.
Iblis itu akan pergi kalau bayi-bayi di sini sudah habis. Dia pasti akan muncul
bila mencium bau darah bayi," jelas Ki Jongkor.
Setelah berkata demikian, Kepala
Desa Gadak Arum itu beranjak pergi
diikuti pengawal-pengawalnya. Ki
Jumpana bergegas mengikuti dan berdiri
di ambang pintu mmahnya. Saat itu Ki
Jongkor sudah berada di punggung
kudanya. Ada sekitar dua puluh orang yang ikut bersamanya. Setelah memberi salam
penghormatan, Ki Jongkor cepat menggebah kudanya meninggalkan rumah kepala desa
itu. "Setan! Tingkahnya dari dulu tidak pernah berubah!" rutuk Ki Jumpana.
"Tetap saja dia mementingkan diri
sendiri, tanpa mempedulikan kesulitan
orang lain," sambung Ki Ampal juga mendengus.
Sementara itu Widura, Sentaka, dan
Jambala masih tetap duduk menghadap meja besar di ruangan depan yang cukup luas.
Mereka saling berpandangan satu sama
lainnya, kemudian sama-sama beranjak
pergi, dan keluar dari pintu lain.
*** "Apa yang harus kita lakukan
sekarang, Kakang Widura?" tanya Jambala setelah mereka berada di luar rumah Ki
Jumpana. "Iblis Seribu Nyawa.... Hm...,
sepertinya nama itu pernah kudengar,"
gumam Widura perlahan, seperti bicara
pada diri sendiri.
"Kau benar, Kakang. Kita memang


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah mendengarnya sama-sama dari Eyang Wasista," tegas Sentaka yang lebih
pendiam dan tidak banyak bicara.
"Ya...! Aku ingat sekarang...!"
sentak Widura seperti baru terbangun
dari ingatannya.
"Tapi apa mungkin dia orangnya,
Kakang" Bukankah Eyang Wasista pernah
cerita kalau si Iblis Seribu Nyawa sudah tewas," sergah Jambala.
"Memang rasanya tidak mungkin,
Kakang," sambut Sentaka.
"Apa kalian tidak mendengar
kata-kata Ki Jongkor tadi...?" ujar Widura.
"Dia mengatakan kalau perusuh itu
bernama Iblis Seribu Nyawa."
"Tapi kita belum membuktikan
kebenarannya, Kakang. Mungkin dia hanya mengada-ada saja menyebut nama itu,"
kilah Jambala lagi.
"Aku rasa, sudah waktunya kita
memberitahukan hal ini pada Eyang
Wasista," ujar Widura agak menggumam.
"Apa itu sudah perlu, Kakang?" tanya Sentaka.
"Benar, Kakang Widura. Sebaiknya
diseliki dulu kebenaran cerita Ki
Jongkor tadi. Siapa tahu bukan si Iblis Seribu Nyawa, tapi orang lain yang
menggunakan nama itu hanya untuk
menakut-nakuti saja," Jambala
membenarkan pendapat Sentaka.
"Dari mana kita mulai
menyelidikinya" Sedangkan, sampai saat
ini belum ada yang melihat wujud si
penculik bayi itu," tanya Widura.
"Kenapa tidak dimulai dari Hutan
Alas Waru saja, Kakang?" usul Sentaka.
"Benar, Kakang. Ki Jongkor bilang, si Iblis Seribu Nyawa selalu menghilang di
Hutan Alas Waru yang menuju Desa Jati Wengker ini. Dugaanku, dia bersembunyi
tidak jauh dari desa ini," selak Jambala.
Widura mengangguk-anggukkan
kepala. "Kita tidak perlu ke sana. Lebih
baik, malam ini tunggu dia di perbatasan dekat Hutan Alas Waru," ujar Widura.
"Kalau memang benar dia datang dari sana, siangnya kita geledah seluruh
hutan itu."
Sentaka dan Jambala tersenyum.
Paling tidak, dengan kedatangan Ki
Jongkor, sekarang mereka mempunyai
gambaran untuk bertemu si perusuh itu.
Dan ketiga murid Padepokan Awan Perak ini bersepakat untuk menunggu si penculik
bayi itu di dekat perbatasan Hutan Alas Waru dan Desa Jati Wengker.
*** Seperti yang sudah direncanakan,
Widura dan kedua adik seperguruannya
sudah berada di perbatasan Desa Jati
Wengker dan Hutan Alas Waru. Mereka sudah berada di sana pada saat matahari
tenggelam. Ada dua pos penjagaan tidak
jauh dari perbatasan ini, dan terlihat
sekitar enam orang berjaga-jaga di sana.
Sementara malam terus merayap
semakin larut. Ketiga murid Padepokan
Awan Perak itu menanti dengan perasaan
tegang dan mencekam. Mereka menunggu
munculnya orang yang selama ini mengacau beberapa desa di sekitar Hutan Alas
Waru. Sosok yang belum dikenal, tapi sudah
menimbulkan begitu banyak korban.
"Kau yakin malam ini iblis itu akan muncul, Kakang?" tanya Sentaka, agak
berbisik suaranya.
"Mudah-mudahan saja dia muncul,"
sahut Widura. "Tapi bisa saja dia muncul dari arah lain," sergah Sentaka lagi.
"Ssst...! Dengar...," desis
Jambala. Sentaka dan Widura terdiam. Mereka
memasang telinga tajam-tajam.
Sayup-sayup terdengar suara tangisan
bayi. Begitu jauh, seakan-akan berada di seberang Hutan Alas Waru ini. Ketiga
murid dari Padepokan Awan Perak itu
sating berpandangan. Kemudian mereka
cepat keluar dari tempat persembunyian
ketika tangis bayi itu semakin keras
terdengar, dan berasal dari Desa Jati
Wengker. Pada saat itu terlihat sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat
melintasi dua pos penjagaan. Enam orang yang berada di dalam pos penjagaan itu
tampak terkejut, dan langsung
berhamburan keluar untuk mengejar
bayangan hitam yang berlari cepat ke arah Hutan Alas Waru.
"Itu dia...!" seru Widura.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Ketiga murid Padepokan Awan Perak
itu berlompatan cepat menuju ke arah
sosok hitam yang berlari cepat sambil
membawa sesuatu dalam pelukannya. Begitu cepatnya ketiga pemuda itu berlompatan,
sehingga berhasil mengejar dan
menghadang sosok tubuh hitam itu.
"Berhenti...!" sentak Widura
lantang. Sosok tubuh hitam itu seketika menghentikan larinya. Widura dan kedua
adik seperguruannya sempat tertegun,
karena wajah orang itu tidak dapat
dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya
tertutup kain hitam yang pekat. Hanya dua lubang kecil saja terlihat di matanya.
"Phuih! Rupanya kalian murid si
jahanam Wasista!" desis orang berbaju serba hitam itu dingin menggetarkan.
"Sudah..., jangan banyak omong.
Serang saja iblis keparat itu, Kakang
Widura," sergah Jambala yang memang sudah tidak sabar lagi.
"Hiyaaat...!"
Jambala langsung melompat sambil
memberi satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun
sosok tubuh hitam itu berhasil
mengelakkan serangan dengan meliukkan
tubuhnya ke kanan. Dan dengan cepat
sekali tubuhnya berputar, lalu memberi
satu tendangan keras luar biasa.
"Hait!"
Jambala cepat melentingkan tubuhnya
dan langsung berputar ke belakang,
menghindari tendangan sosok tubuh hitam itu. Pada saat yang sama, Sentaka sudah
melompat cepat menyerang. Pedangnya
langsung dicabut, dan dikibaskan ke arah kepala orang itu. Tapi tanpa diduga
sama sekali, orang itu berputar dan memasang dadanya.
"Heh...!" Sentaka terkejut setengah mati.
Cepat-cepat serangannya ditarik
kembali, karena di depan dada orang
berbaju serba hitam itu terpeluk sosok
bayi yang terselimut kain tebal. Dan pada saat yang tepat, sosok tubuh hitam itu
melepaskan satu tendangan ke arah
Sentaka. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari
lagi. Des! "Akh!" Sentaka terpekik agak
tertahan. Tubuh pemuda itu terpental sejauh
dua batang tombak ke belakang, namun
cepat memutar tubuhnya. Kakinya berhasil dijejakkan di tanah, meskipun agak
terhuyung. Sentaka merasakan dadanya
jadi sesak, akibat tendangan orang itu.
"Hiyaaat...!"
Kali ini Jambala melakukan serangan
kilat. Pedangnya yang tergantung di
pinggang dikeluarkan. Seketika pedang
itu cepat dikebutkan ke arah kaki sosok tubuh hitam dari arah samping kanan. Dan
sosok tubuh hitam itu hanya mengangkat
kaki kanannya saja, membuat tebasan
padang Jambala berada di bawah telapak
kaki, orang berbaju serba hitam itu cepat menurunkan kakinya. Langsung
dijejaknya pedang itu hingga ke tanah.
"Hih...!"
Jambala mencoba menarik pedangnya.
Pada saat yang sama, orang berbaju hitam itu mengangkat kakinya, langsung
diberikannya satu tendangan keras yang
tepat menghantam dada Jambala.
Diegkh! "Akh...!" Jambala terpekik keras.
Murid Padepokan Awan Perak itu
terpental ke belakang sejauh satu batang tombak. Jambala jatuh bergulingan di
tanah beberapa kali, dan cepat melompat bangkit berdiri sambil memegangi dadanya
yang terasa begitu sesak.
"Kalian belum cukup melawanku!
Suruh si Wasista ke sini...!" dengus orang itu dingin.
"Kau sudah berani menghina guruku, Iblis...!" desis Widura yang sejak tadi tidak
melakukan serangan.
Sosok hitam itu memutar tubuhnya,
langsung menatap tajam Widura. Sedangkan Widura sendiri menatap tidak kalah
tajamnya. Beberapa saat mereka saling
berhadapan dan bertatapan tajam,
seakan-akan sedang mengukur kepandaian
masing-masing. Sret! Widura langsung mencabut pedangnya.
Sudah bisa diketahui kalau orang yang
dihadapinya ini berkepandaian tinggi.
Ini terbukti dari caranya menjatuhkan
Jambala dan Sentaka dengan mudah sekali.
Meskipun kedua adik seperguruannya tidak mengalami luka yang berarti, tapi sudah
membuat Widura harus berhati-hati
menghadapinya. "Kalian akan menyesal karena berani berurusan dengan Iblis Seribu Nyawa...!"
desis orang berbaju serba hitam itu.
"Kau yang akan menyesali malam
naasmu saat ini, Iblis Keparat..!" desis Widura tidak kalah dinginnya.
"Hap!"
Sosok tubuh hitam yang menamakan
dirinya Iblis Seribu Nyawa itu, segera
mengebutkan tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya tetap memeluk bayi yang
kini sudah diam, karena jalan darahnya
diberi totokan lunak agar tidak terus
menangis. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar,
Widura cepat melentingkan tubuhnya ke
udara. Lalu, dia meluruk deras sambil
cepat memutar pedangnya. Dan begitu
kakinya menjejak tanah di depan Iblis
Seribu Nyawa, pedangnya langsung
dikebutkan ke arah perut orang berbaju
serba hitam itu.
Bet! "Uts!"
*** 3 Hanya sedikit saja Iblis Seribu
Nyawa menarik kakinya ke belakang, maka tebasan pedang Widura berhasil
dielakkannya. Lalu kakinya cepat
diangkat Langsung diberikannya satu
tendangan berputar yang cepat dan
dahsyat. Widura bergegas melompat ke
belakang. Dan begitu tendangan itu
lewat, kembali tubuhnya melesat sambil
menusukkan pedangnya.
"Hiyaaat...!"
Bet! "Hap!"
Manis sekali Iblis Seribu Nyawa
menarik tubuhnya ke kanan, sehingga
pedang Widura lewat sedikit di samping
tubuhnya. Pada saat itu, dilepaskannya
satu sodokan keras ke arah perut Namun
dengan cepat Widura menghentakkan tangan kirinya, menangkis sodokan orang
berbaju serba hitam itu.
Plak! Satu benturan tangan tak dapat
dihindari lagi. Widura cepat menarik
kakinya ke belakang beberapa langkah.
Mulutnya meringis, karena tangannya
seperti tersengat jutaan lebah ketika
berbenturan tadi.
"Hap!"
Widura cepat mengebutkan pedangnya
ke depan, ketika Iblis Seribu Nyawa sudah memberi satu pukulan lagi dengan
tangan kanan. Kebutan pedang Widura membuat
orang berbaju serba hitam itu terpaksa
menarik pulang serangannya. Saat yang
bersamaan, Jambala dan Sentaka
berbarengan berlompatan menyerang.
Pedang mereka berkelebatan cepat
mencecar manusia berpakaian serba hitam itu.
Sementara dari arah Desa Jati
Wengker, terlihat orang-orang berlarian menuju ke arah pertarungan itu. Cahaya
obor seakan-akan hendak merubah suasana malam yang pekat ini menjadi terang
benderang. Suara kentongan pun terdengar dipukul bertalu-talu saling sambut dan
saling susul. Maka malam yang semula
sunyi, kini jadi ramai. Bahkan juga
ditingkahi teriakan-teriakan penduduk
Desa Jati Wengker yang berdatangan
menghampiri pertarungan ketiga murid


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padepokan Awan Perak itu melawan si Iblis Seribu Nyawa.
"Kepung...! Dia jangan diberi
kesempatan kabur...!" terdengar
teriakan keras menggelegar memberi
perintah. Tampak Ki Jumpana mengatur warga
desanya untuk mengepung tempat itu.
Sementara pertarungan antara ketiga
murid Padepokan Awan Perak melawan si
Iblis Seribu Nyawa terus berlangsung
sengit. Melihat sekitar tempat itu sudah terkepung puluhan penduduk Desa Jati
Wengker, manusia serba hitam itu jadi
kelabakan juga.
"Sial...!" rutuknya sengit.
Keadaan yang tidak menguntungkan
ini membuat Iblis Seribu Nyawa jadi
geram. Tapi justru hal itu membuatnya
kurang waspada. Akibatnya satu pukulan
yang dilepaskan Widura tidak dapat
dihindari lagi, telak menghantam
dadanya. Dia terhuyung-huyung ke belakang Dan sebelum bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, kembali harus
menerima satu tendangan keras dari
Jambala. "Hiyaaa...!"
Sentaka tidak mau ketinggalan.
Dengan cepat dia menerjang. Pedangnya
kontan dibabatkan ke punggung orang itu.
Sabetan pedang Sentaka yang begitu
cepat, tak dapat dihindari lagi.
Meskipun sudah berusaha menghindar,
namun pedang itu telak menghantam
punggung lawan.
Bret! "Akh...!"
Si penculik bayi itu
terhuyung-huyung ke depan. Darah sudah
mengucur deras dari punggungnya. Namun
cepat dia menguasai diri. Tubuhnya cepat mengegos ketika Jambala sudah
melontarkan satu pukulan keras. Pukulan Jambala yang begitu keras dan mengandung
pengerahan tenaga dalam, sayangnya tak
mengenai sasaran. Bahkan si Iblis Seribu Nyawa berhasil memasukkan satu sodokan
ke arah perut Jambala
"Hugkh!" Jambala mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk sambil
memegangi perutnya. Pada saat itu, si
Iblis Seribu Nyawa memberi satu pukulan keras dengan tangan kirinya ke wajah
Jambala. Akibatnya murid Padepokan Awan Perak itu terpekik keras, dan terpental
ke belakang. "Hiyaaa...!"
Mendapat kesempatan yang sedikit
ini, orang berbaju serba hitam itu cepat melompat kabur. Ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya memang tinggi sekali,
sehingga berhasil melewati beberapa
kepala orang yang mengepung tempat ini.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia
langsung berlari cepat masuk ke dalam
hutan. "Kejar...! Jangan biarkan lolos!"
teriak Ki Jumpana memberi perintah.
Penduduk Desa Jati Wengker yang
mengepung tempat itu, seketika
berhamburan mengejar. Tapi begitu
melihat si Iblis Seribu Nyawa masuk ke
dalam hutan, mereka menghentikan
pengejarannya. Tak ada seorang pun yang berani masuk ke dalam hutan yang
terkenal angker itu.
*** Widura menghampiri Jambala yang
terkapar di tanah. Dan sebelum Widura
sempat menyentuh tubuhnya, Jambala sudah bangkit berdiri sambil memegangi perut.
Sentaka menghampiri saudara
seperguruannya itu. Juga, Ki Jumpana dan Ki Ampal.
"Kau terluka, Jambala?" tanya Widura.
"Sedikit," sahut Jambala seraya meringis.
"Dia berhasil menculik satu bayi
lagi," jelas Ki Jumpana.
"Kami akan segera mengejamya, Ki.
Dia sudah terluka cukup parah," kata Widura.
"Bagaimana dengan Jambala"
Kelihatannya dia mengalami luka juga,"
tanya Ki Jumpana seraya memandangi
Jambala. "Aku tidak apa-apa, Ki. Ini biasa,"
sahut Jambala. "Kau masih bisa jalan, Jambala?"
tanya Widura sedikit khawatir juga.
"Lari pun aku sanggup," sahut Jambala.
"Bagus. Ayo berangkat, selagi dia
belum pergi jauh," ajak Widura.
"Kami pergi dulu, Ki," pamit
Sentaka. "Salam untuk Kinanti," seloroh Jambala.
"Kunyuk, kau...! Masih bisa
bergurau juga," rungut Widura seraya menepuk pundak adik seperguruannya.
Jambala hanya meringis saja.
Kemudian, ketiga murid Padepokan Awan
Perak itu bergerak masuk ke dalam Hutan Alas Waru. Ki Jumpana dan semua penduduk
Desa Jati Wengker yang berada di
perbatasan, hanya memandangi sampai
ketiga pemuda itu hilang ditelan
lebatnya hutan.
"Apa mungkin mereka bisa
kembali...?" tanya Ki Ampal seperti untuk dirinya sendiri.
"Mudah-mudahan saja mereka
selamat," ujar Ki Jumpana.
Kepala desa itu memerintahkan
warganya untuk kembali ke rumah
masing-masing. Sedangkan yang bertugas
jaga malam, kembali ke pos
masing-masing. Memang tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan tak seorang pun
yang mau menanggung akibat bila harus
menembus Hutan Alas Waru pada malam hari begini. Terlebih lagi, mereka juga
melihat sendiri kalau si Iblis Seribu
Nyawa yang telah menculik bayi-bayi dan membunuh beberapa penduduk, masuk ke
dalam hutan itu.
Dan memang sejak kedatangan Ki
Jongkor, Hutan Alas Waru jadi semakin
angker bagi seluruh penduduk Desa Jati
Wengker. Mereka semua kini sudah tahu
kalau di dalam hutan itulah tempat
tinggal si Iblis Seribu Nyawa. Sosok yang selama ini sangat ditakuti, dan
dibenci. Ki Jumpana menghentikan ayunan
kakinya saat melihat Kinanti
berlari-lari menghampiri. Ki Ampal juga ikut berhenti melangkah, dibarengi empat
orang pengawal yang selalu mendampingi
ke mana saja Ki Jumpana pergi. Kinanti
mengatur napasnya sebentar begitu berada di depan ayahnya.
"Kenapa kau ke sini, Kinanti?" tegur Ki Jumpana.
"Kudengar, dia muncul lagi. Benar, Ayah...?" tanya Kinanti masih dengan napas
agak tersengal.
"Benar," Ki Ampal yang menyahuti.
"Lalu, ke mana Kakang Widura?" tanya Kinanti lagi.
"Mengejar ke dalam hutan, bersama Jambala dan Sentaka," sahut Ki Jumpana memberi
tahu. "Ayah membiarkan saja...?"
Tersirat kecemasan di wajah gadis
ini. Ki Jumpana tersenyum, lalu
menghampiri anak gadisnya ini dan
mengajaknya melangkah. Laki-laki
setengah baya itu melingkarkan tangannya di pundak Kinanti.
"Rupanya kau sudah besar, Kinanti,"
kata Ki Jumpana tidak teriepas dari
senyumnya. "Ayah...," Kinanti jadi manja.
Wajah gadis itu menyemburat merah
menahan malu. Ki Jumpana tahu, ada
perubahan pada diri anak gadisnya sejak kedatangan Widura ke desa ini. Bahkan
beberapa kali Kinanti kelihatan bicara
berdua saja bersama murid utama
Padepokan Awan Perak itu. Sebagai orang tua, Ki Jumpana sudah bisa mengerti, dan
tidak keberatan sama sekali.
Sementara malam terus merayap
semakin larut. Beberapa orang masih
terlihat bergerombol. Bahkan setiap
rumah telah diterangi pelita atau obor.
Maka suasana di desa itu kini jadi terang benderang, seperti sedang mengadakan
pesta panen. Hampir semua laki-laki di
desa ini berada di luar rumah, membawa
senjata yang bisa digunakan. Keadaan di Desa Jati Wengker ini seperti dalam
keadaan perang saja. Di mana-mana
terlihat orang membawa senjata dari
berbagai bentuk dan jenis.
"Sampai kapan keadaan ini akan
berlangsung...?" desah Ki Jumpana dalam hati.
*** Sementara itu di dalam Hutan Alas
Waru, sesosok tubuh hitam berlari-lari
sambil memeluk seorang bayi berusia
beberapa bulan dalam dadanya. Bayi itu
seperti tertidur lelap. Sosok tubuh itu agak terseok-seok, dan terus berlari.
Tidak dihiraukannya lagi darah yang
bercucuran keluar dari punggungnya. Dia terus berlari menuju sebuah pondok kecil
yang hanya diterangi sebuah lentera di
bagian beranda depan.
"Uhk...!" dia mengeluh begitu sampai di depan pondok.
Dengan tangan agak bergetaran,
sosok itu mengetuk pintu pondok yang
tertutup rapat Berkali-kali pintu itu
diketuk. Tak berapa lama kemudian, pintu terbuka. Tampak seorang laki-laki
berusia sekitar dua puluh lima tahun,
muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia tampak terkejut melihat sosok tubuh
hitam yang berada di depan pintunya.
"Karmapati.... Kenapa kau...?"
Sosok tubuh hitam itu tidak
menjawab, dan langsung menyerahkan bayi yang berada di dalam gendongannya. Lalu,
dia cepat menerobos masuk. Dan begitu
berada di dalam, tubuhnya jatuh
terguling di lantai. Pemuda berbaju
merah itu bergegas menutup pintu, dan
menaruh bayi yang tampak tenang itu di
atas dipan kayu dekat pintu. Kemudian
bergegas dihampirinya sosok tubuh hitam itu.
"Apa yang terjadi...?" tanya pemuda berbaju merah ini seraya membuka
selubung yang menutupi kepala orang
berbaju serba hitam itu.
"Jangan banyak
tanya! Berikan totokan di punggungku!" bentak orang berbaju hitam yang dipanggil Karmapati
itu. Temyata di balik selubung kain
hitam, tersembunyi seraut wajah cukup
tampan. Mulutnya meringis saat di
punggungnya menerima beberapa totokan.
Darah langsung berhenti mengalir. Pemuda berbaju merah itu membantu Karmapati
berdiri, dan memapahnya menuju
pembaringan dari kayu. Karmapati
merebahkan tubuhnya di sana.
"Ambilkan aku air, Legawa," pinta Karmapati.
Pemuda berbaju merah yang bernama
Legawa itu bergegas menuang air dari
dalam kendi tanah liat, ke dalam gelas
bambu. Kemudian diberikannya pada Karmapati. Air dingin itu cepat berpindah ke perut Karmapati
"Apa yang terjadi" Kenapa sampai
teriuka begini?" tanya Legawa.
"Ini semua gara-gara murid si
keparat Wasista!" desis Karmapati.
"Sudah kukatakan, sebaiknya kita
pindah ke desa lain dulu. Tapi kau masih tetap saja nekat masuk ke desa itu,"
Legawa tampak menyesalkan kejadian ini.
"Tanggung, Legawa. Dan semuanya
akan selesai," tegas Karmapati.
Legawa diam saja. Dibantunya
Karmapati saat membuka bajunya. Lalu,
dibersihkannya darah yang melekat di
punggung. Setelah membubuhkan obat yang membuat Karmapati meringis, Legawa
membalut luka itu dengan kain bersih.
"Bagaimana upacara nanti?" tanya Karmapati setelah bisa duduk bersila.
"Sudah kusiapkan semua," sahut Legawa.
"Aku rasa, ini yang terakhir,
Legawa. Apa sudah cukup semuanya?"
"Tinggal tiga lagi," sahut Legawa.
"Keberhasilan sudah membayang di
depan mata, Legawa. Dunia persilatan
akan gempar. Aku puas bisa melaksanakan semua ini," jelas Karmapati disertai
senyumnya yang terkembang Iebar.
"Tapi kau teriuka begini,
Karmapati. Sebaiknya tugasmu kugantikan saja. Biar aku yang mencari sisanya,"
usul Legawa. "Luka ini tidak akan bisa
menghalangiku, Legawa."
"Bagaimanapun juga, kau harus
istirahat Jangan memaksakan diri, yang
akhirnya akan merugikan dirimu sendiri,"
Legawa menasihati.
"Kau akan mencari ke mana?"


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak ingin berpindah dari Desa Jati Wengker, bukan..." Aku akan
memperoleh sisanya di sana juga. Hm....
Apa masih ada bayi di sana, Karmapati?"
"Lebih dari cukup."
"Mudah-mudahan saja aku tidak
bertemu ketiga murid Padepokan Awan
Perak itu," desis Legawa.
"Yang dua tidak ada apa-apanya,
Legawa. Tapi kau harus hati-hati dengan yang bernama Widura.
Kepandaiannya cukup tinggi, bahkan
hampir menyamai gurunya. Aku sempat
dibuatnya repot," Karmapati
memperingatkan.
"Akan kubuat mereka jatuh bangun.
Lihat saja besok malam. Kau akan
mendengar salah seorang, atau mungkin
ketiganya terkapar tak bernyawa lagi."
"Sudahlah, aku ingin semadi dulu.
Kau kerjakan saja bayi itu. Aku belum
membuka totokannya," ujar Karmapati tidak ingin meneruskan.
"Kau totOk dia..."!" Legawa tampak terkejut.
"Terpaksa, daripada menyusahkan."
Legawa bergegas menghampiri bayi
mungil yang berselimut kain cukup tebal.
Sebentar diperiksanya, keadaan bayi itu kemudian ditatapnya Karmapati yang sudah
dalam sikap bersemadL
"Hanya totokan ringan, tidak akan
membuatnya mati," jelas Karmapati.
"Dia bisa mati kalau tidak segera
kau katakan tadi!" dengus Legawa.
Karmapati tidak menyahuti, karena
sudah memejamkan mata dan menghilangkan semua yang berhubungan dengan dunia.
Jiwa dan pikirannya dikosongkan, menyatu dengan alam sekelilingnya. Sementara
Legawa membawa bayi itu ke bagian
belakang pondok, membiarkan Karmapati
bersemadi untuk memulihkan kesehatan
tubuhnya. *** Pagi baru saja datang. Ayam jantan
berkokok bersahut-sahutan.
Burung-burung berkicau menyambut
datangnya sang surya, yang akan
menerangi mayapada. Di dalam Hutan Alas Waru, terlihat ketiga murid Padepokan
Awan Perak berjalan lesu menembus
lebatnya hutan ini. Semalaman mereka
tidak tidur, menjelajah hutan yang Iebat ini. Mereka memang tengah mencari si
penculik bayi yang mengacau Desa Jati
Wengker. Bahkan beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru.
"Ke mana lagi kita cari, Kakang"
Rasanya seluruh hutan sudah dijelajahi, tapi tidak juga bertemu iblis keparat
itu," nada suara Jambala terdengar kesal.
"Iya, nih. Seluruh tulangku rasanya seperti akan copot," keluh Sentaka.
Widura menghentikan langkahnya. Dia
juga sebenarnya sudah letih. Semalaman
mereka menerobos hutan yang Iebat ini,
tanpa membawa sedikit hasil yang
menggembirakan. Sosok serba hitam yang
mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa itu seperti lenyap ditelan hutan ini.
Jambala dan Sentaka langsung
menghem-paskan tubuhnya, menggeletak di rerumputan yang masih dibasahi embun.
"Sebaiknya kita kembali saja ke Desa Jati Wengker, Kakang. Barangkali saja
malam nanti kita beruntung," usul
Sentaka. "Aku jadi penasaran. Apa benar orang itu si Iblis Seribu Nyawa...?" gumam Widura
tanpa menghiraukan celotehan
kedua adik seperguruannya.
"Sudah jelas dia mengaku begitu,
Kakang," dengus Jambala.
"Orang mengaku siapa pun, bisa saja.
Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi,"
bantah Widura. "Lagi pula, untuk apa dia menculik bayi...?"
"Mungkin saja waktu itu belum mati, dan sekarang sedang menyempurnakan
ilmunya lagi," kilah Sentaka.
"Segala kemungkinan bisa saja
terjadi. Dan yang pasti, kalau kita sudah tahu, siapa sebenamya penculik bayi
itu," sergah Jambala.
Mereka jadi terdiam, sibuk dengan
pikiran masing-masing. Widura
menyandarkan punggungnya ke pohon
beringin yang sangat besar dan menjulang tinggi. Pandangannya beredar
berkeliling. Hanya pepohonan saja yang
terlihat di sekitamya. Sementara Sentaka dan Jambala sudah bangkit berdiri,
langsung menyibakkan rerumputan yang
menempel di tubuh.
"Ayo kita kembali ke Desa Jati
Wengker, Kakang," ajak Jambala.
Ketiga murid Padepokan Awan Perak
itu kembali berjalan. Mereka terus
berbicara, saling bertukar pikiran
membahas penculikan bayi-bayi di
desa-desa sekitar Hutan Alas Waru. Tanpa ada yang menyadari, pembicaraan itu
didengar seseorang yang duduk di balik
pohon, tempat Widura tadi menyandarkan
punggungnya. Dia adalah seorang pemuda
berwajah tampan, mengenakan baju rompi
putih. Gagang pedangnya yang berbentuk
kepala burung, menyembul dari balik
punggungnya. Pemuda itu baru menampakkan diri
setelah ketiga pemuda murid Padepokan
Awan Perak jauh meninggalkan tempat ini.
Dia melangkah memutari pohon, dan
berdiri tegak memandangi ketiga pemuda
yang semakin jauh, dan lenyap ditelan
lebatnya Hutan Alas Waru ini.
"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.
*** 4 Tiga malam berturut-turut terjadi
penculikan bayi di Desa Jati Wengker.
Bahkan selama dua malam ini, tidak
sedikit penduduk desa yang jadi korban.
Dan kali ini, bukan sosok tubuh hitam
yang muncul. Tapi sosok tubuh merah yang seluruh kepala dan wajahnya terselubung
kain merah. Kemunculannya lebih gila
lagi daripada sosok tubuh hitam beberapa waktu lalu. Bahkan sepertinya sengaja
menampakkan diri, membunuhi beberapa
penduduk, lalu menghilang di dalam Hutan Alas Waru.
"Gila! Ini benar-benar sudah
keterlaluan!" geram Widura berang.
Pemuda itu memandangi mayat-mayat
penduduk Desa Jati Wengker yang
bergelimpangan di sekitamya. Ada sekitar dua belas orang tergeletak tak
bernyawa. Sedangkan sosok tubuh merah yang mereka kejar, menghilang di dalam Hutan Alas
Waru. "Aku menduga kalau dia bukan orang yang kemarin, Kakang," duga Sentaka yang
sempat bertarung cukup lama juga sebelum Widura dan Jambala datang membantu.
"Kau benar. Kita menghadapi dua
orang gila yang menjengkelkan," desis Widura.
"Aku rasa, sudah saatnya Eyang
Wasista diberi tahu," saran Jambala.
"Aku tidak bermaksud meremehkan
kalian bertiga. Tapi keadaan semakin
gawat. Dan kalau didiamkan terus,
bisa-bisa seluruh penduduk desa ini
habis dibantai. Orang-orang itu semakin nekat dan gila saja," sergah Ki Jumpana.
"Aku yang akan memberi tahu Eyang
Wasista, Ki," kata Widura. "Ayo, Jambala, Sentaka...."
"Kalian akan pergi sekarang?" tanya Ki Jumpana.
"Benar, Ki. Agar besok pagi sudah
sampai di sini lagi bersama Eyang
Wasista," sahut Widura.
Ki Jumpana tidak mencegah lagi
Widura meminta Jambala menyiapkan kuda.
Bergegas Jambala berlari ke rumah Ki
Jumpana untuk menyiapkan kuda. Sedangkan Ki Jumpana sendiri memerintahkan warga
desanya untuk mengurus mayat-mayat yang masih bergelimpangan.
"Bayi siapa lagi yang diculik malam ini, Ki?" tanya Widura.
"Tidak seorang pun bayi yang diculik
malam ini," sahut Ki Jumpana.
"Tidak ada penculikan bayi"
Aneh...," desis Widura seakan-akan tidak percaya.
"Aku sendiri tidak tahu. Setelah
tiga malam berturut-turut menculik bayi, dan dua malam belakangan ini mereka
muncul tanpa menculik bayi seorang pun,"
jelas Ki Jumpana, juga keheranan.
Widura terdiam. JPandangannya
dilayangkara kearah tempat Kinanti
terlihat berdiri di samping rumah
seorang penduduk bersama empat orang
gadis lain. Setelah berbicara sebentar
pada Ki Jumpana, Widura menghampiri
Kinanti yang sejak tadi berdiri saja di samping sebuah rumah penduduk yang
beberapa malam ini selalu terang
benderang. Empat gadis lain yang bersama Kinanti, segera menyingkir begitu
melihat Widura datang.
"Kudengar kau akan kembali ke
padepokan malam ini juga, Kakang...?"
tanya Kinanti mendahului, begitu Widura berada dekat di depannya.
"Terpaksa. Aku harus memberi tahu
Eyang Wasista," sahut Widura.
"Apa kehadiran Eyang Wasista bisa
merubah keadaan?" tanya Kinanti seperti menyangsikan.
"Kurasa, hanya Eyang Wasista yang
bisa mengatasi keadaan ini. Kalau mereka memang benar orang-orangnya si Iblis
Seribu Nyawa, hanya Eyang Wasista yang
bisa menghadapinya. Terlebih lagi, bila si Iblis Seribu Nyawa memang benar-benar
masih hidup."
"Aku sudah dengar pertarungan
antara Iblis Seribu Nyawa melawan Eyang Wasista. Bahkan beberapa ketua padepokan
juga ikut dalam pertempuran itu," kata Kinanti lagi.
"Tapi apa benar si Iblis Seribu
Nyawa masih hidup" Waktu itu, kan banyak mata yang melihat kalau dia sudah
mati." "Inilah yang membuatku tidak
mengerti, Kinanti. Hanya Eyang Wasista
sajalah yang bisa menjernihkan
semuanya," sahut Widura agak mendesah.
"Kakang Widura...!" tiba-tiba terdengar teriakan memanggil.
Widura berpaling. Temyata yang
berteriak tadi adalah Jambala, yang
sudah berada di punggung kuda bersama
Sentaka. Masih ada satu kuda lagi yang
kosong. Dan kuda itu untuk pemuda ini.
"Aku harus segera pergi, Kinanti,"
pamit Widura. "Berapa lama?" tanya Kinanti.
"Besok pagi aku sudah kembali lagi ke sini," sahut Widura.
"Hati-hati, Kakang...," hanya itu yang bisa diucapkan Kinanti.
Sebentar mereka saling
berpandangan, kemudian Widura memutar
tubuhnya. Kakinya melangkah cepat
menghampiri kedua adik seperguruannya
yang sudah menunggu di atas punggung kuda masing-masing. Dengan gerakan ringan
sekali, Widura melompat naik ke punggung kuda. Sebentar ditatapnya Kinanti yang
juga tengah memandanginya. Kemudian,
pemuda itu menggebah kudanya, diikuti
Jambala dan Sentaka.
"Jangan khawatir, Kinanti. Kakang
Widura pasti kembali!" teriak Jambala menggoda.
"Hiya! Hiya...!"
Kinanti hanya tersipu saja
mendengar teriakan Jambala. Sementara
ketiga pemuda Padepokan Awan Perak sudah jauh meninggalkan Desa Jati Wengker
ini. Mereka memacu cepat kudanya, menembus
pekatnya malam.
*** Widura, Jambala dan Sentaka terus
memacu kudanya semakin jauh meninggalkan Desa Jati Wengker. Malam yang begitu
pekat dan berkabut memang menyulitkan
untuk memandang jauh. Sehingga ketika
sebuah bayangan hitam berkelebat, tak
ada yang sempat melihat. Bayangan hitam itu meluruk deras ke arah Widura yang
berkuda paling depan. Tapi sebelum
bayangan hitam itu sempat mengenai tubuh Widura, Sentaka sudah melihat lebih
dulu. "Awas, Kakang...!" seru Sentaka memperingatkan.
"Uts! Yeaaah...!"
Widura langsung melentingkan tubuh,
melompat dari punggung kudanya yang
masih berlari cepat Dua kali pemuda itu berputaran di udara, lalu manis sekali
mendarat di tanah. Sementara Sentaka
menghentikan lari kudanya, Jambala terus menggebah kudanya mengejar kuda Widura.
"Hup!"
Sentaka melompat turun dari
punggung kudanya, langsung mendarat di
samping Widura. Di depan mereka kini
sudah berdiri sesosok tubuh hitam yang
seluruh kepalanya terselubung kain
hitam. Sehingga, wajahnya sulit
dikenali. "Kau rupanya...," desis Widura dingin.
"Tidak ada gunanya kalian kembali ke padepokan. Mereka sudah musnah!" dengus
sosok tubuh hitam itu.
"Setan keparat...! Kubunuh kau!"
geram Sentaka langsung memuncak
amarahnya. "Hiyaaat...!"


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sret! Wuk! Cepat sekali Sentaka
melompat menerjang orang berbaju serba hitam itu.
Pedangnya sudah tercabut dan langsung
ditebaskan ke arah Ieher orang itu. Namun dengan hanya sedikit mengegoskan
kepalanya, orang berbaju serba hitam itu berhasil menghindari tebasan pedang
Sentaka. "Hiyaaa...!"
Saat itu Widura juga melompat
menyerang begitu serangan Sentaka tidak membawa hasil. Dua kali Widura
melepaskan pukulan cepat dan beruntun.
"Hait...!"
Orang berbaju serba hitam itu
meliuk-liukkan tubuh, menghindari
serangan Widura. Dan dia cepat melompat mundur beberapa langkah. Belum lagi
orang itu sempat menarik napas lega,
Sentaka sudah menyerang cepat dengan
permainan pedangnya.
Di saat pertarungan itu
berlangsung, Jambala datang sambil
menuntun kuda Widura. Dia langsung
melompat turun dari kudanya, dan terjun ke dalam kancah pertempuran untuk
membantu kedua saudara seperguruannya.
Menghadapi keroyokan tiga orang murid
Padepokan Awan Perak, tampaknya orang
berbaju serba hitam itu tidak mengalami kesulitan.
Gerakan-gerakannya sungguh lincah
dan ringan, sehingga terasa sukar bagi
ketiga pemuda itu untuk memasukkan
serangan. Bahkan dalam beberapa jurus
saja, Sentaka dan Jambala sudah terkena pukulan telak Tapi kedua pemuda itu
tidak patah semangat. Mereka kembali bangkit
dan melakukan serangan lagi.
"Modar...!" tiba-tiba orang berbaju serba hitam itu berseru lantang.
Dan tiba-tiba saja tangan kanannya
dikebutkan ke depan, tepat menghantam
dada Jambala yang berada dalam jangkauan pukulannya. Begitu cepatnya pukulan itu
datang, sehingga Jambala tidak sempat
lagi menghindar.
Des! "Akh...!" Jambala terpekik nyaring.
Pemuda itu terpental sejauh dua
batang tombak. Dari mulutnya
menyemburkan darah kental agak
kehitaman. Sebentar Jambala menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi.
"Keparat...!" desis Widura geram melihat Jambala tidak bangun-bangun
lagi. Sret! "Hiyaaat..!"
Kemarahan Widura sudah mencapai
batas takaran, sehingga pedangnya segera dicabut. Langsung pedangnya dikebutkan
ke arah dada orang berbaju serba hitam
itu. Tapi manis sekali orang itu berhasil mengelak, dan cepat menarik kakinya ke
belakang beberapa tindak.
Pada saat itu, Sentaka melompat
menerjang dari arah kiri. Pedangnya
ditusukkan dengan kemarahan
meluap-Iuap. Hal
ini membuat pertahanannya jadi terbuka. Dan begitu
pedang Sentaka lewat di depan dada, orang berbaju
serba hitam itu cepat
mengebutkan tangan ke arah perut.
Diegkh! "Ugkh...!" Sentaka mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk begitu
perutnya terkena sodokan keras dan
bertenaga dalam tinggi. Selagi Sentaka
terbungkuk, orang berbaju serba hitam
itu melepaskan satu pukulan di wajahnya.
Begitu kerasnya pukulan orang itu,
sehingga Sentaka terpekik dan kepalanya terdongak ke atas.
"Yeaaah...!"
Belum juga Sentaka bisa melakukan
sesuatu, orang berbaju hitam itu sudah
memberi satu tendangan menggeledek ke
dada. Tendangan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi itu tak
dapat dihindari lagi, tepat menghantam
dada Sentaka. "Aaa...!"
Sentaka terpental sejauh dua batang
tombak. Tubuhnya menghantam sebatang
pohon hingga hancur berkeping-keping.
Pemuda itu menggelepar di antara
reruntuhan pohon, lalu diam tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur deras dari
lubang hidung dan mulutnya.
"Sentaka...," desis Widura agak tersentak, melihat Sentaka juga
menggeletak tak berkutik lagi.
Sambil menggeram marah, Widura
melompat cepat menyerang orang berbaju
serba hitam itu. Pedangnya berkelebat
cepat, mengurung lawannya.
Serangan-serangan Widura yang begitu
cepat dan beruntun, membuat orang
berbaju hitam itu jadi kelabakan
menghindarinya.
Beberapa kali dia terpaksa harus
menjatuhkan diri dan bergulingan di
tanah, menghindari tebasan dan hunjaman pedang Widura. Pemuda murid Padepokan
Awan Perak itu benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan untuk balas
menyerang. Amukannya seperti kesetanan, tidak mempedulikan tenaganya yang
terkuras banyak.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Hampir saja pedang Widura menebas
leher. Untung saja orang berbaju serba
hitam itu segera menarik kepalanya ke
belakang. Tapi sebelum sempat menguasai diri, satu tendangan berputar telah
dilepaskan Widura dengan kecepatan luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Diegkh! "Akh...!" orang berbaju hitam itu menjerit keras.
Tendangan yang dilepaskan Widura
tepat menghantam dadanya. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang sambil
memegangi dada yang terasa sesak ak-bat terkena tendangan Widura tadi. Dan
sebelum keseimbangan tubuhnya bisa
terkuasai, Widura sudah melancarkan
serangan kembali. Pemuda itu meluruk
deras dengan ujung pedang tertuju
langsung ke dada.
"Gila...!" desis orang berbaju hitam itu terbeliak.
Tak ada kesempatan lagi baginya
untuk menghindar. Ujung pedang Widura
sudah begitu dekat ke dada. Tapi sebelum menyentuh kulit dadanya, mendadak saja
berkelebat bayangan merah, disusul
sebuah cahaya keperakan yang berkelebat cepat menghantam pedang Widura.
Trang! "Ikh...!" Widura terpekik kecil.
Cepat pemuda itu menarik pedang, dan
segera melompat mundur beberapa tindak.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping orang berbaju serba hitam sudah
berdiri sesosok tubuh merah. Seluruh
kepala juga terselubung kain merah.
"Rupanya Iblis Seribu Nyawa ada dua orang. Bagus! Biar kalian seribu orang,
malam ini harus mampus di tanganku!"
desis Widura dingin dan menggetarkan.
"Bicaralah sepuasmu, karena
sebentar lagi kau akan menyusul gurumu ke neraka," desis orang yang mengenakan
baju merah. Setelah berkata demikian, orang
berbaju merah itu langsung melompat
menyerang dengan pedang tergenggam di
tangan. Serangannya cepat sekali membuat Widura agak kelabakan menghindarinya.
Tapi pemuda itu cepat menguasai keadaan.
Bahkan berhasil memberi beberapa
serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya. Pertarungan pun kembali
terjadi dengan sengrtnya. Terlebih lagi setelah orang yang berbaju hitam terjun
ke dalam kancah pertempuran mengeroyok
Widura. Menghadapi seorang saja, Widura
sudah harus memeras seluruh
kemampuannya. Apalagi, sekarang ini
harus menghadapi dua orang yang
berkepandaian tinggi. Sehingga dalam
beberapa jurus saja, Widura sudah
benar-benar kewalahan. Dan sekarang ini dia tidak mampu lagi memberi serangan
balasan. Pemuda itu bagai dijadikan bola
mainan, tanpa mampu memberikan
perlawanan lagi. Entah sudah berapa kali tubuhnya menerima pukulan maupun
tendangan keras. Darah sudah mengucur
dari mulut dan hidungnya. Bahkan
pakaiannya sudah robek-robek berlumuran darah. Widura juga tidak tahu lagi,
sudah berapa kali tubuhnya menerima goresan
ujung pedang. Pemuda itu benar-benar sudah tidak
dapat bertahan lagi. Dan kini malah jatuh tersungkur ketika satu tendangan keras
menghantam punggungnya. Dia hanya dapat merintih sambil menggulirkan tubuhnya
perlahan. Saat itu, orang berbaju hitam sudah meluruk deras dengan pedang
tertuju ke dadanya.
"Oh, matilah aku...," desah Widura dalam hati.
Namun begitu ujung pedang orang
berbaju hitam itu hampir menembus dada
Widura, mendadak saja berkelebat cepat
bagai kilat sebuah bayangan putih.
Bayangan putih itu menyambar tubuh
Widura, dan membawanya pergi.
"Setan...!" maki orang berbaju hitam itu geram.
Pedangnya menembus ke dalam tanah
cukup dalam. Bukan hanya dia saja yang
terkejut. Malah orang berbaju merah pun terbeliak matanya melihat bayangan putih
berkelebat cepat menyambar Widura yang
sudah berada di ambang maut.
"Sudah, Karmapati. Ayo kita pergi,"
ajak orang berbaju merah.
"Huh!" orang berbaju hitam itu mendengus kesal.
Sambil menggerutu, kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu.
Kakinya sempat menendang mayat Jambala
yang menghalangi jalannya. Murid
Padepokan Awan Perak yang malang itu
menggelimpang sejauh tiga batang tombak, dan baru berhenti setelah membentur
batu. Dan kini dua orang yang seluruh
kepalanya terselubung kain itu,
berlompatan cepat, lalu menghilang di
dalam kegelapan malam.
*** "Auw...!" Widura mengaduh.
"Sakit..?"
Widura hanya meringis saja sambil
memandangi wajah cantik di depannya.
Dengan lembut, Kinanti merawat luka-luka di tubuh pemuda itu. Di dalam kamar
yang cukup besar ini bukan hanya ada mereka
berdua, tapi juga ada Ki Jumpana, Ki
Ampal, dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Gagang pedangnya yang
berbentuk kepala burung tampak menyembul dari balik punggungnya.
"Untung saja kau masih bisa selamat, Kakang. Aku sudah cemas waktu kau
berangkat tadi," kata Kinanti sambil membalut luka di tubuh pemuda itu.
"Pemuda ini yang menyelamatkan
nyawamu, Widura," sambung Ki Jumpana memberi tahu.
Widura memandang pemuda berbaju
rompi putih yang berdiri di samping Ki
Jumpana. "Terima kasih," ucap Widura.
"Tapi, maaf. Aku tidak bisa
menyelamatkan kedua temanmu," ucap pemuda itu.
Widura terdiam. Dia tahu kalau
Jambala dan Sentaka sudah tewas. Dan dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Yang bertanggung jawab hanya dua manusia
penculik bayi itu. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas kematian Jambala
dan Sentaka, juga beberapa penduduk Desa Jati Wengker.
"Boleh kutahu, siapa namamu,
Kisanak?" tanya Widura setelah bisa menguasai perasaannya.
"Rangga," sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
Widura mencoba bangkit berdiri,
tapi malah meringis merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya. Kinanti membantu
pemuda itu bangkit dari pembaringan.
Gadis itu juga membantu mengenakan
pakaian pemuda itu, Pakaian yang baru,
karena baju Widura tadi sudah tidak
karuan lagi bentuknya.
"Aku harus segera ke padepokan, Ki.
Aku khawatir ucapan mereka benar," kata Widura.
"Kau masih lemah, Widura," Ki Jumpana mencoba mencegah.
"Aku masih kuat berkuda, Ki. Yang
kukhawatirkan, mereka benar-benar telah menghancurkan Padepokan Awan Perak,"
Widura tetap memaksa hendak pergi.
Meskipun Ki Jumpana dan Kinanti
berusaha mencegah, tapi Widura tetap
saja bertekad hendak pergi. Dan meskipun dengan langkah tertatih-tatih, pemuda
itu meninggalkan kamar ini. Kinanti
membantu memapah sampai ke depan rumah
kepala desa ini.


Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menahan nyeri, Widura
melompat naik ke punggung kudanya.
Matanya merayapi wajah Ki Jumpana,
Kinanti, dan Ki Ampal yang juga tengah
memandanginya dengan berbagai macam
perasaan berke-camuk di dalam dada.
Widura memang sudah menceritakan
pertarungannya, hingga mengakibatkan
tewasnya Jambala dan Sentaka.
"Aku ikut denganmu, Widura," pinta Rangga. Widura sebenarnya ingin menolak.
Tapi melihat Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya, dia tidak dapat
lagi menolak. Setelah berpamitan, kedua
pemuda itu menggebah kudanya
meninggalkan rumah kepala desa ini.
Suasana di Desa Jati Wengker masih
kelihatan terang benderang oleh nyala
pelita dan api obor yang terpancang
sepanjang jalan dan di depan-depan
rumah. "Aku belum pernah melihatmu di desa ini. Apakah kau pengembara?" Widura membuka
suara setelah jauh berada di luar Desa Jati Wengker.
"Benar. Aku memang pengembara yang kebetulan lewat dan melihatmu dalam
keadaan mengkhawarirkan," sahut Rangga.
"Terima kasih, kau telah
menyelamatkan nyawaku," ucap Widura.
"Sudah sepantasnya kita saling
menolong," Rangga merendah.
"Ki Jumpana pasti sudah
menceritakan keadaan di desa ini...,"
kata Widura, agak pelan suaranya.
"Sedikit," sahut Rangga.
"Aku menyesal tidak bisa memenuhi
harapan mereka. Aku gagal melaksanakan
tugas yang diberikan guruku," nada suara Widura terdengar mengeluh.
"Kau belum gagal. Hanya saja,
keberuntungan belum berada di pihakmu,"
hibur Rangga. "Aku yakin, suatu saat mereka pasti bisa kau kalahkan."
"Kau hanya menghiburku saja," desah Widura. "Oh, ya.... Bagaimana kau bisa
menyelamatkan aku dari hunjaman pedang
iblis itu?" Widura mengalihkan
pembicaraan. Rangga hanya tersenyum saja, tidak
menjawab pertanyaan itu.
"Aku rasa sukar bagi orang biasa
untuk melakukannya. Aku sendiri tadinya sudah pasrah," kata Widura lagi.
"Seharusnya, kau bisa menyelamatkan diri sendiri. Dan aku juga hanya
kebetulan saja bisa menyelamatkanmu,"
lagi-lagi Rangga merendah.
"Kata-katamu selalu saja menghibur dan merendahkan diri. Aku yakin, kau
bukan hanya pengembara biasa, tapi
seorang pendekar. Apa julukan
kependekaranmu, Kisanak?"
"Panggil saja aku Rangga."
"Kau pasti memiliki nama julukan,"
kejar Widura lagi.
"Apakah itu perlu?"
"Aku sering mendengar nama-nama
pendekar temama dan digdaya. Sepertinya, aku pernah mendengar nama seorang
pendekar yang mirip denganmu. Memakai
baju putih tanpa lengan, membawa pedang bergagang kepala burung dan menunggang
kuda hitam, selain tunggangan anehnya
seekor burung rajawali raksasa. Kalau
tidak salah, julukan pendekar itu...
Pendekar Rajawali Sakti. Apakah itu
dirimu...?"
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum
saja. Diakui kalau pengamatan Widura
memang cermat Rangga memang bergelar
Pendekar Rajawali Sakti. Dan julukan itu sudah tidak asing lagi dalam rimba
persilatan. Bahkan orang-orang di
kalangan persilatan sudah tahu kalau
Pendekar Rajawali Sakti memiliki
tunggangan seekor burung rajawali
raksasa, selain seekor kuda hitam yang
tak ada bandingnya. Namanya, Dewa Bayu.
Kecepatan larinya juga tak ada yang
mengalahkan. Tapi bagaimanapun juga,
Rangga tidak menonjolkan diri. Dan
biasanya orang akan tahu sendiri, siapa dirinya yang sebenarnya.
*** 5 "Iblis...!" desis Widura sambil memandangi padepokannya yang tinggal
puing-puing saja.
Asap tipis masih mengepul di atas
reruntuhan bangunan Padepokan Awan
Perak. Tak ada satu bangunan pun yang
masih berdiri. Semua sudah hancur, rata dengan tanah. Bahkan api masih terlihat
di beberapa tempat
Di antara puing-puing itu terlihat
mayat-mayat berserakan, saling tumpang
tindih. Bahkan beberapa di antaranya
tertimbun reruntuhan bangunan yang
hangus terbakar. Widura melompat turun
dari punggung kudanya, diikuti Rangga.
Mereka melangkah mendekati reruntuhan
bangunan ini. Entah apa yang tengah
berkecamuk dalam batin Widura saat ini.
Rangga hanya bisa melihat wajah pemuda
itu selalu berubah-ubah, dengan sinar
mata memancarkan ketegangan.
"Ohhh...."
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan
rintihan lirih. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian bergegas
mencari sumber rintihan yang hanya
terdengar sesaat itu. Suara itu
terdengar lagi, dan kali ini lebih lirih.
Bahkan hampir saja menghilang ditelan
hembusan angin.
Pendekar Rajawali Sakti dan Widura
melangkah mendekati reruntuhan
Padepokan Awan Perak. Rangga melihat wajah Widura memancarkan ketegangan.
Malaikat Gerbang Neraka 1 Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat Seribu Keping Emas Untuk 2

Cari Blog Ini