Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro Bagian 3
membuat dedaunan saling bergesek mengeluarkan suara berdesir aneh. Bukit ini
disebut Tebing Batu Terjal karena lebih dari setengahnya merupakan batu datar
membentuk dinding curam. Pada dinding curam ini terdapat tiga susunan batu
mendatar lebar seperti susunan sawah bertingkat atau seperti anak tangga.
Di susunan batu ke dua saat itu tampak tiga orang duduk bersila. Mereka duduk
membentuk satu barisan lurus, menghadap ke lamping bukit yang terbuka dan gelap. Tak satupun
bersuara. Tak ada yang bergerak. Mereka duduk diam sambil sesekali saling
pandang namun masing-masing memasang
telinga. Di langit bulan sabit muncul begitu awan hitam yang sejak tadi
menghalanginya bergerak menjauh.
Keadaan diTebing Batu Terjal untuk beberapa
lamanya menjadi agak terang. Namun begitu awan muncul kembali menutupi, suasana
serta merta menjadi pekat menghitam kembali. Orang yang
duduk di ujung kiri- adalah seorang lelaki berusia agak lanjut, bernama Laduliu.
Di samping kanan Laduliu duduklah nenek berambut putih riap-riapan yang bukan
lain adalah Lamahila, sang juru nikah.
Lalu di ujung kanan, di sebelah Lamahila duduk sosok berjubah hitam yang
memiliki wajah seekor burung gagak dan sudah diterka siapa adanya yaitu Hantu
Santet Laknat. Lamahila mengerling pada Laduliu lalu menatap Hantu Santet Laknat Si nenek muka
burung gagak yang mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia memandang ke
depan, menyusuri lereng bukit
sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat
kegelapan yang menambah kecemasan hatinya.
"Wahai, hampir tengah malam ..." kata si nenek bernama Lamahila.
"Yang kita tunggu orang belum juga muncul ...."
Lamahila termasuk orang-orang tua di Negeri
Latanahsilam yang kalau bicara susunan katakatanya suka terbalik-balik.Lelaki bernama Laduliu ikut bicara.
"Hantu Santet Laknat, kau yakin orang itu akan datang ke sini?"
"Harap kalian mau bersabar. Aku yakin dia akan memenuhi janji." Menjawab Hantu
Santet Laknat. Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata begitu tiba-tiba di bawah bukit
sana samar-samar kelihatan satu bayangan putih berkelebat.
"Dia datang!" kata Hantu Santet Laknat. "Laduliu, lekas beri tanda agar dia tahu
kalau kita berada di sini!"
Dari balik pakaiannya Laduliu keluarkan sebuah batu bulat. Benda ini
dilemparkannya di dinding terjal di atasnya. begitu batu dan dinding beradu maka
terdengar letupan keras disertai memerciknya tebaran bunga api yang membuat
tempat itu sesaat menjadi terang. Bayangan putih di bawah sana berhenti
berkelebat. Dia memandang ke atas, memperhatikan percikan bunga api. Sebelum suasana menjadi
gelap kembali orang ini telah melesat ke atas bukit.. Gerakannya hebat sekali
hingga sebelum tujuh hitungan dia sudah berada di susunan ke duaTebing Batu
Terjal. Orang yang baru datang ini segera mengenali Hantu Santet Laknat tadinya dia
mengira si nenek hanya sendirian di tempat itu.
"Wiro, kau tak usah khawatir. Dua orang ini adalah kerabat baikku," kata Hantu
Santet Laknat. " gembira kau datang memenuhi permintaanku."
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede garuk
kepalanya lalu berkata. "Aku sudah datang memenuhi janji. Sekarang harap kau mau
menerangkan apa maksud pertemuan ini."
Nenek Lamahila batuk-batuk beberapa kali. Lalu membuka mulut. "Pemuda asing
bernama Wiro Sambleng ...."
"Wiro Sableng! Bukan Sambleng!" kata pendekar 212 pula dengan mulut
dipencongkan. "Maafkan aku. Lidah tua ini sukar menyebut nama anehmu. Kalau aku bilang Sableng
padahal sableng artinya di negeri ini adalah kencing kuda. Hik ... hik!
Wahai anak muda, negeri sebelum kami
mengungkapkan maksud pertemuan ini, biarlah
Nenek Hantu Santet Laknat menceritakan sesuatu menyangkut dirinya. Ini sangat
penting. Karena tanpa kau mengetahui siapa dia adanya, sukar bagimu untuk
menerima kenyataan ...."
"Aku tidak mengerti ..." ujar Wiro sambil garuk kepala.
"Walaupun tidak lama mengenal tapi rasanya aku sudah tahu siapa adanya nenek
ini. Lahirnya memang jelek, tapi hatinya ternyata baik ... ." Hantu Santet Laknat menyeringai
mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
"Terima kasih, kau mau mengatakan apa adanya.
Mukaku memang jelek tapi hatiku sekarang mungkin tidak seperti yang kau katakan
itu. Untuk menyingkat waktu biarlah aku mulai saja." Hantu Santet Laknat memberi
isyarat agar Wiro duduk bersila di
hadapannya. Setelah Wiro duduk di batu maka
nenek inipun memulai penuturannya.
"Aku dilahirkan tanpa mengenal siapa ayahku siapa ibuku. Juga aku tidak pernah
tahu apakah aku mempunyai kakak atau adik. Aku dipelihara dan dirawat oleh
seorang perempuan tua bernama
Lamagundala yang kemudian kuketahui adalah
seorang saudara sepupu dari nenek Lamahila yang duduk di sebelahku ini. Menurut
orang yang mengetahui, ketika aku dilahirkan keadaanku tiada beda seperti bayi-bayi anak
manusia yang dilahirkan ke muka bumi ini ...."
. "Tapi mengapa ...." Wiro memotong penuturan si nenek. Hantu Santet Laknat
angkat tangan kanannya. "Aku tahu maksud ucapanmu. Biarlah aku menerus kan cerita." Wiro garuk kepala,
si nenek melanjutkan kisahnya. "Aku dilahirkan tiada beda dengan bayi-bayi
lainnya. Tanpa cacat, tanpa kelainan apapun.
Namun memasuki hari ke empat puluh dan
seterusnya terjadi perubahan pada wajahku. Sedikit demi sedikit mukaku mulai
ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam. Hidung dan mulutku menyatu, lalu
berubah membentuk paruh burung. Sepasang
mataku mengecil dan bola mata menyembul hitam keluar. Rambut tipis di kepalaku
berubah menjadi bulu-bulu kasar. Ketika aku berusia tiga ratus enam puluh hari,
kepala dan keseluruhan wajahku telah berubah menjadi wajah seekor burung gagak,
seperti yang kau lihat saat ini ...."
Pendekar 21 2 sampai ternganga mendengar-cerita si nenek. "Nek, apa kau atau
orang lain, mengetahui mengapa bisa terjadi perubahan aneh atas wajahmu itu?"
"Lamagundala, orang yang merawatku, yang kini telah tiada memberitahu. Perubahan
yang kualami adalah akibat dosa warisan yang menjadi kutuk turun temurun. Konon
jika kelak aku mempunyai anak maka anak itu akan memiliki wajah seperti wajahku.
Aku tidak tahu dosa apa yang telah
diperbuat kedua orang tuaku. Dosa apa yang telah dilakukan kedua orang tua
mereka dan seterusnya.
Kini aku anak cucu mereka yang akan kejatuhan warisan kutuk ini. Selama dunia
terkembang, selama roh masih tergantung antara langit dan bumi maka konon selama
itu pula dosa warisan itu akan
menimpa keturunan kami."
Pendekar 212 jadi merinding. Dia garuk-garuk kepala, menatap pada si nenek Ada
rasa kasihan tapi juga ada rasa ngeri dalam hatinya.
"Nek, apakah tidak ada orang pandai, atau mungkin para Peri dan para Dewa yang
dapat melepaskan dirimu dari dosa warisan atau kutuk yang kau alami?"
Hantu Santet Laknat mamandang pada sang juru nikah Lamahila. Nenek berambut
riap-riapan ini anggukan kepala. Hantu Santet Laknat lalu bersuara menjawab
pertanyaan Pendekar.212 tadi.
"Kutuk yang jatuh padadiriku sulit untuk ditelusuri pangkal sebabnya. Selain itu
tidak ada satu makhluk pun baik di bumi maupun di atas langit sana yang mampu
membebaskan diriku dari dosa warisan
kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah hatiku, merubah jalan pikiranku. Lebih
lanjut merubah diriku menjadi seorang buruk rupa dan jahat hati. Aku melakukan
kekejian apa saja menurut sukaku. Apa lagi jika ada yang mendorong. Lebih celaka
ketika aku jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan sempat menjadi budak
suruhannya ...."
"Kalau begitu, mungkin Hantu Muka Dua yang bisa menolongmu lepas dari kutuk dosa
warisan itu," kata Wiro pula. Hantu Santet Laknat gelengkan kepala.
"Aku pernah mendapat petunjuk yang datangnya dalam mimpi. Konon kutuk tersebut
bisa disingkirkan sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni ketika otak keji
dan hati jahatku berubah bersih, atau aku tenggelam dalam penyesalan mendalam.
Atau ketika kasih suci memasuki diriku ..."
"Kalau begitu bukankah gampang bagimu untuk bisa melepaskan diri dari kutukan
itu" Kau hanya tinggal merubah semua sifatmu, meninggalkan jalan sesat Berbuat
baik dan mengasihi sesama insan ..." kata Wiro pula. Wajah burung gagak Hantu
Santet Laknat mendongak ke langit kelam. "Tidaksemudah itu melakukan apa yang
kau katakan. Hati jahatku sudah mengakar sedalam samudra. Otak kejiku
sudah menjulang setinggi langit. Namun sesekali ketika tabir gelap itu
tersingkap secara aneh, aku menyadari bahwa semua yang aku telah perbuat sungguh
merupakan dosa besar, maka ketika
penyesalan menyelinap ke dalam hatiku dan ada kehendak untuk ingin hidup baik,
pada saat itulah kutukan tersebut lenyap. Wajah burukku berubah ke wajah asli.
Tapi tidak bertahan lama. Paling lama se jarak jatuh dan mengeringnya air mata
penyesalan ."
"Nek, dari kebaikan yang telah kau lakukan terhadapku, aku yakin kau memang
sudah sampai pada titik penyesalan itu ...."
"Memang sudah, dan aku berhasil. Tapi seperti kataku tadi hanya selama jatuh
sampai keringnya air mata di pipiku ...."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Memang, kau tentu saja tidak bisa menangis terus
seumur-umur ...."
"Pemuda asing," tiba-tiba nenek juru nikah Lamahila membuka mulut.
"Sentuhan kasih telah merubah hati kerabatku ini.
Jika kau mau, aku bisa menolong dirinya hingga kutuk dosa warisan akan lenyap
dari dirinya untuk selama-lamanya. Aku percaya, aku sudah
menyelidik, kau bisa menolohgnya ...."
"Menolong bagaimana?" tanya Wiro
"Kau mau menolongnya?"
"Tentu saja," jawab Wiro
"Benarkan" Kau berdusta tidak?" menegaskan Lamahila.
"Masakan aku mau berselingkuh janji menolong orang yang telah menyelamatkan
diriku," jawab Wiro pula. Tapi hati kecilnya mulai bertanya-tanya apa maksud
semua kata-kata si nenek juru nikah itu.
Tiba-tiba meluncur pertanyaan berikutnya dari mulut Lamahila.
"Kau bersedia menikahinya?" Pendekar 212 tersurut dua langkah mendengar
pertanyaan Lamahila itu.
LAMAHILA tertawa datar. Wiro pandangi nenek
berambut putih itu sesaat lalu menoleh pada Hantu Santet Laknat Pemuda ini
akhirnya geleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak mengira kau akan menanyakan hal itu.
Tentu saja aku tidak bisa .... Tidak mungkin aku kawin dengan Hantu Santet
Laknat!" Lamahila melirik pada Hantu Santet Laknat yang saat itu serta merta
tundukkan kepala begitu mendengar ucapan Pendekar 212. Hatinya terpukul. Matanya
yang hitam kecil menonjol tampak mulai berkaca-kaca.
"Mengapa tidak bisa. Mengapa tidak mungkin"
Bukankah kau sudah berkata akan bersedia meno longnya?" Lamahila berucap.
"Betul, tapi mana aku menduga pertolongan yang kau maksudkan itu adalah dengan
cara mengawi ninya. Aku ...."
"Aku tahu, kau tidak mau karena kerabatku ini adalah seorang nenek buruk bermuka
burung gagak hitam. Tapi anak muda sebentar tagi kau akan melihat bentuk tubuh
dan raut wajahnya yang
sebenarnya .... Saat ini dia berada dalam kesedihan yang mendalam mendengar
kata-katamu tadi. Dia menyadari dirinya sebenarnya siapa. Walau
penyesalan dan niat untuk kembali ke jalan baik sudah memasuki hati nuraninya
namun dia hanya mampu bertahan sementara. Lihat dirinya wahai pemuda asing.
Pandang baik-baik. Apakah kau nanti masih tega untuk menampik permintaan
kami ... ?"
Wiro memandang ke arah Hantu Santet Laknat. Saat itu si nenek masih tundukkan
kepala. Bahunya bergetar. Air mata mulai meluncur ke pipinya yang tertutup bulu.
Mulutnya ingin mengeluarkan seribu ucapan tapi dia tidak kuasa menyampaikan.
Wahai makhluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup tersiksa dalam kutuk yang
jatuh menimpa dirimu bukan karena mau dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan
tahun kau tenggelam dalam kesesatan. Menyantet dan membunuh orang-orang yang tak
berdosa. Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika
kau mengambil keputusan bahwa kau bisa
meninggalkanjalan sesat dan memilih hidup baik, ternyata tidak ada orang yang
mau menolongmu.
Wahai makhluk tua berwajah buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam
keadaan sengsara begini rupa seumur bumi terbentang, seusia langit
terkembang .... "
Hantu Santet Laknat seka deraian air mata yang jatuh ke pipinya. Pada saat
itulah Pendekar 212
keluarkan seruan tertahan. Matanya membeliak besar, memandang si nenek tak
berkesip. Kakinya kembali bergerak tersurut.
"Apa yang terjadi" Mengapa bisa begini" Jangan jangan dia pergunakan ilmu hitam
untuk merubah dirinya. Tapi .... Astaga, bukankah dia ...."
Di hadapan Wiro, Lamahila dan Laduliu, sosok Hantu Santet Laknat perlahan-lahan
mengalami perubahan. Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya berubah menjadi
sehelai baju panjang berwarna putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya.
Rambutnya yang pendek acak-acakan dan sebagian telah berwarna kelabu berganti
dengan rambut hitam panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke
pinggang. Sosoknya yang seperti pohon lapuk
penuh keriput kini berganti menjadi sosok yang bagus mulus, langsing semampai.
Dan yang membuat Pendekar 212 jadi tercekat besar adalah ketika menyaksikan perubahan
pada wajah si nenek.
Wajah yang sebelumnya berupa wajah burung
gagak hitam kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang luar biasa cantiknya.
Wiro garuk-garuk kepala. Matanya masih tak berkedip.
"Kau .... Kau! Wajahmu sama dengan wajah gadis berpakaian putih yang kulihat
beberapa malam lalu di dekat gubuk di puncak bukit! Apa ... apa kau gadis yang
sama?" Hantu Santet Laknat yang berubah sosok dan
bentuk itu tidak menjawab. Dia hanya menatap dengan pandangan kuyu pada pendekar
212. Lalu terdengar suara Lamahila.
"Pemuda asing, gadis berpakaian putih yang kau lihat beberapa malam lalu di
puncak bukit itu memang sama dan adalah juga gadis yang kini
duduk di hadapanmu. Namanya sebenarnya adalah Luhrembulan.
Perhatikan baik-baik. Karena begitu air matanya mengering, sosok dan wajahnya
akan kembali ke bentuk semula, buruk menjijikkan. Mudah-mudahan apa yang kau
saksikan dapat menyentuh hatimu untuk menolongnya secara tulus ...."
Wiro gigit-gigit bibirnya sendiri seolah untuk memas tikan dia masih merasa
sakit pertanda bahwa dia tidak bermimpi. Lalu tangannya mulai menggaruk.
Dia hendak mengusap matanya tapi saat itu sosok dan wajah gadis cantik di
hadapannya telah berubah kembali ke sosok dan wajah Hantu Santet Laknat.
"Anak muda, setelah menyaksikan kenyataan ini, apakah sekarang hatimu bisa
berubah" Apakah kau masih tega untuk tidak mau menolongnya?"
Lamahila bertanya.
Masih menggaruk kepala dan masih menatap
kearah Hantu Santet Laknat, Wiro menjawab. "Aku menyaksikan satu keanehan yang
menyentuh hati.
Tapi aku juga tahu kepandaian Hantu Santet Laknat Dia bisa merubah ujudnya
menjadi apa saja yang dikehendakinya ...,"
"Memang dia mempunyai ilmu hitm yang disebut llmu Bersalin Wajah Tapi aku
bersumpah demi segala roh yang tergantung di antara langit dan bumi, demi para
Peri dan para Dewa. Yang kau saksikan tadi adalah satu kenyataan. Hantu Santet
Laknat tidak menipumu dengan ilmu hitamnya.
Apakah hatimu masih membeku dan perasaanmu
masih bimbang untuk memenuhi permintaanku demi menolongnya"
Kau bisa membayangkan bagaimana sengsaranya
dia. Puluhan tahun hidup tersiksa dalam kutuk akibat dosa warisan nenek
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
moyangnya yang dia sendiri tidak tahu siapa mereka adanya atau dosa apa yang
telah mereka lakukan!"
"Demi Tuhan, aku ingin menolong. Tapi tidak dengan cara mengawininya ...." Wiro
garuk kepala lalu bangkit berdiri dan melangkah mundar-mandir di hadapan tiga
orang yang masih terus duduk bersila di atas batu.
Si nenek bernama Lamahila tertawa perlahan tapi panjang. "Pemuda asing, jangan
kau salah mengerti.
Aku tidak meminta kau mengawininya, tapi
menikahinya!"
Pendekar212 hentikan langkah. Dia menatap pada si nenek juru nikah.
"Aku tidak mengerti. Memangnya nikah dan kawin ada bedanya"!" tanya Wiro.
"Bagiku sama saja. Tapi di negeriku di tanah Jawa memang ada mulut-mulut nakal
berolok-olok. Katanya kalau nikah pakai surat.
. Entah surat apa. Mungkin surat dari Pamong Desa Lalu kalau kawin pakai urat! Ha.
.. ha ... ha!"
Lamahila ikut tertawa. "Aku suka mendengar olok-olok lucu itu. Orang memang bisa
kawin-tanpa nikah.
Tapi orang juga bisa nikah tanpa kawin. Terserah padamu nanti. Kami di sini
tidak punya surat.
Setelah nikah nanti kau mau memgergunakan urat atau bagaimana terserah dirimu.
Hik. .. hik ... hik.
Yang jelas dengan pernikahan ini kau bisa menolong nenek kerabatku ini kembali
ke ujud asalnya untuk selamalamanya ...."
"Nek, apapun istilah yang kau katakan, apakah kawin atau nikah, tetap aku tidak
mungkin melakukannya."
"Setahuku kau masih bujangan. Belum pernah menikah, entah kalau kawin ....
Hik ... hi ... hik!
Orang yang hendak kau nikahi memiliki kecantikan melebihi peri. Apa yang
membuatmu tak mau
menolong" Apakah kau telah mempunyai kekasih di Negeri Latanahsilam ini"
Apa kau tak pernah memikirkan bahwa mungkin kau tak pernah bisa kembali ke
negeri asalmu?"
Wiro jadi terdiam mendengar kata-kata sang juru nikah itu. Tapi hanya sebentar.
Sesaat kemudian dia kembali gelengkan kepala. "Maafkan aku Hantu Santet Laknat .
Aku ingin menolong. Mungkin ada cara lain ...."
Wiro memandang pada Hantu Santet Laknat Si
nenek balas menatapnya dengan pandangan sayu.
Ketika matanya berkaca-kaca kembali wajah aslinya membayang. Hampir raut wajah
itu akan sempurna tiba-tiba lenyap kembali. Lamahila melirik pada Laduliu yang
duduk di sebelahnya. Lelaki ini balas melirik lalu anggukan kepalanya.
"Kalau hatimu begitu teguh dan tak bisa dirubah wahai pemuda asing, aku ataupun
Hantu Santet Laknat tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita berakhir di tempat
ini. Malang nasibmu wahai kerabatku Hantu Santet Laknat Entah sampai kapan kau
akan tetap berada daiam keadaan ujudmu
sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing kita akan segera meninggalkan Tebing
Batu Terjal ini. Namun sebelum berpisah, agar hati sama bersih, tiada perasaan
yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit hati apalagi dendam kesumat, ada baiknya
kita sama sama meneguk air suci yang di sebut embun murni"
Kata-kata Lamahila itu membuat hati dan perasaan Hantu santer laknat jadi
terenyuh. Dia berusaha menabahkan diri agar tidak mengucurkan air mata.
"Kerabatku Laduliu, harap kau segera mengeluarkan empat piala perak yang kau
bawa." Mendengar ucapan Lamahila, lelaki bernama Laduliu segera keluarkan empat
buah-piala kecil terbuat dari perak dari dalam sebuah kantong jerami yang sejak
tadi terletak di atas pangkuannya.
Empat piala itu diletakkannya di atas batu.
Sementara itu dari balik punggungnya Lamahila keluarkan sebuah batangan bambu.
Ketika penyumpal bambu dibukanya, serangkum asap tipis keluar dari dalam bambu menyusul
menebarnya bau yang harum segar. Bau ini mengingatkan Wiro pada Tuak Kayangan
minuman kakek saki berjuluk Dewa Tuak yang selalu dibawanya kemana-mana dalam
dua buah tabung bambu besar.
Dari dalam bambu Lamahila tuangkan sejenis cairan yang sangat bening dan
mengeluarkan cahaya
berkilauan walau tempat itu diselimuti kegelapan malam. Empat piala terisi
penuh. Lamahila gosok-gosok telapak tangannya satu sama lain Idu berkata.
"Semua kerabat yang ada di sini. Sebentar lagi masing-masing kita akan
meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Sebelum pergi mari kita sama meneguk air
suci Embun Murni ini agar hati kita sama-sama bersih ...."
Si nenek yang pertama sekali mengambil piala perak yang terletak di depannya.
Diikuti Hantu Santet Laknat dan Laduliu. Kini tinggal satu piala di atas
pedataran batu.
"Wahai pemuda asing, kalau kau tak mau menolong sahabat kami, apakah kau begitu
tega dan sampai hati tidak mau sama-sama meneguk air suci Embun Murni?"
Wiro garuk kepalanya. Saat itu dia masih berdiri dan memandang pada tiga orang
yang duduk di pedataran batu, yang balas memandang padanya
"Mungkin dia takut kita akan meracuninya!" berkata Laduliu.
"Kalau begitu sebaiknya kau tak usah menyentuh minuman itu. Jika benar kami
bemiat jahat dan minuman ini mengandung racun, biarlah kami
bertiga menemui ajal lebih dulu!"
Habis berkata begitu Lamahila diikuti oleh Hantu Santet Laknat dan Laduliu
segera teguk habis isi piala. Wajah si nenek dan Laduliu kelihatan merah segar.
sedang Hantu Santet Laknat tampak
bercahaya sepasang mata hitamnya. Melihatan itu Wiro jadi merasa tidak enak.
"Kalau cuma minum air dalam piala itu kurasa tak ada salahnya. Bau minuman itu
harum menyegar kan. Jadi pasti bukan air kencing si nenek rambut putih ini,"
kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia garuk kepala lalu duduk bersila di
pedataran batu.
Dengan tangan kanannya diambilnya piala perak lalu air putih bening dan sejuk di
dalam piala ini diteguknya sampai habis. Selesai meneguk air Embun Murni di
dalam piala, wajah Pendekar 212
kelihatan segar kemerah-merahan.
Di dalam tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala mengalir hawa aneh sejuk yang
menimbulkan gerasaan gembira bahagia. Pedataran batu di
samping Tebing Batu Terjal itu terasa sangat lapang.
Hidungnya menghirup hawa harum semerbak seolah dia berada di dalam taman yang
penuh dengan bunga-bunga harum tengah berkembang. Wiro
memandang berkeliling sambil mengulum senyum.
Hatinya membatin.
"Aneh, segala sesuatunya tampak indah di mataku.
Orang-orang yang ada di hadapanku, mereka semua menunjukkan wajah bahagia dan
senang terhadapku. Mereka begitu baik, mengapa aku tidak membalas kebaikan dengan
kebaikan pula" Ah,
hatiku sangat hiba dan kasihan terhadap mereka.
Terutama terhadap nenek benwajah burung gagak ini. Betapa sengsara dirinya ....
Aku harus berbuat sesuatu untuk menolongnya."
"Terima kasih, kau telah mau minum bersama kami,"
kata Hantu Santet Laknat Lalu nenek ini bangkit berdiri. Pada Lamahila dan
Laduliu dia berkata.
"Kalian telah berusaha menolong, tapi nasib diriku yang buruk pinta. Aku tetap
berterima kasih atas jerih payah kalian. Semoga rahmat dari para Dewa akan
menjadi bagian kalian. lzinkan aku meminta diri."
"Tunggu dulu wahai kerabatku! Sebelum kau pergi, sebelum kita berpisah di malam
kelam gulita ini, ingin aku menanyakan sekali lagi pada pemuda ini.
Mungkin hatinya telah berubah. Mungkin perasa annya telah berbalik. Wahai anak
muda, apakah kau tega membiarkan nenek malang itu pergi tanpa kau mau
menolongnya dengan memenuhi permintaan
kami untuk menikahinya" Aku yakin, dalam hatimu pasti ada rasa hiba betas
kasihan ...."
Pendekar 212 diam seperti merenung. Akhirnya dia berucap. "Menolong sesama
manusia adalah satu kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari nenek ini.
Kurasa kurang pantas rasanya kalau aku membiarkan dirinya sengsara seumur-umur.
Padahal aku bisa dan mampu menolongnya ...."
"Jadi kau bersedia aku nikahkan dengan Hantu Santet Laknat?"
"Tidak dengan Hantu Santet Laknat Tapi dengan gadis berpakaian serba putih yang
kau sebut dengan nama Luhrembulan itu ..." jawab Wiro.
Hantu Santet Laknat keluarkan pekik halus. Dua tangannya dinaikkan ke atas
dengan telapak terbuka. Matanya dipejamkan dan mulutnya yang berbentuk paruh burung gagak
bergetar. Makhluk ini kelihatan seperti tengah menghaturkan doa.
Perlahan-lahan air mata mengucur ke pipinya yang tertutup bulu hitam. Lamahila
bangkit berdiri dari duduknya, diikuti Laduliu. Dipegangnya bahu
Pendekar 212 seraya berkata "Budimu sungguh luhur! Lihatlah, gadis bernama
Luhrembulan itu telah menunjukkan ujudnya di hadapanmu. Pertanda
sentuhan kasih sayang darimu telah mampu
mengembalikan diriqya ke bentuk sebenamya ...."
Wiro berpaling. Apa yang dikatakan Lamahila
memang betul. Saat itu sosok Hantu Santet Laknat telah berubah kembali menjadi
sosok Luhrembulan yang berwajah cantik jelita. Mau tak mau hati Pendekar 212
jadi tergerak. "Berdirilah anak muda. Kita berangkat sekarang juga menuju Bukit Batu Kawin."
'Lamahila berkata.
Dipegangnya lengan Wiro. Wiro bangkit berdiri. Lalu melangkah mengikuti si nenek
juru nikah. Di belakangnya menyusul Luhrenibulan dan Laduliu.
* * * BUKIT Batu Kawin. Sunyi senyap diselimuti
kegelapan. Hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsum. Empat sosok duduk di
hadapan sebuah batu besar setinggi lutut, menyerupai ranjang ketiduran. Di ujung
sebelah kiri ada dua buah gundukan batu rata-rata seperti dua buah bantal. Di
ujung ranjang batu ada perapian kecil.
Nenek rambut putih Lamahila masukkan sebongkah benda putih ke dalam perapian.
Saat itu juga udara di tempat itu dipenuhi bau sangat harum. Hantu Santet Laknat
yang saat itu berada dalam ujud wajah burung gagaknya, duduk tundukkan kepala.
Laduliu memandang ke langit dengan mata
terpejam. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan ke tigaorang itu satu persatu.
Sesekali dia menggaruk kepala. Perasaannya
kosong. Dia diam tak bergerak menyaksikan semua apa yang terjadi di hadapannya.
talu dari mulut Lamahila keluar suara panjang meracau tak
berkeputusan. Si nenek agaknya tengah merapal semacam mantera. Perapian
keluarkan letupan-letupan kecil dan bau harum semakin santar
memenuhi bukit itu.
"Kalian semua harap bersabar. Begitu langit di sebelah timur mulai terang tanda
menyingsing sang fajar, upacara pernikahan ini akan segera kita laksanakan. Tak
pernah hatiku sebahagia ini.
Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang sudah aku. nikahkan di bukit
sakral ini. Tapi rasanya tidak ada yang seindah upacara kali ini ...." Lalu si
nenek kembali meracau mantera.
Ketika seberkas sinar terang memancar di langit sebelah timur, Lamahila hentikan
rapalannya. Laduliu turunkan kepalanya yang sejaktadi
mendongak. Hantu Santet Laknat menatap berdebar pada Wiro lalu memandang pada
sang juru nikah.
Pendekar 212 sendiri masih tetap tak bergerak dan perhatikan orang-orang itu
dengan pandangan tetap kosong.
"Fajar telah menyingsing. Upacara akan segera kita mulai. Semoga para Dewa
memberkahi acara
pernikahan ini!"
* ** TAK LAMA setelah Lamahila, Wiro, Laduliu dan Hantu Santet Laknat meninggalkan
Tebing Batu Terjal, di udara malam yang gelap dan bertambah dingin itu kelihatan
berkelebat dua bayangan.
Setelah bergerak ke berbagai jurusan beberapa lamanya, di satu tempat dua
bayangan itu berhenti.
Mereka ternyata adalah dua perempuan cantik. Satu mengenakan pakaian serba
merah, satu lagi
berpakaian biru gelap. Yang berpakaian biru gelap berkata.
"Luhsantini,kau yakin tempat di mana kita berada ini adalah-yang disebut Tebing
Batu Terjal?"
"Aku yakin sekali, Luhcinta. Aku telah sering ke tempat ini sebelumnya. Banyak
orang di Latanahsilam datang kemari."
"Tempat apa bukit batu ini sebenarnya" Mengapa banyak didatangi orang?" tanya
Luhcinta. "lni bukit doa. Di sini orang-orang berdoa meminta sesuatu, memohon agar
keinginannya dikabulkan oleh para Dewa," menerangkan Luhsantini.
Luhcinta memandang berkeliling. "Kita telah menyelidik hampir seluruh tebing
batu ini. Orang yang kita cari tidak ada. Mungkin ada gua
tersembunyi di sekitar sini?"
"Tidak ada gua di sini. Jangan-jangan ke dua orang itu membatalkan pertemuan di
tempat ini ...."
"Mungkin saja," kata Luhcinta.
"Tapi aku kurang yakin. Coba kita menyelidik sekali lagi."
"Tunggu dulu!" kata Luhsantini seraya memegang tangan Luhcinta.
"Tidakkah hidungmu membaui sesuatu?" Luhcinta menghirup udara di tempat itu
dalam-dalam. "Aku mencium bau harum aneh ..." kata gadis cantik yang keningnya ditempeli
sekuntum bunga tanjung kuning ini.
"lkuti aku," kata Luhsantini. Dia bergerak ke kanan.
Tiba-tiba tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu.
Terdengar suara berkerontangan di pedataran batu itu.
"Aku menendang sesuatu..." kata Luhsantini sambil memandang ke bawah. Luhcinta
lebih cepat Saat itu dia telah mengambil benda.yang tersentuh kaki Luhsantini
tadi lalu memperlihatkannya pada
Luhsantini. "Piala perak.." desis Luhsantini. "Aku rasa-rasa pernah melihat piala seperti
ini sebelumnya.
Dimana... kapan ... ?" Luhsantini dekatkan piala perak itu ke hidungnya. Dia
menghirup bau minuman aneh. Mungkinkah minuman suci bernama Embun
Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini menyebut "Tebing Batu Terjal ....
Piala perak. Wiro
.... Hantu Santet Laknat .... Agaknya telah terjadi satu upacara pemanjatan doa
di tempat ini. Doa khusus karena jarang yang mempergunakan piala dari perak.
Biasanya cukup piala dari tanah ...."
"Luhsantini, lihat! Ada tiga piala lagi bertebaran di tempat ini!" berseru
Luhcinta lalu menunjuk pada tiga buah piala yang bertebaran di pedataran batu
yang gelap itu.
"Tiga piala perak. Empat dengan yang kupegang.
Berarti ada empat orang melakukan satu upacara di tempat ini. Wiro, Hantu Santet
Laknat Lalu siapa dua orang lagi?" Luhsantini coba berpikir menduga-duga.
Dalam hati dia membatin. "Hanya ada satu kemungkinan. Dua orang itu mungkin
Lamahila dan pembantunya si Laduliu ...." Paras Luhsantini mendadak berubah.
"Aku khawatir terjadi sesuatu dengan pemuda itu,"
kata Luhcinta. "Sebelumnya .dia berjanji akan datang ke gua dimana kita berada. Tapi dia tak
pernah muncul. Hai, aku ingat sesuatu. Ketika aku mencuri dengar pembicaraan
Wiro dengan Hantu Santet Laknat
tentang rencana pertemuan mereka, nenek itu selain menyebut Tebing Batu Terjal
dia juga menyebut nama satu bukit. Kalau aku tidak salah ingat bukit bernama
Bukit Batu Kawin. Menurut si nenek Tebing Batu Terjal ini terletak di selatan
Bukit Batu Kawin.
Aku kira ...."
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cukup!" kata Luhsantini tiba-tiba seraya menarik tangan Luhcinta.
"Untung kau ingat dan menyebut nama bukit itu!
Letaknya tak jauh dari sini. Kita menuju ke sana sekarang juga!"
"Wahai, menurutmu apakah Wiro dan Hantu Santet Laknat pergi ke bukit itu!"
"Aku khawatir, mereka bukan cuma pergi ke sana!
Tapi jangan-jangan telah melakukan satu upacara!"
Paras Luhcinta dalam gelap mendadak berubah.
"Upacara apa?" tanya si Luhcinta pula. Lalu dia menjawab sendiri dengan berkata.
"Kalau memang mereka melakukan upacara,setahuku Bukit Batu Kawin adalah satusatunya tempat mengadakan
upacara perkawinan! Tapi siapa yang kawin"!"
Mendadak gadis itu merasa tidak enak. Mukanya berubah lagi menjadi pucat .
"Sudah! Jangan membuang waktu! Lekas kita ke sana sekarang
juga!" kata Luhsantini lalu cepat-cepat menarik tangan gadis itu.
Dl BAWAH cahaya fajar menyingsing Bukit Batu Kawin tampak indah sekali dari
kejauhan. Dua perempuan berpakaian merah dan biru yang bukan lain adalah
Luhsantini dan Luhcinta datang berlari dari arah tenggara, naik ke puncak bukit
secepat yang bisa mereka lakukan. Ketika mereka sampai di puncak Bukit Batu
Kawin hari telah terang. Dalam kesunyian yang hanya disaput oleh sapuan suara
angin di kejauhan - terdengar suara orang berucap lantang,
"Disaksikan oleh matahari penerang jagat, disirami oleh cahaya yang hangat
bersih pertanda membawa keberuntungan bagi setiap insan. Aku Lamahila, juru
nikah di Negeri-Latanahsilam ingin menanyakan pada kalian.Tapi sebelum
pertanyaan diajukan terlebih dahulu harap kalian menerangkan nama katian satu
persatu!" "Aku Wiro Sableng!"
"Aku Luhrembulan!" kata Hantu Santet Laknat yang saat itu masih berujud burung
gagak hitam. "Celaka!" kata Luhsantini setengah berseru.
"Jangan-jangan kita datang terlambat! Percepat larimu Luhcinta!"
Luhcinta yang sejak dari Tebing Batu terjal sudah merasa khawatir, mendengar
ucapan Luhsantini segera kerahkan seluruh kemampuannya.
Dia.melesat sebat dan tinggalkan Luhsantini
beberapa tombak di belakangnya. .
"Pengantin lelaki bemama Wiro Sableng. Pengantin perempuan bemama Luhrembulan.
Berdirilah kalian.
Mendekatlah satu sama lain. Letakkan dua tangan Kalian diata satu dengan yang
lainnya. Lalu genggam erat-erat".
Lamahila menatap tajam pada dua orang di
hadapannya itu. Sementara matahari mulai naik dan keadaan di puncak bukit Batu
Kawin bertambah terang. Wiro bangkit berdiri . Begitu juga Hant Santet Laknat.
Keduanya lalu bergerak saling mendekat.
Dalam jarak hanya terpisah setengah langkah di nenek ulurkan dua tangannya. wiro
menyambuti. Empat tangan saling bertindih lalu menggenggam satu sama lain.Kalau wiro
memandang kosong ke wajah burung gagak dihadapannya. Maka Hantu
santet laknat menatap dengan mata berkaca-kaca.
"Wahai wiro sableng, apakah kau bersedia aku nikahkan dengan gadis yang terlahir
dengan nama Luhrembulan yang kini dua tangannya berada dalam genggaman dua
tanganmu?"
Sebelum menjawab Wiro hendak tarik tangan kirinya untuk menggaruk kepala.
"Anak manusia bernama Wiro Sableng! Jawab saja pertanyaanku! Jangan pakai
menggaruk kepala
segala! Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Luhrembulan?"
"aku bersedia" jawab Wiro, keras tapi agak tercekik.
.Air mata mengucur deras dari dua mata burung Gagak Hantu Santet Laknat Tubuhnya
bergetar. "Wahai mahluk malang terlahir dengan nama Luhrembulan, apakah kau bersedia aku
nikahkan dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng yang jarijarinya kau genggam
dengan penuh khidmat?"
"Aku bersedia, karena aku mengasihinya dengan sepenuh hati!" Jawab Hantu Santet
Laknat. Saat itu juga satu cahaya biru memancar di tubuh Hantu Santet Laknat.
Sosoknya mulai dari kepala sampai ke kaki mendadak sontak berubah. Jubah hitam
kumalnya kini menjadi sehelai pakaian putih
panjang. Muka burung gagaknya berganti dengan wajah seorang gadis cantik jelita.
Air mata mengucur dari dua matanya yang bagus. Rambut hitam
panjangnya bergoyang indah dihembus angin pagi.
Luhcinta dan Luhsantini sampai di puncak Bukit Batu Kawin. Luhcinta serta merta
hendak menghambur ke hadapan orang-orang yang ada di dekat ranjang batu. Tapi
Luhsantini cepat memegang erat
tangannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah batu besar yang tertutup semak
belukar lebat. "Kita memang terlambat Luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan ....
Mereka telah berpegangan tangan ...."
"Mereka siapa?" tanya Luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak
belukar lalu memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru
nikah Lamahila.
"Wiro Sableng dan Luhrembulan! Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan di dengar
oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi.
Semoga kalian mendapat berkah. Saat mi kalian telah resmi menjadi suami istri!"
"Menjadisuami istri?" Wiro kerenyitkan kening lalu garuk-garuk kepala. Di batik
batu besar dan semak belukar, Luhcinta merasa lututnya goyah. Tanah yang
dipijaknya seolah runtuh. Sosoknya niscaya jatuh terduduk kalau tidak lekas
dipegang oleh huhsanthi.
"Siapa gadis berpakaian putih itu .... Siapa dia?"
Ucapan itu taerulang kali kesuar dari mufut Luhcinta.
"Luhcinta, ada apa dengan kau" Astaga ... kau menangis! Tubuhmu berguncang! Kau
sakit atau bagaimana?" Luhsantini bicara seperlahan mungkin agar tidak terdengar
orang-orang di sebelah sana.
"Luhsantini, tolong aku. Bawa aku meninggaikan bukit ini. cepat! Seolah ada
sejuta jarum menusuk jantung dan hatiku ... Aku ... aku tidak Mau menyaksikan
semua ini. Aku tidak sanggup mende ngar ucapan nenek berambut putih itu! Aku
inging pergi dari sini. Bawa aku pergi Luhsantini. Aku ingin mati saja! Aku
ingin mati sajal"
Luhsantini menjadi bingung.Dia hendak bertanya, dia hendak mengguncang tubuh
gadis ltu. Tapi saat itu mendadak sosok Luhcinta berubah lunglai.
Sebelum gadis ini jatuh terjerembab di tanah Luhsantini cepat rangkul
pinggangnya. Dia berusaha menyadarkan gadis itu dengan menepuk-nepuk
pipinya. "Astaga! Dia pingsan!" Luhsantini memandang ke tempat Wiro dan yang lain-lainnya
berada. Sulit kuduga, sulit kuduga. Ada apa sebenarnya di antara mereka!" Luhsantini cepat mendukung sosok Luhcinta
lalu tinggalkan puncak Bukit Batu Kawin.
"Wahai Wiro dan Luhrembulan, sekarang kalian berdua telah menjadi sepasang suami
istri yang saling mencinta. Aku dan Laduliu tidak ingin berlama-lama di tempat
ini. Ranjang perkawinan telah tersedia. Selagi matahari belum panas
menyengat, selagi hawa pagi begini segar dan keharuman masih menebar tempat ini,
mengapa kalian berdua tidak segera bersenang-senang, melaksanakan hajat sebagai suami
istri" Selamat tinggal wahai sepasang pengantin!" Lamahila memberi isyarat pada
Laduliu. Lalu kedua orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Kini tinggal Wiro dan Luhrembulan berdua. Angin sejuk di puncak Bukit Batu Kawin
bertiup lembut.
Luhrembulan menatap tersenyum pada Pendekar
212 Wiro Sableng. "Aku sangat berterima kasih. Aku benar-benar merasa bahagia.
Budimu tak akan
kulupakan sepanjang masa. Berkat pertolonganmu aku telah kembali ke ujud asliku
seperti yang kau lihat ...."
"Kau cantik sekali. Belum pernah aku melihat gadis secantikmu di negeri ini ..."
memuji Wiro sambil tersenyum.
"Kecantikanku, apapun yang ada di diriku, bukankah semua kini menjadi milikmu?"
ujar Luhrembulan, gadis yang berubah ujud itu. Lalu dia menyambung ucapannya.
"Aku akan abdikan diriku menjadi seorang istri yang baik dan setia...."
"Seorang istri memang seharusnya begitu. Tapi kalau aku boleh bertanya kau akan
mengabdikan diri pada siapa?"
Pertanyaan Wiro terasa aneh di telinga Luhrembulan Karena menganggap
Wiro'bergurau dia pun
menjawab. "Kepada siapa lagi, kalau bukan kepadamu, suamiku."
"Aku suamimu"!" Wiro tertawa lebar.
"Kau bergurau, Luhrembulan. Eh, betul namamu LuhrembuIan?"
"Kau yang bergurau wahai suamiku. Bukankah barusan saja kita melangsungkan
upacara pernikahan di Bukit Batu Kawin ini ...."
"Upacara pernikahan" Siapa yang nikah" Kita"!"
Luhrembulan semakin merasa aneh melihat sikap
,dan mendengar ucapan-ucapan Wiro. Dalam hati dia membatin.
"Dia tidak seperti bergurau. Apa yang terjadi dengan dirinya" Tidak mungkin!
Bagaimana dia bisa berucap aneh seperti itu!"
'"Wiro! Nenek Lamahila disaksikan oleh pembantu nya Laduliu telah menikahkan
kita di tempat ini! Kau dan aku resmi menjadi suami istri. Kau mau
menikahiku karena hatimu tulus bersih untuk
menolongku kembali ke ujud asliku! Kini kau lihat sendiri keadaanku! Aku bukan
lagi nenek buruk benwajah burung gagak hitam bernama Hantu
Santet Laknat itu! Aku kini adatah Luhrembulan.
Istrimu!" Wiro garuk kepala. "Lamahila menikahan kita!
Dan kau kini adalah istriku! Gusti Allah! Bagaimana semua ini bisa terjadi"!"
Pada saat Wiro menyebut nama Tuhan, tiba-tiba menggelegar suara guntur. Puncak
Bukit Batu Kawin bergeletar seperti digoncang gempa. Di langit menyambar
halilintar dua kali beihrut-turut. Langit pagi yang tadinya cerah mendadak
berubah gelap. Hujan deras disertai gemuruh angin dahsyat
menyapu puncak bukit
"Wiro!" Luhrembulan berteriak memanggil. Udara tambah gelap. Gadis itu tak dapat
melihat lebih jauh dari tiga langkah.
"Wiro!" teriak Luhrembulan lebih keras. Tapi suaranya lenyap tenggelam ditelan
gemuruh deru angin. Lalu satu gelombang angin yang sangat kencang datang
menerpa. Gadis ini terpelanting sampai beberapa tombak. Untung dia masih sempat
menyambar dan mendekap sebatang pohon besar.
Kalau tidak niscaya dirinya terlempar masuk ke dalam jurang batu sedalam seratus
tombak. Di jurang inilah dulu Luhrinjani, istri Lakasipo menemui ajal bunuh
diri. (Baca Episode pertama berjudul Bolabola lblis)
Angin laksana badai masih terus melanda puncak Bukit Batu Kawin. Pohon besar
tempat Luhrembulan berlindung berderak-derak. "Kalau pohon ini tumbang celaka
diriku!" Luhrembulan berpaling di belakang dimana membentang jurang dalam dan
gehp menggidikkan.
"Wiro suamiku ... ! Dimana kau! Wahai para Dewa, tolong dia. Selamatkan
dirinya!" Tak selang berapa lama angin deras mulai reda.
Udara yang tadinya gelap perlahan-lahan kembali terang. Luhrembulan keluar dari
balik batang pohon besar tempat dia berlindung. Dia memandang ke seantero puncak
Bukit Batu Kawin. Tapi Wiro tak ada lagi di situ. Takseorangpun kelihatan di
tempat itu. * * * KITA tinggalkan Luhrembulan yang kehilangan
Pendekar 212 Wiro Sableng di puncak Bukit Batu Kawin. Kita kembali kepada
Lakasipo yang nyawanya telah diselamatkan oleh Peri Angsa Putih dari tangan maut Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus yang adalah saudara kandungnya sendiri. Sang Peri yang
menunggangi angsa putih raksasa ternyata membawa Lakasipo ke satu tempat tak
jauh dari telaga dimana Si Penolong Budiman dan Hantu
Langit Terjungkir berada.
"Peri Angsa Putih, aku berterima kasih kau lagi lagi telah menyelamatkan diriku
dari bahaya maut!"
berkata Lakasipo begitu dirinya yang masih
terbungkus jala api biru diturunkan ke tanah.
"Tak perlu berterima kasih padaku..Karena nasib baik sebenarnya yang telah
menolong dirimu!" jawab Peri Angsa Putih sambil tegak membelakangi
Lakasipo. "Aneh sekali sikapnya 'kali ini," kata Lakasipo dalam hati. "Suaranya ketus dan
dia bicara tidak mau melihat padaku ...."
"Kau tahu!" Peri Angsa Putih kembali membuka mulut sambil tetap berdiri
membelakangi Lakasipo.
"Aku menolongmu karena aku butuh satu
keterangan penting!"
"Kita bersahabat. Jangankan satu, seribu keterangan pun kalau kau tanya dan aku
bisa menjawab pasti akan kujawab!" Peri Angsa Putih keluarkan suara mendengus.
"Kau bisa bicara begitu tapi pertanyaan yang satu inipun aku sangsikan apa kau
mau menjawab!"
"Katakan saja! Aku pasti menjawab!"
"Dimana pemuda bernama Wiro Sableng sahabatmu itu berada?" Lakasipo tatap
punggung sang Peri.
Ketika dia tidak segera menjawab tiba-tiba Peri Angsa Putih membalik dan
membentak. "Terbukti kau tidak mau menjawab! Kau tidak memberitahu!
Kau sama saja busuk menjijikkan seperti dua
sahabat Wiro bernama Setan Ngompol dan Naga
Kuning!" "Peri Angsa Putih, kita bersahabat. Aku banyak menerima budi pedolongan darimu.
Sungguh aku tidak menyangka kau akan bicara seperti itu
padaku!" "Saat ini memang baru mulutku bicara! Jangan sampai dua tanganku ikut bicara!"
"Peri Angsa Putih ...."
"Jawab saja pertanyaanku! Dimana Pendekar 212
Wiro Sableng berada"!"
"Aku tidak tahu! Dia dibawa kabur oleh nenek bemama Hantu Santet Laknat," jawab
Lakasipo. "Aku tidak percaya!" Lakasipo habis kesabarannya.
"Kau bertanya. Aku menjawab memberitahu! Jika kau tidak percaya itu adalah
urusanmu!"
Peri Angsa Putih kembali keluarkan suara men dengus. Sambil memutar tubuh dengan
air muka mengejek dia berkata. "Jangan harapkan aku akan menolong dirimu keluar
dari dalam jala itu, Lakasipo!
Aku datang bukan untuk menolongmu! Aku datang mencari saudaramu bemama Wiro
Sableng itu! Dia telah menghamili Peri Bunda!"
Lakasipo sesaat jadi terkesiap mendengar kata-kata sang Peri. Rasa jengkel
membuat hilang sikap hormatnya pada Peri Angsa Putih. Maka diapun membuka mulut
dengan suara lantang.
"Aku tidak akan mengemis meminta tolong padamu!
Aku tidak akan menjatuhkan diri di bawah lututmu agar kau melepaskan diriku dari
dalam jaring ini!
Dan aku tidak perduli dengan ucapanmu tentang saudara angkatku! Karena aku
berani bersumpah kaki ke atas kepala ke bawah, biar kau mati dengan roh tersiksa
seumur dunia, saudaraku Wiro Sableng tidak akan pemah melakukan perbuatan mesum
itu! Siapapun yang menghamili Peri Bunda, perbuatan itu pasti tidak dilakukan secara
paksa. Pasti terjadi atas dasar suka sama suka!"
"Lakasipo! Jaga mulutmu! Jangan memandang rendah kami bangsa Peri!" bentak Peri
Angsa Putih. "Aku tidak pernah memandang rendah siapapun!
Tapi bukan rahasia lagi kalian bangsa Peri sejak bertahun-tahun belakangan ini
telah terpengaruh akan kehidupan wajar sebagaimana kami bangsa manusia! Kalian
mendambakan cinta kasih. lngin dikasihi dan ingin mengasihi! Jika salah seorang
dari kalian melakukan kesalahan karena tak dapat
menahan diri, masuk ke dalam kehidupan berkasih sayang, kalian lantas mengutuk
dan mengucil kannya! Bukankah itu yang telah kalian lakukan terhadap Hantu Jatilandak"
Bayi yang terlahir dari perkawinan seorang Peri dengan Lahambalang! Padahal bayi
itu tidak
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanggung dosa tidak menanggung kesalahan!
Kehidupan hebat seperti itukah yang kau banggakan wahai Peri Angsa Putih"!
Sekarang menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihat dirimu! Aku tidak
ingin bicara lagi denganmu! Kalian bangsa Peri hidup dengan lain kata lain
perbuatan! Sungguh memalukan!
Kalian hidup bersembunyi dibalik topeng kesucian!
Padahal apa yang kami lakukan bangsa manusia juga ingin kalian lakukan! Bercinta
berkasih sayang!
Kawin!" (Mengenai Hantu Jatitandak dan Lahambalang baca Episode berjudul Hantu
Jatilandak) Wajah Peri Angsa Putih menjadi marah seperti saga mendengar kata-kata Lakasipo
itu. Didorong oleh hawa amarah yang menggelegak, tanpa disadarinya Peri Angsa
Putih tendangkan kaki kanannya.
Lakasipo dan jala api biru yang membungkusnya terpental sampai dua Iombak. Walau
tadi sang Peri menendang tidak sepenuh hati hingga dia tidak sampai semburkan
darah, tapi tetap saja Lakasipo merasa dadanya seperti hancur. Sakitnya bukan
main. Namun sakit badan tidak seberapa jika
dibandingkan dengan rasa sakit hati. Dia berusaha bangkit dan duduk di tanah.
Matanya memandang tak berkesip pada Peri Angsa Putih yang tegak terkesima seolah
menyesal telah menendang lelaki itu.
"Peri Angsa Putih, aku tidak akan melupakan apa yang hari ini kau lakukan
terhadapku!" kata Lakasipo dengan suara bergetar menahan amarah dan sakit.
"Apa yang terjadi dengan Negeri Atas Langit.
Apakah sudah terjungkir balik hingga kau
menjatuhkan tangan sejahat ini kepadaku"!"
Tiga bayangan tiba-tiba berkelebat. Menyusul suara berucap. "Lakasipo, kami
saudara-saudara angkatmu juga tidak melupakan apa yang kami lihat hari ini!"
Lakasipo berpaling dan melihat Naga Kuning serta Setan Ngompol tegak di
sampingnya. Di dekat mereka berdiri pula banci berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama
Betina Bercula.
"Kalian. .." ujar Lakasipo. "Apa kalian juga mendengar apa yang telah
diucapkannya tentang saudara kita Wiro Sableng?"
"Kami sudah mendengar. Sebelumnya dalam satu pertemuan dia juga telah mengatakan
hal itu! Tapi siapa yang percaya! Seperti katamu tadi kehidupan , para Peri kini
jauh dari suci! Entah siapa yang menghamili, Wiro yang difitnah! Keterlaluan!"
Yang bicara adalah Naga Kuning.
"Bocah konyol bermulut seenaknya! Jika kalian tidak percaya silahkan datang ke
Puri Kebahagiaan!
Kalian saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Dia terbaring
menderita malu besar dan sengsara berat!"
"Jika Peri Bunda memang hamil tanpa adanya keributan, berarti dia sendiri ikut
senang melakukan perbuatan itu! Mengapa kini persoalannya dibesar-besarkan"
Bukankah kau menambah malu kaummu sendiri?"
"Jika terbukti Peri Bunda berlaku seperti itu dia pasti mendapat hukuman. Tapi
sahabatmu Wiro Sableng tidak akan lolos dari tangan kami!"
Sambil pegang bahu Lakasipo Si Setan Ngompol memandang pada Peri Angsa Putih dan
berkata. "Peri Angsa Putih, kau memang wajib menyelidiki persoalan ini sampai tuntas.
Mencari tahu siapa yang telah menyebabkan hamilnya Peri Bunda. Tapi jika
seandainya orang itu tidak berhasil diketahui dan tidak dapat ditemukan, aku
Setan Ngompol bersedia dengan hati ikhlas menjadi ayah pengganti calon bayi yang
akan dilahirkan; Kasihan Kalau bayi itu sampai lahir tanpa punya ayah! Tapi
kuharap kalian para Peri segera memberi persetujuan jauh hari sebelum sang bayi
lahir." Habis berkata begitu si kakek berpaling pada Naga Kuning lalu kedipkan
matanya. Ke dua orang ini kemudian tertawa gelak-gelak. Si Betina Bercula ikut tertawa
cekikikan. Di dalam jala Lakasipo akhimya tak dapat pula menahan ledakan
tawanya. Peri Angsa Putih tak dapat lagi menahan amarahnya. Tangan kanannya
diangkat dan siap dihantamkan ke arah orang-orang yang ada di
tempat itu. Namun tiba-tiba satu tangan halus mencekal lengan nya hingga sang
Peri tak mampu menggerakkan tangan barang sedikitpun. Ketika dia berpaling
terkejutlah Peri Angsa Putih.
"Luhrinjani ..." desis sang Peri.
"Wahai, kau sudah tahu namaku. Berarti aku tidak perlu menerangkan lagi siapa
diriku!" Yang muncul dan memegang tangan Peri Angsa Putih memang
adalah Luhrinjani, makhluk setengah manusia
setengah roh jejadian yang dulunya adalah istri Lakasipo, tapi kemudian menemui
ajal karena bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin. (Baca Bola Bola Iblis).
"Luhrinjani, kau lagi-lagi berani mencampuri urusanku dan menghalangi diriku
yang hendak mengambil tindakan! Sungguh kurang ajar
perbuatanmu! Apa kau lupa kalau kami bangsa Peri yang memberikan kehidupan baru
padamu setelah kau menemui kematian di dalam jurang batu"!
Kau makhluk rendah yang tidak tahu berterima kasih!"
"Wahai Peri Angsa Putih, aku Luhrinjani tidak pernah melupakan pertolongan
kalian bangsa Peri. Aku juga bukan makhluk yang tidak tahu berterima kasih.
Tetapi itu bukan berarti aku akan menelan mentah-mentah semua perbuatanmu. Bukan
berarti aku harus diam mematung kalau kau hendak mencelakai para sahabat dan suamiku
sendiri. Kau tadi
menendang Lakasipo. Padahal dia terada dalam keadaan tidak berdaya" Apa itu satu
perbuatan berbudi luhur" Atau memang begitu kini cara hidup kalian bangsa Peri
dari Negeri Atas Langit!"
Peri Angsa Putih kerahkan tenaga untuk lepaskan lengannya yang dicekal. Tapi
tidak berhasil.
Luhrinjani tersenyum. Perlahan-lahan dia kendurkan cekalannya hingga Peri Angsa
Putih bisa melepaskan diri. Begitu tangannya bebas tanpa banyak cerita lagi Peri ini segera
melompat ke atas punggung angsa putih tunggangannya dan melesat terbang
meninggalkan tempat itu.
"Peri geblek!" kata Naga Kuning begitu angsa putih dan penunggangnya lenyap di
kejauhan. "Makhluk-makhluktolol!" Betina Bercula berucap.
"Siapa yang tolol! Apa maksudmu"!" tanya Naga Kuning.
"Soal Peri hamil saja diributkan! Kuda atau sapi bunting tidak pemah jadi
masalah! Tidak pernah dicari siapa yang menghamili! Hik.. hik! Sebenamya, wahai!
Bagaimana rasanya kalau hamil itu!
Ingin,sekali aku merasakannya! Apakah di antara kalian ada yang mau menghamili
diriku"!"
Orang-orang yang ada disitu sama memandang
temganga ke arah Betina Bercula. Lalu semuanya tertawa gelak-gelak. Tidak
terduga tiba-tiba enak saja tangan-lelaki banci berkepandaian tinggi ini
bergerak ke bawah pusar Setan Ngompol yang
sedang meleng karena sibuk menahan kencing.
"Kek! Awas kantong menyanmu mau disambar!"
Naga Kuning mengingatkan. Setan Ngompol cepat menyingkir sambil memaki panjang
pendek. "Banci kalengan! Kau selalu saja mencari kesempatan!"
Betina Bercula tertawa cekikikan. Julurkan lidahnya sambil menowel-nowel puncak
hidungnya dengan ujung telunjuk tangan kanan.
*** TAMAT Segera terbit!!! Serial. : HANTU SELAKSA ANGlN
(HANTUSELAKSAKENTUT)
Pusaka Tombak Maut 1 Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah Kisah Membunuh Naga 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama