Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim Bagian 3
"Sangkala Darupadha, walau dia tidak pernah menganggu Kerajaan apa lagi diriku
tapi hubungan Mataram dengan dirinya tidak begitu baik. Beberapa waktu lalu
diketahui dia memberi perlindungan pada warok dan para penjahat hutan Roban.
Jika sekarang dia berbalk hati menolong kita berarti ini adalah lagi-lagi satu
berkat dari Yang Maha Kuasa."
"Yang Mulia, setahu saya Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban itu adalah
sahabat kental Arwah Ketua. Mungkin sekali Arwah ketua yang memintanya monolong
memperbaiki Istana."
"Arwah Ketua...." ucap Raja. "Mahluk hebat yang tinggal di Candi Miring itu
tidak terdengar lagi kabar beritanya sejak dia bentrokan dongan Satria
Panggilan." Setelah menatap penuh kagum ke langit, memandangi bulan biru. Raja
Mataram berkata. "Kakek Kumara, segera diatur persiapan untuk berangkat," kata
Raja Mataram pula.
Kumara Gandamayana lalu meminta orang-orang yang
ada di situ segera mengatur keberangkatan. (Mengenal siapa adanya kakek bernama
Kumara Gandamayana ini sudah banyak diketahui dan dapat dibaca dalam serial Wiro
Sablong yang telah terbit mulai dari "Malam Jahanam Di Mataram" sampai
''Bulan Biru Di Mataram".)
Setelah mereka tinggal berdua saja di tepi pedataran pasir kuning Raja Mataram
berkata pada si kakek.
"Yang Maha Kuasa telah memberi rahmat luar biasa besar pada Kera'aan Mataram.
Besok keadaan pasti semakin membaik.
Begitu matahari terbit kita harus mengumpulkan rakyat di alun-alun. Memberi tahu
apa yang telah terjadi sekaligus menyampaikan ucapan syukur bersama. Namun terus
terang ada beberapa hal yang masih mengganjal di dalam hati saya.
Karena belum ada kejolasannya."
"Saya mengerti Yang Mulia. Sayapun dapat merasakan."
Jawab Kumara Gandamayana.
"Apakah Embah Buyut Lor Pengging Jumena tidak pernah muncul lagi memberi
petunjuk?" Bertanya Raja Mataram.
"Beliau memang jarang menemui saya secara langsung.
Namun melalui beberapa orang yang dipercayanya saya yakin beliau teiah melakukan
sesuatu. Salah satu diantaranya peristiwa yang baru kita alami. Beliau dengan
segala kearifan sengaja membawa Empu Semirang Biru kesini. Sepintas lalu jika
orang tidak bisa menyelami maksud perbuatannya muncul dugaan bahwa Emban Buyut
saya itu seperti hendak membantu dua Sinuhun Jahat menimbulkan kekacauan, bahkan
bisa menyebabkan mala petaka besar berupa kematian bagi Yang 55 Bidadari Dua
Musim Mulia. Karena jelas Empu Semirang Biru yang malang itu telah menjadi kaki tangan
dua Smuhun. Namun jika direnungkan apa yang dilakukan Embah Buyut saya justru
agar kita mau berpikir dan membuka mata bahwa kejahatan itu bisa muncul secara
mendadak, tidak terduga dalam bentuk dan cara yang sebelumnya mungkin tidak
pemah terpikir."
"Kek, kita telah bertindak bijaksana menghadapi Empu Semirang Biru. Kita tidak
sampai membunuhnya. Tapi siapa yang menaruh kepastian sesuatu yang butuk tidak
terjadi dengan dirinya begitu dia keluar dari Sumur Api. Bahaya utama pasti
datang dari dua Sinuhun. Begitu tahu Empu Semirang Biru gagal membunuh saya,
kakek itu pasti akan dihabisi."
Kumara Gandamayana terdiam. Dalam hati dia
membenarkan ucapan Rakai Kayuwangi.
"Saat ini kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Tapi jika di
kemudian hari kita mengetahui Empu itu telah menjadi korban kebiadaban dua
Sinuhun, kita harus mencari jenazahnya. Jenazah itu harus kita urus dengan baik
lalu kita membuat sebuah candi kecil untuk menghormati jasa besarnya yang telah
membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi."
"Ucapan Yang Mulia akan saya tindak lanjuti," kata Kumara Gandamayana pula.
Kakek sakti ini ingat bagaimana suatu malam atas perintah Raja Mataram dia
datang ke puncak Gunung Bismo tempat kediaman Empu Semirang Biru. Dia memberikan
ilmu kesaktian yang membuat dua tangan sang Empu berubah menjadi bara api hingga
pembuatan keris sakti dapat dilakukan dalam waktu hanya beberapa hari saja.
(Baca serial Wiro Sableng di Mataram Kuno berjudul "Malam Jahanam Di Mataram")
Seperti diceritakan dalam "Bulan Biru Di Mataram" Empu Semirang Biru telah
dibunuh oleh dua Sinuhun dengan mempergunakan tangan Satria Roh Jemputan alias
Pangeran Matahari. Sang Pangeran sendiri kemudian menemui ajal untuk kedua
kalinya dalam pertarungan hebat melawan Pendekar 212
dibantu oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi atau Dewi Kaki
Tunggal. Dalam pertarungan itu diduga Penguasa Atap Langit ikut membantu karena
sebelum menemui ajal tubuh Pangeran Matahari dibuat tidak berdaya oleh ilmu yang
disebut Lima Jarum Penjahit Raga.
'Kakek Kumara, yang saat ini terpikir oleh saya ialah dimana beradanya keris
asli Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata itu telah ditentukan akan menjadi salah satu
benda keramat Pusaka Keraton. Walau baru dibuat kesaktian dan pamor wibawanya
tidak kalah dengan semua pusaka yang sudah dimiliki Istana Mataram. Saya
mendengar, di dalam rimba persilatan orang-orang menyebut senjata itu sebagai
Mahkota 56 Bidadari Dua Musim
Di Atas Mahkota..."
"Saya memang mendengar cerita itu, Yang Mulia."
"Namun dimana keberadaannya tidak kita ketahui.
Sebelum saya menduduki singgasana Kerajaan Mataram kembali, senjata itu harus
sudah ada dalam Istana. Itu ganjalan pertama yang saya rasakan. Ganjalan kedua,
kemunculan bulan biru di langit Mataram selain merupakan berkah dari Yang Maha
Kuasa juga pertanda bahwa ada orang-orang jahat termasuk mahluk alam roh yang
selama ini telah menimbulkan kekacauan dan mencelakai negeri ini telah menemui
ajal. Di antara mereka bisa jadi dua Sinuhun jahat itu bahkan mungkin juga anak
sakti bernama Dirga Purana. Namun saya minta kita tetap berlaku waspada. Karena
selama kita tidak melihat jenazah atau mayat mereka, atau mendengar sendiri dari
orang yang menyaksikan kematian mereka, akan selalu ada kemungkinan mereka masih
hidup. Atau roh mereka kembali menjelma masuk ke alam fana ini, gentayangan lagi
untuk melakukan pembalasan. Dua Sinuhun terutama Sinuhun Merah Penghisap Arwah
terkenal dengan ilmu kesaktiannya yang aneh-aneh, culas dan luar biasa jahat"
"Yang Mulia, semua ucapan Yang Mulia akan saya perhatikan. Kita memang harus
selalu bersikap waspada. Saya sudah punya rencana untuk mendatangkan beberapa
orang pintar dari daerah barat dan timur untuk membantu mengamankan Bhumi
Mataram. Tentu saja kalau Yang Mulia mengijinkan."
"Saya dapat mendukung rencana Kakek Ku. Tapi tetap saja Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi harus ditemukan lebih dulu.
Jika sampai jatuh ke tangan orang jahat bahaya besar akan tetap mengancam
Kerajaan."
"Mengenai senjata sakti itu, saya yakin sudah berada di tangan orang-orang yang
berpihak kepada kita. Keris asli ditemukan di satu tempat bernama Ruang Segi
Tiga Nyawa dan saat ini berada di tangan Ratu Randang dan kawan-kawannya,
termasuk Satria Panggilan." Kumara Gandamayana lalu menuturkan pertemuannya
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Satria Panggilan telah menolong saya keluar dari sekapan di dalam tanah...."
"Kek, sebelumnya kau tidak pernah menceritakan hal itu. Siapa yang telah berlaku
jahat memendammu di dalam tanah?" Bertanya Raja Mataram.
"Sinuhun Muda Ghama Karadipa. dibantu dua Iblis Menjunjung Dupa." Jawab Kumara
Gandamayana. Lalu kakek ini memberi tahu pula bahwa dia telah memberikan ilmu
kesaktian hingga Satria Pangggilan mampu masuk dan berjalan di dalam tanah.
(Baca "Tabir Delapan Mayat") 57 Bidadari Dua Musim
"Hidup itu memang adalah jalinan budi." Ucap Raja Mataram setelah mendengar
cerita pembantunya Ku. "Kakek Gumara, kita kembali pada pokok pembicaraan.
Sebelum saya melihat dan memegang sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, hati saya
tetap tidak tenang. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, Kek. Dimana beradanya
Satria Panggilan. Jangan-jangan dia telah kembali ke negerinya."
58 Bidadari Dua Musim
KUMARA Gandamayana maklum kekawatiran Raja
Mataram. Maka dia cepat berkata. "Yang Mulia tidak usah merisaukan Satria
Panggilan. Walau dimata kita sikap perilakunya aneh, bicara terkadang membuat
kita jengkel, tapi sobenarnya dia adalah seorang pemuda baik dan jujur. Dia
tidak akan pergi begitu saja tanpa minta diri dan memberi tahu kita.
Selain itu dia masih punya beberapa urusan penting yang harus diselesaikan di
Bhumi Mataram ini."
"Maksud Kakok Kumara urusan apa?"
"Satria Panggilan harus mencari dan menyelamatkan gurunya yang diculik Sinuhun
Merah Penghisap Arwah..."
"Kalau mahluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah bonar telah menemui
kematlan berarti guru Satria Panggilan dalam keadaan aman. Tapi Sinuhun Merah
Penghisap Arwah punya banyak kaki tangan. Mungkin sekarang guru Satria Panggilan
berada dalam kekuasaan mereka. Mungkin saja hal itu sebelumnya sudah diatur oleh
Sinuhun Merah jika hal terburuk terjadi atas dirinya."
"Apa Yang Mulia katakan terpikir juga oleh saya." Kata Kumara Gandamayana pula.
"Selain menemukan dan menyelamatkan gurunya. Satria Panggilan masih harus
mencari senjata sakti miliknya berupa sebilah kapak bermata dua. Setahu saya
senjata itu juga dicuri oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan memanfaatkan
sosok guru Satria Panggilan."
"Kakek Kumara, kita harus membantu Satria Panggilan menemukan guru dan senjata
sakti miliknya. Pemuda itu telah menanam budi besar dalam menyelamatkan
Kerajaan. Sangat layak kini giliran kita menolongnya."
"Akan saya lakukan Yang Mulia," jawab Kumara Gandamayana.
"Selain itu ada satu rencana yang sudah saya pikirkan sejak lama." berkata Raja
Mataram. "Jika saya sudah memegang kendali di singgasana Mataram, kita perlu
orang-orang jujur, bisa dipercaya dan berkepandaian tinggi untuk menggantikan
para sahabat yang telah tewas mendahului kita. Salah seorang diantaranya adalah
Satria Panggilan Wiro Sableng. Saya ingin mengangkatnya menjadi Panglima
Balatentara Kerajaan Mataram, mengganti mendiang Garung Parawata."
"Saya sangat setuju hal itu Yang Mulia," kata Kumara 59 Bidadari Dua Musim
Gandamaya pula dengan hati polos namun diam-diam dia merasa bimbang apakah
Pendekar 212 Wiro Sableng akan mau menerima tawaran tersebut
"Selain itu Yang Mulia," Kumara Gandamayana lanjutkan ucapan. "Sakuntaladewi,
gadis yang dijuluki Dewi Kaki Tunggal itu pernah diselamatkan Satria Panggilan
sewaktu dihimpit batu besar. Sebelumnya gadis itu membuat kaul siapa saja yang
menyelamatkan dirinya, jika dia seorang laki-laki akan dijadikan suaminya."
Raja Mataram tersenyum. "Sakuntaladewi gadis cantik.
Satria Panggilan pasti tidak menyia-nyiakan kaulan itu. Jika dia punya istri
berarti dia akan kerasan tinggal di Bhumi Mataram Kita akan punya seorang
Panglima Balatentara yang benar-benar hebat! Tapi...."
"Tapi apa Yang Mulia?" Tanya Kumara Gandamayana ketika dia melihat bayangan rasa
was-was di wajah Raja Mataram.
"SakuntaladewLdua kaki gadis itu masih dempet Malah boleh dibilang dia hanya
punya satu kaki. Mungkin Satria Panggilan..."
"Saya mengerti apa yang ada dalam pikiran Yang Mulia. Justru menurut riwayat
kelak Satria Panggilanlah yang akan mampu memisahkan kaki yang satu itu hingga
jadi dua kembali. Dengan mempergunakan Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi!" "Begitu?" Raja Mataram sampai tercengang mendengar kata-kata orang tua pembantu
kepercayaannya Ku.
"Saya berharap begHu Yang Mulia." Kata si kakek pula.
Bersama si kakek Raja Mataram memeriksa persiapan
untuk berangkat ke Kotaraja. Rencana besar itu didahului dengan memanjatkan doa
agar Yang Maha Kuasa memberi perlindungan.
*** ROMBONGAN Raja Mataram keluar dari tempat rahasia di dasar Sumur Api. Mereka
berjalan kaki, bergerak secepat yang bisa dilakukan tanpa membawa penerangan
atau menyalakan obor. Raja berjalan memimpin di sebelah depan didampingi
beberapa Abdi Dalem. Kumara Gandamayana sengaja berada di sebelah belakang.
Seperti yang sudah diatur, rombongan akan mengambil jalan pintas menuju ke arah
barat laut melewati satu rimba belantara. Sambil berjalan Kumara Gandamayana
terus merapal doa minta keselamatan.
Tiba-tiba satu cahaya kuning muncul di langit. Kumara Gandamayana cepat
berkelebat ke bagian depan rombongan 60 Bidadari Dua Musim
untuk melindungi Raja dari segala kemungkinan. Dia memberi isyarat agar
rombongan berhenti dulu.
"Kakek.tidak ada yang perlu dikawatirkan." Berkata Raja Mataram. "Cahaya kuning
tidak disertai alur cahaya merah.Saya juga mendengar suara lonceng di
kejauhan.Berarti cahaya kuning Ku berasal dari ilmu kesaktian Satria Lonceng
Dewa Mimba Purana yang telah banyak menolong kita. Sebaiknya kita tunggu saja
Sebentar lagi anak itu pasti akan segera muncul di tempat ini. Sambil menunggu
sebaiknya kita jangan berhenti, jalan terus."
Setelah berjalan cukup jauh, anak sakti yang diharapkan tidak kunjung
menampakkan diri. Malah suara lonceng terdengar menjauh dan cahaya kuning di
langit tampak meredup.
Wajah Kumara Gandamayana berubah. Kakek ini
menatap ke arah Raja.
Kek, saya punya dugaan ada satu kekuatan hebat tapi jahat menghalangi cahaya
kuning." Baru sa'a Ra a Mataram berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara panjang
raungan anjing.
Kumara Gandamaya pasang telinga. "Yang meraung bukan anjing sungguhan Saya yakin
itu suara jejadian yang berasal dari mahluk alam roh."
Raja Mataram anggukkan kepala. Tangan kanan bergerak meraba Keris Widuri Bulan
yang tersisip di punggung. Senjata itu digeser ke pinggang sebelah kiri. Tibatiba Raja Mataram mendengar suara mengiang. "Yang Mulia Raja Mataram, ada mahluk
hendak berbuat jahat menghabisi rombongan. Berhenti berjalan. Tunggu sampai
muncul delapan kunang-kunang. Ikuti kemana mereka terbang. Yang Mulia dan
rombongan pasti selamat''
Raja Mataram terkejut Dia segera mendekati Kumara
Gandamayana. "Kek, apa barusan kau mendengar suara mengiang?"
Kumara Gandamayana menggeleng. Raja Mataram lalu
mengatakan apa yang didengarnya. Sebelum Kumara
Gandamayana sempat mengucapkan sesuatu tiba-tiba di dalam hutan melayang delapan
cahaya terang seujung jari kelingking.
"Yang Mulia, kunang-kunangnya sudah muncul. Saya menaruh firasat tidak enak.
Mengapa harus berjumlah delapan....?"
Delapan kunang-kunang melayang mendekati rombongan, berputar beberapa kali di
hadapan Raja lalu terbang perlahan ke depan.
"Kek, delapan kunang-kunang mengarah ke tujuan yang sebelumnya kita tempuh. Ada
orang pandai menolong kita 61 Bidadari Dua Musim
Rasanya tak perlu kawatir. Ini semua petunjuk Para Dewa."
"Kalau Yang Mulia ingin kita mengikuti delapan kunang-kunang Itu, biar saya
berjalan di sebelah depan. Yang Mulia harap menjauh agak ke belakang." Kata
Kumara Gandamayana pula.
Rombongan lalu bergerak kembali. Kali ini mengikuti arah terbangnya delapan
kunang-kunang. Kira-kira berjalan sejauh sepeminuman teh tiba-tiba Kumara
Gandamayana hentikan lanokah dan angkat tangan ke atas memberi tanda agar
rombongan berhenti. Raja Mataram cepat mendekati si kakek.
"Ada apa?" Tanya Rakai Kayuwangl.
"Yang Mulia, delapan kunang-kunang telah menipu kita. Lihat berkeliling.
Bukankah saat ini kita masih berada tak jauh dari Sumur Api"! Berarti sejak tadi
kita tidak kemana-mana!"
Raja Mataram dan semua orang yang mendengar ucapan Kumara Gandamayana terkesiap
kaget. Mereka memandang berkeliling.
Saat itulah tiba-tiba delapan cahaya benderang kuning di tubuh kunang-kunang
berubah lalu melesat ke arah depan rombongan dalam bentuk delapan larik cahaya
merah menggidikkan.
"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Teriak Kumara Gandamayana. Kakek ini
cepat lepaskan sorban kelabu di atas kepala lalu dikebutkan ke depan dalam jurus
ilmu sakti Selendang Dewa Menutup Bahala.
Raja yang berada di belakang si kakek tidak tinggal diam.
Keris Widuri Bulan dicabut, dlbabalkan ke udara memancar cahaya putih kelabu.
Sementara tangan kiri melepas pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu
berkiblat seperti payung mengembang, membentuk benteng pertahanan seluas enam
tombak persegi, melindungi rombongan.
Semua perempuan dan anak-anak dalam rombongan
berpekikan. Para Abdi Dalem menarik mereka hingga jatuh sama rata dengan tanah.
"Wusss!"
Delapan cahaya merah berkiblat ganas, langsung
dipapaki cahaya putih kelabu yang keluar dari sorban Kumara Gandamayana,
dihantam sambaran cahaya keris sakti di tangan Raja dan larikan sinar ungu
Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai.
"Blaarr!"
Di udara menggelegar suara dentuman keras.
Sosok Kumara Gandamayana terhuyung-huyung. Walau
mampu menghantam hancur dua dari delapan cahaya merah yang menghantam namun
sorban di tangan kanan tenggelam 62 Bidadari Dua Musim
dalam kobaran api, berubah jadi asap. Si kakek cepat jatuhkan diri dan berguling
di tanah, menyambar pinggang Rakai Kayuwangi lalu ditarik jatuh ke tanah untuk
menyelamatkan sang Raja. Kakek ini maklum kalau sorban saktinya tidak mampu
menahan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit, maka pertahanan keris dan
pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai pasti akan tembus jugal
63 Bidadari Dua Musim
UNTUK kedua kali di tempat itu menggelegar letusan keras ketika sisa enam cahaya
merah melabrak sinar putih kelabu yang keluar dari Keris Wldurl Bulan serta
sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai! Kembali dua cahaya merah dapat
dilumpuhkan namun sisa yang empat terus menderu.
Pancaran cahaya merah tampak lebih terang menyilaukan tanda pengendali serangan
melipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya!
Melihat empat cahaya merah mampu menembus
tangkisan Keris Widuri Bulan serta pukulan sakti yang dilepaskan Raja, Kumara
Gandamayana tersentak kaget.
"Hyang Jagat Batara Kami tiada daya! Lindungi kami semual" Si kakek berteriak.
Di dalam gelap mendadak ada suara tawa bergelak
disusul teriakan lantang.
"Bumi boleh kiamat! Tapi yang namanya Delapan Sukma Merah tidak pernah lenyap
dari muka bumi ini! Raja Mataraml Jangan mimpi kau bakal menduduki singgasana
kembali! Ha...ha...ha!"
Hanya tiga tombak lagi lagi empat cahaya merah akan menyapu habis seluruh
rombongan Raja Mataram yang saat itu berusaha menyelamatkan diri dengan
menelungkup di tanah, tiba-tiba dari dalam rimba belantara berkelebat tiga
bayangan. Lalu ada suara porempuan berteriak.
"Ilmu pamungkas! Tusukkan delapan jari!"
Salah satu dari tiga bayangan yang kebetulan berada di dekat sebatang pohon
segera lipat jari tangan tangan kiri kanan ke telapak sementara delapan jari
lainnya dipentang lurus dan keras seperti batangan besi.
"Crassl Kraak" Delapan jari amblas masuk ke dalam batang pohon.
Bayangan kedua yang tidak sempat melipat jari tengah ke telapak tangan begitu
jatuhkan diri langsung tusukkan sepuluh jari sekaligus ke tanah!
"Settt! Dessss!"
Bayangan ketiga terkesiap kaget Di dekatnya tidak ada pohon. Gerakannya
berkelebat yang begitu kencang tidak mungkin bisa menjatuhkan diri ke tanah
dengan cepat. "Oala. Aku mau menusuk apa"l" Tiba-tiba saja orang ini Ingat Tanpa ragu delapan
jari tangannya ditusukkan ke batok 64 Bidadari Dua Musim
kepala sendiri!
"Crasssl Greekk!"
Delapan jari amblas masuk ke dalam kepala. Tidak ada darah yang mengucur, tidak
ada rasa sakit. Malah orang itu yang bukan lain adalah si nenek cantik mata
juling Ratu Randang tertawa-tawa. Memandang ke depan dilihatnya empat cahaya
merah yang menderu ganas mendadak bergetar keras lalu mencuat ke atas.
Di udara empat cahaya merah meledak dahsyat, menebar ratusan cablkan-cabikan
api. Sebagian langsung pupus lenyap di udara sebagian lagi membakar pepohonan di
dalam rimba belantara hingga kawasan itu kini menjadi terang benderang.
Raja Mataram, Kumara Gandamayana, para Abdi Dalem
segera bangkit berdiri sementara para istri Raja duduk bersila di tanah,
menenangkan anak-anak yang bertangisan.
"Kakek, ada orang menolong kital" Berkata Raja Mataram sambil memandang
berkeliling. Belum sempat Kumara Gandamayana menjawab tiga
perempuan tahu-tahu telah membungkuk hormat di depan Raja.
Mereka bukan lain adalah Ratu Randang. Kunti Amblri dan Dewi Kaki Tunggal alias
Sakuntaladewi! "Para Dewa memberkati kalian bertiga. Aku senang melihat kalian tidak kurang
suatu apa. Malah pasti kalian yang telah menolong menyelamatkan kami semua dari
serangan mahluk terkutuk itul" Berkata Raja Mataram sambil menatap ke arah Ratu
Randang yang berdiri sambil mesem-mesem.
"Beberapa waktu lalu kami membicarakan kalian semua.
Ternyata kalian sudah di sini. Eh, apakah Satria Panggilan dan gadis aneh
bernama Jaka Pesolek Itu tidak turut bersama kalian?" Yang bertanya adalah
Kumara Gandamayana.
"Yang Mulia, kakek sahabatku," menjawab Ratu Randang.
"Sebaiknya kita sama-sama segera meninggalkan tempat ini sebelum mahluk alam roh
Sinuhun Merah Penghisap Arwah atau kaki tangannya mencoba lagi menghalangi
kita." "Sesuai kabar yang aku terima mahluk jahat itu, bukankah dia sudah menemui
ajal?" Ujar Kumara Gandamayana pula.
"Benar, tapi dia punya delapan pecahan nyawa. Yang amblas cuma tiga. Pecahan
yang lima lagi masih bisa gentayangan. Buktinya tadi dia bisa muncul melakukan
serangan." Jawab Ratu Randang. "Mengenal Kesatria Panggilan dan Jaka Pesolek
biar nanti aku ceritakan di tengah perjalanan."
Raja Mataram terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu.
Lalu dia berkata. "Kakek Kumara, sewaktu tadi ada sinar kuning dan terdengar
suara lonceng, saya yakin Satria Lonceng Dewa Mimba Purana akan muncul. Namun
kehadirannya dihalangi oleh satu kekuatan. Saya menduga ini pekerjaan kakaknya
65 Bidadari Dua Musim
sendiri yang bernama Dirga Purana. Sang adik kemudian mengelah. tidak mau
bentrokan dengan saudara sendiri.
Dirga Purana lalu menyerang kita dengan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit."
"Yang Mulia Raja Mataram. Yang saya tidak mengerti,"
berkata Kunti Ambiri. "Mengapa Mimba Purana mau mengalah terhedap Dirga Purana.
Padahal dia tahu pasti kakaknya itu jahat dan berserikat dengan dua Sinuhun.
Lalu teganya dia mengorbankan Raja Mataram dijadikan bulan-bulanan serangan
maut!" "Bukankah Satria Panggilan pernah mengatakan langsung ketidak senangannya atas
sikap Mimba Purana ketika bertemu dengan bocah itu?" Berkata Sakuntaladewi.
Kemudian tak ada yang bicara lagi. Keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Sesekali
terdengar gemeletak suara kayu pohon yang berderik dimakan api.
Akhirnya Rap Mataram memecah kesunyian. "Sebaiknya kita segera melanjutkan
perjalanan. Mudah-mudahan paling lambat lewat sedikit tengah malam kita sudah
sampai di Kotaraja."
Baru saja Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba dari arah ujung hutan yang
gelap terdengar suara bergemuruh.
Geletak suara roda dan derap kaki kuda.
"Ada rombongan besar datang ke sini." Ucap Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat
memberi tanda agar semua orang berlaku waspada.
"Sepertinya gemuruh suara puluhan kereta melucur ke arah sini!" Kata
Sakuntaladewi. "Bahaya apa lagi inil" Kata Kuntj Arnblri sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti pada dua tangannya.
Selagi semua orang tercekat Ratu Randang tampak
tenang-tenang saja. Malah sambil tersenyum dia berkata pada Kunti Ambiri.
"Pasti ini pekerjaan Satria Panggilan. Sejak mencium aku bertubi-tubi sore tadi.
semangatnya jadi tinggi. Hlk...hikl"
Tak lama kemudian muncul sosok sebuah kereta
berwarna putih. Raja mengenali kereta putih ini adalah salah satu kereta
Kerajaan yang acap kali dipergunakannya. Lalu menyusul kereta lainnya di sebetah
belakang. Juga ada gerobak.
Semuanya berjumlah lebih dari dua puluh! Kusir kereta putih yang berada paling
depan mengenakan jubah putih dan Ikat kepala putih. Ketika semua orang
memperhatikan wajah sang kusir, astaga! Kaget mereka bukan alang kepalang. Kusir
itu berwajah putih licin! Tidak bermata ataupun alis, tidak punya hidung dan
mulut, tidak pula memiliki telinga!
66 Bidadari Dua Musim
SEMUA orang kemudian memperhatikan jauh ke belakang kereta putih. Beberapa kusir
kereta dan gerobak juga terlihat mengenakan jubah putih.ikat kepala putih dan
berwajah putih licini Namun di antara mereka ada juga yang mengenakan pakaian
lain serta memiliki muka seperti manusia biasa. Salah seorang diantara kusir
berwajah manusia ini melompai turun dari atas kereta lalu berian dan jatuhkan
diri di hadapan Raja Mataram.
"Abdi Dalem Karta Singgil!" Raja mengenali orang yang berlutut di hadapannya.
"Apa yang terjadi" Bagaimana kau dan semua orang berwajah aneh itu bisa sampai
di sini membawa kereta dan gerobak begini banyak"! Siapa orang-orang berjubah
putih tidak berwajah itu?"
Ratu Randang berbisik pada Kunti Ambiri. "Ini pasti pekerjaannya si gondrong
konyol itu. Yang aku tidak mengerti dari mana dia bisa dapat begini banyak
kereta dan gerobak.
Hik-.hik!"
Kunti Ambiri tidak menyahut tapi matanya menatap tak berkesip mengawasi keadaan.
"Yang Mulia Sri Paduka Raja Mataram,'' sahut kusir kereta setelah menghatur
sembah. "Saya diperintah oleh seorang pemuda berambut panjang sebahu, mengaku
bernama Satria Panggilan, yang tiba-tiba masuk ke dalam Istana membawa
serombongan perempuan muda cantik-cantik. Dia menyuruh saya dan teman-teman
menjemput Yang Mulia dan rombongan di hutan di dekat Kali Dengkeng ini. Katanya
kami pasti akan menemui Yang Mulia dan rombongan. Katanya kami harus secepatnya
membawa Yang Mulia ke Istana di Kotaraja. Saya bersyukur benar-benar menemui
Yang Mulia di sini."
Raja Mataram tambah tercengang mendengar keterangan Abdi Dalem. Ratu Randang
menggamit bahu Kunti Ambiri dan berbisik. "Apa kataku. Pemuda konyol itu sudah
sampai di Kotarajal"
"Kau betul Nek. Dia bertindak cepat penuh semangat.
Karena membawa banyak perempuan muda. bertubuh molek dan berwajah cantik-cantik!
Tapi anehi Sejak kapan Wiro punya sahabat manusia berjubah tanpa wajah itul"
Menyahuti Kunti Ambiri.
Ratu Randang agak tersentak. Namun kemudian nenek
cantik bermata juling ini menyeringai. "Biar saja, siapa tahu dia 67 Bidadari
Dua Musim tengah mencari tenaga baru agar nanti bisa memberikan ciuman lebih banyak
padaku. Hik.hik. Kau tahu aku sendiri masih punya hutang ciuman lebih dari empat
ratus kali pada pemuda itu.
Harap kau jangan cemburu. Hik...hik!"
"Siapa yang cemburu!" sahut Kunti Ambiri seperti tidak acuh tapi wajah cantiknya
tampak cemberut.
Sementara itu karena pertanyaan ada yang tidak dijawab, Raja Mataram berkata
dengan suara keras. "Abdi Dalem Karto Singgill Kau belum menjawab pertanyaanku!
Siapa mahluk-mahluk berwajah licin putih itu!"
"Ampun Yang Mulia. Mereka adalah anak buah Raja Jin Hutan Roban."
Kaget Raja Mataram dan Kumara Gandamayana bukan
olah-olah. Kedua orang ini saling pandang. Si kakek berbisik.
"Ternyata Raja Jin itu bukan saja telah memperbaiki Istana tapi juga mengirim
anak buahnya untuk menjemput dan
mengamankan kita."
"Yang aku tidak mengerti," kata Raja Mataram pula.
"Kereta dan gerobak ini pasti dalam keadaan rusak akfbat banjir beberapa waktu
lalu. Mengapa sekarang aku lihat utuh semua?"
"Benar Yang Mulia. Pemuda berambut panjang bernama Satria Panggilan itu menyuruh
Raja Jin Hutan Roban yang masih ada di sana untuk memperbaiki." Jawab Abdi Oalem
Karto Singgil. "Luar biasa" Ucap Raja Rakai Kayuwangl. "Aneh!"
"Sudah Yang Mulia, apapun yang aneh biar kita bicarakan nanti saja. Kalau sudah
sampai di Kotaraja nanti ketahuan apa yang telah terjadi. Sekarang yang penting
semua naik kereta dan bergerak cepat menuju Kotaraja." Ratu Randang berkata lalu
melompat ke atas kereta putih, duduk di sebelah depan di atas bangku kusir
kereta berwajah putih licin. Kusir kereta aneh ini berpaling pada si nenek. Ratu
Randang Juga balas memandang walau tengkuknya terasa dingin. Tapi dasar nenek
nakal, dia kedipkan sepasang mata julingnya pada kusir tidak berwajah itu.
Mahluk yang dikedip usap wajahnya dengan tangan kiri. Tiba-tiba saja wajah itu
jadi utuh seperti wajah manusia biasa. Ada hidung, alis, mulut dan sepasang
mata. Sepasang mata ini kemudian balas mengedip membuat Ratu Randang tersentak kaget
dan terkenclng di celana! Kusir kereta usap mukanya sekali lagi. Tampangnya
kembali seperti tadi.
Putih licin! "Oala! Oala!" Ucap Ratu Randang dalam hati. Dia Ingin turun saja dari kereta itu
mencari kereta lain. Tapi tiba-tiba saja kaki kirinya diinjak oleh kusir kereta
hingga dia tak bisa bergerak!
Setengah sadar setengah tidak tubuhnya condong ke kiri lalu tersandar seperti
orang tidur di bahu sang kusir!
68 Bidadari Dua Musim
Abdi Dalem Karto Singgil buru-buru membuka pintu
kereta. Setelah Raja dan Permaisuri serta berapa orang putera-pirteri masuk ke
dalam kereta putih, semua anggota rombongan yang lain juga segera naik ke dalam
kereta dan gerobak.
Banyak yang lebih suka memilih kereta atau gerobak yang dikusiri orang berwajah
utuh. Kumara Gandamayana, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sengaja memilih gerobak
terbuka agar dapat mengawasi keadaan selama perjalanan.
Kebetulan Sakuntaladewi berada di satu gerobak
dengan Kumara Gandamayana. Gadis berkaki tunggal ini berbisik. "Kek, bagaimana
kalau semua ini jebakan lagi. Kusir-kusir tidak berwajah itu ternyata adalah
mahluk susupan kaki tangan dua Sinuhun jahatl
Si kakek tiba-tiba saja menjadi kaget
"Astaga! Apa yang kau katakan itu bisa saja terjadi! Aku harus mengingatkan Ratu
Randang!" Kumara Gandamayana lalu melompat dari atas gerobak, melesat dari gerobak satu ke
kereta lainnya. Begitu seterusnya hingga dia sampai di atas kereta putih yang
membawa Raja Mataram.
Tak lama kemudian dia kembali ke gerobak yang
ditumpangi Sakuntaladewi.
"Sudah Kek" Kau sudah memberi tahu nenek itu?"
Tampang Kumara Gandamayana tampak cemberut ketika
menggeleng. "Aku tidak jadi bicara. Kulihat dia malah bercinta sandarkan tubuh dengan mesra
ke kusir bermuka licin itu!"
"Apa Kek?" Tanya Sakuntaladwewi tidak percaya.
"Dasar nenek genit! Sial!" Kumara Gandamayana mengomel.
69 Bidadari Dua Musim
KETIKA Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Kotaraja bersama tiga belas perempuan
muda, keadaan di sana lengang dan gelap. Satu-satunya penerangan adalah cahaya
bulan biru di langit bersih. Udara tercium kurang sedap namun Wiro tidak satupun
menjumpai mayat manusia atau bangkai binatang.
Sewaktu sampai di alun-alun Wiro tercengang melihat bangunan Keraton atau Istana
di seberang sana berdiri megah dalam kesunyian malam dibawah siraman cahaya
rembulan. Padahal sebelumnya dia melihat banyak rumah penduduk serta candi-candi kecil
dalam keadaan rusak bahkan runtuh. Di halaman samping Istana kelihatan banyak
sekali kereta dan gerobak dalam keadaan rusak. Di bagian belakang istana
terletak satu kandang besar. Di dalam kandang belasan kuda yang sesekali
mengeluarkan suara mendengus keras.
"Aneh istana seperti baru dipugar. Tapi tak ada tanda-tanda ada yang menghuni.
Berarti Raja Mataram belum berada di sana."
Ketika mencapai pintu gerbang istana tiba-tiba empat orang berpakaian perajurit
lusuh bersenjata tombak muncul menghadang. Dua perajurit berusia lanjut, dua
lainnya masih muda. Mereka terlihat letih kurang tidur.
Empat perajurit memperhatikan Wiro dari kepala sampai Ke kaki, lalu melirik ke
arah tiga belas perempuan yang ikut bersamanya. Salah seorang perajurit muda
melangkah maju mendekati Wiro lalu menegur.
"Kami pengawal Keraton Mataram. Kau siapa" Ada keperluan apa hendak memasuki
Keraton" Siapa perempuan-perempuan Ini"!"
"Aku Satria Panggilan, sahabat Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala."
Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Wiro. "Perempuan-perempuan Ini adalah sahabat-sahabatku yang sebelumnya
diculik oleh orang jahat dan ingin minta perlindungan pada Raja Mataram. Aku
sendiri ada urusan penting ingin menghadap Raja."
"Kami tidak mengenal dirimu. Juga tidak pernah mendengar namamu! Lalu Yang Mulia
Raja Mataram tidak ada dalam Keraton. Kami diperintah untuk tidak memperbolehkan
siapapun masuk ke dalam Keraton."
"Begitu?" Wiro menggaruk kepala. "Siapa yang memberi 70 Bidadari Dua Musim
perintah."
"Penguasa Keraton." Jawab si perajurit
"Penguasa Keraton" Yang berkuasa di sini adalah Raja Mataram. Tapi tadi kau
bilang Raja tidak ada dalam Keraton.
Jangan berani bicara ngacok padaku!"
Tiba-tiba dari dalam istana terdengar suara menggembor keras. Disusul ucapan
lantang. "Aku penguasa Keraton Mataram.
Karena aku dan anak buahku yang telah memperbaiki Keraton.
Aku pula yang memerintahkan para pengawal untuk tidak mengizinkan siapapun masuk
ke dalam Keraton!"
Bersamaan dengan selessinya suara ucapan lantang
tahu-tahu di hadapan Pendekar 212 telah berdiri satu sosok tinggi besar
bertampang angker luar biasa. Mahluk ini memiliki sepasang mata yang bola
matanya keluar dari rongga, bergoyang bergundal-gandil kian keman. Daun telinga
mencuat melewati batok kepala. Karena tidak memiliki bibir untuk mengatup mulut,
barisan gigi atas bawah yang besar-besar mencuat keluar. Mahluk ini mengenakan
jubah hitam terbuat dari anyaman ijuk.
Kening diikat tali hitam juga terbuat dari ijuk. Dua telapak tangan selalu
diusap-usap satu sama lain. Semua perempuan yang ikut bersama Wiro terutama tiga
orang yang masih berusia belasan tahun sembunyi di belakang sang pendekar,
ketakutan setengah mati.Sesaat Wiro terperangah melihat mahluk ini terutama matanya yang keluar dan
terus bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seperti lonceng, mengeluarkan suara
klek...klek...klek.
Untuk beberapa lama murid Sinto Gendeng hanya bisa tertegun diam memperhatikan.
Tiba-tiba mahluk dahsyat itu hembuskan nafas panjang.
Wiro merasa hawa panas menyambar membuat dua matanya jadi perih.
"Aku tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton. Apa kau berani mau
memaksa"!" Mahluk yang mengaku penguasa Keraton Mataram itu keluarkan ucapan.
Suara keras membahana.
"Hebat! Baru hari ini aku melihat mahluk hebat sepertimu.
Malam-malam pula!" Wiro menyeringai. "Harap kau bicara perlahan saja, jangan
menghembus hawa panas. Mata jangan dlgundal-gandil. Orang-orang perempuan yang
ada di belakangku bisa mati berdiri karena ketakutan!"
"Pemuda geblek Kau berani memerintah aku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan
Roban?" "Tadi kau bilang penguasa Keraton Mataram. Sekarang menyebut diri Raja Jin Hutan
Roban! Sebentar lagi apa lagi"!"
"Jangan berani kurang ajar padaku! Kau datang 71 Bidadari Dua Musim
membawa begini banyak perempuan muda dan cantik. Jangan-jangan mau berbuat mesum
di dalam Istana Raja Mataram yang tidak berpenghuni!"
"Justru aku baru saja menolong perempuan-perempuan ini dari sekapan bocah jahat
bernama Dirga Purana!"
"Apa"! Kau menyebut nama Dirga Purana"! Apa aku tidak salah dengar"!"
Wiro tidak segera menjawab. Dia merasa kawatir
jangan-jangan mahluk dahsyat ini adalah kambralnya Dirga Purana sekaligus sobat
dua Sinuhun! "Mahluk hebat, jika kau tidak mengijinkan aku masuk ke dalam Keraton tidak apa
Tapi tolong perempuan-perempuan ini. Mereka kecapaian, kedinginan, juga pasti
haus dan lapar.
Berikan tempat berlindung bagi mereka di dalam sana. Bangsal bekas tempat tidur
kusir Istanapun tak jadi apa."
Mahluk dahsyat hentakkan kaki kirinya hingga tanah bergetar dan pintu gerbang
berderak. Dua tangan diusap-usap.
Tiba-tiba dia membentak.
"Aku tanya apa aku tidak salah dengar kau menyebut nama Dirga Purana"!"
"Tidak, kau tidak salah dengar. Aku tadi memang menyebut nama bocah itu. Biar
lebih jelas dia juga dipanggil dengan nama Sang Junjungan!"
*Klek...klek...klekl" Sepasang mata Raja Jin Hutan Roban terus bergundal-gandil
ke kiri dan ke kanan, kini lebih cepat dan suaranya lebih keras.
Wiro menunjuk ke arah dua mata Raja Jin Hutan Roban.
"Sepasang matamu Itu. Apa kau tidak dibuat kecapaian karena bergerak terus. Apa
kau tidak takut putus kalau jatuh bergelindingan di tanah, masuk ke dalam
comberan"!"
Semula Wiro mengira mahluk itu akan membentak marah bahkan mungkin memukulnya.
Tapi diluar dugaan Raja Jin Hutan Roban malah tertawa bergelak. "Baru sekali ini
ada mahluk hidup berani bicara seperti kau! Katakan siapa kau adanyal"
"Namaku Wiro Sableng...."
"Nama aneh. Apa kau sableng alias gelo benaran"!"
"Aku datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Berarti kau orang gelo yang kesasar ke Bhumi Mataram Inil"
"Orang di sini memanggilku Satria Panggilan."
Kali ini Raja Jin Hutan Roban tidak menyambung lagi ucapan Wiro. Untuk sesaat
dua mata yang keluar berhenti bergoyang gundal-gandll lalu diulur, bergerak ke
kepala, wajah, turun ke tubuh sampai ke kaki dan naik lagi ke kepala.
"Aku tidak dapat memastikan! Bagaimana aku tahu kau bukan mahluk jejadian
bikinan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa
dirimu adalah 72 Bidadari Dua Musim
benar-benar pendekar yang didatangkan Raja Mataram dari negeri delapan ratus
tahun mendatang."
"Aku merasa tidak perlu membuktikan. Kau tunggu saja, sebelum tengah malam Raja
Mataram beserta Permaisuri, anak istri dan seorang kakek sakti bernama Kumara
Gandamayana akan sampai ke sini."
"Memangnya saat ini Raja berada dimana?" Tanya Raja Jin Hutan Roban.
"Cukup jauh dari sini. Di timur Prambanan, dekat Kali Dengkeng." Jawab Wiro
sambil matanya menatap ke halaman samping dimana terdapat banyak kereta dan
gerobak rusak. "Raja Mataram, dibiarkan berjalan kaki sejauh itu. Walau di langit ada bulan
purnama menebar cahaya sejuk. Bahaya bisa muncul secara mendadak..."
"Raja Jin Hutan Roban, jika kau sahabat Raja Mataram.
jika kau mampu memperbaiki Istana semudah dan secepat membalikkan tangan,
mengapa saat ini kau tidak memperbaiki kereta dan gerobak yang ada di halaman
sana untuk dipakai menjemput Raja dan rombongan?"
"Aku tidak bersahabat dengan Raja Mataraml Aku tidak bersahabat dengan manusia
bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Tapi aku bersahabat dengan seorang
kerabat Raja Mataram. Kerabat inilah yang telah meminta aku memperbaiki istana
atau Keraton Mataram. Aku mengerahkan ratusan Jin Putih. Setelah Istana selesai
diperbaiki dalam waktu satu hari satu malam kerabat ini pula yang minta aku
menjaga Istana ini sampai Raja Mataram kembali bersama rombongannya dari satu
tempat rahasia. Aku menghormati sang kerabat dan memenuhi permintaannya."
Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. "Kau mahluk berbudi. Kalau aku boleh tahu
siapa adanya kerabat Raja Mataram yang kau hormati itu?"
"Aku tidak akan menjawab. Aku tidak akan memberi tahu!"
Tiba-tiba tanah halaman Istana bergetar lalu braakkl Tanah terbongkar. Asap
kelabu mengepul. Dari tanah yang menganga menyembul keluar satu mahluk luar
biasa besar dan tinggi seolah menyondak langit! Saking tingginya, Raja Jin Hutan
Roban yang hampir satu setengah kali tinggi Pendeklar 212 ternyata hanya
sopinggang mahluk inil Tanah yang terbongkar menutup kembali!
Suara mengorok keluar dari tenggorokan mahluk yang mengenakan jubah biru ini.
Bagian atas pakaian tidak dikancing hingga memperlihatkan dada penuh bulu tebal.
Di atas kepalanya yang botak plontos ada sebuah tanduk memancarkan cahaya merah.
Sepasang mata menjorok keluar, besar putih sementara lensa mata hanya merupakan
satu titik hitam kecil.
73 Bidadari Dua Musim
Kumis menjulai tebal, janggut hitam lebat berkeiuk. Hembusan nafas memerihkan
mata. Sambil menyeringai memandang ke arah Wiro, mahluk raksasa ini rangkapkan
dua tangan yang penuh bulu di atas dada. Sepuluh jari tangan sebesar pisang
tanduk bergerak-gerak mengeluarkan suara berkeretekan.
Mahluk ini tertawa bergelak. Di akhir tawanya dia membentak.
"Akulah kerabat yang dimaksud Raja Jin Hutan Roban Sangkala Darupadha! Aku Arwah
Ketua penghuni Candi Miring!"
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di belakangnya tiga belas perempuan
kembali berpekikan.Wiro menenangkan dan menyuruh mereka pergi berlindung di
dekat sebuah pohon besar. Namun karena takut mereka tidak mau bergerak dari
belakang Wiro. "Arwah Ketua," ucap Wiro dalam hati dengan dada bergetar. "Sebelumnya mahluk ini
telah disusupi roh Ketua Jin Seribu Perut Bumi. Dikendalikan oleh Sinuhun Merah
untuk membunuhku! Di Candi Kalasan lenyap begitu saja setelah tubuhnya yang
dikuliti Empat mayat Aneh aku tendang masuk ke dalam candi. Sekarang apa lagi
yang hendak dilakukannya terhadapku Celaka aku kalau dia masih berada dalam
kekuasaan Sinuhun Merah atau Sinuhun Muda. Bisa juga dia dikendalikan oleh Dirga
Purana!" Selagi Pendekar 212 berpikir hendak mengamblaskan
diri masuk ke daiam tanah dengan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana tibatiba tangan kanan Arwah Ketua bergerak mencekal pinggang Wiro lalu diangkat ke
atas, dekat-dekat di depan wajahnya yang menakutkan! Mulut meniup! Wiro menjerit
ketika tiupan itu membuat kepalanya terasa seperti mau pecah!
Di bawah sana tiga belas perempuan muda berpekikan lalu lari berserabutan.
"Sahabatku Arwah Ketua!" Raja Jin Hutan Roban berkata.
"Akan kita apakan manusia satu ini" Aku bisa melahapnya mentah-mentah! Aku juga
bisa mencopot bagian tubuhnya satu demi satu, mulai dari kaki berakhir di batang
leher! Atau aku suruh anak buahku mencincangnya sampai sehalus bubuk gergaji
untuk dicampur dalam sarapan kopi hangat mereka besok pagi"
Ha...ha...ha! Tapi aku lebih suka menusuk tubuhnya mulai dari pantat tembus ke
batok kepala dengan besi panas.Lalu mayatnya aku pancang di puncak Candi Miring
kediamanmul Ha...ha...ha!"
Habis tertawa bergelak Raja Jin Hutan Roban gerakkan dua tangan. Di tangan kanan
mahluk ini tahu-tahu sudah tergenggam sebatang besi panas membara yang ujungnya
lancip. Besi digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara menderu, menebar hawa
panas dan tebaran cahaya merah, berubah seolah menjadi puluhan banyaknya!
"Wutttr Tiba-tiba ujung lancip besi diarahkan ke bagian 74 Bidadari Dua Musim
bawah perut Wiro seolah benar-benar hendak ditusukkan ke pantat sang pendekar
yang saat itu dalam keadaan tak bergerak karena dicekal oleh Arwah Ketua.
Kalau gerakan tangan kanan Raja Jin Hutan Roban
mengeluarkan batangan besi panjang lancip membara, maka gerakan tangan kirinya
membersitkan cahaya putih yang kemudian berubah menjadi ratusan sosok mahluk
berjubah putih tanpa wajah, mengambang diudara maiaml Mengerikannya sepasang
tangan mahluk Ini tidak berbentuk tangan biasa tapi berupa golok besar tajam
berkilat! Jelas inilah barisan pencincang yang dipersiapkan oleh Raja Jin Hutan
Robanl Walau tengkuknya merasa sedingin es di puncak
Mahameru Pendekar 212 tidak kehilangan akal. Dia sadar sulit meloloskan diri apa
lagi ratusan mahluk tanpa muka dilihatnya mulai menebar membuat lingkaran
mengurung! Tidak ada jalan lain. Dia harus berjibaku.
Saat itu Wiro telah mengalirkan tenaga dalam penuh dan seluruh hawa sakti yang
dimilikinya ke tangan kiri. Dia siap menghancurkan kepala Raja Jin Hutan Roban
dengan Pukulan Sinar Matahari. Lalu bersamaan dengan itu tangan kanannya siap
mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang terselip di punggung sebelah belakang.
Dengan senjata sakti ini dia akan menusuk dan membabat leher Arwah Ketuai
"Sahabatku Arwah Ketuai Aku masih menunggu. Pilihan kematian mana yang kau
inginkan atas diri manusia satu ini!"
Raja Jin Hutan Roban berkata pada Arwah Ketua.
Sepasang mata besar Arwah Ketua menatap tak berkesip pada Pendekar 212. Mulut
menyeringai. Tanduk merah memancarkan cahaya terang. Rahang menggembung dan
terdengar jelas suara geraham bergemeletukan.
"ini saatnyal" Ucap Wiro dalam hati.
Begitu dua tangan hendak digerakkan untuk melepas
dua pukulan sakti dan mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tiba-tiba terdengar
Arwah Ketua berkata.
"Sobatku Sangkala Darupadha, aku tidak punya pilihan apa-apa. Aku malah
memintamu agar kau mengabulkan
permohonan yang tadi diucapkan pemuda ini."
Raja Jin Hutan Roban dongakkan kepala. Lalu bertanya.
"Arwah Ketua, apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru berucap?"
"Sobatku, aku tidak keliru berucap dan kau tidak salah mendengar." Jawab Arwah
Ketua pula, membuat Raja Jin Hutan Roban semakin heran.
"Katakan, permohonannya yang mana yang harus aku kabulkan"l"
"Tadi dia meminta agar kau memperbaiki semua kereta 75 Bidadari Dua Musim
dan gerobak yang rusak di halaman samping Istana. Lalu aku menambahkan. Kau juga
harus memasangkan kuda pada kereta dan gerobak itu untuk dipakai menjemput Raja
Mataram dan rombongannya di timur Prambanan.tak jauh dari Kali Dengkeng."
"Sahabatku Arwah Ketua! Tidak sulit bagiku melakukan apa yang kau katakan. Aku
hanya tinggal memerintah ratusan anak buahku!"
"Aku tahu hal itu. Kau telah membuktikan. Ratusan anak buahmu mampu memperbaiki
Istana hanya dalam waktu satu hari satu malam! Kalau begitu mengapa tidak segara
kau penuhi permintaan pemuda itu dan permintaanku" Bukankah ini saatnya yang
tepat kita berbakti pada Kerajaan, menolong Raja Mataram, Permaisuri, puteraputeri dan para pengikutnya."
"Sahabat Arwah ketua, aku tidak mengerti. Mengapa kita tidak membunuh pemuda
itui" Perlahan-lahan Arwah Ketua turunkan Pendekar 212
ke tanah lalu menjawab. "Dia sahabatku. Berarti sahabatmu juga! Dia telah
menyelamatkan roh dan tubuhku ketika ada orang menguliti diriku di Candi
Kalasan. Kalau bukan karena pertolongannya saat ini aku tidak akan berada di
sini dan rohku gentayangan tak karuan di alam gaib." (Mengenal pertistiwa di
Candi Kalasan harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Delapan Sukma Merah")
Raja Jin Hutan Roban merenung sejurus. Mata yang
bcrgundal- gandi! diulur ke arah Arwah Ketua dan Wiro laiu mulutnya berucap.
"Sahabat Arwah Ketua, jika begitu kemauanmu aku mengikut sajal Aku tidak
keberatan bersahabat dengan pemuda inil" Lalu Raja Jin Hutan Roban mendongak ke
udara ke arah ratusan anak buahnya. "Kalian sudah mendengar semua pembicaraan.
Perbaiki semua kereta dan gerobak. Pasang kuda penarik. Lalu kalian dibantu Abdi
Dalem Istana malam Ini juga berangkat ke arah timur Prambanan. Sebelum mencapai
Kali Dengkeng aku rasa kalian sudah akan bertemu dengan rombongan Raja Mataram.
Bawa mereka dengan selamat sampai ke sinil Sepanjang perjalanan kalian harus
merapal aji Tabir Pelindung Delapan Penjuru Angin. Aku kawattr roh-roh jahat
masih akan mencoba menimbulkan malapetaka. Dan jangan lupa mengunyah kemenyanl
Lakukan sekarang!"
Puluhan tangan yang berbentuk golok besar berkilat berubah menjadi seperti
tangan manusia biasa. Masing-masing mahluk kembangkan telapak tangan. Saat Ku
juga di telapak mereka kelihatan ada sekeping kemenyan Benda itu lalu didekatkan
ke wajah licin, ditekan pada bagian dimana seharusnya terletak mulut
76 Bidadari Dua Musim
"Clcepp! Cleeppl"
Kepingan kemenyan lenyap masuk ke dalam wajah licin.
Sementara wajah aneh Ku tampak bergerak-gerak seperti mengunyah, tubuh mereka
berubah menjadi samar lalu melesat ke samping Istana. Kemudian terdengar riuh
suara orang bekerja, mengetok palu, menggergaji balok.
Tak selang berapa lama puluhan kereta dan gerobak
yang sebelumnya rusak akibat dilanda banjir air merah pada bencana Malam Jahanam
kini utuh kembali. Lalu ada bayangan mahluk-mahluk berjubah putih berwajah licin
mengeluarkan puluhan kuda dari dalam kandang untuk dipasangkan pada kereta dan
gerobak. Hanya sesaat setelah rombongan kereta dan gerobak
meninggalkan Istana Mataram satu tangan besar memegang bahu Pendekar 212 hingga
sang pendekar hampir sempoyongan.
"Anak muda Kesatria Panggilan, apakah kau membekal keris sakti Kanjeng Sepuh
Pelangi?" Yang bertanya adalah Arwah Ketua. Wiro memandang
ke atas. Dia tidak segera menjawab. Dalam hati timbul rasa kawatir. Apa maksud
Arwah Ketua menanyakan senjata sakti itu" Ingin memintanya" Apakah Arwah Ketua
hendak menjebaknya karena dia sebenarnya dia mungkin masih berada di bawah pengaruh
kekuatan gaib mahluk alam roh Sinuhun Merah.
"Celaka, kalau dia meminta dan aku tidak memberi bisa saja dia nekad merampas!"
Wiro Sableng 184 Dewi Dua Musim di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Wiro tidak menjawab. Arwah Ketua tertawa.
"Aku tahu senjata itu ada padamu. Aku juga tahu kalau tadi kau bermaksud mau
membunuhku dengan keris itu." Wiro terkejut mendengar ucapan Arwah Ketua. "Aku
hanya ingin mengatakan agar kau menjaga baik-baik senjata itu karena tak lama
lagi akan kau serahkan pada Raja Mataram. Lalu senjata itu juga akan kau
pergunakan untuk menolong seorang gadis berkaki tunggal. Waktu antara kau
menyerahkan keris ke tangan Raja terpaut cukup lama. Dalam keterpautan itu bisa
saja terjadi hal tidak terduga. Kau harus mencegah jangan sampai kecolongan.
Bukankah selama ini kau menyisipkan keris itu di punggung belakang dengan ujung
lancip mengarah ke bawah, ke arah tanah?"
Wiro menggaruk kepala lalu mengangguk.
"Itu cara yang salah menyimpan keris tak bersarung.
Seharusnya keris itu kau sisipkan dengan ujung lancip menghadap ke atas, ke arah
langit. Bilamana terjadi sesuatu senjata sakti itu akan lebih mudah melesat
untuk menolongmu dan dirinya sendiri."
Wiro terkejut dan buru-buru hendak keluarkan Keris 77 Bidadari Dua Musim
Kanjeng Sepuh pelangi dari balik punggungnya. Arwah Ketua tertawa.
"Tak perlu susah-susah. Aku telah memperbaiki letak senjata itu. Kini ujung
runcingnya sudah menghadap ke atas."
Wiro meraba ke punggung. Astaga. Memang betul. Keris yang selama Ini tersisip
menghadap ke bawah kini ujung lancipnya telah mengarah ke atas!
"Satria Panggilan, kami berdua sudah cukup lama di sini. Kau masih menunggu
kedatangan Raja dan mengurus perempuan-perempuan muda itu." Arwah Ketua
menyeringai dan kedipkan matanya yang aneh. "Semoga Para Dewa melindungi dan
memberkatimu!"
Arwah Ketua berpaling pada Raja Jin Hutan Roban.
Keduanya saling bergandengan tangan lalu wuss! Dua mahluk alam roh ini sama
amblas masuk ke dalam tanahl
Wiro lepas nafas lega lalu berucap perlahan. "Ternyata keduanya mahluk-mahluk
baik. Aku hanya kasihan pada Raja Jin Hutan Roban. Seumur-umur matanya menjulur
gundal-gandil tak karuan. Mungkin aku bisa menolongnya memasukkan mata itu ke
dalam rongganya dengan ilmu Manahan darah Memindah Jazad. Sayang dia keburu
pergi." Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba braakkl Tanah terbongkar. Sosok
Raja Jin Hutan Roban melesat keluar dan berdiri di hadapan Wioro. Sambil
membungkuk sedikit dia berkata. "Satria Panggilan.tadi kau berkata apa" Kau mau
menolong apa....?"
Kejut Pendekar 212 bukan olah-olah. "Sudah amblas ke dalam tanah bagaimana
mungkin dia masih mampu mendengar ucapankul" Wiro menggaruk kepala.
"Raja Jin, sebenarnya aku hanya berandai-andai. Tapi tidak ada salahnya dicoba.
Aku bermaksud menolong
memasukkan kedua matanya yang terjulur dan selalu gondal gandil itu ke dalam
rongganya."
"Hah, apa"! Bagus itu! Kau pasti punya ilmu hebat!
Lekas lakukan! Aku sudah bosan dengan mata yang seumur-umur menyiksa ini.
Gundal-gandil tak karuan."
Raja Jin Hutan Roban lalu duduk bersila di depan Wiro hingga tinggi sosok mereka
menjadi sama Wiro jadi berdebar juga. Kalau gagal mahluk satu in bisa saja
menjadi marah. Sambil merapal ilmu Menahan Darah Memindah Jazad dua tangan diulur. Satu
mendorong mata kiri, satunya lagi mendorong mata kanan Raja Jin Hutan Roban.
Perlahan-lahan dua mata masuk ke dalam rongga. Untuk beberapa lama Wiro masih
menekapkan dua telapak tangan, takut melepas karena kawatir usahanya gagal.
"Sudah apa belum"!" Raja Jin Hutan Roban bertanya.
78 Bidadari Dua Musim
Dengan perasaan tegang Wiro lepas dua tangannya yang menekap. Dia merasa lega
ketika melihat dua mata mahluk jin itu masuk sempurna ke dalam rongga. Hanya
saja dia menjadi terkesiap ketika melihat dirinya sendiri ada di dalam sepasang
mata Raja Jin seolah-olah dia berada di depan cermin.
Raja Jin berseru gembira. Mata diusap berulang kali.
Memandang berkeliling lalu pandangan diarahkan pada Wiro.
"Ada apa ini" Mengapa aku bisa melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang. Weehhh.
Badanmu kecil tapi wehhhl itumu besar sekali! Ha...ha...ha! Sudah aku pergi
sekarang. Terima kasih! Ha...ha...ha!"
"Blessl"
Raja Jin Hutan Roban amblaskan diri masuk ke dalam tanah.
Wiro tersentak kaget dan lekapkan dua tangan ke bawah perut "Bagaimana dia bisa
melihat* Jangan-jangan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung ikut tersedot
masuk ke dalam matanya! Celaka!"
TAMAT ikuti serial berikutnya berjudul:
JABANG BAYI DALAM GUCI
79 Bidadari Dua Musim
Dewa Cadas Pangeran 3 Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis Pedang Penakluk Cinta 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama