Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga Matahari 1

Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari Bagian 1


?"Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
PENDEKAR BUNGA MATAHARI (Serial Jaka Wulung 3) Karya : Hermawan Aksan Cetakan Pertama, September 2013
Penyunting: Dhewiberta Perancang sampul: Edi Jatmiko
Ilustrasi Isi: M. Isnaeny Pemeriksa aksara: Nunung Wiyati & Isnaeny Hikmah
Penata aksara: gores_pena Digitalisasi: Riyan Trisna Wibowo PDF Ebook : yoza
Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi Jln. Kalimantan G-9A, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55204 Telp. & Faks. (0274) 886010
http://bentang.mizan.com/
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hermawan Aksan Pendekar Bunga Matahari/Hermawan Aksan.; penyunting, Dhewiberta. Yogyakarta: Bentang, 2013.
vi + 222 hlm.; 19 cm. ISBN 978-602-8811-89-7 I. Judul. II. Dhewiberta. 899.221 3
e-Book ini didistribusikan oleh: Gedung Ratu Prabu I Lantai 6 Jln. T.B. Simatupang Kav. 20
Jakarta 12560 Indonesia Phone: +62-21-78842005, Fax.: +62-21-78842009 website: www.mizan.com
Isi Buku 1. Benih Asmara di Selat Sunda 2. Awal Prahara di Pelabuhan Kalapa 3. Penculikan Gadis Peranggi
4. Saat-Saat Terakhir 5. Tarian Payung Bunga Matahari
6. Dua Jenis Kecantikan 7. Dahsyatnya Senjata Aneh 8. Rata dengan Tanah
9. Terjebak di Tanah Antah-Berantah
10. Tarian Sepasang Pendekar
11. Impian Membangun Kerajaan
12. Dahsyatnya Kekuatan Cinta 13. Hangatnya Cinta di Tengah Laga
14. Dua Maung Lodaya 15. Luhurnya Menunaikan Janji Tentang Penulis
Prolog PELABUHAN Kalapa diperkirakan sudah ada sejak zaman Tarumanagara pada abad kelima, dengan nama Sundapura. Pada masa Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi pada menjelang awal abad keenam belas, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini sambil membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi bahan perdagangan Kerajaan Sunda saat itu.
Dari Kalapa, orang bisa menempuh perjalanan melalui Ci Liwung menuju Pakuan, Ibu Kota Kerajaan Sunda, dalam tempo dua hari naik perahu.
Setelah Kerajaan Sunda runtuh, Pelabuhan Kalapa dikuasai Banten. Dan sebagai sebuah pelabuhan yang berkembang menjadi kota yang ramai, Kalapa kerap mengalami kekacauan.
Dengan latar belakang inilah, kisah Titisan Bujangga Manik ini berlanjut.. []
1 Benih Asmara di Selat Sunda
BUIH-BUIH putih itu memanjang, seperti ekor yang terus mengikuti buritan kapal, meninggalkan Pelabuhan Banten, menyibak Selat Sunda menjadi bidang biru yang mahaluas digarisi warna putih. Makin jauh, garis buih itu makin memudar, hingga menyatu dengan permukaan laut keseluruhan, berupa bidang seperti cermin buram yang memantulkan sang surya yang siap rebah tenggelam.
Di barat laut, ujung selatan Swarnadwipa seperti onggokan tanah yang mengapung, samar oleh garis-garis tipis kabut.
Suatu saat, aku harus menginjak pulau itu, pikir Jaka Wulung. Sekarang, aku masih mempunyai kewajiban yang lain.
Rambut pendekar belia itu tergerai ditampar-tampar angin barat. Jemarinya mencengkeram pagar kapal erat-erat. Tubuhnya ramping, dengan otot-otot yang tegas terlatih. Dari kejauhan, dia tampak kukuh seperti pelakon utama dalam kisah-kisah legenda.
Tapi, sebenarnya cengkeraman yang kuat itu hanyalah upayanya untuk menahan tubuhnya supaya tidak goyah oleh dua alasan. Pertama, oleh denyar-denyar di dalam dadanya. Dia memandang laut lepas dalam upayanya menghindari menatap wajah jelita di sampingnya. Selalu saja, setiap dia memandang Ciang Hui Ling, gadis jelita itu, pikirannya mengembara ke mana-mana. Khayalannya selalu melambung mendahului kenyataan.
Dengan baju kuning membungkus tubuhnya yang ramping, dengan rambut yang terurai dan sebagian diikat pita yang juga kuning, Ciang Hui Ling memanglah gadis yang benar-benar menggetarkan siapa pun yang memandangnya. Dia tampak pantas menjadi pendamping sang pelakon utama dalam kisah-kisah legenda.
Keduanya ibarat Kamajaya dan Kamaratih1.
Atau, Liang Shanbo dan Zhu Yingtai2. Atau, lebih tepat ... Kamajaya dan Zhu Yingtai!
Itulah .... Itu yang menjadi batu besar yang mengganjal di dada Jaka Wulung. Mungkinkah seorang Kamajaya menjadi kekasih Zhu Yingtai" (Oh, tunggu, dari mana aku bisa merasa diri sebagai Kamajaya" Janganjangan aku hanyalah seorang Cakil yang tak tahu diri!)
Mereka hanya berdua di buritan. Bahkan, di seluruh geladak.
Tidak banyak penumpang kapal ini. Dan tampaknya orang-orang lebih suka berada di ruang penumpang, menghindari angin sore yang bertiup kencang. Bahkan, tak ada awak kapal di geladak. Mungkin mereka sedang beristirahat setelah sibuk menjelang keberangkatan tadi.
Kapal serasa milik berdua.
Kapal melaju membelah laut dengan kecepatan cukup tinggi. Layar-layar di ketiga tiang utamanya mengembang diempas angin. Sungguh kapal yang gagah. Mereka berharap perjalanan menuju Pelabuhan Kalapa tidak akan lebih dari dua hari. Syukur-syukur bisa lebih cepat. Kapal ini membawa penumpang dan mengangkut banyak barang dari Swarnadwipa menuju Kalapa. Mungkin juga akan terus menuju Cerbon. Alasan kedua, ....
Kau pendiam sekali sore ini, Jaka.
Jaka Wulung menarik napas dalam. Tapi, suara lembut itu seperti besi berani yang membuat kepalanya menoleh.
Jaka Wulung memandang Ciang Hui Ling dan dadanya kembali berdenyar. Rasanya ombak laut ini terlampau besar.
Ciang Hui Ling membelalakkan matanya yang indah. Tapi, beberapa saat kemudian dia tertawa, dan mata indah itu menjadi sepasang garis tipis belaka.
Jangan katakan kau mabuk laut.
Ini pengalaman pertamaku naik kapal laut. Ini belum seberapa, Jaka. Kapan-kapan kita bisa mengarungi laut nun di sana, Ciang Hui Ling menunjuk arah utara. Aku pernah digoyang ombak-ombak besar di Laut Tiongkok Selatan.
Tetap saja, bagiku ini bukan ombak Ci Pamali. Ciang Hui Ling tertawa lagi.
Jaka Wulung tersenyum. Tawa merdu gadis itu sungguh mengobati perutnya yang mulai serasa dikocok-kocok.
Tentu ada dua hal mengapa kau tak boleh mabuk laut, Jaka. Jaka Wulung memandang Ciang Hui Ling dengan penuh perhatian.
Pertama, bagaimana mungkin seorang pemuda berilmu tinggi sepertimu, dengan gelar Titisan Bujangga Manik, kalah oleh ombak yang tidak seberapa"
Wajah Jaka Wulung terasa menghangat oleh rasa jengah karena gurau bernada sindir Ciang Hui Ling. Wajahnya sedikit memerah. Untunglah, langit mulai temaram dan Jaka Wulung berharap Ciang Hui Ling tidak melihat perubahan rona pada wajahnya.
Dan yang kedua" Hmmm ..., aku tak mau membersihkan kalau kau muntah. Jaka Wulung tertawa. Disambarnya tangan Ciang Hui Ling.
Gadis itu mencoba menarik tangannya. Tapi, gerak Jaka Wulung, meskipun tidak dilambari ilmu kesaktiannya, tetap terlampau cepat bagi Ciang Hui Ling. Atau, kemungkinan lain, gadis itu memang sengaja purapura menarik tangannya. Selalu ada seni tersendiri jika seorang gadis kelihatan tidak mudah didapat. Seperti burung merpati yang kelihatan jinak, tapi tidak mudah ditangkap.
Jaka Wulung meremas gemas jemari Ciang Hui Ling. Ditariknya perlahanlahan tangan si gadis. Pelan, tanpa perlu mengeluarkan tenaga yang besar. Ciang Hui Ling berusaha melawan tenaga tarikan Jaka Wulung. Tapi, perlawanan itu lemah saja. Lebih lemah dibandingkan dengan tenaga tarikan Jaka Wulung. Jengkal demi jengkal jarak di antara keduanya menjadi semakin dekat.
Makin dekat, makin tercium bau harum rambut Ciang Hui Ling meresap ke lubang hidung Jaka Wulung.
Selama beberapa hari dalam kebersamaan sejak peristiwa di Rajatapura, Jaka Wulung selalu berjuang keras menahan diri meskipun denyut jantung dan aliran darahnya seperti membanjir.
Jaka Wulung tidak pernah gentar menghadapi para pendekar berilmu tinggi yang ditakuti di jagat persilatan, termasuk Brahala si raksasa dari Segara Anakan, si Jari-Jari Pencabik dari Gunung Cakrabuana, dan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu.
Akan tetapi, menghadapi seorang gadis jelita bernama Ciang Hui Ling, Jaka Wulung seakan-akan mati kutu. Gentar. Keok memeh dipacok kalah sebelum berlaga. Tapi, memang begitulah, dia tidak bisa membayangkan seandainya Ciang Hui Ling menolak keinginannya. Bagaimana kalau gadis itu menamparnya dengan penuh kemarahan" Pasti akan lebih sakit, jauh lebih sakit, dibandingkan dengan jurus Lidah Ombak Menjilat Pantai yang dilancarkan Sepasang Rajawali. Lebih dari itu, bagaimana kalau Ciang Hui Ling membencinya, dan menilainya sebagai laki-laki tidak punya moral" Ini akan lebih menyakitkan lagi.
Tapi kali ini, dia tidak dapat menahan gejolak dadanya. Angin yang membawa aroma laut, yang mengibarkan rambut lembut Ciang Hui Ling, entah mengapa menambah gejolak dan gairah Jaka Wulung. Mabuk laut Jaka Wulung kini berganti menjadi mabuk yang lain. Mabuk cinta.
Wajah mereka kini hanya berjarak dua jengkal.
Jaka Wulung bahkan seakan-akan sudah mencium bau napas Ciang Hui Ling.
Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung menghentikan tarikan tangannya.
Melalui bidang pandangnya yang sempit, Jaka Wulung merasa ada sesuatu yang bergerak. Bahkan, meskipun pelan, sangat pelan, telinganya mendengar bunyi sesuatu, entah apa. Jaka Wulung cepat menoleh ke arah kabin. Matanya meneliti tiap sudut kabin. Bahkan, juga ke seluruh geladak, hingga ujung haluan di depan sana, sekitar seratus langkah dari tempat mereka.
Tak ada apa-apa. Hanya kelebatan layar-layar putih diterpa angin. Hanya riak-riak ombak yang menjilat lambung kapal. Hanya langit yang kian temaram. Ada apa" tanya Ciang Hui Ling.
Jaka Wulung menggeleng. Mungkin hanya orang yang mengintip, pikirnya.
Pikiran demikian menyadarkan Jaka Wulung sehingga hasrat dan gejolaknya untuk mendekap Ciang Hui Ling memudar pelan-pelan. Ada sesal, tapi juga bahagia. Sesal, ya, itu tadi, keinginannya untuk memeluk Ciang Hui Ling tidak terwujud. Tapi, juga bahagia karena dengan demikian dia terhindar dari perbuatan yang bisa saja hanya berdasarkan nafsu kotor.
Aku menyukai Ciang Hui Ling dengan tulus, batin Jaka Wulung.
Ditatapnya wajah gadis itu. Matanya cemerlang, seperti bintang kejora. Jaka Wulung tanpa sadar menoleh ke langit timur. Sayang, sang bintang belum kelihatan. Padahal, dia ingin membandingkan mata Ciang Hui Ling dengan bintang paling cemerlang itu. Pasti sama indahnya.
Ciang Hui Ling balas memandang Jaka Wulung, tapi kemudian menunduk. Jaka Wulung samar-samar melihat perubahan warna pada wajah Ciang Hui Ling.
Maafkan aku, ya, ucap Jaka Wulung pelan.
Kesalahan apa yang sudah kau lakukan" Ciang Hui Ling tersenyum.
Akan tetapi, sebelum Jaka Wulung menjawab, bidang pandangnya menangkap lagi seseorang, atau sesuatu, bergerak. Telinganya juga menangkap suara yang dia yakin bukan berasal dari tiupan angin, kelebatan layar kapal, atau riak ombak.
Dia menoleh ke arah sumber suara. Bahkan, nyaris pada saat yang sama, Jaka Wulung meloncat cepat menuju gerak sesuatu yang tertangkap bidang pandangnya.
Tidak ada apa-apa. Seluruh geladak tetap sunyi. Hanya ada mereka berdua.
Jaka Wulung meloncat ke sisi kanan kapal. Tak ada apa-apa di permukaan lambung kapal itu. Begitu juga ketika dia meneliti sisi kiri kapal. Matanya kembali memutar memandang sekeliling. Tetap tidak ada apa-apa. Jaka Wulung menarik napas dalam-dalam, meredakan kegeramannya. Apakah dia salah lihat" Apakah pendengarannya keliru"
Apakah itu sekadar penampakan karena perhatiannya sedang dia pusatkan kepada Ciang Hui Ling" Kalau gerakan yang dia lihat itu dilakukan oleh manusia, Jaka Wulung yakin tentu orang itu bukan manusia biasa, melainkan memiliki tingkat ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Tapi, siapa" Kalau bukan manusia ... ah, apakah ada makhluk halus yang ikut-ikutan naik kapal segala"
Kita ke dalam saja, ajak Jaka Wulung kepada Ciang Hui Ling. Ada apa"
Jaka Wulung tetap menggeleng. Mungkin aku salah lihat, desah Jaka Wulung.
Apa yang kau lihat" Entahlah.
Kali ini, giliran Ciang Hui Ling yang menggeleng-geleng. Orang berilmu tinggi memang selalu memiliki kelebihan ... sekaligus kekurangan, katanya.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya memandang Ciang Hui Ling. Katakata gadis ini memang selalu membuatnya terkejut. Ceplas-ceplos, sekaligus mengandung sesuatu yang berisi. Cerdas. Itulah yang disukai Jaka Wulung dari gadis ini.
Menurutmu, apa kekurangan orang berilmu tinggi" tanya Jaka Wulung.
Kali ini, giliran Ciang Hui Ling yang terkejut. Dia menyangka pertanyaan pertama Jaka Wulung adalah apa kelebihan orang berilmu tinggi, tapi ternyata bukan. Dia merasa pertanyaan Jaka Wulung ini terlalu mendadak. Oleh karena itu, Ciang Hui Ling tidak langsung menjawab, malahan terasa wajahnya menghangat dan memerah.
Kekurangannya, ... ya, itu tadi .... Apa itu" tanya Jaka Wulung gemas. Ciang Hui Ling tersipu-sipu malu. Jaka Wulung kian gemas.
Tangannya mencengkeram pagar besi kapal kuat-kuat. Terdengar suara krrrkkk ..., besi yang dicengkeram itu retak! Jaka Wulung melepaskan cengkeramannya. Tentu saja, dia tidak mau merusak kapal penumpang itu! Ciang Hui Ling menunduk, menyembunyikan tawanya.
Jaka Wulung tahu bahwa gadis itu menertawainya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan" Dia benar-benar seperti seorang bocah yang sedang dipermainkan. Ah, Jaka Wulung hanya sedikit lebih tua dari seorang bocah! Alhasil, wajah Jaka Wulung juga menjadi tersipu-sipu.
Ketika keduanya berpandangan, terjadilah sebuah kejadian alami berupa pancaran batin yang saling berbenturan sedemikian rupa sehingga menyentuh saraf geli mereka.
Keduanya tertawa bersama-sama.
Hai, kau belum menjawab pertanyaanku, kata Jaka Wulung ketika tawa mereka mereda. Apa kekurangan orang berilmu tinggi"
Ciang Hui Ling memandang pendekar belia itu, Apa perlu kujawab" Keduanya saling tatap, lalu sama-sama tertawa lagi.
Kapal benar-benar serasa milik mereka.
CIANG Hui Ling tidur dengan posisi miring di lantai ruang penumpang dengan kepala berbantalkan kantong pakaiannya. Pedang tipisnya tergolek dekat kepalanya. Dadanya bergerak seirama dengan tarikan napasnya yang teratur. Goyangan kapal seakan-akan buaian belaka bagi gadis ini. Puluhan orang yang sama-sama tertidur juga tidak membuat dia terganggu. Dia tidur seperti bayi.
Di sebelah gadis itu, Jaka Wulung duduk menyandar dinding. Dipandangnya wajah Ciang Hui Ling yang damai dalam kelelapannya. Malam makin merayap. Langit di luar tampak menghitam.
Jaka Wulung memejamkan matanya. Mengosongkan kepalanya. Melemaskan sekujur tubuhnya.
Hening. Hanya suara angin dan riak ombak yang samar.
Akan tetapi, mendadak, Jaka Wulung merasakan ada sesuatu yang tidak selaras dalam keheningan itu.
Matanya memang terpejam. Tubuhnya juga lemas beristirahat. Bahkan, pikirannya pun larut dalam keheningan. Tapi, tidak semua indranya tertidur. Sebagaimana hidungnya, segenap pori-pori kulit tubuhnya terus bernapas menyerap arus energi sekecil apa pun dari sekitarnya.
Saat itulah, Jaka Wulung merasakan ada arus energi yang menerpa permukaan kulitnya secara terus-menerus. Energi itu lemah, paling hanya berupa gelombang yang memancar ketika seseorang memandang orang lain tanpa maksud apa-apa, maksudnya tanpa disertai tenaga dalam.
Di luar kendali kesadarannya, indra Jaka Wulung waspada. Terutama indra perabanya, saraf-saraf yang memenuhi permukaan kulitnya. Terlebih ketika pancaran energi itu makin lama makin besar. Jelas seseorang, atau sesuatu, sedang memandang tajam Jaka Wulung.
Indra perabanya dengan cepat mengirimkan tanda kepada indra pendengaran dan penglihatan pada saat yang nyaris bersamaan.
Jaka Wulung membuka matanya dengan cepat. Telinganya segera bersiaga untuk menangkap suara sekecil apa pun yang mencurigakan. Dipandangnya sekeliling.
Hening. Tidak ada apa-apa. Hampir semua orang tengah lelap dalam tidur mereka. Hanya beberapa awak kapal yang masih terus terjaga, sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap keselamatan semua penumpang.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Dia yakin bahwa kepekaan indranya tidak salah. Seseorang pasti sedang mengawasinya. Tapi, tidak ada satu pun sosok yang bisa dia curigai sebagai orang yang sedang mengawasinya.
Apa maksudnya mengawasinya terus-menerus" Kalau dia manusia, sekali lagi Jaka Wulung menyimpulkan, tentu orang itu berilmu sangat tinggi. Siapa dia"
Jaka Wulung berdebar-debar. [] ---------------------1 Sepasang dewa dan dewi cinta dalam pewayangan. 2 Sepasang kekasih dalam legenda China
2 Awal Prahara di Pelabuhan Kalapa
TAK ada yang tahu siapa dia dan dari mana dia berasal. Tidak juga dari kapal mana dia turun. Ada tiga atau empat kapal yang datang hampir pada waktu yang bersamaan dan ada puluhan orang yang turun pada saat yang nyaris berbarengan.
Dia adalah lelaki dengan penampilan yang sangat biasa. Pakaiannya sama saja dengan pakaian puluhan orang lainnya. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan, usia yang tidak mencolok dibandingkan dengan orang-orang lain. Kepalanya diikat dengan kain hitam yang hampir menutupi seluruh rambutnya, penampilan yang umum terlihat di mana-mana. Dia membawa buntalan kain yang tidak terlalu besar, mungkin berisi pakaian dan barang lain, yang dia sampirkan di pundak, dan ujungnya dia cekal di depan dada.
Dia berjalan dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak bisa dibilang pelan-pelan. Dia berjalan berbaur dengan orang-orang lain, sendirian tapi tidak memisahkan diri. Puluhan orang hampir memenuhi dermaga. Jadi, dia adalah satu titik yang tidak akan membuat orang tertarik.
Juga tidak ada seorang pun yang mencurigainya ketika dia merogoh bajunya, menarik sebuah segitiga logam yang sangat tajam di setiap ujungnya, kemudian menyentilkannya begitu saja. Tidak ada tujuan bahwa segitiga tajam itu dimaksudkan untuk mengenai orang tertentu. Dia melemparkannya begitu saja. Dalam tempurung kepalanya hanya ada pemikiran bahwa kematian orang itu tidak terlalu berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Mungkin keluarganya, istrinya dan anak-anaknya, akan menangis, tapi setelah itu mereka akan pasrah akan nasib yang menimpa si mati.
Crap! Segitiga itu menancap di leher seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun.
Aaaghk! Lelaki itu memekik, tanpa mengetahui apa yang terjadi. Dia hanya merasakan perih di lehernya, yang membuatnya sulit mengambil napas. Jemarinya meraih lehernya, darah segera membasah, dan dia berkelojotan beberapa jenak dengan mata melotot, sebelum tubuhnya ambruk dengan kepala terlebih dulu menghantam permukaan kayu dermaga.
Orang-orang heboh berkerumun di sekeliling lelaki nahas itu. Beberapa orang berusaha meraba pergelangan tangan dan lehernya. Mereka menemukan semacam senjata tajam berbentuk segitiga yang telah menyayat jalan napas di leher lelaki itu.
Mati, ucap seseorang. Pekikan kemudian terdengar nyaring di pagi yang mulai panas oleh matahari. Pekikan seorang bocah berusia kira-kira sepuluh tahun. Tampaknya, dia anak lelaki malang itu. Tapi, seberapa hebat pun tangisan si bocah, tampaknya sejarah mengenai mereka terhenti hingga di situ ..., kalau saja si pelaku pembunuhan pergi melenggang begitu saja.
Akan tetapi, tampaknya lelaki itu menikmati apa yang baru saja dia lakukan. Baginya, betapa nikmat menghilangkan nyawa orang lain, seakan-akan sedang bermain-main. Membuat heboh puluhan orang. Dia pun ikut bergabung dengan orang-orang lain, seakan-akan ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Setelah itu, dia melangkah menjauh hendak pergi. Pada saat itulah, godaan memenuhi kepalanya sehingga nyaris tanpa disadarinya tangannya kembali menyelinap ke balik bajunya. Dengan cepat, sudah terselip di jemarinya segitiga logam dengan ujung-ujung yang sangat tajam. Dia tidak perlu melihat siapa yang akan menjadi sasarannya. Sebab, seperti lelaki yang sudah mati tadi, sasaran kali ini pun adalah manusia kebanyakan, yang menurut pikirannya tidak berpengaruh terhadap laju sejarah.
Jadi, melalui sentilan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, melesatlah segitiga berujung tajam itu, mendesis pelan, mengarah ke tengkuk seorang lelaki kebanyakan itu. Dalam separuh kejap, segitiga maut itu akan menancap dalam-dalam, dan bisa dipastikan orang itu akan segera tumbang, menyusul lelaki pertama.
Seperti tadi, si pelempar tidak mau melihat melesatnya senjata mautnya. Dia terus melangkah dengan tatapan ke depan. Dalam separuh kejap itu, dia akan segera mendengar bunyi senjatanya menancap di sasaran dan suara pekik si korban.
Akan tetapi, kali ini, yang terdengar kemudian bukanlah suara yang dia harapkan, melainkan ... tidak ada suara apa-apa! Sekejapan kemudian, justru terdengar suara desis lirih mengarah belakang kepalanya. Dia terkejut bukan main. Cepat dia miringkan kepalanya dan sesuatu mendesing lewat hanya dua jari dari telinganya. Sesuatu itu melesat kencang ke depan dan jatuh di dekat segerumbul perdu. Segitiga mautnya! Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi"
Sambil terus berjalan dengan langkah yang makin cepat, dia pun berpikir cepat untuk menebak-nebak apa yang terjadi. Ketika segitiga mautnya itu dia lentingkan dari jemarinya, jelas sekali dia yakin bahwa senjata rahasia itu akan mengenai sasarannya dengan tepat. Tapi, yang terjadi malah berbalik dan nyaris menjadi senjata makan tuan. Kalau saja orang yang disasar itu, atau siapa pun yang melakukannya, telah menangkis senjatanya, tentu akan terdengar suara denting keras. Tapi, ini tidak terdengar suara apa-apa.
Satu jawaban yang masih mungkin adalah seseorang, entah siapa, telah melancarkan tenaga dalam berupa angin yang sangat dahsyat yang membuat senjata segitiga mautnya berbalik arah dan mengejarnya.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Siapa pun dia, jelas dia orang yang sangat sakti. Pasti bukan lawan yang mudah bagiku, pikir orang yang sudah melemparkan segitiga maut itu seraya terus mempercepat langkahnya keluar dari dermaga. Wajahnya sedikit memucat. Dadanya berdebar-debar. Dia baru datang di wilayah ini dan dia tidak mau mati konyol. Dia bahkan belum sampai ke tahap awal tujuan kedatangannya.
Dia kemudian berlari dan lenyap di antara rumah-rumah penduduk. *****
TEWASNYA seseorang di dermaga itu menjadi heboh di seantero pelabuhan. Kalapa sudah bertahun-tahun menjadi pelabuhan yang cukup aman. Di bawah penguasa Kalapa sekarang, dan di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, Kalapa makin berkembang menjadi pelabuhan yang ramai, didatangi berbagai kapal dari berbagai negeri. Syahbandar pelabuhan juga sudah mengatur wilayahnya dengan baik sehingga nyaris tidak terjadi peristiwa besar yang menggemparkan.
Tampaknya, hari itu akan berlangsung sebuah perubahan dahsyat.
Seseorang tewas dengan leher berlubang oleh senjata rahasia berbentuk aneh.
Akan tetapi, kehebohan itu tidak berlangsung lama. Bukan karena kasusnya dengan cepat diselesaikan, melainkan terjadi kehebohan di tempat lain.
Tepatnya di sebuah kedai makan.
Sudah sejak lama kedai makan menjadi tempat yang rawan akan keributan. Bermacam alasan bagi orang-orang untuk itu. Tapi, boleh jadi masalah perut memang menjadi penyebab utama mengapa orang gampang tersulut amarah. Ini sudah menjadi bagian panjang sejarah.
Kedai makan itu berada di luar pelabuhan, tapi cukup dekat. Katakanlah menjadi tempat orang berhenti dulu dari pelabuhan sebelum melanjutkan perjalanan berjalan kaki atau menggunakan perahu kecil menyusuri Ci Liwung ke arah hulu. Atau, sebaliknya sebagai tempat persiapan orang sebelum berlayar dari pelabuhan menuju kota atau pulau lain.
Suasana di kedai itu sebenarnya sama saja dengan suasana sehari-hari, setiap tengah hari, ketika orang-orang merasa sudah waktunya untuk beristirahat dan mengisi perut. Sebagian adalah orang-orang yang sudah menjadi pelanggan kedai itu. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka segera duduk di kursi yang sudah biasa mereka tempati, kemudian bercakap-cakap tentang kehidupan mereka sehari itu, tentang musim yang dirasa terlampau kering, tentang kerabat mereka yang akan melangsungkan perkawinan, tentang kapal besar berbendera hijau dan merah dengan lingkaran kuning, atau tentang apa saja.
Beberapa meja lain diisi oleh orang-orang yang mampir dalam perjalanan mereka dari satu tempat ke tempat lain. Kalau sedang banyak pengunjung, beberapa orang harus rela menunggu orang lain selesai.
Jadi, tidak ada yang menyangka bahwa siang itu akan terjadi kehebohan di sana, di sebuah kedai makan yang sangat biasa.
Tiba-tiba, sesuatu dilemparkan dari luar begitu saja. Bruk!
Orang-orang terkejut, lalu melihat apa yang jatuh di dekat mereka. Mata mereka sama-sama terbelalak. Sebagian menjerit histeris.
Di lantai kedai makan itu, teronggok sebutir kepala. Bukan salah ketik dari kelapa. Benar-benar kepala. Kepala babi! Kepala babi yang sudah membusuk! Baunya segera memenuhi ruangan kedai makan dan menghancurkan nafsu makan siapa pun pengunjung di sana.
Orang-orang berlarian keluar. Sebagian mengeluarkan isi perut yang baru saja mereka telan. Beberapa orang langsung celingukan untuk mencari siapa yang telah melakukan perbuatan biadab itu.
Akan tetapi, tidak ada orang yang kelihatannya layak dicurigai.
Beberapa orang berjalan dengan langkah yang biasa-biasa saja. Di aliran sungai, tidak kelihatan satu pun perahu yang lewat. Jadi, siapa yang telah melakukan perbuatan itu"
Dari salah satu bangku di dalam kedai, meskipun sudah berupaya menahan diri mati-matian, Ciang Hui Ling menarik tangan Jaka Wulung untuk keluar dari kedai itu. Tanpa menunggu jeda, begitu keluar dari kedai, Ciang Hui Ling pun memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memerah.
Jaka Wulung memandang gadis itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Satu kalimat berjejal di dalam mulutnya, Kau memang tahan terhadap ombak laut sebesar apa pun, tapi ternyata tidak tahan terhadap kepala babi busuk. Tapi, tentu saja Jaka Wulung tidak mengucapkannya. Sindiran seperti itu, dia yakin, akan segera menghancurkan keakraban mereka.
Ayo kita pergi, kata Ciang Hui Ling setelah cukup banyak memuntahkan isi perutnya.
Jalan kaki" tanya Jaka Wulung.
Ciang Hui Ling menggeleng. Dia menunjuk, Tuh, ada perahu yang siap berangkat. Kita naik perahu saja.
Jauhkah tempatnya" Hmmm ..., kira-kira setengah hari perjalanan perahu.
Jaka Wulung tersenyum. Dadanya mengembang oleh rasa bahagia. Masih ada setengah hari lagi kebersamaan dengan gadis cantik ini. Setelah itu, setelah Jaka Wulung mengantar Ciang Hui Ling menemui gurunya, Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Eh, ada yang terlupa, kata Jaka Wulung. Apa"
Kita belum bayar makanan.
Sebelum Jaka Wulung menemukan keping uang di kantongnya, Ciang Hui Ling sudah lebih dulu melemparkan sekeping uang seraya berseru, Mohon maaf, kami tergesa-gesa, dan jatuh tepat di depan pemilik kedai.
Pemilik kedai itu, sepasang suami-istri berusia sekitar empat puluh lima tahun, hanya bisa terpaku dengan wajah-wajah yang pucat. Pertanda apa ini" Mengapa mereka yang tertimpa musibah seperti ini" Apa salah mereka"
Di salah satu meja, di sudut kedai itu, seorang lelaki berusia kira-kira separuh abad hanya bisa menggeleng pelan. Kalapa bukan lagi tempat yang menyenangkan, batinnya.
Dia berdiri ketika dilihatnya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling sudah naik perahu yang melaju menuju arah hulu sungai dari dermaga kecil di depan kedai makan.
Ingin sebenarnya dia terus mengikuti sepasang remaja itu. Tapi, dia sudah terikat janji untuk bertemu dengan seseorang. []
3 Penculikan Gadis Peranggi
RUMAH panggung itu berdiri megah di sisi barat tebing Ci Liwung, menghadap ke sungai. Dibandingkan dengan rumah-rumah lain pada deretan yang sama, rumah itu dua-tiga kali lebih besar. Hampir seluruhnya terbuat dari kayu jati sehingga kelihatan sangat kokoh. Atapnya tersusun dari sirap yang juga terbikin dari kayu jati. Tiang-tiang utamanya adalah batang-batang yang besarnya hampir sepelukan orang dewasa, menopang lantai rumah yang tingginya lebih dari tinggi manusia umumnya.
Pagar dari kayu ki hujan, dengan deretan bambu hitam, melingkari sekeliling rumah, menjadikan kediaman itu semacam benteng yang sulit ditembus oleh penyerbu mana pun. Lebih-lebih, di pintu gerbang selalu bersiaga dua atau tiga lelaki bertelanjang dada dengan otot-otot menyembul di lengannya, serta golok tergantung di pinggang mereka.
Biasanya sang tuan rumah, Alfonso Henrique, pada sore hari akan duduk di kursi di beranda, memandang langsung ke sungai, menikmati perahuperahu yang melaju dari hilir atau dari hulu dan orang-orang, termasuk gadis-gadis perawan, mandi dengan riang gembira di seberang.
Tapi, waktu itu siang hari, dan Alfonso Henrique sedang pergi ke pusat kota Jayakarta. Dia memang seorang saudagar yang sibuk dengan urusan niaganya. Kalau diurut silsilahnya, dia cucu dari seorang pengikut Hendri de Leme, yang pernah diutus oleh Alfonso d Albuquerque orang di Tanah Jawa menyebutnya Kongso Dalbo. Alfonso d Albuquerque adalah Gubernur Bangsa Peranggi yang berkedudukan di Malaka. Dia mengutus Hendri de Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda guna membangun benteng keamanan di Kalapa untuk membendung orang-orang Cerbon.
Sebagian pengikut de Leme kembali ke Malaka, tapi sebagian lagi menetap di Jayakarta, termasuk kakek Alfonso Henrique.
Sebagai orang yang lahir di Tanah Jawa, Alfonso Henrique sebenarnya tidak terlalu mengenal negeri asalnya, Peranggi, tapi dia merasa bahwa dia tetap berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Karena itu, berbeda dengan sebagian orang sebangsanya, yang mengambil perempuan setempat sebagai istri, Alfonso Henrique tetap mengambil wanita sebangsanya meskipun sama-sama lahir di tanah ini.
Siang itu, di rumah hanya ada Nyonya Alfonso Henrique, anak mereka satu-satunya, Dona Teresa Henrique, beberapa pembantu rumah, serta dua pengawal yang terkantuk-kantuk di beranda. Salah satu di antaranya bergaya seperti sang tuan rumah, duduk melempangkan tubuh di kursi goyang seraya memeremkan mata.
Pada saat itulah, tiga lelaki berbaju hitam-hitam melangkah tanpa suara di luar pagar rumah. Mereka muncul dari arah sungai. Wajah mereka hampir sama, sama-sama dipenuhi dengan bulu sehingga sekilas tampak seperti wajah manusia zaman batu.
Orang pertama merayap dari sebelah kanan, orang kedua dari sebelah kiri, dan orang ketiga langsung menuju gerbang pagar.
Pagar itu hampir setinggi orang dewasa dan ujung-ujungnya runcing. Bagi orang kebanyakan, tentu mustahil meloncati pagar itu. Tapi, bagi ketiga orang itu tampaknya bukan hal yang terlalu sulit meloncatinya. Semula, orang kedua berniat masuk melalui gerbang. Tapi, rupanya gerbang itu dikunci dari dalam. Karena itu, dia memberikan isyarat kepada dua temannya untuk meloncat dalam waktu berbarengan.
Ketiganya mundur beberapa langkah.
Orang kedua, yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, mengacungkan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah berturut-turut sebagai tanda hitungan. Satu, dua, tiga! Ketika tiga jari sudah mengacung, mereka pun sama-sama melangkah cepat, lalu melenting tinggi, melayang sangat ringan melewati ujung-ujung pagar yang tajam mengancam, dan hinggap di halaman dalam waktu yang bersamaan.
Nyaris tanpa suara. Tanpa menunggu waktu, orang kedua itu langsung bergegas meniti anakanak tangga rumah megah itu, diikuti oleh salah seorang anak buahnya. Orang yang satu lagi tetap menunggu di kaki tangga.
Dua pengawal di beranda tidak sempat terperanjat ketika tahu-tahu hantaman di leher masing-masing membuat keduanya tidak sadarkan diri. Sebelum tubuh kedua pengawal itu jatuh terjerembap, dua orang berpakaian hitam-hitam itu menahannya, kemudian meletakkan pelanpelan tubuh para pengawal itu di lantai beranda tanpa menimbulkan suara. Tanpa kesulitan, mereka menerobos melalui pintu yang separuh terbuka. Tooo ...!
Akan tetapi, teriakan meminta tolong dari Nyonya Alfonso Henrique, yang baru saja keluar dari kamarnya, terhenti ketika tanpa dia pahami apa yang terjadi urat lehernya terasa kaku sehingga otot-otot di sekitar lehernya sama sekali tidak bisa menuruti perintah otaknya. Salah seorang yang berpakaian hitam-hitam itu mendudukkan sang nyonya di kursi sebelum terjatuh di lantai.
Nyonya Alfonso, wanita berusia empat puluhan tahun dan masih menyisakan kecantikannya itu, hanya bisa melihat semua peristiwa di depannya dengan mulut ternganga tanpa bisa digerakkan. Dia sadar sepenuhnya bahwa dua orang itu pastilah hendak berbuat jahat terhadap mereka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sekujur tubuhnya kemudian, tidak hanya di sekitar lehernya, menjadi kaku.
Ketika satu orang berpakaian hitam-hitam lainnya membereskan para pembantu di bagian belakang rumah, dari sebuah kamar di tengah keluar seorang gadis muda dengan wajah yang penuh kecemasan. Sang gadis, Dona Teresa Henrique, putri satu-satunya Tuan dan Nyonya Alfonso Henrique, juga ternganga memandang ibunya yang terduduk dengan mulut ternganga.
Pemimpin orang-orang berpakaian hitam-hitam itu beberapa kejapan terdiam oleh pesona yang memancar dari kecantikan di hadapannya. Kulitnya putih kekuningan, seakan berpendar memantulkan cahaya dari jendela, hidungnya mancung, lebih mancung daripada hidung putri kerajaan mana pun yang pernah dilihatnya, dan bundaran di bola matanya berwarna hijau kebiru-biruan, seperti warna gunung. Rambutnya tergerai pirang gelap, panjang bergelombang hingga separuh punggung. Tubuhnya tinggi semampai, lebih tinggi dibandingkan dengan gadis muda mana pun yang pernah dilihatnya.
Bidadarikah" Jangan-jangan, Dewi Tara"
Akan tetapi, dia segera tersadar bahwa dia datang ke rumah ini bukan untuk mengagumi kecantikan Dona Teresa Alfonso.
Dalam beberapa kejapan yang sama, Dona Teresa terpaku oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya.
Tidak ingin kehilangan waktu, pemimpin orang-orang berpakaian hitamhitam itu dalam dua loncatan sudah membekap mulut si gadis, memberikan sentuhan ujung jari di titik saraf di lehernya, kemudian menahan tubuh gadis itu. Harum sekali tubuh gadis ini. Dan lembut. Lelaki itu menarik napas dalam, menghirup wangi rambut gadis itu.
Dipondongnya gadis itu di pundaknya. Terasa lebih berat dibandingkan dengan tubuh wanita kebanyakan Tanah Jawa. Tapi, bukan pekerjaan sulit baginya. Dengan langkah yang ringan, dia pergi meninggalkan rumah itu, diikuti oleh dua anak buahnya. Mereka menuruni tebing, meniti barisan batu yang menjadi landasan, kemudian sama-sama meloncat menuju sebuah perahu kecil yang sudah menunggu.
Pemimpin kelompok itu menurunkan Dona Teresa Alfonso di amben di dalam kabin kecil di tengah perahu. Dua orang anak buahnya segera melepaskan tambatan perahu, kemudian mendayung perahu itu menuju arah hulu dengan tenaga penuh. Memang luar biasa, perahu itu melaju seakan-akan tidak melawan arus air sungai.[]
4 Saat-Saat Terakhir SUNGAI Ci Liwung mengalir tenang. Nyaris tidak ada riak yang membuat perahu kecil itu bergoyang. Ini bukan laut, tentu saja. Dan Jaka Wulung sebenarnya tidak begitu asing dengan sungai karena dia pernah akrab dengan Ci Pamali. Ah, masa kecil yang indah. Tapi, siapa sebenarnya orangtuaku" pikir Jaka Wulung.
Kalau sudah di air, kau selalu jadi pendiam, kata Ciang Hui Ling. Mabuk lagi" Wajahnya tidak lagi pucat seperti ketika muntah-muntah akibat bau kepala babi busuk. Bagi Ciang Hui Ling, tampaknya laut dan sungai justru menjadi obat yang mujarab bagi mual-mual di perutnya. Di buritan perahu kecil yang melaju tenang, Ciang Hui Ling berdiri dengan tangan bersedekap, memandang arah hilir yang tebing-tebing di sisinya ditumbuhi pepohonan dan perdu yang hijau segar. Di sebelah kanannya, Jaka Wulung lebih suka duduk dengan lutut menekuk, dan lebih banyak menunduk.
Gadis itu menghirup bau harum hutan pinggir sungai, memenuhi dadanya, mengobati kerinduannya. Beberapa hari saja sebenarnya dia pergi meninggalkan Ci Liwung, tapi serasa sudah berbulan-bulan. Betapa senangnya kembali ke rumah.
Aku lagi menikmati saat-saat ... kebersamaan kita, sahut Jaka Wulung. Ciang Hui Ling menoleh. Keningnya berkerut.
Bukankah beberapa hari ini kita terus bersama-sama" Tampaknya, ada satu kata yang tidak kau ucapkan, Jaka.
Tentu saja, saat-saat terakhir. Tapi, Jaka Wulung tidak mengucapkannya. Itu kalimatku secara lengkap, katanya.
Ciang Hui Ling menghela napas dalam-dalam. Beberapa hari dalam kebersamaan, dia belum bisa menyibak misteri yang menyelimuti Jaka Wulung, seorang pendekar belia yang namanya makin ditakuti di kalangan jago-jago silat, dengan julukan yang makin harum, Titisan Bujangga Manik. Siapa sebenarnya dia" Bagaimana isi hatinya" Ciang Hui Ling seakan-akan membentur dinding gelap setiap mencoba menyelami isi hatinya.
Bukankah nanti kita akan punya waktu banyak untuk menikmati kebersamaan" Tatapan Ciang Hui Ling kembali lurus ke aliran air Ci Liwung. Laju perahu meninggalkan riak gelombang yang sedikit memanjang ke belakang, hampir menyentuh haluan sebuah perahu di belakang mereka.
Kau tentu saja akan kembali ke tempat gurumu, memperdalam ilmumu, sedangkan aku harus pergi meneruskan langkahku, ucap Jaka Wulung pelan, nyaris seperti berbisik.
Ciang Hui Ling tidak langsung menyahut.
Meskipun tidak mencolok, perahu di belakang mereka makin lama makin dekat.
Jaka, mata Ciang Hui Ling tetap memandang ke arah perahu di belakang mereka, tidakkah kau bisa tinggal beberapa hari di tempat guruku"
Hmmm ... bisa saja. Tapi, apa bedanya" Setelah beberapa hari itu, aku tetap harus pergi.
Jelas berbeda. Kebersamaan kita akan lebih lama. Atau, ... tidakkah aku nanti bisa menemanimu bertualang" Ke mana sebenarnya tujuanmu" Jaka Wulung tidak menjawab. Apa yang bisa dia jawab" Bertualang ke mana-mana dengan seorang gadis cantik, sakti, dan cerdas seperti Ciang Hui Ling, tentu saja akan sangat menyenangkan. Tapi masalahnya, ya, itu tadi, tersurat dalam pertanyaan Ciang Hui Ling, ke mana sebenarnya tujuan dia berkelana"
Seorang pangeran kerajaan selalu menjalani tahap berkelana untuk makin mematangkan ilmu dan pengetahuannya sebelum kelak duduk di singgasana. Eyang gurunya, Resi Bujangga Manik, berkelana hingga Pulau Dewata demi menyempurnakan ilmunya untuk akhirnya kembali ke tanah kelahirannya meskipun tidak kembali ke Istana Pakuan, tempat yang sebenarnya berhak dia tinggali. Tapi, ke mana kelak dia akan mengakhiri petualangannya"
Perahu di belakang mereka makin mendekat, sedikit berbelok ke kanan, dan tidak lama kemudian, haluannya mulai menjajari buritan perahu di depannya. Dua pendayungnya adalah dua lelaki berpakaian hitam-hitam dengan wajah yang sama-sama dipenuhi bulu. Kelihatannya terus mendayung dengan sekuat tenaga. Dan memang luar biasa tenaga kayuhan mereka karena perahu itu pun sedikit demi sedikit mulai berusaha mendahului perahu yang ditumpangi Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling.
Kau mau" Kau mau menemaniku ke mana saja" Jaka Wulung mendongak memandang Ciang Hui Ling.
Akan tetapi, kali ini Ciang Hui Ling seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Jaka Wulung. Wajahnya mengikuti laju perahu yang terus berusaha mendahului perahu yang mereka tumpangi.
Ketika kedua perahu itu sudah sejajar, Ciang Hui Ling dengan cepat mengira-ngira jarak di antara kedua perahu itu. Sekitar dua setengah depa.
Ciang Hui Ling meloncat ke pinggir perahu, meniti beberapa langkah hingga kira-kira di bagian lambung kanan. Lalu, dengan menggunakan pinggir perahu itu sebagai titik tumpu, dia melenting melintasi arus sungai dan hinggap nyaris tanpa menimbulkan suara dan goyangan di haluan perahu, tepat di hadapan orang-orang berbaju hitam-hitam yang sedang mengayuh.
Jaka Wulung merasakan goyangan perahu akibat loncatan Ciang Hui Ling. Tapi, tentu saja bukan itu yang membuatnya berdiri cepat. Jaka Wulung tidak menyadari apa sebenarnya penyebab yang membuat Ciang Hui Ling mengabaikan pertanyaannya, dan malahan meloncat ke perahu di sebelahnya.
Tapi, dengan cepat, Jaka Wulung bisa menilai bahwa tentu ada sesuatu yang mencurigakan dari perahu itu. Jaka Wulung harus mengakui, di Ci Liwung, Ciang Hui Ling adalah nona rumah yang memahami seluk-beluk sungai ini sehingga lebih cepat menyadari hal yang mencurigakan. Dengan satu loncatan dari pinggiran perahu, Jaka Wulung juga melenting melalui arus sungai, lalu hinggap tanpa suara di bagian buritan.
Kedua pendayung berbaju hitam-hitam dan wajah berbulu itu terkejut melihat bayangan kuning berkelebat, dan tahu-tahu, hinggap di hadapan mereka.
Kedua pendayung itu dengan serta-merta menghentikan gerakan mendayung mereka, lalu sama-sama mendongak memandang siapa yang datang. Sinar agak redup matahari yang jatuh tegak lurus mula-mula mengaburkan pandangan mereka, tapi sedikit demi sedikit mereka bisa memandang wajah si pendatang.
Seorang gadis muda yang cantik, berkulit kuning cerah dan bermata sipit. Hanya seorang gadis muda.
Kedua orang itu sama-sama menarik napas lega, setidaknya secara naluriah setiap lelaki akan senang berjumpa dengan seorang wanita cantik, apalagi seperti yang mereka alami kali ini, mereka seakan-akan mendapat kunjungan seorang bidadari yang tiba-tiba turun dari langit. Kedua orang itu, tentu saja dalam hati, mengakui betapa cepat dan ringannya gerakan si gadis, yang menunjukkan bahwa tingkat ilmunya tergolong tinggi. Tapi, mereka sama-sama yakin bahwa gadis itu bukan merupakan bahaya besar, melainkan akan menjadi selingan dalam perjalanan mereka kali ini.
Perahu melambat karena kedua orang itu masih menghentikan kayuhan mereka. Perahu yang sebelah kiri terus melaju, tidak terpengaruh oleh kejadian di sebelahnya.
Apa yang kalian bawa di dalam sana" tanya Ciang Hui Ling. Matanya tajam memandang kedua orang itu bergantian.
Kedua orang itu saling pandang di antara mereka, lalu secara serentak sama-sama tertawa.
Krrrhhh. Apa urusanmu, Nona" Orang yang di sebelah kanan perahu balik bertanya. Suaranya terdengar aneh, seakan-akan keluar dari mulut yang rongganya dipenuhi dengan bulu-bulu.
Segala kejahatan di sepanjang sungai ini adalah urusanku. Krrrhhh. Kejahatan apa yang telah kami lakukan"
Aku memang belum bisa membuktikannya. Tapi, aku sudah mencium baunya. Bahkan, bau itu sangat tajam.
Krrrhhh. Jangan mengigau, Nona. Dari mana Nona bisa mencium adanya bau kejahatan di sini" Apakah baunya seperti babi busuk" Kedua orang itu tertawa lagi.
Ciang Hui Ling mendadak mual mendengar kata babi busuk. Rasanya, tercium lagi bau busuk yang tadi membuatnya muntah-muntah di kedai makan. Tapi, dengan cepat, dia membuang ingatan itu.
Benar, kata Ciang Hui Ling. Baunya seperti babi busuk. Kedua orang itu tertawa lebih keras.
Tawa mereka pastilah berbau babi busuk. Sreeet!
Ciang Hui Ling menghunus pedang dari pinggangnya. Sebilah pedang ramping yang berkilat memantulkan cahaya matahari.
Ciang Hui Ling menunjuk kabin kecil di perahu itu dengan ujung pedangnya. Perlihatkan kepadaku, apa yang kalian bawa!
Kali ini, kedua orang itu sama-sama berdiri. Tapi, tangan mereka masih sama-sama menggenggam dayung perahu. Perahu masih bergerak ke depan, sisa kayuhan terakhir mereka. Tapi, sangat pelan karena memang berlawanan arah dengan arus air. Hanya saja, karena air di situ mengalir sangat pelan, boleh dikatakan perahu pun nyaris diam di tempat. Krrrhhh. Siapakah Nona sehingga merasa punya hak memerintah kami"
Sebagai warga tepi Sungai Ci Liwung, aku berkepentingan untuk menjaga daerah ini tetap aman.
Kedua orang berpakaian hitam-hitam itu saling pandang lagi di antara mereka, lalu tertawa berbarengan. Rupanya, mereka sudah terbiasa saling pandang dulu, kemudian tertawa bersama-sama. Semacam ikatan batin yang terjadi karena sudah lama hidup bersama-sama.
Ciang Hui Ling geram karena merasa disepelekan. Harap kalian ketahui, namaku Ciang Hui Ling, murid Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung. []
5 Tarian Payung Bunga Matahari
KALI ini, tawa dua orang itu terputus secara berbarengan. Wajah keduanya mendadak pias. Nama Naga Kuning dari Ci Liwung tentu saja bukan nama main-main. Baru mendengar namanya saja, siapa pun akan gentar dadanya. Hanya saja, setahu mereka, kediaman Tan Bo Huang jauh di kedalaman Ci Liwung, bukan di sekitar muara. Bagaimana bisa tiba-tiba di sini muncul muridnya"
Keduanya lagi-lagi saling pandang, tetapi bukan untuk tertawa, melainkan sama-sama melangkah dan merapatkan diri.
Krrrhhh. Tampaknya, kita harus memeras keringat dulu, Sugriwa, kata orang yang berdiri di sebelah kanan.
Krrrhhh. Betul, Subali, sahut orang yang disapa Sugriwa.
Jika saja dalam keadaan yang berbeda, Ciang Hui Ling akan tertawa geli mendengar nama mereka. Pantas, keduanya memang mirip kera. Bahkan, suara yang keluar ketika hendak memulai kalimat pun sama!
Tanpa diberi aba-aba, keduanya meletakkan dayung di lantai perahu. Dengan panjang lebih dari tinggi tubuh mereka, dayung itu bukan merupakan senjata yang memadai. Karena itu, keduanya sama-sama menghunus golok dari pinggang mereka.


Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, rupanya kalian lebih suka kekerasan. Baiklah, terima seranganku!
Ciang Hui Ling menjulurkan ujung pedangnya mengarah kepada leher Subali. Ciang Hui Ling tahu dari cerita wayang bahwa Subali lebih tua dan lebih hebat dibandingkan dengan Sugriwa. Jadi, dia pun menduga bahwa Subali yang ada di hadapannya lebih tinggi ilmunya daripada Sugriwa. Sebuah dugaan yang lucu.
Baik Subali maupun Sugriwa sama-sama menyambut serangan pertama Ciang Hui Ling dengan wajah yang tegang. Keduanya segera menyiapkan sebuah benturan dengan golok mereka. Serangan Ciang Hui Ling memang sangat cepat dan ringan, tapi hanya serangan pemancing karena sebelum golok-golok Subali dan Sugriwa menahan pedang Ciang Hui Ling, gadis itu segera membelokkan arah ujung pedangnya.
Ciang Hui Ling adalah gadis yang cerdas. Dari kayuhan kedua orang itu sudah jelas bisa disimpulkan bahwa mereka memiliki tenaga wadak yang luar biasa kuat. Karena itu, gadis ini tidak mau membenturkan tenaganya secara sia-sia. Dia lebih suka mengandalkan kecepatannya karena memang di situlah keunggulannya.
Demikian cepat dan tidak terduga, kali ini ujung pedang Ciang Hui Ling hendak menebas kaki kanan Sugriwa.
Subali dan Sugriwa tidak menyangka akan perubahan arah gerak yang demikian cepat. Karena itu, keduanya berseru nyaring dan dengan cepat juga mengubah arah golok mereka dan siap dengan pertahanan ganda.
Akan tetapi, serangan kedua itu pun ternyata bukanlah serangan utama karena sepersekian kejapan, Ciang Hui Ling mengubah lagi arah pedangnya, kali ini menusuk mengincar pinggang kanan Subali.
Sugriwa tidak mampu mengimbangi kecepatan Ciang Hui Ling sehingga tidak sempat membalikkan arah goloknya. Pada saat yang sama, Subali pun hanya bisa meloncat mundur untuk menghindari serangan cepat itu. Dia memang terhindar dari tusukan ujung pedang Ciang Hui Ling, tapi kain celananya masih juga terkena.
Sreeettt! Sejengkal kain celana Subali sobek. Tidak hanya itu, Subali juga tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya sehingga terjengkang ke belakang. Buk! Punggungnya membentur dinding kayu kabin kecil perahu itu.
Ciang Hui Ling menahan serangannya. Cepat tunjukkan apa yang kalian bawa!
Jeda sejenak itu memberikan waktu bagi Subali untuk bangkit berdiri dan berdua dengan Sugriwa membentuk semacam pintu penghalang bagi Ciang Hui Ling untuk masuk ke kabin.
Subali dan Sugriwa kembali bersiap untuk menahan serangan berikutnya. Keduanya sadar bahwa Ciang Hui Ling bukan lawan sembarangan. Mereka tidak menyangka akan menemui hambatan dalam upayanya menculik seorang putri berkulit pucat bernama ... ah, nama orang-orang berkulit pucat sulit sekali diucapkan.
Mereka bukanlah bajak sungai yang tujuannya sekadar merompak perahuperahu kecil atau sampan yang melintas di sungai, dengan hasil yang cukup hanya untuk bersenang-senang sesaat, melainkan jenis manusia yang dibayar untuk melaksanakan tugas tertentu. Kali ini, mereka mendapat tugas menculik gadis berambut seperti bulu jagung itu, mungkin dengan bayaran yang menggiurkan. Mengenai siapa yang menyuruh mereka, bukanlah urusan mereka, melainkan urusan sang pemimpin.
Untuk bisa menjadi manusia bayaran seperti itu, diperlukan kemampuan ilmu yang memadai, jauh di atas tataran para bajak sungai. Selama ini, mereka selalu berhasil ketika menjalankan tugas. Belasan kali kelompok kecil mereka berhasil menuntaskan tugas mereka tanpa hambatan berarti. Dan kini, sebutir kerikil tajam tampaknya siap menjegal langkah mereka. Karena itu, mereka segera memusatkan perhatian terhadap apa pun yang akan dilakukan Ciang Hui Ling.
Ciang Hui Ling menggeram. Jeda yang dia berikan ternyata menjadi kesempatan bagi dua lawannya untuk bersiap siaga.
Baiklah, kata Ciang Hui Ling. Aku tidak akan segan-segan lagi.
Bersamaan dengan selesainya kalimatnya, Ciang Hui Ling mengangkat serentak tangan kirinya, lalu menekuk ke atas kaki kanannya, sedangkan kaki hanya sedikit menekuk dan ujung pedangnya lurus terarah kepada kedua lawannya. Ujung pedang itu kemudian berputar membentuk lingkaran yang tidak terlalu besar. Dalam sekejapan, Ciang Hui Ling segera meloncat maju. Ujung pedang tetap terjulur membentuk lingkaran sehingga tidak jelas bagi Subali dan Sugriwa kepada siapakah ujung pedang itu mengarah.
Jurus Ular Putih Kepala Memutar.
Apa yang bisa dilakukan oleh Subali dan Sugriwa hanyalah mencoba bertahan dengan saling menyilangkan golok di depan badan mereka. Menunggu. Tidak mampu berpikir mengenai apa yang akan terjadi. Waktu yang sangat singkat itu memberikan peluang bagi Ciang Hui Ling untuk mengambil keputusan.
Ujung pedangnya tiba-tiba mengambil arah kanan dan mengincar leher Sugriwa yang sedikit terbuka.
Hiyaaaaaa! Subali dan Sugriwa terkejut bukan kepalang. Sugriwa hanya bisa mengelak dan menoleh sedikit, sedangkan Subali tidak sempat memberikan bantuan.
Bret! Sejumput janggut Sugriwa terbabat hingga nyaris mengenai dagunya. Bulu-bulu keriting itu beterbangan, meninggalkan wajah Sugriwa yang kini menjadi aneh karena bagian dagunya menjadi botak sebelah.
Kalau tidak sedang bertempur, ingin rasanya Ciang Hui Ling tertawa melihat wajah Sugriwa.
Krrrhhh. Bocah setan! seru Sugriwa.
Wajahnya pucat pasi karena nyaris saja urat lehernya putus oleh pedang Ciang Hui Ling. Beberapa saat dia hanya bisa terpaku sehingga memberikan peluang bagi Ciang Hui Ling untuk melancarkan serangan susulan. Tapi, kali ini, Subali memiliki kesempatan untuk membantu adik seperguruannya. Dia tentu saja tidak mau membiarkan Sugriwa menjadi sasaran serangan lawannya.
Golok Subali mengayun cepat dengan tenaga besar mengarah ke sisi kiri tubuh Ciang Hui Ling yang terbuka karena sedang melancarkan serangan ke perut Sugriwa. Melihat serangan itu, Ciang Hui Ling terpaksa menarik pedangnya, dan dengan kelenturan tubuhnya dia melenting menghindari kibasan golok Subali.
Serangan Subali memberikan kesempatan bagi Sugriwa untuk menguasai dirinya kembali. Setelah mengumpulkan kesadaran dan memulihkan kepercayaan dirinya, Sugriwa segera bersiap dengan goloknya. Dengan demikian, pertempuran pun berlangsung dengan sengit.
Ciang Hui Ling adalah murid Tan Bo Huang yang sangat ditakuti di sepanjang Ci Liwung. Meskipun belum banyak pengalaman bertempur, dia sudah mengalami gemblengan gurunya selama bertahun-tahun, termasuk bagaimana caranya bertempur di atas perahu. Beberapa hari lalu, dia juga sempat menguji kehebatan pendekar sakti si Rajawali Betina dari Pelabuhan Ratu. Oleh karena itu, menghadapi dua manusia berwajah penuh bulu seperti kera itu, Ciang Hui Ling mampu dengan leluasa mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.
Di pihak lain, Subali dan Sugriwa adalah dua dari tiga pentolan penjahat bayaran yang tidak pernah gagal dalam menunaikan tugas. Sebab, mereka memang berbekal ilmu yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan penjahat atau begal kampung. Belasan tahun mereka hidup dari perkelahian yang satu ke perkelahian berikutnya dan tidak pernah mereka menderita kalah. Apalagi mereka tahu bahwa rekan mereka, yang menjadi pemimpin kelompok bertiga itu, sedang mengawasi dari dalam kabin sehingga mereka memiliki ketetapan hati untuk memberikan perlawanan memadai terhadap Ciang Hui Ling. Kalau pemimpin mereka itu sudah turun tangan, mereka yakin Ciang Hui Ling itu bukan tandingan. Pemimpin mereka itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Maka, pertempuran satu lawan dua itu pun berlangsung semakin seru. Ciang Hui Ling dengan kelincahan dan kecepatannya, ditambah dengan ginkang-nya yang lihai, berkali-kali memberikan serangan yang mengejutkan kepada Subali dan Sugriwa. Sebaliknya, Subali dan Sugriwa, yang memang mengandalkan kekuatan tenaganya yang di luar kewajaran manusia biasa, terus bertahan dan bahkan sesekali, menantang Ciang Hui Ling untuk mengadu benturan senjata.
Tentu saja Ciang Hui Ling tidak mau melayani tantangan untuk berbenturan senjata. Apalagi kalau benturan itu terjadi antara pedangnya dan dua golok lawannya sekaligus. Kalau itu terjadi, Ciang Hui Ling tidak yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Karena itu, daripada menghadapi akibat yang belum pasti, dia lebih suka tetap mengandalkan kelincahan dan kecepatan geraknya meskipun tempat pertempuran itu tidak terlalu leluasa bagi gerakan dan jurus-jurusnya.
Dalam beberapa jurus kemudian, terlihat bahwa pertempuran satu lawan dua itu berlangsung seimbang. Dengan mengandalkan kecepatan dan ilmu meringankan tubuhnya yang lihai, Ciang Hui Ling menusukkan dan menyabetkan pedangnya kian kemari seperti patuk ular kobra yang terusmenerus mengancam. Tapi, Subali dan Sugriwa mampu mementahkan setiap ancaman Ciang Hui Ling. Setiap ujung pedang itu mengancam, salah satu atau keduanya, Subali dan Sugriwa akan selalu menempatkan goloknya untuk siap berbenturan.
Alhasil, sampai sekian jurus Ciang Hui Ling belum juga berhasil menyentuh lawannya. Sebaliknya, Subali dan Sugriwa pun makin penasaran karena setiap kali mereka berusaha memanfaatkan celah untuk menyerang, gadis itu selalu mampu menghindar dengan lincah.
Meskipun demikian, Subali dan Sugriwa yakin lambat laun mereka akan bisa menaklukkan kehebatan gadis itu. Sehebat-hebatnya ilmu seorang gadis belia, kalau hanya mengandalkan kecepatan dan kelincahan, lamakelamaan dia akan kelelahan juga. Begitu pikir mereka. Apalagi mereka masih punya andalan pada diri pemimpin mereka meskipun kedua lelaki berewok itu heran mengapa pemimpin mereka tidak juga membantu untuk segera membereskan gadis itu.
Krrrhhh. Sudahlah, Nona, sebaiknya menyerah saja, kata Subali. Kau tidak akan mampu mengalahkan kami. Lama-lama kau akan kehabisan tenaga secara percuma saja. Jadi, biarkan kami meneruskan perjalanan kami. Lagi pula, tidak ada gunanya Nona mencampuri urus ....
Belum selesai kata-katanya, Subali terkesiap karena ujung pedang Ciang Hui Ling nyaris mencabik wajahnya. Untunglah, Sugriwa mampu menahan serangan itu dengan ujung goloknya sehingga memaksa Ciang Hui Ling menarik pedangnya.
Jangan terlalu banyak bacot, Kera Jelek!
Subali menggeram marah. Pertama, oleh kenyataan bahwa mereka berdua tidak bisa mengatasi kelihaian lawannya yang hanya seorang gadis muda. Kedua, oleh ejekan yang menyakitkan hati. Kau tidak tahu, Nona, meskipun berupa kera jelek, Subali punya istri sangat cantik bernama Dewi Tara. Kalau saja Ciang Hui Ling mampu mendengar kata hati Subali, tentu dia akan tertawa terkikik-kikik. Sebab, meskipun keturunan prajurit Tiongkok, Ciang Hui Ling sudah hafal bahwa Subali dan Dewi Tara itu hanya tokoh khayalan dalam pewayangan. Lagi pula, bukankah kemudian Dewi Tara dicuri dan diperistri oleh adiknya sendiri, Sugriwa" Subali memberi isyarat kepada Sugriwa untuk meningkatkan serangan mereka. Tanpa kata-kata, meskipun hanya isyarat mata, Sugriwa memahami isyarat kakak seperguruannya. Karena itu, secara bersamasama mereka memekik disertai peningkatan kecepatan dan tenaga mereka. Pekikan mereka benar-benar mirip kera sesungguhnya.
Hanya saja, meskipun mereka bertampang mirip kera, tata gerak ilmu silat mereka lebih mirip dengan kera lain yang lebih besar, yaitu gorila, yakni lebih mengandalkan tenaga wadak yang memang sangat besar.
Kini, serangan Subali dan Sugriwa terus membabi buta lebih tepatnya menggorila buta mencecar lawannya silih berganti tidak henti-henti. Kalau mau diberi nama, bolehlah jurus yang mereka peragakan itu diberi nama Wanara Gila Menggempur Naga. Keduanya menyerang Ciang Hui Ling dengan tata gerak yang seakan-akan tidak beraturan, sekehendak sendiri, dan bahkan separuh nekat.
Tapi, jurus wanara gila itulah justru yang membuat Ciang Hui Ling kewalahan. Pendekar rupawan itu terpaksa harus meloncat-loncat panjang dan melenting-lenting tinggi untuk menghindari tiap bacokan yang beraroma maut. Kadang, Ciang Hui Ling harus meloncat dari pinggir kiri ke pinggir kanan perahu, malah juga tidak jarang dia melenting dan hinggap di ujung haluan.
Melihat kedua lawannya itu seperti kalap, Ciang Hui Ling juga segera memainkan pedangnya lebih cepat lagi. Putaran pedangnya kini berubah dari sekadar membentuk lingkaran kecil menjadi lingkaran yang makin lama makin besar, dengan kecepatan yang tetap tinggi. Begitu cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing-desing. Di bawah sinar matahari, putaran pedang itu seakan-akan bercahaya. Indah sekali, sekaligus mengerikan. Itulah jurus Tarian Payung Bunga Matahari, sebuah jurus pedang tingkat tinggi yang khusus diciptakan untuk murid Tan Bo Huang ini.
Ciang Hui Ling juga memainkannya sedemikian rupa sehingga meskipun seakan-akan putaran payung itu merupakan perisai, dia tetap menghindari benturan dengan senjata dua lawannya. Kadang pedang itu berputar secara mendatar, tapi di lain saat miring, dengan sudut kemiringan yang berubahubah. Dan hal itu tentu saja membutuhkan kecepatan gerak yang luar biasa.
Dengan demikian, pertempuran pun berlangsung semakin mendebarkan.
Kedua pihak tidak lagi bertempur dalam tahap penjajakan, tapi sudah mencapai tingkat ilmu tertinggi mereka yang tujuannya tidak lain adalah membunuh lawan. Berkali-kali golok di tangan Subali dan Sugriwa mencoba memapas gerak pedang Ciang Hui Ling atau mengincar bagian tubuh lawannya, tapi sampai sejauh ini mereka belum pernah bisa menyentuh gadis itu. Beberapa kali bahkan golok mereka harus mengenai lantai dan pinggiran perahu yang terbuat dari kayu karena lawannya sudah lebih dulu menghindar.
Keadaan itu membuat Subali dan Sugriwa menjadi gelisah. Mereka harus menyelesaikan tugas itu secepat mungkin, tapi perlawanan Ciang Hui Ling bukan sekadar kerikil, melainkan batu besar, yang sulit sekali mereka singkirkan.
Karena itu, Subali segera bersiul keras dan panjang. Suiiit!
Itu adalah isyarat meminta bantuan dari Subali kepada kepala kelompok mereka yang masih berada di kabin kecil. Tapi, pintu kabin itu tetap tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda bahwa si pemimpin kelompok itu akan segera membantu mereka.
Subali sekali lagi bersiul, lebih keras dan panjang. Suiiiiiiiiit!!!
Bahkan, Sugriwa pun ikut-ikutan bersiul meskipun siulannya terdengar lebih lemah dan mirip suara daun robek.
Srrrwwwttt ...! Subali memandang Sugriwa. Dari pandangan itu terkesan kalimat seperti ini: kamu sudah lama berlatih, siulanmu tetap saja sumbang! Tapi, tentu saja bukan saatnya untuk mencemooh soal siulan. Mereka bersiul untuk memanggil rekan mereka, yang tidak lain kepala kelompok mereka.
Akan tetapi, tetap saja tidak ada pertanda bahwa kepala kelompok penculik itu akan segera muncul.
Sementara itu, mereka juga harus terus menghadapi Ciang Hui Ling yang tidak berhenti memainkan pedangnya dengan jurus Tarian Payung Bunga Matahari.
Krrrhhh. Bang Indraaa ...! Subali berseru keras. Krrrhhh. Bang Indrajiiiiiit ...! Sugriwa juga berseru keras. Krrrhhh. Bang Indraaa ...!
Krrrhhh. Bang Indrajiiit ...!
Di tengah serangannya yang menggebu, Ciang Hui Ling menyeringai dan nyaris tawanya pecah, tidak tahan oleh rasa geli yang ditimbulkan dari seruan kedua lawannya. Bukan hanya karena seruan itu yang saling timpal, yang selalu diawali suara mirip ngorok dari tenggorokan mereka, melainkan juga karena nama pemimpin mereka. Di jagat wayang, Indrajit adalah musuh pasukan kera, tapi di dunia nyata, Indrajit ternyata pemimpin dari Subali dan Sugriwa!
Bang Ind ... au! Subali lengah sepersekian kejap, dan sebuah sabetan pedang Ciang Hui Ling menyobek lengan baju kirinya, menembus hingga kulitnya. Rasa perih segera menusuk-nusuk sarafnya, ditambah rasa perih di hati oleh pertanyaan mengenai apa yang sedang dilakukan pemimpin kelompok mereka, Indrajit, di dalam kabin kecil itu. Darahnya mendidih. Dalam pikirannya, ketika mereka berdua sedang berlaga di antara hidup dan mati, Indrajit sedang asyik berduaan dengan putri Tuan Alfonso yang sangat jelita dan berkulit putih mulus tanpa cacat.
Pemikiran yang sama muncul di kepala Sugriwa. Tapi, berbeda dengan Subali, Sugriwa berdebar-debar membayangkan adegan itu. Sebab, dia tentu akan kebagian, meskipun harus rela berada di urutan ketiga setelah Subali.
Pikiran Subali dan Sugriwa yang bercabang itu, meskipun isinya berbeda, lambat laun membuat keduanya kehilangan jurus-jurus mereka. Tahap demi tahap, Ciang Hui Ling mendesak keduanya sehingga hanya mampu bertahan hingga tidak ada lagi tempat leluasa bagi mereka selain bersandar di dinding kabin.
Dalam keadaan terdesak itu, Sugriwa tidak mampu menangkis sabetan ujung pedang Ciang Hui Ling. Dadanya terasa perih karena tersayat memanjang hingga sejengkal. Darah segera membasahi bajunya, bercampur dengan keringat, membuat bajunya tampak makin gelap.
Setelah itu, kemenangan hanyalah soal waktu. Sayatan demi sayatan menghiasi tubuh Subali dan Sugriwa. Keduanya, terutama Subali, hanya bisa pasrah dengan luka yang berdarah-darah, tapi juga dengan darah yang mendidih karena sakit hati oleh kenyataan bahwa pemimpin mereka, Indrajit, tetap berada di dalam, tanpa peduli terhadap nasib buruk yang sedang menimpa mereka.
Dalam keadaan itu, Subali melirik Sugriwa. Sugriwa balas melirik Subali. Keduanya saling melirik memberikan isyarat. Keduanya kemudian secara bersamaan melemparkan golok mereka ke arah Ciang Hui Ling. Golok Subali mengincar dada, sedangkan golok Sugriwa menyasar perut Ciang Hui Ling.
Ciang Hui Ling terkejut sejenak, tapi dengan cepat dia melenting tinggi. Dua golok itu lewat di bawah kakinya, meluncur jauh dan jatuh di permukaan air Ci Liwung.
Sebelum Ciang Hui Ling hinggap lagi di dek perahu dan melancarkan serangan balasan, Subali dan Sugriwa sama-sama menjatuhkan diri mereka. Sambil jatuh di atas lutut, mereka mengangkat tangan seraya berseru, Kami menyerah!
Ciang Hui Ling urung melancarkan serangan. Kini, dia berdiri dengan kaki selebar pundak dan tangan kiri bertolak di pinggang. Ujung pedangnya dia acungkan tepat di depan wajah Subali dan Sugriwa.
Ciang Hui Ling tersenyum menyeringai. Sungguh licik. Kalau golok kalian tadi itu mengenaiku, kalian tentu tidak akan sudi menyerah seperti ini. Dasar pengecut!
Krrrhhh. Ampun, Nona Pendekar ..., Subali mengiba-iba, jauh berbeda dengan tadi ketika masih bertempur, jangan bunuh kami ....
Ciang Hui Ling mendengus. Mudah sekali kalian meminta ampun. Lekas katakan, apa yang kalian bawa di dalam sana"
Krrrhhh. Anu, Nona .... Anu apa"!
Krrrhhh. Kami membawa Nona .... Membawa apa"!
Krrrhhh. Membawa Nona anu ....
Kau mau mempermainkan aku, ya" Ujung pedang Ciang Hui Ling hanya satu jari di depan hidung Subali. Sekali lagi Subali berkata atau bertindak yang tidak-tidak, bisa saja hidung besar dan pesek seperti gorila itu lepas dari wajahnya.
Krrrhhh. Maaf, Nona, Sugriwa mencoba menengahi, maksudnya, kami lupa nama nona yang kami bawa di dalam sana. Subali melirik adik seperguruannya. Kali ini, Subali heran, bagaimana Sugriwa mampu mengeluarkan rangkaian kata-kata yang sangat bijak. Jarang sekali, atau nyaris tidak pernah, Sugriwa bisa mengucapkan kalimat seperti itu.
Subali memandang Ciang Hui Ling dan mengangguk-angguk. Krrrhhh. Benar, Nona. Kami membawa seorang nona berkulit putih, tapi kami lupa siapa namanya. Sebab, namanya panjang dan sulit diucapkan.
Ow, Ciang Hui Ling mengangguk-angguk. Rupanya kalian penculik. Dan penculik nona kulit putih tentu bukan penculik sembarangan. Nah, siapa yang menyuruh kalian menculik nona itu"
Subali dan Sugriwa menggeleng-gelengkan kepala. Cepat katakan!
Krrrhhh. Ampun, Nona, kami benar-benar tidak tahu ....
Ujung pedang Ciang Hui Ling nyaris menempel di ujung hidung Subali. Kedua lubang hidung Subali sudah bisa mencium bau angit logam pedang pendekar belia itu, dan sekaligus mencium aroma maut di ujungnya.
Sekali lagi kalian bilang tidak tahu, ujung pedangku bisa melesak ke lubang hidung kalian!
Krrrhhh. Kami benar-benar ..., kata-kata Sugriwa terhenti karena Subali segera menyikut adik seperguruannya itu. Menurut Subali, kata-kata selanjutnya adalah ... tidak tahu. Dan, kalau kata-kata yang kali ini tidak bijak itu keluar dari mulut Sugriwa, Ciang Hui Ling pastilah tidak akan segan-segan melesakkan ujung pedangnya.
Kalian mempermainkanku lagi, ya"
Subali dan Sugriwa menggeleng. Krrrhhh. Tidak, Nona .... Kalau begitu, sebutkan siapa yang menyuruh kalian! Krrrhhh. Kami bersumpah tidak ta ....
Ujung pedang Ciang Hui Ling sudah menempel di lubang hidung Subali. Rasa perihnya bahkan sudah merayap di urat sarafnya. Tapi, sebelum ujung pedang itu melesak lebih dalam, mendadak pintu kabin perahu itu terbuka.
Sosok lelaki yang juga wajahnya hampir penuh dengan bulu berdiri nyaris memenuhi bidang pintu.
Dialah Indrajit, pemimpin kelompok penculik itu.[]
6 Dua Jenis Kecantikan CIANG Hui Ling terkejut memandang orang yang muncul di pintu sehingga tekanan ujung pedangnya mengendur. Subali memanfaatkan jeda sejenak itu untuk menoleh. Hati Subali, dan tentu saja Sugriwa, berbungabunga oleh kemunculan Indrajit. Harapan mereka untuk segera bebas dari ancaman Ciang Hui Ling terbuka lebar.
Bahkan, secara bersama-sama, mulut Subali dan Sugriwa membentuk seringai mengejek yang menyebalkan. Tergambar jelas dalam seringai itu kalimat seperti ini: rasakan sekarang kehebatan pemimpin kami! Sakit hati karena Indrajit terlalu lama berduaan dengan nona itu serta-merta pudar oleh rasa senang karena akan segera pergi dengan selamat dari tempat itu.
Akan tetapi, seringai mengejek di wajah kedua penculik itu langsung lenyap.
Bukannya menyerang Ciang Hui Ling, Indrajit malah jatuh di atas kedua lututnya, kemudian pelan sekali tubuhnya miring ke depan, lalu jatuh dengan kepala lebih dulu. Wajah Indrajit tentu akan berdebum menghantam dek perahu kalau saja Sugriwa, yang lebih dekat kepada Indrajit, tidak segera menahannya.
Krrrhhh. Bang Indrajit! Sugriwa memeluk tubuh Indrajit, lalu merebahkan sang pemimpin penculik di lantai dek perahu. Mata Indrajit terbuka, tapi tatapannya kosong. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya lemah terkulai, seakan-akan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Apa yang terjadi" Bagaimana seorang berilmu tinggi seperti Indrajit mengalami nasib buruk seperti itu setelah menggoda seorang gadis" Apakah itu terjadi karena Indrajit terlampau rakus"
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, muncul di pintu sosok lain ... seorang pemuda berpakaian hitam-hitam seperti mereka, tetapi dengan wajah yang tampan meskipun kulitnya sedikit legam.
Sekali lagi, Subali dan Sugriwa memandang sosok yang baru muncul itu. Bagaimana bisa dari dalam kabin muncul orang lain selain Indrajit dan nona yang mereka culik" Siapa dia"
Bawalah pulang pemimpin kalian. Sampaikan kepada siapa pun yang menyuruh kalian, akulah yang telah menggagalkan upaya kalian.
Subali dan Sugriwa memandang lelaki yang masih sangat muda itu dengan tatapan tidak percaya. Benarkah pemuda ini yang telah melumpuhkan Indrajit" Tidak mungkin! Indrajit adalah lelaki yang tidak mungkin terkalahkan, apalagi oleh anak semuda itu! Tapi, kenyataan terhampar di hadapan mereka bahwa Indrajit sudah tidak berdaya oleh sebab yang entah apa. Sebab, kalau misalnya sudah terjadi pertempuran di dalam kabin, mereka sama sekali tidak mendengar ada kegaduhan apa pun!
Krrrhhh. Siapa kau, Anak Muda" tanya Subali dan Sugriwa berbarengan.
Ciang Hui Ling, yang melihat siapa yang muncul di pintu, tersenyum lega dan rasa kagumnya makin tidak terbendung.
Ingat-ingatlah, para penculik pengecut, kata Ciang Hui Ling. Kalau kalian pernah mendengar namanya, dialah yang oleh orang-orang dikenal dengan nama Titisan Bujangga Manik.
Subali dan Sugriwa memucat mendengar nama itu. Meskipun samarsamar, mereka pernah mendengar nama Titisan Bujangga Manik, yang mulai menjadi buah bibir di kalangan orang-orang persilatan. Bahkan, Indrajit yang sudah tidak berdaya, terlihat bahwa wajahnya berubah menjadi lebih pucat lagi.
Krrrhhh. Ap ... apa yang kau lakukan ... kepada Bang Indrajit" Suara Subali terbata-bata. Langsung terbayang dalam kepalanya betapa sebentar lagi dia dan Sugriwa akan mengalami nasib yang serupa dengan pemimpin mereka, bahkan mungkin lebih buruk lagi. Menghadapi Ciang Hui Ling mereka sudah menyerah, kini muncul orang yang sama sekali jauh dari dugaan mereka.
Dia mengalami luka dalam tubuhnya, kata Jaka Wulung. Cepat, bawa pergi sebelum aku berubah pikiran.
Krrrhhh. Ba ... bagaimana kami ... pergi dari sini"
Jaka Wulung tertawa pelan. Satu-satunya jalan adalah berenang ke tepi sungai, setelah itu ... terserah kalian.
Krrrhhh .... Sudah sana! teriak Ciang Hui Ling. Sakit telingaku mendengar suara ngorok kalian!
Dengan susah payah, Subali dan Sugriwa mencebur ke air Sungai Ci Liwung, berenang sambil memondong tubuh Indrajit yang tidak berdaya hingga ke tepi, lalu berjalan terseok-seok mendaki tebing. Kedua penculik itu sempat menoleh ke arah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan rona dendam tergambar di wajah mereka, sebelum hilang dari pandangan.
Ciang Hui Ling memandang wajah Jaka Wulung. Kau terlalu murah hati kepada para bedebah itu.
Jaka Wulung tersenyum. Aku justru takut terlalu kejam kepada mereka.
Mereka penjahat yang tidak punya belas kasihan. Setelah mereka pulih, mereka pasti akan membalas dendam, entah dengan cara apa. Setidaknya, orang yang bernama Indrajit itu tidak akan melakukannya. Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung dengan kening berkerut.
Dia mengalami luka parah di dalam tubuhnya. Entah mengapa aku yakin, dia tidak akan pulih. Kalaupun pulih kesehatannya, ilmu silat yang dimilikinya tinggal setingkat orang biasa, malah mungkin hilang sama sekali.
Apa yang kau lakukan kepadanya, Jaka" Aku tidak mendengar apa-apa di dalam sana.
Sebelum Jaka Wulung menjawab, di pintu kabin muncul Dona Teresa Henrique.
Wajahnya pucat. Tentu saja, dia adalah gadis bangsa kulit pucat.
Rambutnya yang cokelat bergelombang tergerai hingga ke punggung. Di bawah matahari, wajah dan rambut Dona Teresa sangat berkilau, menampilkan sosoknya yang sungguh jelita. Jaka Wulung terpaku oleh pesona yang dipancarkan gadis itu. Ciang Hui Ling memandang dengan mulut yang separuh terbuka.
Dona Teresa memandang Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling bergantian. Ah, aku khawatir kalian seakan-akan melihat setan.
Jaka Wulung seperti diempaskan lagi ke bumi. Kesadarannya segera pulih dari tarikan pesona. Di dalam kabin tadi, suasananya agak remang sehingga tidak terlalu jelas bagaimana sosok Dona Teresa. Di luar sini, baru jelas bagaimana cantiknya gadis itu.
Satu lagi jenis kecantikan perempuan. Tidak mungkin ada setan secantik Nona .... Mata Jaka Wulung masih memandang wajah Dona Teresa.
Ciang Hui Ling melirik wajah Jaka Wulung. Tiba-tiba meletup bara dalam dadanya. Dia tidak suka melihat cara Jaka Wulung memandang gadis berkulit pucat itu. Mata Jaka Wulung memancarkan gairah yang pernah dia lihat beberapa kali jika pendekar muda itu memandangnya. Ciang Hui Ling cemburu.
Beberapa saat hening. Hanya suara riak air Ci Liwung di kanan dan kiri perahu itu. Mereka juga tidak sadar bahwa perahu bergerak pelan mengikuti aliran air sungai kembali ke hilir.
Aku ucapkan terima kasih atas pertolongan kalian. Namaku Dona. Dona Teresa Henrique, Dona Teresa menjulurkan tangannya kepada Jaka Wulung untuk bersalaman.
Alih-alih menyambut uluran tangan Dona Teresa, Jaka Wulung menatap gadis berambut jagung itu dengan kening berkerut. Apa yang harus dia lakukan" Memegang tangan gadis itu"
Jaka Wulung mengatupkan kedua tangannya di depan dada, lalu sedikit membungkuk, Namaku Jaka Wulung. Dan ini temanku ....
Ciang Hui Ling menjulurkan tangannya menyambut tangan Dona Teresa yang menjulur kepada Jaka Wulung. Namaku Ciang Hui Ling. Kedua gadis itu bersalaman.
Barulah Jaka Wulung melihat dengan jelas dua jenis kecantikan perempuan yang berbeda, masing-masing dengan kelebihannya. Yang satu bertubuh mungil dan berkulit kuning dengan rambut hitam dan mata sipit, yang lain bertubuh tinggi dan berkulit putih pucat dengan rambut cokelat dan mata hijau kebiru-biruan. Mana yang lebih cantik di antara mereka"
Apa yang terjadi kepadamu, Dona" tanya Ciang Hui Ling. Suaranya mantap dan tegas. Aku turut bertanggung jawab atas keamanan di daerah ini dan aku perlu tahu peristiwa apa yang menimpa siapa pun penduduk di sepanjang tepi Ci Liwung.
Entahlah. Tiba-tiba tiga orang itu tadi muncul di rumah kami, melumpuhkan dua pengawal, membuat ibuku dan para pembantu tidak berdaya, kemudian membawaku ke perahu, entah hendak dibawa ke mana. Aku tidak berdaya karena secara mendadak aku seperti orang lumpuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi di perahu. Yang aku tahu, Jaka Wulung telah menolongku di dalam kabin.
Hening lagi beberapa jenak.
Dona Teresa tidak menceritakan bagaimana cara Jaka Wulung melumpuhkan Indrajit, pemimpin kelompok penculik itu.
Biarlah nanti kutanyakan langsung.
Ya, sudah, kata Ciang Hui Ling. Kami antarkan lagi kau ke rumahmu. Ayo, Jaka.
Ciang Hui Ling melemparkan salah satu dayung kepada Jaka Wulung. Ciang Hui Ling kemudian mulai mendayung dan mencoba membalikkan arah perahu.
Lingling. Ciang Hui Ling menoleh memandang Jaka Wulung. Wajahnya masih datar oleh letik bara cemburu. Jurusmu tadi indah sekali.
Apakah ini cara merayu Jaka Wulung untuk meredakan rasa cemburunya" pikir Ciang Hui Ling.
Guruku memberi nama Tarian Payung Bunga Matahari. Perlahan-lahan, letikan bara dalam dada gadis itu mereda. Hai, kau melihat aku memperagakan jurus itu"
Kau memiliki ilmu yang mengagumkan, Jaka Wulung tidak menjawab pertanyaan Ciang Hui Ling. Sebagai pendekar, kau pantas mendapat julukan.
Ah, apa, ya, kira-kira julukan yang pantas untukku"
Kau bisa menentukannya sendiri. Atau, gurumu. Atau, biarlah nanti aku juga mengusulkan.
Ai, benarkah, Jaka" Pipi Ciang Hui Ling sedikit memerah. Jaka Wulung makin gemas memandang wajah memerah gadis itu.
Akan tetapi, keakraban yang tercipta itu harus terputus karena tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan.
Itu dia! [] 7 Dahsyatnya Senjata Aneh KIRA-KIRA seratus depa di belakang mereka, sebuah perahu melaju dengan cepat, didayung oleh empat orang berperawakan kekar dan bertenaga besar. Seperti perahu-perahu lain yang melaju di Sungai Ci Liwung, perahu itu juga berukuran sama. Panjangnya kira-kira empat depa, dengan kabin di tengah, sebagai tempat penumpang.
Di antara para pendayung itu berdiri tegak tiga orang lelaki. Seorang yang di tengah adalah lelaki bertubuh tinggi besar. Bertolak pinggang dengan wajah tegang, seakan-akan sedang menantang angin dari depan. Di sebelah-menyebelahnya adalah dua lelaki yang juga berperawakan kekar, bertelanjang dada, dengan tombak sepanjang tubuh di tangan mereka.
Jaka Wulung-lah yang kali pertama melangkah ke pinggir perahu untuk melihat ke belakang siapa yang berteriak. Kemudian, diikuti Ciang Hui Ling dan Dona Teresa.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Ciang Hui Ling tegang.
Tapi, Dona Teresa memperlihatkan wajah girang, kemudian malah melambai-lambaikan tangannya seraya balas berteriak, Papaaaaaa ...!
Jaka Wulung memandang Dona Teresa, kemudian menoleh kepada Ciang Hui Ling. Pada saat yang sama, Ciang Hui Ling memandang Dona Teresa, lalu menoleh kepada Jaka Wulung. Ciang Hui Ling dan Jaka Wulung saling tatap, kemudian mengangguk-angguk. Keduanya tidak jadi mendayung, tapi membiarkan perahu itu terbawa hanyut ke hilir, supaya bisa lekas dikejar oleh perahu di belakangnya, yang ternyata membawa ayah Dona Teresa.
Beberapa saat kemudian, haluan perahu Alfonso Henrique menyalip buritan perahu yang ditumpangi putrinya.
Papaaa! Wajah Dona Teresa tampak semringah, putih kemerahan seperti bunga mawar yang sedang bersemi. Jaka Wulung ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang memancar dari wajah Dona Teresa.
Pada saat itulah, tangan Alfonso Henrique terangkat dan di tangannya tergenggam sebuah benda terbuat dari logam yang berbentuk melengkung aneh. Di bagian depannya terdapat tabung logam kira-kira sebesar telunjuk. Alfonso Henrique memejamkan mata kirinya dan mengarahkan benda kepada Jaka Wulung.
Dona Teresa terkesiap. Papaaa, jangaaaaaan!
Akan tetapi, terlambat. Gadis remaja itu hanya bisa terpaku dengan mulut ternganga.
Tarrr! Suara keras itu mengejutkan Jaka Wulung. Pendekar muda ini sama sekali tidak menduga bahwa dari lubang di bagian depan benda di tangan ayah Dona Teresa itu melesat, dengan sangat cepat, sesuatu.
Sesuatu itu melesat menimbulkan bunyi desing, lebih cepat dari senjata apa pun yang pernah dihadapi Jaka Wulung. Dia baru sadar ketika sesuatu itu, entah apa, sebuah benda berwarna kuning keperakan, yang sekilas berkilat karena memantulkan cahaya matahari, sudah dekat sekali dengan bagian atas tubuhnya.
Tepat di dada kirinya! Sebuah bidikan yang sangat tepat dari seorang yang sangat terlatih menggunakan senjata aneh itu!
Jaka Wulung hanya punya waktu yang sangat singkat untuk menghindar. Tapi, dengan kecepatan gerak tubuhnya yang nyaris tidak bisa dilihat manusia biasa, Jaka Wulung hanya bisa bergeser sejengkal.
Apa yang dirasakan kemudian adalah sesuatu itu menggores lengan kirinya, terus melesat jauh dengan suara yang tetap mendesing, dan mungkin jatuh di permukaan air Ci Liwung di arah hulu sana. Jaka Wulung menyeringai.
Lengan bajunya sedikit terkoyak. Kulit lengannya perih. Perih sekali.
Dirabanya lengan kirinya yang perih. Basah oleh darah yang hangat. Mungkin luka yang agak dalam.
Jaka Wulung hanya bisa memandang lelaki yang telah mengarahkan senjatanya tadi, ayah Dona Teresa, dengan tanda tanya berjubel dalam kepalanya. Apa yang telah dia lakukan sehingga ayah Dona Teresa menyerangnya" Tapi, yang lebih membuat Jaka Wulung bertanya-tanya: senjata jenis apa yang telah membuatnya nyaris mendapat celaka. Dalam beberapa saat tadi, Jaka Wulung melihat bahwa ayah Dona Teresa tidak melakukan gerak apa pun selain mengarahkan senjatanya kepadanya. Tapi, entah dengan cara bagaimana sesuatu, yang sekilas kelihatan berwarna kuning keperakan, muncul dari lubang di bagian depan, kemudian melesat dengan kecepatan yang sangat di luar dugaan.
Jaka Wulung sudah mengenal senjata sumpit, yang terbuat dari sejenis bambu kecil. Sumpit bisa menjadi senjata yang sangat mematikan setelah diisi kerikil atau biji tanaman tertentu yang keras, kemudian dengan tenaga tiupan yang kuat, apalagi kalau disertai dengan tenaga dalam tingkat tinggi, kerikil atau biji tanaman itu akan menjadi pencabut nyawa seseorang jika mengenai jantung, ulu hati, atau tengkorak kepala sekalipun.
Akan tetapi, senjata aneh yang dipakai ayah Dona Teresa jauh lebih mematikan dibandingkan dengan sumpit mana pun.
Aneh. Jaka Wulung memandang ayah Dona Teresa dengan pandangan bertanya-tanya, sekaligus kagum. Mungkin itu sejenis senjata masa depan. Lebih dahsyat, lebih mematikan, dibandingkan dengan keris, pedang, tombak, golok, bahkan kujang.
Pada saat yang bersamaan, Dona Teresa dan Ciang Hui Ling meloncat ke arah Jaka Wulung.
Pertanyaan yang terlontar dari mulut kedua gadis itu benar-benar sama: Kau tidak apa-apa"
Jaka Wulung tersenyum memandang Ciang Hui Ling, kemudian Dona Teresa.
Hanya tergores sedikit. Beberapa orang kemudian meloncat dari perahu yang dinaiki Alfonso Henrique, diikuti oleh Alfonso Henrique sendiri.
Papa, kau salah menembak orang! seru Dona Teresa dengan nada yang menyalahkan ayahnya.
Alfonso Henrique ragu-ragu beberapa jenak, tapi kemudian memeluk putrinya dengan erat.
Kau tidak apa-apa" Aku baik-baik saja. Berkat pertolongan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, Dona Teresa menunjuk dua pendekar muda itu.
Alfonso Henrique melepaskan pelukan kepada putrinya, lalu memandang Jaka Wulung dengan penuh rasa heran, sekaligus kagum.
Anak muda, maafkan aku, kata Alfonso Henrique. Aku tadi hanya mendapat kabar bahwa penculik putriku ini lelaki berpakaian hitam-hitam. Jadi, ketika tadi kulihat ada laki-laki berpakaian hitam-hitam di perahu ini, aku langsung menembak. Sekali lagi maafkan aku.
Jaka Wulung memandang lelaki keturunan Peranggi itu dengan kepala mendongak. Alfonso Henrique memang lelaki bertubuh tinggi besar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya tampan dan otot-otot tubuhnya menonjol. Perutnya juga rata, tidak besar seperti umumnya orang yang sudah separuh baya.
Jaka Wulung mengangguk seraya tersenyum. Senjata Tuan luar biasa. Nyaris tewas aku dibuatnya.
Alfonso Henrique mengelus senjata yang sudah tersarung di pinggangnya. Namanya pistol. Seorang teman belum lama ini membawakan dari Eropa, Alfonso Henrique menatap darah di sela jemari Jaka Wulung. Ah, kau perlu diobati. Ayo, kita ke rumahku. Kau dan gadis Tionghoa ini, ayo ikutlah dengan kami.
Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling saling pandang. Meskipun singkat, tampaknya terjadi percakapan batin melalui mata di antara keduanya. Keduanya kemudian menggeleng secara berbarengan.
Terima kasih atas undangan Tuan, tapi lain kali saja, kata Jaka Wulung. Aku harus mengantar Nona Ciang ini.
Aku harus pulang dulu ke rumah guru, ucap Ciang Hui Ling.
Sayang sekali, Dona Teresa menyela. Tapi, bolehkah kalau kapankapan kami mengunjungi kalian"
Tentu saja, jawab Ciang Hui Ling.
Siapa nama gurumu" tanya Alfonso Henrique.
Namanya Tan Bo Huang, sahut Ciang Hui Ling. Orang-orang menyebutnya Naga Kuning dari Ci Liwung.
Baik Alfonso Henrique maupun empat orang pengawalnya sama-sama terkejut seraya membelalakkan mata. Nama Naga Kuning dari Ci Liwung bukan nama sembarangan.
Rupanya, kau murid dari pendekar termasyhur itu, ujar Alfonso Henrique. Sampaikan salam hormat dariku.
Rombongan Alfonso Henrique, Dona Teresa, dan empat pengawalnya kemudian kembali menuju hilir.
Tinggal Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling yang saling pandang di atas perahu yang tadi digunakan para penculik.
Biarlah aku yang mendayung, kata Ciang Hui Ling. Tanganmu pasti sakit sekali.
Tidak apa-apa, ujar Jaka Wulung sambil mulai mendayung menuju hulu. Darahnya sudah mengering.
Matahari sudah bergeser menuju lengkung langit belahan barat. Perahu melaju pelan, menembus arus Ci Liwung yang tenang. Jaka Wulung mendayung di tepi kanan, sedangkan Ciang Hui Ling di kiri. Jaka.
Jaka Wulung menoleh. Ciang Hui Ling menatap Jaka Wulung, tapi tidak lekas mengatakan apa pun.
Jaka Wulung masih menunggu. Apa yang akan dikatakan gadis ini" Tidak biasanya Ciang Hui Ling menelan kembali kata-kata yang hendak diucapkan. Biasanya dia selalu mengungkapkan dengan segera apa pun yang ada dalam pikirannya. Apakah dia akan menanyakan bagaimana perasaan Jaka Wulung terhadap Dona Teresa" Ah, dugaan yang terlampau jauh. Jaka Wulung tersenyum sendiri dalam hati.
Jaka. Ada apa, Lingling" Apa yang terjadi di kabin tadi" Bagaimana pemimpin penculik itu tidak berdaya, padahal aku tidak mendengar suara pertempuran"
Jaka Wulung menghela napas. Dugaannya ternyata keliru. Haruskah aku ceritakan"
Ceritakanlah. Aku ingin tahu. Tidak ada yang istimewa. Biasa saja.
Mungkin bagimu biasa. Tapi, bagiku tetap luar biasa.
Tadinya aku tidak menduga bahwa di dalam kabin itu ada penculik lain selain dua orang yang bertempur denganmu, kata Jaka Wulung. Tapi, kemudian kudengar suara yang mencurigakan. Kudengar suara lenguhan yang aneh, seperti orang yang mulutnya dibekap. Akhirnya, kubuka pintu belakang. Tampaknya, kebetulan orang itu lupa mengunci pintu. Atau, mungkin terlampau percaya diri. Rupanya gadis itu melenguh-lenguh bukan karena dibekap, melainkan karena tak bisa bicara akibat sarafnya dibikin kaku oleh para penculik itu. Jaka Wulung berhenti, menunggu apakah Ciang Hui Ling menyimak kata-katanya. Lalu, katanya, Ketika aku masuk, lelaki bernama Indrajit itu berbalik langsung menghadapku dan menyerang dengan pukulan tanpa senjata. Tenaga pukulannya sangat kuat sehingga ketika aku menangkisnya dengan telapak tangan, telapak tanganku serasa kesemutan juga. Tendangan kakinya juga sangat kuat.
Pasti dia memiliki ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Untungnya secara kebetulan, aku bisa menangkap tendangan kakinya. Lalu, ketika dia mencoba memukulku lagi, secara kebetulan pula aku mendahuluinya dengan pukulan sisi bawah telapak tanganku, yang tanpa kusadari disertai dengan tenaga yang berasal dari ilmu gulung maung, dan kebetulan mengenai ulu hatinya. Dia jatuh kebetulan bertepatan dengan teriakan dua temannya yang memanggil namanya. Setelah itu, kau tahu apa yang terjadi.
Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung untuk memastikan apa yang didengarnya. Lalu, katanya, Kau bohong.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Mengapa kau bilang begitu" Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Jaka Wulung tertawa, tapi dia tidak menanggapi kata-kata Ciang Hui Ling. Akan tetapi, Ciang Hui Ling tidak ikut tertawa.
Jaka. Jaka Wulung menoleh. Hmmm ... bagaimana menurutmu ... gadis itu"
Jaka Wulung menahan senyumnya. Dugaannya tidak terlampau meleset. Siapa" Nona berambut jagung itu"
Dia sangat cantik, bukan"
Ya. Kau menyukainya" Jaka Wulung diam.
Kau jatuh cinta kepadanya"
Jaka Wulung tertawa. Aku senang mendengar kata-katamu. Jadi, benar kau jatuh cinta"
Tidak. Lalu" Kata-katamu menunjukkan bahwa ..., Jaka Wulung memandang lekat wajah Ciang Hui Ling, ... kau cemburu.
Ciang Hui Ling membuang mukanya ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya yang memerah dan senyumnya yang tersipu.
Bahagia sekali dia hari itu. []
8 Rata dengan Tanah AKAN tetapi, bahagia dan duka hanyalah dua wajah dari satu keping mata uang. Bedanya setipis kulit jangat.
Bahkan, dari jauh Ciang Hui Ling sudah merasakan ada sesuatu yang janggal. Asap hitam mengepul menodai langit biru. Dari mana asap itu berasal"
Daerah tempat tinggal Ciang Hui Ling dan gurunya tidak terlalu jauh dari tepi Ci Liwung, terletak di tanah yang agak tinggi, semacam bukit kecil, yang dikitari pepohonan besar. Tempat itu sangat sejuk dan nyaman. Tan Bo Huang, guru Ciang Hui Ling, sudah memperhitungkan bukit kecil itu sebagai tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari Pelabuhan Kalapa, tapi juga cukup terpencil sebagai tempat untuk menyepi.
Terpencil, karena di sekitar pondok itu tidak ada rumah penduduk. Rumah terdekat dari tempat itu terletak kira-kira lima ratus depa jauhnya.
Udara di sekitar pondok mereka sangat bersih. Tidak pernah ada orang yang membakar hutan di sekitar tempat itu.
Kalau begitu, dari mana asap itu berasal" Apakah dari sekitar pondok tempat tinggal Tan Bo Huang"
Asap apakah" Hampir di luar sadarnya, Ciang Hui Ling menambah tenaga untuk mendayung perahu mereka. Jaka Wulung melakukan hal yang sama untuk menyeimbangkan arah perahu meskipun dengan lengan yang masih ngilu karena terserempet peluru.
Perahu dengan cepat melaju.
Tanpa perlu bertanya, Jaka Wulung pun bisa menebak bahwa asap yang membubung itu telah menggelisahkan Ciang Hui Ling.
Semakin dekat, asap itu makin jelas membuat langit menghitam. Membubung tinggi, lalu mengarah ke barat mengikuti arah angin, melintasi Sungai Ci Liwung.
Cepat ke pinggir, Jaka! Ciang Hui Ling dan Jaka Wulung cepat meminggirkan perahu mereka. Bahkan, sebelum perahu benar-benar merapat, tanpa mengatakan apa pun lagi kepada Jaka Wulung, Ciang Hui Ling sudah lebih dulu meloncat ke darat, kemudian meloncat-loncat di antara bebatuan, lalu dengan satu lentingan tinggi, gadis itu tiba di bibir tebing, sebelum sekejap kemudian hilang dari pandangan.
Jaka Wulung lebih dulu menurunkan jangkar perahu sebelum berlari mengikuti ke mana Ciang Hui Ling menghilang.
Tanah agak mendaki dan pepohonan rapat seperti menghalangi. Tapi, Ciang Hui Ling tidak memedulikannya. Dia terus berlari cepat, bahkan seperti terbang saja layaknya, menuju sumber asap berada. Jaka Wulung mengikuti di belakangnya.
Dan akhirnya, tibalah mereka di tempat yang dituju.
Pagar kayu rebah dan patah-patah. Pepohonan tumbang. Perdu-perdu berantakan. Rerumputan tidak lagi berbentuk, seakan-akan baru saja diinjak-injak gerombolan gajah. Dan di tengah lahan itu, sisa api masih menyala, berkobar dari puing-puing kayu yang belum lama masih berupa tiang dan dinding pondok. Sebagian besar kayu itu sudah hangus menjadi arang. Hanya sebagian kecil yang masih terbakar.
Pondok itu, pondok Tan Bo Huang, benar-benar rata dengan tanah. Ciang Hui Ling mematung menyaksikan pemandangan itu. Air mata berlinang membelah kedua pipinya.


Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehelai daun kering yang separuhnya terbakar terbang melayang dan jatuh di dekat kakinya.
Dua kali, Jaka. Jaka Wulung menoleh menatap wajah Ciang Hui Ling yang bersimbah air mata. Jemarinya perlahan menggenggam jemari gadis itu dengan erat, memberikan kekuatan bagi yang sedang mengalami duka mendalam. *****
SEKITAR tujuh atau delapan tahun lalu, saat baru berusia kira-kira delapan tahun, Ciang Hui Ling menyaksikan pemandangan yang sama. Rumah yang terbakar habis, rata dengan tanah, tidak tersisa sepotong pun perabot rumah, bahkan hanya sepotong kayu.
Itulah rumah orangtua Ciang Hui Ling di tepi Sungai Ci Sanggarung di sisi timur wilayah Cerbon. Pemandangan itu tidak pernah bisa dilupakan.
Pemandangan yang sangat menyedihkan. Sebab, semenjak itulah, Ciang Hui Ling tidak pernah tahu bagaimana nasib orangtuanya.
Hanya nasib baiklah yang membuat dirinya selamat. Dia kemudian diselamatkan oleh seorang lelaki yang entah dari mana datangnya. Ciang Hui Ling sudah pasrah mengenai nasibnya.
Untunglah, yang membawa pergi dia adalah Tan Bo Huang, seorang pendekar gagah yang kemudian mengasuhnya di tepi Sungai Ci Liwung. Beberapa waktu kemudian, Ciang Hui Ling baru tahu bahwa Tan Bo Huang adalah sahabat baik kedua orangtuanya, seorang pendekar yang sudah harum namanya dengan julukan Naga Kuning dari Ci Liwung.
Tan Bo Huang kemudian mendidik Ciang Hui Ling, mencurahkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada gadis itu. Tan Bo Huang juga kerap membawa si gadis kecil mengembara ke berbagai tempat, termasuk naik perahu berlayar sampai ke Malaka.
Dari Tan Bo Huang pulalah, Ciang Hui Ling mengetahui gambaran mengenai siapa sebenarnya orangtuanya. Samar-samar dia memang masih ingat wajah ayah dan ibunya, tapi siapa mereka, dia belum pernah diceritai.
Orangtua Ciang Hui Ling sedang dalam perjalanan di laut menuju Kalapa ketika berkenalan dengan Tan Bo Huang. Mereka berasal dari negeri Tiongkok. Keduanya berasal dari daerah yang tidak jauh dari muara Sungai Kuning dan terkenal dengan julukan Sepasang Pedang Sakti. Bertahun-tahun, mereka malang melintang di dunia persilatan Tiongkok, terutama di sepanjang Sungai Kuning. Mereka sangat ditakuti oleh para bajak sungai yang sebelumnya merajalela di sungai besar di Tiongkok itu. Kehadiran Sepasang Pedang Sakti membuat Sungai Kuning wilayah yang aman.
Akan tetapi, lama-kelamaan Sepasang Pedang Sakti, yang telah menjadi suami-istri, merasa jenuh dengan kehidupan mereka yang selalu penuh dengan pertumpahan darah. Mereka menginginkan sebuah kehidupan yang tenang, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Terutama karena keduanya sangat mendambakan kehadiran anak-anak. Mereka merasa usia di atas tiga puluh tahun sudah cukup untuk menjalani kehidupan yang sewajarnya dialami kebanyakan warga.
Karena itu, mereka memutuskan hidup berbaur dengan warga masyarakat biasa di sebuah kampung kecil tidak jauh dari pantai selatan Tiongkok. Hampir setahun, mereka hidup sebagai petani, kadang-kadang pergi melaut mencari ikan. Tapi, tidak lama kemudian, sejumlah orang menemukan kediamannya dan datang hendak membalas dendam. Sepasang Pedang Sakti berhasil membunuh sebagian di antara mereka. Tapi, sebagian lain meloloskan diri.
Karena merasa kehidupan di kampung itu terusik, Sepasang Pedang Sakti memutuskan pergi menyeberang laut menuju negeri lain. Dari kabar yang sampai ke telinga mereka, mereka mendengar sejumlah negeri yang kehidupannya aman dan damai di Jawa Dwipa, antara lain Banten, Pajajaran, Cerbon, dan Demak.
Mereka berniat merintis kehidupan baru di Tanah Jawa, seraya mencoba menelusuri kerabat keturunan pengikut Ceng Ho yang sudah menetap di Jawa.
Demikianlah, mereka pergi menyeberangi lautan, naik perahu dari Tiongkok ke Malaka, kemudian dari Malaka ke Jawa. Mereka sempat mampir di Pelabuhan Kalapa, tapi kemudian meneruskan perjalanan ke Muara Jati.
Dalam perjalanan itu, mereka benar-benar melepaskan pakaian yang biasa dikenakan para pendekar. Mereka berpakaian seperti umumnya para pelancong. Pedang sakti yang biasanya tidak lepas dari punggung mereka dibungkus dengan kain dan disimpan bersama barang bawaan mereka, terutama pakaian.
Akan tetapi, kerap kali kenyataan tidaklah sesuai dengan harapan.
Dalam perjalanan di Selat Malaka, perahu yang mereka tumpangi diserang oleh sekelompok perompak. Selat ini memang terkenal dengan para perompaknya yang kejam. Belasan, atau mungkin puluhan, kelompok perompak selalu mengadang perahu-perahu yang sekiranya berpenumpang para saudagar kaya. Para perompak itu umumnya orang-orang berpenampilan kasar dengan ilmu silat yang di atas rata-rata orang kebanyakan. Dengan berbekal ilmu silat tinggi dan senjata lengkap yang mereka bawa, mereka selalu menguras harta dan perbekalan yang dibawa perahu-perahu yang menjadi mangsa.
Para perompak itu bahkan berani menjarah perahu mewah yang berpenumpang para pejabat negara, terutama yang diperkirakan pengawalannya kurang. Hanya satu perahu yang mereka hindari, yaitu perahu yang berisi bala tentara. Biasanya mereka menghindari perahu seperti itu karena kekuatan mereka kalah. Lagi pula, perahu seperti itu tidak membawa banyak harta yang banyak.
Hari itu, para penumpang baru saja menikmati pemandangan matahari terbenam ketika tiga perahu menempel ketat dari kanan dan kiri serta belakang. Tidak lama kemudian, belasan orang berkulit gelap dan berwajah seram berloncatan ke geladak perahu dan mengancam setiap penumpang. Bahkan, para pengawal perahu tidak mampu berbuat banyak. Setelah melakukan perlawanan tidak sampai lima jurus, para pengawal yang jumlahnya empat atau lima orang itu bertekuk lutut.
Dengan leluasa, perompak-perompak itu pun menjarah barang-barang berharga milik para penumpang.
Pada saat itulah, terjadi kegaduhan di dekat buritan. Terdengar pekikanpekikan keras diselingi suara dentingan dari senjata yang berbenturan. Di bawah langit yang mulai temaram, terjadi pertempuran seru di bagian belakang perahu itu. Mula-mula tidak jelas siapa yang sedang bertempur. Tapi, lama-lama makin kelihatan seorang lelaki berpakaian putih bertempur melawan enam perompak sekaligus. Sungguh luar biasa lelaki itu. Dengan hanya bersenjatakan pedang yang sedang-sedang saja panjangnya, dia tanpa kesulitan melayani keroyokan enam lelaki yang perawakannya rata-rata lebih tinggi dan lebih besar.
Selain bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi di atas rata-rata para pengeroyoknya, lelaki itu juga tidak segan-segan membenturkan pedangnya pada apa pun jenis senjata lawan-lawannya, kelewang, tombak, gobang, dan sebagainya.
Dengan ringannya, dia melenting dari satu titik ke titik yang lain, menyelinap di antara senjata-senjata lawan yang terulur hendak melumat tubuhnya. Dia bergerak seakan-akan tidak menginjak lantai geladak perahu, tak ubahnya seperti burung walet yang sangat gesit melejit-lejit.
Tidak hanya pedangnya yang tergenggam di tangan kanan, tangan kiri dan kedua kakinya pun terus-menerus mencari sasaran dengan tata gerak yang amat selaras. Dalam belasan jurus, lelaki itu sudah mampu merobohkan dua perompak. Yang satu terluka menganga di lengannya dan hanya bisa mengerang di dinding kabin. Yang satu lagi tak kuasa menahan tendangan keras lelaki itu sehingga membentur pagar perahu, berputar sekali, lalu tak ayal melayang jatuh ditelan ombak laut.
Melihat ada perlawanan dari seorang penumpang yang tidak dikenal, pemimpin perompak itu marah, lalu meloncat menghadapi lelaki berpedang itu.
Siapa kau, berani melawan gerombolan Tengkorak Hitam"
Lelaki itu tidak menjawab, tetapi segera bersiap menghadapi sepak terjang pemimpin kelompok yang memang sangat terkenal dan paling ditakuti di seantero Selat Malaka itu.
Tiga orang perompak menyertai sang pemimpin untuk mengeroyok seseorang yang telah dengan nekat melakukan perlawanan.
Pemimpin perompak Tengkorak Hitam itu, seorang lelaki berwajah legam dengan garis codet di kedua pipinya, memang layak menjadi pemimpin gerombolan orang-orang berwatak kejam itu. Tata ilmu silatnya benarbenar di luar kewajaran tata gerak silat umumnya. Jurus-jurusnya sangat kejam, seperti ikan hiu yang melabrak apa pun yang menjadi penghalang di hadapannya. Pedang besar di tangannya meliuk-liuk menyobek udara, menimbulkan suara siulan yang menebarkan ancaman kematian.
Akan tetapi, sampai beberapa jurus, pedangnya tidak juga mengenai lawannya yang selalu bergerak dengan lincah seperti ikan terbang menghindari terkaman hiu.
Siapa kau, hah" Suara pemimpin gerombolan Tengkorak Hitam itu kembali menggelegar, sambil tidak henti-hentinya menerjang melancarkan sabetan pedangnya.
Lelaki itu dengan enteng menghindarinya dengan meloncat mundur. Dia masih mengukur seberapa besar kekuatan pemimpin kelompok itu sehingga dia memilih untuk menghindari benturan pedang. Namaku Tan Bo Huang, kalau kau mau tahu. Dan kau siapa" Pemimpin kelompok Tengkorak Hitam itu tergetar juga mendengar nama yang disebutkan lelaki itu. Tapi, dia menggeretakkan gigi tidak peduli. Persetan dengan siapa kau. Kau boleh saja menyebut Naga Kuning di selokan kecil bernama Ci Liwung itu, tapi di tengah laut ini, kau hanyalah ular kecil! Bersiaplah mampus di tangan naga sesungguhnya, aku Badri si Naga Laut Selat Malaka!
Dalam beberapa jurus kemudian, Tan Bo Huang mengakui bahwa nama Naga Laut Selat Malaka bukanlah nama yang kosong. Dengan jurus-jurus yang buas dan kejam, sesuai dengan lingkungan hidupnya sehari-hari, Badri si Naga Laut benar-benar menjadi momok bagi kapal atau perahu mana pun yang lewat Selat Malaka tanpa pengawalan yang cukup. Dengan pedang besarnya, dia membabat ke sana kemari, seperti badai Laut Tiongkok Selatan.
Enam atau tujuh anak buah Badri si Naga Laut tidak mau tinggal diam. Mereka kembali mengeroyok Tan Bo Huang dengan jurus-jurus yang sama kasarnya. Begitulah memang watak para perompak. Mereka selalu bertempur dalam kelompok besar untuk segera menyelesaikan pertempuran. Mereka tidak punya waktu banyak untuk bermain-main. Lebih cepat lawan menyerah, itu lebih baik. Dan untuk itu, tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan pengeroyokan.
Menghadapi keroyokan tujuh atau delapan perompak yang dipimpin oleh kepala perompak sendiri, Badri si Naga Laut, perlahan-lahan Tan Bo Huang terdesak juga. Dia harus mengerahkan segenap ilmunya untuk menghindari atau mengadang setiap senjata yang tidak pernah berhenti mengancamnya. Jengkal demi jengkal, Tan Bo Huang harus mundur. Para pengeroyok itu tampaknya tanpa mendapat aba-aba pun sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Mereka harus mendesak lawannya terus mundur hingga ujung buritan. Kalau sudah sampai di sana, kepastian akan nasib Tan Bo Huang hanyalah tinggal menunggu waktu. Mereka tidak akan memberikan ruang bagi Tan Bo Huang untuk kembali merangsek ke depan. Satu-satunya ruang yang tersedia bagi Tan Bo Huang hanyalah laut luas yang siap menelannya.
Badri si Naga Laut terbahak-bahak melihat kemenangan yang sudah di depan mata. Kha-kha-kha ...! Mau menghindar ke mana lagi kau, Ular Badut!
Tan Bo Huang menggeretakkan gigi. Dia sama sekali tidak takut menghadapi kematian. Kehidupannya yang panjang selalu diwarnai dengan pertempuran yang hanya memberikan dua pilihan: membunuh atau dibunuh. Apa yang disesalinya adalah dia harus bertempur sendirian menghadapi para perompak itu. Dia juga menyesal karena tidak bisa menyelamatkan perahu dan penumpangnya dari penjarahan kejam para perompak.
Karena itu, seraya berseru keras, Tan Bo Huang memainkan pedangnya dengan kecepatan yang berlipat. Kaki dan tangannya pun terus berupaya mencari celah di antara keroyokan lawannya. Beberapa saat keroyokan para perompak itu tertahan. Tapi, tidak lama. Badri si Naga Laut juga menyadari bahwa lawannya sudah tiba di titik puncak ilmunya, sementara dia masih segar bugar. Ditambah dengan pertempuran di perahu adalah pertempuran yang tidak asing lagi baginya, meski di bawah langit yang makin temaram, Badri si Naga Laut pun meningkatkan serangannya. Pedangnya terus berkelebat dengan ganas dan penuh tenaga.
Pada saat yang sama, anak-anak buah Badri si Naga Laut pun meningkatkan serangan mereka. Meskipun sekilas terlihat kasar, karena terbiasa bertempur bersama-sama, mereka mampu bahu-membahu saling mendukung membentuk serangan maut yang tidak pernah berhenti mengancam kedudukan Tan Bo Huang.
Satu serangan ujung pedang anak buah Badri si Naga Laut tidak dapat dihindari Tan Bo Huang. Pahanya terasa perih. Mungkin tidak terlalu dalam. Tapi, luka itu menjadi titik awal rapuhnya pertahanan Tan Bo Huang. Jurus demi jurus, dia makin terdesak ke belakang, hingga akhirnya sampai di pagar buritan. Tidak ada lagi ruang bagi Tan Bo Huang untuk bertahan.
Bersiaplah menjadi santapan para hantu laut, kha-kha-kha ...!
Badri si Naga Laut siap melancarkan serangan pamungkas untuk menuntaskan nasib Tan Bo Huang. Pedang besarnya mengibas dari kiri dengan tenaga yang luar biasa dahsyat ....
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring, disertai bunyi dentang memekakkan telinga yang membuat gerakan pedang Badri si Naga Laut tertahan, bahkan tergetar sehingga nyaris lepas dari tangannya. Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki kini berdiri tegak di hadapan para perompak itu dengan pedang di tangan, berdiri agak ke depan dari Tan Bo Huang. Para perompak itu beberapa jenak terpaku seperti patung dengan mulut menganga. Bayangkan, hanya dalam satu gerakan, dalam ruang yang sangat sempit di buritan perahu, lelaki itu mampu menghalangi gerak pamungkas pedang besar Badri si Naga Laut!
Dalam temaram senja, tampak bahwa lelaki itu berpakaian ala pesilat Tiongkok dengan baju dan celana yang serbalonggar. Rambutnya panjang dan dikucir hingga mencapai separuh punggung. Matanya yang sipit memandang tajam satu per satu para perompak di depannya, terutama Badri si Naga Laut.
Maaf, Tuan Pendekar, aku terlambat beraksi. Namamu sudah kudengar hingga daratan Tiongkok, ujar lelaki itu, dengan bahasa Melayu yang kurang begitu jelas karena logat Tiongkoknya yang kental.
Ah, namaku bukanlah apa-apa, kata Tan Bo Huang. Kau pasti memiliki nama yang lebih masyhur.
Belum sempat lelaki itu menyebutkan namanya, Badri si Naga Laut menggeram marah melihat kedatangan lelaki itu, yang telah menggagalkan usahanya untuk menuntaskan nasib Tan Bo Huang.
Persetan dengan kau! Ayo maju semuanya! Kawan-kawan, gempur!
Serentak kini para perompak itu mengeroyok dua lelaki itu, dua pendekar dengan darah yang sama, tapi asal yang berbeda. Yang satu berasal dari Tanah Jawa, yang lain berasal dari tanah Tiongkok. Tapi, dalam sekejap tampaknya terjadi saling kesepahaman di antara mereka. Menghadapi jurus-jurus ganas para perompak, keduanya bahu-membahu dengan jurus yang kelihatannya memiliki akar yang sama.
Badri si Naga Laut merasakan bahwa kedatangan lelaki ini telah mengubah peta pertempuran. Sepak terjangnya benar-benar tidak kalah lincah dan lihai dari Tan Bo Huang. Melawan Tan Bo Huang sendiri saja mereka harus mengerahkan kemampuan untuk mendesak, kini ditambah dengan orang yang memiliki tingkat ilmu yang seimbang, maka justru para perompaklah yang mulai terdesak dengan cepat.
Karena itu, Badri si Naga Laut berseru keras. Kawan-kawan yang di depan, ayo bantu ke sini!
Akan tetapi, seruan Badri si Naga Laut sama sekali tidak bersambut. Dia mengerutkan keningnya. Rupanya, di bagian depan geladak terjadi pula satu lingkaran pertempuran. Mula-mula tidak jelas, tapi lama-kelamaan mata tajam Badri si Naga Laut bisa mengenali bahwa lima anak buahnya tengah bertempur seru dengan seorang bertubuh kecil dan langsing serta rambut yang panjang berkibaran ... seorang wanita!
Badri si Naga Laut tidak sempat memikirkan atau menduga-duga siapa wanita itu karena dia harus mengerahkan segala ilmunya untuk menghadapi terjangan dahsyat dua lelaki bermata sipit itu. Tan Bo Huang, meskipun sudah terluka di pahanya, masih tetap ganas menyabetnyabetkan pedangnya. Lelaki yang baru datang itu, dengan tenaga yang masih segar bugar, melenting-lenting lincah dan ujung pedangnya menusuk-nusuk setiap lubang pertahanan para pengeroyoknya.
Belum sampai sepuluh jurus kemudian, secara hampir bersamaan ujung pedangnya dan ujung pedang Tan Bo Huang berhasil mematuk masingmasing seorang perompak anak buah Badri si Naga Laut. Kedua perompak itu memekik dan senjata mereka terlepas dari tangan masing-masing.
Jatuhnya dua perompak itu dengan cepat membuat pertempuran menjadi timpang. Tan Bo Huang dan pendekar asal Tiongkok itu terus mendesak para perompak dan memberikan ancaman melalui ujung-ujung pedang mereka.
Sekilas, Badri si Naga Laut melirik ke geladak depan, berharap anak-anak buahnya sudah menyelesaikan pertempurannya melawan seorang perempuan. Tapi, apa yang dilihatnya sungguh meleset jauh dari harapannya. Meskipun hanya seorang perempuan mungil dan bersenjatakan pedang yang sedang-sedang saja, perempuan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi keroyokan lima perompak anak buah Badri si Naga Laut.
Sebaliknya, pedang pendekar perempuan itu terus berkelebatan, dan kelima perompak tersebut hanya berupaya menghindar atau mencoba membenturkan senjata mereka untuk mencegah ujung pedang maut itu mematuk tubuh mereka. Hanya tinggal menunggu waktu bagi si pendekar wanita itu untuk merobohkan salah seorang perompak.
Benar saja, beberapa saat kemudian terdengar pekik nyaring seorang perompak. Pergelangan tangannya putung. Bagian telapak tangannya, yang masih menggenggam sebilah golok, mencelat jauh dan jatuh tercebur ke laut, menjadi santapan ikan pemakan daging.
Melihat rekan mereka mengalami nasib buruk, keempat perompak lainnya menjadi keder bukan main. Serangan mereka menjadi tidak keruan. Mereka berharap pemimpin mereka, Badri si Naga Laut, akan segera datang membantu sekaligus membinasakan perempuan ini. Di mata mereka, Badri si Naga Laut adalah lelaki yang tidak akan terkalahkan oleh siapa pun di dunia, apalagi di daerah kekuasaan mereka di Selat Malaka.
Mereka tidak mengerti mengapa Badri si Naga Laut tidak segera datang menolong. Apalagi ketika mereka mendengar dari arah buritan pekikan nyaring seorang perompak yang dadanya sobek menganga oleh kibasan pedang Tan Bo Huang.
Tan Bo Huang dan pendekar Tiongkok itu sekarang tinggal berhadapan dengan lima perompak, termasuk Badri si Naga Laut. Kelima perompak itu sudah keder dari tadi, dan kini semangat mereka makin mengempis. Apa yang ada dalam kepala mereka bukan lagi bagaimana caranya merobohkan dua lawannya, melainkan bagaimana cara melepaskan diri dari pertempuran itu.
Sambil melakukan gerakan yang membabi buta, Badri si Naga Laut berseru keras:
Munduuuuuur ...! Seraya melemparkan pedangnya ke arah Tan Bo Huang yang sedang memburunya, Badri si Naga Laut meloncat melintasi pagar perahu, kemudian terjun dengan dua tangan terjulur lebih dulu, mencebur ke laut. Tan Bo Huang tidak sempat mengejar Badri si Naga Laut karena dia harus menangkis pedang kepala perompak itu lebih dulu.
Ketika Tan Bo Huang memburu ke pagar perahu, kepala perompak itu sudah mencebur ke laut, dan berenang menuju kapalnya. Sisa-sisa laskar perompak itu secara hampir bersamaan mengikuti jejak sang pemimpin, sama-sama melompat ke laut, menyelamatkan diri, menuju perahu mereka. Tanpa menunggu waktu, perahu para perompak itu segera meluncur menjauh dan akhirnya lenyap tertutup kabut.
Beberapa jenak kemudian, suasana menjadi hening.
Bulan kelihatan samar, muncul dari balik awan di cakrawala.
Hanya terdengar erangan para perompak yang terluka. Mereka kemudian diurus oleh para pengawal perahu.
Para pengawal dan penumpang mengucapkan terima kasih kepada Tan Bo Huang dan sepasang pendekar dari negeri Tiongkok.
Namaku Ciang Bun. Dan ini istriku, Cu Ling Wei, kata lelaki yang telah membantu Tan Bo Huang sambil merangkul pundak istrinya. Kami selama ini dikenal dengan julukan Sepasang Pedang Sakti.
Tan Bo Huang mengangguk-angguk. Ah, pantas saja. Nama kalian juga sudah lama terbawa angin hingga ke sudut terpencil di Ci Liwung, katanya.
Sepasang Pedang Sakti itu sama-sama tersenyum mendengar kata-kata Tan Bo Huang yang bernada seloroh.
Mereka bertiga dengan segera menjadi akrab. Mereka bahkan membuat ikatan menjadi saudara. Karena umur Tan Bo Huang lebih tua dua tahun dibandingkan dengan Ciang Bun, dua sejoli itu memanggil Tan Bo Huang saudara tua.
Menyembul rasa iri di dada Tan Bo Huang melihat betapa serasinya pasangan pendekar dari Tiongkok itu. Yang lelaki sangat tampan dan yang perempuan sangat cantik. Dengan ilmu silat yang sama-sama tinggi, pantaslah jika siapa pun yang melihat mereka akan menjadi iri sekaligus kagum.
Tan Bo Huang segera menepis rasa iri itu. Ah, tiba-tiba dia teringat dua peristiwa menyedihkan dalam hidupnya. Pertama, dia pernah saling mencintai dengan adik seperguruannya, Chen Lian. Tapi, dengan berat hati, dia memutuskan hubungan mereka karena adik seperguruannya itu memiliki sifat-sifat yang jahat. Yang kedua, kemudian dia jatuh cinta kepada seorang gadis asal Banten. Tapi, hubungan mereka juga kandas karena orangtua gadis idamannya menolak, dengan alasan berbeda bangsa dan agama, Tan Bo Huang memutuskan untuk tidak akan kawin sepanjang hidupnya. Sungguh keputusan yang sangat menyedihkan. Tapi, Tan Bo Huang sudah mengambil keputusan demikian dengan hati yang bulat.
Saat itulah, Sepasang Pedang Sakti menuturkan keinginannya untuk tinggal di Tanah Jawa. Mereka juga mengungkapkan alasannya mengapa ingin menghabiskan masa tuanya jauh dari tanah kelahiran mereka.
Di Pelabuhan Kalapa, Tan Bo Huang dan Sepasang Pedang Sakti saling berpisah. Tan Bo Huang hendak pulang dulu ke pondoknya di pedalaman Ci Liwung, sedangkan berdasarkan petunjuk dari Tan Bo Huang, Sepasang Pedang Sakti memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Muara Jati, salah satu pelabuhan di Cerbon.
Tidak lama kemudian, sepasang pendekar dari Tiongkok itu tinggal di Astana Japura, hidup membaur dengan masyarakat setempat. Mereka mengubah kebiasaan dalam hal berpakaian dan penampilan. Mereka tinggal dengan penuh ketenteraman selama hampir dua tahun.
Akan tetapi, pada tahun ketiga, mulailah muncul gangguan terhadap kehidupan mereka yang sudah tenteram.
Bujukan Gambar Lukisan 3 For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Dendam Asmara 8

Cari Blog Ini