Ceritasilat Novel Online

The First Fall 1

Love Command The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 1


LOVE COMMAND: THE FIRST FALL
oleh Janice Nathania GM 312 01 13 0018 Ilustrasi oleh Nesia Anindita "Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building,
Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, Mei 2013 272 hlm; 20 cm
ISBN: 978 - 979 - 22 - 9589 - 4 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
Thanks to: - Tuhan Yesus Kristus, yang menjadikan segalanya ada. - Gramedia Pustaka Utama. Atas buku-buku dan para editornya: Mbak Donna, Mbak Vera, Mbak Anas, dan Mbak Nindy yang menjadikan mimpi ini sempurna.
- Oma atas didikannya. - Papa, Mama, Ci Jhe, dan Epin yang terus mendukung dalam
setiap keterbatasan keluarga. - Seluruh keluarga besar.
- Sahabat-sahabat kecil, Triani dan Desi serta teman-teman SDK Lemuel yang ikut membentuk fondasi pertama untuk mimpi yang sama.
- Silviawati, sahabat yang selalu jadi tempat menggarap ide dan
untaian kata. - Adrianne Jessica, yang mengizinkan mesin pencetaknya dibajak untuk satu senja.
- Melinda, Rae, Inke, Gladys, Karmel, Rosalie, dan teman-teman SMP Regina Pacis lainnya (Lisa dan Ichel yang pernah jadi pembaca novel gagal pertama).
- Lana, Acha, Shella, Saron, Febby, Jelin, Geo, Ling-Ling, Hilda,
Dian, dan teman-teman SMK Paramitha 2. - Pak Anjar dan Sir Doni yang ternyata diam-diam pernah jadi
pembaca. - Ning site, tempat menulis resmi pertama juga Kak Ami, Anind,
Prima, Kak Mel, Bang Vid, dan teman-teman penulis lainnya. - Eodya Semuel dan Makci Methy (juga Kak Sofia dan fiksi
musikalnya). - 3 hurup :) Kak Teti, Bose, Colla, Alin, Piti, Puti, Pali, Pika, Jopi,
Cindy, Muthia, Deoct, Fiya, Liya, Vivi. - My current muses, Lee Jinki & Kim Kibum (and the rest of
SHINee). - Onkeyshippers <3 Kak Yua, Kak Eka, Kak Anki, Kak Hani, Kak
Pani, Kak Ari, Kak Karen, Kak Unay ^^ - Lempers <3333
- Dooley & Dooliers Indonesia. Kak Esti, Kak Eni, Mima, Tia,
Vio Eon, Mei Eon, Elke Eon, Fety, Zee. - Anak-anak IC yang pernah dipinjam namanya tanpa izin D : - Bu Iien, Bu Lidya, dan rekan-rekan PT. Indriya.
- Semua yang pernah membaca, mendukung, mencela, dan menggojlok mental hingga kisah ini ada.
21.45 WIB, Desa Apit, Jawa Barat
ALAM ini beku. Hujan, air mata alam itu, baru saja tunai menciptakan butiran kristal-kristal rapuh di tiap pucuk benda yang ia cumbu. Sudah berakhir. Tapi ternyata buliran air mata lain belum usai, milik seorang gadis yang kini sedang duduk termangu di bangku lipat yang berada di depan rumah kecil di desa itu. Sedu sedannya yang mengiris malam tampaknya belum mau tuntas.
Para tetangganya baru saja kembali ke rumah mereka masing-masing, setelah mengucapkan belasungkawa. Hanya gadis itu, bersama peti mati bundanya dan sederet kursi lipat berwarna merah yang kini kosong yang tinggal.
Bab 1 Shilla... Seorang wanita bertubuh agak tambun dan berwajah sembap menghampiri Ashilla, gadis itu, dan duduk di sebelahnya. Shilla mau Ibu temani di sini" tanya Bu Ira pelan, yang dijawab Shilla dengan gelengan.
Nggak apa-apa, Bu... Di rumah Ibu nggak ada yang jagain Ozy, kan" gadis itu menyebut nama anak Bu Ira yang baru berumur lima tahun.
Bu Ira mengusap air mata yang hampir jatuh dari pelupuknya. Ia menyusupkan sejumput rambut panjang Shilla yang mulai menutupi wajah ke belakang telinga gadis itu, lalu menggeleng samar. Kenapa cobaan seberat ini harus dihadapi oleh gadis berusia enam belas tahun" tanyanya dalam hati.
Bu... Shilla memanggil tetangga terdekatnya itu lirih. Kenapa" Wanita itu mengelus kepala Shilla, yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Gadis itu menghela napas pelan, menatap wanita di sebelahnya lalu memantapkan suaranya. Shilla, mulainya ragu, Shilla mau ninggalin Desa Apit...
Kenapa" tanya Bu Ira otomatis, mengernyit.
Shilla menggigit bibir, lalu mulai berkata, Wasiat terakhir Bunda, Bu. Bunda hanya ninggalin sedikit uang untuk Shilla. Nggak cukup buat ngontrak sebulan lagi. Bunda mau Shilla nemuin temen Bunda waktu SMA dulu...
Ke mana" tanya Bu Ira lagi.
Gadis itu merasakan ketakutan aneh menyergapnya kala mengatakan tiga suku kata setelahnya, Jakarta...
Bu Ira kontan menggeleng keras, teringat lintasan kekejaman ibu kota yang kerap ia dengar dari tetangga-tetangga yang pernah ke sana. Ia mengusap sebulir air mata yang meluncur menuruni pipinya, lalu mengusap kepala Shilla lagi dengan penuh sayang, Jangan ke sana kalo kamu nggak tahu apa-apa, Shilla... Shilla tinggal sama Ibu dan Ozy aja, ya"
Gadis itu terenyak. Rasa hormatnya pada wanita yang baru saja bercakap itu membengkak, diimbuhi rasa sayang pula. Ia tahu hidup Bu Ira tidak lebih baik daripada dirinya. Bu Ira hanya penjaga warung. Penjaga bukan pemilik. Dia pun harus menempuh perjalanan selama lima belas menit untuk ke warung itu. Dia juga orangtua tunggal, seperti ibu Shilla.
Shilla tersedak sekali, menekan pelupuknya dengan saputangan yang sudah terkepal dan berbentuk tak keruan, lalu menatap Bu Ira. I-itu wasiat terakhir Bunda, Bu.. Shilla nggak bi.. Belum sempat menyelesaikan ucapannya, gadis itu tak mampu lagi melanjutkan, ia berusaha menahan air mata yang meluncur deras.
Bu Ira sigap merangkul tubuh terguncang Shilla, yang kini berusaha mengatur napasnya.
Ibu pulang aja... kata Shilla dengan sedikit memaksa. Nanti kalau Ozy bangun nggak ada Ibu, tangisannya bisa bangunin seisi kampung... Ia mencoba menyunggingkan senyum.
Bu Ira memeluk Shilla sekali lagi. Ia lalu dengan berat hati meninggalkan gadis itu, karena perkataan Shilla benar. Pokoknya kalau ada apa-apa, ke rumah Ibu aja, ya... Kalau Jakarta jahat sama kamu, pulang saja ke rumah Ibu. Kapan pun kamu butuh, datang aja&
Setelah Bu Ira beranjak, Shilla menarik napas, mendengar degup jantungnya ditingkahi bunyi jangkrik. Ia menoleh ke sana kemari. Kini ia benar-benar sendirian. Kosong. Dan sepi&
Gadis itu merogoh saku kemeja hitamnya. Mengeluarkan selembar kertas putih, lalu menarik napas untuk kembali menelaahnya. Wasiat Bunda yang ditulis dengan tulisan tangan sambung yang sangat rapi.
Ashilla sayang, Bunda tahu umur Bunda sudah tidak lama lagi. Akhir-akhir ini dada Bunda terasa sesak setiap pagi, bahkan tengah malam asma Bunda makin menjadi-jadi. Kenapa Bunda memutuskan tidak memberitahu kamu" Karena Bunda tidak mau merusak keceriaan kamu. Bunda tidak mau mengubah tawa kamu karena khawatir akan kondisi Bunda. Setelah Bunda pergi nanti, ambilah sedikit tabungan Bunda di bawah tumpukan daster di lemari, pergilah ke alamat yang tertulis di bawah ini, temui Ibu Romi dan suaminya. Dia teman SMA Bunda. Dia pasti akan membantu kamu. Sayangku selalu, Bunda.
Shilla merasa impitan di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia tahu Bunda punya penyakit asma. Tapi ia benar-benar tak percaya asma yang tak pernah dikontrol karena kondisi ekonomi itu bisa berakibat seakut dan sefatal ini.
Gadis itu menarik napas lalu memperhatikan alamat yang tertulis di bawah wasiat. Jakarta. Lagi-lagi ketakutan itu menyergapnya. Kota besar yang hanya dilihatnya di televisi, menjanjikan ketidaktahuan. Shilla memasukkan kertas itu kembali ke saku.
Ia bertekad hanya akan menemui Ibu Romi untuk mengabarkan bahwa bundanya meninggal, karena sepertinya itu penting sekali. Ia tahu ia tidak akan datang untuk meminta pertolongan. Tidak untuk mengemis.
Setelah mengusap cairan bening yang mulai mengerak di pipinya, Shilla merogoh saku celana. Kini di tangannya tergeletak pasrah bros perak mungil bermodel abstrak dengan ukiran huruf L di tengahnya. Shilla menggenggam bros itu kuat-kuat. Ayi... di mana pun kamu berada sekarang... bantu aku...
Ayi, cinta pertama Shilla.
11 tahun yang lalu. Tangis melengking anak perempuan mungil berbaju merah itu memecah keheningan syahdu yang tercipta sejak garis cakrawala menepikan semburat jingga petang ke dalam kepekatan malam. Isaknya tak juga reda.
Shilla nggak mau ditinggal... huhuhuhu... Shilla nggak mau digondol setan& huhuhuhu... Gadis cilik itu berjalan sambil mengusap-usap matanya.
Sementara karena terus berjalan sambil mengusap mata hingga tidak fokus, kaki kecil Shilla tiba-tiba terantuk batu. Ia terjatuh dengan posisi tangan menopang kedua tubuhnya. Huwaaa& Gadis cilik itu meraung lagi, lalu tanpa berpikir mengempaskan tubuhnya untuk duduk di tanah, memandangi kedua telapak mungilnya yang kini perih karena tergores kerikil.
Semua ini terjadi karena Shilla kesal pada Bunda yang sibuk sendiri. Bunda berniat menyambut temannya yang akan datang jauh-jauh dari Jakarta. Mereka akan singgah hanya sebentar, maka Bunda mau membuat jamuan sebaik-baiknya. Kata Bunda, hari ini Shilla tidak boleh mengganggunya, tidak boleh juga mengganduli kaki Bunda terus-menerus. Kesal, Shilla langsung menyanggupi ajakan tetangga-tetangganya, Daud dan kawan-kawan untuk ikut mengambil mangga di kebun Mang Echa yang galak. Sejak seminggu lalu, kebun Mang Echa panen besar, dan kini Mang Echa sedang ke kota menjual mangganya. Kata Daud, masih ada beberapa keranjang besar mangga di kebun Mang Echa.
Wah, kalau Mang Echa tidak pergi, mana berani mereka ke sana. Mang Echa itu lebih galak daripada herder. Boro-boro minta mangga, berjalan masuk melewati garis batas kebunnya sedikiiiiiit saja, langsung dipelototi.
Kebun Mang Echa agak jauh dari rumah anak-anak nakal itu, melewati hutan bambu kecil yang katanya angker pula. Tak masalah, Shilla cukup sering melewati kebun Mang Echa saat pergi dan pulang sekolah.
Gawatnya, Mang Echa pulang lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Daud dan teman-temannya langsung melesat pergi saat mendengar dehaman Mang Echa. Sementara Shilla yang sedang mengantongi beberapa mangga tertinggal di belakang.
Shilla boleh saja sering melewati jalan itu. Tapi tidak dalam keadaan gelap seperti ini. Shilla tahu rumahnya tidak seberapa jauh lagi. Tapi dia letiiih sekali. Huh, lihat saja si Daud besok di sekolah!
Gadis kecil itu terus menangis karena telapak tangannya lecet. Suara sesenggukan kecilnya ternyata menarik perhatian seorang anak laki laki kecil tampan sepantarannya. Anak asing itu muncul entah dari mana, tapi... pakaiannya bagus sekali. Ia mengenakan kemeja yang bahannya kelihatan sangat bagus dan celana jins model terbaru, seperti di televisi.
Shilla menghentikan tangisnya sejenak. Anak kota, pasti. Sedang apa dia di sini"
Anak laki-laki itu perlahan mendekati Shilla, lalu berjongkok di hadapan gadis cilik yang masih terisak itu.
Kamu kenapa nangis" tanyanya sambil tersenyum manis. Shilla sesenggukan lagi.
Anak lelaki itu menepuk-nepuk lalu mengusap kepala Shilla, yang kini hanya mendongak sambil mengusap air matanya.
Kata mamaku, manusia nangis karena sedih... Kamu lagi sedih" Umm...
Anak lelaki itu terdiam sejenak lalu menyenandungkan lagu bernada riang... dum dum dum du du na na na... Shilla terdiam menatapi anak lelaki itu. Lagunya bagus. Shilla belum pernah mendengarnya.
Udah nggak sedih, kan" tanya pemuda cilik itu lucu. Shilla mengangguk sambil menahan sesenggukannya.
Anak lelaki itu merogoh saku, lalu menarik tangan mungil Shilla dan meletakkan bros perak mungil yang cantik di tangan anak perempuan itu.
Apa" tanya Shilla bingung, sambil mengerutkan kening. Itu buat kamu. Supaya kamu nggak sedih lagi, kata anak laki-laki itu. Tiba-tiba dengan mimik lucu, ia melihat ke arah jam tangan Superman-nya.
Aku harus pulang... Ditunggu Mama... dadaaaaah, kata anak lakilaki itu, lalu bangkit dan berlari kecil.
Shilla masih terpaku menatap bros di tangannya. Tiba-tiba dia mendongak dan berteriak, Hei! Nama kamu siapa"!
Anak lelaki itu berpaling sebentar, menyunggingkan senyumnya yang menenangkan, balas berseru, Ayi! lalu kembali berlari. Shilla terperangah melihat anak lelaki itu menjauh, lalu teringat dan berteriak, Namaku Shilla! Entah pemuda cilik itu masih bisa mendengar atau tidak.
Anak perempuan bermata sembap itu menatap bros di tangannya lagi, tidak tahu bentuk apa itu. Abstrak. Tapi dia bisa menemukan huruf L di tengah bentuk bentuk aneh itu. Lalu ia menelengkan kepala, tiba-tiba berpikir ia mungkin tidak akan pernah melupakan Ayi dan senandungnya yang ajaib itu.
Shilla mengusap matanya sekali lagi lalu bangun, berjalan pelan ke rumah, siap menerima kemarahan Bunda.
Shilla menarik risleting berkarat tas kainnya setelah selesai memasukkan baju terakhir. Ia lalu keluar rumah dan menutup pintu yang berderit pelan. Cukup ditutup, tidak perlu dikunci. Karena sebentar lagi pemiliknya akan datang. Gadis itu menghela napas, memandangi rumah kecil yang ia tinggali selama enam belas tahun, dan kini akan ia tinggalkan. Ia berniat mencari pekerjaan di Jakarta selepas memberitahu Bu Romi tentang Bunda. Ia tahu hidupnya takkan berubah jika terus berada di Desa Apit.
Ia tak tahu bagaimana kelak, tapi berharap bisa mendapat pekerjaan yang layak. Tidak terlalu muluk, karena ia sendiri sadar ia belum lulus SMA. Mungkin cukup menjadi pencuci piring di rumah makan.
Tiba tiba, menyerobot pikirannya, sebuah suara lembut menyapa samar telinga gadis itu Shillaaaaa...
Shilla menoleh, mengangkat alis lalu tersenyum saat mendapati gadis manis dengan blus dan rok panjang bunga-bunga menghampirinya. Silvia, sobat kental Shilla, langsung memeluknya.
Shilla mengusap punggung sahabatnya yang mulai terisak. Tak habis pikir kenapa Silvia masih larut dalam kesedihan, karena Shilla sendiri sudah berusaha berhenti menangis sejak pemakaman Bunda berakhir dua hari lalu.
Kamu bener mau pergi ke Jakarta, Shil" tanya Silvia pelan, setelah melepas dekapannya, yang dijawab anggukan pelan gadis bermata bening itu.
Silvia mengangguk pelan, lalu mengerucutkan bibir dan bertanya dengan cemas, Terus kita kapan ketemu lagi"
Shilla hanya tersenyum lemah lalu mengangkat bahu, membuat Silvia menunduk sedih. Aku kan masih bisa telepon kamu... sahut Shilla pelan, sambil menggenggam tangan sahabatnya.
Silvia mengusap tangan Shilla, ikut mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. Oh iya, aku udah punya hape. Kamu tulis ya nomornya...
Shilla menaruh tas besarnya di lantai semen depan rumah, membuka ritsleting lalu merogoh-rogoh dan mengeluarkan notes lusuh beserta pulpen yang terselip di tumpukan baju. Ia membuka notes kecil itu dan menulis nomor ponsel yang disebutkan Silvia.
Sambil menulis, Shilla menghela napas pelan. Silvia memang sedikit lebih beruntung dibandingkan dirinya. Sobatnya itu anak juragan sapi dan kambing di desa. Rumahnya merupakan salah satu rumah yang paling besar di Desa Apit.
Silvia melirik tangan Shilla yang memegang notes. Ada benda lain yang terkepal di sana. Bros itu. Yang selalu Shilla bawa ke mana mana sejak umurnya lima tahun. Kamu masih simpan bros itu" tanyanya penuh selidik.
Shilla sontak mengangkat wajah dari notesnya, mengangguk cerah. Ini kekuatan aku, Vi jawabnya mantap.
Silvia menggeleng pelan, tak habis pikir. Segitunya kamu... Sampai kapan kamu mau berharap ketemu Ayi"
Shilla hanya tersenyum, dengan binar tak terbaca di matanya. Ia mencubit pelan pipi Silvia. Ya, sampe aku ketemu dong... Aku yakin bisa nemuin dia, Vi... Ada keyakinan itu di dalem sini... Gadis itu mantap menunjuk dadanya. Hatinya. Membuat Silvia melengos dan menggeleng-geleng pelan.
Setelah menaruh kembali notes dan pulpennya, Shilla melirik jam tangan plastiknya, lalu terkesiap. Via, aku harus pergi sekarang. Keretanya berangkat sebentar lagi...
Mata Silvia kembali berkaca-kaca. Ia memeluk Shilla sekuat yang ia bisa.
Ia pun melepas kepergian Shilla menuju Jakarta. Menuju kota yang mereka tak tahu bagaimana rupanya.
17.00 WIB, Perumahan Airlangga, Jakarta
Shilla mengelap peluh yang membasahi dahinya dengan sebelah tangan yang bebas. Fiuuhhh... untung saja banyak orang baik yang ditemuinya sejak tadi di stasiun hingga sekarang ia bisa sampai di depan portal utama perumahan ini.
Gadis itu terdiam sebentar, takjub menatapi dinding bata dengan tulisan timbul AIRLANGGA besar. Ia pun mulai melangkah.
Shilla baru saja hendak menunduk dan masuk ke perumahan dari bawah palang besar di dekat pos satpam yang tertutup, saat hardikan keras terdengar.
Heh! Ngapain kamu" Mau apa" Mau cari kerja"! Jangan di sini! teriak seorang satpam yang keluar dari posnya, mengacung-acungkan pentung.
Shilla mengerutkan dahi. Sekampung itukah penampilanku" batinnya. Ia memang ke sini memakai baju terusan bermotif bunga cokelat, baju terbagus yang dimiliki almarhumah bundanya. Tapi, paling tidak rambutnya tidak dikucir dua atau dikepang, seperti gambaran gadis desa pada umumnya.
Saya... jawab Shilla ragu, mencari alamat ini... Ia menyerahkan carikan kertas pada si satpam galak.
Satpam itu mengernyit, menyambut uluran Shilla lalu meneliti kertas yang diberikan gadis itu. Tak lama kemudian ia memandang gadis di hadapannya dengan mata menyipit, curiga. Kamu kenal siapa pemilik rumah ini"
Ibu Romi... jawab Shilla seadanya, pelan sekali.
Satpam itu mengerutkan kening, lalu mengangkat bahu dan menyerahkan kertas kumal tadi kembali pada pemiliknya. Ya sudah, sana masuk. Jangan macem-macem kamu, ya.
Setelah mengambil kembali kertasnya, Shilla mengangguk lalu mengucapkan terima kasih pelan saat satpam itu membukakan palang.
Waah& Gadis itu terperangah begitu mengedarkan pandangan setelah mengambil langkah pertama melewati batas palang. Menatap rumah-rumah di hadapannya yang begitu besar dengan ketakjuban yang tak ditutup-tutupi. Mana ada rumah sebesar ini di desanya. Rumah Silvia yang merupakan salah satu rumah paling besar di kampungnya saja mungkin hanya sepersepuluh besarnya rumah-rumah ini.
Shilla menarik napas, berjalan lebih jauh lalu melongok ke kanan dan ke kiri. Setelah beberapa saat, akhirnya ia bisa menyimpulkan bahwa di kanannya adalah rumah bernomor genap, sementara di kirinya rumah bernomor ganjil.
105B... hmm& gumamnya, sambil melirik kertas di tangannya. Shilla pun mulai melangkah sambil mengurut dalam hati. 97B... 99B...
101B... 103B... Dan akhirnya, 105B. Gadis itu menarik napas, terengah karena jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup membuatnya lelah. Ia mendongak lalu terperanjat saat mendapati gerbang hitam menjulang di hadapannya. Gerbang dengan nomor rumah yang ia cari. Tinggi sekali gerbang itu. Kira-kira hampir sepuluh meter, jauh lebih tinggi daripada pohon tertinggi yang biasa dipakai untuk lomba panjat pinang di kampungnya saat 17 Agustus-an.
Shilla mungkin gadis desa, tapi ia tak terlalu norak. Ia jelas tahu di perumahan seperti ini pasti ada bel. Gadis itu menggigit bibir, lalu celingak-celinguk mencari bel. Di pojok gerbang tidak ada. Mungkinkah ada di tengah" Mungkin saja, jawabnya sendiri, di Jakarta pasti banyak hal ajaib.
Shilla mematung di tengah gerbang, sambil mendongak heran melihat lambang di tengah pintu gerbang itu. Di mana ia pernah melihat lambang embos besar itu"
Saat ia masih terpaku, tiba-tiba terdengar suara berat dari gerbang yang kini membuka cepat secara otomatis. Ia tersentak kaget. Ciiiiitttttttttt&
Sebuah sedan hitam metalik melaju keras dan hampir saja menabraknya, membuat Shilla makin terpaku, syok. Mulutnya menganga.
Setelah beberapa ratus detik yang tak bisa gadis itu kalkulasikan, pintu sedan terbuka kasar. Seorang pemuda tinggi nan tampan dalam balutan kemeja dan celana panjang yang kelihatan mahal keluar.
Alis tebal pemuda itu bertaut, dengan mata kelam tajam yang menjorok ke dalam dan menampilkan pijar arogan. Heh! Kampung! hardiknya keras, murka. Ngapain lo di situ" Minta mati"! Jauh-jauh sana! Jangan ngotorin mobil gue!
Dengan dengusan keras, pemuda itu kembali masuk mobil lalu membanting pintu hingga menutup.
Mungkin ada tangan gaib yang membantu Shilla, sehingga ia bisa melangkah ke pojok gerbang dan menjauhi sedan yang kini meraung dengan kecepatan tinggi. Gadis itu masih membatu, mata beningnya tak henti membeliak. Apa itu tadi" Ucapan selamat datang khas Jakarta"
Tiba-tiba, seorang bibi tua yang memakai terusan hitam mengilat, yang sedari tadi berdiri di sisi dalam gerbang dan menggeleng-geleng melihat kejadian sebelumnya, beralih memandangi Shilla. Dari atas sampai bawah.
Tanpa ragu wanita itu mendekati Shilla, dengan kilasan nada otoriter dalam ucapannya. Kamu pasti pembantu baru kiriman Nur, ya" katanya tanpa ragu, menegur gadis yang masih terperangah itu.
Shilla seakan baru disadarkan dari tidur panjang. Ia menatap wanita yang mulai menuntunnya masuk itu. Ia hanya mengernyit saat bibi itu menjelaskan, Kami kekurangan pembantu untuk jamuan makan nanti malam, untung kamu cepat datang. Lupakan saja kejadian tadi... Shilla masih terbengong-bengong, tak mengerti.
Celaka sekali kamu. Belum apa-apa sudah berurusan sama Den Ryo, kata si bibi.
Ryo" Nama pemuda tadi" pikir Shilla selintas, tak tahu kenapa kini ia malah mengikuti wanita itu, seolah dihipnotis. Tak lama setelah berhasil sedikit mengenyahkan keterpanaannya, ia menoleh ke kanan dan kiri, lantas kembali terperangah.
Syok yang dialami Shilla karena bentakan pemuda tampan tadi seketika jadi begitu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kini menyapa matanya. Dengan takjub, Shilla melirik ke arah kamera CCTV yang berada di atas gerbang yang baru ia lewati tadi.
Tak lama masih dengan raut tak percaya, ia menoleh ke depan, kembali melongo saat mendapati air mancur besar berdiri megah di tengah halaman depan, di pusat jalan setapak yang cukup lebar untuk tempat parkir mobil orang sekampungnya dengan asumsi semua orang di kampungnya yang padat itu punya mobil. Di tingkat teratas air mancur itu terdapat ukiran besar berbentuk lingkaran dari marmer, dengan lambang yang sama dengan simbol di gerbang tadi.
Seakan tak puas menyergapnya dengan keterpanaan, masing-masing sisi kiri dan kanan jalan setapak menghadirkan hamparan kebun luas dengan pohon peneduh hampir empat kali lipat luas kebun Mang Echa. Shilla jadi berpikir iseng berapa ton mangga yang bisa dipanen tiap tahun jika ada pohonnya di sini. Beberapa rumah burung buatan berdiri asing di sela cabang pohon, menjanjikan tempat singgah untuk kawanan penerbang liar. Juga tak lupa tonggak-tonggak setinggi pinggang, dengan mangkuk batu besar berisi teratai, berdiri apik dalam interval jarak yang serupa, memagari kebun, membatasinya dari jalan setapak.
Dan astaga... Ketika Shilla mengunci pandangannya lebih jauh ke depan, sebuah rumah besar bertingkat empat tingkat lima kalau dihitung dengan dak terbukanya dengan gaya mediterania yang menakjubkan menjulang kokoh di hadapannya. Beranda depan rumah itu yang luasnya sekitar sepertiga lapangan sepak bola resmi ditopang pilar-pilar marmer besar. Begitu pula lantainya. Lampu kristal yang menggantung angkuh di langit-langit beranda akhirnya menyempurnakan segalanya.
Ini rumah atau hotel" pikir Shilla, padahal ia tidak tahu bagaimana rupa hotel. Ia hanya suka mendengar tetangga-tetangganya yang pernah ke Jakarta bercerita berapi-api soal rumah tinggi dari kaca yang bernama hotel. Kira-kira beginilah deskripsi mereka jika dijabarkan.
Kita lewat garasi aja ya masuknya. Jangan lewat pintu depan... Wanita tua itu menarik Shilla ke sisi samping beranda, ke arah pintu kayu kecil yang bersebelahan dengan pintu dorong yang cukup panjang.
Ia lalu membuka pintu kayu kecil tadi dan membawa Shilla masuk ke&
Tempat penjualan mobil"
Shilla menelan ludah. Kira kira ada sepuluh mobil mewah berderet manis dan mengilat di garasi kecil itu. Dari si besar Alphard hingga si lincah Porsche. Gadis itu benar-benar kehabisan kata. Mobil-mobil ini hanya biasa ia lihat dari majalah otomotif milik paman Silvia, yang kerap membawanya dari kota.
Ya ampun, ini rumah macam apa sebenarnya" Jangan-jangan, pikirnya asal, ini rumah presiden.
Sementara Shilla memasang tampang takjub, wanita itu memandunya memasuki pintu kecil lain di bagian dalam garasi, yang tersambung langsung dengan lorong pendek dan mengarah ke ruangan lain. Ternyata dapur.
Gadis itu kini mengamati dapur yang tampak menawan dengan paduan kitchen set granit hitam. Beberapa perempuan yang memakai baju terusan berwarna senada dengan kitchen set yang sama dengan wanita tua tadi terlihat sangat sibuk. Sebagian memotong buncis, merebus daging, memereteli jagung, sementara sebagian tampak sibuk mengobrol. Shilla mengangkat sebelah alis. Ternyata bukan hanya di film-film pelayan di sebuah rumah megah memakai seragam seperti ini.
Memang sih mereka tidak memakai baju pelayan yang berenda-renda seperti di serial Korea. Tapi kan tetap saja seragam, batin Shilla. Ia bisa melihat sekilas di dada kanan semua baju terusan hitam lengan pendek itu terdapat simbol yang juga terdapat di gerbang dan air mancur.
Begitu melihat wanita yang bersama Shilla itu memasuki dapur, beberapa pelayan yang kelihatan mengobrol langsung kembali ke pekerjaan masing-masing, dengan raut agak salah tingkah dan jelas merasa bersalah.
Ehm, kata wanita itu memecah keheningan, mengundang segenap pasukan pelayan untuk sejenak menghentikan kegiatan dan memperhatikannya.
Ini teman baru kalian, katanya, sambil menepuk pundak Shilla, nada otoritas dalam suaranya tak bisa dibantah, namanya&
Shilla, jawab gadis itu otomatis, ketika wanita itu menoleh ke arahnya.
Wanita itu mengangguk-angguk, lalu kembali memandang ke depan dan berkata lagi, Bantu dia dalam pekerjaannya. Ingat bahwa keluarga yang kalian layani selalu menginginkan yang terbaik. Silakan kembali bekerja.
Setelah mendengar nada final dari wanita tua itu, para pelayan kembali ke aktivitas mereka masing-masing, sementara kini Shilla dituntun ke bagian rumah lain yang juga terkoneksi dengan dapur, berupa lorong panjang yang tampak seperti bangsal rumah sakit. Wanita itu membuka salah satu pintu, memberi isyarat pada Shilla untuk mengintip ke dalam. Kamar mungil yang berisi ranjang, lemari, aisle-telephone, bangku, dan meja rias kecil.
Ini kamar kamu. Mulai sekarang kamu tinggal di sini, kata wanita itu lugas.
Tapi... Shilla tiba-tiba teringat tujuan awalnya ke sini, tepat ketika wanita itu tergesa memotong.
Nama saya Okky, semua orang di sini memanggil saya Bi Okky. Saya kepala rumah tangga bagian pelayan di sini, kata wanita itu. Ia lalu melanjutkan, Kamu punya waktu dua puluh menit, rapikan barangbarangmu. Ada pakaian pelayan baru di dalam lemari.
Tapi saya, kata gadis itu terburu-buru lagi, saat melihat Bi Okky akan melangkah ke luar pintu yang terbuka.
Atasan baru Shilla itu memandangnya bingung. Kamu ke sini... dikirim sama Nur, kan"
Shilla menggeleng, membantah, walau entah kenapa ada sesuatu yang mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang sebuah nama yang membuatnya bertandang ke Jakarta Saya sebenernya... nggak ada niat jadi pelayan di sini, jawabnya jujur.
Kamu punya tempat tujuan di Jakarta" tanya Bi Okky dengan pandangan menyelidik.
Shilla lagi-lagi mau membuka mulut untuk menjelaskan alamat rumah ini yang diberikan almarhumah bundanya. Tapi akhirnya, ia kembali menggeleng.
Percaya sama saya, ujar wanita itu lagi, memandang mata Shilla dengan kepastian. Kamu bekerja di tempat terbaik di Jakarta. Apalagi kamu tidak punya tempat tujuan, dan kami sedang sangat membutuhkan tambahan tenaga pembantu.
Setelah terdiam dan mencerna apa yang wanita itu katakan, akhirnya Shilla mengangguk, dan membiarkan Bi Okky meninggalkannya sendirian di kamar barunya.
Shilla menaruh tas besar yang sedari tadi masih ia pegangi, lalu duduk di salah satu ranjang. Ia menghela napas perlahan, membuka dompet bututnya dan mengelus foto Bunda yang disekat plastik kaku.
Bunda... Aku nggak tahu mau ke mana. Apa ini bantuan yang Tuhan berikan" Temani aku ya, Bunda. Kalau Bu Romi ada di sini, aku pasti akan mengabulkan permohonan Bunda secepatnya.
Shilla memasukan kembali dompetnya ke tas, lalu merogoh saku celana, mengambil bros peraknya. Ia menggenggam bros itu kuat-kuat, lantas melantunkan sebaris harap, Ayi... bantu aku juga... katanya pelan, lalu mengecup bros itu dan memandanginya.
Gadis itu menelengkan kepala sepersekian menit lalu membelalak, terlonjak.
Apa"! serunya dalam hati.
Shilla tersadar lalu bergegas membuka lemari di sudut kamar. Benar kata Bi Okky tadi, beberapa baju pelayan hitam dengan berbagai ukuran tergantung di sana. Ia membalik salah satu baju lalu memandangi lekatlekat simbol yang terembos di dada kanannya. Lantas ia beralih memandangi bros di tangannya. Simbol. Yang. Sama. Persis.
Bagaimana ia bisa tidak sadar saat melihat lambang yang sejak tadi ia lihat di depan gerbang" Padahal ia sudah memandangi lambang itu selama lebih dari sepuluh tahun.
Jadi" Jantungnya mulai berdebum tak sabaran. Mungkinkah Ayi ada di sini"
UAN M UDA R Y o minta minum! Seorang pelayan tergopohgopoh masuk, mengabarkan berita itu kepada seisi dapur. Shilla yang sedang membantu seorang pelayan merajang buncis memandangi perubahan drastis yang terjadi di hadapannya.
Sangat terlatih layaknya robot yang telah diprogram, beberapa pelayan langsung berkelebat menuju lemari di pojok dapur, mencari-cari di dalamnya, lalu mengeluarkan stoples bening berisi bubuk hitam, sepertinya hendak membuat secangkir kopi. Beberapa pelayan lainnya berkutat dengan gelas tinggi berlainan, membuatkan teh dan sirup, sementara beberapa lagi mengeluarkan soft drink kalengan mahal dari kulkas besar.
Semua minuman itu lantas diletakkan berurutan mulai dari yang terpekat minuman kalengan di paling ujung di baki besar berwarna hitam yang juga diembos dengan lambang yang sama. Apa maksudnya"
Bab 2 tanya Shilla pada diri sendiri. Masa si Tuan Muda itu akan meminum semua minuman di baki" Atau Tuan Muda akan memilih sendiri satu minuman dari sekian banyak minuman itu"
Baki itu ternyata terlalu panjang untuk dibawa satu orang pelayan saja, hingga Shilla yang masih terperangah, akhirnya ditunjuk Bi Okky untuk ikut membawa baki.
Shilla merasa jantungnya berdegup ketakutan hingga pegangannya sedikit bergetar. Ia memang tak tahu berapa banyak tuan muda di rumah ini. Lalu bagaimana kalau si Tuan Muda itu orang tadi" Dan dia mengenali Shilla, yang sebelum ini mengadang jalan mobilnya" Dari raut para pelayan, dan kearoganan yang sempat dia lihat sendiri tadi, sudah terbaca bagaimana watak tuan muda itu. Mengerikan.
Pemuda itu, si Tuan Muda, ternyata masih dengan setelan kemeja dan celana panjang yang tadi. Dia duduk di sofa empuk nan mahal di ruang tamu yang luasnya hampir sama dengan beranda depan. Kaki kanannya ditopangkan di kaki kirinya, menampilkan sepasang sepatu kulit mahal, yang dari kilapnya saja Shilla tahu pasti memiliki harga tak masuk akal.
Tuan muda itu memelototi Shilla dan pelayan lain yang meletakkan baki di meja kaca panjang di hadapannya. Rahang kokohnya berkedut keras, air mukanya yang menawan dan menunjukkan dia tak pernah mengecap setetes pun kekurangan, tampak teramat jengkel.
Lama! dampratnya ketus. Mata hitam tajamnya terlihat berkilat berbahaya.
Sementara pelayan satunya menunduk dan berkata, Maaf, Tuan, dengan aksen terprogram, Shilla yang masih belum tahu apa-apa, dengan canggung mengikuti gerakan pelayan itu.
Ryo, pemuda itu, melihat gerakan canggung Shilla, lalu mengangkat sebelah alis dan berkata acuh, Pergi! perintahnya tak lama kemudian.
Akhirnya, pelayan satunya membungkuk dan Shilla kembali mengikutinya dengan canggung, lalu mulai beranjak menjauh dari ruang tamu.
Baru saja mengambil langkah ketiga mengekori pelayan senior di hadapannya, Shilla harus menghela napas dan berbalik saat mendengar suara bariton tuan muda barunya menghardik, Yang baru, tetep di sini.
Ryo, yang jelas jauh lebih tampan daripada siapa pun yang pernah ditemui Shilla, memandanginya lekat-lekat. Lo pelayan baru" tanyanya angkuh sambil meraih sekaleng teh hijau dari meja.
Shilla yang sedikit tersihir tatanan apik setiap unsur profil pemuda di hadapannya hingga membentuk wajah tampan tanpa cacat cela, hanya mengangguk.
Pemuda itu membuka kaleng dan mulai meneguk teh hijaunya, lalu bertutur seakan tak peduli, Yang tadi siang mau cari mati" tanyanya telak.
Shilla terdiam, bingung mau menanggapi apa, hingga kedua mata pemuda itu menyipit. Jawab kalo ditanya! Nggak punya mulut" sergahnya kasar.
Akhirnya Shilla hanya mengangguk pasrah dan menjawab pelan, Iya... lalu menambahkan dengan enggan, Tuan...
Setelahnya Ryo menatapi Shilla lekat-lekat, dari atas sampai bawah, tak sadar membuat gadis itu jengah. Sebenarnya, pelayan baru ini nggak jelek-jelek amat, pikir Ryo. Kulitnya tidak terlalu sawo matang, hampir langsat, malah. Tubuhnya juga ramping, cukup tinggi. Rambutnya panjang terurai, tampak halus tentu Ryo tidak akan tahu tekstur aslinya kalau tidak membelainya. Wajahnya memang tidak terlalu jelas dari tempat Rio duduk, tapi rautnya itu manis sekali. Daya tariknya jelas berada di mata beningnya yang membelalak cantik. Untuk ukuran pelayan sih, bisa dibilang di atas rata-rata. Tapi tetap saja, Ryo mengingatkan diri sendiri, cuma pelayan, tegasnya.
Pemuda itu berdeham setelah sepersekian menit memperhatikan Shilla lalu bertanya, Umur berapa"
Gadis itu menjawab lirih sekali, Enam belas.
Berapa" Alis tebal Ryo bertaut lagi, Nggak kedengeran... Enam belas, ulang Shilla, kali ini sedikit lebih keras, Tuan, tambahnya lagi, masih canggung.
Ryo mengangguk lalu mengangkat dagu tinggi-tinggi. Hampir sama kayak gue toh, ucap Ryo pelan.
Hah" batin Shilla. Jadi tuan muda ini baru sekitar enam belas tahun juga" Setelah menyadari tuan muda itu tak mengungkit masalah semi tabrakan tadi, rasanya sekarang ingin sekali Shilla menempeleng pemuda sengak ini.
Ya udah deh, pergi sana. Males lama-lama ngeliatin lo, kata Ryo, lalu menyandarkan punggungnya yang sedari tadi melengkung ke depan tanpa sadar dan mulai menenggak teh hijaunya lagi.
Shilla membungkuk samar lalu dengan dongkol kembali ke dapur. Ia tidak habis pikir kenapa bisa bekerja di tempat seperti ini. Menilik majikan yang pongahnya setengah mati begitu saja, ia sudah segan.
Gadis itu menarik napas pelan setelah kembali masuk ke dapur dan bersandar di meja granit yang menempel di salah satu dinding, lalu meniup poninya. Ia tidak percaya Ayi ada di tempat ini. Sekelebat kecurigaan seketika mencelat dari benaknya. Apa mungkin tuan muda tadi itu Ayi" Tapi kan namanya Ryo, bukan Ayi"
Segala hal yang mendengung di benak Shilla terhenti ketika gadis berkacamata yang tampak hanya sedikit lebih tua darinya datang menghampiri dengan senyum lebar, ramah.
Halo, aku Deya, katanya sambil tersenyum makin semringah. Kamu baru kerja, ya"
Shilla menjawab dengan anggukan dan senyum tipis. Udah ketemu Tuan Ryo"
Kali ini, Shilla hanya meringis.
Begitulah memang kelakuan tuan muda kita, kata Deya. Ia memutar bola matanya lalu mulai menceritakan sepetik kisah pada Shilla.
Tampan dan angkuh. Aryo Junio Luzardi, atau yang lebih dikenal dengan Ryo, anak sekaligus pewaris takhta kedua keluarga Luzardi, pemilik Luzardi Group, perusahaan multinasional milik keluarga Luzardi yang merajalela dalam bidang ekspor-impor, properti, dan konstruksi di Indonesia. Luzardi Group juga mulai menancapkan taringnya di beberapa negara Asia dan Eropa karena itu Tuan dan Nyonya Besar kebanyakan berada di luar negeri, bukan di rumah ini. Semua usaha yang dikembangkan tangan dingin Tuan Besar Luzardi dipastikan membengkak dengan kesuksesan tak terkendali, hingga tak perlu ditanya berapa jumlah kekayaan keluarganya kini.
Belum lagi anak perusahaan nasional Luzardi yang merambah ke bidang waralaba jasa boga. Sebut saja nama Loo F&B Division Loo diambil dari bagian depan kata LU-zardi, dan sedikit diubah agar lebih menjual yang membawahkan Loo Resto, Loo Patisserie, Loo Coffee, atau Loo Caf" & Bar yang mulai menguasai dominasi pemasukan terbesar puluhan pusat perbelanjaan dan pusat hiburan lokal yang didiaminya. Semua usaha itu membuat nama Luzardi kian kondang sebagai satu dari sepuluh keluarga terkaya di Indonesia, dan masuk deretan teratas 150 triliuner dunia versi majalah Forbes, yang pernah Deya lihat saat membereskan tumpukan majalah di ruang duduk.
Tuan dan Nyonya Besar Luzardi kini menetap di Paris, berfokus pada perusahaan properti mereka yang sedang berkembang pesat di negara itu. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dipegang oleh beberapa tangan kanan kepercayaan serta anak pertama mereka, Arya Juniar Luzardi, yang mulai belajar mengurusi perusahaan induk berfokus pada eksporimpor yang paling besar, sambil mengambil gelar master manajemen bisnis di universitas swasta internasional nomor satu di Indonesia, setelah sebelumnya mengambil sarjana di luar negeri.
Tuan Muda Ryo sendiri masih bersekolah di sebuah SMA tersohor, yang digadang-gadang pula sebagai salah satu pusat pendidikan swasta termahal di Jakarta. Mewarisi ketampanan ayahnya, Ryo membuat hampir semua teman perempuan di sekolah atau dalam lingkup sosialitanya berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Tapi, dengan sodoran bermacam-macam gadis cantik nan kaya, tuan muda satu ini nyatanya tak pernah punya gandengan. Walau sebenarnya tidak aneh juga, karena Ryo juga seumur-umur tampak tidak punya teman dekat atau sahabat, karena ia tidak percaya akan adanya perasaan ya, kita sebut saja, cinta yang bisa menautkan seorang manusia dengan manusia lainnya, kecuali dalam konteks pekerjaan seperti ia dan pelayannya.
Sejak tahun pertama Ryo memasuki taman kanak-kanak, hanya dua kali dalam setahun orangtuanya pulang ke Indonesia. Pemuda itu dibesarkan serangkaian pengasuh. Ia jadi agak pahit menghadapi hidup. Ia bahkan tak percaya ada kekuatan dalam kata keluarga . Bengal dan keras kepala setengah mati, itulah Ryo. Lantas, embosan lambang keluarga Luzardi di mana-mana membuat supremasi kekuasaan pemuda itu seperti dicap resmi , begitu pun kecongkakannya.
Ah... Shilla sedikit terpana mendengar penjelasan panjang Deya, yang ternyata lebih tua dua tahun darinya. Ia tak tahu mau menanggapi apa. Tak lama kemudian, pembicaraan mereka terputus karena perintah dari Bi Okky.
Shilla, tolong bawakan handuk bersih ke kamar Aden. Di lantai empat. Di seberang tangga, di sebelah pantry.
Setelah mendengar ucapan Bi Okky, gadis itu menghela napas berat lalu mengambil handuk dari tangan wanita yang baru saja memberikan perintah. Dalam hati, Shilla bersungut-sungut sambil melangkah ke luar dapur. Kenapa harus dirinya"
Bergegas, ia pun melintasi ruang tamu lagi, menaiki tangga menuju lantai empat. Setelah berhenti dan terengah sebentar karena jarak yang baru ditempuhnya tidak bisa dibilang pendek, Shilla pun menarik napas, lalu menuju pintu kayu di seberang tangga, kamar Tuan Muda .
Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali. Lalu karena tak kunjung terdengar jawaban, ia memutuskan untuk masuk saja. Ia mulai terbiasa terperangah setiap memasuki ruangan baru. Kali ini ruang tamu lapang bergaya Amerika lengkap dengan sofa lebar dan TV plasma 42 yang tertanam di dinding menyambutnya saat memasuki pintu. Kamar aslinya bagian tempat tidur ternyata berada di balik tirai keong keemasan.
Permisi, kata Shilla, memberanikan diri menyibak tirai keong itu. Sebuah suara, entah dari mana karena Shilla belum melihat jelas seluruh bagian kamar terdengar samar, Ya...
Lho, kok suaranya beda" batin Shilla, lalu mengedarkan pandangan dan mendapati punggung gagah pemuda berkemeja sutra biru muda sedang duduk menghadap meja kerja di pojok lain dinding yang sejajar dengan sisi tirai. Sepertinya bukan Ryo. Terima kasih, Tuhan&
Beberapa saat kemudian, pemuda itu berbalik, menampilkan latar sebuah notebook yang ternyata tadi sedang diamatinya. Ia tersenyum, dengan sepasang mata yang meneduhkan. Shilla terkesiap. Merutuk kenapa semua tuan muda di sini begitu elok rupanya. Ia mulai merasa tersihir lagi. Wajah pemilik kamar ini sekilas mirip, tapi memang lebih halus dan ramah ketimbang Ryo. Tapi entah kenapa, ada yang membuat Shilla berpikir Ryo lebih menawan dibanding pemuda ini.
Entahlah, mungkin pada hakikatnya semua gadis memang menyukai sosok pemuda yang lebih misterius atau semacamnya.
Tak lama, pemuda itu tersenyum lagi, menarik Shilla dari alam lamunannya. Oh... Nganterin handuk. Taruh di situ aja, ya, ujarnya sambil menunjuk tempat tidur queen-size.
Shilla pun mengangguk takzim dan mengikuti instruksi pemuda itu. Lalu tak lama, ia dikejutkan lagi dengan pertanyaan, Kamu pelayan baru" Gadis itu menegakkan tubuh, lalu berbalik ke arah tuan muda barunya dan mengangguk sopan.
Belum kenal saya" tanya si tuan muda, yang kembali tak dijawab dengan suara melainkan gelengan.
Saya Arya, kata pemuda itu sendiri dengan senyum menawan lagi, membuat Shilla membatin pelan, Oh... kakak Ryo yang diceritakan Kak Deya tadi itu rupanya. Kamu"
Shilla. Ashilla, Tuan. Arya mengangguk-angguk lalu meneliti wajah manis pelayan baru di hadapannya dan bertanya ramah, Udah ketemu adik saya" Ia malah tertawa pelan saat mendapati gadis itu tersenyum sedikit miris, seperti meringis. Ia pun melanjutkan, Jangan dipikirin kalo dia ngomong kasar.
Shilla kembali mengangguk, lalu terdiam sesaat saat mendengar keingintahuan berikutnya dari Arya, Umur berapa" Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Ryo tadi, tapi terasa berbeda.
Enam belas, Tuan, jawab gadis itu untuk kedua kali hari ini, juga dengan lirih.
Jawaban itu ditanggapi anggukan menelaah Arya. Masih sekolah" tanya pemuda itu lagi.
Shilla memutuskan menjawab seadanya, Seharusnya... Dulu saya sekolah, Tuan. Tapi saat ibu saya sakit, saya terpaksa jagain beliau, jadi tidak bisa terus sekolah.
Arya tersenyum, lalu memandang tepat ke dua mata bening gadis di hadapannya. Kalo begitu, mulai besok kamu pergi ke sekolah yang sama dengan Ryo, ya...
Shilla sontak terperangah. Beberapa detik kemudian ia baru berhasil menangkap kesadarannya yang melayang-layang di udara. Ia bertanya ragu sambil menelan ludah, Tuan serius"
Arya lagi-lagi tersenyum manis dan mengangguk.
Tapi, kata Shilla, entah kenapa tak terlalu setuju dengan ucapan Arya.
Pemuda murah senyum itu, masih juga menawarkan keramahan saat berujar, Itu kebijakan di sini. Semua pekerja yang ada dalam umur sekolah, akan dibiayai sekolahnya oleh keluarga Luzardi. Kebijakan ini sudah ada sejak kakek saya, Kakek Besar Luzardi memiliki perusahaan pertamanya.
Shilla mengangguk sebentar, berusaha mencerna. Lalu ia bertanya dengan agak segan, Tapi... sekolahnya Tuan Ryo" Belum apa-apa ia sudah ngeri sendiri.
Arya mengangguk mantap. Sekolah Ryo satu-satunya sekolah yang terkoneksi baik dengan Luzardi Group, jadi saya bisa mengurus masuknya kamu dengan cepat tanpa tetek bengek nggak penting.
Shilla hanya bisa tersenyum bingung. Di benaknya mulai berkelebat hal-hal menakutkan. Satu Ryo saja sudah sepongah itu, bagaimana dengan Ryo-Ryo lain di sekolah itu nanti" Shilla bahkan tak berani memikirkan lebih jauh lagi.
Tenang aja, sahut Arya, seolah bisa mengartikan raut cemas di wajah Shilla, nggak akan ada yang tahu tentang pekerjaan kamu di sini. Saya juga akan melarang Ryo menceritakannya.
Shilla akhirnya tak berani membantah lagi, hanya mengangguk sopan. Kalau begitu saya... permisi dulu, Tuan, katanya pelan.
Arya turut mengangguk, lalu kembali berbalik menghadap meja kerjanya.
Tapi ketika gadis itu hampir melewati tirai, suara Arya kembali terdengar, Kamu tahu kenapa Kakek Besar Luzardi mau menyekolahkan para pegawainya"
Shilla menahan napas sebentar, sebelum berpaling dan mendapati Arya juga baru menoleh lagi. Pemuda itu menatap gadis di depannya.
Karena Kakek Besar Luzardi percaya, dalam usia semuda itu, mereka semua masih bisa menjadi orang yang lebih berguna dan sukses daripada sekadar bekerja pada keluarga Luzardi. Saya juga percaya kamu bisa... Dari sinar di mata kamu...
Shilla tertegun ketika Arya kembali menghadiahi senyum menawan, seperti malaikat rupawan.
*** Astaga. Shilla kembali ke dapur yang agak lengang, sambil menekan dadanya yang bergemuruh keras. Tuan Arya baik sekali! batinnya histeris sendiri. Tidak bisa dipungkiri, senyum terakhir Arya tadi benar-benar membuat Shilla selumer mentega yang dibiarkan berada di luar ruangan saat cuaca sedang terik-teriknya. Satu senyuman yang berarti segalanya. Gadis itu tersenyum sendiri mengenang senyum tuan tampannya, lalu tersadar dan meluruskan kembali lengkungan bibirnya.
Shilla menggigit bibir. Lebih baik tidak usah mengharap dan berpikir macam-macam, batinnya. Dari urutan kasta saja ia sudah terlontar jauh sekali. Shilla mengerucutkan bibir lalu menghela napas panjang, tepat ketika Deya tiba-tiba menghampirinya.
Shil, bantu aku nyiapin daging, yuk!
Setelah sempat tersentak, Shilla akhirnya mengangguk lalu mengikuti Deya ke halaman belakang. Setelah melewati pintu dorong kaca, mau tak mau ia melongo lagi, mendapati halaman belakang kediaman besar Luzardi yang lagi-lagi berupa hamparan kebun luas dengan penerangan seadanya, hingga agak remang ternyata dilengkapi playground set kolam pasir, ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, beberapa permainan outbond jembatan tali, flying fox mini, sebuah rumah pohon berukuran besar.
Sambil menggeleng-geleng tak habis pikir, Shilla pun mengikuti Deya mendekati barbecue set yang terpasang di tengah halaman.
Ada acara apa sih, Kak" tanyanya, mengingat sepintas singgungan Bi Okky sebelumnya soal jamuan.
Biasa, sahut Deya, sambil mengolesi tusuk demi tusuk daging dengan saus yang tersedia, acaranya para sosialita.
Shilla mengernyit. Sosial... apa" tanyanya bingung. Sosialita, Sayang, jawab gadis berkacamata itu sambil tersenyum sedikit geli. Biasanya sih sesama anak pemilik perusahaan. Beberapa artis juga kadang dateng. Ya gitu lah, orang-orang terpandang, berduit. Bukan kalangan kita...
Penjelasan itu membuat Shilla mengangguk saja.
Biasanya bergilir tempat ngadain pestanya. Minggu ini giliran kediaman keluarga Luzardi lagi, lanjut Deya.
Cuma segini aja, Kak, yang mau dibakar" tanya Shilla, melihat gerombol tusukan barbecue mungil yang tak berapa banyak. Ia bertanyatanya dalam hati, apa yang menyantapnya akan kenyang, ya"
Iya, Deya mengangguk sambil mulai menyiapkan arang, menu yang lainnya kan dibikin sama Chef. Kita pelayan untuk urusan makanan sih, cuma bantu rebus atau motong bahan dasarnya aja, jelasnya.
Deya, yang ternyata amat ceriwis berceloteh lagi, Kamu harus terbiasa dengan pesta pesta semacam ini kalau tinggal di rumah keluarga Luzardi. Mereka yang pesta, kita yang kerja sampe malem& Gadis berkacamata itu tampak sinis.


Love Command The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh iya, melupakan topik Deya, Shilla berniat menanyakan sesuatu yang sedari tadi mengganjal di hatinya, Tuan Arya itu umur berapa"
Deya kontan menatap Shilla, lalu mengulum senyum. Oh. Kamu udah ketemu sama tuan muda murah senyum kita yang satu itu. Yang hanya dijawab Shilla dengan senyum tipis.
Kayaknya sih sekitar 21. Kenapa emangnya" sahut Deya, lalu tersenyum menggoda sambil melirik Shilla yang terdiam dan terlihat agak salah tingkah.
Shilla berdeham, agak tidak nyaman diperhatikan seperti itu. Masa perasaan-bertepuk-sebelah-tangannya tertebak secepat itu sih" Ia pun berusaha mengganti topik, Besok... aku disuruh sekolah di tempat yang sama kayak Tuan Ryo, Kak, katanya pelan.
Deya meng-oh lantas mengangguk pelan. Aku juga pernah denger soal itu. Kebijakan buat pekerja di umur sekolah, kan"
Shilla mengangguk, sambil mengikuti Deya mengipasi arang. Aku takut, Kak, katanya jujur.
Gadis berkacamata itu hanya tersenyum. Jangan takut kalo nggak ada salah...
Shilla mengangguk kecil lalu mengalihkan pandangan pada arang yang mulai meretih. Tidak ada yang salah sih, batinnya. Yang salah hanya status sosialku yang mungkin memang tak pantas untuk bersekolah di sana. Apalagi hati kecilnya berbisik lirih, tanpa sadar mengacu dari maksud terakhir Deya. Ia menghela napas untuk bisa ada di sebelah Arya...
Ryo berdeham, mematut diri sebentar di depan cermin panjang di pojok kamar besarnya yang bernuansa hitam-putih. Paduan blazer dan celana hitam warna kesukaannya dengan kemeja katun abu-abu bermerek tanpa dasi membuatnya tampil sempurna.
Sambil menghela napas dan merapikan lengan blazer formalnya, ia berpikir sejenak. Akankah teman-teman sekolahnya datang lagi malam ini" Sepertinya iya, jawabnya sendiri. Sebagian besar orangtua mereka relasi bisnis ayah dan kakaknya. Ah, apa pedulinya"
Selama makhluk bernama Bianca itu tidak menggelayutinya malam ini, Ryo mungkin akan merasa sedikit ingat, sedikit senang berada di pesta sosialita membosankan ini. Acara yang akan sangat monoton, tentu saja. Kebanyakan pembicaraan hanya akan berkisar seputar investasi real estat atau investasi perhiasan bla bla bla yang baru dibeli. Ha. Ryo tersenyum sinis pada bayangan tampannya. Tetap saja kebanyakan orang itu bisa dikatakan baru merangkak di titik minus jika dibandingkan pencapaian keluarganya.
Setelah merengut sekali lagi, Ryo keluar kamar dan bergegas menuruni tangga sebelum kakaknya, Arya menerornya lewat aisle-phone lagi untuk turun dan beramah tamah. Ia berhenti sebentar di tengah barisan tangga menuju lantai dasar, mengamati ruang tamu dan area sekitarnya yang selalu diubah menjadi aula serbaguna untuk setiap acara sosialita. Belum begitu banyak yang datang, ternyata.
Begitu menjejak lantai pertama, Ryo hanya memaksakan senyum tak acuh pada beberapa orang yang menyapanya. Malam ini seperti malammalam biasa, sebenarnya ia malas bersosialisasi. Kalau ada kesempatan lebih baik, ia kabur ke halaman belakang. Tidak ke halaman samping, karena halaman bermuatan kolam renang jumbo itu malah menjadi spot yang paling ramai saat acara tidak penting seperti ini.
Beberapa menit kemudian, saat aula serbaguna rumahnya mulai dipenuhi tamu dengan pakaian bermerek dan rupa-rupa harum parfum mahal yang menyesaki udara, Ryo mulai merasa sangat ingin menjauh. Sayangnya ia belum bisa kabur karena Arya terus memelototinya dengan tidak kentara. Sambil berdecak geram, ia pun melangkah pelan dan mengambil cupcake rendah kalori yang berjajar teratur pada meja kecil di pojok ruangan. Enak, kecapnya. Seperti biasa.
Sambil mengunyah, Ryo menyapukan pandangan, tertarik melihat ke arah para pelayan yang mulai sibuk mengedarkan pastry dan welcome drink. Matanya, entah kenapa, tertumbuk pada pelayan baru itu. Lagilagi tak tahu kenapa ia suka sekali memandangi raut manisnya. Sederhana, tak palsu, tak membosankam seperti kebanyakan perempuan di ruangan ini. Jelas lebih alami daripada...
Ryo, deaaaar. Tiba-tiba, tak tahu dari mana munculnya, gadis mungil berkulit putih mengilap dengan semu merah muda hasil penggunaan krim mahal dan perawatan kelas atas dengan gaun cantik kelewat pendek dan ketat dari salah satu desainer asing ternama, menggelayuti lengannya.
Ryo menatap Bianca dengan raut bosan. Panjang umur. Dasar kuntilanak, batinnya kesal. Mau apa lagi sih makhluk satu ini" Apa" tanggapnya galak.
Raut Bianca, yang sebenarnya sudah cukup manis tanpa pulasan make-up yang terlalu tebal, merengut, Ih. Kok kamu ketus gitu sih" katanya manja.
Ryo bergerak menepis tangan Bianca, risi. Udahlah, Bi... Bianca mengerucutkan bibir. Kok kamu gitu sih, Yo" Kita kan udah kenal dari kecil.
So" tanya Ryo menantang, tak tahu apa korelasi antara hubungansebatas-rekan-bisnis-para-ayah-mereka-sehingga-mereka-kenal-dari-kecil dengan urusan tadi. Pemuda itu memang tak suka digamit-gamit atau kontak fisik lainnya sembarangan. Ia memandang Bianca dengan galak.
Papi nggak bakal seneng kalo kamu gituin aku! cetus Bianca dengan suara dibuat-buat.
Ryo memutar bola mata. Jangan ganggu gue dulu deh, Bi... Bianca langsung merengut lagi, setengah mengentakkan kaki. Huh! Kamu nggak bakal bisa selamanya menjauh dari aku, Yo! katanya tegas, lalu menghampiri teman-teman populernya yang baru saja datang.
Ryo mendengus kesal selepas kepergian Bianca. Cewek itu, selalu saja menyusahkan. Ia menggeleng pelan, tahu Bianca selalu mengeluarkan jurus pamungkas gue-temen-kecil-Ryo-dan-elo"! untuk menggencet kaum hawa lain yang berusaha mengejarnya.
Hei, Ryo! Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya dari samping. Ryo menoleh lalu mengangkat sebelah alis. Ternyata Devta, salah satu anak relasi bisnis papanya. Dia lumayan baik sih. Tapi tetap saja Ryo tidak terlalu senang bersosialisasi.
Hmm, jawab Ryo singkat, membalas sapaan Devta. Udah bikin PR bio buat besok belom" tanyanya.
Ajaib juga makhluk satu ini, pikir Ryo saat mendengar pertanyaan Devta, yang memang teman sekelasnya di sekolah. Sementara teman sekelasnya yang lain banyak bersikap sok penting saat acara sosialita seperti ini, Devta malah menanyakan hal lazim pelajar sekolah seperti PR.
Udah, jawab Ryo singkat, sambil mengambil cupcake kedua lalu menggigitnya sambil memandang ke depan tanpa melirik Devta.
Rekan bicaranya itu dalam hati merutuk geram. Devta sebenarnya malas beramah tamah dengan pemuda sombong satu ini, tapi mengingat wejangan ayah-ibunya yang selalu mengajarinya untuk berlaku sopan pada siapa pun, apalagi tuan rumah acara seperti ini. Jadi anggap saja ini sekadar basa-basi, batinnya menghibur diri.
Mmm. Ya udah, gue ketemu Oka dulu, ya, kata Devta, setengah enggan, menyebut teman sekelas mereka yang lain yang terlihat baru datang.
Ryo hanya mengangguk pelan, sambil melirik punggung Devta yang menjauh lalu kembali menatap sekelilingnya dengan angkuh dari pojok ruangan. Ruang tamunya kini kelihatan tak terlalu sesak, karena beberapa orang tampaknya mulai pindah ke halaman samping, begitu pula Arya.
Ryo menghela napas lega, lalu memutuskan beranjak diam-diam. Aroma daging bakar agak menarik perhatiannya saat ia menggeser pintu dorong yang merupakan akses ke halaman belakang. Ia menyipitkan mata sebentar, menyesuaikan fokus dengan suasana remang halaman belakang, karena cahaya hanya dihasilkan empat lampu lollipop redup yang berada di sudut-sudutnya.
Di sini sepi, pepohonan yang rimbun makin menggelapkan kondisi halaman. Tempat ini memang kurang cocok untuk berpesta jika tidak ditambahi penerangan. Tapi Ryo menyukai tempat seperti ini, entah kenapa.
Ia kini memperhatikan barbecue set di tengah halaman yang kini dihadapi si pelayan baru sendirian. Gadis itu tampak serius menunggui pembakaran beberapa buah daging tusuk, yang tak lama, setelah kecokelatan diletakkannya di piring panjang, siap diantarkan ke dalam.
Shilla yang berkonsentrasi membawa piring tak bisa menutupi keterkejutannya saat mendapati Ryo berdiri di dekat pintu dorong halaman belakang, menghalanginya.
Permisi, kata gadis itu pelan, segan. Yang hanya ditanggapi sang tuan muda dengan bergeming di tempatnya semula.
Shilla mendongak sedikit, karena tingginya hanya mencapai batas leher Ryo. Dari dekat begini, mau tak mau, ia memperhatikan juga. Ternyata tuan mudanya itu berpostur proporsional. Otot-ototnya tak berlebihan, namun tetap mencetak kesan tegap yang membuatnya tampak gagah dan... hmm, tak terelakkan, mungkin. Di samping mata dalam yang menyempurnakan wajahnya, tulang pipi tajam dan rahang kokoh Ryo tampak menawan sekali.
Shilla langsung menunduk, ketika Ryo tiba-tiba menyipit curiga ke arahnya, seperti sadar diperhatikan. Shilla mengernyit ketika pemuda itu malah mengambil satu tusuk daging dari piring panjang yang dibawanya.
Masih sambil mengernyit, Shilla memperhatikan Ryo menggigit potongan daging. Ia lalu memutuskan meminta izin untuk ke dalam lagi, P-permisi.
Pemuda itu masih bergeming.
Permisi, kata Shilla lebih keras, sedikit kesal.
Ryo, setelah beberapa saat hanya mengangkat alis ke arah pelayan baru itu, akhirnya bergeser sambil, menahan senyum. Lucu juga ngerjain dia, batinnya. Jelas sekali pelayan baru di hadapannya tadi belum bisa menutupi kekesalan, tidak seperti pelayan lain yang sudah terlatih menahan geram akan kecongkakannya. Ya, lumayan. Ryo menyunggingkan senyum miring andalannya untuk pertama kali malam itu. Paling tidak, sekarang acara sosialita ini tak seberapa membosankan.
EESOKAN PAGINYA . Hah"! Pelayan itu mau sekolah di tempat gue"! protes Ryo otomatis kala Arya mengutarakan tujuannya ke kamar sang adik pagi itu. Ryo sontak berdecak samar saat melihat sang kakak mengangguk dengan tenang, lalu mencetus lagi, Gila lo, Kak...
Arya mengernyit. Gue nggak gila. Lo kan tau sendiri kebijakan keluarga kita, sahutnya tak mau dibantah.
Ryo menghela napas ketus, lalu berbalik ke arah cermin, melanjutkan aktivitasnya memakai dasi yang terputus karena kedatangan Arya. Tapi kenapa di tempat gue" tanyanya kesal, sambil melirik sang kakak dari pantulan cermin. Menurutnya alasan kakaknya tetap tak masuk akal.
Arya mencibir. Karena sekolah lo itu satu-satunya sekolah yang bisa gue campurin urusannya tanpa bikin gue repot.
Bab 3 Ryo menggeleng-geleng, menarik segitiga dasinya hingga naik ke batas atas kerah lalu berbalik membelakangi kaca. Gila kali lo. Bisa turun reputasi gue, katanya kesal, lalu berjalan ke arah gantungan di dekat cermin, mengambil blazer sekolahnya yang baru di-steam.
Arya bersedekap. Nggak ada hubungannya sama reputasi lo. Elo ya elo. Dia ya dia. Anggap aja lo nggak kenal dia, dan jangan pernah ngebocorin pekerjaan dia di sini.
Ya ngapain juga" sahut Ryo sambil mengancingkan blazernya dan tersenyum mengejek.
Arya mengangguk-angguk pelan. Bagus, katanya lalu mulai beranjak meninggalkan kamar adik semata wayangnya itu. Tepat ketika sampai di depan pintu, ia teringat sesuatu dan menoleh lagi. Oh, iya. Hari ini dia berangkat sama elo dulu, ya.
Ryo membelalak. Apa-apaan" batinnya. Naek mobil gue" Ogah! tolaknya. Lalu ia menambahkan, Lagian, tadi katanya gue nggak usah kenal dia.
Arya menanggapinya dengan pelototan, Ini hari pertama dia. Terus apa peduli gue" jawab Ryo tak mau kalah. Arya menghela napas lelah. Lo mau nyasarin anak orang" Bodo, balas Ryo lagi. Lo aja yang anter.
Arya menggeleng. Nggak bisa, gue ada meeting pagi. Ini gue mau langsung cabut, abis gue liat dia naek mobil bareng elo.
Ryo melepaskan tangan dari kaitan kancing terakhir blazer yang baru ditautnya sambil melengos. Nyusahin aja pelayan itu.
Shilla mematut diri di cermin kecil kamar dalam balutan seragam sekolah baru yang diberikan Bi Okky tadi malam. Lengkap dengan blazer dengan simbol huruf S yang sangat cantik di dada kanannya. Katanya ini titipan dari Tuan Arya. Senyumnya langsung mekar ketika memikirkan nama itu.
Setelah menenangkan jantungnya yang mulai ditumbuhi bunga-bunga imajinasi entah dari mana, ia menyentuh rambutnya. Apa yang harus dibuatnya pada mahkota itu sekarang" Dikucir duakah" Atau dikepang" Atau dibando" Tidak, tidak, tidak, putusnya sendiri. Ia akan berpenampilan biasa.
Lalu tak lama, kucir ekor kuda akhirnya melengkapi penampilan gadis itu. Sederhana.
Shilla menghela napas sambil meletakkan sisir di meja mungilnya, berpikir. Bagaimana cara dia menuju sekolah barunya" Rasanya Arya tidak menyebutkan perkara transportasi kemarin. Ketukan di pintu tibatiba menyadarkan lamunannya.
Arya. Shilla merasa detak jantungnya berhenti saat melihat sosok bermata teduh itu berdiri di depan pintu yang baru dibukanya. Aduh, pikirnya kesal. Kenapa aku nggak bisa bersikap biasa aja sih"
Selamat pagi, sapa Arya dengan senyum ramah, kembali membuat Shilla menelan ludah tak kentara.
Pagi, Tuan, balas Shilla lirih.
Arya melanjutkan maksudnya, Hari ini kamu diantar Ryo, ya" Shilla kontan tergeragap dan bergumam, Sama Tuan Ryo" Pemuda bersenyum malaikat itu mengangguk, sambil menahan ekspresi setengah geli. Dia nggak gigit kok, jelasnya. Sampai saat ini sih, lanjutnya.
Shilla tersenyum segan. Berpikir cepat. Berangkat bersama Tuan Ryo yang mengerikan itu" Lebih baik ia tersasar naik kendaraan umum di Jakarta deh. Tapi& ia mendongak menatap Arya diam-diam. Mau menolak kok... rasanya tidak pantas dan sombong sekali menolak kebaikan tuannya sendiri.
Arya menganggap kegaguan gadis di hadapannya sebagai persetujuan lalu mulai beranjak. Ayo ke depan. Ryo udah di depan.
Shilla akhirnya, ragu-ragu mengikuti Arya melintasi lorong kamar pelayan, sambil mendengar pemuda itu bicara lagi. Soal buku pelajaran, kita urus nanti, ya. Yang penting kamu masuk sekolah dulu... Shilla mengangguk saja, tak tahu mau menjawab apa. Setelah melewati ruang tamu, yang telah rapi dari sisa-sisa keriuhan semalam, Arya membimbing Shilla keluar dari pintu utama. Di depan pelatarannya, sedan hitam mengilat yang nyaris menabraknya kemarin menanti Shilla.
Ryo sudah duduk manis di kursi pengemudi. Wajah tampannya terlihat tak sabar dan mungkinkah& agak marah" Shilla diam-diam menelan ludah.
Masuk sana, ujar Arya, mendorong pelan bahu Shilla yang masih tampak ketakutan.
Gadis itu pun menoleh ke arah tuan mudanya baik hati, Permisi, Tuan. Ia mengangguk lalu melangkah takut menuju mobil. Ia baru saja akan membuka pintu penumpang belakang, saat suara bariton Ryo terdengar menembus kaca, menghardiknya, Heh! Jangan di belakang! Emang gue sopir lo"
Sambil menghela napas agak dongkol, Shilla akhirnya berjalan sedikit lagi dan bergerak membuka pintu penumpang di depan lantas mengempaskan tubuh tepat di samping Ryo, yang kini memelototinya. Pake itu seatbelt... Bisa kan pakenya" tanya pemuda itu dengan nada merendahkan. Shilla menghela napas pelan lagi, mengangguk ke arah Ryo lalu menarik sabuk pengamannya.
Setelah memperhatikan prosesi kikuk pemakaian seatbelt pelayan baru itu, Ryo mengklakson mobilnya, memberikan isyarat ia siap berangkat pada Arya yang kini mengangguk pelan.
Shilla menggembungkan pipi saat mendengar Ryo menggumam kesal, yang terdengar seperti, Babu... nyusahin...
Gadis itu benar-benar tak tahu berapa banyak lagi cobaan yang harus dihadapinya sejak hari ini.
Ryo mengentak-entakkan kepala sambil mengetukkan jari ke setir, mengikuti irama alunan lagu Krazy dari grup musik Pitbull. Stereo turbo yang dipasang di bagian depan dan belakang sedan hitamnya mendukung beat demi beat asyik lagu khas clubbing itu.
Sementara, Shilla yang duduk di sebelah Ryo hanya menghela napas samar sambil sesekali melirik ke arah tuannya yang asyik dengan dunianya sendiri. Ia tak pernah mendengar lagu seberisik itu sebelumnya. Ini satu mobil speaker semua, kali ya, isinya" batinnya heran.
Ryo, melupakan gadis di sebelahnya, mulai melajukan sedannya dengan kecepatan lebih tinggi, seakan jalanan sudah dibeli olehnya. Shilla mendesah pelan sambil membatin penuh syukur, untung mereka berangkat agak pagi, sehingga jalanan masih sepi. Jadi peluang risiko kecelakaan karena cara Ryo mengemudi seenak perut itu dapat sedikit menyusut.
Sambil menggerakkan setir, Ryo mengambil lalu mengecek ponselnya yang bergetar tak tenang di dasbor. Hmm, batinnya sambil melirik layar. Pesan-pesan nggak penting lagi. Nggak ada kerjaan kali ya, cewek-cewek itu" Ia menyentuh scroll bar pada layarnya, agak tertarik pada sebuah pesan. Perayaan apa di Loo Bar malam ini" Siapa yang kali ini menyewa milik keluarganya itu" Felice" Yang mana orangnya" Bodo ah. Dia juga bisa ke sana tanpa exclusive invitation begini.
Ryo mencibir, terus menggerakkan scroll ke bawah. Kenapa banyak banget pula" pikirnya kesal. Dia paling malas menghapusnya, meski hanya dalam beberapa langkah mudah ia bisa menyelesaikannya. Akhirnya setelah menimbang, Ryo mengacungkan ponselnya ke depan muka Shilla, yang kini hanya mengerutkan kening.
Kenapa" tanya gadis itu dengan suara pelannya. Tuan, tambahnya lagi.
Apusin, perintah Ryo enteng, sementara pandangannya masih menyapu jalanan di hadapan.
Hah" Ryo memalingkan wajah tampannya dengan geram kala mendengar reaksi spontan Shilla. Gue bilang apusin! Nggak ngerti bahasa Indonesia" dampratnya cepat.
Sambil menelan ludah takut-takut, Shilla akhirnya meraih ponsel yang diulurkan Ryo. Matilah aku, pikirnya saat benda elektronik itu tergenggam mantap di jemarinya. Ponsel tuan mudanya itu ponsel model terbaru yang biasa ia lihat di majalah milik Silvia, layar sentuh, pula. Sementara Shilla bisa dibilang gagap teknologi.
Akhirnya Shilla hanya bisa memandangi ponsel Ryo, tak tahu mau berbuat apa. Takut jika salah menekan, malah terjadi apa-apa. Seperti misalnya, ponsel itu tiba-tiba meledak, mungkin.
Lama amat" tanya Ryo tiba-tiba, kekesalan terdengar jelas dari suaranya yang menyentak kasar.
Shilla menelan ludah, menyusuri pinggiran besi ponsel Ryo dengan jari lalu akhirnya membuka mulut ragu, Saya... nggak ngerti... Ryo menoleh cepat ke arah Shilla, mengernyit sebentar melihat raut gadis itu lalu menghela napas kesal. Kampungan, sindirnya pelan, lalu menyambar kembali ponselnya dengan sebelah tangan dan tak lama menggumam sendiri, Bego juga sih gue nyuruh elo... Shilla cuma mendengus samar.
Setelah meletakkan ponselnya kembali ke dasbor, memutuskan menghapus semua pesan tadi jika ada waktu luang nanti, pemuda itu berdeham lalu berujar tiba-tiba, Ntar siang, katanya, elo pulang sendiri... Gue mau cabut waktu jam pelajaran ketiga.
Shilla, setelah mencerna beberapa detik, akhirnya mengangguk saja. Masa mau protes" Kan anak nyolotin ini majikanku, batin gadis itu kesal sendiri.
Lalu akhirnya tak berapa lama, sedan Ryo memasuki jalan kecil yang relatif sepi. Shilla memandang ke kanan-kiri curiga dan makin cemas kala pemuda itu menghentikan mobil lalu menatapnya tajam. Apa salahnya" Shilla menelan ludah lagi.
Turun, kata Ryo. Satu tanggapan yang terlintas di benak Shilla lagi-lagi hanya kata, Hah"
Lo turun di sini, pemuda itu menekankan sambil menatap Shilla, alisnya bertaut lagi, matanya berkilat mengerikan. Sekolah gue udah deket. Lo silakan jalan kaki, jangan ikut gue. Bisa rusak reputasi gue, kalo ada yang liat gue dateng sama lo.
Shilla akhirnya hanya bisa pasrah dan melangkah turun, masih diiringi tatapan galak Ryo. Pemuda itu mengangguk-angguk menjengkelkan saat Shilla bergerak menutup pintu, lalu buru-buru menambahkan ucapan perpisahan, Jangan bilang-bilang Arya, oke"
Setelah mendapat anggukan takut dari Shilla, akhirnya Ryo membiarkan gadis itu menutup pintu. Lalu tanpa sepatah kata lagi, ia mundur dan melajukan mobilnya, meninggalkan Shilla dan kebingungannya di balik kepulan debu.
Lucu sekali, ha ha ha. Cuma itu yang ada di benak Shilla. Butuh lebih dari dua puluh menit baginya untuk gerbang sekolah barunya. Ia sendiri sebelumnya tidak tahu apa nama sekolahnya. Ia harus bertanya pada belasan orang, hingga ada yang bisa memberitahunya nama sekolah dari lambang yang tersemat di blazernya. Shilla hampir saja berputar-putar jalan karena berbagai petunjuk menyesatkan yang didapatnya.
Lucu sekali, ha ha ha. Hari pertama masuk ke sekolah superelite ini dijalani Shilla dengan kondisi hampir bermandi peluh. Shilla mendesah lalu memelototi plang besar di depan gerbang menjulang yang baru ia lewati. Balok-balok perak yang membentuk nama Season Senior High Academy seakan berkilau mengejeknya. Oke, jadi ini nama sekolahnya. Bagus. Bagus sekali, malah. Gadis itu mengendus ke bawah. Blazernya sudah bau matahari begini. Permulaan yang sangaaaaaaaat bagus, pikirnya sarkatis.
Ia menggeleng pelan. Kalau bukan karena kebaikan Bi Okky, Kak Deya, dan Tuan Arya, mungkin ia akan memutuskan hengkang secepatnya dari kediaman keluarga Luzardi karena perlakuan semena-mena Ryo. Errrrrrrrrgh... andai saja dia bisa memiting leher Ryo seperti dia biasa memiting leher Daud, tetangga dan partner-in-crime-nya sejak kecil itu.
Shilla menghela napas lalu membatin, memarahi dirinya sendiri. Sudahlah, tidak usah rewel, tidak usah manja. Sudah untung bekerja di tempat sebagus itu. Sudah untung bisa disekolahkan di tempat sebagus ini. Ia meringis. Mungkin memang itu masalahnya, sekolah ini terlalu bagus.
Benar saja, begitu memasuki gerbang ia disambut lapangan parkir superluas. Deretan mobil mewah dengan harga yang mencapai sembilan digit menyergap pandangannya.
Shilla menelan ludah sambil terus berjalan ke arah pintu salah satu pintu gedung. (Aku harus ke gedung mana"! batin gadis itu histeris. Banyak sekali gedung!) Bagus. Baguuuuuus sekali... Kontaknya belum lepas dari jejeran semua tunggangan super itu. Siswa-siswi di sini naik kendaraan pribadi. Sementara ia nanti harus pulang dengan kendaraan sejuta umat. Bukan. Ia bukan berharap punya mobil pribadi juga. Tapi... Hei, di mana tenggang ra&
Pikiran Shilla seketika terhenti saat mobil berkap terbuka warna shocking pink melaju kencang di sampingnya, membuat debu-debu menebal, berterbangan, dan membuat mata Shilla sakit setelahnya.
Klise ternyata, layaknya film film remaja barat sana. Segerombolan gadis cantik nan populer nan kaya nan... (diikuti gelar-gelar kebangsawanan lainnya, silakan isi sendiri) turun dari mobil kap terbuka itu.
Bianca dan kawan-kawannya. Shilla sepertinya merasa melihat gadis manis ini kemarin di pesta sosialita keluarga Luzardi. Dengan gaun ketat menawan. Kini pun, di sekolah, gadis kaya itu tampak tak kurang wah . Sling bag mungil tersampir anggun di bahunya. (Ditaruh di mana bukunya" pikir Shilla otomatis), sepatu sekolahnya hak tinggi pula! Shilla tak habis pikir.
Shilla berdecak. Tampaknya ia harus terbiasa menelan ludah memperhatikan semua aksesoris wah pelajar-pelajar di sini. Tapi ternyata manusia memang tidak sempurna, karena kemudian ada satu hal yang disayangkan di samping kecantikan dan gaya mereka. Menurutnya gadisgadis di depannya ini mirip Medusa. Licik dan mengerikan.
Kala itu, Bianca tiba-tiba mengomel panjang-lebar, kedengarannya karena tidak melihat satu pun tukang parkir dari tempatnya berdiri sekarang. Pada ke mana sih ini" Gadis itu merengut sambil memainkan rambutnya yang diikalkan dengan sentuhan obat. Raut manjanya tampak kesal.
Tak lama, seperti terpanggil radar, seorang lelaki tua dengan kemeja lengan pendek berwarna biru pastel tergopoh mendekati Bianca. Maaf, Non, ujarnya sambil membungkuk. Shilla mengernyit, memang bapak itu punya salah" batinnya bingung.
Bianca mencibir kesal, melepas tangan dari rambutnya lalu bersedekap. Setelah beberapa menit terlihat menimbang sambil terus melotot, akhirnya ia menyodorkan kunci mobil ke arah bapak tua tadi, lalu&
Praaaaak... Ia menjatuhkan kunci mobil dengan sengaja sehingga tukang parkir itu harus kesusahan membungkuk di depan sepatu mahal Bianca untuk mengambil kunci tersebut.
Shilla langsung menelan ludah saat mendapati adegan berlebihan di hadapannya itu. Astaga, batinnya.
Sehabis itu, Bianca langsung pergi diiringi kawan-kawannya, sementara bapak tua itu mengambil alih mobil pink-nya. Di sini ada semacam layanan valet, mungkin.
Shilla tanpa sadar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Keajaiban macam apa lagi yang harus dihadapinya nanti"
XI-I, kelas baru Shilla. Ia membaca baca buklet dan peta yang diberikan padanya di ruang tata usaha tadi yang dicapainya setelah mendapat arahan yang tepat. Kepala sekolah menyambut baik kedatangannya.
Mungkin karena hormat pada nama Arya. Tampaknya lelaki lebih dari paruh baya itu sendiri juga tidak diberitahu soal asal-usulnya. Entahlah, Shilla juga tidak habis pikir. Bukankah administrasi sekolah biasanya membutuhkan akta kelahiran serta tetek bengek lain" Arya tidak meminta satu pun lembaran resmi atau informasi darinya kecuali tanggal lahir, saat menyempatkan diri bertanya padanya kemarin malam setelah acara sosialita selesai.
Kelasku ada di lantai tiga, batinnya saat memperhatikan denah. Tak masalah, ada lift yang siap mengantar. Shilla tidak terlalu norak kok. Ia pernah menaiki lift semacam ini waktu ke pusat perbelanjaan di kota dekat kampungnya dulu.
Ia bersiul pelan sambil memasuki lift yang ternyata tidak begitu penuh. Hanya ada seorang gadis berdagu tirus yang sedang membahas pelajaran yang kedengaran seperti kimia di buku tulisnya bersama seorang pemuda bermata besar. Shilla mengerutkan kening. Rasanya pemuda itu tidak asing.
Shilla mengerucutkan bibir lalu mengangkat bahu dan kembali berkutat dengan lembaran kertas mengilat di tangannya. Ckckckck& apaapaan sampai ada taman rusa segala" batinnya. Ini sekolah atau kebun binatang"
Tak lama kemudian terdengar denting saat layar di sisi pintu lift menampilkan angka tiga, mengagetkan Shilla. Ia membenahi posisi saat pintu terlihat membuka, lalu terkejut diam-diam ketika melihat kedua orang yang bersamanya di lift ternyata turun di lantai yang sama.
Setelah keluar dari lift, Shilla akhirnya berdeham dan memutuskan mengabaikan urat malunya, lalu mendekati kedua orang itu. Ya, walau Shilla bisa melihat tas bergambar anak anjing lucu yang kelihatan mahal dan tentu asli pada bahu gadis berdagu runcing itu mengindikasikan mereka orang berpunya juga, tapi paling tidak raut wajah mereka kelihatan lebih ramah dibandingkan gadis congkak di bawah tadi.
Permisi, kata Shilla akhirnya, setelah susah payah berusaha mengeluarkan suara. Gadis itu langsung menghela napas lega ketika dua orang di hadapannya membalas dengan senyuman. Ia memberanikan diri mengajukan pertanyaan selanjutnya, Kelas XI-I itu di mana, ya" Hehe.
Gadis berwajah tajam itu tersenyum lagi. Oh. Itu kelas kita juga, katanya, merujuk pada pemuda di sebelahnya. Elo anak baru" tanyanya.
Shilla mengangguk sekali.
Gadis itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya, Gue Ifa. Shilla, balasnya, menjabat tangan Ifa lalu beralih pada si pemuda yang kini juga menyodorkan tangan dan berkata mantap, Gue Devta. Shilla, ulangnya lagi, masih tersenyum.
Pindahan dari mana" tanya Ifa, sambil menggiring mereka bertiga menyusuri lantai tiga yang dipenuhi siswa-siswi lain. Shilla tidak heran kenapa pada jam pertama ini mereka malah berkeliaran, karena menurut jadwal dalam bukletnya, jam pertama pada hari ini harusnya waktu upacara, yang jika ditiadakan berarti menghadiahkan jam kosong untuk para pelajar.
Shilla terdiam sejenak saat mencerna pertanyaan Ifa. Lidahnya digembok ketetapan Arya itu. Masa ia harus bilang ia dari desa" Mana ada anak desa yang baru kemarin ke Jakarta bisa masuk sekolah se-elite ini"
D-dari SMAN 3, jawab Shilla seadanya, lalu menambahkan dalam hati, SMAN 3 Desa Apit.
Oh. Ifa mengangguk angguk. Yang di Setia Budi" Shilla hanya menjawab dengan senyuman.
Sementara Devta, Shilla menyadari, melihatnya dengan pandangan menyelidik. Kok kayaknya gue pernah liat elo, ya" tanya pemuda itu. Devta memang tidak diragukan dalam urusan ingat-mengingat.
Shilla membelalak, tergagap hingga akhirnya melihat Devta mengangkat bahu dan beralih pertanyaan, Baru masuk hari ini"
Gadis itu bergegas mengangguk lagi. Lega, dalam hati berharap agar Devta tak perlu mengitar keingintahuan di daerah berbahaya.
Tiba-tiba Ifa menyambar, Belom muter-muter dong" tanya gadis itu ramah.
Belum, jawab Shilla, lalu melirik Devta yang sedang memutar bola mata ke arah Ifa, seakan mengatakan ya-iyalah-emang-kita-liat-diakemaren"
Ifa menjulurkan lidah pada Devta, lalu kembali menoleh ke arah Shilla. Mau dong kita ajak muter-muter dulu" tanyanya, sambil mengangkat sebelah alis bergantian pada dua orang di dekatnya, mengajak berkonspirasi.
Devta tiba-tiba tertawa mengejek. Ketua OSIS macem apa lo, manfaatin anak baru buat bolos pelajaran"
Ifa mencibir. Daripada pusing belajar kimia" Nanti Bu Fiya juga pacaran sendiri sama papan tulis. Gue tanya Kepala Sekolah dulu deh boleh nggak ambil jam pelajaran keempat dan kelima dipake buat anter Shilla muter-muter. Kayaknya sih boleh.
Devta tertawa pelan melihat Ifa yang sudah berlari menjauh, lalu berseru tertahan, Nanti ajak-ajak gue kalo boleh bolosnya!
Wooooo dasar! balas Ifa dari kejauhan, membuat Shilla tersenyum kecil melihat tingkah polah kedua orang ini.
Setelah sepersekian menit menatapi punggung Ifa, Devta akhirnya tersadar lalu mengajak Shilla memasuki ruangan di dekat mereka.
Masuk aja yuk. Jam kedua nanti bahasa Indonesia, paling elo disuruh ngenalin diri, kata pemuda itu.
Ketika mulai melangkah ke dalam, pemandangan serbaputih menyambut Shilla. Ternyata empat dinding ruang kelas yang baru dimasukinya itu ber-wallpaper putih yang dilengkapi garis tunggal dengan lebar sekitar sepuluh senti bergambar simbol sekolah yang melintang di bagian tengah. Papan tulis yang tergantung di depan kelas, meja guru, dan meja semua murid dengan model kursi dan meja tersambung langsung juga berwarna putih. Tak lupa juga, sudut kelas dihiasi pula oleh dua air conditioner dengan pengharum ruangan beraroma lavender. Ruangan itu tampak hampir penuh.
Duduk situ aja ya, kata Devta, memecah keterpanaan Shilla lalu menunjuk sebuah kursi di tengah kelas. Tak lama, sambil berjalan menuju kursi yang ia tunjuk tadi, pemuda itu melanjutkan, Gue sama Ifa sebelah-sebelahan sama elo deh, janjinya.
Emm... Shilla terdiam, ragu mengikuti Devta ke kursi barunya. Pemuda itu baik sih, tapi kenapa memilihkan tempat di belakang& Ryo" Kenapa pula kami sekelas" batinnya segan.
Tapi, tuan mudanya itu tenyata tampak tak peduli. Ia sibuk dengan ponselnya, mungkin menghapus pesan-pesan tadi.
Ryo berdeham. Ia sebenarnya tahu pelayan baru itu sudah memasuki kelas bersama Devta, tapi mengabaikannya. Toh ia memang harus berpura-pura tidak mengenal Shilla. Tapi mau tak mau, ia tertawa dalam hati saat melihat kondisi Shilla yang agak kusut. Lucu kan ngerjain cewek satu itu, pikirnya.
Setelahnya, sambil menunggu bel jam pelajaran kedua, Shilla mengobrol pelan dengan Devta, jauh-jauh dari masalah pribadi yang bisa membuka kedoknya. Tak lama, ternyata Ifa pun datang sambil tersenyum.
Gadis berdagu lancip itu tersenyum ke semua orang di dalam kelas termasuk Ryo, yang tidak menghiraukannya.
Heiiii. Ntar waktu pelajaran kimia gue boleh ajak elo keliling, kata Ifa girang pada Shilla, sambil mengempaskan tubuhnya di kursi.
Devta bergegas menoleh dan memandang Ifa penuh harap. Terus gue"
Elo nggak boleh ikut, kata Ifa langsung, menjulurkan lidah lagi. Jahat banget. Devta menggeleng-geleng sedih, lalu membuang muka ke depan.
Becandaaaaaaaa! lanjut Ifa, tersenyum melihat sohibnya sok merajuk. Lo boleh ikut asal nggak ngerusuh...
Devta hanya tersenyum manis.
Tak lama bel penanda berakhirnya jam pertama berdering keras. Sontak semua penghuni XI-I menghambur masuk ke kelas. Mereka bergegas duduk di bangku masing-masing, tepat ketika wanita berumur sekitar pertengahan dua puluhan dengan rambut keriting gantung menjejakkan kaki ke depan papan tulis. Bu Muthia, guru bahasa Indonesia. Wanita menarik itu langsung mengabsen mulai dari Aluna Syifa Umali alias Ifa yang menempati nomor pertama hingga Zera Gretha di urutan terakhir. Ia tersenyum kecil saat melihat wajah Shilla yang kebingungan, menyadari mungkin itu anak baru yang disinggung atasannya tadi saat singgah di ruang guru. Bu Muthia akhirnya mempersilakan Shilla maju ke depan dan memperkenalkan diri.
Gadis itu berdeham pelan, lalu menelan ludah, ketakutan melihat teman-teman sekelasnya yang kelihatan bersiap memangsa, apalagi tuan mudanya. Ia melirik Bu Muthia yang berdiri cantik di dekat meja guru, lalu berkata, Nama saya Ashilla Rayanda, dengan terbata-bata. Lantas setelah yakin tak akan diapa-apakan, ia menyebut lagi nama asal sekolahnya (kembali meminuskan nama daerahnya). Hanya dua keterangan itu.
Shilla kembali melirik Bu Muthia lalu beberapa anak lain yang tampak masih menunggunya kembali bicara. Mmm... apa lagi" tanyanya ragu pada Bu Muthia.
Hmm, Bu Muthia tampak menimbang, kamu mungkin mau menambahkan papa kamu kerja di mana atau kamu tinggal di perumahan mana, usulnya, seakan itu hal lazim di setiap perkenalan murid baru.
Shilla melongo, lalu menghela napas dalam hati. Dasar sekolah orang kaya. Perkenalan memang harus pakai acara nyombong, ya" batinnya tak habis pikir.
Segitu saja, Bu, sahut gadis itu akhirnya.
Bu Muthia akhirnya mengangkat bahu, lalu mempersilakan Shilla kembali duduk.
Gadis itu mengikuti jam kedua pelajaran bahasa Indonesia dengan lancar, walau tanpa buku pelajaran entah kenapa Bu Muthia tidak menanyakannya. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dalam hal materi pelajaran. Yang lebih menarik perhatian Shilla adalah kenyataan bahwa beberapa kali ia melihat tuan mudanya menyentuh-nyentuh layar ponsel di mejanya, tanpa ditutupi layaknya anak SMA lain yang takut ketahuan mengulik benda elektronik apa pun saat jam pelajaran.
Bu Muthia tampak membiarkan Ryo bertindak semaunya. Mungkin karena kedudukan Ryo" Shilla juga tidak tahu.
Begitu bel pergantian pelajaran kembali berdering, Ryo dengan sigap bangkit dan bergegas meninggalkan kelas, cabut, seperti yang dikatakannya pada Shilla. Padahal jam pelajaran Bu Muthia belum selesai. Tapi ternyata guru bahasa Indonesia itu hanya diam, menunggu kesiapan murid-murid lain yang masih agak terpana dengan aura angkuh yang terpancar dari Ryo yang kini menjauh dari kelas, sebelum meneruskan pelajaran.
Iuuuuuh, Devta mencibir, Tuan Besar Ryo.
Huh. Ifa langsung menyambar, sambil memberikan isyarat pada Devta untuk memperhatikan penjelasan guru mereka lagi.
Shilla sebenarnya masih terperangah dan tak bisa berkata-kata menyadari Ryo benar-benar bisa seenaknya. Ia hanya menggeleng-geleng dan mengikuti pelajaran hingga bel yang sama memekik-mekik lagi, menyatakan pergantian materi hari ini, dari bahasa Indonesia ke kimia.
Ifa langsung mencelat dari kursi. Yuk keluar, Shil, ajaknya bersemangat. Ia lalu keluar terlebih dulu, meninggalkan Shilla dan Devta, karena harus menemui Bu Fiya sebelumnya.
Shil... gue mau ngomong, kata Devta langsung begitu ia berdiri dan mengiringi Shilla ke luar kelas.
Shilla mengerutkan kening, menoleh ke arah pemuda itu dengan tatapan heran, Apa"
Devta memperhatikan gadis di dekatnya sekali lagi dengan mata menyipit lalu berujar mantap, Gue seratus persen yakin pernah ngeliat elo.
HILLA menelan ludah. D-di mana" sahut gadis itu pelan, ketakutan. Rumah Ryo...
Tak ada kata spontan selain Hah" yang bisa dipikirkan Shilla. Mati aku, batinnya.
Devta mengangkat sebelah alisnya, Bener nggak gue" Shilla memainkan jarinya, ragu. Perutnya mual persis seperti perasaan orang yang baru tertangkap basah melakukan hal-hal tak baik, walau sebenarnya rahasianya tidak buruk. Ia hanya tidak menyangka kedoknya harus terkuak secepat ini. Shilla memandang Devta, yang masih menatapinya seakan menunggu jawaban.
Shilla menelan ludah, mencoba-coba peruntungan terakhirnya, walau sudah kedengaran tak meyakinkan karena suaranya bergetar, K-kamu yakin itu& a-aku"
Bab 4 As I said, one hundred percent, Devta menekankan, matanya menyipit seperti berusaha menggali ingatan lebih jauh. Tiba-tiba ia memandang Shilla tak percaya. Tapi, mulainya ragu kali ini, yang gue ingat, lo pake baju pela&
Habislah dia. Sssssssssstttttt... Shilla tergesa berjinjit dan membekap mulut pemuda di hadapannya. Ia menaruh telunjuknya yang lain di depan bibirnya sendiri, mengisyaratkan Devta untuk berhenti berbicara saat itu juga.
Setelah menyadari Devta megap-megap kehabisan napas, gadis itu akhirnya menarik telapaknya lalu menunduk dan menelan ludah. Sesaat, ia memperhatikan sepatunya. Shilla lalu berdecak, berpikir. Sudahlah. Sudah kepalang basah, batinnya. Apalagi raut Devta menunjukkan bahwa pemuda itu bukan tipikal yang mudah ditipu.
Iya, kata Shilla pelan akhirnya, masih juga memperhatikan lantai.
Ia menghela napas lalu melanjutkan, Aku emang kerja di rumah Tu... eh, Ryo maksudnya jadi pelayan... Tapi kamu jangan bilang siapasiapa, ya, ujarnya pelan, lalu terdiam saat tak mendapat jawaban. Ha. Batinnya. Boro-boro memberitahu orang lain, mungkin sekarang Devta juga tidak mau lagi berteman dengannya. Ya sudahlah, mungkin ia harus menghabiskan sisa masa SMA-nya sendirian.
Kenapa nggak boleh kasih tahu siapa-siapa" tanya Devta tiba-tiba, membuat Shilla mendongak dan memandangnya dengan raut tak mengerti. Pemuda itu hanya mengernyit. Emangnya lo malu" Buat gue itu bukan hal yang memalukan kok. Malah seharusnya lo bangga udah bisa punya pemasukan sendiri.
Shilla masih menganga. J-jadi maksudnya kamu& enggg, gadis itu mencoba mengungkapkan pikirannya, engg... kamu mau temenan sama aku, gitu"
Devta malah tertawa. Nggak selamanya film-film itu bener, lagi. Emang gue siapa, mandang orang dari cara begitu" Nggak semua orang yang... emhh... berpunya itu picik. At least, gue sih nggak.
Shilla ikut tersenyum tipis. Aku bukannya malu... tapi ini pesannya Tuan Arya, katanya kalo bisa nggak usah ada yang tahu. Kan Tuan Arya juga yang nyekolahin aku...
Pemuda itu mengangguk-angguk sementara Shilla mengangkat bahu, tepat ketika terdengar sebuah suara, Kenapa lo bedua tampangnya pada serius gitu" Ternyata Ifa.
Ini nih, kata Devta semringah saat mendapati Ifa sudah kembali. Lagi ngomongin Shilla yang tinggal di rumah Ry...
Otomatis, Shilla menginjak kaki Devta yang langsung meringis sambil mencoba memasang tampang tak bersalah.
Ifa sontak mengernyit, lalu menoleh ke arah Shilla. Hah" Emang lo tinggal di mana sih, Shil" tanyanya bingung.
Shilla sontak meringis. Oke, batinnya. Haruskah dia juga jujur pada Ifa" Ia menimbang-nimbang, mendengarkan dua sisi dalam benaknya berdebat sendiri. Bagian yang mendukung untuk bercerita lebih kuat. Shilla sendiri yakin Devta yang saat ini memandangnya sembunyisembunyi dengan tatapan terserah elo mau jujur atau nggak pasti akan memberitahu Ifa juga.
Lagi pula, bukankah hubungan apa pun termasuk pertemanan pasti akan berjalan tidak baik jika berlandaskan ketidakjujuran"
Gadis itu menelan ludah, menatap Ifa lalu menghela napas, Ehm. Aku cerita, tapi pleeease jangan bilang siapa-siapa lagi, katanya.
Ifa yang bingung dan penasaran akhirnya memutuskan mengangguk saja. Sementara, Shilla menarik napas panjang lalu mengulangi penjelasannya pada Devta, ditambah sedikit bumbu soal almarhumah bundanya dan wasiatnya (entah kenapa kembali meminuskan bagian nama Bu Romi).
Respons Ifa berubah-ubah. Dari agak mengernyit saat mendengar bagian pelayan Shilla kembali takut itu indikasi ketidaksukaan, lalu terlihat turut prihatin saat menyinggung Bunda Shilla bisa bernapas lagi, menyadari mungkin kernyitan Ifa sebelumnya hanya kekagetan.
Setelah menyelesaikan penuturannya, Shilla mengangkat bahu, Ya, gimanapun itu jalan hidup aku sekarang, kan" Ya aku jalanin aja, lanjutnya sambil tersenyum.
Ifa mengangguk pelan, rautnya seperti masih terlihat mencerna. Ia pun ikut mengangkat bahu lalu tersenyum. Gue... bakal jaga rahasia ini kok, mulainya lalu menatap Shilla. Yang jelas, gue seneng lo mau jujur.
Akhirnya, Shilla tersenyum lega. Seakan beban baru terangkat dari pundaknya. Paling tidak, ia tidak perlu terus-menerus mengenakan topeng di depan semua orang di sini.
Devta ikut tersenyum, lalu merasa harus memecah kebekuan Udah yuk, jalan, ajaknya.
Ifa mengangguk. Turun dulu aja deh yuk. Ke gedung putih, katanya sambil menggiring Devta dan Shilla menuju lift.
Setelahnya, Shilla diajak kedua sobat barunya itu menyusuri lantai pertama gedung putih, gedung khusus ekstrakurikuler. Seakan belum terlatih di kediaman Luzardi, Shilla melongo melihat sebuah kolam renang besar berstandar olimpiade.
Soalnya banyak siswa sini yang atlet renang, jelas Ifa bangga. Shilla berpikir, mungkin itu memang tugas Ifa sebagai ambassador sekolah.
Shilla pun kembali melongo, karena ternyata masih banyak yang membuatnya berdecak kagum. Pusat kebugaran lengkap dengan trainernya, gimnasium luas, tak lupa bermacam lapangan olahraga indoor seperti lapangan futsal, sepak bola, basket, voli, bulu tangkis. ( Yang outdoor juga ada, yang jelas ada di luar, jelas Devta.) Belum lagi ruang musik dengan alat-alat superlengkap yang berada di lantai teratas, di sebelah amfiteater yang berfungsi ganda sebagai auditorium.
Setelah menjelajahi seluruh lantai gedung ekstrakurikuler, Ifa dan Devta pun mengajak Shilla beranjak ke halaman utama untuk mengitari bagian luar sekolah. Mereka mengunjungi lapangan olahraga outdoor yang disebutkan Devta tadi, bahkan kali ini Shilla memucat saat melihat lapangan pacuan kuda. Gadis itu hanya bisa menelan ludah. Setelahnya, Ifa dan Devta harus mati-matian menahannya yang berkeras berniat masuk ke istal kuda. ( Kuda ya gitu-gitu doang kok, Shil. Nggak beda sama di buku-buku. Lagian istal kuda bau, tau, kata Ifa sambil bergidik.)
Setelah menjenguk rusa-rusa kecil di dekat taman ( Aku belum pernah liat rusa lho. Biasanya kambing, kata Shilla polos), mereka bertiga akhirnya mendarat nyaman di gedung kafeteria yang terletak terpisah lagi dan agak jauh dari gedung-gedung sekolah. Bangunan dua lantai yang hampir seluruhnya tertutup kaca ini dilengkapi pendingin ruangan di tiap sudutnya. Di lantai atas, setengah bagiannya adalah teras kecil yang dilengkapi payung-payung besar untuk siswa-siswi yang menginginkan suasana outdoor.
Berbagai gerai makanan, mulai dari nasi uduk hingga okonomiyaki (piza jepang) dan macam-macam fastfood terkenal berjejalan di kedua lantai tersebut. Ifa dan Devta iseng-iseng membelikan sekotak takoyaki untuk Shilla, yang sempat geli melihat potongan gurita kering, tapi akhirnya ketagihan juga.
Udah deh, kita ngadem di sini aja. Bentar lagi juga istirahat, kata Ifa yang baru saja memesan seporsi rawon. Mereka bertiga sudah duduk nyaman di lantai dua kafeteria sejak sekitar lima belas menit lalu, membicarakan hal-hal ringan, seperti desa Shilla, lalu beralih ke persahabatan Ifa-Devta sejak mereka SMP.
Dasar lo, emang, kata Devta sambil mencomoti spiced chicken-nya. Keterusan.
Bodo. Ifa mencibir ke arah Devta, lalu mengalihkan pandangan pada Shilla Lo nggak mau makan lagi, Shil" tanyanya.
Shilla tersenyum kecil, dalam hati meringis. Ia melirik isi kantongnya diam-diam. Cuma ada selembar dua puluh ribuan di sana. Ia memang memutuskan menjatah uang jajannya untuk sebulan ke depan sampai menerima gaji. Tidak mungkin kan ia meminta DP pada Bi Okky atau semacamnya"
Shilla mengerucutkan bibir, berpikir. Ia belum tahu bagaimana cara pulang dari sini, berapa biaya yang harus dikeluarkan. Cukupkah uangnya untuk makan" Perutnya sedikit melilit sih. Tidak mungkin dia meminjam uang Ifa atau Devta, apa kata dunia"
Diam-diam Ifa, bisa melihat Shilla melirik uangnya. Ia tersenyum kecil lalu mengelus pundak teman barunya itu, Shil, mau makan apa" Gue traktir deh...
Shilla menggeleng, lalu menarik napas. Ga usah, Fa. Makasih. Ehm, di sini makanan yang sepuluh ribuan apa, ya" tanyanya, memutuskan menggunting urat malu. Daripada dia kena maag, hayo"
Oh. Ada tuh bakmi ayam di pojok situ. Enak tuh, sambar Devta, masih menikmati potongan ayam berbumbunya.
Akhirnya Shilla tersenyum. Ya udah, aku pesen dulu deh, kata Shilla sambil berdiri lalu mulai beranjak ke arah gerobak di pojok ruangan.
Mas, katanya pada seorang lelaki muda bertopi, sang penjual yang berdiri di seberang gerobak. Bakminya satu, ya, pesan gadis itu. Oke, Neng, katanya menyanggupi sambil meracik bumbu. Shilla tersenyum, lalu menarik napas dan berbalik, bersandar di satu sisi gerobak. Benar saja, seperti kata Ifa, jam istirahat ternyata sudah dimulai. Puluhan pelajar berbondong-bondong mulai menjejali kantin. Beberapa naik ke lantai dua, tempatnya berada sekarang.
Shilla sedikit mengernyit kala melihat gerombolan populer tadi pagi. Bianca dan kawan-kawannya, mereka sibuk memenceti ponsel dengan gaya angkuh yang sama dan langkah yang teratur. Kehadiran mereka mengintimidasi siapa pun yang mereka lewati.
Shilla mencibir pelan, paling malas melihat adegan-sok-dramatis yang mereka ciptakan. Emang ini film Hollywood"
Kok lama, Mas" tanya gadis itu tiba-tiba tersadar, ia memutar kepala ke arah si mas penjual.
Lelaki itu tersenyum memohon maaf. Bentar, Neng, ini elpijinya abis. Saya ganti dulu ya bentaran...
Shilla, yang sudah merasakan perutnya meronta-ronta, hanya bisa mengangguk dan meringis. Dalam hati merutuk. Kalau sampai bakminya tidak seenak kata Devta, berarti ia telah menghabiskan uang makannya untuk sesuatu yang sia-sia. Awas saja, ancamnya.
Akhirnya tatapan Shilla kembali tertumbuk pada gerombolan anak populer itu. Ya ampun, gayanya. Kayak sekolah punya dia, batin Shilla, padahal ia tahu bisa itu saja benar. Shilla tanpa sadar terus menatapi point of interest kelompok itu, yang seakan bercahaya paling terang di antara semua, the one and only Bianca.
Gadis pongah nan cantik itu kali ini menghampiri masih dengan gaya ratu sejagadnya salah satu meja berpayung di bagian outdoor kafeteria yang terletak di sudut teras. Shilla mengernyit, menyadari tempat itu sudah terisi beberapa gadis lain.
Bianca ternyata hanya diam, mengangkat dagu tinggi-tinggi sambil memandang gadis-gadis itu satu per satu dengan tatapan lelah. Ia berdeham, jelas menyulut pertengkaran.
Gadis-gadis yang terlebih dulu menempati meja itu balas menatap Bianca, walau Shilla melihat jelas sempat ada pintas kengerian di mata mereka. Seperti mangsa yang mencoba peruntungan melawan pemburu.
Salah seorang gadis yang duduk di seberang tempat berdiri Bianca membentak, Nggak bisa tuh mata biasa aja" Wah, wah. Shilla mengangkat alis.
Mata gue udah begini dari sananya. Protes aja sama Tuhan, ketus Bianca tajam.
A-ada masalah apa, Bi" tanya seorang gadis berkacamata yang berada paling dekat dengan ratu sejagad itu, tampak berniat menanggapi dengan kepala dingin.
Ini tempat gue, jawab Bianca. Tak mau dibantah.
Oh, ya" Sejak kapan di sini ada tulisan reserved " Seorang gadis bertubuh agak tambun menantang dengan nada superketus. Wow. Shilla tak tahu bagaimana ceritanya kalau gadis barusan memutuskan untuk meremukkan Bianca. Si Ratu Sejagad itu mungil sekali, soalnya.
Bianca tiba-tiba tertawa meremehkan, lalu menggeleng-geleng. Ia menatap tajam gadis tambun itu, seakan siap membunuh. Gue tau siapa elo, katanya, tak pelan, tapi tetap menimbulkan kesan tajam. Mungkin maksudnya memang undangan agar semua orang menyaksikan, bukan hanya untuk menggertak agar mendapat tempat duduknya.
Gadis tambun itu mengernyitkan dahi. Maksud lo" tanyanya pelan.
Elo, Bianca agak membungkuk mendekat, Fitri dari kelas XII IPA II, masuk ke sini bukan karena elo mampu. Bokap lo... cuma tukang kue. Dan nyokap lo... cuma guru les anak SMP. Orangtua lo mati-matian minta keringanan dari sekolah karena yah& elo punya otak, kata Bianca agak geli, seakan punya otak sama definisinya dengan mengemut kecoak Madagaskar mentah hidup-hidup .
Seperti yang diharapkan, semua mata di lantai dua kafeteria menatap adegan itu. Bahkan beberapa pelajar yang ada di lantai satu bergegas naik ke lantai dua, mau melihat siapa kali ini korban sinetron harian penggencetan oleh Yang Mulia Bianca.
Gadis mungil itu menaikkan dagunya tinggi, lalu berujar dengan nada seolah tak acuh, Dan gue& Bianca dari kelas XI IPA II. Bokap gue salah satu majelis sekolah DAN yang punya setengah saham kafeteria ini, katanya, mendeklarasikan supremasinya, membuat Fitri mengerut. Mangsa Bianca itu sukses memasang wajah malu memerah.
Bianca mendesah, lalu berdecak merendahkan, Pergi... atau lo dan temen-temen lo gue larang buat masuk kafeteria ini, katanya, lalu bersedekap.
Tertebak, akhirnya Fitri dan teman-temannya bangkit dari kursi, tergesa. Membuat Bianca tersenyum tipis.
Oya, kata Bianca, belum puas saat melihat Fitri beranjak, jangan bilang jam Levi s di tangan lo itu asli. Berapa harganya" Sepuluh ribu" Gadis itu mencibir diiringi tatapan kagum teman-temannya. Sementara Fitri, yang sudah merasa kehilangan muka bergegas menjauhi kafeteria.
Bianca melepas lipatan tangannya, menyibakkan rambut seperti bintang iklan sampo lalu memandang teman-temannya dengan tatapan memerintah. Aduh. Bangku gue bekas orang miskin. Tolong bersihin dulu dong, katanya sambil mengalihkan pandangan pada kukunya. Seperti robot, beberapa temannya lalu mencabut beberapa helai tisu dari meja dan membersihkan bangku yang akan Bianca duduki.
Shilla hanya menggeleng-geleng tidak habis pikir. Ada ya manusia sesombong itu di dunia ini, batinnya berdecak. Ia kira perkara bangku yang dijadikan hak milik itu cuma terjadi di cerita-cerita rekaan saja. Neng, sapaan si mas penjual mengagetkannya.
Kemelut Di Cakrabuana 8 Dewa Arak 69 Peti Bertuah Mushasi 3

Cari Blog Ini