Ceritasilat Novel Online

Budha Pedang Penyamun Terbang 16

Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 16 Maka dalam hal rahasia yang seolah-olah paling mudah dibongkar, seperti rahasia dalam bentuk kata-kata lisan, yang dibisikkan secara berantai dari telinga ke telinga, tidaklah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ membuat usaha perburuannya menjadi lebih mudah. Dalam hal pesan rahasia lisan dari telinga ke telinga, pesan rahasia yang dimaksudkan besar kemungkinan dikaburkan oleh banyak sekali pesan rahasia dari sekian banyak jalur lainnya, sehingga yang melacaknya akan sangat sulit menentukan, itu pun jika semua berhasil disadapnya dengan suatu cara, manakah kiranya yang bisa dijamin merupakan pesan rahasia sesungguhnya. Semua ini menjadi lebih rumit, karena jaringan yang bertumpang tindih itu tidak hanya mewakili satu atau dua pihak yang saling membutuhkan atau saling berlawanan, melainkan begitu banyak kepentingan yang tidak harus saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Namun menjadi sangat penting untuk kupastikan sekarang, betapa yang disebut jaringan rahasia istana itu sama sekali tidak terbatas di dalam istana. Aku menyadari betapa penguasa tidak akan mampu menancapkan kekuasaan dengan baik, jika tidak didukung jaringan rahasia yang menyelusup dan mengakar sampai ke pelosok perbatasan maupun negerinegeri jajahan. Maka tentulah menjadi pertanyaanku, apakah pemukiman penduduk asli yang sebetulnya keturunan bekas pemberontak tidak luput dari jaringan rahasia itu" Dalam pemukiman seperti ini, bahkan pengawal rahasia istana yang paling pandai menyamar dan meleburkan diri ke dalam suatu kelompok pun tidak selalu berani memasukinya, karena sangat sering terjadi, yang ditugaskan ke sana tidak pernah kembali lagi! (Oo-dwkz-oO) Episode 174 ga ada (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Episode 175: [Keturunan Para Pemberontak] AKU telah menyusuri lorong ini semalam suntuk. Tidak selamanya lorong ini sempit dan lurus, dan tidak selamanya pula celah ini terbuka sampai di atas. Ada kalanya celah di atas itu menutup dan dinding-dinding lorong saling menjauh sehingga terbentuk ruang yang luas, seperti gua, yang ternyata dari atapnya air menetes-netes. Di dalam gua air yang menetes-netes itu membentuk kolam kecil berair bening tempat kudaku minum, dan dari kolam itu pun terbentuk aliran kecil yang meninggalkan gua, berkericik lembut memberi kesan kedamaian. NAMUN di tempat seperti ini pun bergeletak kerangka manusia tiada ketinggalan. Dalam kegelapan aku tak dapat melihatnya, tetapi kudaku sengaja menendang tengkoraknya untuk memberitahu aku, dan kudengar suaranya menggelinding di atas dasar batu. Kuduga mereka adalah pengembara yang menjadi gila di celah sempit, dan dengan nalurinya dapat mencapai tempat ini, lantas kemudian mati di sini. Memang tidak semestinya celah sempit mana pun di dunia dengan dinding setinggi apapun di atas sana membuat orang menjadi gila, sehingga siapapun yang tiada tahu menahu dengan perihalnya akan melewatinya saja tanpa prasangka, siang maupun malam, dalam cuaca apapun jua, dalam keadaan berkabut, terang, ataupun hujan. Dalam kenyataannya meski sebagian besar orang muncul di seberang celah tanpa kurang suatu apa, selalu ada saja yang muncul sudah menjadi gila, dan sebagian yang lain bahkan tidak pernah muncul lagi, karena kegilaan dan kepanikan bagaikan telah meledakkan urat syarafnya dan membawanya kepada kematian. Dengan demikian, menyeberangi celah secara berombongan memang menjadi salah satu pilihan, lengkap dengan pemandu atau pengawal bersenjata, sedangkan pilihan waktunya tentu saja adalah siang. Namun tetap saja TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ selalu ada pengembara seperti diriku, yang karena keadaan, terpaksa atau tidak terpaksa, memilih dan memutuskan menempuh perjalanan dalam kegelapan sendirian. Telah kualami sendiri perjalanan malam di celah sempit ini dan kuketahui apa yang dapat dialami dan tidak dialam i oleh siapapun yang mengarunginya dari malam sampai pagi. Tidak semua orang akan cukup beruntung berada di bawah rembulan ketika melewati dinding penuh coretan itu, sedangkan apabila sebetulnya cukup beruntung mungkin tidak peduli sama sekali terhadap guratan aksara pada dinding raksasa yang bertumpuk dengan guratan gambar itu. Sedangkan apabila ternyata peduli, tentu masih membutuhkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi agar dapat memeriksa guratan-guratan itu setiap kali dari atas ke bawah, sebelum mampu memecahkan persoalan yang diberikannya, bahwa gambar-gambar itu mengarahkan makna tulisannya. Di ujung lorong samar-samar kulihat cahaya lembut keunguan. Mungkinkah di luar sana fajar menjelang" Terdapat perasaan di dalam diriku agar sedapat mungkin keluar dari lorong dengan secepat-cepatnya. Namun aku tahu betapa diriku harus mampu menahan diri sekuat-kuatnya, karena itulah salah satu keinginan di dalam lorong ini, yang jika tidak kunjung terpenuhi akan memberi sumbangan untuk membuat seseorang menjadi gila. Kewaspadaan juga memang masih sangat diperlukan, karena sementara cahaya tidak dapat datang lagi dari atas ketika atap celah tertutup, juga bahwa dasar celah tempat berpijak sering tiba-tiba menganga sebagai jurang. Ada kalanya menganga begitu rupa sehingga hanya kuda saja yang dapat melompatinya, dan dalam kegelapan hanya kuda itu saja yang mengetahuinya. Tidak terlalu mengherankan. jika mereka yang berjalan kaki dan kehilangan kewaspadaan, dalam kelelahan dan kepanikan akan terperosok ke dalam jurang yang terbentuk dari belahan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ gunung batu merekah itu, melayang hilang ke bawah tanpa pernah ditemukan lagi. Penduduk pemukiman terdekat memang selalu membuat jembatan tali di atas jurang-jurang semacam itu, supaya mereka yang tidak memiliki ilmu silat, terutama ilmu meringankan tubuh, juga dapat menyeberangi jurang-jurang itu. Namun dalam kegelapan, jembatan tali tersebut juga tidak mungkin terlihat dengan jelas. Bahwa cahaya keunguan itu masih lembut, sangat tipis dan sangat samar, rupanya disebabkan karena cahaya pagi tersebut baru terpandang olehku, setelah melalui lorong yang menjelang berakhir ini ternyata menjadi berliku-liku. Kericik aliran air dari kolam sudah tidak terdengar lagi, tetapi lorong ini sekarang sama sekali tidak sepi. Kurasa angin di luar sana memberikan akibat terhadap suara seperti gema yang kini terus menerus terdengar bagaikan suatu janji, betapa di luar ce lah banyak persoalan masih menanti. Itulah pertanyaanku kepada diriku sendiri, apakah kiranya yang dipersiapkan Harimau Perang untuk menghalangi pengejaranku" Apakah cukup baginya untuk menghilang takterlacak secepat-cepatnya, ataukah ia juga memikirkan sesuatu untuk dilakukan jika ternyata aku dapat mengikuti jejaknya" (Oo-dwkz-oO) UDARA merasuk ke dalam lorong seperti memancing kudaku untuk tambah melaju, tetapi kudaku tidak lantas lari melaju, karena memang selain masih ada saja celah menganga di dasarnya, dasar lorong pun tidak selalu rata melainkan berbatu-batu, bahkan tidak jarang naik dan turun dalam kecuraman yang masih juga berbahaya. NAMUN pagi memang seperti memenuhi janji. Lorong yang semula lurus saja dan kini semakin berliku-liku itu betapapun semakin lama semakin terang. Lorong berliku-liku itulah yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ telah membuat cahaya pagi yang memang masih dini menjadi sangat samar-samar. Langit telah menjadi ungu muda ketika aku tiba di mulut lorong. Aku berhenti sejenak, tidak langsung menuju keluar. Pikiranku memang masih dan tidak boleh lepas dari Harimau Perang. Mengetahui siapa yang kuikuti, dan mengandaikan bahwa ia tahu sedang kuikuti, kurasa sangat pantas aku bersikap waspada, betapa cara apapun akan digunakannya untuk menghindarkan diri dari pengawasanku. Aku turun dari kuda. Kutuntun pelahan menuju bibir lorong. Semakin dekat ke bibir lorong itu semakin kudengar suara orang bercakap-cakap. Aku berhenti, bersembunyi di bagian lorong yang masih gelap. Di antara cahaya ungu, kulihat asap, dan samar-samar cahaya kekuningan bergerak-gerak. Aku menengok ke arah suara orang bercakap-cakap itu. Namun segera kutarik kembali kepalaku itu. Zhhlllaabbb! Sebilah pisau menancap pada dinding batu, tepat di depan wajahku! Dua orang yang ternyata sedang bercakap-cakap di depan api unggun itu sekarang tertawa terbahak-bahak. "Hahahahaha! Terkejutkah sobat" Hahahahaha! Maafkan kalau aku bercanda agak keterlaluan! Hahahahaha! Tapi kami juga malas diintip seperti itu! Hahahahaha! Kemarilah sobat, duduk berbincang di depan kehangatan api unggun ini! Teh panas terbaik menantimu di sini!" Pisau yang ternyata gagangnya bertali itu ditarik dan kembali kepada pemiliknya yang menangkap pisau itu dengan tangkas. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku melangkah keluar sambil menghela napas, menyadari diriku ternyata terlalu tegang. Kulepas begitu saja kudaku, yang segera merumput di dekat sebuah pohon. Terlihat sebuah gubuk darurat dan dua ekor kuda, tentu milik kedua orang yang sedang bercakap-cakap di depan api unggun itu. Mereka memperhatikan diriku yang mendekat tanpa membawa senjata apa pun, dan mereka tentu segera tahu betapa diriku yang berkulit sawo matang ini seorang asing. Untunglah aku sungguh telah belajar keras di Kuil Pengabdian Sejati, serbasedikit tentang bahasa Negeri Atap Langit. "Kemarilah sobat! Jangan takut! Kami orang yang cinta damai! Jelaskanlah siapa dirimu, dari mana asalmu, dan ke mana tujuanmu?" Aku pun menjura dengan takzim. "Maafkan sahaya yang tidak mengenal adat istiadat daerah ini, wahai para pendekar yang perkasa. Sahaya hanyalah seorang pengembara hina dina tiada bernama asal Javadvipa, datang dari An Nam menuju Chang'an yang termasyhur ke seluruh dunia, untuk menyaksikan kegemerlapannya." Mereka berdua pun bangkit menjura. "Ah, Javadvipa! Di sebelah manakah dari Suvarnadvipa kiranya?" "Jika Tuan pernah mendengar tentang Huang-tse, dan kapal-kapal yang berlayar ke Nanyang, di arah yang samalah Javadvipa berada Tuan, tempat terdapatnya kerajaan Mataram." Pagi yang semakin terang memperlihatkan wajah mereka yang kurang mengerti. Tentu sulit sekali lidah mereka mengucapkan Mataram, tetapi kurasa mereka mendengar tentang kapal-kapal Negeri Atap Langit yang berlayar ke selatan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Ah sudahlah! Hentikan basa-basi ini, dan mari makan minum di sini. Dikau tentu lelah sekali mengarungi Celah Dinding berlian malam hari. Sudah jarang orang melakukannya sekarang jika keperluannya tidak mendesak, karena malam lebih mudah membuat orang menjadi gila. T api kulihat dikau tidak gila sobat! Kemarilah, dan jangan panggil pemandu melarat seperti kami sebagai Tuan! Hahahahaha!" Tidak dapat kuceritakan, bagaimana rasanya bertemu manusia kembali dengan rasa persahabatan seperti ini. Memang tidak kuingkari aku dapat mengatasi ruang dan waktu sepuluh tahun di dalam gua, ketika memasukinya pada usia 15 pada 786, dan keluar lagi sudah berumur 25 pada 796, dengan ilmu silat meningkat berlipat ganda, yang karenanya dapat menyelamatkan aku dari berbagai keadaan berbahaya, yang bagi lain orang telah mengirimkannya ke luar dunia. Namun aku memasuki celah sempit dan gelap gulita ini tanpa mengatasi ruang dan waktu sama sekali, sehingga dalam perasaan tertekan, waktu yang semalam bagaikan satu tahun lamanya. MASIH beruntung aku sempat lama tenggelam dalam perenungan atas pemikiran Yangzi dalam hubungannya dengan guratan gambar-gambar di atas aksara pada dinding raksasa, sehingga perjalanan dalam kegelapan sedikit banyak tidak memberi gangguan perasaan berarti. Betapapun siapalah kiranya tidak akan merasa tegang ketika dasar lorong setiap saat bisa menjadi jurang menganga bergema yang harus Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dilompati" ''Beristirahatlah di s ini dahulu sobat, nikmatilah air teh yang masih panas ini.'' Aku duduk dengan perasaan bahagia. Kuterima uluran tempat minum dari tembikar itu, lantas menerima tuangan teh panas itu dari dalam poci. Kusalurkan rasa panas pada tembikar tempat minum yang kupegang itu, menjadi hawa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ hangat yang mengaliri seluruh tubuhku. Aku bahkan memejamkan mata sejenak untuk menikmatinya. Ketika aku membuka mata, kusaksikan dua wajah yang tampak riang melihat bagaimana aku menjadi bahagia. ''Lihat tamu kita ini Serigala Putih, rupanya teh oolongmu itu telah membuatnya bahagia,'' ujar yang berkulit lebih gelap. ''Jangan berlebihan Serigala Hitam,'' ujar yang berkulit lebih terang, ''siapa pun tentunya akan bahagia setelah menyeberangi celah itu sepanjang malam sendirian saja.'' ''Selamat pula! Huahahahaha!'' ''Ya, selamat pula! Hahahaha!'' Kemudian mereka pun bercerita, bahwa sudah sangat biasa jika seseorang memasuki celah itu sendiri saja pada malam hari, ketika keluar sudah menjadi kosong matanya, bersenandung sendiri, berjalan seperti orang buta yang melangkahkan kaki di tepi jurang seolah di tengah lapangan, hanya untuk terpeleset dan melayang ke balik mega, yang masih selalu mengambang di atas jurang. Cerita seperti ini membuat banyak orang yang harus bepergian melalui celah saling menunggu sampai jumlahnya cukup, kadang hanya tiga orang, tetapi tidak jarang sampai duapuluh orang, lelaki maupun perempuan, tua maupun anak kecil, untuk menyeberang bersama, dengan menyewa pemandu pula. Jika mereka yang bermaksud menyeberang biasanya berasal dari kota di bawah gunung, artinya masih daerah pinggiran juga, maka yang menjadi pemandu adalah mereka yang disebut penduduk asli dari pemukiman yang tidak pernah tampak dari jalan sempit di tepi jurang tersebut. Penduduk yang terbentuk dari para pelarian dalam pemberontakan dari wangsa ke wangsa, dari maharaja ke maharaja, beranak pinak di sana sambil terus mewariskan cita-cita; tetapi sete lah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ berpuluh tahun, tidak semua orang berpikir terlalu sungguhsungguh akan cita-cita tersebut. Mereka yang menerima kenyataan telah menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga mampu mengembangkan kemampuan untuk hidup dalam keterasingan pegunungan batu serba curam itu, dalam kedudukan mereka sebagai pelarian yang harus terus menerus bersembunyi dan berjaga-jaga terhadap penyerbuan pasukan Negeri Atap Langit. Namun tidak semua orang sudi berkebun di lereng sempit, miring, dan tersembunyi. Bahkan untuk menjadi pemburu atau penjerat binatang pun mereka ini terlalu malas. Akibat terburuk dari keadaan ini adalah semakin banyaknya rombongan penyamun di sepanjang perbatasan, justru terutama di wilayah lautan kelabu gunung batu, yang jauh dari pusat kekuasaan manapun. Akibat sebaliknya pun juga terjadi, bahwa mereka yang hanya mampu memainkan senjata, demi sebuah penyerbuan ke kotaraja suatu ketika di masa depan meski takjelas kapan, justru menjual jasa untuk melindungi siapapun yang merasa terancam oleh para penyamun, sebagai para pengawal perjalanan yang dalam tugasnya juga menjadi pemandu. Jadi selain terdapat para penjual jasa pengawalan bersenjata dari kota di kaki bukit, seperti yang mengawal rombongan pemain wayang sambil merangkap sebagai pembawa barangnya, terdapat pula para penjual jasa dari berbagai pemukiman tersembunyi di lautan kelabu gunung batu ini, yang melayani penduduk di sekitar Celah Dinding Berlian ini saja. Bahkan dalam hal kedua orang yang sangat ramah ini, mereka hanya melayani pemanduan untuk menyeberangi Celah Dinding Berlian ini saja. ''Begitulah keadaannya di tempat ini sobat! Kami tahu diri untuk selalu dibayar lebih murah dari para pengawal perjalanan dari kota, karena yang menyewa kami adalah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mereka yang bermukim di wilayah tanpa peredaran uang sama sekali! Hahahahaha!'' MEREKA berdua tertawa terbahak-bahak, seperti menertawakan diri mereka sendiri. Sementara mendengarkan mereka bercerita sambil minum teh, cahaya pagi yang semakin terang memperjelas sosok mereka. Busananya memang sudah lusuh dan tidak berwarna, tetapi mereka tetap mengenakan fu tou atau turban yang menutupi kepala mereka, sesuai aturan berbusana yang benar dalam peradaban Wangsa Tang. Artinya mereka adalah keturunan dari apa yang disebut Pemberontak Baru, yakni mereka yang terlibat permainan serta perebutan kekuasaan semasa Wangsa Tang, bukan sebelumnya, apalagi sejak Wangsa Han ratusan tahun berselang, yang pemukimannya pun ada di antara salah satu lembah dan lereng di lautan kelabu gunung batu. Bahkan setelah lebih cermat mengamati, pada fu tou mereka terdapat hiasan yang disebut jin zi, dan itu berarti mereka adalah keturunan pemberontak pada masa Wangsa Tang pertengahan sampai sekarang, sesuai dengan kemunculan gaya fu tou semacam itu, yakni seperti terdapat dua bola di atas turban tersebut, semacam dua sayap di samping kiri dan kanan, dengan tali pengikatnya yang melambai dalam gelak tawa mereka. Keduanya juga mengenakan jubah penahan dingin, dengan leher bulat, sementara sepatu mereka yang menutupi betis tampak bahwa aslinya berwarna hitam, tetapi yang telah menjadi begitu kusam sehingga warnanya hilang, serupa dengan warna jubahnya yang juga tidak jelas. Ini karena mereka hidup di gunung, pikirku, tempat yang jauh dari kota, dan tampaknya juga tidak punya uang atau tidak tertarik membeli baju warnawarni yang kadang-kadang dijajakan para pedagang keliling yang berani mengunjungi tempat terpencil penuh penyamun ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Mereka menyandang golok dengan ketajaman pada satu sisi dan bukan pedang dengan ketajaman pada dua sisi, yang memang ditempa demi seni memainkan ilmu pedang, yang sepintas lalu menandakan bahwa jenis ilmu mereka bukan dari jenis yang canggih atau berseni tinggi. Meski begitu, sejauh ini pengalamanku mengatakan, tinggi rendah ilmu s ilat seseorang tidak ditentukan oleh jenis ilmu silat ataupun senjata yang dimiliki, melainkan oleh seberapa jauh ilmu silat dan senjata itu dikuasai. Mereka yang memiliki perbendaharaan 2.000 jurus bisa dikalahkan oleh mereka yang hanya menguasai lima atau tujuh jurus sahaja, tetapi menguasainya dengan begitu fasih sebagai bagian hidup sehari-hari, daripada yang telah memiliki begitu banyak jurus tanpa sempat mempergunakannya sama sekali. Apalagi jika dima inkan di lingkungan alam tempat ilmu silat itu diciptakan. Kuingat cerita tentang Pendekar Serigala Putih, yang disebut datang dari Negeri Tartar yang baru kuketahui sekarang merupakan istilah yang kacau, yang pernah menculik diriku ketika usiaku empat tahun dan terbunuh oleh pedang ayahku. Namun aku tidak merasa terlalu perlu menanyakan, setidaknya untuk saat ini, ketika aku baru saja keluar dari lorong kegelapan yang sangat menekan perasaan, dan disambut mereka dengan tangan terbuka, yang membuat aku seperti baru mengerti artinya keramahan. "Kemarikan cawan dikau, kutambah lagi tehnya," ujar Serigala Hitam sembari menuang lagi ke dalam tempat minum tembikar yang disebutnya cawan itu. Aku menerimanya dengan riang, juga seperti baru pertama kali ini mempunyai teman. "Lihatlah bagaimana matahari akan muncul sobat," ujar Serigala Merah, "sudah lama matahari tidak terlihat cahayanya seperti ini, sampai muak aku dengan kabut setiap hari." Tentu aku tahu kabut macam apa yang dimaksudnya, yang telah kuarungi berhari-hari bagai tidak akan pernah berhenti, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang sebetulnya tetap ada juga di sini, sehingga orang-orang yang terguncang jiwanya langsung terpeleset masuk jurang, ketika melangkah terseok-seok keluar dari celah tanpa menyadari keberadaan lingkungan. Bagaikan kulihat sendiri titik cahaya matahari terdepan melesat dari balik langit yang masih ungu, langsung menyepuh dedaunan di sekitarku, kelopak bunga-bunga yang tidak kuketahui namanya, dan bagaikan serentak membangunkan burung-burung dan serangga. Di antara semak kulirik seekor kadal yang melangkah berhati-hati, sikapnya diam dan waspada, berjaga apakah ada bahaya menanti. Sangat kukagumi ge-merlap kulitnya, antara hijau kekuningan berganti-ganti di bawah rembesan cahaya yang menimpa dedaunan di atasnya. Kukatakan aku meliriknya, karena jika aku menatapnya langsung, aku takut kadal yang tampaknya juga mengawasi kami itu berkelebat pergi. SERIGALA Merah dan Serigala Hitam bukan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. ''Serigala Merah, ajaklah sobat kita berjalan-jalan sedikit. Kita tahu pasti apa saja yang telah dialam i di seberang sana dengan penyamun-penyamun gila di balik kabut itu. Perlihatkanlah kepadanya apa saja yang bisa terlihat di bawah matahari kita, Serigala Merah, karena jika hanya kadal, kukira tidak ada bedanya dari kadal di wilayah Huang-tse bukan" Hahahahaha! Ayolah!'' Serigala Merah pun melompat berdiri. Ia tersenyum melirikku penuh arti. ''Marilah sobat yang mengaku tidak bernama, marilah kuperlihatkan segala sesuatu! Kami tahu dirimu bisa mengikutiku, karena kami bisa membaca ilmu silatmu hanya dari langkah kakimu!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku terpana. Serigala Merah dan Serigala Hitam tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya bergema dipantulkan dindingdinding jurang yang serba curam dan menganga. ''Hahahahahahahahaha! Huahahahahahahaha! Sobat kita mengira bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa, ketika dengan tenangnya ia menghindari pisau kita! Huahahahahahahaha!'' Suara tawanya itu disambut ringkik kuda Uighur itu pula, membuat mereka tertawa semakin keras sahaja. ''Dengar! Kuda dikau pun menyetujuinya! Huahahahahaha!'' ''Huahahahahahaha!'' Aku baru saja meletakkan tembikar yang disebut cawan itu, ketika Serigala Merah menggamit tanganku, dan menyeretku terbang ke atas jurang. Namun di atas jurang ia melepaskan tanganku itu, seperti yakin betapa aku akan bisa terbang mengikutinya. ''Ikuti daku, sobat, eh benarkah dikau tak bernama"'' Serigala Merah bertanya seperti sambil lalu saja. ''Memang begitulah katanya,'' jawabku, mencoba menghindari perbincangan soal nama. ''Hmm. Mungkin enak juga tiada bernama ya" T iada beban memenuhi harapan orangtua! Hahahahaha!'' Aku bersyukur Serigala Merah tidak bertanya-tanya lagi, karena sembari kami melenting ringan dari dahan ke dahan, untuk kemudian terbang melayang membentangkan tangan seperti burung elang, ia menunjukkan segala pemandangan yang memang sangat menggugah. Meskipun wilayah ini masih serupa dengan lautan kelabu gunung batu di seberang celah, memudarnya kabut dalam suasana pagi ketika matahari baru saja terbit, memperlihatkan pemandangan yang sungguh. Segalanya yang semula tertutup kabut maupun tak terlihat karena perhatian terpusatkan kepada segenap ancaman bahaya, kini menjadi terbuka. Dedaunan yang masih basah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ berkilat keemasan dan bergoyang-goyang dalam embusan angin pagi, sehingga cahaya yang mengertap sepanjang lembah diiringi bunyi desiran itu seperti memberikan pesan tertentu yang tidak terucapkan. Di balik tabir cahaya pagi itulah kini dapat kusaksikan bagaimana marmot gunung bergegas lari ke liang bawah tanah, ketika elang emas menukik untuk memangsanya. Sarang elang memang selalu dibuat di puncak karang dan sulit didekati, dan mangsanya selalu saja marmot. Maka marmot selalu melindungi diri dengan hidup di lereng karang bercelahcelah kecil, tempat marmot menggali liang atau mendapat perlindungan sementara untuk menghadapi serangan mendadak. Dengan marmot lainnya mereka saling memberi tanda datang bahaya dengan bercuit-cuit. Kuperhatikan satwa gunung yang kecil-kecil ini, bundar berbulu, kakinya pendek, telinganya kecil, sering membulatkan diri untuk mengumpulkan panas tubuh di udara dingin. Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sebaliknya ketika udara panas, marmot mendinginkan dirinya dengan merentangkan badan di tempat berangin, atau berbaring dengan perutnya yang berbulu tipis di tempat bersalju. Kuperhatikan juga kelinci berkaki putih, yang sedang meringkuk dengan kaki dilipat ke bawah dan telinga teracung ke belakang, nyaris seperti bola berbulu. Kelinci dapat meringkuk takbergerak selama berjam-jam di salju tanpa kedinginan. Semakin turun suhunya, semakin mengembanglah bulunya, serta membundar pula tubuhnya. Namun sebenarnya satwa ini ramping dan berkaki panjang. Bila kelinci gunung diburu, ketika sedang kehilangan panas karena perserapan tubuh, suhu tubuhnya dapat melonjak mendadak sampai duapuluh kali lipat daripada suhu ketika tubuhnya diam, maka bentuknya akan sangat berubah, sehingga dapat lari dalam puncak kecepatan, sampai cukup jauh, tanpa pingsan kehabisan nafas. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ SERIGALA Merah dan Serigala Hitam bukan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. ''Serigala Merah, ajaklah sobat kita berjalan-jalan sedikit. Kita tahu pasti apa saja yang telah dialam i di seberang sana dengan penyamun-penyamun gila di balik kabut itu. Perlihatkanlah kepadanya apa saja yang bisa terlihat di bawah matahari kita, Serigala Merah, karena jika hanya kadal, kukira tidak ada bedanya dari kadal di wilayah Huang-tse bukan" Hahahahaha! Ayolah!'' Serigala Merah pun melompat berdiri. Ia tersenyum melirikku penuh arti. ''Marilah sobat yang mengaku tidak bernama, marilah kuperlihatkan segala sesuatu! Kami tahu dirimu bisa mengikutiku, karena kami bisa membaca ilmu silatmu hanya dari langkah kakimu!'' Aku terpana. Serigala Merah dan Serigala Hitam tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya bergema dipantulkan dindingdinding jurang yang serba curam dan menganga. ''Hahahahahahahahaha! Huahahahahahahaha! Sobat kita mengira bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa, ketika dengan tenangnya ia menghindari pisau kita! Huahahahahahahaha!'' Suara tawanya itu disambut ringkik kuda Uighur itu pula, membuat mereka tertawa semakin keras sahaja. ''Dengar! Kuda dikau pun menyetujuinya! Huahahahahaha!'' ''Huahahahahahaha!'' Aku baru saja meletakkan tembikar yang disebut cawan itu, ketika Serigala Merah menggamit tanganku, dan menyeretku terbang ke atas jurang. Namun di atas jurang ia melepaskan tanganku itu, seperti yakin betapa aku akan bisa terbang mengikutinya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Ikuti daku, sobat, eh benarkah dikau tak bernama"'' Serigala Merah bertanya seperti sambil lalu saja. ''Memang begitulah katanya,'' jawabku, mencoba menghindari perbincangan soal nama. ''Hmm. Mungkin enak juga tiada bernama ya" T iada beban memenuhi harapan orangtua! Hahahahaha!'' Aku bersyukur Serigala Merah tidak bertanya-tanya lagi, karena sembari kami melenting ringan dari dahan ke dahan, untuk kemudian terbang melayang membentangkan tangan seperti burung elang, ia menunjukkan segala pemandangan yang memang sangat menggugah. Meskipun wilayah ini masih serupa dengan lautan kelabu gunung batu di seberang celah, memudarnya kabut dalam suasana pagi ketika matahari baru saja terbit, memperlihatkan pemandangan yang sungguh. Segalanya yang semula tertutup kabut maupun tak terlihat karena perhatian terpusatkan kepada segenap ancaman bahaya, kini menjadi terbuka. Dedaunan yang masih basah berkilat keemasan dan bergoyang-goyang dalam embusan angin pagi, sehingga cahaya yang mengertap sepanjang lembah diiringi bunyi desiran itu seperti memberikan pesan tertentu yang tidak terucapkan. Di balik tabir cahaya pagi itulah kini dapat kusaksikan bagaimana marmot gunung bergegas lari ke liang bawah tanah, ketika elang emas menukik untuk memangsanya. Sarang elang memang selalu dibuat di puncak karang dan sulit didekati, dan mangsanya selalu saja marmot. Maka marmot selalu melindungi diri dengan hidup di lereng karang bercelahcelah kecil, tempat marmot menggali liang atau mendapat perlindungan sementara untuk menghadapi serangan mendadak. Dengan marmot lainnya mereka saling memberi tanda datang bahaya dengan bercuit-cuit. Kuperhatikan satwa gunung yang kecil-kecil ini, bundar berbulu, kakinya pendek, telinganya kecil, sering membulatkan diri untuk mengumpulkan panas tubuh di udara dingin. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sebaliknya ketika udara panas, marmot mendinginkan dirinya dengan merentangkan badan di tempat berangin, atau berbaring dengan perutnya yang berbulu tipis di tempat bersalju. Kuperhatikan juga kelinci berkaki putih, yang sedang meringkuk dengan kaki dilipat ke bawah dan telinga teracung ke belakang, nyaris seperti bola berbulu. Kelinci dapat meringkuk takbergerak selama berjam-jam di salju tanpa kedinginan. Semakin turun suhunya, semakin mengembanglah bulunya, serta membundar pula tubuhnya. Namun sebenarnya satwa ini ramping dan berkaki panjang. Bila kelinci gunung diburu, ketika sedang kehilangan panas karena perserapan tubuh, suhu tubuhnya dapat melonjak mendadak sampai duapuluh kali lipat daripada suhu ketika tubuhnya diam, maka bentuknya akan sangat berubah, sehingga dapat lari dalam puncak kecepatan, sampai cukup jauh, tanpa pingsan kehabisan nafas. semakin besar jalan semakin besar kekosongan sesuatu tentang bukan sesuatu membuat kita mampu menggunakan apa yang ada dari yang tidak ada jadi, tolong katakan kepadaku mana yang lebih dikau sukai: keberadaan atau ketiadaan" Aku pun jadi ikut berpikir, apakah pemandangan juga ada dari sesuatu yang tidak ada" Aku tidak sempat memikirkannya lebih jauh ketika Serigala Merah memberi tanda, bahwa sesuatu sedang berlangsung di suatu tempat di bawah sana. Kuperhatikan, ternyata di sebuah titian batu di atas jurang curam, seorang tua berkuda sedang dicegat dua orang penyamun di depan dan belakang. Kuda itu tidak bisa maju TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dan tidak bisa mundur, sedangkan kedua penyamun itu sudah menghunus kelewangnya masing-masing. Serigala Merah segera mengarahkan dirinya ke sana, sambil memberi tanda bahwa ketika ia menyerang penyamun yang mencegat di depan, aku menyerang penyamun yang siap membacok dari belakang itu. Kedua penyamun yang mencegat seorang tua di atas kuda pada titian itu tentu tidak pernah menduga, betapa dari langit datang serangan mendadak secepat kilat bagaikan burung elang menyambar mangsa! (Oo-dwkz-oO) Episode 176: [Demi Sebuah Rahasia] SERIGALA Merah meluncur ke bawah sambil mencabut golok yang menyilang di punggungnya. Penyamun yang sedang menikmati kekuasaannya, dengan mencegat lelaki tua berkuda di tengah titian batu sempit di atas jurang curam itu, memang tidak mengira akan mendapat serbuan Serigala Merah dari angkasa. Namun masih cukup waktu baginya untuk berkelit dan membabat perut Serigala Merah yang terbuka dengan kelewang, meski ternyata Serigala Merah dalam laju kecepatannya mampu melenting jungkir balik di atas kepala penyamun itu, dan tinggal menjejakkan kedua kaki ke punggungnya. Tanpa ayal, penyamun itu terjerumus langsung masuk ke jurang. Udara sedang bersih dan cahaya terang, sehingga dapat dilihat tubuhnya melayang jatuh, makin lama makin mengecil dan tidak terlihat lagi. Pada saat yang sama, aku juga menghindari sambaran kelewang yang menyambut serbuanku dari atas, dan sembari berkelit kutepuk ubun-ubun penyamun itu dengan tangan kiri. Ia sudah tidak bernyawa ketika tubuhnya terseret tenaga ayunan kelewangnya tersebut, langsung melayang ke bawah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ seperti saling berlomba dengan kawannya yang ketika jatuh masih hidup dan mengeluarkan teriakan panjang. ''Aaaaaaaaaa...!'' Teriakan itu belum hilang suaranya dan kami bahkan belum saling berpandangan di atas titian batu, ketika dari kedua sisi lereng yang dihubungkan oleh titian itu me luncur puluhan anak panah, yang langsung melesat ke arah Serigala Merah, diriku, maupun lelaki tua di atas kuda itu! Kulihat lelaki tua itu bahkan tidak menyadari betapa puluhan anak panah dari kedua sisi lereng sedang meluncur dengan jaminan ketepatan penuh kepastian. Anak-anak panah itu akan merajamnya! Jika diriku dan Serigala Merah menangkis anak-anak panah yang melesat sangat amat cepat itu, maka tiada lagi yang akan bisa menyelamatkan nyawa si lelaki tua. Kiranya inilah saatnya untuk bergerak secepat aku memikirkannya. Serigala Merah memutar goloknya seperti baling-baling sementara tubuhnya sendiri berputar seperti pusaran dan anak-anak panah itu pun berhamburan patah-patah beterbangan, tetapi saat itu lelaki tua tersebut sudah lenyap dari atas kudanya, karena aku telah menyambarnya ke angkasa. ''Peganglah sahaya Bapak,'' kataku cepat dalam bahasa Negeri Atap Langit tanpa kuketahui benar dan tidaknya. Ia memeluk leherku, dan itu sangat mengganggu. Padahal aku bukannya terbang seperti burung, sehingga terdapat saat berhenti di udara karena beban itu, saat serangan anak-anak panah susulan telah mengepungku dari dua sisi. HANYA dengan Jurus Tanpa Bentuk maka rajaman anakanak panah itu bisa kuhindari. Kurang dari sekejap aku sudah berada di atas titian batu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Sahaya tinggal sebentar Bapak," kataku sambil menurunkan lelaki tua itu di atas titian. Kudanya telah jatuh ke jurang tersambar anak-anak panah. Dalam sekali tatap dengan Serigala Merah, kami sudah tahu tugas masing-masing, yakni meluncur ke salah satu sisi lereng dan membereskan para penyamun, yang kekejamannya terlihat sangat jelas. Jika anak-anak panah yang dilepaskan itu semuanya mengenai sasaran, seluruhnya akan menancap ke tubuh kami sampai tembus, membuat tubuh akan mirip seekor landak. Jarak antara kedua sisi lereng pada masing-masing ujung jembatan itu cukup jauh, jadi aku melesat di bawah titian ketika menyerang, dan hanya muncul tepat di ujungnya, untuk kemudian berkelebat amat sangat cepat sepanjang lereng tempat para penyamun berpanah dalam kedudukan tepat untuk membidik. Aku bergerak secepat aku memi-kir-kan-nya, sehingga para penyamun itu masih sedang membidik, ketika aku melesat sepanjang jalan sempit membagi-bagikan maut bagaikan seorang dewa pencabut nyawa. Namun bagi mereka yang bermaksud merajam dengan anak-anak panahnya, aku ragu apakah kematian tiba-tiba tanpa terasa yang kuberikan ini tidak terlalu ringan bagi mereka. Untuk sejenak, aku pun ragu, apakah diriku berhak menghukum mereka, seolah-olah mereka dapat kupastikan bersalah" Peristiwa berlangsung begitu cepatnya, sehingga tidak sempat kupertimbangkan betapa sebenarnya para pemanah ini dapat dibuat tiada sadarkan diri sahaja. Kong Fuzi berkata: merubuhkan sebatang pohon membunuh seekor binatang bukan pada musim yang pantas berlawanan dengan tali kebaktian terdapat tiga ribu pelanggaran TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang terhadapnya lima hukuman terarahkan dan tiada satu pun darinya lebih besar dari terputusnya ikatan Tidak kurang dari lima puluh pemanah bergeletakan sepanjang lereng. Di seberang jurang, kulihat Serigala Merah masih mengamuk dengan dua senjata, golok maupun pisau bertali itu. Ia melenting-lenting dengan ringan dari batu ke batu dengan golok yang telah berubah menjadi baling-baling di tangan kiri, sementara pisau bertali di tangan kanannya memagut-magut seperti ular senduk yang sangat berbisa. Di sana para pemanah sempat mengeluarkan kelewang dan mengeroyok, tetapi cukup melihatnya sepintas saja kutahu Serigala Merah tidak memerlukan bantuan. Aku menatap kembali lima puluh pemanah yang bergeletakan sepanjang lereng. Di kedua sisi jumlah mereka semua menjadi seratus, dengan dua pencegat di titian batu menjadi seratus dua orang. Untuk merampok seorang lelaki tua yang menunggang kuda, apakah jumlah ini tidak terlalu banyak" Aku merasa curiga, karena dua penyamun yang kami jatuhkan ke jurang itu cukup lusuh, tetapi mereka yang bergeletakan ini busananya serbacerah dan berwarna-warni. Mereka tidak seperti penyamun yang sudah lama hidup Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo serbasusah di gunung. Kuhampiri mayat terdekat, dan kubolak-balik. Masih banyak anak panah tersimpan pada tempatnya yang tergantung di pinggang, dan setelah kuperiksa anak panahnya, kukira itu juga bukan anak panah yang dibuat dalam keterbatasan pedalaman. Ini jelas anak panah yang disediakan oleh negara bagi pasukannya. Tidaklah mungkin ujung anak panah terbungkus logam tajam yang pasti dicetak itu terbuat di atas gunung ini. Sebagai orang asing, aku tidak dapat membaca tanda-tanda lebih banyak, tetapi dari pengetahuanku yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ serbasedikit tentang serba-serbi Negeri Atap Langit, dapat kuduga bahwa lima puluh pemanah yang menemui ajalnya di sini adalah para anggota pasukan pemerintahan Wangsa Tang. Sejauh yang kuketahui, berbeda dari Wangsa Sui yang mengambil saja baju tempur ming gua kai atau baju tempur utama dengan leher melengkung, tutup bahu, dan dua piringan pelindung bagi dada dan punggung, dari Wangsawangsa Utara dan Selatan; Wangsa Tang sengaja membedakan diri. Seragam tentara Wangsa Tang membedakan antara perwira, yang mengenakan jubah, dan serdadu, yang mengenakan sekadar baju lapisan kedua. SEJAK masa Yan Zai, jubah perwira disulam dengan gambaran singa dan harimau untuk mendorong keberanian dan kekuatan pemakainya. Betapapun, ming gua kai masih merupakan lapisan pelindung utama, dengan susunan kulit, piringan logam, dan cincin-cincin berangkainya, meski terdapat sedikit perubahan pada susunannya itu. Misalnya ditambahkan busana berpipa yang disebut celana di bawah pinggang dan sepasang penutup kaki yang ditempelkan pada tulang kering. Dalam pemerintahan Wangsa Tang sekarang ini, busana tempur terutama dibuat dari besi dan kulit. Di antara tiga belas jenis busana tempur yang tercatat dalam Enam Peraturan Wangsa Tang, enam di antaranya terbuat dari besi yang dibentuk serta ditempa dengan indah dan halus, yakni selain busana tempur utama, juga busana tempur utama pinggang, busana tempur ukuran kecil, busana tempur bergambar gunung, busana tempur godam hitam, dan busana tempur rantai. Bagian-bagiannya tersambung oleh potongan kulit atau paku. Busana tempur jenis lain sebagian besar terbuat dari kulit. Selain dari jenis besi dan kulit terdapat juga busana tempur kain putih, sutera hitam, dan rompi kapas yang terbuat dari TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tenunan kapas dan sutera. Meskipun ringan, mudah dikenakan dan tampak menarik penampilannya, tidaklah layak untuk keperluan pertempuran, dan hanya dikenakan oleh para perwira di masa damai atau pengawal kehormatan. Akhirnya, pasukan berkuda maupun pasukan jalan kaki mengenakan busana tempur yang terbuat dari kayu. Dari apa yang kulihat, aku bersimpulan barisan panah ini masih terikat sebagai satu kesatuan, lengkap dengan pemimpin pasukan yang dapat diperiksa dari perbedaan busananya. Mereka memang tidak berseragam seperti dalam perang antarnegara, tetapi meskipun tidak seragam, dan juga tidak resmi, selalu ada bagian dari perlengkapan busananya yang terhubungkan dengan seragam resmi tentara Wangsa Tang. T erutama alas kaki yang disebut sebagai sepatu, yang menutup kaki mulai dari bawah lutut itu, sepertinya hanya mungkin dibagikan oleh negara kepada serdadu. Jadi mereka seperti berusaha menyamar agar tidak sebagai barisan tentara, tetapi dengan cara menyamar yang kukira cukup ceroboh, sehingga mudah tersingkap sekali pandang. Namun kukira terdapat alasan yang lebih kuat dari sekadar kecerobohan. Pertama, mungkin saja mereka terlalu percaya diri betapa tugas akan sangat mudah diselesaikan; kedua, penugasan ini memang sangat mendadak, begitu rupa mendadaknya sehingga penyamaran hanya dilakukan seadanya, bagaikan hanya basa-basi saja. Apakah yang terjadi" Cahaya pagi berkilauan dipantulkan titik-titik air lembut di udara membentuk tabir yang menutupi pandangan ke titian batu, tetapi ada selapis cahaya bagaikan lebih terang dari lapisan-lapisan cahaya lainnya, membuat titian itu terang keemas-emasan. Lelaki tua itu masih berdiri sendiri di sana. Aku teringat bagaimana kedua penyamun yang mengepungnya. Tampaknya memang cara ampuh untuk mencegat dan membuat korban kebingungan, seperti yang TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pernah dilakukan kepadaku ketika baru beberapa saat memasuki wilayah lautan kelabu gunung batu. Terutama aku teringat wajahnya. Cara tertawa penuh perasaan jumawa dan berkuasa yang sangat menghina, menyaksikan kedudukan calon korbannya yang lemah dan tidak berdaya. Itu bukan sifat seorang prajurit, apalagi perwira. Sekarang aku merasa mendapat dugaan yang bisa kupercaya. Perbedaan busana antara kedua penyamun di atas titian dengan para pemanah yang pernah terpikir olehku memang bukan tanpa makna. Kukira kedua penyamun itu sebetulnya juga menjadi sasaran untuk dihabisi oleh para pemanah, tetapi karena aku dan Serigala Merah sudah menjatuhkan mereka berdua, maka kamilah yang menjadi sasaran anak-anak panah yang bermaksud merajam tersebut, bersama dengan sasaran utama mereka, lelaki tua di atas kuda itu! Tentu saja merajam orang tua juga bukan tindakan ksatria. Namun serdadu adalah kanak-kanak yang patuh. Siapakah kiranya lelaki tua itu, sehingga diperlukan seratus pemanah tepat dan terlatih, yang menantinya melewati titian itu untuk merajamnya" Aku menatap lima puluh mayat bergelimpangan. Siapakah yang akan mengurusnya" Di seberang sana Serigala Merah sudah nyaris menghabisinya semua. Sejak tadi jeritan maut terdengar bagaikan tiada hentinya. Aku segera melesat, tetapi sudah terlambat. Meski dalam kurang dari sekejap mata telah kuseberangi titian batu untuk sampai ke lereng di seberang, tidak seorang pun tersisa lagi. Seperti diriku, agaknya Serigala Merah juga terbawa perasaan karena maksud para pemanah untuk merajam seorang tua tersebut. AKU menghela napas. Tidakkah kematangan seorang pendekar juga ditentukan oleh kemampuan mengatasi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ perasaan semacam itu" Jika untuk setiap nyawa manusia yang hilang harus ada pertanggungjawaban dan kupikir seharusnya memang begitu, masih mungkinkah gagasan tentang kesempurnaan diperbincangkan" Bagaikan baru sekarang kutangkap makna lain siasat Sun Tzu: mengalahkan musuh tanpa pertempuran adalah puncak keunggulan Serigala Merah menyimpan kembali pisau bertalinya, tetapi masih memegang goloknya yang sampai ke pangkalnya bersimbah darah. "Apakah mereka pasukan Wangsa Tang?" tanyaku, karena semua dugaanku betapapun adalah dugaan seorang asing. "Ya, kami sudah terbiasa dengan mereka, yang setiap kali dikirim untuk membasmi para penyamun maupun sisa pemberontak. Tidak peduli bahwa sisa pemberontak itu banyak yang sudah uzur dan mati, tinggal keturunannya yang tidak tahu menahu dan lahir di sini." "Siapakah kiranya orang tua itu?" "Itulah. Memang bagus kalau penyamun itu yang mereka bunuh, tetapi janganlah orang tua berkuda seorang diri seperti itu. Sekarang kudanya juga sudah melayang ke jurang." Agaknya Serigala Merah juga menangkap apa yang kulihat, bahwa kedua penyamun yang kami jatuhkan ke jurang itu ternyata sedang dibidik oleh seratus pemanah dari kedua sisi lereng. Hampir bersamaan kami menoleh, ketika orang tua itu seperti tiba-tiba saja sudah berada di hadapan kami, ia segera bersujud sambil menangis, mengetuk-ngetukkan kepalanya berkali-kali di atas jalan batu yang sempit ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sepengetahuanku cukup tiga kali ia mengetuk-ngetukkan kepala ke jalan untuk menyatakan terimakasihnya, tetapi agaknya perasaan tertekan berkepanjangan yang kini terbebaskan telah membuat lelaki tua itu bagai akan mengetuk-ngetukkan kepala tanpa ada habisnya. Sampai aku khawatir keningnya itu akan terluka. Sedari tadi ia tidak mengucapkan apapun. Serigala Merah mendekati dan menggamitnya. "Sudahlah Bapak," ujarnya, "bahaya yang mengancam sudah berlalu, ceritakanlah saja mengapa pasukan panah pemerintah berniat membunuh Bapak.i Lelaki itu menengadah, dan kulihat wajah yang sangat menyedihkan. Derita macam apakah yang telah menimpa orang tua berpakaian bagus ini, sehingga bisa penuh dengan penderitaan seperti itu" Ia masih menangis. Serigala Merah mulai terlihat tidak terlalu sabar. "Kami mengerti Bapak, sudahlah, sekarang ceritakanlah." Lelaki tua itu pun bersuara, tetapi kemudian terdengar suara yang aneh. Ia berbicara seperti orang gagu, seperti orang bisu! Kusaksikan betapa mengenaskannya kesulitan menyampaikan pesan, apalagi jika pesan itu mewakili kehendak yang terdalam. Bagaikan kehidupan yang terbungkam. Apakah lelaki tua itu memang bisu" "Aaaiiiiiwongeauiekaukziiieeengukhhaa..." Memang seperti orang bisu, tetapi mereka yang bisu biasanya sudah mahir berbicara dengan cara lain, menyampaikan maksud dengan gerakan dan ungkapan wajah, bahkan dengan begitu fasihnya sehingga tidak terasa lagi terdapatnya sesuatu yang kurang jelas. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Namun tidak terdapat sesuatu pun yang kami mengerti dari ceracauan dan gerakan tangan tidak jelas yang kacau dari lelaki tua ini, kecuali betapa pandangan matanya mengungkapkan kesedihan yang sangat amat mendalam. Serigala Merah menatapnya saja sambil berpikir keras. Lantas ia menghentikannya. "Bapak, diamlah dahulu. T enanglah." Orang tua itu diam dengan terengah-engah. Matanya masih basah. Namun aku sebetulnya tidak melihat wajah yang pasrah, seperti sesuatu yang sudah menyerah. Betapapun, seorang tua yang diburu dan dicegat seratus pemanah tentara Wangsa Tang kiranya pastilah bukan manusia semacam itu. Meskipun seandainya ia datang dari kota terdekat seperti Kunming, perjalanan yang ditempuhnya pun sudah sama jauh dan sukar seperti kualam i. Apalagi jika ia datang dari Changian, dan aku menduga ia memang datang dari sana, karena hanya seseorang yang pentinglah dapat dipedulikan seratus pemanah begitun rupa sehingga harus membunuhnya. Adapun segala sesuatu yang penting hanya berada di Kotaraja Chang'an. ''TENANGLAH Bapak, sekarang jawablah pertanyaan sahaya, cukup dengan mengangguk atau menggeleng sahaja.'' Lelaki tua mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali. ''Cukup sekali ya Bapak, cukup sekali.'' Ia mengangguk. ''Apakah Bapak datang dari Chang'an"'' Ia mengangguk. ''Apakah Bapak bekerja di istana"'' Ia mengangguk. Kami saling berpandangan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Apakah Bapak memang diburu pasukan panah itu"'' Orang tua itu tidak mengangguk dan tidak juga menggeleng. Ia mengangkat bahu. Serigala Merah menggeleng-gelengkan kepala sambil melihat kepadaku. Aku tahu ini menjadi sulit. Mengangkat bahu bisa berarti ia tidak tahu sama sekali, bisa berarti ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya, dan itu berarti memang ada persoalan menyangkut dirinya dengan istana. Ini tentu tidak bisa dijelaskan dengan cara mengangguk atau menggeleng saja. Harus ada cara bertanya berdasarkan pengetahuan yang cukup banyak dalam hubungannya dengan masalah orang tua tersebut. Tanpa pengetahuan tersebut, tidak terlalu jelas kiranya pertanyaan macam apa yang bisa disampaikan dengan jawab anggukan atau gelengan sahaja. Namun Serigala Merah tampaknya tidak terlalu peduli. ''Kita biarkan saja dia melanjutkan perjalanan,'' ujar Serigala Merah kepadaku, ''kita semua punya urusan masingmasing. Sudah bagus kita sempat menolongnya tadi.'' Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Serigala Merah seperti akan beranjak pergi, dan kukira memang akan melesat pergi, jika tidak kugamit lengannya untuk tetap tinggal. ''Sebentar...,'' kataku, ''kita dengar dulu jawaban pertanyaanku ini...'' Aku pun bertanya. ''Bapak tidak bisa bercerita. Apakah Bapak bisu sejak lahir"'' Ia menggeleng. ''Jadi Bapak sebelumnya bisa berbicara"'' Ia mengangguk. ''Apakah Bapak menjadi bisu karena sakit"'' Ia mengeleng. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Jadi bagaimanakah caranya Bapak menjadi bisu"'' Ia mengangkat bahu lagi. Kukira bukan maksudnya ia tidak tahu, melainkan tentu bahwa ia tidak tahu cara menceritakannya. Berarti pertanyaanku yang keliru. Kucoba menanyakan dugaanku. ''Apakah kebisuan Bapak ada hubungannya dengan perjalanan Bapak"'' Ia mengangguk. ''...dan ada hubungannya dengan pasukan panah itu"'' Ia mengangkat bahu. Salah lagi pertanyaanku. Serigala Merah mendekat, langsung ikut bertanya. ''Apakah Bapak dipaksa untuk menjadi bisu"'' Ia mengangguk. ''Apakah lidah Bapak dipotong"'' Air matanya mendadak berhamburan. Ia menangis dengan suara yang kacau. Kembali mengetuk-ngetukkan kepalanya ke jalan batu. Aku bermaksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi, tetapi ia masih juga menangis dengan bunyi yang terdengar kacau balau. Kukira ia mengucapkan banyak kata-kata, tetapi kata apakah yang masih bisa dimengerti jika diucapkan dengan lidah terpotong seperti itu" Serigala Merah mendekatinya, menggosok punggung orang tua itu. ''Tenanglah Bapak. Kami mengerti penderitaan Bapak. Tenanglah, Bapak sekarang bersama kami.'' Aku juga mendekatinya, memegang kedua tangannya. Berkata pelan sekali kepadanya. ''Apakah Bapak menyimpan sebuah rahasia"'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Ia mengangguk-angguk beberapa kali. Kukira memang itulah sumber masalahnya. Namun aku masih harus mempertanyakan satu hal lagi. ''Apakah hanya Bapak seorang yang mengetahui rahasia itu"'' Ia mengangguk-angguk lagi. Kukira itulah sebabnya ia tidak langsung dibunuh. Jika orang lain sudah mengetahui rahasia itu, dirinya sudah tidak diperlukan lagi dan memang harus dibunuh, agar rahasia terjamin tidak terbongkar. Namun ternyata hanya lelaki tua itulah yang menyimpan rahasia tersebut, maka tentu lidahnya dipotong agar ia tidak dapat membuka rahasia tersebut, dan ia tidak dibunuh karena rahasia yang disimpannya itu begitu pentingnya untuk tetap dibuka, tetapi tidak kepada semua orang. JIKA kemudian diputuskan betapa akhirnya ia tetap dibunuh saja, bukan karena rahasia yang dipegangnya akhirnya diketahui, melainkan karena telah berlangsung suatu peristiwa, yang membuat ia lebih baik dilenyapkan bersama segenap rahasia yang dipegangnya tersebut. Rahasia apakah itu" "Apakah Bapak bisa menulis?" Ia mengangguk. "Apakah Bapak membuka rahasia itu untuk kami?" Ia mengangkat bahu. Aku dan Serigala Merah saling berpandangan. Kini arti mengangkat bahu itu kukira menjadi lebih banyak lagi. Bukan hanya antara rahasia apa yang akan diceritakannya dan bagaimana menceritakan rahasia itu, melainkan apakah rahasia itu perlu diceritakan kepada kami! TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Setelah peristiwa yang hampir menghilangkan nyawanya ini" Namun aku pun tahu, bukanlah pada tempatnya kami memaksa untuk mengetahui rahasia tersebut, hanya karena kami telah menolongnya. Jika rahasia itu menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan, tentulah harus dianggap bahwa Serigala Merah sebagai penduduk pedalaman di perbatasan, keturunan pemberontak pula, tidak mempunyai kepentingan untuk mengetahui rahasia tersebut. Apalagi dengan seorang pengembara asing seperti diriku... Antara diriku dan Serigala Merah telah terjadi saling pengertian dalam tatapan. Serigala Merah berkata sambil menggamit orang tua itu agar berdiri. "Kami tidak akan memaksa Bapak untuk membuka rahasia apa pun yang telah membuat Bapak menderita. Mungkin Bapak ingin me lanjutkan perjalanan" Silakan. Tetapi Bapak sudah tidak memiliki kuda dan Bapak tampak sangat lelah, sedangkan wilayah di depan Bapak itu penuh dengan para penyamun. Jika Bapak sudi, beristirahatlah dahulu di kampung kami. Nanti ada kuda dan pengawal yang bisa mengantar dan melindungi Bapak, ke mana pun Bapak akan pergi," ujar Serigala Merah panjang lebar. Orang tua itu mengangguk. Kuperhatikan wajahnya. Kurasa ia menjadi tampak begitu tua karena terlalu banyak pikiran, dan pikiran itu datang mungkin karena ia terlalu banyak menyimpan rahasia. Kuperhatikan pula seluruh perawakannya. Baru kusadari ia tampak sangat terurus. Memang tidak begitu halus seperti bangsawan, tetapi dengan bekerja di istana tentu berarti seseorang tidak me lakukan kerja kasar yang memerlukan pengerahan tenaga. Ia masih mengenakan jubah sutera ungu, yang kuketahui merupakan busana resmi pejabat peringkat ketiga ke atas. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Jika ia bermaksud melarikan diri dan menempuh perjalanan di lautan kelabu gunung batu, semestinya ia mengganti jubah suteranya yang ungu itu dengan yang kuning, kalau bisa bahkan jangan terbuat dari sutera mahal itu, bahkan sebaiknya warna kuning itu pun sudah hampir hilang. Rakyat biasa dan siapa pun yang tidak bekerja di istana mengenakan busana seperti itu. Sangatlah kentara dalam perjalanannya bahwa ia seorang pejabat istana dari kotaraja. Melihat keadaannya, dan teringat sepintas akan kudanya yang tanpa perlengkapan, kupikir ia telah berangkat melakukan perjalanan dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Dalam keadaan darurat. "Sebaiknya kita berangkat sekarang," ujar Serigala Merah kepadaku, "Serigala Hitam mungkin sudah gelisah, dan orangorang yang mau menyeberang mungkin sudah berkumpul." Sebentar kemudian kami sudah melenting dari puncak batu yang satu ke puncak batu yang lain, dengan orang tua itu di gendonganku. Kulihat dinding-dinding jurang mengapit anakanak sungai, dengan buih memutih dari jeram ke jeram. Kupikir seharusnya aku bisa membuat puisi dari pemandangan semacam itu. Dengan sedih harus kuakui betapa diriku tidaklah mampu, dan hanya teringat puisi Li Bai yang seperti ini: teman lamaku tinggal di Pegunungan T imur ini, mencintai keindahan bukit dan arusnya; pada musim panas ketika segalanya hijau ia berbaring di hutan bahkan ketika matahari tinggi belum juga bangun; angin menderu di sela cemara menyapu debu dunia pergi darinya; lantas di atas batu, mencuci telinga dan hati; TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sekarang diriku, melihat rumahnya merasa damai, takdikacaukan gangguan suara, seperti aku disangga bantal raksasa, dan tidur di antara mega-mega (Oo-dwkz-oO) Episode 177: [Permukiman di Dinding Tebing] ANGIN dingin bertiup di antara kilauan matahari pagi. Serigala Hitam tampak sudah gelisah ketika kami mendarat di tempat perhentian itu. Sudah banyak orang berkumpul di situ yang akan dikawal Serigala Hitam dan Serigala Merah menyeberangi Celah Dinding Berlian. Sekitar dua puluh orang berada di sana, sebagian besar dari berbagai permukiman. Sejumlah pemuda, orang-orang tua, perempuan yang membawa anak, dan juga pedagang dari kota dengan pembawa beban mereka. Bahkan hanya mereka ini yang berkuda. Sisanya berjalan kaki saja, karena memang hanya berniat menyeberang ke permukiman tetangga, yang meskipun merupakan permukiman terdekat, tetap cukup jauh juga jaraknya. Memang bagi penduduk yang permukimannya serbatersembunyi di balik jurang dan kabut, pengawalan bukanlah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menyeberangi Celah Dinding Berlian, tetapi mereka tidak keberatan pula berjalan bersama rombongan dan membayar para pengawal sekadarnya. Betapapun terdapatnya sejumlah orang yang memasuki celah untuk tidak pernah muncul kembali, atau muncul kembali di seberang dengan jiwa terguncang bukanlah cerita kosong. Serigala Hitam menatap lelaki tua yang kami bawa itu dengan curiga. Namun Serigala Merah segera mendekatinya dan berbisik-bisik dengan cepat. Kuajak lelaki tua itu menuju dekat api yang masih menyala. Kutuangkan baginya teh panas TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dari dalam ceret ke cawan yang kuberikan. Lantas kutinggalkan di sana agar lebih tenang baginya menghangatkan diri. Kukira ia pun harus mengambil keputusan atas persoalan yang sedang melibatnya itu. Apakah ia bermaksud meneruskan perjalanan, atau apa pun yang akan dilakukannya setelah ini. Termasuk menceritakan rahasianya, yang meskipun membuat aku merasa penasaran, memang sama sekali tidak wajib dibukanya kepada kami. Semua orang memperhatikan lelaki tua berbusana pejabat istana, yang duduk di atas batu sambil menghirup teh dari cawan yang dipegang dengan kedua tangannya itu, dan juga melihat tanpa berkedip kepadaku, yang meski berbusana seperti orang Viet, jelas belum pernah mereka ketahui kebangsaannya itu. Aku berjalan mendekati kedua pengawal perjalanan tersebut. Serigala Hitam segera menyambut dan memelukku. ''Tidak kusangka perjumpaan kita berlanjut sampai sedalam ini sobat. Serigala Merah telah menceritakan bagaimana dikau telah membantunya. Terima kasih sobat!'' Aku tidak bisa menjawab, karena sesungguhnyalah aku mengalami suatu perasaan haru yang telah dimulai sejak kali pertama bersua dengan kedua orang itu. Bagi orang yang melakukan perjalanan sendirian, jauh dari Tanah Air seperti diriku ini, sikap bersahabat sangatlah besar maknanya. Aku pun mundur dan menjura. ''Kalian bersikap sangat baik kepadaku Tuan-tuan, apa pun yang telah kulakukan belumlah sepadan sebagai balasan.'' Mereka berdua tertawa dan menepuk-nepuk bahuku dengan keras. ''Sudahlah sobat! Jangan panggil kami Tuan!'' Serigala Merah menyergah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Ya, kita orang-orang yang hidup di gunung tidak pandai berbasa-basi! Serigala Merah memberi tahuku tentang ilmu silatmu yang setinggi langit,'' ujar Serigala Hitam, ''meski tidak bernama, kehadiranmu sangat besar artinya.'' Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kukira ini bukan sekadar karena perasaanku yang tertekan setelah melakukan perjalanan semalam dalam kegelapan dan kesempitan celah, melainkan karena ketulusan mereka yang tidak memiliki kepentingan itu. Mereka hanya melihat diriku sebagai seorang pengembara yang berjalan sendiri saja, dan bagi mereka itu berarti keterpisahan diriku dari segala sesuatu yang diakrabi manusia, seperti rumah, keluarga, dan alam lingkungan. Tentu mereka berdua tidak mengetahui, betapa kesendirian dan keterpisahan telah menjadi bagian hidupku yang tidak bisa kuhindari, tetapi itu tidak mengurangi penghargaanku atas sikap mereka terhadapku sama sekali. BEGITULAH di antara kami seolah tiada jarak lagi. Serigala Hitam mengatakan bahwa bersama Serigala Merah keduanya sudah terikat janji untuk segera berangkat mengawal kedua puluh orang ini, karena di seberang celah pun sudah ada sejumlah orang menanti di salah satu permukiman untuk menyeberang kembali kemari. Bahkan mereka harus sudah berada di sini besok pagi. Itu berarti mereka harus berangkat sekarang mengantar rombongan agar tiba sebelum malam, dan segera berangkat lagi setelah beristirahat sebentar untuk melakukan perjalanan malam seperti yang kulakukan. "Artinya kami serahkan pengurusan lelaki tua yang bisu itu Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepada dikau, sobat." Aku tidak bisa menolak permintaan kedua sahabat baru itu. Jika lelaki tua tersebut memutuskan tetap meneruskan perjalanan, maka ia akan mendapat seekor kuda yang biasanya disewakan untuk orang-orang tua yang uzur atau perempuan hamil, dan sekarang sedang tidak digunakan. Jika ia bermaksud tetap tinggal untuk sementara, untuk TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mendapatkan ketenangan dan kemantapan sebelum meneruskan perjalanan, maka aku diminta untuk mengantarkannya ke Kampung Jembatan Gantung, tempat permukiman Serigala Hitam dan Serigala Merah yang kiranya hanya bisa kucapai setelah mereka berdua memberitahuku berbagai penanda jalan rahasia. Dentang-dentang petualangan kembali bergema di dalam dadaku, tetapi kuingatkan kembali diriku bahwa aku sedang bertugas memburu Harimau Perang. Kukira aku pun tidak perlu merahasiakannya kepada mereka berdua. "Sebenarnya diriku sedang menyusul seseorang bercaping lebar dan berambut panjang yang kemungkinan besar bernama Harimau Perang. Apakah sobat-sobatku Serigala Hitam dan Serigala Merah melihatnya ketika keluar dari celah semalam?" Mereka saling berpandangan penuh arti. "Ya, kami melihatnya ketika keluar dari celah menunggang kuda Uighur yang bagus itu. Ia meneruskan perjalanannya setelah mengawasi kami yang berpura-pura tidur, padahal kami sebetulnya baru datang dan menunggu rombongan karena biasanya mereka sudah siap sejak pagi buta. Serigala Hitam lantas berkelebat mengikutinya dan tahu jalan mana yang diambilnya," ujar Serigala Merah. "Ya, jangan khawatir, jalan itu menuju ke Perguruan Shaolin dan bisa dicapai dari kampung kami. Jalan itu tidak bercabang ke mana pun sebelum arah tersebut, jadi sobatku akan dapat menyusulnya karena Perguruan Shaolin itu masih cukup jauh. Dengan melalui kampung kami yang tersembunyi, sobatku yang tidak bernama juga telah menyingkat jalan, karena jalan yang akan ditempuh penunggang kuda Uighur itu dalam lima hari, akan ditempuh oleh sobatku dalam tiga hari," timpal Serigala Hitam pula. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Berita ini sangat menggembirakan, begitu rupa sehingga seolah-olah akulah yang lebih bersemangat mengajak lelaki tua tersebut ke pemikiman tersembunyi yang disebut Kampung Jembatan Gantung itu. Namun ketika kami bermaksud membicarakan hal itu dengan lelaki tua yang baru saja terhindar dari kematian tersebut, kami melihat ia sedang dikerumuni rombongan. Pedagang yang datang dari kota itu menunjuk-nunjuknya. "Kamu! Ya, kamulah orangnya! Aku tidak bisa melupakan wajahmu yang seperti seekor unta itu!" Ia menunjuk lelaki tua yang masih menyeruput teh panas dari cawan itu. Pedagang tersebut maju dan seperti siap menendang, yang jelas sekali tidak merupakan jurus ilmu silat. Namun sebelum tendangan itu mengenai lelaki tua tersebut, pedagang itu sendiri yang mendadak terpental beberapa depa. Serigala Hitam sudah berada di sana. "Kata siapa tiada peradaban di pelosok ini," ujarnya geram, "siapa yang bermaksud menghakimi tanpa pengadilan boleh menghadapi Serigala Hitam!" Pedagang itu, seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun, bangkit berdiri sambil membersihkan basah embun dari rerumputan pada bajunya. Ia menggerutu sendiri, tetapi jelas agar setiap orang mendengarnya. "Kalau ada pengadilan di sini, tentu aku menuntutnya, sayang sekali kita berada di tengah hutan ," ujarnya. Lantas Serigala Hitam pun berkata. "Bagi siapa pun yang mengajukan tuntutan, ia harus mengajukannya di wilayah hukum tempat perkaranya berlangsung. Kita berada di daerah tak bertuan sekarang, jadi siapa pun yang membuat perkara di sini akan berhadapan denganku!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Semua orang terdiam. Bahkan bayi yang semula menangis pun terdiam. "Semuanya bersiaplah," katanya lagi, "kita harus segera berangkat karena ada rombongan lain menanti di seberang sana." SETIAP orang pun berbenah. Pada dasarnya semua orang memang siap berangkat. Di antara mereka ada yang sudah menunggu sampai lima belas hari di permukiman terdekat, karena Serigala Hitam dan Serigala Merah tidak akan bersedia mengawal jika rombongan belum mencapai dua puluh orang; kecuali jika bayaran yang mereka terima seharga bayaran untuk mengawal dua puluh orang. Mereka yang akan menyeberangi celah dan tinggal di permukiman yang tidak terlalu jauh dari Kampung Jembatan Gantung akan mendaftarkan diri dan menunggu, tetapi yang tinggal di balik gunung m isalnya, apalagi dari kota, terpaksa menginap sambil menunggu jumlahnya mencapai dua puluh orang. Tidak berarti mereka berdua gila uang, karena pernah melesat untuk menjemput tabib di seberang celah, ketika seorang ibu bermasalah ketika melahirkan, dan semua itu dilakukan tanpa bayaran. Kepada orang tua tersebut, Serigala Hitam dan Serigala Merah menyampaikan, jika ia belum bermaksud meneruskan perjalanan, akulah yang akan mengantarnya ke Kampung Jembatan Gantung. Ia dipersilakan tinggal berapa lama pun selama masih membutuhkannya. "Kami menolong orang tidak tanggung-tanggung," ujar Serigala Hitam dan Serigala Merah, "jika pemerintah kembali memburunya, kami tetap akan membelanya. Seperti kami lakukan kepada siapa pun yang lemah dan menderita." Akhirnya semua persiapan selesai. Aku terkejut karena sebelum berangkat mereka mengadakan upacara angkat saudara terlebih dahulu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Baru kuperhatikan ternyata terdapat yang disebut altar sembahyang di depan sebuah patung Dewi Kwan Im di situ yang lebih kukenal sebagai Avalokitasvara. Rupa-rupanya agar yang bermaksud memanfaatkannya dapat membakar hio dan berdoa, sebelum berangkat menyeberangi celah sempit dan gelap yang berkemungkinan membuat jiwa terguncang tersebut. Kami bertiga pun membakar hio dan aku ikut bersoja dalam upacara angkat saudara itu. Konon, hubungan seperti ini sering menjadi jauh lebih dekat dari hubungan saudara sedarah. Tidaklah dapat kukatakan betapa terharukannya diriku dengan peristiwa ini. Setelah memberitahukan tanda-tanda rahasia menuju Kampung Jembatan Gantung kepadaku, rombongan itu pun segera berangkat. Serigala Hitam memimpin di depan dan Serigala Merah mengawal di belakang. Kupandang mereka satu persatu memasuki celah. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Teringat sebuah pepatah tua Negeri Atap Langit: ikan-ikan, meskipun jauh di dalam air, bisa ditombak; burung-burung, meskipun tinggi di udara, bisa dipanah; tetapi rahasia pikiran manusia tak bisa dijangkau langit bisa diukur, bumi bisa diteliti hati manusia tidak untuk diketahui (Oo-dwkz-oO) KECERAHAN pagi segera pergi setelah mereka menghilang. Lelaki tua yang dipaksa menjadi bisu dan gagu karena lidahnya dipotong itu sudah siap di atas kuda cadangan yang dipinjamkan Serigala Hitam. Ia bahkan boleh membawanya jika ingin meneruskan perjalanan. Tanpa banyak kata aku pun menaiki kudaku yang kukira sudah puas memakan rerumputan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ di sekitar tempat ini. Di atas punggung kuda aku juga mengunyah daging asap dingin yang menjadi bekalku. Kulihat lelaki tua itu pun melakukan hal yang sama. Kabut datang kembali seperti kepastian suatu janji. Kubiarkan kudaku melangkah sendiri di jalan sempit di tepi tebing yang berkelak-kelok itu. Jalan setapak yang menghilang di balik semak dan kabut menuju Kampung Jembatan Gantung itu sebetulnya terletak tidak terlalu jauh. Dengan ukuran Negeri Atap Langit jauhnya tidak sampai limaratus li, tetapi aku tidak akan mungkin menemukan jalan setapak ke sana tanpa diberitahu tanda-tanda rahasianya. Meskipun gagasan tentang pemberontakan sudah jauh dari keturunan para pemberontak yang bermukim di situ, naluri untuk tetap hidup tersembunyi dan mengamankan diri tetap dipelihara. Terutama semenjak Pemberontakan An Lushan, pemerintahan Wangsa Tang semakin sering mengirimkan pasukan penjaga perbatasan untuk naik dan menyisir wilayah tak bertuan seperti lautan kelabu gunung batu ini, karena kekawatiran tersembunyi jauh di lubuk hati, bahwa pemberontakan meruyak dari balik persembunyian. Maka dari tahun ke tahun pun sebetulnya pertempuran masih berlangsung diam-diam. Memang tidak terdapat dua pasukan yang berhadapan di tanah lapang, tetapi regu kecil pengawal rahasia istana yang tangguh tidak jarang dikirim dengan tugas membasmi para penyamun, tetapi tugas sesungguhnya adalah menemukan dan menghancurkan berbagai pemukiman tersembunyi itu. Dalam tugas terselubung mencari penyamun, tidak jarang mereka memang berhasil menemukan sarang penyamun dan menghancurkannya. Asap mengepul dari balik bukit dan hutan jika perkampungan penyamun itu mereka bakar sampai bumi hangus seperti arang menyala. Namun dalam tugas sebenarnya mencari kampung keturunan para pemberontak, lebih sering regu pengawal rahasia yang dikirim ini menjadi TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ hilang dan tidak pernah kembali. Gerombolan penyamun yang menghimpun penjahat kambuhan cenderung lebih mudah ditemukan daripada penyamun yang berasal dari keturunan pemberontak, karena pemukiman tersembunyi mereka sesungguhnyalah memang diselaputi dengan kerahasiaan yang ketat sekali. Dengan semangat kerahasiaan itu pula maka antara pemukiman yang satu dengan yang lain letaknya dijauhkan, karena dahulu kala agaknya dibayangkan seandainya sebuah pemukiman ditemukan dan dihancurkan, maka itu tidak akan merambat ke pemukiman lain. Namun ternyata bukan hanya semangat kerahasiaan itu dahulu yang membuat pemukiman para pemberontak gagal ini terpencar-pencar, melainkan karena pemukiman yang sangat tersembunyi dan bisa dirahasiakan dalam keadaan alam lautan kelabu gunung batu ini memang hanya mampu menampung mereka dalam jumlah terbatas. Baiklah kuceritakan saja keadaan Kampung Jembatan Gantung, agar gambarannya bisa menjadi lebih jelas. Seperti telah disebutkan, aku harus menemukan tanda-tandanya lebih dahulu, bahwa jalan setapak berlumut di balik semak dan kabut mengambang yang akan kulalui itu memang jalan menuju Kampung Jembatan Gantung. Sekali salah jalan, bukan saja Kampung Jembatan Gantung tidak ditemukan, dan sampai ke pemukiman lain, tetapi juga apabila sampai di pemukiman lain itu belum tentu bisa kembali, karena setiap jalan ke setiap pemukiman keturunan kaum pemberontak memiliki kerahasiaannya masing-masing. Bahkan sesama keturunan pemberontak, jika memasuki dan berkunjung ke pemukiman lain, memerlukan pemandu dari pemukiman tersebut, karena pembunuhan gelap yang dilancarkan jaringan rahasia istana bukan takmungkin mencapai pemukiman semacam itu. Sebenarnya bahkan pembunuhan gelap semacam itu memang pernah terjadi. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Setelah menyusuri jalan sempit berkelak-kelok sepanjang tebing beberapa saat lamanya, sambil menikmati burung berkicau, terlihatlah olehku tanda yang dimaksud Serigala Hitam sebagai penanda masuk ke arah Kampung Jembatan Gantung. Adapun tanda itu adalah sebuah batu di tepi jalan yang berwarna merah bata. Memang di sepanjang lautan kelabu gunung batu, baru sekali ini kulihat ada batu berwarna lain selain kelabu. Namun batu tersebut bagaikan secara alamiah saja berada di situ, dan tampaknya memang begitu, sehingga seorang mata-mata yang mencari tanda rahasia, kiranya tidak akan menganggapnya sebagai tanda yang telah dibebani arti. Sebelum keluar dari jalan sempit untuk mengikuti jalan setapak, aku berhenti sejenak menunggu lelaki tua bisu berjubah ungu itu. Aku merasa semenjak terjadinya peristiwa tadi pagi, ketika pedagang dari kota itu menunjuk-nunjuknya dengan pandangan benci, semangatnya untuk hidup bagaikan telah hilang melayang. Usianya kukira sudah 70 tahun, dan usaha untuk melarikan diri sampai kemari dari Changian tentu menunjukkan semangat mempertahankan hidup yang besar. Rahasia yang dipegangnya telah membuat lidahnya dipotong, selain supaya dirinya tidak membuka rahasia kepada siapapun, juga ia tidak dibunuh karena rahasia yang belum diungkapkannya tersebut memang masih sangat dibutuhkan pula. Bahwa ia tidak bunuh diri, artinya karena masih menghargai kehidupan. Namun kini kulihat wajahnya mengungkapkan keadaan yang rawan. "Bapak, bukankah Bapak memang masih menunda Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perjalanan, dan ingin beristirahat di Kampung Jembatan Gantung?" Ia mengangguk saja tanpa menatapku. Hatiku seperti teriris. Lidah dipotong bukanlah nasib yang baik. Rahasia macam apakah kiranya yang begitu penting, sehingga membuatnya bernasib malang seperti ini" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "BAPAK, apa pun persoalan Bapak, sahaya mohon janganlah berputus asa. Bapak saksikan sendiri, kami tidak ingin mengetahui rahasia yang Bapak pegang, dan kami peduli akan keselamatan Bapak." Mendengar kalimatku, sekilas kulihat ia tersenyum. Hanya sekilas, dan hanya secercah, itu pun bukan senyum yang menunjukkan ada sesuatu yang disukainya dari kalimatku. Seperti senyum kepedihan. Namun aku tidak bisa berpikir lebih lama lagi tentang makna senyumannya itu. Aku ingin segera tiba di Kampung Jembatan Gantung, menyerahkan lelaki tua itu kepada kepala kampung sesuai dengan pesan Serigala Hitam. Lantas melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuanku semula, yakni mengejar Harimau Perang. Demikianlah kami menghilang ke balik semak dan kabut menyusuri jalan setapak menuju Kampung Jembatan Gantung. Sekarang aku melihat sendiri, jalan setapak ini bagaikan menempel di dinding tebing, tepat di bawah jalan sempit di atasnya, karena jalan yang di atasnya itu di bawahnya berongga. Hanya karena merupakan jalan batu, maka rongga itu tidak membuatnya longsor, bahkan seperti memayungi jalan setapak di bawahnya. Pantaslah ketika berhadapan dengan para penyamun yang menyerang silih berganti dari berbagai penjuru, ketika aku baru mulai memasuki wilayah ini, mereka bagaikan muncul begitu saja dari balik kabut tanpa bisa diduga, karena ternyata ada jalan setapak tepat di bawah jalan sempit yang kupijak. Jadi jalan setapak itu tentu saja menghilang di balik semak dan kabut bagi siapa pun yang hanya melihatnya dari jalan sempit di atasnya, karena memang berbelok masuk ke bawah jalan sempit itu sendiri. Tentu jalan setapak ini tidak selamanya berada di bawah jalan sempit di tepi jurang tersebut, karena itu hanyalah jalan keluar dan masuk ke jalan sempit, yang untuk selanjutnya berbelok menuju permukikan. Jalan setapak menuju TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ permukikan, seperti yang sedang kutempuh sekarang, tidaklah lurus atau tanpa cabang sampai ke tujuan, melainkan juga berbelak-belok dan naik turun, serta terutama dengan berbagai percabangan jalan penuh jebakan. Adapun yang dimaksud dengan jebakan, sekali seseorang memasuki cabang yang keliru, maka dia tidak akan pernah bisa lagi kembali ke jalan yang seharusnya ditempuh. Artinya memang hanya penduduk permukikan itulah yang bisa sampai ke sana, atau siapapun yang telah diberitahu tanda-tanda penunjuk jalannya, seperti diriku sendiri sekarang ini, maupun penduduk permukikan tersembunyi lain yang selama ini saling berhubungan dengan mereka. Betapapun, para penduduk permukikan tersembunyi itu merupakan keturunan dari nenekmoyang yang sama, yakni para pemberontak terhadap pemerintahan wangsa yang berkuasa. Apakah terhadap Wangsa Tang, sejak masa Maharaja Li Y uan yang pertama kali berkuasa pada 618; terhadap pemerintahan wangsa sebelumnya, yakni Wangsa Sui, dengan kekuasaan terakhir pada Maharaja Yangyu yang hanya berkuasa setahun sejak 617; dari wangsa-wangsa semenjak awal tercatatnya pemerintahan di Negeri Atap Langit, yakni Wangsa Han sekitar seribu tahun lalu, maupun Maharaja Li Shih atau Dezong sekarang ini yang berkuasa sejak tahun 779. Demikianlah para pelarian, orang-orang yang terbuang, tersingkirkan, dan terpinggirkan, sedikit demi sedikit dari wangsa ke wangsa terus mengalir untuk diserap dan disembunyikan dalam keluasan dan kesunyian lautan kelabu gunung batu. Dengan segenap tanda-tanda yang diberitahukan kepadaku, perjalanan tidak menjadi lebih mudah. Jalan setapak berbatu-batu kadang menjadi jalan setapak yang sangat licin, karena tanah yang sangat keras juga menjadi terlalu halus dan penuh dengan lumut jika jarang dilewati. Jalan setapak yang naik turun dan berkelak-kelok menembus semak, kabut, dan juga terowongan sempit di bawah gunung batu yang gelap dan di dasarnya terdapat air mengalir, dan air TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ juga menetes-netes dari atapnya. Bahkan di dalam terowongan ini pun terdapat percabangan terowongan yang juga menyesatkan jika keliru menempuh. Pada percabangan inilah, di dalam maupun di luar terowongan, kadang aku harus berhenti cukup lama, karena pada jalan masuknya sengaja dipasang tanda-tanda juga, tetapi sebagai jebakan yang menyesatkan. Artinya aku harus mengenali pula, apakah tanda-tanda penunjuk jalan yang kulihat itu memang merupakan tanda-tanda yang mengarah ke permukikan, ataukah mengarahkan seseorang ke mana pun kecuali menuju permukikan. Sebegitu jauh kulihat lelaki tua itu selalu tertunduk di atas kudanya, tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tampaknya juga tidak terlalu menyadari apakah jalan yang sedang ditempuh ini penuh dengan jebakan menyesatkan atau tidak. Hanya kudanya saja mengikuti, bagaikan membawa barang mati, yang bagiku menimbulkan suatu kekhawatiran tertentu. NAMUN aku merasa lega, ketika akhirnya sampai juga di jembatan gantung yang menjadi ciri permukikan tersebut, sehingga disebut sebagai Kampung Jembatan Gantung. Aku sangat terpesona memandang jembatan gantung yang sangat panjang melintang di atas jurang itu, begitu panjang sehingga dari tempatku turun dari kuda sekarang ujungnya tampak jauh dan kecil sekali. Setelah ujung itulah terlihat Kampung Jembatan Gantung, yang sebentar kelihatan dan sebentar tidak, karena kabut yang datang dan pergi memang membuat pemandangan timbul tenggelam. Dari jauh begini, memang hanya tampak betapa kampung itu sebetulnya adalah rumah-rumah yang menempel pada dinding sebuah lereng. Dari sini, memang hanya melalui jembatan gantung inilah cara mencapai permukikan tersebut. (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Episode 178: [Di Kampung Jembatan Gantung] JIKA angin bertiup, menyingkirkan maupun membawa kabut, jembatan gantung itu bergoyang-goyang. Kami sudah berada di tengah jembatan ketika angin bertiup seperti nyanyian, dan membuat jembatan itu seperti menjadi miring, sehingga kuda kami berhenti. Saat masih berjalan aku tidak sempat memperhatikan keadaan sekitar, karena betapapun terlatihnya kuda yang kutunggangi, bukannya tidak mungkin akan bisa terperosok juga. Tali temali dari akar-akaran yang seperti menjadi pagar di kiri dan kanan jalan memang tampak kuat, tetapi batang-batang pohon yang dirapatkan itu ada kalanya sangat licin. Hanya dua batang pohon yang dirapatkan sebagai tempat berpijak, asal cukup bagi kuda untuk melangkah, karena jika lebih banyak lagi akan menjadi terlalu berat bagi tempat bergantungnya, yakni rentangan rotan sambung menyambung sahaja, yang meskipun terbukti luar biasa liat, tidaklah berarti dapat menahan segala beban di luar perhitungan. Ketika berhenti karena jembatan bergoyang mengerikan seperti ini, aku lebih mengerti bagaimana pemukiman ini menjadi tersembunyi. Berada di tengah jembatan ini saja bagaikan me layang di tengah langit. Dua sisi tebing yang dihubungkannya sangatlah jauh, bahkan lebih sering tidak terlihat karena tertutup kabut, sementara gunung-gunung batu lain yang tampak di kanan dan kiri jembatan pun hanya tampak samar-samar jauh sekali. Padahal betapapun pemukiman tersembunyi ini masih berada di wilayah lautan kelabu gunung batu juga. Keadaan alam jelas sangat dimanfaatkan oleh para pelarian ini dahulu, untuk mendapatkan pemukiman yang meskipun tersembunyi tetapi sebetulnya tidak terlalu jauh dari jalan sempit di tepi lereng, yang merupakan jalan utama sepanjang lautan kelabu gunung batu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Setelah angin berhenti dan jembatan gantung kembali lurus seperti semula, kudaku pun melangkah lagi. Menengok ke belakang, kulihat lelaki tua berjubah ungu dan mengenakan fu tou hitam dari bahan sutera itu masih tertunduk di atas kudanya. "Bapak, hati-hatilah," kataku, "batang-batang pohon ini sangat licin." Ia mengeluarkan suara dengan sisa lidahnya, yang kukira sekadar mengatakan, "Ya." Perlahan-lahan, semakin mendekati tujuan, semakin tipis kabutnya, dan semakin jelas betapa pemukiman itu bukanlah sekadar rumah yang menempel di dinding lereng, melainkan sebuah pemukiman yang selain rumah panjang menempel dan bergantungan pada lereng, terdapat jalan, altar doa, rumah agak lebih besar yang mungkin dijadikan balai pertemuan, bahkan juga kedai, dan juga semacam gardu penjaga yang berada paling dekat dengan akhir jembatan gantung ini. Dari tempatku mendekat perlahan-lahan, terlihat suasana sebuah pemukiman yang hidup, orang-orang di dalam rumah, orang-orang berjalan di luar rumah, masih pada jalan setapak yang bahkan kadang-kadang terputus karena mengecil dan habis menjadi dinding lereng, untuk disambung susunan papan yang cukup halus potongannya, yang bahkan cukup lebar tempat kanak-kanak berlari. Namun tentu saja bagi kanak-kanak yang suka berlari, pemukiman ini adalah tempat yang berbahaya, karena sekali terpeleset dan terlempar dari jalan setapak maupun jalan susunan papan, yang bergantung dengan tali rotan pada lereng yang menjorok seperti atap, tentu langsung me layang ke jurang. Pemukiman ini seperti sarang burung walet menempel di tebing-tebing curam, yang bagai tak mungkin dicapai manusia, dan para penghuninya harus terbang ke sana ke mari, meski sempat kuperhatikan bahwa betapapun jalan setapak dan jalan susunan papan itu memang dipagari tali akar-akaran. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ AKU telah semakin dekat, tetapi pandanganku segera terhalang oleh seorang pengawal yang muncul dari dalam gardu. Ia seorang gadis yang tampaknya masih muda sekali, tetapi tindak tanduknya sudah terlihat matang dan berhatihati. Baik yi, busana atasan, dan shang, busana bawahan, yang dikenakannya itu serba putih, begitu pula ikat pinggang yang mengikatnya erat, sehingga menjadi ringkas, sesuai dengan kesiapan orang-orang rimba hijau dan sungai telaga semenjak masa Wangsa Han, bahkan alas kakinya yang disebut sepatu pun berwarna putih bersih, bagaikan tiada setitik debu sama sekali. Sebilah pedang jian tersoren di punggungnya, kulihat gagangnya juga putih, yang segera memberi kesan kepadaku betapa ia sangat bersungguhsungguh dengan ilmu silat yang dipelajarinya. Jembatan gantung yang sangat panjang ini sesungguhnyalah ternyata melengkung, sehingga siapapun yang datang dari seberang dan hampir sampai akan terpaksa harus setengah mendaki. Setelah kuperhatikan sekilas bagaimana jembatan ini tergantung, tahulah aku bahwa apa pun yang terhubungkan dengan permukiman selalu dibuat dengan mempertimbangkan kemungkinan diserang. Kedudukan mendaki ini m isalnya, jika digunakan sebagai jalan untuk menyerang adalah kedudukan yang lemah. Adapun jika terpaksa, kulihat betapa dengan sekali tetakan pedang, maka jembatan gantung akan secara sangat teratur simpulsimpulnya terurai, menjadi tali-tali lepas yang tidak saling berkaitan, merontokkan segalanya yang sedang berada di atas jembatan. Dapat kubayangkan seribu orang pasukan pilihan yang sedang melesat berlari dengan ringan di atasnya, mendadak saja akan kehilangan pijakan dan melayang jatuh ke dalam jurang yang bagaikan tiada berdasar. Gadis pengawal itu mengamatiku dengan tajam. Tentu aku tampak sebagai orang asing, tetapi ia mengajukan pertanyaan dalam bahasa Negeri Atap Langit. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Li Bai atau Du Fu?" Aku tersenyum dan teringat petunjuk Serigala Hitam. "Meski Li Ba i periang dan Du Fu pemurung, daku lebih suka Du Fu," kataku. Ia pun melanjutkan, "Kutinggalkan uang sesen dalam saku." Aku meneruskan, "Kantungku kempis takut malu." Ia menatapku dengan geli, lantas tersenyum lebar. Menatap senyuman secerah itu, rasanya ketegangan karena menyeberangi jembatan gantung serbalicin ini lenyap menguap sama sekali. "Ucapan dikau kacau balau, tetapi jawabannya benar sekali," katanya, "teruslah naik kemari." Menurut Serigala Hitam dan Serigala Merah, jawaban yang salah hanya berarti kematian, karena jika seseorang berhasil menghindari segala cabang penuh jebakan, tetapi gagal menjawab kalimat sandi, akan dianggap penyusup yang harus dibunuh. Meskipun pertanyaannya Li Bai atau Du Fu, dua penyair terkenal pada masa keemasan Wangsa Tang, jawaban yang benar hanyalah Du Fu. Jadi pertanyaan pertama itu sangat menjebak. Adapun pertanyaan kedua tidak terlalu penting, Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo karena puisi-puisi Du Fu dikuasai banyak orang di luar kepala, seperti juga puisi Kantungku Kempes ini. kutinggalkan uang sesen dalam saku kantungku kempes takut malu Untuk menjaga bahwa seorang penyusup tidak sekadar beruntung ketika menjawab pertanyaan, "Li Bai atau Du Fu?", maka jawabannya pun menjadi seperti yang kuucapkan tadi. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Jangan salah, meski cuma satu kata," ujar Serigala Hitam. Tidaklah terbayang olehku sebelumnya, betapa bisa begitu dekatnya seseorang dengan kematian. "Daku membawa pesan Serigala Hitam," kataku setelah tiba di atas. Untuk mencapai permukiman aku masih harus mendaki, tetapi aku turun dari kudaku dan gadis pengawal berbusana serba putih itu berjalan di sampingku. "Tidak sembarang orang dipercaya oleh Serigala Hitam maupun Serigala Merah," katanya, "katakanlah apa yang menjadi pesan." Kuingat apa yang disampaikan Serigala Hitam, bahwa aku dapat mempercayai siapapun yang bertugas di ujung jembatan gantung, maka kusampaikan dengan singkat apa yang telah terjadi, sehingga aku harus melewati Kampung Jembatan Gantung bersama seorang lelaki tua berjubah ungu yang gagu karena lidahnya dipotong itu GADIS pengawal itu mengangguk-angguk seperti orang dewasa. Mungkinkah naluri yang dipelihara, agar selalu waspada terhadap ancaman bahaya, membuat seorang gadis pengawal yang masih muda menjadi terlalu cepat matang seperti itu" "Baiklah kami akan mengurusnya, bahkan memberinya seorang pengawal tangguh agar ia dapat tiba di tempat tujuannya dengan selamat," katanya, "tampaknya bukan sembarang rahasia yang dipegangnya sehingga ia masih tetap hidup." Sambil terus berbicara kami menelusuri jalan yang silih berganti dengan jalan susunan papan tergantung dan berpagar tali itu. Dari jalan setapak, setiap kali terdapat rumah di atasnya yang menempel ke dinding, terdapatlah menuju ke atas yang terbuat dari batang pohon. Di batang pohon itu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ anak tangga dibentuk dengan bacokan golok, sekadar cukup bagi telapak kaki, tepatnya sepertiga telapak kaki, untuk menapak. Kulihat kanak-kanak maupun orang tua yang sudah bungkuk, seperti hanya perlu menyentuhkan telapak kakinya sebentar ketika berlari menaiki maupun menuruninya. Orangorang memperhatikan aku, tetapi tidak lantas meninggalkan apa pun yang sedang mereka kerjakan. Di permukiman yang rumah-rumahnya menempel di dinding jurang serbacuram seperti sarang burung walet itu, kehidupan berlangsung seperti biasa. Kami berpapasan dengan orang-orang pulang berburu misalnya, mengangkut rusa yang terikat di pikulan dan diangkut dua orang. Terlihat asap dari dapur, tercium bau masakan, terdengar perempuan bernyanyi sambil menenun. Orang-orang tua tampak bercengkerama sambil minum teh, ada yang menjalankan alat dari bambu yang kelak kuketahui bernama pompa air, ada yang berlatih tai chi sendirian di atas batu, dan seorang kakek tua tampak dikerumuni anak-anak. Banyak anjing berbulu tebal, yang tampaknya anjing pemburu, berkeliaran maupun diam memandangku dari depan pintu. Para pemuda, selain duduk saling berhadapan menghadapi permainan perang dengan buah-buah batu di atas papan, ada juga yang duduk meluruskan kaki, bersandar pada tiang rumah sambil membaca. Kaum perempuan kesanku sangat gagah, langkahnya serba mantap dan tubuhnya tegap. Jika bertemu pandang mereka tidak menundukkan kepala, melainkan menatap kembali dengan tegas. Juga busana mereka ringkas, bahkan busana lelaki sejak masa Han yang disebut pao mereka pakai juga. Busana seperti pipa yang disebut-sebut sebagai ce lana atau ku seperti menjadi seragam utama di Kampung Jembatan Gantung, tampaknya tiada lebih karena suasana siap tempur. Di dinding setiap rumah jika tidak kulihat tombak, tentu terlihat pedang jian terpasang bagai menunjuk kesiagaan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ penduduknya. Sementara golok dao dan kelewang dadao, meski terpasang di setiap pinggang dengan alasan untuk menebang kayu, kuyakini dapat mereka mainkan dengan cara ilmu silat pula. Mereka semua memandangku hanya sekilas, tetapi tak dapat mereka sembunyikan pandangan mata yang bertanya-tanya itu, karena mungkin untuk pertama kalinya melihat seseorang berkulit sawo matang seperti diriku. Kaum perempuan tidak ada yang tidak bekerja. Tidak seperti kaum lelakinya, yang sepertinya hanya sibuk bicara di antara mereka sendiri sahaja. "Jin-siyan!" Terdengar suara memanggil gadis berbusana serba putih itu, yang segera berkelebat me layang secepat walet, tetapi begitu mengudara hanya membentangkan tangan untuk turun perlahan-lahan seperti jatuhnya kapas. Adapun yang memanggilnya adalah seorang tua berjanggut putih, yang ketika melihat gadis pengawal tersebut turun perlahan-lahan seperti itu segera menggerakkan tangannya. Dalam sekejap terdengar desis jarum-jarum beracun yang melesat ke arahnya, yang sudah pasti akan menancap di tubuhnya jika ia tidak segera mencabut jian di punggungnya itu dan memutarnya dengan sebat untuk merontokkan jarumjarum beracun tersebut. Gadis yang dipangggil sebagai Jin-siyan itu menjura begitu mendarat. Pedang jian yang sempat kulihat berkilat menyilaukan itu sudah masuk ke dalam sarungnya. "Maafkan sahaya Guru, karena datang terlambat untuk berlatih. Sahaya sudah akan kemari ketika mereka datang." Orang tua itu mengelus-elus janggut putihnya tanpa menoleh kepada kami. Dari caranya melempar jarum, yang hanya seperti mengibas tidak sengaja, jelas ilmu silatnya sudah sangat tinggi. Tampaknya ia orang penting dan dihormati di pemukiman ini, sehingga mungkin merasa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ sebaiknya menganggap kami tidak ada sebelum diperkenalkan kepadanya terlebih dahulu. DENGAN singkat Jin-siyan menjelaskan semuanya, barulah lelaki berjanggut putih yang dipanggil Guru itu sudi memandang kami ke bawah. Kuperhatikan busananya juga serba putih, tetapi karena agaknya sudah lama, maka tidak tampak terlalu putih lagi. ''Tanpa Nama"'' Jelas pertanyaan singkat itu ditujukan kepadaku. ''Ya Tuan,'' kataku, ''sahaya tidak memiliki nama...'' Ia mengangguk-angguk. ''Tentu seseorang tidak bisa dipaksa memiliki nama, tetapi lantas dikau akan dipanggil"'' ''Karena sahaya tidak memiliki nama, maka sahaya dipanggil sebagai orang yang tidak punya nama, Tuan.'' Ia tersenyum. ''Tanpa Nama. Tidakkah ini suatu nama"'' Aku pun menjura kepadanya. ''Dengan segala hormat, Tuan, itu hanya cara untuk memanggil sahaya saja.'' Ia mengangguk-angguk lagi, masih mengelus-elus janggut putihnya. ''Wu ming,'' katanya lagi, ''tahukah dikau artinya wu ming"'' Aku menggeleng. ''Maafkan sahaya Tuan, penguasaan kata-kata sahaya sebagai orang asing masih sangat terbatas, tapi sahaya sungguh ingin mengetahui artinya.'' ''Jika dikau membaca Daodejing, akan dikau temui kata wu ming, yang berarti tidak mempunyai nama, takbernama, tanpa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ pembeda apa pun yang membuat suatu nama bisa diberikan. Kata ini sering digunakan untuk menunjukkan Jalan dan akibatnya. Maka juga dianggap sebagai tersendiri, karena suatu nama bisa diberikan kepada apapun yang tidak tersendiri. Adapun karena Jalan adalah tersendiri, tiada nama yang diketahui dapat diterapkan maupun menjelaskannya.'' Ia berbicara tentang nama dan tak nama, tetapi perhatianku dalam tukar menukar kata ini adalah kata Jalan, yang disebutnya dengan kata dao. Di Kuil Pengabdian Sejati untuk beberapa waktu lamanya telah kuperhatikan makna kata dao ini. Aku pun menjura, dan berkata, ''Kepada pengembara bodoh yang datang dari Javadvipa ini Tuan Guru, mohon sudilah kiranya memberikan sedikit pengetahuan tentang Jalan.'' Ia pun tertawa terbahak-bahak. ''Huahahahahaha! Cepat sekali ya, pengembara" Cepat sekali!'' Bahkan Jin-siyan ikut pula tertawa-tawa menutupi mulutnya. ''Jin-siyan! Kamu sajalah nanti memberi tahu Yang Tidak Bernama ini penjelasan tentang Jalan ya" Supaya setelah itu semakin bahagialah ia berjalan-jalan! Huahahahahaha!'' Sepintas kulirik lelaki tua berjubah ungu itu. Percakapan begini meriah, tetapi ia hanya tertunduk saja Jin-siyan telah melayang turun. Sambil meneruskan langkah ke balai pertemuan tempat kami bisa menginap, Jinsiyan bicara tentang dao. Ia keluarkan pedang jian dan sembari melompat pedangnya menuliskan suatu aksara di udara. ''Jangan lupa aksara ini,'' katanya, ''begitulah caranya dao ditulis, yang dapat diuraikan menjadi tiga bagian, yakni kepala TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ manusia, jalanan, dan kaki manusia. Itulah lambang bahwa seorang pemimpin dan pengikutnya bersama-sama menempuh sebuah jalan.'' Aku ingat ketika mempelajari aksara itu di Kuil Pengabdian Sejati. Cara perangkaian rambut di kepala pada unsur kedua, menunjukkan itu kepala seorang pemimpin, sedangkan unsur ketiga, lambang kaki manusia, maksudnya menunjukkan seorang pengikut. Setahuku, sebelum pemikiran Kong Fuzi dikenal di Negeri Atap Langit, dao merupakan lambang citacita manusia. Artinya kepercayaan diberikan kepada pemimpin yang bijak, karena dao adalah jalan menuju kebajikan. Dalam Kitab Shujing disebutkan: langit tidak dapat dipercaya Dao semata perluasan kebajikan Raja Agung Ketika dao dimaksudkan sebagai Jalan, maka itu berarti cara melakukan sesuatu dalam tiga pengertian, apakah itu tata cara alam atau tata cara semesta yang mengungkap he atau keselarasan; apakah itu tata cara kehidupan manusia yang serasi dengan susunan alam, yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam; ataukah tata cara yang diikuti manusia karena keputusannya sendiri, bahwa meskipun dao berada dalam diri, haruslah tetap dicari dan dikejar, karena memang tidak semua orang akan menemukan dan menemukan dao, tanpa berjuang untuk mendapatkannya sendiri. Setiap aliran filsafat di Negeri Atap Langit memanfaatkan kata dao untuk menjelaskan tatacara pemikirannya. Sambil berjalan mendaki, Jin-siyan meneruskan. ''Pemikiran Kong Fuzi maupun Kaum Dao, sebagai dua aliran filsafat besar, juga memanfaatkan kekuatan kata dao. Tata cara pemikiran Kong Fuzi menggunakan istilah dao dalam kerangka pikiran tentang kebaikan dan perangkat aturan tentang perilaku, bahwa cara hidup manusia harus sesuai TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ dengan tatacara alam. Tapi jika dalam pemikiran Kong Fuzi penekanannya kepada manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, Kaum Dao menekankannya kepada manusia dalam hubungannya dengan alam itu sendiri. Nah, ketika Mahayana masuk ke sini tujuhratusan tahun lalu, katanya dao adalah jalan menuju Nirvana,'' ujarnya sambil tersenyum menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan senyum yang manis sekali seperti itu. ''Bagaimana Mahayana diterapkan di Shin-li-fo-shih"'' tanyanya pula. Aku harus maklum jika di antara puncak-puncak gunung batu seperti ini, orang tidak mengetahui perbedaan antara Srivijaya yang disebutnya Shin-li-fo-shih itu dengan Javadvipa, atau bahwa Sriv ijaya sebagai nama kadatuan memang terletak dalam wilayah Suvarnadvipa, yang bertumpang tindih dengan yang disebut sebagai Suvarnabhumi. Aku menjawab tanpa perlu menjelaskan bahwa pusat pemerintahan Shih-li-fo-shih terletak di Samudradvipa yang justru belum pernah kuinjak, sedangkan aku adalah rakyat Kerajaan Mataram yang dikuasai Wangsa Syailendra dan bertempat di Javadvipa yang juga disebut Yawabhumipala. ''Jika di Negeri Atap Langit sudah mengakar pemikiran Kong Fuzi maupun Kaum Dao ketika Mahayana tiba, di Javadvipa masuklah Hindu pemuja Siva, disebut Saiva, meski di Jambhudvipa juga berkembang Vaisnava, penyembah Visnu, dan juga Shakta, penyembah Shakti. Sebelum Saiva tiba, penduduk setempat sudah memiliki kepercayaannya sendiri pula. Jadi mungkin Buddha Mahayana juga akan diterapkan dengan perbedaan dari yang berlaku di Jambhudvipa.'' Jin-siyan mengangguk-angguk. ''Dao membedakan Mahayana di Negeri Atap Langit dengan Mahayana di Jambhudvipa, sampai Yang Mulia Xuanzang harus mengembara begitu jauhnya, mencari kitab-kitabnya yang asli ke Jambhudvipa.'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Bahkan adalah Fo-shih yang menjadi tempat belajar bahasa Sansekerta, terutama yang digunakan untuk membaca sutra Buddha, sebelum meneruskan pelayaran untuk belajar Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langsung di Nalanda. Kuperhatikan Jin-siyan, kepalanya mengenakan fu tou yang dimaksudkan sebagai perlengkapan busana pria. Di sebuah pemukiman yang rumah-rumahnya menempel di dinding curam seperti sarang burung walet, dengan tempat berpijak hanya setapak, diselang-seling susunan papan tergantung pula, memang tidaklah mungkin seorang perempuan berbusana seperti perempuan. Matanya mengerjap, wajah manisnya tampak lucu di bawah fu tou. Tiada kukira dari pemilik wajah seperti itulah kudengar perbincangan tentang dao seperti terterapkan kepada pemikiran Kaum Dao, penganut Kong Fuzi, maupun Buddha Mahayana yang datang dari Jambhudvipa ke Negeri Atap Langit ini. BAGAIMANA jika aku membagi atau menjual keterangan, dengan segala penjelasan tentang bagaimana tempat ini dapat diserang" Memang benar, keturunan para pemberontak di tempat tersembunyi seperti ini tidak lagi menyimpan impian, maupun kekuatan yang cukup untuk menggulingkan kekuasaaan. Namun memang bukan penggulingan kekuasaan yang ditakutkan, melainkan keterpeliharaan gagasan tentang kemerdekaan di dalam pikiran. Begitulah ketakutan bisa melahirkan kekejaman begitu rupa, karena bagi penguasa yang sangat terganggu oleh bayangan pemberontakan, gagasan di dalam pikiran hanya bisa dihapus dengan pemenggalan kepala! Maka perburuan masih terus menerus dilangsungkan, sebagai kebiasaan yang dipelihara dari zaman ke zaman, yang membuat penduduk pemukiman pun memelihara kewaspadaan dan kesiagaan selama waktu yang sama, dengan suatu bayangan yang sama menakutkannya seperti TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bayangan penguasa, bahwa suatu hari sejumlah besar pasukan mengepung dan menyerbu dalam suatu pembantaian besar-besaran. Aku menghela napas panjang. Alam begitu sunyi dan sepi, tetapi betapa maut selalu dirasakan sebagai ancaman. Kulihat lelaki tua yang masih saja murung wajahnya menulis di atas lembaran yang disebut kertas menggunakan alat tulis yang dicelupkan ke dalam cairan bernama tinta. Sudah beberapa lembar kertas yang ditulisnya dan beberapa kali pula ia menghela napas panjang. Apakah kiranya yang dituliskannya itu" Di balai pertemuan tempat kami dipersilakan menginap, memang tersedia segala sesuatu yang bisa digunakan setiap warga pemukiman, termasuk altar untuk berdoa. Bagi lelaki tua tersebut disediakan sebuah bilik dengan alas tebal berisi kapas yang disebut kasur, lengkap dengan kain tebal sebagai selimutnya, mungkin mengingat usianya yang kuduga mencapai 70 tahun. Aku ditempatkan di luar bilik, tetapi di dalam balai pertemuan, tempat terdapatnya kisah-kisah tentang Wangsa Tang yang bisa dibaca. Pagi ini aku sedang makan sayur asin dengan sumpit, ketika Jin-siyan, gadis pengawal itu muncul dari balik atap, melenting dan mendarat dengan ringan di hadapanku. Ia menjura sebelum bicara. ''Dengan hormat, guruku yang dikenal sebagai Angin Mendesau Berwajah Hijau meminta kedatangan Yang Tidak Bernama ke pondoknya, karena ada masalah penting yang akan disampaikannya.'' Masalah penting" Apakah yang bisa menjadi penting bagiku di tempat seperti ini" Aku bermaksud menuang lagi teh dari teko ke cawan, tetapi Jin-siyan segera menyergah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ ''Jika Angin Mendesau Berwajah Hijau memanggil, biasanya siapa pun tidak menundanya lagi. Di sana telah disediakan juga teh bagi Yang Tidak Bernama.'' Aku pun tidak menundanya lagi, meski rasanya masih terdapat makanan di mulutku. Kuikuti dia melenting dari atap ke atap, sementara kulihat pemandangan kehidupan seharihari berlangsung di bawah. Ibu-ibu tua dengan kayu bakar di punggung tampak begitu tenang melangkah di jalan setapak, yang ada kalanya miring letaknya, untuk menyambung ke jalan susunan papan yang tergantung dan bergoyang-goyang, anak-anak kecil bahkan berlarian tanpa takut dan tertawatawa meloncat menyeberang padahal di bawahnya jurang. Maka segera pula kumengerti, bahwa dengan kemampuan untuk hidup dalam lingkungan seperti ini, penyerbu mana pun seperti hanya akan menemukan kematiannya sendiri. Jin-siyan menukik dan lenyap masuk ke dalam pondok. Aku pun menukik ke bawah mengikuti jejaknya, tetapi dengan segera terpaksa melenting ke atas, berputar jungkir balik dengan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, ketika mendadak saja berkelebat suatu bayangan dan desau angin panas nyaris melibasku di tengah udara berkabut, yang akan membuat tubuhku leleh jika tidak berhasil menghindarinya. Aku telah diserang Angin Mendesau Berwajah Hijau yang menggulungku bagaikan angin puting beliung menghancurkan kampung. Guru Jin-siyan ini tak bisa dilihat lagi, hanya angin panas melibas tanpa memberi ruang untuk bernapas. Pernah kubaca dalam Kitab Perbendaharaan I lmu-ilmu Silat Ajaib dari Negeri Atap Langit bahwa angin panas ini sebetulnya datang jurus-jurus persilatan jua, yang karena cepatnya menjadi tiada terlihat, dengan kemampuan memisah-misahkan anggota badan, sehingga yang diserang pun binasa secara mengerikan. Barangkali itulah yang membuatnya dikenal sebagai Angin Mendesau Berwajah Hijau, yang tentu maksudnya adalah wajah iblis. Betapa tidak akan TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ disebut iblis jika jurus angin panasnya memisah-misahkan anggota badan! SEMBARI terus berkelebat menghindar, aku berjuang mengatasi keherananku bahwa guru Jin-siyan itu telah menyerangku dengan jurus-jurus yang sangat mematikan. Tidakkah aku telah mendapat segala kunci rahasia, agar tidak tersesat dan dapat mencapai Kampung Jembatan Gantung, adalah karena kepercayaan Serigala Hitam dan Serigala Merah juga" Bersama kedua orang itu, tanpa kuminta kami bahkan telah saling mengangkat saudara, yang maknanya sering dianggap lebih dalam daripada hubungan saudara sedarah yang ditentukan oleh nasib. Kemudian sempat kulirik, bahwa Serigala Hitam dan Serigala Merah ternyata sudah ada di s ini pula, sesuai dengan rencana bahwa mereka langsung kembali dari seberang celah, membawa rombongan yang memintanya memandu perjalanan mereka menyeberangi celah ma lam itu juga. Rupanya tugas itu sudah diselesaikannya dan kini mereka telah tiba di sini. Apa yang telah terjadi" Namun bagaimana mungkin berpikir lebih jauh sambil menghadapi serangan maut seperti ini, apalagi jika tiada penanda apapun yang kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan atas terjadinya serangan ini" Serangan bergulung seperti angin puting beliung. Mereka yang tidak berdaya menghadapinya memang segera merasa harinya akan berakhir, karena gelombang angin panas yang membuat udara bagaikan mendidih akan membuat lawannya putus asa. Aku masih mendekap kedua lututku, berputar-putar dan meliak-liuk dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, yang harus segera kuganti, karena jika jurus ini memang mampu menghindarkan serangan, belumlah mengatasi angin panas yang dapat membuat udara mematangkan telur. Artinya aku bisa mengalami kematian dalam keadaan matang terpanggang... TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Aku tidak ingin terlalu lama melayani Angin Mendesau Berwajah Hijau yang serangannya mengerikan seperti itu. Bahkan aku tidak tertarik mengeluarkan Jurus Bayangan Cermin untuk menyerap ilmu silatnya agar dapat kukembalikan lagi kepadanya, sebagai jurus baru yang tidak terduga, karena meskipun kehidupan di pemukinan ini tampak menyenangkan tetapi pikiranku tertuju kepada Harimau Perang. Aku ingin segera berangkat dan tidak menambah persoalan, apalagi dengan terjadinya serangan tanpa penjelasan seperti ini. Namun aku juga tidak ingin mempermalukan Angin Mendesau Berwajah Hijau yang kuduga tentunya merupakan guru besar di pemukiman keturunan pemberontak ini, yang berarti juga merupakan guru Serigala Hitam dan Serigala Merah. Keputusan ini kuambil karena kusaksikan sekilas wajah Serigala Hitam dan Serigala Merah yang tampak sangat khawatir, tetapi bukan atas nasib gurunya, melainkan nasibku! Pertarungan di udara tanpa sentuhan ini berlangsung cepat sekali, begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti siapapun yang ilmunya masih berada pada tingkat awam. Angin panas masih bergulung dengan ganas dan panas, tetapi kugunakan Jurus Tarian Naga Salju yang membuat setiap gerakanku, menyerang atau tidak menyerang, menghindar atau tidak menghindar, mendesaukan pula angin, tetapi yang begitu dingin membekukan segala zat cair. Di puncak gunung batu ini, udara dingin tentulah bukan masalah, tetapi angin yang terbentuk dari gerakan jurus ini bahkan Jin-siyan, Serigala Hitam, dan Serigala Merah yang menyaksikan dari jarak tertentu pun tampak mendekapkan tangan kedinginan sekali. Memang kusalurkan tenaga dalam hasil latihan sepuluh tahun di dalam gua untuk membekukan segenap uap air di udara melalui pori-poriku, yang tersalur melalui udara dalam kibasan Jurus Tarian Naga Salju. Jurus ini sebetulnya indah sekali, seperti rangkaian gerak yang bukan hanya dibuat untuk ditarikan, tetapi bahkan juga TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Insan Tanpa Wajah 1 Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Misteri Bunga Noda 3

Cari Blog Ini