Golok Kelembutan 8
Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 8 "Blaaaam!", mendadak pinggang Cu Siau-yau yang ramping itu kelihatan agak tertekuk ke muka, lalu bagaikan layang-layang yang putus, tubuhnya terlempar keluar jendela, tapi sebentar kemudian ia sudah melayang balik dan berdiri tegak kembali. Hembusan angin kencang itu bagaikan topan yang menghajar ranting pohon, biarpun ranting itu sempat melengkung namun tidak sampai patah. Darimana datangnya angin kencang itu" Rupanya Ong Siau-sik telah menggabungkan tenaga serangan yang dilancarkan oleh Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng menjadi satu, kemudian dipantulkan balik ke depan untuk menyongsong datangnya serangan angin lembek dari Cu Siau-yau. Ilmu lembek Im-ji-bian-ciang sebetulnya merupakan ilmu pukulan yang khusus digunakan untuk memunahkan ancaman pukulan tenaga keras, tapi untuk membendung tenaga gabungan dari Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng yang datang bagaikan gelombang dahsyat itu, keadaannya persis seperti seseorang yang punya takaran makan biasa secara tiba-tiba dijejali lima puluh butir telur, sudah pasti ia tak sanggup menelannya sekaligus. Sekarang Tong Po-gou baru memahami maksud tujuan Ong Siau-sik, dia pun mengerti juga kenapa Pek Jau-hui mencegah mereka untuk maju. Tiba-tiba ia teringat dengan takaran makan Thio Than yang luar biasa, tegurnya, "He, jika kau harus menelan lima puluh butir telur sekaligus, berapa mangkuk nasi lagi yang dapat kau habiskan?" Thio Than tidak mengira akan datangnya pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia jadi kebingungan sendiri, tapi akhirnya dia menyahut, "Maaf, biasanya aku tak sudi makan telur yang dikirim si telur busuk!" Seandainya jari tangan Pek Jau-hui tidak menekan di atas bahu mereka, seandainya Gan Hok-hoat tidak melancarkan serangan waktu itu, mungkin kedua orang ini kembali sudah gontok-gontokan. Syarat utama untuk berhasil dalam menggunakan ilmu Kim-na-jiu adalah pertarungan jarak dekat. Bila kedua belah pihak tidak terlibat dalam pertarungan jarak dekat, mustahil ilmu Ki-na-jiu bisa menunjukkan kehebatannya. Dalam kenyataan ilmu Ki-na-jiu memang merupakan salah satu ilmu silat yang paling banyak mendatangkan manfaat dan keuntungan di dalam suatu pertarungan jarak dekat. Tapi ilmu Eng-jiau-jiu (cakar elang) yang digunakan Gan Hok-hoat justru melanggar kebiasaan itu. Begitu turun tangan, ia segera melancarkan serangan dengan jurus Kim-coa-ciam (menggunting ular emas), biarpun dilancarkan dari jarak jauh, namun seolah di tengah udara muncul sepasang tangan besi tak berwujud, tangan kirinya mencekik leher Ong Siau-sik sementara tangan kanannya mengunci ketiaknya. Dalam posisi yang amat sempit, lekas Ong Siau-sik membalikkan badan dengan jurus Heng-ka-thiat-bun (melintangkan pintu baja), kakinya berganti arah lalu dengan jurus In-liong-liau-ka (naga mega menebas sisik) dia punahkan serangan kim-najiu yang datang mengancam. Gagal dengan serangan pertama, Gan Hok-hoat segera melancarkan serangan berikutnya, belum lagi jurus kedua selesai digunakan, lagi-lagi dia mengubah jurus, secara beruntun dia gunakan jurus Seng-lui-sia-te (guntur menggelegar tanah merekah), Thi-yu-leng-hong (sayap besi mengebas angin) untuk menyerang atas dan bawah tubuh lawan, bukan saja perubahan jurus dilakukan amat cepat, bahkan desingan angin serangan makin lama semakin bertambah ganas. Pada hakikatnya ilmu kim-na-jiu yang ia gunakan jauh lebih dahsyat ketimbang digunakan dalam jarak dekat. Ong Siau-sik mulai menghela napas panjang. Pek Jau-hui yang mendengar itu mengira rekannya memberi tanda agar dia menggantikan posisinya, dengan cepat dia menghimpun tenaga dan siap melancarkan serangan. Ternyata Ong Siau-sik tidak bermaksud minta bantuan, begitu selesai menghela napas dia pun melancarkan serangan golok. Ia sama sekali tidak melolos goloknya, lalu dengan cara apa dia melancarkan serangan golok" Ternyata ia menggunakan telapak tangan sebagai pengganti golok. Golok membelah angkasa, bayangan golok menembus angkasa, tenaga golok menyelimuti angkasa. Hawa golok segera memapas setiap jurus serangan yang dilancarkan Gan Hok-hoat, baru saja desingan angin tajam meluncur ke udara, tahu-tahu ancaman itu sudah terpotong hingga lenyap tak berbekas. Akibatnya sia-sia saja Gan Hok-hoat melancarkan serangan, karena nyaris semua ancamannya mengalami kegagalan. Gan Hok-hoat menjadi panik, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan cepat, dia ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan itu, apa mau dikata walaupun tiga empat puluh jurus sudah lewat, semua serangannya tetap mengenai sasaran kosong, dalam keadaan begini ia mulai terkesiap, paras mukanya jadi merah padam, napasnya mulai terengah-engah. Ong Siau-sik sama sekali tidak dibikin kelabakan, dia hanya melancarkan serangan goloknya setiap kali setelah meyakinkan arah yang dituju lawan. Serangan golok apa itu" Mendadak Pek Jau-hui teringat 'tangan golok'. Tapi serangan yang digunakan Ong Siau-sik saat ini bukan hanya 'tangan golok' saja. 'Tangan golok' masih belum mampu melancarkan serangan jarak jauh. Ong Siau-sik dengan tangannya sebagai golok melancarkan serangan secara bertubitubi, serangan itu sedemikian dahsyatnya seolah-olah dia sedang memegang sebilah golok sepanjang satu kaki., dimana pikirannya bergerak, ke sana serangan goloknya menyambar, kehebatannya boleh dibilang sudah mencapai taraf 'hati golok'. 'Hati golok' jauh lebih unggul daripada 'tangan golok'. Serangan yang dilancarkan Ong Siau-sik saat ini boleh dibilang lebih mirip serangan 'hati golok'. Setiap kali Ong Siau-sik mengayunkan serangannya, Gan Hok-hoat kontan dibikin kalang kabut tak keruan. Untungnya anak muda itu tidak melancarkan serangan balasan, setiap kali dia hanya menjebol serangan lawan. Makin lama serangan goloknya makin cepat, makin lama semakin ganas, sekejap mata kemudian seluruh ruangan Sam-hap-lau sudah diselimuti hawa golok yang menggidikkan hati. Cu Siau-yau, Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng tidak tinggal diam, menyaksikan rekannya tercecar, serentak mereka melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Pukulan lembek Im-ji-bian-ciang, ilmu bacokan setan, Cong-seng-ci serta Engjiau-jiu dari Gan Hok-hoat dilancarkan dari jarak jauh secara bertubi-tubi, desingan angin serangan yang mendesing di seluruh angkasa membuat suasana bertam?bah tegang dan gawat. Sedemikian hebatnya pertarungan yang sedang berlangsung membuat Tong Po-gou yang bernyali besar pun dibuat terperangah hingga tak mampu berkutik. Bahkan Thio Than yang sudah lemah pun ikut berdiri dengan mata terbelalak. Tak lama kemudian serangan golok yang dilancarkan Ong Siau-sik makin lama semakin bertambah lemah. Menyaksikan hal ini, Thio Than segera menegur Pek Jau-hui, "He, apakah kau ingin melihat sahabatmu tewas?" Waktu itu Pek Jau-hui sedang menyaksikan pertarungan dengan penuh perhatian, sedemikian asyiknya hingga dia lupa diri, pemuda itu baru kaget setelah mendengar teguran itu. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Jika kau tidak mengeluarkan ilmu jarimu, mungkin Thio-toaya yang bakal terjun ke arena untuk membantu temanmu, coba lihat, temanmu hampir mati." "Jangan kuatir," Pek Jau-hui segera tertawa, "sahabatku ini tidak begitu gampang mati, menurut aku, hanya beberapa orang saja di kotaraja ini yang sanggup mencabut nyawanya, kalau cuma orang-orang itu ... huuuh, siapa tahu justru mereka yang bakal mampus di tangannya." "He, siapa yang kau maksud dengan mereka?" teriak Tong Po-gou tiba-tiba, biarpun matanya masih mengawasi jalannya pertarungan, namun telinganya mengikuti terus pembicaraan antara Thio Than dan Pek Jau-hui, "Apakah di antara mereka yang dimaksud termasuk juga aku si pendekar raksasa Tong Ki-hiap?" Pek Jau-hui mengamati terus jalannya pertarungan di tengah arena, caranya memandang seperti seorang yang sedang menikmati sebuah benda mestika, sementara mulutnya bergumam, "Lui Sun, So Bong-seng, aku, Kwan Jit, Ti Hui-keng, Lui Tongthian Mendadak terlihat cahaya pedang membelah angkasa dan menyelimuti seluruh arena pertarungan. Ternyata Ong Siau-sik telah melancarkan desingan angin pedang yang membelah angkasa. Dengan tangan kanan ia melepaskan serangan golok, tangan kirinya melepaskan serangan pedang. Padahal golok maupun pedangnya masih rapi di dalam sarung. Ternyata dia menggunakan tangan sebagai pengganti golok dan pedang, biarpun begitu, kedahsyatan serangannya justru jauh lebih hebat ketimbang serangan golok dan pedang sungguhan. Begitu menyaksikan cahaya pedang itu, Pek Jau-hui segera berseru lagi, "Tidak bisa, tidak mampu, Lui Tong-thian pun tidak mampu!" Baru selesai ia berkata, situasi dalam arena pertarungan telah terjadi perubahan. Tiba-tiba Jin Kui-sin melihat serangan bacokan setannya terputus di tengah jalan, tenaga pukulan itu terpental oleh selapis kekuatan yang luar biasa. Baru saja dia hendak memperkuat tenaga serangannya, tahu-tahu Ong Siau-sik sudah melancarkan sebuah babatan pedang ke arahnya. Dalam kondisi tergopoh-gopoh dia sambut babatan pedang itu dengan keras lawan keras. "Breeeek!", tahu-tahu badannya terlempar keluar jendela kemudian meluncur jatuh ke tanah. Ternyata di saat terakhir dia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyambut serangan itu, tak heran begitu badannya terlempar keluar, ia sudah tak sanggup menahan diri lagi. Ketika tubuhnya terlempar ke bawah loteng, kebetulan Liu Cong-seng sedang menjebol dinding sambil meluncur keluar ruangan. Ternyata Liu Cong-seng pun sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyambut bacokan golok Ong Siau-sik, tapi tubuhnya segera terhajar oleh tenaga pantulan yang dihasilkan serangan Cong-seng-ci, akibat benturan keras, tubuhnya mener?jang dinding kayu dan terlempar keluar loteng. Cu Siau-yau di tengah desingan angin golok dan hembusan angin pukulan lembeknya bergerak kian kemari bagaikan bayangan setan, pinggangnya yang ramping bagai ranting pohon liu bergoyang dan meliuk tiada hentinya, sebentar ia melompat ke atas tiang penglari, sebentar hinggap di tiang penyangga ruangan, tubuhnya bergerak ringan bagaikan sampan yang diombang-ambingkan ombak samudra. Sekalipun tidak sampai tergulung ombak hingga tenggelam, namun saat ini dia sudah kehilangan arah. Begitu juga keadaan Gan Hok-hoat, dia berusaha menggencet musuhnya dengan ilmu pukulan kerbau besi membajak tanah, jari tangannya menyambar kian kemari di antara gulungan cahaya golok, namun serangan tangan kosong yang dilancarkan Ong Siau-sik dirasakan justru jauh lebih menakutkan daripada serangan golok dan pedang yang sesungguhnya. Alis mata Gan Hok-hoat yang sudah putih terlihat semakin putih, sebaliknya paras mukanya makin lama justru semakin bertambah merah, merah bagaikan darah. Tiba-tiba ia menjerit keras, tubuhnya melambung ke udara lalu menyambar pinggang Cu Siau-yau. Ketika pinggang Cu Siau-yau terdorong oleh tenaga murninya, ia segera melejit ke udara, kemudian bersama Gan Hok-hoat melesat keluar melalui jendela. Menyaksikan kejadian itu, dengan perasaan heran Tong Po-gou segera berseru, "Tak mampu menang, sekarang mau kabur?" Belum selesai ia berkata, tampak Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng telah menerjang masuk lagi bersama-sama. Rupanya Gan Hok-hoat yang sadar kalau serangan mautnya tak mungkin bisa mengungguli Ong Siau-sik, segera mengambil keputusan untuk membantu Cu Siau-yau kabur dulu dari ruangan itu, kemudian setelah berada di luar ruangan, mereka bersama-sama menyelamatkan Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng terlebih dulu sebelum akhirnya balik lagi ke loteng Sam-hap-lau. Menyaksikan keempat musuhnya telah balik kembali, bahkan menyebarkan diri ke empat penjuru, Ong Siau-sik segera menghela napas panjang. Kelima jari tangannya yang semula sudah dikendorkan, kini mulai dikencangkan kembali. Pedang kiri golok kanan kembali siap melancarkan serangan. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Pek Jau-hui, dari gerak-gerik serta cara bertarung Ong Siau-sik, dia jadi teringat seorang tokoh persilatan yang sudah termashur. Leng-hiat! Si Darah dingin! Leng-hiat, salah satu jagoan dari empat opas tak pernah mundur jika bertarung melawan musuh, dia hanya tahu menyerang tanpa bertahan, empat puluh sembilan jurus ilmu pedangnya tak satu pun merupakan jurus bertahan, konon jurus k-eempat puluh delapan menggunakan kutungan pedang sebagai jurus, kemudian menciptakan lagi jurus keempat puluh sembilan, yakni menggunakan pita pedang sebagai jurus serangan. (Silakan baca seri 4 opas: Pertemuan di Kotaraja). Belakangan dia pun mendengar kalau Leng-hiat berhasil menciptakan jurus pedangnya yang kelima puluh ... jurus pedangnya yang terakhir. Telapak pedang! Jarang ada orang bisa lolos dari serangan maut 'telapak pedang' Leng-hiat, tidak terkecuali jagoan yang memiliki ilmu silat lebih tinggi dari dirinya sekalipun. Telapak pedang Leng-hiat tidak terlalu tersohor, sebab jurus itu merupakan jurus rahasia dari kepandaian membunuhnya. Jurus rahasia dari seorang pembunuh biasanya memang jarang diketahui orang, sebab makin sedikit yang tahu makin besar khasiatnya ketika digunakan untuk membunuh. Jika terlalu banyak orang yang mengetahui jurus rahasianya, maka jurus itu sudah tak layak disebut sebagai jurus rahasia lagi. Leng-hiat telah menggabungkan telapak tangan dengan pedangnya, telapak tangan adalah pedang, pedang adalah telapak tangan, pedang ada manusia hidup, pedang hilang orangnya tewas. Keadaan itu tak beda jauh dengan ilmu pedang Leng-khong-siau-hun-kiam (pedang pelumat sukma) yang dimiliki Ong Siau-sik. Tiada telapak tangan, tak ada juga pedang. Yang dia gunakan bisa saja telapak tangan, bisa juga pedang, sebentar telapak tangan sebentar pedang, bukan telapak tangan bukan pedang, tapi ketika digabungkan dengan golok di tangan kanannya, maka tangan kirinya adalah pedang, memancarkan kekuatan sebagai sebilah pedang, bahkan masih dapat memancarkan kekuatan yang tak mampu dilakukan oleh pedang. Oleh sebab itu daya kekuatan yang dipancarkan pedang di tangan kiri Ong Siau-sik boleh dibilang terpancar karena desakan golok di tangan kanannya, sebaliknya daya kekuatan yang terpancar pada golok di tangan kanannya terbentuk karena pengaruh pedang di tangan kirinya. Daya kekuatan semacam ini luar biasa hebatnya, membuat orang yang memandang jadi terkagum-kagum. Sementara itu dalam benak Pek Jau-hui pun muncul satu pikiran, Dia ingin tahu seandainya ilmu sentilan tiga jari miliknya berhadapan dengan ilmu golok kerinduan dan pedang pelumat sukma milik Ong Siau-sik, siapa yang akan muncul sebagai pemenang" Ia merasa bila tak ada kesempatan untuk bertarung melawan ilmu golok dan ilmu pedang itu, kejadian ini boleh dibilang merupakan satu peristiwa yang patut disesalkan. Mendadak terdengar Ong Siau-sik berseru, "Kalau pertarungan dilanjutkan lebih jauh, aku bakal kewalahan. Bagaimana kalau kita sudahi pertarungan sampai di sini saja" Toh di antara kita semua tak ada dendam tak ada sakit hati, buat apa mesti saling membunuh?" Keempat orang itu saling bertukar pandang sekejap. "Kau keliru," kata Gan Hok-hoat kemudian dengan wajah serius. "Lalu Ong Siau-sik tahu, jarang ada jagoan yang mau mengaku kalah setelah berlangsungnya pertarungan. "Kami putuskan tak akan bertarung lagi," ujar Gan Hok-hoat tegas. Mula-mula Ong Siau-sik agak melengak, kemudian lekas serunya, "Maaf, maaf "Buat apa minta maaf" Kami sudah berusaha dengan sepenuh tenaga, tapi kenyataannya tetap tak mampu mengungguli dirimu," kata Gan Hok-hoat cepat, kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Karena merasa tak mungkin bisa menangkan dirimu lagi, maka kami mengaku kalah." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perkataan itu justru membuat Ong Siau-sik terperanjat, tapi hati kecilnya merasa sangat kagum. Empat orang rasul ini memang tak malu menjadi tokoh kenamaan, mereka berani menga?ku kalah, apalagi mengaku kalah di hadapan orang banyak. "Tapi, kami pun merasa amat menyesal," ujar Gan Hok-hoat lagi. "Kenapa?" tanya Ong Siau-sik keheranan. "Karena kami tak dapat menyelamatkan jiwamu." Ong Siau-sik melongo, dia benar-benar tidak mengerti apa maksud perkataan itu. Terdengar Gan Hok-hoat berkata lebih jauh, "Sebab Jit-sengcu telah datang, ketika kami turun ke bawah tadi, sudah kulihat Jit-sengcu bersama rasul kelima dan rasul keenam tiba di bawah loteng." Diam-diam Pek Jau-hui merasa terperanjat, ia kaget karena sama sekali tidak merasa kalau di bawah loteng Sam-hap-lau telah muncul tiga orang jago. Tampak paras muka Liu Cong-seng, Jin Kui-sin dan Cu Siau-yau memperlihatkan suatu perubahan yang sangat aneh. Mereka ada yang merasa sayang, ada yang bersyukur bahkan ada yang gembira karena bakal melihat orang tertimpa bencana, pokoknya sorot mata mereka seakan merupakan pandangan mata terakhir kepada orang-orang yang hampir mati. Ong Siau-sik merasa sangat tidak puas, serunya sambil mendengus, "Manusia macam apa sih Sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng" Sudah lama aku ingin melihat bagaimana tampangnya." "Kalau ingin bertemu aku, cepat menggelinding turun ke bawah!" terdengar seseorang menjawab dari bawah loteng. "Hahaha, aku memang ingin bertemu kau, lebih baik kau saja yang menggelinding naik!" Baru selesai Ong Siau-sik mengucapkan perkataan itu, permukaan lantai dimana ia berdiri tiba-tiba bergoyang. ooOOoo 38. Manusia kosong Tiba-tiba lantai dimana mereka berpijak runtuh ke bawah diiringi suara gemuruh yang sangat keras. Sekalipun mereka ingin me'ompat, menghindar atau mencari tempat pijakan, semuanya tak berguna. Sebab seluruh lantai dari ruang tingkat dua rumah makan Sam-hap-lau itu runtuh ke bawah, seakan lantai itu selama ini hanya tergantung di awang-awang dan sekarang kehilangan sandarannya. Dalam waktu singkat seluruh benda termasuk orang berikut bangku dan meja, bahkan termasuk juga keempat dayang dan keempat orang Sengcu itu terjatuh ke bawah. Debu dan pasir beterbangan di udara, hancuran papan dan kayu berserakan dimanamana. Pek Jau-hui masih tetap berdiri tegak, dia tetap berdiri dengan angkuhnya, tiada debu dan pasir yang mengotori tubuh serta pakaiannya. Dia telah menyelinap ke belakang tubuh Lui Tun dan Un Ji. Justru karena jari tangannya menahan di belakang punggung mereka berdua, maka Lui Tun maupun Un Ji tidak sampai roboh terjungkal ke tanah. Keempat orang dayang itu terhuyung-huyung seperti mau terjungkal, sementara Tan Cian-kui sudah roboh terkapar di lantai, sedang keempat orang rasul sama sekali tidak nampak me?ngenaskan, karena sejak awal mereka sudah membuat persiapan. Tong Po-gou justru yang mendapat masalah. Bentuk kepalanya memang luar biasa besarnya, maka sewaktu terperosok jatuh ke bawah tadi, ia berusaha maju mundur dengan niat menyeimbangkan badannya supaya tidak terjerembab, apa mau dikata, kuda-kudanya tidak cukup kokoh, akibatnya ia jadi sempoyongan, nyaris tubuhnya terjerembab ke tanah bagai anjing kelaparan yang berebut najis. Thio Than jauh lebih ringan dan gesit gerakan tubuhnya, akan tetapi dia pun dibuat kerepotan. Dalam keadaan kalut, ia masih harus menyelematkan kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya. Biarpun kelima puluh enam buah mangkuk itu hanya mangkuk kosong, namun mangkuk itu merupakan alat makannya, dia tak ingin tempat makan andalannya itu hancur akibat terperosok ke lantai bawah. Ketika rombongan orang-orang itu terperosok jatuh ke lantai bawah, di bawah ruangan sana sudah tak ada seorang pun, tak ada meja, tak ada bangku, seakanakan semua barang itu sudah disingkirkan orang tanpa diketahui siapa pun, yang tersisa sekarang hanya sebuah ruangan kosong. Tampak dua sosok bayangan manusia, semuanya berkerudung, sedang melompat ke samping, seorang berdiri di depan pintu rumah makan Sam-hap-lau. Rupanya kedua orang manusia berkerudung itulah yang telah menghancurkan seluruh tiang penyangga yang ada di ruangan itu hingga seluruh lantai ruang atas ambruk ke bawah, begitu berhasil dengan pekerjaannya, secepat kilat mereka balik kembali ke samping ketua mereka, Jit-sengcu. Belum habis rasa kaget dan ngeri yang mencekam perasaan semua orang, terlihat Cu Siau-yau, Liu Cong-seng, Gan Hok-hoat serta Jin Kui-sin telah maju menghampiri orang yang duduk di depan pintu itu sambil memberi hormat, "Hamba mengunjuk hormat untuk Jit-sengcu, Kwan Jit-ya!" Seluruh perhatian mereka yang hadir pun serentak dialihkan ke wajah orang itu. Mereka ingin tahu, Jit-sengcu, ketua Perkumpulan Mi-thian-jit-seng, yang disebut orang sebagai Kwan Jit, si pembius langit, sebenarnya adalah manusia macam apa" Sayang mereka tak dapat menyaksikan wajah Kwan Jit. Saat ini yang mereka saksikan hanya seorang manusia yang kosong. Orang ini sama sekali tak bercadar, dia pun tidak menggunakan sebangsa topi lebar untuk menutup raut mukanya. Begitu menyaksikan orang ini, segera akan diketahui bahwa dia hanya seseorang yang kosong ... kosong dalam arti pikiran, perasaan, masa lalu, masa sekarang, masa mendatang bahkan segala sesuatunya kosong. Kalau dilihat dari perubahan mimik mukanya, dia seolah sedang berpikir keras, sepasang alis matanya bekernyit, rambutnya sudah beruban seperti dilapisi bunga salju, namun wajahnya justru begitu halus persis seperti wajah seorang bocah. Raut muka bocah yang dia miliki sangat berbeda bila dibandingkan wajah bocah Gan Hok-hoat. Raut wajah Gan Hok-hoat terawat sangat baik, wajah kebocahan yang segar dan kencang. Tapi orang ini memiliki wajah seperti seorang bocah yang sedang tumbuh, namun berhenti secara tiba-tiba setelah mencapai satu tingkatan tertentu, sinar matanya guram, bahkan mendekati pandangan mata yang kosong, bahkan panca indra maupun mimik mukanya memberi kesan bahwa orang ini mempunyai perasaan dan pandangan yang kosong. Dia duduk di atas sebuah kursi, kursi berwarna hitam yang dapat didorong. Kalau dibilang kursi ini mirip sebuah bangku, maka lebih cocok kalau dibilang sebuah kereta narapidana, keempat dindingnya terbuat dari besi berwarna hitam, persis seperti sebuah peti besi, sementara orang itu duduk di dalamnya sehingga hanya kepalanya yang menongol keluar, keadaannya tak beda jauh dengan narapidana yang berada di atas kereta. Bedanya hanya tiga sisi peti besi itu dibiarkan tertutup, sementara satu sisi yang lain berada dalam keadaan terbuka, sisi yang menghadap ke depan. Oleh sebab itu hampir setiap orang yang hadir di situ dapat menyaksikan keadaan manusia kosong itu secara jelas, terlihat pergelangan tangannya digantungi sebuah borgol berwarna co-klat, rantai borgol sepanjang dua kaki, sementara sepasang kakinya terlihat juga sepasang borgol, hanya rantai borgolnya sepanjang tiga kaki. Orang ini tak ubahnya seperti seorang narapidana yang sedang dibawa menuju ke lapangan eksekusi. Di samping itu terlihat juga kulit badannya begitu putih hingga meninggalkan kesan pucat, tampaknya sepanjang tahun ia tak pernah terkena sinar matahari. Melihat itu, diam-diam semua yang hadir merasa sangat iba, khususnya Thio Than. Masih mendongkol dengan kejadian yang baru saja dialami, dimana ia nyaris jatuh terjerembab, dengan perasaan tak senang Thio Than segera menegur, "Siapa yang bernama Jit-sengcu" Kini kami sudah turun, kenapa kau masih belum menggelinding keluar?" Baru selesai ia berkata, manusia kosong itu sudah mendo?ngakkan kepala secara tiba-tiba. Begitu orang itu mendongakkan kepalanya, dengan pera?saan terperanjat Thio Than mundur satu langkah. Selama hidup belum pernah dia menyaksikan sorot mata yang begitu menakutkan. Sorot mata yang begitu kuat, sorot mata yang begitu tajam dan menakutkan ternyata memancar keluar dari balik sepasang mata yang kelihatan kosong. Sinar tajam itu hanya melintas dalam waktu sekejap, kemudian hilang kembali. Untuk beberapa saat lamanya Thio Than tidak mampu berkata-kata, satu perasaan aneh segera berkecamuk dalam benaknya. Selama ini dia tak pernah berpikir soal mati. Dia selalu hidup dengan riang, hidup dengan penuh semangat dan gembira. Ia bisa kenal Lui Tun karena pernah menjanjikan satu hal 'kepadanya, ia pernah berhutang budi kepadanya, maka ia bersumpah akan melindungi gadis itu hingga saat perkawinannya, selama bergaul dan berkumpul dengan gadis cantik macam dia, tentu saja perasaannya selalu diliputi keriangan dan kegembiraan. Apalagi makan nasi merupakan kegemarannya yang paling utama, jika ia mati, maka dia tak akan bisa makan nasi, itulah sebabnya dia "tak pernah berpikir soal kematian. Bukan hanya begitu, dia pun amat takut mati. Kalau bisa tidak mati, dia berusaha keras untuk tidak mati. Agar tidak sampai mati, ia tak segan untuk menangis, dia pun tak segan untuk berteriak minta tolong. Dia tak pernah berharap nyawanya akan berakhir dalam waktu singkat. Tapi kini setelah ditatap sekejap oleh manusia kosong itu, mendadak perasaannya seolah tertindih oleh sebatang besi yang amat besar, dia merasa pikiran dan perasaannya amat kalut, bahkan nyaris merasa ingin mati saja. Mati merupakan keputusan di ujung sejuta keputus-asaan, namun itupun tak lebih hanya sebuah keputusan, sama seperti keputusan untuk hidup, keputusan untuk menyukai seseorang, memutuskan untuk bersikap lebih riang dan lain sebagainya, semuanya hanya berupa sebuah keputusan. Akan tetapi di saat ingatan 'lebih baik mati saja' muncul dalam benak seseorang, sama artinya bahwa orang itu sedang memutuskan untuk tidak melakukan perbuatan yang lain lagi. Tak heran kalau ada pepatah yang mengatakan bahwa 'ingin mati tak dapat menyelesaikan masalah'. Thio Than hanya dipandang sekejap oleh orang itu, namun dalam perasaannya segera terlintas ingatan, daripada hidup lebih baik mati. Langit makin gelap, udara semakin terasa dingin, angin mulai berhembus kencang. Angin yang berhembus adalah angin puyuh. Angin kencang membuat mata semua orang nyaris tak mampu dibuka. Mendadak terdengar Gan Hok-hoat berseru dengan suara berat, "Jit-sengcu, Kwan Jit-ya telah datang, jangan bersikap kurang sopan!" Semua orang terkesiap, semua orang terperangah. Manusia kosong yang duduk dalam kereta bagaikan seorang narapidana, bagai seorang idiot ini adalah Kwan Jit, tokoh kalangan hitam yang termashur karena kehebatan kungfunya, karena kemisteriusannya" Sementara semua orang masih tercengang, melongo, terdengar seseorang berseru dari atas rumah, "Dia adalah Kwan Jit" Lalu siapa yang jadi Kwan Pat?" Ketika semua orang mendongakkan kepala, tampak Ong Siau-sik sambil berpegangan pada tiang beranda bangunan sedang melongok ke bawah sambil tertawa mengejek. Kwan Jit mendongakkan kepala juga, mendongak dengan sorot matanya yang kosong. "Nah, begitulah," kembali Ong Siau-sik berseru sambil tertawa, "memang ada baiknya kau mendongakkan kepala dan memandang aku terlebih dulu." Seraya berkata, dia melayang turun ke bawah. Ketika tadi ia mendengar ada orang membentak dari luar ruangan yang menyuruh dia menggelinding turun, menyusul kemudian lantai ruangan ambruk, anak muda itu segera melejit ke udara dan berpegangan pada tiang penglari, ia bertahan terus pada posisi itu hingga Kwan Jit mendongakkan kepala memandang ke arahnya, setelah itu dia baru melayang turun ke hadapan manusia kosong itu. Ternyata Kwan Jit sama sekali tidak marah, malah setengah kebingungan dia bergumam, "Kwan Pat, siapa itu Kwan Pat?" Sekali lagi wajahnya menampilkan mimik muka seperti orang sedang berpikir keras, namun dengan begitu dia semakin nampak seperti orang yang betul-betul berpikiran kosong. Ada dua orang berdiri di samping Kwan Jit, satu berdiri di sisi kanan satunya lagi di sisi kiri. Kedua orang itupun mengenakan kain kerudung di wajahnya, sikap mereka kaku bagaikan dua buah arca yang terbuat dari tembaga. Orang di sebelah kanan mengenakan jubah lebar dengan tangan dimasukkan ke balik saku, sementara orang di sebelah kiri mengenakan sarung tangan kulit menjangan, jari tangannya kelihatan jauh lebih panjang satu setengah kali dibanding orang biasa, siapa pun belum lupa kalau mereka berdualah yang barusan menghancurkan bangunan loteng itu seperti orang memotong tahu saja. Orang berjari panjang itu tiba-tiba menghampiri Kwan Jit dan berbisik, "Jit-ya, silakan turunkan perintah." "Turunkan perintah" Perintah apa?" tanya Kwan Jit seperti orang kebingungan. "Mereka telah mencemarkan nama baik Sengcu, sudah sepantasnya dihukum mati." "Mereka berani mencemarkan nama baikku" Kenapa mereka harus mencemarkan nama baikku?" Orang berkerudung berjari panjang itu segera menjawab, "Bukankah baru saja mereka telah mencemarkan nama besar Sengcu, bahkan begitu berani menghalangi perkawinan Sengcu dengan nona Lui." "Aku akan menikahi nona Lui?" Kwan Jit kelihatan semakin kebingungan. Manusia berkerudung lain yang pendek kecil tapi kekar itu segera berdehem seraya berkata, "Nona Lui adalah putri tunggal Lui-congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong " "Benar," sambung manusia berkerudung berjari panjang itu, "Sengcu akan mengawini nona Lui, nona Lui adalah Sengcu-hujin, Sengcu-hujin adalah istrimu, tapi bocah keparat yang tak tahu tingginya langit tebalnya bumi itu telah menghalangi usaha kita." "Siapa itu nona Lui?" hawa amarah mulai muncul di wajah Kwan Jit. "Dia adalah nona Lui!" sambil berkata orang berjari panjang itu menuding ke arah Lui Tun. Kwan Jit memandangnya sekejap, tak tahan dia memandang lagi untuk kedua kalinya, setelah memandang untuk kedua kalinya ia memandang untuk ketiga kalinya, makin dipandang, kebimbangan dan kebingungan yang semula memancar dari balik matanya kian pudar, sebagai gantinya kini muncul sorot mata yang penuh dengan kelembutan. Pada saat itulah suasana di arena telah terjadi perubahan. Tatkala manusia berkerudung itu menuding ke arah Lui Tun tadi, rupanya Pek Jauhui telah melangkah maju ke depan sambil bersiap, dia sudah siap melancarkan serangan apabila pihak lawan mulai melakukan penyerbuan. Sekarang ia sudah dapat melihat dengan sangat jelas, tampaknya Ngo-sengcu dan Lak-sengcu yang bertubuh jangkung dan pendek itu bukan saja mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi ketimbang keempat orang Sengcu lainnya, bahkan kehebatan kungfunya sukar diduga. Kendatipun ia sudah mempersiapkan diri, namun kejadian di luar dugaan tetap berlangsung. Rupanya setelah menuding ke arah Lui Tun tadi, orang berjari panjang itu kembali mengebas ke arah lain, kalau tudingan ke arah Lui Tun sama sekali tidak menimbulkan kejadian apa-apa, maka kebasan berikutnya mengakibatkan hal yang fatal. Terlihat ada segulung desingan angin tajam menyambar lewat, tahu-tahu seorang dayang berpedang yang ada di sisi Lui Tun sudah menjerit kesakitan, darah segar menyembur keluar dari atas keningnya, tak ampun tubuhnya seketika terkapar di atas tanah. Manusia berkerudung itu tertawa seram, suaranya dingin menggidikkan, membuat bulu kuduk berdiri. Ketiga orang dayang lainnya menjerit kaget, melihat jalan darah Ing-thong-hiat di kening rekannya mengucurkan darah segar, mereka terkejut bercampur gusar, serentak ketiga orang itu menerjang ke depan. Pek Jau-hui tahu beberapa orang dayang itu bukan tandingan manusia berkerudung itu, lekas bentaknya, "Berhenti!" Tapi ketiga orang dayang itu tidak menggubris, kematian salah seorang rekannya membuat mereka naik pitam, tanpa menggubris mereka pun menyerbu ke depan siap mengadu jiwa. Tong Po-gou tidak tega membiarkan beberapa orang itu pergi mengantar nyawa, cepat dia maju ke depan sambil menyambar bahu dua orang dayang di antaranya. "Jangan gegabah!" teriaknya. Kedua orang dayang itu boleh dibilang masih muda, merasa bahunya ditahan Tong Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Po-gou hingga sama sekali tak mampu bergerak, mereka jadi malu bercampur marah, mendadak sambil membalikkan tubuh mereka ayunkan tangannya ke depan dan menampar pipi Tong Po-gou dari kiri dan kanan. Tong Po-gou menjerit kesakitan, teriaknya, "He, kenapa kalian malah menampar aku?" "Hmm, siapa suruh kau tak tahu aturan?" sahut dayang berbaju ungu sewot, "rasakan sekarang kelihaian kami!" Ketika Thio Than menyaksikan Tong Po-gou sudah menarik bahu dua orang dayang, dia pun tak mau kalah, cepat badannya maju dan menghadang dayang ketiga, tapi begitu melihat Tong Pogou kena ditampar, sementara si dayang yang dihadangnya juga sedang mengayunkan tangannya hendak menampar dia, lekas dia mundur dua langkah. Untung dia berkelit cukup cepat sehingga tidak termakan tamparan itu, serunya kemudian sambil tertawa tergelak, "Sudah ada contoh sebelumnya, masakah aku ikut masuk perangkap?" Siapa tahu gara-gara melompat mundur, kakinya menginjak di atas kaki Un Ji. Waktu itu Un Ji sedang teramat gusar karena melihat si orang berjari panjang itu melancarkan serangan bokongan sehingga membunuh seorang dayang berpedang itu, ketika secara tiba-tiba kakinya terinjak Thio Than yang sedang menghindar sehingga menimbulkan rasa sakit, amarahnya semakin berkobar. Dengan penuh kejengkelan Un Ji segera menendang pantat Thio Than dengan keras sembari umpatnya, "Sialan kau, berani amat menginjak kaki nonamu hingga kesakitan!" Begitu menginjak kaki orang, Thio Than segera berpaling dengan kaget, ketika dilihatnya Un Ji sedang melotot ke arahnya dengan penuh amarah, sebetulnya dia ingin meminta maaf, siapa sangka belum sempat kata maaf muncul dari mulutnya, sebuah tendangan keras telah mendarat di pantatnya. Untung dia menghindar cukup cepat, sekalipun pantatnya tidak sampai terkena tendangan keras, tak urung perutnya kena tersambar juga oleh tendangan itu, kontan tubuhnya mundur terhuyung beberapa langkah. "He, apa-apaan kau ini," tegurnya. Dengan demikian ketiga orang dayang itu tak ada yang menghalangi jalan perginya lagi, serentak si dayang bunga bwe, si dayang bambu dan dayang bunga seruni mengayunkan pedangnya dan menerjang lagi ke hadapan orang berjari panjang. Pek Jau-hui segera mengernyitkan dahi, kepada Lui Tun serunya, "Cepat suruh mereka berhenti!" "Jangan ke situ!" Lui Tun segera berteriak keras. Seketika itu juga ketiga orang dayang itu menghentikan langkahnya, sambil menghentakkan kaki karena jengkel. Seru si dayang pedang bambu, "Nona, kita tak boleh membiarkan enci Lan mati secara percuma Walaupun pancaran sinar gusar mencorong keluar dari balik mata Lui Tun, namun nada ucapannya masih amat tenang, katanya, "Kalian tak usah kuatir, Pek-kongcu dan Ong-siauhiap pasti akan menuntut keadilan buat kita." Waktu itu Ong Siau-sik sudah melompat maju, kepada orang berjari panjang itu tegurnya, "Mengapa kau sembarangan membunuh orang?" "Jika harus turun tangan, apa salahnya kalau sekalian membunuh" Jika tak ingin membunuh, buat apa mesti turun tangan?" jawab orang itu dengan suara dingin. "Baik!" seru Ong Siau-sik marah, "kalau kau boleh membunuh seenaknya, berarti aku pun boleh membunuhmu seenaknya." Orang berjari panjang itu mendengus sinis, seakan masih asyik menikmati jari sendiri yang panjang, katanya, "Bila seseorang memiliki kepandaian untuk membunuh setiap saat, berarti dia punya hak untuk membunuh siapa pun sekehendak hatinya, sayang, kau masih belum memiliki kepandaian semacam itu sehingga kau hanya bisa menjadi seorang yang menanti saatnya dibunuh orang." "Darimana kau bisa tahu kalau aku tidak memiliki kepandaian untuk membunuh?" tanya Ong Siau-sik sambil tertawa jengkel. "Karena kau telah bertemu dengan aku, karena di kotaraja tidak terdapat tokoh semacam kau," setelah tertawa seram lanjutnya, "asal kau mau mengutungi sebelah lengan dan sebelah kakimu, kemudian segera menggelinding keluar dari kotaraja, kami perkumpulan Mi-thian-jit-seng mungkin masih mau mengampuni nyawa anjingmu." Tiba-tiba Ong Siau-sik mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, ia tertawa penuh kegusaran. Pek Jau-hui ikut tertawa, pemuda ini tertawa angkuh. Belum pernah ada seorang manusia pun sewaktu tertawa bisa bersikap begitu angkuh, begitu jumawa. Tong Po-gou ingin ikut tertawa setelah menyaksikan hal itu, tapi sebelum ia turut tertawa, Thio Than yang berada di sampingnya sudah menegur, "He, kenapa kau ikut tertawa bodoh?" Tong Po-gou mendongkol setengah mati. Waktu itu orang berjari panjang itu juga sedang mendongkol, mendongkol setengah mati. Dia jengkel bercampur mendongkol setelah mendengar tanya jawab Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. "Apakah kau sudah mendengar apa yang dia katakan?" tanya Ong Siau-sik kepada rekannya. "Kelihatannya dia sedang meninggalkan pesan terakhirnya sebelum mampus," jawab Pek Jau-hui. "Dia keliru besar." "Ya, dia memang sangat keliru." "Sebenarnya kedatangan kami kemari adalah untuk melindungi nona Lui, pihak mana yang menang, pihak mana yang kalah, sebetulnya tak perlu diimbangi dengan pertarungan mati-matian, tak usah saling membunuh." "Ya, semestinya memang begitu." "Tapi begitu orang ini muncul di sini, tahu-tahu dia sudah membantai seorang nona yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini." "Siapa membunuh nyawa orang, dia harus membayar dengan nyawa sendiri, siapa hutang duit dia mesti membayar dengan duit," kata Pek Jau-hui sinis, "hutang nyawa bayar nyawa, sebetulnya peraturan ini sudah merupakan peraturan baku dalam dunia persilatan." "Betul, jika kau sudah membunuh orang, maka bersiaplah untuk dibunuh orang lain, maka pertarungan yang bakal berlangsung sudah berbeda sifatnya dengan pertarungan sebelumnya." "Kalau tadi hanya pertarungan pibu, maka sekarang adalah pertarungan untuk menentukan mati hidup." "Kalau memang begitu, harap Jiko yang mengurusi segala persoalan di sini, aku akan terjun dulu ke arena pertarungan," kata Ong Siau-sik. "Maaf, nyawa orang ini biar aku yang mencabutnya, sementara kau mengurusi persoalan di sini," Pek Jau-hui menghadang di depan Ong Siau-sik dan bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi "Tadi kau sudah bertarung satu babak, maka seharusnya babak ini kau serahkan kepadaku," ujar Pek Jau-hui sambil mengawasi jari orang itu, "apalagi serangan jarinya merupakan penggabungan dua macam ilmu langka yang disebut Lok-hong-ciang (pukulan angin rontok) dan Hou-liong-jiau (cakar naga mendekam), ilmu itu sudah lama hilang dari peredaran dunia persilatan. Jadi akulah yang mesti membereskan orang ini, dia berhasil membunuh lantaran keteledoranku." "Jiko...." "Sekalipun kau tidak merasa yakin dengan kemampuanku, paling tidak mesti percaya dengan ilmu jari pengejut dewaku," tukas Pek Jau-hui, "tak usah kuatir, jago lihai yang bakal muncul hari ini masih banyak sekali." Dari nada pembicaraan kedua orang ini, seolah mereka telah menganggap orang berjari panjang itu sebagai seseorang yang pasti bakal mampus, yang menjadi persoalan sekarang adalah siapa yang akan bertindak sebagai algojonya. Kendatipun gusar bercampur mendongkol,- orang berjari panjang itu tercekat juga perasaannya, dia tak menyangka kalau ilmu Hou-liong-jiau dan Lok-hong-ciang yang dimilikinya bisa diketahui anak muda yang tampak sangat jumawa itu. Mendadak satu perasaan aneh melintas dalam benaknya, ia bersumpah akan membunuh orang ini, sebab kalau tidak, suatu hari nanti mungkin dia yang bakal mati dibantai orang itu. Dalam waktu sekejap nasib kedua orang ini seolah sudah bertaut menjadi satu, hanya persoalannya siapa yang membunuh siapa, karena salah satu di antara mereka harus tewas di tangan yang lain. ooOOoo 39. Tiga jari menyentil langit Dengan langkah santai Pek Jau-hui maju ke tengah arena, seketika ia merasakan hembusan angin yang amat kencang. "Siapa kau?" tegur Pek Jau-hui dengan lagak jumawa, "selamanya aku tak pernah membunuh orang yang tak punya nama." "Siapa pula kau" Aku Lak-sengcu tak pernah membunuh Bu-beng-siau-cut," balas orang berjari panjang itu cepat, tapi ia segera sadar ternyata lagak bicaranya telah meniru lagak si pemuda jumawa itu. "Oooh, rupanya Lak-sengcu," Pek Jau-hui tertawa sinis, "kalau begitu kau tidak terhitung manusia tanpa nama, Cuma aku lihat kau lebih mirip makhluk yang tak patut ditonton orang." Tak terlukiskan rasa gusar Lak-sengcu, tapi dengan cepat dia berhasil mengendalikan gejolak emosinya, ujarnya dingin, "Tahukah kalian berapa banyak jago di bawah perkumpulan Mi-thian-jit-seng dalam serbuannya kali ini?" Pek Jau-hui tidak menemukan sesosok bayangan manusia pun di jalan raya maupun lorong sempit itu, yang terlihat hanya deruan angin puyuh dan gulungan pasir yang membuat seluruh bangunan rumah di sekitar sana bergetar keras. "Kali ini kami sertakan dua ratus tujuh belas orang jago, semuanya merupakan pasukan inti kami," kata Lak-sengcu bangga, "apalagi Jit-sengcu turut hadir di sini." Setelah berhenti sejenak, dia pun melanjutkan, "Jika kau berani bicara sembarangan lagi, berarti saat kematianmu sudah tiba." Mendadak Pek Jau-hui mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, kau memang manusia yang patut dikasihani/' jengeknya. Hawa amarah Lak-sengcu yang baru saja mereda kontan meletup kembali, kali ini dia nyaris tak mampu mengendalikan diri. "Oooh, jadi untuk menakut-nakuti aku, kau tak segan menggotong keluar sepasukan hulubalangmu" Kemudian lantaran kuatir disalahkan Kwan Jit, maka kau mengeluarkan barisan ini untuk membuat aku takut" Hmmm, dasar manusia tak punya malu, aku benar-benar merasa jengah melihat ulahmu itu," ejek Pek Jau-hui dengan kata-kata yang tajam, "sebetulnya kau sudah kehilangan rasa percaya diri, atau ingin mencari bala bantuan?" Lak-sengcu memekik nyaring, selama hidup belum pernah ia merasa semarah hari ini. Baru saja ia menggerakkan tubuhnya siap melancarkan serangan, tiba-tiba JMgosengcu yang bertubuh pendek kecil itu sudah melejit ke tengah arena. Dibilang melejit karena tubuhnya benar-benar melejit ke udara seperti peluru yang dilontarkan dengan pegas, bukan saja tidak nampak gerakan tubuhnya, bahkan sama sekali tidak menimbulkan suara. Begitu dia melejit, orang pertama yang dilalui adalah Ong Siau-sik. Dari balik bajunya dia mencabut keluar sesuatu, seperti melolos semacam senjata tajam, kemudian lewat udara dia lepaskan satu pukulan. Telapak tangannya pendek, gemuk dan tebal, bahkan sedemikian pendeknya tangan itu hingga nyaris lebih pendek satu ruas ketimbang tangan orang biasa. Ong Siau-sik segera menyilangkan telapak tangannya menangkis serangan itu dengan keras lawan keras, baru saja tubuhnya akan merangsek maju untuk menghadang jalan perginya, mendadak ia lihat di balik serangan itu ternyata terkandung tiga jenis tenaga kekuatan yang amat menakutkan, ketiga macam kekuatan itu meluncur tiba hampir bersamaan. Lapisan yang pertama adalah tenaga pukulan, tenaga pu-kularuyang kuat bagai gulungan ombak yang memecah tepian. Lapisan kedua merupakan tenaga berhawa dingin, kekuatan hawa dingin yang dahsyat bagai alunan ombak yang dipermainkan angin topan. Lapisan ketiga merupakan tenaga pukulan beracun, kekuatan tenaga racun ini bagai bukit karang yang berguguran ke bawah jurang. Orang yang menyambut serangan itu, kendatipun sanggup membendung tenaga pukulan yang pertama, dia tetap akan merasakan pembuyaran urat dan jalan darah yang terkandung dalam pukulan hawa dingin, semisalnya mampu membendung ancaman tenaga dingin itu, dia tetap akan dilukai oleh pukulan beracun yang dibawa oleh pukulan hawa dingin itu. Lekas Ong Siau-sik melindungi seluruh urat nadinya dan melompat mundur ke belakang. Dalam sekejap mata Ngo-sengcu sudah tiba di atas kepala Tong Po-gou dan Thio Than. Lekas Tong Po-gou melejit ke udara melakukan penghadangan. Dengan bentuk kepalanya yang besar, hadangan itu boleh dibilang membuat burung yang terbang lewat pun seketika terbendung. Tapi baru saja tubuhnya melambung ke udara, kaki kirinya sudah dipegang Jin Kuisin, lalu dibetotnya turun ke bawah. Tong Po-gou memiliki tenaga alam yang luar biasa, begitu kakinya dibetot Jin Kui-sin, bukannya dia terbetot jatuh, malahan menggunakan kesempatan itu dia menjejakkan kakinya dan tubuhnya melambung naik semakin ke atas. Liu Cong-seng yang menyaksikan kejadian ini ikut menerjang ke depan dan mencengkeram kaki kanan manusia raksasa itu, kedua orang itu serentak menarik kaki Tong Po-gou ke bawah. Tapi tenaga yang dimiliki orang itu memang mengerikan, bukan saja kedua orang itu gagal menariknya, malah sekarang mereka berdua yang ikut terbetot ke atas. Rumah makan Sam-hap-lau hanya terdiri dua tingkat, setelah lantai keduanya runtuh, maka mereka pun bisa langsung menerobos naik ke atas. Untuk beradu kekuatan dengan kedua orang itu, Tong Po-gou langsung mengeluarkan segenap kekuatan yang dimilikinya, tak heran tubuhnya langsung menjebol atap rumah yang miring sebelum akhirnya meluncur jatuh ke bawah. Dia seolah sudah lupa apa tujuannya melompat ke udara tadi. Dengan gemas Thio Than menghentakkan kakinya seraya mendengus dingin, dia tahu kini tiba gilirannya untuk menghadang jalan pergi Ngo-sengcu. Kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya segera ditumpuk menjadi satu, membentuk sebatang tiang mangkuk yang lebih mirip sebuah toya besar, dengan senjata itu dia sapu pinggang Ngo-sengcu. Begitu Ngo-sengcu melakukan perubahan gerakan, dengan cepat Thio Than mengimbangi perubahan itu dengan melakukan perubahan juga. Ke arah mana Ngo-sengcu bergerak, mangkuknya bergeser ke arah yang sama untuk menghalangi jalan perginya. Begitu konsentrasi menyerang bagian atas lawannya dengan senjata mangkuk, pertahanan bagian perutnya menjadi terbuka, gara-gara itu nyaris ia kena dicengkeram cakar maut Gan Hok-hoat. Oleh karena Gan Hok-hoat sudah merangsek mendekat, Thio Than tak sempat lagi menghalangi Ngo-sengcu, kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya segera dibagi dua, dengan membentuk dua buah ruyung mangkuk dia membendung datangnya ancaman lawan. Dalam pada itu Ngo-sengcu sudah tiba di depan Un Ji. Semenjak tadi Un Ji memang sedang menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan, dia sudah menunggu lama sekali. Dengan satu lompatan ia menghadang ke depan, kuda-kudanya direndahkan, goloknya diayun ke muka seraya menghardik nyaring, "Jangan pergi, lihat serangan nonamu. Mendadak sesosok bayangan langsing menyelinap di hadapannya, dengan satu gerakan cepat Cu Siau-yau melepaskan sebuah pukulan ke depan kemudian dengan gerakan mencekal, membetot, menyentil, ia hendak merampas golok yang berada di tangan Un Ji. Tak terlukiskan rasa mendongkol Un Ji menghadapi ancaman itu. Berhasil dengan serangannya, sambil tertawa dingin Cu Siau-yau segera melompat mundur lagi ke belakang. Terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, satu serangan kilat langsung ditujukan ke tenggorokan Cu Siau-yau. Sementara Cu Siau-yau masih tertegun, Un Ji sudah berganti jurus, kali ini dia membabat pergelangan tangan lawan. "Lihat serangan balasanku," seru Cu Siau-yau sambil tertawa, dia lepas golok lawan sambil melepaskan satu pukulan ke arah pinggang Un Ji. Lekas Un Ji melompat mundur, tubuhnya ringan bagai bulu angsa yang terhembus angin, kemudian sambil memutar goloknya membentuk beberapa lingkaran bunga golok, bentaknya, "Kawanan tikus, berani membokong nonamu" Ayo, maju kalau berani Diam-diam Cu Siau-yau merasa amat kagum dengan kehebatan ilmu golok gadis itu, pikirnya, "Sebetulnya kungfu yang dimiliki bocah ini biasa saja, tapi ilmu goloknya memang lincah dan ganas, jika dia mau berlatih lebih tekun, ilmu goloknya memang tak Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo boleh dipandang enteng. Ilmu meringankan tubuh yang ia gunakan tadi mirip dengan ilmu gerakan tubuh Sun-si-jian-li (dalam sekejap seribu li) dari perguruan Siauhan-san-pay, tak heran dia berhasil merebut kembali goloknya yang berhasil kurampas, bahkan nyaris aku kena dihajar Un Ji merasa sangat kehilangan muka karena goloknya berhasil direbut lawan, masih untung dengan mengandalkan gerakan tubuhnya ia berhasil merampas kembali senjatanya, walau begitu, rasa jengkelnya membuat ia hanya berpikir untuk menghadapi Cu Siau-yau, akibatnya dia lupa kalau tujuan sebenarnya adalah menghadang jalan pergi Ngo-sengcu. Dayang pedang bunga bwe, bunga seruni dan bambu serentak menggetarkan pedangnya menusuk tubuh Ngo-sengcu. Serangan pedang ini terdiri dari sembilan gerakan, bila seluruh serangan bersatu-padu, maka akan terbentuk sebuah barisan pedang yang luar biasa kuatnya, jangan kan mereka yang berkungfu sedang, jagoan yang memiliki ilmu silat jauh di atas ketiga orang itupun jangan harap bisa menjebol barisan itu secara mudah. Sayang, saat ini mereka kekurangan satu orang, si pedang bunga anggrek keburu tewas lebih dulu. Dengan satu sapuan tangan, ketiga orang dayang itu lang?sung terpental ke belakang hingga nyaris jatuh terkapar. Berhasil memukul mundur ketiga orang dayang itu, Ngo-sengcu langsung menerjang ke depan Lui Tun, sebenarnya dia ingin mencengkeram gadis itu dengan satu sambaran kilat. Tapi Lui Tun berdiri tenang. Ketenangannya nampak begitu indah, nampak begitu lincah, nampak begitu mantap. Sekalipun musuh tangguh sudah berada di depan mata, namun ia sama sekali tidak nampak gugup, malah dengan sepasang matanya yang sayu dia menatap wajah Ngosengcu tanpa berkedip. Untuk sesaat Ngo-sengcu tertegun. Biarpun dia adalah manusia buas berhati bengis, untuk sesaat ia tak berani bertindak secara gegabah. "Maaf!" kata Ngo-sengcu sambil menjura, pukulannya segera diubah menjadi totokan, ia berniat menotok jalan darah Lui Tun. Tapi baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seorang berseru, "Hati-hati, mulai sekarang kau hanya bisa mundur dan kembali ke posisimu semula." Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dia pun menyaksikan datangnya cahaya pedang, mendengar datangnya desingan angin pedang, merasakan datangnya hawa pedang. Si penyerang telah melancarkan serangannya dengan cahaya pedang, angin pedang dan hawa pedang. Tekanan dahsyat yang timbul dari serangan itu membuat dia mundur ke belakang. Bagaimanapun dia berusaha menangkis, menghindar, berkelit, balas menyerang, semuanya tak berguna. Bila dia ingin menyelamatkan jiwanya, maka hanya ada satu jalan yang tersedia, yaitu mundur! Baru selesai perkataan itu diucapkan, ia sudah mundur kembali ke posisi semula ... tiba di samping Kwan Jit. Kini ia baru bisa menghembuskan napas lega, berbareng dia pun dapat melihat si penyerang, ternyata orang itu tak lain adalah Ong Siau-sik. Ong Siau-sik yang selalu cengengesan, acuh tak acuh dan seenaknya sendiri. Sekarang dia baru percaya seratus persen, seandainya Ong Siau-sik berniat membunuhnya, hal ini bukan pekerjaan yang terlampau sulit baginya. Jika Ong Siau-sik ditambah golok kerinduannya, maka untuk membunuhnya dia tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang dia merasakan di sampingnya masih ada seorang lagi, dia adalah Lak-sengcu, Lak-sengcu yang sekarang sama sekali telah berganti rupa. Dia nyaris tak mengenali dirinya lagi, sebab pakaian yang dikenakan Lak-sengcu menjadi compang-camping tak keruan, tak beda jauh dengan pakaian yang dikenakan seorang pengemis. Mungkin satu-satunya perbedaan hanyalah pakaian yang dikenakan Lak-sengcu meski sudah compang-camping, namun tidak dekil apalagi bau. Sesungguhnya Lak-sengcu sudah mulai turun tangan melancarkan serangan ketika pekikan nyaring bergema tadi. Dengan satu gerakan kilat dia menerjang ke hadapan Pek Jau-hui, kemudian secara beruntun melancarkan enam sodokan jari. Enam desingan angin tajam bagai hawa pedang yang menyayat langsung menyergap ke tubuh Pek Jau-hui. Oleh karena selisih jarak mereka berdua sangat dekat, serangan jari itu terasa begitu tajam dan dahsyat. Menghadapi datangnya serangan itu Pek Jau-hui segera tertawa. Ia mencabut keluar tangan kirinya dari balik pakaian, menekuk jarinya dan kemudian mulai melancarkan serangan balasan. Begitu jarinya disentil ke depan, tiga getaran segera bergema di angkasa, tatkala getaran pertama baru bergema, Lak-sengcu sudah melepaskan serangannya hingga jurus keenam. Hanya sampai di situ serangan yang bisa dilancarkan Lak-sengcu, ia sama sekali tak punya kesempatan untuk melancarkan serangannya yang ketujuh, karena dia memang sudah tak mampu menyerang lagi. Begitu Pek Jau-hui mulai melancarkan sentilan jarinya, desingan angin tajam segera menderu di empat penjuru, dalam keadaan begini Lak-sengcu hanya bisa berkelit. Dia hanya bisa menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menghindar. Pek Jau-hui melancarkan serangkaian serangan secara bertubi-tubi, bukan hanya ibu jarinya yang menyerang, jari kelingkingnya pun ikut melepaskan serangan maut, Lak-sengcu bukan saja tak sanggup membendung datangnya ancaman, sebaliknya makin mundur dia bergeser semakin jauh, yang bisa dia rasakan hanya desingan angin serangan lawan makin lama semakin gencar dan tajam. Tak lama kemudian seluruh pakaian yang dikenakan Lak-sengcu sudah hancur berlubang hingga compang-camping tak keruan, mengenaskan sekali tampangnya. Sambil mundur terus ke belakang, Lak-sengcu berusaha berkelit kian kemari, dia gunakan bangku besi yang diduduki Kwan Jit sebagai perisai. Pek Jau-hui segera mengerti apa yang diinginkan orang itu. Tampaknya Lak-sengcu sedang memohon bantuan Kwan Jit. Entah memang disengaja atau tidak, tiba-tiba salah satu serangan yang dilancarkan Pek Jau-hui menghajar tubuh Kwan Jit. Jit-sengcu dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng ini masih duduk dengan wajah kebingungan, ketika serangan itu menyambar ke tubuhnya, dia melakukan gerakan seolah sedang mengangkat cawan arak yang disodorkan ke depan mulut, gerakan itu dilakukan sangat lamban dan sederhana, tidak cepat tidak lambat, pada hakikatnya merupakan satu gerakan yang amat biasa. Tapi Pek Jau-hui segera merasakan tenaga serangannya seakan tenggelam di tengah samudra luas, bukan saja tenaganya sama sekali tak menunjukkan reaksi, malah secara tiba-tiba hilang lenyap. Menghadapi kenyataan ini Pek Jau-hui amat terperanjat, lekas dia menarik kembali jarinya dan tidak melakukan pengejaran lebih jauh. Paras muka Kwan Jit masih tetap kosong macam orang kebingungan, pandangan matanya tetap kosong. Dia hanya mengawasi wajah Lui Tun. Setiap kali memandang gadis itu, sekilas cahaya kelembutan segera menghiasi wajahnya. Walaupun ia telah berhasil memunahkan tenaga serangan yang dilancarkan Pek Jauhui, namun ia sendiri seakan tidak menyadari akan hal itu. Dalam pada itu semua pertarungan yang berlangsung kini sudah berhenti. Lak-sengcu yang berhasil lolos dari maut dalam keadaan mengenaskan hanya bisa berdiri dengan napas terengah-engah, serunya pada Pek Jau-hui dengan marah, "Ilmu ... ilmu jari apa yang kau gunakan" "Ilmu jari pengejut dewa," Pek Jau-hui menerangkan sambil bersiap menghadapi Kwan Jit, "dari tiga jari menyentil langit yang ada dalam ilmu jari pengejut dewa, aku hanya menggunakan jari kelingking, ilmu jari yang paling lemah kekuatannya." "Apa hubunganmu dengan Lui Kian dari Kanglam Bi-lek-tong?" bentak Lak-sengcu. "Kau belum berhak untuk tahu." "Boleh aku menanyakan satu hal kepadamu?" mendadak seseorang berkata. Suara itu sangat lembut, amat halus bahkan sangat kekanak-kanakan, pertanyaan pun diajukan dengan sopan, penuh tata-krama, hanya sayang mengambang seakan sama sekali tak punya rasa percaya diri. Ternyata pertanyaan itu diajukan oleh Kwan Jit. Beberapa saat Pek Jau-hui tertegun, tapi segera sahutnya, "Katakan saja!" Ong Siau-sik ikut mendekat, berdiri di samping Pek Jau-hui sambil berkata pula, "Tanyakan saja." "Nona Lui adalah istriku, mengapa kalian harus menceraikan kami?" tanya Kwan Jit. Seorang pemimpin tertinggi dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng ternyata mengajukan pertanyaan konyol semacam ini, untuk sesaat Pek Jau-hui malah dibuat tertegun hingga tak tahu bagaimana harus menjawab. "Karena nona Lui tidak setuju," lekas Ong Siau-sik menjawab. "Jadi nona Lui tidak setuju?" sambil berkata Kwan Jit mengalihkan sorot matanya ke wajah Lui Tun. "Ya, aku tidak setuju," jawab Lui Tun dari kejauhan. "Kenapa?" "Tahukah kau, bila ingin mengetahui jawabannya, kau bisa merasa amat sedih?" ejek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Aku tidak peduli, aku ingin mengetahui jawabannya." "Baiklah baru saja ia hendak mengucapkan beberapa patah kata yang bisa menimbulkan kesedihan orang itu, mendadak Ong Siau-sik sudah menukas. "Karena nona Lui sudah bertunangan." "Siapa yang menyuruh nona Lui bertunangan?" "Lui-congtongcu!" sahut Thio Than cepat. "Lui-congtongcu?" tanya Kwan Jit bingung. "Dia adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun!" bisik Lak-sengcu yang berada di sisinya. Kwan Jit seperti sedang memikirkan sesuatu dengan seksama, lama kemudian baru bertanya lagi, "Nona Lui sudah bertunangan dengan siapa?" Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak menjawab, mereka tak ingin sembarangan menjawab karena gerak-gerik orang ini sangat aneh. Tong Po-gou tak ingin keduluan Thio Than, lekas dia ber?teriak, "Dengan So Bongseng!" "So ... Bong ... Seng Kwan Jit merasa seakan pernah mendengar nama itu, ia merasa sangat mengenal nama ini hanya untuk sesaat tak teringat siapakah dia. Dengan suara lirih Ngo-sengcu segera menjelaskan, "Dia adalah Locu dari Kimhong-si-yu-lau, So Bong-seng." "Ooh, rupanya dia," seru Kwan Jit, kemudian sambil menggeleng ke arah Lui Tun, lalu katanya lagi, "Nona Lui, kau tak usah sedih, sekalipun sudah bertunangan, aku tak akan menyalahkan dirimu. Kemudian dengan nada santai katanya lebih jauh, "Akan kusuruh Lui Sun berubah pikiran, akan kuperintahkan So Bong-seng untuk membatalkan pertunangannya, bukankah semuanya jadi beres?" Begitu ucapan itu diutarakan, semua orang sama-sama merasa terkesiap. "Kemarilah kau," kembali Kwan Jit menggapai ke arah Lui Tun, "sekarang aku akan mengajakmu pergi, mengajak kau pulang ke rumah." Berubah hebat paras muka Pek Jau-hui, wajahnya berubah pucat pasi. Dia semakin gusar, wajahnya berubah makin pucat, sama seperti orang yang kelewat banyak minum arak, wajahnya akan semakin memucat. Makin banyak manusia yang dibunuh, paras mukanya juga makin pucat. Kulit tubuhnya yang putih meninggalkan kesan bersih, anggun dan menyolok, sangat berbeda dengan putihnya Kwan Jit. Putihnya Kwan Jit meninggalkan kesan tidak sehat, seakan sudah kehilangan kehidupan, seakan kekurangan darah. Tapi ada pula kesamaannya. Putihnya kedua orang itu mendatangkan perasaan hawa membunuh yang menggidikkan hati. Paras muka Pek Jau-hui makin lama berubah semakin putih, jarinya ikut memutih, membuat otot hijau pada punggung tangannya kelihatan semakin menyolok, membuat jarinya kelihatan lebih panjang. "Hanya dua macam orang yang sanggup mengucapkan perkataan semacam itu," kata Pek Jau-hui kemudian, "orang sinting atau idiot!" "Kau mengatakan aku sinting?" tiba-tiba Kwan Jit menjerit, ditatapnya wajah Pek Jau-hui dengan sorot mata setajam sembilu. Pek Jau-hui balas menatap sorot matanya, mendadak satu perasaan aneh timbul dalam hatinya. Mati! ooOOoo 40. Keng-tit Mati, bagi manusia macam Pek Jau-hui boleh dibilang merupakan satu kejadian yang mustahil. Manusia semacam ini biasanya akan semakin kuat bila bertemu yang kuat, bertambah garang bila bertemu yang dahsyat, kebandelan nyawanya nyaris sanggup menampik datangnya kematian. Tapi sekarang ia dapat merasakan datangnya kematian itu. Ini disebabkan dia telah menengok sekejap ke arah Kwan Jit. Suatu perasaan kosong yang begitu kuat membuat dia terbayang akan kematian. Tiba-tiba ia melancarkan serangan, jarinya diayunkan ke depan. Kali ini dia menyerang dengan menggunakan jari tengah, desingan angin tajam serasa menyayat kulit, kali ini dia harus membunuh musuhnya. Dengan kematian orang lain untuk mencegah keinginan mati yang muncul dalam hatinya. Angin jarinya menyambar lebih cepat dari desiran angin topan, lebih tajam dari mata golok, lebih berbahaya dari senjata rahasia. Bahkan lebih menakutkan daripada yang menakutkan. Keng-sin-ci, ilmu jari pengejut dewa membawa sedikit tenaga jari, tapi cukup dengan setitik desingan angin jari sudah lebih dari cukup untuk menembus batu karang. Desingan angin jari itu langsung mengancam kening Kwan Jit. Waktu itu Kwan Jit masih menggigit bibir sambil bergumam, seakan tidak melihat datangnya serangan ilmu jari pe-ngejut dewa itu. Tiba-tiba desingan angin serangan itu berbelok arah, angin yang sangat tajam itu berbalik menyerang tubuh Lak-sengcu. Mimpi pun Lak-sengcu tidak menduga, sambil menjerit keras ia berusaha berkelit, tapi terlambat, mau menghindar tapi tak sempat, mau menangkis tak mampu .... Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba Kwan Jit merentangkan sepasang tangannya, "Blaaaam!", dua lembar lempengan besi yang berada di sisi tempat duduknya itu tahu-tahu mencelat keluar menghantam tubuh Lak-sengcu di sebelah kiri dan Ngo-sengcu di sebelah kanan. Tubuh kedua orang itu segera mencelat hingga terlempar beberapa kaki dari posisi semula. "Sreeet!", serangan jari yang dilancarkan Pek Jau-hui ke tubuh Lak-sengcu hanya menyerempet lewat di sisi lengan kanannya, serangan itu tidak sampai merenggut nyawanya. Sebaliknya Ngo-sengcu baru merasakan telinganya amat sakit setelah tubuhnya terlempar sejauh beberapa langkah. Ternyata pada saat Pek Jau-hui melancarkan serangan ke arah Lak-sengcu tadi, secara diam-diam dia melancarkan juga sebuah serangan ke tubuh Ngo-sengcu, serangan itu dilancarkan secara diam-diam dan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Serangan jari yang tidak dibarengi dengan peringatan itu boleh dibilang jauh lebih menakutkan daripada serangan jari macam apa pun. Andaikata Kwan Jit tidak melempar tubuh mereka tepat pada saatnya, mungkin di atas wajah Ngo-sengcu sudah bertambah dengan sebuah lubang besar. Saat ini Ngo-sengcu benar-benar ketakutan setengah mati, rasa kaget bercampur seram membuat ia sedikit gemetar. Sebaliknya Lak-sengcu mengaduh keras, sambil memegangi lengannya yang terluka, ia mundur lagi dengan langkah terhuyung. Pek Jau-hui sendiri pun tak kurang rasa terkejutnya, dia tak menyangka Kwan Jit yang kelihatan macam orang idiot ternyata sanggup memunahkan tenaga serangannya dengan cara yang begitu sederhana. Gagal membinasakan Ngo-sengcu dan Lak-sengcu membuat pemuda ini uring-uringan, dia merasa dadanya menjadi sesak dan sangat tidak leluasa. Terdengar Kwan Jit menegur, "Kau berani mengatakan aku orang sinting?" "Aku tidak berani," sahut Pek Jau-hui santai, dia memang sengaja hendak membuat marah orang ini, agar dia melancarkan serangan balasan, "Kau bukan hanya sinting, bahkan lebih idiot dari orang goblok, lebih sinting daripada orang gila!" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Benar saja, ucapan itu kontan membuat Kwan Jit marah besar. Tiba-tiba dia menjerit, jeritannya begitu tinggi melengking seperti jeritan seorang wanita yang mendadak menyaksikan suatu kejadian horor. Begitu dia menjerit, gendang telinga semua orang serasa ditusuk pisau tajam, lekas semua jago menutup telinga sendiri dengan tangan. Sambil mencak-mencak gusar, Kwan Jit berteriak, "Apa kau bilang" Kubunuh kau, kubunuh kau!" Melihat ia menuding dengan jarinya, Pek Jau-hui mengira orang itu akan melancarkan serangan, lekas dia mengegos ke samping, setelah itu baru diketahui ternyata tudingan itu tidak membawa hawa serangan. Untuk sesaat pemuda ini jadi tersipu-sipu malu, tapi kemudian serunya sambil tertawa dingin, "Kalau memang dianggap mampu membunuh, ayo, bunuhlah, hmmm, justru aku kuatir kau tidak mampu, pada akhirnya malah mampus di tanganku!" Siapa tahu begitu mendengar perkataan itu, wajah Kwan Jit kembali nampak seperti orang linglung, gumamnya sendirian, "Aku bisa membunuh, orang pun terbunuh di tanganku, aku tak mampu membunuh, oranglah yang membunuh aku ..."' Ia mendongakkan kepala memandang langit, setelah tertawa pedih, katanya lagi, "Aku dapat mengendalikan orang, orang pun berada dalam kendaliku, aku tak dapat mengendalikan orang, akulah yang dikendalikan orang ..." Sambil bergumam, berulang kali tangan dan kakinya menggeliat sehingga terdengar suara benturan besi yang nyaring. Pek Jau-hui tidak bicara lagi, dia memang berniat mencoba kekuatan yang dimiliki Kwan Jit, keempat jarinya segera ditekuk membiarkan jari tengahnya tetap menegang, "Sreeet!", segulung desingan angin tajam langsung melesat keluar mengancam alis mata Kwan Jit. Waktu itu Kwan Jit masih bergumam sendiri, ia sama sekali tak ambil peduli atas datangnya ancaman itu. "Aku bisa mengungguli orang, orang pun kalah di tanganku, bila aku tak bisa mengungguli orang, akulah yang dikalahkan orang." Sembari berkata, dengan santainya dia mengangkat kedua belah tangannya satu ke depan yang lain ke belakang, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dia melakukan gerakan menggunting ke depan wajah lalu belakang kepalanya. Tahu-tahu desingan angin jari yang dilancarkan Pek Jau-hui seakan bertemu dengan penjepit yang terbuat dari bong?kahan es, tahu-tahu hancur dan lenyap tak berwujud. Ternyata dalam serangannya tadi meski sepintas seakan mengancam bagian depan musuh, padahal secara diam-diam angin serangan membelah jadi dua, yang satu secara diam-diam menyergap belakang kepala lawan, serangan ini disebut Toa-han (nama musim, bulan satu tanggal 20 - 21), sedangkan serangan yang mengarah depan terbagi pula jadi dua, sebelah kiri me?nyerang Lak-sengcu, sebelah kanan menyergap Ngo-sengcu, serangan ini disebut Siau-han (nama musim, bulan satu tanggal 5 - 7). Semuanya merupakan jurus serangan dari dua puluh empat jurus Keng-sin-ci. Jangan dilihat Kwan Jit nampaknya bebal dan bloon, ternyata semua serangan berhasil dia patahkan secara mudah. Terdengar orang itu masih saja bergumam sendirian, "Aku bisa menganiaya orang, orang pun teraniaya, aku tak mampu menganiaya orang, akulah yang teraniaya Pek Jau-hui sama sekali tidak memberi peluang pada musuh untuk melancarkan serangan balasan, dia merangsek maju, begitu tiba di hadapannya, sebuah serangan maut kembali dilancarkan. Sekarang Ong Siau-sik baru sadar, ternyata dia telah salah menilai kemampuan Pek Jau-hui. Selama ini dia selalu beranggapan ilmu jari yang dimiliki Pek Jau-hui sangat lihai, ilmu meringankan tubuhnya juga nomor wahid, tapi sama sekali tak tahu kalau kungfunya begitu luas, begitu aneh dan sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang tak terlukiskan. Ilmu silatnya bukan hanya beragam dan gesit, karena kalau hanya itu, Thio Than pun bisa melakukannya, tapi dalam setiap jurus yang digunakan Pek Jau-hui terselip juga gerakan ciptaannya sendiri, setiap jurus setiap gerakan yang digunakan olehnya menghasilkan daya kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Ketika Pek Jau-hui tiba di hadapan Kwan Jit, tubuhnya seolah telah berubah menjadi empat orang Pek Jau-hui. Keempat orang Pek Jau-hui itu segera memencar ke depan, belakang, samping kiri dan kanan Kwan Jit, lalu melancarkan serangan secara bersamaan, terkadang serangan muncul dari depan, lalu dari belakang, sebentar pindah ke timur lalu ke barat, hampir setiap jurus yang digunakan merupakan jurus serangan dari berbagai perguruan yang berbeda, biarpun ia sudah menyerang sebanyak tiga puluh tujuh jurus, namun belum ada satu jurus serangan pun yang diulang. Kwan Jit masih saja mengoceh tiada hentinya, "Aku bisa membohongi orang, orang pun aku bohongi, aku tak bisa membohongi orang Mendadak ia berhenti mengomel dan membungkam. Rupanya saat itu dia harus mematahkan sambil mengunci datangnya serangan yang dilancarkan Pek Jau-hui. Ketika menangkis hingga jurus kedelapan belas, Kwan Jit secara tiba-tiba melakukan satu tindakan yang sangat mengejutkan semua orang. Mendadak dia berjumpalitan dan membalikkan tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Tubuhnya masih tetap berada di dalam peti besi itu, tapi kini kepalanya berada di bawah sementara kakinya berada di atas, sepasang tangannya masih tetap dirantai, sepasang kaki pun masih mengenakan borgol, yang lebih mengejutkan lagi adalah dia berdiri dengan tangan, menangkis datangnya serangan dengan kaki. Atau dengan perkataan lain, dia menggunakan kaki menggantikan tangan, menggunakan tangan menggantikan kaki. Ia menangkis setiap serangan yang datang dengan menggunakan kakinya, sementara melepaskan serangkaian tendangan dengan tangan, beberapa gebrak kemudian Pek Jau-hui mulai merasa kepayahan. Tiga puluh tujuh gebrakan kemudian, paras muka Pek Jau-hui sudah berubah memucat, tapi ia masih bertarung terus dengan sepenuh tenaga. Pada saat inilah secara tiba-tiba Ong Siau-sik menemukan satu hal. Bukan Pek Jau-hui ingin bertarung lebih jauh! Yang benar Pek Jau-hui sudah tak mampu mundur dari situ! Sejak Kwan Jit memutar balikkan keadaan yang normal menjadi tak normal, sejak ia menggantikan peranan tangan dengan kaki, menggantikan peranan kaki dengan tangan, semua jurus serangan yang ia gunakan pun sangat bertentangan de?ngan gerakan normal, akibatnya terciptalah serangkaian jurus serangan yang sangat menakutkan. Sekalipun tindakannya sangat menurunkan martabat serta posisinya sebagai seorang ketua perguruan besar, akan tetapi jurus serangan yang dia gunakan justru jauh lebih menakutkan, jauh lebih mengena, dan jauh lebih dahsyat. Sedemikian dahsyatnya serangan itu membuat Pek Jau-hui mulai tercecar hebat dan tak mampu menghadapinya lagi. Paras mukanya makin lama semakin memucat, jauh lebih putih dari kertas, jauh lebih putih dari sarju, bahkan jauh lebih putih daripada warna putih itu sendiri. Baru saja Ong Siau-sik bersiap maju membantu, tiba-tiba terdengar Pek Jau-hui memekik nyaring, sekali lagi dia menyerang dengan menggunakan ilmu jari Kengsin-cinya. Guntur dan halilintar segera menggelegar di angkasa. Langit dan bumi mulai terasa gelap seakan diliputi awan tebal berwarna gelap. Guntur menggelegar, kilat menyambar, sekilas cahaya kuat seakan memancar keluar dari balik angkasa, menyambar dan membakar seluruh jagad. Angin topan menderu-deRu menyapu semua benda yang dijumpai, seakan naga yang sudah lama mendekam di tanah tiba-tiba menjebol bumi dan terbang kembali ke angkasa. Inilah jurus serangan paling dahsyat dari ilmu jari Keng-sin-ci. Keng-tit! Keng-tit merupakan nama musim, biasanya pada bulan 3 tanggal 5-7, berarti juga hewan yang selesai tidur panjang di musim salju dan mulai muncul ke bumi untuk mencari makan. Begitu jurus Keng-tit dikeluarkan, Kwan Jit pun ikut mengalami perubahan. Dia berubah menjadi manusia yang begitu membara, begitu gembira, begitu kalap.... Pada hakikatnya dia seakan berubah menjadi manusia yang sedang ferbakar, dibakar oleh sejenis api salju yang teramat dingin. Saat itu dia masih berada dalam posisi terbalik, kepala masih di bawah, kaki tetap di atas, dengan cara seperti inilah dia menyambut datangnya serangan jurus Keng-tit dari ilmu jari Keng-sin-ci. "Jit-sengcu!" hampir pada saat bersamaan Toa-sengcu, Ji-sengcu, Sam-sengcu, Sisengcu, Ngo-sengcu dan Lak-sengcu menjerit bersama. Kwan Jit sudah mencelat keluar dari kotak besinya! Pek Jau-hui melambung juga ke tengah udara mengejar ketat di belakangnya, baju sutera yang dia kenakan terlihat berkibar di tengah gulungan awan gelap, sehingga meninggalkan pemandangan yang indah. Jarinya dengan jurus Keng-tit masih mengejar terus di belakang tubuh Kwan Jit. Pada saat itulah tubuh Kwan Jit kentoali memental balik bagaikan sebuah peluru meriam, kali ini dia menyongsong datangnya ancaman maut itu. Paras muka Kwan Jit yang pucat, pakaian hitam yang dikenakan tiba-tiba berubah bercahaya. Dari balik tubuhnya seolah memancar keluar semacam kekuatan yang sangat aneh. Kekuatan itu bukan hawa keangkeran, keangkeran tak akan memiliki tenaga penghancur. Bukan hawa sejati, hawa sejati tak akan selincah itu. Juga bukan hawa murni, hawa murni tidak seganas itu. Bukan juga hawa sesat, hawa sesat tak akan memiliki kelurusan. Bukan hawa membunuh, hawa membunuh tak akan sesegar itu. Hawa itu seperti hawa pedang, seperti juga hawa sejati yang muncul dari tubuh Kwan Jit, yang memancar dari tangan Kwan Jit, langsung menyerang tubuh Pek Jauhui. Begitu serangan itu dilancarkan, semangat serta penampilan Kwan Jit pun kembali mengalami perubahan. Kalau tadinya dia seperti orang idiot yang berpandangan kosong, maka sekarang seperti dewa yang berdiri di atas awan. Dia seolah sudah pulih kembali jadi manusia normal, berdiri di atas kaki, berjaga dengan tangan, begitu tenaga dahsyat Itu muncul, paras muka Pek Jau-hui berubah semakin memucat, sepasang tangannya dengan jari kelingking, jari tengah dan ibu jari melancarkan serangkaian serangan secara beruntun, desingan angin tajam segera menyambar ke empat penjuru, berusaha menjebol pertahanan tubuh Kwan Jit. Ong Siau-sik berseru tertahan, tapi ia masih belum bertindak. Tong Po-gou juga melihat kalau gelagat tidak menguntungkan, lekas dia bertanya, "Ilmu jari apaan itu?" "Sebagus apa pun ilmu jari yang digunakan, rasanya percuma saja," sahut Ong Siau-sik sedih, "sebab Kwan Jit... ternyata dia ... ternyata dia memiliki Untuk sesaat dia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Berputar sepasang biji mata Thio Than, selanya, "Jangan-jangan ilmu itu adalah ... Po-ti-bu-heng-kiam (pedang tak berwujud penjebol tubuh)?" Sejak menyaksikan Pek Jau-hui melancarkan serangan dengan menggunakan jurus berbagai aliran tadi, ia sudah dibuat terkagum-kagum, apalagi setelah menyaksikan pemuda itu berhasil menyusupkan jurus ciptaan sendiri yang dikombinasikan dengan jurus serangan yang ada, dia sudah dibuat menghela napas panjang, tapi kini dia benar-benar dibuat terbelalak lebar hingga mulutnya melongo. Tampak Ong Siau-sik menghembuskan napas panjang, sahutnya, "Kelihatannya dia memang memiliki ilmu Po-ti-bu-heng-kiam." "Berarti ilmu itu benar-benar adalah Po-ti-bu-heng-kiam?" "Dia bahkan sudah amat menguasai ilmu itu!" "Apa" Ilmu pedang tanpa wujud penjebol tubuh?" jerit Tong Po-gou pula, baru saja dia akan bertanya lebih jauh, mendadak terdengar suara dentingan nyaring bergema di udara, suara pedang yang diloloskan dari sarungnya. Tapi dia tidak mencabut pedang, Thio Than pun tidak. Ong Siau-sik juga sekali tidak mencabut pedangnya, tapi suara pedang yang dilolos dari sarung justru bergema dari tubuhnya, persis di saat tangan kirinya dikeluarkan dari balik baju. Pada saat itulah terlihat tiga jari kiri Pek Jau-hui sedang menyerang dengan jurus Siau-soat, sementara tiga jari kanannya sedang menyerang dengan jurus Chekin. Siau-soat maupun Che-kin merupakan dua jurus mematikan dari ilmu jari Keng-sinci. Semenjak terjun ke dunia persilatan, belum pernah Pek Jau-hui menggunakan kedua jurus pembunuh itu untuk menghadapi musuh, kali ini baru untuk pertama kalinya. Ketika ilmu Po-ti-bu-heng-kiam milik Kwan Jit bertemu dengan angin serangan dari Siau-soat serta Che-kin, tiada suara apa pun yang terdengar, kedua orang itu secara tiba-tiba menghentikan serangannya, Kwan Jit balik kembali ke dalam kotak besi dan tiba-tiba menghantam ubun-ubun sendiri, sementara Pek Jau-hui mundur tujuh-delapan belas langkah dari posisinya semula dan dengan cepat menotok beberapa buah jalan darah di tubuh sendiri. Menyusul kemudian tampak lelehan darah segar menyembur keluar dari kedua lubang telinga Kwan Jit. Darah berwarna merah, kulit berwarna putih, maka terlihat sangat kentara perbedaannya. Dengan girang Un Ji segera bersorak sorai, serunya, "He, sayur putih besar, kau sudah menang!" Entah sejak kapan ternyata dia telah menciptakan julukan itu untuk Pek Jau-hui. Tapi belum selesai ia berkata, ucapan itu telah berubah menjadi sebuah jeritan kaget. Ternyata darah segar meleleh keluar juga dari lubang hidung anak muda itu. Bukan cuma lubang hidung, bahkan paling tidak dari tujuh tempat lainnya terlihat darah meleleh keluar membasahi seluruh tubuhnya. Lekas Ong Siau-sik maju selangkah seraya berbisik, "Jiko Kejumawaan Pek Jau-hui tampak semakin kentara, setelah mendengus dingin tibatiba badannya melambung ke tengah udara. Gerakan tubuhnya masih tetap kekar, lincah dan kosen, seakan belum pernah menderita sedikitpun luka. Sepasang tangannya disentilkan berulang kali, dimulai dengan jurus Lik-cun, secara beruntun dia melancarkan serangkaian serangan dengan jurus Hi-sui, Cunhun, Ceng-beng, Kok-hi, Lip-he, Siau-boan, Bong-ciong, He-ci ... dimana tubuhnya menyambar, jerit kesakitan segera bergema memecah keheningan. Dari atas wuwungan rumah, pagar dinding, rumah ilalang, halaman, depan rumah, balik atap, gudang, pintu utara, ber?jatuhan beberapa sosok tubuh manusia, hampir semuanya terkena sodokan di atas keningnya, jelas orang-orang itu tak satu pun masih dalam keadaan hidup Ternyata anggota perkumpulan Mi-thian-jitseng telah mengepung sekeliling tempat itu, entah berapa banyak jagoan yang telah dipersiapkan di sekitar situ. Dalam waktu singkat Pek Jau-hui telah menghabisi nyawa tiga belas orang, hawa membunuh makin lama semakin berkobar, setelah menghimpun hawa murninya, kali ini dia menyerang Kwan Jit lagi dengan menggunakan jurus Tang-ci. Begitu jurus Tang-ci digunakan, semua orang yang hadir di arena pertarungan merasakan hembusan angin dingin yang merasuk tulang, seakan sebuah badai salju sedang melanda tempat itu. Kwan Jit segera mementang matanya lebar-lebar. Begitu Kwan Jit membuka matanya mengawasi wajah IVk Jau-hui, anak muda itu segera merasa seakan disambit senjatii rahasia, tubuhnya seketika berjumpalitan ke belakang. Kembali Kwan Jit merangkap sepasang tangannya, kali ini hawa pedang Po-ti-buheng-kiam yang digunakan jauh lebih dahsyat ketimbang tadi, sekali hentakan bukan saja ia berhasil mematahkan serangan Tang-ci yang meluncur tiba, bahkan meneruskan serangan baliknya mengancam batok kepala pemuda itu. Pek Jau-hui tahu keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dengan mengerahkan segenap tenaganya dia mengeluarkan jurus Sam-ci-tan-thian, tiga jari menyentil langit. Tampaknya ilmu Sam-ci-tan-thian merupakan jurus paling ampuh di antara jurus ampuh lainnya yang dimiliki Pek Jau-hui. Ketiga jurus ampuh itu mempunyai tiga nama yang ber?beda, masing masing adalah Po-sat (menjebol keangkeran), Keng-bong (Impian mengejutkan) serta Thian-te (musuh langit). Pek Jau-hui tak pernah menggunakan ketiga jurus serangan itu secara sembarangan, sebab setiap jurus serangan ketiga jurus andalannya itu sangat menyita hawa murni yang dimiliki, setiap melancarkan satu serangan berarti tenaga murninya Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akan berkurang satu bagian, di samping itu selain dapat digunakan untuk melukai lawan, dapat juga menimbulkan luka dalam yang parah pada tubuh sendiri. Oleh sebab itu bila tidak terdesak hebat, Pek Jau-hui memilih untuk tidak menggunakan ketiga jurus andalannya itu. Tapi sekarang dia sudah tak punya pilihan lain. Kini dia sudah bersiap melancarkan serangan dengan jurus Po-sat. Paras muka Pek Jau-hui nampak semakin pucat, separuh badannya mulai gontai ... di saat mengerahkan ilmu Sam-ci-tan-thian, segenap hawa murninya harus dihimpun menjadi satu. Siapa tahu belum Pek Jau-hui melepaskan jurus mautnya, mendadak terasa angin tajam berhembus lewat, desingan senjata tajam tahu-tahu sudah membelah angkasa. Serangan itu bukan ditujukan ke tubuhnya, tapi langsung mengancam tubuh Kwan Jit. Dari desingan angin tajam yang berhembus lewat, bisa diketahui itu berasal dari sambaran pedang. Tapi pedang ini bukan pedang biasa, pedang ini adalah tangan pedang, tangan Ong Siau-sik, tangan kirinya. Itulah ilmu pedang pelumat sukma, Leng-khong-siau-hun-kiam. Setelah berhasil mengalahkan empat orang Sengcu secara gampang, kali ini dia hendak menggunakan serangan pedang yang bukan pedang itu untuk mencoba menjebol pertahanan Po-ti-bun-heng-kiam-khi milik Kwan Jit. Pedang Kwan Jit juga bukan berupa pedang, pedang Ong Siau-sik terlebih bukan berupa pedang, tapi dibandingkan pedang mestika mana pun di dunia ini, hawa pedang yang terpancar keluar saat ini jauh lebih hebat dari pedang mana pun, tak mungkin serangan sehebat ini bisa dipancarkan dari pedang mestika mana pun. Apa yang terjadi ketika Po-ti-bu-heng-kiam-khi saling berbenturan dengan ilmu pedang Leng-khong-siau-hun-kiam" Bukan saja semua jago dunia persilatan ingin mengetahui hasil bentrokan itu, bahkan mereka yang bukan anggota persilatan pun ingin tahu juga. Lalu bagaimana hasil bentrokan ini" Hasilnya terjadi beberapa kali perubahan. Terjadi kecepatan yang sedemikian cepatnya sehingga orang tak sempat berpikir maupun menghembuskan napas. Bahkan bila mengedipkan mata, maka apa pun tak akan dapat disaksikan lagi. Tatkala telapak pedang Ong Siau-sik membacok di atas Po-ti-bu-heng-kiam-khi lawan, tangan kanannya ikut melancarkan bacokan juga, tangan kanannya melancarkan serangan dengan mengandalkan golok kerinduan. Namun kedua serangan itu nampaknya masih belum cukup, masih belum bisa menjebol pertahanan lawan. Maka hampir pada saat yang bersamaan dia pun melolos goloknya. Golok lengkung seperti alis mata, bening bak bola mata. Begitu goloknya diayunkan, terbesit satu garis lingkaran menyerupai gadis impian. Bacokan itu merupakan sebuah bacokan sesungguhnya. Ketika bacokan golok itu membentur hawa murni Po-ti-bu-heng-kiam-khi, terjadinya suara pekikan panjang yang amat nyaring. Hawa sakti Po-ti-bu-heng-kiam-khi masih tetap mendesak maju ke depan, menghimpit lebih ke depan. Ong Siau-sik tidak sangsi lagi, dia memang tak boleh sangsi, pedangnya segera dicabut keluar. Pedang yang membawa tiga bagian keindahan, tiga bagian keanggunan, tiga bagian kemurungan dan satu bagian kesaktian itu segera memancarkan sebuah jurus pedang yang begitu indah, anggun, murung dan sakti. Cahaya pedang segera menyongsong ke arah hawa pedang. "Creesss!", hawa pedang terbelah jadi dua dan memantul balik ke tangan serta tubuh Kwan Jit. Pada saat itulah dari sepasang tangan Kwan Jit berku?mandang suara hancuran dan retakan yang amat nyaring. Ternyata sepasang lengannya telah membeku menjadi selapis bunga es yang tipis dan bening setelah selesai menerima serangan Tang-ci dari Pek Jau-hui tadi, kini sesudah kena getaran golok kerinduan dan pedang pelumat sukma yang dilancarkan Ong Siau-sik, lapisan es itu seketika hancur berantakan. Noda darah yang meleleh dari lubang telinga Kwan Jit kelihatan semakin mengental, malah kini mulai meleleh ke bawah membasahi pipinya dan membeku di ujung dagu, ada pula yang meleleh hingga ke bawah leher hingga menimbulkan perbedaan warna yang kontras dengan warna kulit tubuhnya. Tiba-tiba Kwan Jit mulai batuk, semakin batuk semakin keras. Sambil batuk terus dia menghimpun hawa khikang Po-ti-bu-heng-kiam hingga tingkat ketiga, kali ini hawa kekuatan yang terhimpun dua kali lipat lebih dahsyat daripada tadi. Ong Siau-sik tertegun, dia tak menyangka satu gerakan lawan yang begitu sederhana telah berhasil mendesaknya sehingga harus menggunakan senjata golok dan pedangnya secara bersamaan, tapi pihak lawan sama sekali tidak menderita kerugian. Di saat hawa sakti lawan mulai menyelimuti atas kepalanya, mendadak terlihat bayangan manusia berkelebat, seseorang dengan satu gerakan cepat telah menyongsong datangnya hawa pedang itu. Orang itu tentu saja tak lain adalah Pek Jau-hui. Ibu jarinya segera dihentakkan, jari kelingkingnya disen-tilkan sementara jari tengah menyodok ke depan, kali ini dia menyerang dengan gerakan Po-sat dari Samci-tan-thian. Keangkeran apakah bisa dijebol" Sampai kapan hawa pedang baru bisa punah" Dendam kesumat apakah sudah terjalin" Pertikaian antar manusia hingga kapan baru akan berhenti" Pertanyaan itu semua, bisa ditanyakan oleh siapa pun, ingin ditanyakan oleh siapa pun, akan ditanyakan siapa pun, tapi orang yang bertanya tetap punya rasa benci, tetap selalu bertarung. Karena rasa benci dan suka bertarung merupakan watak paling purba dari setiap manusia. Watak purba itu selalu tersimpan sejak dulu, sekarang dan akan datang. Untungnya umat manusia masih mempunyai sifat cinta dan kelembutan, masih mempunyai kehalusan budi dan rasa setia-kawan. Maka Ong Siau-sik segera menggantikan Pek Jau-hui untuk menerima gempuran hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi. Pek Jau-hui sendiri pun menerima gempuran hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi itu demi Ong Siau-sik. ooOOoo 41. Golok, pedang dan jari BAB IV: GOLOK KERINDUAN, PEDANG PELUMAT SUKMA, JARI PENGHANCUR IMPIAN Begitu serangan Po-sat dari Pek Jau-hui dilontarkan, mendadak Kwan Jit lenyap tak berbekas. Terlihat bayangan hitam berkelebat, tahu-tahu ia sudah melompat di atas kepala semua orang. Kini paras muka Pek Jau-hui telah berubah menjadi putih menyeramkan, putih mendekati bening. Tenaga jari yang dia lancarkan menimbulkan suara nyaring di udara, suara itu begitu keras bagai guntur yang menggelegar di angkasa, bagai suara kereta kuda yang mendadak berbelok tajam. Mendadak tenaga jari yang terpancar dari jurus Po-sat berputar satu lingkaran tajam, kemudian dengan kecepatan tinggi mengejar punggung Kwan Jit. Saat itu Kwan Jit sudah tiba di hadapan Lui Tun. Tong Po-gou serta Thio Than ingin menghadang, namun tubuh mereka segera terpental mundur oleh satu gulung kekuatan yang maha dahsyat, bukan saja Tong Po-gou dan Thio Than terpental mundur, bahkan Gan Hok-hoat, Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin yang ada di sisi lain pun ikut terpental sampai beberapa langkah. Begitu tiba di hadapan Lui Tun, dengan lembut Kwan Jit berkata, "Kau tak usah takut, aku datang untuk menjemputmu." Caranya berbicara sangat halus dan lembut, malah hawa kiam-khi yang semula melindungi seluruh tubuhnya, kini dibuyarkan. Lui Tun sama sekali tidak merasa takut, tiada perasaan ngeri atau seram yang terbetik dari balik biji matanya yang bening. Dia pun tak tahu, apakah perasaan tidak takutnya dikarenakan dia memang bernyali besar, atau karena dia telah menangkap perasaan cinta dari balik matanya, atau karena tidak melihat niat membunuh dari balik sorot matanya. Pada saat itulah Un Ji menerjang ke depan, begitu tiba goloknya langsung diayunkan ke badan Kwan Jit. Pek Jau-hui berteriak keras, cepat dia tarik balik tenaga serangan jarinya. Mau tak mau dia harus berbuat begini, sebab Lui Tun dan Un Ji semuanya berada di situ, kendatipun serangan tadi mungkin bisa menghabisi nyawa Kwan Jit, namun kedua orang gadis itu pasti akan kena getahnya juga. Daya kekuatan Sam-ci-tan-thian memang tak boleh dipandang enteng. Itulah sebabnya Pek Jau-hui harus menarik kembali serangannya mentah-mentah. Sekilas pandang, Ong Siau-sik segera tahu Pek Jau-hui telah menderita luka parah, darah kental yang meleleh keluar dari lubang hidung pemuda itu nampak lebih mengental dan hitam. Dalam keadaan begini Ong Siau-sik tak sempat lagi mengurusi rekannya, dia tahu kepandaian silat yang dimiliki Kwan Jit sangat lihai, dia sanggup membunuh Un Ji segampang membalikkan telapak tangan, karena itu dia merasa wajib mencegahnya. Dalam pada itu Kwan Jit sedang berkata lagi kepada Lui Tun, "Ayolah, ikut aku pergi dari sini." Sambil berkata ia menjulurkan tangannya yang putih pucat dan gemetar. "Tidak!" tampik Lui Tun tegas. Kwan Jit terkesiap, saat itulah Un Ji mengayunkan goloknya melancarkan satu bacokan. Entah Kwan Jit memang sengaja tidak menghindar atau tak mampu menghindar, bacokan itu bersarang telak di bahunya, darah segar segera menyembur keluar dari lukanya. Rupanya golok Seng-seng-to milik Un Ji dan golok Put-ing-to milik Lui Tun yang merupakan dua bilah senjata mestika dalam dunia persilatan kebetulan merupakan senjata yang mampu menjebol pertahanan hawa pedang Kwan Jit, apalagi orang itu lupa mengerahkan hawa khikangnya begitu berjumpa Lui Tun. Kwan Jit mendengus tertahan, sorot matanya kembali berubah. Ia melotot sekejap ke arah Un Ji, sementara si nona yang sedang gembira karena bacokannya berhasil melukai lawan menjadi bergidik begitu sorot mata mereka saling beradu. Belum lagi ingatan kedua melintas, Kwan Jit sudah mencengkeram golok di tangan gadis itu. "Jangan lukai dia!" teriak Lui Tun. Ternyata Kwan Jit sangat penurut, begitu mendengar teriak itu segera ia lepas tangan. Waktu itu Un Ji sedang membetot goloknya sekuat tenaga, dia tak menyangka secara tiba-tiba Kwan Jit melepaskan genggamannya, kontan tubuhnya terhuyung sejauh tujuh delapan langkah sebelum akhirnya berhasil berdiri tegak. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menerobos ke hadapan Kwan Jit, menghadang di antara orang itu dengan Un Ji dan Lui Tun, satu serangan golok segera dilepaskan. Dia tetap tidak mencabut goloknya, ia hanya menyerang dengan tangan goloknya. Anak muda itu merasa tak ada keharusan baginya untuk membunuh orang sinting yang setengah bloon ini, karenanya beruntun dia melancarkan enam buah bacokan golok. Keenam bacokan itu diarahkan pada sasaran yang berbeda dengan sudut serangan yang berbeda pula, serangan ini disebut Ta-po-ho-lan-koat (menjelajahi bukit Holan), enam bacokan dilancarkan secara bersama-sama. Musuh mau berjumlah seorang, mau berjumlah enam puluh orang, dia tetap melepaskan serangan dengan enam bacokan sekaligus. Kwan Jit sama sekali tidak mundur, biarpun darah bercucuran dari lukanya, namun ia tetap bergeming. Sekalipun begitu, kemana pun Ong Siau-sik melancarkan serangan dengan tangan goloknya, rantai borgol yang berada pada pergelangan tangannya selalu menghadang ke situ, karenanya hampir semua bacokan yang dilancarkan Ong Siau-sik telah bersarang di atas borgolnya. Rantai borgol itu entah terbuat dari bahan apa, walaupun sudah dibacok berulang kali oleh Ong Siau-sik, bukan saja benda itu tidak rusak, malah sebaliknya dia mulai merasa tangannya kesemutan. "Hati-hati, jangan menolong dia memutus rantai borgol itu!" tiba-tiba Lui Tun memperingatkan. Ong Siau-sik kaget, ia baru sadar akan hal itu, cepat serangannya dihentikan. Kwan Jit membentak gusar, sebuah pukulan dilontarkan ke depan. Menghadapi ancaman itu, Ong Siau-sik ingin menghindar, namun ternyata ia tak sanggup menghindarkan diri, terpaksa disambutnya ancaman itu dengan keras lawan keras. Begitu saling membentur, segulung hawa khikang tak berwujud langsung mendorong tubuhnya ke belakang. Ong Siau-sik melompat mundur, mundur sangat cepat hingga sepasang kakinya melayang di tengah udara, namun telapak tangan mereka berdua tetap menempel satu sama lain. Asal punggung anak muda itu menumbuk di atas sebuah benda, maka hawa pedang Poto-bu-heng-kiam-khi yang berada di telapak tangan Kwan Jit segera akan dimuntahkan semua. Ong Siau-sik sadar, jika pihak lawan sampai menumpahkan segenap hawa khikang yang dimilikinya untuk menghimpit badannya, dapat dipastikan dia tak akan sanggup menghadapinya. Saat itulah terdengar Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat menjerit bersama, "Jitsengcu, hati-hati!" Rupanya Pek Jau-hui telah melayang turun di belakang tubuh Kwan Jit. Begitu menginjak tanah, jurus Po-sat yang maha dahsyat langsung dihantamkan ke punggung orang itu. Tiba-tiba Kwan Jit membalikkan tubuh. Padahal saat itu dia sedang bergerak maju, tapi anehnya, begitu dia ingin berhenti, tubuhnya langsung berhenti. Telapak tangannya masih menempel jadi satu dengan tangan golok Ong Siau-sik, tapi begitu dia ingin melepas tangan, tangan mereka yang menempel pun segera berpisah. Akan tetapi Ong Siau-sik tak ingin melepas tangan, sambil berganti napas dia melancarkan lagi serangkaian serangan kilat, dia tak membiarkan Kwan Jit menarik kembali tangannya. Mendadak Kwan Jit membalikkan tubuh, dengan tangan sebelah dia melakukan tangkisan, membendung serangan tiga jari Pek Jau-hui. Menyusul kemudian mereka berdua pun menghentikan seluruh gerakannya, mereka tergetar, berdiri kaku. Paras muka Pek Jau-hui semakin pucat pasi, sedang paras muka Kwan Jit berubah hijau membesi. Siapa pun dapat melihat, ketika Kwan Jit dengan tangan kirinya memunahkan serangan golok kerinduan yang dilancarkan Ong Siau-sik, dia menggunakan taktik gerak untuk mengatasi segala macam perubahan, tapi ketika beradu tenaga dalam dengan Pek Jau-hui yang menyerang dengan ilmu jari Sam-ci-tan-thian, tehnik yang digunakan adalah tenang. Pertarungan semacam ini sangat menyita tenaga, bila sampai kalah, maka paling ringan terluka parah, yang terberat bisa menemui ajalnya, bahkan bisa kehabisan tenaga hingga hidup lebih tersiksa dari mati. Secara beruntun Ong Siau-sik melancarkan sebelas jurus serangan, tapi Kwan Jit sama sekali tidak membalas, ia hanya berusaha mematahkan seluruh serangan yang datang, dalam jengkelnya pemuda itu segera mempersiapkan tangan kirinya untuk melepaskan serangan dengan telapak pedang, tapi untuk sesaat dia menjadi ragu, haruskah serangan itu dilancarkan atau tidak. Menyaksikan hal ini, Lui Tun segera membentak, "Ong-siauhiap, jangan punya hati yang lemah seperti kaum wanita!" Mendengar itu Ong Siau-sik seperti tersadar dari impian, diam-diam dia menghela napas, babatan telapak pedangnya segera dibacokkan ke atas pundak belakang Kwan Jit. Yang aneh adalah keenam orang rasul lainnya, selama-pertarungan sengit berlangsung, ternyata mereka tidak berusaha memberi bantuan, sebaliknya orangorang itu hanya berdiri mengelilingi arena sambil menonton jalannya pertarungan. Tentu saja Ohg Siau-sik mengerti mengapa mereka bersikap begitu. Seandainya Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin, Liu Cong-seng serta Sengcu kelima dan Sengcu keenam maju mengembut Pek Jau-hui dan dirinya, sudah dapat dipastikan Thio Than, Un Ji, Tong Po-gou serta ketiga orang dayang itu tak akan tinggal diam. Akhirnya mereka harus menghadapi dua lawan satu, dalam keadaan begitu, kecil kemungkinan bagi mereka untuk meraih kemenangan. Dalam serangannya kali ini, Ong Siau-sik telah menyertakan tenaga dalamnya Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebesar lima bagian. Bacokan telapak pedang itu segera akan menghajar bahu Kwan Jit. Bila serangan itu sampai bersarang telak, dapat dipastikan seluruh lengan orang itu akan lumpuh total. Siapa sangka satu kejadian di luar dugaan telah terjadi, begitu termakan pukulan keras, tiba-tiba Kwan Jit berpekik nyaring. Suara pekikannya tinggi melengking hingga membumbung tinggi ke angkasa, otot hijau pada wajahnya menonjol keluar, begitu tenaga pukulannya dimuntahkan keluar, sekujur badan Pek Jau-hui bergetar keras, diiringi dengusan tertahan tiba-tiba ia memuntahkan darah segar. Ong Siau-sik sendiri pun merasakan timbulnya segulung tenaga besar yang balas menghantam tangan golok di tangan kanannya, tenaga dahsyat itu tampaknya merupakan tenaga serangan telapak pedang miliknya yang dipantulkan balik. Rupanya Kwan Jit telah menggunakan tenaga khikang Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk memantulkan tenaga serangan yang dilancarkan lawan dan mengubahnya menjadi kekuatan sendiri yang bisa digunakan untuk balas menggempur musuh. Serangan yang dilancarkan Ong Siau-sik sama halnya dengan dia menyalurkan tenaga pukulan sendiri ke tubuh Kwan Jit, lalu oleh orang itu digabungkan dengan hawa pedang miliknya dan dipakai untuk menggempur Pek Jau-hui. Jadi musuh telah memanfaatkan kekuatan tenaga pukulannya untuk dipakai menyerang rekan sendiri. Masih untung Ong Siau-sik tidak bermaksud membunuh Kwan Jit sehingga tenaga yang digunakan hanya lima bagian, coba kalau dia bernapsu menyerang dengan sepenuh tenaga, jika tenaga pukulan itu sampai memantul balik dan diarahkan ke tubuhnya, belum tentu dia sanggup menanggulangi kejadian itu. Kini dia sadar, mati hidup mereka ditentukan oleh tindakan selanjutnya, karenanya dia tidak kenal ampun lagi. Dengan satu gerakan cepat dia melolos goloknya, golok kerinduan yang kecil melengkung itu. Golok itu sebilah golok sejati, golok yang hebat, golok mestika. Dia mengayunkan goloknya dan langsung membacok ke bahu Kwan Jit. Bagian tubuh yang dibacok masih tetap bahu lawan, sebab dia memang tidak berencana membunuh lawannya. Telapak tangan kanan Kwan Jit yang digunakan untuk menahan tiga jari Pek Jau-hui tiba-tiba ditarik balik, paras muka anak muda itu semakin pucat, bagaikan kehilangan sukma tubuhnya bergetar dengan sempoyongan, setelah mundur satu langkah, dia mundur lagi dua langkah, setelah bergoyang keras, lagi-lagi dia mundur satu langkah. Dalam pada itu Kwan Jit sudah merangkap sepasang telapak tangannya untuk menahan bacokan golok kerinduan yang mengancam bahunya. Menghadapi golok kerinduan, dia tidak berani menyambut serangan itu dengan menggunakan tangan telanjang. Memandang bentuk golok kerinduan yang kecil mungil tapi luar biasa tajamnya, sekilas perasaan girang yang sukar dilukiskan terbesit di balik mata Kwan Jit, dia seakan merasa girang, tergila-gila, seperti seorang lelaki yang mendadak berjumpa dengan sang kekasih yang telah berpisah lama. Ong Siau-sik merasa kaget bercampur ngeri, dia tak menyangka kepandaian ampuh yang dimilikinya tidak mampu mengatasi lawan, bahkan untuk melepaskan jepitan tangan Kwan Jit pun tak sanggup. Dalam keadaan terdesak, terpaksa Ong Siau-sik mencabut pedangnya. Pedang pelumat sukma! Kecuali ketika berhadapan dengan Lui Tong-thian, selama berada di kotaraja belum pernah Ong Siau-sik mencabut golok dan pedangnya sekaligus. Begitu golok dan pedang dicabut keluar bersama, paras muka Kwan Jit segera* berubah menjadi dingin membeku dan sangat mengerikan. Lekas Kwan Jit mundur satu langkah untuk menjaga jarak, kemudian secara berulang dia mengerahkan hawa khikang Po-ti-bu-heng-kiam-khi hingga mencapai tujuh delapan tingkat, selisih jarak kedua orang itu makin lama semakin menjauh, kini jarak antara kedua orang itu sudah mencapai sepuluh langkah lebih. Paras muka Ong Siau-sik makin lama bertambah merah, sedang paras muka Kwan Jit berubah semakin hijau. Tak selang berapa saat Ong Siau-sik hanya bisa menangkis, sama sekali tak punya kekuatan untuk melancarkan serangan balasan. Yang lebih menakutkan lagi adalah Kwan Jit seakan sudah tahu kalau dia tak boleh memberi kesempatan kepada lawannya untuk melancarkan serangan balasan. Setiap kali pihak lawan mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, serangan itu pasti ditujukan untuk menghancurkan hawa pedang miliknya, maka dia harus berusaha agar pihak lawan sama sekali tak mampu menggunakan tangan golok dan telapak pedangnya, bahkan kalau bisa jangan memberi kesempatan satu kali pun hingga dia bisa balas menyerang. Pada saat itulah Pek Jau-hui memekik panjang, teriaknya, "Keng-bong (pengejut impian)!" Di saat dia melancarkan serangan dengan jurus Po-sat, serangan itu jelas merupakan serangan bokongan, karena sama sekali tidak memberi peringatan sebelum melancarkan pukulan, tapi ketika dia menggunakan gerakan kedua dari ilmu Sam-citan-thian, serangan baru dilancarkan setelah dia berteriak memberi peringatan. Perlahan-lahan dia melancarkan serangan, jurus serangan dilancarkan secara lambat. Tampaknya dia tidak terburu napsu, seperti sedang menikmati impian yang indah dalam tidur siangnya yang panjang. Apakah hal ini dikarenakan dia mempunyai keyakinan yang besar untuk bisa menghadapi jurus serangan itu" Atau karena dia menganggap jurus serangan itu tak lebih hanya sebuah impian, sepanjang apa pun impian itu akhirnya akan tersadar kembali" Kwan Jit tahu, dia tak mampu menyambut datangnya serangan itu, karenanya dia hanya memandang sekejap lalu seakan inlah terbuai dalam impian yang berkepanjangan. Ketika mendusin dari mimpi, segala sesuatunya kosong. Sekalipun dia dapat menghadapi kekosongan, kehampaan dari impian itu, bukan berarti bisa membendung keganasan golok dan pedang yang datang secara nyata. Golok kerinduan, sebilah golok yang jauh lebih tak berperasaan dari golok mana pun. Pedang pelumat sukma, sebilah pedang yang jauh lebih memutus sukma dari pedang mana pun. Kwan Jit hanya tahu menyalurkan tenaga Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk melindungi Harimau Mendekam Naga Sembunyi 12 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Pena Wasiat 27