Ceritasilat Novel Online

Menuju Titik Nol 2

Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie Bagian 2


menggumam dengan suara yang sedikit saja menunjukkan kebingungan, "O, maaf.
Kukira kau tadi berbicara padaku, Nevile."
Thomas Royde melihat rona merah yang muncul di leher Nevile Strange. Nevile maju
tiga langkah dan memberikan surat kabar itu pada Audrey.
Audrey berkata, raguragu dan agak malu, "Oh, tetapi..."
Kay mendorong kursinya ke belakang dengan kasar.
Ia berdiri, lalu berbalik, dan bei jalan menuju ke jendela ruang duduk. Royde
tak punya waktu untuk menghindar sebelum Kay menubruknya.
Kav terkejut dan langsung mundur. Ia memandang Royde sementara piia itu minta
maaf. Pada saat itu Royde mengerti mengapa Kay tak melihatnya tadi"matanya penuh
dengan air mata yang mengambang"air mata kemarahan, pikirnya.
"Halo," kata Kay. "Siapa Anda" Oh, tentu saja tamu dari Malaya!"
"Ya," kata Thomas. "Saya tamu dari Malaya."
"Kalau saja aku bisa berada di Malaya saat ini," kata Kay. "Bahkan di mana saja
asal tidak di sini! Aku benci pada rumah setan yang jelek ini! Aku benci pada
semua orang yang ada di dalamnya!"
Adegan-adegan yang penuh emosi selalu men-cemaskan Thomas. Ia memandang Kay
dengan hati-hati dan menggumam gugup,
"Ah-hem." "Kalau mereka tak hati-hati," kata Kay, "aku akan bunuh seseorang! Kalau bukan
Nevile, ya si kucing bermuka pucat itu!"
Ia melangkah melewati Thomas dan keluar dari ruangan sambil membanting pintu.
Thomas Royde tetap berdiri tegak. Ia tak tahu pasti apa yang ingin dilakukannya
sekarang, tetapi ia senang bahwa Nyonya Strange muda telah pergi. Ia memandang
pintu yang baru saja dibanting keras-keras itu. Garang seperti macan, Nyonya
Strange yang baru itu. Nevile Strange berhenti sebentar di antara pintu-pintu yang bergaya Prancis itu.
Napasnya sedikit terengah.
la menyalami Thomas dengan sedikit terbata.
"Oh... em... halo, Royde. Aku tak tahu kau
sudah tiba di sini. Ee... apakah kau melihat istriku?"
"Ia lewat sini kira-kira satu menit yang lalu," katanya.
Nevile menyusul melewati pintu ruang duduk. Ia kelihatan jengkel.
Thomas Royde berjalan perlahan melewati jendela berambang rendah, yang terbuka
itu. Langkah-langkahnya tidak berat. Audrey baiu memalingkan kepalanya ketika ia
sudah berada tak berapa jauh darinya.
Lalu ia melihat kedua mata itu membuka, dan kedua bibir itu merenggang. Audrey
meluncur dari tembok birai dan berjalan mendatanginya dengan kedua tangan
terulur. "Oh, Thomas," katanya. "Thomas, Sayang! Aiangkah senangnya aku kau sudah
datang." Pada waktu ia memegangi kedua tangan yang kecil dan putih itu dengan
tangantangannya sendiri dan melihat ke bawah untuk memandang wajah Audrey, Maiy
Aldin tiba di jendela bergaya Prancis itu. Melihat kedua orang di teras itu ia
berhenti sebentar, memandang sejenak kepada mereka, lalu dengan perlahan
berpaiing dan berjalan kembali ke dalam rumah.
Diatas, Nevile menemukan Kay di kamar tidurnya. Satu-satunya kamar dengan dua
tempat tidur yang besar di rumah itu ditempati oleh Lady Tressilian. Untuk tamu
yang sudah menikah selalu disediakan dua kamar dengan pintu peng-hubung, dan
kamar mandi kecil di sebelahnya, di sayap barat rumah.
Keseluruhannya terletak di tempat yang agak terpisah dari ruang-ruang yang lain.
Nevile berjalan melewati kamamya sendiri menuju kamar istrinya. Kay telah
melemparkan diri ke tempat tidur. Dengan wajah penuh aii mata, ia berteriak
marah, "Jadi kau datang ke sini! Tepat pada waktunya lagi!"
"Apa maksudmu dengan ribut-ribut ini" Apa-kah kau sudah gila, Kay?"
Nevile berbicara perlahan, tetapi wajahnya menunjukkan kemarahan yang ditahan.
"Mengapa kau memberikanIllustrated Reviewitu padanya dan tidak padaku?"
"Wah, Kay, kau betul-betul seperti anak kecil! Ribut-ribut karena soal koran."
"Kauberikan padanya dan tidak padaku," ulang Kay dengan keras kepala.
"Baik, kenapa tidak" Apa pentingnya itu untuk dipersoalkan?"
"Itu penting untukku."
"Aku tak mengerti ada apa sebenarnya dengan kau ini. Kau tak bisa berlaku
seperti anak kecil begini kalau kau tinggal di rumah orang. Tak tahukah kau
sopan santun di depan umum?"
"Mengapa kauberikan itu pada Audrey?"
"Karena ia menghendakinya."
"Begitu juga aku, dan aku istrimu."
"Justru karena itulah. Lebih patut untuk mem-berikannya pada wanita yang lebih
tua dan yang secara teknis tak punya hubungan apa-apa."
"Dia menang dariku! Ia menghendakinya dan ia mendapatkannya. Kau ada di
pihaknva!" "Kau berbicara seperti anak kecil tolol yang iri hati. Demi Tuhan, kendalikan
dirimu, dan cobalah berkelakuan sopan di depan umum!"
"Seperti dia, tentunya?"
Nevile berkata dingin, "Bagaimanapun juga Audrey berkelakuan seperti seoranglady.Ia tidak mencoba
menarik perhatian orang."
"Ia membuatmu tak menyukaiku. Ia membenciku dan ia sedang mencoba membalas
dendam." "Kay, cobalah berhenti berlaku tolol dan me-todramatis. Aku muak!"
"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini! Mari kita pergi besok. Aku benci
tempat ini!" "Kita baru empat hari di sini."
"Itu sudah cukup! Ayo kita pergi, Nevile,"
"Begini, Kay, aku tak mau berpanjang lebar lagi. Kita datang untuk tinggal di
sini selama dua minggu dan aku akan tinggal selama dua minggu."
"Kalau kau tetap mau begitu," kata Kay, "kau akan menyesal. Kau dan Audrey-mu
itu! Kaupikir dia Iuar biasa menyenangkan!"
"Aku tak berpikir bahwa Audrey Iuar biasa menyenangkan. Kupikir ia seorang yang
Iuar biasa sopan dan baik yang telah kuperlakukan dengan sangat buruk dan yang
dengan sangat berbesar hati telah memaafkan semuanya."
"Di sinilah kau salah," kata Kay, Ia berdiri dari tempat tidurnya. Kemarahannya
telah reda. Ia berbicara dengan serius"hampir dengan penuh kesadaran.
"Audrey belum memaafkanmu, Nevile. Satu atau dua kali aku melihatnya
memandangmu. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya, tetapi ada sesuatu . Ia
tipe orang yang tidak akan membiarkan orang lain mengetahui apa yang sedang
dipikirkannya." "Sungguh sayang," kata Nevile, "bahwa tak banyak orang seperti dia."
Wajah Kay menjadi pucat. "Kau maksudkan aku?" Nada suaranya berbahaya.
"Yah"selama ini kau tidak menunjukkan sifat-sifat pendiam, bukan" Setiap kali
perasaan buruk dan dengki naik ke pikiranmu, langsung kausem-burkan. Kau membuat
dirimu sendiri kelihatan tolol dan kau juga membuatku kelihatan tolol!"
"Ada lagi yang lain?"
Suaranya sangat dingin. Nevile berkata dengan suara yang tak kurang dinginnya, "Sori, kalau kau
berpendapat itu tak adil. Tetapi itulah adanya. Kontrolmu terhadap diri sendiri
tak lebih dari seorang anak kecil."
"Kau tak pernah kehilangan sabar, bukan" Selalu bisa mengendalikan diri dan
selalu berkelakuan menyenangkan seperti seorangpukka sahib \Aku tak percaya kau
punya perasaan sedikit pun. Kau cuma seekorikan"seekorikansial yang berdarah
dingin! Mengapa tak kaumuntalikan perasaanmu kadangkadang" Mengapa kau tak bisa
berteriak kepadaku, mengutukku, dan men-caciku ?"
Nevile menarik napas panjang. Kedua bahunya turun.
"Oil, Tulian," katanya.
Ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.
"Kaukelihatan sama seperti wakru kau masih berumur tujuh belas, Thomas Royde,"
kata Lady Tressilian. "Sama seriusnya. Juga tak lebih banyak cakap dari dulu.
Mengapa tidak?" Thomas berkata dengan samar,
"Tak tahu. Tak punya bakat untuk itu."
"Tak seperti Adrian. Adrian seorang pembicara yang sangat pintar dan jenaka."
"Mungkin itulah sebabnya. Selalu membiarkan ia yang melakukan pembicaraan."
"Adrian yang malang. Sebetulnya masa depan-nya bagus."
Thomas mengangguk. Lady Tressilian mengalihkan pokok pembicaraan. Ia sedang memberi waktu pada
Thomas untuk berkunjung ke kamamya. Ia memang biasa menerima tamu-tamunya
satusatu saja, karena itu tak terlalu melelahkannya dan dengan demikian ia juga
lebih bisa memusatkan perhatiannya pada mereka.
"Kau sudah berada di sini lebih dari dua puluh empat jam," katanya. "Bagaimana
pendapatmu tentang situasi kita?"
"Situasi?" "Jangan berlagak bodoh. Kau sengaja berlaku begitu. Kau tahu benar apa yang
kumaksudkan. Segitiga abadi yang terbentuk, sendiri di bawah atapku itu."
Thomas berkata dengan hati-hati,
"Sepertinya ada sedikit ketegangan."
Lady Tressilian tersenyum, agak menyeringai,
"Aku akan berterus terang padamu, Thomas. Aku agak menikmati semua ini. Ini
semua terjadi bukan atas kemauanku"malahan, aku berusaha keras untuk
mencegahnya. Nevile bersikeras. Ia tetap ingin mempertemukan keduanya"dan kini
ia sedang memetik buah tanamannya sendiri!"
Thomas Royde bergeser sedikit di kursinya.
"Aneh," katanya.
"Jelaskan maksudmu," kata Lady Tressilian.
"Tak menyangka bahwa Strange tipe orang yang bisa berbuat begitu."
"Menarik sekali bahwa kau berkata begitu. Karena begitu jugalah perasaanku.
Tindakan itu bukan khas Nevile. Nevile, seperti kebanyakan pria, biasanya ingin
menghindari apa saja yang bisa membuatnya malu atau yang tidak menyenangkan.
Kurasa gagasan itu tidak berasal dari Neviie"tetapi kalau tidak, aku tak tahu
gagasan siapa itu." Ia berhenti berbicara sebentar, lalu berkata dengan suara
yang agak meninggi, "Mungkinkah Audrey?"
Thomas langsung memotong, "Tidak, bukan Audrey."
"Dan aku tak bisa percaya itu adalah gagasan wanita muda yang malang itu, Kay.
Kecuali kalau ia seorang aktris ulung. Kau tahu, aku agak kasihan padanya akhirakhir ini." "Kau tak begitu suka padanya, bukan?"
"Betul. Bagiku, ia nampak seperti tak berotak, ia juga kurang bisa mengendalikan
diri. Tetapi, seperti yang kukatakan tadi, aku mulai merasa kasihan padanya. Ia
bertingkah seperti belalang kena sinar lampu malam. Tabrak sana tabrak sini. Tak
tahu harus memakai senjata yang mana. Tak bisa mengekang perasaan, buruk sopan
santunnya, dan kasar seperti anak kecil "semua hal yang paling menjengkelkan
untuk seorang pna seperti Nevile."
Thomas berkata perlahan, "Kukira Audrey-lah yang berada dalam posisi yang paling sulit."
Lady Tressilian memandangnya dengan tajam.
"Kau selalu mencintai Audrey, bukan, Tho-mas?"
Jawabannya sangat jelas, "Kurasa begitu."
"Sejak kalian masih kanak-kanak?" Ia mengangguk.
"Lalu Nevile datang dan tei ang-terangan membawanya pergi di bawah hidungmu?"
Ia bergerak dengan canggung di kursinya.
"Ah,ya"aku selalu sadar aku tak akan bisa mendapatkannya."
"Pengalah," kata Lady Tressilian. "Dari dulu aku memang pria yang membosankan."
"Omong kosong!" " Thomas yang Baik!1"begitulah Audrey sela-lu menganggapku."
'Thomas yang Lurus," kata Lady Tressilian. "Itu julukanmu dulu, bukan?"
Thomas tersenyum sementara katakata itu membuatnya terkenang pada masa kecilnya.
"Lucu! Sudah bertahun-tahun aku tak mendengar itu."
"Itu mungkin akan mendatangkan kebajikan untukmu kini," kata Lady Tressilian.
Dengan sengaja ia menatap mata Royde lurus-lurus.
"Kesetiaan," katanya, "adalah satu sifat yang akan sangat dihargai oleh
seseoiang yang telah melewati banyak masa-masa sukar seperti Au-drey. Pengabdian
sepanjang hidup, seperti peng-abdian seekor anjing yang setia, Thomas, sering
kali mendapat pahalanya."
Thomas Royde melihat ke bawah, jari-jarinya memain-mainkan sebuah pipa.
"Itu sebabnya," katanya, "aku pulang dengan penuh harapan."
"Nah, kita sudah berkumpul semua," kata Mary Aldin.
Hurstall, si kepala pelayan yang tua itu, mengusap dahinya. Waktu ia masuk ke
dapur, Bu Spicer, koki, mengomentari ekspresi wajahnya.
"Kukira aku tak bisa merasa enak badan, sungguh," kata Hurstall. "Menurut
perasaanku, apa saja yang dikatakan dan dilakukan di rumah ini, belakangan ini,
mempunyai arti yang lain daripada kedengarannya"mungkin kau tahu maksudku?"
Bu Spicer nampaknya tak mengerti apa yang dimaksudkannya, jadi Hurstall
menjelaskan, "Misalnya saja, Nona Aldin, waktu mereka sudah duduk untuk makan
malam"ia berkata,'Nah, kita sudah berkumpul semua'"dmkata-kata itu membuatku
kaget! Membuatku membayangkan seorang pelatih yang mcmasukkan banyak binatang buas ke
dalam sebuah kandang, lalu pintu kandang itu ditutupnya. Tiba tiba aku merasa
seakanakan kita semua berada dalam perangkap."
"Wah, Pak Hurstall," kata Bu Spicer. "Mungkin Anda salah makan tadi."
"Bukan pencernaanku. Ini karena semua orang begitu tegang. Pintu depan baru saja
terbanting dan Nyonya Strange"maksudku Nyonya Strange kita, Nona Audrey " ia
terlonjak seperti baru saja ditembak orang.Lalu suasana-suasana diam itu juga
membuatku tegang. Aneh sekali mereka itu. Sepertinva. tibatiba saia, semuanya
taku tjjerbicaia. Lalu, tibatiba semua berbicara pada saat vang sama.
melontarkan apa saj a yang bisa dipikirkan."
"Memang cukup membuat setiap orang merasa canggung," kata Bu Spicer. "Dua Nyonya
Strange bersama-sama di sini. Menurut pendapatku, itu tidakpatut."
Di ruang makan sedang berlaku salah satu dari suasana-suasana diam yang
diceritakan oleh Hurstall itu.
Dengan susah-payah Mary Aldin berpaling pa-da Kay dan memulai pembicaraan, "Aku
telah mengundang temanmu, Tuan Latimer, untuk datang makan besok malam!"
"Oh, bagus," kata Kay.
Nevile berkata, "Latimer" Ia ada di sini?"
"Ia tinggal di Hotel Easterhead Bay," kata Kay.Nevile berkata, "Mungkin kapankapan kita pergi makan ma-lam ke sana. Sampai jam berapa ferry-nya ber-operasi?"
"Sampai jam setengah dua," kata Mary. "Kurasa mereka berdansa juga di malam
hari,ya?" , "Kebanyakan orang-orang itu sudah berusia sekitar seratus," kata Kay.
'Tidak terlalu menyenangkan untuk temanmu," kata Nevile pada Kay.
Marv berkata cepat, "Mungkin suatu hari kita pei-gi berenang ke Easterhead Bay. Cuaca masih cukup
hangat dan pantai pasirnya sangat indah."
Thomas Royde berbicara dengansuaiaperla-han pada Audrey.
"Aku ingin pergi berlayar besok. Kau mau ikut?" "Ya, aku mau."
"Mungkin kita semua bisa pergi berlayar," kata Nevile.
"Katamu tadi mau main golf," kata Kay.
"Aku memang pingin pergi ke lapangan golf. Pukulan-pukulanku begitu canggung
waktu itu." "Aiangkah menyedihkannya!" kata Kay.
"Golf memang olahraga yang menyedihkan," kata Nevile bercanda.
Manrbertanya pada Kay apakah ia bisa main golf. '
"Ya"begitu-begitu saja."
Nevile berkata, "Kay bisa bermain bagus sekali kalau saja ia mau berlatih sedikit. Dia punya
bakat alam." Kay berkata pada Audrey, "Kau tak main olahraga apa pun, bukan?"
"Boleh dikatakan begitu. Aku bisa main tenis sedikit"tapi aku memang payah."
"Kau masih main piano, Audrey?" tanya Thomas.
Audrey menggelengkan kepalanya. "Sekarang tidak lagi."
"Dulu kau pandai main piano," kata Nevile. "Kukira kau tak suka musik, Nevile,"
kata Kay. "Aku tak begitu memahaminya," kata Nevile dengan samar. "Aku tak habis pikir
bagaimana Audrey bisa mencapai satu oktaf, tanganta-ngannya begitu kecil."
Nevile memandang! tangantangan itu sementara tangantangan itu bergerak


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meletakkan sendok dan garpu"
Wajah Audrey sedikit memerah. Ia berkata dengan cepat, "Jari kelingkingku sangat
panjang. Kurasa itu membantu."
"Kalau begitu kau egois," kata Kay. "Orang yang tidak egois kelingkingnya
pendek." "Betulkah itu?" kata Mary Aldin. "Kalau begitu aku tak egois. Lihat, jari
kelingkingku pendek-pendek."
"Menurutku, kau sangat tidak egois," kata Thomas Royde sambil memandangnya
dengan serius. Wajah Mary menjadi merah"dan ia terus berbicara dengan cepat, "Siapa yang paling
tidak egois di antara kita" Ayo kita bandingkan kelingkingkelingking kita.
Punyaku lebih pendek dari punyamu, Kay. Tapi, Thomas, kukira, mengalahkanku."
"Aku mengalahkan kau berdua," kata Nevile. "Lihat," ia mengulurkan satu
tangannya. "Ya, tapi cuma di satu tangan saja," kata Kay.
Kelingking kirimu pendek cetapi kelingking kananmu jauh lebih panjang. Dan
tangan kirimu menunjukkan semua sifat yang kaubawa sejak kelahiranmu, sedangkan
tangan kananmu menunjukkan apa yang kaucapai dalam hidupmu. Jadi, itu berarri
bahwa kau lahir tidak egois, tetapi kemudian telah menjadi sangat egois."
"Kau bisa meramal, Kay?" tanya Mary Aldin. Ia mengulurkan tangannya, membeberkan
telapak tangannya. "Seorang peramal mengatakan padaku bahwa aku akan punya dua
suami dan tiga anak. Aku harus cepat cepat!"
Kay berkata, "Garis-garis silang ini bukan anak, itu menunjukkan perjalanan. Itu berarti
bahwa kau akan melakukan tiga perjalanan melalui laut."
"Itu nampaknya juga tidak akan terjadi," kata Mary Aldin.
Thomas Royde bertanya padanya,
"Kau banyak bepergian?"
"Tidak, hampir tak pernah."
Ia menangkap sedikit nada kecewa di dalam suaranya.
"Kau ingin melakukannya?"
"Di atas segala-galanya."
Royde berpikir lambat-lambat tentang kehidupan Mary. Sepanjang waktu melayani
kepentingan seorang wanita tua. Tenang, bijaksana, seorang manajer yang sangat
baik. Ia bertanya dengan rasa ingin tahu,
"Kau sudah lama tinggal dengan Lady Tressilian?"
"Hampir lima belas tahun. Aku datang untuk tinggal bersamanya setelah ayahku
meninggal. Ia seorang invalid yang benarbenar tak bisa berbuat apa pun selama
beberapa tahun sebelum meninggal."
Lalu, untuk menjawab pertanyaan yang dirasakannya ada di pikiran Thomas, Mary
berkata, "Usiaku tiga puluh enam. Itu yang ingin kauketahui, bukan?"
"Aku memang menerka-nerka," kata Thomas mengakui. "Kau bisa masuk golongan umur
"berapa saja, kau tahu itu."
"Wah, itu bisa berarti dua."
"Betul juga. Bukan begitu maksudku."
Royde masih menatap wajah Mary dalam-dalam. Mary tidak merasa canggung ditatap
begitu. Tatapan itu tidak disertai oleh kesadaran diri"dilakukan hanya ka-rena
keprihatinan yang murni. Melihat mata Royde beralih ke rambutnya, ia menyentuh
cercah putih rambutnya dengan tangannya.
"Ini sudah ada," katanya, "sejak aku masih muda sekali."
"Aku menyukainya," kata Royde sederhana.
Ia terus menatapnya. Akhimya, Mary berkata dengan nada yang agak geli, "Nah,
bagaimana keputusannya?"
Wajah Thomas memerah, "Oh, tak sopan aku menatapmu begitu. Aku sedang mencoba lebih mengetahui tentang
kau "bagaimana kau ini sebenarnya."
"Silakan saja," kata Mary dengan cepat, lalu ia berdiri dari kursinya. Ia
berjalan menuju ruang duduk sambil menggandeng tangan Audrey, lalu berkata,
"Tuan Treves tua itu akan datang makan malam juga, besok."
"Siapa dia?" tanya Nevile.
Ia membawa surat perkenalan dari Rufus Lords. Seorang pria Ianjut usia yang
sangat menyenangkan. Ia tinggal di Balmoral Court. Jantungnya lemah dan ia
kelihatan rapuh, tetapi daya pikirnya masih sempurna dan ia kenal dengan banyak
orang yang mengasyikkan. Ia seorang pengacara ataubarister"aku tak ingat betul
yang mana." "Semua orang di sini sudah tua," kata Kay dengan rasa tak puas.
Ia sedang berdiri di bawah sebuah lampu yang tinggi. Thomas sedang memandang ke
arah itu, dan kini ia memandang Kay dengan penuh perhatian.
Tibatiba ia sadar akan kecanrikan Kay yang sangat menonjol. Warna kulitnya yang
indah bercahaya, penuh dengan vitalitas. Ia mengalihkan pandangannya dari Kay ke
Audrey, yang pucat dan lembut dalam gaunnya yang berwarna abu-abu keperakan.
Ia tersenyum sendiri dan bergumam,
"Bawang Merah dan Bawang Putih."
"Apa?" kata Mary Aldin yang berada di sisinya.
la mengulangi kata-katanya, "Seperti cerita kuno itu, lho."
Mary Aldin berkata, "Sebuah deskripsi yang sangat tepat."
Tn. Trevesmeneguk minumanpon-nyzdengan nikmat. Anggur yang sangat lezat. Makan
malam yang sangat enak dan dihidangkan dengan sangat menarik. Jelas sekali Lady
Tressilian tak punya kesulitan dengan pembantu-pembantunya.
Rumahnya pun sangat teratur, walaupun nyo-nya rumahnya seorang invalid.
Agak sedikit disayangkan, barangkali, bahwa para wanita itu tidak menyingkir ke
ruang yang terpisah pada waktu minuman anggur dihidangkan. Ia masih suka dengan
cara-cara lama"tetapi, yah, orang-orang muda ini punya cara-cara mereka sendiri.
Pandangan matanya berhenti pada wanita muda yang sangat cantik itu, yakni istri
Nevile Strange. Malam ini milik Kay. Kecantikannya mekar dan cemerlang dalam ruangan yang
diterangi cahaya liltn itu. Di sebelahnya, kepala Ted Latimer yang hi cam licin
sedang membungkuk padanya. Ia sedang merayunya. Kay merasa hebat dan percaya
diri. Pemandangan yang cemerlang dan penuh vitalitas itu menghangatkan tulang-tulang
tua Tn. Treves. Usia muda"tak ada yang lebih baik dari usia muda!
Tak heran bahwa sang suami tergila-gila dan meninggalkan istri pertamanya.
Audrey duduk di sebelahnya. Seorang wanita yang menarik dan anggun"benarbenar
seorang 'lady'"tetapi tipe wanita seperti inilah yang biasanya ditinggalkan
suami karena satu dan lain sebab, menurut pengalaman Tn. Treves.
Ia memandang Audrey. Kepalanya sedang tertunduk dan ia sedang memandangi
piringnya. Sesuatu dalam sikapnya yang diam itu menarik perhatian Tn. Treves. Ia
memandang Audrey dengan perhatian yang lebih besar. Ia ingin tahu apa kiranya
yang sedang dipikirkan wanita itu. Rambutnya yang menjurai dart belakang telinga
yang seperti kerang kecil itu kelihatan menarik....
Dengan sedikit kaget, Tn. Treves tersadar dari lamunannya dan bergegas mengikuti
yang lain pindah ke ruang duduk.
Di ruang duduk. Kay Strange langsung menuju ke gramopon dan memasang sebuah
piringan hitam yang memainkan musik dansa.
Mary Aldin berkata dengan rasa tak enak pada Tn. Treves, "Saya yakin Anda benci
musik jazz," "Sama sekaii lidak," kata Tn. Treves berbohong, tetapi tetap sopan.
"Mungkin, nanti, kita bisa mainbridge}"ia mengusulkan. "Tapi sebaiknya kita
tidak memulainya sekarang, karena saya tahu bahwa Lady
Tressilian sangat berharap untuk bisa mengobro dengan Anda."
"Itu akan sangat menyenangkan. Lady Tressilian tak pernah turun ke sini?"
"Tidak, dulu dia memang suka turun dengan kursi rodanya. Karena itulah dipasang
lift. Tetapi sekarang ia lebih suka tinggal di kamarnya sendiri. Di situ ia bisa
berbincangbincang dengan siapa saja yang ia maui, dan memanggilnya untuk da-tang
padanya" seperti seorang ratu saja."
"Wah, tepat sekali itu, Nona Aldin. Saya selalu merasa adanya sentuhan ningrat
dalam cara-cara Lady Tressilian."
Di tengah-tengah ruangan, Kay sedang berdansa perlahan-Iahan. Ia berkata,
"Singkirkan meja itu, Nevile."
Suaranya otokratis, penuh dengan rasa percaya diri. Matanya bersinar, bibirnya
sedikit terbuka. Nevile menuruttnya dan menyingkirkan meja itu. Lalu ia melangkah menghampiri
Kay, tetapi dengan sengaja Kay berjalan mendekati Ted Larimer.
"Ayo, Ted, kita berdansa."
Dengan cepat tangantangan Ted merangkul-nya. Mereka berdansa, meliuk-liuk dan
membungkuk-bungkuk, langkah-langkah mereka ber-padu dengan sempurna. Sebuah
pertunjukan yang indah untuk dipandang,
Tn, Treves bergumam, "Hmm"sangat profesional."
Mary Aldin sedikit terpana oleh katakata itu"tetapi, Tn. Treves pasti
mengatakannya ha-nya karena ia benarbenar terpesona. Ia memandang wajahnya yang
bijak. Wajah itu sekarang, pikir Mary, kelihatan sedikit melamun, seakan sedang
mengikuii jalan pikirannya sendiri.
Nevile berdiri sebentar dengan ragu, lalu ia berjalan mendekati Audrey yang
sedang berdiri dekat jendela.
"Dansa, Audrey?"
Nada suaranya formal, hampir dingin. Orang yang mendengamya akan berpikir bahwa
ia melakukannya hanya karena ingin sopan. Audrey Strange menunjukkan kcraguan
sebentar sebelum menganggukkan kepalanya dan melangkah ke arali Nevile.
Mary Aldin mengatakan sesuatu yang tak penting, yang tidak dijawab oleh Tn.
Treves. Selama ini ia tidak menunjukkan tanda-tanda ketulian, dan kesopanannya tak
tercela" Mary sadar bahwa rupanya ia sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak
pasti apakah pria tua itu sedang memandang pedansa-pedansa itu, atau ke seberang
ruangan di mana Thomas Royde sedang berdiri sendiri di sisiIain.
Dengan sedikit kaget, Tn. Treves berkata,
"Maafkan saya, Nona, Anda tadi mengatakan apa?"
"Oh, tidak. Cuma bahwa bulan September ini Iuar biasa bagus cuacanya."
"Ya, beml"hujan sangat diperlukan di daerah ini, kata orang-orang di hotel
saya." "Anda tak kekurangan apa-apa di sana, saya harap?"
"Oh, tidak, cuma"terus-terang saya agak jengkel waktu saya tiba karena..."
Tn. Treves memutuskan bicaranya.
Audrey telah meiepaskan diri dari Nevile. Ia berkata dengan tawa yang mengandung
maaf, "Betul-betul terlalu panas untuk berdansa."
Ia berjalan menuju jendela yang terbuka dan terus ke Iuar ke teras.
"Oh! Pergilah ikuti dia, Tolol," gumam Mary. Maksudnya hanya bergumam, tetapi
suaranya cukup keras untuk didengar oleh Tn. Treves, yang lalu memalingkan
kepalanya dan memandangnya dengan heran.
Wajah Mary menjadi merah dan ia tertawa dengan malu.
"Saya mengatakan apa yang ada di pikiran saya," katanya dengan kesal. "Tetapi
sungguh, ia begitu menjengkelkan saya. Ia begitulamban."
"Tuan Strange?"
"Oh, bukan, bukan Nevile. Thomas Royde."
Thomas Royde baru saja bersiap untuk melangkah maju, tetapi Nevile, sesudah
berhenti sebentar, lalu mengikuti Audrey ke Iuar.
Untuk sejenak lamanya, pandangan mata Tn. Treves yang penuh perhatian dan
spekulatif, certu-ju ke jendela, lalu beralih pada kedua pedansa itu.
"Pedansa yang bagus, Tuan"Latimer, namanya, bukan?"
"Ya, Edward Latimer."
"All, ya, Edward Latimer. Teman lama Nyo-nya Strange saya rasa?" "Ya."
"Dan apa pekerjaan orang muda yang sangat "em"dekoratif ini?"
"Oh, saya tak tahu pasti."
"Betulkah?" kata Tn. Treves dengan penuh arci.
Mary berkata lagi, "la tinggal di Hotel Easterhead Bay." "Situasi yang sangat
menyenangkan," kata Tn. Treves.
Setelah sejenak lamanya, ia berkata lagi dengan setengah melamun, "Bentuk
kepalanya menarik "lekukan yang aneh dari ubun-ubun ke leher" agak tertutup oleh
model potongan rambutnya, tetapi sangat aneh." Setelah berhenti lagi sebentar,
ia meneruskan, lebili seperti melamun, "Orang yang terakhir kulihat dengan
bentuk kepala seperti itu mendapat hukuman sepuluh tahun karena menyerang
seorang pedagang perhiasan yang sudah tua dengan brutal."
"Oh," seru Mary, "Anda tidak bermaksud mengatakan..."
"Sama sekali tidak, sama sekali tidak," kata Tn. Treves. "Anda salah cangkap.
Saya tak bermaksud memandang rendah tamu Anda. Saya hanya mau menunjukkan bahwa
seorang kriminal yang keras dan brutal bisa nampak sebagai seorang pemuda yang
sangat menarik dan menyenangkan. Aneh, tetapi begitulah kenyataannya."
Ia tersenyum dengan lembut pada Mary. Mary berkata, "Anda tahu, Tuan Treves,
saya rasa saya agak takut pada Anda."
"Tak ada alasan untuk itu, Nona yang baik."
"Tapi sungguh"saya memang agak takut. An-da"seorang pengamat yang sangat tajam."
"Mataku," kata Tn. Treves dengan rasa puas diri, "masih sama baiknya dengan
dulu." Ia berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Apakah itu sesuatu yang
menguntungkan atau tidak, pada saat ini aku tak dapat menentukan."
"Bagaimana itu bisa tak menguntungkan?"
Tn. Treves menggelengkan kepalanya dengan ragu.
"Kadangkadang kita ditempatkan pada sebuah posisi yang meminta
pertanggungjawaban. Tindakan yang harus diambil tak mudah ditentukan."
Hurstall masuk membawa nampan berisi cangkir-cangkir kopi.
Setelah memberikan secangkir pada Mary dan ahli hukum tua itu, ia menuju Thomas
Royde. Lalu, atas petunjuk Mary, ia meletakkan nampan itu di atas sebuah meja
dan meninggalkan ruangan.
Kay berkata melewati bahu Ted, "Kami akan menghabiskan lagu ini."
Mary berkata, "Aku akan membawa punya Audrey padanya."
Ia berjalan menuju jendela-jendela Prancis itu Tn. Treves menemaninya. Waktu ia
berhenti sebentar di ambang pintu, Tn. Treves melihat ke Iuar melewati bahunya.
Audrey sedang duduk di ujung birai. Di bawah cahaya bulan yang terang
kecantikannya menjadi hidup"suatu kecantikan yang lebih terbenruk oleh garrsgaris wajah daripada oleh warna. Garis rahang yang indah, lekukan-lekukan dagu
dan mu-lut yang lembut, bentuk tulang kepala yang manis dan hidung kecil yang
lurus. Kecantikan itu akan tetap ada walau kelak Audrey sudah menjadi seorang
wanita tua"kecantikan yang tak ada hubungannya dengan kulit dan tulang
penutupnya "tulang-tulang itu sendirilah yang memang sangat indah. Gaun dari
bahan gemerlapan yang dipakainya mempertajam efek sinar bulan. Ia duduk de-ngan
tenang dan Nevile Strange memandanginya.
Nevile mendekat satu langkah padanya.
"Audrey," katanya, "kau..."
Audrey menggeser duduknya, lalu meloncat ringan untuk berdiri dan menyentuh
telinganya dengan tangannya,
"Oh, giwangku "pasti aku telah menjatuhkan-nya."
"Di mana" Coba kulihat."
Keduanya membungkuk, dengan canggung dan malu"dan saling bertubrukan. Audrey
meloncat ke belakang, dan Nevile berseru,
"Tunggu sebentar"kancingku"terkaic di ram-butmu. Diamlah."
Audrey berdiri diam sementara Nevile berusaha melepaskan kancingnya.
"Oh "kau mencabuti rambutku"canggung betul kau, Nevile, ayolah cepat sedikit."
"Son"wall, aku memang payah." Cahaya bulan cukup terang dan kedua pengamat itu
bisa melihat jelas apa yang tak terlihat oleh Audrey, yakni_ tangantangan Nevile
yang gemetar waktu ia beiusaha keras untuk melepaskan kancingnya yang tersangkut
di tambut Audrey yang keperakan.
Tetapi Audrey sendiri juga gemetar"sepeni orang yang tibatiba kedinginan.
Mary Aldin terlonjak waktu sebuah suara perlahan terdengar di belakangnya,
"Maaf." Thomas Royde berjalan melewati mereka, ke Iuar. "Boleh kubantu, Strange?"
tanyanya Nevile meluruskan badannya dan ia dan Audrey saling menjauh. "Tak apa.
Sudah bisa." Muka Nevile agak pucat. "Kau kedinginan," kata Thomas pada Audrey. "Mari masuk
dan minum kopi." Audrey masuk bersama Thomas dan Nevile berbalik memandangi laut.
'"Aku membawakannya ke Iuar untukmu," kata Mary. "Tapi mungkin lebih baik jika
kau masuk." Mereka semua kembali ke ruang duduk. Ted dan Kay telah berhenti berdansa.
Pintu terbuka dan seorang wanita yang sang-' kurus dan tinggi serta bergaun
hitam, masuk. Ia berkata dengan penuh hormat,


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyonya menyampaikan salamnya dan ia akan senang sekali menerima Tn. Treves di
kamamya." Lady Trkssilianmenerima Tn. Treves dengan kegembiraan yang jelas terlihat.
Keduanya dengan cepat tenggelam dalam per-cakapan tentang masa-masa lalu dan
tentang teman-teman yang samasama mereka kenal.
Setelah setengah jam lamanya, Lady Tressilian menarik napas panjang dengan puas.
"All," katanya. "Sungguh menyenangkan! Tak ada yang lebih mengasyikkan daripada
bertukar go-sip dan mengingat kembali skandal-skandal lama."
"Sedikit kenakalan," kata Tn. Treves menyetujui, "menjadi bumbu penyedap
kehidupan." "Oniong-omong," kata Lady Tressilian, "apa pendapatmu tentang segitiga abadi
kita?" Tn. Treves kelihatan tak mengerti.
"Hmm"segitiga yang mana?"
"Jangan katakan padaku bahwa kau tak melihatnya! Nevile dan istri-istrinya."
"Oh, itu! Nyonya Strange vang sekarang Iuar biasa cantik."
"Begitupun Audrey," kata Lady Tressilian.
Tn. Treves mengakui, "la menarik"ya."
Lady Tressilian berkata, "Kau mau mengatakan padaku bahwa kau bisa mengerti kalau seorang pria
meninggalkan Au-drey, yang"punya keprtbadian khas"yang ja-rang ditemui"
karena"karena seorang wanita sepertiKay}"
Tn. Treves menjawab dengan tenang, "Betul sekali. Itu sering terjadi."
"Memuakkan. Kalau aku seorang pria, aku akan cepat bosan dengan Kay dan menyesal karena
telah berbuat begitu bodoh!"
"Itu juga sering terjadi. Tibatiba mabuk cinta "begitulah," kata Tn. Treves
dengan tenang, tanpa emosi, "tapi itu tak berlangsung lama." "Sesudah itu, lalu
apa?" desak Lady Tressilian. "Biasanya," kata Tn. Treves, "em"mereka saling
menyesuaikan diri. Sering lalu terjadi perceraian untuk kedua kalinya. Si pria
lalu kawin lagi dengan pihak ketiga"seorang wanita yang penuh simpati."
"Omong kosong! Nevile bukan orang Mor-mon"seperti beberapa klienmu itu mungkin!"
"Perkawrnan kembali di antara pihak-pihak pertama kadangkadang juga terjadi."
Lady Tressilian menggelengkan kepalanya. "Itu,tak akanterjadi! Audrey punya
harga diri yang terlalu tinggi." "Kaupikir begitu?"
"Aku yakin akan itu. Jangan menggelengkan kepalamu dengan cara yang
menjengkelkan itu!" "Menurut pengalamanku," kata Tn. Treves, "wanita punya sedikit sekali atau sama
sekali tak punya harga diri kalau sudah menyangkut soal cinta. Harga diri sering
kali cuma ada di mulutnya saja, tetapi tidak dalam perbuatannya."
"Kau tak mengerti Audrey. Ia betul-betul tergila-gila pada Nevile waktu itu.
Terlalu berlebihan, mungkin. Setelah Nevile meninggalkannya karena gadis ini
(walaupun aku tak seluruhnya menyalahkan Nevile"gadis itu mengejarnya ke mana
saja dan kau tahu bagaimana kaum pria itu!), ia tak pernah mau melihatnya lagi."
Tn. Treves batuk-batuk kecil."Dan toh," katanya, "di sinilah ia sekarang!"
"Oh, ya," kata Lady Tressilian dengan jengkel. "Aku memang tak paham dengan
gagasan-ga-gasan modern ini. Kurasa Audrey berada di sini hanya untuk
menunjukkan bahwa ia tak peduli lagi, dan bahwa itu tak mengganggu pikirannya
sama sekali." "Mungkin juga," kata Tn. Treves sambil mengelus dagunya. "Bisa saja ia
memberikan alasar| itu untuk dirinya sendiri."
"Maksudmu," kata Lady Tressilian, "kau berpendapat bahwa ia masih mencintai
Nevile dan bahwa... oh,tidak\Aku tak mau percaya dengan ha) seperti itu!"
"Itu bisa saja," kata Tn. Treves.
"Aku tak menghendaki itu," kata Lady Tressilian. "Aku tak man itu terjadi di
rumahku." "Kau sudah kepikiran, bukan?" tanya Tn. Treves. "Ada ketegangan. Aku telah
merasakannya dalam suasananya."
"Jadi kau merasakannya juga?" kata Lady Tressilian dengan tandas.
"Ya, terus terang saja masih merupakan teka-teki bagiku. Perasaan yang
sebenarnya dari ketiga pihak itu memang behim jelas, tetapi menurut pendapatku,
ada serbuk mesiu di situ. Kapan saja bisa meledak."
"Jangan berbicara seperti Guy Fawkes dan katakan padaku apa yang harus
kulakukan," kata Lady Tressilian. Tn. Treves mengacungkan kedua telapak tangannya.
"Aku tak tahu harus menyarankan apa. Aku merasa yakin, ada sebuah titik pusat.
Kalau saja kita bisa menemukannya"tetapi masih begitu banyak yang tak jelas."
"Aku tidak akan meminta Audrey untuk pergi," kata Lady Tressilian. "Sejauh yang
kulihat ia berkelakuan sempurna dalam situasi yang sulit ini. Ia cukup sopan,
tetapi juga cukup menjauh-kan diri. Aku menganggap tingkah lakunya tak tercela."
"O ya, betul," kata Tn. Treves. "Betul sekali. Tetapi itu juga memberikan efek
yang sangat kuat terhadap Nevile Strange."
"Nevile," kata Lady Tressilian,"tidakterlalu baik kelakuannya. Aku akan
berbicara tentang itu dengannya. Tetapi aku tak bisa memintanya keluar dari
rumah ini untuk sementara. Matthew secara praktis menganggapnya seperti anak
angkatnya." "Aku tahu." - Lady Tressilian menarik napas panjang. Ia Berkata dengan suara
yang direndahkan, "Kau tahu bahwa Matthew tenggelam di sini?"
"Ya." "Banyak orang heran mengapa aku masih ringgal di sini. Bodoh mereka itu.
Aku selalu merasa bahwa Matthew ada di dekatku, di sini. Ia ada di mana-mana di
rumah ini. Di tempat Iain aku akan merasa aneh dan kesepian." Ia berhenti sebentar, lalu
meneruskan. "Tadinya aku berharap, mungkin tak lama lagi aku akan menyusul-nya.
Apalagi waktu kondisi kesehatanku mulai menurun. Tapi rupanya aku ini memang
termasuk salah satu orang-orang sekarat yang tak akan pernah mati!" Ia memukul
bantalnya dengan marah. "Itu membuatku sangat jengkel, kau tahu! Aku selalu berharap bahwa kalau saatku
tiba, saatituakan datang dengan cepat"bahwa aku akan bertemu dengan Malaikat
Maut" muka dengan muka"tidak merasakannya m^rayap di sebelah-ku, selalu berada di
dekatku"mendorongku dari satu keadaan sakit pada keadaan sakit lain yang semakin
tak bermartabat"pada keadaan makin tergantung pada orang-orang lain!"
'Tetapi orang-orang itu sangat setia, aku yakin. Kau mempunyai seorang pelayan
wanita yang setia, bukan?"
"Barrett" Yang membawamu ke atas tadi" Penunjang hidupku! Amat sangatsetia.
Iasudah lama bekerja untukku."
"Dan kau beruntung ada Nona Aldin, ya."
"Kau betul. Aku beruntung ada Mary di sini."
"Ia masih ada hubungan keluarga denganmu?"
"Sepupu jauh. Ia orang yang sama sekali tidak* mementingkan diri, yang hidupnya
terus-menerus dikorbankan untuk kepentingan orang Iain. Semu-la ia mengurusi
ayahnya"seorang pria yang pandai"tetapi Iuar biasa rewel. Waktu ayahnya
meninggal aku meminta-minta agar Marv tinggal bersamaku dan aku bersyukur ia
menerima permmtaanku. Mempunyai Mary untuk mene-maniku, yang bcrperigetahuan Iuas karena senang
membaca, sungguh menyenangkan. Kau tak bisa bayangkan yang Iain-lain itu"
membosankan dan tak berguna, terus-menerus membuatku naik darali karena
kecololannya. Mary punya otak kelas satu"otak seorang pria.... Ia banyak belajar
dan membaca dan tak ada yang tak bisa dibicarakan dengan dia. Ia juga pandai
dalam urusan rumah tangga. Ia mengurus rumah ini dengan sempuma dan membuat
semua pelayan senang " tak ada lagi percekcokan dan iri hati"tak tahu aku
bagaimana ia melakukan itu "kebijaksanaan, kurasa."
"Ia sudah lama tinggal bersamamu?"
"Dua belas tahun... tidak, lebih dari itu. Tiga belas"atau empat betas. Untung
benar ada dia." Tn. Treves menganggukkan kepalanya.
Lady Tressilian, yang memperhatikannya de-ngan ktlopak mata setengali tertutup,
tibatiba berkata, "Ada apa" Kau kuatir tentang sesuatu?"
"Sedikit," kata Tn. Treves. "Sedikit saja, Mata-mu sungguh tajam."
"Aku senang mempeiajari orang," kata Lady Tressilian. "Aku selalu segera
mengetahuinya kalau ada sesuatu di pikiran Matthew." Ia menarik napas panjang dan menyenderkan
dirinya ke bantalnya. "Aku harus mengucapkan selamat malam padamu sekarang...."
katanya kepada Tn. Treves, seperti seorang ratu yang menyatakan bahwa waktu
bertemu sudah habis. "Aku capek sekali. Tetapi sungguh sangat menyenangkan
bercanda denganmu. Datang dan tengoklah lagi saya ini."
"Kau bisa pastikan bahwa aku akan datang lagi. Mudah-mudahan aku tidak berbicara
terlalu lama tadi." "Oh, tidak. Aku selalu merasa capek tibatiba. Tolong bunyikan bel-ku ya, sebelum
kau pergi." Tn. Treves perlahan-lahan menarik tali Ionceng kuno yang berjumbai sangat besar
itu. "Ini istimewa," katanya.
"Loncengku" Ya. Aku tak mau bel listrik yang modem. Hampir selalu rusak dan
kautenissaja memencetnya tanpa mengetahuinya! Yang ini tak pernah gagal.
Langsung berbunyi di kamar Barrett di atas"Ionceng itu tergantung di atas tempat
tidurnya. Jadi tak pemah ada keterlambatan. Kalau ada, aku segera menariknya
lagi." Waktu Tn. Treves berjalan keluar dari kamar, ia mendengar Ionceng itu ditarik
untuk kedua kalinya dan deringnya terdengar dari suatu tempat di atas. Ia
menengok ke atas dan melihat talinya yang merambat di langitlangit rumah.
Barrett bergegas turun dari tangga dan melewatinya me-nuju kamar majikannya.
Tn. Treves tidak mempergunakan lift yang ada untuk turun; ia berjalan perlahan
menuruni tangga. Wajahnya kelihatan berpikir keras.
Ia menemukan semuanya berkumpul di ruang duduk dan Mary Aldin segera menyarankan
permainan bridge, tetapi Tn. Treves menolak halus, dengan alasan bahwa ia harus
segera kembali ke hotelnya.
"Hotel saya," katanya, "sangat kuno. Mereka tidak mengharapkan tamu-tamunya ke
Iuar setelah tengah malam."
"Masih jauh dari tengah malam"baru jam setengah sebelas," kata Nevile. "Mereka
tak akan mengunci pintu sebelum Anda datang, bukan?"
"Oh, tidak. Malahan kalau tak salah pintunya tak dikunci sama sekali pada malam
hari. Jam sembilan pintu itu ditutup, tapi orang cuma perlu memutar pegangannya untuk
bisa masuk. Di sini nampaknya orang tak memperhatikan keamanan, tetapi saya rasa
itu karena orang-orang di sini saling mempercayai."
* "Yang pasti, tak seorang pun mengunci pintu kamarnya di siang hari di sini,"
kata Mary. "Pintu-pintu kami terbuka lebar sepanjang hari " tetapi kami
menguncinya pada malam hari."
"Seperti apa Balmoral'Court itu?" tanya Ted Latimer. "Kelihatannya seperti
bangunan model Victoria yang aneh."
"Sesuai dengan namanya," kata Tn. Treves. "Ban gunan itu membenkan kenyamanan
zaman Victoria yang mantap. Tempat tidurnya baik, masakanriya baik"lemari-lemari
zaman Victoria yang besar. Bak mandi yang sangat lebar dikelilingi dinding
berpanel kayu mahoni."
"Anda bilang tadi Anda jengkel tentang sesuatu waktu Anda baru tiba?" tanya
Mary. "Ah, ya. Saya khusus memesan dua kamar di lantai bawah dengan surat. Saya punya
jantung yang lemah, dan saya tak boleh naik-turun tangga. Waktu saya tiba, saya
sungguh jengkel karena kamar-kamar itu tidak tersedia untuk saya. Ke-pada saya
diberikan dua kamar (harus-saya akui, kamar-kamar itu sangat menyenangkan) di
lantai atas. Saya protes, tetapi rupanya seorang penghuni lama yang tadinya akan
berangkat ke Skotlandia bulan ini jatuh sakit dan tak dapat mengosong-kan kamarkamarnya." "Itu pasti Nyonya Lucan," kata Maiy,
"Ya. Saya kira itulah namanya. Yah, saya terpaksa menerimanya. Untungnya, ada
lift otomatis yang baik"jadi sebetulnya saya tak punya kesulitan."
Kay berkata, "Ted, mengapa kau tak datang dan tinggal di Balmoral Court saja" Itu lebih
dekat." "Oh, kurasa itu bukan tempat yang cocok buatku."
"Betul, Tuan Latimer," kata Tn. Treves. "Saya rasa itu sama sekali bukan tempat
yang sesuai untuk Anda."
Entah mengapa, wajah Ted Latimer menjadi merah.
"Saya tak mengerti maksud Anda," katanya.
Mary Aldin yang merasakan adanya sedikit ketegangan, dengan cepat mengalihkan
pembicaraan dengan menyebutkan suatu kasus dari surat kabar.
"Rupanya mereka telah menahan seseorang dalam kasus Kentish Town itu," katanya.
"Itu orang kedua yang mereka tahan," kata Nevile. "Kuharap mereka menahan
pelakunya yang betul kali ini."
"Mereka mungkin tak akan bisa menahannya di penjara walaupun ia memang
pelakunya," kata Tn. Treves.
"Tali cukup bukti?" tanva Royde.
"Ya." "Walaupun begitu," kata Kay, "saya rasa akhirnya mereka akan bisa mengumpulkan
buk-ti." 'Tidak selalu, Nyonya Strange. Anda akan kaget kalau Anda tahu berapa orang yang
telah melakukan perbuatan kriminal bebas saja berkeliaran tanpa diganggu."
"Karena mereka tak pernah ditemukan, mak-sud Anda?"
"Bukan hanya itu. Ada satu orang." Ia menyebutkan sebuah kasus terkenal yang
terjadi dua tahun yang lalu?"Polisi tahu siapa yang melakukan pembunuhan atas
anak-anak itu"tahu tanpa ada keraguan sedikit pun"tetapi mereka tak berdaya.
Orang itu telah diberi alibi oleh dua orang dan walaupun aiibinya palsu, hal itu
tak bisa dibuktikan. Oleh karenanya, si pembunuh bebas berkeliaran."
"Sungguh mengerikan," kata Mary.
Thomas Royde mengetukkan isi pipanya dan berkata dengan suaranya yang pelan dan
dalam, "Kalau begitu, apa yang kupikir memang betul "ada saatsaat di mana
seseorang bisa dibenarkan menjadi hakim sendiri."
"Apa yang Anda maksudkan, Tuan Royde?"
Thomas mulai mengisi pipanya lagi. Wajahnya yang penuh pemikiran memandangi
tanganta-ngannya sendiri sementara ia berkata dalam kalimat-kalimat yang
terputusputus. "Misalnya Anda mengetahui tentang"suatu perbuatan kotor"tahu bahwa pelakunya
tidak tersentuh oleh hukum yang ada"bahwa ia tidak bisa dihukum. Saya percaya"
bahwa seseorang bisa dibenarkan bertindak dan melaksanakan hukuman itu sendiri."
Tn. Treves berkata dengan hangat,
"Itu sebuah doktrin yang sangat berbahaya, Tuan Royde! Tindakan seperti itu tak
dapat dibenarkan!" "Saya tak setuju. Anggapan kita adalah, bahwafakta-faktaitu sudah terbukti"cuma
sajahu-kumnyztidak berdaya!"
"Main hakim sendiri sama sekali tidak dapat dibenarkan."
Thomas tersenyum"senyum yang sangat lem-but.
"Saya tak setuju," katanya. "Kalau seseorang perlu dicekik lehernya, saya tak
keberatan mengambil tanggung jawab untuk mencekiknya!"
"Dan sebaliknya menempatkan diri pada posisi dapat dikenai hukuman!"
Masih tersenyum, Thomas berkata, "Saya akan
berhati-hati, tentu saja.... Kita harus mempergunakan sedikit tipu daya "
Audrey berkata dengan suaranya yang jernih,
"Kau akan ketahuan, Thomas."
"Terus terang saja," kata Thomas, "kukira tidak."
"Ada satu kasus yang saya tahu dulu," kata Tn. Treves memulai ceritanya, lalu
berhenti. Ia berkata dengan agak sungkan, "Kriminologi memang sedikit merupakan hobi saya,
Anda tahu." "Teruskanlah cerita Anda," kata Kay.
"Saya mempunyai pengalaman yang agak luas dengan kasus-kasus kriminal," kata Tn.
Treves. "Hanya beberapa saja yang benarbenar menarik perhatian. Umumnya para
pembunuh sama sekali tidak menarik dan berpandangan picik. Namun demikian, saya
bisa menceritakan pada Anda satu contoh yang menarik."
"Oh, ya," kata Kay. "Saya suka pembunuhan."
Tn. Treves berbicara perlahan, jelas sekali ia memilih kata-katanya dengan hatihati. "Kasus ini menyangkut seorang anak. Saya tak akan menyebut usia atau jenis
kelamin anak itu. Fakta-faktanya sebagai berikut: Dua orang anak sedang bermain
dengan busur dan anak panah. Seorang anak melepaskan anak panah dan mengenai
anak yang lain di tempat yang vital seliingga mengakibatkan kematian. Pemenksaan


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan, anak yang masih hidup itu bingung dan takut, kecelakaan itu
disesalkan, dan orang menaruh simpati pada pelaku perbuatan yang bingung itu."
Ia berhenti sebentar. "Selesai?" tanya Ted Latimer.
"Selesai. Sebuah kecelakaan yang disesalkan. Tetapi, adasisi lain dari cetita
itu. Seorang petani, beberapa waktu sebelumnya, kebetulan melewati jalur
tertentu di hutan di dekat situ. Di situ, di sebuah tempat yang terbuka, ia
melihat seorang anak sedang berlatih dengan busur dan anak panah."
Ia berhenti"memberi kesempatan pada pende-ngarnya untuk mencernakan katakata
itu. "Maksud Anda," kata Mary Aldin dengan ragu, "ituvadi bukansebuah kecelakaan"
melainkan perbuatan yang disengaja?"
"Saya tak tahu," kata Tn. Treves. "Saya tak pernah tahu. Tetapi dalam laporan
pemenksaan tertulis bahwa anak-anak itu tidak terbiasa dengan busur dan anak
panah dan karenanya membidik dengan kacau."
"Dan temyata tidak begitu?"
"Dalam kasussalah satudarianak-anak itu, jekv idak begitu!"
Apayang dilakukan oleh petaniitu?" kataAudrey seakan kehabisan napas.
"Ia tak melakukan apa-apa. Apakah ttndakan itu benar atau tidak, saya tak pernah
tahu pasti. Itu menyangkut masa depan seorang anak. Ia merasa, seorang anak harus diberi
kebebasan dari dakwaan karena keraguan." Audrey berkata, "Tetapi Anda sendiri
tak punya keraguan tentang apa yang sebetulnya terjadi?"
Tn. Treves berkata dengan suram,
"Secara pnbadi, saya berpendapat bahwa itu adalah sebuah pembunuhan yang jitu"
sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak dan direncanakan sampai ke
detildetilnya sebelumnya."
Ted Latimer bertanya, "Apakah ada alasan untuk itu?"
"Oh, ya, ada sebuah motif. Ejekan-ejekan anak-anak, katakata yang menyakitkan"
cukup untuk menimbulkan kebencian. Anak-anakgam-pangsekali membenci...."
Mary berseru, "Tetapi rencana itu!"
Tn. Treves mengangguk. "Ya, rencana itu amat buruk. Seorang anak, menyimpan sebuah rencana pembunuhan di da-lam
hatinya, diam-diam berlatih hari demi hari, lalu sandiwara yang terakhir itu "
bidikan panah yang kacau"malapetaka, pura-pura bingung dan sedih. Luar biasa"
begitu Iuar biasa hingga rr: ng-kin tak ada yang bisa mempercayainya di pei
-adilan." "Apa yang terjadi dengan"dengan anak itu?" tanya Kay dengan penuh rasa ingin
tahu. "Garni nama, saya kira," kata Tn. Treves. "Itu memang perlu dilakukan karena
publisitas pemeriksaan perkara itu memang hebat. Anak itu sudah menjadi orang
dewasa sekarang"di suatu tempat di dunia ini. Yang perlu dipertanyakan adalah,
apakah ia masih berhati pembunuh?"
Ia menambahkan dengan penuh pikiran,
"Itu sudah lama sekali, tetapi saya akan mengenali pembunuh kecil itu di mana
saja." "Tak mungkin," kata Royde tak setuju.
"Sungguh. Ada sebuah ciri tubuh yang tak biasa"Yah, sebaiknya saya tak
membicarakannya lagi. Ini bukan sebuah pokok pembicaraan yang menyenangkan. Saya
benarbenar harus kembali ke hotel sekarang."
Ia berdiri. Mary berkata, "Anda tak mau minum dulu?"
Botol-botol minuman terletak di sebuah meja di sisi Iain ruangan itu. Thomas
Royde, yang berada di dekatnya, pergi ke meja itu dan membuka karaf whisky.
"Whisky dan soda, Tuan Treves" Latimer, Anda suka apa?"
Nevile berkata pada Audrey dengan suara perlahan,
"Malam ini indah sekali. Mari kita keluar sebentar."
Audrey sedang berdiri di dekat jendela memandang ke arah teras yang diterangi
sinar bulan. Nevile berjalan melewatinya dan berdiri di Iuar, menanti. Audrey
berbalik menuju ke dalam, aan menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak, aku capek. Aku"kurasa aku mau tidur saja."
Ia berjalan menyeberangi ruangan lalu keluar. Kay menguap lebar.
"Aku juga ngantuk. Bagaimana dengan kau, Mary?"
"Ya, aku juga. Selamat malam, Tuan Treves. Temani Tuan Treves, ya, Thomas?"
"Selamat malam, Nona Aldin. Sekynat malam, Nyonya Strange."
"Kami akan datang besok untuk makan siang, Ted," kata Kay. "Kalau cuacanya masih
seperti ini, kita bisa berenang."
"Ya. Aku akan menunggu kalian. Selamat malam, Nona Aldin."
Kedua wanita itu meninggalkan ruangan.
Ted Latimer berkata dengan ramah pada Tn. Treves, "Saya akan berjalan bersama
Anda, Pak. Saya harus pergi ke feri, jadi saya akan melewati hotel Anda."
"Terima kasih, Tuan Latimer. Senang sekali ada teman berjalan."
Tn. Treves, walaupun sudah menyatakan mak-sudnya untuk kembali ke hotel,
nampaknya tidak tergesa-gesa. Ia menghirup minumannya perlahan-lahan dan dengan
penuh perhatian mengajukan pertanyaan-peitanyaan pada Thomas Royde tentang
kondisi-kondisi kehidupan di Malaya.
Royde memberikan jawaban-jawaban yang pendek dan seret. Seakanakan keterangan
tentang kehidupan sehari-hari itu adalah rahasia nasional yang penting. Ia
seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan terpaksa bangkit dengan
susah-payah untuk menjawab pertanyaanperta-nyaan itu.
Ted Larimer beringsut dengan gelisah. Ia kelihatan bosan, tidak sabar, dan ingin
lekas pergi. Tibatiba ia berkata, "Aku hampir lupa. Aku membawakan Kay beberapa piringan
hitam yang diinginkannya. Kutinggalkan di depan. Aku akan mengambitnya. Bisa
kaubentahukan padanya, be-sok, Royde?"
Pria yang diajak bicara mengangguk. Ted meningga kan ruangan.
"Orang muda itu perangainya gelisah," gumam Tn. Treves.
Royde menggeram tanpa menjawab,
"Teman Nyonya Strange rupanya, ya?" kata ahh' hukum tua itu lagi.
"Teman Kay Strange," kata Thomas.
Tn. Treves tersenyum. "Ya," katanya. "Itu maksud saya. Rasanya tak mungkin dia teman " Nyonya Strange
yang pertama. Royde berkata dengan tegas, "Ya. Tak mungkin."
Lalu, waktu ia menangkap pandangan mata pria tua yang sedikit mengandung senyum
itu, Tho-mas berkata lagi, mukanya sedikit memerah, "Yang saya maksudkan
adalah..." "Oh, saya tahu betul apa yang Anda maksudkan, Tuan Royde. Anda sendiri adalah
teman Nyonya Audrey Strange, bukan?"
Thomas Royde perlahan-lahan mengisi pipanya dengan tembakau yang diambilnya dari
kantung cembakaunya. Matanya tertuju pada pekerjaan itu, dan ia berkata atau
lebih tepat disebut bergumam,
"Mm"ya. Kutang lebih dibesarkan bersama-sama."
"Pasti ia sangat menarik waktu masih gadis, ya?"
Thomas Royde mengatakan sesuatu yang kedengarannya seperti "Eh-lim."
"Agak canggung ada dua Nyonya Strange di satu rumah, ya?"
"Oh, ya"ya, begitulah."
"Posisi yang sulit untuk Nyonya Strange yang pertama."
Muka Thomas Royde memerah.
"Luar biasa sulit."
Tn. Treves mengajukan badannya ke depan. Pertanyaan itu diajukannya dengan suara
tajam. "Mengapa ia datang, Tuan Royde?"
"Yah "saya kira?" suara Royde tak jelas, "ia"tak suka menolak."
"Menolak siapa?"
Royde menggeser duduknya dengan canggung.
"Yah, sebetulnya, saya tahu ia selalu datang setiap tahun pada saatsaat seperti
ini" permulaan bulan September."
"Dan Lady Tressilian meminta Nevile Strange dan istri barunya untuk datang pada
waktu yang sama?" Suara pria tua itu mengandung keraguan yang diucapkan dengan
nada yang sangat sopan. "Itu, saya rasa Nevile mengundang dirinya sendiri."
"Jadi ia memang menginginkan"reuni ini?"
Royde beringsut lagi dengan perasaan tidak enak. Ia menjawab, sambil menghindari
pandangan mata lawan btcaranya,
"Saya kira begitu."
"Aneh," kata Tn. Treves.
"Perbuatan yang tolol," kata Thomas Royde.
"Agakmemalukan, mungkin," kataTn. Treves.
"Ah, yah "banyak orang yang melakukan itu pada masa sekarang ini," kata Thomas
Royde samar-samar. "Saya ragu," kata Tn. Treves, "mungkinkah itu buah pikiran orang lain?"
Royde memandangnya. "Buah pikiran siapa lagi?"
Tn. Treves menarik napas panjang.
"Ada begitu banyak kawan dengan maksud baik di dunia ini"selalu ingin mengatur
hidup oiang lain"memberikan saran ?" la berhenti berbicara waktu Nevile Strange
berjalan masuk melewati pintu-pintu Prancis itu. Pada saat yang sama Ted Latimer
masuk dari ruangan lain. "Halo, Ted, apa yang kaubawa itu?" tanya Nevile,
"Piringan hitam buat Kay. Ia memintaku membawanya kemari."
"Oh, ya" Dia tak mengatakannya padaku." Ada sedikit ketegangan di antara
keduanya, lalu Nevile berjalan menuju baki minuman dan menyiapkan minuman whisky
dan soda untuknya sendiri. Mukanya kelihatan gelisah dan tidak senang" Ia
mengambil napas dalam-dalam.
Tn. Treves mendengar seseorang di dekacnya mengatakan sesuatu tentang Nevile,
"Si Strange yang beruntung itu"punya semua yang diidam-kan orang di dunia ini."
Akan tetapi, pada saat ini, Nevile sama sekali tak kelihatan seperti seseorang
yang berbahagia. Thomas Royde, dengan munculnya Nevile, seperti merasa bahwa tugasnya sebagai
tuan rumah sudah selesai. Ia meninggalkan ruangan tanpa berusaha mengatakan
selamat malam dan jalannya sedikit lebih beigegas daripada biasanya. Hampir
seperti melarikan diri. "Malam yang menyenangkan," kata Tn. Treves dengan sopan sambil meletakkan
gelasnya. "Sa-ngat" ah"instruktif."
"Instruktif?" kata Nevile, alls matanya bergerak naik sedikit.
"Informasi tentangMalayaitu," saran Ted, sambil tersenyum lebar. "Orang harus
bekerja keras untuk menarik jawaban-jawaban dari mulut Thomas si Pendiam."
"Luar biasa si Royde itu," kata Nevile. "Kukira ia selalu begitu. Mengisap
pipanya yang tua itu dan mendengarkan dan sesekali berkatahmdanahdan kelihatan bijaksana seperti
burung hanru." "Mungkin ia lebih banyak berpikir," kata Tn. Treves. "Dan sekarang saya betulbetul harus pamit." "Harap Anda datang dan mengunjungi Lady Tressilian lagi segera," kata Nevile
yangmenemuikedua orang itu ke ruang depan. "Anda telah membuatnya begitu
gembira. Hubungannya de-ngan dunia Iuar sangat sedikit sekarang. Ia sangat menyenangkan,
bukan?" "Oh, ya. Seorang teman ngobrol yang sangat baik."
Tn. Treves dengan hati-hati memakai mantel dan syalnya, dan setelah sekali lagi
bersalam-salaman, ia dan Ted Latimer berjalan bersama.
Balmoral Court sebetulnya hanya sekitar seratus yar jauhnya, melewatisatubelokan
jalan. Bangunan kuno yang sangat mengesankan, dan yang pei tama di jalan desa
itu dari Gull's Point. Feri yang akan dituju Ted Latimer letaknya sekitar dua atau tiga raws yar lebih
jauh, tempat di mana lebar sungai paling sempit.
Tn. Treves berhenti di pintu Balmoral Court dan mengulurkan tangannya.
"Selamat malam, Tuan Latimer. Anda masih lama tinggal di sini?"
Ted tersenyum, memperliharkan gigi-giginya yang putih.
"Itu tergantung, Tuan Treves. Saya tak punya waktu untuk menjadi bosan"belum."
'Tentu saja tidak, saya yakin. Saya kira seperti halnya dengan kebanyakan orang
muda zaman sekarang, kebosanan adalah sesuatu yang paling Anda takuti di dunia
ini, dan toh, Anda boleh percaya pada saya, ada hal-hal yang lebih buruk
daripada itu." "Contohnya?" Suara Ted Latimer sopan dan ramah, tetapi seperti mengandung sesuatu di
baliknya" sesuatu yang tak mudah di jelaskan.
"Oh, itu saya serahkan pada imajinasi Anda, Tuan Latimer. Saya tidak bermaksud
memberi nasihat pada Anda, lho. Nasihat dari tua-bangka seperti saya ini
biasanya dicemoohkan orang. Mungkin memang patut dicemoohkan, tak tahu saya.
Tetapi kami yang tua-tua ini suka berpendapat bahwa pengalaman telah mengajarkan
sesuatu pada kami. Anda tahu, kami telah melihat banyak dalam hidup ini."
Segumpa! awan menutupi bulan. Jalanan menjadi sangat gelap. Dari dalam kegelapan
itu, sosok tubuh seorang pria berjalan menaiki bukit menuju mereka.
Pria itu adalah Thomas Rovde.
"Baru saja jalan-jalan ke feri," katanya dengan tak begitu jelas karena pipa
yang terjepit di antara gigi-giginya.
"Ini penginapan Anda?" tanyanya pada Tn. Treves. "Kelihatannya Anda terkunci di
Iuar." "Oh, saya kira tidak," kata Tn. Treves.
Ia memutar kenop pintu kuningan yang besar itu dan pintu itu membuka.
"Kami akan mengantarkan Anda ke dalam," kata Royde.
Ketiganya memasuki ruang depan. Ruang itu remang-remang, hanya diterangi oleh
satu lampu listrik. Tak nampak seorang pun, ada sisa-sisa bau dari makan malam,
beledu yang berdebu, serta bau semir pengkilap perabotan menembus hidung mereka.
Tibatiba Tn. Treves mengeluarkan seruan jengkel.
Pada lift di depan mereka tergantung sebuah pembentahuan: LIFT SEDANG RUSAK
"Aduh," kata Tn. Treves. "Betul-betul menjengkelkan. Saya harus berjalan menaiki
tangga." "Payah juga," kata Royde. "Apakah tidak ada lift yang lain"yang untuk barang?"
"Tidak ada. Ini dipakai untuk semua keperluan. Yah, saya harus naik perlahanlahan. Selamat malam." la mulai berjalan perlahan menaiki tangga yang lebar itu. Royde dan Latimer
mengucapkan selamat malam, lalu berjalan ke Iuar menuju jatanan yang gelap.
Mereka berhenti sebentar, lalu Royde berkata dengan cepat, "Yah, selamat malam."
"Selamat malam. Sampai jumpa besok."
"Ya." Ted Latimer berjalan dengan langkah ringan menutuni tanjakan, menuju feri.
Thomas Royde berdiri sambil memandanginya sebentar, lalu berjalan perlahan ke
arah yang lain, menuju Gull's Point.
Bulan keluar dari balik awan dan menerang! Saltcreek lagi dengan sinarnya yang
keperakan. "Rasanyaseperti musim panas," gumam Mary Aldin.
Ia dan Audrey sedang duduk di pantai sebelah bawah bangunan yang mentereng,
Hotel Easterhead Bay. Audrey mengenakan pakaian renang berwarna putih dan nampak
seperti ukiran gading yang lembut, Maiy beium berenang. Tak jauh dari mereka Kay
tidur menelungkup, membiarkan punggung dan kaki-tangannya yang indah disinari
matahari. "Uh," ia berdiri. "Airnya dingin sekali," katanya dengan nada menuduh.
"Yah, ini kan bulan September," kata Mary.
"Di Inggris selalu dingin," kata Kay mengeluh. "Kalau saja kita berada di
Prancis Selatan. Di situ benarbenar panas."
Ted Latimer bergumam di belakangnya,
"Matahari ini memang hukan matahari yang benar."
"Anda tak masuk ke air sama sekali, Mr. Latimer?" tanya Mary. Kay tertawa.
"Ted tak pernah masuk ke dalamair.Ia cuma menjemur badannya saja seperti kadal."
Ia menusuk badan temannya dengan jari kakinya. Ted melompat berdiri.
"Avo kita jalan-jalan, Kay. Aku kedinginan."
Mereka berjalan bersama menyusuri pantai.
"Seperti kadal" Perbandingan yang tidak enak," gumam Mary Aldin sambil memandang
kedua orang itu. "Kaupikir ia memang seperti itu?" tanya Audrey.
Maiv Aldin mengerutkan dahi.


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak juga. Kadal memberi kesan sesuatu yang jinak. Kurasa ia tidak jinak."
"Tidak," kata Audrey berpikir-pikir. "Menurutku juga tidak."
"Mereka berdua cocok sekali kelihatannya," kata Mary sambil memandangi pasangan
itu. "Mereka sesuai untuk menjadi pasangan, ya?"
"Kukira begitu."
"Mereka menyukai hal-hal vang sama," kata Mary lagi. "Dan punya pendapat yang
sama dan"dan memakai bahasa yang sama. Sayang seribu sayang bahwa..."
Ia berhenti berbicara. Audrey berkata dengan tajam,
"Bahwa apa?" Maiy berkata perlahan, "Kurasa aku mau mengatakan sayang sekali bahwa Nevile dan dia pernah bertemu."
Audrey duduk tegak dengan kaku. Apa yan disebut Mary "pandangan beku Audrey"
nampak di wajah Audrey. Maiy berkata dengan cepat, "Maaf, Audrey. Seharusnya aku
tak mengatakan itu."
"Aku"tak ingin membicarakannya, kalau kau tak keberatan."
"Tentu saja, tentu saja. Aku telah berbuat tolol. Kurasa karena aku berharap
tadinya bahwa kau sudah bisa mengatasinya."
Audrey memalingkan kepalanya dengan perlahan. Ia berkata dengan suara yang
tenang, tanpa ekspresi, "Aku bisa berkata padamu, tak ada yang harus diatasi. Aku tak punya perasaan apa
pun dalam hal itu. Aku berharap"aku berharap dengan sepenuh hati, bahwa Kay dan
Nevile akan selalu berbahagia bersama."
"Yah, itu baik sekali, Audrey."
"Bukan baik. Itu memang"betul. Tetapi aku sungguh merasa bahwa"yah"tak ada
gunanya memikirkan yang sudah berlalu. 'Sayang sekali ini terjadi"atau itu
terjadi!' Itu semua sudah lewat sekarang. Mengapa kita ungkit-ungkit lagi" Kita
harus menjalani hidup kita di masa sekarang ini."
"Kukira," kata Maiy dengan biasa, "orang-orang seperti Kay dan Ted mengasyikkan
bagiku karena"yah, mereka begitu berbeda dari apa pun atau siapa pun yang pernah
kutemui." "Ya, kurasa mereka memang berbeda."
"Bahkan kau," kata Mary dengan kepahitanyang datang tibatiba, "telali hidup dan
mempunyai pengalaman yang mungkin tak pernah kuda-pat. Aku tahu kau pemah
melewati saatsaat yang tidak bahagia"sangat tidak bahagia"tetapi aku masih
merasa bahwa bahkan itu pun masih lebih baik daripada"yah"tidak sesuatu pun.
Kekosongan!" Ia mengatakan kata yang terakhir itu dengan tekanan yang keras.
Mata Audrey yang lebar kelihatan sedikit kaget.
"Aku tak pemah menyangka kau bisa merasa begitu."
"Tidak?" Mary Aldin tertawa sungkan. "Ah, itu tadi cuma pelampiasan rasa tidak
puas sebentar saja, Kawanku. Aku tidak bersungguh-sungguh."
"Pasti tak terlalu menyenangkan. untukmu," kata Audrey perlahan. "Tinggal di
sini saja de-ngan Camilla"walaupun ia sungguh baik, Mem-bacakan buku untuknya,
mengatur para pembantunya, tak pernah bepergian."
"Aku diberi cukup makan dan tempat tinggal," kata Mary, "Beribu-ribu wanita
bahkan tidak mendapat itu. Dan, sungguh, Audrey, sebetulnya aku sudah puas. Aku
punya?" seulas senyum tersungging sebentar di bibirnya" "selingan-se-lingan pribadi."
"Kenean-kencan rahasia?" tanya Audrey yang juga tersenyum.
"Oh, aku membuat rencana-rencana," kata Mary samar-samar. "Di dalam pikiranku,
kau tahu. Dan aku suka bereksperimen kadangkadang"dengan orang. Cuma ingin
melihat, kau tahu, apakah aku dapat membuat orang bereaksi seperti yang
kuinginkan." "Kau kedengarannya hampir sadis, Mary. Rupanya aku hanya sedikit saja
mengenalmu!" "Oh, semuanya itu tidak jahat. Cuma sedikit hiburan yang kekanak-kanakan."
Audrey bertanya dengan rasa ingin tahu,
"Apakah kau sudah membuat eksperimen denganku?"
"Belum. Kau adalah satu-satunya orang yang menurutku sangat sulit ditebak. Aku
tak pernah caliu apa yang sedang kaupikitkan."
"Mungkin," kata Audrey dengan suram, "sebaiknya begitu."
Ia menggigil dan Mary berseru,
"Kau kedinginan."
"Ya. Kurasa sebaiknya aku pergi berganti pakaian. Bagaimanapun juga, ini kan
bulan September." Mary Aldin tinggal sendiri memandangi bayangan di air. Air laut sedang surut. Ia
rrieiurus-kan badannya di atas pasir dan menutup matanya.
Mereka makan siang enak di hotel tadi. Hotel itu masih ramai, walaupun sudah
lewat masa puncak liburan. Oiang-orangnya aneh-aneh. Ah, yah, pe-siar yang cukup
menyenangkan hari ini. Lumayan sebagai selingan hari-hari mendatang. Membuat
perasaan sedikit lega juga, keluar dari suasana yang menegangkan yang terbentuk
barubaru ini di Gull's Point. Bukan salah Audrey, tetapi Nevile....
Lamunannya terpucus waktu Ted Latimer men jatuhkan dirinya di pasir di
sebeialmya. "Anda kemanakan Kay?" tanya Mary. Ted menjawab singkat, "Diambil kembali oleh
pemiliknya yang sah." Sesuatu dalam nada suaranya membuat Mary Aldin bangkit dan
duduk. Ia memandang hampar-an pasir yang berkilau keemasan di mana Nevile dan
Kay sedang berjalan di tepian air. Lalu ia memandang cepat pada pria yang berada
di sebeialmya. Selama ini ia selalu melihatnya sebagai pria yang tampan tetapi tak berisi,
aneh,' dan bahkan berbahaya. Kini, untuk pertama kahnya ia melihatnya sebagai
seorang pria muda yang terluka hatinya. Ia berpikir, ia jatuh cinta pada Kay"betul-betul mencintainya"
lalu Nevile datang dan membawanya pergi darinya....
Ia berkata dengan lembut,
"Saya harap Anda menikmati liburan Anda di sini."
Katakata tersebut katakata konvensional. Ma-iy Aldin jarang mempergunakan
katakata yang lain daripada yang konvensional "itu memang bahasa khasnya. Tetapi
nada suaranya menawar-kan"untuk pertama kalinya"persahabatan. Ted Latimer
menyambutnya. "Sama banyaknya mungkin dengan yang bisa saya dapat di tempat lain, di mana pun
juga!" Maiy berkata, "Saya menyesal."
"Tetapi Anda sesungguhnya tak peduli! Sava toh cuma orang Iuar"dan apa peduii
Anda dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang Iuar?"
Mary memalingkan kepalanya untuk memandang pria muda yang pahit dan tampan ini.
Pria muda itu membalas pandangannya dengan menantang.
Mary berkata perlahan, seperti baru saja menemukan sesuatu, "Ah, jadi Anda tak
menvukai kami." Latimer tertawa pendek, "Anda tak pernah meragukan saya akan menyukai Anda
semua, ya?" Mary berkata dengan serius,
"Saya kira, memang saya merasa begitu" Orang punya kecenderungan langsung
menganggap bahwa dirinya akan disukai orang lain. Kita harus lebih rendah hati.
Ya betul, tak pernah terpikir oleh saya bahwa mungkin Anda tak menyukai kami.
Kami telah berusaha menerima Anda dengan baik"sebagai teman Kay."
"Ya"sebagai teman Kay!" kata Ted menginte-rupsi dengan sengit.
Mary berkata dengan tulus,
"Saya harap Anda mau mengatakannya pada saya "sungguh, saya harap Anda mau
mengatakannya"mengapa Anda tak menyukai kami" Apa yang telah kami perbuat"
Apa yang tak betul pada kami?"
Ted Latimer berkata, dengan tekanan yang tajam pada satu kata, "Congkak!"
"Congkak?" Mary mempertanyakan kata itu lanpa rasa benci atau dendam,
menimbangnim-bang tuduhannya dengan mencoba tak berpihak.
"Ya," katanya mengakui. "Saya rasa kami memang bisa tampak begitu."
"Anda semua memang begitu. Anda menganggap bahwa semua kenikmatankenikmatan
hidup ini memang sudah sewajarnya Anda miliki. Anda merasa bahagia dan lebih
unggul dan membatasi diri di lingkungan Anda sendiri yang sempit dan tertutup
dari kalangan biasa. Anda memandang saya seperti memandang salah satu
binatangbinatang yang ada di Iuar!"
"Saya menyesal," kata Mary.
"Itu betul, bukan?"
"Tidak,'tidak selunjhnya. Kami bodoh, mungkin, dan tak punya imajinasi "tetapi
tidak jahat. Saya sendiri memang konvensional dan dari Iuar saja, saya kira,
tampak congkak. Tetapi, di sebelah dalam, saya sungguh manusiawi. Saya menyesal, saat ini, bahwa
Anda tak merasa senang dan saya berharap saya bisa melakukan sesuatu."
"Yah"kalau memang begitu " Anda baik sekali."
Mereka diam sebentar, lalu Mary berkata dengan lembut, "Anda selalu mencintai
Kay?" "Sangat mencintainya."
"Dan dia?" "Saya kira begitu juga tadinya"sampai Strange muncul."
Mary berkata dengan lembut, "Dan Anda masih mencintainya?" "Saya rasa itu cukup
jelas kelihatan." Setelah sesaat lamanya, Mary berkata perlahan, "Apakah tidak
sebaiknya Anda pergi dari sini?"
"Mengapa?" "Karena Anda cuma menjerumuskan diri Anda lebih dalam pada ketidak-bahagiaan."
Ted memandang Mary dan tertawa.
"Anda orang yang baik," katanya. "Tetapi Anda tak tahu banyak tentang
binatangbinatang yang berkerumun mencari mangsa di Iuar lingkungan Anda yang
kecil. Banyak hal yang bisa terjadi dalam waktu dekat ini."
"Hal macam apa?" tanya Mary tajam.
Ted tertawa. "Lihat saja nanti."
WaktuAudrey sudah berganti pakaian, ia berjalan menyusuri pantai lalu terus
mengikuti lajur karang yang meruncing, dan menuju Thomas yang sedang duduk
mengisap pipanya, persis di seberang Gull's Point yang nampak putih dan tenteram
indah di seberang sungai.
Thomas memalingkan kepalanya waktu Au-drey datang, tetapi ia tidak bergerak.
Audrey duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa. Mereka diam tanpa merasa
canggung; diamnyadua orang yang sudah saling mengenal dengan sangat baik.
"Aiangkah dekatnya keiihatannya," kata Audrey akhirnya, memecahkan kediaman itu.
Tliomas melihat ke arah Gull's Point. "Ya, kita bisa berenang menyeberang
pulang." "Tidak pada waktu pasang sedang surut begini. Dulu Camilla punya seorang
pembantu wanita. Ia suka sekali berenang"ia biasa berenang bolak-balik pada saat
pasang tidak berbahaya. Pasang itu harus tinggi atau rendah"tetapi pada waktu
surut, air bisa menyeretmu langsung ke mulut sungai. Itu dialaminya pada suatu
hari"untung ia tidak panik dan bisa sampai dengan selamat di Easter Point"cuma
sangat kecapekan." "Tak ada peringatari bahaya tentang itu di sini." "Bukan di
sebelah sini. Arusnya ada di sebelah sana. Jauh di dalam, di bawah karang. Tahun
lalu ada yang mencoba bunuh diri"
melemparkan diri dari Stark Head"tetapi ia tersangkut dahan po-hon sebelum
terbenmr karang dan para penjaga pantai menolongnya."
"Sial betul," kata Thomas. 'Tasti ia tidak berterima kasih pada mereka. Pasti
Iuar biasa menjengkelkan kalau kau sudah membuat keputusan untuk mengakhiri
semuanya lalu diselamatkan orang. Membuat orang merasa tolol."
"Mungkin ia bersyukur sekarang," kata Audrey dengan melamun. "Aku rasa tidak."
Tliomas meniup asap pipanya. Dengan memiringkan kepalanya sediktt saja, ia bisa
melirik Audrey. Terlihat olehnya wajah Audrey yang sedang memandangi air, suram
dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bulu-bulu mata yang coklat yang rehab di
atas garis pipi yang indah, telinga yang kecil seperti kerang....
Itu mengingatkannya pada sesuatu.
"Oh, ya, giwangmu ada padaku"itu yang kaujatuhkan semalam."
Jari-jarinya mencari di sakunya. Audrey meng-ulurkansatutangannya.
"Oh, bagus, di mana kau menemukannya" Di teras?"
"Tidak. Ada di dekat tangga. Kau pasti menja-tuhkannya waktu kau turun untuk
makan malam. Aku lihat itu tak ada di telingamu waktu makan malam."
"Aku senang giwang ini ketemu."
Iamengamhilnya, Thomas berpikir dalam hati bahwa giwang itu sangat besar untuk
telinga yang begitu kecil. Yang dipakainya hari ini juga besar.
Ia berkata, "Kau pakai giwangmu waktu kau berenang. Kau tak takut hilang?"
"Oh, ini giwang murahan. Aku tak merasa enak kalau tak pakai giwang karena int."
Ia menyentuh telinga kirinya. Thomas ingat.
"Oh, ya, waktu si Bouncer menggigitmu itu, ya?"
Audrey menganggukkan kepalanya.
Mereka diam, membayangkan masa kecil.
Audiey Standisli (namanya dulu), seorang anak yang berkaki kurus panjang,
membungkukkan kepalanya pada si Bouncer yang kakinya luka. Bouncer menggigitnya.
Lukanya cukup dalam, hingga perlu dijahit. Sekarang itu tak kelihatan lagi,
hanya bekas luka yang sangat kecil saja.
"Nona manis," kata Tliomas. "Bekas luka itu hampir tak bisa dilihat. Mengapa kau
merisaukan-nya?" Audrey diam sebentar sebelum menjawab pertanyaan itu dengan ketulusan yang
nyata, "Karena"karena aku betul-betul tak tahan
rtcda." Tliomas mengangguk. Itu memang cocok de-ngan apa yang ia tahu tentang Audrey"
tentang nalurinya untuk kesempumaan. Dirinya sendiri bagai sebuah hasil seni
yang sempurna. Tibatiba Thomas berkata, "Kau jauh lebih cantik dari Kay."
Audrey menoleh dengan cepat,
"Oh, tidak, Tliomas. Kay "Kay sungguh sa-ngat cantik."
"Di luamya saja. Tidak di dalamnya."
"Yang kaumaksudkan," kata Audrey dengan senyum samar-samar, "jiwaku yang indah
suci?" Thomas mengetuk-ngetukkan abu dari pipanya.
"Tidak," katanya. "Kukira yang kumaksudkan adalah tulang-tuiangmu." Audrey
tertawa. Thomas mengisikan tembakau lagi ke dalam pipanya. Mereka diam selama kira-kira
lima menit, tetapi Tliomas melirik pada Audrey lebih dari satu kali, walaupun ia
melakukannya dengan hati-hati sehingga Audrey tak mengetahuinya.
Akhimya ia berkata perlahan, "Ada yang tak beres, Audrey?"
"Tak beres" Apa maksudmu dengan tak be-res?"
'Tak beres denganmu. Ada sesuatu."
'Tidak, tak ada apa-apa. Tak ada apa-apa sama sekali."
"Tapi ada sesuatu."
Ia menggelengkan kepalanya.
"Kau tak mau mengatakannya padaku"
"Tak ada yang harus dikatakan."
"Mungkin aku tolol"tapi aku harus mengatakannya?" Ia berhenti sebentar. "Audiey"
tak bisakah kau melupakannya" Tak bisakah kau membiarkan semuanya berlalu?"
Audrey menekan-nekankan tangannya yang kecil pada karang dengan gerakan-gerakan
seperti kejang. "Kau tak mengerti"kau sama sekali tak mengerti."
"Tetapi, Audrey sayang, aku mengerti. Itulah. Akutabu."
Audrey memaiingkan mukanya dengan pandangan ragu.
"Aku tahu benar apa yang telah kaualami. Dan "apa artinya itu bagimu."
Wajah Audrey menjadi sangat putih sekarang, putih hingga ke bibir-bibirnya.
Begitu," katanya. "Aku kira tadinya"tak seorang pun tahu."
"Tapi aku tahu. Aku"aku tak akan membicarakannya sekarang. Apa yang ingin
kutekankan padamu adalah bahwa itu semua sudah berlalu " itu sudah lewat dan
sudah selesai." Audiey berkata dengan suara perlahan, "Ada hal-hal yang tidak
dapat dilupakan." "Lihat, Audrey, tak baik terus memikirkan dan mengingat-ingat
apa yang sudah lewat. Memang be-tul kau sepertinya baru saja keluar dari neraka.
Tak ada faedahnya kau mengulang-ulangnya di pikiranmu. Lihadah ke depan"jangan
ke belakang. Kau masih muda. Masih ada hidup yang harus kaujalani dan hampir
seluruh hidup itu ada di depanmu Pikir-kanlah tentang besok, jangan tentang
kemarin." Audrey memandang Tliomas dengan kedua matanya yang lebar dan pandangan yang
tetap tidak menampakkan pikirannya yang sebenarnya.
"Dan seumpamanya," katanya, "aku tak dapat melakukannya."
'Tetapi kau harus." Audrey berkata dengan lembut, "Benar juga kau tak mengerti.
Aku" memang tidak normal dalam"beberapa hal, kurasa."
Thomas memotong dengan kasar, "Omong kosong. Kau?" Ia berhenti. "Aku"apa?"


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sedang teringat waktu kau masih seorang gadis"sebelum kau menikah dengan
Nevile. Mengapa kau menikah dengan Nevile?"
Audrey tersenyum. "Karena waktu itu aku jatuh cinta padanya.' "Ya, ya,akutahu itu. Tetapi mengapa
kau jatu cinta padanya" Apa vang ada padanya yang begi' menarik dirimu?"
Ia mengemyitkan matanya seakanakan berusaha melihat melalui mata seorang gadis
yang kini sudah mati. "Kukira," katanya, "karenaiabegitu 'positif. Ia begitu berlawanan dengan diriku
sendiri. Aku selalu merasa seperti bayang-bayang"tidak riil. Nevile sangat riil. Dan
begitu bahagia dan pasti akan dirinya sendiri dan begitu"apasajayang tidak ada
pada diriku." la menambahkan sambil tersenyum, "Dan sangat tampan."
Thomas Royde berkata dengan pahit,
"Ya, pria Inggris yang ideal"pandai berolahraga, rendah hati, tampan, lurus, dan
sopan seperti pukka sahib"dan memperoleh apa saja yang diinginkannya."
Audrey duduk dengan sangat tegak dan menatapnya.
"Kau membencinya," katanya perlahan. "Kau sangat membencinya, bukan?"
Thomas menghindar dari pandanganmataAu-drey dengan memasang geretannya untuk
meng-, hidupkan api pipanya yang padam.
"Kau toh tidak akan heran kalau aku membencinya, bukan?" katanya tak jelas. "Ia
mempunyai semuanya yang tidak kumiliki. Ia bisa main olahraga dengan baik, dan
berenang, dan berdan sa, dan berbicara. Mulutku selalu terkunci dan tanganku lumpuh. Ia selalu hebat
dan sukses dan aku cuma seorang pria yang membosankan. Dan ia mengawini satusatunya gadis yang kusayangi."
Audrey membuat suara tak jelas. Tliomas berkata dengan geram, "Kau selalu tahu
itu, bukan" Kau tahu aku mencintaimu sejak kau berumur lima belas tahun. Kau
tahu bahwa aku masih mencintai...."
Audrey menghentikannya. "Tidak. Jangan sekarang."
"Apa maksudmu, jangan sekarang?"
Audrey berdiri. Ia berkata dengan suara perlahan dan tenang,
"Karena"sekarang"aku lain."
"Lain bagaimana?"
Thomas juga bangkit, dan berdiri menghadap Audrey.
Audrey berkata dengan cepat, suaranya sedikit tersengal, "Kalau kau tak tahu,
aku tak bisa mengatakannya
padamu Aku sendiri tak selalu tahu
pasti. Aku hanya tahu...."
Ia tidak meneruskan kata-katanya, dengan
cepat membalikkan badannya dan berjalan dengan
bergegas, kembali melewati karang-karang, menuju
ke hotel. 4 Waktu membelok ia melihat Nevile. Pria itu sedang berbaring lurus sambil
memandangi se-buah kolam karang. Ia menengadahkan mukanya dan tersenyum.
"Halo, Audrey." "Halo, Nevile."
"Aku sedang memperhatikan seekor kepiting. Binatang yang sangat aktif. Lihat, ia
datang." Audrey berlutut dan memandang ke arah yang ditunjukkan Nevile.
"Kau melihatnya?"
"Ya." "Mau rokok?" Audrey mengambil satu dan Nevile menyalakan untuknya. Setelah sejenak lamanya,
waktu Audrey tidak melihat padanya, Nevile berkata dengan gugup, "Eh, Audrev?"
"Ya." "Semuanya beres, bukan" Maksudku"di anta-ra kita." "Ya. Ya, tentu saja."
"Maksudku"kita berteman dan sebagainya."
"Oh, ya"ya, tentu saja."
"Aku"aku sungguh ingin kita berteman."
Nevile memandang Audrey dengan harap-cemas. Audrey tersenyum gugup padanya.
Nevile berkata basa-basi,
"Hari ini sangat bagus, ya" Cuacanya baik dan udaranya enak." " "Oh, ya"ya."
"Cukup panas sebetulnya untuk bulan September."
"Sangat panas."
Keduanya diam sebentar. "Audrey... Audrey berdiri.
"Istrimu memanggilmu, ia melambaikan tangannya."
"Siapa " oh, Kay." "Aku bilang istrimu."
Nevile mengangkat badannya untuk bangkit dan berdiri memandangi Audrey. Ia
berkata dengan suara rendah, "Kau istriku, Audrey."
Audrey membalikkan badannya. Nevile berlari menuju pantai, melewati pasir menuju
Kay. IX Waktumereka tiba kembali di Gull's Point, Hurstall keluar dari ruang depan dan
berbicara dengan Mary. "Bisakah Anda segera pergi menemui Nyonya, Nona" Pikirannya sedang kacau dan ia
ingin melihat Anda segera setelah Anda tiba."
Mary bergegas naik tangga. Ia menemukan Lady Tressilian dalam keadaan pucat dan
bingung. "Mary sayang, aku sungguh senang kau sudah datang. Aku bingung sekali. Tuan
Treves meninggal dunia."
"Meninggal dunia?"
"Ya, menyedihkan sekali, bukan" Rupanya ia bahkan tak sempat berganti pakaian
semalam. Pasti ia langsung jatuh sesampainya di hotel."
"Ya, Tuhan, kasihan b__. "Kita tahu, tentu saja, bahwa badannya tak kuat.
Jantungnya lemah. Kuharap tak ada apa-apa yang terjadi waktu ia di sini yang
mengejutkan jantungnya" Makanan semalam tak ada yang susah dicema?"
"Kurasa tak ada"tidak, aku tahu pasti tidak ada. Ia tampak baik dan gembira."
"Aku betul-betul sedih. Mary, aku ingin kau pergi ke Balmoral Court dan
berbicara dengan Nyonya Rogers. Tanyakan padanya kalau ada yang bisa kita bantu.
Lalu tentang pengubur-annya. Demi Matthew, aku ingin melakukan apa saja yang
kita bisa. Hal-hal sepeni itu tak bisa dilakukan dengan baik di hotel."
Mary berkata dengan tegas.
"Camilla sayang, kau tak boleh begitu kepikiran. Ini benarbenar telah
mengagetkanmu." "Ya, memang." "Aku akan segera pergi ke BalmoralCourtlalu kembali dan menceritakan semuanya
padamu." "Teriraa kasih, Mary sayang, kau selalu begitu tanggap dan penuh pengertian."
"Berusahalah beristirahat sekarang. Hal-hal yang mengagetkan seperti ini tak
baik unrukmu." Mary Aldin meninggalkan ruangan dan turun ke bawah. Waktu masuk ke ruang duduk
ia berkata, "Tuan Treves meninggal. Ia meninggal tadi malam setelah tiba di hotel."
"Kasihan," seru Nevile.'"Apa penyebabnya?"
"Jantungnya ru] nya di hotel."
Thomas Royde berkata dengan berpikir,
"Bisa-bisa tangga itu penyebabnya."
"Tangga?" kata Mary dengan pandangan bertanya.
"Ya. Waktu aku dan Larimer meninggalkannya, ia baru saja mau naik. Kami
menasihatinya untuk pelan-pelan."
Mary berseru, "Tapi sembrono betul ia tidak naik lift."
"Liftnya sedang rusak."
"Oh, begitu. Sial amat. Kasihan."
Ia menambahkan, "Aku akan pergi ke sana sekarang. Camilla ingin tahu kalau ada
yang bisa kita bantu."
Thomas berkata, "Biar aku temani kau."
Mereka berjalan bersama menuruni tanjakan dan membelok menuju Balmoral Court.
Mary berkata, "Apa kiranya dia punya saudara yang perlu diberi tahu, ya?"
"Ia tak menyebut siapa-siapa."
"Tidak, dan orang biasanya suka bercerita tentang saudaranya. Mereka akan bilang
'keponakan saya' atau 'sepupu saya.' "
"Apakah ia menikah?"
"Nampaknya tidak."
Mereka masuk lewat pintu Balmoral Court yang terbuka.
Nyonya Rogers, pe'miliknya, sedang berbicara pada seorang pria tinggi setengali
baya, yang melambaikan tangannya dengan ramah untuk menyalami Mary.
"Selamat siang, Nona Aldin."
"Selamat siang, Dr. Lazenby. Ini Tuan Royde. Kami datang membawa pesan Lady
Tressilian untuk membantu dengan apa saja yang kami bisa."
"Anda baik sekali, Nona Aldin," kata si pemilik hotel. "Silakan masuk ke kamar
saya." Mereka semua masuk ke sebuah ruang duduk kecil yang menyenangkan dan Dr.
Lazenby berkata, "Tuan Treves makan malam di tempat Anda semalam, ya?" "Ya."
"Bagaimana ia nampaknya waktu itu" Apakah ia menunjukkan tanda-tanda tidak enak
badan?" "Tidak. Ia kelihatan baikbaik saja dan gembira."
Dokter itu menganggukkan kepalanya.
"Ya, susahnya penyakit jantung itu"saat akhirnya hampir selalu datang dengan
tibatiba. Saya melihat resep-resep obatnya di atas dan tampak jelas sekali bahwa keadaan
kesehatannya memang sangat rapuh. Saya akan menghubungi dokternya di London,
tentu saja." "Ia selalu hati-hati menjaga dirinya sendiri," kata Nyonya Rogers. "Dan saya
tahu kami mengurus semua keperluannya sebaik mungkin di
"Saya yakin itu begitu, Nyonya Rogers," kata dokter itu dengan taktis. "Itu
pasti hanya karena sedikit kecapekan saja."
"Seperti berjalan naik ke atas misalnya," kata Mary.
"Ya, itu bisa menjadi penyebabnya. Bahkan hampir pasti begitu"itu, kalau ia
memang menaiki semua tangga untuk menuju lantai empat " tetapi tentu saja ia tak
akan berbuat sesuatu seperti itu, kan?"
"Oh, tidak," kata Nyonya Rogers. "Ia selalu mempergunakan lift. Selalu. Ia
sangat berhati-hati tentang itu."
"Maksud saya," kata Maiy, "dengan rusaknya lift itu tadi malam." Nyonya Rogers
memandangnya dengan heran. "Tetapi lift itu sama sekali tidak rusak kemarin,
Nona Aldin." Thomas Royde batuk-batuk. "Maaf," katanya. "Saya menemani Tuan
Treves ke dalam tadi malam. Ada sebuah pemberitahuan pada lift itu yang
mengatakan 'Rusak.' "
Nyonya Rogers memandang tak mengerti. "Yah, itu aneh sekali. Saya bisa
mengatakan bahwa lift itu tidak rusak"bahkan saya yakin tidak rusak. Kalau
memang rusak, pasti saya tahu. Kami tak mengalami kesulitan sama sekali dengan
lift itu(amtt-amti)sejak"
oh, lebih dari delapan belas bulan yang lalu. Lift itu cukup bisa diandalkan."
"Mungkin," saran dokter itu, "seorang penjaga atau pembantu memasang
pemberitahuan itu waktu ia hendak pulang selesai bertugas?"
"Itu lift otomatis, Dokter, tak memerlukan seorang pun untuk membuatnya
bekerja." "Ah, ya, betul. Saya lupa."
"Saya akan berbicara dengan Joe," kata Nyo-nya Rogers.
Ia bergegas keluar ruangan sambil memanggil, "Joe"Joe."
Dr. La"enby memandang Thomas dengan rasa ingin tahu.
"Maafkan saya, Anda tahu betul, Tuan"em?"
"Royde," kata Mary.
"Yakin. Sungguh!" kata Thomas.
Nyonya Rogers kembali dengan penjaga pintu. Joe mengatakan dengan tegas bahwa
takadakerusakan apa pun dengan lift itu pada malam sebelumnya. Memang ada sebuah
plakat pemberitahuan seperti yang dikatakan oleh Tliomas"te-tapi plakat itu
disimpan di bawah meja dan sudah lebih dari satu tahun tidak dipergunakan.
Mereka semuanya saling berpandangan dan bermufakat bahwa hal itu sangat
misterius. Dok-ter Lazenby menyarankan mungkin itu lelucon seorang tamu hotel, dan untuk
sementara mereka terpaksa menerimanya.
Menjawab pertanyaanpertanyaan Maiy, dok-ter itu menerangkan bahwa sopjr Tn.
Treves telah memberikan alamat para pengacara Tn. Treves padanya, dan bahwa ia
sedang menghubungi mereka dan ia akan datang menemui Lady Tressilian dan
memberitahukan padanya tentang apa yang akan dilakukan dengan pemakaman Tn.
Treves. Lalu dokter yang sibuk dan gembira itu beigegas pergi, Mary dan Thomas berjalan
perlahan pulang ke Gull's Point.
Mary berkata, "Kau yakin benar kau melihat pemberitahuan itu, Thomas?"
"Latimer dan aku melihatnya." "Aiangkah anehnya!" kata Mary.
X Hariitu tanggal dua belas September.
"Hanya dua hari lagi," kata Mary Aldin.
Lalu ia menggigit bibirnya dan mukanya me-rah.
Thomas Royde memandangnya dengan berpikir.
"Begitukah perasaanmu tentang itu?"
"Aku tak tahu mengapa aku merasa begini," kata Mary sambil berpikir. "Belum
pernah dalam hidupku aku begitu mengharapkan sebuah kunjungan berakhir. Dan
biasanya kami sangat menikmati kunjungan Nevile. Dan Audrey juga."
Thomas menganggukkan kepalanya.
"Tetapi kali ini," kata Mary lagi, "orang merasa seperti duduk di atas dinamit.
Setiap menit semuanya bisa meledak. Karena itu hal pertama yang kulakukan pagi
ini adalah mengatakan pada diriku sendiri: 'Hanya dua hari lagi.' Audrey pergi
hari Rabu, Nevile dan Kay pergi hari Kamis."
"Dan aku pergi hari Jumat."
"Oh, aku tidak memasukkan kau dalam hi-rungan. Kau telah menjadi seperti mcnara
kekuatan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kau."
"Seperti penahan guncangan?"
"Lebih dari itu. Kau begitu tenang dan begitu "begitu baik. Itu kedengarannya
konyol tetapi memang begitulah maksudku,"
Thomas kelihatan senang walaupun sedikit malu.
"Aku tak tahu mengapa kita semua merasa begini," kata Mary berpikir. "Toh, kalau
akhirnya terjadi sebuah"sebuah ledakan"suasananya akan menjadi canggung dan
memalukan, tetapi tak lebih dari itu."
"Tetapi menurut perasaanmu, akan lebih dari itu."
"Oh, ya, memang begitu. Ada perasaan prihatin yang dalam. Bahkan para pembantu
pun merasakannya. Gadis pelayan dapur itu tibatiba menangis dan minta berhenti
pagi ini" tanpa alasan apa-apa, Koki seperti kaget-kaget saja " Hurstall uringuringan"bahkan Barrett yang biasanya begitu tenang seperti"seperti air danau
"mulai menunjukkan kegugupan. Semua ini karena Nevile mempunyai gagasan gila
itu"ingin istrinya yang pertama dan yang sekarang berteman
untuk menghilangkan rasa bersalahnya sendiri."
"Dan ia menemukan kegagalan dalam gagasannya yang hebat itu," kata Thomas.
"Ya. Kay"hampir tak dapat mengendalikan dirinya. Dan, sungguh, Thomas, aku tak
bisa tidak, merasa kasihan padanya." Ia berhenti sebentar. "Kaulihat bagaimana
Nevile memandang Audrey waktu ia menaiki tangga tadi malam" Ia masih
mencintainya, Thomas. Semuanya itu sungguh sebuah kesalahan yang tragis."
Thomas mulai mengisi pipanya.
"Seharusnya ia memikirkan itu sebelumnya," katanya dengan suara tegas, "Oh, aku
tahu. Itu selalu yang dikatakan orang. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa
selunihnya adalah sebuah tragedi, Aku kasihan juga pada Nevile."
"Orang-orang seperti Nevile..." Thomas memulai, tetapi lalu berhenti. "Ya?"
"Orang-orang seperti Nevile berpikir bahwa semua bisa diatur menurut kemauan
mereka"dan bahwa semua yang mereka inginkan bisa mereka peroleh juga. Aku rasa
Nevile tak pernah mengalami kekecewaan tentang suatu apa pun dalam hidupnya"
sampai ia bertemu dengan Audrey. Yah, sekarang ia mengalaminya. Ia tak bisa
mendapatkan Audrey. Audrey ada di Iuar jang-kauannya. Tak ada gunanya berbuat
iniitu. Ia harus merasakannya dan menerimanya."
"Kurasa kau betul sekali. Tetapi kata-katamu kedengaran keras. Audrey begitu
mencintai Ne-vile waktu ia menikah dengannya"dan dulu mereka berdua begitu
cocok." "Yah, Audrey tak mencintainya sekarang."
"Aku tak yakin," gumam Mary perlahan.


Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thomas meneruskan bicaranya,
"Dan biar kuberi tahu kau satu hal lagi. Nevile lebih baik berhati-hati dengan
Kay. Ia tipe wanita yang herbahaya"betul-betul berbahaya. Kalau sabarnya hilang
ia tak akan bisa dihentikan."
"Oh, Tuhan," Mary menarik napas panjang, dan mengulangi lagi kata-katanya yang
pertama dengan penuh harap, "Yah, tinggal dua hari lagi."
Empat atau lima hari yang belakangan ini betul-betul sulit. Kematian Mr. Treves
telah begitu mengagetkan Lady Tressilian dan sangat mempengaruhi kesehatannya.
Ia dimakamkan di London dan Mary bersyukur untuk itu, karena memung-kinkan Lady
Tressihan lebih cepat bisa melupakan kejadian yang menyedihkan itu. Keadaan
domestik rumah tangga masih tidak tenang dan sulit. Mary betul-betul merasa
capek dan tanpa semangat pagi itu.
"Ini juga karena cuaca," katanya dengan suara keras. "Tak wajar."
Hari itu memang panas sekali untuk bulan September. Sudah beberapa hari lamanya
termometer menunjukkan angka 70 T di tempat yang teduh.
Nevile keluar dari rumah dan menghampiri mereka.
"Menyalahkan cuaca?" katanya sambil memandang langit. "Memang Iuar biasa. Lebih
panas dari biasanya hari ini. Dan tak ada angtn. Membuat orang merasa resah.
Tapi kurasa kita akan mendapat hujan sebentar lagi. Biasanya panas yang
menyengat seperti ini tidak berakhir lama."
Thomas Royde dengan diam-diam meninggalkan mereka dan menghilang di balik sudut
rumah. "Pergilah si Tliomas yang Muram," kata Ne-vile. "Tak ada yang bilang bahwa ia
senang berkumpul-kumpul denganku."
"Ia orang baik," kata Mary.
"Aku tak setuju. Pikirannya sempit dan penuh dengan prasangka."
"Ia selalu berharap untuk bisa menikah dengan Audrey, kukira. Lalu kau datang
dan rnemutus-kan harapannya."
"Dia membutuhkan waktu tujuli tahun untuk mengambil keputusan meminang Audrey.
Apa-kah dikiranya Audrey akaiTterus menunggunya sampai ia bisa mengambil
keputusan?" "Mungkin," kata Maiy dengan sengaja, "itu semua akan bisa terjadi sekarang."
Nevile memandangnya dan mengangkat satu alisnya.
"Cinta sejati yangmendapatkan pahalanya" Au-drey mengawini sipendiam itu" Audrey
teilalu ba-gus untuk dia. Tidak, aku tak bisa membayangkan Audrey mengawini si
Thomas yang Muram itu."
"Aku kira ia betul-betul menyayangi Thomas, Nevile."
"Kalian kaum wanita, selalu ingin menjadi comblang! Tak bisakah kau membiarkan
Audrey menikmati kebebasannya sedikit?"
"Kalau ia memang menikmatinya, tentu saja."
Nevile berkata cepat, "Menurutmu ia tak bahagia?"
"Aku betul-betul tak tahu."
"Aku juga tak tahu," kata Nevile perlahan. "Susah untuk mengetahui apa yang
sedang dirasakan oleh Audrey." Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Tetapi
Audrey tak tercela sopan-santunnya. Seratus persen ningrat."
Lalu ia berkata lagi, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mary, 'Tuhan,
aiangkah tolol-nya aku ini!"
Mary masuk ke dalam rumah dengan prihatin. Untuk kettga kalinya ia mengulangi
katakata hiburan itu untuk dirinya sendiri, "Tinggal dua hari lagi."
Nevile berjalan ke sana kemari dengan resah di kebun dan di teras.
Tepat di tepi kebun ia menemukan Audrey duduk di tembok yang rendah sedang
memandang! air di bawah. Pasang sedang naik dan air sungai penuh.
Ia langsung berdiri dan menghampiri Nevile.
"Aku baru saja mau kembali ke dalam rumah. Pasti sudah hampir waktu minum teh."
Ia berbicara dengan cepat dan gugup tanpa melihat pada Nevile.
Nevile berjalan di sebelahnya tanpa mengucapkan apa-apa.
Baru waktu mereka sudah sampai di teras lagi,
ia berkata, "Boleh aku berbicara denganmu, Audrey?"
Audrey berkata dengan cepat, tangantangan-nya mencekam tepi birai, "Kurasa lebih
baik tidak." "Itu berarti kau tahu apa yang akan kukatakan."
Audrey tak menjawab. "Bagaimana, Audrey" Tak bisakah kita kembali lagi seperti semula" Kita lupakan
semuanya yang telah terjadi?"
"Termasuk Kay?"
"Kay," kata Nevile, "akan mengerti."
"Apa maksudmu dengan mengerti?"
"Begini. Aku akan menemuinya dan mengatakan yang sebenarnya. Memohon kemurahan
hatinya untuk memaafkanku. Akan kukatakan padanya apa adanya, bahwa kau adalah
satu-satunya wanita yang benarbenar kucintai."
"Kau mencintai Kay waktu kau mengawininya."
"Perkawinanku dengan Kay adalah kesalahan terbesar yang pernah kubuat, Aku..."
Ia berhenti. Kay baru saja keluar dari ruang duduk.
Ia berjalan menuju mereka, matanya mencer-minkan kemarahan yang meradang hingga
bahkan hati Nevile mengkerut sedikit!
"Maaf aku mengganggu adegan yang sangat menyentuh hati ini," kata Kay. "Tetapi
aku rasa sudah waktunya aku berbuat itu."
Audrey berdiri dan menyingkir. "Lebih baik kubiarkan kalian berdua sendiri,"
katanya. "Betul itu," kata Kay. "Kau toh sudah mengacaukan semuanya seperti yang
kaurencanakan, bukan" Aku akan berurusan dengan kau nanti. Sekarang ini aku cuma
ingin berbicara dengan Nevile."
"Ayolah, Kay, Audrey sama sekali tak ada hubungannya dengan ini. Ini bukan
salahnya. Salahkan aku kalau kau mau."
"Aku memang mau," kata Kay. Matanya memancarkan kemarahan ke arah Nevile. "Pria
macam apa kaupikir kau ini?"
"Pria yang tak terlalu bermutu," kata Nevile dengan pahit.
"Kautinggalkan istrimu, mengejar-ngejarku de-ngan gila, mendorong istrimu untuk
menceraikanmu. Satu menit tergila-gila padaku, menit yang lain bosan denganku!
Sekarang kurasa kau mau kembali pada kucing licik bermuka pucat yang suka
mengeong-ngeong itu...."
"Hentikan itu, Kay!"
"Huh, apa maumu?"
Wajah Nevile pucat sekali. Ia berkata,
"Aku memang pantas kaucaci dan kausebut apa saja. Tapi tak ada gunanya, Kay.Aku
tak bisa terus.Aku kira"sungguh"aku selalu mencintai Audrey. Cintaku padamu
hanyalah " hanyalah semacam kegilaan. Tapi itu tidak bisa, Sa-yang"kau dan aku
tidak cocok. Aku tak akan isa membahagiakanmu di kemudian hari. Per-cayalah padaku, Kay, lebih baik kita
menghentikannya di sini. Biar kita berusaha berpisah sebagai teman. Berrrrurahhatilah." Kay berkata dengan suara perlahan, yang menimbulkan dugaan bahwa amarahnya sudah
reda, "Apa maksudmu sebetulnya?"
Nevile tidak memandang Kay, bahkan seperti berusaha menghindar.
"Kita bisa mengatur perceraian. Kau bisa menceraikanku dengan alasan desersi."
"Tidak segera. Kau harus menunggu untuk itu."
"Aku akan menunggu," kata Nevile.
"Lalu, setelah tiga tahun atau berapa, kau akan minta si Audrey yang manis untuk
mengawinimu lagi?" "Kalau ia masih mau kawin denganku."
"Oh, ia pasti mau!" kata Kay dengan panas hati. "Dan di mana kedudukanku?"
"Kau akan bebas mencari pria yang lebih baik dariku. Tentu saja, aku akan
memastikan bahwa kau tak akan kekurangan...."
"Tak usah menyuap!" Suaranya meninggi sementara ia kehilangan kontrol dirinya.
"Dengarkan aku, Nevile. Kau tak bisa melakukan ini padaku! Aku tak akan
menceraikanmu. Aku mengawinimu karena aku mencintaimu. Aku tahu waktu perasaanmu
mulai berubah terhadap-ku. Itu terjadi waktu aku mengatakan padamu, bahwa aku
mengikutimu ke Estoril. Kau ingin berpikir bahwa semuanya itu adalah takdir.
Hatimu yang congkak tersinggung waktu kau tahu bahwa semuanya karenaaku]Baik,
aku tak malu dengan apa yang kulakukan itu. Kau jatuh cinta padaku dan
mengawiniku dan aku tak akan membiarkanmu kembali pada kucing licik yang sudah
berhasil menggaetmu lagi itu. Ia memang menginginkan ini terjadi"tetapi ia .tak
akan berhasil! Aku akan membunuhmu dulu! Kau dengar" Aku akan bunuh kau. Aku
akan membuat kalian berdua mati. Aku akan..."
Nevile maju satu langkah dan memegangi tangan Kay.
"Tutup mulut, Kay. Demi Tuhan. Kau tak bisa membuat ribut seperti ini di sini."
Budha Pedang Penyamun Terbang 11 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Kisah Para Pendekar Pulau Es 12

Cari Blog Ini