Ceritasilat Novel Online

Emak 2

Emak Karya Daoed Yoesoef Bagian 2


emak memang kelihatan selalu lebih muda dari umurnya,
lebih-lebih kalau sedang gembira.
"Atau perawatan di sini sebenarnya belum sebaik
seperti yang Emak bayangkan," pancing dr. Pirngadi.
"Tidak dokter, bukan karena itu. Perawatan di sini
sudah baik." "Lalu karena apa" Kalau boleh saya tahu " agar bisa
saya koreksi " demi perbaikan mutu pelayanan rumah
sakit" ?" Karena" ya, karena saya tak punya Emak lagi
yang bisa diajak menemani saya di sini bila malam hari."
Dokter Pirngadi tertawa terbahak-bahak mendengar
jawaban emak ini. Demikian pula Zuster Bertha.
Demikian pula semua orang yang kebetulan ada di
kantor. Dokter sendiri yang lalu membukakan pintu
kantornya ketika kami permisi pulang. Karena aku yang
terakhir keluar, Zuster Bertha membungkuk untuk
berbisik ke telingaku, "Emata&l memang hebat!"
Sejak itu perawat yang ramah ini kadang-kadang
bertandang ke rumah. Dia memberitahu emak berbagai
macam obat dan alat yang bisa dibeli bebas di apotek
untuk menanggulangi berbagai macam penyakit ringan
seperti demam, pilek, batuk, diare, kudis dan lain-lain,
yang sebagian sudah diketahui emak dari pakcik. Dia
juga mengajarkan emak bagaimana caranya memberikan
pertolongan pertama bagi aneka kecelakaan sebelum
dibawa secepatnya ke dokter atau rumah sakit.
Sebaliknya emak memberita-dia aneka ragam daun, bijibijian dan akar-akaran yang mengandung khasiat dan
bagaimana caranya meramu semua itu menjadi obat.
Pada suatu hari Minggu setelah sembahyang di gereja
dia pernah sekali datang dengan membawa beberapa
perawat yang sempat dikenal emak selama "berdinas"
dahulu di rumah sakit. Mereka kelihatan akrab dan
gembira sekali, tertawa cekikikan, bagai reuni dari
sesama teman sekolah yang sudah lama tidak bertemu.
Mereka bernyanyi dengan iringan kecapi dan harmonium
yang dimainkan emak. Para zuster menyanyikan lagulagu Batak dan emak melantunkan lagu-lagu Melayu dan
lagu Arab yang pernah dinyanyikan oleh Oum Kalsoum
dari Mesir. Karena mengetahui mereka semua adalah
anak-anak asrama yang jauh dari orang tua masingmasing, emak sengaja menciptakan suasana keluarga
bagi gadis-gadis ini. Emak menyiapkan suguhan nasi
goreng lengkap dengan selada penyegar. Selagi dia
menyiapkan makanan tersebut mereka duduk-duduk
mengelilinginya di dapur sambil bersenda-gurau.
Setelah lama tidak muncul Zuster Bertha datang
menemui emak untuk berpamitan. Dia katanya akan
dipindahkan ke sebuah rumah sakit yang lebih besar di
Betawi. Dia terima usul perpindahan ini karena
merupakan suatu promosi. Ketika hendak pulang dia
memeluk emak dengan mesra sekali bagai memeluk
inangnya sendiri sambil menangis terisak-isak. Emak
memberikan kepadanya sebuah tanda mata berupa
kalung dan gelang manik-manik yang dia buat sendiri.
Beberapa tahun kemudian ketika tiba saatnya bagi
adikku untuk dikhitankan, khitanan ini dipercayakan
emak kepada dr. Pimgadi dan tidak lagi kepada dukun
sunat seperti yang kualami dahulu. Ketika emak hendak
membayar jasa medisnya ini dokter menolak dengan
halus. "Tak pantaslah, Mak," katanya dengan logat
Medan yang kental "Masak saya menerima bayaran dari
kakak sendiri. Apa nanti kata orang." Dia menyalami
emak dengan tersenyum. Berhubung dokter keberatan
menerima pembayaran, emak" " lalu memakai kebiasaan
di kampung dalam jasa penyunat. Dia pergi keesokan
harinya ke rumah dr. Pimgadi dan menyerahkan kepada
istrinya pulut kuning, panggang ayam dan aneka ragam
penganan. Dalam tempo empat hari luka adikku sudah kering dan
tiga hari kemudian dia sudah bisa berlari-lari mengejar
layang-layang putus. Sedangkan penyembuhan lukaku
dahulu ketika disunat oleh dukun memerlukan waktu dua
minggu dan sesudah itu masih harus bersabar seminggu
lagi sebelum bisa main sepak bola seperti sediakala.
(OodwkzoO) Bab 6 EMAK DAN PENGEMIS Saya benci kepada pengemis," kata emak setiap kali
ada peminta-minta datang ke rumah. Memang ada saja
orang seperti ini mengunjungi setiap rumah yang ada di
kampung kami, kadang-kadang bisa sampai tiga-empat
kali dalam seminggu, lebih-lebih di waktu bulan muda.
Orangnya tidak selalu sama dan bukan dari penduduk
sekampung. Emak tidak pernah memberikan apa pun
kepada mereka. Dibiarkannya saja pengemis itu berdoa
panjang lebar sampai bosan sendiri dan akhirnya pergi
begitu saja sambil mengomel panjang pendek. Emak
juga melarang semua anaknya untuk meladeni setiap
pengemis di mana pun. "Kan dapat pahala, Mak"!" kata Kak Marni.
"Pahala apa, masak Tuhan memberikan ganjaran atas
perbuatan kita dalam mendukung perbuatan yang
membencikan," jawab emak.
Dia lalu menguraikan beberapa tingkah laku pengemis
yang dianggapnya sebagai perbuatan yang
membencikan. Pertama, orang ini dengan sengaja
menyalahgunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan
perbuatannya, seolah-olah ayat-ayat itu diturunkan
memang demi membenarkan kepengemisan. Dengan
begitu dia juga sebenarnya telah merendahkan derajat
dan martabat agama kita. Coba lihat, katanya, mana ada
orang Kristen yang sesudah sembahyang di gerejanya
pada hari Minggu, lalu beijejer duduk meminta-minta di
kanan-kiri jalan yang menuju ke gapura ke luar sambil
mengucap-ucap doa, seperti yang lazim dilakukan oleh
kaum muslim selepas sembahyang Jumat di mesjid.
Dengan mengucap-ucapkan ayat-ayat, para pengemis itu
sebenarnya bukan ingin mencari atau mendekati Tuhan,
tetapi berniat mencari atau memperoleh berkah-Nya
saja. Kedua, dengan meminta-minta sambil berdoa itu, si
pengemis mengutak-atik rasa keseagamaan dan
kemanusiaan kita. Dia dan kita memang seagama, tetapi
apa yang dilakukannya itu jelas bukan yang
diperintahkan oleh ajaran Islam. Kita memang harus
berperikemanusiaan, tetapi apa yang dilakukannya itu
jelas tidak sejalan bahkan bertentangan dengan
ketentuan budi dan akhlak manusia yang terpuji.
Menurut paman dan bapakmu, para pengemis yang
bersila di pelataran mesjid pada umumnya meletakkan
uangnya sendiri di hadapan mereka. Dan tidak tanggungtanggung, uang recehan yang bernilai besar lagi, mulai
dari kelip, ketip, hingga talen, agar mengesankan sudah
ada orang-orang dermawan yang memberi banyak
sedekah. Bukankah perbuatan itu merupakan satu
penipuan. Ketiga, dengan meminta-minta itu, si pengemis tidak
hanya menipu kita tetapi juga membohongi dirinya
sendiri. Dia menipu kita karena telah menutup-nutupi
kemalasan-nya. Dia pasti malas mengingat masih ada
jerih payah lain yang merupakan sumber penghasilan
yang halal. Tanpa pernah sekolah, tanpa menjadi kuli
kontrak, misalnya, setiap waktu kalau dia mau dia bisa
diterima bekeija di perkebunan tembakau sebagai
pencari ulat dan telurnya, sebagai penakik getah, sebagai
pemetik kelapa sawit Kalau dia tidak segan-segan
berkeringat, dia bisa membantu peladang-peladang yang
berlahan luas yang sekarang kabarnya sudah bingung
karena kekurangan tenaga. Bahkan ada yang menipu
dengan berpura-pura menanyakan alamat seseorang,
kemudian meminta uang dengan alasan kehabisan
ongkos untuk pulang lagi ke kampung asal. Dia
membohongi dirinya sendiri dengan berbuat seakan-akan
sudah tidak ada jalan lain untuk mencari duit selain
dengan cara mengemis. "Ya, Mak, tapi "kan ada pengemis yang berbadan
cacat," potong Kak Ani, "buta, tangan atau kaki puntung
"!" "Barangkali cacat-cacat tersebut dapat merupakan
pengecualian," sahut emak, "dapat dijadikan alasan
untuk memohon belas kasihan. Namun orang cacat pun
kalau mau dapat menghasilkan sesuatu sebagai sumber
kehidupan. Bukankah Al Djamiatul Waslijah telah
mendirikan balai latihan bagi orang-orang cacat di
Sunggal agar bisa membuat keset kaki dari sabut kelapa,
sapu ijuk dan barang-barang rumah tangga lain yang
serba sederhana. Bapakmu dulu ikut menyumbang bagi
pembentukan modal pertamanya dan mencarikan
sumber air bagi sumurnya. Tetapi emak dengar ada yang
kemudian pergi begitu saja, karena katanya dengan
mengemis, bermodalkan cacat tubuh dan wajah sedih,
mereka bisa mendapat uang tiga-empat kali lebih besar
daripada membuat keset kaki dan berkeliling menjualnya
dari rumah ke rumah. "Biasanya yang mengemis itu "kan orang miskin, Mak,"
aku turut bicara, "jadi memang perlu bantuan."
"Setelah mengamati mereka yang secara teratur
datang mengemis ke sini," kata emak, "tampang,
keadaan tubuh serta pembawaannya menunjukkan
bahwa mereka bukanlah miskin benda. Sebenarnya
mereka lebih banyak miskin dalam pikiran, gambaran dan
lebih-lebih dalam kemauan."
Menurut emak karena miskin dalam hal-hal yang
disebut terakhir itulah makanya mereka melalaikan
rahmat Allah yang tersedia di sekitar kita. Tidak
terbayang oleh mereka bagaimana menarik manfaat dari
negeri ini yang begitu subur dan hijau. Pamanmu sering
mengatakan tongkat saja bisa tumbuh walaupun
dilempar begitu saja ke tanah kita. Bangsa-bangsa lain
berbondong-bondong datang kemari mencari kehidupanBelanda, Cina, Keling, Arab, dan lain-lain. Mereka ini
tidak hanya bisa hidup, ternyata ada yang bisa menjadi
kaya raya. Padahal waktu datang mereka hanya
membawa badan bermodalkan kemauan bekeija keras,
tak mengenal patah semangat. Orang-orang Cina
kabarnya datang ke sini hanya membawa kayu pemikul
untuk berusaha, selain bantal kayu untuk tidur. Bukan
rahasia lagi kalau Tjong A Fie sekarang membalut
dengan sutera berbenang emas kayu pemikul yang
dahulu dipakainya untuk berkeliling beijualan dari
kampung ke kampung. Sekarang dia sudah begitu kaya
hingga dapat membuatkan sebuah jembatan yang
terindah untuk kota kita, jembatan berhiaskan lampu
kristal hingga mendapat julukan "titi berlian". Selain ini
dia juga telah membangun sebuah taman bunga untuk
umum. Maka kalau kita melayani kehendak pengemis begitu
saja dengan dalih kemiskinan, kita tidak hanya tidak
mendidik mereka, tetapi lebih-lebih juga tidak mendidik
diri kita sendiri agar bisa lebih tepat dalam bertindak.
Jadi jangan sembarangan menabur kebaikan. Memang
agama Islam mewajibkan kita memberikan zakat fitrah
kepada kaum fakir miskin. Setiap tahun bapak dan emak
membawanya ke surau untuk dikumpulkan. Kemudian
kepala kampung, para tetua, ulama dan zu"ama
membagi-bagikan kumpulan zakat penduduk kampung
kita kepada orang-orang di sekitar kita yang dinilai betulbetul miskin, berkekurangan dan pantas menerimanya.
Bahkan setiap tahun zakat yang terkumpul itu masih
bersisa untuk disalurkan kepada kaum fakir miskin dari
kampung-kampung lain. Pada suatu hari setiba di rumah dari sekolah, gadis
Keling pembantu rumah kami, si Amisha, mengatakan
bahwa emak sejak pagi pergi bersama seorang pengemis
perempuan. Ketika hendak melangkah ke ladang, seperti
biasa di sekitar jam delapan, pengemis itu datang. Si
Amisha tidak tahu persis apa yang dibicarakan antara
emak dan dia. Beberapa saat kemudian emak balik
masuk ke rumah, berganti baju, dan lalu pergi bersama
pengemis itu. Si Amisha heran, aku pun demikian.
Selama ini aku belum pernah melihat ada pengemis
perempuan yang mendatangi rumah-rumah di kampung
kami. Dan setahuku emak tidak menyukai pengemis.
Siang itu kakak-kakakku dan aku tidak pergi ke
madrasah. Bapak sesudah makan siang dan sembahyang
zuhur juga tidak kembali ke kandang lembu. Kami semua
menanti-nanti kedatangan emak dengan harap-harap
cemas, ingin tahu apa yang sebenarnya telah teijadi.
Yang riang gembira adalah adikku, si Leman, karena
siang ini punya banyak teman bermain. Kakak-kakak dan
aku bergiliran menggendongnya di punggung di saat
main kuda-kudaan. Emak baru pulang di sekitar jam
setengah tiga sore. Dia kelihatan lelah sekali.
Menurut cerita emak, perempuan itu sampai
mengemis karena sudah buntu pikirannya, bingung
bagaimana mendapatkan uang untuk mengobati sakit
suaminya yang sudah berlarut-larut dan makan dua
orang anaknya yang masih kecil-kecil. Emak penasaran
dan ingin mengecek sendiri kebenaran cerita itu. Dia
langsung meminta pengemis itu mengantarkan dia ke
rumahnya. Rumahnya agak jauh di sebelah timur kota,
kampung Soekaramai, hingga emak harus naik sado ke
sana. Perempuan itu mengaku malu mengemis di
kampungnya sendiri, maka itu melakukannya di
kampung-kampung lain. Soekaramai adalah pemukiman dari orang-orang suku
Jawa. Dia sendiri, Djoeminten, dan suaminya, Kasan,


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lahir dan besar di salah satu perkebunan tembakau.
Orang tua mereka adalah kuli-kuli kontrak yang
didatangkan dari Jawa. Ketika kontrak orang tua mereka
selesai, mereka tidak mau ikut pulang ke Jawa karena
mereka dengar kehidupan di sana penuh sengsara.
Mereka tidak ingin menjadi kuli kontrak dan berniat
mengadu nasib di Deli saja sebagai pekeija bebas. Untuk
hidup mereka si Kasan, yang tidak pernah bersekolah,
menjadi buruh pemuat dan pembongkar barang-barang
dagangan di Pasar Sentral. Sejak sebulan ini dia sakit,
badannya panas-panas dingin, muntah-muntah dan
mencret. Melihat keadaannya ini emak benar-benar
tersentuh perasaannya. Dengan bersempit-sempit di sado, emak mengantar si
Kasan ke rumah sakit gemeente Serdangweg. Istrinya
disuruh emak ikut dan anak-anaknya dititipkan dulu pada
tetangga. Sesampai di rumah sakit emak langsung
menemui dokter Pimgadi. Setelah mendengar cerita
emak dokter beijanji akan memberikan perawatan yang
diperlukan. Ketika emak mengatakan bahwa dia yang
akan menanggung biayanya, dokter tersenyum dan
menyalami emak, sambil mengatakan bahwa emak
sudah berbuat terlalu banyak. Maka giliran dia yang akan
melanjutkan usaha kemanusiaan yang dimulai oleh
emak. "Saya juga dari Jawa, Mak, sama-sama merantau
ke Deli seperti si Kasan," begitu katanya kepada emak.
Sebelum pulang emak memberikan kepada Djoeminten
sedikit uang untuk makan dia dan anak-anaknya.
Kira-kira tiga bulan kemudian pasangan Kasan dan
Djoeminten serta anak-anaknya datang ke rumah untuk
mengucapkan terima kasih. Mereka membawa serantang
makanan. Si Kasan telah memburuh lagi di Pasar Sentral
dan si Djoeminten bekeija sebagai pembantu di rumah
dokter Pirngadi atas permintaannya sendiri. Mula-mula
dia keberatan ketika hendak diberikan gaji penuh. Dia
ingin menerima setengahnya saja, sisanya dipakai
sebagai pengganti uang dokter Pirngadi yang terpakai
untuk membiayai perawatan suaminya di rumah sakit.
Katanya dokter Jawa yang berbudi ini menolak
pengggantian itu dengan mengatakan bahwa dia sudah
beijanji kepada emak untuk mengurus si Kasan sampai
sembuh dan bisa bekeija lagi.
Setelah mencicipi makanan yang dimasak sendiri oleh
Djoeminten, emak berkesimpulan bahwa dia pintar
masak. Maka emak menyarankan agar dia jualan
makanan saja: gado-gado, pecel, tahu goreng, nasi
rames, lontong atau bubur. Untuk modal dia dan Kasan
harus menabung sedikit demi sedikit. Suami istri ini
beijanji akan mempertimbangkan saran tersebut.
Rupanya mereka memutuskan untuk melakukan apa
yang dikatakan emak. Ketika Djoeminten memberi tahu
dokter Pirngadi hendak berhenti bekeija sebagai
pembantu di rumahnya karena mau mencoba beijualan
makanan, atas usul emak, dokter Pirngadi tidak
keberatan, malah memberikan uang guna dipakai
sebagai modal usaha. Mereka menjajakan makanannya dengan gerobak
dorong buatan si Kasan sendiri dan mangkal di pojok
lapangan esplanade yang teduh di bawah naungan
pohon-pohon angsana. Tempat ini sungguh strategis
karena terletak di dekat stasiun kereta api di mana sado
dan bemo biasa mangkal menunggu penumpang. Tidak
jauh dari situ terdapat kantor pos yang selalu ramai
dikunjungi orang, kantor gmeente, dua hotel besar, De
Javaasche Bank dan beberapa bank lainnya, yang
mempekeijakan ratusan pegawai pribumi. Kabarnya
jualan mereka laris sekali; selain enak juga karena
mereka menampilkan citra kebersihan.
Baru dua bulan berusaha, mereka sudah
menggunakan dua gerobak dan menggaji dua orang
pembantu. Mereka mulai berjualan minuman segar,
seperti cendol, es buah, es kacang merah, es tapai, es
tebak, es madura dan es sanghai. Belakangan kudengar
ada sinyo dan noni Belanda yang tak segan-segan
mampir sehabis sekolah untuk menikmati berbagai jenis
minuman yang mereka tawarkan itu. Mungkin karena itu
pula mereka pernah dibujuk oleh restoran Ter Meulen"
yang rasialis di Jalan Kesawan agar mau bekeija di situ.
Mereka menolak. Pendekatan serupa yang dilakukan pula
oleh restoran besar Belanda lainnya, "Tip Top", dijalan
yang sama, juga tidak mereka terima.
Mendengar cerita tentang keberhasilan usaha suami
istri yang pernah ditolongnya itu, emak bilang bahwa
mereka boleh saja tidak pernah bersekolah, si
Djoeminten pernah mengemis, tetapi mereka ternyata
tidak miskin dalam pikiran, gambaran dan kemauan serta
mau belajar dari pengalaman. Dan Tuhan ternyata
menghargai sikap dan jerih payah seperti itu. Bukankah
DIA ada mengatakan bahwa manusia tidak akan menjadi
lebih baik nasibnya kalau dia sendiri tidak berusaha
untuk memperbaikinya. Dengan perkataan lain, doa saja
kiranya tidak cukup, masih diperlukan sekali keija keras.
Keliru kalau mengatakan sedang mujur. Yang disebut
kemujuran itu tidak ada, yang ada adalah kemauan
berusaha yang tak kenal surut, pantang menyerah.
(OodwkzoO) Bab 7 EMAK DAN MEMBACA Hari ini sejak sehabis subuh emak sudah berada di
dapur. Dia sibuk membuat berbagai macam makanan
dengan dibantu oleh kakak-kakakku dan si Amisha.
Makanan-makanan itu bukanlah untuk berbuka puasa
tetapi untuk dibawa nanti malam ke surau dalam
memperingati Nuzulul Quran. Untuk memeriahkan
peringatan peristiwa suci ini setiap keluarga di kampung
biasa menyumbangkan setampah makanan masakannya
sendiri. Menjelang asar emak membawaku ke Kampung
Keling, daerah pertokoan yang terdekat dengan kampung
kami. Sebenarnya orang-orang asal India bukan
merupakan komunitas terbesar di perkampungan ini.
Namun di sini tersedia berbagai sarana yang
memfasilitasi pemuasan kebutuhan-kebutuhan khas
mereka, seperti kuil bagi mereka yang beragama Hindu,
mesjid bagi yang beragama Islam dan sekolah bergaya
Inggris "Khalsa English School" Di samping itu semua
jalan di daerah ini memakai nama kota-kota di India. Ada
Colombostraat, Bombaystraat, Mad-rasstraat, dan lainlain. Di jalan Madrasstraat ini terdapat satu-satunya kedai
pangkas Keling dan ke sinilah emak membawaku sore
itu. Waktu lalu pulang kami tidak melalui jembatan Titi
Berlian yang terbentang di atas Sungai Baboera. Sebelum
melintasi jembatan ini emak menuntunku turun ke
sungai. Di musim kemarau sungai ini dangkal dan airnya
jernih sekali, ikan-ikan kecil sejenis teri jelas kelihatan
berenang kian kemari. Emak memilih tepian yang baik,
agak berbatu dan lalu memandikan aku. "Nanti malam
Nuzulul Quran," katanya sambil menyabuni tubuhku dan
mengeramasi rambutku yang baru dipangkas pendek.
Aku sudah tahu bahwa di malam tersebut turun wahyu
pertama dari rangkaian keseluruhan isi Kitab Suci Al
Qurati yang berbunyi nIqrak". Aku pun tahu dari kakakku
bahwa arti dari wahyu pertama ini adalah "bacalah".
Walaupun aku belum mengaji, karena selama ini
dianggap masih terlalu kecil, aku tahu sedikit-sedikit
jalannya kisah penurunan wahyu tersebut di Gua Hira.
Bukankah kisah yang sama diceritakan kembali di surau
pada setiap malam tanggal 17 bulan Ramadhan.
"Beberapa bulan lagi umurmu genap empat tahun,"
kata emak lebih lanjut. "Bapak dan emak kira sudah
saatnya kau mulai belajar membaca Ouran. Daoed bukan
anak kecil lagi sekarang dan rambutmu tidak pantas lagi
untuk dicukur. Maka itu mulai hari ini rambutmu akan
selalu dipangkas. Emak akan mengantarkanmu dua bulan
sekali ke tukang pangkas Keling tadi."
Jadi peristiwa Nuzulul Quran kali ini bagiku rupanya
tidak sama dengan apa-apa yang terjadi dengan
turunnya Al Qurati di tahun-tahun sebelumnya. Setelah
upacara peringatannya di surau selesai dan kembali ke
rumah, aku tidak boleh segera tidur. Dengan disaksikan
oleh kakak-kakakku, bapak mula-mula mengajarku
membaca huruf-huruf Arab, dari Alif sampai Ya,
berulang-ulang hingga tiga kali. Kemudian giliran emak
melakukan hal yang sama. Lalu bapak, emak dan kakakkakakku membaca bersama-sama lima ayat pertama dari
surat Al "Alaq, yang dipercaya sebagai wahyu Allah yang
pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril. Ayat-ayat ini mereka baca lambatlambat agar aku dapat mengikutinya sampai lima kali.
Akhirnya bapak menutup upacara kecil ini dengan
membaca doa. Keesokan harinya baru dimulai
pembelajaranku yang sebenarnya dalam membaca Kitab
Suci agama Islam. Pembelajaran ini berlaku setiap pagi,
selama lebih kurang satu jam. Kalau bapak berhalangan,
emaklah yang menuntunku membaca. Kalau hari Minggu
giliran kakak-kakakku yang menjadi pengajar.
Emak menepati janjinya. Dua bulan sekali dia
mengantarkan aku ke Kampung Keling untuk dipangkas.
Satu kali sehabis memandikan aku di sungai, emak
duduk di atas batu di tepian dengan kaki menjuntai ke
dalam air. Emak kelihatan santai sekali. Aku duduk di
sebelahnya sambil mengunyah roti. Ini adalah satu
kesenangan tersendiri yang kunikmati bila pulang
pangkas bersama emak. Sebelum turun ke Sungai
Baboera kami lebih dahulu mampir di rumah pembakaran
roti seorang Keling Islam yang berada persis di ujung
jembatan Titi Berlian. Di situ emak membelikan aku roti
bulan dan roti-roti lainnya yang menjadi kesukaan kakak
dan bapak. Setiap habis dimandikan aku boleh
menghabiskan roti pilihanku atau, kalau hari sudah agak
senja, aku boleh memakannya sambil beijalan pulang.
Dan kali ini, karena hari masih cerah, emak dan aku
duduk-duduk bersebelahan di atas batu.
"Kau lihat sungai ini Daoed," katanya sambil
memekikkan tangannya di bahuku. Tercium olehku bau
harum sanggulnya yang ditebarkan oleh angin lalu. "Kau
harus berlaku seperti batang air ini. Walaupun ia tetap
terus mengalir mencapai tujuannya, semakin lama
semakin menjauhi sumber asalnya, ia tidak pernah
memutuskan diri barang sedetik dari sumbernya itu, ia
tetap setia padanya."
Emak berhenti sejenak. Kemudian bertutur lagi, katakatanya meluncur lancar bagai air yang terus mengalir.
"Sebagai manusia sumber kita adalah semua kebaikan,
kebajikan dan ajaran yang selama ini telah membesarkan
dan menyelamatkan kita, telah memuliakan hidup kita,
yang semakin membedakan kita dari binatang, yang
berasal dari kesimpulan-kesimpulan yang terpilih dari
pengalaman, yang diperas dari adat-istiadat, yang
diperoleh dari orang-orang bijak dan yang didapat dari
agama." Aku tak akan pernah melupakan kata-kata emak ini.
Andaikata dia perempuan sekolahan zaman sekarang,
kuduga dia pasti akan mengatakan bahwa "sumber kita
itu adalah sistem nilai yang kita hayati". Aku duga
demikian karena sebelum beranjak dari batu yang
didudukinya dan mengajak aku pulang, kuingat dia
sempat mengatakan, "Menurut Pakcikmu kau harus
banyak membaca agar perbendaharaan dari semua
kebaikan dan ajaran yang kita anut itu terus
berkembang, senantiasa menjadi bertambah luas, kaya
dengan unsur-unsur baru yang bisa menggantikan unsurunsur lama yang telah menjadi usang, yang tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman."
Ketika aku menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, pandangan metaforis emak tentang sungai
ini kuuraikan pula kepada publik dalam berbagai
kesempatan. Aku bahkan pernah mengetengahkannya di
forum UNESCO karena "sistem nilai" per definisi adalah
"kebudayaan". Sedangkan kebudayaan dan pendidikan,
yang merupakan bagian dari sistem nilai itu, merupakan
tugas UNESCO par excellence.
Setelah aku agak lancar membaca surat-surat pendek
Al Quran, yang biasa dibaca mengiringi surat Al Fatihah
ketika sembahyang, orang tuaku menyuruhku belajar
mengaji pada beberapa orang di rumah masing-masing.
Mereka ini adalah yang dikenal di" kampung sebagai
orang-orang yang saleh. Baru sesudah ini orang tuaku
mempercayakan pengajianku di madrasah. Setelah dua
kali menamatkan Al Quran di lembaga pembelajaran
agama ini, aku memberanikan diri menamatkan yang
ketiga kalinya dengan diuji di muka umum. Jarang sekali
ada anak pengajian yang berani berbuat demikian. Maka
itu orang tuaku bangga sekali. Mereka tidak pernah
mengusulkan walau sekali hal seperti itu kepadaku. Emak
menjahit sendiri baju teluk belanga yang bakal kupakai
dalam kesempatan itu dan bapak melengkapinya dengan
selembar kain pelekat Samarinda yang baru. Kakakkakakku membelikan aku songkok dari uang tabungan
mereka. Ujian ini dilakukan di surau dengan disaksikan oleh
warga kampung. Pengujinya terdiri dari beberapa ulama
yang datang dari berbagai kampung dan ustad dari
madrasah lain. Mereka secara bergiliran memintaku
membaca ayat-ayat tertentu dari berbagai surat yang
mereka pilih dan menilai ketepatanku dalam
melafalkannya. Setelah berunding mereka sepakat untuk
menyatakan bahwa aku telah khatam membaca Al Quran
dengan baik sekali.

Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keberanianku menamatkan Kitab Suci dengan ujian
terbuka di depan umum kiranya menarik perhatian Ustad
Hasan Basri. Dia menanyakan kesediaanku untuk tampil
sebagai pembicara utama pada setiap peringatan Maulud
Nabi, Nuzulul Quran dan Israk Mikraj. Dia ingin membuat
suatu tradisi baru. Biasanya peran ini dilakukan oleh
tetua kampung yang, menurut dia, suaranya sudah
terlalu lemah untuk bisa didengar oleh seluruh hadirin.
Waktu itu kami di kampung belum mengenal mikrofon.
Dia sendiri yang akan menyusun uraian masing-masing
peristiwa keagamaan tersebut, aku tinggal menghafalnya
di luar kepala dan lalu mempidatokannya. Setiap uraian
memerlukan empat atau lima buku tulis. Kupikir-pikir
berat juga menghafal uraian sebanyak itu untuk setiap
peristiwa yang diperingati.
Menurut emak usul ustad ini merupakan suatu
tantangan yang baik untuk mengukur kemampuanku. Ia
dapat juga dianggap sebagai latihan untuk menjadi
mubaligh. Tantangan ini memang berat, namun pada
awalnya saja. Mengingat uraian-uraian yang sama akan
diulang lagi di tahun-tahun berikutnya, emak pikir
hafalan itu makin lama akan menjadi semakin ringan.
Lagi pula aku baru duduk di kelas dua sekolah dasar, jadi
belum punya pekeijaan rumah atau hafalan yang berarti.
Kalau bapak berpendapat tak baik mundur sebelum
dicoba melakukannya. Sementara kakak-kakakku sangat
antusias dan bersedia mentes apakah hafalanku sudah
betul, tidak menyimpang dari teks.
Madrasah di kampungku, nAt Takwa", merekrut ustadustadnya dari berbagai kawasan. Ia berkembang cepat
karena jam belajarnya tidak sama dengan jam belajar di
sekolah. Kalau sekolah dimulai dari pagi hingga tengah
hari, madrasah At Takwa dimulai dari jam dua hingga
lima sore. Jadi pelajaran diniahnya melengkapi pelajaran
keintelektualan dari sekolah. Dengan jam-jam
pembelajaran yang secara esensial bersifat
komplementer ini, anak-anak punya kesibukan formal
dari pagi hingga sore, tidak ada waktu lagi untuk
berkeliaran begitu saja sesudah usai sekolah. Maka itu
dengan semakin meningkatnya kesadaran orang-orang
tua untuk menyekolahkan anaknya, semakin banyak pula
anak-anak yang dikirim belajar keagamaan di madrasah
At Takwa. Sebab ada orang tua yang mengeluarkan
anaknya dari madrasah pagi, lalu memasukkannya ke
sekolah dasar dan seusai sekolah umum ini menyuruhnya
mengaji di madrasah sore. Dengan kedenderungan
seperti ini jumlah murid-murid di madrasahku semakin
lama semakin banyak karena menampung anak-anak dari
kampung-kampung lain yang berdekatan.
Di tahun awal penampilanku sebagai pembicara utama
pada setiap peringatan peristiwa keagamaan, Ustad
Hasan Basri masih duduk bersila di kaki mimbar, selalu
siap membisikkan kata-kata atau kalimat yang terlupa,
yang bisa membuat macet pidatoku. Syukur bahwa hal
yang tak dikehendaki itu tidak pernah terjadi. Ternyata
aku mampu menghafal di luar kepala sebuah teks
sebanyak empat kitab tulis. Bahkan di tahun kedua aku
sudah bisa mengatur sendiri aksen pembicaraanku,
bagian mana yang perlu diperlambat uraiannya, bagian
mana yang harus diperkeras ucapannya, bagian mana
yang cukup diketengahkan biasa-biasa saja. Aku sudah
mampu berimprovisasi sendiri.
Di tahun kedua sudah mulai ada undangan bagiku
untuk tampil bicara hal yang sama di kampung-kampung
lain dan, tanpa kuminta, di beri honor pula. Di tahun
ketiga undangan yang datang semakin banyak lagi dan
honor yang kuterima menjadi semakin besar dengan
semakin jauhnya letak kampung yang mengundang.
Emak sebenarnya tidak puas dengan honor-honor
tersebut. "Masak kita harus diberi imbalan uang dalam
menyebarluaskan syiar agama," katanya penuh
keraguan. Maka dia meminta agar honor itu tidak
kupakai untuk apa pun selain guna menambah
pengetahuan, memperluas pandangan, memperdalam
pemahaman, melalui pembacaan buku-buku. "Kau "kan
sekarang sudah duduk di kelas tiga. Sudah bisa
membaca buku-buku berhuruf Latin yang
mengungkapkan berbagai ilmu duniawi di samping bukubuku berhuruf Jawi yang membahas soal-soal
keagamaan, yang selama ini kau tekuni di madrasah,"
katanya dengan suara mantap.
Ketidakpuasan emak dengan honor tersebut
kuceritakan juga kepada Ustad Hasan Basri. Walaupun
tidak tinggal sekampung dia selalu setia mendampingi di
mana pun aku diundang untuk tampil. Menurut dia honor
itu mereka berikan dengan ikhlas hati. Mungkin juga
tidak mereka anggap sebagai imbalan tetapi lebih
sebagai ekspresi kepuasan mereka. Mereka puas karena
keberanianku berpidato dan gaya penampilanku di
mimbar rupanya dipakai oleh para tetua dari kampungkampung yang mengundang sebagai penggugah anakanak kampung mereka sendiri agar berani dan mampu
berbuat yang sama. "Gayamu berbicara seperti gaya
Pamanmu," katanya, mengaku kenal Pakcik Leman di
gedung Jong Islamieten Bond. Dia mengatakan pernah
pula melihatku "bermain-main" di gedung tersebut.
Akhirnya dia mengatakan sangat memahami
ketidakpuasan emak itu dan karenanya sangat sepakat
dengan pendirian emak tentang penggunaan honor yang
aku terima. "Saya pikir Emakmu betul sekali ketika
mengatakan bahwa perintah membaca yang tersurat
dalam wahyu berbunyi "iqrak" itu tidak hanya tertuju
pada isi Al Quran tetapi mengenai semua ciptaan Allah,"
katanya sungguh-sungguh. "Ya, belilah buku-buku yang
membahas ciptaan Allah, yang mengandung ilmu-ilmu
yang memungkinkan kau bisa memahami ciptaan-ciptaan
tersebut. Bacalah sebanyak-banyaknya. Turutilah
kehendak emakmu itu. Jangan lupa bahwa surga anak
berada di telapak kaki emaknya."
Karena emak tidak menghendaki aku berkeliaran di
jalan dan bertandang ke tetangga, lebih-lebih di maham
hari, seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak
sebayaku di kampung, dia selalu memikirkan berbagai
cara guna mengembangkan kegemaranku membaca.
Lama-lama membaca menjadi kebutuhanku. Semua buku
di perpustakaan sekolah yang sanggup kucernakan
berdasarkan tingkat pengetahuanku, praktis sudah
kubaca. Aku mulai menjadi pelanggan yang setia dari
sebuah perpustakaan swasta yang ada di Kapiteinsweg.
Karena tarif sewa buku relatif mahal, emak bersedia
menambah uang saku asalkan kupergunakan untuk
membiayai peminjaman buku-buku. Acapkali sehabis
makan malam, manakala tidak ada pe-keijaan rumah
yang harus kuselesaikan, emak memintaku menceritakan
cerita atau dongeng yang sudah kubaca. Seringkali
bapak turut serta mendengar.
"Buku adalah pintu ke dunia," kata emak selalu,
mungkin mengulangi apa yang pernah dikatakan oleh
paman. "Dan bahasa asing adalah kunci penting
pembuka pintu itu." Apa yang dikatakan emak ini memang benar. Melalui
penguasaan bahasa Belanda, setelah aku berhasil masuk
ke HIS, terbuka bagiku lebih banyak lagi buku yang bisa
kumanfaatkan. Selain buku-buku Belanda itu sendiri
dapat kubaca kini buku-buku ilmiah populer, novel, fiksi
dan dongeng bangsa-bangsa asing lain yang
diteijemahkan ke dalam bahasa Belanda, yang berjajar
menantang di rak buku perpustakaan sekolah dan
swasta. Bapak yang jarang tersenyum apalagi tertawa
lepas, tertawa juga ketika kuceritakan pengalaman si
gelandangan bernama Swiebertje, Swiebertje de
landloper", yang menjadi walikota selama sehari,
sedangkan walikota yang sebenarnya pada waktu yang
sama menjadi gelandangan berhubung wajah mereka
mirip seperti pinang dibelah dua. " Kedua orang itu
melakukan hal-hal yang aneh dan menggelikan selama
bertukar peran tersebut. Pada malam bulan purnama biasanya penduduk di
kampung duduk-duduk di halaman rumah menikmati
kelembutan cahaya bulan. Anak-anak bermain kejarkejaran, galasin atau apa saja, muda-mudi duduk
mengelompok sambil berdendang dan berpantun saling
menyindir, sedangkan orang-orang tua bercengkerama
dengan santai sambil mengunyah sirih atau aneka ragam
penganan. Sesekali di malam terang bulan seperti itu
emak menyuruhku mengundang anak-anak tetangga
bermain-main dan berkumpul di rumah kami. Serambi
rumah kami yang terbuka cukup luas dan di situ mereka
dapat duduk dengan leluasa. Emak menyajikan kacang
rebus, ubi goreng dan teh. Dia kemudian memintaku
menceritakan dongeng dan hikayat bangsa asing yang
pernah kubaca, dari Andersen, Grimm bersaudara, dan
lain-lain. Mereka senang mendengarnya dan biasanya
lingkaran pendengar semakin lama menjadi semakin
besar karena orang-orang dewasa pun datang turut
mendengar. Karena sering diulang-ulang
menceritakannya, lama-kelamaan kuingat di luar kepala
cerita-cerita itu dan timbul kemampuan untuk
membubuhinya dengan fantasiku sendiri. Hikayat 1001
malam berkat fantasiku itu menjadi cerita yang memukau
anak-anak, tua dan muda, dan selalu diminta untuk
diulang. "Kau lihat," kata emak sambil tersenyum, "kekayaan
benda berpisah dari kita bila diberikan kepada orang lain,
tetapi kekayaan pikiran tetap melekat pada kita
walaupun dibagi dengan orang lain. Bahkan bila tidak
dibagi dengan orang lain ini, kekayaan pikiran itu akan
raib, bisa hilang lenyap dengan sendirinya karena kita
sendiri lama-lama bisa tidak mengingatnya lagi.
Sementara orang lain tidak tahu bahwa pikiran yang raib
itu pernah ada karena tak pernah mendapatkannya. Dan
yang tak boleh kau lupakan, Nak, adalah bahwa salah
satu jalan yang ampuh, salah satu sumber yang tak
pernah kering, dari kekayaan pikiran ini adalah buku.
Sedangkan cara menggali sumber itu adalah membaca.
Jadi emak rasa bukan kebetulan kalau Allah menyuruh
kita membaca." (OodwkzoO) Bab 8 EMAK DAN PENDIDIKAN Sama halnya dengan bapak, emak tidak dapat
membaca dan menulis huruf Latin. Keadaan sosial dan
suasana tradisional tidak memungkinkan dia di masa
mudanya bersekolah, mempelajari hal-hal yang kini
sudah dianggap wajar atau biasa oleh gadis-gadis di
masyarakat modern. Namun tidak dapat dikatakan
bahwa emak dan bapak buta huruf. Mereka mampu
menulis huruf Arab dan lancar membaca Kitab Suci Al
Quran yang ditulis dengan huruf tersebut dan buku
keagamaan berbahasa Melayu yang bertuliskan huruf
Jawi. Emak sendiri sebenarnya tekun dan rajin belajar. Hal
ini kusimpulkan dari berbagai kepandaian dan
keterampilan yang dikuasainya, jauh melebihi perempuan
kampung yang sebaya dengan dia. Emak, misalnya,
pintar memasak. Hampir setiap keluarga sekampung
yang punya hajat pasti mengharapkan emak untuk
menyiapkan lauk-pauknya. Orang-orang dari kampung
dan kawasan lain tidak jarang turut meminta bantuan
emak menyelesaikan soal masak-memasak ini. Emak
juga sangat mahir dalam berbagai kerajinan tangan
seperti menyulam, merenda dengan aneka jenis benang,
menyusun kembang dan membuat baju.
Kami sangat bangga dengan mesin jahit Singernya
yang merupakan benda sangat langka di kampung kami.
Setiap menjelang Idul Fitri atau ada keluarga yang
hendak mengawinkan anaknya pasti menyibukkan emak
menyelesaikan pesanan baju. Tidak sedikit gadis-gadis
belajar dari emak mengenai keterampilan yang dianggap
secara alami sebagai urusan kaum perempuan. Emak
pun cekatan dalam memainkan alat musik kecapi dan
harmonium. Emak rajin mendengar dan banyak belajar dari
saudara sepupunya, Pakcik Leman, pengertianpengertian baru serta istilah modern yang
mencerminkannya. Maka tidak mengherankan kalau
emak punya perhatian yang sangat besar pada
pendidikan. Dan bagiku memang emaklah yang pada
awal hidupku selalu mendorong aku untuk belajar. Dia
tidak hanya memperhatikan pendidikan kami, anakanaknya sendiri, tetapi juga pendidikan anak-anak
tetangga kami. Dewasa itu pendidikan tradisional yang
berlaku di daerah tempat aku lahir dan dibesarkan adalah
bahwa anak gadis sebanyak mungkin tinggal di rumah,
dipingit, sambil belajar dari ibu dan kakak membuat
makanan, menyulam, merenda dan berbagai seni rumah
tangga lainnya. Sejauh mengenai anak laki-laki, sebagian
terbesar tidak bersekolah, dapat bermain sepuas hati
atau membantu ayah melakukan berbagai pekeijaan fisik.
Namun semua anak, baik laki-laki maupun perempuan,
belajar di madrasah atau mengaji di surau.
Berlawanan dengan kebiasaan ini, emak mengirim
kakak-kakakku ke sekolah; setelah menamatkan sekolah
dasar lalu melanjutkan ke Meisjes Vervolgschool. "Seni
hidup yang harus dikuasai oleh kaum perempuan
bukanlah seni menyiapkan makanan atau mengurus anak
semata-mata," kata emak setiap kali kepada temantemannya. "Sekolah akan membantu gadis-gadis kita
memperluas pengetahuan mereka dan mempelajari
banyak hal lain yang kita sendiri tidak mengetahuinya.


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak kita ini pasti akan memerlukan semua itu bila
mereka kelak menjadi ibu rumah tangga."
Aku tahu benar usaha emak ini tidak terlalu berhasil.
Penjelasan dan alasan-alasan yang diberikannya tidak
sanggup menghilangkan prasangka yang telah berurat
berakar dalam benak perempuan-perempuan kampung
kami. Kebanyakan orang tua percaya benar bahwa di
sekolah anak-anak diajar membuat "surat cinta" setelah
mahir menulis dan membaca huruf Latin.
Dengan penuh rasa cemburu kulihat setiap pagi
kakak-kakakku pergi ke sekolah. Wajah mereka berseriseri, buku dan kitab tulis tersusun rapi di dalam tas
sekolah yang khusus dibuat emak dari kain katun putih.
Dengan penuh harapan kunanti mereka pulang sekolah
di siang hari karena aku tahu benar mereka selalu
membawa cerita yang meriah tentang kejadian dan
kehidupan di sekolah. Ketika aku berumur lima tahun
emak menyuruh kakak membawa aku melihat-lihat
sekolah mereka. Pengalaman di "sekolah" hari itu benarbenar sulit kulupakan. Semenjak hari itu hasratku
bersekolah semakin bernyala-nyala. Ketika beberapa
bulan kemudian kakak-kakakku mengatakan bahwa
pendaftaran sekolah tahun pelajaran berikutnya sudah
dimulai, kudesak orang tuaku untuk mencatatkan
namaku di sekolah tempat kakak-kakakku belajar.
Keesokan harinya aku dituntun emak menemui kepala
sekolah untuk pendaftaran. Sepanjang jalan menuju ke
sekolah hatiku berdebar penuh harapan. Kurasa dunia ini
seperti milikku. Kemarin semalam suntuk aku tidak dapat
tidur memikirkan pendaftaran sekolah ini. Setelah
menanyakan emak tentang tempat dan tanggal
kelahiranku, kepala sekolah kemudian melakukan tes
masuk sekolah yang berlaku ketika itu. Aku harus tegak
lurus, tangan kiri lurus ke bawah melekat di badan,
tangan kanan dibengkokkan diatas kepala rapat melekat
di rambut dan ujung jari tengah dari telapak tangan
kanan ini harus dapat mencapai puncak tertinggi telinga
kiri. Mungkin tangan kananku terlalu pendek atau bisa
jadi letak telingaku terlalu ke bawah, yang jelas adalah
ujung jari tengah dari telapak tangan kanan ini tidak
dapat menyentuh titik tertinggi telinga kiriku. Aku paksa
terus, kepala sudah terasa sakit tertekan tangan, tetapi
sia-sia belaka. Karena ini adalah tes masuk sekolah, aku
tahu akibat kegagalan ini. Mata kepala sekolah tajam
menatap gerak usahaku, mau menangis aku rasanya.
Keputusan kepala sekolah jelas sudah: aku belum
dapat diterima bersekolah. Di sini tidak, di mana pun
juga tidak. Emak segera dapat menangkap
kekecewaanku. Dia menceritakan betapa besarnya
hasratku bersekolah walaupun usiaku masih muda.
Kepala sekolah mendengarkan semua cerita emak
dengan tenang namun dia tetap pada kepu-tusannya.
Untuk peraturan standar tes ini tidak ada
pengecualiannya. Emak berusaha untuk mendengarkan
dengan teliti namun tetap menawar supaya aku dapat
diterima. "Saya kira Engku," kata emak dengan lemah lembut
tetapi pasti, "untuk menuntut ilmu lebih banyak
diperlukan kecerdasan otak daripada panjangnya tangan
ataupun jari." "Memang benar kata Encik," jawab kepala sekolah, "
tetapi?" Demikianlah kulihat mereka berdua bertukar
pendapat. Akhirnya penjelasan emak masuk di akal
kepala sekolah. Engku kepala sekolah mengubah
keputusannya. Aku dapat diterima tetapi sebagai
percobaan selama enam bulan. Ketika sekolah dimulai,
segera kulihat akulah yang terkecil di kelas yang tidak
seluruhnya penuh. Sadar bahwa aku masih dalam masa
percobaan, semenjak hari pertama aku sudah belajar
keras sehingga setiap ulangan bulanan angkaku selalu
baik, bahkan di banyak mata pelajaran aku mendapat
angka tertinggi. Akhirnya aku diakui sebagai murid
penuh, tidak berbeda dengan murid-murid kelas satu
lainnya. Emak banyak berbuat supaya anak-anaknya giat dan
senang belajar. Diciptakannya satu suasana rumah yang
kondusif begitu rupa sehingga belajar bagi kami
bukanlah merupakan satu siksaan. Kami selalu
menghadapi ulangan dan ujian sekolah dengan penuh
kegembiraan. Kami tak takut pada ujian. Karena kami
tahu benar selama hari-hari ujian kami dibolehkan
meminta emak membuatkan makanan atau lauk yang
kami senangi. Jadinya kalau musim ujian di sekolah,
makan malam di rumah seperti pesta saja. Kami sangat
menikmatinya karena emak terkenal di kampung sebagai
ahli masak. Sampai-sampai bapak, kalau ingin makan
dengan lauk yang digemarinya, mengatakan kepada
emak dengan tersenyum-senyum bahwa dia besok akan
menempuh ujian. Begitu gandrungnya aku pada ujian hingga sampai
sekarang ini, kalaupun aku rindu pada sekolah karena
aku betul-betul merasa kehilangan ujian-ujian formal itu.
Aku sadar hidup ini sendiri sebenarnya sudah penuh
dengan "ujian" dan aku pun tak pernah gentar
menghadapinya, namun mengatasi semua ujian riil di
luar sekolah ini rasanya tidak senikmat memenangkan
ujian formal di sekolah, duduk berhadapan dengan para
penguji di meja hijau, berkesempatan menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka dengan tepat.
Walaupun belum menyelesaikan sekolah dasar ini,
lanjutan sekolahku sudah menjadi pemikiran emak.
Sekolah tempat aku belajar ini tidak ada lanjutannya
karena Sekolah Melayu. Paling jauh ditampung di
Ambachtschool. Yang ada lanjutannya adalah sekolah
dasar yang berbahasa Belanda. Maka itu aku, sesuai
dengan anjuran Pakcik Leman, harus pindah ke sekolah
dasar Belanda ini. Aku pun bersedia pindah ke sana,
melalui Schakelschool, tetapi Belanda tidak disenangi,
bahkan dibenci, di daerah kami. Banyak cerita yang
buruk tentang Belanda. Kebencian rakyat menjadi
bertambah besar terhadap semua yang berbau Belanda
setelah melihat anak-anak sekolah di lembaga pendidikan
Belanda lama-kelamaan seperti melupakan bahasa dan
kebiasaan tradisional yang ada. Mereka ini bahkan bagai
bersikap lebih Belanda daripada Belanda sendiri di mata
rakyat umum. Sementara orang-orang yang melawan
Belanda ditangkap, dipenjarakan dan bahkan ada yang
diasingkan ke daerah malaria di Papoea. Banyak yang
meninggal dalam pembuangan.
Berita kepindahanku ke "Sekolah Belanda" cepat
tersebar ke seluruh penjuru kampung. Kepindahan ini
menimbulkan reaksi dan celaan di kalangan tetangga
kami. Banyak yang heran, tak habis pikir, karena semua
orang mengetahui bahwa saudara sepupu emak
termasuk di antara orang-orang daerah kami yang
diasingkan oleh Belanda ke Boven Digoel. Di antara
mereka ini ada yang menyaksikan sendiri betapa pakcik
dengan tangan terbelenggu dan kaki dirantai melangkah
ke kapal yang akan membawanya ke tanah pembuangan.
Bagaimana mungkin, menurut mereka, paman melawan
Belanda sedangkan kemenakan masuk ke sekolah
Belanda"! "Ada ulama dan banyak orang tua di kampung kita ini,
di antaranya ada yang dahulu kita minta mengajar si
Daoed mengaji, yang menentang keputusan kita," kata
bapak pada suatu malam sekembalinya dari sembahyang
beijemaah di surau. "Sekolah Belanda menurut mereka
adalah sekolah kafir!" Untuk pembangunan surau ini
bapak banyak membantu dan dia tergolong orang yang
ditanya untuk urusan-urusan kehidupan di kampung
kami. "Saya tahu adanya tantangan ini," kata emak dengan
tenang. "Bahkan gunjingan kaum perempuan lebih
menyakitkan telinga daripada kritikan kaum laki-laki.
Bukankah hal ini sudah kita perhitungkan sejak semula.
Kita harus tetap pada pendirian kita. Pertama, karena
pendidikan anak kita adalah urusan kita sendiri, bukan
tanggung jawab orang lain. Kedua, karena keputusan
kita ini tidak merugikan kepentingan agama kita.
Bukankah Rasulullah dahulu bersedia membebaskan
musuh-musuh yang ditawannya dalam peperangan Badar
dengan syarat bahwa setiap orang kafir itu bersedia
mengajar sepuluh anak Islam membaca dan menulis.
Padahal syarat pembebasan tawanan yang berlaku ketika
itu di antara kelompok-kelompok yang berperang adalah
tebusan berupa 100 ekor unta atau uang sebanyak 4.000
dirham, yaitu biaya makan seorang selama 30 tahun.
Ketiga, saya kira si Leman yang dibuang kompeni ke
Digoel itu benar ketika mengatakan bahwa Belanda
sampai menaklukkan kita bukan karena jumlah
manusianya yang banyak tetapi karma ilmunya yang
tinggi. Maka kalau kita ingin menghancurkan kekuasaan
mereka, kita harus kuasai ilmu mereka itu!"
Karena emak teguh pada keyakinannya bapak pun
tetap pada pendiriannya semula. Dan berkat semua ini
aku tetap bersekolah di sekolah yang berbahasa Belanda.
Namun kepadaku emak berkata dengan nada yang
tegas, "Kau harus berlaku seperti sungai. Ingat yang
emak pernah katakan, walaupun ia terus mengalir
mencapai tujuannya, ia tidak pernah memutuskan diri
dan tetap setia pada sumbernya." Maka itu di sore hari
aku tetap mengaji di madrasah seperti sediakala. Di
samping kelembutannya emak ternyata bisa berperilaku
seperti layang-layang. Semakin keras angin melawan,
semakin mantap ketinggian terbangnya, lebih-lebih kalau
mengenai hal-hal yang dianggapnya sangat prinsipiil.
Ketika Gemeente Medan mengadakan perbaikan
kampung, membuat jalan-jalan baru dan memperluas
jalan kampung yang sudah ada, rumah dan sebagian
halaman kami termakan perbaikan itu. Sedih melihat
rumah harus dibongkar dan karena terbiasa dengan
halaman yang luas, bapak berniat pindah jauh dari kota
di mana tanah masih luas dan murah harganya. Namun
emak tetap ingin menetap di kampung pinggiran kota ini.
Rumah baru lalu didirikan di atas sisa halaman yang tidak
lagi seluas dahulu. Alasan emak adalah supaya kami,
anak-anaknya, tetap mudah bersekolah. Di luar kota
tidak ada sekolah. Dengan kesahajaan berpikir yang tidak pernah dibina
oleh pendidikan modem, emak pernah membayangkan
bahwa kegunaan ilmu adalah untuk memahami alam,
menguak rahasia alam. Hal ini diutarakannya pada suatu
hari di ladang. Aku kadang-kadang dibawa emak ke
lahan pertanian keluarga ini. Adakalanya bapak datang
bergabung menjelang makan siang, menjinjing ikan yang
dipancingnya di sungai atau membawa berbagai ramuan
dari hutan, untuk kemudian pulang bersama-sama
sesudah zuhur. Bila pergi ke ladang emak dari rumah
hanya berbekal nasi, sambal, ikan goreng atau ikan asin
mentah yang baru dibakar kalau hendak dimakan.
Sebelum makan biasanya dia meramban sayur-sayuran
untuk dijadikan lalap, ada yang direbus dahulu, ada pula
yang dimakan mentah-mentah.
"Lihatlah," kata emak sambil menunjukkan hasil rambannya. "Di ladang ini, juga di halaman rumah kita,
terdapat jauh lebih banyak tumbuh-tumbuhan daripada
yang kita tanam dengan sengaja. Salah satu jenis
tumbuhan yang tidak sengaja ditanam itu, yang tidak
akan pemah emak lupakan dan yang sebaiknya kau
ketahui sekarang, adalah jawawut."
"Oh, yang sangat digemari oleh burung-burung itu,
Mak?" tanyaku. Tang menjurai berwarna coklat seperti
ekor tupai?" "Ya, itulah. Emak ketika itu sedang mengandung kau.
Jawawut itu tumbuh lebat begitu saja di sepanjang tepi
ladang kita. Banyak burung datang memakannya.
Anehnya burung-burung itu tidak mau mematuk padi kita
yang sedang menguning, demikian pula padi para
tetangga di dekat-dekat sini. Hal ini kebetulan dilihat pula
oleh Syekh Mohammad Zen, guru dan sahabat karib
bapak. Dia meramalkan bahwa emak akan melahirkan
anak laki-laki yang pertama dan dia mengusulkan kepada
bapak agar bayi ini kelak diberi nama Daoed."
"Oh begitu, Mak. Lalu tumbuh-tumbuhan apalagi
Mak?" "Ada macam-macam lagi yang namanya emak juga
tidak tahu persis apa. Di antaranya ada yang sering emak
jadikan lalap itu. Hal ini merupakan suatu rahmat Tuhan
yang wajib kita syukuri. Tidak ada cara mensyukuri yang
lebih tepat selain berusaha mengetahui khasiat-khasiat
yang dikandung oleh tumbuh-tumbuhan itu."
"Bagaimana mengusahakannya, Mak?", tanyaku ingin
tahu. "Dengan menuntut bermacam-macam ilmu," jawab
emak tanpa ragu-ragu. "Emak kira ilmu berusaha
mengetahui potensi yang ada di alam dan menemukan
kaitan-kaitan antara gejala yang ada di situ. Emak rasa
ilmulah yang membantu kita membaca tanda-tanda
kandungan dari semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi,
tanda berkhasiat, tanda beracun, tanda bermanfaat,
tanda bermudarat, bagi kehidupan makhluk."
"Bagaimana ilmu bisa membaca tanda-tanda itu?"
"Mana emak tahu. Emak kan tidak permah bersekolah,
jadi tidak permah berkesempatan mempelajari ilmu. Tapi
coba ingat cara dokter Pimgadi bekeija. Dia selalu
menanyakan apa-apa keluhan kita, berusaha membaca
tanda-tanda yang ada di tubuh kita serta kaitankaitannya satu sama lain dan berdasarkan semua itu
menemukan penyakit kita. Emak kira ilmu yang dahulu


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipelajarinya di sekolah itulah yang membantunya
membaca tanda-tanda keberadaan penyakit itu. Dan obat
yang kemudian diberikannya emak dengar juga dibuat
dengan bantuan ilmu. Sedangkan pendidikan sekarang di
sekolah mengajarkan ilmu-ilmu. Maka itu rajin-rajinlah
kau bersekolah. Ilmu kita perlukan sekali demi
kehidupan, tidak hanya sekedar untuk menghancurkan
kekuasaan kompeni. Sebelum dan sesudah
menghancurkan itu kita semua harus bisa hidup."
Kalau sedang tidak di ladang atau tidak mengawasi
pe-keijaan di kandang lembu perah kami, pada waktu
makan siang bersama-sama, emak meminta aku
memberikan "laporan" tentang apa-apa yang kulakukan
di sekolah dan kualami di peijalanan antara sekolah dan
rumah. Setiap kali emak mengingatkan, "Jangan bertutur
terlalu cepat, nanti terucapkan hal-hal yang belum kau
pikirkan. Kau boleh mengatakan semua, tetapi
ucapkanlah itu dengan teratur dan dengan bahasa yang
jelas." Dengan begini aku terdorong untuk berpikir
teratur agar mampu mengatakan segala sesuatu dengan
beraturan. Tanpa disadarinya sendiri barangkali, dengan
tuntutan seperti ini, emak membiasakan aku menghayati
hakikat ilmu pengetahuan. Aku sendiri menyadari hal ini
puluhan tahun kemudian, ketika untuk pertama kalinya
kudengar Prof. Djokosutono mengatakan bahwa "ilmu
pengetahuan adalah berpikir teratur"-u>eten-schap is
geordend denken. Emak tidak mengabaikan kegunaan keterampilan
tangan. Kepada setiap anaknya diberikan pekeijaan
rumah tangga tertentu. Bagianku berupa menimba air
dari sumur, menyapu halaman, menyiram bunga dan
sesekali mencari kayu di hutan atau membantu bapak
membelah kayu bakar. Menurut pandangannya seorang
laki-laki harus berusaha sedapat mungkin mengeijakan
sendiri segala sesuatu. Maka itu dimintanya bapak untuk
mengajarkan aku berbagai jenis keterampilan tangan,
termasuk melabur rumah menjelang lebaran. Bahkan
emak sendiri kadang-kala menyuruh aku menanak nasi
dan membuat lauk yang sederhana. "Kemampuan seperti
ini satu ketika nanti akan membantumu," kata emak.
"Tangan dan otak saling mengisi. Kalau mampu
menggabungkannya pasti memberikan hasil yang
gemilang." Ucapan emak kali ini pun benar pula. Di dalam
organisasi kepanduan aku seringkah mendapat
penghargaan berkat kemahiranku melakukan hal-hal
yang diperlukan oleh seorang pandu hidup di tengahtengah alam terbuka. Tetapi baru sepuluh tahun
kemudian terasa benar bagiku kegunaan semua
keterampilan yang dianjurkan oleh emak, yaitu ketika
aku mulai hidup sendiri di perantauan, jauh dari rumah
dan orang tua. Ketika aku ber-SMA di Yogyakarta di
zaman revolusi fisik, untuk mendapatkan uang, seusai
sekolah aku melabur dinding yang sudah kusam dari
berbagai toko di Jalan Malioboro. Untuk memperoleh
buku pelajaran secara gratis, setiap pagi kusapu lebih
dahulu "Toko Buku Nasution" sebelum meneruskan
peijalanan ke sekolah. Kurikulum SMA ketika itu pada
umumnya tidak berbeda dengan AMS di zaman Belanda
dan toko buku ini, yang sebagian terbesar bukunya
adalah buku bekas, masih menyimpan semua buku teks
yang dipakai di AMS. Baru saja Perang Dunia Kedua selesai, revolusi
kemerdekaan yang dahulu dimimpikan paman dimulai.
Aku sudah menginjak dewasa dan menggabungkan diri
pada Tentara Keamanan Rakyat. Di tengah-tengah
kemelut peijuangan itulah aku meninggalkan kampung
halaman, meninggalkan emak, pergi ke Jawa untuk
melanjutkan pelajaran yang tersendat-sendat selama
pendudukan Jepang. "Emak kira Jawa berbeda dengan daerah kita," kata
emak sebelum aku berangkat. "Lain padang lain
belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Tetapi Daoed harus
menghormati adat-istiadat daerah lain. Jangan menghina
kebiasaan orang lain hanya karena berbeda dengan yang
selama ini kau lakukan. Usahakan untuk memahami
perbedaan-perbedaan itu. Tapi jangan sekali-kali menjadi
penjilat, menyetujui pendapat seseorang semata-mata
untuk menyenangkan hatinya. Yang harus selalu kau
puaskan adalah hati nuranimu. Ingat ketika di hutan
dahulu jalan bersimpang dua. Jangan ragu-ragu
mengambil jalan yang jarang ditempuh orang banyak."
Dan senada dengan ini bapak menambahkan, "Jangan
pergi merantau kalau tidak berani seperti elang. Hanya
elang yang berani terbang sendirian."
Aku berangkat dengan penuh semangat peijuangan.
Sesekali terdengar bunyi tembakan beruntun yang
semakin mendekat. Tentara Sekutu bertekad menguasai
kawasan Medan Barat, di mana kampungku berada, guna
menghadang laskar dari Aceh menyusup ke dalam kota.
Tidak kusadari ketika itu bahwa kepergianku ini
merupakan permulaan dari rangkaian pengembaraanku
mencari ilmu pengetahuan, semakin jauh dari rumah,
semakin jauh dari emak dan segala kenangan manis
masa kanak-kanak. Tahun-tahun peijuangan yang serba sulit melalu pergi.
Akhirnya Belanda dan dunia mengakui kemerdekaan
Tanah Air. Aku tidak kembali pulang kampung, tetapi
menetap di Jakarta untuk melanjutkan studi di
Universitas Indonesia. Ketika aku pulang untuk pertama
kalinya setelah tujuh tahun merantau, kudapati emak
kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya. Alangkah
berubah penampilan tubuhnya. Emak kelihatan letih dan
memang dia telah bekeija keras semenjak bapak
meninggal pada waktu perang kemerdekaan berkecamuk
di daerah kami. Berita kepergian bapak baru kuterima
tiga tahun setelah kejadian karena komunikasi antara
Jawa dan daerahku terputus, tidak ada sama sekali,
selama revolusi fisik berlangsung.
Aku kembali lagi ke Jakarta dan mendirikan rumah
tangga sendiri setelah studiku hampir selesai. Istriku dari
Yogyakarta, belajar di SMA yang sama dan kemudian
sama-sama melanjutkan studi di Universitas Indonesia.
Sambil mengikuti kuliah kami sama-sama pula mengajar
di SMA untuk mendapatkan uang guna membiayai studi
universiter ini. Walaupun dari daerah lain emak
menerima menantunya dengan penuh kebanggaan.
Emak menangis karena bangga ketika mengetahui bahwa
istriku adalah lulusan perguruan tinggi. Dia bangga
memperoleh anggota baru di keluarga kami, yang cukup
terpelajar dan telah melampaui jenjang-jenjang
pendidikan yang belum pernah dikecapnya sendiri
seumur hidup. Istriku dan aku menjadi tenaga pengajar di lingkungan
almamater kami. Tidak lama kemudian aku mendapat
tawaran beasiswa dari The Ford Foundation untuk
melanjutkan pelajaran di luar negeri. Setelah kutimbang
masak-masak kupilih Sorbonne sebagai tempat menimba
pengetahuan yang lebih tinggi walaupun pimpinan
Fakultas Ekonomi tidak menyetujuinya. Ia lebih menyukai
kalau aku pergi ke Amerika saja seperti staf pengajar
lainnya. Aku ingin tetap menjadi elang seperti pesan
bapak dan bertekad menempuh jalan yang jarang
diambil orang seperti kata emak. Istriku sebenarnya
mendapat tawaran beasiswa dari The Rockefeller
Foundation untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi
mana pun di luar negeri selama tetap dalam disiplin
keilmuan yang selama ini ditekuninya. Namun karena
anak kami baru berusia 15 bulan, masih sangat
memerlukan asuhan sepenuhnya dari seorang ibu, istriku
menolak tawaran itu. "Anak ini telah kita tunggu-tunggu
kedatangannya selama hampir lima tahun," katanya.
"Kini dia telah hadir, berupa titipan Tuhan kepada kita
karena Dia rupanya memang mempercayai kita. Maka
anak ini tak boleh disiasiakan, nanti kualat."
Berhubung dengan kepergianku dengan istri dan anak
ke Perancis, aku sekeluarga terbang kembali ke kota
kelahiranku, di mana emak lebih suka bertempat tinggal,
untuk sekaligus mohon restu dan pamit dari emak. Mata
emak berkaca-kaca ketika aku bersimpuh mengatakan
hal ini kepadanya. Namun dengan lemah lembut dia
berkata, "Dari dulu sudah emak bilang bahwa bapak dan
emak hanya bisa memberikan Daoed rumah, makan dan
pakaian. Bukan ilmu karena kami tak pernah bersekolah.
Allah telah beijanji akan mengajarkan kepada manusia
apa-apa yang tidak diketahuinya. Dengan janji ini
sebenarnya Dia telah mengulurkan tangan-Nya kepada
kita. Bila kita belajar berarti kita telah mengulurkan pula
tangan kita kepada Tuhan agar dibimbing. Bimbingan
ilahiah ini tentu ada karena belajar, menuntut ilmu,
adalah menjalankan ibadah. Maka pergilah mencari ilmu
ke tempat mana pun di mana ilmu itu bisa diperoleh!"
Aku tahu ucapannya ini didasarkan pada ayat kelima dari
surat Al "Alaq dan sabda Rasulullah yang menandaskan
bahwa menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslimin
dan muslimat dan untuk itu kalau perlu pergi ke Negeri
Cina. Emak ingin merayakan kepergianku kali ini secara
meriah seperti dahulu. Karena tangannya sudah terlalu
lemah untuk menggiling rempah dan bumbu, dimintanya
bantuan kedua kakakku menyiapkan makanan
kegemaranku. Makan malam keluarga ini memang cukup
meriah seperti di masa yang lalu. Hanya kalau dahulu
kami semua duduk bersila di lantai beralaskan tikar, kini
semua duduk mengelilingi meja di atas kursi. Memang
bapak sudah tidak duduk lagi di kepala meja, sudah
tiada, tetapi banyak muka baru muncul di sekitar meja.
Suami-suami kedua kakakku, anak-anak mereka, istriku
dan anakku sendiri yang hangat duduk di pangkuan
emak, neneknya. Sekali ini memang terasa berat
meninggalkan emak. Dia sudah semakin tua, wajah dan
tangannya penuh keriput, namun penampilannya di
mataku tetap anggun. Aku tak mampu berbicara,
tenggorokanku seperti tersumbat Ketika hendak
berangkat ke Bandara Polonia, aku cium tangannya
berkali-kali, tangan yang tetap lembut walaupun telah
keriput Tangan yang dahulu menyuapkan makanan ke
mulutku, meminumkan aku obat tatkala sakit Tangan
yang dahulu memandikan aku di sungai sehabis pangkas
rambut, membasuh badanku dengan air hangat setelah
puas berhujan-hujan. Tangan yang selama ini mengurus
diriku dengan penuh kasih sayang dan perlindungan.
Aku pergi menuntut ilmu seperti yang diisyaratkan
oleh Rasulullah, sesuai dengan yang terus-menerus
diingatkan oleh emak, ke negeri yang menjadi pilihanku
sendiri, di lembaga pendidikan yang merupakan
idamanku sejak remaja. (OodwkzoO) BAB 9 EMAK DAN KERETANGIN Saya mau belajar naik keretangin," tutur emak di
tengah-tengah keasyikan makan malam.
"Haaa"!" bapak terhenti mengunyah; kami juga.
Semua mata tertuju kepada emak. Dia sih kelihatannya
kalem saja, seperti tak terjadi apa-apa. "Untuk apa?"
tanya bapak sambil menatap emak terus.
"Untuk bisa pergi lebih jauh dalam waktu yang lebih
singkat dan bisa membawa belanjaan yang agak
banyak," jawab emak dengan lancar sekali. Kelihatannya
pertanyaan seperti ini sudah diduganya lebih dahulu
begitu rupa hingga jawabannya meluncur tanpa pikir lagi.
"Nik, kita ini tidak muda lagi," kata bapak sejenak
kemudian. "Sejak kapan ada pembatasan umur untuk berkeretangin?" sambut emak. "Saya lihat nyonya-nyonya
Belanda yang lebih tua daripada saya naik keretangin
kesana-ke-mari. Dan badannya gemuk gemuk lagi."
"Ya itulah, mereka lain sih ?"
"Lain bagaimana" Mereka dan kita sama-lama
manusia. Bedanya kan cuma di warna kulit. Akan saya
buktikan bahwa saya pun bisa berkeretangin seperti
perempuan-perempuan Belanda itu."
"Bukan itu yang saya maksud," bantah bapak. "Tapi
reaksi orang-orang kampung kita sendiri."
"Ah, paham saya sudah." Emak cepat menangkap apa
yang ada di benak bapak. "Biarkan perempuanperempuan sini menggunjing di belakang saya. Heran,
kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai
katak di bawah tempurung."
"Baiklah, asal kita hati-hati saja," nada suara bapak
sudah lebih merendah. "Jalan-jalan raya semakin ramai."
"Jangan khawatir Nik. Saya tahu benar sekarang ini
kendaraan yang lalu- lalang kelihatannya terus
meningkat." Kami semua tahu, terutama bapak, betapa kerasnya
ke-mauan emak. Kalau keinginannya sudah bulat, tak
seorang pun bisa mencegahnya. Dia pasti akan terus
berusaha mewujudkannya. Tanpa diminta dia lalu
membeberkan rencana keijanya. Dia akan segera
membeli sebuah keretangin bekas untuk dipakai selama
belajar oleh semua. Mula-mula emak sampai mahir.
Sesudah itu baru anak-anak, berurutan menurut umur,
dengan bimbingan emak. Bapak tidak ikutan karena tidak
berminat. Kalau semua sudah bisa berkeretangin dengan
baik, emak akan membeli sebuah keretangin baru yang
bisa dipakai seisi rumah sesuai dengan keperluan
masing-masing. Untuk ini emak sudah punya tabungan
yang cukup, hasil jahitan dan sesekali katering selama
ini. Jadi tidak mengganggu uang belanja rumah yang
berasal dari penjualan susu lembu.


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, emak belajar dengan tekun seperti biasa,
Sesuai dengan dugaan bapak, M. ramai dibisikkan
para tetangga di sana-sini, emak memakai seluar
panjang dan bukan kain, untuk memudahkan naik-turun
keretangin. Dengan memakai blus dan benseluar panjang
itu, emak di mataku kelihatan lebih langsing.
"Tingkah-lakunya seperti noni dan nyonya Belanda
saja," bisik perempuan-perempuan di kampungku
melihat emak berpakaian seperti itu. Tak tahu diri," sindir
mereka. Malah ada perempuan dan anak-anak yang
tinggal jauh dari rumah kami berdatangan dengan
sengaja menonton emak belajar dan bersorak-sorai kalau
dia terpeleset jatuh. Tetapi emak tidak peduli. "Lebih baik waktu yang
senggang dipakai untuk belajar sesuatu daripada
digunakan untuk duduk-duduk bersusun di anak tangga
sambil mencari kutu dan bergunjing," kata emak berkalikali kepada kami. Setelah keseimbangan sudah betulbetul dikuasainya, emak dengan sengaja berkeretangin
keliling kampung dengan berbaju rok seperti yang lazim
dipakai oleh perempuan-perempuan kulit putih.
Rambutnya yang masih lebat dan panjang, masih hitam
kemilau, dikepang dua dan kemudian dijalin menjadi
sebuah sanggul yang sangat serasi dengan bentuk wajah
dan postur badannya. "Amboi, emak cantik nian," bisik kakak-kakakku.
"Memang pantas "jadi istri pendekar."
Kurasa kecantikan emak ini sampai mengkamuflase
ke-bututan keretangin bekas yang dikayuhnya. Hari itu
emak menjadi perempuan pertama di kampungku yang
bisa naik keretangin. Namun jangankan di kampung, di
seluruh kota saja jarang sekali terlihat ada perempuan
pribumi berkeretangin yang sebaya dengan emak. Sesuai
dengan janjinya, emak lalu dengan sabar mengajar kami
satu per satu bagaimana naik keretangin.
"Ingat," kata emak memberikan petunjuk berdasarkan
pengalamannya. "Keretangin adalah kendaraan beroda
dua. Kalau ia berhenti, keseimbangannya akan hilang
dan bisa jatuh kalau tidak ditahan. Maka penting sekali
menjaga keseimbangan ini agar kalian tidak jatuh. Kalau
keretangin sudah dikayuh, miringkan badan ke arah ia
berbelok supaya kalian tidak jatuh. Bila badan
dimiringkan ke arah yang berlawanan, kalian akan
kehilangan keseimbangan dan bisa jatuh."
Walaupun telah dibekali dengan petuah-petuah ini,
ternyata tidak gampang menguasai keseimbangan
tersebut pada awalnya. Kak Marni sampai membentur
pohon kelapa. Kak Ani beberapa kali menyerempet pagar
rumah dan aku sendiri sempat menubruk kereta lembu.
Karena masih kecil, tapak kakiku masih belum mantap
nempel di pedal, apalagi menjejak tanah kalau berhenti.
Sesudah kami semua mahir berkeretangin, emak
memutuskan untuk menjual kembali keretangin butut
yang sudah berjasa ini dan sebagai gantinya membeli
sebuah keretangin perempuan yang baru.
Maka pada hari Minggu kami semua-emak, bapak dan
anak-anak"pergi beramai-ramai ke Kampung Keling. Di
sini ada toko merangkap bengkel keretangin milik Haji
Moeis yang telah dikenal oleh orang tuaku. Mereka
dahulu bertetangga baik sebelum emak dan bapak
pindah dari Kampung Kubur yang bersebelahan dengan
Kampung Keling. Mereka kelihatan akrab sekali dan
karena sudah lama tidak saling bertemu, percakapan dan
senda-gurau mereka melulu mengenai kehidupan masa
lalu yang kedengarannya begitu rukun, aman dan
tenteram. Emak akhirnya mengutarakan keinginannya membeli
keretangin baru dan sekaligus mengembalikan yang
bekas, yang dibelinya dari sini juga beberapa bulan yang
lalu. Emak ingin memiliki kendaraan yang kuat Kalau
bicara kekuatan, menurut Haji Moeis, tinggal memilih
antara Fonger atau Gazelle yang buatan Belanda atau
Raleigh bikinan Inggris. Kekuatan antara ketiganya boleh
dikatakan sama, harganya pun tak jauh berbeda.
"Kalau begitu saya pilih Raleigh," kata emak dengan pasti
"Mengapa?" tanya Uak Haji.
"Gampang saja," jawab emak. "Bila ada pilihan dan
boleh memilih, saya pilih yang bukan buatan Belanda.
Supaya si Belanda ini tahu kita tidak mau terus
membebek kepadanya. Belanda ini kan setali tiga uang
dengan Kompeni." "Wah, wah, keras kepala juga kau ini Si"ah. Sama saja
dengan si Ucup," kelakar Uak Haji. "Dan kau Daoed, kau
tentunya keras kepala juga, ya"!"
Aku diam saja. Kakak-kakakku mengangguk-anggukkan kepala mereka tanda membenarkan. Emak dan
bapak tersenyum-senyum belaka.
Setelah harga keretangin dibayar emak menyuruh
kakak-kakakku mengayuhnya pulang. Diserahkan kepada
mereka sendiri untuk menentukan siapa yang mengayuh
dan siapa yang membonceng atau bergantian. Sebelum
berangkat emak menanyakan mereka apa-apa aturannya
berkendaraan di jalan raya bagai hendak menguji. Kak
Mami menjawab lebih dahulu. "Jalan harus di kiri. Kalau
hendak mendahului kendaraan yang berada di depan
harus dari sebelah kanan, memperhatikan baik-baik yang
datang dari arah yang berlawanan karena ia yang berhak
lewat lebih dahulu. Kalau tiba di persimpangan dan mau
belok, jalan pelan-pelan atau berhenti, kemudian lihat ke
kanan ke kiri dan ke depan, baru belok. Kalau perlu
berikan tanda dengan tangan."
"Baik, berangkatlah," kata emak. "Hati-hati di jalan.
Kami beijalan kaki saja. Dalam tempo dua jam kami
sudah sampai di rumah."
"Belikan kami roti kelatak ya, Mak. " Kedua kakakku
tahu persis bahwa kami akan melewati toko roti sebelum
melintasi jembatan Titi Berlian. "Permisi dulu Uak Haji."
Dan sambil menaiki keretangin, mereka masih sempat
mengganggu aku. "Mak, jangan lupa memandikan si
Daoed di sungai. Tadi pagi dia belum mandi. Badannya
sudah dekil!" Haji Moeis, emak dan bapak tertawa mendengar olokolok ini. Uak Haji berkata kepada emak, "Hebat juga
Si"ah mendisiplinkan anak-anakmu sebelum kau suruh
pulang tadi" "Oh, dengan menanyakan mereka peraturanperaturan beijalan di jalan raya itu?"
"Ya, itulah yang saya maksud."
"Bang Haji, biar mereka tahu sejak kecil bahwa hidup
ini perlu tertib. Dan untuk itu ada aturan-aturan yang
harus ditaati." Kami bersalaman sebelum meninggalkan
toko keretangin ini. Seisi rumah bangga dengan Raleigh pilihan emak.
Sebuah keretangin perempuan berem tromol serta
berlampu berko dan ban roda yang bergaris putih. Bila
didayung rasanya lebih ringan daripada keretangin yang
kami pakai belajar dahulu. Emak mengharuskan kami
bergantian mengelapnya setiap hari. Dengan
mengendarainya emak sekarang bisa mencapai tempattempat yang relatif jauh. Setiap waktu dia bisa pergi ke
Centrale Passer membeli bahan-bahan yang kami
perlukan tetapi tidak tersedia di kedai-kedai Cina yang
ada di kampung kami, misalnya daging, mentega dan
rempah-rempah serta bumbu tertentu. Ke kampung kami
tidak pernah datang penjaja keliling yang menjual
daging. Yang datang setiap pagi hanya membawa ikan,
bahkan sampai dua atau tiga kali sehari kalau sedang
musim ikan kembung. Maka bila emak hendak belanja di Centrale Passer ada
saja tetangga yang titip ini atau itu, termasuk orangorang yang pernah mencibirkan emak ketika dahulu
belajar naik keretangin. Tetapi emak menerima titipan itu
dengan lapang dada. "Emak ini bagaimana sih"!" protes Kak Mami. "Dulu
orang-orang ini menertawakan kita."
"Ya Mak, tolak saja!" sambung Kak Ani dengan nada
kesal. "Betul Mak," sahutku tak kalah garang. "Bekot saja!"
"Ah tak perlu," kata emak. "Kalaupun perbuatannya
dahulu itu bisa dianggap suatu dosa, mereka sudah
menebusnya dengan sebuah hukuman."
"Hukuman"!", kami ternganga heran.
"Ya, hukuman. Dengan terang-terangan meminta
bantuan emak, mereka sudah menjilat kembali ludah
mereka sendiri. Itulah hukuman itu. Mereka sebenarnya
lebih pantas dikasihani daripada dibenci. Mereka sudah
menyesal tetapi malu mengatakannya. Tadi waktu
berbicara dengan emak, mereka pada umumnya tak
berani lagi menatap mata emak."
"Tetapi kalau terus-menerus titip dan macam-macam
lagi, bawaan kita kan tambah berat," tukas kakak lagi.
"Bisa teruk awak dibuatnya."
"Membantu orang sesuai dengan kemampuan adalah
satu kebajikan," nasihat emak "Dan keretangin ternyata
bisa membantu kita meningkatkan bantuan sampai ke
titik kemampuan yang ada."
Setengah tahun kemudian ketika aku naik ke kelas
empat sekolah dasar Melayu, emak membuat sebuah
kejutan. Emak membelikan aku sebuah keretangin untuk
remaja. Ukurannya lebih rendah dan roda-rodanya juga
lebih kecil daripada keretangin yang biasa dipakai oleh
orang-orang dewasa. Jadi kalaupun aku menaikinya
dalam keadaan berhenti, telapak kakiku bisa menyentuh
tanah dengan badan dimiringkan sedikit Keretangin
seukuran ini masih langka dalam lalu lintas kota.
Umumnya hanya dipakai oleh anak-anak Belanda. Maka
walaupun yang diberikan emak ini bukan barang bam,
menurut Uak Haji Moeis pernah dipakai seorang sinyo
yang baru saja pulang ke Belanda, aku merasa tetap
bergengsi memilikinya. Lagi pula keretangin ini hanya
untuk dipakai tiga atau empat tahun saja, sesudah itu
yang kuperlukan adalah keretangin orang dewasa.
Salah satu tempat berbelanja yang semakin sering
bisa dikunjungi emak berkat adanya keretangin adalah
toko Seng Hap di Kesawan. Ia merupakan toko provisien
en dranken yang terbesar dan terlengkap di Medan.
Tidak mengherankan kalau toko ini ramai dikunjungi oleh
nyo-nya-nyonya Belanda. Sebagian terbesar dari mereka
datang dengan berkeretangin, yang diparkir rapi di
halaman toko yang menyatu dengan trotoar. Kalau
sekolah sedang libur emak mengajakku ke toko ini dan
keretangin kami parkir berjajar dengan yang dimiliki oleh
nyonya-nyonya itu, satu-satunya Raleigh di antara
Fonger dan Gazelle yang ada. Karena jarang sekali orang
pribumi yang berbelanja di toko ini, emak sangat diingat
oleh para pelayan toko dan dilayani dengan baik sekali.
Suatu ketika, di saat kami sedang mengeluarkan
keretangin dari barisannya setelah menata keranjang
belanjaan di boncengannya, seorang nyonya yang
sedang menuntun keretangin terpeleset, jatuh dan
tertimpa kendaraannya itu. Rupanya tumit sepatunya
telah menginjak kulit pisang yang tercecer di trotoar. Aku
melompat mengangkat keretangin yang menghimpit
tubuhnya dan emak berusaha membantunya berdiri.
Nyonya itu kelihatan sangat kesakitan kalau
menggerakkan kakinya. Telapak kakinya pasti terkilir dan
emak lalu memapahnya ke dalam toko.
Setelah mendudukkan perempuan Belanda ini di
bangku dengan bantuan seorang pelayan toko, emak
mulai mengurut pelan-pelan telapak kaki yang terkilir.
Pelayan toko yang tadi membantu datang lagi dengan
membawa sebotol kecil obat gosok Cina. Perempuan
Belanda itu menolak karena baunya tajam menyengak
hidung. Tetapi akhirnya dia tidak keberatan dioles
dengan minyak ini setelah emak memberikan sekedar
penjelasan. Setelah diurut selama lebih kurang setengah
jam, diselang-seling jalan dan urut berkali-kali, dia
berkata tidak merasakan sakit lagi. Walaupun begitu
emak melarangnya berkeretangin sekarang dan
sebaiknya menelepon rumahnya agar dijemput. Sebelum
meninggalkan dia di toko, emak menganjurkannya untuk
segera ke dokter. Dengan wajah berseri-seri nyonya
Belanda ini menjabat tangan emak, menggenggamnya
lama sekali sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali
dan meminta alamat kami. "Wah emak berani menasihati orang Belanda," kataku
di tengah peijalanan pulang.
"Mengapa tidak," sahut emak. "Itu demi kebaikannya
sendiri. Lagi pula biar dia sadar bahwa kita pun tahu cara
pengobatan yang sesuai dengan kemajuan zaman."
Kira-kira sepuluh hari kemudian, pada suatu hari
Minggu, masuk sebuah mobil ke kampung kami dan
berhenti persis di muka rumah orang tuaku. Karuan saja
penduduk kampung gempar. Inilah mobil yang pertama
kali masuk kampung kami dan seingatku ternyata
merupakan satu-satunya selama bertahun-tahun sesudah
itu, lewat lambat-lambat dijalan tanah yang belum
diperkeras oleh apa pun, dikendarai oleh orang Belanda
dengan sopir bumiputera. Para tetangga mengira akan
ada penangkapan atau penggeledahan. Setelah pintu
mobil dibuka oleh supir, yang keluar lebih dahulu adalah
perempuan Belanda yang pernah diurut emak di toko
Seng Hap, kemudian seorang laki-laki bule yang
belakangan ternyata adalah suaminya dan seorang noni.
Kami sekeluarga ketika itu sedang berada di halaman
depan, asyik mengagumi bunga-bunga tanaman emak
yang sedang mekar penuh warna dan anggrek merpati
yang beijuntaian dari dahan pohon jambu. Mereka
memperkenalkan diri sebagai keluarga Jansen dan
anaknya bernama Rietje.

Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami cepat menjadi akrab karena mereka bisa
berbahasa Melayu. Mereka kami ajak berkeliling
halaman, yang penuh dengan aneka ragam pohon bunga
di bagian depan kanan dan kiri serta pohon buah-buahan
di sebelah belakang. Nyonya Jansen ingin membeli bibit
bunga termasuk berbagai jenis suplir, yang oleh emak
diberikan begitu saja sebagai kenangan. Namun ketika
melihat taplak meja dan hiasan dinding hasil sulaman
dan bordiran emak serta kakak, Tuan dan Nyonya Jansen
mengharap sekali boleh membelinya beberapa helai.
Terutama Nona Rietje yang kelihatan sangat tertarik
pada hasil-hasil kerajinan tangan itu. Sebelum pulang
mereka menyerahkan sekeranjang oleh-oleh makanan
Belanda seperti keju, jem, mentega, buah apel dan
anggur. Sepeninggal mereka, atas pertanyaan beberapa
perempuan tetangga yang sejak tadi bergerombol dan
ingin tahu untuk urusan apa keluarga Belanda itu
bertandang ke rumah kami, emak menjawab singkat,
"Kami saling menceritakan betapa nikmatnya
berkeretangin keliling kota dan berbelanja murah di
pasar sentral." (OodwkzoO) BAB 10 EMAK DAN ORANG INDEKOS Dua tahun setelah Paklik Leman dibuang ke Digoel
emak dikunjungi oleh Mas Singgih. Emak masih
mengingatnya sebagai salah seorang dari tokoh-tokoh
pergerakan dari Jawa yang dahulu pernah diperkenalkan
oleh paman. Mas Singgih bertanya apakah dia boleh
indekos di rumah tanpa makan dan cuci pakaian, hanya
menumpang tidur, selama delapan atau sembilan bulan.
Barang yang dibawanya kulihat tak banyak. Satu kopor
rotan tempat pakaian dan satu kopor kulit berisi buku
dengan beberapa kitab tulis. Dia mengatakan akan sering
bepergian. Kalau hanya demikian emak tidak keberatan.
Bahkan tanpa diminta emak akan menyediakan air untuk
minuman sehari-hari dan teh atau kopi setiap pagi bila
dia sedang ada di rumah. Begitu emak menyatakan tidak
keberatan Mas Singgih segera melunasi uang kosnya
untuk selama tiga bulan mendatang.
Kebetulan ada satu kamar yang segera bisa ditempati.
Ia tidak selantai dengan bagian utama dari rumah
panggung di mana kami hidup sehari-hari sebagai suatu
keluarga. Ia tergolong pada bagian dapur dan dahulu
dipakai berkali-kali untuk menyimpan apa-apa yang
dipanen serba banyak dari ladang. Telah beberapa waktu
ia dibiarkan kosong. Emak telah mengantisipasi
kebutuhanku akan sebuah ruangan khusus bila temanteman datang untuk belajar bersama. Ia mempunyai dua
pintu. Yang satu menghadap ke dapur dan yang satu
lagi, sama dengan jendelanya, menghadap ke halaman
samping rumah. Jadi melalui pintu ini penghuni atau
pemakai kamar dapat keluar masuk, datang dan pergi,
dengan leluasa lewat halaman samping. Dengan begitu
kebebasan dan privasi, baik bagi kami pemilik rumah
maupun buat penghuni kamar kos, tetap terjamin.
Tambahan lagi di halaman ini pula terletak sumur, kamar
mandi, tempat mencuci dan menjemur pakaian serta
jamban. Mas Singgih tidak setiap hari ada di kamarnya. Dia
memang kerap bepergian sampai berhari-hari. Kalau
pulang dia segera mencuci baju dan kemudian
menyendiri di kamar, membaca atau membuat catatancatatan. Dia adalah seorang yang sangat sopan dan
santun. Dia mengaku lebih muda daripada Pakeik Leman,
tetapi kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya sendiri.
Tubuhnya agak bungkuk, tidak seperti paman,
berkacamata tebal dan selalu berpenampilan rapi.
Walaupun lemah lembut dalam berbicara, kalau
pembicaraan sudah menyinggung soal penjajahan dan
kemerdekaan, sama dengan paman, nada suaranya
semakin meninggi dan sorot matanya kian berapi-api
Di antara keluargaku, akulah yang ternyata paling
banyak bergaul dan berbicara dengan dia. Dan hal ini
mula-mula tidak dikehendaki emak. Emak takut kalaukalau aku sampai mengganggunya mengingat dia selalu
kelihatan serius, terus-menerus disibukkan oleh penulisan
yang kelihatannya tak kunjung selesai Maka kalaupun dia
tidak keberatan bila aku dekati, emak khawatir kalau dia
sebenarnya berbasa-basi belaka, karena segan saja,
berhubung aku adalah anak pemilik rumah.
"Ah, tak betul itu, Mak," kataku membantah dugaan
emak. "Malah dia sendiri yang mengatakan agar saya tak
segan-segan datang ke kamarnya kalau dia sedang di
rumah. Sesudah tiga kali kami berbicara, dia menyatakan
saya adalah anak yang cerdas."
"Wah, wah, baru tahu emak punya anak laki-laki yang
cerdas," kata emak menggoda.
"Wadduuuh, mangkaklah dia dibilang cerdas," sahut
Kak Mami turut mengganggu sambil membelai-belai
rambutku. "Makin tak mandilah adikku yang satu ini
kalau hari Minggu." "Buat apa mandi, begitu saja dia sudah cerdas,"
sambung Kak Ani, ikut menyindir.
Minggu pagi ini kami bertiga sedang mengelilingi emak
di dapur, memperhatikan dia asyik menyiapkan hidangan
untuk makan siang nanti. Kamar Mas Singgih yang
bersebelahan dengan dapur ini sudah beberapa hari
kosong. Seperti biasa dia kiranya sedang bepergian
membereskan urusannya. "Kalau Daoed benar-benar anak cerdas, tentu dapat
menyimpulkan dengan baik apa-apa yang kau bicarakan
dengan Mas Singgih selama ini," kata emak dengan
sungguh-sungguh. "Ceritakanlah sekarang, mumpung
adikmu tidak rewel dan mau dijaga si Amisha."
"Ya, kami pun akan turut mendengarkan," kedua
kakakku ikut berkesungguhan. "Emak selalu bilang
bahwa pengetahuan yang tidak dibagi dengan orang lain
menjadi kekayaan yang hilang dari akal."
"Sebagai keseluruhan saya baru delapan kali berbicara
dengan Mas Singgih," kataku, "Bahasa Melayunya payah
Mak, tersendat-sendat. Bolak-balik dia membalik-balik
kamus Belanda-Melayu untuk menemukan kata-kata
yang pas. Kelihatannya dia lebih lancar berbahasa asing,
seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis. Sayang
saya baru setahun di Schakelschool. Andaikata bahasa
Belanda saya sudah baik dan dia, karena itu, bisa
bercerita dalam bahasa Belanda ini, tentu pengetahuan
saya sudah bertambah jauh lebih banyak lagi. Mana saya
sering meminta diulang-ulang bahan pembicaraannya
karena masih sulit saya tangkap. Namun yang pasti dia
mengatakan keharusan kita untuk beijuang
memerdekakan diri dari penjajahan Belanda."
"Ah, Pakcik Leman juga dulu terus-menerus
mengatakan begitu," komentar Kak Marni. "Jadi bukan
hal baru." "Benar, Kak. Dulu saya memang kurang acuh.
Sekarang saya sudah lebih mampu memahaminya. Kalau
Pakcik lebih menitikberatkan masalah-masalah yang
berhubungan dengan penjajahan, Mas Singgih sangat
memberikan tekanan pada masalah kemerdekaan. Pada
asasnya sih pikiran mereka saling melengkapi."
"Apa masalah kemerdekaan itu?", tanya emak.
"Berkenaan dengan apa yang harus kita perbuat
dengan kemerdekaan atau sesudah kita merdeka."
"Apa itu menurut dia?" Kedua kakakku sudah tak
sabar rupanya. "Kita harus bisa mewujudkan sebuah Negara
berbentuk Republik dan seiring dengan ini kita harus
menegakkan Demokrasi. Republik dan Demokrasi,
sebuah pasangan politik, bagai lepat dengan daun, dapat
dibedakan namun berupa satu kesatuan."
"Kalau begitu coba ceritakan kembali sekarang kepada
kami apa yang dimaksudkan dengan kata-kata tersebut.
Bayangkan dirimu bagai seorang guru yang sedang
berada di depan kelas," tutur emak.
"Kata Demokrasi berasal dari kata Yunani yang
bermakna kekuasaan rakyat atau rakyat yang berkuasa,
karena rakyatlah yang berdaulat dalam Negara yang kita
bangun di alam kemerdekaan nanti. Negara tersebut
adalah Republik, berasal dari kata Latin, yang berarti
urusan atau perkara bersama, atau kepentingan umum,
yaitu rcs publi-ca. Pada awalnya dahulu Republik adalah
Negara apa saja asalkan diatur oleh undang-undang.
Dewasa ini Republik, di samping Negara Hukum,
bermakna persekutuan politik berdasarkan
penggabungan secara bebas dari orang-orang pada
suatu cita-cita yang disepakati bersama."
"Apa yang dimaksudkan dengan Negara Hukum?",
tanya Kak Marni. "Apabila di Negara ini hukum berada di atas Pemimpin
Tertinggi pemerintahan atau Kepala Negara. Dengan
perkataan lain, lebih persis lagi, apabila Pemimpin
Tertinggi atau Kepala Negara tarsebut sebenarnya
bukanlah seorang manusia yang bertulang dan
berdaging, tetapi suatu abstraksi, yaitu undang-undang.
Dengan begini tampang, gambar atau potret Pemimpin
Tertinggi atau Kepala Negara bukanlah melukiskan
seseorang, tapi menampilkan suatu NILAI," kataku.
"Kalau undang-undang ini begitu tinggi, begitu
menentukan, siapa yang membuatnya?" tanya emak.
"Ya, rakyat tadi, Mak," jawabku tegas meniru-niru Mas
Singgih. "Siapa rakyat ini" Apa kita-kita ini?"
"Ya, kita-kita inilah. Dalam artian luas, rakyat adalah
keseluruhan perorangan atau individu yang hidup di
wilayah nasional dan tunduk pada peraturan
perundangan yang sama. Jadi ia merupakan unsur-unsur
yang hidup dari bangsa. Dalam artian sempit namun
lebih persis, rakyat adalah suatu pribadi atau person
yuridis." "Mengapa ada dalam artian luas dan artian sempit?"
tanya emak. "Karena pengertian yang luas dari apa yang
dimaksudkan dengan rakyat ini meliputi perorangan yang
sebenarnya tidak berdaulat, tidak punya hak atas
kedaulatan rakyat. Mereka ini adalah orang-orang asing,
warga negara yang cacat mental, yang pernah dihukum
karena berbuat kejahatan dan yang masih di bawah
umur, dalam artian belum dianggap dewasa atau akil
balig, yaitu 18 tahun."
"Bila demikian kita bertiga ini tidak merupakan bagian
dari rakyat yang berdaulat?" tukas Kak Marni.
"Dalam artian yang sempit pasti tidak. Kita bertiga,
Kak Mami, Kak Ani dan saya, kita-kita ini merupakan
bagian dari penduduk, bagian dari semua orang yang
hidup di Negara Republik, dengan atau tanpa hak-hak
politik. Kalau nanti undang-undang menetapkan ukuran
kedewasaan politik itu 16 tahun, misalnya, Kak Mami lalu
berhak memilih dan dipilih, menjadi salah seorang dari
jutaan rakyat yang berdaulat. Maka itu dalam artian yang
sempit, seperti dikatakan tadi, rakyat adalah suatu
person yuridis. Ia merupakan penyatuan para warga
negara yang memperoleh hak untuk ambil bagian dalam
kekuasaan dan dalam kedaulatan, yaitu
kekuasaan/kedaulatan membuat undang-undang, dari
mana diturunkan hukum yang mengatur berbagai bidang
kehidupan, hak untuk memilih dan dipilih. Jadi bila
penduduk pada asasnya merupakan sebuah foto, rakyat
merupakan sebuah film, karena ia adalah suatu
dinamika, yang sarat dengan sejarah dan peijalanan
nasib serta pasang surut kehidupan, harapan, kejutan.
Bagi kita kelak, rakyat ini bukan sekedar kumpulan sukusuku. Kelak tetap ada orang atau penduduk atau
masyarakat Aceh, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain,
tetapi di Negara Republik Indonesia nanti tidak akan ada
lagi rakyat Aceh, rakyat Minangkabau, rakyat Batak atau
rakyat Jawa. Yang ada adalah Rakyat Indonesia karena
RAKYAT pada asasnya tidak terbagi-bagi. RAKYAT adalah
BANGSA kita sebagai suatu keseluruhan."
"Bila demikian si Rakyat ini memilih apa dan dipilih
untuk apa?" tanya emak dan kakak-kakakku hampir
serentak. "Berbagai jabatan politik, kenegaraan dan
pemerintahan. Yang terpenting, misalnya, memilih
Kepala Negara, yang dalam suatu Republik disebut
Presiden. Setiap warga negara yang dianggap punya
kualitas kepemimpinan, punya hak untuk dipilih oleh
rakyat. Namun demokrasi ini tidak hanya terletak pada
cara pemilihan tetapi juga pada cara perhitungan
suaranya. Kalau si pemilih itu adalah saya yang
merupakan salah seorang dari lima juta rakyat yang
berhak memilih, misalnya, maka saya berarti merupakan
seperlima juta dari Presiden yang terpilih itu. Maka itu
asas pokok dari Republik adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian
setiap pemerintah secara alami memang menjadi tidak
pasti dan bisa diganti. Rakyatlah yang merupakan satusatunya pengontrol yang tidak bisa diganti dan
permanen." "Wah repot juga keija kita sesudah merdeka itu,"
komentar kakak-kakakku. "Sedangkan menurut Mas Singgih, yang tidak kalah
repot dan berat dari semua itu adalah persiapanpersiapan yang harus kita lakukan sejak sekarang,
sebelum kemerdekaan terwujud, yang sangat
menentukan kesuksesan pembentukan Republik dan
penegakan Demokrasi di alam kemerdekaan kelak."
"Misalnya apa?"


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menempa kita-kita yang sudah berada di Hindia
Belanda ini secara turun-temurun menjadi satu bangsa,
yaitu Bangsa Indonesia."
"Ya, dahulu Pakcik tak bosan-bosannya mengatakan
hal itu, termasuk kesulitan dan haiangan-halangannya."
"Menurut Mas Singgih, kesulitan dan halangan
tersebut bukan hanya karena di sini kita mengenal begitu
banyak suku, mempunyai aneka ragam budaya dan
agama serta berbagai macam bahasa, tetapi terutama
berasal dari per-bedaan-perbedaan yang begitu besar
dalam keterpelajaran rakyat kita. Maka itu pendidikan
dianggapnya menjadi sangat penting dan menentukan
bagi keberhasilan kita menyelesaikan persiapanpersiapan yang diperlukan di banyak bidang sebelum
kemerdekaan." "Kalau begitu apa-apa yang kalian lakukan ternyata
tepat dan betul sekali," kata emak. "Kalian sudah
bersekolah dan rajin-rajinlah belajar supaya bisa menjadi
rakyat yang bisa diandalkan kelak. Kalau benar Mas
Singgih merasa tidak keberatan bila didekati, Daoed
sebenarnya punya kesempatan untuk banyak belajar dari
dia, lebih-lebih tentang hal-hal yang mungkin tidak akan
diajarkan di sekolah. Emak rasa dia bukan tipe pokrol
bambu yang sangat tidak disenangi oleh bapak dan
pakcikmu. Emak bahkan berkesimpulan dia benar-benar
terpelajar, benar-benar tahu apa-apa yang
dibicarakannya dan berasal dari keluarga bukan
sembarangan di Jawa sana."
"Emak sudah tanyakan kepada Mas Singgih tentang
hal-ihwal keluarganya itu?" tanya Kak Marni.
"Belum," jawab emak, "tak baik langsung menanyakan
hal-ihwal pribadi seperti itu di saat baru berkenalan.
Firasat emak saja yang membisikkan demikian. Dan yang
sudah-sudah firasat ini tidak pernah meleset bila
mengenai tabiat dan budi orang. Namun pada waktunya
kelak tentu akan emak tanyakan."
Kami semua diam saja. Kami tahu ucapan emak selalu
benar. "Nah, untuk sementara sekian dahulu," sambung
emak, "kapan-kapan kita lanjutkan lagi. Rasanya tambah
juga pengetahuan emak. Sekarang biarkan emak
menyiapkan tauco ikan kembung untuk kawan nasi siang
ini." "Horeee!" teriak kami serentak. Kami memeluk emak
berbarengan, bergelantung di lehernya yang jenjang.
"Aih, aih, sudahlah. Emak mau jatuh rasanya karena
ulah kalian ini." Emak mencium kami di pipi satu persatu
bergiliran. "Kalian sudah besar-besar, sudah berat."
Walaupun berkata begitu tangannya tetap memeluk kami
erat-erat "Kau, Daoed, pergi sekarang ke kandang
lembu," katanya sambil melepaskan pelukannya.
"Sampaikan pesan emak kepada bapak supaya pulang
sebelum zuhur agar kita bisa makan bersama-sama. Kau
Marni, cari di halaman daun ubi dan suring dan terong
atau apa saja yang bisa dijadikan lalap. Ani bantu emak
mengiris cabai dan bawang. Emak mau ke kamar
sebentar menyusukan adikmu."
"Hai Daoed," tegur Kak Marni, "begitu pulang dari
kandang kau harus cepat-cepat mandi. Hilang selera
awak kalau makan bersama-sama orang yang masih bau
iler!" "Amboooi, kejam kalilah encik kita yang satu ini.
Mandinya sehabis makan sajalah yaaa. "Pan hari
Minggu!" kataku sambil berlari menjauhi jangkauan Kak
Marni agar tidak tertangkap olehnya. Aku senang benar
menggoda kakak yang satu ini. Aku tahu benar dia yang
paling memanjakan aku sehari-hari. Walaupun dia jarang
tersenyum, seperti bapak saja, tetapi tingkah-lakunya
selembut emak. (OodwkzoO) BAB 11 EMAK DAN KEBEBASAN BERNEGARA MERDEKA
Pada suatu malam ketika kami sekeluarga sedang
duduk-duduk di serambi depan sehabis makan, Mas
Singgih lewat di halaman samping menuju ke kamarnya.
Karena jarang sekali bertemu, emak dan bapak
mempersilakannya mampir. Dia tidak menolak.
"Sudah lama juga tidak kelihatan Mas Singgih," kata
emak memulai pembicaraan setelah dia turut duduk
bersila sehabis menyalami kami satu per satu.
"Saya sedang menjelajahi perkebunan-perkebunan
yang ada di Sumatra Timur ini, ya kebun tembakau, ya
kebun kelapa sawit, ya kebun karet. Tentu saja saya
melakukan itu dengan sembunyi-sembunyi. Untung
sebagian terbesar dari kuli-kuli kebun itu berasal dari
Jawa. Pembicaraan saya dengan mereka bisa lancar dan
mereka sangat kooperatif."
"Hati-hati lho, Mas," kata bapak. "Selalu ada matamata di perkebunan. Belum lagi centeng-centeng Cina
yang selalu siap menangkap orang-orang luar yang
berkeliaran di kebun."
"Benar sekali Pak Joesoef. Tapi saya ingin memastikan
apakah poenale sancties betul-betul sudah tidak
dipraktekkan lagi di perkebunan-perkebunan itu.
Hukuman yang tidak berperikemanusiaan itu dicabut
Sepasang Rajawali 2 Golok Halilintar Karya Khu Lung Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 4

Cari Blog Ini