Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 3
Aku minta maaf! Aku lupa! Aku minta maaf."
Nyamuk-nyamuk sudah keluar. Dua kelelawar terbang di bawah lampu jalan. Lampu
merah pesawat berkedap-kedip di langit.
Di Wizard OfOz, penyihir jahat akhirnya meleleh dan mantranya terlepas dan kerakera terbang itu jadi baik. Mereka bahkan bukan kera; mereka manusia.
Ayah kandung kami bisa siapa saja. The Rifleman.
Atau sopir bus ramah yang menemukan permen di telinga kami.
Atau bahkan pilot pesawat yang terbang di langit itu. Aku berlari-lari di
halaman belakang, melambai-lambaikan tanganku sehingga dia bisa melihat kamiThomas, Ma, dan aku. Ayah kandung kami bisa siapa saja di dunia ini.
Siapa saja kecuali Ray. Enam Hai, Dominick, Thad dan aku pergi ke keias mixology, kami befajar minuman krim maiam ini! Tebak
siapa yang menelepon" CONNIE CHUNG!!
Dia ingin mewawancarai kakakmu. (Detailnya nanti!)
Jika kau makan salah satu Lean Cuisine/cu buat makan malam, jangan makan
\asagr\anya ya. Makasih! Love, Joy. P. S. Telepon Henry Rood!!! (Pria itu mengesalkan sekali!)
Aku membaca pesan itu sepintas lalu. Otakku masih dipenuhi pengalaman dan suarasuara dari Hatch: rantai di kaki Thomas, Alkitab lusuhnya melewati mesin X-ray.
Aku berjalan mondar-mandir di kondominium, menurunkan penutup jendela,
menyalakan lampu. Ketika melewati TV, aku menyalakannya untuk mengurangi
kepenatan otakku. Di kamar tidur, aku melepaskan jinku dan memakai celana panjang kaus. Jika
badanku terasa sakit sekarang, besok mungkin aku akan merasa jauh lebih buruk. Hal pertama yang
aku lakukan besok adalah mengeluarkan kakakku dari lubang ular itu. Lalu, aku
akan menyewa pengacara dan menuntut mereka sampai kapok: negara bagian
Connecticut, rumah sakit, penjaga sialan yang menendangku dengan lututnya. Aku
akan menggantung buah zakar bajingan itu, baru aku puas. Memangnya mengapa kalau
aku sedikit kehilangan kontrol" Memangnya itu masalah"
Aku kembali ke dapur untuk mengambil bir. Mungkin kami masih punya Tylenol
dengan codeine sisa Joy saat giginya berlubang" Di mana ya, aku melihat pil-pil
itu" Tidak ada di kotak obat, tentunya. Tidak mungkin dengan sistem Joy yang
berantakan. Menyimpan aspirin di laci meja telepon, selai kacang di lemari es.
"Di mana kantong penyedot debunya?" tanyaku suatu hari ketika aku ingin menolong
membersihkan mobilnya. "Di bawah sofa," katanya kalem, seakan-akan itu tempat yang paling logis untuk
penyedot debu. Di mesin pesan ada ... enam, tujuh, delapan lampu berkedip-kedip. Sialan. Aku
memencet tombolnya. Beep. "Ini Henry Rood, 67 Gillette Street, dan ini adalah teleponku yang keempat
dalam tiga hari." Aku memejamkan mataku dan melihat rumah Victoria tingkat tiga
dengan cat terkelupas miliknya. Melihat Rood dan istrinya dengan perut buncit
mereka, wajah memerah karena alkohol. "Aku ingin tahu kapan kau akan kembali
menyelesaikan pekerjaanmu, jika permintaan ini tidak terlalu sulit. Jika mungkin, aku ingin
bisa melihat ke luar jendela kamar kerjaku ketika salju beterbangan dan tidak
melihat perancahmu di luar!"
Sebelum salju beterbangan: lucu juga. Yah, besok tak mungkin, Henry. Tak ada
kemungkinan aku akan naik turun tangga selama dua puluh empat atau empat puluh
delapan jam ke depan. Aku akan ke Hatch, mencari tahu bagaimana cara
mengeluarkan kakakku. Sialan, aku bahkan akan menyewa helikopter jika memang
harus. Mengeluarkan dia dari sana seperti adegan di film Charles Bronson yang
ditayangkan beberapa malam lalu di HBO ....
Beep. Ditutup. Coba-coba saja.
Beep. Seseorang dari surat kabar bla-bla-bla Examiner ingin mewawancarai Thomas.
Tunggu saat neraka membeku, sobat. Pesan dulu minuman krim. Antrelah di belakang
Connie Chung. Beep. Apa aku tak salah dengar" Seseorang dari New York ingin menjadi agen buku
kakakku" Aku memejamkan mata, menempelkan dahiku di lemari dapur. Mengulurkan
tangan dan menekan tombol stop tanpa melihat. Sialan, kapan semua ini akan
berakhir" Di lemari es ada empat kaleng bir Lite. Enam belas ons. Bahkan, setelah dengan
jelas kukatakan padanya jangan membeli bir Lite. Joy akan menjadi bartender
hebat, dengan caranya mendengarkan pesanan seperti itu. Tapi aku tetap mengambil
bir itu. Menarik satu kaleng, menarik tutupnya, dan
meminum sepertiga isinya tanpa berhenti.
Aku melihat ke dalam lemari es. Mencari-cari makanan dari pesanan Lean Cuisine
Joy. Berniat makan turkey tetrazini-nya. Dengan porsi seperti ini, makan makanan
ini seperti pemanasan saja. Tambahan lagi kau harus menunggu selama dua puluh
menit. Ada dua hot dogs di sini-sisa dari Zaman Es kelihatannya. Sekaleng sup
krim kerang di lemari-pasti merek New England, karena aku bilang padanya kalau
aku lebih suka yang Manhattan.
Aku memencet tombol mesin penjawab lagi. Beep. "Ray Birdsey. 15.30. 867-0359."
Benar-benar penuh perhatian, Ray. Kau tak bisa menebak kapan aku akan menjadi
pikun dan melupakan nomor telepon keluarga. Kukatakan pada diriku sendiri aku
seharusnya meneleponnya kembali. Memberitahu-kannya tentang kesalahan di rumah
sakit-tentang meninggalkan Thomas di Hatch. Lagi pula, dia sang ayah tiri,
bukan" Beep. "Telepon ini untuk Joy" Dari Jackie di A New You?" Aku mengambil birku
lagi dan minum. "Hanya ingin kau tahu kalau gaun cocktail yang kau suka sekarang
sudah ada. Kami buka tiap hari hingga setengah enam. Terima kasih."
Jika dia melewati batas kreditnya lagi, jangan harap aku akan menolongnya. Lagi
pula, siapa yang bakal mengundang kami sampai dia butuh gaun cocktail" Aku
menghentikan rekaman, minum seteguk lagi.
Aku memejamkan mata dan teringat Robocop di rumah sakit jiwa: mata biru sedingin
es, bekas jerawat. Apa yang dia katakan" "Yang ini malah lebih gila daripada satunya." Aku
membuka kaleng sup dan menuangkannya ke panci. Dan di manakah si ibu rumah
tangga" Sedang kursus bartender belajar mencampur minuman krim. Ma yang malang
pasti terkaget-kaget dalam kuburnya.
Ya Tuhan, kemaluanku sakit sekali. Di mana sih, pil-pil codeine itu" Aku pernah
melihatnya di suatu tempat .... Oke aku mengaku: aku tadi bersikap buruk sekali di
sana. Sekarang, aku sadar bahwa seharusnya aku tadi lebih kalem dan tenang.
Kisah hidupku: bertindak seperti jagoan, terutama jika menyangkut Thomas. Tapi,
apa itu memberikan hak pada bajingan itu untuk menendang selangkanganku dengan
lututnya" Mungkin yang harus aku lakukan sekarang adalah masuk ke trukku kembali
dan pergi ke Unit Gawat Darurat di Shanley. Meminta mereka memeriksaku.
Mendokumentasikannya, siapa tahu nanti aku akan menuntut. Dan aku seharusnya
memang menuntut-mengejar penjaga itu dengan penuh dendam dengan menyewa
pengacara-pengacara kejam. Menendangnya kembali dengan menguras rekening
banknya. Aku punya saksi-saksi, termasuk si petugas sosial yang sempat membuka
pintunya. Hanya saja, aku tak mau kembali lagi ke rumah sakit malam ini. Aku
membuka sekaleng bir lagi. Mencari pil-pil codeine Joy.
Ternyata pil-pil itu ada di kotak obat, di balik botol Oil of Olay-nya. Kadangkadang, dia bisa logis juga. Mau mencoba teratur. Aku meminum dua butir dengan
bir. "Perhatian: bisa menimbulkan kantuk."
Biarkan saja. Biarkan hari ini berakhir .... Sejak Thomas memotong tangannya, aku
tak bisa tidur. Terbangun setiap malam pada pukul 2.30. Turun dari ranjang dan
duduk di sofa dengan pakaian dalam, mengubah-ubah channel TV antara Sy Sperling
dan Hawaii Five-0 dan pria berotot yang mengklaim punya perut rata adalah jalan
menuju kebahagiaan selamanya .... Saat aku menutup kotak obat itu, aku melihat
wajah Thomas di cermin. Apakah akhirnya mereka memberinya sesuatu yang membuatnya KO di sana" Apa
setidaknya dia bisa tidur melalui mimpi buruk ini" Jika ada yang melukainya,
mereka akan berhadapan denganku. Mereka akan merangkak-rangkak minta ampun.
Di dapur, aku kembali membaca pesan Joy: minuman krim, Connie Chung. Bangsat!
Aku meremas-remas pesan itu, melemparnya ke garasi. Menghantam tembok.
Sudah jelas, bukan" Satu-satunya malam saat aku membutuhkan sedikit dukungan
moral dan dia pergi ke sekolah bartender dengan teman homonya. Thad, si ahli
terapi pijat. The Duchess. Aku memanggilnya demikian ketika kami pergi ke
rumahnya dan rumah pacarnya untuk makan malam dan dia memasak duchess potato.
Joy tidak suka ketika aku memanggilnya The Duchess. "Kau homofobia," katanya.
Yang menurutku tidak demikian. Pendapatku adalah para homo itu bisa melakukan
apa pun yang mereka inginkan satu sama lain selama mereka tidak mengundang-.^
ikutan .... Homofobia. Di mana dia mendapat gelar
psikologinya" Geraldo Rivera Community College"
Ini rencana besar Joy: belajar menjadi bartender lalu bekerja sambilan sebagai
bartender hingga dia bisa melunasi utang Master Card-nya. Tahun 1987, ketika
pernikahan keduanya gagal, dia menghilangkan stres dengan belanja kredit selama
sembilan bulan. Belanja sampai bangkrut. Dia masih berutang 8 ribu dolar, turun
dari 12 ribu dolar sejak aku meminjaminya seribu dolar dan agen penagih utang
memotong gajinya dari klub kesehatan.
Di situlah aku bertemu dengan Joy-di klub kesehatan Hardbodies. Itu setelah Ma
meninggal. Setelah Nedra Frank membajak kisah kakekku dan menghilang. Dessa dan
aku sudah bercerai sekitar satu setengah tahun waktu itu, dan rasanya masih
sakit sekali. Leo adalah orang yang terus-menerus membujukku untuk bergabung ke
Hardbodies dengannya: mereka sedang menawarkan "keanggotaan sahabat spesial" dua
dengan harga satu. Aku mengatakan padanya kalau aku tak punya waktu dan tak
tertarik untuk bergabung, tapi dia meluluhkanku. Berhasil merayuku. Si Leo
sialan: Tuan Salesman Mobil. Tuan Omong Kosong. Dia bahkan bisa merayu orang
Tahiti untuk membeli ban salju.
Kami berteman sejak lama, Leo dan aku-sejak 1966: di kelas aljabar remedial. Dia
juga mantan iparku-menikah dengan adik Dessa, Angie. Aku menjadi pendamping pria
di pernikahan Leo dan Leo menjadi pendamping pria di pernikahanku dengan Dessa.
Mereka menikah tiga bulan setelah kami
menikah. Itu adalah situasi yang tipikal: Angie sudah hamil tiga bulan. Tapi,
dia keguguran saat mereka berbulan madu di Aruba. Kalau saja anak itu hidup,
sudah berapa tahun ya" Tujuh belas" Delapan belas" Semua orang mengira hamilnya
Angie adalah kecelakaan-tapi dia melakukannya dengan sengaja. Leo mengatakan
padaku, setelah mereka menemui konselor pernikahan. Angie hanya datang pada sesi
pertama: dia mengatakan, dia ingin menikah karena kakaknya juga menikah. Ketika
Angie menjatuhkan bom itu, Leo sangat murka.
Angie wanita yang baik, tetapi dia selalu iri pada Dessa. Selalu mencari tahu
apa yang dipunyai Dessa, siapa yang mencintai Dessa lebih dari mencintainya.
Ketika kami berempat masih pengantin baru-Leo dan Angie, Dessa dan aku-kami
sering berkumpul bersama. Ke pantai bersama, saling berkunjung ke apartemen
masing-masing, dan bermain kartu. Tapi suasananya agak tegang. Persaingan yang
tak terucap. Jika Dessa menggantung keranjang di dinding dapur kami, Angie harus
pulang dan menggantung keranjangnya juga. Jika kami membeli sofa yang bisa
menjadi tempat tidur juga, Angie dan Leo tiba-tiba juga memerlukan sofa serupa.
Angie akhirnya menang ketika dia melahirkan Shannon. Dessa dan aku sudah
bertahun-tahun mencoba untuk punya anak. Mengunjungi dua dokter spesialis
fertilitas-menahan rasa malu. Tapi, lucu juga jika dipikirkan: dua pasangan ini.
Dessa dan aku selalu diramalkan akan awet. Bahkan, kami juga berpikirkan begitu.
"Mereka tidak akan bertahan," kami sering mengatakan hal itu tentang Leo dan Angie.
Mereka berdua selalu bertengkar, tepat di depanmu. Bahkan di depan orangtua
Dessa dan Angie. Suatu kali, kami semua berkunjung ke rumah orangtua Dessa dan
Angie untuk makan malam dan Angie mulai melemparkan makanan ke arah Leo. Karena
Leo mengatakan kalau Angie gemuk atau apa. Aku tak ingat. Paskah, saat itu
perayaan Paskah Yunani. Alasan mengapa Leo ingin mengajakku bergabung ke klub kesehatan adalah karena
dia ikut audisi iklan minuman olahraga baru di New York, berhasil lolos tahap
pertama, lalu ditolak. (Dua puluh tahun setelah keluar dari sekolah akting,
sembilan tahun menjadi salesman mobil, dia masih menunggu kesempatan besarnya di
dunia showbiz. Seharusnya seseorang mengatakan padanya, "Bangun, Leo! Itu tak
mungkin terjadi!") Ketika Leo bertanya pada casting director mengapa dia tak
lulus audisi, dia mengatakan kalau Leo sebenarnya ada di usia yang tepat-karena
mereka menyasar pasar baby boomers-tetapi mereka mencari seseorang dengan badan
yang lebih bagus. Leo mulai terlihat berlemak di bagian pinggang; bahkan aku pun
melihatnya, padahal aku biasanya tak terlalu memerhatikan hal-hal semacam itu.
Bisa dibilang sang casting director itu sama saja dengan membunuhnya ketika
mengatakan hal itu pada Leo. "Lihat ini, Birdseed," biasanya dia berkata padaku
sambil mencubit lemak di pinggangnya. "Bisa pakai kemeja rajut ketat, man.
Itulah yang penting." Dia
tak mau melupakan kata-kata casting director itu. Seakan-akan dia akan
kehilangan keabadian atau semacamnya. Leo lebih mati-matian menjaga penampilan
dibandingkan dengan wanita-wanita yang kukenal. Sejak dulu, dia memang begitu.
Yang menurutku agak lucu, karena Angie tak pernah peduli dengan make-up atau
gaun atau sejenisnya. Dia hidup memakai jin dan kaus; apa yang kau lihat, itulah
yang kau dapatkan. Aku sebenarnya mulai menyukai bergabung dengan klub Hardbodies. Bukan mesinmesin angkat berat, atau sepeda statis, atau alat semacamnya yang membuatku
suka. Aku tak punya banyak waktu dan aku tak akan mau naik sepeda yang tak bisa
membawaku ke mana-mana. Yang kusuka adalah permainan racquetbaii. Menghantamkan
bola-bola biru kecil itu ke dinding empat jurusan membuatku senang seperti yang
belum pernah kurasakan dalam waktu lama. Kurasa itu semacam terapi bagiku.
Racquetbaii membuatku capek. Mengeluarkan semua kotoran dan cairan dari tubuhmu.
Bola-bola karet itu bisa jadi siapa saja.
Aku bertemu dengan Joy pada hari pertama kami masuk Hardbodies, tepat ketika Leo
dan aku masuk dari pintu depan. Joy adalah koordinator keanggotaan-orang yang
memandumu melihat-lihat, lalu mendaftarmu, dan memotretmu untuk kartu anggota.
"Oke, tampan," katanya, dari balik kamera. "Senyum!" Dia mengatakan itu pada-ku,
bukan pada Leo, yang selalu tak lupa melihat ke cermin ke mana pun dia pergi.
"Aku akan melaminasi
foto kalian dan kalian bisa mengambil ini di sini setelah kalian selesai
olahraga," kata Joy pada kami setelah memotret kami.
"Atau," kata Leo sambil menyandarkan diri ke meja, "kami melewatkan olahraganya
dan kau melaminasi kami saja."
Joy membuat Leo terdiam hanya dengan caranya memandang. Membekukan pria.
"Kau tahu, Leo," kataku saat kami menuju ruang ganti hari itu, "kau seperti
terperangkap di mesin waktu atau semacamnya. Wanita-wanita sekarang benci cara
bicara seperti itu."
"Gombal," kata Leo. "Kau ingat kata-kataku, Birdseed. Yang itu akan meniduri apa
saja." Dia menunjuk pada raketnya. "Dia akan meniduri ini. Dia bahkan mau
menidurimu!" Pada hari pertama itu, Joy mengenakan setelan iycra ketat pink dan kaus pink
yang diikatkan di leher dan menutupi pundaknya. Oke, tampan. Senyum! Komentar
sepele itu seperti sebuah rakit yang dilemparkan pada pria yang akan tenggelam.
Dua atau tiga kunjungan kemudian, aku mengajaknya keluar; aku baru saja
mengalahkan Leo dan beberapa orang lain tiga set berturut-turut. Aku merasa agak
sombong, kurasa. Leo menantang apakah aku berani mengajak Joy kencan dan aku
melakukannya. Baru setelah Joy bilang ya, keringat dingin membasahi punggungku.
Satu hal, Joy seorang wanita yang sangat cantik-pendek, pirang, badannya bagus
karena sering berolahraga di klub. Hal lain, dia lima belas tahun lebih muda
dariku. Joy lahir tahun 1965. Tahun ketika Sandy Koufax menjadi pitcher dan dengan telak
mengalahkan The Cubs. Tahun setelah Mustang keluar. Ibu Joy hanya lima tahun
lebih tua dariku. Nancy. Ini baru cerita. Dia sekarang dengan suami kelima: Tuan
dan Nyonya Homeopathy. Mereka selalu mengirimi kami ragi dan ekstrak lewat
surat, yang kami simpan demi kesopanan untuk beberapa saat lalu kami buang ke
toilet. "Ayah tiri" Joy yang terakhir ini seorang pecandu.
Tetapi semuanya berjalan lebih lancar daripada yang kukira-Joy dan kencan
pertamaku. Semuanya mulus. Aku menjemputnya di tempat kerja dan kami pergi ke
Ocean Beach. Bulan sedang purnama; langit cerah. Kami bermain Skeeball, makan es
krim. Berdansa di panggung kayu mengikuti musik yang dimainkan oleh ayah dan
anak peniru Elvis. Sang anak berpakaian serbahitam, Elvis muda. Sang ayah, Elvis
gemuk, dan berpakaian serba-putih. Elvis di akhir kejayaannya, yang untuk orang
seusia Joy adalah satu-satunya Elvis yang dia ingat. Mereka menyanyi bergiliran:
pertama sang anak menyanyi "Heartbreak Hotel", lalu sang ayah menyanyikan "Hunka
Hunka Burning Love". Terus bergantian. Setiap orang berdansa dan bernyanyi, dan
setiap pria di sana mengajak Joy berdansa. Aku tak tahu, aku merasa aku kembali
dari kematian atau apa. Rasanya seperti: oke, inilah Hidup Setelah Dessa.
Sepertinya tidak begitu buruk.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memotong-motong hot dog dan menuangkan sup di mangkuk. Menemukan resep baru:
Sup kental kerang dan hot dog. Aku menemukan beberapa kerang yang sudah sangat
basi sehingga bisa ditekuk dengan mudah. Kalau kau bilang padanya, "Joy, lipat
lagi bungkusnya di ujung biar nggak mudah basi," maka dia akan berdiri saja,
melihatmu seakan-akan berasal dari planet lain. Yang dalam beberapa hal itu
memang masuk akal. Karena perbedaan usia. Kami berdua mencoba dan mengatakan
pada diri sendiri kalau itu tidak masalah, tetapi itu memang masalah. Ya
pastilah. Inilah apa yang dikatakan Ray ketika aku bilang kami tinggal bersama: "Tuhan
Yesus, dia baru dua puluh tiga tahun dan sudah dua kali bercerai?" Bukannya aku
membuat pengumuman atau apa-aku tidak mengirimi Ray pesan bahwa Joy telah
memindahkan celana leotard-nya ke lemariku, futon, dan perabot anyamannya ke
ruang tamuku. Ray hanya menelepon suatu pagi dan ingin tahu siapa "cewek" yang
menjawab telepon di rumahku pada pukul 8.00 pagi, jadi aku bilang padanya. Dan
itu tadi responsnya. Bukan, "Wow, aku ingin bertemu dengannya." Atau, "Yah,
sudah waktunya kau melanjutkan hidupmu." Hanya, "Dua puluh tiga tahun dan sudah
bercerai dua kali?" Begini, Ray selalu tergila-gila dengan Dessa. Dia dulu
memanggil Dessa "si manis kecilnya" dan semacamnya. Dia bahkan bisa, aku tak
tahu bagaimana mengatakannya, guyon dengan Dessa. Dia memperlakukan Dessa jauh
lebih baik dibandingkan dengan perlakuannya pada Ma. Itu tidak terlalu menggangguku setiap kali kami
pergi ke rumah Ma, lalu kemudian Dessa biasanya berbicara tentang betapa Ray
orangnya sangat "bergantung", betapa rasa tidak aman dirinya "sangat terlihat".
Dessa selalu membukanya untukku-menganalisis Ray hingga titik di mana ayah
tiriku terlihat hampir "simpatik", dan aku sangat tak suka. "Hei, kau tidak
tumbuh besar bersama orang itu," kataku mengingatkannya. "Dia sudah sangat lunak
sekarang dibandingkan dengan dulu." Ray selalu menganggap bahwa perceraianku
dengan Dessa 100 persen adalah salahku. Kegagalanku. Bahwa si manis kecilnya tak
bersalah. Meskipun Dessa yang meninggalkan aku. Meskipun akulah orang yang ingin
mencoba lagi dan menyelesaikan masalah. Satu-satu-nya orang dari kami berdua
yang berniat memenuhi janji "saat suka maupun duka".
Tapi, bagi Joy dan aku semuanya hebat, untuk sementara. Dia berasal dari
Anaheim, California. Dia sudah tinggal di sini hampir tiga tahun, tapi belum
melihat banyak. Kami sering bepergian pada akhir pekan-ke Cape, ke Newport, dan
ke New York. Awalnya, kami selalu bertemu di motel. Apartemen Joy tipe studio
dan dia punya teman sekamar, jadi tidak mungkin kami berduaan di tempatnya. Dan,
kurasa ini bodoh, tapi aku tak ingin bersamanya di ranjang yang dulu kutiduri
bersama Dessa. Aku akhirnya membawa ranjang itu ke Goodwill dan membeli kasur
baru dan ranjang pegas. Leo bilang bahwa wanita lebih muda lebih binal
daripada wanita seusia kami. Aku ingat, dia dan aku sedang berkendara pulang
dari menonton pertandingan bisbol di Fenway ketika kami memperbincangkan hal
itu. New York baru saja mengalahkan The Sox. "Aku tidak bilang dia binal,"
kataku membenarkan. "Aku bilang kalau dia tak merasa malu."
Leo terbahak. "Binal. Tak merasa malu. Sama saja, Birdseed." Kami baru saja
mampir di drive thru Burger King dan melewati Mass Pike, aku yang menyetir
tentunya. Leo memenuhi mulut dan perutnya sembari terus bicara tentang seks:
wanita yang menyukainya versus wanita yang terpaksa melakukannya demi kamu; dia
ingin tahu Joy termasuk kategori apa.
"Apa maksudmu, 'kategori apa'?"
"Apa dia suka atau tidak suka?"
Kukatakan itu bukan urusannya.
"Apakah itu berarti dia tidak suka?" katanya.
"Itu artinya bukan urusanmu," kataku. "Anak gemuk."
Itu langsung membuatnya diam. Rahangnya berhenti mengunyah. Burger Whoppernya
jatuh kembali ke kertas di pangkuannya. "Kamu tadi panggil aku apa?" tanyanya.
"Anak gemuk." "Kupikir juga begitu." Dia memasukkan makanannya kembali ke kantong kertas dan
membuangnya ke lantai mobil. Memandang ke luar jendela. Tak mengatakan apa pun
hingga kami berganti jalur tol lima atau enam kali kemudian. Si Leo brengsek.
Maksudku, pria ini bahkan harus pergi ke psikiater karena mulai memasuki usia
empat puluh. Aku meletakkan mangkuk bekas makanku di tempat cuci piring tanpa mencucinya.
Biar saja, biar Joy yang mencucinya besok. Apa itu namanya" Pasif agresif" Aku
membuka kaleng bir terakhir.
Telepon Ray, telepon Ray. Aku mengingatkan diriku sendiri. Mungkin dia tahu
mengapa mereka mengganti dokter Thomas. Mengapa mereka memindahkannya ke Hatch.
Mungkin Ray telah berbicara pada Dr. Ehlers. Meskipun itu meragukan. Ehlers
selalu meneleponku, bukan Ray. Aku memejamkan mata. Terngiang suara kakakku,
"Yesus/ Yesus!" Melihat noda basah kencing di bagian depan celananya .... Kepalaku
bisa saja tertembus peluru di mobil polisi itu ketika aku mengulurkan tangan
untuk menyentuh lengan Mercado dan dia otomatis meraih pistolnya. Koboi. Semua
polisi adalah koboi-itulah sebabnya mereka mendaftar jadi polisi, mereka koboi.
Yang ini lebih giia daripada yang satunya ....
Aku mengangkat telepon, berniat menelepon Ray. Tapi, aku malah memencet nomor
Leo. Bukannya Leo adalah pendengar yang baik atau apa. Jauh dari itu. Tapi,
setidaknya dia tahu masalah sebenarnya dengan Thomas-seluruh sejarahnya .... Musim
panas ketika kami berumur sembilan belas" Ketika Leo, Thomas, dan aku bekerja
sambilan menjadi kru pekerja jalan di kota"
Saat itulah kendali diri Thomas mulai runtuh. Thomas dan aku, Leo, Ralph
Drinkwater. Aneh kalau dipikir. Aku tak bertemu dengan Drinkwater selama
bertahun-tahun dan lalu, bami-bertemu dia di Hatch, memegang tongkat pel dan
ember. Seperti salah satu pemunculan aneh dan gila yang biasa terjadi dalam
mimpimu .... Setidaknya Leo selalu bertanya tentang Thomas. Kadang, menjenguk-nya waktu masih
di Settle dulu. Dia bahkan datang ke Shanley Memorial setelah Thomas memotong
tangannya, tapi mereka tak mengizinkannya masuk karena aku tak ingat menaruh
namanya di daftar tamu yang diizinkan menemui Thomas.
Angie yang menjawab telepon. Dia berkata kalau Leo ada di New York, ikut audisi
untuk suatu acara. Angie membiarkannya-kepergian Leo ke New York saat dia
seharusnya pergi kerja dan pulang ke rumah dan membantunya mengurus anak-anak.
Agak menyedihkan. Karena tidak semua "audisi" Leo itu benar-benar audisi.
"Bagaimana kakakmu, Dominick?" tanya Angie.
Tak begitu baik, kataku. Aku mengatakan padanya tentang Hatch.
"Ya, Tuhan," katanya.
"Dikawal polisi, kakinya dirantai," kataku. "Seolah dia Lee Harvey Oswald dan
bukannya kakakku yang bodoh dan gila."
"Ya, Tuhan," katanya lagi.
"Katakan pada Dessa, ya?" kataku. "Bahwa Thomas di sana?"
"Oke, tentu. Dia dan Danny pergi kemping selama beberapa hari, tapi aku akan
beri tahu dia kalau pulang nanti."
Aku memelintir kabel telepon di tanganku. Mengencangkannya, menghentikan aliran
darah ke jariku. Dessa sudah tinggal bersama pria itu selama dua tahun, apa dia
tak boleh pergi kemping dengannya" Karena itu mengganggu-/^" "Bagaimana anakanak?" tanyaku. "Mereka baik, Dominick. Hebat. Amber baru saja menang kontes poster pencegahan
kebakaran. Hanya di sekolahnya, bukan seluruh distrik."
"Oh ya" Itu bagus sekali. Katakan selamat padanya."
"Shannon akan mengadakan walkathon untuk event sepak bola. Kau mau
mendukungnya?" "Tentu," kataku. "Sepuluh dolar dariku." Shannon sudah SMU-kelas satu. Dia baru
berusia enam tahun ketika Leo dan "hostes yang paling top" di Lyme tertangkap
basah berduaan. Amber sekarang sembilan tahun. Bayi hasil konseling pernikahan.
"Oke, Dominick. Terima kasih. Hei, datanglah untuk makan malam kapan-kapan."
Diam sebentar. "Kalian berdua."
Datanglah kapan-kapan: cuma basa-basi.
"Ya, terima kasih," kataku. "Kami akan datang. Begitu urusan kakakku sudah
beres." Yang itu, artinya kapan" Tak pernah" Itu adalah penerimaan basa-basi
atas undangan basa-basi. "Aku akan bilang ke Leo kalau kau menelepon," kata Angie. "Kau ingin dia
meneleponmu kembali kalau dia pulang sebelum pukul sebelas?"
"Nggaklah. Tak apa. Aku akan meneleponnya besok. Dia ikut audisi apa?"
"Film katanya. Aku tak tahu banyak. Kau tabahlah ya, oke?"
"Oke." "Hei, Dominick?" "Hmm?"
"Kau adik yang baik. Kau tahu itu?"
Bodoh sekali. Dia mengatakan itu dan aku mulai menangis. Terpaksa menutup
telepon begitu saja. Oh hebat, kataku dalam hati. Tepat apa yang kita perlukan:
si kembar Birdsey satunya kehilangan kewarasan. Kembar identik menuju jalur
kegilaan. Kami berdua jatuh tersungkur.
Buklet real estat itu ada di kamar kami, di atas bantalku-sebuah pesan tertempel
di sampulnya: "Dominick, bagaimana menurutmu?"?" Joy mendapat buklet-buklet
semacam itu tiap minggu: The Realty Shopper, Gallery of Homes. Aku mulai
mengenali wajah senyum setiap bandit real estat di bagian timur Connecticut. Joy
menempelkan pesan di setiap iklan yang dia ingin aku melihatnya. Sebuah mimpi
berkepanjangan-kelakuannya itu. Dia masih punya utang delapan ribu dolar dan
dengan tabunganku, aku paling-paling hanya mampu membayar uang muka untuk
kandang anjing. Aku tak tahu; kami mungkin tak akan terus bersama. Aku tak yakin
akan terus bersamanya. Joy punya kekurangan. Kekurangan yang tak bisa langsung kau lihat, terutama jika
kau terpana memandangi asetnya. Yang pertama, rating kreditnya yang jeleksikapnya terhadap uang. Pada bulan kedua kami tinggal bersama-setelah aku sadar
kalau dia sama sekali tak tahu bagaimana mengatur uang-aku mengajaknya duduk dan
menunjukkan padanya bagaimana membuat anggaran belanja. Bukan berarti aku bodoh,
katanya; hanya saja sebelumnya tak seorang pun meluangkan waktu dan berusaha
untuk mengajarinya. Dua suaminya terdahulu selalu menjadi orang yang membayar
tagihan, itulah mengapa dia selalu boros menggunakan kartu kredit. Setelah kami
memisahkan pengeluaran dan pemasukannya, aku mengeluarkan semua kartu kredit Joy
dan menjejerkannya di meja dapur. Memberinya gunting. "Ini," kataku. "Gunting
saja." Dan dia menggunting semua kartu kreditnya.
Kekurangan Joy yang lain muncul tiga atau empat bulan setelah itu. Dia pergi
malam itu-berbelanja di Pavilions. Leo main ke rumah. Aku ingat kami menonton
kejuaraan NBA-final di mana Worthy dan Lakers mengalahkan Pistons. Telepon
berdering dan itu adalah Joy yang berbicara sangat pelan sehingga awalnya aku
tak paham. Dia ada di kantor polisi Manchester-itu saja yang kutahu. Awalnya aku
kira dia kecelakaan, tapi ternyata salah. Mereka menangkapnya karena mengutil.
Mencuri pakaian dalam di Victoria's Secret. Dia ditahan karena mengutil. Aneh
sekali. Aku berdiri memegang gagang telepon, tak begitu memahami, sebagian dari diriku masih
menonton pertandingan basket.
Sebelum aku pergi dan menjemputnya, aku memaksa Leo berjanji tidak mengatakan
apa pun pada Angie. Aku tak ingin Dessa tahu kalau pacarku baru saja ditahan.
Leo bilang dia akan menemaniku ke kantor polisi, tapi aku menolak.
Setelah Joy dan aku kembali ke kondo malam itu, saatnya pengakuan lengkap. Dia
bilang bahwa dia sering mengutil sejak SMU. Bahwa dia senang melakukannya. Ini
hanyalah ketiga kalinya dia tertangkap basah-yang pertama kali terjadi di East
Coast. Dia mulai membuka lemari dan laci-laci kamar kami, melemparkan barangbarang hasil mengutilnya ke ranjang: parfum, perhiasan, scarf sutra, bahkan
mantel-mantel musim dingin yang tebal. Dia terlihat sangat aneh-sangat gembira.
Dia senang melakukannya dan juga tak senang melakukannya, katanya. Itu agak
sedikit menakutkanku. Kurasa kami berdua takut. Tetapi, dia juga terlihat
sedikit sombong. Bangga pada dirinya sendiri-bangga pada tumpukan barang curian
yang tersebar di ranjang. Dia mulai menyentuhiku dan kami akhirnya bercinta, di
tengah-tengah barang curiannya-sepasang anting curian menekan punggungku. Dia
sangat bergairah malam itu, lebih daripada yang pernah kulihat sebelumnya.
Seperti kubilang, aneh. Pengacara yang kami sewa berhasil menghindarkan Joy dari kurungan dengan
mendapatkan hukuman pelayanan sosial untuknya: lima puluh jam
membantu anak-anak perempuan berolahraga di YMCA Manchester. Joy tak pernah
bercerita tentang anak-anak di sana atau apa pun ketika pulang. Dia hanya ke
Manchester setiap Sabtu pagi, memenuhi jamnya dan pulang. Dia aneh-tak punya
emosi tentang itu. Tak peduli. Yang pada penderita skizofrenia itu disebut efek
datar. Maksudku, kupikir aku merasa lebih buruk tentang penahanan Joy daripada
Joy sendiri. Joy pergi menemui psikiater setelahnya-setelah peristiwa pencurian celana dalam.
Nama psikiater itu adalah Dr. Grork. Joy menemuinya terus hingga asuransi
kesehatannya tak bersedia menanggung lagi. Aku tidak percaya pada psikiatersemua pemeriksaan dan tes yang dilakukan sejak Thomas berlatih menggunakan
toilet hingga masa pubertasnya tidak membuat kondisi Thomas semakin membaik.
Bahkan kalau kulihat, hal itu justru menorehkan luka. Melukai Ma. Aku ingat satu
psikiater yang menangani Thomas pada masa awal sakitnya-pria tua dengan hidung
penuh rambut-yang mencoba menimpakan kesalahan atas sakitnya Thomas pada Ma. Dia
mengatakan pada Ma, penelitian menunjukkan bahwa ibu yang tak bisa mencintai
anaknya dengan sepenuh hati kadang menyebabkan sang anak menderita gangguan
manic-depressive dan atau skizofrenia. Itu semua gombal. Ma memberi kami berdua
semua yang bisa dia berikan dan kadang-terutama pada Thomas, "kelinci kecilnya".
Dia hidup dan bernapas untuk Thomas, kadang hingga ke titik di mana hal
itu jadi agak menyakitkan. Setiap kali aku seperti merasa, Yuhuu. Hei Ma" Ingat
aku" Benar, aku melihatnya sendiri. Tidak mencintai Thomas dengan sepenuhnya
sama sekali bukan penyebab.
Joy dan si Dr. Grork ini menemukan pangkal masalah Joy lumayan cepat. Terobosan
besar datang suatu hari ketika dokter itu menanyakan bagaimana perasaan Joy
ketika dia mencuri dan Joy bilang bahwa dia merasa terangsang. Aku jadi malu
ketika dia melakukan itu-pulang dari bertemu dengan Dr. Grork dan mengatakan
semua yang baru saja dia katakan pada dokter itu. Suatu kali, kata Joy, dia
mencuri dompet di G. Fox, lalu masuk mobil dan mulai menggosokkan benda itu ke
dirinya sendiri saat dia berkendara keluar tempat parkir. "Oke, oke," kataku.
"Cukup. Jangan ceritakan detailnya padaku."
Menurut Dr. Grork, dorongan Joy untuk mencuri berkaitan dengan fakta bahwa dia
pernah disiksa secara seksual ketika masih di SMP. Oleh adik ibunya. Adik tiri,
sebenarnya. Yah, secara teknis kukira memang begitu. Pamannya itu ditugaskan di
markas Angkatan Laut di San Diego: dia tinggal bersama keluarga Joy untuk
sementara. Dia sepuluh tahun lebih tua daripada Joy, dia awal dua puluhan ketika
itu terjadi, dan Joy tiga belas tahun. Bukan berarti Joy diperkosa atau
semacamnya. Yah, bisa dibilang perkosaan, bisa juga bukan. Pemerkosaan di bawah
umur, kurasa. Hal itu bermula dengan permainan, kata Joy-semprot-semprotan air,
gulat. Lalu yang lain mengikuti. Mereka sering sendirian,
kata Joy. Setelah beberapa saat, Joy berhenti menolak pamannya itu. Ibu Joy
bekerja di shift kedua. Itu berlangsung hingga "Oorn" dipindahkan ke Portsmouth, New Hampshire. Dan di
sinilah terjadi bagian yang paling menjijikkan: mereka tetap meneruskannya.
Lewat surat. Pamannya menulis surat-surat jorok untuk Joy dan mengikutkan secuil
dirinya: potongan kuku, potongan janggut, bahkan kulit yang mengelupas. Itu
adalah gagasanku, kata Joy padaku; dia memohon kepada pamannya untuk mengirimkan
semua itu. Dia biasanya akan mengeluarkan cuilan itu dari amplop dan memakannya.
Duduk dan mengunyah potongan kuku pria itu. Lalu, pamannya punya pacar dan
berhenti menulis. Berhenti membalas surat-suratnya dan tak mau lagi menerima
telepon collect call darinya setelah Joy pulang sekolah. Lalu, pacar baru
pamannya itu menelepon dan menyuruh Joy berhenti. Melabraknya. Saat itulah Joy
mulai mengutil. Dr. Grork bilang, mencuri membuat Joy merasa tak berdaya,
sekaligus juga kuat pada saat bersamaan. Seperti yang dilakukan pamannya
kepadanya. Sama juga dengan kedua suaminya terdahulu, kurasa. Sumpah, dia baru
pulang dari pertemuan dengan Dr. Grork dan langsung mengatakan semua itu padaku,
tak peduli apakah aku mau mendengarnya atau tidak.
Joy berusia delapan belas tahun ketika menikah dengan suami pertamanya. Ronnie.
Lulus dari SMU dan-bam!-kawin lari di Las Vegas sebelum musim
panas berakhir. Joy selalu mengatakan bahwa itu kesalahan besar-karena
setelahnya, dia pergi ke Disneyland dan melakukan wawancara untuk menjadi salah
satu tokoh di sana. Dia cocok menjadi Cinderella, kata wanita yang
mewawancarainya. Itu adalah kekecewaan terbesar dalam hidup Joy-bahwa dia tak
pernah menjadi Cinderella di Disneyland. Kurasa Ronnie itu juga masih anak-anakdua puluh atau dua puluh satu tahun. Itulah sebabnya Joy pindah ke timur:
suaminya dipindah ke markas di Groton. Mereka tinggal di perumahan Angkatan Laut
di Gungywamp Road. Aku mengecat rumah di sana. Menyedihkan: deretan rumah,
semuanya serupa. Joy dan suami keduanya juga tinggal di sana-rumah berbeda,
jalan yang sama. Dennis, sang perwira rendahan. Joy mulai tidur dengan suami
nomor dua ketika suami nomor satu ditugaskan berlayar.
Itulah kekurangan ketiga Joy, kurasa. Kekurangannya yang paling utama. Fakta
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa aku tak bisa percaya sepenuhnya padanya. Tidak seratus persen. Bukan
berarti dia pernah tak setia padaku-setidaknya yang aku tahu. Tapi kemungkinan
bahwa dia bisa saja menduakanku. Dengan pria yang lebih sebaya dengannya. Itulah
yang kubayangkan: Joy dan pria palsu sok gaya di usia dua puluhan-idiot yang tak
bisa melihat dunia lebih jauh daripada kemaluannya. Banyak pria seperti itu yang
sok bergaya di tempat Joy bekerja di Hardbodies. Semua pria muda itu dengan
rambut lengket karena gel dan sabuk angkat berat dan
anting di satu telinga. Mereka keluar dari pabrik yang sama. Seperti sebuah
wabah. Bukan berarti kami bermasalah di ranjang. Kami masih oke dalam urusan itu. Joy
dan aku. Kami baik-baik saja. Memang tidak seliar dulu sewaktu kami masih
melakukannya di motel-motel di Ramada dan Best Westerns, tetapi jelas masih
memuaskan. Tapi kadang bercinta sama dengan kerja keras. Terutama untukku.
Mungkin karena stres-kakakku dan urusan bisnis dan sebagainya. Joy selalu
menyuruhku untuk datang ke klub dan berolahraga agar fit. Dia juga selalu
menyuruhku agar mau dipijat sobatnya, The Duchess. "Dia genius," kata Joy padaku
suatu kali. "Jari-jarinya, ritmenya-kau bahkan bisa merasakan dia mengeluarkan
semua ketegangan dari dalam dirimu."
"Itulah yang kutakutkan," sahutku.
"Dasar, ah," katanya. "Kau homofobia."
"Yah, terserah," kataku padanya, "apa mau-mulah." Ingat ketika aku cerita kami
pernah pergi ke rumah The Duchess untuk makan malam" Rumah Thad dan Aaron" ....
Aaron kira-kira sebaya denganku. Mereka tinggal di Skyview Terrace salah satu
bangunan kontemporer berdinding kaca dengan pemandangan ke arah sungai. Tempat
tinggal orang-orang kaya; tempat tinggal pencakar langit untuk mereka yang
pajaknya mencapai langit. Skyview Terrace dulunya adalah kompleks penggilingan
tua, dan sebelumnya, daerah itu merupakan bagian dari area konservasi suku
Wequonnoc. Dulu kami kadang memancing di sana
sebelum kompleks itu dibangun-Leo dan aku, Thomas dan aku. Kau harusnya melihat
pemandangan sungai terutama pada awal Juni ketika semuanya baru muncul-dedaunan
di pohon dan pepohonan di gunung. Kalau kau melihatnya, kau pasti hampir-hampir
percaya bahwa Tuhan itu ada.
Aaron adalah seorang arsitek. Dialah yang punya Porsche dan punya rumah. Dalam
perjalanan ke sana malam itu, kami harus berhenti di dua toko minuman sebelum
akhirnya kami menemukan botol anggur spesial seharga dua puluh empat dolar yang
menurut Thad akan sangat cocok dengan masakannya: remis saus krim dengan kentang
ala duchess bodohnya. Teorinya adalah Aaron dan aku pasti bisa cocok karena kami
sebaya dan sama-sama di "bisnis bangunan". Aku tertawa mendengarnya. Seorang
arsitek dan seorang tukang cat sama-sama di industri bangunan seperti mengatakan
bahwa Roger Clemens dan calo tiket di Fenway adalah bagian dari organisasi Red
Sox. Makan malam itu terasa sangat panjang. Aku duduk diam sepanjang malam,
minum bir Denmark dan mendengarkan Aaron berbicara tentang jazz fusion dan dana
bersama. Mencoba sok tahu tentang semua seni gay yang mereka gantungkan di semua
tempat di apartemen itu. Joy dan Thad menghabiskan sepanjang malam bergosip
tentang orang-orang yang mereka kenal dari tempat kerja. Joy bilang ,Thad ingin
berhenti menjadi tukang pijat terapi dan mencoba bisnis katering. Aaron akan
menyediakan uangnya kalau memang itu yang diinginkan Thad, kata Joy, tapi
pertama-tama Thad harus belajar bisnis: kursus marketing dan manajemen, bukan
hanya belajar tentang bagaimana cara mencampur minuman. Thad bilang ke Joy kalau
nanti dia membuka bisnis katering, dia ingin Joy jadi bartender-nya. Joy bilang,
dia belum pernah punya teman cewek yang bisa dia percaya sepenuhnya seperti dia
percaya pada Thad. Dia bisa mengatakan pada Thad hal-hal yang bahkan tak bisa
dikatakannya padaku. Dan itu agak menakutkanku, karena banyak yang dia katakan
padaku. Nona Keterbukaan. Nona Pengutil Gila dan Pemakan Kuku Orang.
Joy punya gagasan bahwa setelah dia membayar semua utangnya, kami bisa mulai
menabung, membeli rumah dan menikah. Tinggal di salah satu rumah seperti yang
ada di iklan real estat. "Aku lima belas tahun lebih tua darimu," kataku padanya
suatu kali. "Aku sudah tak percaya lagi ada tempat di mana kita bahagia
selamanya di bawah pelangi sejak bertahun-tahun lalu. Aku barang yang sudah
rusak." "Aku juga barang rusak," katanya riang, seakan-akan itu adalah kebetulan yang
menyenangkan-seperti dia dan aku punya tanggal lahir yang sama atau semacamnya
.... Aku berubah pikiran, mencuci mangkuk bekas makanku. Menyimpan pancinya. Pasifagresif: apa maksudnya"
Joy menjaga jarak dari Thomas; dia takut
padanya, itu yang kutahu. Dia sudah takut padanya bahkan sebelum Thomas memotong
tangannya-takut sejak awal. Ketika pertama kali dia pindah ke tempatku, aku
biasanya membawa Thomas datang ke rumah setiap Minggu sore. Dessa dan aku selalu
melakukan itu, dan lalu setelah bercerai, aku meneruskannya. Itu sebuah pola,
sebuah ritual. Joy tak pernah berkomentar tentang itu selama beberapa saat. Dia
sedang berperilaku sangat baik. Lalu suatu Minggu pagi-kami sudah tinggal
bersama selama enam bulan waktu itu-dia tiba-tiba memintaku untuk tidak
menjemput Thomas hari itu.
"Tapi dia selalu datang hari Minggu," kataku. "Dia menantikan aku."
"Yah, kupikir akan sangat menyenangkan kalau kita menghabiskan seluruh hari
Minggu berdua saja-hanya kau dan aku. Telepon saja dan katakan padanya kalau kau
sakit atau apa. Please?"
Kami sedang bersama di kamar mandi saat dia mengatakan itu, aku ingat.
"Hanya kau dan aku," ulang Joy.
"Tapi dia menantikanku, Joy. Dia menungguku. Duduk di solarium dengan jaket
sudah terkancing rapi."
Joy menempelkan tubuhnya ke tubuhku-mengusap-usap. Tersenyum. Melihatku
mengerjap. Melihatku menelan ludah.
"Bagaimana dengan apa yang kunantikan?" katanya. "Apa itu tidak berarti?"
Jarinya terus mengelus. Sepuluh detik lagi, dia akan mendapatkan apa pun yang
dia mau. Aku memegang pergelangannya dan menjauhkan tangannya dariku. Memandangnya.
Menunggu. "Ini bukan ...." katanya. "Bukan apa?"
"Bukan berarti aku tak suka dia. Aku suka dia, Dominick. Dia pria yang baik,
dengan caranya yang aneh. Tapi dia membuatku takut. Caranya bertingkah, kadang.
Caranya memandang padaku."
Itu bualan, apa yang dia maksudkan: bahwa Thomas memandangnya dengan nakal.
Maksudku, kebanyakan pria memang memandang Joy seperti itu. Joy adalah wanita
yang sangat cantik. Dia membuat banyak pria bergairah. Tapi dengan obat-obatan
yang diminumnya selama bertahun-tahun, dorongan seksual kakakku sama besarnya
dengan dorongan seksual sebuah manekin. "Bagaimana dia memandangmu?" tanyaku.
"Jelaskan secara spesifik."
"Aku tak tahu," katanya. "Mungkin bukan begitu. Dia cuma membuatku agak
merinding." "Dia membuat semua orang merinding," kataku. Aku masih menekan pergelangan
tangannya. Agak mencengkeramnya malah.
"Ya, tapi ... sebagian dari itu-aku cuma berbicara jujur, oke, Dominick" Jangan
marah, tapi ... sebagian lain adalah karena dia dan kamu sangat mirip. Itu yang
agak menakutkan. Kadang, dia seperti versi aneh dari dirimu."
Aku terus memandangnya hingga dia melengos. Lalu, aku melepaskan tangannya dan
mulai mandi. "Hei, lupakan saja, oke?" dia berteriak, di sela-sela desisan air. "Pergilah.
Bawa dia ke sini. Aku akan mengatasinya. Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku
minta maaf, Dominick. Oke?"
Tangannya menyibak gorden plastik yang menutupi shower dan mencari-cari
tanganku. Aku berdiri diam, melihat tangannya bergerak-gerak, mencari-cari,
seperti orang buta. Aku menolak memegangnya, menggeng-gam tangannya yang kecil
dan sempurna sebagai tanda kalau aku tak berkeberatan dia merasa seperti itumengatakan hal-hal yang baru saja dia katakan tentang Thomas.
Aku tak akan mengizinkannya. Aku tak bisa. Mungkin itulah sebabnya, aku merasa
aku dan Joy tak akan bertahan.
Aku menjemput Thomas seperti biasanya hari itu. Membawanya ke Basketball Hall of
Fame di Springfield, Massachusetts, yang dia tak pernah punya niat untuk
melihatnya. Membawanya keluar makan di Red Lobster dalam perjalanan pulang,
tempat dia menumpahkan mentega cair ke bajunya. Sengaja pulang telat. Aku
mendiamkan Joy selama dua hari berikutnya-memperlakukannya dengan dingin
sehingga aku jadi lebih merana dibandingkan dia. Tak mudah baginya hidup
denganku. Aku tahu itu. Coba kalau kau yang menjadi saudara seorang penderita
skizofrenia paranoid. Lihat saja kalau hal itu tidak membuat hidupmu berantakan.
Hubunganmu juga. Aku berdiri di sana memandang mesin penjawab telepon yang berkedip-kedip. Ingat
pesan-pesan yang ada-pesan yang belum kudengarkan tadi.
Memencet tombol. Beep. "Selamat sore, Mr. Birdsey. Ini Henry Rood lagi. Sekarang pukul lima,
Tuan-tepat di mana jam kerja berakhir." (Kata-katanya tak jelas, rupanya dia
habis minum cocktail lagi.) "Bukan berarti hari kerjamu pernah dimulai, Mr.
Birdsey. Setidaknya tidak di sini. Aku masih menunggumu untuk membalas teleponku
yang sekarang sudah kelima kalinya. Aku mencatatnya-semua usahaku untuk
berkomunikasi denganmu. Aku punya buku catatan di sini. Mungkin aku sebaiknya
menelepon Better Business Bureau saja."
"Mungkin sebaiknya aku menembak pantatmu," kataku pada mesin penjawab. Aku akan
pergi ke rumah brengsekmu itu kalau aku ingin nanti.
Beep. "Uh, yah, halo. Namaku Lisa Sheffer. Aku mau bicara dengan Dominick
Birdsey" Tentang masalah Thomas Birdsey" Kakak Anda?"
Mulai lagi, pikirku. Dari organisasi mana kau sayang" Hard Copy" Geraldo"
"Aku petugas sosial di Hatch Forensic Institute dan aku ditugaskan untuk
mengawasi Thomas, atau dia ditunjuk menjadi orang yang kuawasi, atau apalah ....
Aku tahu kau sangat kesal malam ini ketika kau datang bersamanya, dan kupikir
kau mungkin ingin bicara padaku" Untuk menjelaskan prosedur di sini atau apa"
Anda bisa meneleponku kalau Anda mau. Aku ada di kantor hingga sekitar pukul
22.00 malam ini." Aku melihat jam. Sialan! Sepuluh lebih dua puluh menit. "Atau,
Anda bisa meneleponku besok. Rileks saja. Oke" Oke?"
Pesan berakhir. Sialan! Kalau saja aku tadi mendengarkan seluruh pesan begitu
sampai rumah Tapi suara itu muncul lagi.
"Aku, mmm, aku baru saja bicara dengannya. Kami baru saja berbincang-bincang
dengan ramah. Dia oke. Baik-baik saja, mengingat situasinya. Benar. Aku tahu
Anda punya .... kadang beberapa penjaga di sini agak ... yah, pokoknya dia baik-baik
saja. Kakak Anda. Di dalam unit, tidak seperti kamar penyiksaan atau sejenisnya.
Sebenarnya tempat ini sangat manusiawi, seba-gi-an besarnya. Kupikir Anda akan
lebih tenang jika Anda tahu setelah apa yang terjadi malam ini. Oke" ... Mereka
menempatkannya di kamar observasi tepat di seberang ruang perawat. Itu bagus,
bukan" Dan perawat yang bertugas malam ini super. Aku kenal dia .... Jadi,
pokoknya Anda tenang saja. Dan seperti yang kukatakan, telepon aku kalau Anda
mau. Jadi, uh .... yah, tidak. Itu saja, kurasa. Bye."
Aku mencoba meneleponnya. Mungkin dia tinggal di kantornya lebih lama dari
rencana. Tapi tak ada yang menjawab.
Aku pergi ke ruang tamu dan berdiri di sana, mengubah-ubah saluran TV. Lisa
Sheffer: setidaknya dia terdengar manusiawi. Aku mondar-mandir. Masuk kamar
mandi dan minum satu lagi pil codeine Joy. Codeine itu mungkin bekerja atau
tidak bekerja-aku tak yakin. Masih terasa sakit di bagian bawahku, tapi rasanya
seperti, siapa peduli" Jadi, kurasa pil-pil itu memang bekerja ....
Aku bangun dari mimpi di mana aku minta maaf pada Connie Chung karena suatu hal.
Memohon agar dia memaafkanku. Agar dia memberiku kunci sehingga aku bisa
mengeluarkan kakakku. "La chiave," katanya. "Katakan. La chiave."
Saat aku membuka mata, Joy duduk di sofa di sebelahku. "Hai," katanya.
"Hai ... Ada apa?"
Dia mengelus rambutku. "Dia terlihat seperti anak kecil ketika baru bangun, ya?"
katanya. Awalnya, aku tak tahu dia bicara pada siapa, atau apakah aku masih
bermimpi. Lalu aku melihatnya. The Duchess. Dia duduk di seberang ruangan,
tersenyum padaku. Mereka sama-sama memegang minuman di tangan. Minuman krim.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Joy.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Aku baik."
"Bagus," katanya. Dia menyentuh wajahku. Mengelus pipiku dengan jari-jari
pengutilnya. Jari-jari itu lembap terkena minuman. Lembap dan dingin.
Tujuh Thomas dan aku berjalan di pinggir kolam, berhenti setiap kali melihat batu
ceper. Meluncurkan batu ke permukaan kolam. Thomas membungkuk. Ia menemukan batu
yang bagus. "Lihat ini," katanya, dan melempar. Batu itu melompat-lompat di
permukaan air, enam, tujuh, delapan ....
Sebuah suara mengalihkan perhatianku-suara ocehan-seekor monyet! Ia nangkring
tinggi di atas dahan pohon di belakang kami, sebagian tubuhnya terlihat dan
sebagian tersembunyi oleh dedaunan. "Dominick!" kata Thomas. "Lihat!" Dia
melempar batu lagi. Delapan, sembilan, sepuluh, sebelas ... Aku berpaling ke pohon
itu lagi. Kini monyet itu adalah seorang wanita tua. Dia duduk, ngomel sendiri,
mengawasi kami .... Beep\ Beep\ Beep\ Beepl
"Yeah, tunggu, tunggu," aku menggumam pada alarm radio. Tanganku meraba-raba,
menemukan tombolnya. Sunyi. Terbaring di ranjang, setengah bangun, setengah
tidur, aku tiba-tiba ingat malam kemarin: Thomas dirantai kakinya, suara
jeritannya saat mereka menyeretnya ke bangsal yang terkunci. Keberadaannya di Hatch
menghantam punggungku bagaikan besi tempa.
Kamar terasa dingin. Seharusnya pemanas sudah mulai dijalankan. Aku menarik
selimut di kakiku dan menutupi tubuh hingga leher.
Apakah Thomas sudah bangun di sana" Mungkin dia dan aku bangun pada detik yang
sama. Kami sering mengalami telepati yang muncul dan hilang sepanjang hidup
kami-berbagi hidup dengan cara yang hanya diketahui oleh orang kembar. Menjawab
pertanyaan satu sama lain, kadang bahkan sebelum ditanyakan. Seperti waktu itu,
di kelas tujuh ketika aku mengalami patah lengan di kelas senam dan Thomas ikut
merasakan sakit meskipun dia berada di sisi lain sekolah. Atau pada musim panas
ketika Ray menyewa cottage di Danau Oxoboxo-aku dan Thomas melakukan permainan
untuk mengetahui apakah kami tersambung satu sama lain: melompat dari dermaga
dan melihat apakah kami berdua memikirkan gaya terjun yag sama .... Bahkan,
telepati itu juga terjadi minggu lalu. Aku memang tak tahu dia ada di
perpustakaan memotong tangannya karena Kuwait, tapi aku tahu ada yang salah.
Sepanjang pagi aku gelisah-menjatuhkan sekaleng cat, sesuatu yang tak pernah
terjadi. Dan ketika mobil polisi itu datang di Gillette Street, menuju rumah
Rood tempat aku bekerja, hal pertama yang kupikirkan adalah: Thomas.
Aku mendengar suara shower berhenti, gorden terbuka. Jam menunjukkan pukul 5.55.
Joy selalu melakukan itu ketika dia masuk pagi: pagi saat dia harus mengajar aerobik:
bangun sebelum alarm berbunyi dan lupa mematikan benda sialan itu .... Ketika Joy
dan aku baru berkencan, aku sering datang ke sana dan ikut kelas aerobik pagi.
"Regangan Eksekutif Pagi-Pagi" itu nama kelasnya. Joy memberimu olahraga yang
bagus-sepadan dengan usahamu. Cuma yang aku tak tahan adalah setelahnya di ruang
ganti. Semua pria tipe jas dan dasi yang menarik tinggi kaus kaki mereka dan
bicara hal-hal seronok tentang Joy. Mereka tak tahu kalau aku pacar Joy-tak bisa
membedakan aku dengan lubang di dinding. Ketika akhirnya aku bilang pada salah
seorang dari mereka-agen asuransi berleher kurus yang paling mengesalkan saat
berbicara tentang Joy-dia lalu mengeluhkan diriku pada manajer. Joy lalu bilang
mungkin akan lebih baik kalau aku tak datang lagi ke kelasnya. Ini bagian dari
taktik di sini, kau tahu" Pria-pria itu memang seharusnya berfantasi tentang
instruktur senam mereka. Itu baik untuk bisnis.
Aku duduk di ranjang dan menurunkan kakiku ke lantai. Ya ampun, badanku sakit
semua. Tak mungkin aku mengecat hari ini. Aku mungkin harus menerima tawaran
Ray-memintanya membantu mengecat rumah Rood, meskipun itu membuatku harus
kehilangan kewarasanku. Kini, betapa aku berharap sudah menelepon Ray malam tadi
dan mengatakan padanya tentang Thomas. Tentang Hatch.
Aku membuat daftar dalam hati: Telepon Ray.
Telepon Rood. Telepon dokter Thomas. Telepon petugas sosial itu. Siapa namanya"
Lisa apa, ya. Dia terdengar masih baru dari suaranya di telepon, tapi setidaknya
dia adalah batu loncatan. Aku akan mencari tahu siapa atasannya dan langsung
memotong birokrasi. Berbicara pada bos paling besar yang bisa aku temukan di
sana. Aku ingin mendapatkan jawaban ketika aku menemui kakakku nanti. Ingin bisa
bilang ke Thomas, oke, ini perjanjiannya: kami akan mengeluarkan kau dari sini
dengan cara begini dan begini.
Pintu kamar mandi terbuka, awan uap air mengejar Joy keluar seperti dayangdayang pengiring. Tak heran jika langit-langit kamar mandi penuh dengan jamur
dan lembap. "Biarkan pintu terbuka kalau kamu mau mandi dengan air sepanas itu,"
kataku padanya. Dia bilang tak bisa membiarkan pintu terbuka karena takut
setelah melihat film bodoh itu. Psycho.
Psycho: orang-orang macam itulah yang sekarang jadi teman asrama kakakku.
Segerombolan psikopat ganas. Jika ada sedikit memar saja di tubuh Thomas saat
aku berhasil mengeluarkannya dari sana, aku akan menuntut sehingga mereka tak
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punya apa-apa lagi. Membuat mereka membayar dengan seluruh harta dan jiwa
mereka. Joy menyentuh bahuku ringan ketika berjalan melewatiku. Melepaskan handuknya.
Aku suka melihatnya berdandan seperti ini, pagi-pagi sekali. Sebelum telepon
berdering. Sebelum kami berdua membuka mulut dan merusak suasana. Dia juga
suka jika aku memandanginya. Penampilan pagi hari. Dessa selalu agak malu
berganti pakaian di depanku-selalu terburu-buru memakai baju di dekat lemari.
Joy kebalikannya. Dia mengeluarkan krim losion ke tangannya. Kulit yang muda, halus untuk
disentuh, tidak kasar seperti Dessa. Dia merawat kulitnya dengan bikini wax di
klub kesehatan tempatnya bekerja. Tempat itu punya pelayanan medis paling jelek
di dunia-tidak ada pemberian resep, tidak ada perawatan gigi-tapi kau bisa
mendapatkan waktu tak terbatas di kamar untuk mencokelatkan kulit. Aku melihat
Joy memakai pakaian senamnya-bergaris-garis zebra dengan celana superpendek
hitam yang memancing mata melihat ke tempat yang tepat. Sedang sakit atau tidak,
aku mulai merasa bergairah. Aku seperti anjing di dekat Joy. Dia hanya tinggal
berjalan masuk ruangan ....
Itulah yang mereka andalkan di klub tempat Joy bekerja: bahwa semua pria adalah
anjing. Bahwa yang penting adalah tubuh. Joy mengikuti seminar yang bertema
"maksimalisasi klien" yang merupakan bahasa kapitalis untuk "peras pelanggan
habis-habisan". Baju senam zebra itu misalnya; mereka mengharuskan karyawan
memakai barang yang sama, seperti yang mereka jual di butik mereka yang harganya
selangit. Ini teorinya: cewek gendut masuk sana, mengeluarkan empat puluh atau
lima puluh dolar untuk baju senam zebra dan celana superpendek dan ketat itu,
dan keluar dari ruang ganti sambil merasa terlihat seperti Joy.
Maksimalisasi klien: yang benar saja. Kau tahu siapa pemilik klub Hardbodies
itu" United Foods. "Hai," kata Joy.
"Hai." "Bagaimana rasanya?"
"Kurasa aku akan tetap hidup," kataku mengangkat bahu.
Aku berdiri dan terhuyung-huyung ke kamar mandi. Penjaga sialan itu membuatku
susah jalan. Ya Tuhan, rasanya seperti di hutan hujan-air menetes di dinding, cermin dan
jendela berkabut karena uap air. "Kau pergi kerja hari ini, Dominick?" panggil
Joy. "Nggak bisa. Aku harus pergi ke rumah sakit jiwa dan menyelesaikan masalah
Thomas." Aku menyalakan shower, melepaskan pakaian dalam. Paha dalamku memar,
merah biru. Buah zakarku bengkak. Hitam, ungu, dan biru.
"Dibayar berapa pun hari ini, aku juga nggak akan naik turun perancah di
Gillette Street," kataku padanya.
"Apa Gillette Street itu rumah Henry Rood?" tanya Joy.
"Yap. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Dia sangat kasar kemarin saat menelepon. Rasanya aku ingin bilang, maaf, tapi
bukan aku yang mengecat rumahmu. Jadi, jangan berteriak-teriak padaku."
"Kau bilang itu padanya?"
"Nggak. Tapi aku mau."
"Bagus," kataku. "Lain kali, katakan saja. Balas
dia." Air hangat membuatku lebih nyaman. Mungkin itu yang seharusnya aku lakukan:
berendam di shower seharian. Kakak" Kakak apa" ... Saat aku berdiri di bawah
siraman shower, aku teringat mimpiku lagi. Aku dan Thomas di ... Rosemark's Pond,
kurasa. Kera dan wanita tua di atas pohon" Sialan, aku bahkan tak ingin tahu apa
artinya itu .... Thomas, kakakku itu sejak dulu memang pandai meluncurkan batu di
atas air. Dia selalu lebih bisa dariku.
Ketika aku membuka gorden shower, Joy berdiri di depan cermin, memakai eye
shadow. "Lihat ini," kataku, menunjukkan memarku dari perang malam kemarin.
"Ya Tuhan .... Eh, Dominick?"
"Apa?" "Aku cuma ingin tahu. Bagaimana dengan Connie Chung?"
"Kenapa dengannya?"
"Apa yang seharusnya kukatakan padanya kalau nanti dia telepon lagi" Tentang
wawancaranya" Dia ingin tahu bagaimanapun caranya. Aku memberinya nomor telepon
tempat kerjaku kalau-kalau dia tak bisa menghubungimu."
"Bilang saja tidak," kataku. Joy terdiam, tak paham.
"Oke, baiklah," kata Joy akhirnya. "Ini keputusanmu. Aku Cuma ...." "Kamu cuma
apa?" "Yah, aku pikir sebaiknya kau bicara dengan dia dulu. Mereka menayangkan acara
spesial, tentang reaksi orang-orang terhadap Operation Desert Shield?"
"Thomas memang bereaksi," kataku. "Dan reaksi itu membuatnya terkurung dalam
penjara dengan keamanan maksimal. 'Selamat malam, ini Connie Chung, menghadirkan
tayangan spesial hidup di antara para psikopat'. Huh. Itu pasti bagus untuk
menaikkan rating." "Dengarkan apa yang dikatakannya sebelum kamu memutuskan. Dia baik, Dominick.
Dia terdengar sangat simpatik."
Aku menggelengkan kepala. "Yang benar saja."
"Beneran. Dia memang begitu. Thad juga berpikiran sama denganku."
"Thad" Apa hubungannya dengan ini?"
"Nggak ada. Dia di sini ketika Connie menelepon, itu saja. Dia yang mengangkat
telepon. Ketika aku selesai menelepon, kami berdua seperti, 'Ya Tuhan, kita baru
saja bicara dengan Connie Chung yang di TV."
"Yeah, hebat ya," kataku. "Dengar, mulai sekarang jangan izinkan si jelek itu
mengangkat telepon."
Joy tidak menjawab. Dia masih terpukau dengan Connie Chung. "Benar, Dominick.
Bicaralah padanya. Dia benar-benar manis."
"Dia 'benar-benar manis' karena dia menginginkan sesuatu. Percayalah Joy, Connie
Chung bukan sobatmu."
Joy berbalik dan memandangku marah. "Aku juga tahu dia bukan sobat baruku, oke?"
katanya. "Aku nggak bodoh, kok, tak peduli apakah kau berpikir aku bodoh atau tidak."
"Dengar," kataku. "Aku cuma tak ingin ... aku punya beberapa urusan yang perlu
kuselesaikan sekarang dan aku tidak
"Kau tahu apa yang kadang kuinginkan?" tanyanya. "Aku berharap kau memerhatikan
aku seperti kau memerhatikan dia. Karena itu akan menyenangkan, Dominick;
diperhatikan oleh pacarku sendiri. Tapi itu nggak akan terjadi, kan" Karena aku
tidak gila." Lupa akan memarku, aku membanting diriku ke ranjang. Menahan sakit. "Jangan
lakukan ini Joy, oke?" kataku. "Jangan sekarang. Pokoknya jangan .... Aku tak
pernah berpikir kau bodoh. Aku tahu ini sulit buatmu. Ini sulit buat kita semua.
Tapi perhatianku untuknya tak bisa ditawar lagi. Oke" Ini sudah kewajibanku."
"Baiklah," katanya. "Lakukan saja. Lakukan, Dominick." Dia keluar kamar.
Lucu juga kalau dipikir-lucu yang ironis: wawancara dengan Connie Chung.
Ditayangkan secara nasional. Itu adalah hal yang memang diinginkan Thomas sejak
semula. Itu pula sebabnya mengapa dia memotong tangannya. Dia pikir, dia bisa
menghentikan perang jika bisa menarik perhatian semua orang. Katanya, begitu
orang mendengar apa yang akan dia katakan, dia akan mempunyai pendukung.
Perkumpulannya sendiri. Dan mungkin Thomas benar, mengingat banyak orang gila di
luar sana. Aku bisa membayangkannya
sekarang: Gereja Santo Thomas Birdsey. Ordo Suci Amputasi Untuk Perdamaian. Tapi
kata Thomas, hal itu akan berbahaya. Menyelamatkan seluruh dunia jelas akan
membuatnya menjadi target setan.
Joy kembali ke kamar. Mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Hei, ada toko yang
menelepon dan meninggalkan pesan untukmu," kataku. "Gaun cocktail yang kau pesan
sudah ada." Respons diamnya membuat Joy seakan-akan bersalah. Aku tak bisa melihat wajahnya.
"Jadi, untuk apa kau butuh gaun cocktail?" tanyaku.
Dia menggoyang-goyangkan rambutnya, mengacaknya dengan jari. Joy punya rambut
yang bagus. Aku memandang matanya di cermin. Tidak ada ekspresi bersalah di
sana. Ekspresinya yang kosong mungkin membuat Joy sangat berbakat menjadi
pengutil di toko. "Kau dengar aku?"
"Apa?" "Aku bilang, buat apa kau butuh gaun cocktail?"
"Aku tidak butuh gaun cocktail baru," katanya. "Untuk apa aku butuh gaun
cocktail baru kalau kita tak pernah pergi ke mana-mana?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Lebih baik diam daripada ribut. Kami berdua
saling memancing emosi pagi ini. Joy pergi ke lemari. Mulai memakai setelan
pemanasannya, tersedia juga di butik Hardbodies, tentu saja.
"Kalau begitu kenapa kau memesannya?"
Dia tak mau memandangku. Apa ini berarti
terdakwa mengaku bersalah" Karena apa"
"Aku cuma ingin tahu bagaimana penampilanku dalam gaun itu. Puas, Dominick" Kau
bisa melakukan itu, tahu. Memesan sesuatu. Membawanya pulang dan mencobanya,
lalu mengembalikannya lagi. Itu tidak melanggar hukum."
"Aku tidak bilang itu melanggar. Tapi, bukankah itu sama saja dengan membuangbuang waktu semua orang kalau kau tahu, kau tak akan membelinya?"
Joy tidak menjawab. Keluar dan pergi ke dapur.
Sakit sekali rasanya memakai pakaian dalam. Jin" Lupakan saja. Aku menemukan
celana dengan karet dan tali yang dibelikan Joy dulu dan memakainya-celana gaya
jazzy dengan motif tengkorak dan tulang bersilang. Aku tak pernah memakai celana
bodoh ini. Tak pernah memakainya keluar. Tapi setidaknya celana ini bagus dan
longgar .... Aku mungkin bisa membuat penjaga itu dipecat kalau aku mau. Kalau aku
mau memeriksakan diri ke dokter dan mencari pengacara. Tapi, aku tak punya waktu
dan energi untuk itu-tidak mungkin dengan semua masalah ini. Sialan.
Joy sedang mengoleskan kuteks di kuku kakinya di meja dapur. Aku tak suka saat
dia melakukan itu: mengangkat kakinya ke meja tempat kami makan. Dia tak pernah
berpikir untuk mengambil spons dan membersihkan meja setelahnya.
"Celana yang bagus," katanya. Mengolok-olok.
"Kau yang membelikannya untukku."
"Ya, dulu sekali ketika masih jadi trend."
Aku memasang mesin kopi. Aku dulu pernah berhenti minum kopi-merasa lebih baik,
dan tidur lebih nyenyak. Lalu aku mulai minum kopi lagi-pada musim panas, ketika
masalah Kuwait mulai. Karena itu saja yang dibicarakan Thomas: ramalan-ramalan
Alkitab yang akan jadi kenyataan, semua omong kosong tentang kiamat. Itulah pola
ketika Thomas mulai mengalami kemunduran-dia tidak mau meninggalkan satu topik.
Terus-menerus membicarakannya. Tak mau berhenti kata dokter ... dulu topiknya
tentang aborsi. Lalu tentang penyanderaan dan Ayatullah. Sekarang, krisis Teluk
Persia. Membuatmu ingin membentaknya, "Diam!" Tapi, dia tak mau diam. Dia tak
bisa diam. Dia terus-menerus mengoceh ....
Gelas minuman krim Joy dan The Duchess masih di wastafel sejak tadi malam. Joy
selalu begitu-membiarkan piring atau gelas terendam di wastafel hingga akhirnya
aku tak tahan dan mencucinya. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan
mencucinya lagi dan lalu aku mencucinya. Lebih mudah daripada membiarkan hal itu
menyiksaku. Yang paling buruk adalah wajan panggang. Joy tahan membiarkan wajan
itu terendam di wastafel hingga Hari Pembalasan.
Aku bersandar di meja dan membaca headline koran sembari menanti kopi matang.
Aku tak tahu apakah Joy mau bicara padaku atau tidak" Aku juga tak ingin tahu.
Siapa peduli" HARGA MINYAK MENCAPAI REKOR TERTINGGI SEIRING SEMAKIN
BURUKNYA KRISIS AMERIKA SERIKAT-IRAK ... SUKU WEQUONNOC MENDAPATKAN PENGAKUAN
FEDERAL ... DAVID SOUTER MEMENANGI SUARA SENAT.
"Oh, hebat," kataku keras-keras. "Tepat seperti yang dibutuhkan negara ini:
Barney Fife di Mahkamah Agung."
"Siapa?" tanya Joy.
"Barney Fife. Don Knotts."
"Oh," katanya. "Maksudmu Mr. Furley?"
"Mr. Furley?" "Di serial Three's Company. Induk semang Jack. Setelah keluarga Ropers pergi."
Aku diam, memandangnya. Melihat koran kembali. Joy dan aku: kami berdua seperti
dua orang yang mencoba berkomunikasi dari dua sisi jurang Grand Canyon.
Kopi sudah siap. Aku menuangkan secangkir untuk diriku sendiri. Joy biasanya tak
mau baca koran, terlalu menyedihkan, katanya. Dia tidak minum kopi juga. Dia
sarapan dengan menu yang sama tiap pagi: teh herbal, vitamin, dan pop tart
stroberi beku. Bayangkan saja.
IVANA TRUMP MENGGUGAT CERAI ... APAKAH KOMUNISME MULAI RUNTUH" ... REDS TAK BISA
MENGALAHKAN DUA HOME RUN DARI BREAM'S. Wow, aku akan senang sekali melihat
Pittsburgh berhasil masuk Liga. Melihatnya datang ke Pirate untuk melawan SoxDoug Drabek melawan Clemens. Leo punya koneksi di tempat penjualan tiket di
Fenway. Mungkin kalau Boston berhasil masuk Liga lagi, kami bisa menonton dan
berteriak-teriak hingga paru-paru kami meledak seperti dulu ....
Aku langsung berhenti: Thomas terkurung di rumah sakit dengan keamanan maksimum
dan aku malah memikirkan babak penyisihan bisbol. Memikirkan tentang Red Sox,
bukan kakakku. "Jadi, apa yang dikatakan Ray?" tanya Joy.
"Tentang apa?" Dia menutup botol kuteksnya. Mengipasi jari kakinya dengan brosur dari swalayan.
"Tentang dia yang dipindah ke Hatch."
DIA: Joy selalu memanggilnya dengan Dia. Bukan Thomas. Ketika selama lima hari
Thomas dirawat di Shanley Memorial setelah dia memotong tangannya sendiri, Joy
sekalipun tak pernah menjenguknya. Dia bahkan tidak memikirkan untuk datang. Ray
bahkan lebih baik daripada dia. Setidaknya, dia berhasil masuk sampai ke ruang
tunggu pengunjung. "Dia nggak bilang apa pun," kataku. "Karena aku belum bilang
padanya." "Kalau begitu, telepon dia, Dominick," kata Joy. "Kau tak harus menanggung
semuanya. Dia kan ayahnya."
"Ayah tirinya," kataku.
"Itu tidak berarti dia tak perlu menanggung beban juga. Kau tak harus menjadi
pahlawan hebat setiap waktu. Kau menanggung terlalu banyak."
"Pahlawan hebat": lucu sekali. Kapan ada seorang penjaga rumah sakit sialan
pernah menendang selangkangan Superman dengan lututnya" "Aku tidak mencoba
menjadi pahlawan," kataku. "Hanya saja-cuma ... lupakan saja, oke" Ini terlalu
kompleks untuk dibicarakan pada pukul 6.00
pagi." "Tidak, ceritakan padaku," katanya. "Bicarakan, Dominick. Kompleks bagaimana?"
Joy duduk memandangku penuh perhatian. Benar-benar mendengarkan untuk pertama
kalinya. "Aku tak tahu," kataku. "Aku selalu menjadi orang yang menjaganya. Bukan berarti
aku memang ingin melakukannya, percaya/ah .... Tahun ketika aku masuk perguruan
tinggi" Itu seharusnya menjadi kesempatan besarku. Pelarianku menuju kebebasan
.... Cuma yang terjadi tidak seperti itu."
"Mengapa tidak?"
"Oh, ibuku ...."
Aku mengikuti pandangan Joy yang terpaku ke tanganku. Aku baru sadar kalau aku
sudah merobek-robek pembungkus pop tart-nya menjadi serpihan. Tanpa sadar.
"Sialan," kataku, tertawa. "Minta tolong Ray" Ray justru orang yang harus aku
hindarkan agar Thomas tidak mendapat bahaya."
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada. Semuanya sudah berlalu ... Ray kadang brutal terhadap Thomas.
Maksudku, dia juga sering memarahiku, tapi aku tak pernah diperlakukan seburuk
Thomas." "Mengapa tidak?"
"Aku tak tahu mengapa. Karena aku berhasil masuk tim aii-stars di Little League
dan Thomas berhenti di tengah musim kompetisi" Karena aku sering nongkrong dan
mengamati Ray mengganti oli mobilnya" Aku tak pernah tahu mengapa dia lebih
keras pada Thomas. Dia memang begitu."
"Mungkin karena itu Thomas jadi bermasalah," kata Joy.
"Karena Ray" Nggak. Nggak sesederhana itu. Aku dulu juga mengira begitu: bahwa
siksaan Raylah yang membuatnya gila. Aku suka membayangkannya begitu, membuat
Ray menjadi penjahatnya, berharap dia mati. Tapi, tak sesederhana itu. Maksudku,
bukan berarti Ray tak punya peran dalam hal ini. Tapi bukan dia yang menyebabkan
Thomas sakit. Otak Thomaslah penyebabnya. Biologis. Kimiawi. Ingat?"
"Apa Ray sering menghajarnya?" tanya Joy.
"Menghajar Thomas" Ya, kadang-kadang. Kami berdua sering dipukul dari waktu ke
waktu. Ibuku juga. Tapi tak terlalu sering. Ray lebih sering membentak daripada
memukul. Mengatakan pada kami kalau kami sampah. Mengatakan pada Ma kalau dia
pasti terlantar di jalanan dengan dua anak haramnya kalau dia tidak
mengawininya. Suatu kali ... suatu kali, aku ingat ... begini, Thomas sering gugup
dan kalau gugup dia akan mengunyah barang-barang. Pensil, serbet, lengan
kemejanya. Dia bahkan tak sadar akan apa yang telah dia lakukan. Dan Ray ... dan
Ray ... perilaku Thomas itu membuatnya marah. Dia membuatnya seakan-akan itu
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masalah besar-kadang bahkan menunggu anak malang itu, menunggu saat-saat dia
memasukkan barang ke mulutnya. Jadi, suatu malam, kami sedang makan malam dan ...
dan Thomas lupa. Mulai mengunyah lengan kemejanya. Ray pergi ke ruang bawah
tanah dan kembali dengan segulung isolasi
besar dan mengisolasi tangan Thomas. Merekatkan jari-jari Thomas sehingga dia
tak bisa mengunyahnya.Tangannya diisolasi setidaknya, aku tak tahu, dua hari
mungkin .... Lucu, hal-hal yang kau ingat: aku masih bisa melihat Thomas dengan
kepala menunduk di atas piringnya, makan makanannya seperti anjing. Masih bisa
mendengarnya gemetar ketakutan, seharian penuh."
Joy mengulurkan tangan. Menggenggam tanganku. "Itu mengerikan sekali," katanya.
"Kali lain, Ray menghukum kami berdua dengan menuangkan beras di lantai dan
menyuruh kami berlutut di atasnya. Di lantai dapur. Aku bahkan tak ingat apa
kesalahan kami. Aku hanya ingat hukumannya .... Mungkin kelihatannya bodoh,
berlutut di atas beras. Kecil. Tapi setelah sekitar lima menit, itu nggak lucu
lagi. Sakit. Aku boleh berdiri setelah lima belas menit karena aku tidak
menangis, tetapi Ray menyuruh Thomas berlutut terus karena dia menangis.
Menangis seperti bayi. Itu adalah dosa terbesar menurut Ray. Membiarkan musuh
melihatmu menangis."
"Dan ibumu tak pernah mencegahnya?"
"Ma" Ma lebih takut pada Ray daripada kami. Setidaknya dibandingkan dengan aku.
Aku adalah satu-satunya dari kami bertiga yang berani menghadapinya. Nekad.
Kurasa, itu justru membuatku aman dari perlakuannya yang terburuk."
Ini terasa aneh, sebenarnya: mendapatkan perhatian penuh Joy seperti itu.
Mengendurkan penjagaanku, seperti pergi ke Unit Gawat Darurat,
menurunkan celanaku, dan berkata, "Nih, lihat apa yang dilakukan penjaga Nazi di
sana padaku. Lihat." Robocop, Ray: aku sudah empat puluh tahun dan masih harus
menghindari para tukang gencet.
Aku berjalan ke jendela, memandang ke luar. Ada salju beku, pertama kali tahun
ini. Semua pohon dan dedaunan berubah. "Tak ada gunanya dibicarakan lagi Joy,"
kataku. "Semua itu masa lalu ... aku sebaiknya diam atau kamu akan terlambat."
Dia berdiri dan mendekatiku dari belakang. Melingkarkan lengannya ke tubuhku dan
menyandarkan dahinya ke bahuku. "Hai," katanya.
"Hai, apa?" "Aku menyesal."
"Karena apa?" "Karena Ray sangat kejam. Dan karena kamu harus mengalami ini semua dengan
kakakmu." Aku mendengus pelan. "Jangan kasihan padaku. Thomas yang terkurung di sana.
Bukan aku." Joy terus memelukku. Lebih erat, malah. Memeluk erat selama beberapa saat.
Setelah Joy pergi, aku menuang kopi lagi. Membuka-buka koran. Mungkin aku akan
berhenti minum kopi lagi begitu masalah dengan Thomas selesai. Begitu aku
selesai mengecat rumah si Rood yang mengesalkan itu. Mungkin, aku akan mulai
joging lagi. Mengajak Joy jalan-jalan. Kami bisa bertahan, kami berdua, kalau
saja kami ... kalau saja. Aku kembali ke jendela. Memandang daun-daun
gugur terbawa angin. Memikirkan semua alasan untuk Joy-semua penjelasan mengapa
aku harus selalu mengurusi Thomas.
Aku tahu kau perlu diperhatikan Joy, tapi orang saling membunuh di tempat
seperti Hatch. Dia tak akan bisa mempertahankan dirinya sendiri. Itu sama saja
seperti melemparkan kelinci ke tengah-tengah segerombolan serigala.
Semua berbeda kalau kamu kembar, Joy. Ini sungguh rumit.
Aku sudah berjanji pada Ma.J^*
Delapan 1968-69 Ketika aku dan Thomas lulus dari SMU John F. Kennedy Three Rivers pada Juni
1968, Ma memberi kami hadiah untuk berdua. Ma menempelkan satu kunci di dalam
kartu kelulusan kami masing-masing dan menulis pesan yang sama, "Selamat! Love,
Ma & Ray. Pergilah ke lemari di lorong depan."
Di dalam lemari, Thomas dan aku menemukan mesin tik portabel merek Royal dalam
kotak biru tua, bisa dikunci dan dibuka dengan kunci kami masing-masing. Kami
membawa mesin tik itu ke ruang duduk, meletakkannya di atas meja kopi, dan
membuka kuncinya. Thomas, yang pernah ikut kelas mengetik di SMU JFK, memasukkan
selembar kertas dan mencoba mengetik kalimat: Sekarang waktunya untuk semua
warga negara yang baik membantu negara mereka. Aku juga mencoba mengetik: Thomas
Birdsey adalah anak yang menyebalkan. Ma berkata, oke sudah, sudah, sudah cukup.
Lalu dia mencium kami. Ma tidak membeli mesin tik itu: dia menebusnya. Selama bertahun-tahun, dia
mengumpulkan prangko hijau S&H dengan harapan bisa menukarkannya
dengan jam lonceng besar buatan tangan dari Jerman yang bisa ditukar dengan 275
buku prangko S&H. Ma sangat menginginkan jam itu, sehingga dari waktu ke waktu
melihatnya di toko penebusan S&H di Bath Avenue, hanya untuk mendengar bunyi
loncengnya dan mengelus kayunya yang berpernis. Ma sudah mengumpulkan lebih dari
setengah prangko yang diperlukan-hampir 150 buku prangko-ketika dia mengubah
rencananya dan menukarkannya dengan mesin tik untuk kami. Katanya, kesuksesan
kami lebih penting daripada jam bodoh itu.
"Kesuksesan kami" yang dimaksud Ma adalah keselamatan kami. Setahun sebelumnya,
tetangga kami, Billy Covington, tewas di Vietnam-tewas tertembak dalam serangan
bom dekat Haiphong. Ketika masih anak-anak, Billy sering main ke rumah kami
setelah sekolah karena ayahnya pergi begitu saja dan ibunya bekerja di kota.
Empat tahun lebih tua daripada Thomas dan aku, dia tak bisa dikalahkan dalam
permainan tarik tambang, bisbol dan permainan favoritnya, Superman. Aku ingat,
Billy punya piama Superman, dan biasanya dia membawa piama itu dalam tasnya dan
memakainya sebelum kami bermain, dengan tambahan jubah salah satu handuk kami,
yang oleh Ma disematkan di sekeliling lehernya dengan peniti. Billy akan memulai
setiap episode permainan dengan menirukan pembukaan film Superman di TV: "Lebih
cepat daripada peluru! Lebih kuat daripada lokomotif!" Tapi walaupun Billy saat
itu terlihat tak terkalahkan seperti si Manusia Baja, dia terlihat mengibakan setelahnya. "Billy
yang malang," Ma kadang mengeluh saat kami mengamatinya berjalan pergi
bergandengan dengan Mrs. Covington. "Dia tidak punya ayah yang baik seperti
kalian berdua. Ayahnya meninggalkan Billy dan ibunya tanpa apa-apa."
Bertahun-tahun kemudian, Billy Covington menjadi pengantar koran kami-remaja
kurus tinggi berusia empat belas atau lima belas tahun yang suaranya mulai
pecah, kadang bariton kadang seperti teriakan keledai, dan dari jalan dia bisa
melemparkan Daily Record yang terlipat ke pot bunga semen kami dengan akurat.
Ketika Thomas dan aku masuk SMU, Billy sudah lulus dan masuk ke Angkatan Udara
dan tak lagi berhubungan dengan kami. Di upacara pemakaman militernya, aku sama
sekali tak memikirkan tentang makna kehidupan dan kematian Billy Covington, atau
kesia-siaan perang Vietnam ataupun implikasinya pada kakakku dan aku. Aku malah
memerhatikan tunangan Billy, yang payudaranya bergoyang-goyang keras saat dia
tersedu, dan pada GTO hitam Billy (386 kubus, 415 kuda). Mungkin ibunya akan
menjual barang-barang militer peninggalannya sehingga dia bisa melupakan Billy
dan melanjutkan hidup. Aku ingat memperhitungkan untung rugi membeli semua itu
tepat di depan peti mati Billy yang berwarna perak dan bertudung bendera.
Meskipun kematian Billy gagal membuatku terharu saat usiaku enam belas tahun,
hal itu membuat ibuku sedih. "Perang sialan," katanya di mobil dalam perjalanan pulang
dari upacara pemakaman. "Tuhan mengutuk perang sialan ini hingga ke neraka." Di
kursi belakang, Thomas dan aku saling memandang, terkejut. Kami sebelumnya tak
pernah mendengar Ma mengumpat. Yang lebih mengejutkan lagi, Ma mengatakannya
tepat di depan Ray, yang pernah berperang dalam Perang Dunia II dan Korea, dan
yang menganggap bahwa semua demonstran antiperang seharusnya dijajarkan di
dinding dan ditembak mati. Ma terus berduka berhari-hari setelahnya. Dia
menemukan foto tua Billy, membeli pigura dan meletakkan foto itu di atas meja
laci bersama foto Thomas dan aku, juga foto ayahnya dan Ray. Dia membacakan
novena untuk mengantar kepergian Billy. Air mata menggenang di mata Ma setiap
kali melihat Mrs. Covington berjalan seperti mayat hidup melewati depan rumah
kami. Aku ingat pernah merasa sedikit sebal atas apa yang kuanggap reaksi duka
berlebihan dari Ma. Baru bertahun-tahun kemudian-lama setelah masalah Thomas
muncul-aku mulai mengerti reaksi berlebihan yang ditunjukkan Ma atas kematian
Billy Covington: empat tahun lebih tua daripada kami, sepanjang hidupnya Billy menjadi preview akan apa
yang mungkin terjadi pada dua anak lelakinya. Jika Superman bisa ditembak dari
langit, maka dua pembantu mudanya ini pun pasti bisa. Vietnam bisa membunuh
kami. Hanya universitas yang akan menjaga agar kami tetap selamat.
Ray sebenarnya tak menandatangani kartu ucapan kelulusan kami dengan cinta dan
ucapan selamat. Bahkan, ayah tiri kami itu tidak setuju dengan gagasan
pendidikan perguruan tinggi untuk Thomas dan aku. Alasan pertama, katanya, dia
dan Ma tak mampu membiayai biaya pendaftaran untuk kami berdua. Dia lebih tahu
tentang itu, bukan Ma. Karena dia adalah orang yang membayar tagihan dan
mengurusi tabungan mereka. Ma tak mungkin tahu apa yang mampu mereka beli dan
tak mampu dibeli. Alasan kedua, dari apa yang dia baca dan dengar di galangan
kapal, setengah dosen di perguruan tinggi itu Komunis. Dan setengah mahasiswanya
kecanduan obat. Jika dia menangkap basah salah seorang dari kami mencoba-coba
sampah itu, dia akan menendang kami sampai kiamat. Dia tak mengerti mengapa dua
anak muda yang sehat dan kuat dan sudah lulus sekolah tak bisa bekerja untuk
mencari uang sendiri. Atau masuk Angkatan Laut seperti yang dia lakukan dulu.
Banyak hal yang lebih buruk daripada berkarier di militer. Misalnya, para
pengikut wajib militer yang dikirim ke Vietnam: mereka yang masuk ke akademi
militer punya pilihan. Atau kalau kami tak ingin masuk militer, dia bisa
mencarikan kami pekerjaan di Electric Boat sebagai pekerja ma-gang di bagian
pemasang pipa atau tukang listrik atau tukang las. Perjalanan karier pekerjaan
itu mungkin terasa lambat. Membangun kapal selam mungkin bukan pekerjaan lulusan
mahasiswa yang bergaya, tapi setidaknya itu bisa "menahan serangan". Lagi pula,
pekerjaan itulah yang memberi kita makan, bukan"
"Tapi itu bukan masalahnya, Ray," kata ibuku suatu malam di meja makan.
"Apa maksudmu bukan itu masalahnya?" Tinjunya menghantam meja makan sehingga
piring berkelontangan. "Biar kukatakan apa masalahnya. Masalahnya adalah,
Tweedledum dan Tweedledee ini telah bermanja-manja sepanjang hidupnya. Mereka
berdua hanya tahu, ambil, ambil, ambil, dan aku sudah muak dengan itu." Ray
berdiri dan keluar rumah sambil membanting pintu. Ketika kembali, dia hanya
bicara sepatah dua patah kata pada Thomas dan aku, dan mendiamkan Ma. Dia
mendiamkan Ma selama berhari-hari.
Setelah itu, terjadi pertengkaran dan cucuran air mata di balik pintu kamar Ma
dan Ray. Ma mengancam akan bekerja untuk mengumpulkan uang bagi sekolah kami,
dan ketika Ray bilang tak ada yang mau mempekerjakannya, Ma menghadapi tantangan
itu dan melamar menjadi pelayan di rumah Howard Johnson. Ma sangat takut
mengenai kemungkinan bekerja di luar rumah-takut menerima perintah dari bos dan
berbuat kesalahan, takut kalau dia harus berbicara dengan orang-orang tak
dikenal yang akan melihat bibir sumbingnya dan menganggapnya aneh. Howard
Johnson memanggilnya untuk wawancara dan langsung menawarkan pekerjaan ke Ma. Ma
diminta mulai bekerja Senin, minggu depannya.
Pagi-pagi pada hari pertamanya bekerja, Ma berdiri di depan kompor memasak
sarapan memakai seragamnya, tak mampu berkonsentrasi, tangannya bergetar. Dari tempat duduknya,
Ray menggoda dan mengejeknya. Orang-orang itu babi, katanya. Entah apa saja yang
akan mereka tinggalkan untuk dibersihkan Ma. Beberapa waktu lalu, dia membaca
cerita di Bridgeport Herald tentang seorang pelayan yang menemukan bayi yang
digugurkan dibungkus dalam seprai penuh darah. Ma menuangkan telur mata sapi ke
piring Ray. "Baiklah, Ray. Itu sudah cukup," katanya. "Aku akan membersihkan apa
pun yang harus kubersihkan. Anak-anak ini akan sekolah, titik." Saat itulah,
ketika muncul ancaman bahwa istrinya akan bekerja-berdiri di depannya mengenakan
seragam pelayan warna krem-ayah tiriku setuju mengeluarkan empat ribu dolar
untuk pendidikan Thomas dan aku di perguruan tinggi, dan meminta ibuku tetap di
rumah. Istrinya tak boleh membersihkan toilet orang asing. Istrinya tak boleh
melakukan pekerjaan orang kulit hitam.
Meski lega karena tak harus bekerja di dunia luar, Ma tetap malu karena tak
muncul pada hari pertama kerja. Dia menyuruh aku untuk pergi ke rumah Howard
Johnson dan menyerahkan seragamnya kembali yang digantung di hanger. Pria yang
berjaga di meja depan bergurau tentang tidak munculnya Ma. Memegang seragam yang
di hanger itu tinggi-tinggi di depannya, dia melongok ke lubang kerah seragam
yang kosong. "Halooo, Connie" Yuhuu" Ada orang?" Aku diam saja demi ibuku. Aku
mungkin bisa saja tersenyum atas gurauan itu. Tapi, aku sangat kesal saat keluar
sehingga aku menendang ban mobil Fairlane Ray, cukup keras dan hampir mematahkan
jari kakiku. Raylah yang kutendang, bukan ban itu atau si pria yang bodoh tadi.
Dengan empat ribu dolar dari Ray, pinjaman mahasiswa, dan uang tabungan kami
dari kerja paruh waktu, Thomas dan aku sekarang punya dana untuk sekolah. Tapi,
Ray telah membuat Ma mengemis untuk uang itu ini menggerus sebagian besar ?daging di tubuh Ma dan bahkan lebih daripada itu. Selama bertahun-tahun, Ray
sudah mengambil begitu banyak dari Ma, sehingga sangat mengherankan kalau Ma
masih bisa bertahan dan bukannya tinggal seragam yang kosong.
Sebagai siswa kelas tiga SMU, aku berharap bisa mandiri dan hidup terpisah dari
keluargaku menghindar dari kemarahan Ray, dari Ma yang terlalu memanjakan, dan
?dari permainan "aku dan bayanganku" yang sepanjang hidup kujalani bersama
Thomas. Nilai-nilaiku dan skor SAT-ku lumayan bagus dan guru pembimbingku telah
membantuku mengarahkan agar aku bisa meneruskan pekerjaanku sebagai instruktur
renang di YMCA yang aku sukai dan kuasai dengan menjadi guru. Duke University
? ?tak menerimaku, tapi aku diterima di New York University dan University of
Connecticut. Thomas hanya mendaftar ke UConn dan diterima. Awalnya, dia tak tahu
mau masuk jurusan apa, tapi lalu dia bilang ingin juga jadi guru.
Ketika persoalan uang membuatku tak bisa memisahkan diri dengan kakakku, aku
berusaha keras untuk mendapatkan kamar asrama yang terpisah, teman sekamar yang berbeda
di UConn. Sudah waktunya kita menjadi diri masing-masing, kataku pada Thomas.
Ini adalah kesempatan bagus bagi kami berdua untuk berusaha mandiri. Tapi Thomas
menolak gagasan untuk berpisah, memberikan berbagai alasan mengapa perpisahan
adalah kesalahan besar. Saat musim panas, argumen utamanya adalah kepemilikan
kami berdua atas mesin tik itu. "Tapi itu mesin tik portabel!" teriakku putus
asa. "Aku akan mengantarkannya padamu kalau kau membutuhkannya."
"Mesin tik itu juga milikku," teriaknya membalas. "Mengapa aku harus menunggu
seseorang mengantarkan mesin tik yang juga milikku?"
"Kalau begitu simpan saja di kamarmu!"
Merasakan kepanikan Thomas akan perpisahan kami, suatu sore Ma tiba-tiba muncul
di kolam renang YMCA ketika aku sedang bekerja. Saat itu aku menaksir instruktur
kepala di kolam renang, seorang wanita berumur dua puluhan bernama Anne Generous
yang menikah dengan seorang pelaut. Malam hari, di kegelapan, aku kadang
berbaring di ranjang atas tempat tidur bertingkat kami membayangkan Anne
Generous dalam baju renangnya yang berbordir logo YMCA, memegang dan mengelus
dadanya dengan satu tangan secara provokatif seperti gambar-gambar di majalah
terlarang. Di bawah, di ranjang bawah, kakakku tidur nyenyak.
Tanpa tahu-menahu tentang fantasiku
malam-malam, Anne Generous mengatakan padaku suatu sore kalau aku anak yang
tampan, tapi terlalu pemalu. Dia terus mendorongku untuk mengajak kencan
instruktur sebayaku bernama Patty Katz. Patty masih kelas satu di sekolah kami.
Dia selalu ceria dan sabar menghadapi anak-anak dan punya jerawat ungu di
punggungnya dan baju renangnya tampaknya selalu terselip di antara dua
pantatnya. "Patty tergila-gila padamu, Dominick," kata Anne. "Dia pikir kau yang
paling hebat." Ketika Ma datang ke kolam renang YMCA hari itu, Anne Generous dan Patty Katz
berjabat tangan dengannya dan mengatakan mereka senang bertemu dengan Ma. Mereka
lalu mengajak anak-anak ke sisi lain kolam sehingga aku dan ibuku bisa
berbicara. Ma minta maaf karena telah menggangguku saat kerja, tapi dia sangat
ingin bicara padaku tentang Thomas saat Thomas tidak ada. Kami berdua sudah
sedikit berbincang, kata Ma. Dia gugup karena akan jauh dari rumah; tinggal
denganku akan membuat Thomas merasa lebih aman. Dan dia juga kesal tentang mesin
tik itu. Ma bilang, dia hanya ingin semua berjalan lancar. Bukankah lebih mudah
kalau mesin tik itu ada di satu kamar dan tak perlu pergi ke mana-mana, iya kan"
Aku berdiri diam, tak berkata apa pun, melihat air mata menggenang di matanya.
"Aku tahu, kadang-kadang dia membuatmu kesal. Tapi tak bisakah kau menolong-/cu
dan menjadi teman sekamarnya" Dia hanya merasa kurang yakin
pada dirinya sendiri, itu saja. Dia tak pernah punya kepercayaan diri sepertimu,
Dominick. Segala sesuatu yang dia alami selama ini terasa lebih berat baginya
dibandingkan bagi dirimu. Kau tahu itu."
"Segala sesuatu juga lumayan berat bagiku," sahutku. "Tumbuh besar di rumah
kita." Ma melengos. Dia bilang dia tahu satu hal: bahwa jauh di dalam hati, walaupun
susah dipercaya, ayah tiri kami sangat mencintai kami. Mengabaikan dengusan
sinisku, Ma bilang yang diperlukan Thomas hanyalah kapal kecil untuk menolongnya
agar tetap mengapung. "Dan bagaimana dengan yang kubutuhkan, Ma?" kataku. "Bagaimana dengan itu?"
Kedatangan Ma menghentikan permainan tarik tambang anak-anak di air, dan
sekarang beberapa anak mendekat ke sisi kami dan mulai memanggil-manggilku.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang anak laki-laki terjun ke kolam dan tak sengaja airnya menciprat ke
ibuku. Aku ingat, aku mengumpat keras-keras padanya dan semua orang tiba-tiba
terdiam-berhenti bermain di air dan memandangku. Dari tengah kolam, Anne
Generous memandangku dengan ekspresi antara iba dan tidak setuju.
"Oke, baik," kataku pada Ma. "Kau menang. Aku akan sekamar dengannya. Sekarang
maukah kau pergi, saat ini juga, sebelum aku dipecat" Rokmu basah kuyup. Kau
membuatku malu." Hari itu, seusai kerja, aku tetap di kolam, berenang bolak-balik dan mengumpat
dan menggerutu ke air kolam. Aku benci kakakku
sebesar kebencianku pada Ray. Kalau aku menyerah, aku tak akan pernah lepas
darinya. Tak akan. Aku berenang hingga mataku panas dan kepalaku sakit-hingga
lengan dan kakiku pegal. Ketika aku keluar dari YMCA, Patty mengklaksonku dari mobil station wagon milik
orangtuanya. Dia tahu aku kesal, katanya. Dia pendengar yang baik. Ibuku juga
membuat-/cu gila, katanya. "Kau mau kutraktir es krim?"
Saat kami tiba di Dairy Queen, Patty keluar dari mobil dan mengambilkan es krim
sehingga aku punya kesempatan duduk sendiri dan merengut. Aku mengamati saat dia
antre. Dengan rambut kering dan baju, dia tak terlalu jelek. Dia lumayan. Patty
kembali ke mobil, menyodorkan es krimku dan setumpuk tisu. "Memangnya kau pikir
aku ini apa, orang yang ceroboh ya?" kataku, dan wajahnya memerah. Dia minta
maaf dan bilang dialah yang suka ceroboh-dia sering membuat berantakan.
Saat jalan-jalan, Patty mengatakan kalau menurutnya aku benar tetap berkeinginan
pisah kamar dengan Thomas dan menurutnya aku harus mempertahankan pendapatku.
Dia bilang dia tahu Thomas, tapi tak terlalu kenal dengannya: mereka pernah di
ruang belajar bersama, itu saja. Dia bilang, dia bisa membedakan kami dengan
mudah: aku keren dan kakakku sedikit agak aneh, jangan tersinggung. Anak-anak
lain di sekolah juga banyak yang berpikiran sama. Aku pasti terkejut kalau tahu.
Kami berhenti di jalan tanah dekat The Falls, dengan kursi belakang station
wagon itu direndahkan. Dia bersemangat untuk menyenangkanku, tapi belum berpengalaman. Aku
membimbingnya. Tanganku di atas tangannya, namun aku membayangkan Anne Generous.
Aku membersihkan diriku dengan tisu dari Dairy Napkins. Patty Katz berkata kalau
dia belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Bukan berarti dia
menyesalinya. Dia tak tahu bagaimana seharusnya perasaannya. Suaranya,
tangisnya, seperti suara gadis lain di mobil lain. Aku berdiri dan keluar mobil
untuk berjalan-jalan. Ketika Patty menurunkanku di depan rumah, dia bilang mungkin dia mencintaiku.
Aku berterima kasih padanya karena telah membelikanku es krim dan berjanji akan
meneleponnya besok-janji yang kuragukan akan kupenuhi, bahkan saat aku
menyatakannya. Setelah dia pergi, aku berdiri di halaman, memandang ke cahaya di
kamar Ma dan Ray. Sekarang sudah lewat tengah malam, Ma pasti masih bangun,
khawatir. Ma tak pernah meminta banyak, kataku pada diri sendiri. Dia juga tak
pernah mendapat banyak-dari Ray, kakakku maupun aku. Aku sudah bertahan dengan
Thomas selama tujuh belas tahun. Apa bedanya satu tahun lagi"
Aku tidak menelepon Patty Katz keesokan harinya. Dan minggu selanjutnya, ketika
aku mengajaknya jalan-jalan dengan mobil lagi ke The Falls, dia bilang lebih
suka pergi ke bioskop atau boling atau melakukan sesuatu bersama orang lain. Apa
aku kenal Ronnie Strong" Dia dan pacarnya Margie akan berkencan. Mungkin kita
bisa kencan ganda. Yah, mungkin, kataku padanya. Tapi aku tak ingin berkencan dengan Patty;
aku cuma mau menidurinya. Jadi, aku bersikap dingin padanya sepanjang minggu dan
semakin kaku seminggu setelah itu. Anne Generous juga telah kehilangan sebagian
daya tariknya. Dia punya kaki yang terlalu besar. Dan dia juga bossy.
Pertengahan Agustus, aku hampir-hampir tak pernah bicara kepada mereka berdua.
Tapi ada yang lucu: setelah keributan yang dibuat Thomas tentang mesin tik milik
kami berdua itu, dia hampir-hampir tak pernah menyentuhnya selama tahun pertama
kami kuliah. Dia juga tak pernah buka bukunya. Di SMU dia termasuk murid yang
rajin-belajar lebih keras daripada usahaku untuk mendapatkan nilai A, hanya
untuk mendapatkan nilai B atau B minus. Tapi di UConn, Thomas tak bisa duduk
cukup lama untuk belajar. Katanya konsentrasinya buyar. Asrama terlalu ribut.
Dosen-dosennya terlalu impersonal. Kamar kami terlalu panas sehingga mengganggu
sinusnya dan membuat dia mengantuk setiap kali dia mencoba membaca buku. Dia
selalu keluar ke tangga darurat untuk mencari udara segar, menyemprotkan SuperAnahist ke hidungnya, atau berbicara betapa dia sangat sengsara-betapa dia
membenci semua orang bodoh dan pecundang dan gadis-gadis kurus kering yang
belajar di universitas bodoh ini. Bukannya belajar, dia malah menonton TV di
ruang duduk, minum kopi instan seharian (kami punya pemanas air di kamar,
walaupun itu dilarang), lalu
begadang hingga larut, dan tak pernah datang kuliah pagi karena ketiduran. Dia
tak mau berteman dan kesal melihatku berteman dengan beberapa anak di asrama
kami-Mitch O'Brien dan Bill Moynihan dan mahasiswa senior bernama Al Menza yang
selalu mengajak main judi kartu. Thomas akan sangat kesal kalau ada anak yang
mengetuk pintu atau meminjam sesuatu punyaku atau mengajakku main basket. "Aku
ini nggak kelihatan, apa?" gerutunya. Atau menirukan. "Dominick ada" Di mana
Dominick" Semua orang menyukai Dominick The Wonder Boyl"
"Hei, kalau kamu ikutan main basket, datang saja ke lapangan dan mulai bermain,"
kataku padanya. "Memangnya apa yang kau harapkan" Undangan resmi?"
"Tidak, aku tidak mengharapkan itu, Dominick. Yang kuharapkan hanyalah supaya
adikku sendiri tidak menusukku dari belakang."
"Bagaimana bisa aku main basket, tapi kau bilang aku menusuk dari belakang?"
tanyaku, putus asa. Thomas mengeluh dan menjatuhkan diri tengkurap di ranjangnya. "Kalau kau tak
tahu, Dominick, lupakan saja."
Suatu sore, Menza bertanya padaku di tengah-tengah permainan kartu ada "apa"
dengan kakakku. Spontan kartu di tanganku kuremas. Wajahku panas. "Apa maksudmu
ada apa dengan dia?" tanyaku.
"Aku tak tahu. Dia sedikit aneh, bukan" Kau tak melihatnya sepanjang hari dan
lalu kau bangun tengah malam untuk kencing dan dia di sana, mondar-mandir di lorong seperti
Lurch dari The Addams Family."
Anak-anak lain tertawa. O'Brien salah seorang dari mereka. Aku lupa, siapa lagi
yang main kartu dengan kami saat itu. O'Brien berkata, suatu malam dia bangun
dan melihat Thomas joging mengelilingi asrama kami. Lewat tengah malam. Pada
tengah malam. Aku diam saja, memandang kartu-kartuku, dan ketika aku mendongak,
aku melihat ketiga anak itu memandangiku. "Yesus Kristus, Birdsey, kau memerah
seperti perawan pada malam pertama," kata Menza. "Apa ada yang menyinggungmu?"
Aku melemparkan kartu di tanganku ke ranjang dan berdiri, berjalan ke pintu.
"Hei, mau ke mana?" protes Menza. "Kita kan, lagi main."
"Kau menang," kataku. "Kalian semua. Aku curang."
Sepanjang sore itu, anak-anak tadi menyetel The Monster Mash keras-keras nonstop
di stereo Moynihan. Meletakkan speaker-nya di pintu dan memenuhi lorong dengan
lagu sialan itu. Menyanyikan lagu tema Addams Family setiap kali Thomas dan aku
turun untuk makan malam, lengkap dengan jentikan jarinya. Tapi semua itu
akhirnya berlalu; ejekan seperti itu selalu berakhir juga. Tapi, julukan mereka
buat Thomas tetap bertahan. Semenjak sore itu dia adalah "Lurch" bagi semua
anak-anak di Crandall Hall.
Kalau aku tidak bertengkar dengan Thomas atau membelanya, aku menghabiskan
waktuku dengan muka tertutup buku atau duduk di depan mesin tik Royal kami, berusaha
menyelesaikan beberapa makalah yang sudah waktunya diserahkan. Suara ribut yang
kubuat saat belajar menjadi masalah: suara kunci membuka kotak mesin tik, suara
derit stabilo saat aku mewarnai tulisan yang penting, bahkan robekan plastik
saat aku membuka snack yang kubeli di mesin snack di ruang bawah tanah. Aku
mulai belajar di perpustakaan selama mungkin. Aku benci melihat wajah Thomas
yang merengut, suara semprotan hidungnya, dan keluhannya di kegelapan malam. Dia
akan gagal kalau tidak segera sadar-mematahkan hati Ma dan membuat Ray murka.
Dia bisa berakhir di Vietnam, tertembak kepalanya. Tapi, aku tak akan mau
menyuruhnya belajar-aku tak mau memapah dan menggotongnya ke kelasnya.
Sekitar akhir pertengahan semester kedua, Thomas mendapat surat peringatan dari
dekan tentang catatan akademiknya. Surat itu menyarankan agar kakakku membuat
perjanjian untuk datang ke kantornya secepat mungkin. Tapi, Thomas malah sibuk
berusaha menyelesaikan semua tugasnya yang tertunda. "Aku bisa menyelesaikan
ini, Dominick," katanya padaku. "Mengapa kau melihatku seperti itu" Aku bisa."
Dia mendatangi dosen-dosen dan memohon untuk diberi keringanan dan kesempatan
menyelesaikan tugas. Dia terus-menerus menancapkan pemanas air dan menuangkan
cangkir demi cangkir kopi ke kerongkongannya. Seorang anak dari lantai dua
menjual obat padanya sehingga dia bisa bangun siang malam untuk bersiap-siap
ujian. Thomas mengunyah No-Doz seperti cokelat M&M. Thomas terlalu banyak
memakan pil itu sehingga matanya memerah tak pernah tidur.
Suatu sore, aku masuk kamar dan menemukan Thomas tersedu-sedu di atas tempat
tidurku. "Jangan marah padaku, Dominick," ulangnya berkali-kali. "Jangan marah.
Kumohon." Seperti cara Thomas memohon pada Ray saat kami masih kecil-saat Thomas
memicu kemarahan Ray. Kamar kami berantakan; kertas dan barang-barang berserakan di lantai. Di atas
mejaku ada obeng, sebuah batu, palu, dan mesin tik kami. Kotaknya hancur di
bagian tengah, sekitar enam inci bagiannya terlepas dan jatuh.
Kukatakan padanya sebaiknya dia segera menjelaskan apa yang terjadi.
"Oke, oke," katanya. "Cuma jangan marah padaku."
Dia bilang bahwa akhirnya dia akan mulai menulis makalah bahasa Inggris yang
sudah telat, dan mau mengetiknya, tapi tak bisa menemukan kunci untuk membuka
kotak mesin tik. Dia menunggu, menunggu, dan menungguku-dia tak tahu lagi ke
mana aku pergi sekarang. Bahkan, mungkin dia tak lagi punya teman sekamar.
Setelah beberapa lama, dia jadi panik, membayangkan aku telah mengambil kunci
dan menyembunyikannya karena aku ingin dia tak lulus. Aku menunggunya untuk
gagal. Lagi pula, mengapa aku mengunci kotak mesin tik bodoh itu"
Mengapa harus selalu dikunci"
"Karena anak-anak di asrama ini suka mencuri," kataku.
"Kalau begitu, mereka akan mencuri sekalian dengan kotaknya!" sedan Thomas.
"Mesin tik ini kan portabeil"
Saat kotak tak bisa dibuka paksa, meskipun sudah mencoba dengan berbagai cara,
Thomas pergi keluar mengambil batu dan menghantamnya hingga terbuka. Sesaat itu
sepertinya merupakan jalan terbaik. Tapi setelah melakukannya, baru dia ingat di
mana dia menyembunyikan kuncinya sejak awal semester: di tempat penyimpanan
sabun ekstranya di rak paling atas, sabun yang tak pernah dia gunakan. Sekarang,
maukah aku, tolong sekali, mengetikkan makalahnya" Dia akan
memperbaikinya, dan membeli kotak mesin tik yang baru. Makalah itu harus
diserahkan besok pukul 9.00 pagi. Dia tak bisa mengetik karena tangannya tak
berhenti gemetaran. Dia terlalu gugup sehingga tak bisa konsentrasi. Huruf "w"
dan huruf "s" di mesin tik kami tak bisa digunakan sekarang, tapi dia tadi pergi
ke kamar O'Brien dan O'Brien bilang kami boleh meminjam mesin tiknya. Makalahnya
sih, tak terlalu jelek, menurutnya. Tapi, dosen Inggrisnya sangat killer. Kalau
dia menyerahkan makalahnya pada pukul 9.01 mungkin dosennya tak mau menerima.
Dosennya itu memang ingin dia gagal.
Aku bisa saja mengomeli Thomas-atas apa yang seharusnya sudah dia lakukan
sepanjang tahun ini. Meskipun marah, aku juga merasa takut-takut
melihat matanya yang merah, tangannya yang terus bergetar, dan bicaranya yang
terbata-bata. Aku menenangkannya. Memanaskan sekaleng sup untuknya.Ya, aku akan mengetikkan
makalah bodoh itu, kataku padanya. Aku menyuruhnya berbaring dan mengatakan
jangan berkomentar apa pun tentang suara yang ditimbulkan oleh mesin tik
O'Brien. Dan aku memulainya.
Makalah itu mengambil tema pengasingan di ranah sastra modern-kutipan dari Cliff
Notes dan omong kosong yang tak jelas maksudnya juga tidak masuk akal. Kalimatkalimatnya melantur ke selusin arah yang berbeda-beda dan tanpa pernah kembali;
dan tulisan tangannya hampir tak bisa dikenali sebagai tulisan Thomas. Makalah
itu lebih menakutkanku daripada perilaku Thomas. Tapi aku mengetik apa yang
telah ditulis Thomas, memperbaiki di sana-sini dan berharap semoga dosennya bisa
menemukan sesuatu yang koheren dalam kalimat-kalimat yang telah ditulisnya.
Thomas sudah tertidur sebelum aku menyelesaikan halaman pertama. Dia tidur
sepanjang malam dan pukul 8.45 keesokan paginya, dia masih tidur. Aku berjalan
menyeberangi kampus dan memberikan makalahnya pada dosennya. Mengira aku Thomas,
dosen itu memandangku galak dan berharap semoga aku sudah mendapat pelajaran
tentang pengaturan waktu. Mungkin nanti, aku tak akan seenaknya membuat orang
lain susah. Tidak akan, kataku. Jelas tidak akan.
Ketika aku kembali ke kamar, aku berdiri,
bingung, di depan kotak mesin tik kami yang pecah-mengusapkan jemariku di
pinggirannya yang hancur. Berbalik dan memandangi kakakku yang tertidur, mulut
menganga, dan bola matanya bergerak-gerak di balik kelopak yang tertutup.
Pada akhir semester kedua, pihak universitas memberikan status percobaan
akademik untuk Thomas. Sembilan "Masuk, masuk," kata wanita itu, berdiri dari kursinya. "Aku Lisa Sheffer."
Potongan rambut pendek ala laki-laki, kaus Star Trek, anting-anting kecil
berderet memenuhi salah satu daun telinganya: dia sama sekali tak sesuai dengan
bayanganku. Lima kaki satu inci, lima kaki dua inci paling maksimal. Berat
badannya tak mungkin lebih dari lima puluh kilo.
"Dominick Birdsey," kataku. Jabatan tangannya erat dan mantap. Aku berterima
kasih atas pesannya di telepon malam tadi dan mulai mengoceh tentang kakakku,
mengatakan sejarah sakitnya Thomas, bahwa penempatan Thomas di Hatch adalah
sebuah kesalahan. Sheffer mengangkat tangannya menyuruhku berhenti, seperti gaya
polisi lalu lintas. "Bisakah kau menunggu sebentar?" tanyanya. "Aku harus
memasukkan beberapa informasi tentang pasien lain sebelum aku lupa. Silakan
duduk. Paling lama hanya dua detik."
Cukup adil, kukira. Kami janji bertemu pukul 10.00; dan jam dinding di atas
kepalanya baru menunjukkan pukul 9.51. Mataku beralih dari tumpukan kertas kerja
di mejanya ke ukiran burung
kayu dengan kepala miring ke satu sisi. Di langit-langit, lampu neon mendengung
seperti nyamuk. "Kau sudah terbiasa dengan satu program dan tiba-tiba kutu komputer di Hartford
mengubahnya," kata Lisa. "Mereka menyelenggarakan workshop di mana tiap kali
mereka menq-update software; seakan-akan mereka menolongmu. Aku pergi ke kantor
manajer dan bilang, 'Permisi, aku punya anak yang kutitipkan di day care setelah
dia pulang sekolah dan sebuah Escort yang hampir rusak. Mengapa aku tak bisa
menggunakan program yang biasa kugunakan saja"' Tapi tidaaak."
Telepon berdering. "Hm-hm," kata Lisa ke orang yang menelepon. "Hm-hm. Hm-hm."
Aku berdiri dan berjalan ke jendela: berteralis, dua kaki persegi. Mengapa orang
mau bekerja di tempat seperti ini"
Di luar adalah area rekreasi-meskipun terlihat menyedihkan. Beberapa meja piknik
yang ditanam di lantai semen, sebuah keranjang basket yang berkarat. Sekelompok
kecil pasien dibimbing ke sana, mata mereka mengernyit ketika terkena sinar
matahari. Tak ada tanda-tanda keberadaan Thomas.
"Jadi, namamu sebenarnya Domenico, bukan?" kata Sheffer. Dia sudah meletakkan
gagang telepon, kembali menghadap komputernya.
"Hanya di atas kertas," kataku. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Dia bilang pernah melihatnya di catatan medis kakakku.
Aku mengangguk-kukatakan padanya bahwa aku
dinamai dengan nama kakekku. Apakah dia sudah melihat akta kelahiran kami atau
apa" Di sana Thomas dan aku didaftar dengan nama gadis ibu kami.
"Dan kakakmu bilang kau pengecat rumah, benar?"
"Yap." Ya ampun! Ini sebenarnya pertemuan tentang Thomas atau aku"
"Apa kau memberi perkiraan harga dengan gratis?"
"Uh ... yeah. Iya. Jadi, bagaimana dengan kakakku?"
Dia mengetik di komputer beberapa saat. Memandangku lagi. "Domenico juga nama
kakekku," katanya. "Karena itulah aku ingat. Domenico Parlapiano. Susah
diucapkan, ya?" Aku duduk lagi, mengetuk-ngetukkan jari di pegangan kursi. Ketidaksabaran tidak
akan memberikan apa yang kubutuhkan, kuingatkan diriku sendiri. Sebenarnya, yang
dibutuhkan Thomas. Ukiran burung kayu bodohnya itu seakan-akan memandangiku.
"Jadi, Sheffer nama suamimu?" tanyaku.
Dia mendongak. Menggeleng. "Ayahku Yahudi, ibuku Italia. Pernah makan spageti
dengan bakso matzo?" Aku memandangnya kosong, tak ada reaksi. "Aku bercanda,
Domenico," katanya. "Itu tadi lelucon. Hei, kau mau cokelat?"
"Cokelat?" "Sedolar sebuah. Mencari dana untuk pasukan cheerleader Midget Football anak
perempuanku." Dia menjulurkan lidah, memainkan wajahnya. "Aku punya rasa almond, peanut
butter, dan crunch."
Aku belum mengesampingkan kemungkinan bahwa dia punya kekuasaan untuk mengubah
situasi Thomas. "Yeah, baiklah. Tentu. Yang almond." Aku berdiri dan mengambil
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu dolar dari dompetku.
Aku masih mengenakan celana karet itu dengan gambar tengkorak dan tulang
bersilang. Aku memergoki Sheffer tersenyum padaku. "Celana keren," katanya,
membuatku melengos, malu.
Dia meraih laci meja dan memberikan sebatang cokelat padaku. Tak ada cincin
kawin. Sekitar awal tiga puluhan. "Aku akan segera berbicara denganmu,
Domenico," katanya. "Sekarang, biarkan aku diam dan mengetik satu hal lagi dan
kita bisa mulai." "Dominick," gumamku. "Namaku Dominick."
Terdengar ketukan di pintu. "Masuk," kata Sheffer. Seorang petugas kebersihan
masuk, mengosongkan tempat sampah.
"Hai, Smitty," kata Sheffer. "Tolong aku ya, buang komputer ini ke tempat
sampah. Itu akan menyederhanakan hidupku hingga seribu persen."
"Apa pun perintahmu, Lisa!" kata petugas kebersihan itu. Dia memandangku,
tersenyum sedikit terlalu ramah. "Halo, Pak," katanya.
Aku mengangguk. Melengos.
"Hai, Lisa" Kau masih punya batangan cokelat lagi?"
"Kau belum membayar untuk cokelat-cokelat
yang telah kau makan, Smitty," kata Sheffer. "Kau sudah berutang empat dolar
padaku." "Oh, oke. Berapa harganya, sih?"
"Sedolar satu. Sama seperti kemarin." "Oh." Petugas kebersihan itu terlihat
murung. Berdiri diam, menunggu. Sheffer menarik napas panjang.
"Oke, oke, ini," kata Lisa melemparkan sebatang cokelat padanya. Petugas
kebersihan itu sudah mulai makan cokelatnya sebelum keluar pintu.
"Tak ada gunanya berusaha mencari dana di tempat ini," kata Sheffer tersenyum.
"Pencarian dana ini akan membuatku bangkrut."
Aku bertanya padanya berapa usia anaknya.
"Jesse" Tujuh tahun. Bagaimana denganmu" Punya anak?"
Punya anak" Pertanyaan remeh itu selalu terasa seperti tinju di perutku.
"Tidak," kataku. "Tak ada anak." Penolakan selalu lebih mudah daripada berkata
sebenarnya: bahwa kami pernah punya seorang gadis kecil, Dessa dan aku. Pernah
memilikinya lalu kehilangan dia. Kalau masih hidup, dia juga berusia tujuh tahun
sekarang. Terdengar keributan di luar pintu-seseorang dengan suara melengking berteriak
tentang tisu toilet. "Aku nggak bilang begitu!" teriak suara itu. "Yang
Konspirasi Conspiracy 1 Sampul Maut Karya Wen Wu Anjing Kematian 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama