The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 6
"Benarkah itu"" Reyna menatap Dakota dan Leila dengan galak. Leila tidak mau bertemu pandang dengannya. Dakota berkedip seperti sedang mencoba menyampaikan sebuah pesan, tapi susah memastikannya. Dakota mungkin berkedip semata-mata karena kebanyakan minum Kool-Aid yang bergula. "Kita sedang berperang," kata Michael. "Kita harus bersatu. Dakota dan Leila bukan perwira yang paling antusias mendukung langkah tersebut. Octavian memberi mereka kesempatan terakhir untuk membuktikan diri. Jika mereka membantu menangkapmu diutamakan dalam keadaan hidup-hidup, tapi mati jika perlu maka mereka boleh mempertahankan pangkat dan telah membuktikan loyalitas mereka." "Loyalitas kepada Octavian," komentar Reyna. "Bukan kepada legiun." Michael merentangkan tangan, yang hanya sedikit lebih kecil daripada sarung tangan bisbol. "Kau tidak bisa menyalahkan perwira yang patuh pada atasan. Octavian punya rencana untuk menang dan rencananya bagus. Fajar nanti onager-onager itu akan menghancurkan perkemahan Yunani tanpa satu pun korban jiwa di pihak Romawi. Dewa-dewi semestinya akan sembuh." Nico angkat bicara. "Kalian mau menghabisi setengah populasi demigod di dunia, setengah
warisan dewa-dewi, untuk menyembuhkan mereka" Kalian hendak memecah belah Olympus bahkan sebelum Gaea bangun. Dan dia sungguh akan bangun, Centurion. Michael merengut. "Duta Pluto, putra Hades ... apa pun julukanmu untuk diri sendiri, kau telah divonis sebagai mata-mata musuh. Aku diperintahkan menangkapmu untuk dieksekusi." "Coba saja kalau bisa," kata Nico dingin.
Konfrontasi ini amat absurd sehingga kesannya kocak. Nico beberapa tahun lebih muda, tiga puluh sentimeter lebih pendek, dan dua puluh lima kilogram lebih ringan. Tapi, Michael tidak bergerak. Pembuluh darah di lehernya berdenyut-denyut. Dakota batuk-batuk. "Anu, Reyna ... tolong ikut kami dengan tenang. Kumohon. Kita bisa bicara baik-baik." Pemuda ini berkedip kepada Reyna, tidak diragukan lagi. "Baiklah, cukup ngobrolnya." Pak Pelatih Hedge memperhati-kan Michael Kahale dari ujung kepada hingga ujung kaki. "Biar kutumbangkan pelawak ini. Aku pernah menghadapi yang lebih besar." Michael cengengesan saat mendengar pernyataan itu. "Aku yakin kau faun yang pemberani, tapi " "Satir!" Pak Pelatih Hedge melompat ke arah sang centurion. Dia menghantamkan tongkat bisbol sekuat tenaga, tapi Michael semata-mata menangkap tongkat itu dan merebutnya dari sang pelatih. Michael mematahkan tongkat ke lututnya. Kemudian dia mendorong sang pelatih ke belakang, walaupun Reyna bisa melihat bahwa Michael berusaha untuk tidak menyakiti satir itu. "Sekian sudah!" geram Hedge. "Sekarang aku benar-benar marah!" "Pak Pelatih," Reyna memperingatkan, "Michael sangat kuat. Bapak hanya bisa mengalahkan dia kalau " Dari suatu tempat di sebelah kiri kapal, dari permukaan air di bawah, sebuah suara meneriakkan, "Kahale! Kenapa lama sekali"" Michael berjengit. "Octavian"" "Tentu saja ini aku!" teriak suara itu dari kegelapan. "Aku bosan menunggu kalian menjalankan perintahku! Aku mau naik ke kapal. Semua orang di kedua belah pihak, jatuhkan senjata kalian!"
Michael mengerutkan dahi. "Anu Komandan" Semua orang" Termasuk kami"" "Jangan selesaikan semua masalah dengan pedang atau tinju, Bodoh! Aku bisa membereskan bedebah-bedebah Graecus ini!" Michael tampak tidak yakin akan keabsahan pernyataan tersebut, tapi dia memberi isyarat kepada Leila dan Dakota, yang meletakkan pedang mereka di dek. Reyna melirik Nico. Jelas bahwa ada yang tidak beres. Tidak terpikir oleh Reyna, apa sebabnya Octavian berada di sini dan membahayakan diri sendiri. Octavian sudah pasti takkan memerintahkan para perwiranya untuk meletakkan senjata. Tapi, insting memberi tahu Reyna untuk ikut-ikutan saja. Dijatuhkannya pedangnya. Nico berbuat serupa. "Semua orang sudah meletakkan senjata, Komandan," seru Michael. "Bagus!" teriak Octavian. Siluet gelap muncul di puncak tangga, tapi badannya terlalu besar; tidak mungkin dia Octavian. Sosok lebih kecil yang bersayap mengepak-ngepak di belakangnya harpy" Pada saat Reyna menyadari apa yang terjadi, Cyclops itu telah melintasi dek dengan dua ayunan langkah besar. Digetoknya kepala Michael Kahale. Sang centurion jatuh seperti sekarung batu. Dakota dan Leila mundur dengan waswas. Si harpy hinggap di atap ruang dek. Di bawah cahaya bulan, bulu-bulunya tampak sewarna dengan darah kering. "Kuat," kata Ella sambil merapikan bulu-bulunya. "Pacar Ella lebih kuat daripada orang Romawi." "Teman-teman!" Tyson sang Cyclops menggelegar. Dia menggendong Reyna dengan satu tangan dan Hedge serta Nico di tangannya yang satu lagi. "Aku datang untuk menyelamatkan kalian. Hore untuk kita!"[]
BAB TIGA PULUH DELAPAN REYNA REYNA TIDAK PERNAH SELEGA ITU saat melihat Cyclops, setidaknya sampai Tyson menurunkan mereka dan berputar untuk memarahi Leila serta Dakota. "Orang Romawi jahat!" "Tyson, tunggu!" kata Reyna. "Jangan sakiti mereka!" Tyson mengerutkan kening. Dia kecil untuk ukuran Cyclops, malah bisa dibilang masih kanak-kanak tingginya 180 cm lebih sedikit, rambut cokelatnya berantakan dan basah terkena air laut, satu mata besarnya cokelat sewarna sirup maple. Dia hanya mengenakan celana renang dan baju piama flanel, seolah tidak bisa memutuskan hendak berenang atau tidur. Dia menguarkan arom
a tajam selai kacang. "Mereka tidak jahat"" tanyanya. "Tidak," jawab Reyna. "Mereka mengikuti perintah yang jahat. Menurutku mereka menyesal karenanya. Bukankan begitu, Dakota"" Dakota angkat tangan cepat sekali sampai-sampai terlihat bagai Superman yang hendak lepas landas. "Reyna, aku tadi
mencoba memberimu isyarat! Leila dan aku berencana pindah ke pihakmu dan membantumu menaldukkan Michael." "Itu betul!" Leila hampir jatuh ke belakang dan terjungkal ke balik langkan. "Tapi, sebelum kami sempat melakukan itu, Cyclops ini sudah beraksi!" Pak Pelatih Hedge mendengus. "Cerita yang sulit dipercaya!" Tyson bersin. "Maaf. Bulu kambing. Hidungku gatal. Orang-orang Romawi ini boleh dipercaya"" "Aku percaya pada mereka," kata Reyna. "Dakota, Leila, kalian paham apa misi kami"" Leila mengangguk. "Kau ingin mengembalikan patung itu kepada bangsa Yunani sebagai upeti damai. Izinkan kami membantu." "Iya." Dakota mengangguk kuat-kuat. "Legiun tidak sekompak yang diklaim Michael. Kami tidak memercayai semua pasukan auxilia yang Octavian kumpulkan." Nico tertawa getir. "Agak terlambat untuk merasa ragu. Kalian sudah terkepung. Begitu Perkemahan Blasteran binasa, sekutu-sekutu itu akan menggempur kalian." "Jadi, kita harus berbuat apa"" tanya Dakota. "Matahari terbit maksimal tinggal sejam lagi." "Pukul 5.52," kata Ella, masih bertengger di atas atap. "Matahari terbit, pesisir Timur, 1 Agustus. Panduan Waktu Badan Meteorologi Angkatan Laut. Satu jam dua belas menit lebih lama daripada satu jam." Mata Dakota berkedut. "Aku mengaku keliru." Pak Pelatih Hedge memandang Tyson. "Bisakah kita masuk ke Perkemahan Blasteran dengan selamat" Apa Mellie baik-baik solo"" Tyson menggaruk-garuk dagu dengan ekspresi serius. "Dia sangat bulat."
"Tapi, dia baik-baik saja"" Hedge bersikeras. "Dia belum melahirkan"" "Persalinan berlangsung pada akhir trimester ketiga," Ella menginformasikan. "Halaman empat-tiga, Panduan untuk Calon Ibu " "Aku harus ke sana!" Hedge kelihatannya siap untuk melompat dari kapal dan berenang. Reyna memegangi bahu sang satir. "Pak Pelatih, kita akan mendatangi istri Bapak, tapi marl kita lakukan dengan benar. Tyson, bagaimana caramu dan Ella sampai ke kapal ini"" "Pelangir "Kalian naik pelangi"" "Dia temanku si kuda ikan." "Hippocampus," Nico memberi tahu. "Begitu." Reyna berpikir sejenak. "Bisakah kau dan Ella mengantar Pak Pelatih ke Perkemahan Blasteran dengan selamat"" "Ya!" kata Tyson. "Kami bisa!" "Bagus. Pak Pelatih, silakan temui istri Bapak. Beni tahu para pekemah aku berencana menerbangkan Athena Parthenos ke Bukit Blasteran saat matahari terbit. Patung itu hadiah dari bangsa Romawi untuk bangsa Yunani, untuk menyembuhkan perpecahan di antara kita. Kalau mereka bisa menahan diri untuk tidak menembakiku hingga jatuh dari langit, aku akan berterima kasih." "Beres," kata Hedge. "Tapi, bagaimana dengan legiun Romawi"" "Itulah masalahnya," kata Leila muram. "Onager-onager itu bisa menghajarmu sehingga jatuh dari langit." "Kita butuh pengalih perhatian," ujar Reyna. "Sesuatu untuk mengulur serangan ke Perkemahan Blasteran dan lebih bagus lagi yang bisa merusak senjata-senjata itu. Dakota, Leila, akankah kohort kalian mengikuti kalian""
"Aku kurasa begitu, ya," kata Dakota. "Tapi, kalau kami meminta mereka berkhianat " bukan pengkhianatan," tukas Leila. "Sebab kita bertindak berdasarkan perintah langsung dari praetor, sedangkan Reyna masih praetor kita." Reyna menoleh kepada Nico. "Aku ingin agar kau ikut dengan Dakota dan Leila. Selagi mereka menyulut huru-hara di akar rumput, kau harus mencari cara untuk menyabotase onager-onager itu." Senyum Nico membuat Reyna bersyukur anak laki-laki itu berada di pihaknya. "Dengan senang hati. Akan kami ulur-ulur waktu supaya kau sempat mengantarkan Athena Parthenos." "Anu ..." Dakota mengubah tumpuannya. "Kalaupun kau mengantarkan patung itu ke bukit, apa yang akan mencegah Octavian menghancurkannya begitu patung itu diletakkan" Octavian punya banyak amunisi, bahkan tanpa onager.), Reyna memicingkan mata ke wajah gading Athena, terselubung dalam jaring kamuflase. "Begitu patung
tersebut dikembalikan kepada bangsa Yunani menurutku Athena Parthenos akan sukar dihancurkan. Patung itu memiliki sihir mahakuat. Athena Parthenos semata-mata memilih untuk tidak menggunakan sihirnya sejauh ini." Leila membungkuk pelan-pelan dan mengambil pedangnya sambil memakukan pandang pada Athena Parthenos. "Aku percaya padamu. Michael akan kita apakan"" Reyna mengamat-amati demigod Hawaii berbadan besar yang sedang mendengkur itu. "Naikkan dia ke perahu kalian. Jangan ikat atau sakiti dia. Aku punya firasat niat Michael baik. Dia semata-mata sial karena disponsori oleh orang yang keliru." Nico menyarungkan pedang hitamnya. "Kau yakin coal ini, Reyna" Aku tidak suka meninggalkanmu sendirian."
Blackjack meringkik dan menjilat sebelah wajah Nico. "Bleh! Oke, maafkan aku." Nico mengelap liur kuda dari wajahnya. "Reyna tidak sendirian. Dia disertai sekawanan pegasus hebat." Reyna mau tak mau tersenyum. "Aku pasti akan baik-baik raja. Jika mujur, kita akan segera bertemu kembali. Kita akan bertarung berdampingan untuk melawan pasukan Gaea. Berhati-hatilah. Ave Romaef' Dakota dan Leila mengulangi salam tersebut. Tyson mengerutkan alisnya yang hanya satu. "Siapa itu Ave"" "Artinya Bangsa Romawi, maju." Reyna menepuk lengan bawah sang Cyclops. "Tapi, kalau mau diartikan Bangsa Yunani, maju juga boleh." Kata-kata itu terdengar janggal di mulutnya. Reyna menghadap Nico. Dia ingin memeluk anak laki-laki itu, tapi tidak yakin apakah gestur tersebut akan disambut baik. Dia mengulurkan tangan. "Aku merasa terhormat menjalani misi bersamamu, Putra Hades." Jabat tangan Nico kuat. "Kau demigod paling pemberani yang pernah kujumpai, Reyna. Aku " Dia terbata, barangkali menyadari bahwa penonton mereka banyak. "Mu takkan mengecewakanmu. Sampai ketemu di Bukit Blasteran." Langit semakin terang di timur sementara kelompok tersebut membubarkan diri. Tidak lama berselang, Reyna berdiri di dek MI AMOR hanya ditemani kedelapan pegasus dan Athena setinggi dua belas meter. Dia berusaha menenangkan ketegangannya. Sampai Nico, Dakota, dan Leila mendapat waktu untuk menghalangi serangan legiun, Reyna tidak bisa berbuat apa-apa, tapi dia benci berdiri diam dan menunggu. Di perbukitan gelap tidak jauh dari sana, rekan-rekannya di Legiun 12 tengah mempersiapkan serangan sia-sia. Jika Reyna
bertahan bersama mereka, dia bisa memandu mereka lebih baik. Dia bisa mengendalikan Octavian. Mungkin Orion sang raksasa benar: Reyna gagal menunaikan tanggung jawab. Dia teringat hantu-hantu di balkon di San Juan menudingnya, membisikkan tuduhan: Pembunuh. Pengkhianat. Dia teringat tekstur pedang keemasan di tangannya saat dia menebas arwah ayahnya wajah pria itu penuh murka dan rasa dikhianati. Kau seorang Ramirez-Arellanol ayahnya kerap meracau. Jangan pernah lari dart lari dart kewajiban. Jangan biarkan siapa pun campur tangan. Yang terutama, jangan pernah mengkhianati kaummu sendiri! Lewat tindakannya yang membantu bangsa Yunani, Reyna telah melakukan semua itu. Orang Romawi seharusnya menghabisi musuh-musuhnya. Tapi, Reyna justru bergabung dengan mereka. Dia telah meninggalkan legiunnya di tangan orang gila. Apa yang kira-kira bakal ibunya katakan" Bellona, sang Dewi Perang Blackjack pasti merasakan keresahan Reyna. Kuda itu men-dekat dan mengelus-elus Reyna dengan moncongnya. Reyna mengelus-elus rnoncong Blackjack. "Aku tidak punya camilan untukmu, Anak Baik." Blackjack menyundul Reyna penuh kasih sayang. Nicc memberi tahu Reyna bahwa Blackjack paling sering ditunggangi Percy, tapi dia sepertinya ramah pada semua orang. Dia membawo putra Hades tanpa protes. Sekarang dia menghibur orang Romawi. Reyna memeluk leher kekar Blackjack. Bulunya berarom2 seperti bulu Scipio perpaduan rumput yang baru dipotong dar roti hangat. Reyna mengeluarkan isakan yang membuncah dalan-dadanya. Sebagai praetor, dia tidak boleh menunjukkan kelemahar
atau rasa takut kepada rekan-rekannya. Dia harus tetap kuat. Tapi, sang kuda tampaknya tidak keberatan. Blackjack meringkik lembut. Reyna tidak memahami bahasa Kuda, tapi Blackjack seolah mengatakan: Tidak apa-apa. Kerjamu sudah b
agus. Reyna mendongak untuk memandangi bintang-bintang yang memudar. "Ibu," katanya, "aku kurang sering berdoa padamu. Aku tidak pernah bertemu dirimu. Aku tidak pernah meminta pertolonganmu. Tapi kumohon pagi ini, beri aku kekuatan untuk melakukan tindakan yang benar." Seakan diberi aba-aba, sesuatu berkilat-kilat di cakrawala timur cahaya melintasi Selat Long Island, mendekat dengan cepat bagaikan perahu motor. Selama satu saat membahagiakan, Reyna mengira itu adalah pertanda dart Bellona. Bentuk gelap itu bertambah dekat. Harapan Reyna berubah menjadi kengerian. Dia menanti terlalu lama, lumpuh karena tak percaya, sementara sosok itu kini tampak jelas: berwujud besar humanoid, berlari di permukaan air ke arah Reyna. Panah pertama menusuk bagian samping tubuh Blackjack. Kuda itu ambruk sambil memekik kesakitan. Reyna menjerit, tapi sebelum dia sempat bergerak, panah kedua menancap ke dek di antara kedua kakinya. Pada buluh panah, terdapat panel LED berpendar seukuran arloji, menghitung mundur dari 5:00. 4:59. 4:58.0[]
BAB TIGA PULUH SEMBILAN REYNA AKU TAKKAN BERGERAK JIKA JADI kau, Praetor!" A Orion berdiri di permukaan air, lima belas meter di sebelah kanan kapal, panah terpasang di busurnya. Dari balik kabut rasa murka dan duka, Reyna menyadari bahwa sang raksasa memiliki bekas-bekas luka anyar. Pertarungannya dengan para Pemburu menyisakan parut kelabu belang dan merah muda di lengan dan wajahnya, alhasil Orion menyerupai pir memar yang sedang membusuk. Mata mekanis kirinya gelap. Rambutnya terbakar, membuatnya pitak-pitak. Hidungnya merah bengkak gara-gara tali busur yang Nico lecutkan ke wajahnya. Semua ini memberi Reyna secercah rasa puas nan kejam. Sayangnya, raksasa itu masih menyunggingkan senyum sombong. Di kaki Reyna, pengatur waktu pada panah menunjukkan angka: 4:42. "Panah peledak sangat sensitif," kata Orion. "Begitu menancap, gerakan sekecil apa pun dapat memicu ledakan. Aku tidak ingin kau melewatkan empat menit terakhir dalam hidupmu."
Indra Reyna bertambah tajam. Para pegasus menjejak-jejak gugup di sekeliling Athena Parthenos. Fajar hampir tiba. Angin dari pesisir membawa serta samar-samar wangi stroberi. Tergeletak di samping Reyna di dek, Blackjack tersengal dan bergidik masih hidup, tapi terluka parah. Jantung Reyna berdegup kencang sekali sampai-sampai dia kira gendang telinganya bakalan pecah. Dia membagikan kekuatan kepada Blackjack, berusaha menyokong kuda itu agar tetap hidup. Reyna tidak sudi melihat Blackjack mati. Dia ingin meneriakkan umpatan kepada si raksasa, tapi ucapan pertama Reyna ternyata tenang. "Kakakku bagaimana"" Gigi putih Orion berkilau cemerlang di wajahnya yang babak belur. "Aku amat ingin memberitahumu bahwa dia sudah mati. Aku ingin sekali melihat kepedihan di wajahmu. Sayang beribu sayang, setahuku kakakmu masih hidup. Begitu pula Thalia Grace dan para Pemburu anak buahnya yang menyebalkan. Kuakui, mereka mengejutkanku. Aku terpaksa mengarungi laut untuk meloloskan diri dari mereka. Beberapa hari terakhir aku terluka dan kesakitan, sembuh pelan-pelan, merakit busur baru. Tapi, jangan khawatir, Praetor. Kau akan mati terlebih dahulu. Patungmu yang berharga akan dilalap kebakaran hebat. Setelah Gaea bangkit, ketika dunia fana berakhir, akan kutemukan kakakmu. Akan kuberi tahu dia bahwa kau mati mengenaskan. Kemudian akan kubunuh dia." Orion menyeringai. "Maka semuanya akan baik-baik saja!" 4:04. Hylla masih hidup. Thalia dan para Pemburu masih berada di luar sana. Tapi, kenyataan tersebut tidaklah penting apabila misi Reyna gagal. Matahari terbit, di hari terakhir sebelum kiamat Napas Blackjack semakin tersendat-sendat. Reyna mengerahkan keberaniannya. Kuda bersayap itu membutuhkannya. Dewa Pegasus telah menggelari Reyna sebagai
Kawan Kaum Kuda dan dia takkan mengecewakan Pegasus. Reyna tidak bisa memikirkan seisi dunia pada saat ini. Dia harus berkonsentrasi pada teman yang sedang kesulitan tepat di sebelahnya. 3:54. "Jadi." Reyna memelototi Orion. "Kau cedera dan buruk rupa, tapi tidak mati. Kurasa artinya aku membutuhkan pertolongan dewa untuk membunuhmu." Orion te
rkekeh-kekeh. "Sayangnya, kalian bangsa Romawi tidak piawai meminta pertolongan dari dewa-dewi sedari dulu. Kuperkirakan mereka tidak terlalu peduli pada kalian, ya"" Reyna tergoda untuk menyatakan setuju. Dia baru berdoa kepada ibunya dan dikarunia kedatangan raksasa yang bernafsu membunuh. Bukan anugerah yang patut digembar-gemborkan. Walau begitu Reyna tertawa. "Ah, Orion." Senyum sang raksasa pupus. "Selera humormu aneh, Non. Apa yang kautertawakan"" "Bellona sudah menjawab doaku. Beliau tidak menggantikanku bertarung. Beliau tidak menjamin kemenangan mudah. Beliau menganugerahiku kesempatan untuk membuktikan diri. Beliau memberiku musuh perkasa dan sekutu potensial." Mata kiri Orion memercikkan bunga api. "Ucapanmu omong kosong. Kobaran api hendak membinasakanmu dan patung Yunanimu yang berharga. Tiada sekutu yang dapat menolongmu. Ibumu telah menelantarkanmu sebagaimana kau menelantarkan legiunmu." "Hanya saja tidak," kata Reyna. "Bellona bukan sekadar Dewi Perang. Beliau tidak sama dengan Enyo Yunani, yang semata-mata merupakan perwujud pembantaian. Di Kuil Bellona-lah bangsa Romawi menyambut duta besar asing. Perang dinyatakan di sana,
tapi begitu juga perjanjian damai perdamaian panjang, yang berdasarkan kekuatan." 3:01. Reyna mencabut pisaunya. "Bellona memberiku kesempatan untuk berdamai dengan bangsa Yunani dan meningkatkan kekuatan Roma. Aku mengambil kesempatan itu. Kalau aku mati, aku akan mati demi tujuan mulia. Jadi, bisa kukatakan bahwa ibuku menyertai aku hari ini. Beliau akan menambahkan kekuatannya ke kekuatanku. Tembakkan panahmu, Orion. Tidak jadi soal. Ketika aku melemparkan pisau ini dan menusuk jantungmu, kau pasti mati." Orion berdiri diam di atas ombak. Wajahnya menampakkan mimik penuh konsentrasi. Satu matanya yang utuh berkedip-kedip merah. "Gertakan," geram sang raksasa. "Aku sudah membunuh ratusan yang sepertimu: para gadis yang bermain perang-perangan, berpura-pura bahwa mereka setara dengan raksasa! Aku takkan menghadiahimu kematian yang cepat, Praetor. Akan kusaksikan kau terbakar, sebagaimana para Pemburu membakarku." 2:31. Blackjack tersengal, menendangkan kakinya ke dek. Langit berubah merah muda. Angin dari pesisir mendesirkan jaring kamuflase Athena Parthenos dan menyibakkannya, lantas melemparkan kain keperakan itu ke Selat Long Island hingga beriak di atas permukaan air. Athena Parthenos berkilauan di bawah cahaya subuh dan Reyna berpikir betapa dewi itu akan tampak cantik di bukit di atas perkemahan Yunani. Itu harus terjadi, pikir Reyna, berharap semoga para pegasus dapat merasakan niatnya. Kalian harus menyelesaikan perjalanan tanpa aku.
Dia mengangguk kepada Athena Parthenos. "Nyonya, saya merasa terhormat bisa mengawal Anda." Orion mendengus. "Sekarang bicara kepada patung musuh" Percuma. Waktu hidupmu tinggal dua menit lagi." "Oh, masalahnya aku tidak mengikuti kerangka waktumu, Raksasa," kata Reyna. "Orang Romawi tidak menanti maut. Dia justru menyongsong maut, dengan cara yang dia tentukan sendiri." Reyna melemparkan pisaunya. Bilah senjata mengenai sasaran tepat di tengah-tengah dada sang raksasa. Orion meraung kesakitan dan Reyna berpikir betapa memuaskannya suara terakhir yang dia dengar itu. Reyna melemparkan jubah ke depannya dan menjatuhkan diri ke panah peledak, bertekad untuk menamengi Blackjack serta para pegasus lain dan, mudah-mudahan, melindungi para manusia biasa yang tidur di dek bawah. Dia tidak punya gambaran apakah tubuhnya mampu mengisolasi ledakan, apakah jubahnya bisa meredam api, tapi itulah peluang terbaiknya untuk menyelamatkan teman-teman dan misinya. Reyna menegang, menanti ajal. Dia merasakan tekanan saat panah terdetonasi tapi ternyata tidak seperti yang dia duga. Di depan tulang iganya, hanya letupan kecil yang terasa, seperti balon meletus. Jubahnya menjadi kelewat hangat. Tiada lidah api yang berkobar-kobar. Kenapa dia masih hidup" Bangun, kata sebuah suara dalam kepalanya. Layaknya orang kerasukan, Reyna pun berdiri. Asap mengepul dari tepian jubahnya. Dia menyadari bahwa ada yang lain pada kain ungu itu. Warnanya menjadi berkilauan seper
ti dipintal dengan benang emas Imperial. Di kakinya, sebagian dek menghitam menjadi arang, tapi jubahnya bahkan tidak hangus.
Terimalah aegisku, Reyna Ramirez-Arellano, kata suara itu. Karena hari ini, kau telah membuktikan diri sebagai pahlawan Olympus. Dengan takjub, Reyna menatap Athena Parthenos yang berpendar, auranya keemasan pucat. Aegis ... Sejauh yang Reyna pelajari bertahun-tahun ini, dia mengingat bahwa istilah aegis tidak khusus berlaku untuk tameng Athena. Aegis juga berarti jubah sang dewi. Menurut legenda, Athena terkadang memotong sebagian mantelnya dan menyampirkan potongan mantel itu ke patung-patung di kuilnya, atau kepada para pahlawan pilihannya, untuk menamengi mereka. Jubah Reyna, yang sudah dia kenakan bertahun-tahun, mendadak berubah. Jubah tersebut telah meredam ledakan. Dia hendak mengatakan sesuatu, untuk berterima kasih kepada sang dewi, tapi suaranya tidak mau keluar. Aura berpendar di seputar patung itu memudar. Denging di telinga Reyna sirna sudah. Dia menjadi sadar akan Orion, masih meraung-raung kesakitan sambil terhuyung-huyung di permukaan air. "Kau gagal!" sang raksasa mencabut pisau Reyna dari dadanya dan melemparkan benda itu ke antara gelombang. "Aku masih hidup!" Orion menarik tali busur dan menembak, tapi kejadiannya seperti gerak lambat. Reyna menyapukan jubah ke depannya. Panah pecah berkeping-keping begitu menyentuh kain. Reyna melesat ke langkan dan melompat ke arah sang raksasa. Lompatan tersebut seharusnya terlampau jauh, tapi Reyna merasakan betapa bertenaga tungkainya, seakan-akan ibunya Bellona tengah meminjaminya kekuatan imbalan atas seluruh kekuatan yang telah Reyna pinjamkan kepada orang-orang lain bertahun-tahun ini.
Reyna mencengkeram busur Orion dan, berputar bak pesenam, mendarat di punggung raksasa itu. Dia membelitkan kaki ke pinggang si raksasa, kemudian memuntir jubahnya menjadi tali dan menjeratkan tali buatan itu ke leher Orion sekuat tenaga. Orion secara instingtif menjatuhkan busurnya. Dipeganginya kain yang gemerlapan, tapi jemarinya yang menyentuh kain itu kontan berasap dan melepuh. Asap berbau anyir tajam mengepul dari lehernya. Reyna menarik semakin keras. "Ini untuk Phoebe," geram Reyna ke telinga Orion. "Untuk Kinzie. Untuk semua yang sudah kaubunuh. Kau akan mati di tangan anak perempuan." Orion meronta dan melawan, tapi tekad Reyna tidak tergoyahkan. Kekuatan Athena merasuki jubahnya. Bellona memberkatinya dengan kekuatan dan keteguhan hati. Reyna mendapat bantuan bukan dari satu melainkan dua dewi perkasa, tapi dia sendirilah yang mesti menuntaskan tugas untuk menghabisi Orion. Itu pulalah yang dia lakukan. Sang raksasa jatuh berlutut dan tenggelam di air. Reyna tidak melepaskan jeratan sampai Orion berhenti meronta dan tubuhnya melebur menjadi buih laut. Mata mekanisnya menghilang di antara ombak. Busurnya mulai tenggelam. Reyna membiarkan saja benda-benda itu terbenam. Dia tidak tertarik akan pampasan perang tidak berhasrat melestarikan satu pun bagian dari si raksasa. Seperti mania ayahnya dan semua hantu-hantu penasaran yang marah di masa lalu Reynya Orion tidak pantas mengajarinya apa-apa. Raksasa itu layak dilupakan. Lagi pula, matahari sedang terbit. Reyna pun berenang ke kapal layar. []
BAB EMPAT PULUH REYNA TIADA WAKTU UNTUK MENIKMATI KEMENANGANNYA atas Orion. Mulut Blackjack berbusa. Tungkainya kejang-kejang. Darah menetes dari luka tusuk panah di sisi tubuhnya. Reyna mengaduk-aduk kantong bekal pemberian Phoebe. Ditotol-totolnya luka Blackjack dengan ramuan penyembuh. Dituangkannya jamu unicorn ke bilah pisau lipat peraknya. "Kumohon, kumohon," Reyna berkomat-kamit sendiri. Sesungguhnya Reyna tidak tahu sedang melakukan apa, tapi dia membersihkan luka sebisanya dan mencengkeram buluh panah. Jika panah itu memiliki ujung bergerigi, mencabutnya mungkin saja malah semakin melukai Blackjack. Tapi, jika panah tersebut beracun, Reyna tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia juga tidak bisa menembuskan panah sampai keluar, sebab panah itu menancap ke tengah badan Blackjack. Reyna harus memilih yang terbaik di antara sekian opsi buruk.
"Tahan sebentar ya, Teman. Rasanya bakalan sakit," kata Reyna kepada Blackjack.
Sang pegasus mendengus, seolah hendak mengatakan Coba sampaikan sesuatu yang belum kutahu. Dengan pisaunya, Reyna menyayat sisi kiri-kanan luka. Dicabutnya panah. Blackjack memekik, tapi panah tersebut keluar dengan mulus. Ujungnya tidak bergerigi. Panah tersebut mungkin beracun, tapi tiada cara untuk memastikannya. Selesaikan saja masalah satu demi satu. Reyna menuangkan ramuan penyembuh lagi ke luka itu dan lantas memerbannya. Reyna membebat luka rapat-rapat sambil menghitung dalam hati. Rembesan darah sepertinya berkurang. Diteteskannya jamu unicorn ke mulut Blackjack. Reyna tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Denyut nadi kuda itu menjadi kian kuat dan kian stabil. Matanya tidak lagi menampakkan rasa nyeri. Pernapasannya menjadi tenang. Pada saat Reyna berdiri, dia gemetaran karena takut dan letih, tapi Blackjack masih hidup. "Kau akan baik-baik saja," Reyna berjanji. "Akan kucarikan pertolongan untukmu dari Perkemahan Blasteran." Blackjack mengeluarkan suara menggerutu. Reyna bersumpah kuda itu mencoba mengucapkan donat. Reyna pasti berhalusinasi. Dia terlambat menyadari bahwa langit sudah demikian terang. Athena Parthenos berkilau diterpa sinar mentari. Guido dan kuda-kuda bersayap yang lain menggaruki dek tak sabaran. "Pertempuran ..." Reyna membalikkan badan ke pantai, tapi tidak melihat tanda-tanda pertarungan. Trireme Yunani terangguk-angguk malas di antara ombak pagi hari. Perbukitan tampak hij au dan damai. Sekejap Reyna bertanya-tanya apakah bangsa Romawi memutuskan untuk tidak menyerang. Barangkali Octavian akhirnya berpikir jernih. Barangkali Nico dan yang lain berhasil memenangi simpati legiun.
Kemudian pendar jingga menerangi puncak perbukitan. Amunisi api berkelebatan ke langit bagaikan jari-jari terbakar. Onager telah menembakkan misilnya yang pertama.[]
BAB EMPAT PULUH SATU PIPER PIPER TIDAK TERKEJUT KETIKA MANUSIA ular tiba. Semingguan ini, Piper memikirkan perjumpaannya dengan Sciron si bandit, ketika dia berdiri di dek Argo II sehabis kabur dari kura-kura buas raksasa dan membuat kekeliruan dengan mengatakan, "Kita sudah aman." Saat itu, panah seketika mengenai tiang layar utama, meleset seinci saja dari hidungnya. Piper menuai pelajaran berharga dari kejadian itu: Jangan pernah berasumsi bahwa kita sudah selamat dan jangan pernah memancing-mancing para Moirae dengan mengumumkan bahwa kita mengira diri kita sudah selamat. Jadi, ketika kapal merapat ke pelabuhan Piraeus, di pinggiran Athena, Piper menahan hasrat untuk mengembuskan napas lega. Betul, mereka akhirnya mencapai tujuan. Tidak jauh dari situ di balik deretan kapal layar, di balik perbukitan yang disesaki bangunan mereka akan menemukan Akropolis. Hari ini, dengan satu atau lain cara, perjalanan mereka akan berakhir.
Tapi, bukan berarti Piper bisa santai. Kejutan tak mengenakkan bisa muncul sekonyong-konyong entah dari mana, tidak lama lagi. Ternyata, kejutan itu berupa tiga laki-laki berekor ular alih-alih berkaki. Piper tengah bertugas jaga sementara teman-temannya bersiap untuk pertarungan mengecek senjata dan baju tempur, mengisi pelontar misil dan katapel tempur. Dia melihat para manusia ular melata di dok, meliuk-liuk menembus kerumunan turis fana yang tidak menghiraukan mereka. "Arm Annabeth"" panggil Piper. Annabeth dan Percy menghampirinya. "Wah, hebat," kata Percy. "Dracaena." Annabeth menyipitkan mata. "Menurutku bukan. Setidaknya mereka tidak seperti dracaena yang pernah aku lihat. Dracaena memiliki dua ekor ular alih-alih kaki. Yang ini cuma punya satu ekor." "Kau benar," tukas Percy. "Bagian atas tubuh mereka juga lebih mirip manusia. Kulit mereka tidak hijau bersisik. Jadi, kita ajak mereka bicara atau berkelahi"" Piper tergoda untuk mengatakan berkelahi. Mau tak mau dia memikirkan cerita yang dia sampaikan kepada Jason mengenai pemburu Cherokee yang melanggar pantangan dan berubah menjadi ular. Ketiga makhluk tersebut kelihatannya suka makan daging tupai. Yang aneh, manusia ular yang paling depan mengingatkan Piper pada ayahnya ketik
a Tristan McLean menumbuhkan janggut untuk perannya dalam Raja Sparta. Manusia ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi. Wajahnya bertulang pipi tinggi dan berkulit sewarna perunggu, matanya sehitam batu basal, rambut keritingnya yang berwarna gelap mengilap karena diminyaki. Tubuh bagian atasnya berotot kekar, hanya mengenakan chlamys Yunani
kain wol putih yang dililitkan longgar dan dijepit dengan pin di bahu. Dari pinggang ke bawah, tubuhnya berbentuk ekor ular raksasa ekor hijau sepanjang kira-kira dua setengah meter yang bergelombang ke belakang selagi dia bergerak. Satu tangannya membawa tongkat yang dipuncaki permata biru berpendar. Di tangan satunya lagi, dia membawa nampan yang ditutupi kubah perak, seperti hidangan pembuka pada pesta makan malam mewah. Dua orang di belakang si pemimpin tampaknya adalah pengawal. Mereka mengenakan tameng dada perunggu dan helm nan rumit yang berjambul surai kuda. Tombak mereka bermata batu hijau. Perisai oval mereka dihiasi huruf timbul K Yunani kappa. Mereka berhenti beberapa meter dari Argo II. Si pemimpin mendongak dan mengamati para demigod. Ekspresinya intens tapi tak terbaca. Dia mungkin saja marah, khawatir, atau harus ke belakang. "Minta izin untuk naik ke kapal." Suara paraunya membuat Piper membayangkan pisau cukur yang diasah seperti di kios tukang cukur kakeknya di Oklahoma. "Siapa kau"" tanya Piper. Si manusia ular memakukan tatapan matanya yang gelap pada Piper. "Aku Kekrops, raja kekal Athena yang pertama. Aku hendak menyambut kedatangan kalian ke kotaku." Dia menyodorkan nampan yang ditutupi. "Selain itu, aku membawakan kue tar." Piper melirik temannya. "Trik"" "Mungkin sekali," kata Annabeth. "Setidaknya dia membawakan kue." Percy tersenyum kepada para manusia ular. "Silakan naik!"
Kekrops setuju meninggalkan pengawalnya di dek atas bersama Buford si meja, yang memerintahkan mereka tiarap dan push-up dua puluh kali. Para pengawal sepertinya menganggap ini sebagai tantangan. Sementara itu, raja Athena diundang ke mes untuk rapat
"perkenalan". "Silakan duduk," Jason menawarkan. Kekrops mengernyitkan hidung. "Manusia ular tidak duduk." "Silakan tetap berdiri," ujar Leo. Dia memotong kue dan menjejalkan potongan itu ke mulutnya sebelum Piper sempat memperingatkan kalau-kalau kue tersebut beracun, atau tidak dapat dimakan manusia fana, atau semata-mata tidak enak. "Wow!" Leo menyeringai. "Manusia ular tahu caranya membuat kue tar. Ada rasa jeruknya, juga rasa madu samar-samar. Butuh segelas susu untuk teman makan nih." "Manusia ular tidak minum susu," kata Kekrops. "Kami reptil yang tidak mampu mencerna laktosa." "Aku juga!" kata Frank. "Maksudku tidak bisa mencerna laktosa. Bukan reptil. Walaupun aku bisa menjadi reptil kadang-kadang " "Jadi," potong Hazel, "apa yang membawa Anda ke sini, Raja Kekrops" Dari mana Raja tahu bahwa kami sudah tiba"" "Aku tahu segalanya yang terjadi di Athena," kata Kekrops. "Aku adalah pendiri kota ini, rajanya yang pertama, lahir dari bumi. Akulah yang menjadi hakim dalam perselisihan antara Athena dan Poseidon, dan memilih Athena untuk menjadi pelindung kota ini." "Pasti tidak ada yang tersinggung," gumam Percy. Annabeth menyikutnya. "Aku pernah mendengar tentang Anda, Kekrops. Andalah yang pertama menyerahkan sesaji kepada Athena. Anda membangun kuil Athena yang pertama di Akropolis."
"Tepat." Kekrops kedengarannya getir, seakan menyesali keputusannya. "Kaumku adalah warga Athena yang asli kaum gemini." "Seperti simbol zodiak"" tanya Percy. "Aku Leo." "Bukan, Bodoh," kata Leo. "Aku Leo. Kau Percy." "Kahan berdua bisa berhenti, tidak"" omel Hazel. "Menurutku gemini yang dia maksud berarti ganda setengah manusia, setengah ular. Itulah nama bagi kaumnya. Dia seorang geminus, itu bentuk tunggalnya." "Ya ..." Kekrops mencondongkan badan menjauhi Hazel seolah gadis itu entah bagaimana telah menyakiti hatinya. "Ribuan tahun silam, kami didesak ke bawah tanah oleh manusia berkaki dua, tapi aku lebih mengenal jalan-jalan kota ini dibandingkan siapa pun. Aku datang untuk memperingatkan kalian. Jika kalian mencoba mendekati Akropolis dari
atas tanah, kalian akan binasa." Jason berhenti menggigiti kuenya. "Maksudnya Anda akan membinasakan kami"" "Pasukan Porphyrion yang akan membinasakan kalian," kata sang raja ular. "Akropolis telah dikelilingi oleh senjata pengepungan nan dahsyat onager." "Onager lagi"" protes Frank. "Memangnya sedang ada obral, apa"" "Bangsa Cyclops," tebak Hazel. "Mereka menyuplai senjata itu baik untuk Octavian maupun untuk para raksasa." Percy mendengus. "Seolah kita masih perlu bukti bahwa Octavian berada di pihak yang salah." "Bukan itu ancaman satu-satunya," Kekrops mewanti-wanti. "Udara sarat dengan roh badai dan gryphon. Semua jalan menuju Akropolis dijaga oleh patroli Anak Bumi."
. Frank mengetukkan jemari ke tutup kue tar. "Jadi, kami harus menyerah, begitu" Kami sudah menempuh perjalanan terlalu jauh. Mustahil kami menyerah sekarang." "Aku bermaksud menawari kalian satu alternatif," kata Kekrops. "Jalan bawah tanah menuju Akropolis. Demi Athena, demi dewa-dewi, akan kubantu kalian." Bulu kuduk Piper berdiri. Dia teringat kata-kata Periboia sang raksasa perempuan dalam mimpinya: bahwa para demigod akan menemukan kawan dan juga musuh di Athena. Barangkali yang raksasa itu maksud adalah Kekrops dan manusia ular kaumnya. Tapi, ada sesuatu yang tidak Piper sukai dalam suara Kekrops nadanya yang tajam, seakan bersiap untuk mengiris-iris. "Syaratnya apa"" tanya Piper. Kekrops memalingkan mata hitamnya yang tak terbaca kepada Piper. "Hanya serombongan kecil demigod tak lebih dari tiga orang yang dapat melintas tanpa terdeteksi oleh para raksasa. Jika jumlah kalian terlalu banyak, bau kalian akan tercium oleh mereka. Tapi, terowongan bawah tanah kami bisa mengantar kalian langsung ke dalam reruntuhan Akropolis. Setibanya di sana, kalian bisa merusak senjata pengepungan secara diam-diam dan memungkinkan kru kalian yang lain mendekat. Jika beruntung, kalian bisa mengagetkan para raksasa. Kalian barangkali juga bisa mengganggu upacara mereka." "Upacara"" tanya Leo. "Oh untuk membangunkan Gaea, maksud Anda." "Saat ini sekalipun, upacara itu sudah dimulai," Kekrops mewanti-wanti. "Tidak bisakah kalian merasakan bahwa bumi ini bergetar" Kami, kaum gemini, menyediakan peluang terbaik bagi kalian." Piper mendengar antusiasme dalam suara Kekrops hampir-hampir seperti keserakahan.
Percy memandang ke sekeliling meja. 'Ada yang keberatan"" "Aku," kata Jason. "Pertama, kita di ambang pintu musuh. Kedua, kita diminta berpencar. Bukankah di film-film horor itulah yang menyebabkan orang-orang tewas"" "Selain itu," kata Percy, "Gaea ingin kita mencapai Parthenon. Dia menginginkan darah kita untuk mengairi bebatuan dan sebagainya. Bukankah kita justru akan masuk ke dalam perangkapnya"" Annabeth menangkap tatapan mata Piper. Dia mengajukan pertanyaan bisu: Pendapatmu bagaimana" Piper masih tidak terbiasa akan hal itu bahwa Annabeth sekarang minta saran kepadanya. Sejak kejadian di Sparta, mereka belajar bahwa masalah bisa mereka selesaikan bersama-sama melalui dua pendekatan berlainan. Annabeth menyikapi perkara secara logis, menimbang-nimbang langkah taktisnya. Piper mengandalkan firasat. Bersama-sama, mereka bisa menyelesaikan masalah dua kali lebih cepat atau sebaliknya, membuat satu sama lain kebingungan. Tawaran Kekrops masuk akal. Setidaknya, mending itu daripada menerjang langsung ke Akropolis seperti orang cari mati. Tapi, Piper yakin sang raja ular menyembunyikan niat sejatinya. Piper semata-mata tidak tahu bagaimana membuktikan hal itu . Lalu dia teringat perkataan ayahnya bertahun-tahun lalu: Kau dinamai Piper si Peniup Seruling karena menurut kakek Tom, suaramu kuat. Kau akan mampu menyanyikan semua lagu Cherokee, bahkan lagu bangsa ular. Mitos dari kebudayaan yang sama sekali lain, tapi di sinilah dirinya, berhadapan dengan raja bangsa ular. Piper mulai menyanyikan "Summertime", salah satu favorit ayahnya.
Kekrops menatap Piper dengan takjub. Badannya mulai meliuk-liuk ke kanan-kiri. Mula-mula Piper merasa sadar diri, menyanyi di depan semua temannya dan si manusia ular. Ayahnya selalu mengatakan bahwa suaranya bagus, tapi Piper tidak
suka menarik perhatian. Dia bahkan tidak suka ikut menyanyi bersama di api unggun. Kini kata-katanya berkumandang di mes. Semua orang mendengarkan, terpana. Piper menyelesaikan bait pertama. Tak seorang pun berbicara selama lima detik. "Pipes," kata Jason. "Aku tidak tahu." "Cantiknya," Leo sepakat. "Mungkin bukan tahu cantik seperti Calypso, tapi tetap saja ..." Piper menatap mata sang raja ular lekat-lekat. "Apa niatmu sesungguhnya"" "Mengelabui kalian," kata Kekrops seolah tersihir, masih meliuk-liuk. "Kami bermaksud membimbing kalian ke dalam terowongan dan menghabisi kalian." "Kenapa"" tanya Piper. "Ibu Pertiwi menjanjikan kami imbalan besar. Jika kami menumpahkan darah kalian di bawah Parthenon, itu sudah cukup untuk menggenapkan kebangkitannya." "Tapi, kau mengabdi kepada Athena," kata Piper. "Kau mendirikan kota atas nama Athena." Kekrops mendesis rendah. "Dan sebagai balasannya, sang dewi meninggalkanku. Athena menggantikanku dengan raja manusia berkaki dua. Dia membuat putri-putriku menjadi gila. Mereka melompat menjemput ajal dari tebing Akropolis. Warga Athena yang asli, kaum gemini, terdesak ke bawah tanah dan terlupakan. Athena, Dewi Kebijaksanaan, berpaling dari kami, tapi kebijaksanaan datang pula dari tanah. Kami ini sejatinya
adalah anak Gaea. Ibu Bumi telah menjanjikan tempat bagi kami di dunia atas." "Gaea berbohong," kata Piper. "Dia berniat menghancurkan dunia atas, bukan memberikannya kepada siapa pun." Kekrops memamerkan taring-taringnya. "Lebih baik begitu daripada berada di bawah kekuasaan dewa-dewi nan ingkar!" Dia mengangkat tongkatnya, tapi Piper kembali menyanyikan "Summertime. Lengan sang Raja Ular melemas. Matanya menjadi buram. Piper menyanyikan beberapa larik lagi, kemudian dia memberanikan diri untuk kembali bertanya: "Strategi pertahanan para raksasa, terowongan bawah tanah ke Akropolis seberapa banyak informasi yang kausampaikan kepada kami yang benar adanya"" "Semuanya," kata Kekrops. "Akropolis memang dijaga ketat dengan senjata lengkap, persis seperti yang kujabarkan. Mustahil mendekatinya lewat jalan mana pun di atas tanah." "Jadi, kau bisa memandu kami menyusuri terowonganmu," kata Piper. "Benar jugakah itu"" Kekrops mengerutkan kening. "Ya ..." "Dan kalau kau memerintahkan kaummu agar tidak menyerang kami," kata Piper, "akankah mereka patuh"" "Ya, tapi ..." Kekrops bergidik "Ya, mereka akan patuh. Maksimal tiga orang dari kalian bisa lewat tanpa menarik perhatian para raksasa." Mata Annabeth menjadi suram. "Piper, kita gila kalau coba-coba. Dia akan membunuh kita begitu mendapat kesempatan." "Ya," sang Raja Ular setuju. "Hanya saja musik gadis ini mengendalikanku. Aku membencinya. Tolong, bernyanyilah lagi." Piper melantunkan satu bait lagi untuk Kekrops.
Leo ikut beraksi. Dia mengambil beberapa sendok dan menggebrak meja supaya sendok-sendok itu terlempar tinggi-tinggi sampai Hazel menepuk lengannya. "Aku harus ikut," kata Hazel, "kalau kita hendak melewati jalan bawah tanah." "Tidak mungkin," kata Kekrops. "Anak Dunia Bawah" Kaumku akan merasa muak akan kehadiranmu. Tiada musik memikat yang mampu mencegah mereka untuk membinasakanmu." Hazel menelan ludah. "Atau aku bisa diam di sini saja." "Aku dan Percy," Annabeth menyarankan. "Anu ..." Percy angkat tangan. "Mesti kuulangi lagi, justru itulah persisnya yang Gaea inginkan kau dan aku, darah kita mengairi bebatuan, dan seterusnya." "Aku tabu." Ekspresi Annabeth murung. "Tapi, itulah pilihan yang paling logic. Kuil-kuil tertua di Akropolis dipersembahkan untuk Poseidon dan Athena. Kekrops, bukankah dengan demikian kedatangan kami akan sulit dilacak"" "Ya," sang Raja Ular mengakui. "Bau kalian yang ... yang spesifik akan sukar ditangkap. Reruntuhan senantiasa memancarkan kekuatan kedua dewa itu." "Aku ikut juga," kata Piper di pengujung lagu. "Kalian mem-butuhkan aku untuk mengontrol kawan kita ini." Jason meremas tangan Piper. "Aku masih benci membayangkan kita harus berpencar." "Tapi, inilah peluang terbaik kita," kata Frank. "Mereka bertiga menyelinap masuk dan melumpuhkan onager, mengalihkan perhatian. Kemudian kita beremp
at terbang ke sana sambil menembakkan misil." "Ya," kata Kekrops, "rencana itu bisa berhasil. Jika aku tidak membunuh kalian terlebih dahulu."
"Aku punya ide," kata Annabeth. "Frank, Hazel, Leo ... mari berembuk. Piper, bisa kaulanjutkan melumpuhkan kawan kita dengan musik"" Piper memulai lagu lain: "Happy Trails," tembang konyol yang kerap ayahnya nyanyikan untuknya kapan pun mereka meninggalkan Oklahoma untuk kembali ke L.A. Annabeth, Leo, Frank, dan Hazel pergi untuk membahas strategi. "Baiklah." Percy bangkit dan mengulurkan tangan kepada Jason. "Sampai bertemu lagi di Akropolis, Sobat. Biar aku yang membunuh para raksasa."[]
BAB EMPAT PULUH DUA PIPER AYAH PIPER PERNAH BERKATA BAHWA persinggahan di bandara kota tertentu tidak terhitung sebagai kunjungan ke kota itu. Sama juga jika yang disinggahi adalah gorong-gorong, menurut Piper. Dari pelabuhan ke Akropolis, Piper tidak melihat Athena sama sekali terkecuali terowongannya yang gelap bacin. Para manusia ular membimbing mereka melewati gerbang berterali besi di dermaga, langsung ke sarang bawah tanah mereka, yang berbau ikan busuk, jamur, dan kulit ular. Di tengah atmosfer tersebut, susah menyanyi tentang musim panas dan kapas serta hidup nan santai, tapi Piper terus berjuang. Jika dia berhenti lebih dari satu atau dua menit, Kekrops dan para pengawalnya mulai mendesis dan tampak marah. "Aku tidak suka tempat gumam Annabeth. "Mengingatkanku saat aku di bawah tanah Roma." Kekrops mendesiskan tawa. "Wilayah kami jauh lebih tua. Amat sangat jauh lebih tua." Annabeth menggamit tangan Percy, alhasil membuat Piper patah semangat. Dia berharap Jason di sini bersamanya. Tidak
usah Jason, ada Leo saja Piper sudah senang walaupun mungkin Piper takkan menggandeng tangannya. Tangan Leo kerap terbakar sendiri ketika dia sedang gugup. Suara Piper bergema di terowongan. Semakin jauh ke dalam sarang, semakin banyak manusia ular yang berkumpul untuk menyimak Piper. Tidak lama berselang, mereka sudah diikuti rombongan lusinan gemini, semuanya meliuk-liuk dan melata. Piper sudah mewujudkan prediksi kakeknya. Dia menguasai lagu bangsa ular yang ternyata adalah melodi karangan George Gershwin dari tahun 1935. Sejauh ini, dia bahkan mencegah raja ular menggigit, persis seperti di cerita lama Cherokee. Satu-satunya masalah dalam legenda itu: si pendekar yang mempelajari lagu ular harus mengurbankan istrinya demi kesaktian tersebut. Piper tidak ingin mengorbankan siapa pun. Vial berisi obat dari tabib masih terbungkus dalam chamois, tersimpan di saku sabuk Piper. Dia tidak punya waktu untuk berunding dengan Jason dan Leo sebelum berangkat. Dia semata-mata berharap semoga mereka semua akan bersatu kembali di puncak bukit sebelum ada yang membutuhkan obat. Kalau salah seorang dari mereka mati dan Piper tidak bisa mencapai mereka Menyanyi saja terus, kata Piper kepada diri sendiri. Mereka melewati ruangan batu kasar dengan tulang berserakan di lantai. Mereka mendaki tanjakan yang begitu curam dan licin sampai-sampai nyaris mustahil untuk menjejak tanpa terpeleset. Satu saat, mereka melintasi gua hangat seukuran gimnasium yang berisi telur-telur ular, bagian atasnya ditutupi lapisan benang-benang keemasan seperti dekorasi Natal berlendir. Manusia ular yang turut dalam prosesi mereka bertambah banyak. Melata di belakang Piper, mereka kedengarannya seperti sepasukan pemain futbol yang tengah menggosokkan sepatu berpaku ke ampelas.
Piper bertanya-tanya berapa banyak gemini yang tinggal di bawah sini. Ratusan, mungkin ribuan. Piper merasa mendengar detak jantungnya sendiri bergema di koridor-koridor, semakin keras seiring semakin dalamnya mereka masuk. Kemudian dia menyadari bahwa bunyi deg-deg-deg tiada henti itu berasal dari sekeliling mereka, beresonansi lewat batu dan udara. Aku bangun. Suara seorang wanita, sejelas nyanyian Piper. Annabeth mematung. "Wah, tidak bagus." "Ini seperti di Tartarus," kata Percy, suaranya tegang. "Kauingat detak jantungnya. Ketika dia muncul " "Jangan," kata Annabeth. "Pokoknya jangan dibahas." "Sori." Di bawah cahaya pedangnya, wajah Percy seperti kunang-kuna
ng besar petak terang yang melayang-layang, menodai kegelapan untuk sementara. Suara Gaea berbicara lagi, lebih keras: Akhirnya. Nyanyian Piper melirih. Rasa takut melandanya, seperti di kuil Sparta. Tapi, dewa kembar Phobos dan Deimos kini adalah teman lamanya. Piper membiarkan rasa takut berkobar dalam dirinya bagaikan bahan bakar, malah menjadikan suaranya semakin kuat. Dia menyanyi untuk bangsa ular, demi keselamatan teman-temannya. Kenapa tidak untuk Gaea juga" Akhirnya mereka tiba di puncak tanjakan curam. Di sana, jalan setapak dibuntu oleh tabir lendir hijau. Kekrops menghadapi para demigod. "Akropolis terletak di balik kamuflase ini. Kalian harus tetap di sini. Akan kuperiksa apakah jalan sudah aman untuk kalian." "Tunggu." Piper membalikkan badan untuk berbicara kepada kerumunan gemini. "Hanya ada maut di atas. Kalian akan lebih
aman di dalam terowongan. Bergegaslah kembali. Lupakan bahwa kalian pernah melihat kami. Lindungi diri kalian." Rasa takut dalam suaranya tersalurkan dengan sempurna lewat charmspeak. Para manusia ular, bahkan para pengawal, berbalik dan melata ke kegelapan, hanya meninggalkan sang raja. "Kekrops," kata Piper, "kau berencana mengkhianati kami begitu kau melangkah ke balik lendir itu." "Ya," Kekrops sepakat. "Aku akan memberi tahu para raksasa. Aku akan menghabisi kalian." Kemudian dia mendesis. "Kenapa aku menyampaikan itu kepada kalian"" "Dengarkanlah detak jantung Gaea," desak Piper. "Kau bisa merasakan murkanya, bukan"" Kekrops bimbang. Ujung tongkatnya berpendar pucat. "Ya, aku bisa. Dia marah." "Dia akan menghancurkan segalanya," kata Piper. "Dia akan membumihanguskan Akropolis hingga menyisakan kawah berasap belaka. Athena kotamu akan luluh lantak beserta kaummu. Kau percaya padaku, Ian"" "Aku aku percaya." "Sekalipun kau membenci manusia, demigod, Athena, kamilah yang paling mungkin menghentikan Gaea. Jadi, kau tidak akan mengkhianati kami. Demi dirimu sendiri dan kaummu, kau akan mengintai kondisi di atas dan memastikan bahwa jalan sudah bebas hambatan. Kau takkan mengatakan apa pun kepada para raksasa. Kemudian kau akan kembali ke sini." "Itulah ... yang akan kulakukan." Kekrops menghilang lewat lapisan lendir. Annabeth geleng-geleng kepala karena kagum. "Piper, barusan itu luar biasa."
"Akan kita lihat apakah bujukanku manjur." Piper duduk di Iantai batu nan sejuk. Dia berpikir mending istirahat mumpung bisa. Yang lain berjongkok di sebelah Piper. Percy memberinya wadah berisi air. Sampai dia menyesap minuman, Piper tidak menyadari betapa kering kerongkongannya. "Makasih." Percy mengangguk. "Menurutmu efek charmspeak-mu akan bertahan lama padanya"" "Aku tidak yakin," Piper mengakui. "Kalau Kekrops kembali dua menit lagi bersama sepasukan raksasa, berarti tidak." Detak jantung Gaea bergema di sepanjang lantai. Anehnya, ini membuat Piper teringat akan laut gelegar ombak yang mengempas tebing-tebing kota tempat tinggalnya, Santa Monica. Dia bertanya-tanya ayahnya sedang apa saat ini. Waktu tentunya masih tengah malam di California. Mungkin ayahnya sedang tidur atau diwawancarai di acara TV larut malam. Piper berharap ayahnya tengah berada di lokasi favoritnya: beranda samping ruang keluarga, menyaksikan bulan di atas Samudra Pasifik, menikmati ketenangan. Piper ingin meyakini betapa ayahnya tengah berbahagia dan tenteram pada saat ini kalau-kalau mereka gagal. Dia memikirkan teman-temannya di Pondok Aphrodite Perkemahan Blasteran. Dia memikirkan sepupu-sepupunya di Oklahoma pemikiran yang aneh, sebab dia tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Dia bahkan tidak mengenal baik sepupu-sepupunya itu. Sekarang Piper menyesal karenanya. Piper berharap kalau saja dia mengisi hidupnya secara lebih bermanfaat, lebih bersyukur. Dia akan selalu berterima kasih atas anugerah berupa keluarga di Argo II tapi dia memiliki banyak
sekali teman dan kerabat lain yang dia ingin temui lagi untuk kali terakhir. "Apa kalian pernah memikirkan keluarga kalian"" tanya Piper. Pertanyaan itu konyol, terutama menjelang pertempuran. Piper seharusnya memfokuskan perhatian pada misi mereka, buk
an mengalihkan perhatian teman-temannya. Tapi, mereka tidak mengomelinya. Tatapan Percy menjadi tidak fokus. "Ibuku aku aku belum bertemu beliau sejak Hera membuatku menghilang. Aku menelepon ibuku dari Alaska. Aku menitipi Pak Pelatih Hedge surat untuk beliau. Aku ..." suaranya pecah. "Ibuku satu-satunya keluargaku. Beliau dan ayah tiriku, Paul." "Jangan lupa Tyson," Annabeth mengingatkannya. "Juga Grover. Dan " "Iya, tentu saja," kata Percy. "Makasih. Aku merasa baikan sekali." Piper barangkali seharusnya tidak tertawa, tapi dia terlalu gugup dan sendu sehingga tidak mampu menahan diri. "Kau bagaimana, Annabeth"" "Ayahku ibu tiriku dan adik-adik tiriku." Dia memutar bilah tulang naga di pangkuannya. "Setelah semua yang kulalui setahun terakhir ini, rasanya bodoh bahwa aku membenci mereka sedemikian lama. Lalu ada kerabat ayahku sudah bertahun-tahun aku tak pernah memikirkan mereka. Aku punya paman dan seorang sepupu di Boston." Percy kelihatan terguncang. "Kau, si pemakai topi Yankee" Kau punya keluarga di daerah Red Sox" Kalian tidak pernah bersitegang gara-gara bisbol, apa"" Annabeth tersenyum tipis. "Aku tidak pernah bertemu mereka. Ayah dan pamanku tidak akur. Saingan sejak dulu. Aku
tidak tahu pasti. Orang-orang menjaga jarak satu sama lain karena alasan bodoh." Piper mengangguk. Dia berharap dirinya memiliki kesaktian menyembuhkan seperti Asclepius. Dia berharap bisa mendeteksi apa yang melukai orang-orang hanya dengan melihat mereka, lalu mengeluarkan buku resep dan mengobati segalanya. Tapi, Piper menebak bahwa Zeus punya alasan sehingga mengurung Asclepius dalam kuil bawah tanahnya. Rasa sakit terkadang tidak boleh serta-merta dienyahkan. Rasa sakit mesti dihadapi, bahkan diterima. Tanpa kepedihan sepanjang beberapa bulan belakangan ini, Piper takkan menemukan sahabat, yaitu Hazel dan Annabeth. Dia takkan pernah mendapati keberaniannya sendiri. Dia jelas takkan punya nyali untuk menyanyikan lagu drama musikal kepada manusia ular di bawah tanah Athena. Di ujung terowongan, membran hijau beriak. Piper menyambar pedang dan berdiri, siap akan terjangan monster yang membanjir. Tapi, Kekrops keluar sendirian. "Jalan sudah aman," katanya. "Tapi, bergegaslah. Upacara hampir rampung."
Menembus tirai lendir hampir seasyik yang Piper bayangkan. Dia keluar sambil merasa baru berguling-guling di dalam lubang hidung raksasa. Untungnya, lendir tidak menempel sama sekali ke badannya, tapi kulitnya masih tergelitik karena jijik. Percy, Annabeth, dan Piper mendapati diri mereka di lubang sejuk lembap yang sepertinya adalah ruang bawah tanah sebuah kuil. Di sekeliling mereka, tanah tak rata terbentang ke kegelapan di bawah langit-langit batu rendah. Tepat di atas kepala mereka,
celah segi empat menampakkan langit. Piper bisa melihat tepian dinding dan puncak pilar-pilar, tapi nada monster ... belum. Membran kamuflase telah tertutup di belakang mereka dan melebur ke tanah. Piper menekankan tangannya ke sana. Area itu seolah terbuat dari batu padat. Mereka takkan keluar lewat jalan yang mereka lalui barusan. Annabeth menelusurkan tangan ke rajah-rajah di tanah cakar ayam sepanjang tubuh manusia. Area itu putih berbonggol, seperti parut pada batu. "Inilah tempatnya," kata Annabeth. "Percy, bekas trisula Poseidon." Percy menyentuh luka-luka tersebut dengan ragu. "Dia pasti menggunakan trisulanya yang amat sangat besar." "Di sinilah Poseidon menghunjam bumi," kata Annabeth, "tempatnya memunculkan sumber air asin ketika dia bersaing dengan ibuku untuk mensponsori kota Athena." "Jadi, di sinilah rivalitas mereka berawal," kata Percy. "Iya." Percy menarik Annabeth mendekat dan mencium pacarnya itu saking lamanya sampai-sampai Piper canggung, meski dia tidak berkata apa-apa. Piper memikirkan aturan lama di Pondok Aphrodite: untuk diakui sebagai anak perempuan Dewi Cinta, kita hams membuat seseorang patah hati. Sejak awal, Piper memutuskan untuk mengubah aturan itu. Percy dan Annabeth adalah contoh sempurna yang mengejawantahkan betapa konyolnya aturan lawas itu. Kita justru harus menjadikan hati seseorang terasa utuh. Itulah ujian ya
ng lebih baik. Ketika Percy menarik diri, Annabeth kelihatan seperti ikan yang megap-megap mencari udara. "Rivalitas berakhir di sini," kata Percy. "Aku cinta padamu, Cewek Bijaksana."
Annabeth mendesah kecil, seolah-olah ada yang meleleh di cangkang iganya. Percy melirik Piper. "Sori, aku harus melakukan yang barusan." Piper menyeringai. "Mana mungkin putri Aphrodite tidak setuju" Kau pacar yang hebat." Annabeth lagi-lagi mengeluarkan suara setengah menggeram-setengah mendesah. "Eh ... anu, omong-omong, kita di bawah Erekhtheion. Ini kuil untuk Athena dan Poseidon. Parthenon semestinya terletak di tenggara secara diagonal dari sini. Kita harus mengendap-endap di perimeter dan melumpuhkan sebanyak mungkin senjata pengepungan, membukakan jalan untuk Argo II." "Ini sudah siang hari bolong," kata Piper. "Bagaimana caranya supaya kita tidak ketahuan"" Annabeth menelaah langit. "Itulah sebabnya aku menyusun rencana bersama Frank dan Hazel. Mudah-mudahan ah. Lihat." Seekor lebah mendesing di atas. Lusinan lagi mengikuti. Lebah-lebah itu berkerumun di keliling sebuah pilar, lalu melayang di atas bukaan lubang. "Ucapkan hai pada Frank, Semuanya," kata Annabeth. Piper melambai. Kawanan lebah melesat pergi. "Kok bisa"" tukas Percy. "Maksudku apa seekor lebah sama dengan satu jari" Dua lebah matanya"" "Aku tidak tabu," Annabeth mengakui. "Tapi, dia perantara kita. Begitu Frank memberi Hazel isyarat, Hazel akan " "Ahhhh!" pekik Percy. Annabeth menutupi mulutnya dengan tangan. Alhasil kelihatan aneh, sebab mendadak masing-masing dari mereka telah berubah menjadi Anak Bumi tinggi besar bertangan enam. "Kabut Hazel." Suara Hazel terdengar dalam dan menggemuruh seperti batu gerinda. Dia menengok ke bawah dan menyadari
bahwa kini dia pun memiliki tubuh manusia purba nan indah pusar berambut, cawat, tungkai montok, dan kaki kebesaran. Jika berkonsentrasi, Hazel bisa melihat lengannya yang normal, tapi ketika dia bergerak, tangannya berombak seperti fatamorgana, terpisahkan menjadi tiga pasang lengan kekar Anak Bumi. Percy meringis, alhasil membuat wajah barunya yang jelek bertambah buruk rupa. "Wow, Annabeth aku lega sekali sudah menciummu sebelum kau 13erubah." "Makasih banyak," kata Annabeth. "Kita sebaiknya pergi. Aku akan menyusuri perimeter searah jarum jam. Piper, bergeraklah berlawanan arah jarum jam. Percy, kau mengintai tengah " "Tunggu," kata Percy. "Kita berjalan tepat ke tengah-tengah jebakan kurban darah yang kuperingatkan dan kau ingin kita berpencar lagi"" "Lebih cepat begitu," kata Annabeth. "Kita harus bergegas. Rapalan itu ..." Piper tidak memperhatikan sampai saat itu, tapi sekarang dia mendengarnya: dengung mencekam di kejauhan, menyerupai bunyi ratusan mesin forklift. Piper memandangi tanah dan menyadari bahwa kerikil-kerikil bergetar, bergeser ke tenggara, seakan-akan tertarik ke Parthenon. "Baiklah," ujar Piper. "Sampai ketemu lagi di singgasana
raksasa." Awalnya tugas Piper mudah. Monster berada di mana-mana ratusan raksasa Laistrygonian, Anak Bumi, dan Cyclops yang mengeluyur di puing-puing tapi kebanyakan berkumpul di Parthenon, menyaksikan berlangsungnya upacara. Piper melenggang di tebing Akropolis tanpa diadang.
Di dekat onager pertama, tiga Anak Bumi sedang berleha-leha di batu sambil mandi matahari. Piper berjalan menghampiri mereka dan tersenyum. "Halo." Sebelum mereka sempat bersuara, Piper menebas mereka dengan pedangnya. Ketiga Anak Bumi meleleh menjadi gundukan tanah dan batu. Dia memotong tali pelenting onager untuk merusak senjata itu, kemudian terus bergerak. Piper sekarang bertekad. Dia harus membuat kerusakan sebanyak mungkin sebelum sabotase tersebut ketahuan. Dia mengitari para Cyclops yang berpatroli. Onager kedua dikelilingi kemah raksasa Laistrygonian yang bertato, tapi Piper berhasil menghampiri mesin itu tanpa membangkitkan kecurigaan. Dijatuhkannya vial api Yunani ke kantong proyektil. Jika beruntung, begitu mereka mencoba mengisikan katapel, proyektil akan meledak di wajah mereka. Piper terus bergerak, Para gyrphon bersarang di atap barisan pilar sebuah kuil tua. Sekelompok empousa t
elah mundur ke bawah pelengkung remang-remang dan tampaknya sedang tidur, rambut mereka yang menyala-nyala berkelip-kelip kabur, kaki perunggu mereka berkilauan. Semoga sinar mentari bakal membuat mereka loyo jika harus bertarung. Kapan pun dia bisa, Piper menghabisi monster yang terisolasi. Bilamana melewati kelompok yang lebih besar, dia melintas saja. Sementara itu, kerumunan di Parthenon bertambah besar. Suara merapal semakin keras. Piper tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam reruntuhan cuma kepala dua puluh atau tiga puluh raksasa yang berdiri melingkar, bergumam dan berayun ke kiri-kanan dengan khusyuk. Dia melumpuhkan senjata pengepungan ketiga dengan cara menggergaji tali torsinya, yang semestinya memungkinkan Argo II untuk mendekat dari utara tanpa hambatan.
Piper berharap Frank memperhatikan kemajuannya. Dia bertanya-tanya berapa lama lagi hingga kapal tiba. Mendadak, suara merapal berhenti. Bunyi BUM menggelegar di bukit. Di Parthenon, para raksasa meraung penuh kemenangan. Di sekeliling Piper, monster-monster merangsek maju ke arah suara keriaan. Itu pasti bukan pertanda bagus. Piper melebur ke kerumunan Anak Bumi berbau apak. Dia menaiki tangga utama kuil, kemudian mendaki kuda-kuda logam supaya bisa melihat melampaui kepala para raksasa Laistrygonian dan Cyclops. Adegan di reruntuhan itu nyaris membuat Piper memekik keras-keras. Di hadapan singgasana Porphyrion, lusinan raksasa berdiri membentuk lingkaran renggang, bersorak-sorai dan menggoyang-goyangkan senjata saat dua di antara mereka berparade mengelilingi lingkaran, memamerkan pampasan mereka. Putri Periboia memegangi leher Annabeth seperti kucing buas. Enceladus sang raksasa menjepit Percy dalam kepalannya yang mahabesar. Annabeth dan Percy sama-sama meronta tanpa daya. Penangkap mereka memamerkan keduanya kepada kawanan monster yang gegap gempita, kemudian menoleh untuk menghadap Raja Porphyrion, yang duduk di singgasana ala kadarnya, mata putih raksasa itu berkilat-kilat keji. "Tepat pada waktunya!" Raja raksasa menggerung. "Darah Olympus untuk membangkitkan Ibu Pertiwi!"[]
BAB EMPAT PULUH TIGA PIPER PIPER MENYAKSIKAN DENGAN NGERI SAAT sang raja raksasa berdiri tegak hampir setinggi pilar kuil. Wajahnya persis seperti yang Piper ingat sehijau empedu, menyeringai kejam, kepang rambutnya yang sewarna rumput laut dihiasi pedang serta kapak yang diambil dari demigod mati. Dia menjulang tinggi di hadapan kedua tawanan, menyaksikan mereka menggeliat-geliut. "Mereka tiba persis seperti yang kau terawang, Enceladus! Kerja bagus!" Musuh lama Piper membungkukkan kepala, tulang-tulang yang dianyam ke rambut gimbalnya berkelotakan. "Pekerjaan saya sederhana saja, Raja." Desain lidah api mengilap di baju tempurnya. Tombaknya membara keunguan. Dia hanya butuh satu tangan untuk memegang tawanannya. Walaupun Percy Jackson sakti, walaupun dia telah selamat dari segala macam cobaan, pada akhirnya dia tak berdaya melawan kekuatan raksasa dan keniscayaan ramalan. "Saya tahu dua orang ini akan memimpin penyerangan," lanjut Enceladus. "Saya memahami cara mereka berpikir. Athena
dan Poseidon ... mereka persis seperti anak-anak ini! Keduanya datang ke sini, berpikir bakal mengklaim kota ini. Arogansi mereka nyatanya mendatangkan petaka bagi mereka!" Di tengah-tengah riuh rendah khalayak, Piper nyaris tidak bisa berkonsentrasi, tapi dia mengulang-ulang perkataan Enceladus dalam benaknya: dua orang ini akan memimpin penyerangan. Jantung Piper berpacu. Para raksasa mengharapkan kedatangan Percy dan Annabeth. Mereka tidak memperkirakan kehadiran Piper. Sekali ini, menjadi Piper McLean, putri Aphrodite, orang yang tidak dianggap serius oleh siapa pun, ternyata mungkin saja menguntungkannya. Annabeth mencoba mengucapkan sesuatu, tapi Periboia sang raksasa perempuan mengguncangkan lehernya. "Diam! Jangan goyangkan lidah manismu yang penuh tipu daya!" Sang putri mencabut pisau berburu sepanjang pedang Piper. "Beni aku kehormatan, Ayahanda!" "Tunggu, Putriku." Sang raja melangkah mundur. "Pengurbanan mesti dilakukan secara pantas. Thoon, penghancur Moirae Perajut Takdi
r, majulah!" Raksasa kelabu uzur terseok-seok ke depan sambil memegangi pisau jagal kebesaran. Tatapan mata putih keruhnya terpaku pada Annabeth. Percy berteriak. Di ujung lain Akropolis, seratus meter kurang dari sana, air menyembur ke langit. Raja Porphyrion tertawa. "Kau mesti berbuat lebih daripada itu, Putra Poseidon. Bumi terlampau kuat di sini. Ayahmu sekalipun hanya bisa mendatangkan sumber air asin, tidak lebih. Tapi, jangan khawatir. Satu-satunya cairan yang kami butuhkan darimu adalah darahmu!" Piper menelaah langit dengan putus asa. Di mana Argo II"
Thoon berlutut dan menyentuhkan bilah pisau jagalnya dengan penuh hormat ke tanah. "Bunda Gaea ..." Suaranya teramat dalam, mengguncangkan reruntuhan, membuat kuda-kuda logam beresonansi di bawah kaki Piper. "Pada zaman kuno, darah yang dicampur dengan tanahmu menciptakan kehidupan. Kini, perkenankan darah demigod ini membalas budi. Kami akan membangkitkanmu sepenuhnya. Kami sambut dirimu sebagai majikan kami yang kekal!" Tanpa berpikir, Piper meloncat dari kuda-kuda. Dia melayang di atas kepala para Cyclops dan raksasa Laistrygonian, mendarat di tengah-tengah pekarangan, dan merangsek ke dalam lingkaran raksasa. Selagi Thoon bangun untuk menggunakan pisau jagalnya, Piper menebaskan pedang ke atas. Dipotongnya tangan Thoon di bagian pergelangan. Sang raksasa tua melolong. Pisau jagal dan tangan buntung tergolek di tanah di kaki Piper. Dia merasakan samaran Kabut tersibak habis hingga dirinya kembali menjadi Piper seorang gadis di tengah-tengah sepasukan raksasa, bilah pedang perunggunya yang bergerigi bagaikan tusuk gigi bila dibandingkan dengan senjata mereka yang mahabesar. "APA INI"" Porphyrion menggemuruh. "Berani-beraninya makhluk lemah talc berguna ini turut campur"" Piper mengikuti instingnya. Dia menyerang. Keuntungan Piper: dia kecil, dia gesit, dan dia benar-benar sinting. Piper mencabut pisaunya, Katoptris, dan melemparkan senjata itu kepada Enceladus, berharap takkan mengenai Percy. Dia berkelit ke samping tanpa melihat hasil bidikannya, tapi dinilai dari jeritan kesakitan sang raksasa, bidikan Piper tentunya jitu.
Beberapa raksasa lari ke arahnya berbarengan. Piper meng-hindar, lewat ke antara kaki mereka, dan membiarkan kepala mereka bertubrukan. Piper menerobos kerumunan sembari menghunjamkan pedangnya ke kaki bersisik naga tiap kali mendapat kesempatan dan berteriak, "LARI! CEPAT LARI!" untuk menuai kebingungan. "JANGAN! HENTIKAN DIA!" Porphyrion berteriak. "BUNUH DIA!" Sebatang tombak hampir menyula Piper. Dia menikung dan terus berlari. Ini sama seperti tangkap bendera, katanya kepada diri sendiri. Hanya saja, anggota tim lawan semuanya setinggi sembilan meter. Pedang besar yang menyabet menghalangi jalannya. Dibandingkan latih tanding dengan Hazel, serangan itu teramat lambat. Piper melompati bilah pedang dan berlari zig-zag ke arah Annabeth, yang masih menendang-nendang dan menggeliut dalam cengkeraman Periboia. Piper harus membebaskan temannya. Sayangnya, sang raksasa perempuan tampaknya mengantisipasi rencana Piper. "Kurasa tidak, Demigod!" teriak Periboia. "Yang ini akan mengucurkan darah!" Sang raksasa perempuan mengangkat pisaunya. Piper menjeritkan charmspeak: "MELESET!" Pada saat bersamaan, Annabeth menendang ke atas supaya dirinya lebih kecil, alhasil lebih susah dibidik. Pisau Periboia melintas ke bawah kaki Annabeth dan menikam telapak tangan raksasa itu sendiri. "AWWW!" Periboia menjatuhkan Annabeth hidup, tapi terluka. Belati telah menghasilkan luka sayat panjang di belakang pahanya.
Sementara Annabeth berguling menjauh, darahnya membasahi bumi. Darah Olympus, pikir Piper dengan ngeri. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa soal itu. Dia harus menolong Annabeth. Piper menerkam sang raksasa perempuan. Bilah pedangnya yang bergerigi mendadak terasa sedingin es di tangannya. Sang raksasa yang terkejut melirik ke bawah saat pedang Boread menikam perutnya. Bunga es menyebar ke tameng dada perunggunya. Piper mencabut pedangnya. Sang raksasa perempuan terjungkal ke belakang putih beruap dan padat membeku. Periboia jatuh berdebum di tanah
. "Putriku!" Raja Porphyrion menodongkan tombaknya dan menyerang. Tapi, Percy punya gagasan lain. Enceladus telah menjatuhkannya mungkin karena raksasa itu sibuk sempoyongan dengan pisau Piper yang menancap di dahinya, ichor bercucuran ke matanya. Percy tidak punya senjata barangkali pedangnya telah disita atau hilang dalam pertempuran tapi dia tidak membiarkan ketiadaan senjata menghentikannya. Selagi raja raksasa lari menghampiri Piper, Percy mencengkeram ujung tombak Porphyrion dan menjenggutnya ke tanah. Momentum sang raksasa mengangkatnya sendiri dari tanah, melentingkannya tanpa sengaja seperti hendak loncat galah, lantas memuntirnya hingga terj engkang. Sementara itu, Annabeth menyeret diri di tanah. Piper lari ke sisi Annabeth. Dia berdiri di dekat temannya sambil menyabetkan pedang bolak-balik untuk menghalau raksasa. Uap biru dingin kini menyelimuti bilah pedang Piper.
Siapa lagi yang mau jadi es Jilin"" teriak Piper, menyalurkan amarah ke dalam charmspeak-nya. "Siapa yang mau kembali ke Tartarus"" Pertanyaan itu sepertinya menggentarkan monster-monster. Para raksasa memindahkan tumpuan dengan gelisah seraya melirik tubuh beku Periboia. Tentu tidak mengherankan bahwa Piper mengintimidasi mereka. Biar bagaimanapun, Aphrodite adalah dewi Olympia tertua, lahir dari Taut dan darah Ouranos. Dia lebih tua daripada Poseidon, Athena, bahkan Zeus. Dan, Piper adalah putrinya. Lebih daripada itu, Piper adalah seorang McLean. Ayahnya lahir dari keluarga yang tidak punya apa-apa. Sekarang dia dikenal di seluruh belahan dunia. Keluarga McLean pantang mundur. Seperti semua orang Cherokee, mereka tahu caranya menanggung penderitaan, mempertahankan harga diri, dan ketika perlu, balas melawan. Inilah waktunya untuk balas melawan. Dua belas meter dari sana, Percy membungkuk ke atas badan sang raksasa, berusaha melepaskan sebilah pedang dari kepangan rambutnya. Tapi, Porphyrion ternyata tidak selinglung kelihatannya. "Bodoh!" Porphyrion menepis Percy dengan punggung tangan layaknya lalat pengganggu. Putra Poseidon terpelanting hingga menabrak pilar disertai bunyi krak yang membuat ngilu. Porphyrion berdiri. "Demigod-demigod ini tidak bisa membunuh kita! Mereka tidak dibantu oleh dewa-dewi. Ingat siapa diri kalian!" Para raksasa mengepung mereka bertiga. Lusinan tombak ditodongkan ke dada Piper. Annabeth berjuang untuk bangkit. Dia mengambil pisau berburu Periboia, tapi dia nyaris tidak sanggup berdiri tegak, apalagi bertarung. Tiap kali darahnya menetes ke tanah, tetesan tersebut menggelegak, berubah warna dari merah menjadi keemasan. Percy mencoba berdiri, tapi dia jelas-jelas linglung. Dia takkan bisa mempertahankan diri sendiri. Satu-satunya pilihan Piper adalah memancing perhatian para raksasa agar tetap tertuju padanya. "Ayo, kalau begitu!" teriaknya. "Akan kuhabisi kalian semua sendiri kalau perlu!" Bau metalik pertanda datangnya badai memekatkan udara. Semua rambut halus di lengan Piper berdiri. "Masalahnya," kata sebuah suara dari atas, "kau tidak perlu menghabisi mereka sendirian." Hati Piper serasa hendak mengawang-awang. Di atas barisan pilar terdekat, di atapnya, berdirilah Jason, pedangnya berkilau keemasan di bawah sorot mentari. Frank berdiri di sisinya, busurnya disiagakan. Hazel menunggangi Anion, yang mendompak dan meringkik dengan lagak menantang. Disertai gelegar memekakkan, petir putih panas menyambar dari langit, menjalari tubuh Jason saat dia melompat, berbalut kilat, untuk menerjang raja raksasa.[]
BAB EMPAT PULUH EMPAT PIPER SELAMA TIGA MENIT BERIKUTNYA, KEHIDUPAN terasa luai biasa. Saking banyaknya yang terjadi berbarengan, hanya demigod penderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas yang bisa menangkap semuanya. Jason menimpa Raja Porphyrion dengan benturan yang begitu keras sampai-sampai sang raksasa jatuh berlutut disambar petir dan ditikam lehernya dengan gladius keemasan. Frank melepaskan hujan panah, menghalau raksasa-raksasa yang berposisi paling dekat dengan Percy. Argo Hmenjulang di atas reruntuhan dan semua pelontar misi serta katapel tempur menembak secara simultan. Leo pasti tela
h memprogram senjata-senjata itu dengan presisi nan saksama. Ap Yunani berkobar mengelilingi Parthenon. Api tidak menyentuh interiornya, tapi dalam sekejap, sebagian besar monster yang lebih kecil di sekelilingnya telah terbakar. Suara Leo menggelegar lewat pengeras suara: MENYERAHLAH! KAHAN SUDAH DIKEPUNG OLEH MESIN PERANG KEREff NAN MEMBARA!
Enceladus meraung murka. "Valdez!" PA KABAR, ENCHILADAS" Suara Leo balas meraung. BELATI DI DAHIMU BAGUS TUH. "BAH!" Sang raksasa mencabut Katoptris dari kepalanya. "Monster-monster: hancurkan kapal itu!" Bala tentara yang tersisa berusaha sebaik-baiknya. Sekawanan gryphon terbang untuk menyerang. Festus si kepala naga menyemburkan lidah api dan menggosongkan mereka hingga jatuh dari langit. Segelintir Anak Bumi melontarkan batu-batu, tapi dari sisi lambung kapal, menyebarlah selusin bola Archimedes, mengadang dan meledakkan batu-batu itu hingga menjadi debu. "PAKAI BAJUMU!" perintah Buford. Hazel memerintahkan Anion turun dari atap pilar-pilar dan melompatlah kuda itu ke medan pertempuran. Jarak setinggi dua belas meter niscaya akan mematahkan kaki kuda lain, tapi Anion menapak tanah sambil berlari. Hazel melesat dari raksasa ke raksasa, menyengat mereka dengan bilah spatha-nya. Memilih waktu yang keliru, Kekrops dan kaumnya, manusia ular, justru menceburkan diri dalam pertempuran tepat saat itu. Pada empat atau lima tempat di sepenjuru reruntuhan, tanah berubah menjadi lendir hijau dan gemini bersenjata pun meruyak ke permukaan, dipimpin oleh Kekrops sendiri. "Bunuh para demigod!" desisnya. "Bunuh penipu-penipu itu!" Sebelum kebanyakan pendekar Kekrops sempat mengikuti, Hazel mengacungkan bilah pedangnya ke terowongan terdekat. Tanah menggemuruh. Semua gelembung membran berlendir meletus, mengepulkan debu. Kekrops menoleh ke pasukannya, yang kini hanya tersisa enam orang. "MELATA KE BELAKANG!" perintahnya. Panah Frank menjatuhkan para manusia ular selagi mereka mencoba untuk mundur.
Periboia sang raksasa perempuan telah meleleh dengan laju mencengangkan. Dia hendak mencengkeram Annabeth, tapi meskipun kakinya terluka, Annabeth sanggup mempertahankan diri. Dia menikam sang raksasa dengan pisau berburunya sendiri dan memancing Periboia main kejar-kejaran maut di seputar singgasana. Percy sudah kembali berdiri, Riptide berada dalam genggam-annya sekali lagi. Dia masih tampak linglung. Hidungnya berdarah Tapi, dia tampaknya mampu menghalau Thoon, si Raksasa Tua yang entah bagaimana telah menyambungkan kembali tangannya dan menemukan pisau jagalnya. Piper berdiri berdempetan punggung dengan Jason, melawan tiap raksasa yang berani-berani mendekat. Selama sesaat, Piper merasa girang. Mereka sungguh-sungguh unggul! Tapi, elemen kejutan segera saja pupus. Para raksasa mengatasi kebingungan mereka. Frank kehabisan panah. Dia mewujud menjadi badak dan melompat ke tengah-tengah pertempuran, tapi begitu dia menjatuhkan para raksasa, mereka serta-merta bangkit lagi. Luka. luka mereka sepertinya sembuh lebih cepat. Jarak Annabeth dan Periboia semakin dekat. Hazel terpelanting dari pelananya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Jason mendatangkan petir lagi, tapi kali ini Porphyrion semata-mata menangkis dengan ujung tombaknya. Para raksasa lebih besar, lebih kuat, dan lebih banyak. Mereka tidak bisa dibunuh tanpa bantuan dewa-dewi. Selain itu, mereka tampaknya tidak bisa capek. Keenam demigod dipaksa membentuk lingkaran defensif. Batu-batu yang dilontarkan Anak Bumi menghantam Argo II. Kali ini Leo kurang cepat balas menembak. Deretan dayung patah. Kapal berguncang dan oleng di langit.
Kemudian Enceladus melemparkan tombak apinya. Tombak itu menusuk lambung kapal dan meledak di dalam, memuncratkan api lewat celah dayung. Asap hitam seram mengepul dari dek. Argo II mulai terperosok. "Leo!" teriak Jason. Porphyrion _tertawa. "Kalian demigod tidak belajar dari kesalahan. Tiada dewa yang dapat membantu kalian. Kami hanya membutuhkan satu hal lagi dari kalian untuk menyempurnakan kemenangan kami." Sang raja raksasa tersenyum penuh harap. Dia tampaknya sedang memandang Percy Jack
son. Piper melirik ke samping. Hidung Percy masih berdarah. Dia kelihatannya tidak mafhum bahwa tetesan darah di wajahnya telah mengucur ke ujung dagu. "Percy, awas ...." Piper hendak berkata, tapi sekali ini suaranya ridak mau keluar. Setetes darah jatuh dari dagu Percy. Darah itu mendarat di tanah di antara kedua kaki Percy dan mendesis seperti air di wajan. Darah Olympus mengairi bebatuan kuno. Akropolis mengerang dan bergejolak sementara Ibu Pertiwi terbangun.[]
BAB EMPAT PULUH LIMA NICO SEKITAR DELAPAN KILOMETER DI TIMUR perkemahan, sebuah SUV hitam terparkir di pantai. Mereka mengikat perahu ke dermaga pribadi. Nico membantu Dakota dan Leila menggotong Michael Kahale ke pesisir. Pemuda besar itu masih setengah sadar, menggumamkan sesuatu yang Nico asumsikan adalah kode-kode futbol: "Merah dua belas. Kanan tiga-satu. Maju." Kemudian dia terkekeh-kekeh tak terkendali. "Kita tinggalkan saja dia di sini," kata Leila. "Jangan ikat dia.
Cowok malang ...II "Mobil bagaimana"" tanya Dakota. "Kuncinya di laci mobil, tapi anu, bisakah kau menyetir"" Leila mengerutkan kening. "Kukira kau bisa menyetir. Bukankah umurmu sudah tujuh belas"" "Aku belum pernah belajar menyetir!" kata Dakota. "Aku sibuk." "Biar kubereskan," janji Nico. Mereka berdua memandanginya. "Kau baru empat belas, lan"!" ujar Leila.
Nico menikmati betapa orang-orang Romawi bersikap gugup di dekatnya, padahal mereka lebih tua dan lebih besar serta lebih berpengalaman sebagai petarung. "Aku tidak bilang akulah yang akan duduk di balik kemudi." Dia berlutut dan menempelkan tangan ke tanah. Dia merasai kuburan terdekat, tulang-tulang manusia terlupakan yang terkubur dan berserakan. Dia mencari semakin dalam, meluaskan perabaan indranya ke Dunia Bawah. "Jules-Albert. Ayo jalan." Tanah terbelah. Seorang zombie berpakaian khusus menyetir dari abad kesembilan belas mencakar-cakar ke permukaan. Leila melangkah mundur. Dakota menjerit seperti anak TK. "Apaan-apaan itu, Bung"" protes Dakota. "Ini sopirku," kata Nico. "Jules-Albert finis pertama dalam balapan mobil Paris-Rouen pada 1895, tapi dia tidak diberi hadiah karena mobil tenaga uapnya menggunakan batu bara." Leila menatap Nico sambil bengong. "Apa sih yang kau bicarakan"" "Jiwanya tidak tenang, selalu mencari-cari kesempatan untuk kembali menyetir," kata Nico. "Beberapa tahun terakhir ini, dia menjadi sopirku kapan pun aku membutuhkan." "Kau punya sopir zombie," kata Leila. "Biar aku duduk di samping sopir." Nico masuk ke sebelah kanan. Dengan enggan, kedua orang Romawi naik ke belakang. Satu keunggulan utama Jules-Albert: dia tidak pernah emosional. Dia bisa duduk di tengah kemacetan seharian tanpa kehilangan kesabaran. Dia kebal terhadap perasaan mudah marah di jalan raya. Dia bahkan bisa menyetir kendaraan langsung ke perkemahan centaurus liar dan melewati mereka tanpa merasa gugup. Nico tidak pernah melihat centaurus seperti itu. Mereka berpunggung cokelat muda keemasan, berlengan dan dada
berbulu yang penuh tato, dan memiliki tanduk mirip banteng yang mencuat di kening. Nico ragu mereka bisa berbaur dengan manusia semudah Chiron. Setidaknya dua ratus centaurus tersebut tengah berlatih tarung dengan gelisah, menggunakan pedang dan tombak, atau memanggang bangkai hewan di api terbuka (centaurus karnivora membayangkannya, Nico jadi bergidik). Perkemahan tersebut melintasi jalan perkebunan yang meliuk-liuk mengitari perimeter tenggara Perkemahan Blasteran. SUV berbelok-belok untuk melewati mereka, membunyikan klakson ketika perlu. Terkadang seekor centaurus melotot ke spion pengemudi, melihat si sopir zombie, dan mundur sambil terperanj at. "Demi pauldron Pluto," gumam Dakota. "Semakin banyak centaurus saja yang datang semalaman tadi." "Jangan tatap mata mereka," Leila mewanti-wanti. "Mereka menganggap itu sebagai sebentuk tantangan untuk mengajak mereka duel sampai mati." Nico menatap lurus sementara SUV melaju terus. Jantungnya berdegup kencang, tapi dia tidak takut. Dia marah. Octavian telah mengerahkan monster untuk mengepung Perkemahan Blasteran. Betul, perasaan Nico terhadap Perkemahan Blasteran mema
ng campur aduk. Dia merasa ditolak di sana, salah tempat, tidak diinginkan dan tidak dicintai tapi, sekarang ketika Perkemahan Blasteran berada di ambang kehancuran, Nico menyadari betapa berartinya tempat itu baginya. Inilah rumah terakhir tempat Nico dan Bianca tinggal bersama-sama satu-satunya tempat mereka merasa aman, kalaupun hanya sementara. Mereka mengitari belokan jalan dan Nico pun sontak mengepalkan tinju. Semakin banyak monster ... beratus-ratus. Manusia berkepala anjing meronda berkelompok, kapak tempur
mereka berkilau diterpa cahaya api unggun. Di belakang kawanan manusia anjing, berkeluyuranlah suku beranggotakan manusia berkepala dua yang mengenakan baju compang-camping dan selimut seperti gelandangan, bersenjatakan macam-macam senjata seperti katapel, pentungan, dan pipa logam. "Dasar Octavian bodoh," desis Nico. "Dia kira bisa mengontrol makhluk-makhluk ini"" "Yang bermunculan semakin banyak saja," kata Leila. "Tanpa sadar kami sudah lihatlah sendiri." Legiun tersebar di kaki Bukit Blasteran, kelima kohortnya tertata rapi, panji-panjinya cerah nan membanggakan. Elang-elang raksasa berputar di atas. Senjata pengepungan enam onager keemasan seukuran rumah dibariskan di belakang, membentuk setengah lingkaran renggang, tiga di kanan dan tiga di kiri. Tapi, sekalipun tampak mengesankan dan berdisiplin, Legiun XII kelihatan menyedihkan karena kalah jumlah, hanya sekelompok demigod gagah yang terisolasi di tengah-tengah lautan monster haus darah. Nico berharap kalau saja dia masih memiliki tongkat Diocletian, tapi dia ragu selegiun pendekar mayat hidup mampu menyulitkan pasukan ini. Bahkan Argo 2 juga takkan bisa berbuat banyak bilamana menghadapi kekuatan sebesar ini. "Aku harus melumpuhkan onager," kata Nico. "Kita tak punya banyak waktu." "Kau takkan bisa mendekati senjata-senjata itu," Leila memperingatkan. "Kalaupun kami bisa memengaruhi seluruh anggota Kohort IV dan V untuk mengikuti kita, kohort-kohort lain akan berusaha menghentikan kita. Selain itu, senjata pengepungan diawaki oleh para pengikut Octavian yang paling loyal." "Kita takkan bisa mendekat jika secara paksa," Nico sepakat. "Tapi, seorang diri, aku bisa melakukannya. Dakota, Leila
Jules-Albert akan menyopiri kalian ke bans pertahanan legiun. Keluarlah, berbicaralah pada pasukan kalian, yakinkan mereka agar mengikuti teladan kalian. Aku butuh pengalih perhatian." Dakota mengerutkan kening. "Baiklah, tapi aku tidak mau menyakiti rekan-rekanku sesama legiunari." "Tidak ada yang memintamu untuk itu," gertak Nico. "Tapi, kalau kita tidak menghentikan perang ini, seluruh legiun akan tersapu bersih. Kau bilang suku-suku monster gampang merasa terhina"" "Ya," kata Dakota. "Maksudku, misalnya begini, kalau kita berkomentar apa saja mengenai betapa baunya manusia berkepala dua itu dan ... oh." Dia menyeringai. "Kalau kita memicu perkelahian, secara tidak sengaja tentu saja ..." "Baiklah. Tolong, ya," kata Nico. Leila mengerutkan kening. "Tapi, bagaimana caramu " "Aku akan menggelapkan diri," ujar Nico. Dan meleburlah dia ke dalam bayang-bayang.
Nico kira dia sudah siap. Ternyata tidak. Bahkan sesudah tiga hari beristirahat dan dilumuri param cokelat benyek Pak Pelatih Hedge yang berdaya sembuh muj arab, Nico mulai mengabur begitu dia melompat ke dalam bayang-bayang. Tungkainya berubah menjadi uap. Hawa dingin menelusup ke dalam dadanya. Suara roh-roh berbisik ke telinganya: Tolong kami. Kenanglah kami. Bergabunglah dengan kami. Nico tidak menyadari betapa dia mengandalkan Reyna sebelum ini. Tanpa kekuatan gadis itu, Nico merasa selemah bayi kuda yang baru lahir, terhuyung-huyung, hampir jatuh seiring tiap langkah.
Tidak, katanya kepada diri sendiri. Aku Nico di Angelo, putra Hades. Aku yang mengendalikan bayang-bayang, bukan bayang-bayang yang mengendalikanku. Nico menyelinap kembali ke dunia fana di punggung Bukit Blasteran. Dia jatuh berlutut, memeluk pohon pinus Thalia untuk menopang diri. Bulu Domba Emas tak lagi berada di dahannya. Si naga penjaga sudah lenyap. Barangkali keduanya telah dipindahkan ke lokasi yang lebih aman seiring semakin d
ekatnya pertempuran. Nico tidak tahu pasti. Tapi, selagi menyaksikan pasukan Romawi yang tersebar di luar lembah, semangatnya merosot. Onager terdekat berjarak tidak sampai seratus meter di bawah, dikelilingi pant berpaku-paku dan dijaga selusin demigod. Mesin itu sudah siap menembak. Kantong proyektilnya memuat misil seukuran Honda Civic dan bebercak-bercak emas mengilap. Nico merinding. Dia baru saja menyadari apa rencana Octavian. Proyektil itu terbuat dari campuran bahan peledak dan emas Imperial. Emas Imperial berjumlah kecil sekalipun sangat mudah terbakar. Jika kepanasan atau berada di bawah tekanan terlalu besar, bahan tersebut akan meledak dengan dahsyat dan, tentu saja, emas Imperial bukan hanya fatal bagi monster, tapi juga demigod. Apabila tembakan onager tepat sasaran ke Perkemahan Blasteran, apa pun yang berada dalam area ledakan niscaya akan binasa menguap terkena panas, atau hancur lebur terkena mortir. Celakanya, bangsa Romawi mempunyai enam onager beserta persediaan amunisi yang mencukupi. "Jahat," kata Nico. "Ini jahat." Dia mencoba memutar otak. Fajar tengah menjelang. Dia mustahil melumpuhkan keenam senjata sebelum serangan dimulai, bahkan kalaupun dia kuat menempuh perjalanan bayangan berkali
kali untuk itu. Andai Nico bisa melakukan perjalanan bayangan sekali lagi saja, itu sudah suatu mukjizat. Dia melihat tenda komandan Romawi di kiri belakang legiun. Octavian barangkali berada di sana, menikmati sarapan pada jarak aman yang jauh dari pertempuran. Dia takkan memimpin pasukannya ke medan laga. Si berengsek itu tentu berniat menghancurkan perkemahan Yunani dari kejauhan, menunggu kebakaran padam, kemudian berderap masuk tanpa diadang. Tenggorokan Nico serasa tersumbat karena benci. Dia memusatkan konsentrasi ke tenda itu, membayangkan lompatan berikutnya. Jika dia bisa membunuh Octavian, tindakan itu mungkin dapat menyelesaikan masalah. Perintah untuk menyerang barangkali takkan diberikan. Nico hendak mencoba ketika sebuah suara di belakangnya berkata, "Nico"" Dia berputar, tangannya serta-merta menggenggam pedang, dan hampir memenggal Will Solace. "Turunkan!" desis Will. "Sedang apa kau di sini"" Nico terbengong-bengong. Will dan dua pekemah lain berjongkok di rerumputan, teropong terkalung ke leher dan belati tersandang di pinggang mereka. Mereka mengenakan celana jinn dan kaus hitam, wajah mereka dicoreng-moreng hitam seperti pasukan gerak cepat. `Aku"" Nico bertanya. "Kalian sedang apa" Cari mad"" Will merengut. "Enak saja. Kami sedang mengintai musuh. Kami mengambil tindakan jaga-jaga." "Kalian berpakaian serbahitam," komentar Nico, "padahal matahari sedang terbit. Kalian mengecat wajah, tapi tidak menutupi rambut pirang kalian. Mending kalian lambai-lambaikan bendera kuning saja sekalian."
Telinga Will memerah. "Lou Ellen membalutkan Kabut ke tubuh kami juga." "Hai." Gadis di sebelah Will menggoyang-goyangkan jemarinya. Dia kelihatan merona. "Kau Nico, ya" Aku banyak mendengar tentangmu. Ini Cecil dari Pondok Hermes." Nico berlutut di sebelah mereka. "Apa Pak Pelatih Hedge sampai di perkemahan"" Lou Ellen cekikikan gugup. "Sampai banget." Will menyikutnya. "Iya. Pak Hedge baik-baik saja. Dia datang tepat waktu untuk menyaksikan kelahiran bayinya." "Bayinya!" Nico menyeringai, alhasil menyebabkan otot-otot wajahnya nyeri. Dia tidak terbiasa membuat ekspresi seperti itu. "Mellie dan anak itu baik-baik saja"" "Baik. Satir laki-laki yang sangat imut." Will bergidik. "Tapi, aku yang membantu persalinan. Pernahkah kau membidani persalinan"" "Eh, belum pernah." "Aku harus menghirup udara segar. Itulah sebabnya aku mengajukan diri untuk misi ini. Demi dewa-dewi Olympus, tanganku masih gemetaran. Lihat." Will menggamit tangan Nico, alhasil membuat tulang belakangnya serasa dijalari listrik. Nico buru-buru menarik tangannya. "Apalah," katanya. "Kita tidak punya waktu untuk basa-basi. Bangsa Romawi akan menyerang saat fajar dan aku harus " "Kami tahu," kata Will. "Tapi, kalau kau berencana melakukan perjalanan bayangan ke dalam tenda komandan, lupakan." Nico memelototinya. "Maaf"" Dia menduga Will baka
l berjengit atau berpaling. Kebanyakan orang pasti bereaksi seperti itu. Tapi, mata biru Will tetap menatap Nico lekat-lekat penuh dengan tekad. Menyebalkan sekali. "Pak
Pelatih Hedge bercerita panjang-lebar tentang perjalanan bayangan yang kau lakukan. Kau tidak boleh mencobanya lagi." "Aku baru mencobanya lagi, Solace. Aku baik-baik saja." "Tidak, kau tidak baik-baik saja. Aku ini tabib. Aku bisa merasakan kegelapan di tanganmu begitu aku menyentuhnya. Kalaupun kau mampu masuk ke tenda itu, kondisimu takkan memungkinkan untuk bertarung. Tapi, kau tidak mampu. Kalau kau melompat ke dalam bayang-bayang sekali lagi, kau tidak akan kembali. Kau tidak boleh mengarungi bayangan. Perintah dokter." "Perkemahan hendak dihancurkan " "Dan kita pasti bisa menghentikan bangsa Romawi," kata Will. "Tapi, kita mesti mencegah mereka dengan cara kami. Lou Ellen akan mengontrol Kabut. Lalu kita menyelinap ke perkemahan mereka, merusak onager-onager itu sebisa kita. Tapi, perjalanan bayangan tidak boleh." "Tapi " "Tidak boleh." Kepala Lou Ellen dan Cecil menoleh kanan-kiri seperti sedang menonton pertandingan tenis seru. Nico mendesah jengkel. Dia benci bekerja sama dengan orang lain. Mereka selalu membatasi lingkup geraknya, membuatnya tidak nyaman. Sedangkan Will Solace ... Nico mengoreksi kesannya akan putra Apollo ini. Selama ini Nico mengira bahwa Will adalah orang yang santai dan mudah bergaul. Ternyata dia bisa juga keras kepala dan mengesalkan. Nico menatap Perkemahan Blasteran di bawah sana, tempat bangsa Yunani tengah bersiap-siap bertempur. Di belakang pasukan dan pelontar misil, danau kano berkilau merah muda diterpa cahaya fajar. Nico teringat kali pertama kedatangannya di Perkemahan Blasteran, menumpang mobil matahari Apollo yang telah diubah menjadi bus sekolah nan menyala-nyala.
Nico teringat akan Apollo, yang tersenyum, berkulit kecokelatan, berkacamata hitam, dan berpenampilan keren. Thalia sempat berkata, Dia benar-benar hot. Dia `kan Dewa Matahari, Percy menimpali. Bukan itu maksudku. Kenapa Nico malah memikirkan itu sekarang" Kenangan yang muncul sembarangan itu membuat Nico jengkel dan resah. Dia tiba di Perkemahan Blasteran berkat Apollo. Sekarang, pada hari yang mungkin merupakan hari terakhirnya di perkemahan, dia tercantol bersama putra Apollo. "Terserah," kata Nico. "Tapi, kita harus bergegas. Dan kalian harus mengikuti tuntunanku." "Baiklah," ujar Will. "Aral jangan minta aku membidani kelahiran bayi satir lagi. Kalau begitu, kita pasti bisa akur."[]
BAB EMPAT PULUH ENAM NICO MEREKA BERHASIL MENCAPAI ONAGER PERTAMA tepat saat huru-hara merebak di legiun. Di ujung jauh barisan, pekikan berkumandang dari Kohort V. Para legiunari berhamburan dan menjatuhkan pilum mereka. Selusin centaurus menyeruduk pasukan, berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan pentungan, diikuti oleh sekawanan manusia berkepala dua yang memukul-mukulkan tutup tong sampah. 'Ada apa di sana"" tanya Lou Ellen. "Itu pengalih perhatian yang kukirimkan," kata Nico. "Ayo." Seluruh penjaga telah berkumpul di sebelah kanan onager, mencoba melihat apa yang sedang terjadi di antara barisan legiunari, alhasil memberi Nico dan rekan-rekannya kesempatan untuk melesat lewat kiri dengan mulus. Mereka melintas beberapa kaki saja dari orang Romawi terdekat, tapi si legiunari tidak menyadari kehadiran mereka. Sihir Kabut Lou Ellen tampaknya ampuh. Mereka melompati parit berpaku-paku dan mencapai mesin tempur.
. "Aku membawa api Yunani," Cecil berbisik. "Jangan," kata Nico. "Kalau kita membuat kerusakan yang terlalu kentara, kita takkan bisa mencapai onager-onager lain tepat waktu. Bisakah kau mengalibrasi ulang bidikan senjata ini misalnya ke jalur tembakan onager lain"" Cecil menyeringai. "Oh, aku suka cara berpikirmu. Mereka mengutusku karena aku jago mengacau." Dia pun bekerja, sedangkan Nico dan yang lain berjaga. Sementara itu, Kohort V sedang berkelahi dengan manusia berkepala dua. Kohort IV bergerak untuk membantu. Tiga kohort lain mempertahankan posisi mereka, tapi para perwira kesusahan menjaga ketertiban anak buah masing-masing. "Beres," Cecil mengu
mumkan. "Ayo bergerak." Mereka berjingkat-jingkat menyeberangi sisi bukit, menuju onager berikutnya. Kali ini Kabut tidak seampuh tadi. Salah satu penjaga onager berteriak, "Hei!" "Aku saja." Will sontak berlari cepat yang barangkali adalah sebentuk pengalih perhatian paling bodoh dalam bayangan Nico dan enam penjaga pun melesat mengejarnya. Orang-orang Romawi yang lain maju mendekati Nico, tapi Lou Ellen muncul dari tengah Kabut dan berteriak, "Hei, tangkap!" Dia melemparkan bola putih seukuran apel. Si orang Romawi di tengah menangkapnya secara refleks. Timbullah ledakan serbuk berdiameter enam puluh meter. Ketika serbuk sudah mendarat, keenam orang Romawi telah mewujud sebagai anak babi merah muda yang menguik. "Kerja bagus," kata Nico. Lou Ellen merona. "Itu satu-satunya bola babi yang kupunya. Jadi, jangan minta tambah." "Eh, anu" Cecil menunjuk "coba tolong Will."
. Dalam balutan baju tempur berat sekalipun, orang-orang Romawi sudah hampir menyusul Solace. Nico mengumpat dan lari mengejar mereka. Nico tidak ingin membunuh demigod lain jika tidak terpaksa. Untungnya, dia tidak perlu membunuh. Dia menyandung orang Romawi yang paling belakang dan yang lain pun membalikkan badan. Nico melompat ke tengah-tengah kerumunan itu, menendang selangkangan, menghajar wajah mereka dengan permukaan bilah pedangnya, menggetok helm mereka dengan gagang pedangnya. Dalam waktu sepuluh detik, semua orang Romawi tergolek di tanah dalam keadaan linglung dan mengerang-erang. Will meninju bahu Nico. "Makasih atas bantuanmu. Enam sekaligus tidak payah-payah amat." "Tidak payah-payah amat"" Nico memelototinya. "Kali lain akan kubiarkan mereka melindasmu, Solace." "Ah, mereka takkan bisa menangkapku." Cecil melambai kepada mereka dari onager, mengisyaratkan bahwa tugasnya sudah beres. Mereka semua lantas bergerak ke mesin pengepungan ketiga. Di jajaran legiunari, keadaan masih kacau balau, tapi para perwira pelan-pelan kembali meraih kendali. Kohort V dan IV berkonsolidasi, sedangkan Kohort II dan III berperan sebagai pasukan anti-huru-hara, menggiring para centaurus dan cynocephalus serta manusia berkepala dua ke kamp masing-masing. Kohort I berdiri paling dekat dengan onager agak terlampau dekat menurut Nico tapi mereka sepertinya memusatkan seluruh perhatian pada beberapa perwira yang mondar-mandir di depan mereka sambil meneriakkan perintah. Nico berharap mereka bisa mengendap-endap ke dekat mesin pengepungan ketiga. Jika bisa membelokkan arah bidikan satu lagi
. mesin pengepungan, mereka mungkin punya kesempatan untuk menghalau serangan ke Perkemahan Blasteran. Sayangnya, para penjaga melihat mereka dari jarak dua puluh meter kurang. Salah seorang berteriak, "Di sana!" Lou Ellen menyumpah. "Mereka sekarang bakal mengantisipasi serangan. Kabut tidak mempan terhadap musuh yang awas. Haruskah kita lari"" "Jangan," kata Nico. "Mari kita beri mereka kejutan yang sudah mereka antisipasi." Dia merentangkan tangan. Di depan orang-orang Romawi, tanah pun merekah. Lima kerangka mencakar-cakar ke permukaan bumi. Cecil dan Lou Ellen menerjang untuk membantu. Nico mencoba mengikuti, tapi dia pasti sudah tersungkur jika Will tidak menangkapnya. "Dasar bodoh." Will merangkul Nico. "Sudah kubilang jangan gunakan sihir Dunia Bawah lagi." "Aku baik-baik saja." "Tutup mulut. Kau tidak baik-baik saja." Dari sakunya, Will mengeluarkan sebungkus permen karet. Nico ingin menarik diri. Dia benci disentuh. Tapi, Will jauh lebih kuat daripada kelihatannya. Nico mendapati dirinya bersandar pada Will, mengandalkan sokongan pemuda itu. "Ambil kata Will. "Kauingin aku mengunyah permen karet"" "Ada khasiat obatnya. Seharusnya bisa menjagamu tetap hidup dan waspada selama beberapa jam lagi." Nico menjejalkan permen karet ke mulutnya. "Rasanya seperti ter dan tanah." "Berhentilah mengeluh." "Hei." Cecil terpincang-pincang mendekati mereka, seperti orang salah urat. "Kahan melewatkan perkelahian tuh."
. Lou Ellen mengikuti sambil menyeringai. Di belakang mereka, semua penjaga Romawi terbelit jalinan ganjil tambang dan tulang. "Makasih atas tulang-tulang itu," kata
Lou Ellen. "Trik hebat." "Yang tidak akan dia lakukan lagi," ujar Will. Nico menyadari dia masih bersandar pada Will. Nico men-dorong Will ke belakang dan berdiri dengan tumpuan kakinya sendiri. "Akan kulakukan yang perlu kulakukan." Will memutar-mutar bola mata. "Ya sudah, Bocah Maut. Kalau kau ingin menewaskan diri sendiri " "Jangan panggil aku Bocah Maut!" Lou Ellen berdeham. "Anu, Teman-teman " "JATUH KAN SENJATA KALIAN!" Nico menoleh. Pertarungan di onager ketiga ternyata tidak terlewatkan begitu saja. Seluruh anggota Kohort I mendekati mereka, tombak ditodongkan, tameng-tameng dirapatkan satu sama lain. Di depan mereka berderaplah Octavian, berjubah ungu di atas baju tempurnya, perhiasan emas Imperial berkilauan di leher serta lengannya, dan mahkota daun dafnah di kepalanya seakan-akan dia sudah memenangi pertempuran. Di sebelahnya berdirilah pembawa panji-panji legiun, Jacob, yang memegangi elang emas, dan enam cynocephalus besar yang memamerkan taring-taring tajam, pedang mereka berpendar merah. "Wah," geram Octavian, "juru sabotase Graecus." Dia menoleh kepada para pendekar berkepala anjing. "Cabik-cabik mereka."[]
BAB EMPAT PULUH TUJUH NICO NICO TIDAK YAKIN MESTI MENENDANG diri sendiri atau Will Solace. Jika perhatiannya tidak teralihkan gara-gara adu mulut dengan putra Apollo, Nico takkan pernah mengizinkan musuh beranjak sedemikian dekat. Sementara para manusia berkepala dua menyerbu ke depan, Nico mengangkat pedangnya. Dia ragu dirinya memiliki kekuatan untuk menang, tapi sebelum dia sempat menyerang mereka, Will bersiul nyaring seperti memanggil taksi. Keenam manusia anjing menjatuhkan senjata, menutupi telinga, dan jatuh kesakitan. "Bung." Cecil membuka mulut untuk memulihkan tekanan telinganya. "Apa-apaan itu" Kali lain beri peringatan dulu dong." "Dampaknya bagi anjing malah lebih parah." Will mengangkat bahu. "Salah satu dari beberapa bakat musikku. Aku bisa mengeluarkan siulan ultrasonik memekakkan."
Nico tidak protes. Dia berjalan ke antara para manusia anjing yang tergeletak, menusuk mereka dengan pedang. Terbuyarkanlah mereka ke dalam bayang-bayang. Octavian dan orang-orang Romawi lain sepertinya terlalu terperanjat sehingga tidak bereaksi. "Pengawal pengawal eliteku!" Octavian menoleh ke sana-ke mari untuk mencari simpati. "Apa kalian lihat apa yang mereka lakukan pada pengawal eliteku"" "Anjing terkadang perlu ditidurkan selamanya." Nico melangkah maju. "Sama sepertimu." Selama satu saat nan indah, seluruh anggota Kohort I ragu-ragu. Kemudian mereka tersadar dan menodongkan pilum. "Kahan akan dihabisi!" pekik Octavian. "Dasar Graecus, mengendap-endap, menyabotase senjata kami, menyerang tentara kami " "Maksudmu senjata yang hendak kau tembakkan kepada kami"" tanya Cecil. "Dan, tentara yang hendak membumihanguskan perkemahan kami"" imbuh Lou Ellen. "Tipikal orang Yunani!" teriak Octavian. "Coba-coba memelintir kenyataan! Asal tahu saja ya, tipu daya kalian takkan berhasil!" Dia menunjuk para legiunari terdekat. "Kau, kau, dan kau. Periksa semua onager. Pastikan semuanya bisa beroperasi. Aku ingin semua onager menembak secara serempak sesegera mungkin. Sana!" Keempat orang Romawi itu pun berlari. Nico berusaha menjaga ekspresinya agar tetap netral. Tolong jangan periksa lintasan tembaknya, dia berpikir. Dia harap Cecil sudah bekerja dengan baik. Merusak senjata besar lumayan gampang. Tapi, merusaknya dengan amat subtil sehingga tiada yang menyadari bahwa senjata tersebut rusak hingga
sudah terlambat, itu lain perkara. Tapi, andai ada yang memiliki keterampilan itu, orangnya pasti anak Hermes, Dewa Tipu Daya. Octavian berderap menghampiri Nico. Setidak-tidaknya, sang augur patut dipuji karena tidak tampak takut, walaupun dia hanya bersenjatakan belati. Dia berhenti dekat sekali sehingga Nico bisa melihat pembuluh darah di mata pucatnya yang berkaca-kaca. Wajah Octavian tirus. Rambutnya sewarna spageti kematangan. Nico tahu Octavian bukan demigod, melainkan peranakan keturunan Apollo bergenerasi-generasi silam. Kini, mau tak mau Nico berpikir betapa Octavian menyerupai Will Solace versi encer dan
tidak sehat mirip foto yang sudah kebanyakan dikopi. Apa pun yang menjadikan anak Apollo istimewa, Octavian tidak memilikinya. "Katakan padaku, Putra Pluto," desis sang Augur, "kenapa kau menolong bangsa Yunani" Apa yang pernah mereka lakukan untukmu"" Nico gatal ingin menikam dada Octavian. Dia sudah memimpikan itu sejak Bryce Lawrence menyerang mereka di Carolina Selatan. Tapi, kini ketika mereka berhadapan, Nico bimbang. Dia tidak ragu dirinya sanggup membunuh Octavian sebelum Kohort I ikut campur. Nico juga tidak peduli sekalipun dia mati gara-gara tindakan itu. Demi melihat Octavian mati, Nico rela mati juga. Pertukaran itu sepertinya sebanding. Namun, sesudah kejadian yang menimpa Bryce, membayangkan hendak membunuh demigod lain dengan darah dingin Octavian sekalipun Nico merasa tidak enak hati. Perbuatan itu tidak benar. Lagi pula, rasanya tidak pantas memvonis Cecil, Lou Ellen, dan Will untuk mati bersamanya. Perbuatan itu tidak benar" Bagian lain dari Nico membatin, Sejak kapan aku mengkhawatirkan mana yang benar, mana yang salah"
"Aku menolong orang-orang Yunani dan Romawi," kata Nico. Octavian tertawa. "Jangan coba-coba mengelabuiku. Apa yang sudah mereka tawarkan kepadamu posisi di perkemahan mereka" Bangsa Yunani takkan menghormati kesepakatan yang mereka buat." "Aku tidak menginginkan posisi di perkemahan mereka," geram Nico. "Ataupun di perkemahan kalian. Ketika perang ini usai, aku akan meninggalkan kedua perkemahan untuk selamanya." Will Solace mengeluarkan suara seperti baru dipukul. "Kenapa kau hendak berbuat begitu"" Nico merengut. "Bukan urusanmu, tapi aku tidak cocok di mana-mana. Itu sudah jelas. Tiada yang menginginkanku. Aku akan " "Oh, sudahlah." Will terdengar marah, tak biasa-biasanya. "Tak ada yang mengusirmu dari Perkemahan Blasteran. Kau punya teman atau setidaknya, orang-orang yang ingin menjadi temanmu. Kaulah yang mengusir mereka. Kalau kau bisa keluar dari kemurungan sekali raja " "Cukup!" bentak Octavian. "Di Angelo, aku bisa mengungguli tawaran apa pun yang sanggup diberikan oleh bangsa Yunani. Sedari dulu aku berpikir kau pasti bisa menjadi sekutu kuat. Aku melihat kekejaman dalam dirimu dan aku menghargainya. Aku bisa menjamin tempat untukmu di Roma Baru. Yang harus kaulakukan semata-mata adalah menepi dan membiarkan bangsa Romawi menang. Dewa Apollo telah menunjukiku masa depan " "Tidak!" Will Solace mendorong Nico ke samping dan bertatapan dengan Octavian. "Aku putra Apollo, dasar pecundang kurang darah. Ayahku sudah beberapa lama tidak menunjukkan masa depan kepada siapa pun, soalnya kekuatan ramalan sedang tidak bekerja. Tapi ini " Dia melambai ke arah legiun, pasukan
monster yang tersebar di sisi bukit. "Bukan ini yang Apollo inginkan!" Octavian mencemooh. "Kau bohong. Sang dewa mem-beritahuku secara pribadi bahwa aku akan dikenang sebagai penyelamat Roma. Aku akan memimpin legiun untuk meraih kemenangan dan aku akan mengawalinya dengan " Nico merasakan bunyi itu sebelum dia mendengarnya duk-duk-duk yang merambati bumi, seperti gigi roda jembatan tarik mahabesar. Semua onager menembak berbarengan dan meluncurlah enam komet keemasan ke angkasa. "Dengan menghancurkan bangsa Yunani!" pekik Octavian girang. "Hari-hari Perkemahan Blasteran sudah usai!"
* * * Tak tebersit di benak Nico, apa yang lebih indah ketimbang proyektil yang lintasannya meleset. Setidaknya, hari ini tak tebersit apa-apa. Dari tiga mesin yang disabotase, misil menikung menuju jalur tembakan ketiga onager yang lain. Bola-bola api tidak bertubrukan langsung. Tidak perlu. Begitu misil mencapai jarak cukup dekat satu sama lain, keenam hulu ledak itu terdetonasi di tengah udara, memuntahkan kubah emas dan api yang mengisap oksigen dari langit. Hawa panas menyengat wajah Nico. Rumput mendesis. Puncak pepohonan mengepul. Tapi ketika kembang api itu padam, tidak tampak kerusakan serius. Octavian bereaksi paling dulu. Dia menjejak-jejakkan kaki dan berteriak, "TIDAK! TIDAK, TIDAK! ISI ULANG!" Tak satu pun anggota Kohort I bergerak. Nico mendengar jejak sepatu bot di kanannya. Kohort V berderap dengan kecepatan dua
kali lipat yang biasa, dipimpin oleh Dakota.
Di lereng bukit, para legiunari lainnya tengah berusaha membentuk barisan, tapi Kohort II, III, dan IV kini dikepung oleh lautan monster sekutu yang naik darah. Pasukan auxilia kelihatannya tidak senang dengan ledakan di atas. Tak diragukan lagi, mereka sudah menanti-nanti terbakarnya Perkemahan Blasteran supaya bisa menyantap demigod hangus untuk sarapan. "Octavian!" Dakota berseru. "Kami mendapat perintah baru." Mata kiri Octavian berkedut hebat sampai-sampai kesannya bakal meledak. "Perintah" Dari siapa" Bukan dari aku!" "Dari Reyna," kata Dakota keras-keras agar semua anggota Kohort I dapat mendengar. "Dia memerintahkan kami untuk mundur." "Reyna"" Octavian tertawa, walaupun sepertinya tiada yang paham lucunya di sebelah mana. "Maksud kalian si buronan yang mestinya kau tangkap! Mantan praetor yang berkonspirasi untuk mengkhianati kaumnya bersama Graecus ini"" Dia menyodokkan jari ke dada Nico. "Kahan menuruti perintah Reyna"" Kohort V membentuk formasi di belakang centurion mereka, menghadapi rekan-rekan mereka dari Kohort I dengan ekspresi tidak nyaman. Dakota bersedekap dengan teguh. "Reyna tetap menjabat sebagai praetor sampai pemungutan suara di Senat menyatakan
Dewi Penyebar Maut V I 1 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Senopati Pamungkas I 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama