Ceritasilat Novel Online

Jodoh Tak Mungkin 2

Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown Bagian 2


dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Danang menganggukkan kepalanya, ia memeluk tubuh uminya "Aku mencintainya, Mi." ucap Danang berkata jujur memberitahu pada uminya kalau kini rasa cinta telah tumbuh di hatinya untuk Citra, rasa cinta yang dulu ia ragukan kehadirannya. Namun sekarang ia yakin kalau ia benar-benar mencintai Citra, rasa takut
menyelimuti dirinya saat kata berakhir di ucapkan oleh Citra, kata berakhir yang memiliki arti kalau Citra berkeinginan untuk berpisah darinya.
Umi Danang membalas pelukkan putra bungsunya, pancaran kebahagiaan terpancar dari wajahnya yang tak muda lagi, "Jangan katakan kata itu pada umi, katakanlah
kata itu pada istrimu," ucap uminya, kini mata Umi Danang tertuju pada Citra yang berdiri tidak jauh dari jangkauan matanya, "Dia yang akan menjadi teman
hidupmu, dia yang akan menjadi tempatmu membagi suka dan dukamu, dan dia pula yang akan menjadi ibu bagi keturunanmu, jadi memang sudah sewajarnya kalau
kau mencintainya, pertahankanlah dia karena insyaallah dialah yang terbaik untukmu."
"Terimakasih, Mi."
Kini gantian Citra yang mencium tangan umi Danang, "Maaf yah Mi, Citra dan Mas Danang tidak jadi menginap."
"Iya, tidak apa-apa sayang," dengan penuh kasih sayang umi Danang membelai pucuk kepala Citra yang kini tertutup khimar berwarna peach, "maafkan ketidak
pekaan anak umi yah."
Citra mengerutkan keningnya bingung, Bagaimana mungkin ibu mertuanya mengetahui kalau Danang tidak peka akan perasaan yang kini ia rasakan"
"Sesekali memang harus diberi pelajaran biar dia bisa peka akan perasaan yang dirasakan istrinya. Tapi umi mohon jangan sampai semuanya berakhir, hanya
kaulah yang umi harapkan dapat menjadi teman hidup Danang, teman perjalanan Danang untuk menggapai ridho-Nya."
Citra menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan tangisan yang hendak pecah.
"Ayo kita pulang," Danang merangkul bahu Citra, dengan lembut tangannya membelai pucuk kepala Citra.
Perjalanan dari rumah uminya ke rumahnya yang biasanya terasa singkat kini terasa begitu lama. Berulang kali Danang melirik kearah Citra yang kini sedang
menundukkan kepalanya, bibirnya merapalkan surah Ar Rahman, surah yang Danang tahu kini menjadi surah favorite Citra karena surah itulah surah terpanjang
yang mampu Citra hafal, dan tentunya Citra dapat menghafalnya atas bantuan dirinya.
Meski Citra membaca surah Ar Rahman dengan sangat pelan tapi Danang masih mampu mendengarnya dengan baik, perlahan suara Citra terdengar bergetar, Danang
kira Citra akan menghentikan bacaannya namun ternyata Citra masih melanjutkan bacaannya. Tangis Citra benar-benar pecah saat ia sudah mengakhiri bacaannya.
Danang menepikan mobilnya, ia langsung membawa tubuh Citra kedalam pelukkannya. Sebenarnya apa yang terjadi pada Citra"
?"" Danang dan Citra kini sudah duduk di atas sajadah, mereka baru saja melaksanakan shalat magrib berjamaah, khusus malam ini Danang meninggalkan shalat berjamaahnya
di masjid. Ia harus segera menyelesaikan masalahnya yang kini terjadi.
Citra mencium punggung tangan Danang saat Danang telah selesai membaca doa. Citra sudah hendak beranjak dari duduknya untuk mengambil Al Quran yang ia
letakkan di rak buku samping lemari bajunya, namun ia mengurungkan niatnya saat Danang meraih tangannya.
"Duduklah." Citra menurut, ia duduk tepat di depan Danang, kini mereka duduk saling berhadapan.
"Aku mohon maafkan aku, katakan aku apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku," Danang membawa tangan Citra kedalam genggamannya.
Citra hanya diam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.
"Aku mohon katakanlah, apa yang telah menyakiti hatimu hingga membuat kamu ingin mengakhiri semuanya" Bila kamu memilih untuk diam semuanya benar-benar
akan hancur tanpa kamu mau memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki semuanya."
Bukannya jawaban yang Danang terima Citra malah menangis. Danang menghembuskan nafas jengah. Citra terus saja menangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Aku mohon berhentilah menangis! Tangismu tidak akan dapat membantuku untuk mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi?" Danang tahu apa yang kini ia lakukan
bukanlah sesuatu yang benar, bukan saatnya ia membentak Citra tapi sungguh rasa muak sudah tidak dapat Danang tahan lagi, Danang muak melihat Citra yang
terus saja menangis. Citra bukan anak umur empat tahun yang hanya mampu menangis saat diajukan pertanyaan yang tidak di senanginya.
Citra membekap mulutnya berusaha untuk menghentikan tangisnya, namun yang terjadi tangisnya malah semakin kencang.
Tahukah kalian, di saat seseorang menangis dan kau menyuruhnya berhenti menangis yang terjadi adalah sebaliknya, bukannya berhenti menangis orang itu
akan semakin menangis. Danang beristigfar, berusaha untuk mengontrol emosinya. Ia mengingat hadis yang menyatakan haram bagi seorang suami membuat istrinya menangis.
"Barangsiapa menggembirakan hati istrinya, maka seakan-akan ia menangis takut kepada Allah. Barangsiapa menangis takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan
tubuhnya masuk neraka. Sesungguhnya ketika suami istri saling memperhatikan, maka Allah akan memperhatikan mereka berdua dengan penuh rahmat. Saat suami
memegang telapak tangan istri, maka bergugurlah dosa-dosa suami istri itu lewat sela-sela jari mereka." (HR. Maisarah bin Ali, dari Ar Rafi', dari Abu
Sa'id Al Khudzri). Dengan lembut Danang memegang telapak tangan Citra, berulang kali mengatakan permintaan maaf.
Yang kini Danang lakukan adalah diam menunggu sampai tangis Citra reda, Danang pun kini tidak mengucapkan satu patah katapun yang ia lakukan hanyalah menggenggam
tangan Citra, perlahan ia mulai menarik tubuh Citra hingga kini tubuh Citra berada dalam dekapannya. Tangisan Citra sudah mulai reda, Danang tidak langsung
memberondong Citra dengan segala pertanyaan yang memenuhi kepalanya, ia membacakan istigfar tepat di samping telinga Citra. Zikir istigfar yang berhasil
menenangkan hatinya dan Danangpun berharap zikir itu dapat menenangkan hati Citra.
"Kamu menghianati hubungan kita mas, kamu tidak berkata jujur padaku, kamu menyembunyikan sesuatu yang harusnya aku ketahui," Citra berucap begitu lirih.
Danang mengerutkan keningnya bingung, ia melepaskan pelukkannya di tubuh Citra, "Kebohongan apa yang telah aku lakukan padamu?"
"Alasan mas tidak menjemputku di rumah Zahra bukan semata-mata karena sebuah kecelakaankan?"
"Kenapa kamu berkesimpulan seperti itu?"
"Karena aku mendengar apa yang telah mas ucapkan di malam itu."
Tubuh Danang membeku. Jangan bilang kalau Citra mendengar semuanya" Malam itu ia akui hatinya sedikit merasa goyah saat melihat sosok wanita yang dulu
selalu ia sebutkan namanya dalam doanya. Namun ia sadar kalau perasaan yang menyelusup di hatinya saat itu adalah perasaan yang salah sebuah perasaan yang
akan membawanya pada kemungkaran, wanita itu adalah masa lalunya, lagi pula ia dan wanita itu sudah memiliki kehidupan masing-masing. Sore itu Danang dan
wanita itu hanya saling memberi salam tidak lebih. Dan alasan Danang tidak berkata jujur tentang pertemuan tidak sengajanya dengan wanita yang datang dari
masa lalunya pada Citra karena ia takut kalau apa yang akan dia katakan akan menyakiti hati Citra. Bukannya berbohong demi melindungi hati istri dari rasa
sakit itu di perbolehkan" Niat Danang berbohong pada Citra bukan untuk menyembunyikan hal yang negatif, ketidak jujurannya semata-mata hanya untuk melindungi
hati Citra dari rasa sakit, ia tidak menyangka kalau ketidak jujurannya malah yang membuat Citra merasakan sakit hati.
"Apa yang kamu tangkap dari ucapan mas malam itu?"
"Mas menghianatiku," suara Citra terdengar dingin.
"Mas tidak mungkin menghianatimu, dek."
"Apa jaminannya kalau mas tidak akan menghianatiku?"
"Mas tidak bisa memberimu jaminan apa-apa, tapi ketahuilah Allah yang akan menjadi saksi kalau mas tidak akan pernah menghianatimu dan menyakiti hatimu
karena kamulah yang akan menjadi teman hidup mas hingga Allah mengirimkan malaikat maut kepada mas, memutuskan segala ikatan mas dengan apa yang ada di
dunia ini," ucap Danang sungguh-sungguh.
"Benarkah?" tanya Citra tidak percaya.
"Iya sayang." pipi Citra bersemu merah mendengar Danang memanggilnya sayang. Rasa marah yang beberapa hari ini memenuhi hatinya kini telah menguap tak
berbekas, "Laa uriedu syaian minad dunnya, fa anaa asyuru annanie akhotztu nashibie minanl farahi hiena uhibbuki,"* lanjut Danang seraya mengecup singkat
bibir Citra. Citra mengerjapkan matanya berulang kali, kecupan yang di berikan Danang membuatnya mati kutu. Meskipun singkat namun kecupan itu sangat berkesan bagi
Citra. "Yang tadi mas katakan apa artinya?" tanya Citra saat ia sudah sadar dari pengaruh kecupan singkat yang Danang daratkan di bibirnya.
"Kamu tidak tahu apa artinya?" tanya Danang tidak percaya, bukannya kata-kata yang barusan ia katakan cukup terkenal karena memang kata-kata itu Danang
kutip langsung dari mbah google.
Dengan polos Citra menggelengkan kepalanya.
Dengan gemas Danang menekan hidung Citra, "Cari sendiri di google apa artinya."
Citra mengerucutkan bibirnya, "Kuota internetku sudah habis, mas."
"Yasudah nanti kamu cari artinya kalau kamu sudah punya kuota internet."
"Ih, kelamaan mas," Citra merengek manja dan sungguh demi apapun itu membuat Danang gemes, tanpa mempedulikan rengekkan Citra Danang kembali mendaratkan
bibirnya di atas permukaan bibir Citra, kali ini bukan hanya sekedar kecupan.
"Aku tidak mau sesuatu dari dunia ini, karena aku sudah merasa mengambil semua jatah kebahagiaanku saat aku mencintaimu," ucap Danang tepat di hadapan
wajah Citra saking sempitnya jarak yang tercipta antara wajah Citra dan Danang, Citra dapat merasakan hembusan nafas Danang saat mengucapkan kalimat indah
tersebut, kalimat yang mampu membuat hati Citra berbunga-bunga.
?"" Seorang laki-laki selalu mengidam-idamkan seorang wanita yang sempurna dan wanita pun begitu selalu mengidam-idamkan laki-laki yang sempurna. Padahal mereka
tidak paham bahwa Allah menciptakan mereka untuk saling melengkapi satu sama lain.
Jodoh Tidak Mungkin Tertukar karena Allah tidak mungkin keliru dalam menentukan jodoh untuk hambanya.
Sebelas : Kata Maaf Untuk Papa
Sore itu Citra baru selesai belajar kelompok di rumah temannya, ia mengerucutkan bibirnya saat hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat.
Kenapa harus turun hujan"
Di saat ia bawa payung hujan malah tidak turun dan sekarang di saat ia tidak bawa payung hujan malah turun dengan sangat lebat"
Namun gerutuannya tak berlangsung lama saat ia mengingat kata-kata papanya.
"Citra benci hujan.... karena hujan nggak berhenti-berhenti kita jadi nggak jadi ke rumah nenek karena jalannya banjir, hujan jahat yah, pa?" tanya dulu
saat ia belum mengerti betapa pentingnya air hujan.
Saat itu dengan lembut papanya membawa tubuh mungil Citra ke atas pangkuannya, dengan penuh kasih sayang ia menciumi pucuk kepala Citra, "Jangan membenci
hujan sayang karena hujan adalah rezeki yang Allah turunkan kalau kamu benci hujan berarti secara tidak langsung kamu membenci kebaikkan Allah... saat
hujan berdoalah karena Allah akan mengabulkan doa hambanya saat hujan turun."
Citra mencari tempat berteduh, seraya memeluk ranselnya, berusaha melindungi apa yang ada di dalam ranselnya. Di tengah derasnya air hujan yang membasahi
tanah-tanah yang kering Citra memanjatkan doa.
"Ya Allah sembuhkanlah sakit Raka," doanya saat ia mengingat adik kecilnya yang sekarang sedang sakit di rumah, "Ya Allah semoga mama selalu di beri kesehatan..."
ia terus memanjatkan doa, "Ya Allah semoga papa cepat pulang, Citra Mama dan Raka rindu papa," doa terakhirnya sebelum ia memasuki sebuah mini market yang
bisa ia jadikan tempat berteduh dari air hujan.
Citra dapat menghembuskan nafas lega saat ia sudah terlindung dari air hujan. Ia merogoh kantong celananya untuk melihat tinggal berapa lagi uang yang
ia miliki, ia ingin membeli minum.
Di saat ia sedang fokus menghitung sisa uang yang ia miliki ada seorang anak kecil yang menabraknya, hal itu membuat uang recehan yang ia punya berjatuhan
ke atas lantai. Sungguh itu sangat memalukkan.
Walaupun malu Citra tetap memunguti uang itu.
"Mama bilang apa, jangan lari-lari, Rio. Lihat! Kamu jadi nabrak kakaknyakan," omelan itu keluar dari bibir si ibu, "Maaf yah, dek."
Citra hanya mengangguk maklum, "iya tidak apa-apa tante, lagi pula tadi si adeknya tidak sengaja nabrak saya."
"Ayo Rio! Minta maaf sama kakaknya!"
"Maaf kakak, Iyo ndak sengaja," ucap Rio cadel, membuat Citra mengingat adik kecilnya yang sepertinya seumuran dengan Rio.
"Iya tidak apa-apa," dengan lembut Citra membelai pucuk kepala Rio.
"Makacih kakak."
"Sama-sama." Citra mengurungkan niatnya untuk membeli minum saat retina matanya melihat displayan biskuit kesukaan Raka, adiknya yang kini masih berusia empat tahun.
Uangnya hanya cukup untuk membeli biskuit.
Raka pasti akan sangat senang saat mendapatkan biskuit ini. Pikir Citra seraya membayangkan wajah imut Raka.
Biasanya papanyalah yang akan rutin membeli biskuit ini untuk Raka, namun sekarang papanya tidak pernah lagi membeli biskuit ini untuk Raka, papanya juga
tidak pernah membelikan snack kesukaannya lagi. Papanya berubah, perlahan papanya semakin menjauh. Bahkan beberapa minggu belakangan ini papanya sudah
jarang pulang. Saat ia bertanya pada mamanya jawaban yang di berikan oleh mamanya hanyalah, "Papa lagi tugas keluar kota."
"Sudah selesai belanjanya?"
Tubuh Citra membeku saat ia mendengar suara papanya. Ia yakin kalau suara yang ia dengar barusan adalah suara papanya.
Apakah papanya tahu kalau ia sedang terjebak hujan di mini market ini, jadi papanya sengaja datang untuk menjemputnya.
Citra benar-benar senang saat melihat sosok papanya yang kini sudah berdiri di dekat kasir.
Papanya benar-benar datang untuk menjemputnya.
"Pa..." Citra tak melanjutkan panggilannya saat panggilan itu sudah di ambil alih oleh bocah yang tadi sempat menabraknya.
"Papa... Iyo mau beli ini."
"Boleh, tapi nanti harus di makan yah."
"Mas mau sekalian isi pulsa nggak, bukannya kata mas pulsa mas sudah habis?"
"Iya Yang sekalian isiin pulsa mas juga."
"Papa Iyo mau kinder joy."
"Tanya mama, boleh nggak beli kinder joy?"
Citra menyaksikkan pemandangan itu dalam diam, meski kini usianya baru sepuluh tahun namun ia sudah mengerti akan arti dari pemandangan yang ada di depannya.
"Papa," Citra berucap lirih, namun ia yakin papanya pasti dapat mendengar suaranya, "Papa!" panggilnya sekali lagi berharap papanya akan menoleh padanya.
Namun papanya sama sekali tidak menghiraukan panggilannya, papanya kini malah sibuk bersenda gurau dengan Rio yang kini ada dalam gendongan papanya.
"PAPA!" Akhirnya Citra berteriak dengan lantang, membuat beberapa pengunjung mini market memandangnya dengan tatapan aneh.
Hati Citra mencelos sakit saat papanya lagi-lagi tidak menghiraukannya. Papanya malah pergi begitu saja meninggalkan dirinya yang kini masih berdiri kaku.
Air mata sudah membasahi pipinya.
"Papa jahat... papa jahat... Aku benci papa... Aku benci papa," kata itu seperti mantra yang terus Citra ucapkan.
Tanpa mempedulikan derasnya air hujan yang mengguyur tubuhnya, Citra terus berlari menerjang hujan... ia ingin segera pulang, ia ingin memeluk mamanya,
ingin membagi rasa sakit yang kini ia rasakan pada mamanya.
Tanpa mengucapkan salam Citra langsung masuk ke dalam rumah, tangisnya semakin kencang saat ia melihat mamanya yang kini sedang menggendong Raka seraya
membaca shalawat. "Teteh kenapa nangis?" tanya mamanya khawatir.
Citra tidak menjawab pertanyaan mamanya. Ternyata ia tidak mampu membagi rasa sakit yang kini ia rasakan pada mamanya. Sudah cukup mamanya sedih karena
Raka yang sakit. "Cerita sama mama, kenapa teteh nangis?"
"Citra benci papa... Citra sungguh benci papa." Kata-kata itu hanya mampu Citra ucapkan di dalam hatinya.
Citra tersadar dari kenangannya di masa lalu saat Danang mengelus pucuk kepalanya.
"Papa sedang sakit keras, dek. Papa ingin ketemu sama kamu," ucap Danang berusaha membujuk Citra agar mau menjenguk papanya yang kini sedang sakit keras.
"Aku nggak mau mas... aku nggak mau jenguk dia," Citra berulang kali menggelengkan kepalanya, menandakan kalau ia benar-benar tidak ingin bertemu dengan
papanya. "Tapi dek....."
Citra mendelik marah pada Danang, "Jangan paksa aku mas!"
"Tidak ada sedikitpun niatan mas untuk memaksa kamu. Tapi kamu harus tahu, sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang anak untuk tetap berbakti pada papa.
Bagaimanapun juga dia yang sekarang meminta ingin bertemu denganmu itu adalah papamu. Bukan orang lain."
"Seorang papa yang lebih memilih selingkuhannya dibandingkan keluarganya, seorang papa yang dengan teganya menelantarkan putra putrinya beserta istrinya.
Apa dia masih pantas untuk disebut dengan sebutan papa," ucap Citra marah, tangisan tidak mampu lagi ia tahan, "di saat ia sehat ia lebih memilih meninggalkan
aku mama dan Raka, dan kini di saat dia sakit ia ingin menemuiku... dia pikir dia siapa?"
Danang langsung merengkuh tubuh Citra yang kini bergetar hebat ke dalam pelukkannya.
"Aku membenci papa mas, aku tidak mau menemuinya.... aku sungguh membencinya."
Kini Citra terlihat seperti gadis kecil yang rapuh di mata Danang.... Citranya yang selalu terlihat kuat kini benar-benar terlihat rapuh.
Ingin rasanya Danang menuruti keinginan Citra yang tidak mau bertemu dengan papanya, Namun tentu hal itu tidak baik untuk Citra. Sejahat apapun papa Citra,
Citra sebagai anak tetap harus berbakti pada papanya.
"Dek mas mau cerita sama kamu tentang kisah sahabat mas, apa kamu mau mendengar kisahnya?" Citra yang kini berbaring di atas tempat tidur seraya memeluk
Danang menganggukkan kepalanya, "hentikan cerita mas kalau kamu tidak menyukainya," lagi-lagi Citra mengangguk.
"Dulu saat mas masih tinggal di pondok mas memiliki sahabat baik, ia sangat di sayangi oleh Ama.... Ama menyayanginya karena dia sangat patuh, tak pernah
sekalipun ia meninggalkan shalat sunah tahajud, dhuha, qobliah dan badiyah... bahkan di saat santri lain masih terlelap dalam tidurnya ia sudah duduk di
dekat mimbar seraya melantunkan ayat suci Al Quran..... karena ia satu kamar dengan mas saat di pondok, jadi sedikit-sedikit mas tahu tentang kehidupan
pribadinya saat di luar pondok. Ia hanya hidup dengan ibu dan kedua adiknya yang saat itu masih berusia tujuh tahun dan sepuluh tahun, ibunya hanya seorang
pembantu rumah tangga, ia pun bisa menuntut ilmu di pondok sambil bersekolah karena kebaikkan dari majikkan ibunya yang mau membiayai semua kebutuhannya
selama menuntut ilmu di pondok... pada suatu malam tiba-tiba ia mendapatkan sebuah mimpi... mimpi yang berhasil membuatnya menangis terisak... tangisnya
sungguh terdengar memilukan hingga membuat mas dan Ali yang memang juga sekamar dengannya ikut menangis walaupun kami tidak tahu apa penyebab dia menangis.
Aku dan Ali berusaha menenangkannya.... ia terus beristigfar seraya menangis dan ia pun berulang kali mengucapkan kata maaf.... Aku dan Ali saat itu kebingungan,
sebenarnya kata maaf itu dia tujukkan untuk siapa... dia orang yang baik, dia selalu berbakti pada ibunya, menyayangi adik-adiknya, baik pada semua orang,
tiga tahun mas sepondok dengannya tak pernah sekalipun mas dengar ia membuat ulah di pondok, hampir semua santri menyayanginya karena dia teman yang baik..."
Danang menghentikan ceritanya. Ia tatap wajah Citra dengan intens, "hentikan cerita mas bila kamu tidak mau mendengarnya," lagi-lagi Danang mengatakkan
kata itu pada Citra, hingga membuat Citra mengerti akan berlanjut kemana kisah yang kini Danang ceritakan.
"Ceritakanlah kisah itu hingga akhir, meski aku tidak mau mendengarnya," jawab Citra lirih.
Danang semakin erat memeluk tubuh Citra, "Aku dan Ali terus bertanya padanya. Apa yang telah membuatnya begitu sedih dan terlihat begitu ketakutan" Dan
menjawablah ia 'Maaf itu untuk bapakku.... aku telah durhaka padanya. Aku benar-benar telah durhaka padanya, di saat ia membutuhkan maaf dariku dengan
sombongnya aku tak memaafkannya, padahal Allah saja yang menguasai langit dan bumi, pemilik segalanya sudi memaafkan kesalahan hambanya, sedangkan aku yang
tak punya apa-apa, bahkan aku hidup hanya mengharapkan belas kasih dari-Nya dengan angkuhnya tak memberi maaf. Aku sungguh orang yang sombong... sudikah
Allah memaafkanku... sudikah bapakku mengampuniku yang tak berbakti padanya' akhirnya mengalirlah kisah memilukkan yang pernah ia alami semasa ia hidup
dengan bapaknya, bapaknya seorang pemabuk hampir setiap hari bapaknya memukuli ia dan ibunya, bahkan pernah suatu malam bapaknya hendak membununuh adiknya
yang masih bayi karena terus menangis, dengan tega bapaknya memasukkan adiknya yang masih bayi kedalam bak mandi, di saat itu kemarahannya tak dapat ia
tahan lagi... ia memukuli bapaknya dan langsung membawa pergi ibu dan kedua adiknya dari rumah yang sudah ia tempati lebih dari sepuluh tahun...... Lebih
dari tiga tahun ia tak lagi bertemu dengan bapaknya, hingga datanglah kakak dari bapaknya yang membawa kabar kalau bapaknya sedang sakit keras dan meminta
ingin bertemu dengannya.... ia tidak mau bertemu, ia sangat benci pada bapaknya... ibunya dan kedua adiknya sudah memaafkan kesalahan bapaknya, tinggal
ia yang belum memaafkan 'temuilah bapakmu Le, bapakmu ingin ketemu sama kamu' pinta ibunya saat keadaan bapaknya sudah semakin parah. Ia tetap menolak,
hingga datanglah kabar kalau bapaknya telah tiada, dia membenci bapaknya tapi ketika tahu bapaknya telah tiada hatinya terasa begitu sakit lebih sakit
dibandingkan saat bapaknya memukulinya dengan bambu, lebih sakit saat bapaknya menendanginya dengan kaki 'Temui bapakmu Le, ini akan menjadi yang terakhir
kalinya kamu bisa lihat muka bapakmu,' pinta ibunya saat dia menolak untuk melihat keadaan bapaknya yang sudah terbujur kaku... kini bukan ibunya lagi
yang terus membujuknya, adiknya yang masih berusia empat tahun dan tujuh tahunpun ikut membujuknya hingga akhirnya ia setuju untuk melihat jasad bapaknya,
Tangisnya benar-benar pecah saat melihat jasad bapaknya yang sudah terbujur kaku... segala kenangan bersama bapaknya sewaktu bapaknya belum menjadi pemabuk
menari-nari di kepalanya... 'bapak pernah membuaiku dengan kasih sayang... bapak rela kehujanan dan kepanasan mengayuh becak demi membelikan sepeda untukku....
bapak rela kelaparan yang terpenting aku anaknya merasa kenyang... bapak yang pertama mengajariku shalat... bapak yang pertama mengajariku mengaji dan
bapaklah yang pertama mengumandangkan adzan di telinga kananku... kenapa di saat bapak hanya membutuhkan kata maaf dariku aku tidak memberikan kata maaf
itu padanya... hanya kata maaf yang bapak pinta... tidak lebih, kenapa aku tidak memberinya..."
Tangis Citra pecah, ia menangis tersedu-sedu. Menangisi kesombongannya yang selama ini tidak ia sadari.
"Aku ingin ketemu papa mas.. aku..ingin ketemu papa," pintanya di sela isak tangisnya yang terdengar begitu memilukan.
Danang membelai pucuk kepala Citra dengan lembut dan mencium kening Citra, "Iya, kita akan menemui papamu," Danang berulang kali mengucap syukur, ia bersyukur
karena akhirnya Citra mau menemui papanya.
Akhirnya sore itu juga Danang dan Citra langsung menuju salah satu rumah sakit di Bogor, dimana kini ayahnya di rawat.
Sesampainya di rumah sakit Citra langsung di sambut oleh senyuman yang di berikkan istri papanya dan Rio, bocah kecil yang dulu menabraknya di mini market.
Bocah kecil itu kini sudah beranjak remaja.
"Terimakasih, Nak." ucap istri papanya dengan tulus.
Tubuh Citra seketika bergetar saat melihat keadaan papanya yang kini terbaring di atas ranjang pesakitan. Segala macam alat medis menempel pada tubuh papanya.
"Semalam keadaannya semakin memburuk. Setiap hari dia selalu nyebut nama kamu.... Citra mana" Apa Citra sudah datang" Aku telah melakukkan banyak kesalahan
padanya" Citraku mana, aku ingin bertemu dengannya kata-kata itulah yang selalu dia katakkan saat keadaannya cukup membaik."
Perlahan Citra mendekati tubuh papanya, dengan tangan gemetar ia menggenggam tangan papanya. Citra memejamkan matanya saat ia kembali mengenang kenangan
pahit yang pernah papanya torehkan di hatinya. Berulang kali Citra beristigfar dalam hati, meyakinkan pada dirinya kalau rasa benci yang menyelimuti hatinya
adalah usaha keras setan yang berusaha menjerumuskan dirinya dalam sebuah penyesalan yang tidak memiliki ujung.
"Pa...." sebisa mungkin Citra menahan tangisnya saat ia mengucapkan kata papa tepat di samping telinga papanya, "Citra datang.... maafkan Citra yang tidak
bisa menjadi anak yang baik... maafkan Citra....."
Perlahan mata papanya yang terpejam terbuka, ada binar bahagia yang terpancar dari mata papanya, "Maaf.. Maafkan papa...papa sungguh menyayangimu. Kamu
putri kebanggan papa, Nak," ucap papanya terpatah-patah.
Citra menganggukkan kepalanya dan setelahnya ia mencium punggung tangan papanya, bukti kalau ia telah memaafkan kesalahan papanya dan bukti baktinya pada
papanya, "maafkan juga kesalahan Citra, Pa."
Papanya meneteskan air mata dan setelah itu tibalah saat dimana sang malaikat maut datang, memisahkan raga dari jasadnya, memutuskan segala ikatan yang
berhubungan dengan dunia.
riwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman.
Kematian lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan menceritakan
kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya."
Tangis Citra pecah saat menyaksikkan bagaimana kesakitan papanya menghadapi sakaratul maut, Danang yang sedari tadi berdiri di samping Citra maju lebih dekat
kearah papa Citra, perlahan Danang membimbing papa Citra untuk mengucapkan dua kalimat syahadat tepat di samping telinga papa Citra.
"Asyhadu an-laa ilaaha illallaah..... Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah." ucap Danang tepat di samping telinga papa mertuanya. Danang tidak mampu
menahan air mata yang lolos dari pelupuk matanya saat maut telah benar-benar menjemput papa mertuanya.
"Papa percayakan Citra padamu dan papa mohon jangan engkau sakiti hatinya dengan sebuah penghianatan." Itulah yang pernah papa mertuanya katakan padanya
di hari ia resmi mempersunting Citra, "cukup papa yang dulu pernah memberinya rasa sakit karena sebuah penghianatan. Jangan engkau, karena kini engkau
yang akan menjadi teman hidupnya, teman membagi duka dan sukanya."
Danang memeluk tubuh Citra seraya berbisik, "Papa telah pergi, dek."
Citra menangis pilu dalam pelukkan Danang, berulang kali ia memanggil papanya. Berharap papanya akan kembali membuka matanya, walaupun itu mustahil Citra
tetap mengharapkannya. ?"" Pemakaman berlangsung begitu menyedihkan. Tangis Citra untuk kesekian kalinya kembali pecah saat Raka mengumandangkan adzan di liang lahat papanya.. suara
adzan yang di kumandangkan oleh Raka terdengar begitu memilukan. Raka mengumandangkan adzan untuk yang pertama kali dan terakhir kalinya untuk papanya.
Dulu saat papanya meninggalkannya ia masih belum mampu mengumandangkan adzan dengan benar, lafal adzannya masih terpatah-patah, kini di saat ia sudah dapat
mengumandangkan adzan dengan fasih ia harus memberanikan diri untuk mengumandangkan adzan di pembaringan terakhir papanya, tempat dimana papanya beristirahat
menunggu hari dimana yang mati akan di bangkitkan kembali.
"Kumandang adzan Raka untuk papa."
"Selamat tinggal papa, Citra memaafkan papa.... Ya Allah, ampunilah dosa-dosa papa, kasihanilah papa, lindungilah papa dan maafkanlah papa, muliakanlah
tempat kembali papa, lapangkan kubur papa. Bersihkanlah papa dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan
gantilah rumah papa di dunia dengan rumah yang lebih baik di akhirat serta masukkanlah papa ke dalam surga-Mu dan lindungilah papa dari siksa kubur dan
siksa api neraka." Doa Citra dalam hati seraya menatap pusara papanya.


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia sangat bersyukur karena Allah telah memberinya kesempatan untuk memberikan kata maaf untuk papanya.
Dua Belas : Kehidupan & Kematian
Pada suatu hari kematian dan kehidupan bertemu satu sama lain, lantas mereka mengobrol.
"Kenapa orang-orang itu menyukaimu, tapi membenci aku?" tanya kematian pada kehidupan.
Kehidupan menjawab sambil tersenyum, "Orang-orang menyukaiku karena aku adalah dusta yang indah, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah kebenaran
yang menyakitkan." Citra terpekur dalam diam saat mendengarkan percakapan antara kehidupan dan kematian yang kini sedang Danang bacakan.
Banyak yang terlena akan keindahan kehidupan, melupakan kenyataan kalau kehidupan yang tengah di jalani hanya bersifat sementara, cepat atau lambat kematian
telah menanti waktu untuk mencabut roh dari raganya.
Danang yang duduk di samping Citra membelai lembut pucuk kepala Citra, berulang kali ia mengecup pelipis Citra.
"Meski kita tidak menginginkan kedatangannya, kita tidak akan pernah bisa lari dari kematian"," Danang menangkup pipi tirus Citra dengan kedua belah telapak
tangannya, "aku tidak akan melarangmu bersedih karena memang sudah sewajarnya kamu merasa sedih atas kepergian papa, namun aku mohon jangan kamu terlarut
dalam kesedihan itu karena setan akan merasa senang melihat kesedihanmu."
Mendengar perkataan yang Danang ucapkan membuat Citra terisak hebat. Bagaimana caranya mengendalikan hatinya, rasa sesal begitu memenuhi hatinya setelah
kepergian papanya. Sejahat apapun papanya seharusnya ia tetap berbakti dan menghormati papanya, tapi yang ia lakukan malah sebaliknya ia memusuhi papanya,
ia sering membentak papanya, bahkan Citra masih mengingat perdebatan terakhir dengan papanya.
Satu hari sebelum pernikahannya berlangsung papanya datang bersama Rio, papanya bilang ia ingin menjadi wali nikah dirinya.
"Aku tidak mau dia yang jadi waliku," Citra berkata sinis tepat di hadapan papanya, tidak peduli semua sanak saudara yang sedang berkumpul menyaksikan
itu semua. "Sayang bagaimanapun juga Papa Hari itu papa kamu, jadi harus papa Hari yang jadi walimu," penjelasan itu Citra dapatkan dari kakak mamanya.
"Kenapa bukan Raka saja, papa sudah mati jadi biar Raka saja yang jadi wali nikah Citra," ucapnya sarat kebencian.
Semua yang menyaksikan perdebatan itu terkesiap. Mama Citra langsung membawa Citra kedalam kamar. Untuk pertama kalinya Citra menyaksikan mamanya menangis
dan yang telah membuat mamanya menangis adalah dirinya. Sebelumnya tak pernah sekalipun ia melihat mamanya menangis, bahkan ketika papanya lebih memilih
meninggalkan mamanya untuk bersama dengan istri keduanya mamanya tidak menangis. Tapi kenapa saat ia menolak" papanya yang menjadi walinya mamanya malah
menangis. "Mama mohon sayang, biarlah papamu yang menjadi walimu."
"Nggak mau ma, Citra nggak mau! Papa tidak berhak menjadi wali pernikahan Citra karena papa pun tidak pernah memenuhi kewajibannya sebagai seorang papa,"
Citra ikut terisak di dalam pelukan mamanya.
"Kedudukan papa sebagai wali hingga kapan pun tidak akan bisa tergantikan. Meski papa" tidak pernah memenuhi kewajibannya sebagai seorang papa urusan menjadi
wali tetap tidak bisa di gantikan, karena menjadi wali tidak ditentukan oleh sebab perhatian atau perlakuannya, bagaimanapun papa adalah papamu yang berhak
menjadi walimu," meski berat Citra akhirnya menyetujui kalau papanyalah yang akan menjadi walinya.
Di hari pernikahan Citra sama sekali tidak mau bersimpuh di hadapan papanya, Danang melakukannya namun dia tidak. Kebencian telah menguasai dirinya dan
sekarang ia menyesali itu semua saat papanya benar-benar telah pergi meninggalkannya.
Setiap mengingat itu semua Citra tak mampu lagi menahan kesedihannya.
Syaikh Abdullah Alu Bassam"rahimahullahberkata, "Apapun yang Allah ambil dan berikan, semuanya adalah milik-Nya, dan dibalik itu ada hikmah sempurna dan
tindakan yang tepat. Siapapun yang menentang hikmah ini, ia seakan menentang putusan dan takdir Allah yang justru inti maslahat, hikmah, asas keadilan
dan kebaikan.?"(Fikih Hadits Bukhari Muslim,Hlm.430-431)
Danang membawa tubuh Citra yang bergetar kedalam dekapannya, berharap dekapannya mampu mengurangi kesakitan yang kini istrinya rasakan.
?"" Perlahan Citra mulai dapat menerima kepergian papanya. Tidak ada lagi pertanyaan yang selalu Citra tanyakan pada Allah saat ia mengadukan segala keluh
kesahnya kepada sang Ilahi Rabbi.
Kenapa Engkau mengambil papa di saat aku belum melakukan sedikitpun kebaikan pada papa"
Kenapa Engkau tidak memberikan kesempatan untukku berbakti kepadannya"
Dua pertanyaan itulah yang selalu Citra pertanyakan pada Allah, dan kini ia menyesali pertanyaan itu karena pada kenyataannya ia telah mengetahui apa jawaban
dari pertanyaannya sendiri.
Citra yang sedang serius mengaduk sup krim jagung terpekik kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.
"Kaget yah?" tanya Danang
Citra mendengus kesal, sudah jelas tadi ia kaget, masih nanya lagi. Nggak penting banget sih.
"Nggak boleh menggerutu dalam hati," dengan gemas Danang mencubit pipi Citra.
"Ih sakit mas."
Beberapa hari belakangan ini istrinya sangatlah sensitive. Biasanya kalau dia memeluk istrinya tiba-tiba dari belakang wajah istrinya hanya akan bersemu
merah karena merasa malu, namun sekarang istrinya malah bersemu merah karena marah. Terkadang wanita memang sulit untuk di mengerti.
"Dek, aku mau ngambil cuti minggu depan."
"Cuti" Mas mau kemana ngambil cuti?" tanya Citra penasaran.
"Aku ingin membawamu ke suatu tempat."
"Kemana?" Citra langsung mematikan kompor, ia" membalikkan badannya hingga kini ia berada dalam posisi saling berhadapan dengan Danang.
"Ke tempat dimana semua umat muslim ingin mendatanginya."
Mata Citra langsung membulat. Tempat dimana semua umat muslim ingin mendatanginya, tentu tanpa Danang memberitahu kemanakah ia hendak mengajak Citra, Citra
sudah tahu karena hanya ada satu tempat tujuan yang menjadi keinginan semua umat muslim di seluruh dunia. Tempat paling suci dan tempat yang paling dicintai
oleh Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam. Seandainya Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam tidak terusir dari kota itu, niscaya beliau tidak akan
meninggalkannya. Ini tercermin dari sabda Rasulullah Shallallahu "alaihi wa sallam :
?"?"?"?"" ?"?"?"" ?"?"?"?" ?"?"?" ?"?"?"" ?"?"?"?"" ?"?"?" ?"?"?"" ?"?"" ?"?"?"" ?"?"?"?"" ?"?"?" ?"?"?"?"?" ?"?"?" ?"" ?"?"?"?"
"Demi Allah. Engkau adalah sebaik-baik bumi, dan bumi Allah yang paling dicintaiNya. Seandainya aku tidak terusir darimu, aku tidak akan keluar (meninggalkanmu)"
Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi.
Dulu Citra tidak berkeinginan untuk mengunjungi tempat tersebut. Mungkin bila ada pilihan. Mau ke Korea atau ke Mekah" Ia akan lebih memilih pergi ke Korea,
kenapa" Karena hatinya selalu berkata kalau ia tidak siap untuk mengunjungi tempat suci itu, terlalu banyak dosa yang telah ia lakukan jadi pantaskah kalau
ia menginjakkan kakinya di sana" Tapi kini ia sadar kalau pemikirannya salah besar, kalau ia selalu berpikiran demikian kapan ia akan siap pergi kesana,
menikmati kesucian kota Mekah.
Ia masih ingat cerita Zahra yang setengah tahun yang lalu baru melaksanakan umrah bersama keluarga besarnya.
"Aku sulit melukiskan bagaimana nikmatnya beribadah disana, aku ingin kembali kesana mengucapkan kalimat talbiyah berulang kali," hanya kata itu yang mampu
Zahra katakan saat ia meminta Zahra untuk menceritakan bagaimana perjalanannya ke tanah suci. Bukannya cerita Zahra malah menangis, menandakan kalau ia
sungguh-sungguh ingin kembali mengunjungi tempat suci itu.
"Kita akan kesana bersama Zahra dan Ali," ucapan Danang menyadarkan Citra dari bayangan tentang betapa indahnya kota Mekah.
Citra tersenyum lebar, "Apa Nurul dan suaminya juga ikut?" Citra sangat berharap ia pergi kesana bukan hanya dengan suaminya tapi iapun berharap dapat
datang kesana bersama kedua sahabatnya, dua sahabat yang ia harap bukan hanya akan menjadi sahabatnya di dunia namun dapat menjadi sahabatnya pula diakhirat
kelak. Danang menganggukkan kepalanya, "Iya, Nurul dan suaminya ikut. Mama, Raka, umi dan abi juga ikut."
Mendengar jawaban Danang membuat Citra begitu bahagia, berulang kali ia mengucapkan syukur atas kebaikan Allah yang telah memberikan kesempatan padanya
untuk mengunjungi tempatnya yang suci bersama suami, kedua mertuanya, mama, Raka dan kedua sahabatnya.
Benar-benar nikmat Allah yang tak terhingga.
Tiga Belas : Hijrah (Niqab)
Citra dan Danang baru saja selesai melaksanakan shalat tahajud, kini keduanya khusyuk dalam doa, merangkai cinta pada Sang Maha Mencintai, berharap cinta
yang kini dirasakan keduanya tidak akan menjadi penghalang bagi mereka berdua untuk mencintai Dia, dzat pemberi cinta itu sendiri.
Terkadang ada rasa takut yang menyelimuti hati keduanya.
Bagaimana kalau cinta keduanya mengalahkan cinta mereka pada Allah" Seperti kisah seorang pemuda sholeh yang sangat mencintai istrinya, saking dia mencintai
istrinya sang pemuda melalaikan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Sang Ayah meminta ia untuk meninggalkan istri yang di cintainya.
"Cintamu pada istrimu sudah membuatmu melupakan cinta yang sesungguhnya, maka tinggalkanlah istrimu."
"Tidak ayah aku mencintainya, aku tidak akan bisa meninggalkannya."
Pemuda itu begitu mencintai istrinya hingga ia berpikir kalau ia di pisahkan dari sang istri maka ia lebih memilih untuk mati.
Ia terus terlena dalam cinta bersama istrinya, hingga akhirnya Allah mengambil nyawa istrinya. Dia begitu terpuruk hingga hilanglah akal sehatnya.
Pada hakikatnya cinta yang nyata hanya cinta pada Allah semata, janganlah engkau melupakan cinta pada Allah di saat kau terlena pada cinta yang tak abadi,
cintailah dia istrimu dengan sewajarnya, namun cintailah Allah melebihi apapun yang kau cintai di dunia ini.
Citra mencium punggung tangan kanan Danang, sedangkan Danang mencium pucuk kepala Citra.
"Mas mau langsung pergi ke masjid?" tanya Citra seraya melirik ke arah jam yang menggantung di dinding kamarnya.
Danang menganggukkan kepalanya, "iya dek, mas mau nunggu waktu subuh di masjid."
Citra menatap Danang dengan tatapan yang cukup sulit di artikan hingga membuat Danang mengkerutkan keningnya bingung.
"Ada apa?" dengan lembut Danang membelai pucuk kepala Citra.
"Bolehkah kalau mulai hari ini aku pake niqab."
Danang terkejut bukan main saat kata niqab terucap dari bibir Citra.
"Tapi kalau tidak boleh juga tidak apa-apa mas," ucap Citra cepat saat Danang terus menatapnya dengan tatapan kaget.
"Apa yang membuatmu berkeinginan untuk memakai niqab?" tanya Danang penasaran.
Cukup lama Citra terdiam hingga akhirnya ia menceritakan kejadian yang pernah ia alami dua bulan yang lalu di tanah suci pada Danang, saat ia baru selesai
melaksanakan shalat subuh di mesjid Nabawi ada seorang wanita bercadar menghampirinya, mata biru wanita bercadar itu menatap Citra dengan tatapan kasihan.
Wanita bercadar itu tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memberikan Citra sebuah kain berwarna hitam, setelah memberikan kain tersebut si wanita bercadar
itu pergi begitu saja. Citra langsung menunjukkan kain hitam itu pada Zahra dan Nurul.
"Kain apa sih itu" Kok bentuknya aneh?" tanya Citra penasaran pada Zahra dan Nurul.
"Ini niqab," jawab Nurul.
"Niqab?" tanya Citra bingung, "Niqab apaan?"
"Niqab itu cadar," jelas Zahra.
Tidak tahu kenapa tiba-tiba tubuh Citra membeku.
Cadar, untuk apa wanita bercadar itu memberinya sebuah cadar"
"Kamu dapat dari mana, Cit?" tanya Nurul dan Zahra penasaran.
"Aku mendapatkan itu dari seorang wanita bercadar di dalam masjid nabawi," jawab Citra lirih.
Zahra dan Nurul saling bertatapan bingung.
"Apa wanita bercadar itu mengatakan sesuatu padamu?" tanya Nurul.
Citra menggelengkan kepalanya, "Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, namun dia menatapku dengan tatapan kasihan.. seakan-akan dia begitu sedih melihatku."
Baik Citra, Nurul, maupun Zahra tidak dapat mengartikan apa sebenarnya maksud wanita bercadar itu memberikan sebuah cadar pada Citra.
Hingga akhirnya Citra sadar kalau arti dari si wanita bercadar itu memberikan cadar padanya yaitu agar Citra melindungi wajahnya dari segala fitnah di
dunia. "Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang
lelaki melihatnya dengan syahwat" (Hasyiah 'Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
Beberapa minggu yang lalu saat ia berjalan menuju masjid di dekat fakultas hukum, ada beberapa anak hukum yang sedang membicarakannya.
"Citra dari fakultas kedokteran cantik banget yah, apalagi sekarang dia pake jilbab makin cantik aja tuh mukannya."
"Iya cantik banget, saking cantiknya gue sampe sering mimpiin dia. Andai saja dia masih single udah langsung gue lamar deh."
"Lo berdoa aja biar dia jadi janda, terus lo nikahin deh."
"Iya, nggak akan nolak meskipun nanti gue dapet dia pas udah jadi janda."
"Wajah cantiknya buat sholat gue nggak pernah khusyuk gara-gara kebayang-bayang mulu wajahnya."
Tubuh Citra seketika membeku saat mendengar perkataan ketiga pemuda tersebut.
Karena wajahnya seseorang tidak dapat melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Karena wajahnya ada seseorang yang tega mendoakan ia agar berpisah dengan suaminya.
Pembicaraan ke tiga pemuda itu terus terngiang di telinganya.
Hingga akhirnya ada keinginan untuk dirinya menggunkan niqab. Namun rasa takut begitu kuat melandanya.
Jujur, dulu ketika ia tidak terlalu mempedulikan aturan dalam islam, ia selalu berpikiran negatif pada wanita-wanita yang menggunakan kerudung lebar apalagi
wanita bercadar. Sok Alim, itulah yang selalu Citra katakan pada mereka, bahkan Citra pernah mengatai seorang wanita bercadar dengan sebutan teroris.
Apakah nanti ketika ia memilih menggunakan cadar, caci maki itu akan ia dapatkan pula. Apa lagi di fakultasnya sama sekali tidak ada yang menggunakan cadar.
Apa tanggapan mereka kalau ia menggunakan cadar"
Bagaimana nanti saat ia telah terjun ke dunia kerja sebagai dokter.
Adakah dokter bercadar"
Semua pertanyaan itu seakan tumpak tindih memenuhi kepalanya.
Hingga akhirnya Citra bertemu dengan seorang wanita bercadar di salah satu pengajian yang ia hadiri. Citra mengajukan banyak pertanyaan pada wanita bercadar
itu. "Bagaimana tanggapan ukhti bila ada yang memanggil ukhti dengan sebutan teroris?"
"Tidak apa-apa, itu hak mereka. Allah yang maha mengetahui siapakah saya."
"Apa tidak ada rasa sakit hati atau rasa marah saat di panggil dengan sebutan demikian?" tanya Citra penasaran.
"Sakit hati dan marah tentu saya rasakan, saya manusia biasa yang tentunya pasti merasakan itu, namun sebisa mungkin saya memohon perlindungan dari dua
sifat itu pada Allah."
Citra terus mengajukan banyak pertanyaan.
"Sejak kapan ukhti mulai mengenakan niqab?"
"Saat saya masih duduk di bangku kuliah semester empat."
"Apakah tidak ada rasa takut saat ukhti menggunakan niqab akan menghambat saat ukhti terjun ke dunia kerja."
"Awalnya sebelum memakai niqab ini, itulah salah satu yang saya takutkan. Bagaimana kalau gara-gara niqab ini saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan" Namun
akhirnya saya sadar. Allahlah yang maha pemberi rizki jadi apa yang perlu kita takutkan, tentu Allah selalu mengiringi langkah hambanya yang berjalan pada
arah kebaikan. Allah yang maha mencukupi segala kebutuhan hambanya jadi tidak perlu ada yang di takutkan."
Semakin hari Citra semakin dekat dengan Aira, wanita bercadar yang selalu menjawab segala pertanyaan Citra dengan sabar. Aira Latunisa Ahmed, dulu sebelum
menggunakan cadar dia adalah seorang model, awalnya ia tidak menggunakan jilbab namun pada suatu hari dia membaca sebuah uploadtan temannya di instagram.
Wahai Wanita... Saat kau tengah tertidur, tapi malaikat mencatat dosamu.
Saat kau tengah shalat, lagi-lagi malaikat mencatat dosamu.
Saat kau makan, belajar, mengaji, malaikat tetap mencatat dosamu.
Bahkan di saat kau tidak melakukan apa-apa malaikat tetap mencatat dosamu.
Sebenarnya apa salahmu, wahai wanita"
Ternyata di saat malaikat sedang mencatat dosamu, saat itu sedang banyak mata yang sedang menatapmu dalam keadaan tidak menutup auratmu di media sosial.
Walaupun hanya lengan baju yang terangkat sedikit hingga melebihi pergelangan tangan, bila ada lelaki yang melihat, saat itulah malaikat mencatat dosamu.
Simpanlah kecantikkanmu hanya untuk seseorang yang memang berhak untuk menikmatinya.
Janganlah kau berbangga hati akan kecantikan yang kau miliki karena bisa jadi kecantikkan itulah yang dapat mendekatkanmu pada panasnya api neraka.
Setelah membaca kalimat itu semakin yakinlah Citra untuk menggunakan niqab, namun tentu atas ijin Danang.
Sebuah doa Danang bacakan di atas ubun-ubun Citra, "Pakaialah niqab bila kamu memang menginginkannya dan semoga kamu bisa istiqomah, mas ikhlas kau memakai
niqab." Berulang kali Danang bersykur. Allah begitu baik padanya. Dulu saat ia masih menimba ilmu di Kairo pernah terbesit di hatinya, ia ingin memiliki seorang
istri yang menggunakan niqab. Tak tahu kenapa wanita berniqab selalu menarik perhatiannya, mereka terlihat istimewa dengan niqab yang melindungi wajah
mereka dari mata-mata jahat kaum adam yang tentunya tak lepas dari hawa nafsu saat melihat wajah cantik seorang wanita.
"Berhentilah memperhatikan wanita berniqab, Nang. Bisa jadi wanita yang sedang kau perhatikan saat ini wajahnya tidak elok," ledek salah satu teman kuliahnya
yang berasal dari Malaysia.
"Tak apa berwajah tak elok, yang terpenting hatinya elok."
"Bagaimana kau tahu kalau hatinya elok?"
"Kalau tak elok hatinya tak mungkin ia menggunakan niqab untuk meminimalisir dosa-dosa kaum adam yang suka seenaknya memandang wajah mereka."
Dan kini istrinya yang cantik tanpa ia pinta berkeinginan untuk menggunakan niqab.
Lihatlah! Jodoh tak mungkin tertukar... meski tidak instant secara perlahan apa yang Danang inginkan dari seorang wanita yang kelak menjadi istrinya ada
pada sosok wanita yang kini duduk tepat di hadapannya.
Allah benar-benar sutradara terbaik dalam menentukan jalan hidup hambanya. Jadi buanglah jauh-jauh prasangka buruk atas takdir yang telah Allah tentukan
ketetapannya. Empat Belas : Dapatkah Aku Untuk Beristiqomah"
Citra memandang pantulan dirinya di cermin. Aneh, kata itulah yang tepat untuk menggambarkan seperti apa penampilannya. Dia saja merasa penampilannya aneh,
bagaimana nanti pendapat orang tentang dirinya" Dalam hati Citra beristigfar, memohon ampun berharap Allah kembali menegakkan tekadnya, jangan sampai keputusannya
berubah. Baru saja tadi subuh ia mengutarakan keinginannya pada Danang untuk berniqab masa sekarang sudah berubah haluan hanya gara-gara ia merasa dirinya
aneh dan takut orang di sekitarnya akan menganggap dirinya pun aneh.
Danang yang baru keluar dari kamar mandi menatap Citra yang masih berdiri di depan cermin, ia tersenyum lebar melihat penampilan Citra yang telah berniqab.
"Istriku cantik sekali," di peluknya Citra dari belakang, ia tempelken dagunya di bahu Citra, "kau benar-benar cantik, dek," andai saja wajah Citra tidak
tertutup niqab Danang yakin pasti pipi tirus Citra bersemu merah.
Citra menyentuh punggung tangan Danang yang bersarang di perutnya, matanya menatap wajah Danang dari pantulan cermin, "Benarkah aku terlihat cantik dengan
niqab ini?" Danang menganggukkan kepalanya, "mungkin dari sekarang hanya mas-lah yang akan menganggapku cantik dengan niqab ini."
Tak apa kini aku terlihat aneh oleh banyak orang yang terpenting aku terlihat cantik di hadapan suamiku dan tentunya cantik di hadapan Allah. Itu cukup
bagiku. Batin Citra meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja.
Danang mengecup pipi Citra yang tertutup cadar, "kamu sungguh cantik hingga rasanya aku berat membiarkan dirimu keluar dari rumah, aku ingin mengurungmu
di rumah. Biarlah hanya aku yang menatap kecantikanmu," canda Danang, wajahnya benar-benar terlihat bahagia.
"Ih mas lebay," Citra mencubit pinggang Danang kencang, semua perkataan yang Danang ucapkan membuat wajahnya memanas.
Danang meringis setelahnya langsung terkekeh geli, pelukkannya semakin mengerat, "Aku sungguh mencintaimu, dek."
Pernyataan cinta yang Danang katakan membuat tubuh Citra membeku, ini bukan pernyataan Cinta yang pertama Danang katakan padanya namun efeknya masihlah
dahsyat, "aku juga mencintaimu, mas," jawab Citra dengan suara pelan, khas nada wanita yang terkesan pemalu.
Meski enggan perlahan Danang melepaskan pelukkannya dari pinggang Citra, "Kelasmu mulai jam berapa?"
"Delapan," Citra melirik jam yang menggantung di dinding kamar, pekikkan kaget keluar dari bibirnya saat melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat
lima menit. Karena terlalu asik bermesraan dengan kekasih halalnya ia sampai tak sadar kalau sudah jam tujuh lewat, harusnya ia sudah berangkat. Alamat
telat ini. Di saat Citra sedang kalang kabut memasukkan beberapa buku kedalam tas selempangnya, Danang mengambil dua lembar roti tawar, di olesi dua lembar roti tawar
itu dengan selai kacang favorite Citra dan tak lupa ia pun membuat segelas susu coklat.
"Sarapan dulu dek."
"Nggak keburu mas, nanti di kampus saja," tolak Citra.
Dengan lembut Danang mendudukkan Citra di sofa, "Aaa...," Danang membuka mulutnya seakan-akan sedang mengajari Citra untuk membuka mulut.
Citra akhirnya membuka mulutnya, menerima suapan roti langsung dari tangan Danang, "mas..suddah.. sarap..appan?"
"Nanti saja setelah pulang ngantar kamu ke kampus aku makannya, telen dulu makannya baru ngomong!" cegahnya cepat saat Citra hendak berkata.
Citra mengambil alih roti yang ada di tangan Danang, matanya menatap Danang tegas, dan Danang tahu akan arti dari tatapan itu, ia membuka mulutnya lebar-lebar,
membiarkan Citra yang kini menyuapinyan.
Pagi yang manis, sarapan yang lebih dari kata romantis meskipun hanya dengan dua lembar roti tawar berselai kacang.
?"" Semua mata menatap Citra dengan tatapan aneh saat Citra memasuki area kampus. Namun sebisa mungkin Citra tidak mempedulikan itu semua, ia semakin mempercepat
langkahnya, dalam hati ia berharap kelas belum di mulai, namun sayang ternyata kelas telah di mulai, Citra berdiri di depan kelas cukup lama, tidak tahu
kenapa tiba-tiba rasa takut menyelimuti dirinya, lebih dari tiga menit Citra mengumpulkan keberanian dan membuang jauh-jauh rasa takut yang kini menyelimuti
dirinya. Setelah merasa siap barulah ia mengetuk pintu seraya mengucapkan salam.
"Maaf pak saya telat," ucap Citra sopan.
Si dosen yang berdiri di dekat papan tulis mengkerutkan keningnya. Seingatnya ia tidak memiliki anak didik yang bercadar, dan kebingung bukan hanya terpatri
jelas di wajah bapak dosen, namun hampir semua mata yang berada di kelas itu menatap Citra dengan pandangan aneh dan bingung.
"Maaf pak saya Citra," jelas Citra saat sadar kalau dosennya dan temannya kebingungan melihat dirinya yang telah berniqab.
Kelas yang tadinya sepi menjadi riuh dan Citra sempat menangkap wajah terkejut dari dosennya, seakan tak percaya akan apa yang barusan beliau dengar.
Citra bersyukur saat akhirnya pak dosen memberi ijin kepadanya untuk segera duduk.
"Gila Cit, aku kira kau tadi gadis timur tengah yang nyasar masuk kelas ini," bisik Dani yang duduk di belakangnya.
Saat kelas berlangsung hanya Danilah yang berkoar ini itu, namun setelah kelas usai bukan hanya Dani yang berkoar menanggapi perubahan Citra namun hampir
sebagian teman satu mata kuliahnya pagi ini yang memang sudah mengenalnya dari pertama menjadi mahasiswi terus berkoar tak henti-henti.
"Cit, lo kaya ninja hatori," ledek Feri, ia terkekeh geli dengan ucappannya sendiri.
"Lo terlalu banget perubahannya, beberapa bulan yang lalu lo pake kerudung lebar kaya Zahra eh sekarang lo malah pake cadar, kira-kira beberapa bulan lagi
lo bakal pake apa?" "Mukena," celetuk mahasiswa yang lain. Derai tawapun tercipta.
"Kalau memang itu yang Allah anjurkan untuk ku gunakan, aku akan menggunakannya," jawab Citra dengan tenang, walaupun pada kenyataannya kini hatinya sedang
bergemuruh karena rasa gelisah, "aku duluan yah," pamit Citra meninggalkan mereka yang sedari tadi terus mencela dan mentertawakannya.
Ini belum seberapa Citra, perjuanganmu belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mereka yang memperjuangkan keislaman mereka dengan derai darah dan
tangisan. Ingatlah kisah pilu Sumaiyah binti Khabbat, ibu Ammar bin Yasir radhiallahu 'anhu, seorang wanita yang pertama kali mendapatkan syahid dalam Islam. Demi
mempertahankan agamanya ia disiksa dengan siksaan yang tiada tara oleh Abu Jahal, sang panglima kezhaliman. Abu Jahal memakaikannya baju besi lantas menjemurnya
di bawah teriknya matahari. Panas yang membakar tubuhnya tidak membuat goyah keteguhannya dalam mempertahakan agamanya. Ia tetap bersabar, hingga akhirnya
keteguhan yang dimiliki oleh Sumaiyah membuat kemarahan Abu Jahal berkobar lantas di tusuklah Sumaiyah dengan tombak hingga meninggal dunia.
Dalam kitab 'Usdhu al-Ghabah', al-Hafizh Ibnu hajar mengatakan, "Abu Jahal menusuk sumaiyah dengan tombak yang ada ditangannya pada kemaluannya hingga
meninggal dunia. Beliau adalah orang yang mati syahid pertama dalam Islam, beliau dibunuh sebelum hijrah, dan beliau termasuk diantara orang yang memperlihatkan
keislamannya secara terang-terangan pada awal datangnya Islam."
"Bersabarlah dalam kebenaran, engkau akan merasakan manisnya.
Kesabaran demi kebenaran terkadang harus melalui kepedihan."
Citra menangis di dalam masjid yang ada di kampusnya, berulang kali ia mengucapkan istigfar saat hatinya di penuhi dengan rasa bersalah.
Ia harusnya bersyukur telah terlahir dalam keluarga islam, ia tidak perlu merasakan siksaan untuk menikmati keislaman dan keimanannya pada Allah, di luar
sana banyak yang matian-matian mempertahankan keislaman dan keimanannya karena mereka tidak terlahir di dalam keluarga islam.
Ingatan Citra kembali berputar pada saat ia masih berstus siswi SMA di Bandung, ia memiliki teman sekelas yang hobi sekali buka tutup jilbab. Di sekolah


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia memakai jilbab namun saat baru datang dan hendak pulang ia melepaskan jilbabnya.
"Kerdus banget yah si Amel kerjaannya buka pake jilbab, mendingan sekalian aja kaya gue nggak usah pake jilbab kalau belum siap mah, dari pada buka tutup
kaya gitu.. dasar kerdus," itulah yang selalu Citra katakan pada Amel dan Citra yakin bukan hanya dirinya yang sering mengatai Amel tapi teman-teman yang
lain pun melakukan hal itu, malah ada yang terang-terangan menegur Amel. Hingga akhirnya saat mereka naik ke kelas sebelas Amel meninggal dunia, Citra
dan teman-temannya datang ke rumah duka, betapa terkejutnya Citra saat mengetahui kalau ternyata Amel bukan terlahir dalam keluarga islam.
Terjawablah apa yang menjadi alasan Amel melakukan tindakan buka tutup jilbab, hal itu karena ia menyembunyikan ke islaman dirinya dari keluarganya, ia
belum berani mengatakan pada kedua orang tuanya telah memeluk islam. Ia ingin menutup auratnya karena memang itu adalah kewajiban seorang wanita yang telah
baligh, ia tidak bisa menutup auratnya di sekitar keluarganya namun bila tidak ada keluarganya di sampingnya sebisa mungkin ia akan menutup auratnya, tak
peduli orang mau bicara apa yang terpenting ia telah berusaha untuk menjalankan kewajibannya sebagai wanita muslim.
"Sejak kapan Amel memeluk islam?" tanya Citra pada sahabat Amel yang menjadi saksi perjuangan seorang Amelia Laura Sinaga dalam mempertahankan keislamannya.
"Sejak lima bulan yang lalu, sebenarnya keingin untuk memeluk agama islam sudah ada saat ia masih duduk di kelas delapan, saat itu ia bercerita padaku
kalau ia menemukan video yang berhasil membuatnya menangis. Aku bertanya padanya, video apa yang dia lihat" Dia menjawab Kisah Detik-detik wafatnya Nabi
Muhamad SAW, berulang kali ia mengatakan kagum pada sosok nabi Muhammad Malaikat langit dan surga saja menyambut kedatangannya saat beliau hendak kembali
pada Tuhan, malaikat maut yang kejam pun menunggu ijinnya untuk mencabut ruhnya. Siapakah nabi Muhammad itu" Itu yang ia tanyakan padaku, aku memberitahunya
kalau ia adalah seorang Rasul yang di sayangi Tuhan, dari situ ia mulai mencari tahu tentang nabi Muhammad, hari berikutnya ia semakin kagum pada sosok
nabi Muhammad saw, dan semakin hari pengetahuan tentang islamnya semakin banyak, ia mengatakan ia ingin seperti Fatimah Az-Zahra, putri kesayangan baginda
Rasulullah. Aku bertanya padanya kenapa ia ingin seperti Fatimah Az-Zahra" Dia menjawab karena Fatimah Az-Zahra benar-benar wanita mengagumkan, dia wanita
surga, yang di haramkan neraka untuknya. Semua kisah yang berhubungan dengan saiditina Fatimah ia ketahui, hingga pada saat liburan semester lalu ia menolak
ajakkan kedua orang tuanya untuk berlibur ke Paris, ia lebih memilih menghabiskan liburannya di sebuah pesantren di dekat rumahku. Dan disanalah dia meneguhkan
hatinya untuk memeluk islam, ia berkata padaku.. aku ingin bertemu dengan Rasulullah dan Saiditina Fatimah, aku sungguh mencintai keduanya melebihi cintaku
pada kedua orang tuaku. Padahal dulu aku sangat mencintai ibu dan ayahku" Tapi posisi itu sekarang telah tergeser. Apakah ini salah" Kata pak Kiai tidak
salah, namun aku tetap harus berbakti pada ibu dan ayahku berlaku baik kepada keduanya dan mencintai keduanya meski sekarang keyakinanku berbeda dengan
ibu dan ayahku.... aku ingin mengajak mereka untuk mengenal islam karena islam begitu indah, namun aku belum berani, bahkan sekarang aku melaksanakan shalat
masih sembunyi-sembunyi di kamar, aku takut mereka sedih dan sakit hati saat mengetahui kalau kini aku tidak satu keyakinan lagi dengan mereka, bagaimanapun
aku mencintai mereka karena mereka ibu dan ayah yang sangat baik, dan aku berharap kebaikkan untuk mereka."
Citra dan teman-temannya yang mendengarkan kisah Amelia yang tidak mereka ketahui berkaca-kaca, gadis cantik yang mereka anggap munafik, ternyata seseorang
yang insyaallah mulia. "Di saat sakit keraslah ia memberitahu kedua orang tuanya kalau ia telah memeluk islam dan bila ia telah berpulang ia ingin dimakamkan sesuai syariat islam,
awalnya mama dan papanya tidak terima dan hendak membuat Amelia kembali memeluk agama yang mereka percayai.. namun Amel menolak keras seraya menangis pilu,
pada saat itu aku ada di sana menyaksikan bagaimana tangis Amel yang terdengar begitu memilukan, ia memohon maaf pada ibu dan ayahnya dan ia pun mengatakan
dia sungguh mencintai keduanya dan berharap keduanya mau mempelajari agama islam dan setelah mengatakan itu aku mendengar Amel mengatakan kalimat syahadat
dengan nafas tersenggal dan tak lama setelahnya Amel pergi untuk selama-lamanya."
Citra dan teman-temannya menangis mendengar kisah hidup Amelia yang tak mudah, dalam hati rasa sesal memenuhi hati mereka karena telah mengatai Amel dengan
sebuatan sedemikian rupa. Mereka benar,-benar tidak tahu kalau Amel awalnya beragama non muslim ia kira Amel memang seorang muslim karena semenjak masuk
sekolah saat pelajaran Pendidikkan Agama Amel memang tidak pernah keluar kelas, ia mengikuti pelajaran tersebut. Dari kisah Amelia banyak teman Citra yang
memulai berani untuk hijrah menjadi lebih baik namun Citra tidak melakukkannya, karena ia merasa kalau ia masih belum siap melakukkannya.
Tanpa di sadari, Allah seringkali menurunkan hidayah untuk hambanya, namun karena hati yang sombong dan keimanan yang kurang ia mengabaikan hidayah yang
telah Allah berikan padanya.
Citra tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia menangis tergugu, "Ya Allah... Ya Allah, ampunilah dosaku, Wahai Dzat yang Maha membolak-balikan hati teguhkanlah
hatiku diatas ketaatan kepadamu," doa Citra penuh harap.
Hidayah tak hanya di tunggu, namun terkadang kitalah yang harus mengejar hidayah itu, memekakkan diri kita pada hidayah yang senantiasa Allah berikan pada
hamba-hambanya. Danang yang sedang membaca Al Quran setelah melaksanakan shalat dhuha di masjid yang ada di kampus Citra menghentikan bacaannya saat mendengar tangis seorang
wanita. Tanpa melihat siapa yang menangis ia tahu kalau kekasih hatinyalah yang kini tengah menangis.
Danang menengadahkan tangannya, "Ya Allah teguhkanlah hati istriku dalam menapaki langkahnya menuju jalan yang Engkau Ridhoi, jadikan ia perhisan terbaikku
di dunia dan di akhirat kelak," segala doa Danang panjatkan untuk Citra, seseorang yang kini telah berhasil menawan hatinya.
"Citra primadona fakultas kedokteran bikin sensasi lagi. Baru beberapa bulan yang lalu dia pake kerudung syari, sekarang dia pake cadar."
"Alhamdulillah, itu berati aku tidak perlu lagi melihat wajah cantiknya, jujur wajahnya itu sangat enak untuk di pandang apalagi saat pake jilbab cantik
banget, benar-benar calon istri idaman."
"Hey, knapa malah ngomongin orang di masjid sih nggak tahu tempat banget, nggak malu sama Allah ngomongin hambanya yang lagi berjalan menuju kebaikan di
rumah-Nya, dapat azab baru tahu rasa kau," ucap pemuda berwajah paling tampan, "inget istri orang tuh yang lagi kalian omongin."
"Sombong nian kau, Dra. Mentang-mentang udah move on dari istrinya dosen Ali. Jadi sekarang bisa ngomong begitu."
Perkataan pemuda yang baru saja membicarakan Citra diabaikan oleh si pemuda berwajah tampan itu, ia sudah khusyuk dalam shalat dhuhanya.
Danang memperhatikan pembicaraan tiga pemuda yang ada di hadapannya, namun sekarang ketiganya sudah khusyuk dalam shalat dhuha mereka.
Bukan hanya kaum hawa yang sekarang senang bergosip ternyata kaum adam pun tak beda jauh. Untung saja pemuda yang di sebut Dra oleh teman-temannya menghentikan
pembicaraan sahabatnya tersebut kalau tidak bisa jadi Danang sendiri yang menghentikan pembicaraan tersebut karena jujur ia tidak suka ada yang membicarakan
istrinya. Danang beranjak dari duduknya, ia berpindah duduk di teras masjid menunggu Citra, pembicaraan dua pemuda tadi masih membuat hatinya terasa panas, ternyata
istrinya memiliki banyak penggemar di kampus.
Danang mendongakkan wajahnya menatap Citra yang sedang kerepotan menggunakan sepatu.
"Kalau pake sepatu duduk saja, biar mudah pakenya," ucap Danang seraya memakaikan sepatu di kaki Citra, bahkan ia sendiri yang mengikat tali sepatu Citra.
Citra tertegun apa yang Danang lakukan padanya sungguh manis, "Mas tidak pulang" Aku kira setelah mengantarku mas langsung pulang."
Danang membelai pucuk kepala Citra, "Mas mau menunggumu sampai selesai."
"Masih lama mas, aku ada satu kelas lagi."
"Tidak apa-apa, aku menunggumu di kantin ."
Citra menganggukkan kepalanya.
"Aku mencintaimu, semangat yah belajarnya," ucap Danang saat Citra sudah hendak pergi menuju fakultasnya.
Citra hanya terkekeh dan melambaikan tangannya kearah Danang. Hari ini suaminya sangat manis... tadi saat Danang membantunya memakaikan sepatu ia merasa
ia tengah menjadi seorang Cinderella dan jelas Danang lah pangerannya.
Terimakasih Ya Allah, Engkau telah mengirimkan jodoh yang begitu baik padaku... sedih yang menyelimuti hatiku tersapu oleh kemanisan sikapnya. Semoga aku
bisa menjadi istri yang baik untuknya. Doa Citra seraya menatap Danang yang membalas lambaian tangannya.
Bersambung..... Lima Belas : Kisah di Balik Kisah (Cinta Aisyah)
Citra sudah duduk manis di atas tempat tidurnya. Semua pekerjaan rumah sudah ia selesaikan, kini saatnya ia menyelami hobi membacanya.
Di atas bantal yang ia pangku ada tiga novel yang belum sempat ia baca dikarenakan ia di sibukkan oleh pekerjaan rumah di tambah tugas kampuspun yang tak
terkira banyaknya. "Baca yang mana dulu yah?" tanya Citra pada dirinya sendiri.
Andai Danang ada di sampingnya Danang pasti akan menertawakan sikap Citra yang jauh sekali dari kata dewasa. Citra benar-benar terlihat seperti anak umur
lima tahun yang kebingungan memilih buku bacaan. Danang pasti dengan semangat akan mencubit pipi dan merangkul bahu Citra seraya berkata, "Yang ini saja
Adek Citra, kalau yang ini tidak bagus gambarnya," dan dengan polosnya Citra akan menuruti pendapat Danang.
"Yang mana yah?" lagi-lagi Citra kebingungan, "apa tanya mas Danang aja" Tapi pasti nanti aku di ketawain sama mas Danang," namun pada akhirnya Citra tetap
menghubungi Danang. "Assalamualaikum sayang. Ada apa?" Dengan lembut Danang mengucapkan salam, sebuah salam yang sarat akan nada kasih sayang.
"Waalaikumsalam, mas lagi apa?"
"Lagi di kantin sama Ali, kamu lagi apa?"
Bukannya menjawab pertanyaan Danang, Citra malah terkekeh geli. Sungguh demi apapun ia merasa kalau ia dan Danang seperti dua anak remaja yang sedang di
mabuk cinta. "Kok malah ketawa?"
"Kenapa" Nggak boleh bukan aku ketawa?"
"Suara tawa kamu buat aku jadi pengen cepet pulang."
Wajah Citra terasa panas, kata-kata yang Danang katakan telah berhasil membuat wajahnya merona.
"Sayang," panggil Danang saat Citra lama tidak menyahuti perkataannya.
"Aku jamin sekarang Citra lagi terbang ke langit gara-gara dengerin gombalanmu yang tiada tara. Jadi biarkan saja sekarang ia terbang sampai ke langit
ke tujuh," celetukkan itu terdengar samar di telinga Citra namun berhasil membuat wajahnya terasa makin panas.
"Nggak usah sirik, Al. Sudah sana telepon Zahra jangan ganggu aku yang lagi dapat teleponan sayang dari istri tercintaku."
"Mas aku tutup yah," ucap Citra saat ia sudah dapat mengkontrol detak jantungnya. Ia jamin kalau sambungan telepon masih di lanjutkan yang ada ia pasti
akan selalu gagal fokus karena mendengar setiap gombalan yang di lontarkan oleh Danang untuknya.
"Kok di tutup sih dek?"
"Aku mau cuci baju dulu," jawab Citra asal.
"Tidak usah cuci baju, biar nanti aku aja yang cuci. Bukannya katamu punggungmu sakit kalau cuci baju pake tangan,"
"Sudah bener kok mas mesin cucinya, tadi jam sepuluhan tukang servicenya datang."
"Alhamdulillah kalau sudah bener. Kamu jangan terlalu cape yah."
"Iya mas, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Citra menepuk kedua belah pipinya berharap tepukkan itu akan membuat wajahnya yang terasa panas akan mereda. Saat ia menepuk-nepuk wajahnya pandangan Citra
tertuju pada buku yang Danang belikan untuknya beberapa minggu yang lalu. Sebuah buku berjudul Rumah Tangga Impian dari judulnya saja sudah membuat Citra
malas membacanya pasti isinya tentang tips membina sebuah rumah tangga. Citra tidak suka bacaan seperti itu tapi tidak tahu kenapa ia malah mengambil buku
tersebut dari rak buku dan menelantarkan tiga novel yang masih setia menunggu untuk di baca. Senyuman menghiasi wajah cantik Citra saat ia mengingat kembali
ekspresi Danang yang terus saja membujuk dirinya untuk membeli buku tersebut.
"Beli yah, dek," bujuk Danang saat mereka sedang berada di toko buku.
"Buat apa?" "Buat di bacalah masa buat bungkus ikan asin."
"Mas mau baca buku itu" Yasudah beli saja kalau mas mau."
"Aku sudah pernah baca."
"Terus buat apa beli" Mas mau baca lagi" Kemarin memang baca dimana?" berondong Citra tanpa jeda sedikitpun.
Danang membelai pucuk kepala Citra dengan penuh kasih sayang, "kalau nanya usahain satu-satu yah sayang."
"Maaf." ucap Citra menyesal. Kenapa ia sampai lupa kalau Danang paling tidak suka kalau di berondong oleh banyak pertanyaan.
"Iya di maafkan, aku dulu baca buku ini di rumah teman isinya sangat bagus untuk di teladani oleh pasangan suami istri. Aku ingin kamu juga baca buku ini."
"Aku nggak suka mas. Sayangkan kalau nanti di beli tapi nggak di baca."
"Makanya kita beli buku ini saja terus nanti kamu baca biar nggak sayang," Danang menaik turunkan alisnya.
"Yasudah." "Dibaca yah." "Iya kalau ada waktu aku baca."
"Kapan ada waktunya?"
"Nggak tahu." "Kok nggak tahu sih?"
"Ih mas Danang," kesal Citra karena Danang terus saja menggodanya.
Citra tersadar dari lamunannya saat ada selembar kertas yang terjatuh dari dalam buku tersebut.
Sayang bacalah hal 189 aku yakin kamu pasti akan suka. Aku ingin kita bisa seperti mereka.
Aku mencintaimu... Suami tampanmu 4 Rajab 1438H Suaminya benar-benar romantis. Citra benar-benar tidak menyangka kalau Danang akan dengan sengaja menandai halaman yang terdapat dalam buku tersebut khusus
untuk dirinya dan Danang menulis notenya tepat satu bulan yang lalu itu berarti setelah membeli buku tersebut Danang langsung menandai halaman yang sekiranya
akan di sukai olehnya. Citra mulai membuka halaman 189, di dalam halaman tersebut tertera bab berjudul Cinta Yang Mengguncang Arsy.
Di malam yang sunyi, di dalam sebuah rumah sederhana ada seorang istri tengah menunggu kepulangan suaminya.
Tak biasanya sang suami pulang larut malam. Sang istri kebingungan. Kemana suaminya pergi" Kenapa belum kunjung pulang" Hari sudah larut dan ia sudah sangat
kelelahan dan mengantuk. Namun, tak terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk segera tidur dan terlelap di tempat tidur ia akan menunggu sampai suaminya
pulang. Dengan setia ia menunggu kepulangan suaminya, meski rasa kantuk mulai ia rasakan dan semakin menjadi-jadi ia tetap berusaha menunggu kepulangan suami tercintanya.
Tak berapa lama kemudian seorang laki-laki yang sangat berwibawa lagi luhur budinya tiba di rumahnya yang sederhana. Laki-laki ini adalah suami dari sang
istri tersebut. Malam ini beliau pulang lebih lambat dari biasanya, kelelahan dan penat sangat terasa. Namun ketika ia akan mengetuk pintu terpikir olehnya Sang istri
yang tengah terlelap tidur. Ia pulang terlalu larut pasti kini istrinya sudah terlelap. Sungguh ia tak ingin membangunkannya. Tidak ingin mengganggu tidur
istrinya. Tanpa pikir panjang, ia tak jadi mengetuk pintu dan seketika itu juga ia menggelar sorbannya di depan pintu dan berbaring diatasnya. Dengan kelembutan
hati yang tak ingin membangunkan istri terkasihnya, Sang suami lebih memilih tidur di luar rumah.. di depan pintu, dengan udara malam yang dingin melilit,
hanya beralaskan selembar sorban tipis.
Penat dan lelah karena beraktifitas seharian, dingin malam yang menggigit tulang ia hadapi karena tak ingin membangunkan istri tercinta.
SubhanAllah... Dan ternyata, di dalam rumah persis di balik pintu tempat sang suami menggelar sorban dan berbaring diatasnya.
Sang istri masih menunggu, hingga terlelap dan bersandar di balik pintu.
Tak terlintas sedikitpun dalam pikirinnya untuk berbaring di tempat tidur, sementara suaminya belum juga pulang.
Namun, karena khawatir rasa kantuknya tak tertahan dan tidak mendengar ketukan pintu Sang suami ketika pulang, ia memutuskan untuk menunggu Sang suami
di depan pintu dari dalam rumahnya.
Malam itu... tanpa saling mengetahui, sepasang suami istri tersebut tertidur berdampingan di kedua sisi pintu rumah mereka yang sederhana... karena kasih
dan rasa hormat terhadap pasangan.
Sang Istri rela mengorbankan diri terlelap di pintu demi kesetiaan serta hormat pada Sang suami dan Sang suami mengorbankan diri tidur di pintu demi rasa
kasih dan kelembutan pada Sang istri.
Dan Nun jauh di langit.... ratusan ribu malaikat pun bertasbih.... menyaksikan kedua sejoli tersebut...
SUBHANALLAH WABIHAMDIH Betapa suci dan mulia rasa cinta kasih yang mereka bina terlukis indah dalam ukiran akhlak yang begitu mempesona... saling mengasihi, saling mencintai,
saling menyayangi dan saling menghormati...
Tahukah kita... siapa mereka.."
Sang suami adalah Muhammad bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dan Sang istri adalah Sayyidatuna Aisyah Radhiyallahu 'anha binti Abu
Bakar As-Sidiq. Merekalah sepasang kekasih teladan, suami istri dambaan, dan merekalah pemimpin para manusia, laki-laki dan perempuan di dunia dan akhirat.
Seketika tangis Citra pecah. Ia seakan-akan tertampar dengan begitu keras oleh cerita yang barusan ia baca. Ingatannya kembali ke kejadian yang terjadi
beberapa hari yang lalu. Sebuah kejadian yang berhasil membuatnya menangis karena kesal pada Danang.
Sore itu ia benar-benar marah pada Danang. Danang berjanji akan pulang lebih awal tapi pada kenyataannya Danang malah pulang sangat malam. Lebih dari empat
jam lebih Citra menunggu kepulangan Danang dan kekesalan Citra semakin memuncak saat ponsel Danang tidak bisa di hubungi.
Akhirnya saat jam sepuluh lebih lima belas menit Danang pulang Citra tidak langsung membukakan pintu untuk Danang meskipun ia sudah berdiri di depan pintu,
ia sengaja membuat Danang menunggu di depan pintu lebih dari satu jam. Dia benar-benar kesal jadi biarlah kini ia melampiaskan rasa kesal itu.
"Sayang, ijinkanlah kekasih halalmu ini masuk, aku tahu kalau kini kamu tengah berdiri di balik pintu," ucapnya dengan nada yang begitu lembut, "maafkan
aku... aku tidak bisa menepati janjiku karena tiba-tiba ada pasien yang harus segera di beri penanganan, aku mohon sayang maafkan aku."
Citra semakin mendekap mulutnya saat isak tangisnya lolos dari mulutnya.
"Sayangku... aku mohon bukalah pintunya, aku membutuhkan pelukanmu," suara Danang semakin tendengar lirih.
Citra masih berdiri mematung di depan pintu, menatap pintu yang menjadi penyekat antara dirinya dan Danang.
Cleck... perlahan pintu terbuka dari luar. Bukan Citra yang membukanya namun Danang.
Danang membuka pintu itu saat ia mendengar tangisan Citra.
"Kenapa mas menungguku untuk membuka pintu, padahal mas memegang kuncinya?" tanya Citra di sela isak tangisnya.
Danang menghapus jarak yang tercipta, dengan lembut ia membawa Citra ke dalam dekapannya, "karena aku ingin kamu yang membukakan pintu itu untukku....
kunci ini hanya akan ku pakai saat kamu mengijinkannya. Andai aku tidak mendengar tangismu aku pasti akan setia menunggumu untuk membuka pintu ini....
maafkan aku sayang. Aku sungguh minta maaf," Danang menenggelamkan wajahnya di pundak Citra, "aku mohon maafkan aku," dan setelah mengatakan kata maaf
Danang menangis tergugu di pundak Citra, hingga Citra merasakan pundaknya basah. Rasa marah yang ia rasakan menguap tak tahu pergi kemana.
"Mas kenapa?" setelah satu tahun lebih berumah tangga inilah tangisan pertama Danang di hadapannya, hal itu membuat Citra kebingungan.
"Salah satu pasienku hari ini meninggal, aku gagal memberinya pertolongan.... dia guruku yang sudah aku anggap seperti ayahku sendiri... dia-," Danang
tidak lagi mampu untuk berkata.
Citra sungguh menyesali apa yang telah ia lakukan. Di saat Danang membutuhkannya ia malah membuat Danang harus berdiri selama satu jam di luar rumah. Dan
penyesalan itu semakin bertambah berkali-kali lipat saat ia telah membaca buku yang Danang berikan untuknya.
Citra menyeka pipinya yang sudah basah oleh air mata. Rasa sesal takut dan gelisah kini memenuhi hatinya. Ia takut akan murka Allah.
Citra bergegas mengambil wudhu, ia ingin bergegas melaksanakan shalat taubat.
Hanya pada Allah-lah tempatnya menyembah.
Hanya pada Allah-lah tempatnya meminta pertolongan.
Dan Hanya pada Allah-lah tempatnya memohon ampunan.
Citra menengadahkan kedua tangannya, berharap Allah Yang Maha Tinggi sudi mengampuni segala dosanya. Semoga ia bukanlah golongan yang kelak akan datang
kepada Allah dengan penyesalan yang tiada tara.
Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara... sebuah tempat yang menjadi penentu bahagia tidaknya kita di alam yang kekal.
Imam Ali kekasih hati sayidinah Fatimah Az Zahra sering menangis di tengah malam seraya berkata, "Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku" Apakah kamu
mengawasiku" Jauh sekali...jauh sekali... Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu
sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat
jauh dan jalannya sangat berbahaya."
?"" Tepat pukul empat lewat dua puluh menit Danang sudah sampai di rumah, berulang kali Danang mengetuk pintu dan mengucapkan salam namun pintu tak kunjung
di buka. Apa mungkin selepas shalat ashar Citra tertidur" Batin Danang. Akhirnya ia membuka pintu dengan kunci yang ia bawa.
Jantung Danang berdetak dengan sangat kencang saat ia mendengar suara tangisan Citra. Apa sesuatu hal yang tidak di inginkan terjadi pada Citra. Tubuh
Danang membeku saat ia melihat Citra sedang menangis tergugu di atas sajadah, dengan langkah pelan ia menghampiri Citra, ia berjongkok tepat di samping
Citra yang kini menenggalamkan wajahnya di balik telapak tangannya.
"Semoga Allah mengabulkan doamu dan mengampuni dosamu," doa Danang tepat di pucuk kepala Citra setelahnya ia mengecup pucuk kepala Citra.
Citra langsung memeluk Danang, tangisnya semakin kencang.
"Apa yang terjadi sayang?" tanya Danang penasaran.
"Aku takut murka Allah.. aku telah melalaikan kewajibanku sebagai seorang istri..."
Danang mengkerutkan keningnya bingung. Citra memenuhi segala kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi kenapa sekarang Citra malah berkata kalau ia telah
melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri"
"Aku sangat menyesal telah membuatmu menunggu selama satu jam di luar rumah dengam sengaja.... aku sungguh menyesal mas."
Kebingungan Danang seketika terjawab. Ternyata Citra masih mengingat kejadian yang terjadi minggu lalu. Demi Allah Danang sudah tidak mempermasalahkan
hal itu. Lagi pula itu bukan seratus persen kesalahan Citra, dia juga salah karena tidak memberi kabar pada Citra.
"Aku sudah memaafkanmu," Danang menyeka air mata yang sudah membanjiri pipi tirus Citra, "Sudah yah jangan nangis. Nanti dedek bayinya ikut nangis gara-gara
uminya nangis," Danang membelai permukaan perut Citra yang sudah mulai membuncit padahal usia kandungan Citra barulah memasuki minggu ke dua belas.
Ya, kini istri cantiknya tengah mengandung calon buah hatinya.
Danang masih ingat saat di mana Citra berulang kali menciumi pipinya, saat itu Danang baru saja hendak terlelap tidur namun kegiatan yang di lakukan Citra
padanya membuat rasa kantuk yang ia rasakan sirna tidak tahu pergi kemana. Ini kali pertama Citra mencium pipinya lebih dari sekali karena biasanya Citra
hanya akan mencium pipinya sekali itupun kalau dia yang meminta namun kini tanpa ia yang meminta istri cantiknya malah terus menciumi pipinya. Apa yang
terjadi pada istri cantiknya" Sebenarnya saat itu Danang ingin langsung bertanya pada Citra sebenarnya apa yang membuat Citra memperlakukan dirinya dengan
sangat manis, namun Danang urungkan niatnya, ia takut kalau pertanyaan yang hendak ia ajukan pada Citra akan membuat Citra menghentikan kegiatannya tersebut.
Kapan lagi bisa dapat ciuman sayang dari sang istri" Saat itu yang Danang lakukan hanyalah memeluk bahu Citra yang sempit.
"Mas Danang kok bangun?" tanya Citra polos.
"Bagaimana aku bisa tidur, kalau sedari tadi kamu terus menciumi pipiku," ucap Danang, ia tak mampu menahan senyumnya saat melihat pipi Citra yang bersemu
merah kala itu. "Maaf yah aku ganggu tidur, mas. Habisnya ini keinginan dedek bayi kalau tidak di turuti takutnya nanti dedek bayinya ileran."
Dedek bayi" Sungguh demi apapun saat itu Danang sungguh merasa bingung saat mendengar Citra mengatakan kata dedek bayi. Dedek bayi siapa yang bakal ileran"
Cukup lama Danang terdiam karena bingung, hingga tanpa di sangka-sangka dengan tiba-tiba Citra membawa telapak tangan Danang ke atas permukaan perutnya
yang datar, hal itu otomotis memecahkan kebingungan yang Danang rasakan.
"Dedek bayi yang ada di dalam sini yang minta uminya untuk ciumi abinya, habisnya seharian ini abi nggak bisa di telepon karena sibuk terus di ruang operasi,
nggak tahu apa umi dan calon buah hati abi kangen sama abi," ucap Citra dengan suara yang sangat pelan.
Sungguh demi apapun saat itu Danang benar-benar merasa sangat bahagia... tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba istri tercintanya mengatakan kalau dirinya
hamil. Itu sungguh membuatnya terkejut sekaligus bahagia.
"Be..bebenarkah kamu hamil, dek?" tanyanya memastikan.
Bukannya menjawab pertanyaan yang Danang ajukan, Citra malah melepaskan pelukkan Danang di tubuhnya, saat itu Citra langsung mengambil selembar kertas
yang di simpannya tepat di atas meja dekat Danang menyimpan ponselnya, "padahal aku sengaja meletakkannya di situ agar mudah di lihat oleh mas, tapi mas
malah mengacuhkannya," ucap Citra, nadanya yang barusan lembut berubah jadi nada sebal.
Saat itu mata Danang langsung terfokus menatap selembar kertas yang kini ada di tangannya, berulang kali ia mengucapkan syukur saat membaca kata positif"
yang ada di selembar kertas tersebut dan setelahnya ia langsung membawa tubuh Citra ke dalam pelukkannya. Berulang kali ia menciumi kening Citra seraya
berkata, "aku sungguh mencintaimu."
"Aku pun mencintaimu, mas." jawab Citra.
Akhirnya setelah menunggu satu tahun lebih... Sesuatu yang tak pernah lepas Danang dan Citra panjatkat kepada Allah Sang Maha Pemilik Kehidupan akhirnya
mengabulkan doa mereka. Semoga calon buah hati mereka bisa menjadi hamba yang mencintai dan di cintai oleh Sang Maha Memberi Cinta.
"Mas benerankan maafin aku?" tanya Citra kepada Danang yang kini malah melamun.


Jodoh Tak Mungkin Tertukar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danang yang tengah membayangkan moment manis yang ia alami dua minggu lalu bersama Citra langsung tersadar dari lamunannya, dengan sayang ia langsung menjawab
pertanyaan yang Citra ajukan, "Iya sayang, untuk apa aku bohong" Pintu maafku selalu terbuka lebar untukmu ya Humairah."
Wajah Citra yang sudah merah karena habis menangis kini bertambah semakin merah saat mendengar Danang memanggilnya dengan sebuatan Humairah... panggilan
sayang Rasulullah kepada sayidinah Aisyah.
Semoga Rumah tangganya bersama Danang bisa seindah rumah tangga Rasulullah.... aamiin.
Enam Belas : Kisah Di Balik Kisah (Panasnya Api Neraka)
Danang tidak bisa menahan senyumnya saat melihat buku-buku yang ada di dalam pelukkan istrinya. Tak ada lagi novel-novel yang bertema romantis, sekarang
yang selalu di beli istrinya adalah buku-buku yang bertema spritual.
"Ini saja yang mau di beli?" tanyanya memastikan. Ia ambil alih buku-buku itu dari tangan Citra.
Citra menganggukkan kepalanya, namun matanya masih melirik ke arah rak buku yang berada di bagian pojok toko buku.
"Mau beli apa lagi, dek?"
Cukup lama Citra terdiam, seakan-akan kini ia sedang menimbang beli tidak- beli tidak"
Dengan penuh kasih sayang Danang membelai perut Citra yang sudah sangat membuncit, bagaimana tidak sangat buncit" Yang Citra kandung sekarang adalah dua
calon mutiara hatinya. Insya Allah sepasang bayi kembar, laki-laki dan prempuan. Itulah hasil pemeriksaan yang di dapatkan saat usia kandungan Citra baru
menginjak bulan ke enam sedangkan sekarang usia kandungan Citra sudah memasuki bulan ke delapan, tinggal menunggu beberapa minggu lagi ia dan Citra akan
resmi menyandang status Abi dan Umi.
"Kalau mereka menginginkannya maka belilah, sayang."
Wajah Citra bersemu merah saat Danang membelai perutnya, apalagi di tambah dengan panggilan sayang makin melambunglah hati Citra di buatnya.
"Aku mau beli buku itu mas," bisik Citra pada Danang, "tapi harganya mahal banget mas," masih berbisik pelan, tangannya melingkar di tangan Danang agar
saat ia berjinjit untuk mencapai telinga Danang tidak kehilangan tumpuan.
"Berapa memang?" tanya Danang penasaran, "tidak sampai jual mobil sama rumahkan, dek?" Ia terkekeh geli saat mendapat delikkan sebal dari Citra.
"Ih mas Danang nyebelin," Citra mencubit pinggang Danang hingga membuat Danang mengaduh kesakitan.
"Kok nyebelin" Aku serius loh nanyanya. Memangnya berapa harganya, sayang?"
"Dua ratus lima puluh ribu mas, mahal banget yah?" jawab Citra, "buku yang ada di tangan mas aja totalnya udah dua ratus lebih kalau di tambah itu jadi
hampir lima ratus dong mas, masa pengeluarkan aku buat beli buku bulan ini hampir setengah juta sih" Boros banget yah mas?" curhat Citra setelah melakukan
perhitungan jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk membeli buku.
"Memangnya buku tentang apa yang mau kamu beli?"
"Empat Wanita Penghuni Surga, jadi bukunya di jual dalam satu paket. Kalau beli persatuan jatuhnya lebih mahal mas, selisihnya hampir seratus ribuan. Jadi
aku pengennya beli yang satu paket aja."
"Yasudah di beli aja dek, biar bulan ini mas aja yang libur beli buku."
Mata Citra berbinar senang, saking senangnya si kembar yang masih berada di dalam perutnya pun sepertinya ikut bersorak senang, itu terbukti dari tendangan
ringan yang ia rasakan. Hingga tanpa sadar membuatnya meringis.
"Kenapa, dek?" tanya Danang khawatir saat melihat Citra meringis kesakitan.
"Si kembar kayanya lagi kesenengan deh mas," jawab Citra seraya berulang kali membelai perutnya dengan penuh kasih sayang.
"Kesenengan" Memangnya apa yang buat mereka senang?" Danang mengerutkan keningnya bingung, tangannya pun ikut membelai perut Citra. Senyuman menghiasi
wajahnya saat ia merakan pergerakkan di perut Citra.
"Mereka senang karena punya abi yang super baik," suara Citra terdengar begitu lirih, tidak tahu kenapa ia merasa ingin menangis" Ingin menangis bukan
karena sedih, namun ia ingin menangis karena rasa haru yang kini meliputi hatinya. Ia sungguh bersyukur mempunyai suami seperti Danang. Allah benar-benar
baik padanya karena telah memberikan nikmat begitu banyak padanya, saking banyaknya hingga ia tak mampu untuk menyebutkan semua nikmat itu satu persatu.
"Alhamdulillah kalau mereka senang. Abi juga senang kalau kalian senang, jangan kenceng-kenceng yah nendangnya kasihan umi kalau kalian nendangnya kekencengan,"
Danang mensejajarkan wajahnya dengan perut Citra, "semoga kalian selalu di beri kesehatan oleh Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan semoga kelak
kalian menjadi anak-anak sholeh-sholehah yang dapat menuntun abi dan umi menuju surga-Nya."
Citra membelai pucuk kepala Danang, "Aamiin Ya Allah."
Hanya kebaikanlah yang mereka harapkan untuk kedua calon buah hati mereka. Berharap mereka akan menjadi anak-anak yang sholeh sholehah yang akan mencintai
Allah dan Rasulnya melebihi cinta mereka pada apapun.
?"" Siang ini setelah melaksanakan shalat dzuhur Citra langsung menyibukkan dirinya untuk menyetrika tumpukan baju yang baru saja kering, mumpung masih sedikit
kalau sudah menumpuk banyak ia jamin ia pasti akan malas mengerjakannya karena jujur bila pekerjaan semakin banyak maka rasa malas yang dirasakanpun akan
semakin besar. Itu godaan setan kata Danang jadi harus di lawan, dan cara terbaik untuk melawannya yaitu janganlah menunda sebuah pekerjaan, kerjakanlah
selagi kamu mampu mengerjakannya. Saking seriusnya membayangkan apa yang dulu pernah Danang katakan padanya saat ia benar-benar tengah di landa oleh rasa
malas yang tiada tara, tanpa sadar Citra malah mengarahkan setrikaan yang ia pegang ke arah tangan kirinya yang tengah memegang ujung kemeja milik Danang,
Citra memekik kaget saat setrikaan itu mengenai tangannya. Berulang kali ia beristigfar saat rasa perih ia rasakan.
Citra memandang tangannya yang memerah karena terkena setrikaan yang panas, seketika air mata menetes membasahi pipinya saat tiba-tiba ia mengingat kisah
Api yang di bawa malaikat Jibril ke bumi untuk keperluan nabi Adam di dunia. Api yang diambil langsung dari neraka..... panasnya api di dunia tak ada apa-apanya
bila di bandingkan dengan panasnya api yang ada di neraka yang di peruntukan untuk orang-orang yang dzalim.
Ketika Nabi Adam AS diturunkan ke bumi, beliau tidak lagi memperoleh makanan secara mudah seperti di surga. Beliau harus bekerja keras untuk memperoleh
buah-buahan atau daging untuk dimakan. Ketika beliau memperoleh binatang buruan dan menyembelihnya, ternyata tidak bisa langsung dimakan begitu saja karena
masih mentah dan tentunya tidak enak. Karena itu beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan api untuk memasak.
Maka Allah SWT mengutus Malaikat Jibril meminta sedikit api kepada Malaikat Malik di neraka, untuk keperluan Nabi Adam tersebut. Malik berkata, "Wahai
Jibril, berapa banyak engkau menginginkan api?""
Jibril berkata, "Aku menginginkan api neraka itu seukuran buah kurma!!"
Malik berkata, "Jika aku memberikan api neraka itu seukuran buah kurma, maka tujuh langit dan seluruh bumi akan hancur meleleh karena panasnya!!"
Jibril berkata, "Kalau begitu berikan saja kepadaku separuh buah kurma saja!!"
Malik berkata lagi, "Jika aku memberikan seperti apa yang engkau inginkan, maka langit tidak akan menurunkan air hujan setetespun, dan semua air di bumi
akan mengering sehingga tidak ada satupun tumbuhan yang hidup!!"
Malaikat Jibril jadi kebingungan, sebanyak apa api neraka yang 'aman' untuk kehidupan di bumi" Karena itu ia berdoa, "Ya Allah, sebanyak apa api neraka
yang harus aku ambil untuk kebutuhan Adam di bumi?"
Allah berfirman, "Ambilkan api dari neraka sebesar zarrah (satuan terkecil, atom)!!"
Maka Jibril meminta api neraka kepada Malik sebesar zarrah dan membawanya ke bumi. Tetapi setibanya di bumi, Jibril merasakan api yang sebesar zarrah itu
masih terlalu panas, maka beliau mencelupkan (membasuhnya) sebanyak tujuh puluh kali ke dalam tujuh puluh sungai yang berbeda. Baru setelah itu beliau
membawanya kepada Nabi Adam, dan meletakkannya di atas gunung yang tinggi.
Tetapi begitu api tersebut diletakkan, gunung tersebut hancur berantakan. Tanah, batuan, besi dan semua saja yang ada di sekitar api itu menjadi bara yang
Tembang Tantangan 20 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Piala Api 4

Cari Blog Ini