A Little White Lie Karya Titish Ak Bagian 1
t.c po lo gs .b do Ocha benci Adit! Meskipun cowok itu idola cewek satu
sekolah, bagi Ocha, Adit nggak lebih dari sekadar
perusak image dan pembawa sial. Sejak kenal Adit,
Ocha berevolusi jadi cewek cengeng, malu-maluin,
suka bohong, dan doyan melet. Pokoknya Ocha benci
Adit. Titik. Tuhan seperti memberikan jalan untuk membalas
dendam ketika tanpa sengaja Ocha menemukan apa
yang bakal dianggap harta karun oleh cewek-cewek di
sekolahnya: nomor handphone Adit, yang katanya
susaaaah banget dicari tahu itu.
Awalnya Ocha berencana menjual informasi
nomor handphone Adit ke teman-temannya. Karena
nggak tega, akhirnya Ocha cuma ngisengin Adit lewat
SMS dengan nama samaran Ayu.
Tapi bukannya sukses balas dendam, Ocha malah
jadi tambah pusing. Soalnya kebohongan kecil yang dia
ciptakan itu menimbulkan masalah-masalah baru.
Misalnya saat Adit ternyata naksir Ayu!
om 10:52 AM ain 4/8/13 st ak 1 pu A LITTLE WHITE LIE.pdf st ak pu t.c om po lo gs .b do ain A LITTLE WHITE LIE Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1 . Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1 . Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2 . Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). 001/I/13 A LITTLE WHITE LIE Oleh: Titish AK GM 312 07.011 ? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29"37, Jakarta 10270
Desain & Ilustrasi: yustisea.satyalim@gmail.com
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI Cetakan keempat: Desember 2007
Cetakan kelima: Mei 2008 Cetakan keenam: Mei 2009 Cetakan ketujuh: Mei 2010
272 hlm; 20 cm ISBN: 978 - 979 - 22 - 2740 - 6
001/I/13 Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
BIG Thanks A 001/I/13 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om SYIIIK" Akhirnya terbit juga novel pertamaku ini.
Novel pertama" Ng" belum tahu juga sih. Makanya
doain aja bisa ada yang kedua, ketiga, de es te, he he
he" Terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT
yang udah nunjukin sayang-Nya ke aku dengan caraNya yang ajaib. Mamah yang selalu ngasih BIG support
meski suka gangguin aku kalau lagi di depan komputer
(Maaf ya, Ma, udah banyak ngecewain). Papah yang
banyak aku tanya-tanyain (Jogja-Klaten naik mobil
berapa menit, Pa" =P). Mz Hohok"si homo sapien
nocturnensis"yang lagi khusyuk dengan ritual tidur
paginya tapi aku bangunin buat jadi orang pertama
yang tahu novelku bakal terbit (berterimakasihlah karena mendapat kehormatan itu!). Dek Tiwi, partner
ngakak dan jambak-jambakan di rumah. Mz Kokok
(nice sleep ya, Mz"). Puchie & Kuchie cs (aku chayank
kalian"). Nggak lupa juga buat Gramedia (makaciiih banget
untuk memilih menerbitkan novel ini!). Mbak Donna
(maaf sering ngerepotin, hehe). Yustisea (for the
cover). Keluarga besar Padmanaba esp. angk. "60 yang
udah berserakan di mana-mana. Terutama yang namanya udah aku pinjem, baik digunakan secara layak
atau nggak, hehe. (Memory is a wonderful thing if
you don"t have to deal with the past). Vitul, Tiara,
Guading Item, Linda, Dee Kong, Qriwil: "Jika seseorang
sedang jatuh, ia bisa menghitung temannya dengan
jari tangan" (thx for just being countable). Angelzt
(Anya di mana"). Pio, Aniex, WoelaNdex, Rieska, Dewi,
Nenex, Inda, Idit, Una, Dudul (thx for being my
motivator). Temen-temen seperjuangan dalam menuntut ilmu (salam kangen buat Mr. Cadaver dan magnetic
stirrer "). Aryo, Diah, Gaw, Tunty, Raras, Mz Wew,
Yu Sri, dan temen-temen blogger yang lain (kopdar
massa yuk!"baca: jumpa fans"huehuehue).
Terakhir, makasih banyak buat temen-temen yang
udah mau baca novel ini. Sori juga buat yang kelupaan
belum disebut. Maaf banget! Aku cuma manusia biasa.
Salam Titish AK 001/I/13 6 SATU S IANG ini kelasku "ketiban rezeki". Jam terakhir adalah jam pelajaran Pak Rudy, guru sejarah yang kalau
belum melihat murid yang duduk di deretan terdepan
basah kuyup akibat "hujan lokal" yang diciptakannya,
nggak akan berhenti bercerita meskipun bel sudah menjerit-jerit tanda kami boleh pulang ke rumah papi-mami
kami. Sayangnya, meskipun kami pulang molor setengah
jam dari jadwal yang seharusnya, mobil jemputan Pia
ternyata datang lebih molor dari kepulangan kami yang
sudah molor itu. Akibatnya, aku dan Pia harus rela kedinginan di halaman sekolah kami tercinta yang memang
rimbun dan banyak angin kalau sudah sore begini.
"Sopirmu lama bener sih, Pi" Bosen juga nih nungguin
gini." "Hari ini mbakku sih yang jemput. Tau nih! Kok
lama banget ya" Bentar, Cha, aku telepon mbakku dulu."
Pia merogoh-rogoh tasnya dan mengambil handphone.
001/I/13 7 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Setelah melihat layar handphone-nya, keningnya sedikit
berkerut. Ia menekan tombol handphone-nya beberapa
kali. Setelah terdiam beberapa saat, Pia cuma menghela
napas panjang. "Kenapa, Pi?" tanyaku penasaran.
"Ah, mbakku nyebelin! Masa dia SMS kalo masih di
rumah sih" Nyebelin banget, kan?" Pia menengok ke
arahku dan pasang tampang memelas, jurus yang biasa
dia keluarkan di saat-saat mendesak seperti ini. Sadar
apa yang dia maksud dengan tatapan mautnya itu, aku
cuma bisa pasrah. "Heh, iya, iya! Aku temenin sampe mbakmu jemput
deh!" "Hehehe?" "Apanya yang hehehe" Dasar!" Sekali lagi kulihat jam
di tangan. Ya ampun, udah jam setengah empat! Rumah Pia di
Klaten. Perjalanan dari Klaten ke Jogja dengan mobil
paling cepet setengah jam. Kalau jam empat baru dari
sekolah, aku sampai di rumah sekitar jam empat seperempat. Terlambat seperempat jam dari jadwal janjian nemenin Mama belanja. Huwaa, pasti diomelin!
Sambil menunggu mobil jemputannya datang, Pia
mengeluarkan sebuah buku dan mulai membacanya dengan serius. Karena penasaran, aku melihat sampulnya
lebih teliti. Buku biologi" Yang bener aja" Besok Senin
memang ulangan pelajaran itu sih! Tapi hari ini kan
nggak ada pelajaran itu" Ngapain Pia sampe bawa-bawa
buku itu di tasnya" Kalau mau belajar juga masih ada
hari Minggu, kan" Ck ck ck, orang pinter memang
suka kurang kerjaan! 001/I/13 8 Aku cuma menggeleng-geleng dan mengalihkan perhatianku ke jalan raya di depan sekolahku. Entah sudah
berapa lama aku begitu, sampai akhirnya Pia bersin dan
membuyarkan lamunanku. "Cha, ke kelas aja yuk! Dingin banget nih di sini!
Nanti kalo udah sampe sini mbakku pasti missed call
kok!" Pia menarik tanganku. Aku sendiri manut-manut
saja mengikutinya masuk kelas. Sesampainya di kelas,
aku langsung duduk di bangku favoritku di dekat jendela.
Kusandarkan kepala di meja dan angin sepoi-sepoi
sukses membuatku mengantuk. Aku melihat ke luar
jendela, pintu-pintu kelas sudah tertutup, lapangan tengah juga sepi. Hiy, ternyata sekolah ngeri juga ya
kalau sudah sore begini. Kurasakan tangan Pia mulai menyenggol-nyenggol
sikuku. "Cha, masa mau bobok sih" Ngobrol aja yuk! Percuma dong aku minta kamu temenin, eh kamunya malah
tidur! Cha" Ocha!! Ih, bobok beneran ya ini anak?"
Aku menoleh ke arah Pia. Kulihat dia juga capek
dan mengantuk, sama seperti aku, jadi kasihan juga
sama dia. "Iya deh! Nih, aku udah melek! Ya udah, ngobrol
apa gih cepetan!" "Ngobrolin apa ya" Nggak tau. Terserah kamu aja
deh. Yang penting ngomong-ngomong gitu. Abisnya kalo
sepi gini bawaannya mikir serem."
"Yee, dasar penakut! Tapi emang sih, di sini kalau sepi serem juga, ya" Jangan-jangan tinggal kita berdua
yang masih di sini" Emang hari ini nggak ada ekskul
ya, Pi?" 001/I/13 9 "Hari Sabtu kan emang nggak ada ekskul! Eh, kok
tiba-tiba hawanya adem gini sih, Cha?"
Benar kata Pia, tiba-tiba angin terasa lebih kencang.
Plus suasana sepi begini, udah berasa main di film horor
beneran. Bulu kuduk asli merinding. Kemudian dari kejauhan, terdengar suara berisik. Aku dan Pia berpandangan dan menajamkan pendengaran masing-masing.
Siiiing" Tiba-tiba suara berisik tadi berhenti. Sepi.
Aku dan Pia masih berpandangan.
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Drrrt" drrrt" drrrt" Bang" bing" bung" yok" Kita
nabung" Drrrt" drrrt" drrrt"
"HUWAAA"!" Kita berdua saling merapat dan menoleh ke sekeliling. Untung Pia nggak minta gendong
sama aku. Kalau iya, wah udah berasa jadi Shaggy
dan Scooby Doo aja. "Apaan tuh, Cha?"
"Tau tuh, tapi kayaknya suara HP deh. Punyamu, kali!"
"Eh, iya ding! Kemarin ringtone-nya habis aku ganti.
Hehe, lupa!" Belum sempat Pia mengambil handphonenya, suara itu sudah berhenti.
"Paling cuma mbakku missed call tuh." Setelah menemukan handphone-nya, Pia cuma mengangguk-angguk.
"Tuh kan bener, mbakku udah dateng nih, Cha! Cabut
yuk! Lagian, keburu kebawa suasana serem kalo kelamaan di sini."
Aku cuma mengangguk-angguk dan mengikuti langkah
Pia dari belakang, melewati lorong-lorong kelas yang
gelap menuju gerbang depan. Tapi kok lama-lama Pia
jalannya cepet juga ya"
"Pi, kok cepet-cepet gitu sih jalannya" Tungguin
dong!" 001/I/13 10 Pia hanya diam dan malah mempercepat langkahnya. Anehnya, tanpa sadar aku juga ikut-ikutan setengah berlari. Begitu sampai di luar dan melihat mobil
kakak Pia, kami berdua langsung berhenti berlari dan
sama-sama menghela napas lega.
"Aduh, Cha, serem juga ya di dalam tadi. Kapok deh
pulang sore-sore jam segini lagi."
"Emang! Aku juga kapok nemenin kamu."
"Iya, iya, sori. Besok aku traktir deh! Makasih ya,
Cha, udah nemenin. Aku pulang dulu. Kamu juga pulang
gih! Ati-ati bawa motornya. Yuk, Cha!"
"Yuk!" Pia berlari menuju mobil kakaknya. Begitu masuk
mobil, dari kejauhan kulihat Pia mengomel-omel ke
arah kakaknya. Sementara mobil mulai melaju, Pia
melambaikan tangan ke arahku dari jendela mobil.
Aku balas melambai dan tersenyum, karena setelah melambai kulihat omelan Pia tadi masih bersambung. Lucu
juga mereka. Setelah kepergian Pia, aku berjalan sendirian menuju
tempat parkir. Ya ampun, di situ tinggal tiga motor.
Yang bebek hitam dengan helm standar hijau itu
punyaku. Yang jenis pitung berwarna merah itu jelas
punya Pak Bedjo, penjaga sekolah. Satunya lagi, bebek
hitam dengan helm standar yang juga berwarna hitam,
nggak tahu tuh punya siapa.
Mereka ke mana ya" Perasaan tadi di dalam sekolah
nggak ada tanda-tanda kehidupan. Aduh, jadi inget yang
serem-serem lagi. Pokoknya sekarang mesti cepet-cepet
cabut dari tempat ini. Nanti keburu benar-benar ketakutan dan diomelin Mama gara-gara pulang telat banget.
001/I/13 11 Aku sudah siap di atas motor dan menghidupkan
mesinnya. Begitu aku starter" Bllupp" bllupp" blupp"
Lho kok" Hiks, jangan sekarang dong! Timing-nya
jelek banget! Mogok kok ya sekarang sih"
Aku coba menstarternya lagi.
Bismillahirrahmanirrahim. Dan"
Bllupp" bllupp" blupp"
Hiks, Mamaaa" Bllupp" bllupp" blupp"bllupp" bllupp" blupp"
Kemudian kustandarkan lagi motorku. Kuperiksa
motorku dari samping kanan dan kiri, dari depan ke
belakang. Ban depan dan ban belakang nggak bocor
kok! (Apa hubungannya yah sama mesin yang nggak
mau nyala") Aduh, aku kan cewek! Nggak ngerti nih
masalah motor kayak gini. Ya udah, telepon rumah aja!
Kuambil handphone di tas dan kuhubungi nomor
telepon rumah dari situ. Begitu aku menempelkannya di
telinga" "Masa berlaku kartu prabayar Anda?"
Aduh, lupa! Masa aktifnya kan hari ini memang udah
abis. Hiks lagi, Mamaaa"!
Aku cuma bisa jongkok di samping motorku, menunduk. Karena rasa suebelll yang tidak tertahankan
lagi, tanpa sadar aku menangis. Rasanya campur aduk.
KUESEEEL! SUEBEEEL! CUAPEEEK! Bingung, mau
nyalahin siapa atas kesialan hari ini. Sebel sama Pia!
Apalagi sama kakaknya! Juga" TAKUUUT! Kalau tibatiba ada penampakan gimana" Konon di sekolahku yang
memang peninggalan Belanda ini suka terlihat noni001/I/13 12 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om noni Belanda jalan-jalan sore. Tiba-tiba aku merasakan
ada tangan lembut yang menyentuh puncak kepalaku.
Panjang umur! Baru aja diomongin, kenapa bener-bener
kejadian" Seumur hidup aku belum pernah melihat halhal gaib. Kalau aku mengangkat kepala, kira-kira sosok
seperti apa ya yang bakal terlihat" Apa memang menyeramkan seperti yang sering aku lihat di TV" Apa wujudnya memang benar noni Belanda" Atau prajurit Belanda"
Sundel bolongkah" Genderuwo" Atau" POCONG?""
Astaghfirullah, kalau yang terakhir ini aku benar-benar
nggak siap mental untuk melihatnya. Lihat di TV aja
nggak berani, apalagi sekarang mesti bertatap muka! Ya
kalo pocongnya punya muka. Kalo nggak" Hiyy".
"Dik" Dik?"
Ya Allah, nggak cuma menyentuh-nyentuh rambutku. Hantunya ini malah pake manggil-manggil segala!
"Dik, kenapa jongkok di sini?"
Hah" Hantunya fasih bener sih ngomong bahasa
manusia. Kayaknya hantu cowok nih, suaranya benerbener kayak cowok. Atau" Jangan-jangan memang
cowok beneran" Begitu aku menengadahkan kepala dengan keberanian
penuh menghadapi segala kemungkinan wujud apa yang
bakal kulihat" Hufh" Alhamdulillah, memang cowok
beneran. "Lho, kok nangis, Dik" Kenapa" Motornya macet?"
"Eh, mmm" Iya, Mas! Kenapa ya?" Segera aku berdiri
dan mengusap air mataku. Cowok itu kemudian memeriksa motorku sementara aku mengamatinya. (Bukan
mengamati motorku, tapi mengamati cowok itu.)
Kayaknya kakak kelas nih, jadi kalau bukan anak
001/I/13 13 kelas XI ya kelas XII. Hmm, manis juga. Jadi malu tadi
ketahuan nangis. Kalau cerita ke Pia, nangis kayak
anak kecil di depan kakak kelas semanis ini, bisa diketawain dia nanti!
"Coba aku starterin yah", katanya"
Aku mengangguk. Bllupp" bllupp" blupp"
"Iya, ya. Kenapa sih" Businya, kali!" Cowok itu turun lagi dari motor dan mengamati motorku lagi.
"Oh" Ini nih, ketemu penyebabnya! Coba, ya?" Setelah mengutak-atik bagian depan motorku, sekali lagi
ia menstarter motorku. Bllupp" bllupp" greeeng" greengg" greeeng"
"Nah, tuh kan bisa?" Ia tersenyum manis ke arahku.
Melihat mesin motorku sudah berhasil dinyalakan, aku
refleks bertepuk tangan, tindakan yang konyol juga sih
kalau dipikir-pikir. "Sini, Dik!" Aku mendekat ke arahnya. "Penyebabnya ini nih! Cuma lupa nurunin keran
bensinnya aja kok. Kalo kerannya ketutup kayak tadi
emang nggak bisa nyala mesinnya. Jadi harus dibuka
kayak gini." Cowok itu menunjukkan apa yang namanya
keran bensin itu dan bagaimana seharusnya posisinya
agar mesin motor mau menyala. Aku cuma menganggukangguk. Awas, Mas Ardhi nanti! Kenapa nggak memberiku ilmu yang cukup tentang permotoran. Dia nggak
pernah ngasih tahu aku bahwa motor ternyata ada kerannya segala. Jadinya kalo macet begini, aku kan nggak
bisa apa-apa. "Ya udah, motornya udah beres, kan" Jangan nangis
001/I/13 14 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om lagi!" Lagi-lagi aku cuma mengangguk. Cowok itu
kemudian berjalan ke arah motor hitam yang diparkir
di dekat motor Pak Bedjo tadi. Rupanya bebek hitam
dengan helm hitam tadi kepunyaan cowok itu. Cowok
itu kemudian pergi dengan motornya. Ya ampun, aku
baru menyadari sesuatu. "Maaas" Makasiiiih!!!" Cowok itu rupanya mendengar ucapan terima kasihku karena kulihat dia mengacungkan jempolnya ke arahku.
Hmmm" Mas tadi namanya siapa ya" Manis juga,
baik banget pula! Ah, besok-besok di sekolah pasti ketemu lagi. Aku segera menghidupkan mesin motorku
dengan mudahnya. Butuh waktu kira-kira lima belas
menit untuk sampai ke rumah dari sekolah. Kemungkinan diomeli Mama juga sudah siap aku hadapi. Hmm,
besok cerita ke Pia ah" I"ve finally found someone, Pi!
001/I/13 15 DUA S ETELAH menyelidiki berhari-hari, akhirnya aku tahu
juga nama cowok baik yang sudah membantuku di tempat parkir sekolah tempo hari. Mas Bintang, anak kelas
XII. Keren kan namanya" Anak basket, lagi! Sayangnya sesudah kejadian itu nggak ada perkembangan
sama sekali tuh. Setiap ketemu di sekolah, menyapanya
aja aku nggak berani. Habisnya Mas Bintang sepertinya
nggak inget sama sekali kalau pernah menolongku.
Hiks" Kan impossible kalau tiba-tiba aku menyapanya
kayak orang sok kenal gitu. Jadi langkah terakhir
yang aku ambil supaya bisa kenal dia lebih lanjut
cuma lewat SMS. Nomor handphone-nya aku dapat
dari Pia. Jangan heran, koneksi kakak kelas Pia memang cukup banyak.
Siang ini, hari Jumat sepulang sekolah, aku dan Pia
nongkrong di kantin sekolah. Rencananya kami mau
nonton anak-anak tanding basket lawan anak kelas
XI. Kata Pia, kalau anak kelas X tanding lawan anak
001/I/13 16 kelas XI, biasanya yang jadi wasit anak kelas XII.
Alias ada kemungkinan Mas Bintang juga nongol di
pertandingan nanti sore. Jadi, waktu diajak Pia menonton pertandingan ini, aku sih hore-hore aja.
Saat ini di sebelahku Pia asyik dengan mi ayamnya.
Sementara aku yang sudah menghabiskan nasi teriku,
tengah asyik menyedot-nyedot es teh hasil patungan
kami berdua. "Woi, itu es teh patungan, tau! Jangan diabisin sendiri dong! Enak aja!!"
Waktu melihat es teh yang aku sedot-sedot sedari
tadi itu, aku baru tersadar es teh itu tinggal tersisa seperempatnya.
"He he, sori, Pi! Abisnya kamu lama banget makannya!
Entar pertandingannya keburu mulai nih! Beneran kan
ada orangnya" Awas kalo nggak ada! Udah nunggu
nyampe sore gini, entar mubazir, lagi!"
"Orangnya" Siapa" Mas Bintang?"
"Ssttt" Jangan keras-keras! Entar kalo orangnya
ada di sekitar sini gimana" Malu, tau!" kataku pelan
pada Pia sambil menengok ke kanan-kiri, takut orang
yang dimaksud ada di situ.
"Iya, iya, sori! Abisnya kamu udah sepanjang tahun ini
ngomonginnya itu-itu mulu sih, Cha! Mas Bintang tadi
malem SMS gini, Pi! Mas Bintang kemarin gitu, Pi! Bosen!"
"Sepanjang tahun" Ngawur! Tahu orangnya aja baru
sebulanan ini kok!" "Emang gimana perkembangannya tuh kamu sama
Mas Bintang" Atau Mas Bintang sama siapa" Mita"
Kamu kalo SMS-an masih pake nama samaran itu, Cha"
Mita" Kamu dapet dari mana sih nama itu" Kan nama001/I/13 17 mu Rosayuvita" Yang nyambung mah kamu pake
nama Vita! Kok nggak pake nama itu aja?"
"Kalo pake nama Vita, entar ketahuan, lagi!"
"Kalo gitu, aku ganti pertanyaannya. Kok kamu nggak
pake nama aslimu aja" Ocha! Tujuanmu SMS dia kan
biar bisa kenal, Cha! Kamu emang jadi kenal dia. Tapi
dia kan nggak kenal kamu. Yang dia kenal cuma kamu
yang palsu. Mita! Kok mesti pake nama samaran segala
sih?" "Nggak berani," jawabku singkat.
"Kalo gitu kamu pengecut."
Hah" Pengecut" Bener juga sih" Tapi kok Pia tega
bilang aku begitu" Aku cuma diam, nggak berani membalas kata-kata Pia barusan.
"Cha" Kok diem" Sori" Marah ya, aku bilang gitu
barusan?" Pia menghentikan makannya dan mendekat
ke arahku. "Nggak sih. Bener kok, aku pengecut!"
"Mmm" Gini lho, Cha! Aku cuma heran, yang kamu
harapkan dari SMS-an pake nama samaran gitu tuh
apa" Kan nggak mungkin Mas Bintang tiba-tiba cinta
sama Ocha, kalo yang dia SMS selama ini Mita."
Cinta" Ngawur!! "Kamu kok nganggepnya serius gitu sih" Tahu sendiri
kan aku cuma pengin kenal Mas Bintang gara-gara dia
nolongin aku. Tapi kalo aku sampe cinta sama dia,
nggak lah! Orang naksir aja kayaknya nggak kok!
Mungkin... cuma agak suka dikit aja." Kayaknya"
Mungkin" Kok aku sendiri juga nggak yakin ya"
"Cuma agak suka dikit aja?" tanya Pia lagi. Aku mengangguk sok yakin.
001/I/13 18
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian Pia memandangiku dengan serius. Aku yang
nggak biasa dipandangi Pia seperti itu jadi salah tingkah.
Aku berusaha menghindari pandangannya yang menghakimi itu dengan pura-pura asyik memencet-mencet
satu jerawat di hidungku yang memang baru ranumranumnya. Pia menghela napas kemudian melanjutkan
makan. Selagi makan, ia juga masih melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.
"Terus, Mas Bintang tahunya kamu anak mana"
Kamu ngaku kalo anak sekolah sini juga atau?"
"Ngakunya anak SMA Teladan!"
"Oh, jadi ceritanya kamu Mita, anak SMA Teladan.
Bukan Ocha, anak SMA Teratai. Begitu?"
Aku mengangguk lagi. "Kalo Mas Bintang sendiri ngakunya nama asli atau
nama samaran juga?" Pia masih saja bertanya.
"Nama asli," jawabku singkat.
"Bener-bener polos."
Aku cuma tertawa kecil mendengar komentar Pia
tersebut. "Dia nggak bingung, Cha, tiba-tiba kamu SMS gitu?"
"Ya biasalah, Pi. Ceritanya aku asal mencet nomor
gitu?" "Dan dia percaya?"
"Mmm" iya. Kami SMS-an biasa aja kok. Nggak
ada tanda-tanda dia curiga atau apa."
Pia menggeleng-geleng dan menggumam pelan.
"Terserah deh! Cowok bego ketemu cewek bego."
"Ih, kok gitu sih, Pi! Kan udah aku bilang, ini cuma
SMS-an! Cuma main-main! Nggak usah dibawa serius
gitu dong!" 001/I/13 19 "Ya udahlah, kalo nggak serius. Aku cuma takut
kamu kecewa, Cha. Soalnya feeling-ku bilang ini nggak
bakal berhasil. Apalagi caramu udah pake boongboong segala."
Ngeri juga melihat Pia yang biasanya doyan bercanda, ngomong serius seperti tadi. Tapi aku ngerti
kok, dia seperti itu karena khawatir aja sama aku.
"Iya, iya. Udah deh, Pi. Ganti topik aja ya" Oh ya,
kamu sendiri gimana" Nggak pernah cerita soal cowok,
siapa kek gitu." Kulihat Pia sudah selesai makan. Raut mukanya yang
tadi serius tiba-tiba cerah lagi begitu aku mengangkat
topik yang satu ini. "Nggak pernah cerita gimana" Bukannya aku suka
cerita tiap hari?" "Hah" Siapa" Paling cowok yang suka kamu ceritain
cuma anak kelas sebelah yang katamu kecengan barengbareng itu. Siapa namanya aja aku lupa, nama pasaran
sih! Nggak gampang diinget."
"Adit. Ya emang itu yang aku maksud."
"Nah, iya! Adit kan nama pasaran banget tuh!"
"Jahat banget sih!"
"Lho, emang iya kok! Saking pasarannya, tiap kelas
pasti ada deh yang namanya Adit."
"Ngawur! Kelas kita aja nggak ada kok!"
Eh, iya juga ya. "Ya udah, tiap angkatan deh! Kelas
XI sama XII pasti ada yang namanya Adit, kan?" Sebenernya aku juga nggak yakin sih.
"Mmm... Iya sih. Anak XI-5 ada yang namanya
Adit. Kelas XII IPA berapa itu malah ada dua Adit di
satu kelas." 001/I/13 20 Lucky me! Ternyata memang banyak yang namanya
Adit di sini. "Tuh kan... Di sekolah kita minimal udah
ada empat Adit yang kamu tahu. Kalo rata-rata tiap sekolah juga ada empat, udah ada berapa orang tuh yang
namanya Adit di Indonesia. Belum di sinetron-sinetron,
di novel-novel juga. Pokoknya, Adit itu nama pasaran
banget!" "Udah dong, Cha! Kamu kok malah bahas masalah
nggak penting gini sih?"
Aku cuma meringis. "Oh ya, Pi, katamu kecengan
bareng-bareng, kan" Emang sekarang jadi serius, ya"
Kamu jadi naksir beneran?"
"Nggak sih! Cuma buat lucu-lucuan aja kok bareng
anak-anak. Pertamanya Tari tuh yang ngecengin. Terus
Dyah, Wulan, Tiara juga. Lama-lama aku jadi ngikut
deh! Eh, kamu ikut kita aja, Cha, ngecengin dia barengbareng. Daripada sama Mas Bintang mentok gitu."
"Ogah ah, masa ngecengin orang ikut-ikutan gitu"
Males banget! Nggak kreatif! Lagian orangnya yang
mana aja aku nggak tau!"
"Jadi kamu belum tahu Adit juga" Aneh, kita ke
mana-mana bareng tapi waktu aku sama anak-anak
lagi ngecengin Adit, kamunya pasti nggak ada."
"Iya. Nggak jodoh, kali!"
"Ah, entar juga pasti kamu tau. Dia pasti turun main
kok. Kan dia basketnya jago. Entar deh, aku kasih tau
orangnya yang mana. Kamu pasti juga kesengsem, Cha!
He he he?" Pia mulai menyenggol-nyenggol bahuku
dan mengedipkan matanya. Ya ampun, sejak kapan
Pia jadi kecentilan kayak gini. Jangan-jangan"
"Eh, jangan-jangan kamu ngajakin aku nonton cuma
buat temen ngecengin Adit, ya?"
001/I/13 21 "Emang iya!" "Huu, dasar! Pake berkedok di balik nama Mas Bintang, lagi!"
"He he" ketahuan, ya" Tapi emang denger-denger
Mas Bintang kok yang jadi wasit. Kan sekalian, Cha!
Aku untung, kamu juga nggak rugi. Win-win solution.
Simbiosis mutualisme gitu?"
Dasar Pia! Aku ucel-ucel aja ini anak.
Pia menghabiskan tetes terakhir es teh kami berdua
kemudian berkata, "Udah yuk, Cha, ke lapangan. Kayaknya udah mulai deh?"
"Yuk?" *** Lapangan basket sore itu cukup terik. Jam segini sih
pertandingan harusnya sudah dimulai, tapi belum ada
tanda-tanda mau dimulai tuh. Biasalah ngaret. Buseeet"
Banyak juga ya yang nonton. Pertandingan intern antarangkatan gini, kukira yang minat nonton nggak banyakbanyak amat.
"Cha, di sana aja deh. Nggak panas." Pia berlari melintasi lapangan basket, aku mengikutinya dari belakang
dan duduk bersila di sisi barat lapangan, mengambil
tempat di sebelah Pia. Selain nggak panas, daerah ini
rupanya memang khusus ditempati suporter kelas X. Di
sebelah Pia sudah ada Tari and the gang. Agak di sebelah sana lagi, anak kelas sebelah rame-rame niat banget nonton sampe bawa pom-pom segala. Aku sendiri
cuma celingak-celinguk, mencari seseorang.
"Kok nggak ada, Pi" Mana orangnya?"
001/I/13 22 "Siapa" Adit" Tenang aja, ntar juga main kok! Paling
juga baru siap-siap."
"Bukan! Wasitnya?"
"Oh" Tau deh! Pertandingannya aja belum mulai
kok! Bentar lagi, kali!"
Nggak lama kemudian segerombolan cowok khas anak
basket mulai muncul. Rata-rata berperawakan tinggi dan
kerempeng plus aksesori khas seperti ikat kepala atau
handband, juga kostum wajib berupa baju basket lengkap dengan sepatunya. Begitu datang, ada yang cuma
duduk-duduk di pinggir, ada juga yang langsung latihan nge-shoot. Pertandingan sore ini pertandingan antar
angkatan. Jadi tiap tim merupakan tim all-stars dari
masing-masing angkatan, gabungan dari beberapa kelas
paralel. Dari tim angkatanku, hanya dua orang yang
merupakan teman sekelasku, Didit dan Yoga. Sisanya
dari kelas lain yang aku kenal sebatas tahu namanya.
Setelah itu, datang juga dua cowok anak kelas XII
yang nggak aku tahu namanya tetapi seingatku biasa
bareng sama Mas Bintang. Satu orang di antaranya terlihat membawa peluit. Kalau dilihat dari lagaknya sih,
mereka ini wasitnya. Lho, kok bukan Mas Bintang"
"Pi, kok?" Aku menepuk-nepuk punggung Pia dan
menunjuk ke arah depan. Pia yang baru asyik mengobrol
dengan Tari mengikuti arah telunjukku dan menyadari
apa yang kumaksud. Dia mendekat ke arahku dan
mengaitkan lengannya ke lenganku.
"Duh, sori, Cha! Kayaknya aku salah denger info nih.
Tapi kamu jangan pulang ya, pleaseeee" Paling Mas
Bintang tetep nonton kok!"
"Huu... pantesan dari tadi perasaanku nggak enak,
001/I/13 23 jerawatku gatel-gatel mulu gitu. Bener kan feeling-ku,
bakal kejadian kayak gini." Aku memasang tampang
cemberut. Tapi Pia tahu aku cuma pura-pura ngambek.
"Maap deh..." Kudengar gerombolan cewek di sebelah Pia tiba-tiba
sedikit ribut. Aku heran apa yang mereka ributkan. Kulihat Tari menarik tangan Pia untuk mendekat dan Tari
membisikkan sesuatu di telinga Pia. Pia kemudian melihat ke depan dan tersenyum. Aku jadi semakin heran
dan ikut melihat ke depan, tetapi tetap saja nggak mengerti apa yang sedang mereka ributkan. Aku mencolekcolek lengan Pia penasaran.
"Apa sih, Pi?" Pia menoleh dan berbisik di telingaku. "Itu lho, Cha,
yang namanya Adit, yang barusan dateng." Pia menunjuk
ke arah seberang lapangan, ke arah segerombolan cowok
yang baru duduk dan melihat ke arah tengah lapangan. Mereka cuma melihat teman-teman satu timnya
latihan nge-shoot. Begitu banyak cowok di situ, aku
nggak tahu mana yang Pia maksud.
"Yang mana?" "Itu, yang pake handband putih."
Hampir semua cowok di situ memakai handband.
Tetapi memang cuma ada satu yang memakai handband
warna putih. Cowok itu mengambil sebotol air mineral
di sampingnya dan meminumnya.
"Yang lagi minum?"
"Nah, iya! Finally, Cha! Kamu tahu juga yang namanya
Adit. Gimana?" Kuperhatikan tampang cowok itu. Yaaa" lumayan
juga! Sebenarnya lebih dari lumayan sih! Tapi kalau
001/I/13 24 aku jujur ke Pia, bisa-bisa dia menyombongkan "penemuan"-nya itu.
"Biasa aja tuh!"
"Duh, kayak gitu kok biasa! Sok berselera tinggi aja
kamu! Padahal demennya cuma setipe Mas Bintang
gitu. Tampang macem Mas Bintang mah banyak, Cha!
Pasaran! Di terminal juga banyak!"
"Ngawur! Kayak situ pernah maen ke terminal aja!
Jangan salah, Pi! Muka boleh pasaran, tapi berhati
malaikat." Aku tersenyum.
"Duile" Yang baru ditolong sekali aja! Tapi bener
kok, Cha! Mendingan ini ke mana-mana daripada
Mas Bintang. Jauh! Gimana" Tertarik bergabung dengan kami?" Lagak Pia udah seperti orang iklan asuransi aja. Mau nggak mau aku tersenyum.
"Bergabung apa?"
"Ngecengin Adit bareng-bareng gitu! Berminat" Welcome to the club! Ntar aku bilangin Tari deh!"
Aku bertambah geli melihat tingkah sobatku yang
satu ini. "Emang Tari ketua klub kalian, ya" Mau gabung
mesti daftar dulu" Iuran per bulannya berapa nih?"
"Nggak lucu!" Kali ini Pia yang pura-pura ngambek.
Aku memang paling senang menggoda Pia.
"Abisnya, kalian tuh konyol, tau!"
"Konyol gimana?"
"Tadi aja orangnya dateng, kalian langsung bisikbisik dan ribut gitu. Aku nggak mau kayak kalian ah.
Malu! Ntar rusak sudah image-ku sebagai cewek cool."
Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk dada.
Pia geli juga melihat tingkahku. "Cewek cool" Terserah
deh." 001/I/13 25 Aku melihat ke arah Adit lagi lebih teliti. Temanteman satu timnya yang tadi duduk bersamanya sudah ke
tengah lapangan untuk berlatih. Cowok itu masih asyik
duduk di sana sendirian, cuma menonton. Tampangnya begitu serius menonton teman-temannya berlatih.
"Lagian liat deh, Pi! Kalian nggak salah pilih apa ngecengin anak kayak gitu" Cakep sih cakep, tapi perasaan
orangnya sok deh!" "Tadi katanya cuma biasa, sekarang kok jadi cakep?"
Ha ha, aku tertawa dalam hati. Akhirnya kecolongan
juga. Aku nggak menanggapi pertanyaan Pia. Aku cuma
tersenyum tipis. "Bukan sok! Itu namanya cool. Justru di situ tuh kelebihannya Adit. Kamu bilang begitu soalnya belum
liat dia main basket sih" Ntar deh, Cha! Jago banget
lho dia basketnya! Cowok cakep, jago basket, cool,
lagi! Wah, tipeku banget tuh!"
"Tipenya Tari, Dyah, sama anak-anak yang lain juga?"
"Bukannya cewek emang paling suka cowok cool"
Kamunya aja yang aneh, Cha!"
"Kan aku udah bilang, kayak gitu bukan cool, tapi
sok! Nggak banget deh aku suka sama cowok sok!"
"Cool!" "Sok!" "Cool!" "Sok cool!" PRIIITTT"! PRIIITTT...!
"Heh, terserah deh! Udah mau mulai tuh!" Aku tersenyum senang karena menang dari perdebatan singkat
dengan Pia. Wasit sudah meniup peluit tanda pertandingan akan
001/I/13 26 dimulai. Kulihat di tim angkatanku ada Didit dan Yoga
dari kelasku, Yudha dan Surya dari kelas akselerasi,
dan terakhir ya Adit tadi, dari kelas X-2. Sementara
anak-anak yang lain pasrah menunggu sebagai pemain
cadangan. Sedangkan dari tim kelas XI, kelima-limanya
nggak aku kenal, tapi setahuku semuanya anggota
tim basket sekolah. Melihat materi pemain masingmasing tim, aku sih nggak begitu optimis angkatanku
bakalan menang. Syukur-syukur bisa menang dan mempermalukan tim senior, kalau kalah juga paling semua
bakal maklum. Namanya juga lebih junior.
Di tengah lapangan sudah ada wasit dan dua pemain
yang siap untuk jump ball. Sementara pemain yang lain
sudah siap di posisi masing-masing. Posisi dudukku
saat ini rupanya tempat PW (Posisi Wuenak) juga.
Nggak panas atau silau dan aku bebas melihat ring
masing-masing tim tanpa terhalang apa pun. Ring
sebelah kiriku adalah ring tim angkatanku. Jadi mereka menyerang ke ring sebelah kananku.
PRIIITTT"! Wasit melempar bola ke udara. Rupanya tim angkatanku kalah tinggi dan cekatan sehingga kalah adu jump
ball. Bola bergerak ke kiri. Mungkin karena lebih berpengalaman, tim lawan lebih terkoordinasi dengan baik.
Dengan mudahnya, dua poin mereka peroleh dalam
menit-menit awal. Bola dilempar lagi. Kali ini bola bergerak ke kanan dan sekarang ada di tangan Adit yang
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nggak begitu jauh dari ring. Bola dilempar ke ring
dan" GAGAL! Terdengar teriakan kecewa di sekelilingku.
Termasuk Pia dan kroni-kroninya. Bahkan nggak sedikit
cewek kelas XI yang ikut berteriak kecewa. Masa me001/I/13 27 reka malah jagoin Adit juga sih" Jagoin angkatan mereka sendiri kek! Aneh!
"Katamu Adit jago, Pi?" kataku sambil menyenggol
lengan Pia. Pia hanya tersenyum kecut tanpa berkata
apa-apa. Selama lima menit berikutnya bola cukup banyak bergerak ke kanan tapi tim angkatanku baru mencetak dua
poin sumbangan dari Didit. Sementara itu tim lawan
sudah cukup banyak mengantongi angka, delapan poin.
Kemampuan tim lawan menurutku biasa-biasa saja. Yah,
rata-rata lah. Kalo dilihat per individu, sebenarnya kemampuan Didit dan Adit menurutku lebih unggul daripada kemampuan tim lawan. Mereka lebih aktif bermain
dibanding tim lawan dan pemain lain. Tapi ya itu tadi,
koordinasi yang lebih matang antar-pemain tim lawan
lebih bagus daripada tim angkatanku sehingga membuat
tim kami cukup jauh tertinggal.
Baru saja tercetak dua poin lagi dari tembakan kelima
yang masuk ke ring sebelah kiri. Begitu dilempar, bola
kembali bergerak ke kanan. Bola ditangkap Yudha yang
melemparnya ke arah Adit. Adit menangkapnya dan
berusaha melemparnya ke arah Didit yang sudah siap di
bawah ring. Tapi rupanya usaha ini mendapat halangan
cukup berat dari salah satu pemain tim kelas XI yang
lumayan gendut dan mencoba merebut bola. Adit bertahan dan mencoba mencari celah sementara si Gendut
mencoba maju menghadang. Dan" foul. Wasit menyatakan free throw untuk Adit.
Adit mengambil posisi di depan ring dan pemain
lain berjaga di sisi kanan dan kiri lapangan. Wasit
melempar bola ke arah Adit dari daerah sekitar bawah
001/I/13 28 ring, sementara cewek-cewek di sekelilingku berteriak
menyemangati. Ada yang tak lupa memakai senjata
andalan mereka, pom-pom. Ada juga yang cuma berteriak-teriak memanggil namanya. Termasuk Pia. Bego,
kalau kalian ribut kayak gitu malah bikin nggak konsen, tau! Paling juga entar gagal.
Bola dilempar dan" Bener kan, gagal! Huh, apanya
yang jago" Emang sih kalau aku lihat, Adit main cukup aktif. Tapi kalo tiap nge-shoot mandul terus gitu
sih sama aja bohong. Masih ada kesempatan kedua. Bola dilempar lagi oleh
wasit ke arah Adit. Anak-anak masih ribut menyemangati. Adit berdiri cukup lama sambil mengamati
ring sampai akhirnya melompat sedikit untuk melempar bola. Kali ini masuk. Anak-anak bertambah ribut.
Sementara para pemain kembali bergerak, Pia menoleh
ke arahku dan berkata"
"Tuh kan, Cha, jago!"
"Ya ampun, cuma satu poin, juga!"
Begitu aku melihat lagi ke arah lapangan. Adit yang
berada cukup jauh dari ring mendapat bola dan melemparkannya ke arah ring. Masuk. Wah, timing-nya
jelek banget nih! Baru aja aku ejek kok malah jadi
jago gini sih" Three point, lagi! Pasti gantian diejek
Pia nih. Begitu aku menengok ke arah Pia, tuh kan
bener! Itu anak langsung girang dan pamer senyum
kemenangan ke arahku. "Yee, three point sekarang!"
Aku cuma bisa membalas, "Dari tadi kek!"
Begitu berhasil mencetak tembakan three point, entah
kenapa Adit jadi seperti mendapat suntikan kekuatan
001/I/13 29 baru. Tim lawan berkali-kali menambah angka tetapi
selanjutnya tim angkatanku dengan mudah mendekati
angka mereka. Meskipun Didit juga turut menyumbang
angka, penyumbang angka terbanyak memang Adit.
Hmmm" bener juga sih kata Pia, ini anak jago juga
main basketnya. Sekarang skor tim kami tidak begitu
tertinggal jauh. Beberapa tembakan lagi, tim kami bisa
unggul dengan mudah. Apalagi masih ada babak kedua,
masih banyak waktu untuk mengejar ketinggalan. Aku
yang tadinya pasrah dengan hasil pertandingan sore ini,
jadi nggak sepesimis tadi melihat permainan tim angkatanku. Tadi sempet sebel sih waktu tahu Mas Bintang
urung jadi wasit, tapi jadi lupa gara-gara asyik nonton
basket yang seru ini. Oh ya, jadi inget lagi sama Mas Bintang! Dia beneran nggak ada ya" Masa dateng buat nonton aja
nggak sih" Aku celingak-celinguk mencari sosok Mas Bintang yang
mungkin saja ada di antara para penonton ini.
"Awaaaas"!"
BUGHHH" God, waktu seakan berhenti saat itu juga. Dunia serasa
berhenti berputar atau malah berputar lebih cepat" Aku
cuma bengong dan masih belum sadar apa yang terjadi.
Kulihat wajah Pia tampak khawatir melihatku.
"Kamu nggak apa-apa, Cha?"
Lho, memangnya aku kenapa" Lama-lama aku merasakan kepalaku pusing dan mukaku terasa agak panas.
Oh, aku baru menyadari aku barusan kena bola basket.
But totally, I"m fine. Aku nggak pingsan kok. Aku malah
dengan jelas bisa melihat beberapa orang mulai men001/I/13 30 dekat ke arahku. Kutengadahkan kepala, beberapa pemain bahkan ikut mendekatiku. Tepat di atasku aku
melihat Adit, rupanya dia yang melempar bola dan membuatku kliyeng-kliyeng seperti ini. Kulihat dia menatapku dengan cemas, aku sendiri cuma balas melihatnya.
Dengan masih setengah sadar, aku mendengar dia
berkata. Berkata dengan volume tinggi, alias marahmarah tepatnya. Marah-marah kepada-KU! LHO"
"Heh, gimana sih kok bisa kena bolaku" Liat ke mana"
Nggak liat pertandingannya, ya" Kami udah capek-capek
main, kamu malah matanya meleng liat ke mana-mana.
Nggak respek banget sih sama kita-kita yang lagi tanding!"
Lho" Nggak salah nih" Kok malah marah-marah sih"
Minta maaf kek karena udah ngenain muka pake bola
segede itu! Ya Allah, kenapa tiba-tiba hidungku terasa
perih" Bukan ding, nggak cuma perih, tapi periiiih bangeeett! Apa hidungku berdarah"
Aku meraba hidungku dan baru menyadari kalo" Oh
God, hidungku nggak berdarah sih, tapi lebih buruk
dari itu, ini bener-bener bencana! Begitu menyadari apa
yang terjadi, rasa perih di hidungku semakin menjadijadi. Dan kudengar Adit masih berkaok-kaok di atas
kepalaku. Entah apa yang dia katakan, aku nggak begitu
mendengarnya lagi. Aku cuma bisa merasakan sakit
di hidungku yang menurutku sakit paling perih yang
pernah aku rasakan seumur hidupku. Udah pusing,
muka jadi panas, dimarah-marahin, JERAWATKU PECAH pula! Bener-bener udah nggak ada lagi keadilan
di dunia ini! Aku udah nggak tahan lagi, rasanya campur aduk!
MARAAAH, SUEBELL, PERIIIH campur jadi satu.
001/I/13 31 Tanpa sadar air mataku mengalir, dan waktu aku menengadah kulihat Adit berhenti menggonggong begitu
melihatku menangis. Aku menoleh ke arah Pia, kulihat
dia juga kaget sekaligus cemas.
"Cha?" Pia menarik tanganku begitu melihatku berdiri.
Aku menepisnya dan cuma berkata"
"Aku mau pulang." Aku berlari melintasi lapangan
basket yang memang pertandingannya dihentikan sementara karena "Tragedi Bola Adit" barusan. Sepertinya semua mata memandang ke arahku. Terserah mereka mau
bilang apa. Kudengar di belakangku suara Pia memanggil
dan mengejarku. Dan suara Adit yang samar-samar berteriak "Sori". Tapi itu pun kalau aku nggak salah dengar. Kalaupun benar dia bilang sori, nggak segampang itu lah yaw aku bisa maafin dia setelah apa yang
dia lakukan kepadaku barusan.
Bukannya pergi ke tempat parkir dan pulang, tanpa
sadar aku berlari ke arah perpustakaan atas. Aku berlari
begitu cepat dan kulihat Pia nggak berhasil mengejarku.
Begitu menaiki tangga dan sampai di perpustakaan atas,
aku menuju pojok balkon yang agak tersembunyi. Hufh,
tempat ini memang tempat paling enak buat sendirian.
Aku duduk dan menghela napas. Kemudian air mataku
menetes lagi. Ini sudah kesekian kalinya aku ke sini
kalau lagi kepingin sendiri. Tapi kalau menangis di tempat ini ya baru sekali ini.
Aku membuka tasku dan mencari-cari tisu. Begitu
kutemukan, aku mengambil dua lembar tisu. Satu untuk
mengeringkan air mataku, satu lagi untuk membersihkan
jerawatku tentu saja. Aku juga mengecek handphone-ku
dan meski sudah menduganya, aku masih kaget juga
001/I/13 32 melihat di layar ada enam missed call dan dua SMS
masuk. Siapa lagi kalau bukan dari Pia" "Kamu nggak
apa-apa, Cha?" dan "Kamu di mana sih?" Aku hanya
tersenyum membacanya. Lapangan basket memang cukup jauh dari perpustakaan ini. Tapi suara dari sana masih terdengar dan kudengar cukup riuh. Mungkin pertandingan sudah dimulai
lagi. Hufh, barangkali aku yang nangis tadi cuma dianggap intermezo. Buktinya, pertandingan sama sekali
nggak terganggu dengan kelakuanku tadi. Kalau dipikirpikir lagi, kelakuanku barusan kekanak-kanakan banget
ya" Udah SMA masih suka nangis, habis itu ngabur
pula! Jangan-jangan besok aku jadi bahan gosip" Apa
aku besok bakal jadi bahan ketawaan satu sekolah, ya"
Waduh, kenapa baru kepikiran sekarang" Kenapa sebelum nangis tadi aku nggak mikir dulu akibatnya" Aku
merenung lagi untuk beberapa lama. Kudengarkan lagi
suara dari arah lapangan basket. Masih ramai. Air mataku juga sudah kering. Ya udah deh, turun sekarang aja,
kepingin pulang, mumpung masih pada sibuk nonton di
lapangan. Dengan langkah pelan, aku menuruni tangga menuju
tempat parkir yang nggak begitu jauh dari perpustakaan. Aku berjingkat-jingkat, melihat sekeliling dan mengawasi keadaan bak detektif. Sepi. Di tempat parkir
juga sepi, Pia juga nggak kelihatan. Bagus deh, bisa
pulang dengan tenang. Aku mengambil motor dan
pergi tanpa hambatan. Seperti biasa, aku pulang melewati jalan di samping
sekolah tempat lapangan basket berada. Begitu lewat di
sana, aku memperlambat laju motor dan menoleh
001/I/13 33 sampai akhirnya motor aku hentikan juga di pinggir
jalan. Meski agak jauh karena terhalang lapangan
badminton, aku bisa cukup jelas melihat ke arah lapangan basket yang hanya dipagari jeruji besi. Masih
dari motor, aku memerhatikan lapangan basket.
Bener kan, pertandingan sudah dimulai lagi. Dan sepertinya ini sudah babak kedua. Kucari sosok Pia dari
jauh, nggak ada. Kulihat papan skor: 15-28. Hah"
Nggak salah tuh" Kuperhatikan lagi jalannya pertandingan. Saat itu
Adit sedang melempar bola ke arah ring dengan lesu.
Dan tentu saja hasilnya gagal. Begitu melihat mukanya,
rasa kesalku muncul lagi. Aku menggumam pelan,
"Cowok bego!" Sesudah itu kustarter motorku lagi.
Aku pergi dan tanpa sadar air mataku mengalir lagi.
* * * "Assalamu"alaikum." Tidak terdengar jawaban.
KRIEEETT" Aku membuka pintu garasi. Kosong. Mobil Papa
nggak ada. Mobil Mama dan motor ninja Mas Ardhi
juga nggak ada di situ. Malah bagus deh kalo nggak
ada orang di rumah. Malu juga kalo mereka melihat
mukaku yang lagi ancur ini.
Aku memasukkan motor ke garasi dan masuk
rumah. Ya ampun, sepi! Beneran nggak ada yang di
rumah ya" Tapi masa Mbak Sri juga pergi" Kalo iya,
nggak mungkin rumah nggak dikunci. Aku masuk
lagi ke ruang tengah. Oalah, rupanya pembantu keluargaku itu asyik nonton TV. Begitu menyadari kedatanganku, Mbak Sri menoleh dan tersipu malu.
001/I/13 34 "Nggak apa-apa, Mbak! Nonton aja lagi! Ocha temenin
nih!" Aku malah duduk di sebelah Mbak Sri dan meletakkan tas di sebelahku. Kupandangi layar kaca dan ikut
asyik mengikuti drama Korea yang ditonton Mbak Sri.
"Pada ke mana, Mbak" Kok sepi begini?"
"Bapak memang belum pulang dari tadi pagi, Mbak.
Mas Ardhi tadi pamitnya mau ngenet gratis di kampus.
Kalo Ibu tadi nanyain Mbak Ocha terus, katanya mau
diajak ke rumah Eyang gitu."
Waduh, aku memang belum pamit kalau tadi mau
ada acara nonton basket segala. Ajakan dadakan dari
Pia sih. "Mbak Ocha kok jam segini juga baru pulang" Saya
di rumah jadi nggak enak sendirian, nggak ada yang
nemenin." "Tadi nonton basket dulu. Oh ya, kalo maem pake
apa nih, Mbak" Laper!"
"Oh, itu di dapur ada soto sama ayam goreng. Mau
saya ambilin?" "Mmm" Boleh deh! Sekalian bikinin susu anget ya"
Agak nggak enak badan nih."
"Oh, Mbak Ocha baru nggak enak badan" Pantesan
mukanya kucel gitu. Saya kira malah abis nangis!"
GLEKK! Masih kelihatan banget ya"
"Ng" Nggak kok! Ya udah, Mbak, Ocha mandi dulu.
Ntar tolong makanan sama susunya bawain ke atas ya?"
"Iya, Mbak!" Aku mengambil tasku dan menentengnya menuju
kamarku di lantai atas. BRUUKK!! Begitu sampai di kamar dan membuka pintu, aku
langsung melempar tasku. Tas biruku itu mendarat dengan
001/I/13 35 tidak selamat di atas meja belajar. Beberapa buku dan
satu buah foto jatuh mencium lantai. Ugh, ntar aja deh
beresinnya!! Toh kayaknya frame-nya nggak pecah.
Dan, BRUUKK!! Lagi. Kali ini aku yang mendarat di
kasur empuk biru mudaku. Untungnya kali ini dengan
selamat. Aku berbaring telentang di kasur dan terpantul-pantul sekian detik sampai akhirnya kasur itu berhenti memantul-mantul. Aku menatap langit-langit kamar dan mulai merenungi apa yang terjadi padaku
hari ini. * * * Wuah" Setelah mandi pake air hangat, makan kenyang,
dan minum susu buatan Mbak Sri, perasaanku jauh
lebih enak daripada tadi sore, apalagi ditambah selimutan
kayak gini. Sekarang udah jam sembilan malam, lampu
kamar udah aku matikan, buku-buku dan baju buat
besok juga udah aku siapkan. Yup! Aku memang udah
siap-siap mau bobok. Sambil tiduran kayak begini, jadi
kepikiran juga apa ya yang bakal terjadi besok. Mereka
mau ngomongin apa aja juga bodo amat.
Yang paling aku khawatirkan justru bagaimana aku
mesti bersikap kalo ketemu si Adit yang nyebelin itu.
Takutnya begitu melihat mukanya yang sok itu di sekolah
besok, aku nggak bisa menahan diri buat nggak njambak
rambutnya, nyakar mukanya, atau minimal nyubit.
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arghh" Sabar, Cha! Tadi katanya perasaannya udah
mendingan, kok sekarang jadi kesel gini lagi" Huh, abisnya emang nyebelin banget sih itu anak! Mana aku
juga sempet muji, lagi, cakep terus jago basket! Huh,
nyesel! Aku tarik lagi deh kata-kataku! Oh, Pia, sadar001/I/13 36 lah kau, Nak! Semoga Tuhan segera memberimu jalan
terang, Pi! Cowok nggak ada bagus-bagusnya begitu
kok ya pada dikecengin sih" Heran"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to
be had" Drrrt" drrrt" drrrt" But over do it" And
end up in the rehab" Drrrt" drrrt" drrrt"
Yup, tul! Cowok nyebelin kayak gitu dimasukin ke
rehab aja! Lho kok" Oh, ringtone, ya" Ada SMS masuk
nih. Pia, ya" Mungkin aja dia masih khawatir tentang
keadaanku. Kuambil handphone yang biasa aku taruh
di meja di pinggir tempat tidurku. Begitu membaca
nama pengirimnya, aku langsung tersenyum senang.
-BiNtAngCLiiNg2Mlm, Mit! Gi ngapa nih" Dah bo2 y" Ngobrol
yok! Gi BT nih" He he, gara-gara mikirin kejadian tadi sore jadi lupa
ada Mas Bintang. Asyik, diajak ngobrol" Tadi sempet
rada ngantuk, jadi nggak lagi deh!
Mlm jg! Gi tduran s. Lm bo2 kq. Yok" Gi BT"
Sama! Mang BT knapa"
Aneh juga ya aku. Orang lagi BT malah disamasama-in. Tapi emang aku juga lagi BT kok" Kok bisa
bareng gini ya BT-nya" Udah sehati, kali! He he he"
Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to
be had" Kali ini Arkarna baru menyanyi setengah kalimat lagu
Rehab, aku udah meraih handphone-ku. Cepet juga
ya Mas Bintang balesnya"
001/I/13 37 -BiNtAngCLiiNg2Byasa d, gi brantem gt ma ce-ku. Km ndiri napa
kq BT" WHAT?" CEWEKKU" Mas Bintang punya cewek" Kok
aku nggak tahu" Bukan berarti aku harus tahu sih, tapi
dia nggak pernah menyinggung-nyinggung masalah ini
kok di SMS. Kenapa tiba-tiba dia ngomongin ini"
Padahal selama ini aku ngarepin" Emang apa yang
aku arepin" Aku" God, perasaanku bener-bener kacau.
Refleks, aku mematikan HP dan meletakkannya jauhjauh dariku. Entah untuk keberapa kalinya untuk hari
ini, air mataku mulai menetes lagi.
Kemudian aku menyadari satu hal. Memangnya apa
yang aku tangisin" Bukannya baru tadi siang aku bilang
ke Pia bahwa aku cuma main-main dan nggak serius.
Kenapa aku mesti nangis kalau aku CUMA AGAK SUKA
DIKIT AJA sama Mas Bintang. Kalau aku nangis, apa
berarti perasaanku sebenernya lebih dari itu" Apa mungkin sebenarnya aku naksir Mas Bintang" Atau malah
cinta" Ha ha, nggak penting ngeributin apa tepatnya
perasaanku ke Mas Bintang sekarang. Toh dia udah
punya cewek. Meskipun lagi berantem, namanya juga
pacaran, bentar lagi juga pasti baikan lagi.
Tiba-tiba aku merasa konyol. Bener kata Pia, SMSku selama sebulan ini"dengan nama palsu, lagi"
bener-bener nggak ada gunanya, pengecut, dan ya itu
tadi, konyol. Ya Allah, kenapa hari ini bener-bener
jadi hari sial buat aku" Kenapa hari ini aku mesti
terlalu banyak nangis" Aku capek nangis terus. WHY
ME?" Why" zzzz"
001/I/13 38 TIGA T OK... TOK... TOK... Dengan berat aku membuka mataku.
"Cha" Ocha!!"
Siapa sih yang manggil-manggil"
Tok" Tok" Tok"
Aku bangun terduduk di tempat tidur. Begitu bangun
kepalaku terasa pusing, leherku juga terasa sedikit kaku.
Mungkin salah posisi tidur.
"Cha" Ocha!! Kok tumben pintunya dikunci, Sayang?"
Mama" "Iya, Ma!" aku berteriak menjawab panggilan Mama
yang berada di balik pintu.
"Udah jam setengah lima! Kok kamu belum bangun?"
"Iya, Ma! Ini udah mau bangun kok!"
"Ya udah, cepetan! Papa, Mas Ardhi, sama Mbak Sri
udah nungguin di bawah."
"Ma, ditinggal aja deh! Ntar Ocha salat sendirian
aja!" 001/I/13 39 "Lho, kok gitu?"
"Lagi males turun! Nggak enak badan nih, Ma! Agak
pusing!" "Nggak enak badan" Tapi kamu nggak apa-apa kan,
Cha" Kamu mau istirahat di rumah" Biar Papa nanti
nulis surat izin buat kamu."
"Nggak usah, Ocha mau sekolah kok! Cuma agak
pusing aja, Ma!" "Ya udah, nanti kalo mau sarapan turun, ya" Kalo
pusingnya masih, minta obat sama Mbak Sri."
"Beres, Ma!" Kudengar suara langkah kaki menjauh. Aku cuma
menghela napas. Begitu melangkah turun dari tempat
tidur, aku merasa sedikit limbung dan jatuh terduduk
di tepi tempat tidur. Aku menunduk memandangi lantai.
Waduh, ini kenapa ya" Kirain aku cuma agak nggak
enak badan, kenapa jadi kayak gini" Apa aku sakit
parah" Beberapa langkah di sisi kanan tempat tidurku ada
cermin berukuran cukup besar, yang saat ini tepat berada di depanku. Aku mendongak menatap cermin dan
untuk sekian detik aku hanya terbengong-bengong
melihat bayanganku di cermin. Aku berdiri dan berjalan
mendekat ke cermin. Kemudian mundur lagi sampai
terantuk tempat tidur dan jatuh terduduk lagi. Ya
ampun, dari jarak beberapa langkah begini saja mataku
masih terlihat jelas bengkaknya. Kok mataku bisa
bengkak begini sih" Memangnya apa yang terjadi kemarin"
Aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Rasanya seperti
menonton film yang adegannya berkelebat cepat. Aku
001/I/13 40 cuma bisa meringis. Baru ingat, kemarin aku sedang
sial, ditambah lagi tadi malam aku patah hati. Mataku
mulai terasa panas, kepingin nangis lagi. Tapi" NGGAK
BOLEH!! Bukan Ocha namanya kalo cuma gara-gara
masalah gini mau mewek lagi. CUMA" Ha ha ha"
Betul! Aku kan CUMA patah hati. Hiks"
Aku segera turun dari tempat tidur dan mengusap air
mataku yang hampir turun lagi. Aku berjalan menuju
kamar mandi yang berada di sudut kamar untuk mengambil air wudu. Sebelum berwudu aku sengaja berlamalama mencuci muka, khususnya bagian mata. Belekbelek mata aku hilangkan sampai bersih sambil berharap
mataku nggak begitu terlihat bengkak lagi. Sesudah berwudu, aku mengambil mukena. Sebelum salat, aku
sempat berkaca. Hiks, cuci muka tadi sama sekali
nggak menolong. Mataku tetap bengkak.
Sesudah salat aku berdoa. Doaku hanya satu, semoga
aku kuat menghadapi apa yang terjadi padaku seharian
kemarin. Masih ada hari-hari panjang yang mesti aku
lalui. Masih ada Pia, Adit, Mas Bintang, dan tentu saja
seluruh penghuni sekolah yang harus kuhadapi hari ini.
Banyak yang mesti kulakukan pagi ini. Aku nggak boleh
menghindar kalau berpapasan dengan Mas Bintang.
Nanti malah dia heran, terus ketahuan lagi bahwa
Mita itu aku. Aku juga harus siap menebalkan telinga
kalau anak-anak masih berkomentar tentang "Tragedi
Bola Adit" kemarin. Aku juga mesti menemui Pia.
Aku takut dia salah paham. Sesudah peristiwa kemarin
di lapangan basket, aku belum ngasih kabar lagi ke
dia. Dengan cara ngaburku yang kekanak-kanakan
kemarin, ada kemungkinan Pia mengira aku marah
001/I/13 41 ke dia. Padahal dia kan nggak salah sama sekali. Yang
melempar bola kan Adit, yang udah marah-marah
dan bikin jengkel aku juga si sok itu. Oh ya, satu lagi
yang harus aku lakukan adalah aku mesti menahan
diri kalo ketemu Adit. Kalau dia masih nyinggungnyinggung masalah kemarin dan bikin aku jengkel
lagi, awas aja ya! Nggak bakal selamet dia nyampe
rumah! Tok" Tok" Tok"
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.
"Ya?" "Mbak Ocha, sarapan udah siap. Sama Ibu disuruh
turun." "Ya, bentar lagi, Mbak!"
Kudengarkan lagi langkah-langkah kaki menjauh. Aku
melipat mukenaku. Kemudian aku baru sadar, kalau
harus turun sekarang pasti ketahuan banget aku habis
nangis. Mesti bilang apa ke orang rumah"
"Mbak! Mbak Sri!" Rupanya Mbak Sri masih belum
begitu jauh berjalan karena kudengar langkah-langkah
kaki mulai mendekat lagi.
"Ya, Mbak?" "Mmm, bilang ke Mama sarapannya nggak usah ditunggu. Terus Mbak Sri bawain sarapannya ke atas aja,
ya?" "Ya, Mbak! Tapi kalo Ibu nanyain gimana?"
"Anu, bilang aja Ocha baru mau mandi. Ng, rencananya mandinya mau lama banget. Terus" Terus ada
ulangan tapi belum belajar. Gitu ya, Mbak Sri! Oh ya,
sama bawain segelas air putih anget, ya?"
"Ya, Mbak Ocha!"
001/I/13 42 Aku menunggu beberapa lama, kemudian membuka
pintu kamar dan melongok keluar. Setelah yakin Mbak
Sri sudah turun, aku berjalan pelan-pelan kemudian
ikut turun juga. Begitu sampai di bawah, kupasang telinga baik-baik, kudengar suara-suara dari ruang makan.
Untung mereka sedang asyik sarapan di sana. Secepat
kilat, aku berlari menuju kotak P3K di dekat kamar
mandi. Kuambil sebotol cairan pembersih mata dan
kapas dari sana. Setelah menutup kotak itu, masih dengan secepat kilat aku menuju tangga. Baru sampai
setengah tangga, aku mendengar suara di belakangku.
"Lho, Cha, kata Mbak Sri kamu baru mau mandi"
Jadinya mau sarapan di bawah?"
Itu suara Mama. Aku menjawab pertanyaan Mama
tapi sama sekali nggak berani menoleh. Barang-barang
yang ada di tanganku pun sengaja aku sembunyikan.
"Anu, Ma, ke bawah mau ambil obat bentar, kan tadi
Ocha bilang agak pusing. Ng, ya udah, Ma, masih mau
belajar buat ulangan nih!" Aku kemudian berlari lagi
menuju kamarku. Begitu sampai di kamar aku langsung menutup pintu. Tapi sengaja tidak aku kunci, biar
nanti Mbak Sri bisa membawa sarapanku ke dalam kamar.
Aku menuju kamar mandi. Begitu selesai mandi, di
meja belajar sudah kudapati sarapanku, lengkap dengan
susu cokelat dan air putih hangat yang tadi kuminta.
Setelah itu, dengan secepat kilat, aku berganti pakaian
seragam dan sarapan. Nah, sudah saatnya" Aku mengeluarkan alat perangku
yang tadi aku ambil dari kotak P3K. Kemudian berbekal
alat perangku tadi, ditambah segelas air hangat dari
Mbak Sri, aku duduk di depan kaca. Pertama kukompres
001/I/13 43 mataku dengan kapas pembersih yang aku basahi air
hangat. Sambil memejamkan mata, kutepuk-tepuk mataku dengan lembut beberapa kali. Setelah itu aku keringkan mataku dengan handuk kering.
Sekarang kutuangkan cairan pembersih mata ke dalam
eyebath. Kemudian aku menunduk, dan masih dalam
keadaan mata terbuka, kucelupkan mata kananku ke
dalamnya. Kukerjap-kerjapkan beberapa kali sebelum
akhirnya aku angkat lagi mataku dari cairan itu. Sesudah
menutup mata beberapa saat, kubersihkan sisa cairan
yang masih ada dengan tisu bersih. Begitu juga dengan
mata kiriku. Aku melihat bayanganku di cermin. Yah,
mendingan lah daripada tadi.
Kutolehkan kepala untuk melihat jam dinding yang
ada di dekat meja belajar. Ya ampun, udah jam setengah
tujuh! Kubereskan peralatan perangku tadi dan kusimpan sementara di meja rias. Kuambil tas di meja belajar, kusisir rambut panjangku dan kuikat rapi. Sebelum meninggalkan kamar, aku mengambil kacamata
hitam dari laci meja rias. Kuusap-usap lagi mataku di
depan cermin. Kemudian aku memakai kacamata hitam
dan tersenyum. Tapi kemudian aku lepaskan lagi dan
aku kantongi di saku. Cuma buat jaga-jaga kok.
Aku keluar dari kamar sambil membawa sebaki alat
makan sarapanku. Begitu aku sampai di ujung bawah
tangga, kudengarkan lagi keadaan rumah baik-baik.
Sepi. Baguslah! Kuletakkan bekas sarapanku di dapur.
Dari arah ruang makan, kudengar suara seseorang
menuju dapur. "Baru mau berangkat, Mbak Ocha" Yang lain udah
berangkat semua lho!"
001/I/13 44 Refleks aku mengambil kacamata hitam dan memakainya sebelum menoleh. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Wealah, tumben, Mbak, pake kacamata ke sekolah!
Kayak orang bintitan aja!"
"Hush, ngawur! Ini" Kacamata kayak gini tuh lagi
ngetren, Mbak! Jadi Ocha pake ke sekolah."
"Oh, gitu!" "Iya! Mmm" Ya udah, Ocha berangkat dulu ya, Mbak!
Assalamu"alaikum."
"Wa"alaikumsalam."
Aku menuju garasi dan mengeluarkan sepeda motor.
Sebelum menstarter motor, aku mengantongi kacamataku
lagi, karena toh aku memakai helm standar. Sepanjang
perjalanan menuju sekolah aku tersenyum. Aku sudah
siap menghadapi apa pun yang akan terjadi di sana.
Here I come... *** Begitu sampai di tempat parkir sekolahku, kulihat keadaan cukup sepi. Aku melepaskan helm dan turun dari
motor. Sebelum menuju kelas aku menyempatkan diri
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
becermin di kaca spion. Baru kusadari bahwa aku
berada dalam masalah. Masuk ke kelas dalam keadaan
seperti ini" Nggak mungkin! Mataku memang terlihat
lebih mendingan daripada waktu aku bangun tidur
tadi, tapi tetap masih kelihatan habis menangis. Kalau
aku pake kacamata" Lebih nggak mungkin lagi! Bener
kata Mbak Sri tadi, pake kacamata hitam begini sampe
ke dalam kelas mah bener-bener bisa dikirain baru
bintitan. 001/I/13 45 Aku masih menimbang-nimbang langkah apa yang
bakal kuambil ketika sebuah panggilan mengagetkanku
dari jauh. "Ocha!! Ocha!!" Pia" Dengan gelagapan aku memakai
kacamata hitamku yang tadi ada di saku. Pia berlari ke
arahku masih komplet dengan tas sekolahnya. Begitu
dia sampai di dekatku, aku menoleh dan tersenyum.
"Cha, gimana" Kamu nggak apa-apa" Sore kemaren
kamu terus ke mana sih" Aku dari tadi nungguin kamu
dateng lho! Kok jam segini baru dateng sih" Kirain
kamu nggak masuk sekolah!" Pia melontarkan pertanyaan
dan pernyataan bertubi-tubi sampai akhirnya menyadari
keberadaan kacamataku yang di luar kebiasaan.
"Weh, gaya nih, Cha?"
Aku masih tersenyum. Tapi Pia rupanya menyadari
bahwa senyumku bukan senyum tulus. Dia mendekat
dan berusaha melepas kacamataku. Aku yang nggak
siap, cuma bisa pasrah melihat kacamataku berhasil
dirampas. Senyum palsuku mengendur.
"Ya ampun, Cha! Kamu nangis sampe berapa jam sih?"
"Ketahuan banget ya, Pi, kalo aku abis nangis?"
"Ya iyalah! Matamu bengkak banget gitu!"
"Yang bener" Terus gimana dong, Pi" Aku masih
bingung nih, masuk ke kelas mau pake kacamata apa
nggak ya?" "Hah" Mata segede bola golf gitu kamu masih berani
ke kelas" Nggak boleh! Pokoknya, mau nggak mau kamu
mesti bolos sekolah hari ini. Ini juga demi kebaikanmu
kok, Cha! Nggak mungkin banget kamu bisa ke kelas
dalam keadaan kayak gini. Aku temenin deh bolosnya!
Oke?" 001/I/13 46 "Tapi" ntar kan ada ulangan Bu Puji" Masa mau
bolos, Pi?" "Aaah, gampang! Ntar kita kan bisa susulan bareng!
Iya, kan?" "Mmm" iya, deh! Tapi kita mau ke mana" Males, Pi,
kalo bolos ke mal! Lagian, jam segini emang udah buka?"
"Mau bolos ke mal" Emangnya kamu mau kita
diciduk satpam?" "Kalo gitu, kita ke mana dong" Ke rumahku jelas
nggak mungkin. Nggak enak kalo ditanya-tanyain Mbak
Sri. Ntar dia lapor, lagi, ke ortuku! Ke rumahmu juga
nggak mungkin! Jadi ke mana?"
"Kenapa ke rumahku nggak mungkin" Iya, Cha, kita
ke rumahku aja! Orang rumah nggak ada semua kok!
Pembantu-pembantuku juga nggak mungkin nanya-nanya
segala kenapa aku nggak masuk sekolah!"
"Gila aja" Di Klaten" Jauh banget! Bensin mahal sekarang, jangan diboros-borosin!"
"Alaah, ntar aku ganti deh ongkos bensinnya! Oke?"
"Bukannya gitu, Pi! Masalahnya, capek juga naik
motor sampe sana! Emang kamu mau boncengin aku
sampe sana?" "Kalo aku bisa sih, mau-mau aja, Cha! Udah deh,
cabut aja sekarang! Mumpung belum jam tujuh, gerbang
belum ditutup." "Ya udah deh! Buruan gih, naik!"
*** Meski tinggal jauh dari rumah Pia, aku terbilang cukup
sering datang ke rumahnya. Dia kan sahabatku" Meski001/I/13 47 pun begitu, setiap datang ke rumahnya aku tetap nggak
bisa menahan diri buat nggak melongo sebentar di
depannya. Rumah Pia memang bisa dibilang cukup mewah. Apalagi untuk ukuran kawasan Jogja yang orangorangnya sederhana, rumah lengkap dengan kolam renang masih bisa dihitung dengan jari. Ya termasuk rumah Pia ini. Ditambah lagi dengan luasnya yang nggak
ketulungan. Sumpah, rumah Pia itu guedhe buanget.
Nggak heran sih, denger-denger keluarga Pia ini memang masih kerabat dekat Keraton Solo. Dari namanya
saja udah kelihatan, Raden Rara Deviana Octavia,
putri bungsu Raden Mas Harsono Gondo Soedarmo.
Terlihat juga sih dari rumahnya, kental dengan arsitektur Jawa, lengkap dengan pendoponya.
"Mau di mana, Cha" Di kamarku?"
"Terserah." "Yu" Yu Nem! Bawain minum dua sama camilan
ke atas, ya?" Dari kejauhan terdengar suara menjawab, "Ya, Ndoro
Putri!" Kemudian aku berjalan di belakang Pia, mengikutinya
menaiki tangga kayu yang terkesan kuno ke lantai
atas menuju kamarnya. CEKLEK" Hmmm" Dari dulu aku memang suka banget sama
kamar Pia. Luasnya hampir empat kali luas kamarku.
Karena kamar Pia ada di pojok, jendela-lendela lebar
ada di dua sisi kamar sehingga penerangannya benarbenar bagus. Sesudah melepaskan sepatu dan menaruhnya di pojok kamar, aku berjalan mendekati pintu yang
menghubungkan kamar Pia dengan balkon. Nah" Ini
001/I/13 48 yang paling aku suka. Pemandangan dari balkon Pia
langsung tertuju ke arah kolam renang yang asri di bawah. Hawanya adem.
"Pi, di balkon sini aja, ya?"
"Oke!" Aku duduk di bangku dan tak lama kemudian Pia
juga ikut duduk di sebelahku. Dia sudah berganti
pakaian rupanya. Rambutnya yang sebahu juga sudah
dikucir ekor kuda. "Kamu ganti baju juga nggak, Cha" Aku pinjemin
punyaku." "Nggak usah. Pake seragam gini juga enak kok."
Kemudian pintu kamar Pia diketuk dan Yu Nem,
salah satu pembantu keluarga Pia di antara entah berapa
pembantu yang mereka miliki, masuk. Yu Nem membawa sebaki camilan dan dua gelas minuman kemudian
menaruhnya di meja yang berada di antara aku dan Pia.
"Silakan, Non!"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Makasih."
Sesudah Yu Nem pergi dan pintu ditutup kembali,
aku meminum seteguk es sirop yang disediakan. Sementara Pia menjulurkan kepala mendekat ke arahku.
"Mau cerita, nggak" Mungkin gara-gara bola kemaren
itu kamu kesel, tapi kayaknya nggak mungkin kan
dampak nangisnya bisa bikin matamu segede itu" Ada
apa?" "Iya sih. Aku kesel kemaren, terus nangis. Gara-gara
Adit jelek kecengan kalian tuh! Tapi malemnya nangis
lagi gara-gara masalah lain."
"Masalah apa?" "Mas Bintang." 001/I/13 49 "Kenapa dia?" "Udah punya cewek."
Aku menoleh dan menunggu reaksi Pia. Tapi dia cuma
meminum es siropnya dengan santai dan berkata, "Jadi
bener ya?" Tentu saja aku kaget dengan reaksinya itu.
"Maksudmu?" "Aku sih udah tau, Cha. Tapi baru-baru ini aja sih."
"Kok nggak bilang?" Tanpa sadar, aku jadi sedikit
emosi. "Sabar! Gini, aku pernah liat dia sama cewek di Gramedia. Aku nggak pernah liat orangnya sebelum itu,
kayaknya sih anak sekolah lain. Tapi biasa aja kok,
nggak mesra-mesra banget. Jadi aku nggak langsung
nge-judge itu ceweknya. Kali aja itu saudara atau temennya gitu. Lagian kemaren kamu bilang cuma agak suka
dikit aja, kan" Ya udah, aku ngerasa nggak perlu cerita
ke kamu! Tapi kalo kamu cuma agak suka dikit aja, kenapa kamu nangis sampe kayak gitu, Cha?"
"Nah itu, aku juga bingung. Tau deh, Pi! Topik peka
nih! Ganti topik aja, ya" Pleaseee?"
Pia cuma mengangkat bahu lagi. Kemudian dia sepertinya teringat pertandingan basket kemarin.
"Oh ya, kemaren sore kamu terus ke mana, Cha"
Masih di sekolah, kan" Tapi kok aku cariin nggak ada?"
"Rahasia. Tapi emang masih di sekolah kok."
"Alaaah" pake rahasia-rahasiaan, paling juga ngumpet
buat nangis. Tapi kok di semua toilet ta" cariin juga
nggak ada?" "Ngawur! Aturan mana tuh nangis mesti di toilet?"
"Ya terus di mana dong?"
"Pokoknya rahasia."
001/I/13 50 Pia cuma bisa merengut. Memang perpustakaan atas
masih merupakan tempat rahasia, tempat itu khusus
buat aku sendiri. Pia yang sahabatku aja nggak tahu
aku suka menyendiri di sana.
"Eh, hasil pertandingannya kemarin gimana" Kita menang atau kalah" Soalnya waktu babak kedua, aku lihat
kita udah tertinggal jauh lagi."
"Lho, emang kamu babak kedua nonton lagi?"
"Nggak sih, dari jalan kelihatan kok!"
"Oh" Aku juga nggak nonton lagi sih. Tapi diceritain
Tari tadi malem. Emang angkatan kita akhirnya kalah.
Aku nggak tahu persis sih skor akhirnya, tapi katanya
emang ketinggalan jauh banget."
"Kok bisa ya" Padahal kan pas terakhir kita nonton
itu udah lumayan bisa ngejar."
"Tau tuh! Tapi?" Pia mendekat lagi ke arahku. "Tari
bilang sih abis kamu kena bola kemarin, mereka mainnya
jadi drop banget. Apalagi si Adit."
Mendengar satu nama itu disebut lagi, rasa kesalku
muncul lagi. "O, jadi mereka kalah terus yang mau disalahin aku, gitu?"
"Nggak gitu, Cha! Kata Tari, kalo diliat-liat dari gelagatnya, si Adit kayaknya nyesel banget, Cha, udah
gituin kamu kemaren. Makanya dia jadi kepikiran,
terus ngaruh ke permainannya. Makanya kamu jangan
sebegitu sebelnya dong sama dia! Dia kan juga udah
minta maaf ke kamu."
Aku cuma mengernyit heran. "Ngawur! Kapan?"
"Pas kamu pergi itu kan dia udah teriak-teriak minta
maaf!" Aku samar-samar teringat suara Adit yang bilang
"Sori". 001/I/13 51 "Oh, itu. Itu sih nggak bisa dibilang permintaan maaf
lah." "Tapi kok kamu segitu sebelnya sih sama Adit" Dia
udah minta maaf, sampe ngejar-ngejar kamu segala kemaren! Eh, kamunya tetep keukeuh nggak mau maafin."
"Hah" Ngejar" Ngejar gimana?"
"Lho, berarti kamu nggak kekejar sama dia ya kemarin" Pas kamu nangis terus ngabur kemaren, aku
kan ngejar. Adit juga ngejar kamu lho, Cha! Malah
duluan dia ngejarnya. Tau deh dia ngejarnya ke mana,
cepet banget larinya! Masa sih sama Adit aja kamu
nggak kekejar" Berarti kamu larinya cepet juga ya, Cha"
Hebaaat" Tumben!"
Sialan! Ini anak ceritanya mau muji atau ngeledek
sih" "Masa sih dia ngejar" Aku nggak ketemu dia lagi
kok kemaren!" "Eh, beneran! Makanya kamu jangan sebel-sebel banget sama dia. Kasihan Adit, Cha!"
"Ya iyalah kamu kasihan terus bela-belain dia! Kamu
kan emang ngecengin dia! Kamu tau dari mana coba,
dia lari cepet banget gitu soalnya mau ngejar aku"
Mungkin aja dia kebelet banget pipis. Terus lari gitu
gara-gara mau ke toilet." Aku mencoba bercanda, tapi
begitu melihat muka Pia yang serius, aku jadi agak kaget.
Pia cuma diam sampai akhirnya berkata lirih, "Percaya
deh, Cha, Adit itu nggak seburuk dugaanmu."
Kalau lagi nggak terbawa suasana serius begini mungkin aku bakal ngeles lagi. Tapi entah kenapa kali ini aku
cuma diam memikirkan kata-kata Pia barusan.
001/I/13 52 *** Malam harinya di ruang keluarga, Mas Ardhi sedang
serius-seriusnya duduk di karpet sambil menonton pertandingan IBL di TV. Sesekali terdengar ocehan dan
teriakan gemesnya kalau ada tembakan yang meleset
masuk ring. Mamaku yang dosen fakultas ekonomi
salah satu universitas swasta di Jogjakarta, tengah duduk di sofa tak jauh dari televisi, sibuk meneliti paper
mahasiswa-mahasiswanya. Sementara papaku yang
dosen fakultas teknik di salah satu universitas negeri
tertua di Indonesia, tengah menekuri komputer di sudut ruang keluarga. Kalau Mbak Sri" nggak tahu tuh,
sibuk bereksperimen bikin apa lagi di dapur. Dari tadi
cuma terdengar suara yang lumayan berisik dari dapur.
Tapi secara keseluruhan, suasana kekeluargaan di malam hari, saat semua anggota keluarga bisa ngumpul
bareng gini, benar-benar suasana yang paling membuatku merasa bersyukur memiliki keluarga seperti
keluargaku ini. Aku sendiri juga duduk di sofa di depan Mama,
membaca buku yang tadi siang kupinjam dari rumah
Pia. Mau tahu buku apa yang aku pinjam dari Pia" Tadi
siang, Pia sengaja meminjamkan buku self-help yang
berjudul 17 Jurus Ampuh Melupakan Cinta Tak Berbalas kepadaku. Jangan heran, Pia punya sekian lusin
buku sejenis ini. Untung bukunya tipis dan berukuran
kecil, jadi aku bisa dengan mudah menyembunyikannya
di dalam buku 2002 Soal Fisika dan Pembahasannya.
Kalau aku nggak sembunyikan dan ketahuan bahwa
aku baca buku seperti ini, bisa-bisa seluruh anggota
001/I/13 53 keluargaku nanti ngetawain aku, apalagi Mas Ardhi
yang resenya nggak ketulungan itu. Di depanku sudah
kusiapkan segelas Milo dingin, sebungkus Happy Tos
ukuran jumbo, dan walkman ber-speaker yang sudah
aku nyalakan dengan volume kecil. Sebagai alat kamuflase, sejak tadi aku memegang sebatang pensil. Ceritanya sih biar orang rumah nggak curiga, ngerjain fisika kan butuh pensil juga! Tak lupa handphone-ku
juga aku bawa serta, supaya kalau ada yang menelepon
atau SMS, aku bisa langsung menjawabnya.
"Cha, tumben nggak nonton IBL" Seru lho nih, Aspac
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan Kalila!" "Ogah ah, lagi belajar! Lagian itu rekaman yang di
Kridosono dulu, kan" Ocha udah nonton langsung di
sananya tuh. Itu ntar yang menang Aspac, Mas! Skor
akhirnya 64-50. Oh ya, ntar terakhirnya Mario Wuysang
slam dunk gitu lho, Mas! Keren banget deh pokoknya!"
Kemudian kurasakan benturan lembut di kepalaku.
Rupanya Mas Ardhi baru saja melempariku dengan sebuah bantal duduk.
"Aduh! Apaan sih?" Aku langsung kesal dan melotot
ke arah Mas Ardhi. "Rese banget sih lo! Pake bilang detail banget, lagi!
Bikin nggak seru nontonnya aja!"
"Salah sendiri ketinggalan zaman! Dulu diajakin nonton
nggak mau! Pake pura-pura mau ujian, lagi! Bilang aja
dulu nggak mau diajak gara-gara nggak mau disuruh
bayarin tiket. Dasar pelit!" Kulihat bantal kedua siap melayang. Aku merengek kepada Mama meminta pertolongan. "Mama" Mas Ardhi tuh?"
"Eh, udah-udah! Gitu aja kok ribut sih! Mama kan
001/I/13 54 jadi nggak konsen ngoreksinya. Kasihan Papa juga tuh,
lagi sibuk di depan komputer gitu, kalian malah ganggu."
Mas Ardhi yang berada paling dekat dengan Papa,
mulai protes. "Sibuk apaan" Sibuk main solitaire?"
Aku dan Mama kaget mendengarnya dan langsung
menoleh ke arah Papa yang dari tadi diam saja di pojok
ruangan. Kulihat dari jauh, layar komputer menampilkan
latar belakang hijau dan penuh kotak putih, merah, dan
hitam yang udah nggak asing lagi. Aku dan Mama cuma
saling memandang sambil menahan tawa. Benar-benar
nggak mengira Papa asyik main solitaire. Kami kira
dari tadi mouse-nya ceklak-ceklik begitu gara-gara sibuk
ngerjain kerjaan kantor atau apa, ternyata"
Papa yang diceletuki begitu kemudian menoleh dan
tersenyum lebar. Sambil ber-"hehehe" ria, Papa mulai
ngeles. "Ya ini kan Papa baru istirahat. Jenuh aja liat
kotak-kotak di Excel terus dari tadi sore. Main solitaire
kan lumayan buat refreshing, ada ijo-ijonya gitu. Ini
kalo kartunya udah ketata sekali aja, Papa juga ngerjain
kerjaan kantor lagi kok."
Aku cuma bisa tersenyum mendengar pembelaan diri
dari Papa barusan. Setelah itu, semua anggota keluargaku
asyik lagi dengan kegiatan masing-masing. Mama dengan
paper-nya. Papa masih dengan solitaire-nya. Mas Ardhi
juga masih asyik dengan IBL-nya, meskipun sekarang
intensitas ocehannya lebih banyak, mungkin gara-gara
merasa nontonnya udah nggak seseru tadi. Kegiatan
membaca yang sempat terhenti juga aku lanjutkan lagi.
Sebenernya membaca buku self-help kayak gini membuatku merasa konyol dan geli sendiri. Sudah beberapa
001/I/13 55 kali aku menemukan kalimat picisan yang mau nggak
mau membuatku nggak bisa menahan tawa.
"Belajar fisika kok bisa ketawa gitu sih, Cha" Soalnya
ada yang lucu?" Mamaku yang rupanya ingin beristirahat,
melepas kacamatanya dan memandangku heran. Waduh,
nanti bisa ketahuan. "Ng, iya, Ma! Geli aja nemu soal aneh-aneh! Masa
dari benda menggelinding aja bisa ditanyain macemmacem. Ya percepatannyalah, apanyalah. Itu aja masih tergantung bendanya bentuk apa. Lucu banget,
kan" Gelinding ya gelinding aja! Pake nyusahin anak
sekolah aja." Ya ampun, tanpa sadar aku sudah mencerocos panjang-lebar. Bukan mencerocos lagi ini namanya, tapi bohong besar!
"Duh, anak dosen teknik kok ngomentarin fisika gitu
sih, Cha" Malu-maluin Papa aja. Kalo ada yang nggak
ngerti kan kamu bisa nanya Papa." Papaku yang mentang-mentang dosen fakultas teknik rupanya nggak terima mendengar ucapanku barusan. Duh, bikin tambah
merasa bersalah aja, orang dari tadi buku fisika ini
nggak aku gubris kok! Selain sebagai kedok saja tentunya. Aku cuma diam dan berharap ada yang mau mengganti topik ini dengan topik lain.
"Oh ya, gimana pusingmu tadi, Cha" Udah ilang" Di
sekolah tadi nggak apa-apa, kan?" Aduh, Ma, terima
kasih sudah mengganti topik fisika yang membuatku
merasa bersalah dengan topik lain yang mengingatkanku
tadi pagi aku bolos dan tentunya tambah membuatku
merasa bersalah. Tapi aku jelas nggak bisa mengaku. Jadi aku cuma
bilang, "Udah nggak apa-apa kok, Ma!" Baru saja aku
001/I/13 56 mau menambahkan "Tadi pagi kan udah minum obat.
Mama juga liat waktu aku ngambil obatnya, kan?", tapi
untung aku urungkan niat itu karena ingat sudah berapa
ocehan nggak bener yang aku lontarkan seharian ini.
Ditambah satu itu lagi, tentunya dosaku bisa tambah
banyak. Bohong aja dosanya udah gede, apalagi kalau
bohong ke orangtua. "Oh ya, katanya tadi ada ulangan" Gimana, bisa
nggak?" Oh, God! Please jangan lagi" Aku bener-bener nggak
mau nambah dosa lagi. Drrrt" drrrt" drrrt" A lot of fun" A lot of fun to be
had" YES! Ada pengalih perhatian lagi" Kuraih handphone
di sebelahku dan kubaca SMS yang tertera di layar.
-BiNtAngCLiiNg2Mlm, Mit! Kq kmaren nggak bls SMS-ku sih"
Mita lg apa" Lom bo2 kan" Msih BT nggak"
Ini lagi!!! Hiks, jangan gangguin aku lagi dong, Mas
Bintang" Padahal sejak tadi siang aku sudah sedikit
berhasil melupakan masalah ini. Dari tadi siang aku
berusaha nggak melamun dan banyak-banyak ngajakin
bercanda orang rumah. Buktinya, aku udah survive
dan sukses tetep bisa cerah ceria sampai" SMS barusan
nyampe! Aku merasa pandanganku mulai kabur, rupanya
pelupuk mataku mulai basah lagi. Air mataku, kamu
jangan jatuh sekarang ya" Please, tahan dulu nyampe
orang rumah nggak ada yang lihat. Jangan sekarang, di
tempat ini. 001/I/13 57 pu st ak ain do .b lo gs po t.c om Aku beranjak dari sofa, hendak menuju kamarku.
Handphone, buku fisika beserta "isinya", dan walkman
yang sudah kumatikan nggak lupa kubawa. Sementara
camilan dan minuman memang sengaja kutinggalkan.
Aku kan cuma punya dua tangan.
"Mau ke mana, Cha?" tanya Mama.
"Ke atas, Ma. Udah ngantuk."
Untung beliau sudah asyik lagi dengan pekerjaannya,
jadi nggak begitu memerhatikan mukaku yang pasti
nggak keruan ini. Aku berjalan menuju tangga. Tapi
rupanya Mas Ardhi melihat meja "peninggalanku" masih
berantakan. "Heh, beresin dulu tuh! Masa berantakan gitu main
tinggal aja" Jorok, tau!"
Aku setengah berteriak sambil berusaha mati-matian
menahan suaraku agar tidak bergetar, "Besok aja deh"
Bawel!" Begitu masuk kamar, aku langsung mengunci pintu.
Aku duduk di meja belajar dan termangu. Untung mewekku kali ini nggak separah kemarin, air mataku cuma
menetes sedikit-sedikit. Sambil menghela napas, aku
menyapu pandangan ke seluruh kamar. Entah kenapa
tiba-tiba aku merasa kesepian. Kutekan tombol PLAY di
tape-ku yang ada di pojok kamar. Kudengar intro lagu
yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Aku masih bersikap biasa saja. Setiap menyetel lagu ini, aku terbiasa
ikutan menyanyi, memang lagunya aku suka kok. Begitu menyanyikan beberapa kalimat aku baru tersadar.
Ya ampun, lagu Seperti Pelangi-nya Dygta ini terlalu
"gue banget". Aku tertegun, berhenti menyanyi dan cuma mendengarkan baik-baik lirik lagunya.
001/I/13 58 Seperti pelangi cintamu di hatiku
Walau indah kurasa, kau tak mungkin di sini,
di sisiku Andai di hatimu hanya aku cintamu
Melukiskan inginku, walau kini kumengerti,
kau bukan untukku Harusnya ku tak pernah mencintamu,
walaupun semuanya indah Kau yang tak mungkin kumiliki
Seperti pelangi ku hanya bisa menatapmu
Tiba-tiba hati ini terasa pedih lagi. Air mata yang tadi
irit menetes dari kelenjarnya, sekarang mulai mengalir
deras. Hiks, kenapa aku nangis lagi" Ugh, STOP!!! Udah terlalu banyak air mataku yang aku borosin gara-gara
masalah ini. Aku nggak boleh nangis lagi!!! Dengan
kesal aku menekan tombol STOP, menghapus air mata
dengan tangan dan beralih menghidupkan radio. Aku
langsung disambut suara merdu Brian McKnight menyanyikan refrain lagu One Last Cry.
But have one last cry, one last cry before I
leave it all behind I gotta put you out of my mind this time stop
living a lie I know I gotta be strong, "cause round me life
goes on and on and on and on
I"m gonna dry my eyes right after I have my
one last cry One last cry before I leave it all behind
001/I/13 59 I gotta put you out of my mind for the very
last time been living a lie
I guess I"m down, I guess I"m down, I guess
I"m down to my last cry
Kaset sialan!!! Radio sialan!!! Kenapa sepertinya dengan sengaja ngeledek aku dan nyuruh aku nangis dan
nangis lagi. Aku bener-bener udah nggak tahan lagi. Kulemparkan tubuhku ke kasur. Aku menelungkup dan menangis
tanpa suara. Kasurku langsung basah sementara Brian
McKnight masih saja asyik menyanyikan lagu itu.
Masih dalam keadaan menangis, aku bangkit dari kasur, mengambil handphone dan mengeluarkan sim cardku dari handphone itu. Kuambil sebuah gunting dari
laci meja dan kugunting sim card itu menjadi dua. Masih belum puas, aku berjalan menuju kamar mandi. Kubuang potongan sim card itu di lubang toilet dan dengan
sadisnya kuguyur lubang toilet itu dengan air. Yup,
good bye, Mas Bintang! Aku keluar dari kamar mandi dan kembali melemparkan tubuhku ke kasur, melanjutkan tangisanku yang
sempat tertunda. Tapi kalau sekarang, aku benar-benar
berani janji ini bakal jadi tangisan terakhirku buat Mas
Bintang, sama seperti lagunya Brian McKnight tadi. I
swear! 001/I/13 60 EMPAT H ARI Senin aku sengaja berangkat ke sekolah lebih
awal dari biasanya. Aku menempati tempat duduk favoritku. Kulihat keadaan kelas pagi itu masih sepi. Hanya
beberapa orang yang sudah datang, termasuk aku dan
Tari. Begitu melihatnya, kupanggil dia.
"Hei, Tar! Pia udah dateng belum?"
Tari mendekatiku dan duduk di sebelahku. "Belum!
Kayak nggak tau Pia aja kalo berangkat jam berapa!
Kamu juga tumben, Cha, jam segini udah dateng?"
"Hehe, lagi pengin aja sih. Eh, gimana tuh ulangannya
Bu Puji kemaren Sabtu" Susah, nggak?"
"Oh iya, kamu nggak masuk sekolah ya kemaren Sabtu" Tenang aja, nggak jadi ulangan kok! Orang Bu Puji
malah nggak masuk, jadi cuma dikasih tugas gitu."
"O" Ya bagus deh!"
"Eh, emang kamu nggak masuk kenapa, Cha" Pake
001/I/13 61 kompakan sama Pia, lagi! Masa sih gara-gara masalah
waktu tanding basket itu" Nggak, kan?"
"Ah, nggak kok! Aku" Ng, aku kesiangan, jadi sekalian
aja nggak berangkat gitu. Hehe..." Kenapa akhir-akhir
ini aku sering bohong ya" Eh, tapi yang ini nggak sepenuhnya bohong kok, aku kan emang nangis nggak
cuma gara-gara pertandingan itu tapi juga gara-gara
Mas Bintang. Ugh, stop this topic!
"Nah, kalo Pia kenapa?"
"Oh, dia" Ng, dia sih bilangnya ke aku juga sama,
kesiangan gitu. Bener-enggaknya tanya Pia langsung
aja entar." Ha ha ha, bohong lagi! Kok kayak udah
jadi kebiasaan gini sih"
"O" Kompak bener ya kalian, kesiangan aja bisa bareng gitu," goda Tari. Aku cuma bisa meringis.
"Oh ya, Tar. Mmm" anak-anak pada bilang apa soal
masalah aku kena bola itu" Pasti pada ngejekin aku
cengeng gitu ya?" Aku memandang ke arah Tari, penasaran.
"Ah, nggak kok, Cha! Kami ngerti kok kenapa kamu
sampe nangis. Tapi" Adit juga nggak salah-salah banget
lho, Cha?" "Huu" Kamu kayak Pia aja kalo udah ngomongin
Adit. Kalo yang namanya ngebela Adit, langsung deh sehati. Dasar kalian sama-sama anggota klub edan! Emang
apa bagusnya coba, cowok kayak gitu?"
"Eh, jangan salah" Gini lho, Cha, kalo cuma cakep
sama jago basket sih udah biasa banget menurutku.
Tapi cool-nya itu lho!"
Yaelah" ya Pia, ya Tari, kok pada bilang Adit cool
sih" Bener-bener cinta bikin buta!
001/I/13 62 Masih dengan semangat "45 Tari masih meneruskan
ceritanya soal Adit. "Nggak cuma cool, Cha, dia itu juga
misterius banget. Kami itu udah nanyain nomor HPnya ke hampir semua orang, masa nggak ada yang
tau, sampe anak-anak sekelasnya juga nggak tau.
Rumahnya juga nggak ada yang tau. Misterius banget,
kan" Kami udah mau nyerah nih!"
Aku ngerti banget siapa yang dimaksud "kami" di
sini. Ya Tari, Pia, Dyah, Tiara, Wulan, dan para pemuja Adit yang masih banyak lagi itulah pokoknya.
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untung aku nggak termasuk! Weks, nggak banget
deh! "Masa sih, Tar, nggak ada yang tau" Emang dia
nggak punya temen deket, ya" Oh ya, kenapa kalian
nggak minta nomor HP-nya langsung ke orangnya
aja kalo gitu?" "Yah, kami sih udah pernah nyoba, Cha. Tapi kamu
nggak tahu Adit sih, boro-boro ngasih nomor HP-nya
ke cewek, diajak ngobrol duluan aja susah, nggak pernah
nanggepin." "Nah, itu kalian udah tau. Orangnya nggak enak
diajak ngobrol, nggak punya temen, sombong pula!
Kok kalian masih ngebet aja" Heran!"
"Kan aku udah bilang" Justru di situ menariknya
Adit. Misterius. Jadi bikin tambah penasaran, he he"
Lagian bagus juga kok dingin ke cewek, daripada yang
gampang akrab sama cewek terus kegatelan gitu. Hayo,
mending mana?" "Ya cari cowok itu yang biasa aja dong! Yang nggak
kegatelan tapi juga enak diajak ngobrol. Gitu! Hmm"
aku bisa bayangin deh gimana perasaan orang yang jadi
001/I/13 63 ceweknya Adit. Pasti bakal menderita banget tuh!
Kayaknya abis denger tentang Adit dari kamu sama
lihat langsung sifatnya kayak apa, dia tipe cowok penindas cewek gitu ya, Tar" Kalo di sinetron-sinetron
tipe yang suka main tangan gitu deh ke cewek. Ya nampar, mukul, sadis gitulah pokoknya. Iya, kan?"
"Ih, kok gitu sih, Cha..."
*** Hampir semua murid di kelasku menengadah dengan
kompak melihat jam dinding yang terpasang di antara
foto Presiden dan Wakil Presiden yang sedang tersenyum. Yes!! Dua puluh menit lagi neraka dunia ini
akan berakhir. Sayangnya belum benar-benar berakhir,
masih ada satu soal yang belum terjamah di papan
tulis. Sementara itu Pak Rus tengah asyik menunduk.
Jari telunjuknya naik-turun menelusuri daftar absen
yang ada di meja guru. Semuanya menunggu dengan
menahan napas, berharap bukan namanya yang dipanggil oleh guru matematika killer itu. Termasuk
aku. "Coba kerjakan nomor tiga di depan"."
Semuanya masih menahan napas. Suasana kelas siang
itu benar-benar mencekam. Hiyy"
"Rosayuvita." Sontak embusan napas lega terdengar di penjuru kelas.
Beberapa menengok prihatin ke arahku. Bahkan Dyah
yang duduk tepat di depanku sempat-sempatnya berbalik
1800 dan nyengir ke arahku. Awas dia nanti!
"Ayo dicoba dulu" Salah juga nggak apa-apa kok."
001/I/13 64 Huh, nggak apa-apa gimana" Bukannya kalau salah
bakalan disuruh nyanyi di depan kelas" Dasar guru
aneh! Dengan enggan aku beringsut ke depan sambil
masih menggerundel dalam hati, mengutuki nasib sialku
hari ini. Jujur saja aku memang nggak begitu jenius dalam bidang ini.
Baru saja kutulis angka tiga dengan kapur ketika
pintu diketuk dari luar. Pak Rus segera bangkit dari
kursinya menuju pintu. Bagus! Kesempatan emas ini
harus aku manfaatkan baik-baik. Aku berbalik memandang ke arah Putri, jagonya matematika di kelasku, memasang tampang memelas dengan tujuan meminta
bantuan. Putri yang sadar kupandangi malah pura-pura
nggak melihat. Sayang, pinter-pinter kok pelit!
Saat Pak Rus berbalik, aku juga ikut berbalik menghadap papan tulis. Takut ketahuan.
"Rosa, ke sini sebentar! Bu Asti ada perlu sama kamu."
Hah" Bu Asti" Bu Asti yang guru BP itu" Guru BP ada
perlu sama aku" Kok serem begini sih?" Kenapa ya"
Jangan-jangan masalah bolos kemaren" Tapi kok cuma
aku thok! Pia kok nggak dipanggil"
Keherananku tidak berlangsung lama karena tiba-tiba
Pak Rus berkata, "Oh ya, nggak cuma kamu, tapi sama
Deviana juga." Aku langsung bertatapan dengan Pia
yang rupanya kaget karena juga ikut dilibatkan. Kalau
nama Pia juga sudah disinggung, kayaknya bener nih
masalah bolos kemaren. Gawat!
"Eh, terus soal matematikanya ini gimana, Pak"!"
"Pokoknya kamu sama Deviana sekarang ketemu Bu
Asti di ruang BP dulu aja."
"Tapi nggak usah nyanyi kan, Pak?"
001/I/13 65 "Nggak usah! Kamu itu udah keseringan nyanyi di
depan kelas. Bapak bosen! Lagian suaramu itu fals."
Suasana kelas yang semula sepi langsung terdengar
sedikit riuh mendengar ejekan Pak Rus tersebut. Ya terserahlah, mau diejek seperti apa juga aku tetap gembira
bisa terhindar dari hukuman maut kali ini. Oh, Bu Asti
sang penyelamat hidupku. Aku rela deh nanti dimarahi
Ibu masalah bolos kemaren asal bisa selamat dari
"hadiah" Pak Rus seperti sekarang ini.
"Tapi ingat, lain kali kamu tidak akan seberuntung
ini!" Senyumku langsung menipis mendengarnya. "Ya, Pak!
Permisi!" "Permisi, Pak!" Pia juga pamit pada Pak Rus.
Aku membuka pintu kelas diikuti oleh Pia. Bu Asti
sudah mendahului kami berjalan ke ruang BP. Aku dan
Pia memanfaatkan kesempatan ini untuk menggelar "rapat" dadakan di depan pintu kelas.
"Cha, kayaknya masalah bolos kemaren, ya?"
"Menurutku sih juga gitu, Pi!"
"Terus gimana dong?"
"Ng, gini, Pi! Ntar kamu aja deh jubirnya. Kamu
nyari alasan apa kek buat kita berdua. Aku sih ngikut
aja. Ya, Pi, ya?" "Lho, kok aku sih?"
"Ah, kamu kan paling jago ngerayu guru. Please ya,
Pi" Kalo aku nggak mungkin! Masuk ke ruang BP aja
udah serem, apalagi mesti ngeles segala" Wah, nyerah deh!"
"Huu" Iya deh!"
Asyik!!! 001/I/13 66 Sebelum aku dan Pia menyusul Bu Asti, dari dalam
kelas masih terdengar suara Pak Rus berkata, "Nah,
berhubung Rosa ada perlu sama Bu Asti. Tolong soal
yang di depan ini dikerjakan oleh" Dyah Ratna Tiaralaksmi."
Ha ha ha" Nah, Dyah! Syukurin kamu kena karma!
Makan tuh logaritma! * * * Wuah, lega" Akhirnya selesai juga diinterogasi oleh
Bu Asti. Benar dugaan kami berdua, Bu Asti menanyakan masalah bolos kemaren. Pia yang mendapat
kehormatan menjadi juru bicara akhirnya ngasih alasan
yang setengah bohong-setengah nggak. Ceritanya kami
berdua pagi itu udah nyampe di sekolah, tapi aku
sakit jadi Pia nemenin aku pulang dan jadinya kami
nggak masuk hari itu. Memang nggak sepenuhnya
bohong, kan" Toh aku memang bolos gara-gara sakit
kok. Waktu itu mataku bengkak, itu kan namanya
sakit juga. Dan sakit hati, kalo mau dicari kata yang
lebih tepat lagi. Bu Asti percaya dan hanya memberi
pesan kalau besok-besok terpaksa nggak masuk sekolah
lagi, harus ada surat izin sedarurat apa pun masalahnya. Oke deh, Bu Asti! Tapi kok alasan nggak masuknya jadi nggak kompakan sama yang aku bilang ke
Tari tadi, ya" He he he, bodo! Yang penting kami berdua sudah aman dari interogasi Bu Asti.
Aku dan Pia keluar dari ruang BP bertepatan dengan
bunyi bel istirahat. Ya udah, sekalian ajalah ke kantin.
Untung di saku rok ada uang, jadi nggak usah mesti
ngutang segala di kantin Pak Pri.
001/I/13 67 Ketika berjalan menuju kantin, aku dan Pia berpapasan dengan Mas Bintang and the gang. Aku yang
sudah bertekad nggak akan menghindar tetap berjalan
dan mencoba bersikap biasa aja. Toh yang selama ini
dia SMS kan bukan Ocha, tetapi Mita. Nanti malah
curiga, lagi, kalau aku bersikap aneh. Lagian kenangan
akan Mita sudah aku guyur di lubang toilet dan
mungkin sekarang sudah mengapung-apung di septic
tank rumahku. Oh iya, jadi ingat, aku belum beli nomor baru.
Pia yang melihatku bersikap biasa aja di dekat Mas
Bintang, langsung mendekat ke arahku dan berbisik,
"Kamu keren, Cha!" Aku tersenyum sambil menepuk
dada. Kebiasaan nih kalau sombongku baru kumat.
Tak lama kemudian, ada Adit yang juga sedang berjalan sendirian berlawanan arah dengan kami berdua.
Tuh kan bener, ini anak nggak punya temen sama sekali. Kasihan. Cih, kalo mau nyuekin yang satu ini sih
guampang buanget. Kalo perlu disengaja-sengajain buang
muka aja sekalian. Saat berpapasan dengan Adit, kulihat
Pia sengaja tersenyum ke arah cowok itu. Aku sendiri
tengok kanan tengok kiri pura-pura mencari seseorang.
Dan sepertinya Adit juga nggak peduli dengan kami
berdua termasuk dengan senyuman Pia. Setelah Adit
agak jauh, Pia mendekat ke arahku dan berbisik lagi,
"Kok kamu gitu sih, Cha, ke Adit?"
Lho, ini anak maunya apa sih" Mas Bintang aku
cuekin, dia muji aku. Giliran Adit yang aku cuekin,
dia kok protes berat gini" Lagian, tahu senyumnya
udah dikacangin, kok ya masiiih aja mau bela cowok
yang satu ini. 001/I/13 68 "Jadi aku mesti gimana?"
"Nyapa kek, senyum kek."
"Biar dikacangin kayak kamu" Lagian aku kan nggak
kenal dia!" "Lho, gara-gara kena bola kemaren kan namanya jadi
kenal juga. Hari itu kamu tau yang namanya Adit tuh
dia, sebelum-sebelumnya kan nggak. Nah, itu namanya
kenal." Ugh, Pia kalau udah ngeyel memang paling nyebelin!
"Ya udah, aku tahu namanya, jadi aku kenal dia. Tapi
dia emang tahu namaku" Nggak, kan" Jadi dia nggak
kenal aku! Ngapain nyapa orang yang kita kenal tapi
nggak kenal sama kita" Ntar kayak orang aneh, dikacangin pula! Kayak kamu tadi."
"Jadi maksud kamu aku ini orang aneh" Ya udah,
nggak usah ke kantin bareng orang aneh!" Pia kemudian
berbalik dan lari menuju kelas, meninggalkanku sendirian
ditonton beberapa orang. Sial! Adit lagi! Adit lagi! Garagara dia, kali ini Pia malah marah sama aku. Gimana
nih" *** Sesudah kejadian itu, Pia cuma diam saja kalau aku
ajak ngobrol. Ternyata nggak enak banget diem-dieman
begini sama temen sebangku. Tapi ada bagusnya juga
sih, pelajaran PPKN yang biasanya aku cuekin karena
diisi acara ngobrol bareng Pia, jadi mendapat perhatian
penuh dariku. Semoga saja karena serius mendengarkan
pelajaran ini dengan sepenuh hati, aku bisa menjadi
siswi yang berbudi pekerti lebih baik, he he he...
001/I/13 69 Malamnya aku berniat menelepon Pia untuk berbaikan lagi. Aku baru saja hendak mengangkat gagang telepon ketika telepon itu tiba-tiba berdering. Aduh, bikin
kaget aja. "Halo. Assalamu"alaikum."
"Wa"alaikumsalam. Ocha, ya?" Asyik" Suara Pia.
"Iya! Pia" Pi, Pi, jangan marah lagi dong" Sori deh
kejadian tadi siang. Bukan maksudku bilang kamu
aneh. Gitu aja kok marah sih?"
"He he?" Lho"
"Kok malah he he sih, Pi" Dasar aneh!"
"Lho" Tuh kan" Belum juga dimaafin, udah bilang
aku aneh lagi." Ups, iya. Baru nyadar. Tapi untung nada suara Pia
udah ramah, nggak kayak tadi siang. Kayaknya Pia
udah nggak marah kok. "Ah, kamu tuh, Pi! Aneh kan bisa bermakna positif,
bisa bermakna negatif. Maksudku, kamu aneh yang
positif kok. Makanya, jangan marah lagi, ya?" Ha ha,
aneh positif tuh kayak apa, coba"
"Iya. Iya. Emang aku udah nggak marah kok. He he,
kamu tuh" Aku nelepon mau minta maaf karena marahmarah tadi siang, kamunya malah udah minta maaf
duluan. Tapi malah bagus deh. Aku jadi nggak usah
repot-repot merangkai kata buat kamu. He he he?"
Huu" Dasar! "Oh ya, Cha, kok aku telepon ke HP-mu nggak
bisa-bisa sih?" "Oh, itu. Soalnya simcard-ku sekarang lagi main
sama eek keluargaku. Ha ha ha?"
"Ih, apaan sih" Jorok banget! Nggak nyambung,
lagi! Apa maksudnya, coba?"
001/I/13 70 "Ha ha ha" Besok di sekolah aja deh aku ceritain.
Panjang ceritanya." "Terserah deh! Aneh!"
Lho, kok malah gantian Pia yang bilang aku aneh"
O, mungkin yang Pia maksud aneh yang positif kok.
"Lagian, emang kamu rencananya tadi mau nelepon
ke handphone" Atau cuma missed call?"
"Cuma niat missed call aja sih. Lagian kan pake telepon rumah emang lebih irit, he he he?"
Orang kaya ternyata juga sayang pulsa ya"
"Eh, Cha, ngomong-ngomong soal Adit, kamu
emang belum maafin dia ya, Cha?"
Aduh, ngomongin Adit lagi! Bosen! "Pi, gara-gara
ngomongin ini, ntar kita bisa marahan lagi lho?"
"Nggak, ah! Lagian kan sebenernya aku tadi uringuringannya gara-gara lagi dapet aja."
"Huu" Tapi kok aku yang jadi korban?"
"He, sori" Eh, gimana" Nggak bisa maafin?"
"Pi, emang penting ya buat kamu kalo aku maafin
dia?" "Ya kan kamu sahabatku, dia kecenganku. Dua orang
penting dalam hidupku masa musuhan sih" Kan nggak
enak aja, gitu." "Emang Adit penting banget ya buat kamu" Katamu
cuma kecengan tapi kok sampe segitunya" Suka beneran
nih?" "Ha ha ha, nggak, lagi! Yang namanya kecengan
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan kebutuhan mata. Lain lah sama kebutuhan hati.
Eh, gimana" Kamu kok nyuekin dia kayak tadi, belum
bisa maafin" Kamu tuh, aku nanya udah berapa kali
nih, kamu belokin mulu, capek!"
001/I/13 71 "Yeee" Aku nyuekin dia juga udah bagus, lagi!
Daripada" Daripada aku silet-silet kulitnya, terus"
Ng, terus aku guyur pake air jeruk gitu. Hayo, mending
mana?" "Ih, sadis banget sih, Cha?"
"Udahlah, Pi! Aku udah ngelupain kejadian kemaren
itu kok! Anggap aja itu sama dengan maafin. Puas?"
"O gitu" Ya baguslah!"
Sebenernya dari kemarin aku heran banget, kok Pia
rajin banget ya mengusahakan supaya aku akur-akur aja
sama Adit. Ada apa sih sebenernya"
"Pi, kamu kenapa sih nyampe segitunya pengin aku
akur sama Adit" Heran?"
"Kan aku tadi udah bilang, dua orang?"
Aku langsung menyahut, "Dua orang penting dalam
hidupmu tadi" Nggak mungkin cuma gara-gara itu! Selain itu?"
"Ng, nggak tahu nih, Cha! Nggak enak aja denger
kamu nyebut-nyebut kalo kamu sebel banget sama Adit.
Rasanya kayak" ng... kayak bilangan negatif diakar
pangkat dua. Atau angka nol jadi penyebut, gitu."
Aduh! Kenapa jadi bawa-bawa matematika" Pia ngomongin apa sih" Aku nggak ngerti. Gini nih susahnya
sobatan sama orang pinter.
"Pokoknya sesuatu yang nggak benerlah, nggak beres, mesti dilurusin. Tau nggak, Cha" Tiba-tiba aja aku
tuh punya feeling kalo kalian tuh bakal cocok, gitu.
Dan akulah orang yang diutus untuk menjadi malaikat
pemersatu kalian. Ha ha ha?"
Hah" Nggak salah nih anak" Malah ketawa, lagi!
Sejak kapan ada orang punya feeling sahabatnya bakal
001/I/13 72 cocok sama kecengannya sendiri" Dasar Pia aneh!
Ups lagi, udah berapa kali nih aku bilang Pia aneh.
Tapi dalam kasus ini, Pia memang aneh banget!
"Heh, ngaco! Kan aku udah bilang, dia itu nggak kenal aku! Lagian aku nggak mau cocok sama orang kayak
gitu! Kamu kayaknya dari kemaren maen feeling mulu
sih!" Iya, kan" Pas ngomongin Mas Bintang itu Pia ngomong pake feeling-feeling segala. Eh, tapi kan waktu itu
feeling-nya Pia kejadian beneran. Masa sih kali ini
juga kejadian. Hiks, nggak mau!!!
"Eh, siapa bilang dia nggak kenal kamu! Dia tahu
namamu kok! Kemaren pas ngejar kamu itu kan dia
juga manggil-manggil nama kamu! Emang kamu nggak
denger dia manggil-manggil kamu" Nah, tuh kan" Kenal
sama kenal, tinggal diakrab-akrabin aja deh! Ihiy,
Ocha?" "PIAAA!!! KAN AKU UDAH BILANG, AKU NGGAK
SUKA COWOK SOK, SOMBONG NAN NYEBELIN KAYAK DIA!!!"
001/I/13 73 LIMA S IANG itu sepulang sekolah, aku mampir sebentar ke
toko handphone di Jalan Godean. Memangnya aku mau
beli handphone baru" Ho ho, tentu tidak! Masih ingat
kan simcard-ku sudah aku musnahkan dari dunia ini
dengan sadisnya" Nah, aku cuma mau beli kartu perdana
aja sih, he he. Begitu masuk ke toko kecil yang nyaman itu dan mengatakan apa yang aku butuhkan, penjaga toko yang
ramah langsung menawarkan banyak sekali pilihan
nomor, termasuk beberapa nomor cantik. Setelah membanding-bandingkan cukup lama, aku memilih satu nomor yang meskipun tidak begitu cantik tetapi cukup
mudah diingat. Sesudah membayar kartu perdana itu,
aku beranjak keluar menuju motorku dan bermaksud
untuk pulang. Di samping toko handphone itu terdapat
tempat rental DVD, kaca depannya ramai ditempeli
beberapa poster film. Sewaktu masih SMP sebenarnya
aku pernah mendaftar di tempat ini sebagai anggota
001/I/13 74 dan pernah menyewa DVD beberapa kali. Tapi ketika
disibukkan ujian akhir SMP, aku jarang meminjam
lagi. Aku malah baru ingat pernah tercatat sebagai
anggota di sini. Aku juga jadi ingat tips-tips yang ada
di buku 17 Jurus Ampuh Melupakan Cinta Tak Berbalas milik Pia tempo hari. Salah satunya adalah menyibukkan diri dan menghibur diri sendiri, dengan
cara banyak-banyak membaca komik atau novel, bisa
juga dengan banyak-banyak menonton film.
Ya udah, sekalian saja. Kulangkahkan kaki memasuki
tempat itu dan disambut lagu Tomorrow-nya Alicia
Morton. Lagu yang jadi soundtrack film musikal Annie
ini sudah lama nggak aku dengar. Beruntung aku tadi
ke sini. Aku kan suka banget lagu ini. Hmm, kayaknya
lagu-lagu yang diputar di sini hanya lagu-lagu yang
jadi soundtrack film. Dugaanku benar karena sesudah
lagu tersebut selesai, lagu Dream of Me yang menjadi
soundtrack film Get Over It terdengar mengalun lembut. Asyik, asyik" Lagu yang diputar di sini kesukaanku
semua. Perasaan zamanku SMP dulu nggak ada musiknya segala tuh. Ya udah, besok-besok sering-sering ke
sini ah" Kuperhatikan meja penjaga tempat ini letaknya masih
sama seperti waktu aku SMP dulu. Seorang mahasiswa
cowok berkacamata yang bawelnya minta ampun kalau
sudah menawarkan film-film untuk disewakan duduk di
sana. Entah dia begitu gara-gara tuntutan pekerjaan
atau memang bawaan dari sononya memang seperti itu.
Tapi pada dasarnya penjaga tempat ini ramah kok.
Begitu melihatku masuk, mahasiswa itu langsung
menyapaku, masih dari tempatnya duduk di depan
001/I/13 75 komputer. "Halo, Dik! Mau pinjem apa nih" Kok lama
nggak pinjem-pinjem di sini lagi?" Ya ampun! Masih
inget" Hebaaat!! "Ng" Mau lihat-lihat dulu kok, Mas!"
"Oh, silakan. Eh, kalau nanti bingung mau pinjem
apa, tanya saya aja. Nanti saya rekomendasikan filmfilm yang bagus. Oke?"
Aku cuma mengangguk-angguk. Rupanya Mas yang
satu ini nggak berubah. Ramah dan bawelnya masih
sama seperti dulu. Kemudian aku berkeliling melihatlihat DVD yang terpajang rapi di beberapa rak khusus.
Beberapa orang juga tengah melihat-lihat, sama seperti
aku. Ada pula yang malas berkeliling dan sudah cukup
puas melihat koleksi DVD lewat katalog di meja. Sambil
melihat-lihat, aku berdendang pelan mengikuti suara
Kirsten Dunst menyanyikan lagu Dream of Me yang
masih terdengar. Kemudian pintu dibuka, seseorang masuk.
"Mas, kalau mau minjem di sini, mesti daftar dulu?"
Aku refleks berhenti menyanyi. Suara cempreng ini
kan suaranya" Aku langsung menoleh. Tuh kan bener,
itu si Adit. Aku langsung berjalan menuju rak yang
tempatnya agak tersembunyi. Dan sepertinya Adit nggak
menyadari ada aku di situ. Untung.
"Oh, iya. Adik bawa kartu tanda pengenal?"
"Ng... kartu pelajar bisa kan, Mas?"
"Oh, bisa!" Aku melirik lagi ke tempat meja penjaga. Kulihat
Adit menyerahkan kartu pelajarnya kepada mas penjaga itu.
Si penjaga tempat itu kemudian menghadap komputer
001/I/13 76 dan mengetik sesuatu. Mulutnya komat-kamit membaca
yang tertulis di kartu itu, dan tangannya sibuk mengetik.
Sementara itu Adit melihat ke sekeliling tempat itu. Aku
langsung menyembunyikan diri di balik rak. Telingaku
kubuka lebar-lebar, aku masih pengin nguping. Terdengar suara keyboard komputer dipencet-pencet.
"Rakaditya Adi Nugraha"," ujar Mas penjaga tadi.
Oh, itu nama lengkapnya Adit" Huh, jelek!
"Griya Palem Botol. Blok T-27." Suara Mas penjaga
tadi masih terdengar pelan. Cih, nama perumahannya
aja aneh gitu! "Kalau nomor yang bisa dihubungi ada, Dik?"
"Ng, nomor telepon rumah atau nomor HP?"
"Terserah." "Nomor HP aja, Mas! 0-8-5-6-5-6-7-8-9." Terdengar
suara keyboard komputer lagi. Aku masih mendengarkan dengan saksama.
"Yup, udah! Terus, mau pinjem apa, Dik?"
"Mau lihat-lihat dulu, Mas!"
"Silakan!" WADUH!!! GAWAT!! Aku mesti ngumpet di mana
nih" Aku kemudian begerak menuju tempat paling pojok
dan pura-pura melihat-lihat DVD, mengangkat sembarang DVD, menaruhnya lagi, mengangkat DVD yang
lain, menaruhnya lagi, begitu seterusnya. Sebentar-sebentar aku melirik, mencari di mana Adit sekarang.
Males banget kalo mesti ketemu ini anak di sini. Kulihat Adit di ujung sana, begitu serius melihat-lihat
DVD di daerah itu. Aku masih pura-pura melihat
DVD dan mengangkat sebuah DVD yang begitu kulihat
dengan saksama" Aku nggak sempat lihat judulnya,
001/I/13 77 tapi gambarnya benar-benar jelas. Terlihat sepasang
cowok-cewek yang berhadapan, nggak jelas mereka
lagi ngapain tapi yang jelas mereka dalam keadaan
almost naked. Hueks, langsung aku taruh DVD itu
cepat-cepat. Aaah" kurang cepat. Kesalahan bodoh.
Mas penjaga yang entah sejak kapan berada di dekatku
itu sudah melihat apa yang tadi aku pegang.
Dan dengan sadisnya, kemudian dia berkomentar,
"Mau pinjem ini, Dik" Suka film kayak gini, ya?"
Aku langsung gugup dan mengelak, "Nggak kok, Mas!
Nggak suka! Nggak mau pinjem itu!"
"Oh, cuma lihat-lihat aja?" Mas bawel itu masih
senyum-senyum nggak jelas. Ih, nyebelin banget sih!
Dengan gugup aku melihat ke sekeliling. Untung pengunjung lain nggak ada yang ikut-ikutan rese kayak mas
bawel ini. Mereka masih sibuk melihat-lihat DVD.
Tapi baru kemudian aku menyadari, Adit sudah berdiri
di dekatku dan tersenyum-senyum, melihat apa yang
terjadi barusan. Sejak kapan dia ada di situ"
Diperhatikan mereka berdua begini, aku merasa seakan
baru ketangkap basah ngutil, nyolong, atau tindak kejahatan lainnya. Padahal aku kan cuma nggak sengaja
ngangkat DVD yang kebetulan aja gambarnya kayak
gitu. Sialan dua orang ini" Nyebelin! Nyebelin! Nyebeliiiin!
"Jadinya pinjem yang mana, Dik" Bingung?" Mas
bawel nyebelin tadi masiiih aja nanya-nanya. Ihhh,
gangguin pengunjung yang lain aja sana! Aku masih
sedikit gugup dan bingung mau menjawab apa. Sementara itu lagu Dixie Chicks yang sekarang terdengar dari
speaker memberiku gagasan. Lagu ini soundtrack film
001/I/13 78 Runaway Bride, yang bintangnya Julia Roberts dan
Richard Gere itu. Aku kenal betul lagu ini karena
meski nggak begitu suka, aku punya kasetnya, judulnya
Ready to Run. Yup, betul! Udah kepalang basah malu
banget kayak gini, kenapa nggak ngabur aja sekalian.
Kemudian aku bergerak mendekati pintu keluar sambil
berkata, "Ng, kayaknya nggak jadi pinjem, Mas!"
"Lho, kenapa nggak jadi?"
Masih aja nanya" Dasar nggak peka!
Aku terus bergerak mendekati pintu keluar dengan
gugup. "Baru inget" Saya mesti cepet-cepet pulang!
Disuruh Mama ngepel lantai sama nyabutin rumput.
Terus... habis itu disuruh nemenin belanja!"
Ya Allah, barusan aku ngaco apa lagi ini" Ngasih
alasan kok ya nggak bermutu banget! Disuruh sama
Mama nyabutin rumput" Emangnya Nobita"
Aku sampai juga di pintu keluar tanpa berani melihat
ke arah Adit. Sempat kudengar suara Mas-nya berkata, "Kalo mau
pinjem film ke sini lagi, ya!"
In your dream! Sumpah, aku nggak bakal ke sini
lagi! Kapok! Mending pinjem di tempat lain yang mas
penjaganya nggak bawel-bawel amat kayak yang di
sini. Aku berjalan menuju motorku dengan perasaan
gondok campur malu. Sewaktu akan menstarter motorku,
kulirik tempat rental DVD yang bagian depannya berupa kaca tembus pandang itu. Kulihat di dalamnya
Adit tengah melihat ke luar, memerhatikanku tepatnya.
Nggak cuma melihatku, kulihat bahunya naik-turun
dan kedua tangannya memegang perut. Sialan! Cerita001/I/13 79 nya dia ngetawain aku nih" Aku kemudian mencaricari sesuatu di tanah sekelilingku. Kalau-kalau ada kerikil, kepingin aku lempar ke mukanya yang nyebelin
itu, meski akhirnya urung kulakukan. Nanti kalau
kacanya pecah, aku disuruh ganti rugi, lagi! Akhirnya
aku cuma bisa menjulurkan lidah ke arahnya. Kulihat
tawanya malah lebih hebat daripada tadi. Aku melajukan motorku tanpa menoleh ke arah tempat rental
DVD itu lagi. Perasaan kejadian kemarin dia belum minta maaf, eh,
sekarang kok malah bikin aku sebel lagi! Dasar cowok
nyebelin, nggak ngerti perasaan orang banget!
Masih dalam perjalanan pulang, aku baru berpikir,
kok kayak d?j? vu begini ya" Ngabur dari suatu tempat
dengan perasaan supergondok gara-gara Adit. Cuma
bedanya sekarang aku nggak pake mewek. Eh, lho kok"
aku ralat, nggak juga ding, karena tiba-tiba tanpa kusadari pandanganku mulai kabur karena air mata. Hiks,
kenapa aku mesti nangisin cowok itu lagi" Apanya
yang kami berdua bakal cocok" DASAR PIA NGACO!!!
Gubrak! Aduh! Hiks... MAMAAA"! *** Malam itu kami sekeluarga berkumpul di ruang keluarga
seperti biasa. Semua anggota keluarga, termasuk Mbak
Sri, duduk di karpet menonton reality show di televisi.
Aku sendiri asyik mengoleskan obat merah di lutut
kananku. 001/I/13 80 "Ocha, Ocha! Becak lagi berhenti kok ya kamu tabrak
juga sih! Untung lukamu nggak parah-parah banget.
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalo becaknya gimana" Rusak parah nggak kamu tabrak
gitu?" Begitu jeda iklan, mamaku rupanya mengalihkan
perhatiannya dari televisi dan melihatku asyik mengaduhaduh (Ha" Mengaduh itu asyik ya") sambil mengoleskan
obat merah itu. "Nggak kok! Untung becaknya lagi kosong, nggak ada
orangnya. Jadi becaknya nggak kenapa-napa. Jalan
sendiri sebentar, terus berhenti. Udah, gitu doang."
"Kalo bapak yang punya becak gimana" Nggak marah becaknya kamu tabrak?" Kali ini papaku yang bertanya.
"Yang punya becak masih muda sih, Pa! Nggak marah!
Malah dia bantuin Ocha waktu jatuh. Untung cuma
lututnya yang kebentur aspal. Tapi tetep sakit nih!"
"Syukurin! Ma, nggak usah dibolehin naik motor lagi
aja tuh. Biar dianter-jemput aja ke sekolah." Mas Ardhi
rupanya nggak mau ketinggalan urun suara.
"Iya, Cha! Kalo kamu bisa berangkat lebih pagi lagi,
Papa bisa nganterin kamu." Papa kali ini mencoba menawarkan solusi yang jelas bakal aku tolak mentahmentah.
"Nggak mau!!! Papa kan tau kalo Ocha naik mobil
suka kena motion sickness."
"Motion sickness" Halah! Sok pake istilah keren!
Bilang aja mabok kendaraan! Dasar payah!"
Aku cuma nyengir ke arah Mas Ardhi.
"Lagian kamu tuh becak berhenti dan nggak salah
apa-apa kok ya main tabrak aja sih?" Mas Ardhi masiiih
aja pengin nyalahin aku. 001/I/13 81 "Habisnya, Ocha kan naik motornya jadi nggak konsen
gara-gara?" Ah, males ngomonginnya!
"Gara-gara apa?" tanya Mas Ardhi penasaran.
"Nggak. Lupain." Nada suaraku sekarang jadi terdengar
agak kesal. "Aneh," kata Mas Ardhi.
"Biarin!" Siiing" Tiba-tiba nggak ada yang berkomentar lagi.
Jeda iklan selesai, acara reality show dimulai lagi, dan
semua kembali asyik menonton. Mbak Sri juga.
"Mbak Sri kok nggak komentarin Ocha jatuh tadi"
Nggak ikut nyalahin juga nih?" tanyaku heran melihat
Mbak Sri yang dari tadi diam saja.
"Ah, nggak! Saya sih udah biasa denger Mbak Ocha
jatuh. Mbak Ocha kan memang lumayan sering jatuh.
Jadi jatuh itu udah kayak hobinya Mbak Ocha gitu."
Mas Ardhi langsung tertawa mendengar kata-kata
Mbak Sri barusan. Sialan nih Mbak Sri! Nyalahin sih
nggak, tapi kok malah ngeledekin gini!
Kemudian Mbak Sri melanjutkan kata-katanya lagi.
"Oh, iya, Mbak. Sebenernya dari tadi saya penasaran,
kata Mbak Ocha tukang becaknya masih muda" Mukanya gimana, Mbak" Cakep nggak?"
GUBRAK!!! *** Aaargh" nggak bisa bobok! Semua lampu yang ada di
kamar sudah kumatikan. Tadi sebelum rebahan aku
juga sudah membaca novel berbab-bab, juga mendengarkan lagu-lagu supermellow. Ceritanya sih biar
001/I/13 82 jadi ngantuk, tapi mata ini tetep nggak mau terpejam.
Sambil berbaring, pikiranku melayang-layang teringat
peristiwa tadi siang. Asal nggak kena air, lututku udah
nggak terasa sakit lagi sih. Tapi tetap saja aku masih
sebel sama Adit. Oh iya" Mumpung masih inget!
Aku langsung bangun dan menyalakan lampu yang
ada di meja sebelah tempat tidur. Kuambil kertas dan
pensil yang kebetulan ada di dekat lampu. Kutulis alamat
rumah dan sederet angka di kertas itu. Untung alamat
rumahnya gampang diinget dan untung juga nomor HPnya lumayan cantik. Atau mungkin aku masih inget
gara-gara ingatanku memang bagus. Ocha gitu lho" Ah,
pasti bener yang terakhir, aku masih inget gara-gara
memang ingatanku bagus, he he.
Kupandangi lagi kertas itu. Mau diapakan alamat dan
nomor ini aku masih belum tahu. Yang penting dicatat
dulu mumpung masih inget. Dan aku yakin pasti suatu
hari nanti ini bakal ada gunanya, terutama dalam misiku
membalas dendam ke Adit. Hua ha ha" Hush!
Aku mematikan lampu dan rebahan lagi. Tiba-tiba
aku ingat ucapan Tari tempo hari tentang kemisteriusan
Adit yang nggak mau orang lain tahu rumah dan nomor
handphone-nya. Tari dan kroni-kroninya sudah susah
payah mencari tahu tapi tetep nggak berhasil. Eh, aku
yang nggak berminat mencarinya malah mendapatkannya
dengan mudah. Meskipun ditambah dengan malu dan
luka di lutut, hiks. Oh iya, aku punya ide" Berhubung cewek-cewek yang
berminat dengan "penemuan"-ku hari ini pasti banyak,
kenapa aku nggak menjadikan ini sebagai lahan bisnis
kecil-kecilan aja" Kalau aku jual informasi yang kudapat
hari ini, kan lumayan tuh bisa nambah-nambah uang
001/I/13 83 saku. Oh, Adit, akhirnya kamu bisa berguna juga buat
aku. Besok aku mesti cepat-cepat memberitahukan penawaran menarik ini ke Tari.
001/I/13 84 ENAM "N GGAK ke kantin, Pi?" tanyaku kepada Pia yang
tumben tetap lengket di kursinya meski bel istirahat sudah berbunyi.
"Bentar ya! Tari minta ditungguin katanya."
"Emang Tari ke mana?"
"Dia ke kelas sebelah tuh. Biasalah, menjalankan misi
kami yang selalu gagal. Semoga kali ini bisa berhasil
ya, Cha?" "Misi" Misi apaan?"
"Itu lho, ngorek informasi tentang Adit."
"Ya ampun, itu lagi! Kayak nggak ada kerjaan lain
aja! Emangnya mau nyari informasi apa sih?"
"Masih sama seperti misi-misi terdahulu. Nyari tau
nomor handphone sama alamat rumahnya. Kalo sekarang, rencananya Tari mau ngedeketin Ghana buat nyari
tau. Ghana kan sobatnya Adit, jadi pasti taulah. Masalahnya, Ghana mau ngasih tau apa nggak, itu masih
diusahain sama Tari," ujar Pia panjang-lebar. Aku kemu001/I/13 85 dian teringat informasi yang aku dapat kemarin. Sekaranglah saatnya"
"Oh, masih nyari tau yang itu" Itu sih nggak usah
nanya Ghana. Aku?" Tiba-tiba terlintas di dalam pikiranku, aku kan nggak harus ngasih tau soal kemaren
ke Pia. Kalau mau balas dendam ke Adit, bukan begini caranya. Aku perlu cara balas dendam yang lebih
asyik daripada ini. "Kamu apa, Cha" Kok ngomongnya nanggung gitu."
"Eh, nggak. Nggak. Lupain. Aku lupa tadi mau ngomong apa."
Pia memandangku dengan kening berkerut.
Kalau aku benar-benar menjalankan apa yang sudah
kurencanakan tadi malam, kok rasanya nggak etis. Bagaimanapun nyebelinnya Adit, aku tetep nggak berhak nyebarin nomor handphone atau alamat rumahnya, ke Pia
sekalipun. Itu kan nomornya, bukan nomorku. Bagaimana pun aku masih menghargai yang namanya privasi
orang. "Cha?" Dan mungkin aja dia punya alasan tertentu untuk
menyembunyikannya. Tapi alasan apa ya" Satu-satunya
alasan yang bisa terpikirkan olehku ya cuma Adit aja
yang pengin sok misterius.
"Heh, Cha!" Aku tersadar dari lamunanku dan mendapati Pia tengah mengguncang-guncang tubuhku.
"Kamu ngapain sih" Ngelamun?"
"Ah, nggak kok!"
"Kamu hari ini kok aneh sih, Cha" Masih mikirin
Mas Bintang, ya?" 001/I/13 86 Hah" Mas Bintang" Aku malah udah lupa sama sekali
ada orang itu di dunia ini. Toh ketemu di sekolah juga
juarang buanget. Bangunan kelas X dan kelas XII kan
terpisah lumayan jauh. "Ah, nggak kok! Udah nggak pernah kepikiran sama
sekali." "O" Terus sekarang lagi suka sama siapa, Cha?" Kebiasaan Pia nih kalo ngomong suka to the point.
"Hah" Nggak ada. Apaan sih?"
"Nggak mungkin!"
"Emang aku harus punya orang yang disukai terus"
Boleh dong lagi nggak suka sama siapa-siapa?"
"Iya, sih. Ng... tapi kalo orang yang sering dipikirin
ada dong" Orang yang kayaknya bertebaran di manamana terus, gitu." Akhir-akhir ini orang yang sering
ketemu dan kepikiran terus sih Adit. Tapi pasti yang
Pia maksud kan bukan ini. Orang aku mikirin gimana
nyebelinnya Adit dan upaya-upaya buat balas dendam
kok. Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini Pia udah nggak
pernah nyinggung-nyinggung lagi masalah feeling-nya
dulu tentang aku dan Adit yang harus akur. Ya, malah bagus deh kalau dia lupa masalah itu.
"Nggak ada tuh! Oh ya, Pi, aku kemaren udah beli
nomor baru lho!" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Udah" Nomor buat ngegantiin nomor lamamu yang
kamu buang di toilet itu, ya" Ha ha ha" Ya udah,
missed call aku, Cha! Aku kan belum tau nomor barumu."
Aku mengambil handphone. Pia juga. Setelah menemukan nomor Pia, aku menekan tombol dial. Setelah be001/I/13 87 berapa lama, handphone Pia bernyanyi dan dia berkata,
"Udah masuk." Dan aku menekan tombol reject.
"Siip," kata Pia sekali lagi.
Untung nomor semua temanku biasa aku simpan di
memory handphone, bukannya di memory simcard.
Kalau aku simpan di memory simcard, bisa-bisa aku
kerepotan kehilangan semua nomor orang-orang yang
kukenal. "Nomornya lumayan cantik, Cha," kata Pia sambil
masih asyik menekan-nekan keypad handphone-nya.
"Oh, iya dong! Ocha"," kataku sambil memasang muka paling sok manis.
"Heh, aku bilang kan nomormu, bukan kamu!" Pia
cuma tersenyum melihatku. Aku juga tersenyum sambil
ber-"hehehe" ria. Kualihkan pandangan ke jendela dan
kulihat ada Tari di situ melambai-lambaikan tangannya.
"Pi, Tari tuh!"
"Gimana?" teriak Pia. Tari menjawab dengan gerakan
bibir tanpa suara. Mulutnya komat-kamit. Aku dan Pia
nggak bisa menangkap apa yang dia bicarakan.
"Ah, apa sih, Tar" Ngomong aja yang keras!" teriak
Pia lagi. "Menyerah! Target terlalu loyal sama majikan!!" Sekarang Tari berteriak dari dekat jendela.
Aku dan Pia mengangguk-angguk, mengerti apa yang
Tari maksud barusan. Rupanya misi Tari nggak berhasil.
Aku jadi ragu lagi tentang urungnya keinginanku memberitahu mereka. Tapi Ghana yang sobatnya Adit aja
bungkam. Aku yang meskipun bukan siapa-siapanya Adit
juga harus bungkam, toh ya itu tadi, aku nggak berhak
buat ember ngomongin ini ke mereka. Tiba-tiba kulihat
001/I/13 88 ada Ghana di belakang Tari. Dalam waktu sepersekian
detik, jitakan Ghana sudah mendarat di kepala Tari.
"Aduh!" kudengar suara Tari cukup keras mengaduh.
"Siapa yang target, siapa yang majikan, hah?" bentak
Ghana ke arah Tari. Rupanya Ghana mendengar apa
yang dikatakan Tari barusan dan mengerti apa maksudnya. Aku dan Pia cuma bisa cekikikan melihat adegan
mereka berdua di jendela, apalagi ketika Ghana dan
Tari sama-sama berteriak berhadapan sambil berkacak
pinggang. Ya ampun, lucunya mereka"
*** Ugh" Sudah berhari-hari ini aku bosan tiap malam. Sekarang bukan musim ulangan, jadi mau belajar rasanya
kok aneh. Nggak ada buku bacaan yang bisa dibaca,
orang-orang rumah juga baru sibuk, jadi nggak ada
yang bisa diajak ngobrol. Mau nonton TV juga males,
acaranya itu-itu melulu. Bosen!
Kubuka pintu kamar yang terhubung dengan balkon.
Meski pemandangan dari sini nggak sebagus pemandangan dari balkon rumah Pia, aku betah juga duduk di sini.
Terutama kalau malam hari, terlebih lagi di saat bulan
purnama seperti ini. Aku duduk bersila di kursi di balkon sambil merapatkan jaket. Kuamati bulan purnama
di atas sana sampai bosan. Kemudian kukeluarkan handphone dari saku jaket. Nggak ada missed call ataupun
SMS masuk. Jam-jam segini, dulu biasanya aku SMS-an sama
teman-teman sekolahku atau beberapa teman SMS-an.
Paling sering sih ya sama Mas Bintang. Kalau sekarang
001/I/13 89 kan udah nggak mungkin. Aku harus pegang janjiku
dong buat jauh-jauh dari yang ada kaitannya dengan
Mas Bintang. Mau SMS-an sama teman-teman, baik
teman sekolah ataupun teman lain, lagi nggak ada
bahan obrolan. Lagian kalo aku SMS, mesti jelasin
dulu nomorku udah ganti, ini nomorku yang baru,
bla bla bla" Males! Kalo mau dihitung-hitung sih, orang yang tahu nomor
baruku cuma lima orang. Papa, Mama, Mas Ardhi, Mbak
Sri, dan Pia. Orang-orang yang paling sering berkepentingan denganku kan cuma mereka. Toh memang orangorang yang aku kenal nggak banyak-banyak amat. Karena
saking sedikitnya orang yang tahu nomor baruku ini,
walhasil handphone-ku tergolong nganggur akhir-akhir
ini. Dan dampak lebih lanjut dari nganggurnya handphone-ku ya sekarang ini. Aku hampir mati kebosanan.
Untuk mengatasi rasa bosan, aku mulai memainkan
semua game yang ada di handphone-ku. Bosan main
game, aku iseng memotret wajahku sendiri dengan berbagai pose dan mimik muka. Usai bernarsis ria, aku
iseng mengutak-atik handphone-ku. Mulai dari mengganti wallpaper dan ringtone, merekam dan menyimpan
voice mailbox baru, atau sekadar membaca ulang SMS
yang masuk akhir-akhir ini, yang kebanyakan dari Pia.
Apa bener-bener nggak ada nih orang yang bisa diajak
ngobrol malam ini" Mau SMS Pia kok rasanya nggak
bervariasi, dari kemaren cuma SMS-an sama dia, nggak
seru. Rasanya pengin SMS siapaaa gitu, atau ngerjain
siapa kek, tapi siapa"
Tiba-tiba aku teringat secarik kertas yang masih ada
di meja dekat tempat tidurku. Kalau memang lagi pengin
001/I/13 90 ngerjain orang dan toh punya target yang tepat beserta
kelengkapan yang dibutuhkan (yaitu nomor handphone
si target) kenapa nggak sekalian dilaksanakan aja misi
A Little White Lie Karya Titish Ak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngerjain orang tersebut" Tahu kan siapa target yang
aku maksud" Tak lain dan tak bukan ya Adit. Toh dia
nggak tahu nomorku. Tapi gimana ya cara ngerjainnya" Kalo cuma di-SMS
kurang seru. Lagian sisi ngerjainnya di mana, coba"
Paling cuma jadi partner ngabis-ngabisin pulsa aja.
Atau mending diteror aja, ya" Semua orang pasti sebel
kalau di-missed call orang nggak jelas, sering pula!
Nah, itu aja deh yang bakal aku lakukan"
Tanpa melihat secarik kertas itu pun, aku masih ingat
nomor Adit yang memang mudah sekali diingat itu. Kutekan beberapa tombol di handphone-ku beberapa kali.
0-8-5-6-5-6-7-8-9. Siip! Tinggal menekan tombol dial,
aku membaca nomor itu lagi. Seingatku bener ini nomornya. Kalau aku neror Adit, kira-kira dia bakal
nanggepin kayak apa ya" Kutempelkan handphone-ku
ditelinga. Yup, ada nada sambung. Tanpa menunggu
panggilan itu diangkat, kutekan tombol reject.
Sepuluh menit berlalu" Sepertinya panggilanku tadi
dicuekin. Kucoba sekali lagi menghubunginya, kali ini
aku mendengarkan nada sambungnya agak lama, tapi
tetap tidak diangkat juga.
Sepuluh menit berlalu lagi" Tanpa mengenal kata
menyerah aku menghubungi nomor itu kembali. Masih
tidak ada reaksi. Setiap lima menit, aku menghubunginya
lagi dan lagi. Masih sama seperti tadi. Jangan-jangan
bukan nomor Adit ya"
Aku kemudian berjalan ke dalam kamar dan meng001/I/13 91 ambil kertas yang bertuliskan nomor handphone Adit
dan begitu sampai di balkon lagi aku mencocokkannya
dengan nomor yang sudah kuhubungi berjuta-juta kali
barusan. Sama kok, bener. Kalau begitu aku yang salah
inget" Nggak mungkin! Ingatan bagusku ini belum pernah mengkhianatiku. Kesimpulan terakhirku, mungkin
Adit baru sibuk dan sedang jauh dari handphone-nya.
Jadi dia nggak tahu ada banyak missed call nggak
jelas dari nomor asing yaitu nomorku. Aku mulai mengantuk, capek, dan menyerah. Aku berdiri dan berjalan
menuju kamar. Setelah mengunci kedua pintu kamar,
aku langsung mematikan lampu dan berbaring di kasur empukku. Sebelum aku bersiap tidur, aku mencoba
untuk terakhir kalinya menghubungi nomor tadi. Karena sedikit mengantuk, tanpa sadar aku membiarkan
nada sambungnya terlalu lama.
"Halo." Aku langsung membuka mataku lebar-lebar
dan dengan gugup menekan tombol reject.
GLEKK! Diangkat!! Dan aku kenal betul suara tadi
bener-bener suara Adit. Tiba-tiba rasa kantukku hilang.
Aku menunggu kalau-kalau Adit membalas missed callku. Entah berapa jam sudah berlalu, handphone yang
tergeletak di sebelah tempatku berbaring itu tetap bergeming. Jangan-jangan cowok ini nggak terganggu sama
Pulau Rahasia 3 Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis Cinta Sang Naga 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama