Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 7
Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan setelah mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti gerak kesedarannya.
Benarkah aku sekarang sudah Islam" Muslim" Bernama Salasa"
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut.
Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti yang lain.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan kesamaannya.
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!
Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu sendiri.
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari terjemahan" Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia akan mulai panjang.
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri sendiri" Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini.
Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soalsoal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren baru nanti" Apakah aku harus meninggalkan kebencian orang terhadap diriku" Teringat ia pada Liem Mo Han: Wira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini" Tak ada orang mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku"
Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa berbahagia.
Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan kata-katanya.
Kemudian Rama Cluring muncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.
Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah dalam dirinya.
Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui harihari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore hari dan belajar membaca disore hari.
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia perhatikan galanya.
Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar. Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai. 0o-dw-o0
Genap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja negeri sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama Buddha.
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi, dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, dan dititahkannya semua memindahkan harta dan perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.
Lihat, bagaimana hebatnya Gresik, ia meneruskan. Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah, Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, tetapi Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!
Danu adalah seorang patriot Gresik.
Wiranggaleng tak sempat membikin perbandingan dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Danu.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.
Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari perut bumi.
Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya.
Biar aku cuci paculmu, Kang Danu! dan tanpa menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran dan mencucinya dengan setekam rumput.
Kalau aku sudah tamat nanti, katanya menambahi sambil menyerahkan pacul Danu, aku akan masuk ke daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri. Kau! Danu tertawa geli, belum lagi dua minggu belajar! Tidak semudah itu, dan dengan gaya keguruguruan meneruskan. Abangku sudah setahun di Dahanapura. Apa hasilnya" Buh! Tak ada. Apa kekurangan dia" Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa Tenggara.
Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah. Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang. Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang. Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik. Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik. Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun punya bandar dan angkatan laut.
Buh! Danu melecehkan, penyebaran agama bukanlah perang, ia meneruskan, majunya tidak seperti tentara berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura"
Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada yang membuka perguruan, kata orang, menyebarkan agama sendiri. Itu kata orang, Kang.
Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, beberapa waktu yang lalu, Danu mulai berjalan di atas pematang menuju ke desa dan Wiranggaleng mengikutinya dari belakang.
Di mana abangmu sekarang, Kang Danu" Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya. Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan pada Kongso Dalbi di Malaka& . Tahu siapa Kongso Dalbi" ia menengok dan menyaksikan gelengan Wiranggaleng. Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan pengukirnya.
Apa yang diukir pada kayu itu, Kang"
Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di dalam hutan.
Pengukirnya, Kang" Pengukir asal Tuban, Borisrawa.
Wiranggaleng mengangguk di belakang Danu. Dia sudah di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mulutnya: Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang"
Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya. Apa meriam itu, Kang"
Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.
Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya dari belakang, memanggul pacul masing-masing.
Apakah Peranggi suka memberikan meriam" Pada lawan Islam" Boleh jadi, jawab Danu ragu-ragu. Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya bisa besar dan ampuh.
Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu dengan kafir Peranggi"
Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, Peranggi sudah ada di sana" Persembahan Patih Udara itu nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan Panarukan.
Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wiranggaleng mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan katakata Danu yang menggurui. Dan begitu jarak mereka telah nampak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya: Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat, tapi aku tak tahu tuah di dalamnya, ia keluarkan bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.
Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu. Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah. Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan mulai membaca.
Ini bukan ajimat, katanya setelah membaca sebarisdua. Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat surat ini" Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak& . Kalau tidak, apa Kang"
Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini" tanya Danu mendesak dan bersungguh-sungguh.
Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku ceritai kau.
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa yang sunyi itu. Wiranggaleng memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya ditambah lebih banyak.
Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai.
Dan Danu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya. Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. Dengan suara rendah ia berkata: Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali juga terjemahanku tidak benar.
Jangan, Kang, jangan. Siapa sebenarnya kau ini" Kau datang kemari bukan hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada Gusti Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!
Jangan, Kang, jangan, tegah Wiranggaleng dengan suara ketakutan.
Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya. Tangan Wiranggaleng cepat melayang, menangkap tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu lebih jauh lagi.
Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa Batara.
Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya& . 0o-dw-o0
Ia tak menempuh jalan laut.
Setelah dapat menangkap makna isi surat ia langsung mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini" Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku" Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan kelangsungan hidup praja Tuban.
Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan masasilam pada guagarba haridepan" Untuk Tuban" Inikah"
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun aku salah.
Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di pinggir hutan.
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati Tuban.
Ya, katanya setelah agak lama berdiam diri, berikan surat ini pada yang berhak.
Wiranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar, dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang duduk membaca kitab.
Hasalamu alaikooom! serunya.
Tholib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat Wiranggaleng mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan menelan ludah. Awan dengan lambat berarak meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: Wa alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. Ah, ya, benar sekali! ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan bongkoknya. Siapa menduga kau sudah berambut pendek begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan lebih bersih dan lebih berbahagia.
Alhamdulillah, tuan Syahbandar.
Siapa yang mentaubatkan kau" Rangga Iskak" Tidak salah, Tuan Syahbandar.
Tak pernah kau nampak begitu periang seperti sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak"
Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat balasan.
Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana perjalananmu.
Dan Wiranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya dengan tertawa-tawa senang.
Mana surat balasan itu" tanyanya tak acuh. Mana. mana"
Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara kepura-puraan dari kesungguhan.
Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.
Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi bersungguh-sungguh.
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu nampak berubah-ubah. Kemudian Syahbandar itu berhenti membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki wajahnya.
Wira panggilnya dengan menusukkan pandang pada matanya: Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap" Tidak, tuan Syahbandar.
Memang orang keparat, katanya dan kembali mempelajari keadaan surat itu.
Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga Iskak"
Demi Allah, Tuan. Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira" Demi Allah, Tuan Syahbandar.
Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa dirinya diragukan.
Kalau begitu lama pergi, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan penyelidikannya.
Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan pulang.
Siapa saja pernah membaca ini" Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang bisa menulis dan membaca Arab.
Kau bohong! tuduhnya. Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondarmandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan tiba-tiba berhenti di hadapan Wiranggaleng.
Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang membaca surat ini.
Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai sahaya lagi.
Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.
Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.
Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih denganku.
Bukankah sahaya tak bisa memaksa Tuan Syahbandar percaya pada sahaya" Terserah saja pada Tuan sendiri hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak membutuhkan kepercayaan Tuan. Sungguh.
Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir itu selalu membikin orang tertarik pada persambungannya dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga tertangkup jadi satu.
Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, dengan nada membujuk ia bertanya: Lamakah sudah surat ini kau simpan"
Segera setelah sahaya menerimanya. Aku percaya padamu, Wira, ia diam lagi. Dan Wiranggaleng tahu, ia tak percaya. Aku senang kau telah masuk Islam, Wira. Salasa nama sahaya, Tuan.
Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga artinya sempurna, ia tertawa dibuat-buat. Baiklah, lain kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, Salasa"
Tentu saja, Tuan Syahbandar.
Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mulia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang Adipati ataupun Sang Patih. Mengerti kau"
Belum, Tuan Syahbandar. Di hadapan Allah kau lebih mulia daripada semua mereka.
Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan mereka sendiri bagaimana, Tuan"
Tentu saja tetap seperti biasa.
Wiranggaleng menahan tawanya. Ia menunduk dalam.
Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, karena kau sudah bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang pergi& .
Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya. Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu sahaya tahu.
Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira" Bagaimana menyempurnakannya, Tuan Syahbandar" Menari di pendopo, Wira,& Sang Adipati. Ah, bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti. Wiranggaleng menunduk dalam.
Mengapa kau diam saja" Baik, Tuan Syahbandar. Syukurlah kalau kau mengerti.
Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi Tuan"
Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah dengar suara orang" Semua sudah bercerita. Wira, betapa hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri& . Pulanglah, Tuhan memberimu petunjuk dan keselamatan dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di hadapan Allah.
Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban bagi tubuhnya sendiri.
0o-dw-o0 Idayu tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu kedatangannya di dalam kamar. Gelar tidak nampak. Ia nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. Mengapa kau diam saja, Idayu"
Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi suaminya.
Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu" Idayu menunduk.
Sakitkah kau" Ia menggeleng.
Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku" Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang pendek.
Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu istrinya.
Berubahkah aku, Dayu"
Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan perubahanmu, perubahan sikapmu, suara Idayu semakin pelahan dan sayu. Aku masih juga ragu apakah aku boleh mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku& .
Mengapa kau bicara begitu" dan duduklah ia di samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal.
Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa cundrik sambil duduk begitu.
Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa yang sudah terjadi"
Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar. Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku" Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri di hadapanmu"
Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus. Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. Kang.
Kau masih suka dipanggil menari" Masih, Kang.
Dan mimpi lagi seperti dulu" Tidak, Kang.
Apakah Syahbandar masih suka mengintip seperti itu" Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari muka Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia mengangguk.
Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang" Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku. Galeng mempermain-mainkan cundrik kecil. Mana sarongnya ini, Dayu"
Sarong yang mana" Wiranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada.
Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan tinggalkan kau terlalu lama, Idayu.
Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan ragaku.
Ceritai aku tentang Gusti Adipati.
Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini. Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.
Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang, ia berdiri tetapi ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, Apakah benar kau membutuhkan sarong yang lama" Tidakkah kau menghendaki yang baru"
Wiranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu memeluknya dan air-mata membasahi mukanya. 0o-dw-o0
16. Datangnya Meriam Portugis Pesta laut itu tidak semeriah biasanya.
Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta. Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar turun gerimis kecil.
Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan bunga-bungaan dan ketupat telah ditebarkan ke laut orang pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api.
Tetapi pesta itu kini telah ditiadakan. Dahulu dalam pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak yang harus dibakar. Bila abunya telah diambil, janda-janda pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat jadi abu pula.
Pesta api sudah tiada. Orang-orang Islam telah berusaha melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula dalam pembisuannya menerima Islam tanpa sepengetahuan suaminya. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras dan kemudian hilang seperti tertiup angin badai.
Sebagai akibatnya Tuban mulai menghadapi masalah janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk memberikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan. Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampungkampung para perantau untuk mendapatkan sekedar makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila nasib baik mereka memang bisa mendapatkan dirinya sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun kelapa.
Walau pun pada umumnya penduduk negeri Tuban beragama Buddha, tetapi pengaruh Hindu dan adatistiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja karena perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi pergantian agama: Syiwa, Wisynu, Brahma dan Buddha, bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang menyebabkan pembakaran janda tetap umum di manamana di negeri Tuban. Dan wanita yang menceburkan diri ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai sebagai wanita setiawan dan terpuji.
Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal adalah sumber penghidupan mereka yang pokok. Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membikin mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang hidup. Pejabat-pejabat bandar tak jarang mengalami kesulitan karena mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bandar Tuban adalah bandar bebas, juga untuk mereka, Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang.
Dan kini kelengahan bandar telah mengancam penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan daerah bandar, mengembara ke mana-mana untuk mendapat sekedar makan.
Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan untuk ikut memeriahkannya, karena itu mengingatkan mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya. Demikianlah pada pesta air ini Liem Mo Han menjadi korban mereka& .
Malam itu mendung menutup semua bintang di cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti mata bencana sedang mengintip dunia.
Liem Mo Han datang ke pelabuhan untuk mencari Wiranggaleng.
Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari tunggal di depan umum. Tetapi ia tak dapat menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu selesainya pertunjukan.
Serombongan janda gelandangan telah menyergapnya. Ia meronta dan melawan, tapi sia-sia. Ia tahu mereka adalah wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus menggunakan kekerasan. Adalah memalukan kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang menyeretnya. Lebih baik begini daripada jadi tertawaan seluruh negeri, pikirnya.
Kuncirnya yang panjang telah dicengkeram oleh tak kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang kecil itu terjatuh.
Tapi ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar dari rahim ibunya.
Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan.
Dan larilah Liem Mo Han dalam malam gelap bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan. Mula-mula ia menuju ke warung Yakub. Ternyata pintunya tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke syahbandaran, tanpa mengindahkan larangan untuk memasuki daerah itu tanpa seijin Syahbandar. Dan bersembunyi ia di sesuatu tempat sambil menunggu kedatangan Wiranggaleng.
Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih tenang dan lengang.
Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa ampun. Dan kepalanya terasa panas seakan tengkoraknya sudah menganga setelah sebanyak itu tangan yang menjahili kuncirnya.
Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksirtaksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya. Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orangorang yang selama ini diburunya: Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Ternyata mereka berada dalam sebuah ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar.
Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan bicara lepas-lepas: Anjing Moro itu mau jual kita pada Malaka.
Bagaimana kita bisa terantai begini" Esteban menggerutu gusar dengan menyesali diri. Bukan untuk dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas. Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk itu"
Kau masih ingat kata-katanya" Seperti sudah jadi kaisar saja. Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke manamana , katanya, seperti Tuban ini sudah jadi miliknya pribadi.
Esteban mendengus jengkel. Kemudian: Seperti sudah setinggi langit kekuasaannya. Tuan-tuan aman dalam perlindunganku , katanya. Dan kita aman dalam perantaian seperti ini. Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang Adipati, karena matilah Tuan-tuan di tangannya. Uih, bangunbangun sudah terantai begini.
Barangkali Sang Adipati memang menghendaki jiwa kita"
Psss. Dia bukan sekutu Demak, Esteban barangkali sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. Ah, tunggu, benar, dia toh sekutu Jepara. Tapi kita tak ada sesuatu urusan.
Liem Mo Han mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran: Siapa" dalam Melayu.
Ia lari berputar ke belakang Syahbandaran dan menuju ke gandok kiri.
Justru pada waktu Wiranggaleng bersama istrinya sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam rumah.
Kaukah itu, Wira Salasa" Sahaya, Tuan Syahbandar. Dengan istrimu, Wira" Sahaya, tuan Syahbandar.
Tak ada kau lihat orang berjalan di sini" Tidak. Sahaya justru baru datang.
Percakapan itu selesai. Wiranggaleng bersama istrinya masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan: Wira, Wira, keluar sebentar, sahaya ada di sini. Liem Mo Han di sini, Wira.
Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan pesalin.
Mari aku antarkan keluar dari sini, Wiranggaleng menawarkan jasanya.
Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan masih juga belum percaya.
Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan. Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di hadapan dua orang Portugis yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti tadi. Pada tangan Syahbandar terdapat selembar nampan dengan cerek tembikar di atasnya. Syahbandar-muda tak mengerti Portugis. Ia serahkan celah pada temannya. Dan ia menjaganya.
Liem Mo Han melihat Esteban del Mar dan Rodriguez Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri Syahbandar sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam tidak begitu terang.
Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas. Tetapi suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka sedang memaki-maki.
Pengecut, penipu! suara Rodriguez. Kau rantai kami dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini. Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.
Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau" Anjing" Bukankah kami tamumu, yang makan garammu" suara Esteban, agak lunak.
Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus setelah begitu lama tidur" Di luar sana pesta air baru saja selesai. Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan menggunakan kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah, Syahbandar membuka pidatonya.
Lepaskan rantai ini, Rodriguez meraung.
Jangan keras-keras, Syahbandar memperingatkan. Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud Tuan-tuan tercapai juga maksudku.
Binatang! suara Rodriguez. Aku bisa meraung sekuat paru-paruku.
Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam balatentara Tuban. Nasibku sendiri" Takkan jauh dari Tuan-tuan celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah. Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu" Hanya si goblok saja mau dengarkan kafir Moro. Lepaskan, Rodriguez mengancam. Awas, jangan sampai aku marah.
Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku. Syahbandar dilindungi kuat oleh Sang Adipati selama kalian tidak lepas, jawab Syahbandar setelah menaruh cerek tembikar di atas lantai, kemudian diambilnya tongkat dari bahu dan mengamang-amangkan. Tidakkah kalian bisa sopan barang sedikit" Sudah lenyapkah kesopanan yang leluhur ajarkan pada bangsamu"
Rodriguez menjawab dengan semburan ludah pada muka Tholib Sungkar Az-Zubaid. Yang belakangan ini menyeka muka dengan lengan jubahnya, kemudian meludah sendiri ke lantai.
Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan, dengan ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga Rodriguez mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor gemerincing.
Sudah, sudah, hentikan itu, Esteban menyabarkan Syahbandar.
Sekarang begini, Tuan Syahbandar. Kau ini hanya bajingan tengik. Kami akui, kami pun bajingan petualang belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa kerjasama"
Baik, aku dengarkan usulmu.
Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau begundal d Albuquerque" Kalau kau hanya begundal raja Pribumi, Sang Adipati itu, katakan saja apa dia mau, dan kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap bekerjasama denganmu.
Indah sekali. Teruskan. Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d Albuquerque, kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.
Bagus. Andaikan aku begundal Sang Adipati, bagaimana usulmu setepatnya, ia terbatuk-batuk. Nah, kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan. Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal. Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, guru dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu. Ayoh, mulai. Aku dengarkan kata demi kata.
Rodriguez telah siap dengan makian baru. Esteban mencegahnya.
Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain sandiwara.
Jangan kalian kira aku belajar Portugis untuk dengarkan maki-maki-annya. Aku yakin lebih banyak buku Portugis aku baca daripada kalian. Teruskan, Esteban. Tapi Esteban masih sibuk menyabarkan temannya. Kau benar, Esteban. Kau nampaknya lebih tua dan lebih punya pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti kalian.
Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan Syahbandar masih mau dengarkan aku, tidak"
Ayoh, mulailah. Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang Pribumi" Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan kami berdua pembantumu yang paling setia.
Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka punya alat pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di Eropa.
Semua itu bisa diakali, Tuan Syahbandar. Dan Tuan sendiri punya banyak akal dalam persediaan.
Usulmu ternyata lebih bodoh daripada orang Pribumi. Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang Adipati Tuban mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli meriam. Ia menghendaki kalian mengajarkan membikin meriam& .
Rodriguez tertawa terbahak.
Mengapa tidak dari kemarin bicara" Aku sanggup, apa lagi Esteban. Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.
Sabar, nanti dulu. Kalau aku menyanggupinya, matilah aku di sini, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan pidatonya. Kalian hanya penembak meriam. Lebih tidak. Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam" Kalau kalian punya keahlian lebih dari menembak, menembaki kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan kebohongan kalian.
Kafir! maki Rodriguez. Jadi aku punya rencana lain, agar kalian selamat dan aku pun tak kurang suatu apa.
Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat semua orang, gertak Rodriguez.
Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku rantai" Aku mengerti darah Portugis. Kalau kalian orang Ispanya, barangkali lebih daripada rantai. Mungkin kalian aku pakukan pada tiang ini.
Jadi dia mau jual kita pada d Albuquerque, Esteban. Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.
Tidak. Kalian bocah-bocah Portugis. Aku tahu kalian membutuhkan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan terutama laut, Syahbandar Tuban meneruskan. Biarlah kalian mendapatkan kembali kesempatan mengabdi pada raja dan negeri kalian.
Tak ada urusan, bentak Rodriguez.
Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku bawakan cerek ini, dengan tongkatnya Tholib Sungkar menuding pada cerek di atas lantai, tak perlu kuantarkan kemari, biar kalian mampus kehausan.
Diam kau, Rodriguez. Biar aku yang bicara. Nah, teruskan Tuan Syahbandar Tuban. Kami yang mendengarkan sekarang.
Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan, kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke Maluku. Kapalkapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan seluas ini. Pangkalan baru masih dibutuhkan. Lebih banyak lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana kedua ini. Kalian akan merasa puas di kemudian hari dan akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuantuan benci ini.
Dia memang hendak jual kita pada Malaka! Rodriguez memperingatkan. Hati-hati, Esteban.
Tidak, demi Allah. Lagi pula d Albuquerque sudah tak ada di Malaka. Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan dapat tambahan real.
Tuan Syahbandar, Esteban menyela. Ingatkah kau bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami" Aku kelahiran Ispanya.
Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang Spanyol atau Portugis, bahkan bayi dalam kandungan pun, bisa percaya pada mulut Moro, Esteban menambahi.
Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang, Tholib Sungkar menyorong cerek arak dengan ujung tongkat ke dekat mereka, orang Moro juga yang melayani Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan menolaknya. Minumlah.
Mengapa kau sorong dengan tongkat" Kurangajar! Terlalu mahalkah tanganmu" Esteban memprotes. Dijauhkan oleh Allah kiranya aku dari tangan kalian. Rodriguez menghentak-hentak lantai dan rantai tegang kembali karena ia mencoba menyambar Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan, gumam Rodriguez gemas. Ia tak berhasil menyambar Syahbandar.
Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di tanganku.
Esteban pun kehilangan kesabarannya. Tholib Sungkar pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali. Dan Syahbandar kembali berbalik dengan tangkai tongkat hendak menarik cerek.
Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang, katanya mengancam. Rodriguez menangkap cerek yang hendak ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru kemudian disorongkan pada Esteban yang juga segera meminum isinya. Setelah kosong dilemparkannya cerek itu pada muka Syahbandar.
Tholib Sungkar tak sempat mengelak. Benda itu berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang di lantai. Tak pecah.
Begitulah orang Portugis menyatakan terimakasihnya, ia menggerutu sambil menyeka lukanya. Tapi kalian memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.
Ayoh, dekat-dekat sini kau! tiba-tiba Esteban meluap. Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyahkunyah jakunmu! Ayoh, dekat sini.
Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar Pribumi bikin meriam, sebentar lagi aku lepas. Sayang Tuan-tuan takkan dapat membikinnya untuk sisa hidup kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membikin meriam, pulang ke Lisboa!
Tanpa diduga-duga Tholib Sungkar Az-Zubaid menghantamkan tongkatnya pada Rodriguez.
Ampun, ampun, gumam Rodriguez dengan suara semakin lemah tak nyata, kemudian terguling, tertidur.
Kau pun mendapat bagianmu, tongkatnya menghantami punggung Esteban.
Orang Portugis yang dihantami itu nampak seperti orang yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama kemudian ia tersungkur dan juga jatuh tertidur.
Syahbandar menyorong-nyorongkan kepala mereka dengan terompahnya, bergumam tak nyata, keluar dari ruangan dan memasak pintu dari luar.
Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati gedung utama, langsung ke pintu gandok Wiranggaleng dan mendengar-dengarkan. Kemudian ia pergi meninggalkan kesyahbandaran.
0o-dw-o0 Bulan tua itu mengintip dari celah mendung. Tholib Sungkar Az-Zubaid masih juga tak tahu sedang diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti oleh beberapa orang. Sampai di kesyahbandaran ia menuding ke arah gandok kanan, kemudian masuk ke dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti segerombolan orang itu ke gandok kanan.
Mereka semua masuk ke tempat Esteban dan Rodriguez terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua. Sampai di gedung utama Syahbandar memberikan sesuatu pada Yakub dan orang itu memeriksanya, langsung memasukkan ke dalam sakunya.
Syahbandar masuk ke rumah dan tak keluar lagi. Wiranggaleng dan Liem Mo Han mengikuti penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka belum lagi tersinggung.
Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di atasnya adalah gerombolan Yakub membawa Esteban del Mar dan Rodriguez Dez.
Jelek benar nasibnya, kata Liem Mo Han. Kalau mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang ke laut untuk hiu.
Hanya Sang Adipati saja tidak percaya Syahbandarnya hanya orangnya Peranggi, kata Wiranggaleng.
Sang Adipati mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang cerdiknya daripada siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk tidak akan menggunakan kekerasan dalam mencapai semua maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama Syahbandar itu masih bisa dipergunakannya untuk keselamatan dirinya dan Tuban, dia akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak-haknya.
Dan nampaknya Peranggi akan mencoba membikin pangkalan di Jawa.
Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa mengepung Maluku dari semua jurusan. Mereka punya kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa dengan Maluku. Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang Adipati menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah Maluku. Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. Peranggi lain lagi, Wira. Maka itu Gusti Kanjeng Adipati Unus seluruhnya benar, musuh pertama adalah Peranggi, mereka harus dihalau dari perairan Nusantara.
Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. Pengetahuan semacam itu takkan dapat diperolehnya dari para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para nakhoda.
Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar dari ruang kehidupan.
0o-dw-o0 Esteban terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. Tapi pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia berusaha lagi untuk duduk. Kemudian dirasainya tangan dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ingatannya menolak disuruhnya bekerja.
Dirasainya punggungnya memar dan kepalanya berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak berhasil. Kemudian ia tutup kembali matanya dan menopangkan kepala di atas lutut.
Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh pengelihatannya, samar dan tidak meyakinkan. Bundaran cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan diketahuinya itu tak lain daripada sebuah patrisporta kapal. Patrisporta kapal! Kapal apa" Di mana" Dan mengapa sampai bisa datang ke mari" Sekarang ingatannya mulai berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan pandang ke sekelilingnya. Kapal apa" Kapal Siapa" Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding.
Kemudian ia menyedari adanya Rodriguez yang tidur miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai udara. Kepalanya miring dan air liur menetes dari sudut mulurnya. Dengan sendirinya Esteban menyeka sudut mulut sendiri dengan bahu.
Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal Portugis!
Maut, bisiknya, dan dibangunkannya temannya. Aha! seseorang berseru dari belakangnya.
Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang terkirai seorang perwira sedang mengintipnya.
Esteban mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu ia tidak tahu waktu.
Puas berpetualang, he" ejek perwira itu. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga" Jantung Esteban mulai berdebaran kencang. Ia mencoba untuk berdiri lagi. Tapi perwira itu telah hilang. Pintu tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha membangunkan temannya.
Rodriguez hanya menggeliat malas, kemudian meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut.
Bangun, bangun kau, ia goyang-goyangkan temannya dengan tangannya yang terikat. Melihat Rodriguez tak juga bangun ia membisikkan pada telinganya, Bangun kau, anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam kamar perwira! Bangun, anjing!
Ia sorong-sorong temannya. Rodriguez menggeliat lagi kemudian mencoba membuka tapuk matanya yang berat. Dan mata itu tertutup kembali.
Anjing terkutuk! makinya, menikmati tidur, tak tahu kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya. Melihat temannya tak juga mau bangun ia pergunakan sikut untuk menyakitinya.
Rodriguez bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi pengalaman Esteban. Ia buka matanya dengan tapuk berat. Memang kita masih mabuk, kata Esteban. Sebentar lagi kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.
Rodriguez telah menutup matanya kembali. Dengan dua tinjunya yang terikat Esteban memukul pipinya, dan temannya jatuh di geladak sambil menggeram. Esteban menggunakan sikutnya lagi dan Rodriguez bangun menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola matanya mengintip.
Hhhh" tanyanya. Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup waktu untuk tidur.
Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak menghadapi orang Moro atau Pribumi, tapi bangsanya sendiri.
Dengan sikutan dan tonjokan Rodriguez menjadi sadar. Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya. Ia siap hendak memaki.
Sttt, cegah Esteban. Jangan gaduh. Kita sedang di kapal Portugis.
Kesedaran membikin Rodriguez terkejut, kemudian pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke dalam membawa sebilah tongkat: Anak maut! katanya menggigit pahit. Ia pandangi Rodriguez yang berjuang hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya. Rodriguez berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.
Habis suka datang duka, he" Akhirnya di geladak yang lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat"
Sekali lagi Rodriguez berjuang untuk dapat bangun. Esteban tinggal duduk di tempat.
Bagaimana" Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak maut terkutuk" Rodriguez berdiri dan Esteban berdiri pula dengan berpegangan pada dinding.
Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak pada mukanya.
Kalau semua pemuda Portugis semacam kalian ini, apa jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian"
Bagaimana dengan tugas suci kalian" Ha" Memang hanya tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!
Mereka berdua memberi hormat. Tapi perwira itu tidak membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke tumit: Mana sepatu kalian"
Sudah lama hancur, Tuan, jawab Esteban. Pakaian apa kalian kenakan itu" Merampas kepunyaan kafir perbegu"
Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan mereka dan meninju muka Esteban. Ia menggelepar jatuh miring di geladak.
Bangun! perintahnya. Sebelum ia dapat bangun, Rodriguez mendapat giliran. Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih tangan sendiri.
Apa kataku" Bangun! Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam pengawasan kejam perwira itu.
Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap maju ke pengadilan kapal" Mengapa diam saja" Sudah tak punya lidah" Sudah kau gadaikan lidah itu pada kafir perbegu" Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam kuah. Jawab.
Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan. Bagus. Begitulah pemuda Portugis menghadapi mautnya. Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka. Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga jam. Kemudian: Jadi kalian sudah banyak tahu tentang daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dulu dengan perintah, ia tertawa mengejek, Sri Baginda dan Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian, sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan. Kalau tidak boleh jadi kalian akan mendapatnya. Siapa tahu mungkin diangkat jadi laksamana& Barisan kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana. Apa sekarang" Aku pun muak melihat kalian. Mengapa gemetar" Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi"
Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah untuk dapat mempertahankan keseimbangannya. Jawab!
Dua hari satu malam kami belum lagi makan, jawab Esteban del Mar.
Kasihan hiu-hiu itu. Tentu kau terlalu kurus untuk mereka. Kasihan, bukan" melihat mereka tak juga menjawab, ia menggertak: Kasihan, bukan"
Ya, Tuan, kasihan sekali, jawab Rodriguez. Mengapa dengan sekali"
Karena mungkin mereka seminggu belum makan. Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang" teriaknya pada Rodriguez, kemudian mendadak menuding Esteban: Tiang gantungan, Tuan.
Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu" mendadak ia alihkan tudingan pada Rodriguez: Indah, Tuan.
Tanpa sekali" Kalau Tuan membutuhkan yang sekali& . Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya Rodriguez jatuh. Tapi perwira itu menyambarnya dengan pertanyaan: Tanpa sekali, tanyaku.
Tanpa sekali, Tuan, jawab Rodriguez sambil berdiri. Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu sekarang" ia tunggu Rodriguez kukuh dalam tegaknya. Kau simpan di mana"
Rodriguez bingung untuk menjawabnya. Di mana" pekik perwira itu.
Sudah tertelan, Tuan. Tertelan" Jadi dalam perut" dan dipukulnya perut Rodriguez.
Dan sekali ini Rodriguez Dez tak bangun lagi. Ia pingsan.
Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang gantungan"
Seperti seorang penari, Tuan.
Penari" Coba terangkan mengapa seperti penari. Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan. Kalau lelaki dia gagah, Tuan.
Juga tanpa sekali, Tuan. Kira-kira tanpa, Tuan. Anak maut! Mengapa tanpa" Karena Tuan belum menghendakinya. Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan menjenguk keluar. Memanggil-manggil: Kelasi. He, kelasi! ia kembali ke tempatnya dan duduk.
Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan berdiri di tempat.
Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.
Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan. Rodriguez masih nyenyak dalam pingsannya.
Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu bangun lagi, dan pada Esteban, mengerti kau" Dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.
Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.
Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan, apakah kau akan membalas dendam padaku" Tidak, Tuan.
Mengapa tidak, kau, calon iblis"
Karena Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri Portugis.
Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan sekarang ia pura-pura.
Dan Rodriguez bangun terburu-buru.
Nah itulah tingkah pemuda Portugis yang tidak patut. Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan. Lebih cepat dari sekarang, Tuan. Lantas"
Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat gemetarnya seseorang harus membantunya.
Cuma itu saja" Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentarsebentar menelan ludah, kerongkongannya kering.
Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah menggantung o-rang.
Pekerjaan tambahan, Tuan.
Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan, kelasi.
Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati. Celakalah yang lehernya kuat.
Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh" Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti bunyi kecil klik dari persambungan tulang leher yang patah. Setelah itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan, sebagai pertanda: saat itu& .
Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis. Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher, dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan, Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.
Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk digantung orang"
Selama bersetia pada Portugis, Tuan, Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri& Tuhan takkan membiarkan diri ini mati di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing kepanasan.
Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan, kelasi!
Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang melemparkannya ke laut. Selanjutnya&
Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir lima tahun menghilang.
Empat tahun, Esteban membetulkan.
Nafsu hidupmu masih menyala, Esteban! tegur perwira itu. Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal hidup ini"
Tiang gantungan yang indah itu, Tuan. Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi" Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.
Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita setelah mereka nanti gentayangan sebagai iblis"
Kelasi itu membuat gerak salib dan perwira itu terdiam, kemudian: Cukup, pergi kau.
Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu mengawasinya sampai hilang di balik pintu.
Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda Portugis yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa kepatuhan yang jadi sendi kebesaran Portugis dan Salib, negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian telah dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya untuk kebesaran Portugis dan Salib"
Demikianlah pada mulanya, Tuan, sambar Rodriguez. Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan juga.
Rodriguez terdiam lagi, nampaknya menyesal telah menyambar. Esteban memperhatikan tangan perwira itu. Nampaknya pikirannya beku.
Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak punya pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan pada Salib tetap dijunjung tinggiKami sanggup mengabdi lebih baik! Rodriguez mendesis.
Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya. Ya, Tuan.
Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu" Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih baik.
Bukankah itu sudah terlambat"
Kami masih hidup, Tuan, sekarang Esteban memperkuat.
Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya. Secuwil senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya memancarkan cahaya ramah. Dan terdengar suaranya yang ramah pula, memikat dan menawarkan: Ya, tentu, lebih dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya kalian masih sanggup melayani meriam setelah berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum lupa, kan"
Meriam itu rasanya masih hangat dalam genggaman, Tuan, sambar Rodriguez.
Dan mengapa temanmu membisu saja, Rodriguez" Lebih dari melayani meriam kami pun sanggup, Tuan. Nah, begitu pemuda Portugis, perwira itu tertawa, memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan matanya berseri-seri mengejek.
Nafsu hidup kalian memang besar. Ia keluarkan sepucuk surat dari kantong. Kalian sudah pandai berbahasa Melayu dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian kenal juga siapa itu Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Tidak, Tuan, jawab Esteban del Mar mencoba meramahi perwira itu.
Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau Malaka, bukan Portugis. Siapa yang menangkap kalian kalau bukan Tholib Sungkar Az-Zubaid" Syahbandar Malaka"
Bukan, Tuan, Sayid Habibullah Almasawa, Syahbandar Tuban, Esteban mendapatkan semangatnya pribadi. Serigala pun lebih cerdik daripada kalian. Ya, Tuan.
Dengarkan: Tholib Sungkar Az-Zubaid, bekas Syahbandar Malaka, apakah namanya Tholib Sungkar ataukah Sayid Mahmud ataukah Sayid Habibullah, telah meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian. Dengar"
Ya, Tuan, mereka menjawab berbareng.
Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya. Daripada kalian jadi makanan hiu, pintanya, baiklah kalian diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian barangkali sekarang lebih mengerti: Tholib Sungkar itu penyelamat nyawa kalian. Tapi entahlah bagaimana kalian nanti menjawab di depan pengadilan kapal.
Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda dan Sri Ratu, demi Portugis, demi Salib, Esteban mewakili.
Dan perwira itu tidak menggubris. Mari aku bawa kalian ke pengadilan.
Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. Esteban dan Rodriguez mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke belakang.
0o-dw-o0 Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap kapal Portugis. Pandang mata sepanjang jalan tidak menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting daripada pandang orang.
Tetapi mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung.
Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak atau setengah rusak dan meriam-meriam dengan atau tanpa roda.
Pada mulanya, perwira itu memulai lagi, dua pucuk ini akan kukirimkan ke Pasuruan. Mendadak ia tertawa dengan muka tertengadah pada langit-langit. Kafir-kafir dungu itu mengira, dengan meriam orang bisa jadi segagah Portugis. Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, Esteban dan Rodriguez, sanggupkah kalian melayani dua pucuk meriam ini"
Tapi ini barang rusak, Tuan, Rodriguez menyambar. Tinju itu menghantam mulut Rodriguez dan ia meliuk. Darah keluar dari mulutnya. Ia meludahkan darah dan gigi. Kami bisa betulkan, Tuan, Esteban memperbaiki. Betul. Itu jawaban gaya Portugis. Kalian bisa betulkan sendiri. Memang meriam rusak semua ini. Kalian justru harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini. Kalaulah tidak karena ini, tali gantungan yang akan kalian temui.
Ya, Tuan, Esteban menjawab sangat sopan. Kami pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan. Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan. Ya, Tuan, Esteban menjawab lebih sangat sopan lagi. Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata ini& . Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup atau mati pada senjata ini.
Dan Esteban dan Rodriguez justru tak dapat berpikir. Bagaimana"
Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan, jawab Esteban.
Betul" Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai pemuda Portugis"
Betul, Tuan. Perwira itu tertawa melecehkan. Kemudian: Memang, tali lebih berat daripada meriam. Hanya sekali ini kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan memperbaiki diri. Tidak benar" Tali gantungan juga yang kalian parani.
Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia padanya sampai mati, Esteban hampir-hampir mengulangi sumpahnya sebagai kanonir.
Perwira itu memberi isyarat. Ia berjalan lebih dahulu dan dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan orang bukan Portugis sedang berdiri menggerombol dan tersenyum-senyum memandangi mereka.
Ya! seru perwira itu pada mereka, kemudian dalam Melayu, bawa mereka turun!
Dengan bantuan beberapa orang Esteban dan Rodriguez diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke belakang.
Hari telah malam dan mendung tebal mengapung di udara.
Lampu-lampu dari atas kapal membikin mereka dapat melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang berpakaian Pribumi. Tetapi dari raut mukanya mereka nampaknya peranakan Arab atau Benggal. Di tengahtengah perahu besar itu berdiri dua buah meriam beroda dan peluru-peluru besi.
Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan tenggelam, pikir Esteban. Dan dengan tangan terikat begini& maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin menjauhi kapal Portugis, menuju ke arah titik nyala nun jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak. Para pendayung itu tak ada yang bicara.
Esteban mencoba menembusi kegelapan dengan matanya yang sudah kehilangan keawasannya karena lapar dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat beberapa biduk Portugis mengikuti dari belakang.
Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membikin Esteban dan Rodriguez merasa kedinginan.
Makan! tiba-tiba Rodriguez meraung.
Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan diam-diam. Dan Rodriguez tidak merasa terhina, juga tidak menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap.
Esteban duduk merenung-renung. Seseorang memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia mengenalnya: Yakub, pewarung arak dan tuak. Ia merasa agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa jahat. Ia mengunyah dan menelannya.
Lagi! teriak Rodriguez dalam Melayu. Dan minum, bedebah! Ia mendapatkan apa yang dipintanya dan terdiam.
Juga Esteban mendapat tambahan dan minum sampai kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama karena minum manis itu.
Lepaskan tali ini, raung Rodriguez memerintah. Ayoh, bedebah! Lepaskan!
Ia lihat Yakub berdiri, mendekati Rodriguez dan meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang menuju ke arah barat.
Moga-moga kapal kafir itu tak melihat kita, doa Yakub.
Mereka akan menduga kita nelayan.
Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi. Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal Portugis bila diburu. Tetapi kapal peronda itu tidak melepaskan eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut tanpa bergerak maju.
Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal peronda itu semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh. Yakub memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah semua iring-iringan, tetapi ke arah cahaya yang timbultenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya. 0o-dw-o0
Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di belakang mereka orang-orang Portugis memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan batang yang menghalangi.
Pantai itu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas, tetapi hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya. Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu. Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang terbuka.
Hanya Esteban dan Rodriguez tinggal di atas perahu itu. Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap yang keluar dari obor. Dan orang-orang Portugis itu tak juga berhenti menyumpah-nyumpah.
Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai. Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol ramai. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng, mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: Yakub"
Ya, Yakub di sini, ia menjenguk ke perahu dan memerintahkan Esteban dan Rodriguez turun.
Orang mulai sibuk menurunkan meriam dan peluru. Juga orang-orang Portugis yang beberapa belas itu menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing: peluru, onderdil meriam dan perlengkapan sendiri.
Esteban dan Rodriguez menghindarkan mukanya dari sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk, kemudian merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya.
Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri. Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri api unggun, menghangati makanan kemudian makan, tanpa datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Esteban merasa disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya, juga tersingkirkan daripadanya. Ia merasa nelangsa. Dan ia tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri.
Setidak-tidaknya, bisik Rodriguez, sampai detik ini kita masih hidup. Sambar gledek mereka.
Esteban menutup matanya dengan melindungkan mukanya pada rumputan. Seperti Rodriguez ia pun tidur tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpahnyumpah, lupa akan keadaan.
Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak dapat menggunakan tangan untuk menggaruk. Dalam serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia. Mereka gigit pundak, tapi tak sampai. Mereka melompatlompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke dalam kulit.
Tolong, Tuan Yakub, pinta Esteban, ada binatang masuk ke celana.
Tidak mati kau karena binatang celaka itu. Dia sendiri yang bakal mati. Tidur.
Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada Yakub yang menyala-nyala marah.
Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling. Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka jalan terus tanpa menggubris.
Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur. Juga orang-orang Portugis.
Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru angin, dan deburan ombak, dan nyala api.
Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur. 0o-dw-o0
17. Balatentara Tuban Turun Tangan
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan Rangga Iskak telah mempersembahkan pagardesa mereka tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang.
Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang Patih telah terlampau sia-sia.
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi jadi Sunan Rajeg.
Ya, Sang Patih memutuskan. Kalian telah menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak ada jalan lain daripada mengirimkan balatentara ke pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian mengeluh karena harus makan lebih sedikit dan bekerja lebih banyak.
Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-masing di bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan desa terancam dengan perintah untuk mendesak para perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga Iskak dan memukul mereka di kandang sendiri.
Mereka berangkat setelah mendapat restu Sang Patih, berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa, wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan gendang sama sekali tidak berbunyi.
Setelah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut serta berpesta pora.
Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban Kota.
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban. Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih.
Sang Patih telah memerintahkan satu kesatuan berkuda untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri.
Setelah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di serambi belakang.
Ambil tindakan seperlunya saja, kata Sang Adipati acuh tak acuh.
Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah menjalar Kiai Benggala.
Jangan gegabah, Sang Adipati menjawab. Tidak kami benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di hadapan.
Ia masih mencoba meyakinkan gustinya.
Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.
Tetapi bawahannya, Gusti Adipati sesembahan patik, barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau tidak, tidak mungkin& , ia tak berani mempersembahkan hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan regu prajurit kaki. Ular berbisa itu, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor, pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera ditumpas.
Apa yang kakang Patih inginkan"
Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang paling cakap.
Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, Gusti, cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.
Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat: Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu" Pergi!
Sang Patih pulang membawa kejengkelan kejengkelan semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang karena sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit sampai ke dasarnya.
Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu untuk memimpin dua ratus orang prajurit kaki untuk memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg.
Sahaya akan segera berangkat, Gusti, sembah Mahmud Barjah. Hanya ijinkan sahaya mempersembahkan sedikit pikiran, karena sahaya orang Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah Mahmud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang, untuk menumpas para perusuh di pedalaman.
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang, cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tombak. Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit pilihan& .
0o-dw-o0 Belum lagi Mahmud Barjah dan pasukannya meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya Sang Adipati.
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid Habibullah bilamana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara.
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di belakangnya mengikuti Nyi Gede Daludarmi.
Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan tawa pendek dan berkata: Tak diketahuinya hari masih sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik daripada depan pintu keputrian. Ia angkat telunjuk menuding Sang Patih dan membentak: Kerjakan apa yang telah tertitahkan. Kami yang menentukan.
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih di hadapan seorang selir dan seorang pengurus keputrian. Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus menggandeng selir baru dalam iringan Nyi Gede Daludarmi.
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia mengangkat sembah lagi, kemudian berjalan terburu-buru pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya.
Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku" Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri"
Memang ia memahami alasan Sang Adipati: bila balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya para bupati tetangga, terutama Demak bisa menyerbu dengan leluasa. Memang sudah lama bandar Tuban yang indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya karena kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa kekuasaan persekutuan. Tetapi Demak adalah kekuatan yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru. Dan memang Sang Adipati punya hak mencemburui dirinya sebagai patih.
Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat diriku sendiri. Memang, memang. Tetapi menyakiti hati patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan sehina ini"
Ia tak dapat menerima. Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan, Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus disingkirkan. Selama itu Sang Adipati hanya mendengarkan tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi, pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya.
Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu mementingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri Tuban. Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, para perusuh akan dapat ditumpas. Gustinya tak pernah mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri Tuban sudah terjamah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah itu akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu akan jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar.
Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan Ispanya akan datang sebagai sahabat seperti dilakukan oleh Giri Dahanapura Blambangan" Terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk keselamatan Sayid Habibullah. Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan.
Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan meriam" katanya. Omong kosong saja. Satu kerajaan yang kuat di Nusantara ini tak ada yang mempunyai, apa pula hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu berpikir sejauh itu" Memang kapal-kapal Islam pada kabur berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam tangannya Peranggi dan Ispanya memang tidak bisa ditahan mereka sedang naik pada jaman jayanya.
Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut jaya.
Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan sendiri.
Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi pandangannya yang lama yang membikin Sang Adipati cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban. Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat dalam hatiku untuk membikin kau menungging di bawah kakiku.
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda menyambar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran, bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan garuda menyambar elang juga terhadap gustinya sendiri, dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk mengabdi pada gustinya sampai mati.
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati yang itu juga.
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan ketidakpedulian.
0o-dw-o0 Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua datang menyusul, dan tidak terduga-duga.
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan: Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas. Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira pengawal.
Pukulan kedua itu hanya membikin semakin parah kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya.
Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh kapal-kapal peronda pantai.
Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke belakang.
Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orangorang Portugis segera membongkari perkemahan mereka, mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat entah ke mana.
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutanhutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez meraung seperti orang gila: Tak sepatah kata pun mereka tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut makanan hiu.
Belum lagi Esteban sempat memuaskan kejengkelannya, Yakub telah datang dan memerintahkan dengan kasar, semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua orang Portugis itu mulai sibuk.
Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan.
Dengan petunjuk Esteban orang mulai membongkari meriam dari roda-rodanya, kemudian semua dipikul. Juga peti-peti obat dan peluru besi.
Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan dengan parang terhunus sebagai pembuka jalan.
Setelah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang dikuasai oleh Sunan Rajeg.
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka, menggabungkan diri dan mengganti memikul beramairamai sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam, dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju.
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin melewatkan keanehan sekali ini.
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di depan rumah joglo Sunan Rajeg.
Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu, berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatangpendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez duduk di tanah pula dan menyembah.
Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan terikat ke belakang.
Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang melihat dua orang kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam. Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip pada mulut meriam, kemudian membersihkan tangan dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul pendopo.
Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg, seru Yakub mengacarai serah terima meriam dan penembaknya. Keselamatan untuk kalian semua.
Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi penembaknya, katanya dalam Melayu. Hei, kalian, Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.
Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah, sambut Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas.
Alhamdulillah! dengung semua pengikutnya, suaranya berkumandang ke seluruh Rajeg.
Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke hadapan Kiai Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan memberi hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari kemuakan.
Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat! teriak Yakub di tempatnya dalatri Melayu.
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang mereka.
Hormat! Hormati kanjeng Sunan Rajeg, orang-orang berseru-seru memperingatkan dalam Jawa.
Tiada kalian dengar itu" Sunan Rajeg memperkuat perintah mereka dalam Melayu.
Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula ke bawah sampai mencium debu.
Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini, kata Sunan Rajeg. Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian jaya tanpa perlindunganku" Hei, hati-hati, jangan kalian sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup atau mati kalian berada dalam tanganku.
Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri memprotes. Tak pernah kami kenal siapa Tuan, kata Esteban, kami berdua maka tak mungkin bersalah pada Tuan, dalam Melayu yang cukup jelas. Mengapa kami diperlakukan begini"
Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang Tuan tak pernah kenal ini" tambah Rodriguez.
Kesalahan kalian" Sunan Rajeg kini menarik airmuka bersungguh-sungguh. Bukan hanya padaku, ia menuding dirinya sendiri, kemu
dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang di hadapannya, pada seluruh ummat Islam. Dungu! Tak mengerti kalian apa kataku" ia membentak. Mengapa diam saja" Suaranya kini mendekati gerutu: Nyawa semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas tanpa seijinku.
Satu suara bersama bergalau membubung dari para hadirin di depannya.
Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian" Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi" Perompak, bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk dan menekurkan kepala mereka ke tanah.
Sunan Rajeg kembali mendapatkan keramahannya. Ia mengangguk-angguk membenarkan.
Kiriman paling memberkahi, tiba-tiba ia tertawa pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu mengangguk-angguk menyetujui.
Alhamdulillah! orang-orang mengulangi dengan suara menggelora.
Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya, katanya dalam Jawa. Kemudian dalam Melayu. Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu, bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami, ummat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriammeriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa saja. Jawab kalau kalian bersedia.
Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat, bantah Rodriguez bengkeng.
Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus menembak dengan tangan terbelenggu"
Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai manusia yang punya juga kehormatan sebagai manusia. seru Esteban lantang.
Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya terguncang.
Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah! Demi Allah! para pengikat mendengung mengulangi. Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi, kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.
Kami bukan kafir! bantah Rodriguez, mukanya merahpadam karena marah.
Bukan kafir" pekik Sunan Rajeg. Baik, kurung mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing minta ampun. Kurung!
Dan dikurunglah mereka. 0o-dw-o0
Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan kelaparan.
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah memohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg. Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo.
Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga petipeti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang bertombak, tak ada para pengikut.
Sudah patahkah kebanggaan diri kalian" Sunan Rajeg mendahului dari bendul pendopo.
Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan, kata Esteban.
Mengapa baru sekarang menjawab"
Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan boleh gusar sebelumnya, jangan kemudian. Maka kami pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.
Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu teruskan persembahanmu.
Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah, Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini"
Rusak" Sunan Rajeg memekik. Kemudian menggerutu. Bedebah itu hendak menipu aku. Si bedebah!
Kalau terjadi kemacetan& , Rodriguez menambahi. Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang pada meriam-meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya berseri kembali.
Tidak apa, katanya, meriam adalah meriam. Yang penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barangbarang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi Tuban yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang apa dari logam.
Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.
Bagaimana dengan belenggu kami" Rodriguez mendesak.
Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian menuntut bebas.
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseruseru ramai. Kemudian disusul dengan suara orang berlarian.
Sunan Rajeg memanggil seorang pengantar tangkapan itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak, berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun. Kemudian: Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.
Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau mati! Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, Juga kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum kehilangan kepalanya yang dua.
Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub.
Ya, bagaimana persembahan kalian"
Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah Tuan. jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg sudah mulai agak ramah.
Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam" Ya, tuan. Esteban memperkuat.
Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuhmusuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.
Esteban terdiam dan Rodriguez menyambar: Kami sanggup, Tuan.
Mengapa kau diam saja" tanya pada Esteban. Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami berdua, jawabnya.
Baik. Apa lagi" Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan berperang cara Eropa, secara Peranggi.
Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil memperlihatkan senyum: Mengapa tidak kemarin-kemarin kalian persembahkan" Aku senang mendengar itu. Tapi kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian sudah bergelimang dengan banyak dosa.
Kami memang Peranggi, tapi bukan kafir. Rodriguez membantah. Kami Kristen.
Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa menang, dan tertawanya terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan itu.
Memang tidak suka dinamai kafir" Bukankah kalian menamai kami juga kafir"
Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin untuk tidak menjawab.
Mengapa diam" Bukankah kami kafir untuk kalian dan kalian kafir untuk kami"
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu mengandung ancaman maut.
Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan" Sunan Rajeg mendesak terus.
Setelah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu: Semua yang Tuan inginkan.
Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. Karena tiada sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya ia turun dari bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. Sebaiknya, dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan. Tapi ingat, aku tak mempunyai kafir.
Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam, merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki oleh Sunan Rajeg.
Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam" Esteban bertanya ragu-ragu.
Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya berkilau-kilau semakin ramah. Ia pandangi tenang-tenang dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar katakata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: Mana bisa aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam" Kalian sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, karena kalian sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang lain.
Kami bersedia, Rodriguez menyambar.
Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam, Sunan Rajeg memotong, orang bertaubat dengan suka sendiri, kerelaan sendiri dan suka sendiri.
Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan, Rodriguez membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah.
Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah dalam terik matari menunggu kata-katanya: Dengarkan kalian, bahwa pada hari ini, ia memulai dalam Jawa. Orang Peranggi yang ompong ini& tiba-tiba dalam Melayu, siapa namamu, ompong"
Rodriguez, Kanjeng Sunan.
& Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk Islam. Syukur Alhamdulillah.
Syukur Alhamdulillah, orang-orang mengulangi dengan suara menggelora.
Dan kau, siapa pula namamu" Esteban, Kanjeng Sunan.
Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu" Sama saja. Kanjeng Sunan.
Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah lolos dan tak dapat ditemukan lagi& .
Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyambut peng-Islaman Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu semakin lama semakin dekat, kemudian nampak serombongan orang desa mengantarkan seorang penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan, berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam daripada Sunan Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban, perwira pengawal.
Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.
Assalamu alaikum! perwira itu memulai sambil turun dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg. Paman! dan diulurkan tangannya setelah membuat sembah dada.
Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk pertama kali penduduk melihat orang bersalaman.
Bibi! tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah dada pula.
Khaidar membalas dengan sembah dada pula. Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu, kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh istri dan tamunya.
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg menghalau orang-orang yang masih menggerombol di depan pendopo. Mereka bubar setelah menyembah.
Akhirnya kau bisa lolos juga, kembali Sunan Rajeg membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi tamunya. Betapa lama sudah kami menunggu di sini, ia memulai dengan menggunakan Melayu.
Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.
Ceritakan, ceritakan, desak tuan rumah berkobarkobar.
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup mulutnya.
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja itu tertarik jadi siku-siku.
Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak, Sunan Rajeg memperingatkan.
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari tawanya.
Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan sahaya untuk menindas Paman, ia tak dapat menahan tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg untuk ikut tawa.
Teruskan, teruskan. Karena bernafsu untuk menindas Paman dengan terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar daripada yang diperkenankan oleh Gusti Adipati. Dua ratus prajurit!
Dua ratus! seru Sunan Rajeg. Teruskan, Nak. Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman, di samping diri sahaya sendiri.
Sunan Rajeg merangkulnya: Nak, Nak, kemenakan yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau. Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia. Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman. Kau pilih sendiri!
Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak laut pelawan ombak penakluk pulau!
Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang" Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk dari Kanjeng Sunan Rajeg.
Betapa tahu adat, kau ini, Nak. Sahaya adalah seorang perwira, Paman.
Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan"
Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi menjemput mereka. Dua ratus, Paman. Tidak sedikit. Sediakan tempat dan makannya"
Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglimaku datang, panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah mereka seorang demi seorang, ia bangkit untuk memberi isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi.
Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan perpacu hilang di balik debu mengepul.
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo Sunan Rajeg. Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya: dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan mereka.
Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!
Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba. Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka. Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak mungkin.
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun. Mahmud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam rumah Sunan Rajeg.
Lain lagi yang terjadi di gedung utama kesyahbandaran. Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan membikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan kaki" Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani membayar jatah upeti" Pasukan kuda" Apalah artinya pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti rumput" Pasukan laut" Apalah artinya pasukan laut bila daratnya kocar-kacir"
Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk berkeping-keping.
Tuban harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam. Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di Andalusia, Ispanya.
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup selanjutnya.
Batu Bertuah 3 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Misteri Listerdale 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama