Ceritasilat Novel Online

Lukisan Horor 4

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 4


Indah, padahal cewek itu udah meninggal. Karena bunuh
diri? Ini pertanyaan yang paling penting saat ini."
"Terlalu kebetulan," gelengku. "Andra bilang, dia tau
221 Isi-Omen2.indd 221 011/I/13 sesuatu tentang kematian Reva. Dan untuk menyingkap
misteri itu, dia butuh duit."
Tanpa sadar, aku berkata, "Kalo kita punya duit, apa pun
bisa." "Omongan yang bagus," komentar Erika dengan nada
sinis. "Siapa yang ngomong?"
"Kan Daniel barusan."
Mendadak tubuh Erika jadi kaku. "Daniel?"
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Reva!" ucap Erika pelan. "Gue baru inget. Waktu ke?
las X, Daniel pernah sekelas sama Reva. Berarti dia pasti
kenal Reva!" "Lo tau dari mana? Emang Daniel pernah ngomong
gitu?" "Dari data si Reva yang dikasih Bu Rita lah. Dua ta?
hun lalu, mereka sama-sama kelas X-D. Nah, Daniel pasti
ke?nal Reva dong! Tapi tahun kemarin Reva naik kelas
dan masuk kelas XI IPA-2, si Daniel nggak naik."
"Menurut lo, Daniel ada hubungannya dengan semua
ini?" "Nggak tau juga sih," sahut Erika lambat-lambat. "Lo
ingat nggak waktu kita ngobrol sama Chalina dan
temen-temennya? Daniel nggak ikut sama sekali. Padahal
dia kan orangnya kepo banget. Jangan-jangan dia sengaja
meng?hindar dari temen-temen masa lalunya."
"Tapi kenapa Amir nggak cerita sama kita waktu kita
tanya soal Chalina?" tanyaku. "Sepertinya Amir bukan
orang yang bakalan melewatkan detail seperti itu."
"Gue rasa Amir nggak inget. Dia kan emang nggak
pinter-pinter amat." Erika mengetuk-ngetuk jidatnya
sendiri. "Waduh, kalo selama ini ternyata Daniel punya
jawabannya, kita bener-bener konyol. Udah nyari ke sana
kemari, nggak taunya jawabannya ada di depan mata."
"Yah, kita kan nggak tau," kilahku berusaha membela
diri. "Jadi, gimana cara kita nanyain Daniel?"
"Kita?" Erika menatapku dengan tatapan bete. "Ya elo
lah yang harus nanyain dia! Kan dia suka telepon elo.
Kalo dia telepon lagi, langsung tanya aja!"
"Tapi gue kan nggak tau ntar malem dia telepon lagi
atau nggak." "Dia pasti telepon," sahut Erika penuh keyakinan.
*** 222 Isi-Omen2.indd 222 011/I/13 Oke, ternyata Erika benar. Malam itu Daniel menelepon?
ku lagi. Setelah basa-basi sejenak, aku langsung menuju
topik pembicaraan. "Gimana? Udah berhasil hubungin kontak yang kamu
bilang tadi?" "Udah dong. Katanya dia akan hubungin kamu sen?
diri. Aku udah ngasih nomor teleponmu ke dia. Nggak
apa-apa, kan?" "Nggak apa-apa kok," sahutku. "Emang udah seharus?
nya dia meneleponku. Oh ya, Niel, kamu inget waktu
itu aku dan Erika ngobrol sama Chalina dan tementemen?nya?"
"Inget." Suara Daniel yang biasanya santai kini ter?
dengar terlalu ceria. Namun, kalau saja aku tak curiga,
aku tak bakalan memperhatikan perubahan itu. "Emang?
nya kalian ngomongin apa sih?"
"Kami ngobrol soal Reva."
Daniel diam sejenak. "Reva?"
"Iya, kamu inget nggak anak kelas XI tahun lalu yang
bernama Reva?" "Nggak terlalu." Jawaban yang mencurigakan. "Tapi,
dulu aku emang pernah satu kelas sama dia. Pergaulan
kami berbeda, jadi aku nggak terlalu kenal sama dia.
Apalagi, terus aku kan tinggal kelas."
"Tapi kalo kamu pernah sekelas sama dia, kamu tau
dong waktu dia meninggal."
"Iya, aku ada di sana, cuma aku nggak liat apa-apa."
Di dalam hati aku memaki-maki Erika. Kenapa dia ha?
rus menyuruhku menginterogasi Daniel melalui telepon
begini? Aku yakin Daniel akan lebih jujur kalau kami
meng?interogasinya berhadapan muka.
"Emangnya kenapa, kok kalian tau-tau ngungkit masa?
lah itu lagi?" "Cuma penasaran." Aku berpikir keras, bagai?mana
caranya aku bisa membangkitkan rasa penasaran Daniel.
Siapa tahu, dengan begitu dia bakalan mem?beber?kan
semua yang dia tahu. "Jadi menurutmu, kematian Reva
itu kecelakaan atau ada unsur kesengajaan?"
Ini pertama kalinya aku mendengar suara Daniel agak
gelagapan. "Yah, aku sih nggak ngeliat langsung, tapi
banyak yang bilang itu kecelakaan."
"Kalo menurutmu sendiri?"
"Aku nggak tau, Val."
Oke, mungkin aku harus menggiringnya. "Apa me?
nurut?mu Andra terlibat dalam kecelakaan itu?"
"Maksudmu, dia yang membunuh Reva?" Tawa Daniel
ter?dengar lega. "Nggak lah, Val. Andra nggak punya
223 Isi-Omen2.indd 223 011/I/13 nyali segede itu." "Kamu kedengerannya sangat mengenal Andra. Apa...
dia pernah jadi temen pokermu?"
Sekali lagi aku mendengar keheningan yang mencuriga?
kan. "Iya, pernah."
"Dia kalah, tentunya."
"Pasti." Ada nada bangga dalam suara Daniel. "Nggak
per?nah ada yang menang melawan kami dalam permain?
an poker." "Mmm, menurutmu, Andra kepingin balas dendam?"
"Nggak mungkin," tandas Daniel. "Nggak lama setelah
dia ikutan main, bokapnya bangkrut. Tentu aja, dia lalu
di-blacklist." Hmm. Apa mungkin Andra mencuri uang dari ruang?
an kepala sekolah untuk mengikuti permainan poker
lagi? "Niel, kalau Indah, kamu kenal?"
"Iya." Kali ini nada suara Daniel terdengar kaku.
"Kenapa? Kok kayaknya kamu nggak seneng?"
"Jelas. Aku tau dia udah meninggal, tapi cewek itu
nyebelin banget. Kerjanya nanya-nanya hal yang bukan
urusannya." "Seperti?" "Soal permainan pokerku."
"Emangnya apa yang dia tanyain?"
Daniel menghela napas. "Kenapa sih, kok kamu jadi
ter?tarik sama mereka semua? Sepertinya bukan cuma
karena penasaran deh."
Oke, mungkin aku tidak bisa merahasiakan hal ini lagi
dari Daniel. Tentu saja, aku tak bakalan cerita semuanya,
224 Isi-Omen2.indd 224 011/I/13 tapi aku harus memberi dia sesuatu supaya dia mau
bekerja sama. "Menurutku, ada yang dendam dengan ke?
matian Reva atau Indah."
"Kenapa kamu bisa mikir begitu?" tanya Daniel he?ran.
"Soalnya, ada yang ngirim surat ancaman ke pameran
lukisan." "Pameran luki... maksudmu, pameran lukisan yang
bakalan diadain besok?"
"Iya," sahutku. "Katanya, di sana pelakunya bakalan
di?hukum." "Ah, ancaman kosong," cela Daniel, meski suaranya
lagi-lagi terdengar tak mantap. "Emangnya mereka mau
menghukum dengan cara seperti apa?"
Aku teringat Tujuh Lukisan Horor yang menyeramkan
itu. "Dengan cara yang sepertinya sangat mengerikan."
"Kalo emang ada orang yang bisa ngelakuin hal seperti
itu di sekolah, aku kepingin liat," kata Daniel dengan
nada menantang. "Kesannya kayak kamu yang bakalan diserang."
"Nggak sih, tapi aku rasa nggak ada orang yang se?
brutal itu di sekolah kita."
"Orang yang kamu liat sehari-hari, belum tentu seperti
yang ditampakkannya." Seperti aku, misalnya.
"Malam ini kamu kedengerannya galau banget."
"Oh, ya?" Aku tahu, yang Daniel maksud adalah topik
pembicaraan kami yang suram ini. Tapi tak kusangkal,
perasaanku memang masih tak enak gara-gara kejadian
tadi malam. "Sepertinya emang iya."
"Ya udah, aku mainin satu lagu ya, supaya perasaanmu
lebih baik." 225 Isi-Omen2.indd 225 011/I/13 Tanpa menunggu jawabanku, cowok itu mulai memain?
kan piano lagi seperti dua malam sebelumnya. Kali ini
dia memainkan lagu The Way You Look Tonight-nya Frank
Sinatra. Seperti sebelumnya, permainan pianonya benarbenar sempurna. Mungkin, di balik tampang slebor itu,
sebenarnya Daniel adalah pianis luar biasa dengan hati
yang lembut dan romantis. Habis, tidak mungkin orang
yang berhati dangkal sanggup memainkan irama yang
begitu menyentuh hati. "Good night, Val," ucapnya setelah menyelesaikan lagu
tersebut. "Sweet dream. I?ll see you tomorrow."
Lalu dia menutup telepon.
Kupandangi ponselku berlama-lama, lalu kubuka menu
SMS. Maaf, sudah bikin kamu diomelin papamu. Parah ba?nget?
Apa kita masih boleh ketemu besok?
SMS ini dikirim Les subuh tadi, tapi aku belum mem?
balas?nya. Bukan karena aku tidak ingin berhubungan
dengannya lagi, tapi tidak berani. Setelah kejadian tadi
malam, sudah pasti dia bakalan ilfil banget padaku.
Ayahku begitu angkuh, begitu kasar, begitu merendahkan.
Siapa sih yang mau berurusan dengan anak dari orang
yang begitu menyebalkan? Kurasa Les mengirim SMS ini
hanya demi kesopanan, basa-basi untuk menjaga hubung?
an dengan teman baik pacar sahabatnya.
Dan aku tidak ingin hanya menjadi teman basa-basi?
nya. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku harus memberinya
226 Isi-Omen2.indd 226 011/I/13 jawaban. Demi menjaga hubungan baik dengan teman
baik pacar sahabatku. Plus demi diriku yang tak tahan
kalau tidak memberinya jawaban apa-apa. Jadi, setelah
menimbang-nimbang, akhirnya aku mengetik.
Sori baru bales. Hari ini aku sibuk banget. Besok tetep jadi
kok. Sampai ketemu ya. 227 Isi-Omen2.indd 227 011/I/13 Lalu kumatikan ponselku. Aduh, bagaimana caranya aku menghadapi pertemuan
dengan Les esok hari? 228 Isi-Omen2.indd 228 011/I/13 AKU betul-betul goblok. Kenapa aku harus mengundang Les seorang diri ke
pameran lukisan sekolahan? Kenapa aku tidak bilang,
"Hei, jangan lupa bawa temen-temenmu satu geng ya,
dan oh ya, jangan lupa bawa Nana juga"? Se?karang ajak?
an itu jadi terasa seperti ajakan kencan yang tak tahu
malu, ajakan kencan yang dipaksakan setelah semua
yang sudah terjadi. Oh, God. Rasanya aku kepingin muntah.
"Val, lo kenapa sih, muka lo jadi hijau? Apa ini salah
satu bentuk samaran lo yang paling baru? Jangan bilang
gue belum ngasih tau ya, samaran lo kali ini jelek
banget." Aduh. Apa ini berarti hari ini penampilanku jelek
sekali? Pada saat seharusnya aku berkencan dengan Les
untuk pertama kalinya? Oh, sial. Aku jadi semakin mulas
saja. Kutatap Erika dengan iri. Cewek itu selalu pede de?
ngan penampilannya?dan dia pantas pede. Rambutnya
yang tadinya rada cepak kini mulai memanjang?tapi
229 Isi-Omen2.indd 229 011/I/13 masih tetap pendek untuk ukuran cewek?membuatnya
mirip cowok cantik dan layak banget buat gabung
dengan Big Bang yang personelnya cakep-cakep itu. Mata?
nya yang agak sipit dihiasnya dengan eyeliner cair?agak
tebal, tetapi jelas rapi?membuatnya tampak sangar dan
berbahaya. Bagian-bagian lain di wajahnya begitu
feminin?hidung kecil dan mancung, bibir tipis namun
penuh merekah, pipi putih bersemu kemerahan. Namun
yang paling menonjol dari seluruh penampilannya
adalah tubuhnya kurus dan tinggi, otot-otot bersembunyi
di balik kulit yang agak gelap namun tampak halus itu,
dengan seragam yang sudah dipermak habis-habisan?
kemeja yang lengannya diperpendek dengan garis
bertuliskan "Linkin? Park rulez" di lengan kiri dan
"Eminem rox" di lengan kanan itu ditutupi rompi krem


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ala sekolah kami, tapi dibiarkannya kemeja itu begitu
saja dan tidak diselipkan pada rok lipit kotak-kotak yang
pendeknya di atas lutut. Dia tampak seperti seorang
supermodel sekaligus superhero.
Sedangkan aku? Rambut palsu yang biasa kukenakan
panjang sampai ke dekat pinggang dan lurus, ada
semburat ungu yang sangat kusukai tapi tidak terlalu
mencolok. Mataku lebih lebar daripada mata Erika, dan
terkadang kurasa mataku cukup indah dengan bulu
mata yang lentik, tapi semua itu kusembunyikan di
balik kacamata berbingkai emas. Dan jelas warna asli
bola mataku yang mencolok itu lebih baik kusembunyi?
kan di balik soft lens warna cokelat tua yang serasi
de?ngan rambutku. Selain aksesori mata dan lipbalm
stroberi, aku tidak mengena?kan riasan apa pun lagi.
Seragamku benar-benar orisinal dari penjahitnya?tidak
230 Isi-Omen2.indd 230 011/I/13 ada sedikit pun permakan yang kulakukan. Kemeja
dengan panjang lengan nyaris men?capai siku, ditutupi
dengan rompi yang anehnya jadi tak terlalu keren di
tubuhku, kemeja dimasukkan dengan rapi ke dalam
rok lipit kotak-kotak yang panjangnya dua senti di
bawah lutut. Aku tahu, aku tampak cupu dan luar
biasa membosankan?masih lebih mending Rima yang
se?tidaknya kelihatan seram?dan biasanya imej seperti
inilah yang kusukai. Tapi hari ini, khusus hari ini saja, aku ingin tampak
lebih cantik daripada biasanya. Di dalam hatiku yang
ter?dalam, aku tahu aku tidak jelek. Bagaimanapun, aku
mirip dengan ibuku, dan, tanpa bermaksud menyombong
ataupun subjektif, bagiku ibuku salah satu wanita ter?
cantik yang pernah ada di muka bumi ini. Masalah?nya,
aku tidak tahu bagaimana tampil cantik sekaligus tidak
mencolok. Aku bukan cewek dalam film yang se?hari-hari
terlihat cupu, lalu mendadak terlihat amat sangat cantik
pada saat klimaks cerita yang biasanya berupa kencan
pertama dengan si cowok jagoan. Sejauh ini aku sukses
menjadi cewek yang biasa-biasa saja, dan aku menyukai?
nya. Aku tak akan mengorbankan imej itu demi seorang
cowok. Tak peduli cowok itu cowok pertama yang berhasil
membuat hatiku yang biasanya datar-datar ini jadi kacaubalau.
"Apa gue beneran jelek banget hari ini?" tanyaku
sambil memandangi kaca pintu kelas dengan khawatir,
berharap benda itu bisa memantulkan bayangan yang
lebih baik daripada bayangan di benakku.
"Jelek? Definitely not," sahut Erika santai, membuatku
jadi lega?tapi hanya sementara. "Lebih jelek dari biasa?
Hell, yeah." Oh, God. Kedengarannya kok mengerikan banget. "Kok
gitu ya? Apa bedanya gue dari biasanya?"
"Udah gue bilang, lo keliatan ijo." Erika berpikir se?
jenak. "Sini." Aku menjerit kaget saat kedua telapak tangan Erika
menghantam pipiku?tidak hanya sekali melainkan tiga
kali. Memang sih, tidak sekeras kalau dia bersungguhsungguh, tapi tetap saja aku kaget setengah mati. "Gila!
Dosa apa gue sampe lo gamparin gini?"
"Nggak dosa apa-apa," sahut Erika tampak puas. "Nah,
sekarang lo kelihatan merah dan nggak ijo lagi."
Mau tak mau aku tersenyum sambil menggeleng-geleng.
"Lo emang gila, tau?"
"Tau lah. Dan betewe, yang kurang dari elo sejak pagi
tuh senyum lo itu. Jadi jangan suram-suram-ria lagi,
oke?" Aku bengong sejenak. "Ka, orang lain tuh nyeritain
joke kalo kepingin bikin temennya senyum. Bukan main
gampar gitu." "Yah, gue kan bukan orang lain, dan lo juga bukan
temennya orang lain. Gue nggak yakin lo bisa senyum
dengan muka hepi gitu kalo nggak digampar."
"Lo kira gue apa?" omelku tanpa bisa menahan cengir?
an. Gawat, Erika benar juga. Gara-gara gamparannya, aku
bisa cengar-cengir lagi. Sepertinya aku memang sudah
sama gilanya dengan Erika.
"Jadi, kalian janjian ketemu di mana?"
231 Isi-Omen2.indd 231 011/I/13 "Eh?" Aku terkejut.
"Lo mau ketemu si Obeng kan, sampe sempet ijo kayak
gitu?" Oh, God, dia tahu dari mana? "Vik cerita?"
"Ya kagak lah, dia kan bukan tukang gosip." Siapa
bilang? Buktinya si cowok yang bertampang pendiam itu
mengumbar cerita ke Les soal kemampuan akting dan
kickboxing-ku. "Gue cuma asal tebak. Kita disuruh
ngundang orang kalo mau nilai kesenian kita naik, dan
sepertinya cewek sok alim kayak elo nggak akan nyianyiain kesempatan ini untuk bertingkah seperti mau naikin
nilai, tapi alasan sebenarnya adalah kepingin dating."
"Gue bukannya mau dating sama Les!" protesku.
"Halah, lo nggak bisa ngebohongin Mama Erika
dehhh," kata Erika dengan muka sok welas asih yang
tidak wajar. "Gue udah meramalkan adanya undangan
ter?hadap si Obeng dengan tepat, demikian juga alasan di
balik undangan itu. Dan sekarang, gue berani taruhan
dia ada di," Erika tampak berpikir keras, "gerbang
de?pan sekolah!" Aku terpesona. Habis, di situlah aku dan Les janjian
untuk ketemu. "Kok lo bisa tau sih?"
"Karena si Ojek ngajakin gue ketemu di situ."
Sialan, kirain dia beneran sakti!
"Lo udah absen sama wali kelas?" tanyaku. "Kalo udah,
kita bisa cabut ke pameran lukisan."
"Cih, absen!" Erika mengibaskan tangan. "Nggak ter?
tarik. Lagian, semua guru kita takut sama si Rufus. Be?gitu
si Rufus liat gue, udah deh, gue dihitung masuk."
"Dari ucapan lo, bisa-bisa orang menduga kenakalan
232 Isi-Omen2.indd 232 011/I/13 lo dibeking sama Pak Rufus," kataku geli.
"Lho, memang iya, kan? Kalo nggak, ngapain juga gue
hopeng* sama guru norak begitu?"
Aku menyembunyikan senyumku. Apa pun kata Erika,
aku tahu cewek itu benar-benar menyukai guru BP kami
dengan setulus hati. Kami berjalan ke arah gerbang depan sekolah. Dari
kejauhan saja aku sudah bisa melihat dua sosok yang
men?julang tinggi sedang berjaga di sana. Keduanya tam?
pak sangat mencolok dengan penampilan rapi berupa
kemeja putih dan celana bahan. Memang sih, kemejanya
tidak dimasukkan ke dalam celana, jadi tak bisa dihitung
rapi?mana kancing-kancing bagian atas di?biar?kan ter?
buka pula. Pemandangan itu jelas membuat cewek-cewek
yang lewat ngiler banget. Semuanya men?curi-curi pan?
dang, menunjuk-nunjuk sambil cekikikan, bahkan be?
berapa mencoba melemparkan sapaan meng?goda.
Gawat, aku jadi panas melihatnya.
"Oi, satpam baru, ya?" seru Erika sambil melambai ceria,
sama sekali tidak terlihat panas maupun ngiler.
Aku bisa merasakan sorot mata penuh selidik dari Les,
yang ingin sekali tak kuacuhkan, tapi aku tahu aku tidak
mungkin bisa berpura-pura tidak melihatnya (mana
mung?kin? Sudah jelas aku rada terpesona begini!). Lagi
pula, pengecut banget kalau aku berusaha menghindari?
nya justru di saat dia sudah datang memenuhi undangan?
ku. Jadi aku menyunggingkan senyum padanya, senyum
yang kuharap terlihat manis-dan-sangat-memukau (rasa?
nya sih tidak mungkin, tapi kan tak ada salahnya ber?
233 Isi-Omen2.indd 233 011/I/13 *berteman/teman 234 Isi-Omen2.indd 234 011/I/13 harap). Tidak tahunya cowok itu malah membalasku de?
ngan senyum lebar yang langsung membuatku silau.
Oh, God, dia ganteng banget!
Aku mengalihkan tatapanku dan melihat wajah Vik
yang tadinya normal mendadak ditekuk. Rupanya, cowok
ini cuma hobi bete di depan Erika.
"Lama bener!" ketusnya. "Apa nggak tau, kami berdua
kayak orang bodoh nongkrong di sini selama setengah
jam?" Eh? Setengah jam? "Bukannya kita janjian jam sembilan?" tanyaku pada
Les, bingung. "Iya sih, tapi tadi pagi tau-tau aja ada perubahan jadwal.
Kata Vik, kami harus dateng setengah jam sebelumnya,
soalnya nggak boleh telat."
Aku menoleh pada Erika yang nyengir lebar banget.
"Eh!" hardik Vik pada Erika. "Kamu sengaja ya, ngerja?
in kami?" Erika terkekeh-kekeh sejenak. "Nggak juga sih." Dia me?
mutar kepalanya dengan gaya aneh yang mirip salah satu
jurus Tai Chi, lalu berkata padaku, "Seperti dugaan gue,
cowok-cowok itu lagi nangkring di warung bakmi situ."
Warung bakmi yang dimaksud sebenarnya agak jauh
dari gerbang sekolah. Namun, kalau kami cukup jeli, kami
bisa melihat warung itu dari sela-sela tempat-tempat makan
lain yang berada di antara gerbang seko?lah dan warung
bakmi tersebut. Erika hobi banget mangkal di warung itu
karena, selain bakminya enak, tempat itu juga sangat cocok
untuk mengintai gerbang sekolah.
Selain Erika, yang juga suka nongkrong di sana adalah
Daniel, Amir, dan Welly. Kini aku bisa melihat ketiga
235 Isi-Omen2.indd 235 011/I/13 wajah itu sedang mengintip-intip ke arah gerbang se?
kolah. Leher mereka yang biasanya berukuran normal
kini terlihat panjang banget. Aku berusaha menahan
tawa. Tiga cowok itu saat ini mirip banget dengan tiga
ekor itik yang sedang berpose di warung bakmi.
"Kenapa lo kepingin mereka tau kalo Les dan Vik da?
tang ke sini?" tanyaku heran.
"Karena," sahut Erika, "gue berharap Daniel merasa
di?inti?midasi." Memang, aku sudah menceritakan percakapanku de?
ngan Daniel pada Erika pagi tadi. Seperti aku, Erika juga
merasa Daniel sangat mencurigakan. Entah dia terlibat
dalam peristiwa setahun lalu, atau dia hanya mengetahui
sesuatu yang tak dikatakannya pada orang lain.
"Kenapa Daniel bisa merasa diintimidasi?" tanya Vik
mendadak ingin tahu. "Jelas dong. Dia kan sering ngerasa dirinya cowok
paling ganteng di sekolah. Cewek yang diincarnya selalu
bisa didapetnya. Nah, kali ini dia bakalan dapet saingan
berat." Erika menepuk-nepuk bahu Les dengan akrab.
"Siap-siap ya, siapa tau dia bakalan nyari masalah sama
kalian berdua." Les menatapku dan Erika bergantian dengan geli. "Dia
jago berantem?" "Kalah dari gue, pokoknya," kata Erika tegas.
"Tapi aku belum tentu bisa menangin kamu juga,"
timpal Les. Erika melirik Les dengan muka jengkel bercampur
senang. "Jek, temen lo ini jago ngerayu, ya?"
"Mana aku tau?" balas Vik. "Aku belum pernah jadi
korban?nya kok." 236 Isi-Omen2.indd 236 011/I/13 "Aku selalu ngomong apa adanya kok," kata Les ceria.
"Emangnya kenapa, kamu kepingin Daniel merasa terinti?
midasi?" "Karena dia mencurigakan." Tanpa menjelaskan katakata?nya, Erika menarik tangan Vik. "Yuk, kita masuk.
Kalian pasti udah nggak sabar kepingin liat lukisan-lukisan
keren itu." Aku bisa melihat Vik dan Les bertukar pan?dang.
"Itu sindiran atau omongan sok tau?" Akhirnya Vik
ber?tanya. "Itu kejujuran," balas Erika pedas. "Emangnya gue
nggak punya tampang suka sama lukisan, hah?!"
"Yah, kalo mau jujur sih kamu emang nggak ada
tampang nyeni sedikit pun..."
"Cih, lo emang nggak tau apa-apa," cela Erika. "Justru
yang tampangnya kayak gue gini baru kayak seniman.
Sementara tampang-tampang elo bertiga jelas-jelas nggak
ada nilai seninya sama sekali..."
"Hei, Val!" Aku berjengit saat mendengar suara Daniel.
"Gile lo!" teriak Erika sambil menendang Daniel. "Tiap
kali yang disapa cuma Val doang. Gue bener-bener nggak
diitung lagi. Dasar anak buah nggak berguna!"
"Sori, sori!" ucap Daniel seraya menghindar dan ter?
tawa. "Ampun, Bos, jangan marah. Lain kali gue sapa
deh, oke?" "Cih, siapa juga yang mau disapa?" cibir Erika jual
ma?hal. Daniel menoleh padaku. "Jadi hari ini kamu juga
ngundang orang luar demi naikin nilai? Bukannya nilainilaimu udah bagus banget?"
237 Isi-Omen2.indd 237 011/I/13 "Naikin nilai?" tanya Les seraya mengangkat alis.
Uh-oh. Mendadak aku punya firasat buruk.


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo nggak tau?" tanya Daniel dengan muka polos
yang tidak berhasil menipu siapa pun. "Kami disuruh
ngundang orang luar untuk menghadiri pameran lukisan.
Yang berhasil melakukannya bakalan dapat tambahan
nilai. Nggak heran Valeria yang sangat memperhatikan
nilainya ini langsung pergunain kesempatan ini dengan
baik... auw!" Daniel menoleh pada Erika yang barusan
menginjak kakinya. "Apa sih, Ka?"
"Nggak, tadi gue liat ada laba-laba lewat."
Oke, kocak banget rasanya melihat wajah Daniel me?
mucat. "Yang bener lo?"
"Nggak, kali," kata Amir santai. "Dia cuma mau nyetop
lo ngomong yang sadis-sadis."
"Baguslah, semua saling mengerti di sini," kata Erika
tenang. "Kalo lo bertiga mau gabung sama kami, kalian
harus sopan sama kedua bapak ini." Dia mengangguk ke
arah Les dan Vik dengan gaya resmi. "Gimanapun, me?reka
berdua ini punya hubungan superakrab dengan kami."
"Oh, ya?" tanya Daniel sambil menyipitkan mata. "Se?
akrab apa?" "Akrab banget pokoknya, dan itu bukan urusan lo," sa?
hut Erika cepat, menyadari bahwa dia nyaris me?nyinggung
masalah sensitif yang tak suka dibicarakannya.
Namun Vik jauh lebih tanggap. "Sekadar informasi aja,
Erika itu cewekku dan..."
"Dan Val cewekku."
Oke, seberapa pun pandainya aku berakting, aku tak
siap sama sekali waktu tahu-tahu Les merangkulku. Aku
cukup yakin mukaku sama begonya dengan Erika dan
Vik yang baik mata maupun mulut mereka tiba-tiba ber?
ukuran jauh lebih besar daripada biasanya.
"Oh, ya?" tanya Daniel sangsi. "Kenapa dia nggak per?
nah bilang?" "Mungkin alasannya sama seperti Erika yang nggak
per?nah mau bilang kalo Vik adalah pacarnya." Les meng?
angkat bahu dengan ringan. "Mungkin mereka merasa
malu..." "Gue nggak malu tuh," bantah Erika dengan suara
yang jelas-jelas menandakan dia malu berat.
Vik mendenguskan tawa kecil. "Emang kamu rada
nggak tau malu sih."
"Apa lo bilang?"
"Denger-denger kamu sering menelepon Val, ya?" tanya
Les pada Daniel. Tangannya yang berada di bahu?ku
memain?kan rambutku dengan santai seolah-olah dia sudah
me?lakukannya ribuan kali. Aduh, jantungku serasa mau
copot. "Yah, aku sih nggak bisa melarang. Tapi sekadar info
aja, dia cinta setengah mati lho sama aku. Bener nggak,
Val?" Arghhh. Kenapa tahu-tahu aku disuruh menjawab yang
beginian? Dan sekarang semua mata mengarah padaku, me?
nuntut jawaban dariku tanpa kata-kata. Oh, God. Aku
ha?rus bagaimana? Satu anggukan kecil saja. Oh ya, dan agak menunduk
ke arah Les. Pastinya ini sudah cukup bagi semua orang,
kan? "Masa???" Teriakan paling heboh itu tentunya dilontar?
238 Isi-Omen2.indd 238 011/I/13 kan oleh Erika. "Kok lo nggak bilang dari tadi?!"
239 Isi-Omen2.indd 239 011/I/13 Entah cewek ini juga jago berakting, atau dia benarbenar tertipu oleh sandiwara kami.
"Sori." Hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini.
"Astaga, Val, lo emang selalu bikin gue terkaget-kaget!"
kata Erika sambil menyeringai. "Tapi nggak heran sih.
Sejak awal gue emang udah curiga, kenapa kalian cepet
banget deketnya. Belum lagi waktu lagi marahan sama
Les pun, lo masih lebih milih jalan sama dia ke?timbang
gue dan Daniel. Hah, udah punya cowok, jelas sobat jadi
dinomorduakan!" Oke, sekarang aku yakin. Erika memang sedang ber?
akting, meskipun aktingnya yang meyakinkan cuma
berlangsung sepuluh detik. Sisanya mulai terasa lebay.
Bahkan Daniel jadi mulai curiga lagi. Meski begitu, dia
berusaha memasang tampang cuek.
"Yah, sayang, rencana gue buat berduaan aja dengan
Val jadi gagal," katanya sambil menghela napas dengan
gaya dibuat-buat. "Kasian nggak sama gue, Bos? Lo
nggak apa-apa kan kalo gue ikut rombongan lo? Nggak
asyik kalo cuma ditemenin Amir dan Welly. Mereka kan
nggak punya selera humor."
"Kalo lo mau yang punya selera humor, temenan aja
sama badut!" bentak Welly yang, kuperhatikan, gampang
tersinggung. "Jangan bicara soal badut!" Tiba-tiba Erika mengecam
dengan suara dingin. "Jangan pernah bicara soal badut
di hadapan gue. Ngerti?"
Kami semua terperangah mendengar ucapan Erika
yang kedengarannya serius banget. Habis, tak ada yang
me?nyangka, ada juga yang ditakuti cewek garang ter?
sebut. "Dia takut badut toh," celetuk Amir memecahkan ke?
heningan. "Kita sewa aja badut buat nakut-nakutin dia!" kata
Welly girang, mendadak lupa dengan kebeteannya baru?
s?an. "Nggak usah buang-buang duit!" tukas Daniel dengan
wajah penting, lalu menyeringai ke arah Erika yang
tampak berang. "Kita dandanin si Amir aja pake aksesori
badut. Pasti mirip! Murah meriah, kan?"
"Kalian..." Erika sudah siap-siap mendamprat ketiga temannya,
tapi aku segera menyela, "Ka, kita harus ke pameran
lukis?an." "Ugh." Erika tampak frustrasi. "Oke, sekarang gue ter?
paksa harus singkirkan dendam membara ini dulu. Nanti,
setelah gue selesai bertugas, kalian bertiga bakalan mati!"
"Tugas?" tanya Daniel heran. "Tugas apa?"
"Jadi satpam pameran, tentunya."
Tidak ada yang pernah menyangka, ucapan Erika baru?
s?an akan menjelma menjadi kenyataan.
*** 240 Isi-Omen2.indd 240 011/I/13 Tak kusangka auditorium yang begitu luas bisa seramai
ini. Seharusnya aku sudah bisa menduga bahwa Bu Rita
benar-benar serius dengan niatnya menyukseskan acara
ini. Di mana-mana terlihat gerombolan siswa-siswi dalam
pakaian seragam dari sekolah masing-masing (kuhitunghitung ada tujuh atau delapan seragam yang berbeda
de?ngan seragam sekolah kami), mengelilingi setiap lukis?
an sambil mencatat atau berdiskusi. Ada tanda "Dilarang
Memotret", "Dilarang Membawa Makanan dan Minum?
an", dan "Dilarang Membawa Senjata Tajam" di meja
penerima tamu, sementara lebih dari setengah lusin
petugas keamanan berkeliaran untuk memastikan semua
orang mematuhi ketiga aturan itu dengan baik.
Guru-guru kami juga berkeliaran, termasuk Pak Rufus
yang gampang dikenali karena tubuhnya yang tinggi,
kurus, dan berujung kribo. Dari jauh, guru kami itu mirip
Lionel Richie pada zaman keemasannya. Aku tak bakalan
heran kalau tahu-tahu dia naik ke panggung dan mulai
bernyanyi dengan segenap kekuatan, "Say you, say me..."
Pandanganku terpaku pada papan besar di samping
meja penerima tamu. Pameran Lukisan oleh Klub Kesenian SMA Harapan Nusantara
featuring Rima Hujan Preti Jelita Tini Marini Budi Kusuma David Bunawan Tan Welly Dina Auliana Chicha Lina 241 Isi-Omen2.indd 241 011/I/13 "Kok kayaknya ada nama yang gue kenal di sini?"
Erika mendadak menonjok bahu Welly yang sama sekali
tidak siaga. "Lo ternyata berjiwa seni juga. Kok nggak
bilang-bilang?" 242 Isi-Omen2.indd 242 011/I/13 "Apanya yang berjiwa seni?" bentak Welly sambil me?
megangi bahunya dan meringis. "Gue cuma daftar buat
pedekate sama cewek kok."
"Welly juga menyumbangkan satu lukisan berjudul
Obsesi," ucap si penerima tamu yang menggunakan name
tag bertuliskan "Dina", menandakan dialah Dina Auliana
yang ada di daftar nama. "Mau lihat? Yang didominasi
warna biru dan ada gambar mata gede-gede di sebelah
sana." "Obsesi?" Erika mengerutkan hidung. "Jelek amat judul?
nya! Apa lo nggak punya judul lain yang lebih me?mikat
pembaca?" "Mana ada pembaca di sekitar sini?" balas Welly jeng?
kel. "Yang ada juga pencinta seni."
"Oh iya, bener juga." Erika tampak terheran-heran de?
ngan dirinya sendiri. "Entah kenapa tadi gue bisa sebut
pembaca. Aneh. Ah, sudahlah. Yuk, temen-temen, kita
liat lukisan konco kita yang paling jelek ini."
Tanpa mengindahkan teriak protes Welly, kami
berbondong-bondong berjalan menuju arah yang di?
tunjuk si penerima tamu tadi.
"Wah, boleh juga si Welly!" seru Daniel kagum.
"Boleh juga?" sergah Welly berusaha kelihatan terhina,
padahal mukanya kegirangan banget. "Asal lo tau aja,
susah banget mencampur warna background ini. Warna
biru kayak gini yang namanya navy..."
"Ceweknya cakep, ya!" potong Amir tanpa basa-basi.
"Kok lo bisa tau-tau ngegambar dua cewek gitu? Janganjangan, lo sengaja biar punya alasan buat manggil
model, ya!" "Enak aja, gue serius."
243 Isi-Omen2.indd 243 011/I/13 "Ini cewek-ceweknya kayaknya familier, ya!" timpal
Daniel lagi sambil berpikir keras. "Yang rambut pendek
ini kayak seseorang yang nggak asing lagi."
"Gue," sahut Erika datar, lalu menoleh ke arah Welly
dengan muka berang. "Berani-beraninya lo ngegambar
gue tanpa izin! Lo kira gue apaan? Barang gratisan
gitu..." "Gue traktir bakmi!" teriak Welly.
"Oke." Erika menoleh padaku. "Sekarang giliran lo
morot?in si Welly." "Satu mangkuk bakmi aja kamu bilang morotin?" cela
Vik. "Punya harga diri lebih tinggi sedikit kenapa sih?"
"Oke. Satu mangkuk bakmi dengan bakso dan pangsit.
Elo, Val? Jelas-jelas cewek kedua itu elo."
Aku memandangi gambar Welly dengan kagum. Se?
jujur?nya, aku benar-benar menyukai gambar itu. Rupa?
nya, di balik semua kekurangannya, Welly punya bakat
melukis yang tidak biasa. Kalau ditekuni, barangkali dia
bakalan bisa menjadi pelukis yang cukup tenar. "Gue
mau lukisan ini." "Apa?!" Semua orang menatapku dengan terkejut, terutama
pelukisnya sendiri. "Gue suka banget," sahutku jujur. "Boleh nggak buat
gue, Wel?" Selama beberapa saat Welly tampak berkomat-kamit
tanpa mengeluarkan suara. "Boleh."
"Thanks..." "Huaaaa!" Para cowok berteriak kaget saat sebuah sosok putih
mendadak muncul di antara kami. Sosok dengan rambut
244 Isi-Omen2.indd 244 011/I/13 panjang dan lurus, dengan tubuh kurus dan pucat, se?
mentara matanya mengintai dari balik rambut yang
menutupi hampir seluruh wajahnya. Mata itu menatap
lurus ke arah aku dan Erika.
"Lukisanku diubah lagi tadi malam."
Cowok-cowok itu tampak takjub sekaligus takut me?
lihat penampakan yang dilakukan oleh Rima, serta ke?
bingungan dengan ucapannya yang misterius.
Tapi bukan saatnya kami memberikan penjelasan.
"Yang mana?" tanya Erika dengan suara tajam.
Tanpa menyahuti Erika, Rima berjalan pergi, dan kami
berdua segera tergopoh-gopoh mengikutinya.
"Ada apa?" Mendadak kusadari Les sedang menyejajar?
kan langkahnya dengan langkahku. "Emangnya kenapa
soal lukisan yang diubah?"
Sulit bagiku untuk menjawab pertanyaan itu dengan
jelas dalam satu kalimat. Jadi aku pun berkata, "Nanti
ya, kita lihat dulu lukisannya."
Akhirnya kami tiba juga di depan lukisan yang di?
maksud Rima. Isi lukisan itu membuat kami semua,
tanpa kecuali, tertegun. Aku ingat, tadinya lukisan itu menggambarkan sese?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang berambut pendek yang sedang menggedor pintu
dengan muka penuh kengerian, sementara sesosok algojo
bertampang mirip monster memegang parang besar dari
belakang. Sementara si korban tampak berlumuran darah,
dengan sebuah luka besar menggores di punggung,
seolah-olah punggung itu baru saja dihantam dengan
parang. Lukisan itu sudah mengerikan dari sononya, tapi hari
ini lukisan itu tampak jauh lebih mengerikan lagi. Si
245 Isi-Omen2.indd 245 011/I/13 korban kini tidak berambut pendek lagi, melainkan
berambut panjang kemerahan. Tangannya yang tadinya
polos kini mengenakan jam tangan yang terlihat familier.
Tompel di pipi yang pucat membuatku menyadari siapa
sebenarnya cewek yang dimaksud lukisan tersebut.
"Chalina!" ucap Daniel di belakangku.
"Rupanya dia juga anggota Klub Kesenian?" tanyaku
pada Rima. "Iya, tapi dia jarang dateng," bisik yang ditanya de?
ngan muka pucat. "Makanya namanya ditaruh di urutan
paling bawah." "Gue juga jarang dateng, tapi setidaknya gue nyum?
bang lukisan," sela Welly dengan suara rada pongah.
"Aku udah nyariin dia dari tadi," kata Rima dengan
suara datar, tapi lebih cepat dari cara bicaranya yang
normal, menandakan cewek seram itu sebenarnya rada
panik, "tapi nggak ketemu. Padahal dia sempet absen
sama wali kelasnya."
"Mungkin aja dia lagi kongko sama temen-temen
segengnya yang katanya cakep-cakep dan tajir itu," sindir
Erika. "Nggak," geleng Rima. "Aku sempet ketemu mereka di
kantin. Mereka nggak ketemu Chalina hari ini."
"Ini bahaya, Ka," kataku pada Erika. "Gimana kalo dia
emang berhasil ditangkap sama si pelaku yang mengubah
lukisan ini, lalu dihukum... sesuai lukisan itu?"
Semua orang melongo mendengar ucapanku. Hanya
Erika dan Rima yang tampak semakin tegang.
"Oke." Akhirnya Erika menyahut dengan suara dingin
yang muncul di saat dia sedang tegang, "Kita akan cari
dia. Ayo, berpencar! Daniel, lo ke gedung kelas. Wel, lo
246 Isi-Omen2.indd 246 011/I/13 temenin si Daniel. Orang males kayak gitu bisa keburu
pingsan kalo disuruh nyari di setiap ruang kelas. Tapi
jangan lari-lari di lorong, ntar lo terbang, nggak ada
yang bisa nurunin lo. Mir, lo kegendutan buat lari-lari
naik-turun tangga, jadi lo ke lab aja." Matanya jatuh
padaku. "Val, lo sama Les nyari di sini, di sekitar audi?
torium. Gue sama si Ojek ke gimnasium. Oke?"
"Jelas nggak oke," bantah Welly, sepertinya sangat
kesal dengan hinaan yang terselip itu. "Kenapa kami
harus tau-tau nyari cewek jutek tersebut?"
"Karena bisa jadi dia bakalan mati dibunuh monster
dalam lukisan itu!" bentak Erika. Selama beberapa saat,
semua orang terdiam mendengar teriakan Erika. "Sejutekjuteknya dia, kalian mau biarin dia mati?"
Welly akhirnya menyahut, "Nggak sih."
Erika melayangkan pandangan. "Ada yang keberatan
dengan pembagian tugas?"
Kali ini tidak terdengar suara memprotes.
"Aku gimana?" tanya Rima tiba-tiba.
"Elo?" Erika menatap Rima seraya menimbang-nimbang.
"Elo samperin si Rufus aja. Laporin semua yang lo ceritain
ke kami, serta semua tindakan kami."
Rima mengangguk setuju. "Ayo, semuanya cabut sekarang!"
"Jadi," kata Les yang berjalan di sampingku, "semua
penyelidikan kita itu tentang lukisan-lukisan itu?"
Aku mengangguk tanpa berhenti berjalan. "Ada se?
pucuk surat tiba, surat yang mengatakan bahwa orangorang yang terlibat tragedi tahun lalu akan dihukum
sesuai dengan Tujuh Lukisan Horor."
"Lukisan seperti itu ada tujuh?"
247 Isi-Omen2.indd 247 011/I/13 Aku mengangguk lagi. "Dan semuanya sama menyeram?
?kannya." Les diam sejenak. "Kalian disuruh Kepala Sekolah
untuk mencari pelakunya?"
Untuk ketiga kalinya aku mengangguk.
"Pantas kamu sampai rela menyelinap keluar rumah
tengah malam begitu, ya. Lalu bagaimana tampang si
Chalina yang disebut-sebut ini?"
"Dia lebih pendek dari aku, rambutnya panjang dan
dicat warna merah, wajahnya kelihatan terlalu putih dan
ada tompel di pipinya, lalu dia pake jam tangan besar
berwarna pink transparan."
"Kalau dengar ciri-cirinya begini, rasanya dia emang
mirip dengan cewek dalam lukisan itu, ya?" komentar
Les. "Emang mirip." Pengakuan itu membuat perutku bergolak hebat. Men?
dadak aku teringat kata-kata Daniel malam itu. Aku rasa
nggak ada orang yang sebrutal itu di sekolah kita, begitu
katanya. Semoga dia benar. Semoga kami saja yang
terlalu paranoid. Semoga....
Napasku tersentak saat siku seseorang meluncur cepat
ke arahku. Aku mengangkat tanganku, siap menangkis,
tapi siku itu tidak pernah mendarat padaku.
"Kamu nggak apa-apa?"
Saat menoleh, yang pertama kulihat adalah tangan Les
yang menangkis siku orang itu. Padahal cowok itu ber?
jalan agak di belakangku. Aku ingin mengucapkan terima
kasih, tapi orang yang tadinya nyaris menyikutku itu
beserta rombongannya yang banyak banget dan bukan
berasal dari sekolah kami itu ternyata sangat bertingkah.
248 Isi-Omen2.indd 248 011/I/13 Mereka meloncat-loncat, tertawa-tawa, saling mendorong,
membuatku mau tak mau bergerak ke arah yang ber?
lawanan dengan Les. Terpisah dari Les membuat perasaanku jadi tak enak.
Apalagi, mendadak kusadari aku berdiri di depan sebuah
koridor yang sepi banget. Koridor itu mengarah ke
belakang panggung dan tampak gelap. Tempat yang sa?
ngat cocok untuk menyembunyikan seseorang?seandai?
nya ada yang mau melakukannya. Aku menoleh ke
belakang, berharap Les segera bergabung denganku, tapi
cowok itu sama sekali tak tampak batang hidungnya.
Ah, dia pasti akan menyusulku. Aku percaya banget
soal itu. Aku menyusuri koridor itu. Karpet yang melapisi
dinding terasa lembap di telapak tanganku. Rasanya
rada-rada menjijikkan, jadi buru-buru kutarik tanganku.
Seekor kecoak melintas di depan sepatuku, membuatku
menahan langkah sejenak. Oke, tempat ini tidak asyik sama sekali. Kurasa
Chalina tak bakalan mau diajak ke sini, kecuali kalau dia
dipaksa. Tapi seandainya dia dibawa secara paksa, masa
dia tidak memberontak dan menjerit? Masa tak ada yang
melihat? Tetap saja, aku melangkah maju.
Koridor itu berakhir pada sebuah pintu kayu. Pintu itu
tampak sudah tua dan bobrok. Aku memutar hendelnya,
dan kudapati pintu itu terkunci.
Oke, mungkin ini hanya ruangan tak terpakai atau
gudang yang sudah lama tak diutak-atik. Tak bakalan ada
yang datang ke sini, terutama Chalina si cewek jutek
yang sepertinya sok kaya....
249 Isi-Omen2.indd 249 011/I/13 Pandanganku jatuh pada sebentuk bercak di pinggiran
pintu. Bercak itu tampak seperti cairan yang sudah me?
ngering. Dengan hati-hati aku menyentuh bercak itu,
dan sedikit dari cairan yang sudah mengering itu me?
nempel pada jariku. Darah. Tanpa berpikir panjang lagi aku menendang pintu itu
kuat-kuat. Sial, kayunya memang sudah ke?ropos, tapi
pintunya sendiri cukup kokoh. Jadilah kakiku malah
menyangkut di pintu yang setengah jebol. Ku?tarik-tarik
kakiku, tapi ujung sepatuku seperti menancap di antara
kayu-kayu. Dan rasanya sakit.
Arghhh, menyebalkan! Bukannya di film-film tendang?
an keren seperti yang barusan kulancarkan itu bakalan
mengempaskan pintu hingga terbuka? Dunia nyata
memang berbeda dengan film.
Pada saat aku sedang sibuk adu betot dengan pintu
bobrok yang bergeming, mendadak kurasakan ada tangan
meraih bahu kananku. Oh, sial. Kenapa aku harus diserang orang di saat kaki?
ku sedang terjepit begini?
Spontan aku menyentakkan bahuku dan melancar?kan
pukulan dengan tangan kiriku yang agak terlalu lemah
jika dibandingkan dengan tangan kananku. Seperti yang
ku?khawatirkan, seranganku itu ditangkis dengan mu?
dah. Yang melegakanku, orang itu bukanlah algojo bermuka
monster seperti yang kuduga, melainkan cowok ganteng
bernama Les. "Ada apa?" tanyanya dengan mata mengerling ke kaki?
ku. "Nyangkut?"
250 Isi-Omen2.indd 250 011/I/13 Uh-oh. Kenapa cowok ini harus menemukanku dalam
posisi cupu begini? "Iya nih."
"Coba kulihat."
Jantungku berdebar keras saat jari-jari Les yang pan?
jang melingkari pergelangan kakiku. Ditariknya kakiku
perlahan. "Lemaskan, Val."
Gimana caranya aku melemaskan kakiku kalau seluruh
badanku tegang begini? "Tenang, nggak apa-apa kok. Santai aja, Val."
Kenapa suaranya bisa begini menenangkan? Aku me?rasa?
kan Les menggerak-gerakkan kakiku maju-mundur, lalu
tiba-tiba saja kakiku sudah bebas dari pintu keparat itu.
"Thanks," ucapku sambil menahan malu.
"Dengan senang hati." Dia menoleh ke arah pintu.
"Ke?napa didobrak?"
Tanpa bicara aku menunjuk bekas darah di kusen
pintu. Wajah Les langsung berubah serius.
"Biar aku yang dobrak aja."
Cowok itu menendang dengan sangat keras, dan pintu
itu langsung terempas dari kusennya. Pintu itu terbuka
lebar, memperlihatkan ruangan gelap di baliknya. Ruang?
an yang menguarkan hawa aneh dan membuatku me?
rinding. Aduh, perasaanku makin tak enak saja.
Les melangkah maju ke dalam ruangan gelap di balik?
nya, dan aku mengikuti dari belakang. Bisa kulihat
bayangan kami berdua di lantai, bergerak maju me?nuju
kegelapan. Ruangan di baliknya diterangi cahaya remangremang dari balik pintu, dan selama sesaat aku tak bisa
mengenali kondisi di dalam ruangan itu.
251 Isi-Omen2.indd 251 011/I/13 Dan saat aku akhirnya berhasil membiasakan mataku
di dalam kegelapan, apa yang kulihat membuat seluruh
tubuhku lemas. 252 Isi-Omen2.indd 252 011/I/13 TIDAK ada siapa-siapa. Atau, setidaknya, sekarang tidak ada siapa-siapa.
Tapi ada bekas-bekas pergulatan yang terjadi di sini.
Beberapa barang hancur berantakan, termasuk kursi,
meja, bahkan lemari. Terlihat pecahan senter di lantai,
beserta sesuatu yang kukenali sebagai jam tangan murah?
an Chalina. Yang paling mengerikan adalah bercak darah
yang menyebar di mana-mana, terutama bekas tubuh
diseret di lantai, menguarkan bau amis yang rupanya
membuatku merasa tak enak tadi.
Astaga, kejadian mengerikan apa yang sempat terjadi
di dalam sini? Tanda-tanda penghancuran tampak dibuat oleh senjata
tajam besar seperti kapak, parang, atau golok. Mau tak
mau aku membayangkan lukisan yang barusan kami
lihat. Tidak salah lagi: Chalina diteror dengan cara yang
sama seperti gambar pada lukisan pertama dari Tujuh
Lukisan Horor! Oh, God. Aku tahu cewek itu menyebalkan, tapi saat
ini aku berharap dia masih hidup setelah diteror seperti
itu. 253 Isi-Omen2.indd 253 011/I/13 Kuperhatikan bercak-bercak darah di dinding. Sudah
mengering, sama seperti yang kutemukan di luar pintu,
tanda darah itu tidak terlalu baru lagi, tapi belum lamalama amat. Mungkin saja kejadian apa pun yang terjadi
di ruangan ini terjadi pagi tadi.
Kami harus mengecek buku tamu.
"Nggak ada apa-apa lagi di ruangan ini," kata Les
sambil menghampiriku. "Nggak ada petunjuk apa pun


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bisa mengarahkan kita pada pelakunya. Tapi semua
ini benar-benar aneh, Val. Seandainya Chalina dibawa
pergi dari ruangan ini, bagaimana caranya mereka
menyelinap pergi tanpa menarik perhatian?"
"Sekolah kami nggak punya pintu belakang," kataku
memberitahu. "Jadi mereka pasti keluar melalui pintu
depan." "Yang dipenuhi begitu banyak orang jualan itu?" sam?
bung Les lagi. "Nggak mungkin nggak ada yang memper?
hatikan mereka." Dia menatapku dengan muka tegang.
"Apa mungkin mereka masih ada di sekolah ini?"
"Ayo, kita keluar," ajakku. "Mungkin teman-teman lain
mendapatkan sesuatu."
Saat kami berjalan keluar, aku menemukan rambu
bertulisan "Dilarang masuk" di dekat bagian luar lorong.
Kutaruh benda itu untuk menghalangi lorong. Semoga
saja rambu itu cukup untuk mencegah anak-anak masuk
ke dalam. Setelah melewati segerombolan anak-anak, kami me?
lihat Rima sedang berdiri bersama Pak Rufus yang
celingak-celinguk dengan tampang cemas. Saat melihat
kami, dia langsung memberi isyarat dengan heboh
supaya kami mendekat. 254 Isi-Omen2.indd 254 011/I/13 "Gimana, Val?" tanyanya sambil memandangiku. Aku
bisa melihat lirikan matanya yang sekejap pada Les, tapi
tidak ada protes sama sekali.
"Saya nggak ketemu siapa-siapa, Pak." Aku meng?
geleng. "Tapi gudang belakang hancur berantakan dan
ada pecahan jam tangan Chalina di dalamnya. Dan,"
aku menelan ludah, "ada banyak sekali darah."
Wajah Pak Rufus dan Rima memucat mendengar ucap?
anku. "Ini benar-benar gawat!" geram Pak Rufus. "Tunjukkan
ruangan itu pada saya, Val."
"Lebih baik jangan, Pak," ucapku selembut mungkin,
berharap saranku tak menyinggung perasaan Pak Rufus.
"Memang kita nggak bisa memanggil polisi, tapi
setidaknya kita nggak boleh merusak barang bukti. Akan
tiba waktunya polisi berkesempatan memeriksa semua
itu. Lebih baik kita suruh petugas sekuriti menjaganya
supaya nggak ada yang main-main ke sana. Sementara
itu, kita temui Bu Rita dan melaporkan perkembangan
ini." Sementara Pak Rufus langsung memanggil seorang pe?
tugas sekuriti dan menyampaikan pesanku tadi, Les
menghampiri meja penerima tamu dan menyunggingkan
senyum manis yang tentunya berhasil meluluhkan hati
si cewek penerima tamu. "Maaf, boleh saya tau, ada nggak nama Chalina di
buku tamu?" Serta-merta aku dan Rima ikut memandangi si cewek
penerima tamu dengan muka kepingin tahu.
"Dina." Rupanya Pak Rufus yang sudah selesai berurus?
an dengan petugas sekuriti, sempat ikut mendengarkan.
Suaranya terdengar penuh wibawa, mengingatkanku bah?
wa guru kribo ini sebenarnya cukup bikin segan. "Apa
Chalina tadi mengisi daftar tamu?"
"Ya, Pak," sahut Dina sambil memeriksa buku ber?ukur?
an besar itu. "Ini dia. Chalina termasuk salah satu tamu
paling pertama. Saya ingat, dia datang begitu pintu
auditorium dibuka." Aku langsung ikut memandangi buku tamu itu. Habis,
siapa pun yang juga datang pada saat-saat itu layak di?
curigai. "Kok ada nama Welly di sini?" cetusku dengan nada
heran (dan berusaha tidak terdengar curiga).
"Tentu dong, dia kan menyumbangkan lukisan. Dia
datang untuk nganterin lukisannya."
Jadi bukan apa-apa bahwa selain Welly, setiap anggota
Klub Kesenian juga menjadi orang-orang yang datang
pa?ling awal. Aku memeriksa lagi dan tertarik pada se?
buah nama aneh yang tak terdapat pada daftar anggota
Klub Kesenian. "Siapa sih yang namanya Gordon ini?"
Pak Rufus menyahut dengan suara datar, "Dia salah
satu teman kaya dari temanmu si Daniel."
"Apa maksudnya teman kaya, Pak?" tanyaku heran.
Pak Rufus diam selama beberapa saat, lalu berbisik,
"Teman poker." Oh. "Kok Bapak tau Gordon temen poker Daniel?" tanyaku
ingin tahu. Pak Rufus mendengus. "Tidak susah menebak siapa
255 Isi-Omen2.indd 255 011/I/13 saja yang sering diundang Daniel. Yang susah adalah
256 Isi-Omen2.indd 256 011/I/13 menebak siapa yang akan diundangnya pada malam
poker yang akan datang."
Aku terkejut. "Bapak juga tau kapan malam poker?"
"Tentu saja. Anak-anak tajir itu pasti sudah saling ber?
bisik-bisik dengan muka berharap."
Ternyata guru ini memang luar biasa.
"Jadi, siapa tepatnya si Gordon ini, Pak?"
"Dia anak kelas XII IPA-1, geng anak-anak Korea." Aku
tahu, setiap angkatan punya satu geng populer yang me?
niru penampilan selebriti Korea. Mendadak aku teringat
Nana yang juga meniru mereka, tapi aku berusaha keras
tidak melirik Les. "Dia termasuk yang paling angkuh dan
sok tahu, bahkan bagi para guru sekalipun. Saya rasa dia
tidak terlalu populer, tapi setidaknya dia masih punya
geng. Saya dengar dia dihabisi Daniel sampai tabung?
annya ludes." Ada rasa puas yang rada-rada tidak pantas membayang
di muka kepala guru piket ini. Rupanya dia benar-benar
tak suka dengan cowok bernama Gordon ini. Padahal,
kalau ditilik dari kelas yang ditempatinya, seharusnya si
Gordon ini termasuk siswa top yang cerdas?yang biasa?
nya selalu menjadi kesayangan para guru. Belum lagi,
Pak Rufus orangnya cukup sabar. Pastilah karakter si
Gordon ini gawat banget. "Kita lapor pada Bu Rita dulu," putus Pak Rufus.
"Dina, kalau ada yang tanya saya ada di mana, bilang
saya lagi di kantor Bu Rita, ya!"
"Iya, Pak," sahut Dina si penerima tamu seraya me?
natap kami dengan penuh rasa ingin tahu. Bagaimana?
pun, tidak sembarang orang bisa masuk ke kantor kepala
sekolah kami itu. Kalau bukan anak-anak paling
257 Isi-Omen2.indd 257 011/I/13 berprestasi, ya anak-anak paling bermasalah (kalau di?
pikir-pikir, Erika termasuk kedua golongan itu. Pantas
saja dia sering nongol di sana).
Sambil berjalan menuju kantor Bu Rita yang terletak
di gedung kelas, Pak Rufus bertanya dengan nada ringan
yang tidak alami banget, "Jadi, siapa teman yang kamu
bawa hari ini, Val?"
Sebelum aku sempat menjawab, Les sudah mengulur?kan
tangannya pada Pak Rufus seolah-olah mereka se?umur?an.
"Leslie Gunawan, Pak. Teman Valeria dan Erika."
Pak Rufus menatap tangan Les dengan curiga, lalu me?
nyambutnya. "Rufus Arakian, guru BP. Kamu anak seko?
lah mana?" "Sudah berenti sekolah, Pak."
"APA?!" teriak Pak Rufus seolah-olah Les baru saja meng?
akui dosanya yang paling berat. "Kenapa bisa begini?
Orangtuamu mana?" "Saya sudah nggak punya orangtua, Pak," sahut Les
sambil tetap memberikan senyum supermanis yang pada
akhirnya membuat Pak Rufus luluh.
Andai cowok ini masih sekolah, pasti akan se?lalu jadi
murid kesayangan guru. Kalau sampai guru kribo itu saja
tidak bisa menolak pesona senyum ramah itu, apalagi
guru-guru lain yang berhati lebih lembut.
"Jadi, sekarang gimana caranya kamu hidup?"
"Saya kerja di bengkel, Pak. Lumayan kok gajinya. Dan
kebetulan saya memang suka mesin."
"Memangnya kamu nggak ada niatan buat nerusin
sekolah lagi?" tanya Pak Rufus terdengar tidak rela.
"Saya sudah ketinggalan cukup jauh, Pak," sahut Les
jujur. "Kalau mau sekolah lagi, ngejarnya repot. Lagi pula,
258 Isi-Omen2.indd 258 011/I/13 saya cukup hebat dalam pekerjaan saya, jadi saya mau
tekuni bidang ini aja. Kalau Bapak butuh bantuan de?ngan
kendaraan Bapak, tinggal panggil saya aja, Pak."
Muka Pak Rufus yang tadinya prihatin mendadak
kayak habis dapat lotre. "Benar nih? Saya bukan orang
yang segan-segan lho. Kamu nggak akan nge-charge
mahal-mahal, kan? Gaji saya ini cuma gaji guru!"
"Iya, Pak, saya ngerti kok," ucap Les geli menanggapi
Pak Rufus yang nyolot seolah-olah sudah disodori bon.
"Bapak nggak usah bayar ongkos mekanik. Cukup
gantiin biaya spare part?-nya. Kalo nggak percaya, coba
tanya Valeria." "Nggak mau." Pak Rufus cemberut. "Dia pasti bagusbagusin kamu. Kalian kan pacaran."
Eh??? "Siapa yang bilang gitu, Pak?" protesku.
"Nggak perlu dibilangin orang, Bapak punya mata sen?
diri. Tadi Bapak lihat kalian peluk-pelukan. Valerrria, ke?
marin Bapak baru ceramahin kamu, sekarang seharusnya
kamu sekolah dulu. Jangan pacaran sembarangan. Tak
tahu?nya hari ini kamu muncul bawa pacar. Apa maksud?
nya, hah? Apa maksudnya?"
"Saya cuma mau naikin nilai, Pak," kilahku dengan
suara pelan. "Itu lebih parah lagi! Demi naikin nilai, kamu mau
dipeluk anak cowok...?"
"Ini cuma sandiwara kok, Pak," sela Les cepat-cepat.
"Valeria nggak mau dideketin cowok yang namanya
Daniel itu, jadi dia minta saya berpura-pura jadi pacar?
nya." Wajah Pak Rufus yang tadinya gelap langsung berubah
259 Isi-Omen2.indd 259 011/I/13 terang-benderang. Guru ini memang ekspresif banget.
Se?tiap perasaannya tecermin jelas di wajahnya yang ber?
kulit gelap itu. "Oh, bagus itu! Daniel memang anak yang tidak ada
gunanya. Dia memang ganteng, tidak heran kalian
cewek-cewek ABG suka sama dia. Tapi otaknya itu tidak
ada. Masa tidak naik kelas bisa sampai dua tahun? Kalau
bukan karena sumbangan bapaknya besar, sudah pasti
kami semua tidak sudi mengakui dia sebagai murid di
sini." "Pasti lagi ngomongin si Daniel."
Kami semua menoleh dan melihat Erika, beserta Vik
dan Amir, sedang membuntuti kami dari belakang. Dari
napas temanku yang agak ngos-ngosan itu, kuduga dia
sempat berlarian ke sana-sini untuk mencari Chalina. Vik
tampak santai-santai saja, tapi Amir juga kelihatan ngosngosan.
"Tuh orang memang memalukan teman dan keluarga
aja," dumel Erika, tentunya sedang membantu Pak Rufus
mengatai Daniel. "Jadi gimana, Val? Dapet apa? Gue
nggak nemu bekas-bekasnya sama sekali."
"Sama," jawab Amir tanpa ditanya. "Semua lab kosong
melompong." "Gue ketemu ruangan yang sepertinya bekas tempat
menyekap dia," ucapku, membuat Erika, Vik, dan Amir
lang?sung bersemangat. "Ruangan itu dipenuhi darah,
Ka." Ucapanku langsung mematikan semangat Erika, Vik,
dan Amir, menggantikannya dengan ketegangan.
"Ruangan itu mirip ruangan di dalam lukisan horor
pertama?" tanya Erika.
260 Isi-Omen2.indd 260 011/I/13 Aku mengangguk. Kurasakan tatapan Rima, dan kudapati cewek itu me?
mandangi aku dan Erika tanpa bicara. Mukanya yang
datar dan tanpa ekspresi semakin menyeramkan dari
detik ke detik. "Aku nggak dicurigai sebagai pelakunya, kan?" Akhir?
nya dia berbicara dengan suaranya yang pelan na?mun
jelas. "Maksudku, karena lukisanku yang dijadi?kan model
kejahatan." Oke, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Aku tidak ingin menyingkirkan orang dari daftar ter?
sangka hanya karena orang itu tampak lemah dan tidak
mencurigakan. Apalagi, kata-katanya benar. Lukisannyalah
yang dijadikan "panduan" oleh si pelaku untuk men?
celakai orang. Di sisi lain, aku menyukai cewek pelukis bertampang
seram ini. Menurutku, dia rada keren. Diam-diam aku
ber?harap semua ini tak ada hubungannya dengan
dirinya. Bahwa lukisan-lukisannya yang memang seram
itu tidak sengaja memberi ide pada si penjahat untuk
melancarkan aksinya. Tapi kalau memang begitu, kenapa surat pertama di?
kirim padanya? Apa hubungannya dengan semua


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peristiwa ini? "Pada saat ini, kami nggak akan menuduh siapa pun
dulu." Akhirnya aku berkata. "Kami akan mengawasi se?
tiap orang dengan sama adilnya. Kalau memang men?
curigakan, kami nggak akan segan-segan menyelidikinya,
tak peduli siapa pun itu."
Rima mengangguk, sedikit pun tidak menampakkan
re?aksi atas ucapanku, tapi lalu dia memalingkan wajah?
261 Isi-Omen2.indd 261 011/I/13 seraya menyembunyikan muka di balik rambut pan?jang?
nya. Oke, tunggu dulu. Dia bukannya tidak menampakkan
reaksi. Sekilas tadi ada reaksi yang terlihat sebelum dia
menyembunyikan wajahnya. Itu wajah... cemas?
Sebelum aku memikirkan fakta ini lebih lanjut, Erika
memanggilku. "Jadi ruangan itu ada di mana, Val?"
"Di belakang panggung auditorium."
"Lo sempet periksa ke situ pas lo nyariin Chalina?"
tanya Erika pada Rima. Rima mengangguk. "Iya, tapi waktu itu ruangannya
terkunci, dan aku nggak ketemu kuncinya."
"Itu benar," jawabku. "Gue harus dobrak, dan nggak
ber?hasil pula." Wajahku memerah waktu ingat kakiku
tersangkut di dalam daun pintu yang keropos. "Les yang
akhirnya bantu dobrak."
"Kenapa lo dobrak, Val?"
"Mmm, ada bekas darah nempel di kusen."
Lagi-lagi Erika memandangi Rima. "Lo liat waktu lo
nyariin Chalina ke situ?"
"Nggak." "Nggak ada atau nggak merhatiin?"
Wajah Rima tetap datar. "Sepertinya nggak ada."
"Jam berapa tuh?"
"Jam sepuluhan."
"Oke. Ini berarti tiga hal. Memang waktu itu Chalina
masih baik-baik aja, atau lo emang nggak perhatian, atau
lo bohong." Erika mengatakan semua itu tanpa ada nada
menuduh sama sekali, tapi aku tahu Rima pasti merasa
terintimidasi. Sepertinya Erika merasakan hal itu juga,
karena dia menepuk bahu Rima. "Nggak usah takut. Gue
262 Isi-Omen2.indd 262 011/I/13 cuma mengungkapkan fakta-fakta yang ada. Yang jadi
per?hatian gue cuma kapan Chalina disekap dan gi?
mana cara dia dipindahin."
"Mungkin aku tau cara dia dipindahin."
Kami semua menoleh pada Rima yang mengatakan hal
itu. Cewek itu balas memandangi kami dari balik tirai
rambutnya. "Kami punya kotak-kotak kayu untuk menyimpan
barang-barang kami. Lukisan-lukisan, patung, gambar
rajutan, dan berbagai kerajinan tangan lain. Semua itu
kan harus ditangani dengan hati-hati. Nah, kami meng?
angkut semua hasil karya itu dengan kotak-kotak kayu
yang didorong dengan troli. Mungkin si pelaku meng?
gunakan kotak kayu dan troli untuk mengangkut
Chalina." "Masuk akal," angguk Erika. "Jadi kotak kayu itu bisa
me?muat satu cewek?" Rima mengangguk. "Kalo cowok?"
Rima berpikir sejenak. "Asal nggak setinggi dan sebesar
cowok-cowok ini, bisa."
Cowok-cowok yang dimaksud tentulah Les, Vik, dan
Amir. "Semua orang bisa mengakses kotak-kotak kayu itu?"
sela Vik mendadak. "Ya," sahut Rima. "Soalnya biasanya kami menyuruh
pe?suruh sekolah buat bantu pindah-pindahin. Kebanyak?
an dari kami kan cewek..."
"Sementara yang cowok kerjanya cuma kelayapan, kayak
si Welly," kata Erika geram sambil celingukan. "Omongomong, kok Welly dan Daniel belum turun ya?"
"Ruangan kelas kan banyak," kata Pak Rufus yang
sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan kami de?
263 Isi-Omen2.indd 263 011/I/13 ngan penuh perhatian. "Mungkin mereka masih sibuk
mencari." "Atau mereka kabur ke warung bakmi." Yang bukannya
tidak mungkin terjadi. "Biar gue telepon ajalah. Mereka
nggak bakalan bisa nipu gue biarpun lewat telepon."
Tanpa menunggu persetujuan kami, Erika langsung
me?nekan ponselnya. "Niel? Di mana lo? Udah deket?"
Dia celingak-celinguk. "Manaaaa? Dasar goblok, kami ada
di depan kantor si Rita di gedung kelas, bukan audito?
rium..." Ucapannya terhenti saat melihat pelototan Pak
Rufus. "Jadi lo nemu sesuatu nggak? Nggak? Ya udah,
nggak apa-apa. Pokoknya samperin ya, buruan!"
"Bu Rita, Errrika, bukan Rita saja!" cela Pak Rufus tak
senang. "Bu Rrrita, maksud Bapak?"
"Errrika!" Pak Rufus menggeleng-geleng. "Ya sudah,
ayo kita masuk. Tapi yang boleh masuk cuma Erika,
Valeria, dan Rima, ya. Yang lain tetap di luar."
"Lho, kok diskriminasi gitu, Pak?" protes Amir. "Kalo
yang dua ini saya maklum, Pak. Kan mereka anak luar.
Tapi saya kan anak sekolah ini. Udah lama lagi, Pak."
"Yang ?sudah lama? itu tidak usah bangga. Itu kan
karena kamu langganan tidak naik kelas," ketus Pak
Rufus. "Tidak. Masalah ini urusan kami berlima. Kamu
tunggu saja di luar."
"Bilang aja Bapak girang dikelilingi cewek-cewek, jadi
tidak mau ada saingan!" tukas Amir tak mau kalah, lalu
mengaduh saat pundaknya ditoyor Erika.
"Mir, lo ngalah dong sama Pak Guru Kribo!"
"Errrika!" "Abis," Amir bersungut-sungut tanpa memedulikan Pak
264 Isi-Omen2.indd 264 011/I/13 Rufus yang berkacak pinggang, "emangnya si Kribo kira
gue nggak penasaran?"
"Amirrr!" "Ya kalo lo kagak respek sama si Kribo, minimal lo
respek sama gue, kan?" Erika menepuk-nepuk bahu Amir
yang tadi ditoyornya. "Udahlah, ngalah aja sama yang
waras." "Oke. Eh, tunggu dulu." Amir menatap Erika dengan
curiga. "Apa tuh maksudnya ngalah sama yang waras?"
"Maksudnya, yang ngalah nggak waras," sahut Erika
sambil nyengir. "Udahlah. Pokoknya lo tinggal di luar.
Jaga pintu. Lapor kalo ada yang mencurigakan." Lalu dia
menunjuk pada Les dan Vik. "Dan tunjukin mereka
toilet kalo mereka kepingin pipis."
"Kami tau di mana toilet kok," ketus Vik.
"Di mana?" tanya Les heran.
Dengan cueknya Vik menunjuk toilet guru. Pak Rufus
tampak tak senang. Guru-guru memang sering posesif
soal toilet mereka. Tapi sepertinya hari ini bahkan Pak
Rufus pun tak bisa melarang kami menggunakan toilet
itu, soalnya hari ini sebagian besar guru berada di audi?
torium. Toilet guru di gedung kelas ini pasti sepi banget.
Kan sayang kalau disia-siakan begitu saja.
"Lo emang pacar impian gue, Jek," kata Erika girang.
"Entar lo liat ya, di bagian bawah bilik toilet kedua, di
belakang kloset, ada..."
Lalu dia berbisik pada Vik yang tampak geli.
"Apa?" tanya Pak Rufus panik. "Ada apa?"
"Mau tau aja sih, Bapak!" hardik Erika. "Jadi mau
lapor sama Bu Rita, nggak?"
Pak Rufus cemberut. "Ayo, kita masuk."
265 Isi-Omen2.indd 265 011/I/13 Secara spontan aku melayangkan pandangan ke arah
Les sebelum masuk ke ruangan Bu Rita. Les tampak ter?
kejut seolah-olah aku baru saja memergoki?nya melakukan
sesuatu... eh, memandangiku? Tapi dia tidak mengalihkan
pandangannya seperti orang-orang lainnya bila tepergok.
Malahan, dia tersenyum padaku.
Aduh. Jantungku meloncat-loncat.
Dengan perasaan itulah aku masuk ke ruangan Bu
Rita. Dan menemukan ruangan itu hancur berantakan.
266 Isi-Omen2.indd 266 011/I/13 SUARA Pak Rufus-lah yang menyadarkanku.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?"
Serta-merta, aku dan Erika menghambur ke dalam
ruangan. Namun serentak pula kami bergeming di depan
pintu, menghalangi yang lain ikut menyerbu masuk.
"Jangan sentuh apa pun!" perintah Erika sambil me?
layang?kan pandangan ke sekeliling. "Selain gue dan
Valeria, yang lain jangan masuk. Val, lo jangan nginjek
barang-barang gaje, ya."
"Oke." Kami berjalan dengan hati-hati, memeriksa ruangan
itu dengan saksama, sementara Pak Rufus dan Rima ha?
nya terpaku di depan pintu. Saat anak-anak cowok ber?
usaha merangsek masuk, aku bersyukur Pak Rufus ber?
hasil menahan mereka. Tampak jelas, pernah terjadi baku hantam yang cukup
seru di ruangan itu. Seperti di ruangan gudang di
auditorium tadi, jejak hantaman di meja menandakan
senjata yang digunakan adalah senjata tajam raksasa
sejenis kapak, golok, atau parang besar?sama seperti ke?
kacauan yang terjadi di gudang di auditorium. Berbagai
267 Isi-Omen2.indd 267 011/I/13 pecahan dari barang-barang pajangan, pot, dan lampu
hias berserakan di lantai, menciptakan ranjau-ranjau
yang tak segan-segan menembus sepatu kami kalau ter?
injak. Tirai-tirai copot. Tapi berhubung jendela-jendela
itu menghadap ke arah yang berlawanan dengan pintu
masuk, kami tak akan bisa mengetahuinya tanpa masuk
ke dalam. Jejak darah di lantai menyebar di antara pecah?
an barang, membuat semua itu semakin menakutkan.
Lalu, tentu saja ada bercak-bercak darah yang sangat
banyak. Bahkan ada genangan darah di atas meja kerja
Bu Rita. Di tengah-tengah genangan darah itu terdapat
secarik kain batik yang tampaknya berasal dari baju Bu
Rita. Yang tak kalah mengerikan, di bawah meja kerja,
dekat genangan darah itu, terdapat kacamata yang sudah
rusak. "Mungkin ini bukan apa-apa," kata Erika tidak terima.
"Habis, kan lukisan kedua nggak diubah!"
Tanpa menyahut aku menunjuk dinding, ke sebuah
lukisan yang tergantung miring di sana. Lukisan horor
nomor dua. Seseorang sedang terkapar di meja kerja de?
ngan tangan nyaris putus?seseorang yang mirip banget
dengan Bu Rita, terutama karena rambut sarang tawon?nya
yang mencolok dan kacamata yang menghiasi wajahnya.
Oh, God. Malangnya nasib kepala sekolah kami itu!
"Rima," aku menoleh ke arah pintu, tempat Rima
berdiri tertegun, "lo nggak sadar lukisan ini hilang?"
Ini pertama kalinya aku melihat wajah dingin Rima
tampak shock hebat. "Sori, aku nggak ngecek. Saat me?
lihat lukisan pertama aku langsung panik...."
Aku dan Erika berpandangan. Harus diakui, Rima
termasuk salah satu orang yang patut dicurigai. Me?mang
tidak mungkin dia yang menjadi si algojo (mung?kin saja
dia bisa mengalahkan Chalina yang ke?rempeng, tapi tak
mungkin dia bisa menyentuh Bu Rita si kepala sekolah
super), namun bisa jadi dialah orang yang mengubah
lukisan itu. Tapi seandainya dia bukan salah satu pelaku,
kejadian ini bukanlah akibat keceroboh?annya. Ketegang?
an yang kami rasakan saat melihat lukis?an pertama
memang membuat kami lupa memperhatikan lukisanlukisan yang lain.
Sambil menjaga saputanganku tetap menutupi jarijariku, aku membalik lukisan itu.
Apakah kepala sek olah masih hidup atau mati?
Alg ojo Tujuh Lukisan Horor akan membiarkannya
men?jadi misteri. 268 Isi-Omen2.indd 268 011/I/13 Seperti surat ancaman yang pernah diperlihatkan
Rima, kata-kata itu juga ditulis dengan krayon merah
dengan tulisan cakar ayam yang menakutkan. Meski be?
gitu, tampak jelas kecerdasan yang dimiliki si algojo.
De?ngan kata-kata ini, dia mengatakan secara tersirat,
kalau kami melakukan sesuatu yang tolol?seperti me?
manggil polisi, misalnya?dia akan mencincang kepala
sekolah kami yang malang.
"Bajingan!" desis Erika geram, menyadari arti tersirat
surat tersebut. "Dia sengaja bikin kita mati kutu. Sayang
bagi si goblok itu, dia lupa ada gue. Nggak ada satu pun
orang yang boleh mengacau di wilayah gue!"
Kami keluar dengan muram. Erika mencabut kunci
yang tergantung di belakang pintu, lalu mengunci pintu
tersebut. Begitu keluar, kami langsung dikerubungi.
269 Isi-Omen2.indd 269 011/I/13 "Sebenarnya apa sih yang terjadi?" tanya Daniel pe?
nasaran. "Kenapa si Rita diincar?" tuntut Amir.


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa hubungannya dengan Klub Kesenian?" Rupanya
Welly peduli juga dengan kegiatan ekskulnya.
Berhubung Vik tidak menanyakan apa-apa, aku yakin
dia sudah mendapatkan pencerahan dari Erika.
"Tenang, tenang!" Erika berusaha meredakan ketegang?
an yang dirasakan ketiga anak buahnya. "Gue nggak bisa
cerita banyak. Yang jelas, masalah ini berkait?an dengan
tragedi tahun lalu."
Aku bisa melihat perubahan pada wajah ketiga cowok
itu. "Tragedi... tragedi yang mana?" tanya Welly dengan
muka sengit yang tidak wajar.
"Yah, mana gue tau," balas Erika sambil mengangkat
bahu. "Kan waktu itu gue belum sekolah di sini. Kalo
me?nurut kalian bertiga si anak-anak nggak naik kelas,
kira-kira apa tuh yang dimaksud?"
"Kalo itu soal Reva, gue bilang itu nggak mungkin," kata
Daniel tegas. "Kejadian Reva itu murni kecelaka?an."
"Yakin sekali, Niel," kata Erika sinis. "Emangnya lo ada
di situ waktu itu?" Erika memang luar biasa. Dia sudah tahu faktanya dari?
ku, tapi Daniel tidak tahu soal itu. Jadi, Erika berpurapura tidak tahu.
"Iya, gue ada di situ," angguk Daniel. "Gue ada di
pinggir kolam renang dekat tempat meloncat, sementara
Reva ada di seberangnya. Tau sendiri, gue cuma main
sama anak-anak yang populer, jadi sedikit pun gue nggak
per?hatiin Reva maupun geng Chalina. Gue tau, Reva
270 Isi-Omen2.indd 270 011/I/13 sering dikerjain gengnya Chalina, tapi itu kan bukan
urusan gue..." "Itu sebabnya gue jadi ketua geng dan bukan elo,"
sela Erika seraya mencela. "Mana boleh kita biarin anakanak diperlakukan semena-mena? Ya udah, lanjut!"
"Yah, pokoknya tau-tau gue denger jeritan dan Reva
udah tepar di dasar kolam renang," cerita Daniel.
"Suasana?nya kacau banget. Cewek-cewek pada menjerit,
cowok-cowok meloncat ke dasar kolam renang dan men?
dekati Reva, siapa tau masih hidup gitu..."
"Termasuk elo?" sela Erika lagi.
"Iya, termasuk gue."
"Tapi kamu bilang sama aku, kamu nggak liat sendiri,
Niel," kataku mengingatkan.
Daniel bengong sejenak. "Oh, maksudku, mmm, aku
nggak liat kejadiannya. Aku cuma liat pas dia udah me?
ninggal." Mencurigakan. Kenapa dia selalu gelagapan setiap kali
topik ini disinggung? Dan kenapa dia begitu berkeras
kejadian Reva hanyalah kecelakaan belaka?
"Lalu gimana?" tanya Erika tak sabar.
"Yah, guru yang sedang mengawasi waktu itu, Bu
Maria, menelepon ambulans. Bu Rita dan Pak Rufus juga
langsung nongol. Kami semua disuruh masuk kelas se?
men?tara anak-anak yang tadinya mengerjai Reva ditanyai
polisi." Daniel mengangkat bahu. "Sisanya gue udah
nggak tau lagi. Mending lo tanya Pak Rufus."
"Nggak usah," ketus Erika, menutup mulut Pak Rufus
yang siap menjawab. "Orang bodoh pun tau kasusnya
ditutup karena dianggap cuma kecelakaan. Waktu itu,
kalian berdua ada di mana?"
Pandangan Erika menyapu Amir dan Welly, yang tam?
pangnya jelas-jelas merasa bersalah. Setelah ber?pandang?
an dengan Daniel dan kelihatan seperti kepingin kabur,
akhirnya Amir berkata, "Gue sama Welly ada di situ
juga, Ka." "Ngapain kalian berdua ikutan ke kolam renang?"
hardik Erika. "Kan pelajaran bebas. Kami ingin ikutan main."
"Dan?" Ketiga cowok itu tampak salah tingkah?dan jelas-jelas
mencuri pandang ke arah Pak Rufus.
"Dan?!" bentak Erika lagi.
"Kami lagi ngundang temen buat main poker," sahut
Daniel akhirnya dengan nada datar.
Ah, rupanya mereka tidak berani mengaku lantaran
tidak ingin masalah poker mereka ketahuan Pak Rufus.
Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa Pak Rufus
tahu banyak banget tentang malam poker mereka beserta
para pesertanya. "Siapa yang kalian undang waktu itu?"
Setelah tidak ada jawaban selama beberapa saat, Pak
Rufus berkata, "Pasti Okie."
"Okie yang anggota geng Chalina?" tanya Erika. Se?men?
tara Daniel, Welly, dan Amir melongo melihat betapa
tenangnya Pak Rufus menyingkap peserta malam poker
mereka. Seketika aku ingat pada cowok sok keren dengan
kaus Superman di balik seragam sekolah, yang bernama
Okie itu. "Jadi si anak cupu itu tajir? Lo porotin duit?
nya...?" 271 Isi-Omen2.indd 271 011/I/13 "Dan Dian," tambah Pak Rufus.
"Serius?" Erika terbelalak. "Si Cupu dan si Belalang
Gagap itu tajir?" Astaga. Pantas saja Chalina menyombongkan gengnya.
Rupanya setengah dari mereka memang kaya.
"Tunggu dulu," kataku lambat-lambat. "Kalo dua
dari yang kalian rekrut adalah geng Chalina"
"berarti kalian ada di dekat Reva dong waktu itu!"
teriak Erika menyambung. "Ayo, cepetan ngaku!"
"Nggak kok," bantah Welly. "Justru mereka yang kami
panggil untuk menjauh!"
"Jangan bohong!" bentak Erika. "Gue tau mereka ada
di dekat Reva. Soalnya mereka cerita kejadian Reva wak?
tu itu dengan sangat jelas!"
Kini ketiga cowok itu tampak tak berkutik. Ketiganya
sama sekali tidak bisa menjawab Erika.
"Jadi kalian liat kejadiannya?" tanyaku memecahkan
keheningan. "Ya." Setelah lama diam, Daniel akhirnya menyahutiku.
"Waktu itu, Reva emang tampak kaget sekali waktu dia
jatuh. Seolah-olah ada yang mendorongnya."
"Seolah-olah?" tanya Erika yang kini antipati pada
gengnya. "Apa tuh maksudnya?"
"Nggak ada orang di dekat dia kok," kata Amir tegas.
"Kecuali kalo dia nginjak sesuatu. Tapi, gue nggak ngeliat
ada sesuatu yang aneh yang mengakibatkan dia jatuh.
Kalo Daniel sama Welly emang langsung terjun bebas ke
dalam kolam. Ceritanya mau nyelamatin si Reva, gitu.
Sementara gue masih di atas. Kan gue agak-agak gendut
tuh..." 272 Isi-Omen2.indd 272 011/I/13 "Lo mah bukan agak-agak gendut lagi!" cela Welly.
273 Isi-Omen2.indd 273 011/I/13 "Waktu itu lo lagi gendut-gendutnya, tau? Udah nggak
kalah sama si Patrick!"
"Siapa Patrick?" tanyaku heran.
"Temennya SpongeBob!" sahut Erika, Daniel, Welly,
Amir, bahkan Vik secara serempak.
"Lo nonton SpongeBob juga?" tanya Les heran pada
Vik. "Dipaksa," sahut Vik cemberut. "Katanya gue mirip si
Mr. Krabs. Kan gue jadi penasaran, jadilah gue nonton.
Ternyata bagus dan sekarang gue ketagihan."
"Ya udah, kita udah melenceng dari topik nih," tukas
Erika, tampak malu karena rahasia kecilnya terkuak di
depan umum. "Lo mending lanjutin cerita lo, Mir. Cerita?
nya lo gendut banget, jadi males loncat. Terus?"
"Jadi gue cuma jalan-jalan di atas sambil nonton dan
mikir. Kenapa nggak ada angin nggak ada ujan, tuh
cewek bisa tau-tau jatuh, gitu. Tapi gue nggak ngeliat
yang aneh, dan itulah anehnya."
"Hmm." Erika berpikir keras. "Tapi lo kan nggak se?
berapa pinter, Mir. Bisa jadi lo nggak menyadari meski
senjata pembunuhnya ada di depan lo."
"Nggak mungkin!" jawab Amir tersinggung. "Waktu
itu ada Chalina di samping gue dan dia bilang aneh ba?
nget Reva bisa jatuh..."
"Chalina mana bisa dipercaya!" bentak Erika. "Kalo dia
emang nggak terlibat, kenapa juga sekarang dia orang
pertama yang ditangkap? Kadang gue nggak heran lo
sering nggak naik kelas, Mir. Ini tahun ketiga lo di kelas
sepuluh, kan?" "Maksud lo?" tanya Welly terkejut. "Semua ini pem?
balasan dendam untuk Reva?"
274 Isi-Omen2.indd 274 011/I/13 Erika menatapnya dengan bete. "Yaelah, emangnya
dari tadi belum jelas?"
"Kalo Chalina ada di dekat Amir," selaku cepat, "pasti?
nya dia punya kesempatan untuk menyingkirkan benda
apa pun yang dia gunakan untuk membuat Reva jatuh."
Mendadak terlintas olehku suatu hubungan yang sangat
aneh. "Kembali ke soal poker tadi. Bukannya Andra juga
termasuk tim pokermu, Niel? Apa dia pernah main
bareng Okie dan Dian?"
Daniel berpikir sejenak. "Nggak inget, tapi seharusnya
pernah. Minimal dengan salah satunya."
"Lo beneran morotin semua orang yang pernah ikut
malam poker lo?" tanya Erika tak percaya.
"Semuanya," sahut Daniel bangga. "Tanpa terke?cuali."
"Jadi kira-kira semua orang yang pernah ikut malam
poker, dendam dong sama elo," kata Erika.
"Yah, emangnya mereka bisa apa?" dengus Daniel.
"Mau dihajar sama gue dan dua setan gila ini?"
"Tunggu dulu." Kami semua menoleh pada Les yang
tersenyum ringan tanpa memedulikan sikap permusuhan
yang ditunjukkan Daniel dan kedua konconya padanya.
"Bagaimana dengan siswa yang bernama Gordon?"
"Maksud lo, si Gold?" tanya Amir heran.
"Gordon memang sering dipanggil Gold," Pak Rufus
menjelaskan. "Soalnya rambutnya selalu disemir warna
pirang." "Emangnya apa hubungannya si Gold dalam masalah
ini?" desak Welly. "Dia teman poker kalian juga?" tanya Les tanpa men?
jawab pertanyaan Welly. Daniel ragu sejenak. "Iya."
275 Isi-Omen2.indd 275 011/I/13 "Oke, ini udah terlalu banyak kebetulan," tandas Erika.
"Terlalu banyak hubungan sama temen-temen poker
lo." "Mereka bukan cuma temen poker gue," Daniel meng?
ingatkan, "melainkan juga anak-anak paling kaya di
sekolah ini." "Kecuali Chalina," selaku.
Daniel mengangguk. "Kecuali Chalina."
"Kalian terus-menerus bilang soal Reva," sela Rima
yang sedari tadi diam saja, "tapi di surat yang kita te?
rima, yang disebutkan kan tragedi tahun lalu. Dan tra?
gedi tahun lalu bukan cuma tragedi Reva."
"Memang," anggukku. Aku tidak ingin membeberkan
apa yang Andra akui pada kami, jadi aku berkata, "Ma?
salahnya sekarang semua petunjuk dan kejadian meng?
arah pada peristiwa Reva. Jadi itu yang akan kita fokus?
kan. Tapi, kalo kalian menemukan benang merah dengan
kasus-kasus lain, jangan segan-segan bilang."
Aku melirik Erika dan melihatnya mengangguk tanpa
kentara. Oke, dia juga lebih suka merahasiakan faktafakta yang sudah kami ketahui.
"Kasus-kasus lain?" tanya Welly heran. "Emangnya ada
kasus-kasus lain?" "Ada, bego!" tukas Amir. "Cewek yang namanya Indah
yang mati bunuh diri itu!"
"Lho, namanya juga bunuh diri, apanya yang jadi
kasus?" balas Welly tak mau kalah. "Lalu kasus apa lagi?"
"Kasus Andra mencuri di kantor kepala sekolah?" pan?
cing?ku. Daniel, Amir, dan Welly berpandangan, lalu ter?tawa
terbahak-bahak. 276 Isi-Omen2.indd 276 011/I/13 "Apanya yang lucu?" tanyaku bingung.
"Jelas anak itu nyolong buat menangin balik duit dia
dari kami!" kata Welly pongah. "Tuh anak emang nggak
pernah mau ngaku kalah. Waktu kami porotin dia, dia
teriak-teriak soal kami nipu. Padahal, disuruh nunjukin
gimana cara nipunya, dia nggak bisa. Bukan salah kami
kan kalo kami jago main poker."
"Iya, muka lo kayak robot sih, jadi jago nge-bluffing,"
seringai Amir. "Kalo gue kan mukanya welas asih, siapa
duga hati gue penuh siasat licik?"
"Pokoknya, masalah Andra nggak mungkin berhubung?
an dengan kejadian saat ini," kata Daniel. "Apalagi, per?
main?an poker kami nggak ada hubungannya dengan
Chalina." "Siapa bilang?" tanya Welly heran. "Chalina yang per?
tama kali bilang ke kita kalo Andra mau ikutan main
poker, kan?" Aku dan Erika saling memandang.
Gawat. Kenapa setiap fakta membuat kasus ini semakin
rumit saja?

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

277 Isi-Omen2.indd 277 011/I/13 AKHIRNYA Pak Rufus memutuskan, kami semua harus
kembali ke tugas masing-masing.
"Kita tidak ingin pelakunya mengincar kalian karena
merasa kalian tahu terlalu banyak." Begitulah katanya.
"Saya tahu kalian semua merasa tegang dan meng?
khawatir?kan Bu Rita serta Chalina, tapi tidak banyak
yang bisa kita lakukan saat ini. Lebih baik kita berusaha
ber?sikap seperti biasa supaya tidak kelihatan men?
colok." Meski Erika dan aku tak keberatan menjadi incaran si
pelaku?dengan demikian kami bisa balas mengincar?
kami tahu untuk sementara kami harus menjauh dari
Daniel dan kelompoknya. Habis, dari awal sepertinya
mereka berusaha menutup-nutupi sesuatu. Apakah yang
mereka tutupi hanyalah keterlibatan para peserta malam
poker mereka, lantaran mereka takut kegiatan ilegal me?
reka itu diusut polisi, ataukah ada alasan lain? Pokoknya,
lebih baik kami mengikuti saran Pak Rufus. Jadi, Rima
dan Welly kembali ke auditorium dan mengurusi pamer?
an, Daniel dan Amir pergi ke kantin untuk mengisi perut
(kemungkinan besar ini ide Amir), sementara aku dan
Erika mengantar Vik dan Les keluar dari sekolah. Kedua?
278 Isi-Omen2.indd 278 011/I/13 nya harus kembali ke tempat kerja mereka setelah jam
makan siang. "Mau makan dulu di suatu tempat?" tanya Erika.
"Kalian berdua nggak mau balik kerja dengan perut krikkrok-krik-krok, kan?"
"Kamu kira perut kami isinya kodok?" tukas Vik.
"Yang lebih penting, kalian nggak apa-apa ditinggalkan
di sini?" "Tenang, tenang!" kata Erika sambil memasang gaya
me?nahan seolah-olah Vik siap melakukan sesuatu yang
brutal. "Di dunia ini, nggak ada satu orang pun yang
sanggup melawan kami berdua sekaligus. Satu per satu,
okelah, kami juga punya keterbatasan meski minim ba?
nget. Tapi kalo kami berdua bergabung, percaya deh,
Rambo aja nggak berani ambil risiko!"
"Kenapa lo tau-tau nyebut si Rambo?" tanyaku geli.
"Iya, dia kan sama kribonya dengan si Rufus, lawan
paling berat kita di sekolah ini," sahut Erika sekenanya.
"Jadi, mau makan nggak?"
"Mmm." Aku mengeluarkan BlackBerry-ku, berharap
bisa mengirim pesan pada Andrew bahwa aku akan
makan siang di luar. Tapi, alih-alih jadi makan di luar,
aku malah mendapatkan undangan tak menyenangkan
dari Andrew. Aduh, seandainya saja aku bisa berbohong!
Masalahnya, di seluruh dunia ini, orang pertama yang
tak ingin kubohongi adalah Andrew. "Sebenarnya
Andrew ngundang kalian semua buat makan bareng.
Tapi kalo kalian nggak mau, nggak apa-ap..."
"Mau dong!" seru Erika penuh semangat. "Gue belum
pernah makan di ruang makan mewah istana ketajiran!
Malem itu kita kan cuma makan di kamar lo, Val."
279 Isi-Omen2.indd 279 011/I/13 Aduh. Kenapa ya, aku selalu merasa malu banget kalau
kondisi finansial keluargaku diungkit-ungkit di depan
Les? Padahal yang bersangkutan kelihatan cuek-cuek
saja. "Aku udah pernah ke sana," sahut Vik dengan nada
bosan. "Makanannya emang enak sih."
Dengan kata lain, Sayang tuan rumahnya tak sebanding
dengan makanannya. Dasar makhluk pongah menyebalkan.
Aku heran kenapa orang seperti dia bisa bersahabat
dengan Les. "Aku terserah aja," sahut Les sambil memandangiku.
"Kalo kamu mau aku datang, aku akan datang." Tapi
caranya memandangku seolah-olah dia ingin mengatakan,
"Kalo kamu takut papamu marah, nggak apa-apa kalo
aku nggak diajak." Aduh. Mana mungkin aku menolak cowok seperti ini?
(Tambahan lagi, ayahku tak pernah ada di rumah siangsiang. Hari kedatangan Erika adalah satu pengecualian
besar.) "Yah, kalau kalian semua mau datang..."
"Mau, mau!" seru Erika penuh semangat. "Ayo, kita
pergi bareng! Pak Mul akan jemput?"
"Nggak usah," ketus Vik. "Hari ini aku bawa mobil."
"Jiahhh, si Ojek naik level nih ceritanya!" tawa Erika.
"Bawa mobil apa, Jek? Kita semua muat di dalam?"
"VW." "VW?" Erika diam sejenak. "VW Kodok? Yang nggak
ada AC-nya itu?" "Yep." "Ngapain lo beli mobil kalo kagak ada AC-nya?" teriak
Erika emosi. "Ini mah kagak naik level. Ini turun level.
280 Isi-Omen2.indd 280 011/I/13 Naik motor, minimal gue punya akses udara seger. Kayak
gini, bisa-bisa gue mati pengap di dalam!"
"Tenang, tenang!" kata Vik dengan nada dan gaya
yang sama persis dengan Erika tadi. "Ada aksesnya kok.
Nggak ada jendelanya, soalnya."
"Maksudnya?" "Maksudnya, kacanya ilang."
Erika makin mencak-mencak. "Lo ngapain beli mobil
yang nggak ada kaca dan nggak ada AC-nya?"
"Kan murah." "Emang lo kagak sanggup beli yang bagusan?"
"Nggak," sahut Vik tegas. "Sekarang aku masih belajar
di perusahaan, jadi gajiku kecil. Mobil yang sanggup ku?
beli, ya emang cuma yang seperti ini."
Erika terdiam sejenak. "Lo emang Yamada nggak ber?
guna!" Vik tertawa. "Emang."
"Ya udah, mana mobilnya?" Sambil berjalan men?da?
hului kami semua, Erika mendumel, "Kandaslah harap?
an gue buat belajar bawa mobil BMW. Dapetnya ma?
lah VW. Yah, memang sama-sama berakhiran dengan
W tapi yang satu pangeran kerajaan mobil, yang satu
lagi..." "Hei, siapa bilang kamu boleh belajar nyetir pake
mobil?ku?" tanya Vik jengkel sekaligus geli.
"Masa lo mau biarin gue nggak bisa bawa mobil mau?
pun motor?" tanya Erika sambil memasang muka me?
ngenaskan yang tidak cocok dengan imejnya yang biasa.
"Kalo lo nggak mau ajarin gue, masa gue harus minta
tolong Daniel..." "Ngapain kamu minta tolong anak bau kencur begitu?
281 Isi-Omen2.indd 281 011/I/13 Jelas mendingan aku ke mana-mana. Tenang, nanti akan
kuajarin kalo kita ada waktu luang."
Erika memperlambat jalannya hingga sejajar denganku,
lalu menyenggolku dengan muka penuh kemenangan
dan menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah sedang
menari. "Nggak usah nari!" tegur Vik tanpa menoleh.
"Cih," cibir Erika. "Kok lo tau aja sih?"
"Tau dong. Bau keteknya nyebar sampai ke depan."
"Nggak bau, tau!" cetus Erika, tapi tak urung dia
mencium-cium bawah lengannya sendiri. Rasanya lucu
melihat Erika yang biasanya justru akan menyodorkan
keteknya ke mana-mana kini tampak tidak percaya diri
dengan baunya sendiri. Ternyata dia peduli banget
dengan pendapat Vik tentang dirinya.
Di balik penampilannya yang sok cuek, sebenarnya dia
manis sekali. Kami menuju VW Vik yang berwarna hitam. Benarbenar mobil yang sama suramnya dengan pemiliknya.
Vik membuka pintu kursi samping pengemudi, lalu
menurunkan sandaran. "Yang duduk di belakang, masuk lewat sini," katanya
mengumumkan. Tanpa banyak bacot, aku menyelinap masuk. Di be?
lakang?ku aku mendengar Erika menggerutu, "Kayak
masuk liang tikus. Gue nggak mau duduk di belakang.
Lo aja, Les." Jantungku nyaris berhenti berdetak saat melihat Les
tidak memprotes perintah Erika, melainkan langsung
menyelinap masuk ke jok belakang.
"Nggak apa-apa aku duduk di sini?" tanyanya sebelum
282 Isi-Omen2.indd 282 011/I/13 duduk. "Kalo kamu takut, aku bisa tukeran sama
Erika." "Nggak mau tukeran!" teriak Erika dari luar.
"Iya, nggak apa-apa," sahutku sambil nyengir. "Aku
juga nggak mau duduk sama cewek ngambekan."
Tempat duduk di belakang ternyata sangat sempit, dan
badan Les besar banget. Jadilah dia harus merangkul
bahuku supaya kami berdua bisa duduk lebih nyaman.
"Sori," ucapnya rikuh sambil berusaha menjaga ja?
rak. "Iya, lo harus sori." Erika menyeringai jahat dari
depan. "Lo udah sodorin ketek lo ke muka cewek paling
wangi di sekolahan!"
Wajah Les tampak lucu banget. "Oh, ya. Sori banget."
"Nggak apa-apa," sahutku sambil menahan tawa. "Ka,
udah ah, jangan godain orang terus. Pake tuh seatbelt."
"Iya nih," tukas Vik, tumben-tumbenan membelaku.
"Keliatan banget nggak pernah naik mobil."
"Siapa bilang?" kilah Erika sambil buru-buru memasang
sabuk pengaman. "Gue kan tadi mau liat-liat ke jok
belakang." "Nggak usah diliat-liat. Muka mereka nggak bakalan
berubah jadi orang lain kok meski nggak diliatin."
Perjalanan ke rumahku sangat cepat karena cara me?
nyetir Vik yang seolah-olah tidak menyadari bahwa dia
tidak sedang membawa motor. Apalagi cowok itu kan
hafal jalan ke rumahku. Dalam waktu singkat, dia sudah
berhalo-halo dengan petugas sekuriti di gerbang depan,
lalu memarkir mobilnya di carport depan garasi.
Seperti biasa, Andrew menyambut kami di pintu uta?
ma. 283 Isi-Omen2.indd 283 011/I/13 "Miss Valeria, Miss Erika, Master Vik, dan..." Kali ini
mata elangnya mengincar Les. "Master Leslie?"
Pasti ayahku yang sudah menceritakan soal Les pada?
nya. "Benar, Kakek..."
"Panggil saja saya Andrew." Seperti biasa, sopan santun
Andrew tanpa cela. "Saya kepala pelayan rumah keluarga
Guntur. Silakan masuk, Master Leslie, dan anggap saja
ini rumah sendiri. Master Vik, sudah lama Anda tidak
mampir. Bagaimana kondisi orangtua Anda?"
Sementara Andrew berbasa-basi dengan kedua cowok
itu, aku dan Erika berjalan di belakang.
"Val, dari tadi gue mikir nih," kata Erika dengan suara
rendah yang tak bakalan didengar Andrew. "Kayak?nya
masalah ini pasti ada hubungannya sama permainan
poker Daniel deh." Aku mengangguk. "Gue juga merasa gitu, Ka. Nggak
mungkin ada begitu banyak kebetulan yang terjadi."
"Andra bilang, Indah nyuruh dia nyari duit untuk
menge?tahui penyebab kematian Reva. Inget, Val, dia
nggak bilang pembunuh Reva, tapi orang yang menyebabkan
kematian Reva." Pemilik daya ingat fotografis memang
berbeda dengan manusia biasa. "Mungkin dia nggak
benar-benar yakin orang itu udah membunuh Reva, jadi
dia ingin buktiin kebenaran dugaannya. Duit yang ren?
cana?nya mau dicolong Andra itu, gue yakin tadinya mau
digunakan buat ngikut malam poker lagi. Tapi Andra
ternyata gagal, dan Indah mati." Erika diam sejenak.
"Ada yang tau soal keterlibatan Indah dalam masalah
ini. Jadi dia dibunuh."
"Ini berarti pembunuhnya udah membunuh dua orang
284 Isi-Omen2.indd 284 011/I/13 dong." Aku menggigit bibir. "Satu orang, masih bisa
dibilang hanya kekhilafan sekali waktu. Tapi kalo dua
orang, ini berarti pelakunya emang punya kecenderungan
suka membunuh." "Masalahnya, siapa psikopat gila ini?" tanya Erika.
"Dan psikopat gila ini kini berniat balasin dendam untuk
Reva, Indah, atau keduanya sekaligus? Val, lukisan horor
si Rima itu ada tujuh. Ini berarti, calon korbannya ada
tujuh, termasuk si Rima yang juga dilukis jadi korban
lukisan terakhir." "Menurut lo, Rima terlibat?"
"Gue nggak yakin," kata Erika dengan raut muka ber?
pikir keras. "Di satu sisi, dia terlalu lemah untuk jadi
algojo. Paling-paling dia bantu mengubah lukisan. Tapi
kalo iya, kenapa dari awal dia nggak berusaha mengalih?
kan kecurigaan kita pada orang lain, misalnya dengan
mengatakan ada orang lain di Klub Kesenian yang punya
kemampuan mengubah lukisan itu?"
Jalan pemikiran Erika tepat seperti yang kupikirkan
juga. "Tapi, mungkin dia tau sesuatu," sambung Erika lagi.


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo ingat, dia sempat nyinggung soal insiden lain, se?
akan-akan bukan cuma Reva yang perlu dibalasin
dendam. Ini berarti dia nyinggung masalah Indah... wah,
ruang makan lo keren bener!"
Aku hanya melongo saat Erika meninggalkanku dan
topik pembicaraan kami yang menarik. Erika mengitari
ruang makan. Ruangan itu sebenarnya biasa-biasa saja?
ruangan yang dikelilingi jendela-jendela besar yang meng?
hadap ke taman, sementara di bagian tengahnya terdapat
sebuah meja makan berbentuk panjang, selusin kursi
285 Isi-Omen2.indd 285 011/I/13 berlapis sofa, dan lampu kristal menggantung di langitlangit. Mungkin yang dimaksudkannya adalah peralatan
makan yang sudah ditata rapi di atas meja.
Aku mengambil tempat duduk di salah satu sisi meja
dan Erika segera duduk di sampingku. Les dan Vik du?
duk berseberangan dengan kami. Begitu kami duduk,
para pelayan langsung meletakkan hidangan pembuka di
depan kami. "Wah, gila! Ini salad? Kok ada daging, ceri, dan roti
segala?" Erika menusuk saladnya dengan garpu, lalu me?
masuk?kan satu suapan besar ke mulutnya. "Gila, ini enak
bener! Ayo, dicoba semuanya!"
"Orang yang nggak tau bisa-bisa mengira kamu ini
nona rumah," tukas Vik geli. "Sayangnya, nona rumah?
nya norak banget." "Diem. Kalo lagi makan, nggak boleh ngomong." Erika
menoleh ke samping. "Lho, Andrew nggak makan?"
"Tidak, Miss," sahut Andrew. "Saya bertugas memasti?
kan makan siang Anda semua berlangsung dengan me?
nyenangkan." "Apanya yang menyenangkan kalo ditonton begini?"
tanya Erika. "Ayo, ikut makan dong!"
"Terima kasih, Miss Erika," ucap Andrew sambil ter?
senyum. "Tapi saya sudah makan kok. Lagi pula, saya
jauh lebih senang melihat wajah gembira Anda semua
saat makan." "Hobi kakek-kakek emang aneh-aneh banget." Erika
meng?geleng-geleng. "Ya udah, aku nggak segan-segan lagi
deh. Aku sikat dulu ya, semua makanan ini! Pengumum?
an buat yang nggak bisa ngabisin makanannya, jangan
sungkan dihibahin ke gue, ya!"
286 Isi-Omen2.indd 286 011/I/13 Namun hidangan hari ini memang enak-enak. Caesar
salad untuk makanan pembuka, dilanjutkan dengan iga
domba yang dimasak sampai empuk dan steik ayam
yang dimasak ala cordon bleu, diakhiri dengan chocolate
mousse yang sudah didinginkan. Semua orang tampak
menikmati makanan, dan obrolan yang ada berlangsung
ringan?hanya seputar makanan yang kami santap. Aku
sangat lega tak ada yang menyinggung soal penyelidikan
yang sedang kami jalani. Meski tidak suka membohongi
Andrew, aku juga tidak ingin Andrew tahu terlalu banyak
soal kegiatan pribadiku. Bagaimanapun, kepala pelayanku
itu setia banget pada ayahku.
Saat semua hidangan akhirnya licin tandas, aku bisa
mendengar desah puas dari cewek di sebelahku.
"Asyiknya tiap hari makan begini," kata Erika dengan
suara mengantuk. "Abis ini tidur siang, ah."
"Asyiknya anak SMA bisa tidur siang," kata Vik sambil
bangkit berdiri dan menyeka mulut dengan serbet. "Aku
harus kembali ke kantor dulu. Thanks untuk hidangan?
nya, Andrew, Val." Lagi-lagi cowok itu mengucapkan namaku seolah-olah
nyaris aja dia melupakannya. "Mmm, sama-sama."
"Thank you, Val, Andrew," ucap Les, tersenyum padaku
dan menyalami Andrew. "Maaf ya, kami harus pergi
sekarang." "Ini yang namanya SMP," cetus Erika yang menemani
Vik keluar. "Sudah Makan Pulang."
"Daripada SMA," balas Vik. "Sudah Makan Alamaaak!nggak-pulang-pulang."
"Ih, maksa. Nggak kreatif!"
"Bodo amat!" 287 Isi-Omen2.indd 287 011/I/13 Aku berjalan bersama Les di belakang.
"Chef kamu hebat sekali, ya," puji Les. "Makanan di
rumah?mu jauh lebih enak daripada makanan di rumah
Vik." Ha-ha. Tentu saja. "Thanks."
"Tapi yang jadi pacarmu pasti bingung," katanya lagi.
"Kalo mau ngajak kamu makan, enaknya makan di
mana. Semuanya pasti kebanting, kan?"
"Yah, bukan cuma makanan yang penting, tapi juga
orang-orang di sekitar kita."
"Begitu, ya?" senyum Les. "Emangnya setiap hari
kamu makan bareng siapa?"
"Kalo siang, seringnya sih sendirian."
Mendengar jawabanku, Les terdiam. "Pasti nggak enak
ya, duduk sendirian di meja sebesar itu. Hidupmu pasti
sepi." Oh, God. Apa aku sedang dikasihani?
"Ah, nggak juga sih," sahutku cepat-cepat. "Aku kan
udah terbiasa. Lagian, kalo aku sedang malas, aku lebih
suka makan di kamar aja sambil ngerjain PR."
Oke, sepertinya jawabanku makin lama makin ter?
dengar menyedihkan. Untuk membuktikan aku hepi-hepi
saja dengan kondisi ini, aku sengaja memasang sikap
tenang dan pede. Sikap tenang dan pedeku rontok seketika saat Les
mem?belai rambutku dengan cara sedemikian rupa seolaholah nyaris tak menyentuh rambutku, tapi aku bisa me?
rasa?kan jarinya menelusuri kulit wajahku yang me?
manas. "Kamu emang cewek yang kuat, Val," ucapnya lembut.
"Seperti kataku, malaikat yang tak terjangkau oleh manu?
288 Isi-Omen2.indd 288 011/I/13 sia biasa. Semakin aku mengenal kamu, aku semakin
merasa kamu cewek hebat. Di mataku, kamu nggak ada
cacat-cela sedikit pun. Cewek seperti kamu seharusnya
mendapatkan cowok yang juga nggak punya cacat-cela,
nggak seperti aku." Sementara aku masih bengong
dengan ucapannya yang begitu mendadak, Les menoleh
pada Andrew yang berjalan tak jauh di belakang kami.
"Bilang pada papa Valeria, aku mengerti pesannya."
"Pesan?" tanyaku heran. "Pesan apa?"
Andrew menatapku dengan wajah yang jelas-jelas
menyiratkan rasa bersalah.
Oh. OH! Astaga, rupanya ada alasan di balik acara
makan-makan ini! Acara pamer kekayaan di depan Les?
Untuk menunjukkan dia tak bakalan mampu menyamai
standar kehidupan kami? Yang lebih celaka lagi, ayahku memang tak punya
hati. Dan Andrew mau membantunya melakukan semua
ini? Tega-teganya dia! Padahal aku begitu memercayainya.
Padahal, meski aku tahu dia setia pada ayahku, kukira
dia akan ada di pihakku saat ayahku dan aku ber?
tengkar. Gila, aku tidak tahu aku harus sedih atau marah.
"Maaf, Miss Valeria, tapi Master Guntur benar," ucap
Andrew perlahan. "Semua ini harus dilakukan. Master
Leslie anak yang baik, tapi dia tidak cocok untuk Anda."
"Soal itu, biar aku yang memutuskan!"
"Val," sela Les dengan suara rendah. "Andrew dan
papa?mu memang benar. Nggak ada baiknya kamu ter?
libat dengan cowok seperti aku."
"Kamu jangan setuju dengan mereka!" sergahku pada
Les. Oke, aku tahu sekarang aku bersikap kasar, tapi aku
289 Isi-Omen2.indd 289 011/I/13 tidak peduli. Sekarang aku marah banget. "Kalian kira
kalian semua siapa, berani-beraninya membuat keputusan
untukku? Kalian kira aku siapa, sampai-sampai nggak
sanggup membuat keputusan sendiri?"
"Bukan begitu, Val," ucap Les. "Kami semua hanya
ingin yang terbaik buat kamu."
Cowok itu mengulurkan tangan seolah-olah ingin
meraihku, tapi aku langsung menepisnya.
"Yang terbaik buatku? Atas dasar apa kalian mengukur?
nya? Materi? Dasar matre semuanya!" Aku menatap Les
dengan dingin. "Kalo kamu emang setuju dengan ayah?
ku, lebih baik kamu pergi aja sekarang."
Sebenarnya itu cuma gertakan. Jadi, rasanya seperti
di?tonjok saat cowok itu berkata, "Kalo begitu, aku pamit
dulu, Val. Yuk, Vik, kita jalan."
Sesaat aku lupa dengan semua sikap tenang yang biasa
kuperlihatkan dan hanya bisa ternganga. Apa-apaan
cowok itu? Apa dia benar-benar berniat pergi begitu saja
setelah semua yang kami alami? Ya, aku tahu waktu
yang kami lalui bersama tidak banyak, tapi setiap
pengalaman itu sangat luar biasa.
Atau itu hanya perasaanku semata?
Aku bisa melihat Vik yang biasanya jarang-jarang pe?
duli dengan urusan orang lain, kini agak terperanjat
melihat kelakuan sahabatnya (mungkin dalam hati dia
girang melihatku dicampakkan dengan tak berperasa?an
oleh sahabatnya sendiri). Tanpa bicara, dia menuruti
ajakan Les dan menyelinap masuk ke dalam VW-nya.
Dalam waktu singkat, mobil itu menderum pergi.
Dan hatiku terasa amat sangat sakit.
Tapi aku sudah berpengalaman dalam soal dikecewakan
290 Isi-Omen2.indd 290 011/I/13 dan ditinggalkan. Kutelan air mataku dan kuputuskan
untuk tidak meratapi kepergian mereka. Lebih baik aku
melampiaskan emosiku pada orang yang layak diajak
berantem. "Puas sekarang?!" bentakku pada Andrew.
"Saya berharap bisa berkata begitu, Miss," sahut Andrew
suram. "Tapi ada hal yang lebih penting lagi. Miss Erika
sudah pergi dari tadi, dan sepertinya, dari arah jalannya,
dia menuju ke ruang kerja Master Guntur."
Apa??? 291 Isi-Omen2.indd 291 011/I/13 "SORI, gue nggak berminat nonton adegan elo dicampak?
in cowok." Aku memandangi Erika dengan kesal. Bisa-bisanya dia
mengucapkan hal itu seolah-olah kejadian seperti ini
biasa terjadi padaku. "Jadi lo milih buat ngobrak-abrik
kantor bokap gue?" "Nggak ngobrak-ngabrik kok," sahut Erika sambil me?
meriksa rak buku ayahku dengan teliti. "Cuma kepingin
nyari kamar rahasia yang lo bilang kemarin. Omongomong, barang antik bokap lo banyak bener."
Yeah. Soal itu, Erika tidak salah. Ruang kerja ayahku
memang mirip banget dengan museum. Sebagian besar
dindingnya dipenuhi berbagai lukisan, sisanya ditutupi
rak, baik yang berisi buku maupun hiasan-hiasan kuno.
"Lukisannya kok jelek-jelek, ya?" tanya Erika sambil
me?ngecek bagian belakang salah satu lukisan. "Masih
lebih cakep lukisan Welly."
"Emang," sahutku datar.
"Nggak usah jutek gitu hanya karena dicampakin si
Obeng." Kurang ajar! Kenapa dia masih menyebut-nyebut
soal itu dengan santainya? "Jelas-jelas si Obeng sangat
292 Isi-Omen2.indd 292 011/I/13 perhatiin elo. Kalo nggak, buat apa dia menjaga perasaan
lo serta bokap lo? Coba kalo Daniel. Makin dilarang, dia
makin seneng. Cowok kayak gitu mending kita gebukin
terus kita masukin ke peti mati dan kita lempar ke
laut." "Menjaga perasaan bokap gue, emang iya. Tapi perasa?
an gue? Nggak juga."
"Dasar tolol. Cowok mana yang mau nyeret cewek
yang disayanginya ke ambang hidup susah?" omel Erika.
"Cuma cowok egois yang nggak mikirin hal-hal seperti
itu. Mana elo emang cewek supertajir. Gue aja sakit hati
kalo gue sampe nyeret elo ke jurang penderitaan."
"Jadi lebih baik ditinggal begitu aja, ya?" tanyaku pa?
hit. "Lebih baik begitu," kata Erika tanpa berpaling. "Lagi
pula kali?an baru kenal beberapa hari. Hubungan yang berat
sebelah begini nggak akan ada happy ending. Lebih baik
diakhiri sebelum kalian telanjur cinta sampai mati."
Cinta sampai mati. Memangnya seperti apa perasaan
seperti itu? Akankah ada orang yang mencintaiku sebesar
itu? Orangtuaku saja tidak sayang padaku kok.
"Yah, sekadar info, bokap lo emang parno," ucap Erika
sambil membalikkan badan dan menghadapku. "Dalam
segala hal, selalu prepare for the worst. Lebih baik
selamatin lo sebelum lo putus cinta gara-gara Les. Lebih
baik bikin ruang rahasia yang nggak bisa ditemukan
siapa pun, termasuk dirinya sendiri, barangkali. Gila, gue
udah periksa setiap jengkal ruangan ini, dan sama sekali
nggak ada tanda-tanda ada ruangan rahasia." Dia me?
nyipitkan matanya yang udah sipit. "Atau lo bohongin
gue soal ruangan rahasia itu?"
293 Isi-Omen2.indd 293 011/I/13

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emang ada kok," sahutku sambil bersandar di lemari
buku. "Lo pikir kenapa begitu banyak rak buku? Bokap gue
nggak suka baca, kecuali buku-buku soal barang antik. Tapi
gue juga nggak tau ruangan itu ada di mana."
"Padahal rumah lo sendiri, ya?"
"Bukan. Rumah ini punya bokap gue. Gue cuma ne?
beng." "Iya, iya, gue ngerti." Erika mengibaskan tangan.
"Terus lo beneran mau cabut dari sini? Udah ada kabar
dari temen si Daniel yang mau nyariin lo tempat tinggal
itu?" "Entahlah," sahutku muram. "Dia belum ngasih kabar
lagi sejak bilang dia bakalan nyariin gue tempat yang
sesuai dengan permintaan gue. Sementara gue nggak
akan memikirkan hal itu dulu. Lebih baik fokus dengan
masalah kita di sini."
"Si Obeng?" "Nggak." Hanya karena dari tadi aku tidak menying?
gung?nya, tidak berarti aku tidak sakit hati lagi saat meng?
ingat kejadian tadi. "Dia juga termasuk topik yang nggak
perlu dipikirin sekarang. Lebih baik kita mikirin Chalina
dan Bu Rita yang sekarang lenyap tak ber?bekas."
Ya, sebaiknya kami fokus memecahkan misteri ini saja.
Kata orang bijak, cara terbaik untuk mengalihkan pikiran
dari masalah diri sendiri adalah memikirkan masalah
orang lain. Kurasa, teori ini sangat tepat untuk diterap?
kan pada saat ini. "Bener juga kata lo." Erika duduk di singgasana ayah?
ku, tampak kecil namun tidak kalah menakutkan. "Me?
nurut lo, apa yang akan mereka lakukan pada Chalina
dan Bu Rita?" "Entahlah." Aku menggeleng. "Rasanya agak mustahil
ngarepin mereka dilepasin. Pasti si pelaku nggak mau
ambil risiko kalau-kalau mereka mendengar sesuatu yang
bisa bikin dia tertangkap."
"Kalo gitu, berarti, andai kita gagal selamatin me?
reka..." Aku mengangguk. "Mereka mati."
Erika menghela napas. "Lagi-lagi kita harus jadi pahla?
wan. Padahal gue udah kebiasaan jadi penjahat. Jadi
susah hati nih! Ini semua gara-gara elo bikin iklan yang
menipu!" "Nggak usah susah hati deh," kataku geli. "Kita ber?
tindak aja." "Bertindak?" Mata Erika bersinar-sinar. Cewek ini me?
mang paling senang diajak bertindak. "Gimana caran?
ya?" "Lukisan yang diubah," jelasku. "Untuk ngubah lukis?an
itu, pelakunya, entah Rima ataupun bukan, pasti ngincar?
nya waktu seluruh anak Klub Kesenian udah pulang."
"Maksud lo?" tanya Erika bersemangat. "Malam ini kita
eksyen lagi?" Aku nyengir. "Eksyen dong."
*** 294 Isi-Omen2.indd 294 011/I/13 Setelah mengantar Erika sampai ke pintu, aku kembali
ke kamarku. Di tengah koridor, Andrew berdiri tegak.
"Miss Valeria," panggilnya.
"Aku nggak butuh permintaan maaf," ketusku sambil
ber?jalan melewatinya. 295 Isi-Omen2.indd 295 011/I/13 "Saya bukan mau meminta maaf."
Apa? Aku membalikkan badan dengan berang, tapi tatap?an
lembut Andrew membuatku tidak tega menyemburkan
api kemarahanku. "Miss Valeria belum pernah punya anak, jadi Miss
tidak akan mengerti perasaan saya," kata Andrew dengan
sikap tenang namun tegas. "Tapi sedikitnya, coba bayang?
kan perasaan saya. Miss adalah anak yang saya sayang
sejak kecil. Setiap kebutuhan Miss saya perhatikan
sampai sedetail-detailnya. Saya berharap, suatu hari saya
akan menyerahkan Miss pada seseorang yang sanggup
meneruskan pekerjaan saya ini. Bukan pada berandalan
yang kerjanya nongkrong di bengkel kecil dan kotor,
bergaul dengan anak-anak geng motor yang tak punya
masa depan." Sebelum aku sempat memprotes, Andrew sudah meng?
angkat tangan keriputnya. "Saya tahu, bukan salahnya
terlahir di keluarga yang tidak setara dengan kita. Tapi
kenyataan tidak bisa dibantah, Miss Valeria. Anak seperti
itu tak bisa diharapkan untuk menjaga Miss. Tambahan
lagi, Miss Valeria satu-satunya pewaris keluarga Guntur.
Miss dipersiapkan untuk menerima bisnis ke?luarga
Guntur, menjaganya, mempertahankannya, bah?kan me?
ngembangkannya. Tugas Miss Valeria sangat berat, baik
Mestika Burung Hong Kemala 2 Lupus Boneka Di Taman Sekolah Mengungkap Rahasia Tobias 1

Cari Blog Ini