Ceritasilat Novel Online

Misteri Cincin Ramaswami 1

Nancy Drew Misteri Cincin Ramaswami Karya Carolyn Keene Bagian 1


1 Pasien Misterius "Nancy, maukah engkau datang ke Rumah sakit Rosemont,
untuk turut membantu menyingkap suatu misteri?"
Misteri! Hanya kata itulah yang diperlukan, yang didengar dari bekas teman sekolahnya, Lisa Scotti, yang kini menjadi jururawat.
"Kedengarannya sangat menarik," kata Nancy bergairah.
"Ceritakanlah."
"Seorang anak muda baru saja dimasukkan ke rumahsakit secara darurat, dengan bilur-bilur yang parah. Ia menderita penyakit amnesia, tak ingat akan dirinya, di mana ia pernah berada, ke mana ia hendak pergi, atau apa yang telah terjadi."
"Siapa yang menemukan dia?" tanya Nancy.
"Beberapa orang asing. Mereka sedang berhenti di pinggir jalan raya di tepi hutan, di dekat lapangan terbang, ketika mereka sedang melemaskan otot kaki, mereka melihat orang itu ada di dasar jurang batukarang. Rupanya ia terjatuh, atau memang didorong orang. Tetapi yang aku herankan, tak ada tulangnya yang patah."
"Oh, ya," kata Nancy, lalu segera menyambung: "Aku akan
segera datang. Selamat."
"Tunggu! Jangan tutup dulu," sela Lisa. "Waktu jenguk baru dimulai jam sebelas."
Nancy melirik ke arlojinya. Sekarang baru jam sepuluh.
"Kalau begitu, apakah tak lebih baik aku mendaftarkan diri saja sebagai sukarelawati di Rosemont? Jadi aku dapat mengamati si Cliff hampir setiap waktu."
Lisa tertawa cekikikan. "Bagaimana engkau tahu nama itu?" Itu nama yang diberikan oleh jururawat.
"Oh ya," Nancy tertawa.
"Kutunggu di lantai lima. Cliff ada di kamar 502."
Begitu Lisa menutup pembicaraan, Nancy segera memutar
nomor telepon rumahsakit itu. Oleh karena ia pernah mengikuti acara orientasi bagi sukarelawan di Rosemont pada musim panas yang lalu, maka ia bukan orang asing lagi di sana. Sudah tentu ia segera dapat memulai. Setidaknya, itulah harapannya.
"Nancy, sayang," Hannah berseru ketika gadis itu meletakkan gagang teleponnya. "Engkau memilih ikan atau ayam untuk makan malam?"
"Sama saja, asal masakan itu lezat!" Nancy menggoda.
"Yang benar, ini sungguh-sungguh," jawab nyonya Gruen
sambil memandang dari dapur.
Selama bertahun-tahun, ada persahabatan yang hangat antara gadis itu dengan pengurus rumahtangga keluarga Drew. Ia yang mengurus Nancy sejak umur tiga tahun, ketika nyonya Drew
meninggal. "Aku juga sungguh-sungguh," Nancy tersenyum. Matanya yang biru menari-nari ketika seberkas cahaya matahari mengenai wajahnya yang cantik serta rambutnya yang pirang kemerahan.
"Jangan katakan, bahwa engkau hendak memecahkan misteri
sendiri, sebelum perkara yang kautangani bersama ayahmu selesai,"
jawab Hannah. Ia berharap bahwa jawabannya adalah tidak. "Apa yang akan dikatakan ayahmu?"
Carson Drew adalah ayah Nancy, seorang pengacara yang
terkenal di River Heights, baru-baru ini ia terlibat dengan masalah pesta musik musim panas di kota tersebut. Sore sebelumnya, ia berkata kepada Nancy bahwa pesta musik itu mungkin terpaksa harus ditutup, karena ada sengketa di antara beberapa pemain. Seperti yang sering dilakukannya, ia minta pertimbangan dari anaknya yang berbakat, yang kini baru berumur delapanbelas tahun.
"Maksudmu, bahwa ayah akan khawatir kalau aku menangani dua perkara sekaligus ..." kata Nancy memulai.
"Ya, itu maksudku."
Nancy tidak setuju. Ia tahu sesungguhnya Hannah
mengkhawatirkan dirinya, tetapi ia tak dapat menahan hatinya untuk kadang-kadang menggodanya.
"Kalau ayah pulang, katakan kepadanya bahwa aku ke
rumahsakit." "Apa?" Nyonya itu menahan napas.
"Bukan sebagai pasien."
Pengurus rumahtangga itu menggeleng-gelengkan kepala,
sementara Nancy mencium pipinya dan mengucapkan selamat tinggal.
Ketika mobilnya melintas di kota, ia melihat papan pengumuman dari River Heights Musik Festival. Tetapi pikirannya tetap terpusat pada Rumahsakit Rosemont, hingga tak lama kemudian ia tiba di sana.
Setelah memarkir mobilnya, ia bergegas ke gedung itu untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan, lalu pergi ke elevator dan menekan tombol. Pintu elevator terbuka sedetik kemudian. Tetapi ketika ia melangkah maju, seseorang yang bertubuh besar, berjanggut hitam mendorong dia ke samping.
"He, ...!" Nancy berseru, sementara orang itu bergegas masuk dan menekan tombol yang ada di dalam. Pintu itu tertutup sebelum Nancy dapat ikut masuk. Ia mendongak melihat papan nomor-nomor yang menyala di atas. "Ia berhenti di lantai lima!" gumamnya.
"Kuharap saja aku tak melihat dia lagi!"
Rasanya seperti seabad menunggu sampai elevator turun
kembali, tetapi akhirnya detektif muda itu naik ke atas pula. Lisa telah menunggunya.
"Ada orang keluar dari elevator semenit yang lalu," kata
jururawat itu. "Hampir saja menjatuhkan aku."
"Dia juga menabrak aku," jawab Nancy ketika mereka
melangkah ke kamar 502. Ketika dekat dengan kamar Cliff, mereka mendengar tarikan-tarikan napas pendek dan cepat. Mereka segera lari masuk ke dalam.
"He, jangan! Hentikan!" teriak Lisa, ketika melihat kedua tangan orang berjanggut itu mencekik leher cliff.
"Lepaskan dia!" seru Nancy menuntut. Ia dan Lisa menangkap tangan orang itu.
Dengan marah ia melepaskan diri dari kedua gadis itu.
"Mana cincin yang kaucari itu?" ia menggeram kepada Cliff.
"Aku akan memanggil polisi kalau engkau tak ....." Lisa
mengancam. Orang itu menjadi kaku. Ia mengendorkan tangannya di leher Cliff, membiarkan pasien itu merosot ke bantal kembali. Cliff mengeluh lirih, lalu membuka mata sedikit, dan segera menutupnya lagi.
"Siapa engkau?" tanya Nancy kepada orang yang mencuri
masuk itu. Ia balik kanan lalu lari keluar ke serambi.
"Kembali!" Nancy mendesak. Ia lari mengejar secepatcepatnya, tetapi langkah kaki orang itu panjang-panjang hingga cepat membawanya ke dalam elevator yang segera turun.
Dengan segera Nancy turun melalui tangga. Ia turun dengan melangkahi dua anak tangga sekaligus. Setibanya di lantai pertama, ia lalu lari melintas ke lobby ke pintu masuk.
"Yaaah," ia menggerutu kecewa. Orang itu telah menghilang ke dalam sebuah mobil coklat dengan garis biru di bagian belakangnya.
Kendaraan itu melaju di jalan.
Kepulan asap menutup papan nomor polisi, hingga Nancy tak dapat membacanya. Dengan kecewa ia kembali ke kamar Cliff, dan menemukan Lisa sedang memberi pasien itu segelas air.
"Ini temanku Nancy Drew," kata jururawat itu memperkenalkan Nancy.
Pasien itu, mengangguk lemah. Ia seorang yang berwajah keras dan berambut coklat muda. "Kalau saja aku dapat menyebutkan namaku kepadamu," katanya dengan nada ketawa.
"Untuk sementara kami menyebutmu Cliff," jawab Nancy.
"Engkau baru saja mengalami sesuatu yang keras. Engkau tahu siapa orang itu?"
"Sama sekali tidak."
"Nancy ini seorang detektif amatir," sambung Lisa dengan
cepat. "Dan ia ingin membantumu."
Cliff tersenyum lagi. "Ceritakanlah beberapa dari perkaramu."
Gadis detektif itu menjadi merah sedikit.
"Sebenarnya," kata Lisa. "Nancy baru saja dari luar negeri dengan dua misteri yang terakhir. Ia telah menyingkapkan Rahasia Renda Tua di Belgia, dan pergi ke Yunani untuk menyingkap pula Misteri Simbol Yunani. "
"Engkau punya ingatan yang kuat," kata Nancy. Tiba-tiba ia sadar apa yang diucapkannya. "Maafkan aku, Cliff."
"Kepalaku tidak sepeka itu." Pasien itu tertawa. "Aku yakin bahwa ingatanku paling tidak sama baiknya dengan ingatanmu, Nancy
... nanti pada suatu ketika."
Sebelum Nancy dapat berbicara lebih lanjut, Cliff memejamkan mata. Lisa memberi isyarat kepada Nancy untuk keluar ke serambi.
"Aku ingin memberitahu Bess dan George tentang hal ini," kata Nancy.
Bess Marvin dan George Fayne adalah saudara sepupu. Mereka teman akrab Nancy. Dan sering membantunya membongkar misteri.
" Memerlukan keuletan untuk mengetahui identitas Cliff," kata Lisa, "Lebih cepat kita dapat mengetahuinya."
" Begitulah." Nancy minta diri untuk menelepon ke rumah keluarga Marvin.
Ia gembira, Bess yang menjawabnya.
"Tunggu sebentar, Nancy." Biar kupanggil George dulu. Ia ada di sini."
"Bagus. Sebab aku memang perlu berbicara kepada kalian
berdua. " "Wahhh," kata Bess. "Aku merasa telah berada dalam
petualangan lagi. Ti-tidak berbahaya, kuharap saja."
Nancy tertawa, sementara temannya memanggil George untuk
mendengarkan di telepon sambungan. Kemudian, sesingkat mungkin gadis detektif itu bercerita tentang Cliff.
"Aku ingin kalian bertemu dengan dia," kata Nancy. "Dapatkah kalian datang di rumahsakit?"
"Tentu," kata Bess dan George bersama-sama.
Sewaktu mereka tiba di rumahsakit Rosemont, kebetulan Cliff sedang membuka matanya lagi, dan Nancy lalu memperkenalkan kedua temannya. Kemudian, George menanyakan apakah sudah
diperoleh tanda-tanda pengenal dari pasien tersebut.
"Rupa-rupanya belum," kata Nancy.
"Satu-satunya yang ada padanya hanya sebuah ransel," kata Lisa. Ia mengeluarkan ransel terpal yang berat itu dari tempat pakaian.
"Cliff, apakah engkau berkeberatan kalau aku melihat isi ranselmu?" tanya Nancy.
"Tentu saja tidak."
Sementara yang lain-lain memperhatikan, Nancy mengeluarkan beberapa helai pakaian dan sebuah amplop berisi uang. Kemudian jarinya meraba-raba pada jahitan terpal. Suatu tempat yang menebal menandakan ada sebuah saku rahasia.
"Ada yang kautemukan lagi?" tanya Bess memecah kesunyian.
"Barangkali." Ia membuka saku rahasia itu dan isinya menggelinding ke
tangannya. "Jangan membuat kami tegang," George meminta, ketika
Nancy mengeluarkan tangannya.
Ketika ia membuka tangannya, semuanya terbelalak melihat
penemuan itu. Sebentuk cincin emas yang besar, luar biasa indahnya dan rupanya dimaksudkan untuk jari tangan yang besar sekali!
"Tentu terlalu longgar untuk jari-jari Cliff," kata Lisa.
Nancy melirik ke Cliff dan melihat pandangannya sedang
dipusatkan ke cincin yang luar biasa itu. Apakah benda itu yang menyebabkan ia dituduh mencuri?
2 Kecelakaan Tommy "Cliff," kata Nancy sambil menunjukkan cincin kepadanya.
"Apakah ini berarti bagimu?"
Ia mengedip-ngedipkan matanya, seperti hendak mengingatingat keras. "A-a-ku .... tidak. Tak ada artinya bagiku."
"Kukira, ini tidak boleh ditaruh sembarangan tanpa penjagaan di tempat pakaian," kata Nancy. " Apakah kita boleh menitipkannya di lemari besi rumahsakit, sementara aku mengambil sebuah kaca pembesar? Aku ingin memeriksanya lebih lanjut."
"Boleh," jawab Lisa. "Kalau Cliff tak berkeberatan."
Lisa berjanji untuk membawa cincin itu ke bawah, setelah ia selesai memberikan obat. Sementara itu, Nancy mengajak Bess dan George ke kantor Dokter Randolph, direktur rumahsakit tersebut.
Orangnya jangkung besar, berumur limapuluhan.
"Senang sekali mendapatkan anak Carson Drew sebagai
sukarelawati di sini," katanya, menyapa Nancy.
Ayah Nancy termasuk anggota Dewan Pimpinan rumahsakit,
dan merupakan teman baik dari Dokter Randolph.
"Kukira anda telah mendengar tentang pasien anda yang
menderita amnesia," kata Nancy.
"Tentu. Itu kejadian yang paling menarik di sini selama minggu ini!" jawab dokter itu. "Bukan menarik bagi dia, si malang itu. Kami telah menelepon kepala polisi McGinnis, menanyakan apakah ada seseorang yang dilaporkan hilang pada kantor polisi yang cocok dengan dia."
"Apa yang anda dapatkan?" tanya George.
"Tak ada! Malah polisi ingin tahu, apakah di tubuh Cliff
terdapat tanda-tanda bekas pukulan" Dokter Randolph melanjutkan.
"Tetapi menurut Dokter Anderson tak ada bukti-bukti tentang itu."
"Dengan kata lain," kata Bess, "tak ada alasan bagi polisi untuk terlibat .... "
"Tetapi," sambung Nancy bersungguh-sungguh.
"Ya? Ada apa?" tanya Dokter Randolph.
Gadis itu lalu menceritakan kepada Dokter Randolph tentang orang berjanggut dan cincin yang dia temukan. "Pada saat ini, hanya itu yang merupakan petunjuk identitas Cliff," katanya. "Dan aku ingin mempelajarinya lebih lanjut."
"Itu pikiran yang bagus, Nancy."
Setelah berjanji akan memberitahukan setiap perkembangan, Nancy dan teman-temannya keluar ke lorong serambi.
"Ketika aku mendaftarkan diri sebagai sukarelawati, aku
diminta untuk mengantarkan bunga ke kamar-kamar. Nah, itu akan segera kulakukan sekarang," kata gadis detektif itu kepada Bess dan George. "Barangkali kita harus bekerja bersama nantinya."
"Teleponlah kalau engkau sampai di rumah," kata George.
Nancy segera menuju ke lobby utama. Di sana terdapat
beberapa rangkaian bunga yang diatur di meja.
"Ini untuk kamar-kamar lantai tiga, dan yang ini untuk lantai enam," kata petugas kepadanya.
Matanya terpaku heran pada bunga yang terakhir. Kartunya
berbunyi TOMMY JOHNSON. Apakah itu anak tetangganya?
Dengan rasa ingin tahu, ia menuju ke Bagian Anak-anak di lantai enam. Seorang ibu baru saja keluar dari kamar anaknya.
"Nyonya Johnson!" seru Nancy.
Tanpa bertanya mengapa Nancy ada di Rosemont, Nyonya itu
langsung bercerita. "Tommy sedang bersepeda, tiba-tiba sebuah mobil memotong
di depannya. Ia berguling-guling bersama sepedanya. Kepalanya terantuk trotoir, dan kakinya ... patah di dua tempat."
Nancy mengerutkan dahinya memikirkan hal itu. "Ah, sungguh mengerikan! Apakah ia sudah dioperasi?"
"Belum. Tetapi akan dilakukan siang ini."
"Ini untuk Tommy," kata Nancy, sambil menunjukkan
keranjang bunga kecil. Ia masuk ke kamar. Gorden jendela diturunkan untuk
menghalangi sinar matahari yang terik. Tommy, dengan perban kecil pada sebelah alis matanya, sedang tidur dengan tenang. Ia tak bergerak hingga Nancy meletakkan karangan bunga itu di dekatnya.
Kemudian ia membuka matanya dengan perlahan-lahan.
"Halo, Nancy," kata bocah itu. "Engkau datang mengunjungi aku?"
"Ya tentu," jawab gadis itu dengan riang.
Ia menyentuh pipi bocah itu, ketika seorang petugas masuk.
"Kami harus menyiapkan dia," kata orang muda itu, sambil memberi isyarat agar Nancy meninggalkan ruangan.
Nyonya Johnson tetap tinggal di luar pintu, menunggu untuk berbicara dengan Nancy.
"Ada yang melihat mobil itu?" tanya Nancy kepadanya.
Ibu Tommy menggeleng. "Kukira tidak, tetapi aku tak pasti,"
katanya. "Kejadiannya di sudut antara Hathaway Street dan Elm Avenue."
Nancy mencubit lengan nyonya Johnson, berjanji hendak
mencari sopir yang telah melakukan tabrak lari itu. Pada kesempatan pertama, ia akan mengunjungi kantor polisi.
"Sekarang aku ada dua alasan untuk pergi," kata Nancy tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Ia mengucapkan selamat tinggal, lalu menuju ke lantai lima untuk berbicara dengan Lisa. Ia heran, gadis itu sedang tak bertugas.
"Aneh," pikir Nancy. "Aku yakin, dia bertugas sampai jam lima sore. Kuharap saja ia mau mengurus cincin Cliff."
Dengan segera gadis detektif itu kembali ke lantai utama, menuju ke kantor penitipan. Ia menanyakan perihal benda yang berharga itu.
"Tunggu sebentar," kata petugasnya. Ia masuk ke kantor bagian dalam, dan tak lama kemudian muncul kembali dengan tangan kosong. "Aku tak mendapatkan catatan tentang penitipan sebentuk cincin dari kamar 502. Dan barangnya juga tidak ada di lemari besi."
"Anda yakin?" tanya Nancy.
"Tentu," kata petugas itu.
Ada apa dengan cincin Cliff? Nancy berpikir-pikir. Dan di mana Lisa?
Dengan secepatnya Nancy minta diri dari rumahsakit dan pergi ke rumah Lisa. Letaknya dekat dengan Hathaway Street, tempat terjadinya kecelakaan Tommy. Ketika Nancy tiba di Elm Street, ia melihat seseorang yang jangkung kurus, membawa sebuah tas sedang memasuki toko perhiasan. Ia mengenakan setelan jas dan sorban sutera, wajahnya coklat potongan orang India. Tetapi yang juga menarik adalah orang yang lari di belakangnya. Orang itu si janggut hitam yang menyerang Cliff!
"Aku harus berbicara dengannya!" kata Nancy pada diri sendiri.
Ia memarkir mobil di tempat yang kosong, memasukkan uang
ke dalam meteran parkir, lalu berlari ke toko tersebut. Ia berhenti sejenak sebelum masuk.
Lisa! Ia tertegun melihat gadis itu sedang bercakap-cakap dengan orang bersorban dan pemilik toko. Mana si janggut hitam tadi?
Apakah ia melihat Nancy datang, lalu menghilang?
Ia tergelitik untuk menyelidiki gang di sebelah toko, tetapi adegan di dalam toko lebih menarik! Lisa sedang menunjukkan cincin Cliff kepada pemilik toko. Tiba-tiba pemilik toko itu pergi meninggalkan meja, dan orang asing itu memasukkan cincin tersebut ke dalam sakunya. Ia bergegas ke pintu. Tiba-tiba pintu dibuka oleh Nancy, orang itu kehilangan keseimbangan.
"Engkau mengambil cincin nona itu," Nancy menuduh,
mengingatkan Lisa dan pemilik toko.
Sesaat itu pula orang asing tersebut mendorong Nancy ke meja.
Ia meraih pintu, siap untuk lari keluar. Tetapi pemilik toko dan Lisa lari mendekat dan menahannya. Nancy menerkam, memasukkan
tangannya ke dalam saku, dan cepat mengambil cincin.
"Lepaskan aku!" teriak orang itu, tak sadar bahwa perhiasan yang berharga itu telah diambil orang. Ia dapat melepaskan diri dan lari melintas jalan ke sebuah bis yang sedang berhenti di sudut jalan.
"Kita harus menangkap dia!" seru Nancy.
Tanpa berkata Lisa pun lari di belakang temannya menuju ke mobil Nancy. Nancy segera memutar mobilnya ke arah yang
berlawanan. Bis itu telah melaju melewati beberapa lampu lalulintas di depannya.
"Mengapa cincin Cliff itu tak kautitipkan di lemari besi rumahsakit?" tanya Nancy sambil melaju cepat.
"Maksudku juga begitu, tetapi Cliff menyarankan agar kubawa dulu ke ahli permata, untuk mengetahui perihal cincin itu. Tahu-tahu orang bersorban itu sudah ada di belakangku, dan mengajukan berbagai pertanyaan."
Pada saat itu mobil Nancy sudah dapat mengejar bis pada
pemberhentian bis, di mana beberapa orang sedang turun. Nancy minta kepada sopir bis untuk menunggu.
"Kenapa?" teriak sopir itu dari jendelanya. "Aku harus menurunkan orang banyak."
"Ada salah seorang yang mencoba merampok kami naik bis ini," seru Lisa kembali.
Sebelum Nancy sempat memarkir mobilnya, Lisa sudah
melompat keluar dan lari ke seorang polisi di sudut, dan menariknya dengan cepat menuju ke bis. Ketika orang-orang yang terakhir sudah turun, Lisa dan anggota polisi itu melompat naik. Di dalam bis tinggal beberapa orang saja, dan orang bersorban itu tidak ada di antaranya!
3 Tuduhan Keji Melalui kaca spion Nancy mengawasi Lisa dan anggota polisi itu keluar dari bis tanpa si orang India. Gadis detektif itu segera menyalakan lampu kedip darurat, lalu melompat keluar, meninggalkan mobilnya.
"Ada?" ia bertanya sambil bergegas mendekati mereka.
"Tidak ada. Ia tentu telah menyelinap tanpa kami ketahui,"
jawab Lisa. Polisi itu mendengarkan cerita kedua gadis itu, lalu Nancy menunjukkan cincin Cliff. "Untunglah engkau terlibat, Nancy,"
katanya memuji. Reputasi Nancy sebagai detektif yang tekun telah dikenal baik di kalangan polisi River Heights.
"Aku sedang merencanakan bertemu dengan pak McGinnis
besok,? kata Nancy. "Tetapi kurasa, sebaiknya kita ke sana sekarang juga."
"Itu pikiran yang bagus," polisi itu tersenyum. "Terutama karena aku tak perlu menderek mobilmu."
Gadis-gadis itu melihat ke lampu kedip mobil Nancy. Tiba-tiba Nancy sadar, bahwa ia telah memarkir mobilnya di belakang mobil patroli!
"Maaf," katanya malu-malu.
Ketika keduanya tiba di kantor polisi, Nancy menjelaskan
bahwa ia perlu membicarakan dua hal yang penting dengan Kepala polisi. Yang pertama sehubungan dengan identitas seorang pasien amnesia, yang telah diserang di rumahsakit. Yang kedua berkenaan dengan sopir yang hampir menggilas Tommy Johnson.
"Aku tahu kedua perkara itu," kata pak McGinnis. "Tetapi aku tak mempunyai petunjuk untuk perkara yang pertama, dan hanya sedikit sekali dari yang kedua."
Nancy memberikan gambaran tentang orang berjanggut itu.
"Aku sudah dua kali melihatnya," katanya. "Yang pertama ia melarikan diri dengan mobil coklat bergaris biru di bagian belakangnya."
"Berapa nomor polisinya?"
Nancy mengangkat bahu. "Aku tak dapat melihatnya."
Kepala polisi itu menjulurkan tubuhnya ke depan dengan kedua sikunya bertumpu pada meja dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah anda tahu milik siapa mobil itu?" tanya Nancy.
"Ya, kukira begitu. Tentu saja aku tak pasti benar, tetapi"
"Tetapi bagaimana?"
"Rupanya seperti mobil yang menyebabkan kecelakaan anak Johnson."
Nancy tertegun diam, dan pikirannya berputar atas kejadian-kejadian siang itu. Apa hubungannya antara pedagang bangsa India dengan orang berjanggut itu?
"Aku mendapat firasat, orang berjanggut itulah yang harus kita cari!" seru Nancy.
"Mungkin engkau benar," kata pak McGinnis. "Aku akan memberitahu kalau ada sesuatu yang pasti tentang kedua orang itu."
Nancy berjanji akan saling berhubungan, lalu berpamitan.
Nancy mengantar Lisa pulang, jururawat itu menyarankan agar Nancy yang membawa cincin tersebut.
"Lebih aman kalau kau yang simpan," desak Lisa sambil minta maaf atas kejadian itu. "Seharusnya kutitipkan di lemari besi rumahsakit."
"Bersyukurlah, bahwa kita masih menyimpannya," Nancy tersenyum. "Lagipula kunjunganmu ke toko perhiasan itu memunculkan tokoh yang menarik."
"Dan beberapa informasi yang menarik pula," kata Lisa. "Inilah kesempatanku untuk mengatakan padamu, bahwa menurut kata pak Jhaveri, si ahli permata itu, cincin tersebut berpola Asia. Ia seorang ahli tentang perhiasan asing.
"Tetapi orang bersorban tadi menyangkal. Ia terus-menerus mengatakan, bahwa cincin itu buatan Timur Tengah. Karena itu pak Jhaveri akan menunjukkan beberapa gambar sebagai bukti."
"Dan pada waktu itulah pedagang bangsa India tadi
mencurinya," sambung Nancy.
"Tepat." "Ia tak memperhitungkan Nancy Drew yang muncul tiba-tiba,"
sambung Lisa, menyebabkan warna merah melintas di wajah
temannya. Mereka berhenti di depan rumah keluarga Scotti dan Lisa
segera membuka pintu mobil.


Nancy Drew Misteri Cincin Ramaswami Karya Carolyn Keene di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah berjanji pada ibu untuk memasak malam hari ini,"
kata Lisa. "Jadi aku harus cepat-cepat. Terimakasih banyak. Sampai besok."
Nancy berpamitan, sementara itu ia tetap memikirkan kejadian di toko permata. Ia tergelitik untuk kembali ke sana. Tetapi melihat arlojinya ia sadar, bahwa ia telah terlambat lebih dari satu jam untuk makan malam.
"Hannah mungkin mengkhawatirkan aku," pikir Nancy. "Dapat kubayangkan, bagaimana ia berkali-kali menelepon ke rumahsakit."
Gadis itu menginjak gas, memandangi jarum speedometer
bergetar di dekat batas kecepatan. Lalulintas telah berkurang, dan dalam waktu limabelas menit, ia telah memasuki jalanan masuk rumahnya. Nyonya Gruen membuka pintu. Pada wajahnya terbayang rasa khawatir dan lega.
"Maaf," kata Nancy sambil memeluk Nyonya itu. "Aku dalam
perjalanan pulang, ketika"
"Engkau menangkap dua perampok, menemukan tiga petunjuk
lalu pergi ke pak McGinnis," jawab Hannah, tak mampu membendung senyumnya.
"Bagaimana engkau tahu?"
"Karena aku mengenalmu. Begitulah." Pengurus rumahtangga itu menyeringai.
Sebelum Nancy berkata-kata lagi, ia lari ke atas untuk
menyegarkan diri. Bau kue yang harum mengikutinya, membuat ia segera kembali ke kamar makan, di mana ayahnya telah duduk.
"Banyak benar beritaku!" seru Nancy.
Carson Drew, orang yang selalu rapih, berumur empatpuluhan, tidak langsung menanggapi.
Nancy mengira, bahwa ayahnya sedang resah.
"Ada sesuatu yang tak beres, ayah?"
"Ah, tidak," jawabnya cepat.
"Sungguh?" "Sungguh!" "Aku sungguh menyesal terlambat pulang."
Ayahnya hanya mengangguk sambil meneguk air.
"Beritahukanlah apa yang terjadi hari ini," katanya kemudian.
Meskipun ingin sekali menceritakannya, namun perhatian
Nancy beralih pada wajah ayahnya yang murung. Walau demikian, ia mengungkapkan pengalamannya di rumahsakit, penemuan cincin dan kecelakaan Tommy.
"Sungguh mengerikan," kata Hannah setelah Nancy selesai
bercerita. Untuk pertama kali sejak mulai makan, wajah pak Drew mulai cerah. Ia mengajukan beberapa pertanyaan, lalu berdiam diri sampai ia berdiri dari meja makan.
"Mari ke kamar dulu, Nancy," ia mengajak.
Apa yang dipikirkan ayahnya? Nancy bertanya-tanya dalam
hati. Ia menghempaskan dirinya ke kursi yang empuk di dekat perapian dan menunggu dengan gelisah.
"Aku sungguh tak tahu bagaimana harus mengatakannya," kata pak Drew lambat-lambat.
" Apakah ada hubungannya dengan pesta musik?"
"Dalam suatu hal, memang," ayahnya berhenti sejenak.
"Engkau harus menghentikan kegiatan penyelidikanmu untuk
sementara waktu." Nancy berkedip-kedip tak percaya. "Tetapi, mengapa? Apa
yang telah kulakukan?"
"Ah, kau tak berbuat salah apa pun. Hanya akulah yang dituduh penduduk kota Castleton berbuat salah."
"Ayah membuat aku tak mengerti."
"Seperti kau tahu, aku yang mengatur perundingan pesta musik di River Heights untuk mewakili River Heights."
"Perundingan antara kota ini dengan para pemain yang akan muncul pada musim panas ini," sambung Nancy.
"Betul," jawab ayahnya. "Nah, aku dituduh melakukan pencurian."
"Pencurian?" Nancy mengulang dengan terkejut. "Itu sungguh gila."
"Castleton mengadukan, bahwa River Heights dengan sengaja mencuri salah satu gedung pertunjukan yang telah dipesannya untuk mereka gunakan sebagai pavilyun terbuka.
"Aku masih belum mengerti."
"Sederhana sekali, sayang. The Jansen Company telah
direncanakan untuk bermain di Castleton Theater, tetapi kemudian Jansen mengundurkan diri dari Castleton untuk bermain di River Heights. Dewan kota Castleton mengira, bahwa akulah biang keladi perubahan yang mendadak itu." Pak Drew berhenti sejenak, tertawa dengan gugup. "Itu tidak benar, tetapi aku tidak dapat meyakinkan siapa pun, termasuk walikota River Heights!"
"Tetapi dia ?kan teman ayah!"
"Memang, tetapi dia juga berada dalam keadaan yang sulit menghadapi Castleton, sebab hubungan kedua belah masyarakat sudah demikian baiknya."
Nancy menarik napas dalam-dalam. "Aku akan membantu
ayah," katanya. "Jangan, Nancy. Kukira lebih baik jangan. Ada beberapa hal yang aneh yang telah terjadi pada rombongan Jansen. Dan aku khawatir, hal itu juga akan terjadi padamu."
"Ayah tahu, aku dapat menjaga diri," Nancy memohon.
Ketegasan yang nampak pada suaranya, membuat Nancy
berpikir agar jangan terlalu mendesak ayahnya pada masalah tersebut.
"Ini untuk pertama kali ayah menyuruh aku menghentikan
kegiatan sebelum dimulai," pikir Nancy.
Yang lebih buruk lagi, ayahnya sendiri memerlukan
bantuannya, tetapi tak mau menerimanya.
4 Menyelidiki Cincin Emas "Nancy, aku tak mau engkau meresahkan aku atau pun festival musik itu," kata pak Drew.
"Tetapi, ayah."
Ayahnya mengangkat tangannya, seperti tak mau mendengar
lebih lanjut. "Aku mendapat dua undangan untuk festival itu besok sore.
Barangkali engkau ingin mengajak Ned."
Wajah Nancy segera menjadi cerah.
"Tetapi berjanjilah, bahwa engkau hanya akan menikmati
pertunjukan itu. Tak ada penyelidikan, oke?"
"Apa kehendak ayah sajalah."
Ia melompat bangun dari kursinya untuk menelepon pacarnya, Ned Nickerson. Saat itu Ned baru saja pulang dari kuliahnya, di Emerson College. Pada mulanya Nancy tergoda untuk mengatakan kesulitan ayahnya, tetapi ia lalu membatalkan karena ayahnya lewat di belakangnya. Ia hanya menyebutkan undangan itu, lalu menambahkan sambil berbisik: "Aku juga perlu mengatakan banyak hal padamu."
"Kalau memang begitu," jawab Ned, "aku akan menemanimu".
Diputuskan, bahwa Ned akan menjemput Nancy besok sore
pada jam tujuh tigapuluh. Selanjutnya Nancy akan merundingkan beberapa hal dengan Bess dan George.
"Halo. George ada?" kata Nancy setelah memutar telepon
keluarga Fayne. Ternyata temannya tidak ada di rumah.
"Mungkin ia pergi ke rumah Bess," pikir Nancy. Baru saja ia hendak memutar nomor telepon keluarga Marvin, bel pintu berbunyi.
"Aku akan membukanya," kata Nancy sambil meletakkan
gagang telepon. Ternyata yang datang George dan Bess.
"Ketika kami tak mendengar tentang engkau, kami mengira
tentu telah terjadi sesuatu," kata Bess.
"Benar?" tanya George.
"Benar," kata Nancy. "Mari masuk."
Sambil memotong kue masakan Hannah untuk temantemannya, Nancy menceritakan segala peristiwa yang terjadi setelah mereka meninggalkan rumahsakit Rosemont.
"Untunglah aku masih membawa cincin Cliff itu," Nancy
mengakhiri. Ia lalu mengambilnya.
Ketika ia kembali ke dapur, ia juga memegangi sebuah kaca pembesar. Mereka bertiga berganti-ganti mengamati cincin tersebut.
Setelah diperiksa dengan teliti, ternyata pola cincin yang rumit itu terdiri atas bunga-bunga bakung yang dirangkai sangat halus. Di bagian dalam terdapat huruf-huruf pertama sebuah nama yang telah pudar. Bagi mata yang kurang terlatih, hanya nampak sebagai bekas-bekas goresan biasa.
"Aku tak dapat menebak huruf apa ini," kata Bess. "Engkau dapat?"
"Aku tak pasti, tetapi nampaknya seperti huruf ?P?," kata Nancy. "Lisa bilang, pak Jhaveri baru akan menunjukkan buku gambar-gambar perhiasan ketika pedagang India itu mengambil cincin tersebut."
"Barangkali kita perlu pergi ke toko itu besok," George mengusulkan.
"Aku juga berpikir begitu," kata Nancy.
************* Malam itu Nancy tidur dengan gelisah, dan cincin itu selalu terbayang dalam mimpinya. Seseorang di pentas River Heights Theater melemparkan kepadanya, tetapi ia tak dapat menangkapnya, karena seperti ada tali-tali yang tak nampak menahan kedua tangannya.ebukulawas.blogspot.com
"Nancy ... Nancy," terdengar suara memanggil.
Gadis itu menggumam di bantalnya, sementara bayangan di
jendela kamarnya menggeser dan sinar matahari menembus ke kamarnya.
"Nancy, sudah jam sembilan lebih."
Gadis detektif itu menutupkan selimut ke kepalanya, sementara Hannah menggelitik kaki-kakinya.
"Sudah siang, ayo bangun! Bess dan George sudah menunggu
di bawah." "Ya, ampuuun," seru Nancy sambil melompat dari ranjangnya.
"Mereka sudah kemari?"
Setelah mandi dengan cepat, ia mengenakan blus dan rok,
memasukkan cincin Cliff ke dalam tasnya, lalu bergegas ke kamar makan di mana telah tersedia segelas air jeruk.
"Bukankah kita berjanji jam sembilan?" tanya George.
Nancy mengangguk "Aku kesiangan," katanya sambil meneguk
air jeruknya. "Jangan minum terlalu cepat begitu, Nancy," Hannah menegur.
"Nanti sakit perutmu."
Meskipun sudah diperingatkan, namun Nancy tetap sarapan
dengan cepat. Ia menjelaskan, bahwa banyak hal yang harus dilakukan.
"Aku sudah berjanji harus ada di rumahsakit untuk beberapa jam," katanya. "Karena sudah terlambat begini, kukira kalian harus menemui pak Jhaveri tanpa aku."
"Apakah engkau yakin?" tanya Bess.
"Ya. Di samping itu aku hendak mengamati bagaimana keadaan Tommy, dan perlu mengajukan beberapa pertanyaan di rumahsakit."
"Bagaimana dengan cincin itu?" kata George. "Apakah harus kami bawa?"
"Jelas," kata Nancy. "Kalau kalian sudah selesai di toko itu, tolong bawalah ke Rosemont." Ketika Nancy menuju ke rumahsakit, Bess dan George pergi ke kota. Mereka merasa lega, pak Jhaveri ingat akan cincin yang luar biasa itu dan bersedia untuk membicarakannya.
"Aku tak berkesempatan menunjukkan buku gambar kepada
kawan kalian," katanya. "Tetapi sekarang akan kutunjukkan pada kalian. Kalian mempunyai cukup waktu?"
"Ya," jawab George penuh minat.
"Hanya sebentar," pemilik toko itu berkata sambil menghilang ke ruangan di balik mejanya.
Untuk sejenak, kedua sepupu itu merasa ada yang
mengawasinya. Tetapi ketika mereka melirik ke kaca jendela depan, tak seorang pun ada di sana.
"Kita sudah terlalu curiga," bisik Bess.
Pak Jhaveri kembali sambil memegangi sebuah buku besar.
"Banyak cerita-cerita yang bagus di sini, mengenai perhiasan-perhiasan yang luar biasa beserta pemilik-pemiliknya." Ia membalik-balik halaman, sebentar-sebentar berhenti untuk menunjukkan foto-foto intan, berlian, mirah yang luar biasa, berbentuk bermacam-macam.
"Ha, ini dia," ia berkata akhirnya. "Maharaja Prithviraj dari Lakshmipur."
Bess dan George tertawa geli melihat gambar orang gemukpendek, wajahnya bulat seperti kue buatan Hannah. Ia mengenakan jubah longgar yang menyembunyikan tubuhnya yang bulat, dan pada setiap jari-jari tangannya terdapat cincin yang luar biasa, kecuali pada satu jari.
"Rupanya maharaja itu sangat menggemari bunga bakung," kata pak Jhaveri. "Banyak sekali yang tumbuh di kolam halamannya .... "
"Dan digunakan sebagai hiasan pada kain sprei, alat-alat makan dan perhiasannya," kata Bess, sambil membaca tulisan di bawah gambar.
"Apakah mungkin cincin Cliff itu pernah menjadi milik
maharaja itu?" kedua gadis itu berpikir. Tetapi kalau memang demikian, bagaimana sampai dapat meninggalkan India hingga tiba di Amerika?
Tiba-tiba lonceng pintu depan berbunyi, dan kedua gadis itu menatap ke wajah orang berjanggut yang sedang masuk. Apakah dia orang yang dikejar Nancy dari rumahsakit Rosemont?
George dengan cepat menjatuhkan cincin itu ke dalam tasnya, lalu menutup buku.
"Apakah kalian telah selesai?" tanya pak Jhaveri dengan hormat.
"Sudah, terimakasih," kata George, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Ia memberi isyarat kepada Bess untuk pergi. "Kami harus pergi dulu, tetapi kami pasti kembali lagi."
"Jangan buru-buru karena aku," kata orang berjanggut itu. "Aku hanya mau melihat-lihat."
Gadis-gadis itu tak merasa perlu untuk menjawab, tetapi segera bergegas ke mobil.
"Barangkali lebih baik kalau kita tinggal, untuk mengamati orang itu," kata Bess.
"Dan mengambil risiko, bahwa ia akan mendengar sesuatu
tentang cincin itu?" kata George. "Tak usah, ya!"
Ia menghidupkan mobilnya, kemudian melihat bahwa pemilik
toko itu keluar dari tokonya. Orang berjanggut itu bersama dia.
"Jangan pergi dulu, nona!" seru pak Jhaveri. "Maaf, kembalilah dulu!"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bess tergagap.
Jantungnya berdegup gugup sementara orang asing itu lari
mendatangi. 5 Tertipu "Aku yakin, orang itu tentu mencari cincin ini!" Bess berseru dengan takut.
"Tenang sajalah," kata George sambil mematikan mesin. Saat itu orang berjanggut tadi sudah berdiri di dekat mobil.
"Aku Doktor DeNiro, antropolog," ia memperkenalkan diri.
George segera ingat akan nama itu, Doktor DeNiro adalah
Profesor pada Oberon College, sebuah Perguruan Tinggi setempat. Ia baru saja pulang dari penelitian lapangan di Asia. Sebuah artikel tentang dia telah ditulis dalam terbitan yang terakhir dari The River Heights Gazette.
"Aku George Fayne, dan ini sepupuku Bess Marvin," kata
George. "Selamat siang."
Bess tersenyum manis, matanya mengikuti suatu bekas luka
yang hampir tak nampak, dari bagian pipi ke bawah hingga tertutup janggut yang kasar.
"Kami sedang terburu-buru," kata George.
"Ah, kami tak ingin menahan kalian, tetapi, ... eh," orang itu menggagap. "Aku tertarik akan cincin yang kalian tunjukkan kepada tuan Jhaveri."
Kedua gadis itu tetap diam, menunggu kata-kata selanjutnya.
"Bolehkah aku melihatnya?" tanya Doktor DeNiro.
George ragu-ragu, lalu merogoh ke dalam tasnya. Rasa curiga sebelumnya kini berubah menjadi rasa ingin tahu. Barangkali saja profesor itu dapat memberikan beberapa petunjuk tentang identitas Cliff!
"Inilah," kata gadis itu sambil memberikan cincin itu.
Doktor DeNiro membalik-balikkannya sambil mempelajarinya
dengan tekun. "Aku telah membuat beberapa riset di daerah India tempat
cincin ini dibuat," katanya. "Kalau nona izinkan, aku ingin memotret cincin ini. Bolehkah?"
"Ini bukan milik kami," kata Bess.
"O, begitu. Nah, kalau begitu dapatkah kalian menghubungkan aku dengan pemiliknya?"
Gadis-gadis itu diam sejenak.
"Barangkali kalian dapat menyebutkan nama dan nomor
teleponnya," profesor itu melanjutkan.
"Ia ada di rumahsakit," kata George. Pikirannya berputar cepat, teringat barangkali Nancy pun ingin juga berbicara dengan profesor itu. "Kami sedang akan ke rumahsakit Rosemont. Dapatkah anda ikut kami ke sana?"
Orang itu melihat ke arlojinya. "Wah," ia membelalak. "Aku terlambat duapuluh menit. Aku akan menelepon kalian."
Dengan kata-kata itu, ia bergegas melintas jalan ke tempat parkir, meninggalkan kedua gadis itu yang ternganga bingung.
"Cincin itu! Ia membawa cincin itu!" teriak George. Ia melompat keluar dari mobil dan lari mengejar orang itu, meneriakkan namanya sekeras-kerasnya. Tetapi orang itu telah mengendarai mobilnya keluar dari tempat parkir.
"Ada apa?" tanya Bess ketika ia telah kembali.
"Ia telah pergi."
"Demikian pula cincin Cliff," kata Bess.
"Kita harus mendapatkannya kembali sebelum kita bertemu
Nancy." George setuju dan mengusulkan agar mereka langsung ke
Oberon college. "Barangkali kita dapat bertemu dia sewaktu hendak ke kelas,"
kata Bess penuh harapan. Mereka menemukan kantor, profesor itu di sebuah gedung
tembok kuno di dekat student center. Sebuah pengumuman tertempel di pintu: jam bicara 1.30 --- 3.00 p.m.
"Ia tentu akan kemari dalam beberapa menit lagi," kata George sambil menghela napas lega.
Tetapi waktu menunggu itu nampaknya seperti tak ada
habisnya. Sebab, serombongan mahasiswa membawa buku-buku
catatan berderet di koridor dan berhenti di depan pintu besar di ujung yang lain.
"Mana dia?" tanya Bess tak sabar.
Seperti suatu jawaban, pintu masuk yang besar itu terayun terbuka. Seorang yang masih muda berambut coklat, mengenakan baju bergaris-garis dan celana panjang warna khaki melangkah mendekat.
"Dapatkah aku menolong anda?" ia bertanya sambil
mengeluarkan sebuah kunci.
"Kami mencari Doktor DeNiro," kata George.
"Kalian telah bertemu dia." Orang yang tak berjanggut itu tertawa. "Apakah kalian tercatat pada kuliahku?"
Kedua gadis itu bungkam dan kebingungan.
"Ada suatu kesalahan?" orang itu kembali bertanya.
"Tidak ... maksudku, ya," kata Bess. "Apakah anda mempunyai kakak yang juga mengajar di sini?"
"Tidak," ia tertawa. "Tetapi kepala bagianku tentu akan senang kalau aku punya. Aku telah pergi meninggalkan kampus hampir sebulan."
Kenyataan bahwa cincin Cliff kini ada di tangan orang yang tak dikenal, membuat kedua gadis itu menggigil. Mereka telah tertipu!
George bertanya: "Apakah anda telah kehilangan sesuatu identitas anda? ... kartu SIM, kartu kredit ... atau semacam itu?"
"Tidak. Mengapa?"
George menjelaskan pertemuan mereka dengan seseorang di
dalam toko perhiasan. "Katanya, dialah anda!" seru Bess.
"Aku?" Bersamaan dengan itu orang muda tersebut membuka pintu
kantornya, lalu mempersilakan kedua gadis itu untuk masuk.
"Katanya, ia telah melakukan beberapa riset tentang India, dan hendak memotret sebuah cincin yang kami berikan," George
menjelaskan. "Ya, memang benar aku telah bertugas pada proyek pemerintah tentang India. Tetapi itu tidak diumumkan." ia berhenti sejenak.
"Tetapi aku ingin tahu, mengapa ada orang yang menyamar menjadi aku?"
"Apa yang kami ketahui, cincin itu mungkin pernah menjadi milik seorang maharaja."
Doktor muda itu bersandar pada kursinya, menatap kedua gadis itu.
"Mungkin," katanya. "Bahwa orang itu mengharapkan suatu keuntungan mendapatkan informasi yang sedang kucari."
"Informasi tentang apa?" tanya Bess.
"Aku khawatir, tak dapat mengatakannya kepada kalian."
Bess dan George berkesimpulan, bahwa profesor itu tentu
terlibat pada tugas yang sangat rahasia. Masalahnya ialah, apakah cincin itu juga termasuk di dalamnya? Kalau memang termasuk, bagaimana?
Sebelum mereka dapat melanjutkan pembicaraan, seorang
mahasiswa muncul di pintu. Ia memegang beberapa buku catatan.
"Aku mungkin masih perlu berbicara dengan kalian," kata Doktor DeNiro, lalu memberi isyarat agar kedua sepupu itu keluar.
"Sebaliknya kami juga," kata George. Ia menuliskan nomor teleponnya. "Apakah anda ada di sini besok?"
"Ya. Pagi hari aku memberi kuliah dan satu lagi di siang hari."
Kedua sepupu itu mengucapkan selamat tinggal dan bergegas ke mobil mereka.
"Kini persoalannya menjadi semakin kacau," kata Bess.
"Aku mulai berpikir, bahwa Cliff pura-pura sakit seperti itu, lupa akan dirinya" kata George.
"Apa? Kau mengira ia berdusta?" jawab Bess. "Aku tak
percaya!" "Aku juga tak percaya, sungguh, tetapi itu tak berarti bahwa hal itu tidak mungkin. Bagaimana pun ia ada dalam kesulitan dan membutuhkan tempat untuk bersembunyi."
"Aku akan mencari tempat yang lebih baik daripada di
rumahsakit," kata Bess.
"Ide yang baik. Apakah mungkin ia berusaha melarikan diri sebelum jatuh? Ia sadar ketika sudah di rumahsakit. Karena tak ingin diketahui siapa pun asal-usulnya, ia lalu pura-pura seperti itu."
"Aku masih saja tetap tidak percaya!"
"Ya, semua itu pun hanya suatu perkiraan," jawab George.
Mereka tidak banyak berbicara lagi hingga sampai di
Rosemont. Mereka langsung menuju ke kamar Cliff. Gorden di sekeliling tempat tidurnya diturunkan. Lisa sedang berbicara dengan seorang dokter.
"Di mana Nancy?" tanya Bess setelah Lisa selesai berbicara.
"Ia menemui Dokter Anderson," kata Lisa dengan nada yang


Nancy Drew Misteri Cincin Ramaswami Karya Carolyn Keene di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas penuh perhatian. Kedua saudara sepupu itu melirik ke arah gorden.
"Apakah Cliff baik?"
"Ya, sekarang ia baik!" jawab jururawat itu. "Tetapi sejam yang lalu ia berteriak-teriak dan napasnya sesak."
Apa mungkin ia bermimpi orang yang menyerang dia itu
kembali lagi, pikir mereka.
6 Kesulitan Pemain Harpa "Apa yang terjadi?" tanya Bess khawatir.
"Apakah orang yang berjanggut itu ...?" George hendak berkata ketika Nancy bergegas menghampiri.
"Cliff mendapat mimpi buruk," katanya. Ia menarik kedua gadis itu dari pintu kamar Cliff.
"Syukurlah, bukan yang lebih buruk lagi," kata Bess.
"Meski begitu, Cliff memerlukan lingkungan yang lain," kata Nancy, "Dokter Anderson juga setuju."
"Apakah Cliff cukup sehat untuk dipindah?" tanya George
kepada Lisa. "Itu tergantung dari dokter."
"Andaikata ia bisa dibawa pergi," kata Bess, "ke mana ia hendak pergi?"
"Ke rumahku," kata Nancy. "Hannah yang akan mengusahakan, agar ia mau makan yang banyak, tiga kali sehari .... "
"Kalau hal itu tak dapat mengembalikan ingatannya, yah, tak ada lagi yang bisa!" Bess tertawa.
"Berbicara mengenai Cliff," kata Nancy yang tiba-tiba teringat akan tugas kedua temannya, "apa cincin Cliff masih ada pada kalian?"
Kedua sepupu itu saling berpandangan dan kebingungan. Itulah pertanyaan yang sangat mereka takuti!
"Tidak. Tidak ada," kata George. Ia menjelaskan segala peristiwa yang telah terjadi, diakhiri dengan kunjungan mereka ke Oberson College, Nancy mendengarkan dan terkejut. "Itu satu-satunya petunjuk kita tentang identitas Cliff," katanya dengan kecewa.
"Aku tahu, tak ada gunanya kami meminta maaf," jawab Bess.
"Tetapi kami menyesal, sungguh-sungguh menyesal," sambung George.
Nancy merangkul kedua temannya. "Jangan resah tentang hal itu. Kalian tak mudah ditipu. Jadi penipu itu tentu sangat lihai,"
katanya. Ia melihat dokternya Cliff di serambi dalam. "Sebentar, aku hendak berbicara dengan Dokter Anderson."
Ia bergegas ke arah Dokter. Setelah berbicara beberapa menit ia kembali kepada teman-temannya.
"Ia ingin menahan Cliff di sini sampai besok sesudah makan siang," katanya. "Tetapi setelah itu Cliff menjadi milik keluarga Drew!"
"Aku ingin tahu, bagaimana perasaan Ned tentang itu," George menggumam.
"Tak ada bakat cemburu pada Ned," jawab Nancy penuh
percaya. "Aku akan menceritakan seluruhnya kepada Ned nanti sore."
Ketika menjelang sore ia sampai di rumah, Nancy mengakui
bahwa ia tidak hanya khawatir tentang hilangnya cincin Cliff saja.
Tetapi juga menimbang-nimbang kembali rencananya yang baru.
Bagaimana pun, Cliff hanya beberapa tahun lebih tua dari Ned.
Sedangkan Ned sudah sering mengeluh, bahwa Nancy lebih banyak menggunakan waktunya untuk menyingkap misteri daripada bersama dia. Kenyataan, bahwa misteri yang satu ini melibatkan seseorang yang masih muda dan tampan, mungkin akan menjadikan masalah baru, pikirnya.
Tetapi ayahnya tak setuju dengan kesimpulan itu. "Bagaimana pun, rumah kita mungkin tempat yang paling aman bagi Cliff,"
katanya. Demikianlah, ketika Ned datang, Nancy memberitahukan berita itu dengan cerah.
"Ada yang tidak baik?" ia bertanya, melihat senyum Ned memudar.
Ned menggeleng. "Kita akan terlambat," katanya, "dan aku tak ingin melanggar batas kecepatan untuk mencapai gedung
pertunjukan." "Selamat tinggal semuanya," kata Nancy sambil berlari ke mobil Ned. Sementara ia mengenakan sabuk pengaman, ia berkata:
"Ayah berpendapat, Cliff akan lebih baik di rumah daripada di rumahsakit."
"Kukira begitu," jawab Ned pendek.
Ia tak banyak berbicara lagi sampai tiba di gedung pertunjukan.
Di sana banyak tetangga Nancy yang menyapa mereka. Penduduk kota lain, kebanyakan anggota dari dewan Kotapraja, memandangi dia dengan pandangan dingin.
"Apakah ini hanya anggapanku, ataukah memang benar
walikota itu menghindari engkau?" kata Ned.
"Ya, mereka memang begitu," jawab Nancy, dan segera ia merasa kurang enak. "Tetapi, seperti yang kaulihat, aku tetap tersenyum kepada mereka. Nanti lain kali akan kujelaskan."
Ketika mereka berjalan ke bagian depan gedung itu, mereka mendengar suara menggumam yang cukup keras di belakang mereka.
Isteri walikota membetulkan letak selendang sambil menjulurkan tubuhnya ke depan, berbisik-bisik dengan isteri anggota Dewan Kota.
Sebaliknya, isteri anggota Dewan itu pun membalas dengan mendesis keras. Nancy tahu, mereka sedang meperbincangkan ayahnya.
"Belum dapatkah kau menceritakan padaku sekarang, apa yang terjadi?" tanya Ned dengan suara rendah.
"Belum ..." hanya itu yang dapat dikatakan gadis itu, sementara para pemusik beriring-iringan memasuki pentas.
Setelah para musisi itu duduk, seseorang yang berambut abu-abu dengan sebuah tongkat melangkah ke podium, tepuk-tangan penonton menyambutnya bahkan semakin keras, ketika seorang wanita muda berambut merah mengambil tempat di belakang harpa di bagian depan pentas.
Ned melihat buku acara. Pertunjukan pertama menampilkan
Angela Pruett, solis harpa, yang menyajikan "Introduction and Allegro" ciptaan Maucice Ravel.
"Ini menjadi lebih menarik dari yang kusangka," Ned
menggoda Nancy. Tetapi begitu solis harpa mulai main, dawai-dawai alat musik itu berdenting-denting bagaikan serombongan burung, masing-masing dengan tangga nada sendiri!
"Ada apa ini?" Ned berbisik kepada Nancy.
"Aku tak tahu," kata Nancy. "Dan rupanya tak seorang pun di pentas yang tahu."
Orkes itu berhenti, sementara dirigen dan solis saling
menaikkan alis mata dan berbicara.
"Kami mohon, tuan-tuan dan nyonya-nyonya," kata dirigen itu kepada para penonton. "Harpa nona Pruett rupanya dalam keadaan yang kurang baik. Kami akan melanjutkan acara ini dengan lagu berikutnya, sedangkan "Introduction and Allegro" akan ditampilkan setelah istirahat."
Nancy menyandarkan badannya pada Ned. "Aneh, sungguh
aneh! Alat musik itu seharusnya telah disetem sebelum konser dimulai."
"Mungkin ada orang yang mengutik-ngutiknya," duga Ned.
Demikian pulalah sangkaan Nancy. Tetapi mengapa ada orang yang ingin merusak pertunjukan itu?
Ia tergelitik untuk pergi ke belakang pentas selama istirahat, tetapi kemudian memutuskan untuk menundanya sampai akhir
pertunjukan. Ia merasa lega, bahwa selanjutnya pertunjukan berjalan bagus tanpa gangguan.
"Aku sungguh menikmatinya," kata Ned kepada Nancy,
sementara mata Nancy mengikuti para pemusik meninggalkan pentas.
"Itu membuatku sangat gembira," jawab Nancy, dan dengan
tiba-tiba meraih tangan Ned.
"Yaaah, kalau aku tahu hanya itu yang harus kukatakan, .... "
"Ayo, cepat," Nancy menyela. "Aku ingin berbicara dengan
nona Pruett." Ned menggeleng putus asa. "Kukira sore ini akan berlangsung tanpa detektif-detektifan," ia menggerutu.
Nancy tak mempedulikan kata-kata itu, dan bertanya kepada penjaga pintu di mana jalan masuk ke podium.
"Di luar, sebelah kiri," jawaban yang diterimanya.
Tanpa berkata-kata lagi, muda-mudi itu bergegas ke pintu
keluar. Nancy tak menghiraukan sama sekali pandangan-pandangan dari Walikota dan isterinya ketika ia dan Ned melintas di depan mereka. Satu dua menit kemudian ia dan Ned menaiki tangga menuju ke ruang para pemusik.
"Nona Pruett!" seru Nancy, ketika wanita muda itu muncul.
Pemain harpa itu menatap Nancy dengan pandangan takut.
"Ya?" jawabnya.
"Aku Nancy Drew, dan ini temanku, Ned Nickerson .... "
Melihat buku acara di tangan mereka, nona itu bertanya:
"Kalian ingin mendapat tandatanganku?"
"Bukan ... maksudku, ya," jawab Ned sambil tersenyum lebar.
Ia memberikan buku acaranya.
Wanita muda itu cepat-cepat menuliskan tandatangannya.
"Anda mempunyai tulisan yang bagus," kata Nancy.
Namun demikian, Nancy melihat ada kekakuan pada lengkunglengkung hurufnya. Barangkali pertunjukan itu telah melelahkan dia, atau Nancy berpikir-pikir, apakah ia tertekan oleh kejadian sebelumnya?
"Nona Pruett, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan, kalau anda memperbolehkannya. Yaitu tentang ..." Nancy mulai berbicara.
"Tentang hal yang memalukan aku tadi?" jawab Nona itu.
Matanya berlinang airmata. "Tak dapat dimaafkan ... tidak bisa!"
Nancy menjelaskan, bahwa ia adalah seorang detektif amatir. Ia mempunyai perhatian khusus dalam festival musik tersebut karena ayahnya terlibat di dalamnya.
"Menurut kami, ada seseorang yang sengaja memutar-mutar setelan dawai harpa anda," Ned menjelaskan.
"Aku menghargai perhatian kalian," kata Nona itu pendek.
"Tetapi aku tak ingin membicarakannya sekarang, kalau kalian tak berkeberatan."
"Apakah anda ada di sini besok?" tanya Nancy.
"Ya. Tetapi aku tak dapat tinggal setelah pertunjukan," kata pemain harpa itu. Lalu menyambung dengan gugup: "Aku harus melakukan beberapa pekerjaan. Maafkanlah aku sekarang. Aku harus pergi."
"Tetapi ...," kata Nancy. Ia berharap untuk dapat membujuk dia agar mau menerimanya.
Tetapi wanita muda itu pergi, dan menghilang ke dalam pintu di ujung gedung.
" Rupanya ia tak membutuhkan bantuan kita," kata Ned.
"Tetapi aku punya firasat, bahwa ia sesungguhnya
membutuhkannya," jawab Nancy.
7 Cerita Tentang Seorang Adik
"Berbicara tentang bantuan," kata Ned, "aku sendiri
membutuhkan." "Engkau?" jawab Nancy, dengan tiba-tiba ia mengalihkan pandangan kepada Ned.
Ned menghela napas, membiarkan garis-garis wajah Nancy
semakin menunjukkan rasa ingin tahu.
"Jangan membuat aku tegang, Ned," kata gadis detektif itu, sementara mereka menuju ke mobil.
Tetapi pemuda itu rupanya menikmati perhatian Nancy. "Aku lebih senang, kalau engkau menceritakan semuanya kepadaku," Ned berkata sambil tertawa.
"Itu bukan jawaban yang jujur," kata Nancy agak tersinggung.
"Bagaimana pun juga kita ini berteman, dan engkau jelas-jelas mengatakan bahwa engkau tak membutuhkan bantuanku."
"Aku sama sekali tak mengatakan begitu," tukas Ned. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah telah memulai percakapan itu.
Sebaliknya, Nancy tetap diam sampai tiba di rumahmakan yang baru.
"Tetapi engkau seperti mengatakan begitu," akhirnya Nancy menggerutu.
"Dan engkau telah membesar-besarkannya," kata Ned sambil
mematikan mesin. Tiba-tiba gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Aku menyesal," katanya. "Kukira aku agak berlebih-lebihan karena keadaan ayah."
"Aku tak mengerti," kata Ned. "Apa hubunganku dengan
ayahmu?" "Bukan engkau. Semua ini hanya karena ayah pun tak
menghendaki bantuanku."
"Mari masuk dan memesan sesuatu," Ned menyarankan. "Nanti engkau dapat menceritakan semuanya kepadaku."
"Oke," jawab Nancy lirih. Untuk beberapa saat ia lupa akan segala keresahannya ketika memasuki rumahmakan.
Meja-meja pajangan dan bilik-bilik makan berkilau dalam
pantulan cermin-cermin yang dipasang miring, dan sejumlah lampu Tiffani tergantung di langit-langit, membawa kenangan mereka ke saat-saat yang telah berlalu.
"Tempat yang bagus," kata Ned ketika mereka masuk ke dalam salah satu bilik makan.
"Boleh dikatakan begitu," kata Nancy. Ia membuka daftar
makanan yang diberikan kepadanya.
Pandangannya menyapu deretan nama-nama makanan dan
minuman yang asing. "Bagaimana kalau Tango Fandago?" ia tertawa cekikikan. "Ini adalah lima sendok eskrim dengan saus melba, kelapa, potongan-potongan kenari kismis dan kepala susu yang dikocok!"
Tetapi ketika pelayan datang untuk menerima pesanan,
keduanya sama-sama memesan eskrim Hot Frudge dan teh.
Kemudian Nancy menceritakan mengenai percakapan dengan
ayahnya sore yang lalu. "Tetapi ayahmu tak pernah melakukan sesuatu secara curang,"
kata Ned, setelah Nancy selesai bercerita.
"Ia menyebutkan, bahwa ada hal-hal yang terjadi pada
rombongan Jansen. Tetapi ayah tidak menjelaskannya."
"Ia juga mengatakan, agar engkau jangan sampai terlibat?"
Nancy menundukkan kepalanya, menghindari pandangan Ned
yang terus tertuju kepadanya. Ned belum pernah melihat gadis itu demikian bingung.
"Aku hanya tak ingin orang-orang mengatakan hal-hal yang
demikian tentang ayah," kata Nancy. "Aku tahu, agar aku tidak mencampuri semuanya itu, tetapi aku tidak bisa."
Ketika ia berbicara demikian, pelayan datang membawa eskrim.
Nancy menyendok sedikit dari porsi yang besar itu ke dalam mangkuknya, lalu diaduknya dengan berlebihan.
" Dengar Nancy, kalau engkau menghendaki aku membantumu,
dengan cara apa pun," kata Ned, "aku bersedia. Tetapi aku juga menasihatimu, sebaiknya engkau jangan bertindak melawan keinginan ayahmu."
"Yah. Ayah berkata, ia tak ingin ada apa-apa yang terjadi pada diriku. Itulah masalah pokoknya," Nancy menjelaskan. "Tetapi kalau engkau bersama aku, pasti tak akan ada apa-apa."
Mahasiswa itu menjadi merah wajahnya dan membenamkan
sendoknya dalam-dalam di dalam eskrim, mengambil sedikit saus fudge yang ada di permukaan mangkuk.
Ketika mereka hampir selesai, Nancy tersenyum misterius.
"Katamu engkau memerlukan sesuatu bantuan," katanya.
"Ah, yaah, anu ... sebenarnya tak ada apa-apa," Ned menggagap kebingungan. "Aku hanya ingin agar perhatianmu sedikit kauarahkan kepadaku."
"O, begitu," kata Nancy, sementara temannya melanjutkan:
"Tetapi setelah kini kita menghadapi penyelidikan yang sulit, aku merasa terlalu sibuk untuk memikirkan diriku sendiri."
"Apakah aku sedemikian tak menghiraukan engkau?" tanya
Nancy malu-malu. Pemuda itu menanggapi dengan senyuman, tetapi tak mau
meneruskan masalah itu. Jam telah menunjukkan pukul sebelas lewat, dan ia menyarankan untuk pulang. Tetapi ketika mereka sampai di rumah keluarga Drew, mereka terkejut melihat seorang tamu dalam cahaya jendela kamar tamu.
"Itu Angela Pruett! Dan ia berbicara dengan ayah!" seru Nancy.
Ia bersama Ned lari ke pintu depan yang tak terkunci. Mereka melangkah masuk hingga menghentikan percakapan.
"Engkaukah itu, Nancy?" seru pak Drew.
"Bersama Ned," jawabnya, sambil masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum ramah kepada pemain harpa itu.
"Aku tahu, kalian sudah bertemu sore tadi di pementasan," kata pengacara itu.
"Aku memang berharap dapat bertemu anda kembali," kata
Nancy kepada pemain harpa itu.
Pemain musik itu bersandar ke kursi, dan memejamkan
matanya sejenak. "Nona Pruett sedang mencari adiknya beberapa hari ini," pak Drew mengungkapkan. "Rupanya adiknya itu pergi ke salah satu tempat khalwat rohaniah, tetapi tidak pulang-pulang."
"Di mana khalwat itu diselenggarakan?" tanya Nancy.
"Di suatu tempat di bukit-bukit di luar River Heights," jawab pemain harpa itu. "Aku tak tahu dengan tepat. Phyllis sangat tertarik akan meditasi yang sulit-sulit."
"Kami tak mengira bahwa anda berasal dari River Heights,
nona Pruett," kata Ned.
"Memang bukan. Dan sebutlah aku Angela saja," kata pemain harpa itu. "Seperti yang kukatakan kepada ayahmu, aku mau bermain dalam festival ini karena aku berharap dapat bertemu adikku. Ia lari dari rumah tahun yang lalu, dan baru sebulan lalu ia menyurati aku.
Tetapi ia minta agar aku jangan mengatakan kepada siapa pun di mana dia berada."
"Setelah mendapatkan alamatnya, aku memutuskan untuk menghabiskan libur musim panasku di sini. Tentu saja aku berharap dapat membujuknya agar mau pulang sebelum aku meninggalkan River Heights. Ia belum cukup berumur tujuhbelas."
"Apakah ia tinggal di rumah khalwat?" tanya Nancy.
"Tidak. Menurut suratnya, ia menyewa kamar di rumah
seseorang. Mungkin kamar itu milik anak mereka yang sedang sekolah di luar kota. Begitu aku tiba, aku segera menelepon nyonya Flannery. Katanya, Phillis sudah tak ada di rumah selama seminggu."
"Aku menghubungi polisi, tetapi mereka tak punya petunjuk-petunjuk," Angela Pruett meneruskan. "Ketika aku berjumpa engkau tadi, aku sadar bahwa mungkin aku perlu membayar seorang detektif pribadi. Aku sedang berpikir-pikir .... "
Wajah Nancy merekah dalam senyuman lembut. "Aku
khawatir, engkau tak mungkin membayar aku, Angela," katanya.
"Jadi engkau tak mau membantu aku?"
"Justru sebaliknya. Aku akan membantu, tetapi aku tak mau kalau engkau membayar aku."
"Kami akan menemukan adikmu," Ned berkata dengan tulus.
"Itu benar," Nancy menyambung. Ia menggandeng tangan Ned.
"Kami akan mulai besok pagi."
Tetapi ketika menyatakan keputusannya itu, ia teringat akan Cliff, cincin yang hilang, tugasnya di rumahsakit dan Tommy Johnson. Bagaimana pun juga ia harus dapat membagi waktu untuk masing-masing!
***************** Ned menelepon Nancy pagi-pagi. "Apa rencana kita hari ini?"
tanyanya dengan riang. "Maksudku, apakah engkau sudah siap untuk jalan kaki di bukit-bukit River Heights?"
Nancy tertawa. "Mungkin kalau aku sudah selesai dengan
urusanku di rumahsakit Rosemont" katanya. "Aku sudah ditentukan membawa Cliff pulang ... ke rumah kami."
Hening di ujung sana, kemudian Ned mendehem. "Yah, kapan
itu harus dilakukan?" ia bertanya.
"Ah, barangkali sekitar jam satu."
Dalam benaknya Nancy merencanakan mengunjungi Doktor
DeNiro di Oberon College. Tetapi ia menahan diri untuk maksud tersebut, sebab ia harus tahu dulu jadwal waktu untuk bertemu profesor itu.
"Ned, maukah engkau datang sekitar jam dua?" kata Nancy.
"Oke, kata Ned dengan gairah yang timbul kembali. "Tadi
kukira engkau akan mundur dari rencana kita semula."
"Aku? Tak pernah!" kata Nancy. "Sampai ketemu." Ia lalu
menelepon Bess dan George, memberitahu mereka tentang kejadian-kejadian malam sebelumnya.
Mereka mengatakan, bahwa ibu mereka hendak berbelanja dan minta agar mereka menemaninya.
"Aku tak ingin mengecewakan ibu," kata Bess. "Demikian juga George. Tetapi kalau engkau membutuhkan aku ...."
"Jangan merubah rencana kalian," Nancy mendesak. Ia
menceritakan kepada mereka tentang rencananya untuk hari itu. Ia menambahkan, bahwa setelah selesai ia akan menghubungi mereka lagi. "Itu, kalau aku dan Ned tak hilang tersesat!"
Pagi itu, waktu di rumahsakit bagaikan terbang berlalu. Tommy telah berangsur sembuh, dan di antara kesibukannya Nancy selalu dapat menjenguk dia. Pada kunjungan terakhir, ia membawakan anak itu sebuah buku gambar yang besar berisi dongeng-dongeng.
"Ini sungguh menyenangkan, Nancy," pasien kecil itu berkata, ia tertawa-tawa melihat gambar-gambar tersebut.
"Pohon jambu, pohon klengkeng," kata Nancy, menunjuk ke gambar pertama. "Si tikus naik ke lonceng. Lonceng berbunyi satu kali, si tikus turun berlari. Pohon jambu pohon klengkeng."
"Jam berapa sekarang?" tanya Tommy.
"Jam setengah duabelas kurang."
"Kalau begitu si tikus harus menunggu setengah jam lagi."
Tommy tertawa. "Begitu pula aku," kata Nancy sambil membelai rambut
Tommy. "Aku datang lagi besok." Nancy bergegas ke lorong dan naik elevator menuju ke lantai kamar Cliff. Ia telah pulih dari pengalaman hari sebelumnya dan kini berpakaian lengkap. Ia menunggu seseorang yang sedang menyiapkan kursi roda untuk turun ke bawah.
"Aku sungguh-sungguh berterimakasih kepadamu," kata Cliff.
"Tetapi kuharap jangan sampai aku menjadi bebanmu serta ayahmu."
"Sama sekali tidak," jawab Nancy. "Engkau membutuhkan
lingkungan yang lain."
"Aku juga memerlukan udara segar," kata Cliff, ketika bau yang tajam dari obat antiseptik hanyut masuk ke ruangan.
Gadis detektif itu sengaja tak mengutarakan perhatian keluarga Drew atas keselamatan orang muda tersebut. Untuk apa mengatakan segala kecemasannya? ia berpikir.
Ketika mereka sampai di rumah keluarga Drew, Cliff nampak hampir bergembira. Meskipun ia masih agak lemah, ia menyapa Hannah dengan bersemangat. Hannah dan Nancy membawanya ke kamar, dan Cliff segera menjatuhkan diri ke kursi.
"Sekarang beristirahatlah hingga makan malam nanti,"
pengurus rumahtangga itu berkata, lalu menutup pintu dengan perlahan-lahan.
Dengan singkat Nancy menjelaskan, bahwa ia akan pergi
selama siang itu. Tetapi ia memastikan akan pulang sebelum jam enam.
"Dari mana aku pernah mendengar hal itu, ya?" kata Hannah.
"Tentu saja dari aku," Nancy tertawa.
Nancy berganti dengan celana jeannya yang paling tua serta kemeja berlengan panjang. Setelah itu ia menjawab telepon dari Angela Pruett yang akan berangkat ke gedung pertunjukan.
"Ned segera datang," kata Nancy kepadanya, "dan kami
berusaha untuk menemukan rumah khalwat itu."
"Aku sungguh gembira bertemu engkau. Apa yang telah
kulakukan hari ini ialah membaca kembali surat Phyllis. Ia menggambarkan tempat khalwat itu sedikit. Rupanya terletak di dekat sebuah te ..."
Tiba-tiba telepon itu mati, diputuskan orang. Nancy menekan-nekan tuts telepon berkali-kali, tetapi tak sambung juga. Ia memutar nomornya kembali, tetapi hanya mendapat isyarat berbicara.
"Aku akan menelepon operator," katanya pada diri sendiri, lalu memutar nomor pengaduan.
"Saya akan menghubungkan anda dengan nomor itu," kata
operator dengan suara datar. "Kami menyesal atas kejadian ini."


Nancy Drew Misteri Cincin Ramaswami Karya Carolyn Keene di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nancy meletakkan gagang teleponnya, menunggu dengan
cemas datangnya suara Angela.
"Maaf," terdengar suara operator lagi. "Nomor itu sedang
rusak." Sekarang bagaimana? Nancy berpikir-pikir. Ia baru saja hampir mendengar suatu petunjuk tentang letaknya tempat khalwat itu!
8 Jejak Yang Kusut Sementara Nancy berdiri di dekat telepon di lorong serambi rumah keluarga Drew, pandangannya menangkap sesosok tubuh yang bergegas masuk ke halaman. Ia membuka pintu, membiarkan angin yang hangat meniup ke dalam.
"Halo, Ned!" seru Nancy. Bayangan kekecewaan menghilang
dari wajahnya. "Semua siap?" jawab pemuda itu sambil memandang sepatu
olahraga yang dipakai Nancy. "Kalau aku jadi engkau, aku akan mengenakan sandal untuk perjalanan ini."
"Engkau benar ... kukira," kata Nancy dengan pandangan
menerawang. "Ada sesuatu yang mengganggu engkau?" tanya Ned.
Itu sudah cukup bagi gadis detektif itu, untuk menjelaskan segala sesuatu yang baru saja terjadi. "Aku yakin, bahwa Angie akan menyebutkan nama sebuah telaga ketika hubungan terputus," kata Nancy. "Kalau saja ia tak terikat dengan tugas di gedung pertunjukan sekarang ini ..."
"Apa yang harus kita lakukan hanyalah melihat di peta River Heights yang besar," sela Ned sambil mengikuti gadis itu masuk ke rumah.
"Maksudku juga begitu," kata Nancy tak gembira. "Tahukah engkau, berapa jumlah telaga di daerah ini?"
Ned mengangkat bahu. "Seratus?"
"Hus, tidak ada seratus. Tetapi paling tidak ada tiga atau empat yang besar-besar. Memerlukan berhari-hari untuk menyelidiki masing-masing."
"Jadi?" ebukulawas.blogspot.com
"Jadi ... kita tak punya waktu sebanyak itu," Nancy
melanjutkan. "Setiap hari kita harus mencari Phyllis Pruett, berarti sekian hari yang hilang untuk membantu Cliff mengetahui siapa dia sesungguhnya."
Suara Nancy sedikit gemetar, hingga Ned meletakkan
tangannya ke pundaknya. "Yang terpenting ialah, sekarang Cliff telah mempunyai rumah," katanya lembut.
Nancy mendongak dan tersenyum. "Kukira aku agak terlalu
cemas akhir-akhir ini."
Ned tak menanggapi, tetapi ia merasa, bahwa kesulitan pak Drew menghadapi penduduk kota itulah yang menjadi sumber
kesedihan Nancy. Nancy bergegas naik ke atas untuk berganti sepatu, berhenti sejenak sambil berseru ke bawah.
"Berapa telaga dapat kita selidiki sampai tengah malam,
kaukira?" Ia tersenyum.
"Paling tidak duabelas." Ned tertawa.
Ketika Nancy kembali, ia membawa serta sebuah peta jalanan dari River Heights.
"Ini memuat semuanya ... bahkan petunjuk-petunjuk pokok,
seperti daerah pertokoan di Oak Boulevard juga ada," kata Nancy cerah.
"Apakah juga memuat tempat khalwat Phyillis?" Ned
menggoda. Ia memandangi peta yang terbentang di meja makan.
"Kalau memang tertera, enak ya?" kata Nancy. Ia melirik kedua buah telaga yang tertera pada kedua sisi punggung bukit di dekat River Heights Airport. Yang ketiga terletak jauh ke selatan, di dekat Castleton.
"Orang selalu berkata menangkap dua burung sekaligus," kata Ned.
"Kalau begitu kita mulai dengan kedua telaga ini dulu," kata Nancy, menunjuk ke Swain Lake dan Green Pond.
Kurang dari satu jam kemudian, mereka sudah berada di jalan yang terjal yang menuju ke telaga yang terakhir. Di puncak bukit mereka menemukan tempat untuk melihat pemandangan, dan
menghentikan mobil di sana.
"Itulah dia ... Green Pond!" seru Nancy, ketika ia memandangi air yang terbayang hijau-biru di bawah, yang membentang seperti seekor ikan di belakang suatu tanjung.
"Lihat sesuatu yang nampak seperti tempat khalwat?" tanya Ned.
"Tidak. Tetapi ada sekelompok toko-toko di ujung jalan ini,"
Nancy mengamati. "Dan orang-orang yang mengunjungi rumah khalwat itu tentu memerlukan perbekalan sewaktu-waktu."
"Ayo terus," kata Ned, dan mereka bergegas ke mobil kembali.
Toko yang pertama-tama ialah toko makanan yang
memajangkan berbagai macam selada, makanan dingin dan barang-barang rumahtangga. Kedua muda-mudi itu tak begitu tertarik pada orang-orang yang berderet di meja pajangan. Begitu para langganan itu meninggalkan toko, Nancy segera berbicara kepada petugas, menanyakan barangkali ia mengetahui rumah khalwat di daerah itu.
"Tak ada, kukira," jawab orang itu cepat. Ia mengerutkan dahinya lalu melanjutkan: "Tetapi memang aku pernah mendengar tentang hal itu di sana, di bawah Swain Lake."
Suatu gelombang gairah berdenyut di tubuh gadis itu.
"Tahukah anda di mana tepatnya?" ia bertanya.
"Tidak, aku tak tahu. Sebaiknya kalian pergi ke sana. Tentu ada orang yang dapat mengatakannya."
"Terimakasih banyak," seru muda-mudi itu lalu bergegas keluar.
"Lihat? Sudah kukatakan tentu begitu," kata Ned sambil membunyikan jari-jarinya.
"Nampaknya terlalu mudah," jawab Nancy.
Sementara mereka berkendaraan di sepanjang daerah luar kota, Nancy menikmati pemandangan alam, sambil berharap bahwa secara kebetulan mungkin dapat melihat rumah atau barangkali sebuah hotel yang telah dirubah menjadi rumah khalwat. Tetapi apa yang dilihatnya, hanya seorang tua yang bekerja pada kebun yang digali dari sisi bukit yang berhutan.
"Menurut peta, Swain Lake seharusnya tidak lebih dari
beberapa mil jauhnya di sisi punggung bukit sana," kata Ned. Hampir bersamaan ia melihat suatu petunjuk jalan di kejauhan. "Mungkin itu dia."
Ia menginjak pedal gas dan dalam beberapa detik tiba pada jalanan masuk sebuah kompleks hotel. Beberapa mobil diparkir di luar, dan sepasang suami-isteri muda dengan dua anak kecil, bermacam-macam kopor dan alat pancing dikeluarkan dari sebuah mobil.
"Mana jalan ke telaga?" seru Nancy kepada para pengunjung itu.
"Turun ke sana," kata orang itu, menunjuk ke sebuah jalanan kecil di belakang penginapan.
Ned sudah ingin untuk menyelidiki, tetapi Nancy menyarankan agar bertanya-tanya dulu lebih lanjut.
"Siapa tahu, ada orang di penginapan yang dapat mengatakan dengan tepat di mana tempat khalwat itu," kata Nancy. "Itu akan menghemat perjalanan."
"Untuk tidak menyebutkan perjalanan kaki yang romantis di antara semak-semak," kata Ned menimpali, melihat lebatnya semak-semak di sepanjang jalanan.
Penginapan itu nampak kurang terawat baik di dalam maupun luarnya. Gorden-gorden tergantung di jendela-jendela, dan di lantai terdapat tikar-tikar jerami yang berderik-derik di bawah kaki para pengunjung. Ketika berjalan menuju ke meja petugas hotel, pasangan suami-isteri muda yang mereka tanyai di luar tadi baru saja selesai mendaftarkan diri, dan petugas itu memandang sebentar ke arah Nancy dan Ned.
"Dapatkah aku membantu kalian?" ia bertanya dengan ramah.
Nancy menjelaskan mengapa mereka ada di derah tersebut.
Setelah Nancy selesai berbicara, petugas itu berkata: "Aku baru pindah kemari belum lama ini. Tetapi baiklah kutanyakan kepada salah seorang di kantor belakang. Mungkin ia tahu tentang rumah khalwat itu."
Ketika petugas itu pergi, muda-mudi itu mengambil kesempatan untuk mengamati sejumlah orang yang duduk-duduk di Lobby.
Semuanya berpakaian biasa, terkecuali seorang yang mengenakan pakaian bisnis. Tetapi ketika petugas itu kembali dengan seorang teman sekerjanya, orang tersebut menghilang ke atas.
"Ini pak Keshav Lal," kata petugas itu memperkenalkan. Warna kulit kecoklatan, matanya yang coklat dan besar serta namanya, memberikan kesan kepada Nancy bahwa orang itu mungkin dari India.
"Kalian mencari Ramaswami?" tanya Lal.
"Aku tak tahu, ya," jawab Nancy dengan heran.
Jantungnya berdetak keras, sadar bahwa ia berada pada ambang penyingkapan sesuatu yang penting.
"Ya, benar," kata Ned, yang segera menangkap informasi itu.
"Di mana kami dapat bertemu dengan tuan Ramaswami?"
"Kami memanggilnya Swami," Lal membetulkan. Ia tertawa
diam-diam. "Tetapi hanya itu yang dapat kukatakan kepada kalian."
"Aku tak mengerti," kata Nancy, lalu menyambung: "Kalau
anda mengikuti khalwatnya, tentunya anda .... "
Sebelum Nancy dapat menyelesaikan kalimatnya, orang yang
mengenakan pakaian bisnis muncul kembali dengan tiba-tiba. Ia menjulurkan tubuhnya di atas meja penerima tamu, sambil mengetuk-ngetuk jari-jemarinya sebagai tanda tak sabar.
"Teleponku telah terputus paling tidak dua kali," ia mengeluh kepada petugas penerima tamu.
"Saya mohon maaf, tuan Flannery."
"Flannery! Itulah nama Nyonya di tempat Phyllis Pruett tinggal.
Apakah mereka berdua itu ada hubungannya?
Untuk sesaat Nancy melirik kepadanya. Ada Sesuatu yang
dikenal pada wajahnya, tetapi ia tak ingat apanya.
"Maafkan," kata Nancy kepada orang tersebut. "Aku mencari seorang gadis yang bernama Phyllis Pruett, kukira ia tinggal pada keluarga yang bernama Flannery"
"Aku tak kenal," kata orang itu pendek, membiarkan Lal
melanjutkan percakapannya dengan Nancy.
"Sebutkanlah namamu dulu," kata Lal.
"Aku Nancy Drew, dan ini temanku, Ned Nickerson."
Ketika Nancy berbicara, Lal membuang pandangannya dari
Nancy sejenak ... ke Flannery barangkali.
"Nah, maukah anda mengatakan di mana Swami itu?" tanya
Nancy, berpura-pura tak melihat reaksi Lal atas dia.
"Dengan senang hati. Kalian akan mendapatkan sebuah pondok yang besar di pinggir hutan ini di dekat telaga," kata orang itu. "Ada sebuah jalanan tanah .... "
"Kami telah melihatnya," Ned menyela.
"Yah itulah jalannya ... hampir satu mil."
"Kalau begitu kita ke sana sekarang," kata Nancy kepada Ned, lalu menyambung dengan berbisik: "Jangan menengok, si Flannery itu mengawasi kita."
"Dan juga jangan melihat ke depan," kata Ned. "Sebab langit nampaknya akan segera terkuak lebar."
"Tak akan hujan!" kata Nancy. "Ayo, kita lari saja ke telaga."
Muda-mudi itu bergegas ke jalanan yang terbenam dalam
semak-semak dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar, hingga hampir tak nampak. Sekali-sekali mereka berhenti melihat ke bawah di antara pohon-pohon, untuk mencari bayangan rumah khalwat.
"Moga-moga ini jalan yang benar," kata Ned, ketika ia
merasakan tetesan-tetesan air di tengkuknya. " Sebab kalau tidak kita akan kebanjiran."
"Ah, Ned! Hanya hujan gerimis," Nancy mendesak, tetapi
seperti yang diramalkan pemuda itu, kurang dari semenit kemudian hujan mulai turun dengan lebatnya.
Daun-daun dan ranting-ranting berguguran dari pohon,
menggelapkan jalanan dan pandangan. Berapa jauh lagi mereka harus berjalan?
"Ayo kembali," seru Ned mengatasi deru hujan.
Nancy yang berada di depannya, segera menjawab, tetapi Ned tak mendengarnya. Ned tetap di belakang, siap untuk kembali ke penginapan dan berharap Nancy akan mengikutinya. Tetapi Nancy menerobos masuk semakin dalam di hutan, hanya sejenak melirik ke belakang.
Air hujan merembes masuk melalui pakaian Ned.
"Hendak ke mana engkau?" teriak Nancy.
"Kembali ke hotel!" kata Ned. "Ayo!"
Tetapi gadis detektif itu bertekat untuk tetap menuju ke telaga.
Apa bedanya kalau ia semakin basah? Ia telah basah kuyup sampai ke tubuhnya!
Dengan segan-segan Ned melangkah di belakangnya. Hujan
turun dengan lebatnya, dan akhirnya mereka sampai pada tempat terbuka yang sempit di tepi hutan.
"Itulah tentu tempatnya!" seru Nancy, ketika sebuah pondok nampak di depan.
Ia berlari. Terasa dingin di tulang-tulangnya, sementara Ned melihat sosok seorang wanita yang mengintip dari sebuah jendela kecil di pintu. Cahaya di dalam rumah itu tiba-tiba padam, dan wanita itu menurunkan gorden jendela tersebut.
9 Disekap Di Dalam Pondok Ketika Ned baru lari menaiki anak tangga, Nancy sudah
menyerbu ke pintu, memukul-mukul dengan tangannya.
"Halooo," ia berseru, tak menghiraukan gorden yang telah
diturunkan. " Kalau ini yang dimaksud sebagai tempat khalwat yang
terkenal itu," kata Ned, "kenapa tidak banyak kegiatan di sekeliling sini?"
"Barangkali semuanya sedang bermeditasi," kata Nancy.
Tetapi sementara ia berbicara, tombol pintu berputar, pintu terbuka dan nampaklah wanita itu.
"Aku tak mau menerima orang untuk tinggal di sini lagi," ia menukas.
Nancy mengatakan kepadanya, bahwa mereka sedang mencari
Ramaswami. "Siapa?" tanya wanita itu.
"Pak Swami," kata Ned. "Apakah anda kenal dia?"
"Tidak secara pribadi. Tetapi sekelompok orang berpindah dari tempatnya karena terlalu penuh, jadi mereka kemari."
"Kapan itu?" tanya Nancy.
"Malam Minggu yang lalu," jawab wanita itu. "Mereka tinggal di sini semalam, membayar, memang, tetapi mereka pergi dengan meninggalkan tempat ini dalam keadaan porak poranda ... piring-piring kotor di mana-mana."
"Di mana sebetulnya rumah khalwat Swami itu?" tanya Ned.
"Terus jalan saja di jalanan itu," jawab wanita itu, menunjuk ke tempat terbuka di dalam hutan di belakang pondok. "Engkau tak mungkin salah. Kalau kalian bertemu tuan Swami, katakan padanya, aku tak mau lagi menerima tamu!"
Ia menutup pintu keras-keras di depan Nancy dan Ned. Hujan telah berhenti, meninggalkan kubangan-kubangan di tanah yang lunak yang kini harus dilintasi oleh muda-mudi itu. Sinar matahari yang hangat mulai memancar, menerobos pakaian mereka yang basah, hingga terasa lebih enak sementara mereka berjalan di dalam hutan.
"Engkau ikut?" kata Nancy setengah menggoda kepada Ned.
"Engkau pikir bagaimana?" jawabnya.
"Eh, tadi kukira ...." Tetapi Nancy tak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.
Terdengar suara telapak kaki dan ranting-ranting yang patah, menyebabkan dia berhenti dalam sekejap.
Dalam sepersekian detik, sebelum dapat melihat apa yang
terjadi pada Ned, ada tangan-tangan yang menangkap pinggangnya.
Sehelai kain yang dibasahi dengan cairan manis seperti madu disumpalkan ke dalam mulutnya. Ia menyentakkan tubuhnya ke depan, menggeliat-geliat untuk melepaskan diri, tetapi bau yang tajam segera menguasai dirinya, dan Nancy jatuh terkulai tak berdaya.
************** Sementara itu, di lain tempat, Bess dan George telah selesai berbelanja, sedikit lebih cepat dari yang diperkirakan.
"Apakah sebaiknya kita mengunjungi Cliff?" usul Bess kepada sepupunya. "Aku yakin ia senang dikunjungi."
George setuju. Setelah mereka mengantarkan ibu mereka
pulang, mereka menuju ke rumah keluarga Drew. Tetapi ketika mereka membunyikan bel pintu, Hannah tak membukakannya.
"Aneh," kata George.
"Barangkali Hannah juga sedang berbelanja," kata Bess.
"Biar pun begitu, aku heran Cliff tak mendengar bel pintu," kata George. "Tentu saja, mungkin ia sedang tidur."
Ketika mereka baru melangkah kembali ke jalanan masuk,
mereka melihat Hannah datang dengan sebuah kereta belanjaan berisi bahan makanan.
"Sudah kukatakan." Bess tertawa cekikikan dan memanggil
pengurus rumahtangga itu. "Kami baru saja mampir untuk menjenguk Cliff."
"Ah, dan setelah itu, kalian lalu pulang, sebelum aku sempat menghidangkan kue," kata Hannah sambil menghentikan kereta belanjanya.
"Sebaliknya," jawab Bess. "Kami belum bertemu Cliff sama sekali. Kami menekan bel tetapi ia tak mau membuka pintu."
Pengurus rumahtangga itu nampak terkejut. "Ia tentu masih tidur." Kemudian semuanya masuk. Hannah menyimpan bungkusan-bungkusannya di dapur, lalu naik ke atas. Kamar Cliff ternyata kosong!
"Cliff?" ia memanggil.
Tak ada jawaban. "Maukah kalian mencarinya di bawah? Sementara aku mencari di atas sini?" kata Hannah kepada Bess dan George.
Mereka berlarian dari kamar ke kamar, menjenguk dari jendela-jendela, melihat kalau-kalau Cliff pergi ke luar. Mereka menjadi panik ketika sadar, bahwa penderita amnesia itu telah lenyap!
"Ini buruk, buruk sekali!" seru Hannah. "Aku pergi dari rumah tidak lebih dari satu jam. Yah, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Semua ini adalah salahku!"
Kedua gadis itu berusaha untuk menghibur Hannah. Mereka
berharap semoga Nancy cepat datang, dan mereka berpikir-pikir apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.
"Mari kita telepon polisi," kata Bess dengan gugup.
"Pikiran yang bagus," kata George. Ia lari ke pesawat telepon, di ruang tengah. Tetapi begitu ia memegang gagang telepon, ia meletakkannya kembali. "Kita tidak boleh terburu-buru menarik kesimpulan," katanya. "Bagaimana pun juga tak ada tanda-tanda kekerasan di mana pun, dan Hannah, engkau sudah mengunci semua pintu sebelum berangkat, bukan?"
"Ya, sudah tentu."
"Nah, kalau begitu, menurut pendapatku, Cliff memang
bermaksud jalan-jalan."
Tetapi bagaimana pun juga, hal itu tak masuk akal menurut Bess.
"Kusarankan, tunggu sebentar dulu sebelum menelepon polisi,"
sambung George. "Tetapi, bagaimana kalau ternyata engkau salah?" kata Bess dengan khawatir.
"Kalau aku salah, ya.aku salah."
"Itu logika paling sinting yang pernah kudengar," kata Bess, lalu lari ke telepon.
"Oke, silakan," kata George, menyingkir dari sepupunya.
"Tetapi engkau akan merasa sinting kalau Cliff melangkah masuk ke pintu."
Sementara itu Hannah tak begitu menghiraukan pertengkaran kedua saudara sepupu itu. Ia duduk terpaku di kursi, mendengar kata-kata Nancy berulang-ulang di benaknya.
"Tidak peduli apa pun juga," kata detektif muda itu kepada pengurus rumahtangga itu, "janganlah meninggalkan Cliff seorang diri sementara aku pergi."
Tetapi lemari es itu perlu diisi lagi. Hannah juga berbelanja dengan cepat-cepat, setelah tak berhasil meminta kepada toko untuk mengirimkan pesanannya.
"Polisi segera datang," kata Bess, membebaskan Hannah dari lamunannya.
"Syukurlah," ia menjawab tak jelas. "Harus ada orang yang dapat menemukan Cliff, sebelum Nancy pulang."
************** Pada saat yang sama gadis detektif itu tergeletak terikat di lantai yang lembab di pondok, di dekat tungku besi. Bau lapuk yang memenuhi udara menggantikan bau obat yang berbahaya, dan mata Nancy segera terbuka berkedip-kedip.
Ia segera merasakan rasa obat antiseptik yang manis di
mulutnya, dan kain itu telah disingkirkan. Ia mengangkat kepalanya, tetapi segera diletakkan kembali, ketika dirasakan kepalanya berdenyut-denyut.
"Di mana aku? Dan di mana Ned?" pikirnya dengan kepala
pusing. Langit-langit dari kayu itu meneteskan air, mengenai wajah Nancy. Nancy menggeser tubuhnya. Ketika ia bergerak, ia melihat sesuatu yang licin hitam merayap melintasi retakan pada ubin. Benda itu bergerak lambat, menuju ke arahnya. Seekor ular air!
Nancy tak berdaya sama sekali, ia hanya dapat berteriak
ketakutan. Tetapi suaranya tersekat di tenggorokannya. Ia beringsut menjauh dari makhluk tersebut.
"Iiih," ia berteriak, ketika ular itu mengangkat kepalanya, siap untuk melakukan penyerangan yang mematikan.
Pada saat itu juga, Nancy mengangkat kedua lututnya, sol
sepatunya terkait papan lantai yang lepas. Ia heran, papan itu terpental, dan retakan itu melebar. Ular itu melesat maju, dan jatuh ke dalam lubang gelap ke bawah.
Meskipun merasa lega, Nancy gemetar. Ia memandang melalui jendela yang ditimpa hujan. Udara gelap pada waktu itu. Meskipun seandainya ia dapat melepaskan tali di pergelangan tangan dan kakinya, ia masih berpikir-pikir apakah ia mampu melarikan diri.
Pondok tahanan itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tinggi.
Tanpa melihat matahari, ia tak tahu di mana dia atau bagaimana dapat menemukan jalan ke Swain Lake Lodge.
Pikiran lain yang lebih mengganggu dirinya ialah, apa yang terjadi dengan temannya, Ned Nickerson?
"Aku harus menemukan Ned! Harus!" pikir Nancy dengan
pasti. 10 Penyelamatan Ned Pada saat itu pula, Bess dan George sedang bercakap-cakap dengan seorang polisi muda di kamar tamu keluarga Drew. Meskipun polisi River Heights sudah memiliki berkas Cliff, petugas itu meminta tambahan informasi.
"Sementara Cliff tinggal di sini," tanya polisi itu, "apakah ia mengalami perobahan fisik?"
"Hampir tidak," sahut Hannah dari kursinya di sudut kamar. "Ia baru dua hari di sini."
"O, begitu," kata polisi itu sambil mendehem. "Nah, apakah ia pernah mengatakan sesuatu yang dapat memberi petunjuk ke mana ia pergi? Melihat keadaan di sini, dapat kukatakan ia pergi atas kemauan sendiri."
George melemparkan pandangan kepada sepupunya.
"Apakah anda mengira ia kembali ke rumahsakit untuk alasan tertentu?" tanya Bess.
"Untuk apa ia berbuat begitu?" George menggerutu.
Pada waktu George berbicara, polisi itu memeriksa suatu bercak pada karpet, yang telah dilewati oleh yang lain-lain, di dekat pintu masuk.
"Chloroform," katanya singkat.
Yang lain-lain tertegun. "Kalau begitu, Cliff memang diculik!"
seru Bess. " Tetapi pintu depan terkunci ketika kami datang tadi," George menjelaskan.
"Barangkali Cliff mengenali tamunya, lalu membukakan pintu,"
sambung Hannah. "Atau barangkali" kata polisi itu, lalu menuju ke pintu
belakang. Yang lain-lain menyusul. "Nah, seperti yang kuduga," kata petugas itu. Ia menunjuk ke sebuah lubang di pintu dapur.
Kedua sepupu itu melangkah keluar, matanya meneliti tanah mencari jejak-jejak kaki.
"Itu! Lihat itu!" seru George ketika melihat jejak-jejak kaki nampak di jalanan masuk. Jejak-jejak itu melintas rumputan yang lembab menuju ke belakang rumah.
"Orangnya tentu jangkung sekali," seru Bess, melihat jarak jejak itu panjang serta telapak kaki yang besar-besar.
************** Sementara menghilangnya Cliff belum terpecahkan, Nancy pun sedang mencari jalan untuk membebaskan diri. Ia memutar-mutar tangannya, hingga tali itu melukai pergelangannya. Tetapi ia menguatkan diri menahan sakit, mencari sesuatu untuk digunakan memutuskan tali.
"Itu dia!" ia terengah-engah, melihat sebatang paku besar mencuat dari dasar dinding. Tidak terlalu bagus, tetapi mungkin dapat digunakan.
Nancy menggeser mendekat, mengaitkan tali ikatan itu pada kepala paku. Ia menggesek-gesekkan talinya, berharap dapat memutuskan serat-serat tali yang kuat, tetapi tali itu tetap bertahan.
"Aku tak mungkin dapat keluar dari sini!" Nancy mengeluh.
Kedua tangannya sakit, ia lalu bersandar pada dinding. Ia bermaksud untuk beristirahat sejenak, tetapi ia tertidur. Ketika ia bangun, dua ekor burung berkicau di atas atap jendela dan langit mulai menjadi terang.
Fajar telah tiba, dan Nancy kehilangan waktu yang berharga untuk mencari Ned. Meskipun waktu beberapa jam istirahat itu telah memberinya kekuatan baru, namun tubuhnya terasa kaku. Ia semakin kuat mengharap kebebasan.
Sekali lagi ia menggesek-gesekkan tali ikatannya. Ia
menghentikan gerakannya ketika mendengar suara langkah kaki di luar pondok.
"Siapa itu?" pikirnya khawatir, ketika pintu berderik terbuka dan sepasang sepatu berlumpur serta celana jean nampak di ambang.
"Ned!" ia berseru gembira.
"Nancy, engkau tak apa-apa?" Ned bertanya dengan perasaan cemas.
Sementara Nancy mengajukan serentetan pertanyaan, Ned
memotong tali ikatan pada pergelangan kaki Nancy dengan sebilah pisau saku. Tali yang mengikat pergelangan tangan Nancy sulit diputuskannya. Tetapi setelah beberapa menit kerja keras, akhirnya terlepas juga.
" Pergelangan tanganmu ...." Ned menggumam, ketika melihat luka-luka merah.
"Aku tak apa-apa," kata Nancy, meskipun ia merasa nyeri.
"Sungguh, Ned," tegasnya.
Tetapi pemuda itu berpikir sebaliknya.
"Jangan pikirkan aku. Ceritakan saja apa yang terjadi," kata gadis itu. Ia berdiri lambat-lambat, dibantu oleh Ned.
"Mereka melemparkan aku ke dalam sebuah pondok lain, beberapa meter dari sini," katanya. "Kepalaku masih berdenyut karena chloroform."


Nancy Drew Misteri Cincin Ramaswami Karya Carolyn Keene di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka tentu telah memberi engkau dosis yang besar," kata Nancy. "Aku tak melihat siapa mereka. Engkau?"
"Tidak. Dan sejauh yang kuketahui, mereka tak pernah
menjenguk aku lagi."
Nancy diam sejenak, sementara mereka melangkah keluar, ke tempat yang disinari matahari. "Aku benar-benar tak mengerti ...
mengapa justru kita?"
"Barangkali ada orang yang tak ingin kita menemukan tempat khalwat itu," Ned menduga. Pikiran itu pun tersirat di benak Nancy.
"Tetapi mengapa?" tanya Nancy mengulang. "Rumah khalwat adalah tempat keheningan dan meditasi, bukan untuk mencari perselisihan."
Nancy menggandeng tangan Ned, menyandarkan dirinya pada
tubuh Ned hingga rasa kaku di kakinya lenyap. Meskipun ia ingin sekali melanjutkan pencarian tempat khalwat Swami itu, namun ia sadar bahwa ia harus segera pulang. Keluarga di rumah tentu bingung karena dia belum pulang sejak kemarin.
"Berapa jauh kira-kira sampai ke tempat penginapan?" tanya gadis itu kepada Ned.
"Aku tak tahu. Tetapi dugaanku, paling tidak satu mil."
Ingatan akan perjalanan jauh melalui hutan yang lebat,
membuat Nancy mengeluh. Tetapi setelah cahaya matahari menyinari tubuhnya kembali, ia tersenyum.
"Setidak-tidaknya kita tak usah berenang di dalam banjir,"
katanya. Ia membiarkan Ned berjalan di depan ketika jalan setapak itu semakin sempit.
Ketika mereka tiba di penginapan, mereka baru menyadari
bahwa mereka telah melewati jalanan yang lain. Tetapi di mana letaknya jalanan yang kemarin mereka tetap tak tahu.
"Aku berpikir-pikir, apakah ada jalan yang menuju ke rumah khalwat," kata gadis detektif itu sambil berjalan ke mobil. "Barangkali aku perlu bertanya kepada pak Lal." Tanpa memberi kesempatan kepada Ned untuk berkata, ia lari ke rumah penginapan.
Tetapi yang bertugas sekarang adalah orang lain. Ketika ia menanyakan di mana orang India itu, ia diberitahu bahwa orang itu sedang pergi dan baru kembali beberapa hari kemudian.
Nancy kembali ke mobil, memberitahukan apa yang
diketahuinya. "Jangan resah," kata Ned. "Kita akan menemukannya nanti."
"Kuharap saja begitu," jawab Nancy. Ia terdiam, tak berkata apa pun lagi sampai masuk ke rumahnya. Kemudian, sebelum pak Drew atau Hannah sempat membuka suara, muda-mudi itu menumpahkan segala peristiwa mereka secara terperinci.
"Omong-omong di mana Cliff?" Nancy bertanya setelah selesai bercerita.
"Ah, Nancy," jangan salahkan aku," Hannah memohon, hingga wajah Nancy berkerut karena khawatir.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dia?" ia bertanya.
"Kami tak tahu," jawab ayahnya.
"Ia telah diculik!" kata Hannah tak tertahan lagi. "Ada orang yang masuk ketika aku sedang berbelanja bahan makanan, dan orang itu membawa dia pergi!"
Ia menatap wajah gadis itu. "Bess dan George juga ada di sini.
Ketika kami ketahui bahwa Cliff tidak ada, kami lalu menelepon polisi."
Ketika kenyataan itu telah mengendap di benaknya, Nancy
duduk di samping ayahnya. "Peristiwa yang buruk," katanya.
"Seharusnya aku tidak meninggalkan rumah ini."
"Tak ada apa-apa lainnya yang hilang," Hannah membela diri.
"Hanya Cliff," Nancy menggumam lesu.
Pengurus rumahtangga itu menggigit bibirnya sementara air mata membasahi kedua matanya. "Maafkan aku," katanya dan pergi meninggalkan ruangan.
"Kukira aku pun harus pergi," kata Ned. "Aku akan menelepon nanti, Nancy."
Gadis detektif itu menatap wajah ayahnya untuk mendapatkan saran. "Aku tak tahu apa yang harus kusarankan, sayang," kata ayahnya. "Aku yakin, polisi akan menemukan Cliff."
"Tetapi ia ada di dalam tanggungjawab kita, ayah," jawab
Nancy. Ia menelepon Bess dan George, minta bertemu untuk makan
siang di sebuah rumahmakan di kota. Setelah itu Nancy berkeputusan untuk berbicara dengan para tetangga.
Ia merasa lega, anak tetangga ada yang melihat sebuah mobil yang ngebut keluar dari halaman rumah keluarga Drew.
"Mobil pendingin," kata anak itu. "Dengan garis-garis segala."
"Engkau melihat nomor polisinya?" tanya Nancy bergairah.
"Aku melihat semuanya," kata anak itu. "197-MAP."
Sekarang jantung Nancy berdegup keras, menduga-duga apakah mobil itu pula yang dilihatnya di Rumahsakit Rosemont? Dan juga yang mencelakai Tommy Johnson?
Ia lari kembali ke rumah dan menelepon kantor polisi,
memberitahukan informasi tersebut. Segera informasi itu dimasukkan ke komputer.
Hanya dalam beberapa menit gadis itu telah mendapatkan
jawaban. "Kami telah melacak pemilik kendaraan itu," kata polisi jaga.
"Namanya Dev Singh. Ia tinggal dekat sungai."
Dengan cepat Nancy menulis alamat itu, ingin segera
memberitahukan penemuan itu kepada teman-temannya.
Yang paling menggelitik ialah nama orang itu. Apakah ia dari India? Kalau begitu, apakah dia yang menemani orang berjanggut di toko pak Jhaveri dulu?
11 Pembatalan Sementara Nancy memandangi nama yang ditulisnya itu, ia
juga melihat sebuah lembaran berwarna kuning cerah yang terletak di meja. Isinya pemberitahuan dari The River Heights Music Festival dan segera dibukanya. ebukulawas.blogspot.com
"Dibatalkan?" katanya heran, ketika pandangannya tertuju pada tanda cap besar yang menyebutkan nama beberapa kelompok artis, termasuk Jansen Theater Troupe yang seharusnya bermain sore nanti.
"Aku ingin tahu apakah ayah tahu tentang hal ini," pikir Nancy.
Tetapi pak Carson Drew telah berangkat untuk suatu urusan, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban hanyalah pergi sendiri ke The River Heights Theater. Sambil melirik ke arlojinya, ia mengantongi kertas kuning itu dan lari ke mobilnya.
Ketika ia tiba, ia tak heran melihat paling tidak tigapuluh pemegang karcis mengerumuni loket penjualan karcis. Banyak di antaranya yang melambai-lambaikan pengumuman pembatalan
tersebut sambil berteriak marah.
"Maaf," kata Nancy berulang-ulang sambil menerobos orangorang yang kini membentuk deretan panjang.
"He, nak," kata seseorang kepadanya, ketika ia mendesak di depannya. "Kaupikir mau kemana? Aku yang pertama di sini."
"Aku hanya ingin tahu di mana manajernya," jawab Nancy.
"Begitulah juga kami," kata orang tersebut sementara seseorang yang jangkung muncul.
"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, aku Hillyer, manajer," katanya.
"Aku hanya ingin anda semua tahu, bahwa semua pertunjukan tidak ada yang dibatalkan. Pengumuman itu adalah suatu kesalahan .... "
"Itu sudah jelas!" sela seorang Nyonya yang jengkel dengan keras, hingga orang-orang di sekitarnya ikut mengomel.
"Maaf ... sabar. Berilah kesempatan pada saya untuk
menjelaskan," kata manajer itu. Ia mengacungkan tangannya agar orang-orang itu diam. "Karcis-karcis anda tetap berlaku untuk setiap pertunjukan. Tak ada satu pun yang dibatalkan. Percayalah."
Nancy berkesimpulan: "Tentu ada orang yang mendapatkan daftar pesanan karcis, lalu mengirimkan pengumuman itu untuk mengacau!"
Ia menunggu hingga kerumunan orang-orang itu bubar, lalu
mendekati manajer. "Aku anak Carson Drew," katanya dengan cerah. Ia melihat
wajah manajer yang semula cerah menjadi gelap.
Apakah maksud-maksud jahat dari beberapa warga kota
terhadap pengacara itu sudah merembes ke dalam pimpinan festival?
"Apa yang dapat kulakukan untukmu?" jawab manajer itu
dengan dingin. "Ya, saya ingin tahu apakah anda mempunyai dugaan, siapa
orangnya yang mengirimkan selebaran pembatalan itu."
"Mengapa tak kautanyakan pada ayahmu?" orang itu menukas.
Sebelum Nancy sempat membela ayahnya, orang itu minta diri.
Lebih dari yang sudah-sudah, sekarang Nancy semakin bertekad untuk membela nama baik ayahnya.
Sepanjang perjalanan ke rumahmakan di mana ia berjanji untuk bertemu dengan Bess dan George, Nancy membuat rencana untuk tindakan berikutnya. Ketika mereka duduk pada meja yang kosong, nampak mata Bess bersinar cerah.
"Engkau rupanya gembira sekali hari ini," kata Nancy.
Bess menggeleng-geleng penuh gairah, sementara George
tersenyum cerah. Apakah kedua sepupu itu menemukan sesuatu yang penting? Nancy ingin sekali tahu.
"Jangan membuat aku tegang," katanya. "Apakah kalian sudah menemukan Cliff? Atau tahu di mana .... "
"Bukan. Tidak sehebat itu," George menggumam.
"Tetapi kukira kami telah menemukan cara yang cerdik untuk menemukan cincinnya," sambung Bess. "Karena cincin itu bukan benda biasa"
"Dan sangat berharga," sela George.
"Jadi apa yang harus kita lakukan hanyalah tinggal memasang iklan di koran," sambung sepupunya.
"Tetapi, bila yang membawa lari cincin itu memang pencuri, untuk apa ia menjualnya lagi? Aku yakin, ia tak akan setolol itu."
"Benar. Tetapi aku yakin bahwa ia tentu serakah," jawab Bess.
"Kalau hadiahnya cukup merangsang, ia mungkin akan masuk
perangkap." Nancy dapat menyetujui sedikit, tetapi jauh dari merasa pasti. Ia lalu mengalihkan pembicaraan. Ia memberitahukan segala apa yang terjadi sebegitu jauh, dan diakhiri dengan informasi tentang Dev Singh.
"Apakah sekarang kalian punya waktu untuk menyelidiki
alamat itu?" tanya Nancy kepada kedua temannya.
"Tentu," jawab George. "Ayo kita berangkat!"
Ketiga sekawan itu makan pesanannya dengan cepat, lalu
menuju ke mobil Nancy. Suatu gagasan lain membersit ke benak Bess.
"Toko pak Jhaveri tidak jauh dari sini," katanya. "Aku ingin tahu, berapa nilai cincin Cliff menurut taksirannya."
Mereka mengubah arah, lalu berjalan kaki beberapa blok. Di dalam toko itu hanya ada empat orang langganan. Ketika langganan-langganan itu tinggal seorang Nyonya yang sedang mengagumi isi lemari di sudut, Nancy dan teman-temannya mulai berbicara dengan pemilik toko.
"Berapa taksiran anda harga cincin yang telah kami tunjukkan itu?" tanya Nancy.
"Wah, itu sulit dikatakan. Emasnya sendiri saja sudah cukup bagus harganya."
" Dapatkah anda menyebutkan harga yang lebih pasti?" Bess mendesak.
"Dengan menaksir begitu saja aku tidak dapat. Tetapi kalau kalian memberi waktu sedikit, mungkin aku dapat memberikan jawaban."
Sementara ia berbicara, Nancy seperti melihat seseorang di dalam kantor di belakang pemilik toko. Tetapi kemudian ia sadar, bahwa ia hanya melihat foto yang tak berbingkai, yang terpantul pada cermin di dinding. Pada kunjungan yang terdahulu, ia kurang memperhatikannya. Tetapi sekarang ia merasa tertarik. Gambar itu mencerminkan wajah yang mirip sekali dengan Keshav Lal!
"Ada sesuatu yang tak beres?" bisik George kepadanya.
"T ... tidak," jawab Nancy sambil mengedip-ngedipkan mata ke arah lain. Kemudian, secara naluri ia bertanya kepada pak Jhaveri, apakah ia kenal dengan Lal.
"Ia kemenakanku," jawabnya dengan nada heran. "Engkau
mengenal dia?" "Aku bertemu dia di penginapan Swain Lake," jawab Nancy. Ia merangkaikan pikiran-pikirannya dengan perlahan-lahan. "Terbetik di pikiranku, bahwa mungkin anda dapat memberikan penjelasan tentang rumah khalwat Swami."
Pak Jhaveri menggeleng tegas. "Aku belum pernah ke sana."
"Tetapi anda tahu?" kata Nancy.
"Ya, sudah tentu. Banyak orang India yang tahu, tetapi aku sendiri bukan pengikut Ramaswami."
Nancy sangat tergelitik untuk menanyakan, apakah ia mengenal seseorang dengan nama Dev Singh. Tetapi ia memutuskan jangan bertanya dulu, sebelum ia dapat menyelidikinya lebih lanjut. Ia lalu melanjutkan pertanyaannya.
"Pak Lal menunjukkan sebuah jalanan tanah," kata Nancy.
"Tetapi aku yakin, tentu ada jalan lain yang lebih mudah."
Orang itu hanya mengangkat bahu, dan ketika Nyonya
langganan itu mendekat, ia mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dari ketiga gadis itu.
Ketiga gadis tersebut keluar, heran atas penemuan mereka yang terakhir itu.
"Ia rupanya begitu gugup ketika engkau menyebut nama Lal,"
kata George. "Aku tahu. Tapi mengapa?"
Tak ada jawaban yang dapat melintas di ingatan mereka, dan mereka lalu bermobil menuju ke alamat yang menurut polisi, adalah alamat Dev Singh. Tetapi ketika ketiga detektif muda itu tiba di sana, mereka tertegun. Sebab yang terdapat di tempat itu bukanlah sebuah rumah atau gedung apartemen, melainkan sebuah tempat yang disebut the Hamburger Haven!
"Sayang sekali, kita sudah makan!" kata George, ketika mobil mereka memasuki halamannya.
"Dan sayang sekali, kita sampai di jalan buntu," Bess
mengeluh. Nancy pun, dalam batin merasa terpukul. Tetapi ia
melemparkan senyum optimis kepada kedua temannya. "Aku
mendapat firasat, ada jawaban atas misteri ini di balik sudut bangunan itu!" ia berseru.
12 Jalan Pelarian "Apa yang membuat engkau begitu optimis?" tanya Bess,
ketika Nancy memundurkan mobilnya keluar dari halaman.
"Karena aku sadar bahwa kita mengambil jalan yang salah." Ia tertawa. "Tempat Singh ada di River Lane, bukan di River Drive."
Ia menunjuk ke sebuah papan nama hijau, seperempat mil di depan. Di sana ada jalan masuk yang menuju ke River Lane.
Perjalanan di sepanjang tepian sungai itu sungguh
menyegarkan, ketika mereka menurunkan kaca jendela mobil. Angin yamg masuk menghanyutkan bau segar dari rumputan dan bunga-bunga liar.
"Apakah tidak nyaman berpiknik di sini?" kata George.
"Ha? Aku tak percaya engkau bisa berkata begitu, George
Fayne," sepupunya menggoda. "Engkau, yang tak pernah memikirkan makanan!"
"Itu usul yang bagus," Nancy melerai. Ia percaya bahwa mereka telah siap untuk merayakannya bila misteri-misteri yang terakhir telah terbongkar.
Masalahnya ialah: Apakah mungkin mereka melakukannya?
Mobil membelok dari jalan, memasuki suatu jalan lain hingga sampai di River Lane. Jalanan ini meliuk-liuk ke pinggiran kota. Tak nampak rumah-rumah yang tersembunyi di balik pagar tanaman dan pohon-pohon populir. Kemudian, tak mereka duga, tiba-tiba jalanan itu menjadi buntu.
Pendekar Muka Buruk 14 Goosebumps - 2000 12 Sari Otak Warisan Masa Silam 8

Cari Blog Ini