Ceritasilat Novel Online

Triangle 2

Triangle Karya Jaisii Quwatul Bagian 2


"Lo denger?" "Iya, pas aku bangun, gak sengaja aku denger suara-suara perempuan di luar.
Dan ternyata itu adalah percakapan kamu sama Senna."
"Tapi lo nggak salah apa-apa kok. Jangan dianggap serius." Nevan tidak mau
Neina merasa bersalah, jelas-jelas ini salahnya sendiri karena telah menyuruh
Neina masuk ke area lapangan.
"Aku duluan ke kelas," ujar Neina sambil melangkah pelan. Ia cukup tak enak
hati kepada Senna. Apalagi saat mendengar kalau Senna sangat membencinya
tanpa alasan. Meskipun dia sama sekali belum mengenal Senna, tapi Neina tahu
tentang sifatnya yang selalu marah dan tidak ketika Nevan berada di dekatnya.
Neina bisa kebencian wajar Senna, karena setiap perempuan memang akan
seperti itu ketika takut kalau orang yang disayangnya berpaling kepada orang
lain. Namun Neina sama sekali tidak bermaksud untuk mendekati Nevan, sama sekali
tidak. Dia hanya ingin berteman, itu saja.
Bukannya kembali ke kelas, Senna malah berdiam diri di pinggiran lapangan
sambil menggerutu. Sekarang lapangan itu sedang sepi, Senna memilih untuk
menyendiri sambil memeluk kedua lututnya. Kadang gadis itu melontarkan katakata kasar, menjenggut rambutnya kesal, apalagi ketika mengingat kejadian saat
bersama Nevan beberapa menit ke belakang.
"Putus? Gue putus sama Nevan? Nggak nggak nggak!!" Senna menggelenggelengkan kepalanya amit-amit. "Itu gak boleh terjadi dan gak akan pernah
terjadi!" Bu Wina baru saja keluar dari kelas karena pelajaran telah usai, sekalian untuk
mencari Senna yang tak kunjung kembali. Masih banyak buku di kelas yang
harus dia bawa ke perpustakaan. Tapi tungkainya terhenti ketika melihat
pemandangan tak senonoh di depannya.
"Loh loh loh?" Bu Wina terkejut ketika mendapati seorang murid perempuan --Neina yang sedang memungut buku-buku paket ekonomi yang berserakan di atas
lantai. "Kok bukunya berantakan di sini? Ulah siapa ini?"
Kini buku itu sudah berhasil Neina bawa, dia lantas berdiri untuk menjawab
pertanyaan guru yang bertanya kepadanya. "Tadi saya nggak sengaja liat bukubuku ini ada di bawah, bu. Ya udah saya beresin, nanti kalau bukunya kotor
gimana? Kan sayang."
Bu Wina langsung teringat kepada Senna. Bukankah tadi ia disuruh untuk
membawa buku-buku ini ke perpustakaan? Dan mengapa dia malah
menjatuhkan buku-buku itu di sembarang tempat? Kemana tanggung jawabnya?
Senna benar-benar keterlaluan! Neina memandang Bu Wina penuh tanya, karena
sekarang eskpresinya sudah sangat menyeramkan, matanya berkilat-kilat, warna
wajahnya menjadi merah padam. Romannya seperti orang yang sedang menahan
amarah. "Anak itu emang harus dikasih pelajaran!" geramnya penuh penekanan. Neina
mengedip-ngedipkan mata mendengar suara Bu Wina yang penuh akan
kemurkaan. "Siapa, bu?"
"Bawa buku-buku itu ke perpustakaan! Cepat!" titahnya kepada Neina.
"Si siap, bu!" Neina bergegas pergi ke perpustakaan sesuai perintah Bu Wina,
kalau dia berpikir dulu, yang ada guru itu akan membuyarkan emosinya. Dia
berbalik dan melangkah cepat, tanpa ingin bertanya apa-apa lagi. Sejujurnya
Neina takut sekali ketika melihat guru yang sedang garang, dan tadi yang hanya
bisa dia lakukan hanya tahan tahan dan tahan. Neina harus terbiasa akan ini
semua. Berani menghadapi guru.
Sementara Bu Wina mulai mencari letak keberadaan Senna dengan menstabilkan
amarahnya. Kalau murid itu anaknya sendiri, sudah dia lempar ke sumur. Anak
macam apa dia? Ia putarkan pengelihatannya ke segala arah. Dan tanpa sengaja
matanya terhenti pada satu titik, pada perempuan yang sedang duduk sambil
marah-marah dan kelusuh-kelasah di pinggir lapangan. Senna! Iya! Dia Senna!
Murid yang sedang dicarinya.
Di perjalanan Neina bertemu lagi dengan Nevan beserta kawan-kawannya yang
sedang bergegas menuju kelas. "Eh salah satu dari kalian anter aku ke perpus,
yuk. Soalnya aku gak tau letaknya di mana."
"Kok elo tiba-tiba bawa buku segitu banyaknya, sih?" tanya Nevan aneh. Tadi
baru saja Neina pergi ke kelas, dan sekarang kembali dengan tumpukan buku di
tangannya. "Iya tadi aku gak sengaja nemuin ini di koridor sana deket lapangan. Ya udah
aku bawa dan saat itu juga ada salah satu guru yang ngehampirin aku, terus
nyuruh aku buat bawa ini ke perpus," jelas Neina.
"Ya elah. Kalau aja gue yang nemuin tu buku, gak akan mau gue beresin.
Malesin banget!" kata Ari memberikan komentarnya.
"Kita duluan ya, Van! Mau ke kantin, laper. Lo aja yang anter Neina, pan lo yang
paling deket sama dia," Ari melanjutkan lagi seraya mengajak Wildan dan Satya
untuk cabut. Cacing di perutnya sudah berteriak meneriaki Bi Titi di kantin,
apalagi baksonya yang lezat.
"Ya udah sini gue yang bawain aja." Nevan tidak tega kalau melihat ada cewek
yang kerepotan. Masa yang cowok cuma nganggur?
"Iih gak usah," tolak Neina tak mau. Ia tak ingin membuat Nevan keberatan lagi.
"Udah gue bawain aja," Nevan tetap memaksa. Tanda mendapat perizinan pun
dia sudah mengambil alih buku-buku itu. Neina tidak bisa berbuat apa-apa. Ari,
Wildan dan Satya malah pergi membiarkan Nevan dan Neina. Sudah tidak tahan
lagi untuk mengisi perut.
"Makasih ya kamu udah banyak bantu aku." Neina berucap malu. Karena dari
hari pertama dia masuk ke sekolah ini, Nevan sudah mau membantu segalanya.
"Oh ya, tadi juga aku lupa bilang makasih. Makasih karna udah bawa aku ke
UKS, dan maaf gara-gara itu kamu sama pacar kamu jadi berantem."
"Berantem dalam pacaran itu wajar. Jadi gak usah ngerasa bersalah gitu, deh.
Kan tadi gue udah bilang."
"Tapi tadi kayaknya pacar kamu marah gitu," Neina memiringkan wajahnya,
agar bisa melihat dan mendengar Nevan dengan jelas. Mau bagaimana pun
Nevan menjelaskan kalau dia tidak kenapa-napa, tetap saja Neina tidak bisa
tenang. "Senna emang gitu orangnya. Jadi jangan dimasukin ke hati." Neina
menegapkan kembali kepalanya, berjalan lurus dengan pandangan lurus juga.
Mencoba mempercayai ucapan Nevan walaupun sangat kontra dengan
perasaannya. Sebentar lagi mereka akan sampai di perpustakaan.
"Senna! Kamu ibu suruh buat bawa buku paket ke perpus tapi kamu malah
santai-santai di sini!" sentak Bu Wina, ubun-ubunnya mendidih. Bukan karena
apa-apa, tapi buku itu sangat penting salah satu muridnya malah memperlakukan
barang itu dengan seenaknya.
"Addduh!" Senna mengutuki diri sambil menepuk jidatnya. Dia lupa akan hal
itu. Mampus sudah! "Gara-gara kamu, buku-buku saya hampir hilang dan rusak! Kamu itu gimana,
sih? Dikasih amanah malah gak bertanggung jawab kayak gitu?" cecarnya tak
habis pikir. "Ya maaf, bu. Tadi saya bener-bener gak sengaja."
"Gak sengaja?" "Iya. Soalnya tadi saya liat Nevan gendong perempuan lain. Saya kan jadi marah
dan langsung nyusul mereka. Masa saya harus bawa lari sambil buku sebanyak
itu? Ribet, kan?" "Apa kamu bilang? Jadi itu alasannya kenapa kamu buang buang buku-buku
yang kamu bawa? Alasan yang sama sekali gak berbobot! Nevan siapa? Pacar
kamu?" "Yah ibu! Wajar kalau saya gitu, saya gak mau pacar saya selingkuh." Bu Wina
berdecak lidah. Ada-ada saja pernyataan murid yang satu ini.
"Ibu gak mau tau dan gak akan pernah mau tau. Sekarang kamu berdiri di bawah
tiang bendera selama dua jam pelajaran!" Tangannya ditunjukan ke arah tiang
bendera yang sedang berdiri tegap, tiang panjangnya menjulang ke atas langit.
Di ujungnya ada bendera merah putih yang kebetulan sedang layu karena angin
tak kunjung mengkibarkan dan menghidupkannya lagi.
Dengan spontan Senna menganga lebar kala telinganya mendengar Bu Wina
yang kembali memberinya hukuman lebih berat lagi. Berdiri di bawah tiang
bendera dalam suasana terik matahari yang panas seperti ini? Apa telinganya
tidak salah dengar? Kalau dia melakukan itu, yang ada kulitnya akan gosong dan
itu akan sangat memalukan dan menjatuhkan harga dirinya. Seorang Senna harus
berjemur di lapangan? Wawww!! Ini benar-benar hari yang sial!
"Kali ini kamu gak boleh nolak. Karna perbuatan kamu udah kelewatan batas,"
lanjut Bu Wina menunjuk-nunjuk wajah Senna.
"Kok hukumannya berat banget sih, bu? Saya lemes, belum makan. Nanti kalau
saya pingsan gimana? Nanti kalau kulit saya gosong gimana? Ibu mau tanggung
jawab? Ibu tega? Ini anak orang loh, bu," tukas Senna sebagai penolakan.
"Ibu gak mau tau. Pokoknya kamu harus mau terima hukuman ini. Ibu yakin
kamu perempuan yang kuat."
"Kuat dari mana?"
"Mau ibu tambahin lagi hukumannya kalau kamu terus nyahut? Mau kamu ibu
suruh bersihin seluruh kamar mandi sekolah?"
"Haaaaahhh?" Pilihan Bu Wina sama sekali tidak meringankan hukumannya,
dan itu malah bertambah parah. Harus membersihkan toilet yang bau dan banyak
kecoaknya itu? Huekksss, rasanya Senna ingin muntah. Ini memang sekolah elit,
tapi tetap saja kamar mandinya selalu bau setiap saat seperti sekolah biasa.
"Ya udah sana! Berdiri di bawah tiang bendera, jangan lupa sambil hormat.
Lagian cuaca gak terlalu panas. Kamu ini, lebay banget!"
"Ibuuuuuuu," rengek Senna ngeri. Wajahnya mengkerut penuh permohonan.
Mencoba memasang ekpsresi penuh belas kasihan sedemikian rupa.
"Cepetan!" "Ibu tega sama saya!"
"Ini supaya kamu gak bisa bersikap seenak-enaknya lagi," tutup Bu Wina lugas.
Dia pun berbalik meninggalkan Senna di lapangan. Gadis itu memanyunkan
bibirnya dan mendengus selama beberapa kali.
Senna pun berjalan menuju tiang bendera, berdiri di sana sesuai perintah Bu
Wina. Untung cuaca telah mau berbaik hati kepadanya, mau menurunkan suhu
udara yang panas. Ya walaupun, hanya sedikit. Tentu saja Senna menjadi bahan
tontonan dan tertawaan murid lain. "Haduuuh masa sih personilnya girlband
Korea harus panas-panasan di sini, sih!" dumel Senna mengipas-ngipaskan
tangannya. Tanpa peduli orang-orang yang sedang mengolok-oloknya. Mereka
memang senang sekali melihat Senna susah.
Nova dan Sasta yang baru mengetahui hal ini tercengang, melihat Senna di
tengah lapangan. Seperti melihat bayi yang sudah jago memainkan sepatu roda,
tidak masuk akal. "Aduuh si Senna buat gara-gara apa lagi? Kok sampai
dihukum gitu?" kata Nova bingung setengah mati. Meskipun Senna kadang
menyebalkan, tapi bagaimana pun dia masih temannya.
"Iya. Padahal kan tadi Senna udah dihukum," sambung Sasta yang sama-sama
bingung. Bel masuk istirahat berbunyi, dan para murid mulai memasuki kelas masingmasin. Suasana di luar pun mendadak sepi. Mau tak mau Sasta dan Nova pun
harus masuk, meninggalkan Senna bersama hukumannya.
Nevan berlari di koridor sambil terus mengarahkan pengelihatannya ke
lapangan. Berharap cepat menemukan Senna. Baru saja dia mendapatkan kabar
kalau Senna dihukum di lapangan bendera. Memang apa kesalahan yang
dilakukan perempuan itu sampai harus dihukum? Akhirnya Nevan telah
memasuki lapangan, mendapati Senna yang sedang hormat di bawah tiang
bendera dengan wajah ditekuk.
"Ngapain ke sini?" tanya Senna acuu tak acuh. Ia sama sekali tidak tertarik
dengan kedatangan Nevan. "Kok kamu bisa dihukum, sih?" tanya Nevan tanpa menjawab pertanyaan Senna
yang rasanya tidak perlu dijawab. Ada yang lebih penting dari itu.
"Ini semua tu gara-gara kamu!"
"Kok gara-gara aku?"
"Pikir sendiri!"
Nevan lebih mendekati Senna lagi, meminta jawaban yang lebih jelas lagi. Ia
sendiri sebenarnya tidak ingin melihat Senna kepanasan sendiri. Nevan kan tahu
betul Senna benci kalau tubuhnya terkena sinar matahari.
"Ngapain deket-deket?"
"Mau deketin kamu, lah. Emang ngapain lagi?" Nevan memandangi wajah
Senna yang tidak berbentuk. "Senyum dong, nanti cantiknya ilang."
"Buat apa? Udah sana pergi."
"Kamu haus, gak? Aku beliin minuman yaaa," goda Nevan dengan suara
gemasnya. Ini adalah siasat agar Senna berhenti ngambek dan cemberut. "Enak
ya kalau siang-siang gini minum air putih yang dingin."
"Emang kamu mau beliin? Kirain cuma khawatir sama Neina doang," balas
Senna so tidak peduli, bahkan ia sama sekali tidak mau menatap Nevan. Padahal
sekarang tenggorokannya benar-benar membutuhkan asupan air. Tapi ia juga
masih menyimpan amarahnya kepada Nevan.
"Bentar aku beliin dulu." Tanpa mengatakan apa-apa lagi Nevan lekas berlari
untuk membelikan air putih untuk Senna. Senna menjangkau kepergian Nevan
sambil tersenyum-senyum jaim. Semoga saja dia memang akan membelikannya
air, bukan cuma untuk becanda semata.
Layaknya kecepatan roket, beberapa menit kemudian Nevan sudah kembali
dengan sebotol air putih dan sebungkus roti keju.
"Nih minum," Nevan membukakan botol minuman itu lalu diberikannya kepada
Senna. Senna mulai mengambil dan meneguknya tanpa menunggu lagi, dia
sangat-sangat haus. Nevan tidak peduli kalau ada guru yang lewat, palingan juga
dia bakal ikut-ikutan dihukum.
"Kamu kok gak masuk ke kelas?" tanya Senna begitu selesai meminum air
putihnya. "Kan istirahatnya udah selesai?"
"Aku mau nemenin kamu di sini. Kan kasian kalau sendiri," jawab Nevan
dengan gaya lucunya. "Kalau ditemenin sama yang lain aku gak terima. Masa
cewek secantik kamu harus berdiri sendiri di sini? Sebagai pacar aku harus
lindungin kamh." "Aaaa so sweeeet," Senna tak kalah gemas. Secara otomatis mereka melupakan
pertengkaran kecil yang sempat terjadi.
Bu Wina memandang kedua murid yang berada di lapangan itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala, berkacak pinggang pula. Dia lantas memasuki
area lapangan lagi untuk memastikan apa yang sebenarnya tengah mereka
lakukan. "Hey!" panggil Bu Wina, refleks Nevan mengalihkan pandangannya pada asal
suara, menghentikan aktifitasnya yang sedang merapikan dan memainkan
rambut Senna. "Ibu kenal saya?" tanya Nevan polos. "Dia guru kamu?" tanyanya lagi, namun
sekarang kepada Senna. "Dia guru ekonomi aku."
"Jangan so gak kenal kamu," amcam Bu Wina. "Meskipun saya nggak ngajar di
kelas kamu, tapi saya tau kamu. Dulu kamu pernah main basket dan bolanya
kena kepala saya. Kamu ingat?" Bu Wina malah mengajak Nevan bernotsalgia.
Membuat Nevan teringat lagi akan hal itu.
Nevan tertawa miring mendengar cerita fakta Bu Wina. "Hehe maafin saya, bu."
"Waktu kapan itu sayang?" tanya Senna yang juga ingin tertawa, ia baru tahu
kalau Nevan pernah melakukan hal konyol seperti yang diceritakan Bu Wina
barusan. Bu Wina melongo mendengar kata ?sayang? yang terdengar dari mulut
Senna. Berani-beraninya dia mengatakan itu ketika berada di dekat guru.
"Waktu kelas sepuluh, hehee," cowok itu cengengesan.
"Kalian pacaran?" tanya Bu Wina penuh selidik. Ia sebenarnya lupa nama murid
laki-laki itu, tapi ia sangat mengenal wajahnya. Maklum, dia sudah tua jadi
gampang lupa. "Nggak kok, bu. Siapa yang pacaran," kontan Nevan menjauh dari Senna,
dengan bahu berjengit, hingga membuat jarak mereka sedikit berjauhan. Senna
membelalakan mata mendengar jawaban Nevan, cowok itu keterlaluan. Apalagi
ketika Nevan malah mengedip-ngedipkan sebelah matanya, membuat Senna
semakin kelesah. Terlihat o?on bercampur geram. Sebenarnya sih apa maunya
Nevan sampai dia tidak mau mengakuinya sebagai pacar?
"Siapa yang pacaran, bu. Saya tadi cuma mau bantuin Senna ngasih minuman,
kasian kehausan." "Gak seharusnya kamu bantuin dia. Senna sedang saya hukum karna dia telah
lancang menjatuhkan buku-buku paket saya di sembarang tempat."
Nevan tercenung. Tiba-tiba dia teringat akan cerita Neina tadi, kalau dia
menemukan beberapa buku paket berserakan di koridor. Jadi murid yang
melakukan itu adalah Senna?
"Ya sudah. Karna kamu sudah berani membantu Senna, kamu juga ibu hukum."
Mendadak Nevan terbangun dari lamunannya, memandang Bu Wina takjub, lalu
beberapa lama kemudian menyeringai puas. "Beneran, bu?" tanyanya
memastikan. "Iya. Selama dua jam kalian jangan kemana-mana. Tetap diam di sini, jangan
kabur apalagi membeli makanan ke kantin. Kalau sampai ketahuan, saya tidak
akan segan-segan menambah hukuman kalian lagi."
"Oke bu kalau itu mau ibu," Nevan sangat menyetujuinya, karena ini memang
keinginannya. Supaya bisa menemani Senna. Ada waktu untuk pacaran selama


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua jam ke depan. Lumayan. Daripada harus belajar di kelas, apalagi sekarang
jadwalnya pelajaran PKN, yang gurunya super duper lemot.
"Ya sudah saya tinggal," Bu Wina pergi dari hadapan mereka. Senna
melemparkan pandangannya kepada Nevan, ini adalah surprise, surganya
sekolah! "Kalau aku bilang kita itu pacaran, mana mungkin dia mau ngehukum aku di
sini? Yang ada dia bakalan tau kalau aku cuma mau nemenin kamu dan supaya
ada waktu buat pacaran." Nevan menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi
terpancar di mata Senna. Tersenyum-senyum jahil ke arah Senna.
"Iih kamu pinter banget, siiiih," Senna mengusap-ngusap pipi Nevan mesra.
"Iya dong," Nevan memberikan roti yang tadi dibeli kepada Senna,
mendekatkannya ke mulut Senna. Senna segera melahapnya, lalu tersenyum
senang kepada Nevan. Dan sekarang giliran Nevan yang menggigitnya.
"Roti pun udah kaya pizza ya, Van. Enak kalau makannya sama pacar. Cuma
berdua," kata Senna.
"Kita baikan ya?"
"Iya. Tapi kamu janji, jangan bikin aku marah lagi."
"Oke siap Senna."
"Pakek sayang dong sayaang. Pernah gak sih kamu panggil aku sayang?"
"Iya sayang iya, sayaang," tangan Nevan melingkar di bahu Senna, lalu
mengusapnya halus, semakin menyempitkan jarak mereka. "Si ibu itu mau aja
ya dibohingin. Emang dasar," ledek Nevan menggeleng. Sementara Senna
sedang menahan napas, saat Nevan menyebutnya sayang, itu sudah seperti
hadiah paling menakjubkan. Jantungnya berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat.
Sampai ia tidak bisa lagi mengatakan apa-apa. Dunia seperti berhenti berputar.
Bagian 9. "Assalamu?alaikum." Nevan membuka pintu rumahnya. Rumah itu sangat
sederhana, namun Nevan amat betah tinggal di sana. Tak ada yang menjawab
salam-nya, itu berarti sang penghuni rumah tidak mendengar. Senna berbisikbisik di telinga Nevan sambil berjinjiit.
"Kok sepi? Nenek kamu kemana?"
"Enggak tau, nih." Nevan menyimpan ranselnya di atas kursi. Berniat untuk
mencari Sekar nama Nenek-nya. Sementara Senna memilih untuk duduk,
menunggu Nevan yang hendak mencari keberadaan sang Nenek. Matanya
berkeliling memerhatikan dengan seksama ruangan yang dipijjaknya. Di tembok,
banyak sekali foto Nevan dan Nenek-nya yang berjajar, menambah suasana
hangat akan kasih sayang. Semua foto itu kumplit, mulai dari sejak kecil Nevan
umur 11 tahun sampai sekarang, saat Nevan tumbuh menjadi pria remaja yang
tampan. Nevan memang yatim piatu, jadi sejak umur itu dia diurus oleh Neneknya seorang diri. Memakai harta warisan berlimpah dari kedua orangtua yang
telah meninggal sebagai kebutuhan hidup. Dan jika Nevan telah dewasa, dia
memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pembisnis, yang bisa membanggakan
kedua orangtuanya di atas sana karena telah menggunakan harta warisan itu
dengan baik. Wajah Nevan kecil, sepertinya pernah Senna lihat, mirip sekali
dengan Nevan. Tapi itu sudah lama sekali, jadi Senna lupa. Ada satu foto
menggemaskan lagi, di sana Nevan tertawa lebar memamerkan ruang mulutnya,
dengan beberapa itik di sekelilingnya, satu itik ditangannya. Senna tertawa lagi,
sudah lama sekali dia tidak melihat foto-foto unyu itu. Kalau saja temantemannya ada di sini, sudah pasti mereka meledek Nevan ini itu.
Senna merasa kagum akan kisah hidup yang dijalani Nevan. Senyum perempuan
itu merekah kala melihat foto Nevan yang masih berumur 11 tahun, tampak
lelaki itu sedang bermainkan lumpur di sawah, kotoran hitam menodai wajah
dan bajunya, tertawa puas, lucu. Terlihat menggelikan, ternyata sosok Nevan
yang sering dipanggil Dimas Anggara oleh Nova pernah merasakan tinggal di
kampung, bermain di sawah, dan memberikan makanan kepada sapi. Ada juga
foto Nevan dengan Nenek-nya di depan kandang sapi, dan anak lelaki berkulit
putih itu mengenakan topi coboy sembari memeluk pinggang sang Nenek..
Nevan pernah bercerita, kalau Nenek-nya itu mempunyai ladang sawah luas
berhektar-hektar dan hewan ternak di kampung halamannya. Usaha yang
membuat dia dan Nevan hidup berkecukupan.
Senna menopang dagu dengan telapak tangannya, terus memandangi foto-foto di
depannya sambil tersenyum-senyum. Apalagi ketika melihat foto Nevan semasa
sekarang, foto itu menampilkan Nevan yang sedang duduk di atas sepeda
putihnya dengan gaya super simple. Di belakangnya menggunakan latar semaksemak. Kadar ketampanannya semakin melonjak naik, lelaki itu berhasil
membuatnya tergila-gila Ada juga foto Ari yang nyempil, membuat Senna
memorotkan bibir. Keempat sahabat itu saling merangkul dengan seragam putih
abu-abu, berjajar menghadap ke kamera dengan gelak tawa, dan seperti biasa
Nevan yang paling mencolok dan tampan menurut Senna.
"Sen, nenek aku lagi bernang ternyata," suara Nevan menghentikan keasikan
Senna. "Hah? Berenang?" Senna melongo. Yang dia tahu kalau Sekar itu sudah tua dan
keriput. Bagaimana bisa dia masih berenang di umur yang begitu tua dan renta?
Iya, rumah ini memang kecil dan sederhana. Tapi jangan salah, di belakang
tersedia kolam renang yang setara dengan rumah gedongan.
"Yuk ke sana," ajak Nevan. "Kita ngobrol di belakang."
"i iya oke." Senna beranjak dari duduknya. Mulai berjalan mengikuti Nevan
dari belakang. Senna tahu kalau Nenek-nya Nevan memiliki hobi berenang. Dan
sekarang? Perempuan tua itu masih menggeluti kesenangannya?
"Halo neneeek." Senna melambaikan tangan tatkala sampai di pinggiran kolam
renang. Sekar menoleh pada asal suara. Nevan duduk di atas kursi yang tersedia
di sana. Sekar mengusap-ngusap wajah keriputnya yang basah, menjelaskan
pengelihatannya yang sudah buram. "Senna?"
"Yap! Bener, Nek!" Senna berseru riang.
"Aduuuh makin cantik, kamu."
Senna tersenyum, dia senang kalau sudah dipuji cantik oleh calon nenek. "Gila
nenek keren banget! Masih bisa renang." Senna melangkah lebih dekat lagi.
Sekar berjalan di dalam air, mendekati Senna. Begitu sampai, tangannya
bersidekap di pinggiran kolam.Senne berjongkok, "Ayo Nek naik, kita kan mau
ngobrol. Aku kangen sama Nenek."
"Eittsss gak bisa, dong. Nenek baru aja nyebur masa disuruh ke atas lagi. Nenek
kan lagi olahraga." Senna menahan gelak tawanya. Di belakang, Nevan malah sibuk dengan
ponselnya sambil manggut-manggut dan tersenyum-senyum mengejek. Baru saja
mendapatkan kabar dari Wildan dalam grup Line-nya kalau Ari kencing di
celana gara-gara ada kecoak masuk ke dalam bajunya. Iiii ngeri.
"Kamu itu anak muda! Harus sering olahraga kaya renang. Jangan cuma
ngurusin penampilan doang, tapi juga kesehatan." Sekar memang selalu
menceramahi Senna. Dia tipe Nenek gahol,alias gaul. Dan bawel pula. Senna
cemberut, lagi-lagi dia mendapatkan ceramahan dari Nenek Nevan.
"Jangan cemberut! Perkataan orangtua itu selalu benar. Mulai sekarang kamu
harus banyak lari pagi atau berenang, supaya tinggi badan kamu nambah," lanjut
Sekar. "Nevan! Ambilkan Nenek jus alpukat," titah Sekar kepada Nevan yang
masih asik dengan ponselnya.
Senna menelan ludah, ucapan nenek-nenek di depannya ini sama saja kalau dia
sedang menyindir dia yang pendek.
"Aku udah tinggi kok, Nek." Senna memprotes. Nevan berlalu ke dalam untuk
mengambilkan jus alpukat yang diminta Neneknya.
"Ya tetep aja. Kamu harus jaga kesehatan. Itu apaan tuh pakek lipstik tebel? Buat
apa? Buat narik perhatian cowok? Kamu kan udah sama cucuk Nenek." Sekar
kembali mencibir, Senna merasa terintimidasi dengan perkataan Sekar yang
selalu sejeplaknya. "Ini kan biar makin cantik, Nek. Biar Nevan makin cinta."
"Setau Nenek, Nevan eggak suka perempuan menor. Dia sukanya yang biasa
aja." Kalau saja dia bukan Nenek Nevan, Senna sudah menyemburkan cecaran
penolakannya yang ogah-ogahan.
"Simpen aja jusnya di meja, nanti Nenek minum." Sekar berkata begitu Nevan
kembali dengan segelas jus alpukat pesanan Neneknya. Disimpannya gelas
tinggi itu di atas meja ala-ala pinggiran pantai.
"Nah, karena kamu ada di sini, kamu mau kan temenin nenek berenang?"
Senna tersentak. Untuk sekarang dia malas basah-basahan. Ditambah sekarang
ini dia sedang mengenakan seragam sekolah.
"Jangan menolak permintaan Nenek tua ini, okey?"
"Ihhh nggak mau ah, Nek. Aku di sini aja. Aku gak bawa baju lagi." Senna
menolak. "Harus mau!" "Enggak mau!" "Harus!" "Enggak!" "Aaaaaa!" Senna memekik kala Sekar menarik tangannya hingga tercebur ke
kolam renang. Suara cipritan air terdengar keras. Nevan yang sebelumnya teralih
dari layar ponsel, tertawa lebar melihat Senna yang sudah basah kuyup di kolam.
Neneknya itu ada-ada saja.
"Nevan! Nenek kamu jahat banget, sih!" teriak Senna kesal, menghentakkan
kedua telapak tangannya pada air kolam hingga menimbilkan percikan air.
Alhasil gara-gara kelakuan Sekar, seragam Senna menjadi basah kuyup, begitu
juga dengan sweaters pink muda yang dikenakannya. Rambutnya juga menjadi
basah, termasuk jepit-jepit yang dipakaikannya.
"Kan kamu sendiri yang pingin ketemu Nenek gahol. Ya udah terimain aja,"
bukannya membela, Nevan malah meledek. Dan membuat kemarahan Senna
semakin beranjak naik. Sedangkan Sekar menggeleng-gelengkan kepala melihat
ekspresi menyebalkan Senna. "Kamu marah Nenek ceburin ke sini?!"
"Ya iyalah, Nek. Nanti besok aku pakai baju apaaa?"
"Kamu itu orang kaya, pasti banyak bajunya. Udah deh gak usah cari alasan,
bilang aja kalau kamu itu gak seneng Nenek ajak main.
Lagi-lagi Senna meneguk salivanya. Menghadapi nenek macam nenek Sekar ini
butuh batin kuat. Untung Senna sudah kebal, berbeda saat pertama kali bertemu
dan kenal, Senna sempat tersinggung dan pulang, marah kepada Nevan pula
selama beberapa hari. Tak mau bertemu dengan neneknya lagi, tak mau diajak ke
rumahnya lagi. Senna mendelikan mata, terserah Nenek sajalah!
"Kamu itu harus sopan sama orangtua, jangan pernah nunjukin wajah kusut,"
kata Sekar lagi, menegur.
"Iya Neneeek." Senna mengalah, sedikit membenarkan raut wajahnya yang
dikatai kusut. Tapi sebenarnya di dalam hati yang paling dalam, Senna cukup terhibur. Selama
ini belum pernah ada yang memedulikannya, mengomentari penampilan,
menanyakan kesehatan, termasuk Mamanya sendiri yang lebih mementingkan
pekerjaan. Tiap kali bertemu dengan Sekar, Senna pasti mendapat perhatian
penuh, walaupun dengan cara penyampaian yang tidak enak didengar, pedas tapi
bermakna. Mereka sudah berada di ruang tamu. Senna menggunakan pakaian milik Nevan
untuk sementara, sambil ditutupi handuk bitu muda, menyeruput segelas teh
hangat. Sekar juga sudah berganti pakaian, menghabiskan jus alpukat
kesukaannya. "Kenapa kamu baru ke sini lagi? Kamu bosan ketemu Nenek?" tanya Sekar
menginterogasi Senna. "Enggak kok, Nek. Cuma aku lagi sibuk aja."
Sekar ber-oh-ria. "Nenek gimana? Nenek sehat?" kali ini Senna yang giliran bertanya.
"Kamu liat sendiri lah. Kenapa masih nanya?"
Senna tertegun, di depan Nevan menahan tawanya. Dia tahu kalau Senna sudah
beberapa kali dibuat kesal oleh Neneknya.
"Inget ya, kamu itu jangan sekali-kalinya narik perhatian cowok lain dengan
dandan-dandan gak jelas kayak gitu." Sekar kembali memperingati. Senna
memutar kedua bola matanya, sama sekali tidak ada niatan dia untuk menarik
perhatian cowok. "Jangan sampai kamu berpaling, udah sama cucuk Nenek aja. Kamu itu cantik,
pasti banyak yang mau."
"Bukan aku Nek yang berpaling. Tapi Nevan sendiri, dia itu sekarang lagi deket
sama cewek sekelasnya. Dia selaluuuu bela dia." Senna mencoba bercerita.
Akhirnya dia bertemu dengan orang yang mau mendengar keluhannya.
"Bohong, Nek. Bohong dia, Senna-nya aja yang gampang cemburu."
"Apa benar itu Nevan?" Sekar mengalihkan pandangannya kepada cucuk
lelakinya, meminta jawaban benar.
"Kamuuuu!!" Senna menjulurkan lidah ke arah Nevan, menandakan
kemenangannya. "Salah besar, Nek," jawab Nevan jujur sejujurnya.
"Bener kok, Nek. Setiap kali aku dateng ke kelasnya, pastii aja ada cewek itu."
"Salah. Kamu itu terlalu percaya sama apa kata hati kamu."
"Jadi yang mana yang bener?" sergah Sekar mulai gusar melihat kedua remaja di
sampingnya saling menyalahkan tiada henti.
"Aku yang bener!" Senna menjawab duluan.
"Aku!" "Aku!" "Aku!" "DIAM!" sentak Sekar geram. Menghentikan adu mulut antara Senna dan
Nevan. Alhasil keduanya menutup mulut. Takut kalau Sekar marah dan malah
mengusir mereka, termasuk Nevan cucuknya sekali pun.
"Kalian ini kayak anak kecil aja," ia melanjutkan. "Ya sudah daripada berantem,
kalian duduk dulu di sini. Nenek mau ke dapur, kalian pasti laper, kan?" Sekar
beranjak dari duduknya, mulai meninggalkan Nevan dan Senna.
"Kamu kenapa sih, kapan pajang foto aku di sana?" Senna menunjuk ke tempat
di mana foto-foto Nevan berjajar rapi. "Masa Ari, Satya sama Wildan ada. Aku
enggak ada?" "Sabar dong, nanti juga bakalan ada. Dengan pakaian pernikahan yang serasi."
Jawaban Nevan membuat Senna mengedipkan mata beberapa kali. Bilang apa
Nevan barusan? Apa telinganya salah mendengar? Tidak, telinga Senna baikbaik saja, dia tidak menderita conge, kok.
"Apa kamu bilang? Coba ulangin lagi."
"Ini bukan ulangan, jadi enggak bisa diulang. Enggak ada remedial," jawab
Nevan datar. "Ih kamu kebiasaan!"
"Ya udah kalau foto kamu mau ada di sana. Kita selfie sekarang. Udah lama kan
gak selfie?" "Serius kamu?!" Sorot mata Senna seketika berkobar. Selfe? Ya, itu adalah suatu
hal yang jarang sekali ia lakukan dengan Nevan.
"Mana hp kamu?" tanya Nevan.
Senna beralih ke tasnya, untung dia sempat menyimpan ponselnya ke dalam tas.
Kalau tadi ia menyimpannya dalam saku, sudah pasti ponselnya juga akan terjun
ke kolam renang. Basah dan akhirnya rusak. Setelah Senna menemukan hp-nya,
lalu diberikannya kepada Nevan.
Nevan mulai menyalakan ponsel Senna, men-slide layar untuk membuka kunci.
Tanpa diduga, ternyata Senna memakai password agar bisa melihat isi
ponselnya. "Ini password-nya apa?" Nevan menyerahkan layar ponsel ke
hadapan Senna. "Emmmm" Senna pura-pura berpikir.
"Jangan bilang kamu punya selingkuhan dan akhirnya kamu kunci hp kamu."
Tudingan Nevan jelas membuat Senna melotot. "Apa?! Iiih kamu nyebelin
banget sih pakai bilang aku selingkuh, jahat." Senna menyun, manyun khas anak
kecilnya berhasil membuat Nevan membuang semua prasangka buruk. Lagipula,
ia tadi hanya bergurau. "Mana mungkin aku selingkuuuh."
"Iya-iya aku becanda." Nevan bangkit, dan berjalan mendekati Senna.
Berjongkok di bawah kursinya. "Terus password-nya apa? Katanya mau selfie.
Nanti abang gantengnya keburu pergi," celoteh Nevan yang membuat Senna
berusah payah menahan agar tidak tertawa dan berteriak.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan.
"Password-nyaaa"
Nevan menunggu. "Nevan titik dua bintang," lanjut Senna dengan rona merah di pipinya.
Terungkap sudah kata kuncinya yang terkesan lebay dan alay.
Nevan tercenung, titik dua bintang? Itu artinya? Gambar emoticon kiss kini
terbayang dalam benak Nevan.
"Ya udah ayo selfie." Senna berusaha mengalihkan topik. Ia malu kalau harus
membahas password alay itu.
Perlahan, ujung bibir Nevan tertarik ke atas, tersenyum miring.
"Kok malah senyum so manis kayak gitu?" tanya Senna penuh selidik.
Sedangkan jantungnya berdegup keras, nyaris terdengar oleh telinga. Nevan
senang sekali dengan situasi yang membuat Senna deg-degan. Lelaki itu selalu
ngelunjak. Dia kadang cuek, kadang juga menyebalkan. Cowok unik itu begitu
Senna cintai dan sayangi, tak ingin lepas darinya
"Password-nya romantis banget." Nevan lantas menarik hidung setengah
mancung setengah pesek milik Senna gemas. Kontan Senna memekik kesakitan.


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Senna titik dua bintang juga," lanjutnya menggoda.
"Nggak mau aku mau yang aslinya," balas goda Senna.
"Asli apanya?" "Ituu titik dua bintangnya."
"Iya nanti kalau udah halal."
"Dihh!!" "Kenapa?" "Dari dulu semenjak kita pacaran, emang kamu pernah cium aku? Paling aku
doang yang nyium kamu," bibir Senna mengerut. Nevan belum pernah sekali
pun mencium pipi atau kening, apalagi bibir.
"Kamu harusnya bersyukur, aku belum pernah sedikit pun nyentuh kamu,"
Nevan menyimpan telapak tangannya di pipi Senna yang malah terpana. "Kalau
laki-laki lain, mungkin mereka udah nyentuh wajah kamu yang bersih dan
cantik. Aku gak mau ngotorin wajah kamu cuma karena nafsu. Tapi kamu harus
tau, Sen. Aku cinta kamu tulus, beneran, suer, enggak bohong apalagi bohongbohongan. Kamu bukan mobil-mobilan aku, kamu itu cewek yang aku cinta.
Buat ungkapin cinta, enggak harus ciuman, kan?"
Sentuhan tangan Nevan jelas membuat Senna membatu, apalagi penuturan
tentang cintanya. Senna semakin terpukau. Lelaki macam Nevan hanya satu di
dunia, hanya satu-satunya dan itu adalah milik Senna seorang.
"Sayaaang," Senna memanggil manja.
"Apaa?" "Peluk." Senna memeluk Nevan, seperti orang yang kedinginan, padahal itu
hanya modus saja. Dan Nevan balas memeluk Senna, lupa kalau sekarang
mereka berada di tempat yang seharusnya tidak boleh melakukan hal seperti itu.
"ASTAGFIRULLAH HALADZIM!"
Bagian 10. Senna hempaskan tubuhnya di atas sofa, setelah selesai membuka sepatu yang
membalut kaki mulus dan putihnya. Dia senang dengan hari ini, karena bisa
mendapatkan kebahagiaan tersendiri bersama Nevan dan Neneknya. Makan
bersama, bercanda bersama, marah bersama calon mertua ehhh calon Nenek.
Selanjutnya, ponsel Senna bergetar selama seperkian detik petanda bahwa ada
notifikasi dari aplikasi chatt-nya. Senna membawa ponsel di saku bajunya yang
telah kering. Dibukanya pesan yang berasal dari aplikasi WhatsApp. Dan yang paling
membuat Senna bersemangat untuk membukanya adalah, ternyata si pengirim
pesan adalah Nevan. Nevan : Udah sampai? "Udah sayaang," balas Senna suka cita. Bibirnya terus bergerak-gerak manis.
Baru tadi ketemu, tapi langsung rindu lagi.
Detik berikutnya, ponsel Senna kembali bergetar.
Nevan : Ya udah. "Ya udah doang?" Senna mendengus, ia tidak puas dengan pesan singkat Nevan.
Ini terlalu pendek dan membuat Senna tidak suka sekaligus sebal. Padahal Senna
ingin sekali memperpanjang chat-nya dengan Nevan.
Nevan : Iya gitu doang, emang mau apa lagi, Sen?
"Enggak mau nanya yang lain?"
Nevan : Enggak, makasih untuk tawarannya, saya tidak tertarik mbak
Fix! Nevan berhasil membuat Senna menarik mood-nya lagi. Tanda kiss dari
Nevan memang menjadi obat yang paling ampuh untuk menghentikan kekesalan
Senna yang hampir tersulut.
"Kalau sama mbaknya tertarik, gak?"
Nevan : "Apaan si gaje "
Nevan : "Aduuuuh Senna sayang kamu dari mana aja sih kok baru pulang?"
Tiba-tiba suara cempreng dan lantang itu merusak telinga Senna yang sedang
tenang dan damai di atas sofa. Gadis itu menoleh ke belakang, melupakan chat
garingnya dengan Nevan sembari memasukan kembali ponselnya ke dalam saku.
Ia mengernyit ketika mendapati mamanya yang sudah berjalan menuruni anak
tangga dengan rempong. Tak lama kemudian Diana ?mama Senna sampai di bawah dan duduk di
samping Senna, anak kesayangannya.
"Mama kapan dateng?" Senna langsung bertanya tanpa prolog.
"Tadi siang. Kamu dari mana aja? Mama kangen tau sama kamuu." Diana lantas
memeluk Senna gemas. Dia merindukan anak perempuan yang ia tinggalkan di
rumah. Senna kurang suka dengan sikap Diana yang selalu seenaknya, datang
pergi tanpa permisi, jadi dia memilih untuk melepaskan pelukannya duluan
ketimbang menunggu mamamya untuk melepaskan.
"Kok kamu kayak gak seneng gitu liat mama? Biasanya kan suka kegirangan
bangeeeet gitu? Ada apa sayangkuu, cantikkuu?" Pertanyaannya lebih kepada
membujuk, tangannya menangkup kedua pipi Senna.
"Mama itu kenapa siih, kalau pergi selalu mendadak dan gak bilang apa-apa
sama aku. Gimana aku gak kesel?" jawab Senna memulai aksi protesnya.
"Maafin mama sayang. Bukan mama yang mendadak, tapi kerjaannya yang
selalu mendadak. Sebenernya mama pengeeen banget ngeluangin waktu yang
banyak buat kamu." "Tapi kan seenggaknya mama kasih tau aku dulu. Datengin sekolah aku, kek."
"Iya iyaa mama minta maaf."
"Aku gak butuh maaf maa, aku butuhnya perhatian mamaa," rengek Senna
layaknya anak kecil yang merengek ingin naik odong-odong padahal dia masih
bayi. Ralat. Mana ada bayi bisa ngomong.
"Emang selama ini mama gak perhatian sama kamu?"
Senna mendelikan mata, "Perhatian yang cuma dateng dalam sekejap, terus pergi
lagi." "Ehmmm Mama punya kejutan buat kamu!" Diana mengalihkan topik
pembicaraan. Dia tidak ingin Senna membahas tentang hal ini, lebih baik
membuat dia senang dulu. Dan setelah itu, Senna pasti tak akan kecewa lagi.
"Apa? Hadiah? Baju baru? Cincin baru? Gelang baru? Anting baru? Yaaah basi
mamaaaa." Senna cemberut tak tertarik. Menganggap semua barang mewah itu
sebagai hal yang kaprah. Mamanya selalu membelikan semua keperluannya,
bahkan barang yang mahal, tapi esoknya dia pergi lagi tanpa kabar.
"Kali ini bedaaa."
"Beda apa?" "Mama beliin kamu sepatu sayang. Dan itu adalah model terbaru!" Diana
berkata antusias, berharap bahwa Senna akan sangat menyukainya. Karena
anaknya selalu heboh ketika ia membawakan barang-barang mewah dan
terkenal. Apalagi langsung dibeli di luar Negri.
"Garing banget!" Senna beranjak dari duduknya. Sejujurnya dia masih marah
kepada Diana, karena dulu saat ia ingin sekali mempertemukan dia dengan
Nevan, Diana malah tidak ada dan alhasil rencananya pun gagal. Meski besok
Senna masih memiliki waktu untuk mengajak Nevan bertemu dengan mamanya,
tetap saja esok Diana akan kembali bekerja. Basi.
"Senna!" Diana memanggil untuk sekadar menghentikan langkah Senna. Tapi
nihil, anak semata wayangnya tak sedikit pun melirik dan tetap menaiki anak
tangga sembari memainkan ponselnya. Diana menjadi bingung kala memandang
kepergian Senna, anak itu kini memiliki perubahan dalam dirinya. Mulai
mengerti akan satu hal, yaitu tentang kasih sayang. Mungkin.
Diana menghela napas panjang, bersandar pada sandaran kursi dan
menyilangkan kedua tangan begitupun dengan kedua kakinya. Otaknya bekerja
lebih cepat, pandangannya lurus, menelaah semua pertanyaan-pertanyaan yang
mulai bergelayut. Lebih baik Senna membalas chat dari Nevan lagi. Dia membanting tubuhnya di
atas kasur. Ketika guru tidak masuk ke dalam kelas karena ada kepentingan mendadak, saat
itulah murid-murid mendapatkan surga dunia. Apalagi kalau saat itu pelajaran
yang sangat membosankan. Alhasil, kelas 11 IPA 2 menjadi ricuh dan heboh.
Bisa menggunakan kesempatan emas itu sebagai waktu untuk melakukan
kesenangan. Ada yang berjalan ke sana kemari, ada yang keluar untuk mengisi
perut, ada juga yang dandan ?bagi kaum cewek. Eh ?tanda kutip? Ternyata ada
juga looh cowok yang pakek haslin.
Lihat saja Ari. Lelaki itu mengeluarkan se-caset haslin yang iklannya dibintangi
oleh aktris cantik Jessica Milla.
"Ehh mau ngapain lu?" tanya Wildan setengah meledak. Ya kali Ari mau
mengoleskan haslin putih itu ke wajahnya, itu kan khusus untuk perempuan.
Masa lelaki juga pakai? Bencong, dong?
"Ya gue mau make ini, lah. Biar putih dan ganteng." Ari mengeluarkan sedikit
haslin itu ke atas telapak tangan. Wildan meneguk salivanya. Jelas, tindakan Ari
mengundang murid yang berada di area kelas untuk menoleh ke arahnya.
"Ahh lu makek haslin cewek, Ri?" komentar Nevan tak percaya. Ternyata
temannya itu memiliki selera cuco. Tidak disangka-sangka. Lalu Nevan melihat
eskpresi Neina yang aneh, "Maafin sahabat gue, ya. Dia emang gitu, otaknya
rada geser gara-gara waktu kecil jidatnya sering kejedot sama jidat nyokapnya."
Lantas Neina tertawa. "Ya biarin lah, biar ganteng," lalu Ari memoleskan haslin itu kepada seluruh
wajahnya, percaya diri, tanpa ada rasa malu, dan jaga image sebagai seorang
lelaki maco sedikit pun. Yang lain melongo, hampir saja ada lalat yang masuk
kalau tidak buru-buru di tutup.
Benar, seketika wajah Ari menjadi putih seperti memakai bedak. Lebih kinclong
dan enak dipandang. Ketiga temannya mentertawakan Ari, termasuk Neina yang
ikut menyaksikan kekonyolan Ari. Begitu pula para murid yang tak sengaja
melihat Ari. "Tuuh ganteng, kan." Ari memuji dirinya sendiri, menata tatanan rambut dan
mengusap wajahnya yang sudah lembut. Lantas cowok itu tertawa, "Ha..ha..ha."
Sepertinya dia tertawa sendiri dan menertawakan dirinya sendiri. Ingat. Seorang
diri. Teman-temannya kembali meledek dan mengolok-olok ini itu. Wajar mereka
mencemooh, memang kenyataannya Ari ini berlebihan dan kelewatan lucu.
Seharusnya lelaki itu bersyukur punya kulit wajah walaupun hitam, daripada
tanpa kulit, kan jadinya kayak UFO.
"Aduuh tangan gue sakit nih." Dewi meringis sambil memegang telapak
tangannya yang menimbulkan warna merah ?darah. "Rit, punya plester, gak?"
"Ahh boongan lu, mah! Gue gak akan kena tipu. Gue tau itu cuma kuteks.
Jangan coba-coba buat nipu gue," kata Rita sebal sembari terus fokus pada layar
gadget-nya. Tapi Dewi terus meringis kesakitan, meski sebenarnya temantemannya tahu kalau itu hanya settingan yang diciptakan Dewi untuk menarik
perhatian. Bukan perhatian juga, sih. Tapi dia hanya ingin mencari kesenangan.
Orang lain takut kalau berdarah, nah Dewi malah suka karena dari kecil dia
selalu berakting berdarah seolah terluka parah.
Begini kalau tidak ada guru, hal yang tidak penting pun dibicarakan. Terutama
Genk Dewi, grup itu selalu berisik tanpa habis bahan obrola. Tentang kejahilan
si Rita yang doyannya ngumpetin barang temen, tentang Dewi yang rusuh tak
beraturan, tentang Leni yang sering dipanggil buntet gara-gara tubuhnya yang
gempal. Tapi untung saja, cewek itu selalu tersenyum untuk menyikapinya.
"Aduuuh ini tangan gue berdarah." Dewi masih menggerutu kepada temantemannya. Sepertinya sampai sekarang tidak ada yang memercayai Dewi.
Perempuan itu sesekali tertawa melihat eskpresi teman-temannya dengan tatapan
seperti sedang melihat orang gila.
"Si Dewi mulai sarap."
Giliran Nevan yang menjadi incaran Dewi. "Nevan!" Panggilnya berseru. Nevan
yang sedang mentertawakan Ari karena dia bertingkah aneh lagi seperti berkaca
di cermin milik siswa perempuan menoleh pada asal suara.
"Van minta plester, dong!" teriak Dewi seolah kesakitan, "Ini tangan gue
berdarah aduh Ya Allah. Liat nih tangan gue abis kena paku haduuuhh." Dewi
memamerkan luka buatannya. "Ayoo minta plester."
"Iya, besok ya Dewi."
Jawaban singkat, padat, jelas, dengan nada datar pula keluar dari mulut Nevan
setelah Dewi meminta hal yang sangat ia butuhkan di detik ini juga.
"Hah?" Dewi ber-?hah? tak mengerti, tercenung lama. Tapi beberapa detik
kemudian, otaknya mulai connect. "Gue butuhnya sekarang blo?on! Gak bisa
nunggu besok dasar dodol! Keburu urgency! Daripada nunggu besok mending
gue beli sekarang. Dasar," omel Dewi gondok setengah ingin tertawa mendengar
jawaban Nevan yang konon menyebalkan dan mengundang emosi. "Polos
banget lo bilang besok!"
"Ya kalau sekarang enggak ada, ya udah tunggu aja besok karna adanya juga
besok." Nevan melanjutkan dengan tampang wajah tanpa dosa.
"Untung lo ganteng, Van. Kalo enggak, udah gue celupin lo ke panci isi air
mendidih yang ada di kantin."
"Om Telolet Om."
"Gue udah ganteng, kan?" tanya Ari kepada Neina yang sedari tadi
memerhatikannya sembari tertawa-tawa. "Ganteng dari mana, yang ada kayak
cewek," ledek Neina belum menghentikan tawaan khasnya. "Ehh maaf,
bercanda. Ganteng kok, Ri."
"Ahh jangan bohong, Na. Nanti si Ari ge?er lagi," kata Satya.
"Si Dewi luka segitu aja dipamerin. Liat dong gue, luka di hati aja dipendem
sendirian." Ari menyahut, menyindir tingkah Dewi saat ini yang sama sekali
tidak penting seperti orang sinting.
"Serpiihan hati ini, kupeluk erat. Akan ku bawaa, sampai kumati. Memendaaam
rasa ini, sendiriaaaaan. Kutaaaang ta?"
"Eittttssss nyanyi apa kalian?" Nevan memelotot, menginterupsi nyanyian yang
dinyanyikan Widan dan Satya.
"Ehhh keceplosan, Van. Sori." Kedua lelaki itu nyengir kuda.
"Eh anak tetangga gue kalau nyanyi itu kayak gini nih. Dengerin, ya," kata Ari
dengan roman serius. "Oke-oke." "Serpihang hati ini, kupeyuuk elat. Akang kubawa, sampai kumatiii, ?iiiih
sereem?" Ari bergidik ngeri, lalu melanjutkan nyanyiannya lagi di antara
keheningan ketiga temannya. "... menendang rasa ini sendiliang, kutaaaang ta---"
"Wuanjiiiirrr!!! Kereeen menakjubkan. Ayo juri-juri, kita kasih tepuk tangan
yang mewah untuk Ari atas bakatnya menyanyi. Nyanyian yang sungguh luar
biasa mengaduk-aduk emosi." Wildan bertepuk tangan bangga, bak seorang juri
yang telah selesai menyaksikan perfomance dari salah satu peserta audisi
Indonesian Idol. Tapi sebenarnya ia hanya berkilah agar bisa menghentikan
nyanyian Ari yang semakin ngaco dan tidak bermutu.
"Ehhh astagfirullahaladzim nyanyi apa loo, Ri. Istigfaar," komentar Dewi
memegang dadanya serta menggeleng-gelengkan kepala kala selesai mendengar
nyanyian Ari. Dia melihat Ari dengan sorotan penuh was-was, seolah Ari ini
adalah hantu yang sedang kesurupan jin tomang.
"Ih gue kan cuma mau ngasih tau kalau anak tetangga gue kalau nyanyi gitu.
Kalau akhirnya huruf N, dia bakal nambahain huruf G jadi NG." Ari mencoba
menerangkan filsafat yang sebenarnya. Tapi mereka terlanjur tidak peduli, tidak
ada pentingnya juga untuk didengarkan.
"Krik krikk Lu mah gaje!"
Ternyata waktu bermain mereka telah berkahir, sekarang waktunya berganti
pelajaran ?pelajaran bahasa Indonesia. Yang gurunya tidak memiliki urusan di
luar. Dia masuk tepat waktu dengan sapaan ramah, membuat murid tidak tegang
untuk melaksanakan proses KBM. Tampak guru lelaki muda itu sedang menulis
bahan ajaran di papan tulis, di belakang, murid mengikuti dengan menulis di
buku catatan masing-masing.
"Dedeww wiwii." Nevan mengguncang bahu Dewi yan duduk di depan
bangkunya. "Apaan Nevan. Gue bukan Wiwi anaknya Dede," balas Dewi tanpa menoleh.
"Minjem buku lo."
"Lagi dipakek."
"Pelit." "Neina kan ada."
"Lagi dipakek."
"Iya gue juga sama!"
"Liat punya aku aja, enggak pa-pa kok, Van." Neina menawarkan bukunya.
"Enggak usah. Nanti gue ngerepotin."
"Apanya yang ngerepotin, sih."
Nevan tidak ingin mengganggu Neina, dia kembali mengguncang bahu Dewi
hingga gadis itu mendesah. Pak Iman mulai menerangkan tentang bab drama
hingga sekarang keadaan kelas sudah berubah, suara-suara mulai terdengar
setelah sebelumnya lengang. Ketika Pak Iman menerangkan, ada juga beberapa
murid yang bertanya. "Cieee cieeee Nevan sekarang sama Dewi yaaa," sorak Ari heboh, menarik yang
lain untuk menonton adegan romantis antara Nevan dan Dewi. Mungkin saja ini
akan menjadi tontonan paling mengasikkan di sepanjang dunia. Sekaligus
mengusir rasa bosan ketika belajar.
"Cieeee cieeeeee " yang lain ikut-ikutan menyuraki sambil tertawa melihat
Nevan yang sedang menyimpan tangannya di bahu Dewi. Kontan Nevan
melepasnya lagi, Dewi menoleh dan membersut gelisah.


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cieeeee" godaan itu masih belum berakhir dan malah semakin bergema. Pak
Iman pun ikut-ikutan tertawa, mendekati jajaran bangku Nevan. Memerhatikan
murid-muridnya yang malah bersenda gurau.
"Cieeee direstuin sama bapak cieeeeee" suasana kelas semakin geger. Dan ini
semua, gara-gara pancingan Ari. Dia memang biang keributan.
"Cieee Nevan selingkuh sama Dewi."
"Inget Senna." "Nanti pulang bareng yah, Dewiku?" kata Nevan menggoda, berusaha
membujuk Dewi seimut mungkin.
Justru karena itu, seluruh murid yang berada di kelas bersiul-siul dan ber?ciyee?
ria. Tertawa terbahak-bahak mendengar gombalan Nevan. Lucu sekali. Jarangjarang dia mengajak perempuan pulang bareng.
Neina yang duduk di sebelah Nevan ikut tersenyum, walau tak sepenuhnya
seperti yang lain. Senyum tak bersuara dengan sorotan mata penuh tanda tanya.
Dewi yang merasa risi langsung menyahut teman-temannya yang berisik. "Iih
apaan sih kalian! Norak banget!"
"Sabar maaah." Nevan mengusap punggung Dewi.
"Wkwkwkwkwkwk " tawaan penuh candaan sepertinya tak bisa dihentikan.
Kelas sudah terlanjur hiruk pikuk layaknya pasar.
Neina kembali menulis, membagi pandangannya antara bor dan buku tulis di
tengah keramaian. Ia tidak ikut andil dalam momen ini. Teringat akan hal yang
terjadi pada hari-hari sebelumnya, histori itu mengantarkannya pada satu
jawaban yang sebenarnya masih menjadi lamat di benak Neina. Tiba-tiba dia
membenci perasaannya. Tampak tim basket Nevan sedang bermain bola basket sepulang sekolah di
lapangan. Di kelas, Nevan dan ketika temannya terlihat sebagai grup tukang
oces. Tapi di tengah lapangan, mereka berubah menjadi sosok lain. Sisi keren
dan kharisma seorang pemain basket nampak. Dan sedikit diselingi tawa.
Neina menghentikan langkah, memandang area lapangan dengan roman bahagia.
Sejujurnya, bukan permainan basket yang menjadi obyek pengelihatan utama.
Melainkan Nevan. Lelaki itu yang menarik Neina untuk terus menyaksikan
pertandingan, walaupun sebenarnya ia akan segera pulang setelah menghabiskan
waktu di perpustakaan. Senna terus memerhatikan Neina penuh penyelidikan, jarak kedua perempuan itu
lumayan dekat dengan posisi Neina yang membelakangi Senna. Senna
merasakan kalau cewek itu tengah memandangi salah satu cowok yang berada di
lapangan. Dari sekian banyaknya cowok berkaus basket, hanya ada satu yang
diperhatikannya. Dan perkiraannya, tak mungkin salah. Senna mendelikan mata
pelan, risi dengan pemandangan itu.
Neina yang mulai tidak enak jika terus melihat Nevan, bergegas kembali
melanjutkan langkah. Bahkan ia tidak menyadari kalau dirinya sedang melewati
Senna yang masih memandangnya tak minat. Lalu tak lama kemudian, Senna
alihkan lagi pandangannya ke arah lapangan. Di sana, Nevan sedang
melambaikan tangan kepada Senna lalu menyeka peluh di kening.
Senna balas melambaikan tangan lebih riang. Memamerkan tupperware warna
biru, petanda bahwa ia sudah membawakannya minum untuk Nevan, tandanya
Nevan harus lebih bersemangat untuk latihan. Nevan tersenyum manis. Tumben
Senna tidak beteriak dengan histeria.
TRIANGLE 10 Senna hempaskan tubuhnya di atas sofa, setelah selesai membuka sepatu yang
membalut kaki mulus dan putihnya. Dia senang dengan hari ini, karena bisa
mendapatkan kebahagiaan tersendiri bersama Nevan dan Neneknya. Makan
bersama, bercanda bersama, marah bersama calon mertua ehhh calon Nenek.
Selanjutnya, ponsel Senna bergetar selama seperkian detik petanda bahwa ada
notifikasi dari aplikasi chatt-nya. Senna membawa ponsel di saku bajunya yang
telah kering. Dibukanya pesan yang berasal dari aplikasi WhatsApp. Dan yang paling
membuat Senna bersemangat untuk membukanya adalah, ternyata si pengirim
pesan adalah Nevan. Nevan : Udah sampai? "Udah sayaang," balas Senna suka cita. Bibirnya terus bergerak-gerak manis.
Baru tadi ketemu, tapi langsung rindu lagi.
Detik berikutnya, ponsel Senna kembali bergetar.
Nevan : Ya udah. "Ya udah doang?" Senna mendengus, ia tidak puas dengan pesan singkat Nevan.
Ini terlalu pendek dan membuat Senna tidak suka sekaligus sebal. Padahal Senna
ingin sekali memperpanjang chat-nya dengan Nevan.
Nevan : Iya gitu doang, emang mau apa lagi, Sen?
"Enggak mau nanya yang lain?"
Nevan : Enggak, makasih untuk tawarannya, saya tidak tertarik mbak
Fix! Nevan berhasil membuat Senna menarik mood-nya lagi. Tanda kiss dari
Nevan memang menjadi obat yang paling ampuh untuk menghentikan kekesalan
Senna yang hampir tersulut.
"Kalau sama mbaknya tertarik, gak?"
Nevan : "Apaan si gaje "
Nevan : "Aduuuuh Senna sayang kamu dari mana aja sih kok baru pulang?"
Tiba-tiba suara cempreng dan lantang itu merusak telinga Senna yang sedang
tenang dan damai di atas sofa. Gadis itu menoleh ke belakang, melupakan chat
garingnya dengan Nevan sembari memasukan kembali ponselnya ke dalam saku.
Ia mengernyit ketika mendapati mamanya yang sudah berjalan menuruni anak
tangga dengan rempong. Tak lama kemudian Diana ?mama Senna sampai di bawah dan duduk di
samping Senna, anak kesayangannya.
"Mama kapan dateng?" Senna langsung bertanya tanpa prolog.
"Tadi siang. Kamu dari mana aja? Mama kangen tau sama kamuu." Diana lantas
memeluk Senna gemas. Dia merindukan anak perempuan yang ia tinggalkan di
rumah. Senna kurang suka dengan sikap Diana yang selalu seenaknya, datang
pergi tanpa permisi, jadi dia memilih untuk melepaskan pelukannya duluan
ketimbang menunggu mamamya untuk melepaskan.
"Kok kamu kayak gak seneng gitu liat mama? Biasanya kan suka kegirangan
bangeeeet gitu? Ada apa sayangkuu, cantikkuu?" Pertanyaannya lebih kepada
membujuk, tangannya menangkup kedua pipi Senna.
"Mama itu kenapa siih, kalau pergi selalu mendadak dan gak bilang apa-apa
sama aku. Gimana aku gak kesel?" jawab Senna memulai aksi protesnya.
"Maafin mama sayang. Bukan mama yang mendadak, tapi kerjaannya yang
selalu mendadak. Sebenernya mama pengeeen banget ngeluangin waktu yang
banyak buat kamu." "Tapi kan seenggaknya mama kasih tau aku dulu. Datengin sekolah aku, kek."
"Iya iyaa mama minta maaf."
"Aku gak butuh maaf maa, aku butuhnya perhatian mamaa," rengek Senna
layaknya anak kecil yang merengek ingin naik odong-odong padahal dia masih
bayi. Ralat. Mana ada bayi bisa ngomong.
"Emang selama ini mama gak perhatian sama kamu?"
Senna mendelikan mata, "Perhatian yang cuma dateng dalam sekejap, terus pergi
lagi." "Ehmmm Mama punya kejutan buat kamu!" Diana mengalihkan topik
pembicaraan. Dia tidak ingin Senna membahas tentang hal ini, lebih baik
membuat dia senang dulu. Dan setelah itu, Senna pasti tak akan kecewa lagi.
"Apa? Hadiah? Baju baru? Cincin baru? Gelang baru? Anting baru? Yaaah basi
mamaaaa." Senna cemberut tak tertarik. Menganggap semua barang mewah itu
sebagai hal yang kaprah. Mamanya selalu membelikan semua keperluannya,
bahkan barang yang mahal, tapi esoknya dia pergi lagi tanpa kabar.
"Kali ini bedaaa."
"Beda apa?" "Mama beliin kamu sepatu sayang. Dan itu adalah model terbaru!" Diana
berkata antusias, berharap bahwa Senna akan sangat menyukainya. Karena
anaknya selalu heboh ketika ia membawakan barang-barang mewah dan
terkenal. Apalagi langsung dibeli di luar Negri.
"Garing banget!" Senna beranjak dari duduknya. Sejujurnya dia masih marah
kepada Diana, karena dulu saat ia ingin sekali mempertemukan dia dengan
Nevan, Diana malah tidak ada dan alhasil rencananya pun gagal. Meski besok
Senna masih memiliki waktu untuk mengajak Nevan bertemu dengan mamanya,
tetap saja esok Diana akan kembali bekerja. Basi.
"Senna!" Diana memanggil untuk sekadar menghentikan langkah Senna. Tapi
nihil, anak semata wayangnya tak sedikit pun melirik dan tetap menaiki anak
tangga sembari memainkan ponselnya. Diana menjadi bingung kala memandang
kepergian Senna, anak itu kini memiliki perubahan dalam dirinya. Mulai
mengerti akan satu hal, yaitu tentang kasih sayang. Mungkin.
Diana menghela napas panjang, bersandar pada sandaran kursi dan
menyilangkan kedua tangan begitupun dengan kedua kakinya. Otaknya bekerja
lebih cepat, pandangannya lurus, menelaah semua pertanyaan-pertanyaan yang
mulai bergelayut. Lebih baik Senna membalas chat dari Nevan lagi. Dia membanting tubuhnya di
atas kasur. Ketika guru tidak masuk ke dalam kelas karena ada kepentingan mendadak, saat
itulah murid-murid mendapatkan surga dunia. Apalagi kalau saat itu pelajaran
yang sangat membosankan. Alhasil, kelas 11 IPA 2 menjadi ricuh dan heboh.
Bisa menggunakan kesempatan emas itu sebagai waktu untuk melakukan
kesenangan. Ada yang berjalan ke sana kemari, ada yang keluar untuk mengisi
perut, ada juga yang dandan ?bagi kaum cewek. Eh ?tanda kutip? Ternyata ada
juga looh cowok yang pakek haslin.
Lihat saja Ari. Lelaki itu mengeluarkan se-caset haslin yang iklannya dibintangi
oleh aktris cantik Jessica Milla.
"Ehh mau ngapain lu?" tanya Wildan setengah meledak. Ya kali Ari mau
mengoleskan haslin putih itu ke wajahnya, itu kan khusus untuk perempuan.
Masa lelaki juga pakai? Bencong, dong?
"Ya gue mau make ini, lah. Biar putih dan ganteng." Ari mengeluarkan sedikit
haslin itu ke atas telapak tangan. Wildan meneguk salivanya. Jelas, tindakan Ari
mengundang murid yang berada di area kelas untuk menoleh ke arahnya.
"Ahh lu makek haslin cewek, Ri?" komentar Nevan tak percaya. Ternyata
temannya itu memiliki selera cuco. Tidak disangka-sangka. Lalu Nevan melihat
eskpresi Neina yang aneh, "Maafin sahabat gue, ya. Dia emang gitu, otaknya
rada geser gara-gara waktu kecil jidatnya sering kejedot sama jidat nyokapnya."
Lantas Neina tertawa. "Ya biarin lah, biar ganteng," lalu Ari memoleskan haslin itu kepada seluruh
wajahnya, percaya diri, tanpa ada rasa malu, dan jaga image sebagai seorang
lelaki maco sedikit pun. Yang lain melongo, hampir saja ada lalat yang masuk
kalau tidak buru-buru di tutup.
Benar, seketika wajah Ari menjadi putih seperti memakai bedak. Lebih kinclong
dan enak dipandang. Ketiga temannya mentertawakan Ari, termasuk Neina yang
ikut menyaksikan kekonyolan Ari. Begitu pula para murid yang tak sengaja
melihat Ari. "Tuuh ganteng, kan." Ari memuji dirinya sendiri, menata tatanan rambut dan
mengusap wajahnya yang sudah lembut. Lantas cowok itu tertawa, "Ha..ha..ha."
Sepertinya dia tertawa sendiri dan menertawakan dirinya sendiri. Ingat. Seorang
diri. Teman-temannya kembali meledek dan mengolok-olok ini itu. Wajar mereka
mencemooh, memang kenyataannya Ari ini berlebihan dan kelewatan lucu.
Seharusnya lelaki itu bersyukur punya kulit wajah walaupun hitam, daripada
tanpa kulit, kan jadinya kayak UFO.
"Aduuh tangan gue sakit nih." Dewi meringis sambil memegang telapak
tangannya yang menimbulkan warna merah ?darah. "Rit, punya plester, gak?"
"Ahh boongan lu, mah! Gue gak akan kena tipu. Gue tau itu cuma kuteks.
Jangan coba-coba buat nipu gue," kata Rita sebal sembari terus fokus pada layar
gadget-nya. Tapi Dewi terus meringis kesakitan, meski sebenarnya temantemannya tahu kalau itu hanya settingan yang diciptakan Dewi untuk menarik
perhatian. Bukan perhatian juga, sih. Tapi dia hanya ingin mencari kesenangan.
Orang lain takut kalau berdarah, nah Dewi malah suka karena dari kecil dia
selalu berakting berdarah seolah terluka parah.
Begini kalau tidak ada guru, hal yang tidak penting pun dibicarakan. Terutama
Genk Dewi, grup itu selalu berisik tanpa habis bahan obrola. Tentang kejahilan
si Rita yang doyannya ngumpetin barang temen, tentang Dewi yang rusuh tak
beraturan, tentang Leni yang sering dipanggil buntet gara-gara tubuhnya yang
gempal. Tapi untung saja, cewek itu selalu tersenyum untuk menyikapinya.
"Aduuuh ini tangan gue berdarah." Dewi masih menggerutu kepada temantemannya. Sepertinya sampai sekarang tidak ada yang memercayai Dewi.
Perempuan itu sesekali tertawa melihat eskpresi teman-temannya dengan tatapan
seperti sedang melihat orang gila.
"Si Dewi mulai sarap."
Giliran Nevan yang menjadi incaran Dewi. "Nevan!" Panggilnya berseru. Nevan
yang sedang mentertawakan Ari karena dia bertingkah aneh lagi seperti berkaca
di cermin milik siswa perempuan menoleh pada asal suara.
"Van minta plester, dong!" teriak Dewi seolah kesakitan, "Ini tangan gue
berdarah aduh Ya Allah. Liat nih tangan gue abis kena paku haduuuhh." Dewi
memamerkan luka buatannya. "Ayoo minta plester."
"Iya, besok ya Dewi."
Jawaban singkat, padat, jelas, dengan nada datar pula keluar dari mulut Nevan
setelah Dewi meminta hal yang sangat ia butuhkan di detik ini juga.
"Hah?" Dewi ber-?hah? tak mengerti, tercenung lama. Tapi beberapa detik
kemudian, otaknya mulai connect. "Gue butuhnya sekarang blo?on! Gak bisa
nunggu besok dasar dodol! Keburu urgency! Daripada nunggu besok mending
gue beli sekarang. Dasar," omel Dewi gondok setengah ingin tertawa mendengar
jawaban Nevan yang konon menyebalkan dan mengundang emosi. "Polos
banget lo bilang besok!"
"Ya kalau sekarang enggak ada, ya udah tunggu aja besok karna adanya juga
besok." Nevan melanjutkan dengan tampang wajah tanpa dosa.
"Untung lo ganteng, Van. Kalo enggak, udah gue celupin lo ke panci isi air
mendidih yang ada di kantin."
"Om Telolet Om."
"Gue udah ganteng, kan?" tanya Ari kepada Neina yang sedari tadi
memerhatikannya sembari tertawa-tawa. "Ganteng dari mana, yang ada kayak
cewek," ledek Neina belum menghentikan tawaan khasnya. "Ehh maaf,
bercanda. Ganteng kok, Ri."
"Ahh jangan bohong, Na. Nanti si Ari ge?er lagi," kata Satya.
"Si Dewi luka segitu aja dipamerin. Liat dong gue, luka di hati aja dipendem
sendirian." Ari menyahut, menyindir tingkah Dewi saat ini yang sama sekali
tidak penting seperti orang sinting.
"Serpiihan hati ini, kupeluk erat. Akan ku bawaa, sampai kumati. Memendaaam
rasa ini, sendiriaaaaan. Kutaaaang ta?"
"Eittttssss nyanyi apa kalian?" Nevan memelotot, menginterupsi nyanyian yang
dinyanyikan Widan dan Satya.
"Ehhh keceplosan, Van. Sori." Kedua lelaki itu nyengir kuda.
"Eh anak tetangga gue kalau nyanyi itu kayak gini nih. Dengerin, ya," kata Ari
dengan roman serius. "Oke-oke." "Serpihang hati ini, kupeyuuk elat. Akang kubawa, sampai kumatiii, ?iiiih
sereem?" Ari bergidik ngeri, lalu melanjutkan nyanyiannya lagi di antara
keheningan ketiga temannya. "... menendang rasa ini sendiliang, kutaaaang ta---"
"Wuanjiiiirrr!!! Kereeen menakjubkan. Ayo juri-juri, kita kasih tepuk tangan
yang mewah untuk Ari atas bakatnya menyanyi. Nyanyian yang sungguh luar
biasa mengaduk-aduk emosi." Wildan bertepuk tangan bangga, bak seorang juri
yang telah selesai menyaksikan perfomance dari salah satu peserta audisi
Indonesian Idol. Tapi sebenarnya ia hanya berkilah agar bisa menghentikan
nyanyian Ari yang semakin ngaco dan tidak bermutu.
"Ehhh astagfirullahaladzim nyanyi apa loo, Ri. Istigfaar," komentar Dewi
memegang dadanya serta menggeleng-gelengkan kepala kala selesai mendengar
nyanyian Ari. Dia melihat Ari dengan sorotan penuh was-was, seolah Ari ini
adalah hantu yang sedang kesurupan jin tomang.
"Ih gue kan cuma mau ngasih tau kalau anak tetangga gue kalau nyanyi gitu.
Kalau akhirnya huruf N, dia bakal nambahain huruf G jadi NG." Ari mencoba
menerangkan filsafat yang sebenarnya. Tapi mereka terlanjur tidak peduli, tidak
ada pentingnya juga untuk didengarkan.
"Krik krikk Lu mah gaje!"
Ternyata waktu bermain mereka telah berkahir, sekarang waktunya berganti
pelajaran ?pelajaran bahasa Indonesia. Yang gurunya tidak memiliki urusan di
luar. Dia masuk tepat waktu dengan sapaan ramah, membuat murid tidak tegang
untuk melaksanakan proses KBM. Tampak guru lelaki muda itu sedang menulis
bahan ajaran di papan tulis, di belakang, murid mengikuti dengan menulis di
buku catatan masing-masing.
"Dedeww wiwii." Nevan mengguncang bahu Dewi yan duduk di depan
bangkunya.

Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apaan Nevan. Gue bukan Wiwi anaknya Dede," balas Dewi tanpa menoleh.
"Minjem buku lo."
"Lagi dipakek."
"Pelit." "Neina kan ada."
"Lagi dipakek."
"Iya gue juga sama!"
"Liat punya aku aja, enggak pa-pa kok, Van." Neina menawarkan bukunya.
"Enggak usah. Nanti gue ngerepotin."
"Apanya yang ngerepotin, sih."
Nevan tidak ingin mengganggu Neina, dia kembali mengguncang bahu Dewi
hingga gadis itu mendesah. Pak Iman mulai menerangkan tentang bab drama
hingga sekarang keadaan kelas sudah berubah, suara-suara mulai terdengar
setelah sebelumnya lengang. Ketika Pak Iman menerangkan, ada juga beberapa
murid yang bertanya. "Cieee cieeee Nevan sekarang sama Dewi yaaa," sorak Ari heboh, menarik yang
lain untuk menonton adegan romantis antara Nevan dan Dewi. Mungkin saja ini
akan menjadi tontonan paling mengasikkan di sepanjang dunia. Sekaligus
mengusir rasa bosan ketika belajar.
"Cieeee cieeeeee " yang lain ikut-ikutan menyuraki sambil tertawa melihat
Nevan yang sedang menyimpan tangannya di bahu Dewi. Kontan Nevan
melepasnya lagi, Dewi menoleh dan membersut gelisah.
"Cieeeee" godaan itu masih belum berakhir dan malah semakin bergema. Pak
Iman pun ikut-ikutan tertawa, mendekati jajaran bangku Nevan. Memerhatikan
murid-muridnya yang malah bersenda gurau.
"Cieeee direstuin sama bapak cieeeeee" suasana kelas semakin geger. Dan ini
semua, gara-gara pancingan Ari. Dia memang biang keributan.
"Cieee Nevan selingkuh sama Dewi."
"Inget Senna." "Nanti pulang bareng yah, Dewiku?" kata Nevan menggoda, berusaha
membujuk Dewi seimut mungkin.
Justru karena itu, seluruh murid yang berada di kelas bersiul-siul dan ber?ciyee?
ria. Tertawa terbahak-bahak mendengar gombalan Nevan. Lucu sekali. Jarangjarang dia mengajak perempuan pulang bareng.
Neina yang duduk di sebelah Nevan ikut tersenyum, walau tak sepenuhnya
seperti yang lain. Senyum tak bersuara dengan sorotan mata penuh tanda tanya.
Dewi yang merasa risi langsung menyahut teman-temannya yang berisik. "Iih
apaan sih kalian! Norak banget!"
"Sabar maaah." Nevan mengusap punggung Dewi.
"Wkwkwkwkwkwk " tawaan penuh candaan sepertinya tak bisa dihentikan.
Kelas sudah terlanjur hiruk pikuk layaknya pasar.
Neina kembali menulis, membagi pandangannya antara bor dan buku tulis di
tengah keramaian. Ia tidak ikut andil dalam momen ini. Teringat akan hal yang
terjadi pada hari-hari sebelumnya, histori itu mengantarkannya pada satu
jawaban yang sebenarnya masih menjadi lamat di benak Neina. Tiba-tiba dia
membenci perasaannya. Tampak tim basket Nevan sedang bermain bola basket sepulang sekolah di
lapangan. Di kelas, Nevan dan ketika temannya terlihat sebagai grup tukang
oces. Tapi di tengah lapangan, mereka berubah menjadi sosok lain. Sisi keren
dan kharisma seorang pemain basket nampak. Dan sedikit diselingi tawa.
Neina menghentikan langkah, memandang area lapangan dengan roman bahagia.
Sejujurnya, bukan permainan basket yang menjadi obyek pengelihatan utama.
Melainkan Nevan. Lelaki itu yang menarik Neina untuk terus menyaksikan
pertandingan, walaupun sebenarnya ia akan segera pulang setelah menghabiskan
waktu di perpustakaan. Senna terus memerhatikan Neina penuh penyelidikan, jarak kedua perempuan itu
lumayan dekat dengan posisi Neina yang membelakangi Senna. Senna
merasakan kalau cewek itu tengah memandangi salah satu cowok yang berada di
lapangan. Dari sekian banyaknya cowok berkaus basket, hanya ada satu yang
diperhatikannya. Dan perkiraannya, tak mungkin salah. Senna mendelikan mata
pelan, risi dengan pemandangan itu.
Neina yang mulai tidak enak jika terus melihat Nevan, bergegas kembali
melanjutkan langkah. Bahkan ia tidak menyadari kalau dirinya sedang melewati
Senna yang masih memandangnya tak minat. Lalu tak lama kemudian, Senna
alihkan lagi pandangannya ke arah lapangan. Di sana, Nevan sedang
melambaikan tangan kepada Senna lalu menyeka peluh di kening.
Senna balas melambaikan tangan lebih riang. Memamerkan tupperware warna
biru, petanda bahwa ia sudah membawakannya minum untuk Nevan, tandanya
Nevan harus lebih bersemangat untuk latihan. Nevan tersenyum manis. Tumben
Senna tidak beteriak dengan histeria.
Bagian 11. Tepat di depan gerbang sekolah, Senna menjeda langkah. Ada satu pemandangan
yang tidak ingin dilihat, tapi takdir malah kontra dengan keinginannya. Di sana,
ada Neina dan mamanya, Neina menyalimi tangan sang mama, lalu dia
mendapat ciuman kedua pipi dari mamanya. Senna tersenyum kecut. Di sana, tak
henti-hentinya Tania menyampaikan pesan-pesan kepada anak perempuan
kesayangannya. Dan Neina banyak mengangguk, menuruti semua perkataan
Tania. Tak lama kemudian, Neina masuk ke gerbang sementara mamanya masuk
kembali ke dalam mobilnya.
Tanpa ada angin, tanpa ada hujan, Senna mendekati Neina dan menyamai
posisinya. Neina tertegun sambil menoleh ke samping. Benarkah ini Senna?
Untuk apa dia mendekatinya? Atau jangan-jangan perempuan itu mau
menegurnya karena Nevan? "Kenapa?" tanya Senna, langsung bisa menebak mimik Neina yang gamam.
"Kamu " "Iya gue. Gue bukan hantu jadi ekspresinya biasa aja kali," kata Senna sinis.
Memang wajahnya seseram itu sampai membuat Neina takut? Ck!
Neina menunduk lagi seraya terus berjalan tanpa menanggapi ucapan Senna.
"Yang tadi nyokap lo?" Senna bertanya lagi. Dan sebenarnya dia malas sekali
untuk bertanya tentang itu. Raut wajah Senna yang tidak bersahabat membuat
Neina kikuk. "Iya." "Cantik, ya." "Hmmm." "Tapi biasanya cewek cantik itu bakalan banyak cowok yang suka, banyak
cowok yang ngantri. Meskipun cowok itu sebenernya udah ada yang punya."
Senna menengadah, bersikap sesantai mungkin setelah mengucapkan kalimat
yang membuat Neina menghentikan langkah dan memandang Senna tidak
megerti. Garis berlipat tercetak di keningnya.
"Gue duluan. Jalan lo lemot banget!" Gadis itu mempercepat langkahnya
sembari mengangkat dagu penuh percaya diri, meninggalkan Neina yang masih
terpaku memandang kepergiannya. Kata-kata yang dilontarkan Senna barusan,
sangatlah tajam dan menusuk. Tapi Neina sendiri tidak tahu apa maksudnya.
Ternyata Senna mendekatinya hanya untuk mengatakan hal semacam itu.
Tapi akhirnya Neina tidak ingin ambil pusing, menggelengkan-gelengkan kepala
untuk sekadar mengusir pikiran-pikiran penuh tanda tanya. Ia kembali
melanjutkan langkah menuju kelas. Mungkin yang dimaksud Senna adalah,
perempuan yang dibicarakan adalah Neina, dan lelaki itu Nevan.
Tanpa disadari, ternyata Senna belum benar-benar pergi, dia memerhatikan
Neina dari kejauhan. Ada satu hal, yang membuat Senna selalu menatap Neina
penuh antipati. Rasa benci itu semakin merebak.
Sebelum Senna berlalu, kakinya memaksa untuk tetap diam ketika matanya
menangkap sosok Nevan yang ingin masuk juga ke dalam kelasnya. Saat itu pula
Neina memundurkan langkah penuh kegentaran. Tidak bisa dihindari lagi,
punggungnya bersentuhan dengan dada Nevan, dan kontan kepalanya berbalik
serta mendongkak, kedua pasang mata itu saling bertemu.
Senna mengepalkan tangannya gemas, bagaimana bisa hal itu terjadi? Mengapa
Neina malah mundur? Dan mereka saling bertatapan.
"Senna.. Senna!... Seeen" suara Nova dan Sasta terdengar mendengung di
belakang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Senna yang sedang makan hati.
Keduanya serentak berdiri di sebelah Senna sambil menepuk-nepuk bahu Senna
gempar. "Sen Sen Lo dipanggil ke ruangan bu Ida!"
"Haah?" Senna menoleh sambil membuka mulutnya, shoked. Dia alergi dengan
nama ?Bu Ida? Karena guru itu yang paling sering menghukum dan
memanggilnya. Dan sekarang guru itu kembali memanggilnya? "Ada apa lagi
sih sama tu guru?!" tanyanya gusar. "Hellooww ini masih pagi."
"Enggak tau gue juga."
"Nyebelin banget!" gerutu Senna. Bu Ida malah menambah-nambahkan mood
buruknya di pagi ini. "Ya udah yuk." Sasta berusaha meredamkan emosi Senna, menyuruh untuk
segera mendatangi Bu Ida supaya semuanya jelas. Mau tak mau Senna pun
membalikan badan, melupakan niatnya untuk melabrak Neina.
"Eh maaf." Neina segera menjauh dari tubuh Nevan. Siapa yang tau kalau
sekarang jantung Neina berdegup keras, dan itu terjadi semenjak tubuhnya
bersentuhan dengan tubuh Nevan yang wangi. Itu sebabnya Neina terlihat begitu
kelimpungan. "Sori oyyy. Gue kira gak ada orang!" seru Ari yang sudah memakai kembali
bajunya. Mentang-mentang belum ada siswa perempuan yang datang, dia bisa
seenaknya melepaskan pakaian di kelas dengan asumsi kalau dia merasakan ada
sesuatu yang merayap di punggugnya, takut kalau ada kecoa lagi yang masuk.
Sesungguhnya ia trauma dengan tragedi kecoa yang menimpanya beberapa hari
ke belakang. Menghebohkan grup chat LINE.
"Enggak pa-pa, kok. Santai aja," jawab Nevan yang sama sekali tidak keberatan,
tak lupa juga dengan senyuman paginya. Neina yang tidak sanggup lagi berada
dalam siatuasi ini bergegas masuk tanpa berucap apa-apa lagi. Nevan ikut
melangkah di belakang Neina, otaknya melayang ke cerita lain. Tadi di gerbang
dia melihat Senna yang menghampiri Neina lalu mereka berjalan bersama. Tidak
biasanya Senna mengajak seseorang untuk pergi bareng, kecuali kedua teman
dekatnya, Sasta dan Nova. Perempuan itu anti bergaul dengan yang lain.
Begitu tiba di bangku, Neina mempersilahkan Nevan untuk masuk dan duduk
duluan. Lalu Neina duduk di sebelahnya. Daripada terus kepikiran, lebih baik
Nevan bertanya langsung kepada Neina. Meski sebenarnya tidak penting-penting
amat. "Tadi lo bareng sama Senna?"
"Kamu ngeliat?"
"Iya. Ngomongin apa, sih? Gue, ya?" tanyanya kepo. Pertanyaan Nevan sukses
membuat kedua bola mata Neina membulat. Nevan kege?eran.
"Nggak ngomongin apa-apa. Tadi cuma nggak sengaja bareng aja," kilah Neina.
Bukannya ia tidak mau bercerita, tapi kalau diceritakan pun, Nevan tidak akan
mengerti. Jangankan Nevan, Neina sendiri juga tidak mengerti. Jadi, lebih baik
berbohong. "Ooh gitu, ya." Nevan memilih untuk berhenti bertanya. Meski hatinya tidak
yakin akan jawaban Neina.
"Van! Gue atit gigii, tolong beliin promag," kata Ari memegang kepalanya.
"Yang sakit gigi, minta obat mag, megangnya kepala. Bener-bener gelo."
"Iya entar gue beliin es krim," kata Nevan.
"Sakit gigi ya, Ri?" tanya Neina berbalik. "Yaah padahal aku mau ngasih kamu
cokelat." "Waah serius?" mata Ari berapi-api .Menampakan kebugaran, antusiasme-nya
tinggi. Dan sakit giginya sembuh di detik itu juga.
"Iyaa." Neina mengeluarkan beberapa cokelat dari dalam tasnya. Ari menyapu
bibir atasnya dengan lidah. Emmm lezat. Kalau soal makanan, ia tak mungkin
menolak. Anggap saja ini rezeki anak sholeh.
Satu buah cokelat diberikannya kepada Ari. "Nih, ambil." Ari langsung
meraihnya dengan cengiran bangga. Kirain bohongan, ternyata beneran.
Dua buah cokelat lagi diberikannya kepada Wildan, yang satu untuk dititipkan
kepada Satya yang sedang molor di mejanya. Neina tertawa melihat Satya yang
nenyak, padahal ini masih pagi.
"Biasaaa, abis gadang liat yang begituan di youtube. Katanya kalau malem
kebetulan emaknya gak bakal ngeliat, jadi nggak bakal ketauan," ucap Ari
mewakili, supaya Neina tidak salah paham kalau Satya sebenarnya burung
hantu. "Ooooh." Neina mengangguk, masih belum menghilangkan guratan tawa di
wajah. "Iyaa beginoooh."
"Terus ini buat kamu," kini giliran Nevan. Neina menyodorkan cokelat itu
kepada Nevan. Nevan sempat terdiam memandang pemberian Neina, dan hal itu
yang membuat Neina tidak tahan. Memohon supaya Nevan tidak menolaknya.
Tapi detik berikutnya, Nevan mengambilnya, "Thanks." Neina tersenyum lega.
Rasannya berbeda ketika ia memberikan cokelat itu kepada Nevan dibandingkan
kepada teman-temannya. Ada apa dengan hatinya? Ya Tuhan, jangan sampai ia
jatuh cinta pada pria yang sudah mempunyai kekasih di hatinya. Itu akan
menjadi bomerang. "Emang ada acara apaan sih bagi-bagi cokelat? Ini kan bukan hari valentine,"
komentar Nevan. "Enggak. Sebenernya ini cuma ucapan terima kasih aja karena kamu pernah
menjemin jaket kamu sekaligus udah mau ngebiarin aku duduk di sini."
Nevan mengernyit mendengar jawaban Neina yang dirasa terlalu berlebihan.
Gadis itu terlalu polos. "Ini mama aku yang minta. Jadi aku ceritain tentang kamu ke dia. Ehh.. "
Neina merasa ada yang salah pada omongannya, aduh! Payah!. "Bukan aku yang
cerita, tapi mama yang nanya-nanya, ya udah aku jawab. Dan maaf katanya
hadiahnya telat, soalnya cokelat ini baru kemarin dibeliin papa aku."
"Orangtua lo sosweet bangeet sih." Ari menimbrungi dengan ekspresi terpukau.
"Orangtua yang sangaat pengertian."
Sementara Nevan manggut-manggut sambil melepas bungkus cokelat itu.
"Dan masa aku cuma kasih Nevan doang. Aku kasih juga Ari, Wildan sama
Satya, dan itu ide aku sendiri, aku rasa kalian itu nyenengin. Aku suka ketawa
tau liat tingkah kalian, terutama kamu Ari." Neina terkekeh. Ia seperti mendapat
teman baru yang sangat mengasikan, walaupun mereka adalah lawan jenisnya.
"Aduuhh, lo lebih romantis Neniii"
"Neina." Neina meralat.
"Oh iya iya Neina."
"Apa gue sakuin punya Satya, ya? Soalnya cokelatnya manis banget, kayak yang
ngasih," celoteh Wildan yang sudah menghabiskan cokelat miliknya. Neina
tersenyum sebagai balasan.
"Kalau gini, gue restuin deh lo sama Nevan."
Kontan Neina tertegun mendengar perkataan Ari. Sedangkan Nevan melirik Ari
dengan tatapan tajam.Seolah mengatakan apaan sih lo.
"Jadi selama ini lo gak setuju kalau gue temenan sama Neina?" tanya Nevan
memastikan. Padahal maksud Ari bukan begitu, sebenarnya dia merestui kalau
Neina menjadi pacarnya. Neina hanya tersenyum kecil. Namun Nevan tidak
peka. "Ya setuju laaaah!!"
Sekarang Senna dan Alif sedang dihukum di depan kelas. Kedua tangannya
memegang kedua telinga, satu kaki terangkat. Senna hanya bisa menggerutu
dalam hati. Aksi nyonteknya ternyata ketahuan. Pada hari di mana dilakukan
ulangan ekonomi, Senna sengaja mengajak Alif untuk sebangku selama
pengisian soal. Alif yang selama ini mengagumi kecantikan Senna, dia mau
duduk dengannya tanpa syarat. Dan ternyata diam-diam Senna menyontek
jawaban Alif, alhasil nilai ulangan mereka pun sama. Bu Ida yang jeli, langsung
berasumsi bahwa mereka berdua pasti bekerja sama dalam mengerjakan soal.
Lalu dia memutuskan untuk menghukum keduanya. Meski sebelumnya Alif
sempat membela diri di ruang guru, tapi itu semua tidak dapat menghentikan
keputusan Bu Ida. Namun sebenarnya, Alif sedikit senang karena bisa dihukum
bersama-sama dengan Senna yang bermulut cempreng tapi lucu.
Sesekali juga Alif melirik-lirik Senna di sebelahnya dengan tatapan jahil.
"Apaan sih lo!" Senna risi merasa terus diperhatikan.
"Harusnya gue yang marah sama lo. Orang elo yang nyontek, kok gue yang ikutikutan dihukum. Masih syukur gue temenin."
"Helloow emang gue minta?"
"Silahkan masuk." Bu Ida berucap ketika pintu kelas diketuk. Menghentikan
obrolan pelan Senna dan Alif,
Lalu munculah sosok lelaki sambil membawa buku paket, tidak lupa lelaki itu
mengucapkan salam. "Wooaaawww Nevan Ganteng!" bisik Nova terpana.
"Nevan anak kelas 11 IPA 2 si kapten tim basket!" susul yang lain.
"Nevan." Mendengar nama pacarnya disebut-sebut, Senna menoleh pada orang yang baru
saja datang. Dan betapa terkejutnya seorang Senna, murid itu benar-benar
Nevan. Oh my god! Gawat gawat gawat! Nevan melewati Senna dan Alif lantas


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyimpan buku-buku itu di atas meja. Terdengar tawa cekikikan pelan di
belakang, mereka sedang menertawakan Senna yang kepergok sedang dihukum
sama pacarnya. Dan hal itu sungguh memalukan. Reportasi sebagai seorang
siswa turun di mata pacar. Kalau saja tadi ada lubang besar, Senna akan lompat
ke sana untuk bersembunyi supaya Nevan tidak melihatnya. Arghhh!!!
"Terima kasih," ujar Bu Ida. "Kenapa kamu yang antar? Mau lihat pacarmu
dihukum?" "Enggak, bu. Tadi saya nggak sengaja ketemu sama anak IPS, dia nyuruh saya
buat ngasih buku-buku itu ke sini, katanya dia kebelet dan ya udah saya bantu
mumpung lagi santai." Kadang sorot mata Nevan tertuju pada Senna yang
sepertinya sedang mendumal dalam hati, mengomeli dirinya sendiri. Ia juga
memergoki Alif yang tengah menatapnya tidak suka.
"Itu kenapa si kaleng rombreng dihukum, bu?" tanya Nevan.
Senna memelotot ke arah Nevan dengan mulut terbuka. Rasanya ingin sekali
menonjok hidung Nevan saat itu juga. Berani-berainya cowok itu mengatai
kaleng rombreng. Ini pacarmu woooy! Kekasihmu!!!
"Ketauan nyontek."
Senna semakin merah padam. Dia merutuki diri sendiri dan juga Nevan.
Terutama Bu Ida. Mengapa dunia sekejam ini? Haruskah diledek oleh pacar
sendiri dan dipermalukan di depannya? Senna berharap agar bumi runtuh di
detik ini. Dan kisahnya selesai sampai di sini.
"Ya udah saya balik, bu."
"Tenang, ada gue, Sen," kata Alif.
Senna tidak menanggapi. "Ya." Nevan mulai melangkah meninggalkan kelas, melewati Senna lagi, dalam dua
detik kedua matanya bersitatap dengan mata Senna yang raut wajahnya sedang
kusut. Lalu pandangannya beralih kepada lelaki yang berdiri di sebelah Senna.
Nevan beranggapan bahwa lelaki itu senang dihukum bareng Senna, dan cara dia
menatapnya mengatakan bahwa cowok itu tidak menerima baik kedatangannya.
Ah tapi ya sudahlah, Nevan tidak peduli.
Tangan dan kaki Senna benar-benar pegal, ingin dipijit Nevan. Ini kedua kalinya
ketahuan dihukum oleh Nevan. Begitu Nevan keluar, masuklah seorang murid
yang barusan mendapat perintah untuk mengambilkan buku. Senna menatap
murid lelaki itu dengan tatapan permusuhan, kalau saja dia tidak memberikan
bukunya kepada Nevan, Senna tidak akan terlihat bodoh di depannya.
"Tegakkan badanmu Senna!" pekik bu Ida.
Senna tersentak. "Iyaa iyaaaa bawel banget buuu."
"Saya tambah hukuman kamu selama 30 menit!"
Refleks Senna terperanjat. Ternyata dia salah ngomong.
Neina yang kini akrab dengan grup Nevan mulai menoba berbaur. Dia ikut ke
kantin bersama dengan mereka. Usaha Nevan ternyata tidak sia-sia, Neina
akhirnya mau terbuka. Senna berlari keluar dari kelas, sekarang juga ia harus bertemu dengan Nevan
lalu menabok dia dengan bola basket. Dan yang menjadi tujuan utamanya
adalah, kelas cowok itu. Kaki dan tangannya sangat nyeri gara-gara hukuman
tadi. Perempuan itu mempercepat larinya tatkala melihat Nevan dan temantemannya pergi meninggalkan kelas.
"Nevaaaaaan!" Senna berteriak tepat di belakang Nevan. Mereka semua
menghentikan langkah dan menutup kedua telinga. Orang yang dipanggil segera
berbalik. "Oooh sekarang kamu gini, ya? Udah ngatain kaleng rombreng dan sekarang
malah enak-enakan pergi ke kantin? Kaki sama tangan aku pegel. Kamu
perhatian dikit napa. Dateng ke kelas dan nanya ?kamu gak pa-pa, kan? Kamu
baik-baik aja?? Ini malah " Senna tercekat begitu menyadari kehadiran Neina
di antara teman-teman Nevan, romannya tiba-tiba berubah.
Nevan yang tidak mau mendengar ocehan Senna lagi segera memanggul tubuh
Senna layaknya memanggul sekarung beras. "Bawel banget udah ayooo."
Senna memekik kencang begitu digendong Nevan di koridor, tangannya
memukuli punggung Nevan geram. Serasa Nevan sedang menculiknya. Ari,
Wildan, Satya, dan Neina melongo. Terutama para murid yang sedang berlalulalang di sana. Kedua murid itu menjadi tontonan utama di saat istirahat.
Ternyata Nevan hanya membawa Senna ke sisi lapangan, ada kursi panjang di
sana sehingga Senna dapat selonjoran, lebih tepatnya di atas paha Nevan. Ia
memjiati kaki Senna. "Kamu nggak pernah belajar, ya?"
"Males." "Kalau males gak usah sekolah."
"Yaah kamu malah ngomong gitu," keluh Senna.
"Nanti kita belajar bareng, ya?" usul Nevan. Ia tidak ingin melihat Senna
dihukum lagi hanya karena acara nyontek.
"Mau belajar gimana, Van? Orang jurusan kita aja beda."
"Oh iya ya." "Itu kamu mijitin atau gelitikin aku, sih? Kok rasanya geli banget?" Senna
merasakan geli di kakinya. "Udah, ah," ia menurunkan kakinya. Nevan
tercenung. "Terus tadi kenapa kamu ngatain aku kaleng rombreng? Kamu malu punya pacar
yang bodo?" Senna mulai mencecar dan merendahkan dirinya. Sesungguhnya
dia masih belum menerima perkataan Nevan sewaktu di kelas.
"Kalau malu, udah aku tinggalin kamu dari dulu, gak akan juga nembak kamu."
Nevan menjawab, namun jawabannya lebih kepada menggoda. Berusaha
menghilangkan raut kecewa di wajah Senna.
"Aku maluuuu." "Malu kenapa?" "Gara-gara ketauan dihukum sama kamu." Senna mencibirkan bibir.
"Cieee malu." Nevan malah menyikut lengan Senna. "Dihukum sama guru itu
nggak terlalu buruk kali. Justru hal itu yang bakalan kita kenang waktu kita udah
nggak sekolah. Kalau terlalu patuh, nggak asik."
"Alah kamu juga nggak pernah dihukum."
"Kamu jangan amnesia, deh. Mau aku bawa ke rumah sakit?"
Senna menabok bahu Nevan, ucapan lelaki itu selalu ngaco. "Gara-gara gaul
sama Ari nih, jadi kebawa gila."
"Lebih baik kebawa gila daripada kebawa nggak bener."
"Ngejawaaab." "Aku pernah dihukum, loh."
"Kapan?" "Waktu di bawah tiang bendera, bareng sama Senna sini."
"Sekarang malah ngatain nama akuuu." Senna menjadi gregetan dengan tingkah
Nevan. Kalau dia bukan pacarnya, Nevan sudah Senna laporkan ke kepala
sekolah atas pencemaran nama baik.
"Kamu banyak panggilannya loh. Senna sini, Senna pergi, Senna lari, Senna "
Senna berbalik, Nevan semakin ngelunjak, ingin sekali menutup mulutnya
dengan solasiban. "Senna cintain Nevan." Nevan melanjutkan dengan nada imut. Berhasil
membuat detak jantung Senna berhenti, juga berhenti menyemburkan
amarahnya. "Cie Senna maluu." Lagi-lagi Nevan menyikut lengan Senna. Kali
ini ia mulai mBersambungi kedua pinggang Senna, yang akan segera berlanjut
ke ketiaknya kalau saja Senna tidak mengindar. Dia berlari ke dalam lapangan,
"Nevan Bersambung serunya sembari tertawa. Nevan menyusul Senna, tidak akan membiarkan cewek itu lolos. Kedua
tangannya berhasil memegang pinggang Senna lagi, mencoba menggelitiki
Senna yang bergelak tawa saat berusaha keras untuk kabur. Tenaganya terlanjur
terkuras gara-gara terus tertawa sehingga menyulitkan untuk berlari lagi, dan
Nevan tidak mau berhenti, kali ini dia benar-benar jahil, virus Ari semakin
menyebar dalam dirinya. Tiap kali Senna menghindar, Nevan pasti berhasil
meggelitikinya dan terus seperti itu sampai waktu istirahat selesai.
Ada seorang cewek yang memerhatikan mereka.
Bagian 12. Neina bangun dari duduknya sembari membawa sebotol minuman kaleng,
berniat untuk segera meninggalkan kantin. Beberapa gerombolan murid lelaki
berlarian saat mendengar suara bel petanda masuk, hingga bahu salah satu dari
mereka bertubrukan dengan bahu Neina, tak bisa dipungkiri lagi, tubuh gadis itu
terdorong ke depan, menabrak seseorang sampa minuman di tangannya tumpah
ke baju si perempuan yang ia tabrak. Neina terperanjat, kedua matanya
membesar. Gawat! Sementara cewek yang sebelumnya berseloroh dengan kedua
temannya, membuka mulut membentuk huruf ?O? dengan mata melotot pada
baju yang kini telah basah. Tawaan di wajahnya berhenti.
"OH MY GOD!" Senna memekik dengan emosi yang akan segera meledakledak. Lalu diliriknya si pelaku yang membuat baju dan sweater pink pendeknya
basah. Di sana, ada Neina yang sedang kalang kabut, tangannya ragu-ragu untuk
membersihkan baju Senna, karena percuma, baju itu akan tetap basah. Ditambah
reaksi Senna yang mampu membuat Neina ketakutan. Seolah dia baru saja
melakukan kesalahan paling besar. "Aduuh maaf, Sen. Aku bener-bener nggak
sengaja. Senna menjauhkan tubuhnya dari Neina, masih menatap cewek itu dengan
segala kebencian. Nova dan Sasta langsung mengambil tindakan, mengeluarkan
tisu yang selalu dibawa kemana-mana. Lalu mereka mengelap baju seragam
Senna menggunakan tisu tersebut dengan gerakan cepat. Mereka tahu tentang
emosi Senna yang selalu gampang terpancing. Termasuk hal sekecil apa pun itu.
"Udah-udah." Senna menolak tindakan teman-temannya. Pandangannya masih
tertuju pada Neina yang masih berusaha meminta maaf.
"Lo sengaja tumpahin minuman itu ke baju gue? Lo mau bales dendam garagara kemarin gue ngatain nyokap lo?" Senna langsung berasumsi seperti itu,
dibalas dengan kernyitan di kening Neina. Tak mengerti dengan perkataannya,
dan jelas asumsi Senna salah besar.
Melihat ekspresi Neina yang membuat Senna muak, dia segera meraih
pergelangan tangan Neina, mencekramnya kuat lalu menariknya secara paksa
keluar dari kantin. Nova dan Sasta berlekas mengikuti mereka berdua, memang
apa yang akan dilakukan Senna? Mengapa dia terlihat semarah itu?
Senna melepaskan cengkramannya begitu tiba di belakang sekolah. Sengaja dia
memilih tempat sepi. Nova dan Sasta pun kehilangan jejak mereka.
"Lo itu kenapa sih selalu aja ngeganggu hidup gue?!"
"Aku bener-bener nggak sengaja, aku berani sumpah."
"Gue gak butuh maaf dan sumpah lo! Asal lo tau, gue itu benci banget sama lo.
Sejak pertama kali gue ngeliat lo, gue udah muak duluan. Apalagi waktu lo so?
cari muka di depan Nevan."
Neina terbelalak atas apa yang baru saja dipaparkan Senna. Jelas menimbulkan
pertanyaan di benaknya, memang apa yang yang telah ia lalukan sehingga Senna
langsung mengatakan kalau dia membencinya? Ini tidak masuk akal, Neina
bingung. "Tadi pagi, gue liat lo masih sebangku sama Nevan. Dan gue juga liat, lo seneng
banget deket-deket sama dia. Selama ini gue diem, karena gue tau, setiap kali
gue ngelabrak lo, Nevan pasti ngebela lo, mengenyampingkan gue. Dan lo tau
kenapa hal itu bisa terjadi? Karena Nevan selalu liat keluguan dan kepolosan di
wajah lo yang manis!" Senna menunjuk wajah Neina dengan sorotan mata
berkilat-kilat. "Keluguan lo itu yang ngebuat Nevan nggak bisa nyalahin elo."
Neina masih bungkam, belum berani membuka mulut apalagi suara. Sentakan
Senna berhasil membuatnya tak keruan. Ini bahkan baru pertama kalinya mereka
berhadapan sangat dekat, berdua. Tapi Neina sudah terlihat begitu buruk di mata
Senna. Neina merasakan atmosfir aneh yang kentara.
"Tapi mulai sekarang, gue nggak akan biarin biarin lo deket-deket sama Nevan.
Kesabaran gue udah habis, dan stop mandang-mandang Nevan kalau dia lagi
main basket." Neina kembali membeliak dengan pernyataan Senna.
"Gue peringatin lagi sama lo. Jangan pernah nunjukin keluguan lo lagi di depan
Nevan. Gak usah so baik lo "
Neina berusaha untuk tetap diam, matanya berbinar.
"Karena buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya."
Sekujur tubuh Neina bergetar, tangannya mencekram rok seragamnya, keringat
dingin bercucuran di pelipisnya. Neina yang tidak pernah mendapatkan bentakan
dan hujatan sepertu ini, membuatnya ciut. Sebelum pergi, Senna memancarkan
kesumat, dilangkahkan lagi kakinya meninggalkan Neina. Gadis itu menghela
napas setelah menahannya selama bermenit-menit. Neina menjadi gamang,
jantungnya juga berdegap-degap tak menentu.
Di tengah perjalanan menuju kelas, otak Neina terus berpusing. Anggota
tubuhnya terus bergetar, kedua telapak tangannya menjadi dingin. Wajahnya
pucat pasi. Apakah seburuk itu dirinya di depan Senna? Ini kali pertama ada
orang yang sebegitu membencinya, tanpa alasan. Kebetulan Neina juga kurang
enak badan. Neina merasakan ketakutan yang amat, membuat pikirannya goyah. Seketika
pertahanan gadis itu ambruk, dunianya gelap, lalu pingsan, jatuh ke atas ubin
dan tak sadarkan diri. Sontak murid yang masih hilir mudik di koridor berlekas menghampiri Neina
yang sudah tidak sadarkan diri. Tiba-tiba susana menjadi ribut. Beberapa murid
mulai mengangkat tubuh Neina dan membawanya ke dalam UKS. Kejadian itu
disaksikan oleh Nova dan Sasta, mereka harus cepat-cepat memberi kabar ini
kepada Senna. "Hanya wajahmu yang terukir di dalam hatiku, abadi dan takkan pernah terganti,
hanya kaulah cinta dalam hidupkuuu." Senna bernyanyi ria dengan suara paspasan, menyanyikan lagu lewat headseat yang ia tempelkan di kedua telinga.
Membuat murid yang mendengar merasa terganggu. Padahal sebentar lagi guru
akan masuk, dan mereka belum menyelesaikan pekerjaan rumah dengan tuntas.
Bukannya mengerjakan tugas, Senna malah bersantai-santai seolah sudah
menyelesaikan tugasnya. "Senna Sen!!" Nova dan Sasta mendekati Senna yang masih asik dengan
musiknya. Senna yang tidak peduli dengan kehadiran kedua temannya sama
sema sekali tidak menggubris mereka. Palingan, mereka akan bercerita hal yang
sama sekali tidak penting.
"Tadi lo apain Neina, Sen? Tadi kita liat dia pingsan di koridor."
Jelas, pernyataan Sasta tidak mendapat respon. Alunan musik menghalangi
berita itu, telinga Senna sudah benar-benar dikuasai oleh lagu. Sudah tidak
mampu menyerap suara-suara dari luar. Bahkan bibirnya terus bernyanyi.
Nova gemas, ia segera membuka kedua headseat yang menempel di kedua
telinga Senna. Kontan Senna langsung menyalang, berani sekali temannya itu
mengganggu kegiatannya. "Iih apaan sih, lo? Ganggu banget tau, gak!"
"Tadi Neina pingsan, lo abis ngapain dia?"
Senna tiba-tiba tergemap. Awalnya ia ingin mengamuk dan mencecar, tapi
niatnya itu langsung terhenti ketika mendengar berita yang dilontarkan Sasta.
"Lo enggak apa-apain dia, kan?"
Belum sempat Senna menjawab, para murid mulai duduk di bangku masingmasing dengan gerakan cepat, sambil menggerutu. Karena guru matematika
yang terkenal garang kini mulai memasuki kelas. Sasta dan Nova pun ikut duduk
di bangku masing-masing. Sasta duduk di sebelah Senna, sementara Nova di
belakang. Semua murid membenarkan posisi duduk mereka dengan sedemikian
rupa. Baru datang, guru matematika bertubuh semapai dan cantik itu melemparkan
sorot garang, seperti tatapan hewan buas yang telah mendapatkan mangsanya.
Dia akan segera menagih PR kepada murid-murid. Kalau ada yang belum
mengerjakan, terpaksa dia harus mengeluarkan murid itu, tidak diperbolehkan
ikut dalam proses belajar.
Dan Senna? Dia menutup kedua matanya dengan raut masam. Senna sama sekali
belum mengerjakan soal, bahkan satu soal pun. Mampus! Pasti kena hukum lagi.
Menurutnya, guru cantik tapi galak itu lebih menyeramkan.
Dengan tiba-tiba langkah Senna terhenti, sesosok lelaki bertubuh besar dan
tinggi kini berada tak jauh darinya. Sama, lelaki itu juga berhenti ketika melihat
Senna. Ekspresi Senna berubah saat itu juga. Bagaimana bisa lelaki yang selama
ini ia inginkan kehadirannya, yang ia dambakan kasih sayangnya, sekaligus
orang yang ia benci kini berdiri dengan tampang tanpa rasa bersalah. Mengapa
pertemuan ini harus terjadi, lagi.
Mulut mereka sama-sama bungkam, tak ada yang berani bersuara. Hanya mata
yang saling berbicara. Ada binaran kegetiran yang terpancar dari dalam mata
Senna, kedua telapak tangannya tak hentinya meremas-remas udara. Bibirnya
terkatup rapat. "Om, papanya Neina?" suara itu memecah kelengangan. Di belakang Senna, ada
Nevan yang hendak menghampiri Ardi.
"I.. iya. Saya papanya, Neina baik-baik aja, kan?" Ardi segera melangkah,
melewati Senna yang masih terpaku. Bahkan lelaki itu sama sekali tidak
menyapanya, sibuk mengkhawatirkan anak dari perempuan yang ia pilih untuk
dijadikan pendamping hidup. Senna yang tegar, Senna yang kuat, Senna yang
selalu bersikap ceria secara berlebihan, sudah kebal dengan itu semua. Ia tidak
ingin meneteskan air matanya, walaupun satu titik saja. Memang apa hubungan
dia dengan lelaki tua tadi?
Jadi untuk apa dia mengharapkan pertanyaan dan sapaan darinya? Hal yang


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat mustahil. Bagaimana pun, sekarang dia bukan Ayahnya lagi. Orang lain
lebih tepatnya. Senna berbalik, Nevan berjalan ke arahnya. "Kamu ngapain? Kok nggak ke
kelas? Ini masih jam pelajaran loh. Ooh jangan-jangan kamu bolos dan
keluyuran di luar? Bukannya menjawab dan membalas kelakaran Nevan, dia malah memeluk
Nevan. Sejenak menenangkan diri. Menyembunyikan wajah sedihnya di balik
seragam Nevan. Sejauh apa pun dia berusaha, tetap saja rasanya sakit.
Bagaimana pun, dia masih seorang anak yang menginginkan sosok Ayah. Yang
akan menjadi panutan hidupnya.
"Sen Enggak enak." Nevan merasa tidak nyaman. Bukannya ia tidak mau
dipeluk oleh Senna, tapi ia mengkhawatirkan tentang bagaimana jika ada guru
yang melihat, termasuk murid-murid.
"Oke." Senna melepaskan pelukannya. Ia juga mengerti akan peraturan sekolah.
Kali ini dia bosan dihukum dan malas berdebat dengan para guru. Dia berbalik,
meninggalkan Nevan yang memandangnya penuh kecurigaan. Tidak biasanya
Senna seperti itu, bahkan perempuan itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Ini baru pertama kali Senna menjadi lebih pendiam. Tak ada teriakan
melengking khas-nya. Atau rengekan kecil dan manja.
Nevan ingin menyusul Senna Tapi--- ahh Nanti sajalah. Semoga Senna
baik-baik saja. "Kenapa gue harus ketemu lagi sama sama bapak-bapak itu? Kenapa gue harus
ketemu lagi sama tu orang?! Euuuh!!" Senna bolak-balik seperti setrikaan di
dalam toilet setelah mencuci mukanya. Memorinya kembali terputar seperti
radio yang baru saja dinyalakan. Ingin sekali merusak keran wastafel dan
menyemburkan airnya ke segala sudut sekolah.
Saat itu. Senna menyeka air mata, begitu mendapati Ardi yang baru saja menutup pintu
mobil, dan ternyata ia telah memandangnya lebih dulu. Ardi seolah mengenal
Senna, matanya terus menilik-nilik gadis itu sambil memasukan dompet ke
dalam saku celananya. Ia meninggalkan dompetnya di mobil, itu sebabnya dia
berada di sini. Senna tertegun, bagaimana bisa dia ada di sini sementara tadi dia
masih bercengkrama dalam restoran bersama istri dan anaknya.
"Kamu" suara Ardi terdengar ragu-ragu. Teringat akan seorang anak kecil
yang menangis dan memohon kepadanya agar jangan pergi.
"Kamu masih kenal sama aku?" Senna membuka suaranya, memenggal
pemikiran Ardi. Senna mengusir kesedihannya, berganti dengan tatapan
menantang. Berusaha terlihat sebagai anak yang sombong. Supaya lelaki itu
tahu, bahwa ketidakberadaan dia dalam hidupnya, sama sekali tidak
membuatnya merana. Ardi meneguk air liurnya. Sudah tidak salah lagi, gadis cantik dengan balutan
seragam putih abu-abu ini pasti Senna, anak yang ditinggalkannya lima tahun ke
belakang. Saat anak itu mengenakan seragam merah putih. Dan sekarang, dia
sudah benar-benar berubah.
"Iya, aku anak bapak. Tapi sayang, kamu sama sekali enggak pernah nganggap
keberadaan seorang Senna Athalla di bumi ini." Senna tersenyum kecut. "Jadi
" Senna mulai memikirkan perkataan apa yang pas untuk diucapkan kepada lakilaki yang senang berselingkuh ini. Lebih tepatnya, laki-laki yang sudah
meninggalkan istri dan anaknya hanya karena ada perempuan lain yang lebih
sempurna. Ardi masih mematung di tempatnya. Tidak menyangka bahwa ia akan bertemu
lagi dengan Senna. Apa Jakarta sesempit ini? Bahkan logo sekolah yang
tertempel di lengan seragam Senna, sama dengan logo yang berada di seragam
Neina ---anaknya. Jadi--- mereka satu sekolah?
"Kenapa? Kaget? Kaget kalau aku satu sekolah sama anak kesayangan kamu?"
Kedua tangan Ardi terkepal, perkataan anak itu benar-benar kelewatan batas.
Tidak menjaga ucapan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Apalagi
dengan panggilan ?aku kamu? yang sangat tidak sopan. Apakah gadis itu tidak
dididik dengan benar oleh ibunya? Apalagi jika dilihat dari pakaian yang Senna
pakai, terlihat begitu berlebihan dan gaul.
"Ya udah sih nggak ada pentingnya juga aku ketemu sama bapak. Bukan siapasiapa aku juga." Senna mulai melangkah, meski tindakan dan hatinya sangat
bertentangan. Dan pergi pada akhirnya.
Ardi hanya bisa memandang kepergian Senna tanpa ingin mencegahnya.
Otaknya sibuk berpikir. Biasanya, kalau seorang Ayah yang menyayangi dan merindukan anaknya yang
telah lama tidak jumpa, dia akan memanggil dan bertanya ?apa kabarnya?? ?apa
kamu baik-baik aja?? ?Ayah kangen? ?kamu sehat-sehat, kan??
Ini tidak. Senna menghentikan taksi yang melewatinya dengan perasaan hancur.
Setengah ia membenci Ayahnya, setengah hati juga dia merindu. Tapi semua
kedengkiannya pada lelaki itu benar-benar telah menghapus semua rasa. Rasa
layaknya seorang anak ketika bertemu dengan Ayahnya, bangga, senang, dan
suka cita. Ini malah berbanding terbalik, yang ada adalah kebencian dan
kedendaman. "Bapaaak, bisa ngebut gak, sih?!" pekik Senna kesal.
"Ya sabar dong, neng. Jakarta maceet."
Senna selalu saja melemparkan kemarahannya pada siapa saja yang berada di
sekitarnya, walaupun mereka tidak salah apa-apa. Termasuk orang yang tidak
dikenal. ?kalau mau cepet, naik kapal terbang dong, neng?
Setelah menenangkan perasaan ?meskipun tidak sepenuhnya. Senna keluar dari
toilet dengan wajah yang kembali sumeringah, ditambah lapisan bedak yang
menutupi tampang nestapa.
Sepertinya hari ini benar-benar hari sialnya, matanya lagi-lagi menangkap
sebuah pemandangan tak mengenakan. Di sana, Ardi sedang memapah Neina
menuju parkiran. Seketika amarahnya menjalar lagi. Tak ingin terus tersiksa,
Senna menyingkir dari pijakannya, berjalan cepat menuju kelasnya.
"Segitu aja udah pingsan, dasar cemen," umpat Senna. "Anak mamih sama
papih, siih." "Assalamu?alaikum." Nevan membuka pintu kelas dengan santun, sedikit
membungkuk untuk menghargai guru yang sedang mengajar. Di depan kelas,
ada guru Fisika dan juga temannya ?Didit ---yang sedang mengerjakan soal
fisika. "Wa?alaikumsallam," jawab guru lelaki itu sambil terus mengajar.
Nevan segera duduk di bangkunya diiringi dengan suara-suara murid yang
menyebutkan angka, membantu Didit untuk mengerjakan soal. Sekarang Nevan
duduk sendiri karena Neina sudah pulang karena sakit. Lekaki itu membenarkan
jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Cieee kesepian," sindir Ari.
Namun Nevan tidak menanggapi, dia terlalu sibuk memikirkan Senna sambil
menyandar santai di tembok, hingga posisi duduknya tak tegak.
Di depan, sang guru tidak henti-hentinya memberikan intruksi kepada Didit
dalam mengerjakan soal. Kebetulan, bangku Didit berada di samping bangku
Nevan. "Ini giliran, Ri?" tanya Nevan melirik ke belakang.
"Yap! Dan sekarang giliran elooo."
Nevan menghadap lagi ke depan. Di depan, Didit masih sibuk dengan soal
?mengerikan?-nya. Sesekali juga dia menggaruk tengkuknya, tangannya gemetar
untuk sekadar menuliskan angka di papan tulis. Pasti itu sangat sulit dan
melelahkan, gerah pula. Nevan mendesah, dia lantas keluar dari bangkunya. Berjalan ke belakang, dan
duduk di sebelah Satya yang kalem, berbeda dengan mereka yang sibuk mencari
jawaban. Dia berada dalam zona aman, karena tidak akan kebagian soal. Duduk
di jajaran paling belakang memang sangat menguntungkan. Satya
mensyukurinya. Didit sudah selesai menyelesaikan soal, dan soal pun telah mendapatkan
jawaban tepat, mereka serentak mencakra jawaban ?a? yang dikatakan benar.
Didik kembali ke bangkunya, lega. Selesai juga.
"Yaa, selanjutnya," kata Pak Seto.
"Nevaan " seru Dewi yang tahu kalau sekarang giliran siswa yang duduk di
belakangnya ?Nevan. "Nevan " susul yang lain.
"Mana Nevan?" tanya Pak Seto melirik bangku siswa yang dipanggilnya,
mencari keberadaannya. Sementara yang namanya disebut-sebut, malah diam dan bersunyi-sunyi,
menenggelamkan pipinya di atas bangku, menghadap ke tembok hingga terlihat
sedang tidur. Nevan mengetuk-ngetukan jari kukunya di atas meja. Sama sekali
tidak menanggapi panggilan teman-teman dan gurunya.
"Nevan, ih! Cepetan ke depan, giliran lo," teriak Dewi lagi.
"Van! Nevan woy!"
"Wiiih Nevan emang kreatif," kata Satya berseloroh.
Nevan lalu mengangkat kepalanya setelah mendengar celetukan Satya, lalu
bertepuk tangan dengan Satya. "Beneer, jadi orang itu harus kreatif, " cowok itu
nyengir. Pak Seto menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah muridnya. Dia
juga ingin tertawa, mengerti kalau muridnya pasti tidak mau mengerjakan soal
yang membuat pusing sekaligus mual.
"Woy, Van. Giliran lo, maju," titah Ari yang sebenarnya takut, soalnya kalau
Nevan nggak maju, malah dia yang kena. Dia belum siap menemui soal ganas
itu. "Ayo Nevan," ujar Pak Seto.
"Saya nggak bisa, pak. Saya lagi banyak pikiran, ntar malah nggak fokus," kata
Nevan dengan tampang watado, juga guratan tawa di wajah. "Suer, pak. Saya
nggak bisa," lanjutnya lagi hingga membuat teman-teman yang mendengarnya
tergelak. Lucu sekali. Nevan diam-diam pindah ke belakang hanya karena malas
maju ke depan. Tidak biasanya Nevan mundur dari soal-soal, biasanya dia gemar
sekali maju ke depan dan mengerjakan soal dengan tenang. Mungkin dia sedang
malas. "Banyak hutang!"
"Mikirin bola basket yang harganya naik!"
"Mikirin Neina. Kesepian," celetuk Ari. Yang lain kembali tertawa lagi, ada
yang meledek, ada juga yang bersiul-siul. Kelas kembali heboh. Mereka
memang hobi menggoda. Terutama kalau ada berita yang mengenai siswa lelaki
dan perempuan yang sedang PDKT-an. Nevan yang tidak ingin andil kembali
menenggelamkan wajahnya di atas meja.
"Gini ya. Nanti di masa depan, kalian itu jangan lari dari masalah," kata Pak
Seto yang niatnya menyindir Nevan. Mengundang tawaan yang lebih renyah
lagi. Nevan yang kesindir, mengangkat kepala lagi, ikut tertawa sambil
cengengesan. "Oke, Pak Hehehe " Untung tampan, kalau tidak, ya
sudahlah. "Ya udah giliran kamu. Baca soalnya," perintah itu ditujukan kepada Ari. Kontan
Ari mengerling horor. Nevan tertawa tanpa suara di belakang. Akhirnya dia
keluar dari zona bahaya. "Ari!" "Arii, mana Ari, di mana Ari?" Ari menoleh ke sana kemari, mencari
keberadaan Ari. "Ari di mana"
"Heeeh, udah jangan banyak becanda," tukas Pak Seto, menghentikan Ari yang
sedang mencari ?roh?-nya. Tawaan murid pun tidak dapat dibendung lagi.
Mau tak mau akhirnya Ari bangkit dari duduknya, maju ke depan. Wildan
menertawakannya, begitu pun Nevan dan Satya.
Selamat mengerjakan Ari. bagian 13. Nevan yang baru saja keluar dari kelas, berlekas menuju kelas IPS 5 ---kelas
Senna. Di depan kelas, ada Nova dan Sasta yang berdiri sambil mengobol. Biasa
cewek, sukanya ngegosip. "Hay," sapa Nevan disertai senyum.
"Eeee Nevan Ganteng," seperti biasa, begitulah panggilan Nova kepada Nevan.
Dia balas tersenyum, lebih lebar dan lebih manis, dan itu didedikasikan hanya
untuk Nevan seorang. "Senna mana?" "Emh kali-kali kek nyariin gue," ujar Nova.
"Ada kok yang nyariin lo."
"Siapa-siapa? Dimas Anggara, kan?"
"Bukan." Nevan mendekatkan mulutnya di telinga Nova. "Malaikat izroil,"
bisiknya pelan. Nova menyalang. Kalau bukan pacar Senna, sudah Nova laporkan ke pihak
polisi karena telah meledeknya dengan sedemikan buruk. Di sana Nevan malah
terkekeh. "Nyebelin bangeeet." Nova mencibirkan bibir.
"Senna masih di dalem, berusaha jawab pertanyaan dari guru macam guru TK.
Yang bisa jawab pertanyaannya baru bisa pulang," jelas Sasta sedikit kesal. Guru
yang sedang mengajar itu memang sangat menyebalkan. Jadul.
"Ooh." Nevan manggut-manggut. "Eh gue bisa nanya sesuatu, gak?"
"Nanya apa? Pasti gue jawab, kok. Tenang aja. Apa sih yang nggak buat Nevan
Ganteng," kata Nova bersemangat. "Yaa meskipun lo selalu nyakitin gue."
"Senna punya masalah? Emm, misalnya apaa gitu."
Nova dan Sasta saling melirik dalam waktu beberapa detik, lalu perlahan
menggeleng, kembali memusatkan pandangannya ke arah Nevan.
"Itu jawabannya nggak tau atau emang enggak?" Nevan belum menemukan
jawaban apa-apa dari kedua makhluk di depannya Ambigu.
"Nggak tau. Cuma tadi waktu di kantin tadi---"
"Eh Senna." Nevan langsung memotong begitu Senna keluar dari kelas. Gadis
itu sedang berusaha memakai tasnya, Nevan segera membantunya, tak lupa
menutup resleting tas Senna yang masih terbuka.
Nevan lalu meraih pergelangan tangannya, menggenggamnya rekat, segera
membawanya pergi. Senna terbelalang, ini tiba-tiba. Mereka belum sempat
janjian. Tapi tidak apa-apa, lah.
Nova dan Sasta yang merasa ditinggal begitu saja hanya mendengus. Dari tadi
mereka nunggu Senna, dan saat perempuan itu keluar, dia malah pergi duluan!
Ternyata Nevan membawa Senna ke tempat yang sangat ramai, sebuah Mall
bertingkat. Dalam perjalanan, tangan mereka terus bertautan mesra. Bukan
hanya Nevan dan Senna, ada banyak pula pasangan remaja berseragam putih
abu-abu yang berjalan-jalan di Mall ini setelah pulang sekolah. Orang-orang
berlalu-lalang untuk berbelanja atau hanya sekadar nongkrong, membeli
Api Di Bukit Menoreh 22 Shugyosa Samurai Pengembara 7 Alap Alap Laut Kidul 9

Cari Blog Ini