Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok Bagian 2
Berganti-ganti aku berusaha membujuk Byron agar mau masuk ke air
(dia menolak terus karena tidak mau dimakan hiu) dan mencari alasan
untuk mengobrol dengan Scott. Dan setiap kali Mary Anne menatapku
dengan kesal.
Habis, bagaimana dong kalau Scott mau makan sandwich dan
minta minuman dingin lagi? Mungkin saja Mary Anne memang
kewalahan menghadapi anak-anak, tapi bukan salahku kalau Adam
menumpahkan seember air ke kepala Byron, atau kalau Nicky
menghilang selama sepuluh menit. Ternyata Nicky cuma kembali ke
rumah tanpa memberitahu siapa-siapa, tapi Mary Anne sudah keburu
panik. Dia mesti belajar dong, untuk mengatasi hal-hal seperti itu.Pukul lima sore Scott dan Bruce turun dari pos. Mary Anne
memanggil anak-anak Pike. "Sudah waktunya mereka dibawa masuk,"
dia berkata padaku. "Sepertinya kulit Mallory dan Jordan juga mulai
terbakar. Dan aku yakin bahwa Claire sudah capek"
"Oke, kamu duluan saja," jawabku. "Aku ada perlu sebentar
dengan Scott."
"Stacey," Mary Anne menegurku dengan nada tidak sabar, "di
sini ada dua payung, sepuluh handuk, satu set mainan Tonka, embereniber, sekop-sekop, kartu remi, botol-botol lotion, dan tas-tas pantai
yang perlu dibawa."
"Kan ada delapan anak yang bisa membantumu," aku
membalas. "Lagi pula, sebentar lagi aku sudah menyusul, kok."
"Kamu kan memperoleh bayaran yang sama denganku," kata
Mary Anne dengan jengkel, "jadi kenapa harus aku yang mengurus
segala sesuatu."
Karena kulitnya lagi terbakar, aku memaafkannya.
Tapi ternyata cowok yang kemarin sempat membantunya
kembali menawarkan jasanya. Aku baru sadar bahwa sebelumnya dia
juga membantu mencari Nicky. Jadi kenapa Mary Anne masih
mengeluh saja?
Sementara Mary Anne memanggil anak-anak Pike, aku
memperhatikan Scott bersiap-siap untuk pulang. Kemudian aku
mengikutinya waktu dia dan Bruce menarik kursi jaga ke bukit pasir.
"Hmm," aku bergumam setelah terdiam sejenak, "sampai besok,
ya."
Jeep penjaga pantai yang akan menjemput mereka sedang
mendekat."Tunggu sebentar, Stacey," ujar Scott. "Hei, Bruce! Kamu
duluan saja," ia lalu berkata pada rekannya. "Aku menyusul."
Apakah Scott ingin berduaan denganku?
Scott menampilkan senyumnya yang menawan. Kemudian ia
melepaskan peluit yang melingkar di lehernya, dan menyerahkannya
padaku. "Hari ini kamu betul-betul jadi dewi penyelamat, Putri,"
katanya. "Terima kasih banyak. Peluit ini untukmu."
Aku menggenggamnya dengan tangan gemetaran.
"Oke," ujar Scott dengan lembut. "Aku harus pulang. Besok
kita ketemu lagi, kan?"
"Yeah. Besok. Pasti. Eh, terima kasih, Scott. Hadiahmu
istimewa sekali."
Aku memperhatikan Scott berlari menghampiri jeep dan
melompat naik tanpa membuka pintu.
Aku tahu bahwa dia sebenarnya ingin mengatakan lebih
banyak, tapi masalahnya dia terlalu pemalu. Kadang-kadang cowok
memang begitu. Pokoknya, dia tidak perlu berkata apa-apa supaya aku
memahami maksudnya. Aku sudah tahu, kok.
Scott jatuh cinta padaku!Bab 8
SEBENARNYA sih tidak aneh kalau kita mengalami satu hari
dengan cuaca buruk di Sea City. Tapi sejak awal liburan kami
cuacanya begitu bagus, sehingga kami berharap agar keadaan itu akan
bertahan seterusnya. Karena itu kami agak kaget waktu kami bangun
pada hari Kamis. Kami menggigil di tempat tidur! Waktu akumemandang ke luar jendela, langit ternyata berkabut dan kelabu, dan
udaranya dingin dan lembap. Biarpun tidak ada hujan, yang jelas hari
itu bukan hari yang cocok untuk pergi ke pantai. Rupanya orang-orang
lain juga sependapat denganku. Pukul setengah sepuluh pantai masih
lengang, dan kami menyadari bahwa para penjaga pantai pun takkan
muncul. Kenapa ini tidak terjadi pada waktu Scott libur?
"Rasanya," Pak Pike angkat bicara ketika kami sarapan di
dapur, "ini kesempatan baik untuk pergi ke Smithtown."
"Oh, Papa, jangan. Jangan ke Smithtown, deh!" ujar Byron di
tengah erangan dan keluhan saudara-saudaranya.
"Tempat apa sih itu?" tanya Mary Anne.
"Smithtown adalah kota tua yang membosankan. Kata orang
keadaannya masih seperti di abad ke delapan belas," Adam
menjelaskan.
"Aku selalu merana kalau harus ke sana," Vanessa
menambahkan.
"Kalian kan baru sekali ke sana, Sayang," kata ibunya.
"Memang, tapi sekali saja sudah lebih dari cukup," Byron
berbisik pada Adam.
"Smithtown," ujar Pak Pike, "adalah desa kolonial yang sudah
selesai dipugar. Di sana ada toko-toko dan rumah-rumah, gereja,
bengkel pandai besi, bengkel-bengkel perajin..."
"Masa, sih?" kata Mary Anne. Memang hal-hal seperti inilah
yang diminatinya.
"Tapi kalian tidak perlu ikut kalau tidak mau," Bu Pike
mengumumkan."Oh, terima kasih, Ma," balas Mallory. "Tapi Papa dan Mama
jadi pergi?"
Pak dan Bu Pike saling pandang. "Kenapa tidak?" tanya Pak
Pike. "Apakah kalian bisa mencari kesibukan sendiri untuk hari ini?"
"Oh, tentu," jawabku. "Jangan kuatir."
(Mary Anne kelihatan sedikit kecewa.)
Pak dan Bu Pike berganti pakaian. Kemudian Pak Pike
menghampiri Mary Anne dan aku untuk memberikan sejumlah uang.
Setelah itu dia berangkat naik mobil bersama istrinya.
Mula-mula semuanya asyik dengan kesibukan masing-masing.
Tapi dalam waktu satu jam saja kami sudah merasa bosan sekali. Aku
telah menyelesaikan surat untuk orangtuaku dan untuk temanku Laine
di New York, dan aku sudah capek menulis. Di rumah peristirahatan
itu tidak ada TV, dan anak-anak pun sudah kehilangan akal untuk
mengisi waktu. Mallory sejak tadi duduk di depan jendela di lantai
tiga sambil menatap ke laut yang sedang marah. Tapi lama-lama dia
pun jemu. Setiap usul yang dikemukakan Mary Anne atau aku
ditanggapi tanpa semangat.
"Hmm," kataku. "Sekarang kan belum hujan. Jadi, sebenarnya
kita bisa pergi ke kota atau ke dermaga."
"Yeah!" anak-anak berseru serempak.
"Kalau," ujar Mary Anne, "kalian berjanji untuk memakai jaket
atau baju hangat."
"Kami berjanji."
Memang tidak mudah, tapi akhirnya kami bersepuluh bisa juga
menemukan acara yang disetujui oleh semua. Kami akan bermain golf
mini.Hari telah menjelang siang waktu kami tiba di Fred's Putt-Putt
Course. Berhubung cuacanya buruk, banyak orang mendapat ide yang
sama dengan kami, sehingga lapangan golf mini itu cukup ramai. Di
hampir setiap lintasan terlihat antrean orang yang menunggu giliran
memukul.
Tapi anak-anak tidak peduli.
"Ayo, kita ambil stik golf!" seru Byron.
"Aku mau tongkat nomor lima," kata Nicky.
"Dasar," ujar Mallory sambil tersenyum. "Kamu bakal diberi
tongkat yang sesuai dengan tinggi badanmu. Di sini tidak ada tongkat
nomor lima."
"Silly-billy-goo-goo," Claire menambahkan.
Aku memutar-mutar mata.
Setelah semuanya mendapat tongkat, kami berbaris di lintasan
pertama. Tingkat kesulitannya empat, artinya, rata-rata diperlukan
empat pukulan agar bola bisa lolos dari hadangan lengan-lengan
sebuah kincir angin, melewati sebuah belokan, lalu masuk ke dalam
lubang.
Claire ngotot agar ia mendapat giliran pertama. Dua puluh tujuh
pukulan kemudian bolanya baru masuk. Masih ada sembilan orang
dalam rombongan kami yang belum mendapat giliran. Orang-orang di
belakang kami, seorang pria dan seorang wanita, mulai kelihatan tidak
sabar.
"Bagaimana kalau kami main lebih dulu. Kami hanya perlu
beberapa menit saja."
"Tidak!" seru Margo. "Sekarang giliranku. Habis ini aku yang
memukul!""Margo...," kataku.
"Tidak apa-apa," ujar laki-laki itu. "Kamu main saja."
Sebelas kali Margo mencoba agar bolanya bisa melewati kincir
angin, tapi belum berhasil juga. Lama-lama aku mulai kuatir kalau
laki-laki tadi akan kehilangan kesabaran. Jordan akhirnya
memberitahu Margo bahwa dia boleh membawa bolanya ke sisi
seberang, dan melanjutkan permainan dari sana.
"Silakan, Bapak duluan saja," aku menawarkan begitu Margo
selesai memukul.
"Terima kasih," ia menjawab dengan lega. Ia dan wanita itu
menyelesaikan lintasan itu dengan mudah.
Untung saja anak-anak Pike yang lebih tua juga lebih terampil.
Mallory, misalnya, berhasil memasukkan bolanya dengan empat
pukulan saja. Mary Anne dan aku pun tidak sanggup melakukannya.
"Hei, kamu jago golf mini!" kataku pada Mallory.
"Ah, dia cuma beruntung saja," Byron bergumam. Dia sendiri
memerlukan dua belas pukulan.
Lintasan kedua kelihatan sedikit lebih mudah. Di puncak
sebuah tanjakan pendek berwarna hijau ada wajah badut dengan
hidung merah yang berkedap-kedip. Kita harus memasukkan bola ke
dalam mulut si badut, kemudian bolanya akan keluar dari satu di
antara tiga lubang di sisi sebaliknya. Kalau keluarnya dari lubang
tengah, bolanya akan langsung masuk ke dalam lubang sasaran?dan
inilah yang berhasil dilakukan oleh Nicky.
"Hei, sekali pukul masuk! Sekali pukul masuk!" ia bersoraksorai. "Aku berhasil. Belum pernah aku bisa memasukkan bola dengan
sekali pukul!"Beberapa orang di sekitar kami menoleh sambil tersenyum.
Adam memukul bola sebanyak sepuluh kali sebelum berhasil.
Meski begitu ia menonjok bahu adiknya dengan lembut dan berkata,
"Hebat juga kamu."
Nicky tampak berseri-seri.
Orang-orang di belakang kami?kali ini sebuah keluarga?
mulai kelihatan tidak sabar. Aku memanggil Mary Anne dan Mallory
untuk berunding. "Kita harus cari akal," kataku sambil melirik gelisah
ke arah keluarga itu. "Kalau tidak, kita bakal diomel-omeli oleh
pemain-pemain yang lain. Mungkin lebih baik kalau kita membentuk
tiga kelompok dan bermain secara terpisah." Setelah berdebat
panjang-lebar, Mallory bersedia bermain dengan si kembar tiga, Mary
Anne membawa Nicky dan Vanessa, sementara aku mengajak Claire
dan Margo.
Kami berbaris di lintasan ketiga. Kelompok Mallory mendapat
giliran pertama, lalu pindah ke lintasan keempat. Setengah jam
kemudian dia dan si kembar tiga sedang menunggu di lintasan
kedelapan, kelompok Mary Anne berada di lintasan keenam,
sedangkan Claire sedang mengayunkan tongkatnya untuk ketiga puluh
tujuh kalinya di lintasan ketiga.
"Claire... Sayang," aku berkata semanis mungkin.
"Ada apa, Stacey-silly-billy-goo-goo?"
Tapi sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku (dan
sebenarnya aku pun belum tahu apa yang hendak kukatakan), Margo
keburu memotong.
"Eh, aku punya usul, nih," katanya. "Bagaimana kalau kita
membatasi jumlah pukulan yang boleh dilakukan? Setiap pemain tidakboleh memukul lebih dari dua puluh kali. Pokoknya, batasnya dua
puluh pukulan. Kalau lebih dari dua puluh, giliran pemain itu habis."
Aku mengangkat alis. Usulnya baik sekali!
Tapi Claire malah mengerutkan kening. "Bagaimana kalau
bolaku belum masuk?" dia bertanya.
"Kamu lebih baik dapat angka dua puluh," aku
memberitahunya. "Ingat, tujuan permainan ini adalah mengumpulkan
angka serendah-rendahnya. Pemain dengan angka paling rendahlah
yang keluar sebagai pemenang."
"Hmm, kalau begitu boleh deh," ujar Claire.
Batas itu membuat perbedaan besar. Meski begitu, pada waktu
Mallory dan si kembar tiga sudah selesai bermain, kami baru sampai
di lintasan kesepuluh, sedangkan kelompok Mary Anne berada di
lintasan ketiga belas. Supaya mereka tidak bosan menunggu, kami
mengizinkan Mallory, Adam, Byron, dan Jordan pergi melihat-lihat
toko. Tapi mereka harus berjanji untuk tidak pergi jauh-jauh dan tidak
menyeberangi jalan utama. Waktu Mary Anne, Nicky, dan Vanessa
selesai bermain, mereka bergabung dengan yang lain.
Habis itu tinggal aku, Margo, Claire, dan lintasan golf mini.
Kami berada di lintasan keempat belas. Masih ada empat lintasan
lagi?lima, kalau lintasan "kesembilan belas" ikut dihitung. Tapi yang
terakhir itu sebenarnya hanya untuk mengembalikan bola ke tempat
penyewaan.
Pada waktu kami mencapai lintasan kelima belas, Claire
melepaskan tongkatnya. "Ah, aku capek, Stacey. Aku tidak mau main
lagi." (Dia baru menyadari bahwa angkanya sudah lebih dari dua
ratus.)Di lintasan keenam belas, Margo melakukan hal yang sama.
Aku tidak peduli. Aku sendiri juga sudah mulai bosan main golf
mini. "Oke," kataku. "Kalau begitu bola-bola kita kembalikan saja."
Aku mengajak mereka ke lintasan "kesembilan belas". Mallory
sudah menjelaskan apa yang mesti kami lakukan. Bolanya harus
dipukul melewati tanjakan, lalu masuk ke sebuah cerobong dan
menggelinding ke kantor Fred.
Tok! Bolaku lenyap.
Tok! Bola Margo lenyap.
Tok! Bola Claire lenyap.
Lalu, Ding-dong, ding-dong, ding-dong! Blup, blup, blup!
Begitu bola Claire masuk ke dalam cerobong, lampu-lampu
berkedap-kedip, sebuah bel berdering, dan sirene meraung-raung. Fred
bergegas keluar dari kantornya.
"Selamat!" dia berseru. "Seseorang baru saja memenangkan dua
karcis gratis!"
"Aku! Aku! Oh, aku yang menang!" Claire bersorak sambil
melompat-lompat.
"Kamu adalah orang kedua ratus lima puluh yang
mengembalikan bola dalam minggu ini," Fred menjelaskan, sambil
menyerahkan dua karcis.
"Oh, Stacey, boleh kan kalau Margo dan aku main lagi
sekarang?" tanya Claire.
Aku menatap orang-orang yang berbaris di setiap lintasan.
Kepalaku mulai pening.
"Claire," kataku. "Karcismu dipakai kapan-kapan saja, ya, kalau
kebetulan hujan lagi.""Oke," balas Claire. "Tapi, Stacey, kamu silly-billy-goo-goo,
deh."
"Ya, dan kamu juga."
Claire meraih tanganku, lalu dia, Margo, dan aku mulai mencari
yang lain.Bab 9
SEJAK awal liburan, Kristy Thomas terus-menerus mendapat
kabar dari Claudia, Dawn, Mary Anne, dan aku?paling tidak tiga
kartu pos setiap harinya. Dan akhirnya Mary Anne dan aku menerima
surat balasan darinya.
Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Percaya atau tidak, kami semua sibuk menjaga anak. Di tempat
tinggalnya yang dulu di California, Dawn menjaga anak-anak dari
bekas kliennya sebelum pindah ke Stoneybrook. Claudia dankeluarganya berlibur di pegunungan. Walaupun tempatnya tenang?
mereka sengaja memilih tempat itu agar Mimi bisa istirahat dan pulih
kembali?ternyata di sana juga banyak keluarga yang memerlukan
baby-sitter untuk menjaga anak-anak mereka.
Tapi yang paling sibuk adalah Kristy. Dialah satu-satunya
anggota klub yang tetap di Stoneybrook, sehingga dialah yang
menangani semua klien kami. Tapi tugasnya yang paling tak
terlupakan selama kami tidak bertemu terjadi sewaktu dia menjaga
David Michael, adiknya sendiri, dan kedua adik tirinya, yaitu Karen
yang berumur enam tahun dan Andrew yang berumur empat tahun.
Dalam suratnya yang panjang, Kristy menceritakan kejadian itu
dari awal sampai akhir. Semuanya dimulai pada Minggu pagi, ketika
Watson Brewer memberitahu Kristy bahwa dia dan Elizabeth (ibu
Kristy) akan pergi untuk menghadiri acara pelelangan.
Kemudian kedua kakaknya berkata bahwa mereka pun ingin
mengunjungi teman-teman lama di Bradford Court, tempat tinggal
mereka yang dulu.
"Kelihatannya kamu yang bakal mengambil alih tugas Mama
hari ini, Kristy," ujar ibunya. "Bagaimana, kamu sanggup menjaga
adik-adikmu?"
"Tentu saja," jawab Kristy. Ia berpaling pada David Michael,
Karen, dan Andrew. "Oke, apa yang ingin kalian kerjakan hari ini?
Kalian sudah punya rencana, belum?"
"Aku sibuk," kata David Michael. "Linny Papadakis mau bikin
pameran anjing, dan aku mau bawa Louie ke sana. Eh, kalian mau ikut
aku?"
"Mau," balas Karen."Tidak," balas Andrew. (Andrew menyukai Louie, tapi takut
terhadap hampir semua anjing lain.)
"Karen, kamu ikut saja dengan David Michael," Kristy berkata
padanya. "Di sana kamu bisa main dengan Hannie." (Hannie, adik
perempuan Linny, memang teman Karen.)
"Ah, tidak usah, deh. Aku di sini saja sama Andrew."
David Michael kelihatan agak tersinggung, tapi tidak
mengatakan apa-apa.
Lalu Watson angkat bicara, "Sebenarnya ada satu tugas yang
perlu dikerjakan," dia berkata. "Mobil Ford sudah lama tidak dicuci."
"Oh, biar kami saja! Biar kami saja!" seru Karen. "Kalau kami
boleh pakai slang air dan spons yang besar-besar, mobil Papa pasti
bersih sekali, deh! Papa pasti puas dengan pekerjaan Andrew, Kristy,
dan aku!"
Sebetulnya mobil Ford itu tidak istimewa. Watson hanya
menggunakannya sebagai mobil cadangan untuk keadaan darurat.
Mobil tua berwarna hitam itu sudah bertahun-tahun jadi miliknya,
sejak zaman dia belum kaya raya seperti sekarang. Watson
memarkirnya di sebuah gudang di pekarangan belakang. (Garasinya
berisi mobil sport merah, sedan baru yang mewah, dan mobil station
hijau milik keluarga Thomas.) Tapi Watson tidak mau menjual Fordnya. Dia selalu berkilah bahwa mereka takkan pernah tahu kapan
mereka membutuhkannya. Namun Kristy pernah bercerita bahwa
selama dia mengenal Watson, mobil itu cuma dicuci dua kali dan
hanya dipakai sekali.
Tapi Kristy tidak ambil pusing. Mencuci mobil adalah tugas
yang cocok untuk Karen dan Andrew. Jadi sebelum berangkat,Watson mengeluarkan Ford tua itu dari gudang dan memarkirnya di
depan rumah. Kemudian dia dan ibu Kristy berangkat naik mobil
sport, Sam dan Charlie pergi naik mobil station, dan David Michael
mengajak Louie ke rumah keluarga Papadakis.
"Nah," Kristy berkata pada Karen dan Andrew, "bagaimana
kalau kita mulai saja?"
"Yeah! Yeah!" Karen melompat-lompat penuh semangat.
"Nah, pertama-tama kita ganti pakaian dulu,"
Kristy menentukan. "Lebih baik kita pakai baju renang saja.
Setelah itu kita ambil semua perlengkapan yang diperlukan."
Dua puluh menit setelah itu, mereka bertiga berdiri di
pekarangan depan. Di sekeliling mereka ada beberapa ember, spons,
lap, dan sabun cuci.
"Oke, Andrew. Kamu boleh mulai menyemprot!" Kristy
memberi aba-aba.
Andrew membuka alat pemercik pada ujung slang air.
Semburan airnya menyerupai kabut halus. Tapi mereka baru
membasahi kap mobil, ketika David Michael dan Louie muncul di
ujung jalan masuk. Louie terpincang-pincang, dan David Michael
sedang menangis.
Kristy melepaskan spons dan berlari ke arah mereka. "Ada apa,
David Michael?" dia berseru.
David Michael nyaris tak sanggup menjawab. "Aku (huk)... di
tempat pameran anjing (hik-hik)... ada anjing besar (srot)... dan (hik)...
dia geram waktu lihat Louie (huk)... dan Louie juga geram (ng)... dan
anjing itu menyeringai (hik)... dan Louie menyeringai juga (huk)...dan Louie diterjang (hik-hik)... dan dia kabur (srot)... dan sekarang
kakinya luka (hik, huk, ng)."
Kristy memeriksa kaki Louie. Telapaknya memang berdarah,
dan sepertinya lukanya cukup dalam. "Hmm," ujar Kristy, "sebaiknya
kita bawa Louie ke dalam dulu. Habis itu kita pikirkan apa yang harus
kita lakukan. Ayo, masuk dulu," katanya pada Karen dan Andrew.
"Tidak, kami mau cuci mobil," balas Karen. "Kami bisa sendiri,
kok. Betul."
Kristy menatap kedua adik tirinya. Dia kelihatan sangsi. Tapi
kemudian ia berkata dalam hati, Ah, tenang saja. Mobil itu kan
berwarna hitam. Jadi, kalaupun mereka mencucinya tidak sampai
bersih, takkan ada yang memperhatikannya.
"Tapi jangan lupa, jendela-jendela harus selalu tertutupi" dia
mewanti-wanti.
"Beres."
"Dan selain mobil tidak ada yang boleh disemprot."
"Oke."
"Dan jangan bilas spons-spons di pekarangan. Tanamantanaman bisa mati kalau kena air sabun."
"Jangan takut, deh."
Setelah memberi beberapa petunjuk lagi, Kristy mengajak
Louie dan David Michael ke dalam. Ia merentangkan handuk untuk
anjing mereka, dan mengambilkan limun untuk David Michael.
Kemudian ia mencoba membersihkan kaki Louie.
"Rasanya kita harus panggil dokter hewan," katanya setelah
beberapa menit. "Mudah-mudahan saja Dr. Smith bisa datang ke sini."Tapi ternyata Dr. Smith tidak biasa mengunjungi pasienpasiennya di rumah masing-masing.
Karena itu Kristy mulai menelepon orang-orang di tempat
tinggal mereka yang lama. Ia berusaha mencari Charlie, karena hanya
Charlie-lah yang sudah boleh menyetir. Pada waktu Kristy menelepon,
Karen dan Andrew keluar-masuk rumah beberapa kali. Kristy
juga melihatnya, tapi ia tidak begitu memperhatikan mereka.
Akhirnya ia berhasil menghubungi Charlie di rumah keluarga
Ackerman, dan Charlie bilang ia akan segera pulang. Kemudian
Kristy sekali lagi mengangkat gagang telepon untuk memberitahu Dr.
Smith bahwa Louie sebentar lagi akan berangkat ke tempat praktek.
Baru kemudian ia teringat untuk memeriksa pekerjaan Karen dan
Andrew. Ia keluar dari pintu dapur dan menghampiri mobil Ford dari
pekarangan belakang. Hari sudah siang, dan matahari bersinar dengan
cerah. Mobil Ford itu tampak berkilau-kilau.
"Lihat nih, Kristy, kami sudah selesai!" seru Andrew.
"Yap, coba kamu lihat hasilnya," ujar Karen. "Aku jamin mobil
ini belum pernah berkilauan seperti ini."
Kristy pun sependapat. Mobil itu memang kelihatan mengilap,
malah agak... keperak-perakan.
Kristy langsung kaget setengah mati, tapi ia memaksakan diri
untuk bertanya, "Apa... ehm... apa yang kalian berdua pakai untuk
mencuci mobil ini?"
"Oh," balas Karen dengan bangga, "kami tidak pakai spons.
Habis, kurang bersih, sih. Kami memakai sesuatu yang lebih baik. Ini.
Papa selalu menggunakannya untuk membersihkan panci-panci." Ia
mengangkat dua gumpalan wol baja."Ya ampun," bisik Kristy. Baru setelah beberapa saat ia berani
mengamati mobil itu dari dekat. Seluruh permukaannya tergoresgores, dan di sana-sini catnya telah terkupas. "Astaga!" seru Kristy.
"Kalian merusak catnya! Mobil tidak boleh dicuci pakai wol baja.
Ayah kalian minta mobilnya dibersihkan, bukannya diampelas. Aduh,
sekarang bagaimana, nih? Bisa-bisa kita bertiga kena damprat."
Kristy betul-betul kalang kabut. Hari semakin sore. Charlie
pulang lalu membawa Louie ke dokter hewan. Kristy membereskan
perlengkapan cuci mobil di depan rumah. Kemudian ia, Karen, dan
Andrew berpakaian lagi. Tidak lama kemudian Louie kembali dengan
tiga jahitan di telapak kakinya.
Dan setelah itu... Watson dan ibu Kristy pulang. Di acara
pelelangan mereka membeli dua gelas kristal untuk minum sampanye,
dan kini mereka memamerkan keduanya dengan bangga.
"Watson," Kristy mulai berkata, tepat pada waktu Watson
bertanya, "Bagaimana acara cuci mobil tadi? Kami belum sempat
mengagumi hasil kerja kalian."
Kristy, Karen, dan Andrew saling pandang. "Kurasa lebih baik
kalau kalian lihat sendiri saja."
Mereka melangkah keluar. Kristy menjelaskan apa yang terjadi.
"Ya ampun!" ibu Kristy berseru tertahan.
Watson pun tampak agak pucat.
"Aku menyesal sekali," ujar Kristy. "Mestinya aku tidak
meninggalkan mereka waktu mereka mencuci mobil."
"Aku sependapat denganmu," balas Watson. "Aku tahu bahwa
kamu mengalami keadaan darurat, tapi sebenarnya kamulah yang
diberi tanggung jawab untuk mengatur segala sesuatu selama kamipergi. Mestinya kamu lebih memperhatikan mereka. Tapi di pihak
lain, kejadian ini juga ada bagusnya. Masalahnya begini, sudah lama
aku pikir-pikir untuk mengecat mobil itu. Dari dulu aku sudah ingin
punya mobil berwarna pink. Tapi selama ini tidak ada alasan untuk
mengecat Ford itu, karena kita toh jarang sekali memakainya.
Sekarang aku punya alasan yang bagus."
"Mobil itu mau dicat?" tanya Karen. Matanya tampak berbinarbinar. "Bagaimana kalau Andrew dan aku yang mengecatnya? Pasti
asyik, deh."
Watson, Kristy, dan ibu Kristy langsung menatap Karen.
"Tidak," kata ibu Kristy.
"Sama sekali tidak," kata Watson.
"Nanti, kalau ayam punya bibir," kata Kristy.
Dan dengan demikian berakhirlah acara cuci mobil.Bab 10
AKU memerlukan tiga kartu pos untuk menceritakan semuanya
pada Claudia. Masalahnya begini, kejadian yang kualami sama sekali
tak terduga?maksudnya, sama sekali tak terduga olehku.Sudah lebih dari seminggu kami berada di Sea City. Liburan
kali ini menyenangkan sekali. Rambutku sudah bertambah pirang,
berkat sinar matahari, air laut, dan tentu saja Sun-Lite yang kubawa
dari rumah. Kulitku sudah mulai kecoklat-coklatan. Aku juga membeli
bikini baru. Aku membelinya di jalan utama pada suatu sore.
Warnanya pink, dengan gambar pohon palem dan burung nuri di
mana-mana.
(Kulit Mary Anne sudah tidak terbakar, tapi warna coklatnya
juga lenyap. Kalau kami pergi ke pantai, dia lebih sering duduk di
bawah payung untuk melindungi kulitnya dari sinar matahari yang
berlebihan.)
Aku pun tidak mengalami masalah dengan penyakit diabetes
yang kuidap. Aku menjalankan diet seperti biasa, dan ibuku pun hanya
menelepon dua kali untuk menanyakan keadaanku. Anak-anak Pike
tidak terlalu memperhatikan soal itu. Mereka juga tidak peduli bahwa
aku tidak pernah ikut makan es krim atau permen atau donat. Tapi
yang paling mengasyikkan, tentu saja, Scott. Cuaca buruk telah
berlalu dan aku bertemu dengannya pada hari Jumat dan Sabtu.
Pada hari Sabtu, Pak dan Bu Pike memutuskan untuk
mengunjungi Atlantic City, sehingga Mary Anne dan aku harus
mengurus anak-anak. Tapi menjelang malam, Mary Anne boleh
dibilang sudah tidak mau bicara denganku. Dia dongkol sekali karena
menganggap aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Scott,
dan kurang memperhatikan anak-anak.
Dalam hati aku yakin bahwa dia cemburu. Dan kalau aku jadi
Mary Anne, aku pun akan bersikap seperti dia. Cowok konyol yang
bekerja sebagai "pembantu ibu" itu terus berada di sekitarnya, danmereka berdua selalu sibuk dengan anak-anak. Mereka membuat
istana pasir, atau mengumpulkan kerang untuk membuat parit yang
mengelilingi handuk-handuk dan payung.
Mary Anne bilang aku menghabiskan terlalu sedikit waktu
bersama anak-anak, tapi sebenarnya aku juga melakukan pekerjaan
penting kalau berada di pantai. Aku berdiri di samping pos jaga dan
mengawasi anak-anak kalau mereka berada di dalam air?dan Adam
dan Jordan terus-menerus berada di dalam air. Bukan salahku, dong,
kalau Scott sesekali mengajakku ngobrol atau minta diambilkan
minuman kaleng.
"Sayang," ia menyapaku pada Sabtu sore, "apa kamu sudah
pernah diberitahu bahwa kamu cantik?"
Seketika detak jantungku bertambah kencang.
"Belum," aku membalas, padahal itu tidak sepenuhnya benar.
Orangtuaku selalu bilang bahwa aku cantik, tapi mereka kan tidak
masuk hitungan. Lain halnya dengan cowok kece berambut pirang
dengan mata biru, yang memiliki kulit terbakar matahari dan otot-otot
kekar.
Scott menatapku sambil tersenyum. Ia seakan-akan hendak
mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba ia berdiri dan meniup peluitnya
dengan keras.
PRIIIT! PRIIIT! "Hei, kamu terlalu jauh dari pantai!" PRIIIT!
"Terlalu jauh!"
"Apa yang ingin kamu katakan tadi?" aku bertanya padanya
setelah suasana tenang kembali.
"Oh," ujar Scott, "aku cuma mau bilang bahwa kamu... ehm...
kamulah yang paling hebat."Nah, betul, kan? pikirku. Sebenarnya dia mau mengatakan lebih
banyak, tapi dia terlalu pemalu.
Sayangnya Mary Anne tidak mau mengatakan lebih banyak.
Sore itu, waktu aku tanya apakah dia mau diambilkan minuman
kaleng, dia cuma angkat bahu.
"Kalau kamu mau, kuambilkan yang dingin sekali dari lemari es
di rumah," aku menawarkan.
"Tidak usah, trims."
"Kalau begitu aku ambil satu untukku sendiri."
"Silakan."
Aku terdiam sejenak. "Oke, sampai nanti, deh," kataku
kemudian.
Dan itulah percakapan terakhir kami pada sore itu.
***********
Pak dan Bu Pike kembali dari Atlantic City dalam keadaan
riang gembira.
"Bagaimana kalau kalian bebas tugas malam ini?" dia
menawarkan pada Mary Anne dan aku.
"Oh, senang sekali," jawabku. Aku berusaha untuk kelihatan
gembira, tapi karena Mary Anne begitu kesal kepadaku, hal itu
tidaklah mudah.
"Kalian ganti pakaian saja," Bu Pike melanjutkan. "Malam ini
kalian boleh pergi sampai jam sepuluh. Kalian bisa ikut makan malam
bersama kami..."
"Kita mau ke Burger Garden, supaya aku bisa menukar
hadiahku!" Nicky memotong."...atau, kalian boleh juga pergi sendiri," Bu Pike
Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan kalimatnya.
"Kami akan memikirkannya sambil ganti pakaian," kataku.
"Ayo, Mary Anne!"
Kami bergegas menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar.
"Mary Anne, jangan cemberut terus, dong. Sekarang baru jam lima.
Kita masih punya lima jam lagi untuk bersenang-senang. Kita bisa
pergi ke dermaga dan makan malam di sana. Habis itu kita lihat-lihat
toko dan belanja."
Mary Anne mulai kelihatan agak tertarik Dan pada waktu kami
selesai mandi dan berpakaian, dia sudah mau bicara lagi denganku.
Kami memilih pakaian dengan saksama. Soalnya kami tahu
siapa yang bakal kami lihat di dermaga pada malam hari. Cowokcowok keren... Scott.... Aku memakai rompi katun putih di atas gaun
berwarna pink, lalu menjepit rambutku dengan jepitan besar, sehingga
rambutku jatuh ke satu sisi. Mary Anne tidak membawa baju yang
betul-betul disukainya, jadi aku meminjamkan celana kuning, kaus
bergaris putih-kuning, dan jaketku yang putih. Kemudian kami
berkaca di depan cermin. Hmm, boleh juga! Kami telah siap untuk
menikmati malam itu!
Mary Anne dan aku langsung menuju ke dermaga. Kami pesan
hamburger untuk makan malam, dan Mary Anne beli gula-gula
sebagai pencuci mulut.
Kemudian kami mulai jalan-jalan.
Kami mampir di sebuah kios cendera mata. Mary Anne
membeli topi berlambang Sea City sebagai oleh-oleh untuk Kristy dan
Dawn. Aku beli T-shirt berwarna kuning cerah untuk Claudia. Tak adatulisan pada T-shirt itu, hanya gambar seorang pemain selancar yang
kece. Aku sengaja pilih T-shirt itu karena pemain selancar itu agak
mirip Scott.
Habis itu kami pergi ke tempat permainan. Kami mengadu
untung dengan bermain lempar gelang, tapi sayangnya kami tidak
memenangkan apa-apa. Aku yakin bahwa permainan-permainan itu
sudah diatur.
"Kamu mau naik dermolen?" tanya Mary Anne pada waktu
kami meninggalkan tempat itu.
"Mau, dong," jawabku.
Kami menuju ke loket karcis. Cowok yang duduk di dalamnya
mengedipkan mata pada kami.
"Dua karcis untuk dermolen," kataku.
"Oke, Manis."
Manis! Sepertinya di setiap sudut Sea City ada cowok yang
mempesona.
Pemandangan dari dermolen ternyata indah sekali. Pada waktu
kami mencapai puncaknya, kami berada jauh di atas tanah. Di bawah,
lampu-lampu rumah di sepanjang pantai tampak berkedap-kedip,
cahaya bulan memantul di permukaan laut, dan seluruh dermaga
kelihatan seperti negeri dongeng.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan aku berpikir begitu, tapi
waktu kami duduk di ketinggian sambil memandang lampu-lampu di
bawah, aku tiba-tiba berkata, "Rasanya aku perlu beli hadiah untuk
Scott."
"Huh," hanya itu tanggapan yang kuperoleh dari Mary Anne.
Tampangnya langsung cemberut.Meski begitu, ketika kami turun dari dermolen, aku segera
menggiring Mary Anne keluar-masuk toko. Dia menunggu dengan
sabar waktu aku memilih buku mengenai kerang dan topi biru (untuk
melindungi kepala Scott waktu dia duduk di pantai), lalu berubah
pikiran; dan juga waktu aku memesan tulisan Stacey + Scott = LUV
untuk dicetak di T-shirt, kemudian membatalkannya.
Kami sedang melewati salah satu dari sekian banyak toko
permen di dermaga, waktu aku melihat hadiah yang cocok. Tanpa
pikir panjang kubeli. Harganya hampir sepuluh dolar, tapi aku tidak
peduli.
Di luar toko, aku memamerkan pilihanku pada Mary Anne?
sebuah kotak coklat berlapis beludru merah yang menyerupai bentuk
hati.
"Ini betul-betul cocok untuk mengungkapkan perasaanku.
Menurutmu bagaimana, Mary Anne? Mary Anne?"
Mary Anne tidak menjawab, tapi tampangnya tidak marah.
Hanya saja perhatiannya tidak tertuju padaku.
Aku menoleh dan mengikuti pandangannya.
"Tunggu, Stacey," kata Mary Anne. "Jangan."
Tapi terlambat. Aku sudah melihatnya.
Di sebuah bangku di belakangku ada sepasang cowok-cewek.
Ceweknya cantik. Usianya paling tidak delapan belas tahun.
Cowoknya ternyata Scott.
Mereka sedang berciuman.
Aku berpaling kembali pada Mary Anne. "Kelihatannya aku
takkan memerlukan ini," kataku. Aku menyodorkan kotak coklatku ke
hadapan Mary Anne. "Untuk kamu saja. Kamu memang pantasmenerimanya. Dari pertama kamu benar. Nih, nikmatilah hadiahmu."
Tangisku meledak.
Mary Anne membiarkan kotak yang belum dibuka itu di atas
bangku. Kemudian dia merangkul bahuku, dan menuntunku kembali
ke rumah keluarga Pike.
Bab 11
MALAM Minggu memang sudah parah, tapi Minggu pagi
ternyata lebih buruk lagi. Mana mungkin aku pergi ke pantai dan
menatap wajah Scott setelah kejadian semalam? Rasanya aku tidak
ingin ketemu lagi dengannya.Seusai sarapan, aku mengajak Bu Pike dan Mary Anne ke salah
satu sudut dapur. "Kepalaku agak pening," aku mencari-cari alasan.
"Bagaimana kalau aku tidak ikut ke pantai pagi ini? Aku ingin
beristirahat dulu. Suasana di pantai kadang-kadang terlalu ramai."
"Kalau begitu kamu di sini saja," ujar Bu Pike penuh
pengertian. "Untuk sakit kepala memang tidak ada obat yang lebih
mujarab daripada suasana tenang."
"Ya, lebih baik begitu," Mary Anne menambahkan. Tapi ketika
kami telah kembali ke kamar, ia berkata, "Kelihatannya aku lagi yang
harus mengurus anak-anak. Semalam kamu memaksaku ikut dari toko
ke toko karena kamu mau mencari kado untuk Scott. Dan waktu kamu
melihat dia dengan cewek itu, sepertinya kamu malah menyalahkan
aku. Kamu keterlaluan sekali. Paling tidak kamu minta maaf, dong."
"Sori, aku menyesal," kataku.
Tapi rupanya Mary Anne belum selesai.
"Kalau kamu memang sakit kepala, itu sih urusan lain. Tapi
yang sebenarnya jadi masalah adalah Scott, kan?"
Aku mengangguk.
"Payah, deh." Mary Anne geleng-geleng kepala.
"Kenapa sih kamu mengeluh terus?" aku membalas. Ada apa
dengan dia? Aku kan sudah minta maaf. "Cowok yang kemarinkemarin membantumu pasti datang lagi."
"Namanya Alex."
"Orangnya pasti menyebalkan."
"Hah, siapa bilang?! Dia lucu dan baik hati. Dan dia pandai
mengurus anak kecil."
"Siapa sih anak-anak itu?""Kenny, Jimmy, dan Ellie. Ellie masih bayi. Dan Alex memang
bertugas sebagai 'pembantu ibu'. Dan jangan alihkan pembicaraan!"
"Apa maksudmu?"
"Kenapa hanya aku yang bekerja selama ini?"
"Enak saja!"
"Nyatanya memang begitu, kok!"
Aku mendesah. "Aku betul-betul minta maaf, Mary Anne,"
ujarku sambil mengikutinya turun tangga. "Aku tidak tahu apa lagi
yang harus kukatakan."
Mary Anne tidak menanggapinya. Dia membuka pintu depan.
"Ayo, Anak-anak," katanya. "Pagi ini orangtua kalian sudah lebih dulu
pergi ke pantai."
Anak-anak Pike berhamburan keluar.
Tapi Byron langsung kembali.
"Stacey?" dia bertanya.
"Yeah?"
"Apa aku boleh menemanimu di sini?"
"Boleh saja," aku menjawab, "tapi aku sedang tidak enak badan.
Aku ingin beristirahat."
"Aku juga mau beristirahat," Byron berkata perlahan.
Tampangnya serius sekali.
"Oke. Tapi beritahu Mary Anne dulu, supaya dia tahu bahwa
kamu ada di sini."
Byron menghilang. Dalam hati aku bersyukur bahwa dia ingin
menemaniku di rumah.
Begitu kembali, dia langsung menawari, "Bagaimana kalau kita
jalan-jalan? Atau kamu terlalu sakit?""Tidak, sepertinya jalan-jalan enak juga," balasku. Tapi
kemudian aku teringat kepalaku yang lagi "pening", dan cepat-cepat
menambahkan, "Asal kita pergi ke tempat yang tenang."
"Aku tahu tempat yang tenang sekali," Byron berkata dengan
sungguh-sungguh. "Ayo, kita ke sana."
Aku meninggalkan pesan tertulis untuk Mary Anne dan kedua
orangtua Byron. Kemudian Byron mengajakku keluar lewat pintu
belakang, menyusuri jalan, dan menyeberangi jalan utama. Kami
melintasi kota sampai ke suatu tempat di mana jalanan aspal berakhir.
"Ini bagian Sea City yang menghadap ke teluk," Byron
memberitahuku.
"Lho, memangnya Sea City berada di atas pulau?" aku bertanya
dengan heran.
"Tidak. Sea City terletak di sebuah tanjung yang menjorok ke
laut seperti buntut anjing."
Aku tersenyum. "Itu cara yang bagus untuk menjelaskannya,"
aku berkata pada Byron.
Suasana di teluk memang sunyi sekali. Rumah-rumah di sana
bahkan lebih dekat ke tepi air dibandingkan rumah-rumah yang
menghadap ke laut lepas. Tak seorang pun terlihat di luar. Dan
permukaan air pun tenang, persis seperti danau besar.
Byron melangkah ke air sampai lututnya terbenam. Sambil
melindungi matanya dari sinar matahari, dia berkata, "Lihat, tuh!
Kamu bisa lihat daratan di seberang. Itu adalah Pantai New Jersey."
"Byron!" aku berseru. "Kamu berdiri di dalam air!"Byron menatap ke bawah. "Oh, yeah," katanya sambil lalu. "Eh,
ini ada kepiting kecil atau semacamnya.... Oh-oh, sekarang dia sudah
pergi." Binatang kecil itu kabur.
"Kejar saja," aku mengusulkan.
Byron menggelengkan kepala.
"Byron?" tanyaku. "Kamu takut air, ya?"
"Aku tidak takut air."
"Habis?"
"Aku tidak suka ombak. Ombak-ombak di pantai sana terlalu...
terlalu besar. Dan aku juga tidak suka kalau aku tidak bisa melihat
sampai ke dasar."
Jadi itulah sebabnya dia tidak mau mengejar kepiting itu. Dia
tidak mau melangkah lebih jauh dari darat.
Aku meraih tangannya. "Jangan takut. Tidak apa-apa, kok," aku
berusaha meyakinkannya.
Sambil berpegangan tangan, kami maju beberapa langkah.
Airnya sudah berada di atas lutut kami.
"Stop!" Byron tiba-tiba berseru. "Dasarnya tidak kelihatan lagi.
Dari mana kamu tahu bahwa kita tidak berdiri di tepi tebing curam?"
"Aku memang tidak tahu," jawabku. "Tapi kemungkinannya
kecil sekali. Lagi pula, kita kan bisa berenang ke tepi kalau kita
sampai kecebur ke air yang dalam."
"Yeah...."
"Ada sesuatu yang perlu kukatakan, Byron. Sebenarnya justru
bagus kalau kamu sedikit takut terhadap hal-hal yang asing bagimu."
"Oh, ya?""Ya, dong! Soalnya, kalau kamu tidak takut sama sekali, kamu
mungkin mengambil risiko yang terlalu besar. Nah, yang jadi masalah
adalah kalau kamu terlalu takut. Kalau sudah begitu, kamu kehilangan
banyak kesempatan untuk bersenang-senang."
Byron merenungkan ucapanku itu. Selama beberapa saat dia
mondar-mandir di dalam air sedalam lutut, mencari udang atau batu
untuk dilemparkan. Suatu ketika dia berkata, "Aduh, panasnya!" lalu
jongkok sampai kepalanya terbenam, biarpun hanya selama beberapa
detik saja.
Sekitar tengah hari kami kembali ke rumah. Berkat Byron aku
merasa setenang air di teluk tadi.
Aku memutuskan bahwa aku sudah siap untuk pergi ke pantai.
Scott kan tidak tahu bahwa aku sempat melihatnya berduaan dengan
seorang cewek, jadi aku cuma perlu berusaha untuk menghindari dia.
Sementara Byron merenung dan bermain tadi, aku pun berpikir
panjang-lebar. Akhirnya aku mengerti apa yang terjadi di antara Scott
dan aku. Aku menyimpulkan bahwa Scott sebenarnya memang
menyukaiku, tapi hanya sebagai teman. Atau malah hanya sebagai
anak kecil yang lucu. Bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan
Mary Anne, dia terlalu tua bagiku. Cewek yang kulihat bersama dia
semalam jauh lebih cocok untuknya? paling tidak dari segi umur.
Mungkin dia memang pacarnya. Aku mulai merasa geli sendiri. Dari
mana aku dapat pikiran bahwa Scott jatuh cinta padaku? Dia tidak
pernah menciumku, tidak pernah menggandeng tanganku, dan tidak
pernah mengajakku berkencan. Dia hanya minta tolong diambilkan
limun dan sebagainya. Walaupun begitu, aku tidak bisa membencinya.
Dia sudah bersikap ramah terhadapku, dan kami juga sempat tertawabersama-sama dan bersenang-senang. Dia bahkan menghadiahkan
peluitnya.
Yang jelas, aku terlalu malu untuk berada di sekitarnya. Scott
mungkin bertanya-tanya kenapa aku menghindar dari dia. Tapi di lain
pihak, mungkin juga dia sama sekali tidak menyadarinya. Apa pun
yang kulakukan takkan ada pengaruhnya, aku berkata dalam hati.
Cewek-cewek yang lain pasti langsung muncul lagi dan menggantikan
tempatku.
Byron dan aku kembali ke rumah keluarga Pike tepat pada
waktu makan siang. Seusai makan, aku berbisik padanya, "Kamu mau
ikut ke pantai?"
Dia mengangguk. Tampangnya cemas, tapi dia sudah
membulatkan tekad. Persis seperti itulah perasaanku saat itu.
Ternyata, aku sebetulnya tidak perlu kuatir. Begitu kami
menyeberangi pantai, jeep penjaga pantai datang dan Scott melompat
turun dari posnya. Dia bertukar tempat dengan penjaga pantai yang
baru tiba, lalu naik ke jeep. Aku sudah tahu bahwa Scott libur pada
keesokan harinya. Jadi aku tidak perlu cemas mengenai dia sampai
hari Selasa. Tapi aku tidak bisa memastikan apakah aku bersyukur
atau merasa sedih karenanya.
Sementara itu, Byron betul-betul menikmati suasana pantai. Dia
melangkah menjauhi pantai sampai airnya hampir sedalam lutut. Dia
memang tidak bisa dibujuk untuk berjalan lebih jauh lagi, tapi itu saja
sudah cukup bagi Adam dan Jordan. Mereka langsung main cipratcipratan sambil bersorak-sorai.
Baru sekarang aku menyadari bahwa aku sudah kangen pada
anak-anak. Aku menghabiskan begitu banyak waktu untukmemikirkan Scott, sehingga tugasku sebagai "pembantu ibu"
terbengkalai. Aku memang berada di sekitar anak-anak, tetapi tidak
bersama mereka. Kalian tahu, kan, yang kumaksud?
Mary Anne pun sepertinya sudah lebih ramah. Aku tidak tahu
kenapa, tapi mungkin saja penyebabnya si "pembantu ibu" bernama
Alex?atau siapa pun namanya?itu. Mereka berdua asyik bermain
dengan kesebelas anak yang mereka jaga. Setiap kali aku memandang
ke arah Mary Anne, aku melihatnya berseri-seri. Mungkin saja dia
begitu gembira sehingga perasaan jengkelnya terhadapku berkurang.
Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bersikap manis sekali?dan
juga untuk minta maaf sekali lagi.
Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jadi, menjelang malam, si kembar tiga sudah kompak lagi, dan
Mary Anne dan aku pun kembali berbaikan.
Tapi antara Scott dan aku sudah tidak ada apa-apa lagi.
Bab 12
HARI Senin dan Selasa benar-benar mengasyikkan. Tadinya
aku merasa serba salah karena telah memutuskan untuk menghindari
Scott. Tapi sebetulnya aku tidak perlu bersikap begitu. Hal yangkukira bakal terjadi memang terjadi. Cewek-cewek yang lain mulai
berkerumun lagi di sekelilingnya, dan dia memanggil mereka Manis
dan Cantik, persis seperti dia memanggil aku. Terus terang, aku agak
sakit hati. Ternyata semuanya itu sama sekali tak berarti apa-apa bagi
dia. Tapi aku tetap bersama anak-anak Pike, bekerja keras, dan
akhirnya hari Selasa pun berlalu. Kemudian hari Rabu tiba?pagi
yang cerah dan hangat.
"Eh, kamu perhatikan, tidak?" Mary Anne langsung bertanya
waktu kami bangun.
"Ada apa?" aku balik bertanya.
"Sepertinya beberapa anak sudah mulai bosan main di pantai.
Mungkin ada baiknya kalau kita membagi mereka ke dalam dua grup.
Salah seorang dari kita bisa membawa anak-anak yang bosan ke kota,
dan yang satu lagi bisa tinggal di pantai bersama yang lain."
"Hei, itu ide bagus. Sejak beberapa hari terakhir ini Nicky
memang langsung cemberut kalau kita menyinggung pantai."
Dalam hati aku berharap bahwa akulah yang akan membawa
anak-anak ke kota. Dengan demikian kemungkinan ketemu Scott
semakin kecil. Tapi akhirnya Mary Anne yang kebagian tugas itu,
karena kulitnya tidak kuat terkena sinar matahari terus-menerus. Dia
mengajak Nicky, Mallory, Byron, dan Margo ke Trampoline Land dan
ke lapangan golf mini. (Claire akhirnya memutuskan bahwa dia tidak
mau memakai karcis gratis yang dimenangkannya.) Aku membawa
Claire, Vanessa, Adam, dan Jordan ke pantai. (Pak dan Bu Pike pergi
ke dermaga!)Pagi itu aku baru selesai mengolesi anak-anak dengan krim
pelindung matahari, menyusun kursi-kursi, dan merentangkan handukhanduk, ketika aku mendengar Claire memanggil seseorang dengan
sebutan bodoh-silly-billy-goo-goo. Aku memandang sekeliling. Tidak
jauh dari tempatku berdiri ada Claire dan salah satu anak yang
biasanya dijaga oleh teman Mary Anne yang bernama Alex.
"Bodoh-bodoh-silly-billy-goo-goo!" Claire kembali
bersenandung. Sambil bertolak pinggang dia menatap bocah laki-laki
di hadapannya.
"Claire Pike!" aku berseru. Sedetik kemudian anak laki-laki itu
mulai menangis. Aku segera menghampiri mereka. "Claire, kenapa
kamu mengata-ngatai anak ini?"
"Habis, tidak ada yang mau main denganku," dia merengek.
"Semuanya lagi di dalam air, dan tak satu pun dari mereka mau main
denganku."
"Tapi kenapa kamu bersikap judes pada anak ini?"
Claire mengangkat bahu.
"Ayo, minta maaf. Setelah itu duduk di handukmu selama
sepuluh menit. Aku akan memberitahumu kapan waktunya habis.
Cepat!"
"Maaf," Claire bergumam, tapi nadanya tidak bersungguhsungguh. Kemudian dia berjalan ke arah handuk-handuk kami.
Aku menoleh kepada Alex. Dia dan seorang cowok sedang
bermain dengan si bayi (Allie? Ellen?) dan anak kecil lainnya di atas
selimut di bawah naungan payung.
Sambil menarik napas panjang, aku membawa "korban" Claire
ke sana."Oh-oh," kata Alex. "Apa yang terjadi?"
"Claire mengejeknya," aku menjelaskan sambil menunjuk ke
arah Claire, yang sedang duduk sambil merengut. "Aku juga tidak
tahu kenapa. Maafkan dia, ya?"
"Tidak apa-apa," balas Alex dengan riang. "Anak kecil selalu
saling mengejek. Eh, kamu Stacey, kan?" Dia tersenyum, dan aku
menyadari bahwa senyumnya ramah sekali.
"Betul," kataku. "Dan kamu Alex."
"Yap. Dan ini Ellie"?si bayi?"Jimmy, Kenny"? yang sedang
menghapus air matanya?"dan Toby. Toby sepupuku. Keluarganya
sedang berlibur di Sea City selama beberapa hari."
Itulah pertama kalinya aku memperhatikan Toby. Umurnya
sekitar empat belas tahun. (Cocok!) Rambutnya yang coklat dan
berombak disisir ke belakang. Supaya tidak masuk ke matanya, ia
menahannya dengan ikat kepala berwarna biru. Aku beruntung bisa
melihat matanya yang coklat tua dan lembut bagaikan beludru. Celana
renang yang dipakainya berwarna putih polos, tapi T-shirtnyalah yang
luar biasa. Warnanya coklat khaki dengan gambar sepatu koboi dan
tanaman kaktus di mana-mana. Dan kacamata hitamnya?persis
seperti kacamata hitam bintang film. Pokoknya, penampilannya "oke
banget", deh. Coba kalau Claudia juga ada di sini.
"Hai," kataku, sambil berharap agar nada suaraku tidak kelewat
bersemangat.
"Hai," dia menjawab. Sikapnya justru berlawanan dengan
sikapku.
Hening sejenak.
"Hmm," ujarku. "Sebaiknya aku kembali ke tempat Claire.""Oke."
Dengan memendam perasaan kecewa aku kembali ke tempat
duduk kami. Tapi ketika masa hukuman Claire telah berakhir dan
kami berjalan menuju ke air, Toby langsung mengejar. "Hei," dia
berkata pada Claire. "Kamu tahu bagaimana caranya membuat istana
penyihir?"
Claire tampak tertarik. "Tidak," jawabnya. "Bagaimana
caranya?"
Toby mengajak kami ke pasir basah di tepi air. (Untung saja
tempatnya agak berjauhan dengan pos penjaga pantai.) Dia mengajari
Claire untuk membiarkan pasir basah merembes lewat sela-sela jari,
agar menghasilkan bentuk-bentuk aneh yang seakan-akan berasal dari
negeri dongeng.
Dalam waktu singkat Claire sudah membuat sederetan istana.
Dia begitu asyik bermain sehingga Toby dan aku tidak
diperhatikannya lagi.
"Jadi," kataku setelah beberapa saat, "di mana kamu tinggal?"
"Aku tinggal di Lawrenceville, New Jersey," balas Toby. "Dan
kamu?"
"Di Stoneybrook, Connecticut. Tapi aku dibesarkan di New
York."
"Di New York City?"
"Yeah."
"Wow."
Toby berusia empat belas tahun. Sebentar lagi dia sudah akan
masuk high school. Dia gemar bermain sepakbola serta American
football. Hobinya mengutak-atik komputer. Dia punya dua kakakperempuan. Band favoritnya Smash. Makanan yang paling disukainya
selai kacang. Dia benci pelajaran sejarah dan ilmu bumi, tapi suka
matematika. Dia senang menceritakan lelucon. Dan?yang paling
penting?selama kami mengobrol, dia sama sekali tidak melirik
cewek lain.
Menjelang siang, dia dan aku telah mengetahui segala sesuatu
mengenai diri masing-masing. Dan kami berdua bersama Claire,
ditambah lagi dengan Alex dan anak-anak yang dijaganya, serta
Adam, Jordan, dan Vanessa telah membangun sebuah kota berupa
istana-istana pasir.
Sebenarnya kami ingin terus bermain di pantai, tapi
bagaimanapun juga kami harus makan siang dulu. Namun seusai
makan kami segera kembali ke pantai. Ternyata sebagian kota telah
tersapu ombak, dan kami langsung mulai membangun lagi.
"Eh," ujar Toby ketika ia selesai mendirikan sebuah istana
besar, "kamu sudah mendengar cerita mengenai pria bernama Al yang
sedang menunggu ajalnya? Dia minta agar namanya diabadikan
sebagai nama sebuah kota."
"Belum," jawabku sambil tersenyum.
"Nah, si Al ini tahu bahwa waktunya tidak banyak lagi, jadi dia
bilang pada temannya, 'Kamu harus berjanji bahwa namaku akan
dipakai sebagai nama sebuah kota.' Dan temannya menjawab, 'Oke,
Al, aku berjanji.' Lalu Al berkata, 'Tapi kotanya harus besar, lho!' Dan
temannya bilang, 'Jangan takut, Al.' Ternyata Al masih belum puas
juga. 'Selain itu kotanya juga harus indah!' Dan temannya membalas,
'Pokoknya beres, Al.'"
"Jadi kota itu diberi nama Al?" aku memotong.Toby tersenyum lebar dan melanjutkan, "Lalu Al berkata,
'Kamu berjanji bahwa kota itu akan memakai namaku?' Dan temannya
menjawab, 'Aku berjanji, Mr. Buquerque.' Kamu mengerti?" tanya
Toby. "Laki-laki itu bernama Al Buquerque? Albuquerque? Seperti
nama kota di New Mexico?"
"Yeah, aku mengerti," kataku. Aku menjatuhkan diri ke pasir
dan ketawa sampai terpingkal-pingkal.
Claire menegurku, "Stacey-silly-billy-goo-goo!"
Dan Vanessa berkomentar, "Bercanda dan bermain di tepi
pantai, cara paling tepat untuk bersantai."
Aku menatap Toby. Dia pun menatapku.
Kami mulai ketawa.
Aku jatuh cinta lagi.Bab 13
HARI Jumat adalah hari terakhir liburan kami di Sea City.
Keesokan paginya, kami akan memasukkan semua barang ke dalammobil, kemudian pulang. Aku hampir tak percaya bahwa dua minggu
bisa berlalu begitu cepat.
Coba tebak bagaimana Bu Pike menyapa Mary Anne dan aku
waktu kami turun untuk sarapan di dapur. "Mary Anne, Stacey,"
katanya. "Karena selama ini kalian telah bekerja keras, sudah
sepantasnya kalian bebas tugas nanti malam. Mulai jam lima sore
kalian boleh pergi sendiri. Tapi ingat, pukul sepuluh malam kalian
sudah harus kembali ke sini."
Mary Anne dan aku gembira sekali! Tapi kami berusaha untuk
tidak terlalu memperlihatkannya. Kami tidak ingin anak-anak Pike
menyangka bahwa kami sebenarnya tidak suka menjaga mereka.
Cuaca pada hari Jumat tidak begitu bagus. Beberapa kali
matahari memang sempat bersinar cerah, tapi selebihnya langit
tertutup awan. Dan menurut ramalan cuaca, keesokan harinya bakal
hujan. Tapi aku malah merasa bersyukur, sebab pulang dari tempat ini
akan terasa lebih mudah kalau cuacanya sedang tidak bersahabat.
Meski langit berawan, anak-anak tetap ingin pergi ke pantai.
"Aku mau bikin istana pasir untuk terakhir kalinya," Claire
mengumumkan.
"Dan kami mau main hiu sekali lagi," kata Jordan.
Masing-masing anak mempunyai "mau" sendiri. Sementara
mereka sibuk mengatur rencana, aku berbisik pada Mary Anne, "Aku
punya ide hebat! Bagaimana kalau Alex bisa mengatur agar ia juga
bebas tugas nanti malam? Barangkali kamu dan aku bisa pergi ke
dermaga bersama Alex dan Toby."
"Bersama-sama?" tanya Mary Anne dengan curiga.
"Yeah," kataku. "Semacam kencan ganda."Mary Anne mulai pucat.
"Mary Anne, aku bilang kencan ganda, bukan kencan buta.
Kamu bukannya belum pernah ketemu Alex sebelum ini, kan. Kamu
kan kenal dia. Dan kamu suka sama dia."
"Tapi tidak pantas kalau cewek mengajak cowok."
"Oh, Mary Anne, itu kan sudah kuno. Lagi pula, ini kesempatan
terakhir bagi kita. Kalau kita tidak bilang apa-apa, dan kita tidak pergi
dengan Alex dan Toby malam ini, kita mungkin takkan pernah ketemu
lagi dengan mereka."
"Betul juga...."
"Oke. Sekarang kamu tanya Alex apakah dia bisa bebas tugas
nanti malam."
"Aku?! Ini kan ide kamu!"
"Yeah, tapi Alex temanmu," jawabku.
Aku tidak menyangka bahwa Mary Anne akan langsung berdiri
dan menghampiri Alex yang sedang duduk tidak jauh dari tempat
kami. Sayang sekali aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya,
sebab angin bertiup ke arah yang berlawanan. Tapi waktu dia kembali,
aku melihat senyum lebar tersungging di bibirnya. "Beres. Kita akan
ketemu mereka di Hercules' Hot Dogs jam enam nanti sore," dia
memberitahuku.
*********
Mary Anne dan aku menghabiskan hampir satu jam?mulai jam
lima sampai jam enam kurang seperempat?dengan bersiap-siap
untuk menemui Toby dan Alex. Dalam hal pakaian kami tidak punya
banyak pilihan, jadi kami mengenakan baju yang sama seperti waktukami pertama kali bebas tugas. Tapi selain itu masih banyak hal yang
perlu dikerjakan.
"Aku harus mengikir kuku dulu," ujar Mary Anne. "Ujungujungnya sudah pecah-pecah."
"Dan aku harus pakai cat kuku," kataku. "Aku punya yang pink
dan yang kuning. Kamu mau pakai yang kuning?"
"Mau. Dan sebaiknya aku juga pakai lotion untuk tanganku."
"Aduh, parfumku!" aku berseru. "Mana parfumku?"
"Aku tidak tahu. Eh, kamu masih punya lipgloss?"
"Masih. Nih.... Idih! Coba lihat rambutku."
"Rambutmu? Ih! Coba kamu perhatikan rambutku!"
Entah bagaimana caranya, pukul enam kurang seperempat kami
sudah dalam perjalanan ke dermaga. Dan sepuluh menit kemudian
kami tiba di depan Hercules' Hot Dogs. Toby dan Alex muncul jam
enam tepat.
Mary Anne menyikutku ketika dia melihat mereka berjalan ke
arah kami. "Oh, lihat, tuh! Alex benar-benar keren, ya?" dia berbisik
padaku.
Alex memang keren, tapi menurutku Toby lebih keren lagi.
(Tapi tentu saja aku tidak mengemukakan pendapatku itu.) Toby
mengenakan celana katun putih dengan potongan baggy, dan sweater
longgar bergaris-garis biru-putih. Pokoknya, gaya banget, deh.
"Hai," katanya sambil meraih sikutku.
"Hai," aku membalas. "Aku senang karena kamu bisa datang
malam ini."
"Aku juga."
"Kalian lapar?" tanyaku."Aku hampir mati kelaparan," balas Alex. "Ayo, kita cari
makan."
Sesuai dengan namanya, hidangan utama di Hercules' Hot Dogs
adalah hot dog. Dan yang paling istimewa adalah hot dog sepanjang
satu kaki. Kami duduk di meja layan dan memesan makanan. (Aku
pesan hamburger.) Mary Anne dan aku hanya sanggup menghabiskan
kira-kira dua pertiga dari pesanan kami. Lain halnya dengan Toby dan
Alex. Mereka menghabiskan pesanan masing-masing sampai tuntas.
Kemudian mereka menghabiskan pesanan kami. Kemudian mereka
masing-masing memesan satu hot dog lagi. Mary Anne
memperhatikan mereka sambil membelalakkan mata. Sementara Alex
sibuk mengolesi hot dognya dengan saus tomat dan menambahkan
acar kol, Toby menceritakan lelucon paling panjang yang pernah
kudengar.
Untuk mengalihkan pandangan Mary Anne dari hot dog, aku
menyikutnya dan berbisik, "Mary Anne?"
Dia segera menoleh.
"Kamu keberatan kalau Toby dan aku pergi sendiri untuk
beberapa waktu?" aku bertanya. "Maksudku, kamu tidak kikuk, kan,
kalau ditinggal bersama Alex?"
Mary Anne berpikir sejenak. Perlahan-lahan senyum
mengembang di wajahnya. "Tidak, aku takkan merasa kikuk. Aku
justru senang."
Aku tersenyum lebar. Seandainya kami tidak duduk di dalam
Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
restoran, maka aku akan langsung memeluknya.
Akhirnya Toby dan Alex selesai makan, dan kami pun
meninggalkan Hercules'."Apa yang mau kalian lakukan sekarang?" tanya Alex.
"Lihat-lihat toko," jawab Mary Anne.
"Pergi ke tempat permainan," jawabku.
Kami berpencar.
Toby dan aku main lempar dart. Aku memenangkan hadiah topi
untuknya, dan dia memenangkan hadiah beruang-beruangan untukku.
(Boneka beruang itu akhirnya kuberi nama Toby-Bear.) Kelihatannya
keberuntungan kami berhenti sampai di situ, sebab dalam ronde-ronde
selanjutnya kami tidak memenangkan apa-apa.
Hari sudah mulai gelap. "Jalan-jalan, yuk," aku mengajak. Aku
memang suka sekali melihat lampu-lampu dan mendengarkan bunyibunyian dan mencium bau-bauan di dermaga.
Kami sampai di sebuah toko yang menjual barang-barang
kerajinan tangan yang terbuat dari kerang, dan mengintip ke dalam.
"Ayo, kita masuk saja," kata Toby.
Toko itu penuh rak dan ember-ember besar yang semuanya
berisi kerang. Aku sedang memilih-milih kerang ketika Toby
menyerahkan sebuah kantong kertas kecil padaku.
"Apa ini?" tanyaku, pada waktu kami keluar dari toko.
"Buka saja."
Aku segera membukanya. Di dalamnya ternyata ada sebuah
kerang kecil berwarna pink yang berkilau-kilau.
"Ini sebagai kenang-kenangan. Supaya kamu tidak melupakan
aku."
Entah kenapa aku tak sanggup tersenyum. Aku malah merasa
seperti ingin menangis. "Terima kasih," aku berbisik.Toby meraih tanganku. "Eh, di sana ada Terowongan Cinta!
Ayo, kita beli karcis."
Terowongan Cinta berbeda sekali dengan hiburan pasar malam
yang sudah pernah kucoba. Suasana di dalamnya tidak bising, kita
tidak terdorong-dorong tak menentu, dan juga tidak ada yang tiba-tiba
melompat maju dan mengagetkan kita. Toby dan aku duduk
berdampingan di dalam perahu yang berbentuk angsa, dan menyusuri
terowongan sambil mendengarkan alunan musik.
Aku tahu bahwa aku takkan pernah melupakan Sea City
maupun dermaga dan Terowongan Cinta.
Ataupun Toby.
Aku tidak akan pernah melupakan Toby.
Bab 14AKU tidak keberatan kalau Sabtu pagi tidak pernah tiba. Aku
justru ingin agar Jumat malam tidak pernah berakhir. Toby dan aku di
Terowongan Cinta. ebukulawas.blogspot.com
Tapi tidak ada yang dapat menghentikan perputaran waktu. Hari
Sabtu aku terjaga pagi-pagi, namun tetap berbaring di tempat tidur.
Aku hanya berpikir dan mengenang kejadian semalam. Aku menoleh
ke arah Mary Anne dan melihat bahwa dia masih tidur sambil
meringkuk. Wajahnya tertutup rambut dan tarikan napasnya panjang
dan teratur.
Di luar jendela, aku mendengar debur ombak menghantam
pantai. Langit tampak kelabu. Seekor burung camar terbang rendah di
atas pasir. Udara laut yang masuk lewat jendela kamar yang terbuka
membuatku menggigil kedinginan. Aku menarik selimutku sampai ke
leher. Sepertinya musim panas akan berakhir bersamaan dengan
liburan kami.
Aku betul-betul takjub karena begitu banyak hal telah terjadi
dalam dua minggu terakhir ini. Aku pergi berlibur tanpa kedua
orangtuaku. Aku menaati dietku dan tidak sekali pun lupa
menyuntikkan insulin dan tidak pernah jatuh sakit. Aku bertemu dua
cowok yang kusukai, dan salah seorang dari mereka bahkan
memberiku kenangan manis.
Aku tersenyum.
Pagi itu Toby ingin mampir untuk mengucapkan selamat jalan.
Aku merasa gembira sekaligus sedih."Stacey-silly-billy-goo-goo?" sebuah suara tiba-tiba berbisik.
Aku mengendap-endap ke pintu dan membukanya. Claire
berdiri di koridor. Dia telanjang bulat.
"Claire! Sedang apa kamu?"
"Aku mau cari baju renangku," dia menjawab. "Kamu mau ikut
ke pantai denganku?"
"Tentu," kataku. Pagi-pagi pasti menyenangkan untuk jalanjalan di pantai. "Tapi sekarang terlalu dingin untuk pakai baju renang.
Lebih baik kamu berpakaian saja. Tapi jangan ribut, ya? Beberapa
menit lagi kita ketemu di bawah."
Setelah Claire dan aku berpakaian, kami mengenakan sweater,
lalu mengendap-endap ke pintu depan. Wama langit dan laut hampir
sama?kelabu? tapi untung saja tidak hujan.
Claire berlari ke tepi air.
"Jangan masuk ke air!" aku berseru padanya.
"Aku tidak mau masuk air," dia membalas. "Aku cuma kepingin
lihat-lihat."
Claire berdiri dan memandang ke arah cakrawala. Belum
pernah aku melihat dia berdiri begitu lama di satu tempat. Mumpung
dia mau diam, aku memungut sepotong kayu yang terdampar di
pantai, lalu menulis di pasir yang basah,
Aku menunggu dan menunggu, tapi tulisan itu tidak hilang
tersapu ombak.
**********Pada waktu sarapan, Pak Pike menghabiskan telurnya,
mengelap mulut, lalu berkata, "Hei, hei, semuanya! Coba tebak
sekarang waktunya untuk apa?"
"Apa, Daggles-silly-billy-goo-goo?" tanya Claire sambil
menggoyang-goyangkan kursinya.
"Sekarang waktunya untuk... topi tugas!"
"Aduh, jangan! Jangan, dong!" Mallory mendesah.
Si kembar tiga pun mengeluh bersamaan.
Mary Anne dan aku cuma bertukar pandang dan mengangkat
bahu.
"Di dalam topi ini sudah ada delapan potong kertas. Masingmasing berisi satu tugas yang harus dikerjakan," Pak Pike
melanjutkan. "Nah, pagi ini memang banyak pekerjaan yang harus
kita selesaikan. Dan jam satu siang nanti kita sudah harus pergi dari
sini."
Dengan enggan anak-anak Pike mengedarkan topi itu. Mereka
masing-masing mendapat satu tugas, misalnya menyapu teras atau
mengumpulkan ember-ember pasir.
"Stacey dan Mary Anne," ujar Bu Pike. "Apakah kalian nanti
bisa mengawasi anak-anak membereskan barang masing-masing?"
"Tentu," jawab kami.
Beberapa jam kemudian semua tugas sudah selesai mereka
kerjakan, dan barang-barang pun telah dipak. Pak dan Bu Pike masih
sibuk membereskan ini dan itu, tetapi mereka mengizinkan kami pergi
ke pantai. Walaupun langit masih mendung, udaranya sudah agak
lebih hangat, dan hujan tetap belum turun. Para penjaga pantai sudahbertugas, jadi anak-anak berlari ke air, berenang untuk terakhir
kalinya.
Mary Anne dan aku duduk di atas handuk. (Kami tidak
membawa apa-apa lagi ke pantai.)
"Sebentar lagi semuanya akan berakhir," ujar Mary Anne
dengan sedih.
"Padahal aku masih merasa seakan-akan kita baru saja sampai,"
aku berkata padanya.
"Yeah."
Kami duduk sambil merangkul lutut dan menatap ke laut. Scott
duduk di posnya, tetapi aku hampir tidak memperhatikannya. Aku
sedang memikirkan Toby.
Mary Anne setengah melamun. Dia sudah menceritakan semua
yang dia dan Alex lakukan semalam. Mula-mula mereka duduk di
pantai dan mengobrol, dan setelah itu mereka juga pergi ke
Terowongan Cinta.
"Eh," katanya tiba-tiba, "coba lihat siapa yang datang, tuh."
Toby dan Alex sedang berjalan ke arah kami. Di belakang
mereka ada Kenny, Jimmy, dan Ellie.
Kami melambaikan tangan. "Hei, duduk di sini saja!" aku
memanggil.
Toby dan Alex menghampiri kami, namun mereka tidak duduk.
"Kami cuma keluar untuk jalan-jalan sebentar," kata Alex. "Kami
harus segera kembali, tapi kami ingin mengucapkan selamat jalan
dulu."
"Oh!" seru Mary Anne dengan suara tertahan. "Aku paling
benci adegan perpisahan."Tapi apa boleh buat, Toby dan Alex tidak bisa berlama-lama
menemani kami.
Toby mengajakku menjauhi yang lain, supaya kami bisa
mengobrol tanpa terganggu.
"Kamu janji bahwa kamu akan tulis surat?" tanyaku. Semalam
kami telah saling menukar alamat.
"Aku janji. Dan kamu?"
Aku mengangguk. Sebenarnya aku tidak seberapa suka menulis
surat, tapi siapa tahu aku bakal lebih rajin kalau suratnya untuk Toby.
"Hmm...," kata Toby.
"Hmm...," kataku.
"Kelihatannya sampai di sini saja."
"Yeah, sepertinya memang begitu...."
"Kamu bakal mengingat aku?" tanya Toby.
"Selalu. Aku kan punya kerang dan boneka beruang untuk
kenang-kenangan."
"Dan aku punya topi ini." Toby memakai topi yang
kuhadiahkan padanya. Dia menepuk-nepuknya dengan lembut.
"Hmm," dia kembali bergumam. "Selamat jalan, Stacey."
"Kamu juga," balasku.
Aku tetap berdiri di tempat dan memperhatikannya berjalan ke
arah Alex dan anak-anak. Beberapa saat kemudian mereka mulai
menyusuri pantai lagi, meninggalkan Mary Anne seorang diri. Toby
membalik sekali untuk melambaikan tangan. Kemudian mereka
menghilang di balik bukit pasir.
Aku menghampiri Mary Anne. Dia sedang menangis."Mary Anne!" aku berbisik dengan nada mendesak. "Anak-anak
sedang melihat ke sini semua."
"Aku tahu, aku tahu." Dia mengusap kedua matanya. "Aku
tidak apa-apa, kok."
Aku memeluknya sejenak. "Nanti malam kita bicarakan ini di
rumah, oke?"
Mary Anne mengangguk.
Pandanganku beralih ke pos jaga?dan kepada Scott. Secara
kebetulan dia pun menoleh pada saat yang sama. Dia melihatku dan
melambaikan tangan.
Aku membalas lambaiannya. "Mary Anne," kataku. "Ada satu
hal lagi yang harus kuselesaikan. Aku cuma perlu beberapa menit
saja."
Aku berlari menghampiri pos.
"Hai, Manis," Scott menyapaku. "Sudah lama kita tidak
ketemu."
"Beberapa hari terakhir aku memang agak sibuk," aku
menjawab tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. "Kami akan pulang
hari ini."
"Kamu sudah mau pulang? Wah, sayang sekali, Manis. Aku
akan merasa kehilangan."
Dia akan kehilangan orang yang mau mengambilkan limun
dingin untuknya, aku berkata dalam hati. Tapi entah kenapa aku tidak
marah lagi atas sikapku yang bodoh, sebab aku tahu bahwa Scott
betul-betul menyukaiku, walaupun dia tidak mencintaiku.
"Sekali lagi terima kasih untuk peluitmu," kataku. "Aku akan
terus menyimpannya." Tapi aku takkan pernah mengalungkannya dileher, aku menambahkan dalam hati. Aku memang berniat untuk
menyimpan peluit itu sebagai kenang-kenangan dari cintaku yang
pertama, tapi aku akan menyimpannya di dalam laci meja tulisku saja.
Bukan di atas rak, tempat aku akan meletakkan Toby-Bear, bukan
juga di atas meja rias, sebab tempat itu akan kupakai untuk menaruh
kerang dari Toby.
"Hei, Stacey!" Byron berseru dari tepi air. "Kita semua
dipanggil Mama."
Aku menoleh ke belakang. Bu Pike sedang berdiri di ambang
pintu depan. Dia memanggil kami dengan menggunakan isyarat
tangan. Anak-anak Pike langsung naik ke darat. Mary Anne segera
mengumpulkan handuk-handuk.
"Aku harus pergi," kataku. "Mudah-mudahan kamu betah
belajar di universitas."
"Terima kasih. Jaga dirimu baik-baik, Sayang."
Aku bergabung dengan anak-anak Pike dan menggiring mereka
ke arah Mary Anne. Begitu kami masuk ke dalam rumah, hujan mulai
turun.
Tangis Claire meledak. "Aku tidak mau pulang!" dia merengek.
"Aku tidak mau pergi dari sini."
Aku menggendong dan memeluknya. "Sebenarnya aku juga
tidak mau, tapi sekarang sudah waktunya untuk pulang ke
Stoneybrook. Hei, tahun depan kamu kan bakal kembali lagi ke sini.
Kamu pasti agak terhibur kalau kamu ingat itu."
"Yeah," ujar Claire sambil terisak-isak. "Dan kita bisa makan di
Gurber Garden lagi."
"Dan main golf mini.""Dan pergi ke Trapperleenland," Claire menambahkan.
(Maksudnya Trampoline Land.) Dia mulai tersenyum.
Setelah semuanya berpakaian, kami memasukkan barangbarang ke mobil. Sepertinya bawaan kami jauh lebih banyak
dibandingkan dengan ketika kami berangkat dari Stoneybrook. Tapi
setelah mendorong-dorong dan menarik-menarik sambil berkeluh
kesah, kami berhasil menemukan tempat untuk semua orang dan
setiap barang.
Kami dibagi ke dalam kelompok yang sama seperti pertama
kali.
Ketika mobil mulai menggelinding, Mr. Pike berseru pada
istrinya, "Pertama-tama kita ke tempat Ellen Cooke untuk
mengembalikan kunci. Setelah itu kita baru berhenti lagi setelah
sampai di Howard Johnson's."
"Jingle bells, Santa smells," Nicky bersenandung.
"Aku benci lagu itu, Nicholas," kata Mallory.
"Selamat tinggal Sea City-silly-billy-goo-goo!" seru Claire.
"Di mana ember darurat?" tanya Margo.
Aku mendesah. Perjalanan pulang sudah dimulai.
Bab 15"HAI, Ma! Hai, Pa! Aku sudah pulang!"
Aku masuk ke rumah kami sambil merasa lelah sekali. Dalam
perjalanan antara Howard Johnson's dan Stoneybrook, Claire
bertanya, "Berapa menit lagi kita sampai?" sebanyak dua puluh
sembilan kali.
"Stacey!" Kedua orangtuaku bergegas keluar dari dapur dan
memelukku bersamaan.
"Apa kabar?" tanya Papa.
"Kamu senang di sana?" tanya Mama.
"Apa saja yang kamu lakukan?" tanya Papa.
"Kamu tidak lupa menyuntikkan insulin setiap hari?" tanya
Mama.
"Wah, kulitmu jadi coklat sekali!" Papa berseru.
"Oh, rambutmu kenapa jadi begini?" Mama ingin tahu.
Hujan sedang turun waktu kami berangkat dari Sea City, tapi di
Stoneybrook cuacanya cerah sekali. Mama, Papa, dan aku duduk di
teras belakang dan mengobrol lama sekali. Memang sih, ada beberapa
hal yang kurasa lebih baik dirahasiakan saja (pertemuanku dengan
Baby Sitter Club 8 Stacey Si Gila Cowok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Scott dan Toby, misalnya, sama sekali tidak kusinggung-singgung),
tapi selain itu aku menceritakan semuanya. Aku bercerita bahwa aku
tidak mengalami kesulitan dalam menjalani dietku, dan bahwa aku tak
pernah lupa menyuntikkan insulin. Itu sepenuhnya benar. Dan akujuga bercerita bahwa sinar mataharilah yang menyebabkan rambutku
jadi lebih terang. Ini agak mendekati kebenaran.
"Apa saja yang terjadi di sini selama aku pergi?" aku ingin tahu.
"Tidak ada kejadian istimewa. Semuanya tenang-tenang saja,"
Mama menjelaskan. "Oh, sebelum Mama lupa, Claudia menelepon
kira-kira sejam yang lalu. Keluarga Kishi sudah pulang dan dia minta
agar kamu menelepon dia."
"Oke," kataku, tapi aku belum berminat untuk bergerak. Aku
masih terlalu lelah. Papa membuatkan es teh untukku, dan kami duduk
di teras belakang sambil menikmati minuman dingin. Sementara itu
matahari mulai menghilang di balik pohon-pohon di pekarangan.
Seusai makan malam barulah aku naik ke kamarku dan
mengangkat gagang telepon. Sebenarnya aku ingin sekali punya
telepon pribadi seperti Claudia, tapi dalam hati aku sadar bahwa aku
sudah cukup beruntung dengan pesawat extension di kamarku. Aku
menutup pintu, kemudian merebahkan diri di tempat tidur.
Aku memutar nomor telepon Mary Anne. Aku sudah tak sabar
untuk menelepon Claudia, tapi aku tahu bahwa pada saat itu Mary
Anne lebih memerlukanku. Aku sendiri juga benar-benar ingin
berbicara dengannya.
"Hai," kataku ketika dia menyahut. "Ini aku, Stacey. Aku cuma
mau tanya bagaimana keadaanmu sekarang."
"Oh, aku baik-baik saja," jawab Mary Anne. "Maaf kalau aku
menangis tadi. Aku tidak menyangka bahwa perpisahan dengan dia?
Alex, maksudku? akan membuatku begitu sedih. Aku tidak... ah,
entahlah. Aku malu sekali."
"Kamu tidak perlu malu. Kenapa mesti malu, sih?""Aku tidak tahu."
"Mary Anne, Alex seorang cowok," aku berkata padanya. "Dan
tidak ada salahnya kalau kamu menyukai cowok"
"Tapi aku belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Dari
dulu aku selalu agak ngeri menghadapi cowok."
"Kalau begitu, aku semakin bersyukur bahwa kamu bertemu
dengan Alex. Aku bersyukur karena dia membantu mengubah
pandanganmu tentang cowok. Asal tahu saja, mereka itu bukan
makhluk planet."
Mary Anne cekikikan. "Aku tahu. Eh, Stace, aku mau
menceritakan sesuatu. Sekarang aku baru mengerti bagaimana
perasaanmu terhadap Scott. Aku mau minta maaf karena telah
menuduh bahwa kamu tidak mau membantu dan tidak bertanggung
jawab dan sebagainya."
"Ah, tidak apa-apa, kok. Rasanya aku memang tidak adil. Garagara tingkahku kamu terpaksa bekerja lebih berat dari seharusnya.
Dan itu tidak benar. Lagi pula, kalau seseorang bertugas sebagai babysitter, anak-anak yang dijaganya harus selalu didahulukan. Kamu mau
memaafkan aku?"
"Tentu saja," jawab Mary Anne. "Dan kamu juga maafkan aku,
ya?"
"Tentu."
"Eh," kata Mary Anne. Ia mulai cekikikan lagi. "Kamu ingat
waktu anak-anak Pike ramai-ramai membawakan obat untuk kulitku
yang terbakar?"
"Yeah. Dan waktu Claire memenangkan karcis gratis dari
Fred?""Dan tampang Adam waktu Nicky berhasil memasukkan bola
dengan satu pukulan?"
"Dan tampang kamu waktu Alex bilang bahwa dia dan Toby
mau pergi bersama-sama dengan kita?!"
Kami tertawa sampai terpingkal-pingkal.
"Eh, kira-kira bagaimana nasib kotak coklat yang kamu
tinggalkan di bangku di dermaga?" aku melanjutkan. Memikirkan
Scott dan cewek itu memang membuatku sedih, tapi aku bisa
mengenang coklat itu sambil ketawa, atau menatap peluit pemberian
Scott sambil tersenyum.
"Moga-moga ditemukan orang," sahut Mary Anne. "Dengar,
aku ketawa terpingkal-pingkal sampai air mataku keluar." Aku dapat
mendengar dia membersit hidungnya.
"Kamu dan Alex saling bertukar alamat?" aku bertanya pada
Mary Anne.
"Yap." Hening sejenak. "Ada lagi yang saling kami tukar," ia
akhirnya berkata.
"Apa?!"
"Di dermaga, malam Sabtu. Aku belum menceritakan semuanya
padamu."
"Yeah?"
"Kami menemukan toko yang menjual cincin dan sekaligus bisa
membuat tulisan gravir. Harganya cuma lima dolar. Jadi sekarang
Alex punya cincin dengan inisialku, dan aku punya cincin dengan
inisial dia."
"Ooh, Mary Anne! Cincin!" aku berseru. "Kedengarannya
serius sekali.""Ah, sebenarnya sih tidak," dia membalas.
"Apakah kamu akan memakai cincin itu?"
"Aku mau memakainya sebagai mata kalung, tapi tidak di jari.
Aku tidak ingin ayahku melihatnya. Kalau dia sampai melihatnya,
kemungkinan besar dia akan mengurungku di kamar sampai aku
berumur dua puluh satu tahun."
"Mungkin juga tidak."
"Yeah, mungkin juga tidak."
"Eh, aku harus tutup dulu," aku memberitahu Mary Anne. "Tadi
sore Claudia menelepon dan aku belum sempat meneleponnya
kembali."
"Oke. Aku juga perlu menelepon Dawn dan Kristy."
"Mary Anne?"
"Yeah?"
"Aku bersyukur bahwa kita telah memperoleh kesempatan
untuk saling mengenal lebih baik."
"Oh, aku juga!"
"Sampai ketemu, ya!"
"Sampai ketemu."
Aku memutuskan hubungan, menunggu nada pilih, lalu
menelepon Claudia tanpa sempat meletakkan gagang.
Claudia menyahut pada deringan pertama. "Hei! Kenapa kamu
baru telepon sekarang? Apa kabar? Bagaimana liburanmu? Aku dapat
semua kartu pos yang kamu kirimkan! Dan aku ikut berdukacita soal
Scott."
Aku ketawa. "Bagaimana kabar kamu?""Aku baik-baik saja. Liburan kami asyik sekali, deh! Mimi
sangat menikmatinya. Dia sudah semakin pulih. Di tempat kami
berlibur ternyata juga ada kursus seni dan kerajinan tangan, dan aku
melempar pot."
"Kamu apa?"
"Aku melempar pot."
"Kenapa?"
"Maksudku, aku membuat pot. Tapi istilahnya memang
'melempar pot'."
"Oh."
"Orang yang mengajar di sana bilang bahwa untuk tingkat
pemula, potku termasuk karya terbaik yang pernah dilihatnya. Aku
menceritakannya pada orangtuaku, dan mereka mengatakan bahwa
aku mungkin bisa ikut kursus membuat patung kalau sekolah sudah
mulai lagi."
"Hebat juga.... Eh, ngomong-ngomong, kamu ketemu orang
yang menarik di sana?"
"Maksudmu, cowok yang menarik?"
"Tentu saja."
"Tentu saja."
"Oh, ya?"
"Yeah. Namanya Skip. Umurnya tiga tahun. Aku sempat jadi
baby-sitter untuk dia."
"Hei, aku serius, nih!" aku berseru.
"Oke, oke," ujar Claudia. "Di sana ternyata tidak ada cowok
yang sepantar denganku. Sayang sekali memang. Tapi aku sudah
cukup sibuk dengan membaca semua kartu pos yang kamu kirimkan.Jadi, bagaimana akhirnya dengan Scott dan Toby? Dan hadiah apa sih,
yang kamu dapatkan dari Scott?"
"Oh, Scott menghadiahkan peluit penjaga pantai. Kapan-kapan
akan kuperlihatkan. Dan dia dengan aku berteman, walaupun
kemungkinan besar kami takkan ketemu lagi, atau saling menulis
surat. Dan Toby dengan aku, ehm..."
"Apa?!"
"Pada malam terakhir di Sea City, Bu Pike mengizinkan Mary
Anne dan aku pergi berdua, dan kami berkencan ganda dengan Toby
dan sepupunya, Alex."
Aku bisa membayangkan bahwa Claudia terbengong-bengong.
"Mary Anne ikut kencan ganda?"
"Yap."
"Dengan cowok?"
"Ya, tentu saja."
"Ah, masa sih? Rasanya aku tidak bisa percaya."
"Dan ternyata dia memang menyukai cowok itu," aku
menambahkan. "Nah, setelah makan malam, kami berpencar, dan
Toby membelikan kerang berwarna pink sebagai kenang-kenangan.
Dia juga memenangkan boneka beruang untukku. Kami akan saling
mengirim surat."
"Dari ceritamu, aku bisa membayangkan bahwa dia baik
sekali," kata Claudia.
"Yeah...."
"Bagaimana kabar anak-anak Pike?"
"Oh, mereka juga baik-baik saja. Kelihatannya mereka sangat
menikmati liburan kali ini. Rasanya aku jadi lebih mengenal mereka?maksudku, sekarang aku memahami mereka. Kamu tahu kenapa
Nicky selalu bertingkah macam-macam?"
"Kenapa?"
"Karena dia ingin masuk 'geng cowok'. Masalahnya, si kembar
tiga kadang-kadang tidak mau main dengannya. Kalau sudah begitu,
dia merasa tersisihkan dari seluruh keluarga. Dan Byron juga agak
berbeda dari yang kita duga. Dia lebih pendiam dibandingkan dengan
Adam dan Jordan, lebih serius. Dia agak perasa. Dan Vanessa bisa
membuat kepalamu pening dengan pantun-pantunnya. Tapi selain itu
dia anak yang baik. Oh, dan Mallory banyak sekali membantu kami.
Beberapa kali kami menugasinya untuk mengawasi adik-adiknya, dan
dia berhasil dengan baik. Eh, kapan pertemuan klub berikutnya? Hari
Senin?"
"Kalau tidak salah. Semua anggota sudah pulang."
"Oke. Aku sudah tidak sabar untuk ketemu Dawn dan
menanyakan bagaimana keadaannya di California. Dan Kristy pasti
sibuk sekali pada waktu kita di luar kota."
"Tapi ada satu hal yang jadi pikiran bagiku," ujar Claudia.
"Apa itu?"
"Musim panas sudah hampir berakhir. Dan sebentar lagi
sekolah sudah mulai."
"Yeah," balasku. "Tapi masih ada dua minggu, kan? Kamu
tidak tahu apa saja yang mungkin terjadi dalam waktu dua minggu.
Coba kamu bayangkan, dalam dua minggu aku ketemu dan kehilangan
cintaku yang pertama, lalu ketemu orang lain dan pergi ke
Terowongan Cinta."
"Terowongan Cinta! Kamu belum cerita apa-apa soal itu!""Oh... belum, ya?" aku menanggapinya dengan santai.
"Belum! Ayo, cerita dong!"
"Oke."
Aku tahu bahwa aku memerlukan paling tidak satu jam untuk
menceritakan semuanya lewat telepon. Tapi siapa yang peduli?
Namanya juga orang lagi jatuh cinta!END
Jago Kelana 4 Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan Harimau Mendekam Naga Sembunyi 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama