Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat Bagian 1
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
TOPENG PANJI
DAN CAMBUK IBLIS
SERI RATU AYU IV
HANCURNYA PEMUJAAN SESAT
PRAKATA
Dahulu pernah kuketengahkan,
Ceritera yang sama,
Bersumber dari bumi sendiri, Indonesia,
Kuutarakan tentang sifat manusia
Dengki, serakah, iri nafsu dan kesombongan,
Tetapi juga,
Tentang keperkasaan dan keteguhan
Yang melahirkan sikap,
Jalan hidup dan harga diri
Penulis
BAGIAN I.
MALAM itu mendung menutup langit Majapahit, agaknya hujan akan turun
dengan lebat. Sebentar-sebentar terlihat kilat mencahayai gelap malam.
Keadaan sepi, jalan-jalan tak ubahnya lorong panjang yang tiada hiasan, apalagi
jalan yang menghubungkan alun-alun dengan jalan raya. Orang jarang-jarang kelihatan
lewat di tempat itu.
Sepasang untaian tali nada tiang gantungan telah selesai dikerjakan. Gelangan
untaian itu bergoyangan ditiup angin malam yang makin keras berhembus seakan-akan
melambaikan tangannya untuk memanggil si pencabut nyawa.
Beberapa orang menjaganya, agar tidak sesuatu yang mengganggu kelancaran
pelaksanaan hukuman esok pagi.
"Jika kau akan mendahului mencoba." Kata seorang penjaga kepada temannya
yang tampaknya lelah sekali.
"Barangkali enaknya sama dengan mimpi." Yang lainnya menyambung dengan
memandang teman yang lelah itu.
"Kalau kau tertidur maka kaulah yang akan dipasang oleh Kyai Pasak."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kyai Pasak tidak akan mengganggu orang yang sedang tidur, sebab semasa
mudanya ia tukang sirep." Sahut yang kelihatan lelah.
"Agaknya kau berjudi terus pada malam hari, sehingga sekarang kelihatan lelah."
"Mana ada, perjudian sudah dilarang."
"Perjudian kecil dilarang, yang besar tidak. Huh. Besar atau kecil tidak ada
bedanya. Kan sama-sama berjudinya." sahut yang lain.
"Kau lihat untaian tali itu melambaikan tangannya."
Belum habis orang itu berkata, cahaya kilat mengejutkan mereka. Dingin malam
semakin terasa di tempat terbuka itu, mereka merapatkan penutup badannya.
"Buatlah pediang." Kata pimpinannya.
Seseorang membuat pediang, tidak berapa jauh dari tempat gantungan. Api itu
menjilat kian kemari terbawa angin malam. Untaian tali tampak bergoyangan dibayangi
jilatan api.
"Betapa ngerinya, tiang itu seperti sudah berisi. Tubuh manusia bergoyangan
tergantung."
"Ah. Gila kau. Bulu romaku mengeridik." Terdengarlah tawa memecah sepi
malam dan dingin semakin pekat. Api itu masih saja membayangi untaian tali gantungan.
Pengadilan Negeri Majapahit, ingin benar-benar menegakkan keadilan dan
kebenaran. Ingin menegakkan kekuasaan hukum di atas kekuasaan perseorangan. Dalam
mengadili seseorang selalu berpegang kepada sumbernya yaitu kekuasaan Yang Maha
Kuasa. Yakin bahwa jika pengadilan melakukan kesalahan, lebih-lebih menyalah
gunakan, maka tidak saja berhadapan kepada penduduk yang memberi kekuasaan tetapi
harus bertanggung jawab kepada Yang Maha Kuasa di alam langgeng kelak.
Karena itulah terhadap mereka yang tertuduh, selalu diberi kesempatan membela
diri. Dan terhadap mereka yang ternyata dapat dibuktikan kesalahannya, segera
menjalankan putusan pengadilan. Dengan demikian mereka yang terhukum dapat
menjalani masa hukumannya dengan tepat.
Demikian pula dalam mengadili Ra Kembar dan Ra Banyak, para jaksa dan hakim
melaksanakan kewajibannya dengan teliti dan berusaha seadil-adilnya. Bagi pemegang
peradilan Negeri Majapahit, banyaknya orang yang terhukum bukanlah suatu
kebanggaan, tetapi mereka akan berbangga hati, apabila sedikit mungkin orang yang
melanggar wewaler. Makin sedikit orang terhukum makin cenderung bahwa penduduk
telah banyak mempunyai pengertian berlakunya wewaler dan hukumannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Ra Kembar dan Ra Banyak adalah masih kerabat dekat kerajaan, bahkan ia
seorang menteri Sapta Prabu sebagai cermin dari kehendak seluruh penduduk Majapahit
telah pula menjatuhkan hukuman jauh sebelum kedua bangsawan itu dapat ditangkap,
namun pengadilan tetap mendengarkan pendapat-pendapat dari segala pihak, dengan
tidak mengurangi kebijaksanaan Sapta Prabu yang menganggap seseorang
membahayakan ketentraman.
Setelah mengadakan permusyawaratan dan penelitian yang seksama, maka
dinyatakanlah kesalahan kedua bangsawan itu, bahwa keduanya melakukan
pemberontakan terhadap Majapahit, menentang keputusan Sapta Prabu, membuat
kegelisahan dan kekhawatiran penduduk yang sedang giat membangun desanya dan
menyatukan daerah-daerah yang terpisah, mencemarkan nama kerabat kerajaan,
memecah belah punggawa-punggawa, serta merusak alat-alat hajat hidup penduduk.
Demikian itu tuntutan pengadilan. Dan kedua bangsawan itu tidak dapat
membantah, maka pengadilan memutuskan, kedua bangsawan Ra Kembar dan Ra
Banyak dihukum mati, dengan dipertontonkan agar menjadikan pengertian bagi seluruh
penduduk.
Mendengar keputusan itu, Ra Kembar yang dasarnya seorang yang ugal-ugalan,
tidak tersentuh hatinya, malah sebaliknya ia tertawa keras dan acuh tak hcuh. Sikapnya
masih saja secongkak semasa ia memegang kekuasaan sebagai seorang menteri.
"Tuan Ra Kembar, adakah tuan menerima hukuman ini."
"Apa perduliku dengan hukuman itu."
"Tuan akan memohon pengampunan terhadap baginda?"
"Apa perlunya."
"Tuan akan segera menjalani hukuman."
"Persetan semua itu."
"Tuan akan berpesan sesuatu?"
Ra Kembar tidak menjawab, tetapi tertawa keras sampai tubuhnya bergoyangan.
Demikian tawanya mereda, dengan senyum mengulum ia berkata, "Sungguh lucu, aku
sampai tidak mengerti apa yang harus kuperbuat."
Keadaan kembali hening.
Ra Kembar memandang yang ada dalam ruangan itu, ia lalu tersenyum-senyum
kecit dan berkata, "Baiklah aku berpesan kepada gadis-gadis penghuni warung di jalan
tikungan itu, bahwa aku Ra Kembar tidak akan melupakan jasa-jasa mereka yang selalu
memelihara dan melayani kemauanku. Katakan, bahwa jasanya kubawa mati."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Hanya itu?"
Ra Kembar tampak berpikir.
"Aku takut merepotkan pengadilan menyampaikan pesanku." Katanya dengan
seenaknya tak ubahnya seorang tak waras lagi, kembali Ra Kembar berfikir, mulutnya
menjorok, bola matanya berputaran, hidungnya berkembang dan mengempis.
"Apa si perlunya repot-repot di dunia ini, aku ingin makan makanlah aku, ingin
tuak aku pergi ke kedai tuak, ingin gadis manis yang sedia melayani setiap orang datanglah
aku ke tempat yang sudah disediakan, tidak senang hatiku berkatalah aku menurut
kehendakku, dan kalau aku ingin berontak terhadap siapapun, kulaksanakan
pemberontakan itu seperti sekarang ini. Memang hidup ini tidak perlu direpotkan." Ra
Kembar menelan ludahnya lalu melanjutkan, katanya, "Buat apa berpayah-payah kalau
aku kehilangan nyawa, berbuat apapun aku tak bisa lagi. Dan aku tidak lagi dipanggil Ra
Kembar, tetapi berubah menjadi mayat, ya mayat." Ia seperti berkata sendiri.
Berbeda dengan Ra Banyak, demikian ia mendengar keputusan pengadilan, ia lalu
menangis tak ubahnya seorang kanak-kanak yang kehilangan ibunya di tengah keramaian.
Tangisnya demikian keras sampai keluar ruangan dan orang menjadi geli. Sebab tangis
itu terdengar tak ubahnya lelucon yang menggelikan.
"Gila. Hanya orang gila yang menangis," Kata Ra Kembar,
"Kau yang gila."
"Aku?"
"Ya, kepala batu lagi."
"Ya, ya benar. Kepalaku memang sekeras batu"
"Busyet kau."
"Ih. Aku seorang bangsawan masa berkata busyet segala."
"Bangsawan sinting." Teriak Banyak, kemudian ia menangis kembali. Suaranya
serak dan keras.
Mereka yang ada di tempat itu mendiamkam kejadian itu, bahkan dianggapnya
sebagai suatu penyegar pikiran yang lelah.
"Tuan-tuan yang bijaksana Banyak menangis karena ia bermata kepiting dan
berhati perempuan. Tuan-tuan tidak usah khawatir, sebentar lagi ia akan tertawa dan
sebentar menangis sebab ia berperasaan rase seekor binatang, yang lapar merintih kalau
kenyangpun merintih........."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Belum lagi habis perkataan Ra Kembar, Ra Banyak membentak keras, "Bohong!!
Kau pembohong besar."
Ra Kembar malah tertawa keras, dengan menunjuk kepada Ra Banyak ia berkata,
"Nah, tuan-tuan lihat sendiri, sekarang ia tidak saja tertawa, tetapi sudah dapat
membentak."
Mereka yang mendengar tidak dapat menahan tawa, maka bergemuruhlah tempat
itu dengan suara tawa.
"Tuan Ra Kembar, dan Ra Banyak. Kelakar kita sudah cukup. Mari tuan berdua
kami persilahkan beristirahat." Kata ketua persidangan itu menyudahi
"Terima kasih, terima kasih." Sahut Ra Kembar mengangguk.
Waktu seorang petugas mendatanginya, cepat-cepat Ra Kembar menyingkir
dengan berkata.
"Aku masih bisa berjalan sendiri, tak perlu kau menolong ku"
Petugas itu melongo dengan memandang heran.
Ra Kembar menoleh, ia memandang dengan jeling matanya, mulutnya komat
kamit lalu berkata keras, "Kalau kau akan menolong; tolonglah itu orang lumpuh."
"Siapa yang lumpuh?" Tanya Ra Banyak.
"Kau."
"Siapa bilang. Akupun masih dapat berjalan."
"Kalau dapat mengapa tidak berdiri dan berjalan."
"Kau tidak tahu bahwa aku masih berfikir."
"Berfikir? Tentang apa?" tanya Ra Kembar.
"Hem. Ternyata kau kalah padaku."
"Ya, tentang apa?" Ra Kembar mengulangi. "Selirku yang baru itu."
"Oh. Otakmu masih sempat juga berfikir tentang selir!"
"Mengapa tidak."
"Benar, aku mengaku kalah. Sampai tua bangka laki-laki harus berfikir tentang
perempuan." Jawab Ra Kembar.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Keduanya meninggalkan tempat itu jalannya sempoyongan tak ubahnya
kebanyakan minum tuak.
Matahari sudah condong ke barat, pemuda pemuda menikmati indahnya sore itu,
mereka berjalan melihat sawah-sawah yang mereka kerjakan sehari panjang di bawah
sinar matahari. Di sana sini bertaburan padi yang sedang menguning, subur dan memikat,
menambah semangat petani yang mengerjakannya. Betapa tidak pertanian sebagai dasar
pengolahan hidup di tanah tercinta ini, rasa segan bergumul dengan lumpur adalah
pantang bagi pemuda masa itu. Mereka harus bekerja keras membangun desanya untuk
menyongsong datangnya masa depan yang berbahagia datangnya matahari pagi yang
cerah bagi seluruh penduduk Nusantara.
Jika malam tiba dan kalau kebetulan bulan purnama, pemuda-pemuda bersuka ria,
mereka berdendang dan menyanyi, berjoget bersama sebagai pernyataan rasa syukurnya
atas kurnia yang berharga.
Demikianlah untuk Ra Kembar dan Ra Banyak yang esok pagi akan menjalani
hukuman, pada malam itu agaknya mendung menipis mereka mempunyai keleluasaan
meminta apa yang dikehendakinya. Semalam itu sampai sebelum sinar matahari
menjengukkan dirinya, malam itu adalah untuknya, hari esok terakhir ia melihat
munculnya matahari.
"Banyak, mari kita ngibing." Ajak Ra Kembar. Banyak menggelengkan kepala.
Hatinya mau tidak mau tercekat.
Pada saat demikian, pada saat dirasanya umur tinggal semalam ia melihat bintang
yang berkelipan, ia melihat bulan yang bundar dan lengkung di cakrawala yang indah,
pada saat harinya terhimpit ia teringat masa kanak-kanak, saat-saat orang tuanya selalu
memperingatkan agar ia selalu ingat kepada Yang Maha Kuasa, tetapi semua itu
dilupakannya setelah ia hidup dalam kamukten. Dan sekarang detak jantungnya semakin
keras setiap ia mendengar ayam jantan berkokok. Perasaannya semakin bergolak.
Sebaliknya Ra Kembar, ia tidak lagi memperdulikan sekitarnya, apa yang
dirasakannya diucapkan, apa yang dipikirkan dilakukan, dihabiskannya malam itu
sebagai malam terpanjang dalam hidupnya.
Keringat yang membasahi tubuhnya belum lagi kering, ia meloncat dengan
setengah mabuk memburu ledek yang dikenalnya sejak lama. Memang ledek itu dipanggil
atas permintaan Ra Kembar.
Ledek yang disongsongnya tampak ragu-ragu. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan,
sedang beberapa temannya yang biasanya berkata-kata renyah, kali ini hanya memberikan
isyarat-isyarat sebagai pernyataan hatinya. Ra Kembar sebentar melongoh melihat
perubahan itu, tidak seperti masa-masa lampau, kalau Ra Kembar datang ke tempatnya,
perempuan itu akan bersembah dan bersimpuh, menembang dengan suara indahnyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
untuk membangkitkan dan membangun bergolaknya perasaan masing-masing. Kemudian
keduanya akan berkelakar sampai kepada puncak yang dibutuhkannya.
Dan kali ini hal itu tidak terjadi.
"Mengapa kalian takut?" tanya Ra Kembar.
Ledek itu masih saja membungkam, mukanya tenang setenang penjaga-penjaga
yang bertugas pada gapura depan. Hati Ra Kembar semakin bergolak minta pelepasan.
Dimata Ra Kembar ledek-ledek itu bertambah memikat. Ia menjadi gemas melihat
perlakuan malam itu.
"Mengapa kau?" Tanya Ra Kembar kehilangan kesabaran.
Mereka yang datang ke tempat peristirahatan atas permintaan itu, menunjuk
kepada petugas-petugas yang menjaga keselamatan Ra Kembar dan Ra Banyak.
"Kalian telah diperkenankan, mengapa mesti takut?"
"Kami datang untuk menghibur tuan-tuan."
"Nah, mengapa diam saja. Hiburlah aku. Malam ini adalah aku yang
mempunyainya, sebab besok aku tidak lagi memilikinya." Ra Kembar diam sejenak,
dikerutkan keningnya karena ia melihat rombongan kesenian itu belum juga memulai
pertunjukkannya, sedang ledeknya masih juga kelihatan ragu-ragu. Bahkan mereka
memandang pada tamtama yang sedang bertugas di dekat tempat itu.
Ledek itu membungkukkan kepalanya, tamtama itu segera mendatangi dengan
berkata, "Ada yang kalian butuhkan?"
Melihat kejadian itu Ra Kembar terbakar hatinya, dasar ia berhati kerdil dan licik,
timbul perasaannya ingin segera merenggut ledek, hatinya yang penaik darah menguasai
perasaannya. Matanya yang merah karena kebanyakan minum tuak itu hampir keluar dari
kelopaknya memandang tamtama yang berbicara ramah dengan ledek yang memikat
hatinya.
"Hai, sebaiknya kalian jangan mengganggu malam panjangku ini, bukankah
malam ini telah diserahkan kepadaku?" Bentak Ra Kembar. Ia meneguk liurnya
kemudian berkala kepada ledek yang masih saja memandanginya dengan heran. "Sudah
lama kalian kenal?"
Ledek itu melemparkan senyumnya dan matanya langsir pada Ra Banyak yang
duduk dengan muka tunduk, wajahnya bersungut dan tampak tidak bertenaga.
Ra Kembar menoleh, kemudian tertawa keras.
"Tak usah hiraukan laki-laki yang kehilangan semangat."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Siapa bilang aku kehilangan semangat!" Bentak Ra Banyak dengan berdiri dan
mendekat. "Kau lihat ini, aku masih bisa berjalan dan ototku semakin keras. Tetapi
otakku semakin tumpul."
Semua yang berdiri di tempat itu meledak tawanya.
"Hai, mengapa kalian tertawa? Adakah aku lucu? Adakah aku menertawakan
kalian?" Ra Banyak diam sejenak, ia tampak berfikir lalu menyambung, "Kalian lihat ini
ototku, bukankah benar-benar darah masih mengaliri tubuhku."
Kembali terdengar tawa yang menggeletar.
Setelah tawa itu makin mereda, kembali Ra Kembar mendekati ledeknya lalu
membisikinya, "Sudah lama kau mengenalnya?"
Ledek itu menggelengkan kepalanya.
"Lalu apa maksudmu membungkukkan kepala segala."
Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku akan minta ijin, apakah sudah dapat dimulai."
"Ijin itu ada padaku, bukan kepada penjaga itu." Kata Ra Kembar dengan
membusungkan dada.
"Benar nona. Ijin pada tuan Ra Kembar. Malam ini telah bulat-bulat diserahkan
kepadanya. Ia boleh berbuat sesuka hatinya, selama tidak membahayakan dirinya." Kata
tamtama itu dengan ramah.
"Terima kasih. Terima kasih kisanak."
"Terima kasih kembali. Nona boleh memulai." Sambung tamtama itu dengan
menghormat.
"Kau salah. Aku yang mengijinkan. Bukan kau." Ra Kembar berkata dengan
lantang.
"Ijin memasuki ruangan ini di tanganku tuan, ijin mereka memulaipun aku harus
mengetahuinya. Sedang apa acaranya tuanlah yang berhak dan menentukan. Bukankah
demikian?"
"Hem!" Ra Kembar yang berhati tinggi mana mau mengalah, apalagi di depan
orang-orang yang pernah melayaninya semasa berkuasa.
Tamtama itu meninggalkan mereka kembali ke gardu.
Kendang rombongan kesenian itu sudah mulai memberi tanda dimulainya
pertunjukan, mereka bersiap pada tempat masing-masing, pengendang, rebab, selentemhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
dan gambang semuanya telah terisi wiyaga dan siap untuk menabuhnya. Demikian
terdengar irama gamelan terdengar pulalah suara indah mengalun dari waranggana yang
terkenal di jaman itu.
Ra Kembar duduk dengan angkuhnya, seolah-olah ia menjadi raja di malam itu.
Beberapa orang melayani kebutuhannya, minum tuak, makan sirih dan lain-lainnya. Ra
Kembar tidak perlu berjalan hilir mudik mencarinya, cukup dengan berteriak.
"Gila!! Benar-benar gila, aku sudah miring!" Ra Banyak berkata dengan
berjingkrakan tak ubahnya anak kecil yang sedang bermain sepak-sekong.
"Hari ini aku masih seperti orang kalap, apa yang kumaui dituruti, seperti anak
kecil yang harus dilayani semua kehendakku, naik kereta keliling kota, minta dibukakan
pintu pagar rumah, sampai dicucikan kakiku. Semua orang melayaniku dengan taat, sebab
mereka takut aku yang dijadikan anak kecil ini menangis, menangis karena kecewa." Ra
Banyak diam sejenak, ia memegang keningnya, lalu berkata menyambung, "Benar-benar
gila. Dan esok aku kehilangan semua itu. Bahkan kehilangan yang paling kucintai,
hidupku."
Ra Banyak batuk-batuk karena angin malam.
"Jangan mengigau Banyak. Tiada gunanya semua itu."
"Aku teringat ayah-bundaku Kembar."
"Ya, tetapi berbicara seorang diri bukanlah seorang yang waras otaknya."
"Sejak tadi aku berkata bahwa aku sudah sinting."
"Hem."
"Kaulah yang membuat aku sinting, membuat aku menjadi gila, apalagi malam ini
kau berpesta-pora menghabiskan waktu hidupmu yang tinggal sebentar." Kata Ra Banyak
serak.
"Apa perlunya dipikirkan lagi. Bukankah sudah terlambat."
Jawaban Ra Kembar memang masuk diakal Ra Banyak, tetapi Ra Banyak sama
sekali tidak bisa berbuat lain.
Memang terdapat perbedaan pada diri kedua orang itu Ra Kembar sejak kecilnya
hidup dalam lingkungan kamukten yang berlebihan. Sama sekali tidak sekelumit
penderitaan pun dirasakannya. Dalam kesatrian karena kebangsawanannya maka ia
selalu disanjung, apalagi dengan menggunakan kekayaannya ia mencari pengaruh.
Sebaliknya Ra Banyak orangtuanya masih memberinya petunjuk tentang dasar hidupnya.
Orangtuanya selalu memperhitungkan untung rugi dalam hidup ini. Walaupun Ra
Banyak sudah bisa hidup menemani Ra Kembar, namun darah orangtuanya masihhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
mengalir pada tubuhnya. Iapun masih terpengaruh oleh perasaan untung rugi. Karena itu
pulalah maka kadang-kadang tampak bahwa Ra Banyak seorang penakut, seorang yang
melarikan diri dari tanggung jawab.
"Banyak! Persetan dengan hari besok. Mari kita puaskan hidup kita pada malam
ini." Ajak Ra Kembar.
Banyak mengangguk, terlintas dalam benaknya ngiang perasaan Ra Kembar itu
ada betulnya. Sekali lagi ia mengangguk.
Demikian terdengar bunyi irama gamelan untuk mengiringi ibingan, disusul
beberapa orang ledek sudah siap menayup, Ra Kembar cepat menarik Ra Banyak.
meloncat ke tengah gelanggang.
Dengan disertai tepuk irama tangan dan senggakan yang menggetarkan, tangannya
mulai bergerak.
Hak-e, hak-e, hak-e hak. Demikianlah berkali-kali irama yang menggetarkan itu
disertai tepukan tangan. Mereka yang mendengarnya mulai menggerakkan tubuhnya.
Yang sedang berjoget semakin menjadi.
"Tuan-tuan pertunjukan ini diakhiri setelah sinar matahari pagi mulai menerangi
langit sebelah timur." Kata Ra Kembar dengan masih giat mengibing.
"Tuak!" Ra Kembar berteriak keras.
Iramanya semakin gencar, tayubannyapun setengah mabuk.
Tiba-tiba saja Ra Kembar dan Ra Banyak sempoyongan, tubuhnya jatuh terkulai.
Mereka tidak sadar. Dengan cepat beberapa petugas mengangkatnya dan membawanya
masuk ke tempat peristirahatannya.
Kokok ayam telah ramai menyongsong datangnya matahari.
"Tuan akan memakai pakaian serba putih?" Tanya petugas
Ra Banyak mengangguk dan segera menerima pakaian itu.
Lain pula halnya dengan Ra Kembar, ia tidak menerimanya.
"Aku seorang kesatria, biarlah aku mati dengan pakaian kebanggaanku. Biarlah
aku memasang kerisku di bagian depan pinggang seperti aku akan maju dalam medan
perang."
"Terserah, tuan diberi kebebasan memilih."
"Hem. Begitulah seharusnya."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Bersiap-siaplah. matahari sudah menampakkan sinarnya."
"Oh. Mimpiku terlampau indah malam tadi." Berkata demikian Ra Kembar
dengan menggoyang-goyangkan tangan dan tubuhnya yang dirasanya kaku.
Pagi itu matahari tertutup mendung, agaknya malu melihat kelakuan seorang
kerabat kerajaan yang berani melompati wewaler kerajaan yang seharusnya dijaganya.
Pagar yang seharusnya mengukuhi bunga yang tumbuh di taman indah, tetapi kedua
bangsawan ini berbuat sebaliknya, sebagai pagar ia makan tanaman, bahkan memakannya
dengan berlindung di balik kekuasaan.
Kedua pesakitan yang telah dijatuhi hukuman mati berjalan menuju tempat
penggantungan, Ra Banyak menggunakan pakaian serba putih, sebaliknya Ra Kembar
mengenakan pakaian seorang kesatria. Rambutnya disusun rapi, dengan dada terbuka dan
di pinggangnya sebelah depan terselip sebilah keris yang indah. Ra Kembar adalah
seorang bangsawan yang pernah menjadi salah seorang menteri dari kerajaan Majapahit,
berwajah tampan. Ia berjalan dengan muka tengadah, sebentar-sebentar menoleh ke kiri
dan ke kanan mengawasi mereka yang melihatnya di pinggiran jalan.
Beberapa orang yang masih segan kepadanya menyembunyikan diri sewaktu Ra
Kembar lewat di depannya.
Memang dalam keadaan demikian, saat mata melihat seseorang yang akan
mengakhiri hidupnya, bermacam-macam perasaan bergolak pada hati manusia, rasa
kemanusiaan yang terpendam mencetuskan beraneka pengutaraan. Ada yang bersyukur
atas berlakunya keadilan, ada pula yang menundukkan kepalanya karena tersentuh relung
hatinya, ada pula yang terharu karena sentuhan kernanusiaannya, dan selebihnya ada
pula yang menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran, tuntutan atas pakartinya
sendiri.
Namun dari bermacam pergolakan perasaan itu terpercik dalam hati yang paling
dalam, semuanya memohonkan kehadapan Yang Maha Kuasa, agar mereka yang akan
menjalani hukuman itu sadar akan kesalahannya. kemudian menyerahkan bulat-bulat
jasad hidupnya kepada penciptanya. Mereka harus menerima kalau kejadian itu satu
satunya sarana yang telah ditentukan untuk mempercepat panggilan, tetapi bukan karena
perbuatan yang dilarang atas kehendak sendiri.
Kedua orang itu makin jauh meninggalkan kelompok manusia yang menontonnya
di pinggiran jalan. Di kejauhan tampak sekecil ujung jarum dua untai tali melingkar yang
disediakan untuk mereka. Di samping itu tersedia pula kalau mereka akan memilih jalan
lain, mengakhiri dengan keris umpamanya.
Demikianlah mereka mulai melangkahkan kakinya masuk dalam pagar
penggantungan. Beberapa orang pemuka agama membacakan doanya menurut
kepercayaan kedua orang itu.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Setelah itu semua orang memejamkan matanya karena mereka tidak sampai hati
melihatnya. Tarikan napas sebagai pernyataan turut menghantarkan mereka yang
menjalani hukuman.
Dan setelah itu hanya mereka yang mendapat tugas menurunkan kedua mayat
untuk mendapatkan perawatan sebagaimana manusia biasa, sebagai kerabat kerajaan
yang walau sedikit pernah pula berjasa. Kejahatan dalam dirinya telah berakhir.
Terdengar bunyi genderang pernyataan berakhirnya pelaksanaan hukuman itu.
Semuanya kembali dengan perasaan masing-masing waktu mendengar bunyi genderang
irama kematian.
Dalam kelompok manusia yang berleret di tepi jalan itu, terdapat beberapa yang
melihat kejadian itu dengan muka muram penuh dendam. Ia menggamit temantemannya. Mereka saling menoleh.
"Tidak ada artinya bertindak sekarang kakang."
"Mengapa?" tanya seseorang yang bertubuh kekar, kepalanya gede, berkulit hitam.
"Sama artinya dengan bunuh diri kakang."
"Kalian takut?"
"Bukan begitu. Kakang lihat pasukan berkuda itu." Orang berkulit hitam itu
melihat pasukan berkuda yang mengelilingi daerah dimana mereka berkelompok.
"Hem." Dehem orang berkulit hitam dengan gigi gemertak dan jeriji tangannya
tergenggam rapat
"Jangan kakang berkesal demikian." Kata seorang yang berwajah ganteng
berkumis indah. Kelihatannya masih seorang bangsawan pula.
"Gila." Kata si hitam
"Akupun tidak rela dipimpin oleh seorang yang berdarah tak keruan itu. Lebihlebih dia pulalah sebab musababnya sehingga tuan Ra Kembar dan Ra Banyak menjalani
hukuman mati. Pemuda ganteng itu memberi keterangan.
Orang berkulit hitam itu menghela napas panjang.
Setelah selesai pelaksanaan hukuman itu. mendung yang menutupi matahari
tersibak, langit menjadi cerah dan panas mulai terasa hangat di badan. Panas pagi yang
menikmatkan.
Tetapi panas pagi itu sama sekali tidak terasa pada tubuh orang berkulit hitam dan
pemuda ganteng itu, sebab hati mereka sepanas matahari di tengah bulatan bumi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Pasukan berkuda semakin dekat dengan tempat di mana mereka berdiri, beberapa
orang lainnya tampak berpencaran agak menjauh, sedang pemuda ganteng itu. mulai
menggeser kerisnya di pinggang sebelah depan, untuk siap dicabut apabila diperlukan.
"Bagaimana angger" Tanya yang berkulit hitam.
"Kalau terpaksa kita harus bertindak kakang." Jawab pemuda ganteng itu dengan
menempatkan dirinya dalam kesiagaan.
"Bagus."
"Tetapi kakang harus berhati-hati. Jangan bertindak apabila benar-benar tidak
terpaksa."
"Aku sudah tak sabar lagi angger"
"Jangan bodoh kakang"
Orang berkulit hitam itu memandang dengan melotot, matanya yang berwarna
merah itu menyinarkan warna kelabu. Buku lehernya naik turun dan sebentar-sebentar ia
meneguk liurnya.
"Jika kakang membandel, aku sendiri akan melunasi kakang"
Kemudian tiada sepatah katapun terucap dari mulut mereka. Pasukan berkuda
melewati jalan di depan mereka itu. Penunggangnya mengawasi dengan pandang curiga
terhadap orang berkulit hitam itu. Sebentar pasukan berkuda itu berhenti tepat di dekat
dimana orang berkulit hitam itu berdiri.
"Hai, adakah kau belum makan?" Tanya salah seorang dengan tetap di atas
pelananya.
"Tidak, kakangku ini sedang agak sakit." Jawab pemuda itu dengan memegang
erat tangan si kulit hitam.
"Sakit?" Tanya penunggang kuda itu dengan meneliti.
"Benar tuan" Sahut pemuda itu kembali.
"Tampaknya ia berkeringat."
"Benar tuan, sebab sejak tadi sebelum upacara."
"Hem." Berkata demikian dengan masih bercuriga. Tetapi ia tidak dapat lebih
lama di tempat itu, karena kuda-kuda lainnya telah berada di dekatnya.
Waktu seorang pasukan berkuda lainnya berada di dekatnya keduanya saling
berbisik. Baru saja yang dibisiki memperhatikan orang berkulit hitam itu, tiba-tibahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
terdengar aba-aba. Dengan cepat mereka meninggalkan tempat itu menuju induk
pasukannya.
"Kakang lihat sendiri."
"Mengapa kau mcncegahku."
"Sebab kakang kalap."
"Setidaknya aku dapat membunuhnya,"
"Tetapi kakang,"
"Kau tidak tahu siasatku. Aku akan minta tolong ke pada pasukan berkuda itu
dengan berpura-pura sakit. Demikian ia mendekatku kutusukkan belatiku ini pada
pinggangnya dengan sekali tunjam." Katanya dengan mengawasi pasukan berkuda yang
semakin jauh.
"Tidak semudah dugaan kakang."
"Mengapa tidak kita coba."
"Kakang menganggap buta orang-orang sekitar tempat ini." Orang berkulit hitam
itu tidak menjawab. Tubuhnya bergoyangan ke kiri dan ke kanan seperti layang-layang
gedeg karena menahan marahnya.
"Sekarang bagaimana kehendakmu" Tanya sikulit hitam.
"Tinggalkan tempat ini."
Mereka meninggalkan tempat itu. Sikapnya mencemooh.
"Lain kali kita bertemu." kata pemuda ganteng itu.
"Siapa?"
"Mereka itu."
"Dalam waktu singkat angger."
Mereka makin jauh meninggalkan tempat itu dengan membawa dendam yang
berkemelut dibenaknya.
Panas semakin panas, matahari semakin tinggi.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
BAGIAN II.
TEMPAT ITU merupakan sebuah dataran tinggi, sebelah menyebelahnya di
lindungi bukit-bukit batu putih melingkar sampai bagian belakang. Bagian depannya
digali dan dibuat sebuah jalan yang menghubungkan dataran itu dengan sebuah gua yang
cukup indah, terletak pada bagian ketinggian sebelah belakang. Gua itu tak ubahnya
sebuah panggung untuk melihat arena permainan yang disukainya pada dataran di
hadapannya.
Jalan sebelum memasuki gapura tampaknya hanya sebuah berliku-liku di antara
batu-batu padas setelah mendaki sebuah bukit batu yang cukup tinggi. Tetapi bagi mereka
yang sudah mengenal daerah itu sebagai daerah permainannya, mengetahui bahwa
banyak jalan-jalan sidatan menuju dataran di atas bukit padas yang ditakuti oleh segenap
penduduk sekitar tempat itu.
Orang-orang yang dekat dengan bukit padas itu menamakan tempat itu Gua Watu
Gong. Ya, benar-benar bentuknya merupakan sebuah gong apabila gapura depannya
ditutup.
Waktu itu matahari baru menjengukkan dirinya pada sebelah bukit, seorang yang
bertubuh besar, berkumis jlaprang, cambang rambutnya hampir memenuhi pipinya,
pandangannya liar, sedang duduk menghadap dataran menikmati udara pagi.
Seorang perempuan, wajahnya tidak begitu cantik tetapi tubuhnya padat berisi,
dengan rambut terurai duduk beralaskan paha laki-laki itu. Sebentar-sebentar rambutnya
menyapu-nyapu muka laki-laki yang diduduki pahanya. Tampaknya laki-laki itu sama
sekali tidak terasa berat, sebab kakinya memang kokoh kuat, sedang ia duduk pada sebuah
batu persegi pada teras guanya.
"Kakang." Panggil perempuan itu kenes.
"Hem." Jawab laki-laki.
Perempuan itu tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi menghempaskan napasnya
kemudian meletakkan kepalanya ke dada laki-laki itu, sehingga muka laki-laki itu tertutup
dengan seluruh rambutnya.
Singalangu demikian nama laki-laki itu. Ia mencoba menyibakkan rambut yang
menutupi mukanya, teiapi perempuan itu malah mendekapnya, sehingga napas
Singalangu tersengal-sengal.
"Gila! Napasku hampir putus Nyai."
"Putus, putuslah. Kau tidak memperhatikan aku."
Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang tidak memperhatikan?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Barangkali kakang sudah punya simpanan lain."
"Jangan berkata sedemikian Nyai, tidak baik."
"Benar kakang tidak mempunyai simpanan?" Perempuan itu bertanya dengan
melemparkan pandangan redupnya, pandangan seorang yang menggetarkan hati. Redup
mata itu benar-benar membuat gairah Singalangu bangkit. Tetapi perempuan itu pandai
membangunkannya dari sedikit. Kadang-kadang ia berjinak merpati agar Singalangu
menjadi terbakar dan berkobar! Sebaliknya Singalangu bukan pula laki-laki sembarangan,
ia dapat menahan diri, mengendalikan gelonjak perasaannya yang dibangkitkan.
Tiba-tiba Singalangu bangkit sambil memapah perempuan itu, kemudian diayunayunnya dengan berdendang. Bagi Singalangu jangankan memapah seorang, tiga orang
sekaligus tiada terasa baginya.
Pernah pada suatu ketika, waktu ia melamar Luh Sari seorang gadis dari daerah
lereng gunung Kawi. Pembeliannya dengan mengadu jiwa melawan seekor kerbau di
hadapan mertuanya. Waktu itu Singalangu belum sehebat sekarang. Tetapi mengadu
tenaga melawan seekor kerbau, ia yakin akan kemenangannya. Benar juga waktu kerbau
itu akan menyudangnya, Singalangu gesit meloncat ke samping, kemudian meloncati
punggung kerbau itu dan menghajar tengkuknya. Kerbau tersungkur, dari mulutnya
tertumpah darah segar dan lidahnya terjulur keluar.
Dengan kekuatan yang luar biasa kerbau itu diangkatnya dan dilemparkan di
hadapan orang tua Luh Sari sambil berkata keras,
"Nah, apa yang paduka pinta untuk memenuhi lamaranku ini. Aku masih bersedia
diadu melawan apapun. Kalau perlu melawan bapak, atau barangkali laki-laki lain yang
sudah melamar anak bapak Luh Sari." Berkata demikian sambil membungkuk hormat,
tetapi matanya semerah darah.
Dan sengaja Singalangu memanggil orang tua Luh Sari dengan sebutan paduka,
karena ia mengerti sebenarnya orang tua Luh Sari akan menolak lamarannya agak segan.
Sebab mereka adalah sama-sama berandal yang saling membawahi daerah.
Sebenarnya Singalangu tidak akan melamar Luh Sari, andaikata bapak Luh Sari
tidak menghinanya. Pernah bapak Luh Sari berkata, kalau ia dapat merampok pedagang
yang datang dari Lumajang yang dikawalnya, benar-benar ia seorang laki-laki sejati.
Singalangu tidak mengerjakan tantangan itu, tetapi ia lalu melamar anaknya, dan kalau
tidak diperkenankan, akan dibunuhnya seluruh keluarganya.
Demikianlah yang menyebabkan sehingga Singalangu harus berhadapan dengan
seekor kerbau yang dimabukkan. Untunglah ia bernasib baik. Dan di hadapannya dengan
mata kepala sendiri, ia melihat orang tua Luh Sari menggigil ketakutan. Dan kemudian
menyerahkan Luh Sari untuk dibawa ke Watu Gong.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Singalangu membawa anaknya tanpa mengucap terima kasih, sedang Luh Sari
sudah jatuh cinta sebelumnya.
"Sari, kau berlagak menuduh aku segala, kau masih ingat waktu aku melamarmu?"
Tanya Singalangu dengan meletakkan Luh Sari pada sebuah batu persegi, dan ia sendiri
lalu memalangkan kakinya memagari tubuh perempuan itu
"Mengadu tenaga dengan kerbau bukan permintaanku kakang."
"Aku tahu, tetapi ........."
Belum lagi habis kata-kata Singalangu, cepat Luh Sari menyahut katanya, "Kalau
kakang mati, aku bunuh diri."
"Jangan mengibuliku Luh Sari!" Singalangu tersenyum dan kumisnya yang
jlaprang itu bergerak-gerak seperti seekor harimau yang mencium datangnya seekor kancil
di dekatnya.
"Benar kakang. Aku berkata sebenarnya."
"Kelihatannya ada seorang laki-laki muda yang disimpan bapakmu waktu aku
akan melamarmu dahulu." Tanya Singalangu kelakar.
"Ah. Aku tahu sekarang. Kakang mencari perkara agar dapat kawin lagi dengan
alasan itu."
Singalangu tidak menjawab, tetapi tertawa ter-bahak-bahak dan memeluk Luh Sari
seerat-eratnya. Kemudian membisiknya.
"Gila, kakang gila, mesti selalu kesitu arahnya."
"Masa aku kuat melihat wajahmu yang cemerlang itu diajeng." Kata Singalangu
mengecup dengan membelai rambut Luh Sari.
Luh Sari mengerlingkan matanya. Ia berdiri dengan cekatan memegang pinggang
Singalangu, kemudian keduanya meninggalkan tempat itu menuju ke sebuah ruangan.
Dari kejauhan terdengar suara tawa yang bercekikikan. Tetapi hanya sebentar
kemudian suara itu tidak terdengar lagi.
Matahari pagi belum memanasi daerah pegunungan padas itu, udara yang
berhembus masin dingin, sedingin daun talas yang semalam panjang terkena embun.
Luh Sari adalah seorang brandal perempuan, satu-satunya anak gadis dari brandal
Singa Gimbal yang terkenal kejam. Luh Sari mengikuti jejak ayahnya dan membentuk
gerombolan berandal perempuan yang bermukim di lereng gunung Kawi, tidak berapa
jauh dari permukiman orang tuanya. Tetapi setelah ia menjadi istri Singalangu,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
gerombolan berandalnya diserahkan kepada salah seorang anak buahnya. Konon
kabarnya sekarang mereka itu sudah habis terpencar karena menjadi istri berandal atau
kadang kadang diambil oleh seorang pedagang yang kebetulan lewat daerahnya.
Daun pohon mangga di depan gua itu tampak hijau kekuningan ditimpa sinar
matahari pagi, pucuknya yang semi, kering satu tumbuh yang lain. Demikian Luh Sari
kalau dia sekuntum bunga baru dalam masa berkembang, banyak pula kumbang yang
menghampirinya, baik yang sengaja memindahkan perkawinan untuk menjadikan bakal
buah, atau sekedar menghisap madunya.
Dua orang mendaki bukit padas itu, mereka beristirahat pada sebuah gundukan
dengan melayangkan pandang ke atas gua gong yang kokoh bagaikan benteng tak
teruntuhkan.
"Kakang Uling, kelihatan sepi." Berkata demikian dengan menebarkan pandangan
sekitar tempat itu. Kedua orang itu sudah biasa menjelajahi daerah gua gong, bahkan
baginya merupakan tempat peristirahatannya, apabila semalam untuk bekerja keras.
"Malam tadi mereka bekerja keras barangkali." Kedua orang itu mempunyai
pengamatan yang tajam
Demikian ia mendengar suara, cepat melolos pedangnya dan berbalik mengarah
asal suara itu dengan meloncat siaga,
"Ada apa?" Tanya Uling.
"Seekor kadal meloncat. Terpaksa ujung pedangku mematuknya." Jawab Welut
kuning dengan memberitahukan ujung pedangnya memasak seekor kadal yang masih
setengah mati.
"Hebat!!"
"Apa artinya seekor kadal kakang."
Binatang sekecil itu dengan sekali sebat dapat kau kenai andaikata manusia tak
perlu memakan waktu lama." Kata Uling.
Welut Kuning merasa bangga mendapat pujian itu. Ia masih memandang kadal
yang menggeliat di ujung pedangnya dengan tersenyum menyeringai. Kemudian
membabatkan pedangnya pada angin dan kadal itu terlempar jauh.
"Asal pedangmu jangan seharga kadal itu adikku"
"Jangan menghina kakang."
"Masihkah pedang itu setajam waktu kita bersama-sama dahulu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Jangan khawatir kakang. Pedang ini lebih tajam dari pada waktu kita berkenalan
dahulu. Kakang akan mencobanya." Habis berkata demikian tiba-tiba saja Welut Kuning
meloncat menyerang.
"Hai, jangan main-main adikku."
"Kakang akan mencobanya bukan?" Welut Kuning terus menyerang, sedang
Uling Bangah hanya menghindar menggeser tubuhnya dengan gerakan yang sederhana
tetapi mantap.
"Sekarang rasakan ini." Berteriak demikian Uling Bangah melontarkan cambuk
yang ujungnya tergantung besi bulat berduri, mengarah Welut Kuning. Sudah barang
tentu Welut Kuning terkesiap dan bergegap. Untunglah ia telah bersiaga terlebih dahulu.
Tetapi untuk meloncat menghindar sudah terlambat, terpaksa ia membenturkan
pedangnya pada besi bulat berduri.
Dencing disertai kilatan api, dan terlihat Welut Kuning sempoyongan kehilangan
keseimbangan. Sedang Uling Bangah meloncat mundur dengan melepaskan tawanya
yang membuat orang berdiri bulu kuduknya.
"Bagaimana adi, adakah perlu dilanjutkan?" Welut Kuning menyarangkan
pedangnya, kemudian membungkuk hormat dengan berkata, "Terima kasih atas pelajaran kakang."
"Bagus, itu namanya kesatria. Dimanapun kesatria itu ada, baik di kalangan
kerajaan ataupun di tempat berandal. Hanya caranya yang berlainan. Pengakuannya yang
tulus, itulah sifat kesatria, bukan halusnya bersopan santun." Kata Uling Bangah.
Welut Kuning kembali membungkuk hormat.
"Ambillah jika kau haus." Seru Uling Bangah. Cepat-cepat Welut Kuning
menerima pemberian itu, dan meneguknya sekali. Tuak manis yang baru saja diambilnya
dari sebatang pohon kelapa di pinggiran jalan desa.
Dalam mengambil milik orang Uling Bangah tiada akan berfikir perbuatannya itu
merugikan atau tidak. Ia seorang pembandil yang titis, dengan melemparkan sebuah batu
ke arah bumbung yang tersangkut, jatuhlah bumbung itu. Dan sebelum jatuh ke tanah,
cepat pula ia meloncat menerimanya. Biasanya tidak akan tumpah sebab bagian bawah
yang berat.
"Masih ingin beristirahat?" Tanya Uling Bangah.
"Sebaiknya kita melanjutkan kakang."
Uling Bangah berdiri dan meloncat meneruskan perjalanan.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Kakang, bumbungmu1" Seru Welut Kuning. Uling Bangah menengadahkan
tangannya. Welut Kujing ragu karena jaraknya sudah agak jauh.
"Lemparkan sekuat tenagamu."
Welut itu melemparkannya. Demkian bumbung itu menyongsong di dekatnya
dengan cekatan yang luar biasa Uling Bangah melecutkan cambuknya. Bola di ujungnya
menyambar bumbung itu.
"Prak!! Pecah berantakan, tuak manisnya tumpah. Welut Kuning melongoh
sebentar melihat kejadian di hadapannya. Ia tersenyum seraya membungkuk. Waktu ia
mengangkat kepalanya dengan berkata, "Aku takluk tujuh turunan."
"Tak usah membual adikku."
"Kakang benar-benar hebat. Sungguh banyak kemajuan yang kakang capai selama
kita tidak berjumpa. Selama dalam pengembaraan sendiri-sendiri." Welut Kuning berkata
dengan sungguh-sungguh.
Uling itu tidak lagi mendengarkan ucapan, ia meloncat dan sudah menghilang di
balik batu. Welut Kuning menebarkan pandangnya tiada lagi tampak olehnya. Waktu ia
melangkahkan kaki, ternyata Uling Bangah telah jauh di depannya, bahkan sudah hampir
sampai di dekat gapura padas.
"Cepat, kutunggu di sini." Teriak Uling Bangah. Kedua orang itu mempunyai
kesejajaran ilmu, dan keduanya orang bengal, penaik darah dan menuruti kemauannya
sendiri, mempunyai kekhususan-kekhususan dalam mengolah ilmunya.
Dalam ilmu berlari Uling Bangah di atas Welut Kuning, tetapi Welut Kuning
mempunyai kelebihan dalam meloncat.
"Gila. Jangan menghina aku kakang." Pikirnya, lalu Welut Kuning meloncat ke
atas sebuah batu, dan terus meloncat ke batu yang lain tak ubahnya seekor tupai. Dalam
waktu yang singkat ia telah sampai di dekat Uling.
"Hebat, Kau belut yang pandai meloncat."
"Sebaliknya kakang seekor Uling yang pandai terbang." Keduanya lalu tertawa
berkakakan.
"Mari kita masuk." Ajak Uling. Welut Kuning merapikan pakaiannya.
"Biar kelihatan seperti priyayi?" Tanya Uling.
"Karena aku mengejar kakang."
"Kau akan lebih terlihat perkasa dengan dada terbuka."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Busyet!!""
"Coba kau panggil kakang Singalangu." Pinta Uling Bangah.
Welut Kuning yang memang akan memamerkan kelebihannya, lalu berteriak, dan
terdengar panggilan itu berkumandang memenuhi dataran, bahkan terasa terpantul
kembali. Tetapi keadaan tetap sepi, bahkan anak buahnya seorangpun tidak ada yang
tampak.
"Mengapa sepi kakang." Tanya Welut Kuning.
"Aku tak tahu."
"Mungkin masih tidur, karena banyak bekerja malam tadi."
"Atau Barangkali sedang menikmati udara pagi yang cerah ini karena tadi malam
bermimpi indah."
"Ah. Masakan begitu kakang."
Uling Bangah tersenyum, diam-diam dia masih mengagumi suara Welut Kuning
yang keras melengking memekakkan telinga. Untunglah ia bukan pula orang
sembarangan, dia mempunyai mantra untuk memekakkan telinga agar tidak mendengar
sesuatu walaupun petir menyambar di dekatnya.
"Adikku, kita memang bukan penikmat alam ini, sebab pekerjaan kita bukan di
daerah itu, kita bukan penari adikku, tetapi menikmati sebuah tari-tarian yang dapat
memikat dan tidak, kita masih pula bisa membedakannya." Kata Uling Bangah dengan
melanjutkan perjalanannya melintasi dataran menuju gua, ia melanjutkan,
"Menikmati alam ini kadang-kadang ada faedahnya, kita bisa bersabar dan
mengaguminya. Biarpun pekerjaan kita bertentangan dengan kehendak orang lain. Nah
barangkali mereka sedang menikmatinya."
"Mungkin kakang benar."
"Kalau tidak pernah berbuat demikian?" Tanya Uling. Welut Kuning
menggelengkan kepala.
"Nah. Itulah sebabnya adikku, maka kau kurang mempunyai ketenangan dalam
menghadapi pekerjaanmu."
"Waktu mereka sudah sampai di dekat pintu gua, dengan berdiri tegak dan kokoh
Uling Bangah memanggil Singalangu.
"Kakang, aku datang menjengukmu." Teriaknya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tunggu." Suara dari dalam gua.
"Kakang Singa, hari sudah siang, masakan masih dalam kamar." Jawab Uling
yang sudah apal akan suara Singalangu.
"Jangan gila Uling. Tidur pada saat matahari sepenggalah sangat enak rasanya."
Suara itu masih diri dalam.
"Bangun didahului matahari tidak baik kakang."
"Aaah ..." Suara itu terdengar.
"Menggeliatlah seperti kucing, agar badanmu kembali segar, dan tidak terasa
pegal."
"Busyet kau Uling."
Uling tidak menjawab.
"Kau kedengaran berdua, dengan siapa?" Tanya Singalangu masih juga belum
keluar dari, pintu guanya. Sebaliknya kedua tamunya sangat heran akan ketinggian ilmu
brandal Singalangu.
"Aku sendirian kakang."Uling mencoWa menjajagi.
"Ah. Kau jangan berbohong." Kudengar langkahmu dua orang, "adakah yang
seorang setan kecil si Welut Kuning?"
Terpaksa kedua orang yang masih berdiri di dataran itu saling berpandangan dan
melongoh.
"Langkah kita didengarnya adi." Kata Uling.
"Benar-benar orang gila." Sahut Welut Kuning.
"Hai, tak usah kalian membicarakan aku dengan berbisik segala. Tak ada gunanya.
Berkatalah lebih keras biar kudengar." Terdengar kembali suara dari dalam ruangan gua
itu. "Setan mana dahulu yang mengajarnya."
"Barangkali dari Gunung Butak."
"Dari Gunung Butak atau setan lautan apa perdulimu. Masuklah jika kau akan
menemui aku. Atau barangkali kau ingin memuja sesembahanku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Kembali kedua orang itu saling berpandangan. Uling Bangah mengangkat
bahunya, sedang Welut Kuning menggoyangkan kepala dengan mata jeling. Keduanya
melangkah masuk.
"Nah, begitu sebaiknya, naiklah dan duduk." Suara itu masih terdengar dari balik
daun gua yang menutupi.
Demikian Uling dan Welut menjejakkan kakinya di halaman gua dari dalam
ruangan keluar Singalangu dengan masih merapikan kainnya. Mukanya nyengir,
kumisnya yang jlamprang naik turun, mata menyala, dengan mulut yang masih komat
kamit.
"Bangun tidur?" Tanya Uling.
"Kentutmu, siapa siang-siang begini tidur?" Jawabnya.
"Duduklah, aku akan ke belakang sebentar." Singalangu lalu meloncat
meninggalkan tempat itu. Dan tidak berapa lama ia telah sampai pada sebuah tempat di
atas bukit di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.
Belum lagi heran mereka melihat ketinggian ilmu yang dimiliki Singalangu, tibatiba dari balik daun ruangan itu keluar Luh Sari. Rambutnya belum lagi tersusun rapi.
Dengan pandang kecewa ia mendekati mereka yang duduk seenaknya di depan ruang gua
Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. "Ada rejeki untukku rupanya?" Tanya Luh Sari dengan serta merta mengirimkan
tinjunya. Welut Kuning yang sama sekali tidak menduga tidak sempat menghindari tinju
bekas pimpinan berandal perempuan di lereng gunung Kawi itu. Ia hanya sempat
menggeser duduknya dan sebuah godam mengenai punggungnya. Welut Kuning
terjengkang.
"Ah. Kau ini bukan laki-laki rupanya."
"Terima kasih. Ucapan selamat datangmu sungguh nyaman, apalagi tanganmu
adalah sehalus tangan bidadari." Jawab Welut,
"Halus. Tetapi kalau mengelupas kulitmu tidak akan memakan waktu dua
penginang." Habis berkata demikian macam betina itu sekali lagi menyerang mengarah
dada. Kali ini Welut Kuning sudah bersiaga. Cepat ia meloncat ke kiri dan membenturkan
lengannya memperisai dada.
"Akh." Welut Kuning menjerit dan terhentak. Ia sama sekali tidak mengira bahwa
lengan macan betina itu sekeras batu pegunungan. Diam-diam Welut Kuning kagum,
tetapi ia cepat-cepat menyembunyikan perasaannya. Matanya memandang dengan tajam,
kemudian mengerling kepada Uling Bangah yang memperhatikan pertarungan itu dengan
tidak berkisar dari tempat duduknya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Nah rasakan ini." Berkata demikian, kaki macan betina itu melayang memagas.
Untuk kesekian kalinya Welut yang tidak menduga masih mengagumi ketangkasan Luh
Sari macan betina lereng Kawi ini, kakinyayang kokoh seperti terbentur batu.
Cepat Welut Kuning meloncat, kemudian membungkuk hormat, dengan berkata,
"Hebat, benar-benar hebat. Pantas ayunda dikagumi selama bermukim di daerah lereng
Kawi."
Welut Kuning maksudnya mencari hati. Tetapi macan betina ini justru salah
paham. Ia merasa dihina. Dengan sekali loncat ia melayang menggapai ikat kepala. Welut
Kuning yang merasa menghormat dan ingin menyudahi ucapan selamat datang khas gua
Watu Gong itu, cepat meloncat ke kanan. Macan betina menyambar angin, bahkan
kehilangan keseimbangan. Sebentar ia sempoyongan. Demikian kakinya sampai di tanah,
ia menjejak sekuat tenaga dan melenting, kemudian bertengger di atas sebuah tempat
duduk. Terdengarlah tawa berkikikan.
"Bagus. Benar-benar kau betina Welut Kuning." Lain pula perasaan yang
dikandung Uling Bangah, ia ingin mengadu tenaga dengan macan betina itu. Tetapi
segan. Mana mungkin Singalangu yang dikaguminya itu tinggal diam, istri simpanannya
mengadu tenaga. Apalagi kalau sampai takluk dengan mereka baginya adalah satu
penghinaan, tentu saja Singalangu lalu mencari-cari perkara mencampuri persoalan yang
tanpa juntrung.
Baru saja mereka mendapat pikiran demikian, tiba-tiba dari belakang ia mendengar
suara yang menggeletar keras memekakkan. "Hebat kau, teruskan ucapan selamat datang
itu."
Kedua tamunya tunduk. Mereka memandang macan betina yang masih
bertengger, tampak tersenyum merendahkan. Welut Kuning menahan marah. Ia tidak
mau persoalan itu berkepanjangan, dan untuk mengadu tenaga melawan Singalangu
mana mungkin ia berani.
"Sari, apakah sudah selesai kau mendirgahayu tamu-tamu kita?" Terdengar
kembali ucapan Singalangu dari belakang.
Welut Kuning mendendam setengah mati. Dalam hati pada suatu saat ia ingin
berhadapan dengan macan betina itu, kalau perlu akan mereotkannya.
Demikianlah Luh Sari yang berwajah cukupan dan mempunyai bentuk tubuh yang
padat berisi itu, mempunyai kebengisan yang luar biasa. Konon kabarnya waktu ia masih
memimpin gerombolan berandal perempuan di lereng Kawi dahulu, tidak jarang anak
buahnya dibunuh dengan tangannya sendiri apabila berani mengganggu kesenangnya.
Dan salah satu kesenangannya ialah memelihara seorang pemuda ganteng yang berlagak
banci.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Hai Sari, adakah tamu-tamu kita sudah kau persilahkan duduk kembali."
Sebentar berhenti, kemudian sambungnya.
"Atau mereka masih berdiri karena bersiaga melayani kau??"
"Sudah kakang, mereka sudah kupersilahkan duduk."
"Ucapan selamat datangmu sudah kau akhiri?"
"Sudah kakang, karena badanku terasa lemas."
"Jangan-jangan kau tersungkur manisku."
"Tidak kakang, aku sedang menikmati panas matahari. Keadaan menjadi hening
Kedua tamunya tentu saja tidak akan membuat persoalan itu menjadi berlarut-larut.
Mereka juga mengerti bahwa Singalangu dan Luh Sari kecewa hatinya karena terganggu
oleh kedatangannya.
"Maafkan aku kakang Singalangu." Teriak Welut Kuning.
"Apa salahmu kau minta maaf segala." Jawab Singalangu.
Mereka menjadi sungkan untuk memberikan penjelasan.
"Tampaknya kalian sungkan menerangkan kesalahanmu bukan?"
Masih kedua tamunya terlongoh-longoh, muncullah Singalangu dari balik bukit di
bawah pohon yang rindang.
"Gila." Desah kedua orang itu.
Kali ini desahnya tidak mendapat jawaban, Uling dan Welut saling berpandangan.
Baru saja angan-angan mereka kembali Singalangu telah di sampingnya, berdiri dengan
senyum-senyum menduga.
Tentu saja Singalangu tidak mendengar, karena saat itu ia tidak menajamkan
pendengarannya, tetapi menyatukan tenaga untuk mendapatkan kekuatan keseimbangan
dengan alam sekitarnya, sehingga tak ubahnya bola yang meluncur menuju ke tempat
tamu-tamunya.
"Selamat datang adik-adikku." Kata Singalangu.
"Selamat kakang." Jawab Uling. Sedang Welut Kuning masih memadahi
keheranannya. Dengan sudut matanya ia mencoba mengukur jarak yang ditempuh
Singalangu dalam sekejap itu.
Welut Kuning menarik napas panjang.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Ada apa kau seperti kera kena sumpit?" Tanya Singa. Welut tidak menjawab,
tetapi ia mengacungkan tangannya, sebagai pernyataan pengukur jarak. Kemudian berkali-kali menggelengkan kepala dengan keheranan. Dan menghempaskan napasnya.
"Jangan suka kagum kepada sesuatu adikku. Bukankah kau seorang yang disebut
si Setan Kecil." Kata Singalangu waktu melihat Welut Kuning melongoh.
"Setan, si Setan kalau dibuat dan mengejar kelinci. Tetapi di sini, menghadap
kakang aku tidak berbeda dengan seekor semut pudak."
"Bohong kakang! Setan itu tadi menghinaku." Seru Sari.
Betapa terperanjatnya Welut Kuning mendengar ucapan macan betina yang
setengah mengadu itu. Tetapi cepat ia akan memberi keterangan, tetapi Singalangu sudah
lebih dahulu menyahut, "Jangan salah duga, ia benar-benar memujimu. Tanganmu yang
halus itu adalah benar. Salahnya ia bermulut usilan. Bukankah kehalusan tangan dan
indah wajahmu hanya aku yang berhak memujinya."
"Demikian kehendakku. Dan dia usilan memuji aku segala."
"Itulah kesalahanku kakang, karenanya aku minta maaf." Cepat-cepat Welut
Kuning berkata, mumpung keduanya berlega hati.
"Benar demikian kakang" Uling memperkuat.
"Hemmm. Kusangka karena kalian mengejutkan kami berdua."
"Masa kakang Singalangu dapat dikejutkan orang lain." Kata Welut Kuning
dengan mengangguk hormat.
Singalangu walaupun berilmu tinggi, sebenarnya otaknya agak bebal, karena itu ia
suka ngotot dalam segala persoalan mau menang sendiri. Ilmu olah jayakawijayannya
membuat dia menjadi seorang berangasan karena kebebalannya.
"Kakangpun sudah mengatakan tadi, bahwa kakang tidak terkejut bukan?" Uling
menengahi, ia mengerti mana bisa Singalangu mencabut ucapan yang sudah
dikeluarkannya.
"Hemmm. Apa perlu kalian?"
"Biasa kakang."
"Ke pemujaan?"
Welut dan Uling mengangguk.
"Bagus, itu namanya kau tidak melupakan junjunganmu!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Adakah kakang Banyaksangar sudah di sini?"
"Ia sedang beristirahat."
"Hmm. Aku kalah cepat."
"Baru kemarin malam dia datang, sesaat pestaku berakhir."
"Hebat, kakang selalu berpesta pora."
"Di dunia ini apa yang kita maui, turutilah jangan mengekang perasaan dan hati
kita." kata Singalangu dengan semangat, ia menoleh kepada macan betina lalu berkata.
"Bukankah demikian nyai?"
"Ya, akan gila, gilalah. Tetapi bagiku jangan coba-coba memiliki selir dengan
sembunyi-sembunyi. Kalau kuketahui akan kupenggal leher selirnya, atau kukutungi
kakinya"
"Kalau terang-terangan bagaimana?" Tanya Uling Bangah.
"Itu namanya satria. Dan selirnya harus dihadapkan dahulu kepadaku. Aku harus
menilainja. Selir itu harus mengadu tenaga dengan aku."
"Harus dapat mengalahkanmu?"
"Seharusnya demikian. Tetapi kalau selir itu yang kalah, ia harus tunduk kepadaku
dan aku pula yang mengatur segalanya." Kata macan betina itu dengan melemparkan
pandangan pada ketiga laki-laki yang sekarang di hadapannya.
"Mana mungkin perempuan mengalahkanmu, aku saja merasa kewalahan." Kata
Welut Kuning dengan sungguh-sungguh.
"Akupun demikian Setan Kecil." Singalangu menyambung.
Dan macan betina itu tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya yang montok
berisi itu bergoyangan. Singalangu memandang dengan gairah kemudian membisiki si
Welut, "Siapa yang tidak tunduk padanya."
"Gila. Kakang sudah buyer barangkali."
"Buyerku sudah sembuh." Sekarang kedua laki-laki itu yang tertawa. Tiba-tiba saja
Banyaksangar bertepuk tangan.
"Aku sudah mengira kalau kalian menyusul aku."
"Aku menyusulmu, atau kau meninggalkan aku?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Sama saja, siapa yang dahulu datang ke sini, boleh dikatakan meninggalkan, juga
boleh dikatakan disusul. Terserahlah kepada yang mengatakannya bukan."
"Itu jawaban bersiasat namanya."
"Ha, siapa bilang ada perbuatan yang meninggalkan siasat, selagi akan mencari
jodoh, melakukan siasat, siasat mengatakan menjadi punggawa Majapahit seorang saudagar, seorang petani kaya. Atau mengaku seorang berandal, agar mertuanya ketakutan lalu
cepat-cepat menyerahkan anaknya."
"Gila kau Banyaksangar," Bentak Singalangu tersinggung.
"Ooo, sabar kakang. Kalau kakang lain pula halnya. Kakang melamar karena
merasa direndahkan martabat. Dan ternyata kakang dapat menundukkan berandal
Gunung Kawi."
"Ya, dan aku disayembarakan." Sambung macan betina.
"Itu namanya jantan. Pedang harus dihadapi dengan pedang, bukan dengan
senyuman, agar orang lain tergiurkan." Kata Uling.
"Jantan atau tidak, yang terang sekarang macan betina itu bermukim di Watu
Gong, kerajaan siluman Bangah." Kata Sangar.
"Bangsat! Siapa mau memuja lakukanlah."
"Kau sudah melakukannya kakang Banyaksangar?"
"Tadi malam. Menjelang tengah malam."
Kedua orang itu, Welut Kuning dan Uling Bangah menuju ruangan pemujaan.
Sedang Singalangu dan Banyaksangar memandang mengikuti langkah mereka itu.
"Kakang semasa dahulu, Welut itu adalah seorang yang licin dan sering
menghilang. Setelah dekat dengan Uling Bangah agaknya ia menjadi alim."
"Siapa bilang. Hampir saja kukelupas mukanya karena mulutnya usilan." Macan
betina itu mencampuri.
"Kau salah sangka nyai."
"Tentu laki-laki membela kaumnya. Kalau saja di tempat ini ada Sarunggi Wangi,
Runi dan Ratri mana kalian berani berkutik." Kata macan betina itu garang.
Tengah mereka asik membicarakan kepentingan mereka sehari-hari itu tiba-tiba
terdengar suara gemuruh di depan gapura depan. Sebentar kedua orang gagah, Singalanguhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
dan Banyaksangar mendongak mendengarkan apa yang sedang terjadi di bagian luar
cepuri.
"Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres kakang?"
"Mereka menangkap seseorang."
"Siapa?"
"Anak-anak menangkap seseorang karena dicurigainya."
Kedua orang itu kelihatan tenang-tenang seperti tidak terjadi sesuatu. Baginya
dataran yang luas itu merupakan tempat yang dapat melunaskan siapa saja yang datang.
Hanya beberapa orang tertentu yang mengerti bagian-bagian penting dari Gua Watu
Gong.
"Kau lihat mereka,"
"Tampaknya menggiring dua orang."
"Semut sargulaku, tidak saja hanya pandai memangsa tetapi mereka juga pandai
berbicara." Kata Singalangu.
"Kakang pandai mengambil hati mereka."
"Kau lihat nanti, seorang diantara mereka, masih muda berdada bidang pernah
kuhajar dahulu karena aku salah duga."
"Kakang mesti membicarakan hal itu kepada siapapun yang kakang temui, bahkan
kepada seorang tamu sekalipun."
"Dia bukan tamu kita, tetapi saudara."
"Ya, tetapi mengapa kakang membicarakan hal itu."
"Aku senang nyai."
"Aku yang tidak senang." Bentak macan betina,
"Karena tersinggung?"
"Bukan tersinggung kakang, aku malah berbangga sebab terhadap seorang muda
akupun ingin pula menguasainya."
Kedua laki-laki gagah itu tertawa keras.
"Ki lurah aku menangkap dua orang yang mengaku sahabat ki lurah." Seorang
pemuda berdada bidang berteriak sebelum memasuki halaman gua.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Singalangu menjengukkan kepalanya, disusul Banyaksangar.
"Itu anak muda yang kukatakan."
"Pantas isterimu jatuh hati."
"Dia berbahaya juga rupanya, karena Sari mata keranjang."
"Lebih berbahaya dari pedangmu kakang." Sahut Banyaksangar.
"Tetapi dia tidak lebih dari seekor kelinci. Biarlah merasakan kenikmatan sekalikali. Kalau macan betina itu kuganggu kesenangannya, dia bisa kalap."
"Kalau begitu kakang mengijinkan."
"Dalam batas-batas, kalau sampai melompati dan menjamah, tentu saja
kulumatkan."
"Pantas, aku mengerti sekarang, mengapa kediaman kakang ini sering sepi, dan
hanya kakang berdua yang tinggal. Kakang tidak di tengah-tengah mereka."
"Bangsat Kau pandai menerka hatiku. Kurangajar!"
"Bukan begitu kakang, hanya kira-kira." Kembali terdengar kedua orang itu
tertawa riang.
"Ki Lurah kami datang menghadap."
"Aku sudah dengar. Bawalah masuk."
Demikian mereka masuk, dan waktu Singalangu melihat siapa yang dihadapkan,
seketika hatinya bergetar Dipandangnya mereka yang dapat menangkap pemuda
berwajah ganteng dan seorang lainnya yang bertubuh kekar kulitnya hitam kelam dan
kepalanya botak.
"Kau menangkapnya?" Tanya Singalangu.
"Benar Ki Lurah." Jawab pemuda berdada bidang, sedang pemuda ganteng itu
hanya tersenyum.
Singalangu kembali menatap wajah pemuda ganteng yang tangannya terikat. Ia
keheranan lalu bertanya, "Benar kalian ditangkapnya?"
"Kau melihat sendiri, aku diikatnya bukan,?
"Hai sargula, kau menangkapnya dengan tanganmu sendiri?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tidak Ki Lurah. Mereka berkuda kepergok di tikungan dekat sela dumuk. Kami
tanya mengaku sahabat ki Luiah. Kami curiga dan kami kejar. Mereka tidak melawan."
"Lalu......
"Kami ikat dan kami hadapkan ini,"
Singalangu dan Banyaksangar tertawa keras, sampai matanya melotot.
"Gila kalian. Tolol. Untung Naga laut muda ini tidak menghajarmu. Kalau saja ia
melayani, kalian akan habis disapunya dengan sekali hantam." Kata Singalangu, Kemudian Lurahnya membungkuk hormat dan menyampaikan selamat datang.
Mereka yang disebut semut sargula yang tidak kurang dari dua lusin itu terlongohlongoh karena mereka tidak mengetahui sebenarnya pemuda yang berdada bidang yang
sejak semula sudah menduga karena langkah-langkah pemuda ganteng itu dalam
Ratu Ayu 04 Hancurnya Pemujaan Sesat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayani mereka tidak mau terlampau banyak mencampuri penangkapan itu. Sebaliknya
seorang pemuda lainnya yang tubuhnya cukup perkasa sangat sibuk dengan penangkapan
itu. Dan dia pulalah yang mengadukan kepada Singalangu.
"Kakang Setan Bangah, anak buahmu benar-benar cekatan." Puji pemuda yang
berwajah ganteng.
"Jangan bermain-main angger Simo Barung Muda."
"Aku berkata sebenarnya kakang."
"Benar apa yang dikatakan angger Simo Barung Muda kakang," Kakang Wadas
Lumut. Demikian nama orang yang berwajah angker, kekar dan berkulit hitam kelam itu.
Kembali Singalangu tertawa. Ia sama sekali tidak percaya akan ucapan kedua
tamunya. Simo Barung seorang bajak laut yang ternama pada jaman itu. Seorang yang
mendengar namanya akan pingsan, dan cepat akan menyerahkan apa yang dipintanya,
sedang Wadas Lumut yang banyak pengalaman itu tunduk kepadanya karena suatu
pertarungan dikikis segara wedi. Padahal Wadas Lumut seorang yang cukup dikenal di
kalangan berandal Segara pujan
"Hai menghormatlah kalian kepada yang kalian perlakukan tidak senonoh. Beliau
yang muda belia dan masih berdarah bangsawan ini adalah seorang yang cukup dikenal,
namanya Simo Barung Muda anak kakang Simo Barung Sepuh, sedang yang seorang
lainnya Wadas Lumut dari Segara pujan."
Serta merta semuanya menjadi kebingungan.
"Kalau begitu benar-benar beliau sahabat Ki Lurah?" Tanya pemuda yang
bertubuh perkasa.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Benar aku sahabat Lurahmu." Jawab Simo Barumg Muda itu.
"Oh, ampuni kami tuan."
"Tak mengapa, kalian melakukan kewajiban." Semuanya membungkuk hormat,
lalu diperintahkan beristirahat.
Mereka seenaknya memilih tempat. Pemuda bertubuh perkasa itu memilih tempat
di batu yang sebesar gajah, sedang yang berdada bidang terus menuju bagian belakang gua
watu gong bersama beberapa teman-temannya yang lain. Pemuda berdada bidang itu
lama-lama dengan ketajaman pendengarannya mendengar pembicaraan mereka. Mereka
berusaha menghancurkan Majapahit, setidaknya akan menghalangi usaha Maha Patih
Gajah Mada dalam usaha menyatukan Nusantara.
"Seorang yang cukup mempunyai kekayaan akan membiayai usaha kita, jika
kakang suka bekerjasama." Kata Simo Barung Muda.
"Aku bersedia, asal mereka mengirimkan biayanya terlebih dahulu, disertai
rencana yang harus kukerjakan. Bukankah begitu adi Banyaksangar?" Yang disebut
namanya hanya mengangguk lega.
"Hem. Aku setuju tentang permintaan kakang." Sela Wadas Lumut, kemudian
membungkuk hormat kepada Simo Barung Muda seraya berkata, "Bukankah orang itu
juga berkata, kalau perlu akan mengirimkan kekayaannya untuk pembiayaan."
"Jangan kami ditinggalkan kakang." Uling dan Welut Kuning berdiri tegak di
depan pintu gua. Sedang macan betina demikian melihatnya, meloncat dengan
mengirimkan kemplangannya mengarah kepala Welut Kuning, macan betina itu
tampaknya masih penasaran. Untunglah dengan cepat Uling mendorongnya, sehingga
macan betina itu menggaplok angin dan terus langsung menuju sebuah ruang gua dengan
menggeram. Lain pula halnya Singalangu melihat Sari pergi, ia justru menjadi gelisah.
Cepat ia memanggil pemuda yang bertubuh perkasa.
Dengan cepat pemuda bertubuh perkasa itu mendekat dengan berkata, "Adakah
Ki Lurah memerlukan aku."
"Sebaiknya kau bersama temanmu yang berdada bidang." Pemuda itu merasa
tersinggung.
"Adakah rahasia yang Ki Lurah bicarakan.!"
"Tidak, aku minta tolong kau mengawasi temanmu yang berdada bidang itu."
Jawab Singalangu menghilangkan perasaan tidak enak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Pemuda itu tidak lagi berkata. Ia merasa tidak mendapatkan kepercayaan, sedang
sebenarnya lain pula persoalannya bagi Singalangu. Dengan menyuruh pemuda itu
mencari si dada bidang, maka tidak mungkin macan betina itu bermain sembrono.
"Nyi Lurah ke belakang. Kau mengerti!" Pemuda itu tersenyum. Mengerti maksud
lurahnya.
Segera pemuda bertubuh perkasa itu setengah berlari mengikuti Nyi Lurah. Tetapi
dalam soal menguasai ruang-ruang gua mana mungkin ia dapat menyusul Nyi Lurah.
Ditambah pula macan betina itu mempunyai ketangkasan yang luar biasa.
Waktu Nyi Lurah berhenti memperhatikan mereka yang sedang beristirahat
bahkan diantaranya ada yang bersenda gurau dengan perempuan-perempuan, bahkan
diantaranya tampak pula Ratri sedang menghampiri pemuda yang berdada bidang.
"Adikku kau sedang mengapa?" Tanya Ratri.
"Tiada sesuatu yang kukerjakan tuanda putri."
"Ah. Jangan kau memanggil aku demikian."
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Panggillah saja dengan sebutan namanya Ratri." Suara dari tempat lain
menyahutnya Ratri menoleh dan ternyata yang menjawab adalah Luh Sari si macan
betina.
"Ah. Maafkan aku yunda." Kata Ratri
"Memang sepantasnya kita menghibur mereka yang lelah bekerja keras semalam
suntuk." Kata Luh Sari.
Ratri tersipu sipu mendengar ucapan itu, sebaliknya pemuda berdada bidang itu
merah mukanya dan napasnya terasa tersumbat.
"Tak usah kau takut adikku, akulah yang menanggung semua akibatnya jika
kakang Singalangu marah." Sengaja macan betina itu berkata keras agar didengar oleh
orang yang menguntitnya.
Pemuda perkasa itu terhenyak karena apa yang dikerjakannya diketahui, cepatcepat ia berkata menerangkan, "Maafkan tuanku sama sekali aku tidak menguntit tuanku
putri."
"Jangan berlagak bodoh tuan muda." Kata macan betina. Ia diam sejenak
kemudian menyambung, "Dalam hal bercanda aku lebih mengerti daripadamu, dalam hal
menguntit seseorang aku lebih mempunyai banyak pengalaman." Macan betina itu
Anak Tanpa Rumah 2 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Sleepaholic Jatuh Cinta 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama