Jodoh Si Mata Keranjang 15
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Hal ini membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu. Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw.
Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan. Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.
Setelah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak. Jelaslah bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih! Karena surat itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak.
Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu. Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.
Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa. Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat. Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak.
Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak aseli mereka. Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang di pimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita! Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat.
Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang. Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis.
Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan di
(Lanjut ke Jilid 14)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po. Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang. Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar,
Menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini. Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita.
Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh. Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi,
Melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.
Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang. Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!
Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok.
Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta. Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang. Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang.
Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut. Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna. Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya.
Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya. Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan. Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang,
Dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya! Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.
Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu. Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah. Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis.
Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada. Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri! Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu.
Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu. Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu.
Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai. Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan. Biarpun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang dianggapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa pun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan
tuduhan memberontak!
Pagi hari di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar di dalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya, mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri. Pagi itu ia merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya. Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini.
Akan tetapi, karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal. Tidak begitu menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, ia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di perbukitan di luar kota!
Setelah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali. Ketika pintu terketuk,terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu, tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang pria setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.
"Selamat pagi, Ayah!"
Kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar benar agaknya dari tidurnya.
"Selamat pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?"
Teguran ini lebih merupakan salam daripada kemarahan.
"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"
Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk kepala sendiri,
"Ahhh, terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu..."
"Ayah...!"
Sarah merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah. Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak.
"Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."
Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya.
"Siapa kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"
Kapten Armando menarik napas panjang.
"Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung"
Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar.
"Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"
Kapten Armando mengangguk.
"Benar, dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu."
"Aih, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."
Akan tetapi ayah itu menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan."
Sarah mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium.
"Huh, siapa sih yang ingin memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini...! Huh, melihat orang dihukum mati!"
Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang.
"Jangan kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya."
"Kenapa Gonsalo? Aih, aku tidak suka, Ayah!"
Kata dara itu, merajuk.
"Eh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"
"Aku tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan perajurit pengawal biasa saja, Ayah."
Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal,
"Sarah sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia..."
"Sudahlah, Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!"
"Ehh? Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"
Sarah bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya.
"Dia... dia..., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya membuat aku merasa benci..."
"Hemmm? Pandang. matanya kenapa, Sarah?"
"Entahlah, Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."
"Ahh...!"
"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."
"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan senang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah. Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya."
Kapten Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali. Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah.
Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan ia pun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus. Cantik jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan berwarna hijau. Rambut nya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah. Tak lama kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah. Akan tetapi, pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya sendiri.
"Sarah, engkau cantik sekali!"
Biarpun ia kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja.
"Ayah, aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo."
Kapten Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Ha-ha-ha-ha, engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi marilah kita sarapan dulu."
Ayah dan anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan.
"Suruh dia menanti sebentar!"
Kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi hormat dan pergi lagi.
"Aih, Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama kita?"
Tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis. sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan.
Sarah tersenyum. Sudah kembali ke lincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali tidak ada bekasnya lagi.
"Ayah, aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapa pun juga sehingga selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?"
Kapten Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo.
Bagaimanapun juga, dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya. Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa mengapa Sarah dan ayahnya tidak menundang dia makan pagi bersama, walau hanya untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaJa perasaan kecewa itu disembunyikan di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah.
"Selamat pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!"
Dia menyalam dengan ramah.
"Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah? Kudamu sudah kusuruh siapkan tadi, menanti diluar."
Kapten Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia, mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan.
"Selamat menikmati hari yang, cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah, jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di tanganmu."
Kapten Gonsalo memberi hormat secara militer.
"Siap, Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!"
"Aku pergi, Ayah!"
Sarah sudah lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu. Tak lama kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan. Memang serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli menunggang kuda.
Yang mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan, demikian pula warna matanya. Tubuh nya tinggi besar dan tegap, duduk dengan tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam, di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memagang cambuk kuda. Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng. Begitu keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan dia pun mempercepat larinya kuda, mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini benar-benar telah merusak kegembiraannya.
Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya, ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga liar yang beraneka warna. Akan tetapi, sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang! Berjam-jam Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan berteriak,
"Sarah, berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!"
Mendengar seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan kudanya dan benar saja.
Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Ia pun merasa kasihan sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya beristi rahat sambil makan rumput segar. Gonsalo juga turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan menghampiri Sarah.
"Sarah...,"
Panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu. Sarah membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti boneka!
"Ya, Kapten?"
Jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah bawah bukit.
"Sarah, namaku Gonsalo!"
"Ya, ada apakah, Kapten Gonsalo?"
"Sarah, kita sudah menjadi sahabat, bukan? Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya, berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten? Aku tidak suka kau sebut kapten, panggil namaku saja."
"Akan tetapi aku suka menyebut kapten!"
Kata Sarah, berkeras dan kini ia membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani.
"Engkau memang seorang kapten, bukan? Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut kapten?"
"Tapi, aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah."
"Akan tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku akan melanjutkan perjalanan."
Sarah memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda kesayangannya itu. Gonsalo juga menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di sam ping kuda Sarah, dara itu mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol.
"Sarah, kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan agar kita tidak terlalu jauh,"
Berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di de pan. Tiba-tiba terdengar teriakan ketakutan.
"Setan...! Setan...!"
Seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap mengancam.
"Sarah, minggir!"
Gonsalo berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu meringkik dan mengangkat keduaa kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya.
"Setan rambut emas...! Setan jahat, pergilah...!"
Orang itu berteriak-teriak ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi.
"Darr...!"
Terdengar letusan dan orang itu pun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha kirinya yang berlumuran darah.
"Kapten, kenapa engkau menembaknya?"
Sarah berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar ke mana ketika dia roboh.
"Setan... setan... jangan ganggu aku...! Pergilah...!"
Orang itu berteriak lemah. Sarah sudah pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan tekun. Ia berlutut dekat orang itu.
"Jangan takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa lukamu...!"
Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan.
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sarah, jangan dekat dia! Dia berbahaya!"
Teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan mendekati, pistol revolver masih di tangannya.
"Kapten, mundurlah dan jangan turut campur!"
Sarah membentak marah, mengejutkan kapten itu.
"Jangan sentuh aku... kau setan... pergilah...!"
Orang itu berteriak-teriak lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya. Pada saat itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata kepada mereka.
"Jangan takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya."
Mendengar Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang di antara mereka bertanya,
"Kenapa pahanya terluka?"
Sarah menjadi bingung.
"Dia tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia hendak menyerang, maka menembak kakinya..."
Ia merasa menyesal sekali.
"Maafkan kami..."
"Hemm, dia memang seorang yang sinting,"
Kata pula orang tertua dari mereka.
"Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing seperti nona."
Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun.
"Biar kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya "
Kata Sarah.
"Tidak perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri."
Tiga orang itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sarah berdiri mematung, merasa menye sal bukan main.
"Sudahlah, Sarah. Perlu apa memikirkan dia? Dia hanya seorang gila."
Kata Gonsalo. Mendengar ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi.
"Justeru karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!"
Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.
"Sarah, tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!"
Teriak Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh kapten itu. Sarah membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini tidak perduli lagi ke mana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang dibencinya.
"Sarah! Jangan ke bukit itu! Di sana penuh hutan dan berbahaya!"
Teriak Gonsalo. Akan tetapi Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat, membalapkan kudanya mendaki bukit.
Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda, maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang. Benar saja peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi, walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua. Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol. Tiba-tiba nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam!
"Wah, ada bidadari rambut emas kesasar ke sini!"
"Aduh cantik sekali!"
"Tangkap saja, tentu uang tebusannya lumayan!"
"Sudah lama aku ingin mendapatkan seorang wanita kulit putih!"
Sikap mereka kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang dinamakan gerombolan perampok!
"Jangan bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!"
Tiba-tiba Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti. Para perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia memegang senjata api yang telah mereka kena sebagai senjata rahasia yang menakutkan dan berbahaya.
"Serbu, bunuh setan putih itu!"
Bentak seorang di antara para perampok dan mereka pun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya.
"Daar-dar-darrr...!!"
Sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak mahir yang hebat.
Peluru yang tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok! Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti datangnya serangan. Dia memang seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan orang pedang nya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk. Tinjunya merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya.
Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari menyelamatkan dirikah? Atau tertawan musuh? Jantungnya berdebar penuh kegelisahan ketika timbul dugaan ini. Celakalah kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah. Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawan pun, dia harus dapat lolos dulu untuk berusaha menolong dara itu. Kapten Gonsalo mencabut lagi pistolnya dan membentak.
"Angkat tangan tau kutembak kalian!"
Mendengar bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap, ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kapten Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok itu tidak berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka. Biarpun paha dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah, mencari Sarah dan jejak kaki kudanya.
Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah! Hari sudah menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu. Hari telah mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan gelisah, dan marah.
"Gonsalo! Apa artinya ini? Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?"
Pertanyaan ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan, kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah. Ketika Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat bawahannya siuman, dia lalu menghampiri.
"Gonsalo, apa yang telah terjadi? Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Di mana Sarah? Apa yang terjadi?"
Suara Kapten Armando penuh kegelisahan. Gonsalo bangkit duduk,
"Sarah tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu, Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri, kembali ke benteng atau entah ke mana. Aku... aku terpaksa pulang untuk melapor dan mengambil bantuan pasukan."
"Celaka!""
Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
"Jangan-jangan ia ditawan perampok!"
"Aku akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam itu. Akan kucari sekarang juga!"
Kapten Gonsalo turun dari pembaringan.
"Kita semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung jawabmu, Gonsalo. Aku sendiri pun akan mencari, dan aku akan minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!"
Kapten Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan mereka pun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah! Tentu saja penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang hilang ketika bertamasya di perbukitan. Ke manakah perginya Sarah Armando? Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main. Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai ada tujuh orang roboh,
Kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main. Kapten itu memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri. Selagi ia bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan ia pun roboh lemas. Pistolnya dirampas dan ia pun disambar oleh tangan yang kuat daM dilarikan dari situ. Ia berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak mampu mengeluarkan suara.
"Kawan-kawan, aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!"
Kata penawannya.
"Kalian bunuh setan putih itu!"
Dan penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali, membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat perkelahian. Ternyata sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda itu pun hanya dapat berjalan lambat. Si tinggi kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda,
Melintang di depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia seorahg pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui, tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow, tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena ada usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan!
Namun, Hay Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu. Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar? Dia dapat dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab! Karena itu, maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu kepada seorang di antara kedua menteri kebijaksanaan itu. Kalau tidak benar, maka dia pun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di dunia ini.
Demikianlah, pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai. Ketika penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini? Dia tidak dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya. Dia sudah mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu seperti bukan manusia, mirip hantu!
Pendekar Mata Keranjang Eps 18 Pendekar Mata Keranjang Eps 41 Pendekar Mata Keranjang Eps 48