Pendekar Kelana 4
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Kalau kami tidak salah duga, ji-wi tentu yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Kalau benar demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami kepada ji-wi Lo-cian-pwe!"
Dengan menyebut ji-wi Lo-cian-pwe, Thai-kwi telah merendahkan diri dan ini menandakan bahwa dia jerih menghadapi kedua orang aneh itu. Melihat sikap Thai-kwi yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar.
"Hoa-ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)? Kita berdua berjuluk Thao-mo-ong (Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul mereka yang mengaku Liok-te sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini? Apa yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?"
"Toa-ok, kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu? Bunuh saja mereka agar tidak menjadi saingan dan penghalang bagi kita!"
Kata kakek seperti monyet yang berpakaian serba hitam itu.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri. Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian. Nah, sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!"
Liok-te Sam-kwi terkejut bukan main. Ini sudah keterlaluan sekali. Mereka diminta membunuh diri agar tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua. Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka! Orang ketiga dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti kanak-kanak ternyata seorang cerdik. Dia hendak menggunakan tenaga enam belas orang gerombolan yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan gerombolan itu dan berkata,
"Kami perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!"
Enam belas orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan mengepung dua orang kakek itu, sedangkan Liok-te Sam-kwi sendiri juga sudah bersiap-siap. Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya dengan panuh perhatian. Jantungnya berdebar tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat. Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi kedua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih hebat lagi. Karena dapat menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan dari pinggangnya di mana rantai itu tadinya dilibatkan.
Orang kedua yang tinggi kurus itu mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan orang ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama enam belas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri. Dua orang Raja Iblis ini tersenyum-senyum saja dengan tenangnya, seolah dua orang dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja. Tiba-tiba, seperti sudah bersepakat lebih dulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas batu, ke arah kiri sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua. Para pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok.
"Hyaaatt...!"
Si gendut sudah memulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah mereka sudah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok. Toa Ok tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuhnya melonat ke atas dengan kecepatan kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah dan sekali tongkat itu menyambar, robohlah empat orang anak buah gerombolan itu dengan kepala pecah!
Ji Ok juga dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tingi kurus itu menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh delapan orang anak buah yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari kepungan sembilan orang itu dan ketika pecutnya berhenti meledak, sudah ada empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya sedemikian lihainya sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang. Liok-te Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok, akan tetapi mereka itu kalah cepat dan kalah kuat tenaganya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama enam belas orang anak buah mereka, telah roboh dan tewas semua! Dua orang kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar dan keduanya tertawa terkekeh saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong! Tanpa sebab yang jelas mereka membunuhi belasan orang begitu saja. Karena tidak dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang Raja Iblis itu. Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah berseru dengan suaranya yang tinggi kecil.
"Siapa itu? Berhenti atau kamu mati!"
Si Kong terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh mereka yang amat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia sudah berdiri di balik semak dan dapat nampak oleh dua Raja Iblis itu dari pinggang ke atas. Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus marah.
"Engkau melihat apa?"
Bentak Ji Ok pula. Karena masih muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan sendirinya Si Kong menjawab,
"Saya melihat pembantaian di luar perikemanusiaan!"
Dua orang kakek itu tertegun, lalu tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat sebatang golok milik anak buah gerombolan dan sekali menggerakkan pecutnya, golok itu sudah terbang dan menancap di depan kaki Si Kong.
"Pungut pedang itu dan gorok lehermu sendiri!"
Ji Ok membentak pula. Panas hati Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak takut. Apalagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat menaati perintah yang keji itu? Dia membungkuk perlahan memungut golok itu. Akan tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari tangan menekuk golok itu.
"Pletakkk!"
Golok itu patah menjadi dua dan dilempar ke atas tanah oleh Si Kong. Melihat ini, Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggapnya sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya memalukan sekali. Merendahkan kedudukannya sebagai datuk besar. Dengan kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu.
Ujungnya pecah dan pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang sehingga sambaran batu itu luput. Melihat ini, Ji Ok merasa semakin penasaran! Pecutnya kini menyambar-nyambar ke bawah, membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke arah Si Kong. Golok-golok itu beterbangan menyambar, akan tetapi dengan sigap dan mudahnya Si Kong mengelak dan semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tidak ada sebuahpun yang mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah tubuhnya dan semua dapat di elakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya tadi cepat dan kuat sekali. Akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat mudahnya.
"Ha-ha, Ji Ok. Engkau sekali ini dipermainkan seorang bocah cilik!"
"Jangan mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak mana
(Lanjut ke Jilid 04)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?"
"Hemm, kalau dia sampai lolos dan menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah tertawaan orang sedunia? Sekarang, selagi tidak ada orang lain melihatnya, mari kita berlumba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!"
"Baik!"
Kata Ji Ok dan mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si Kong. Anak ini sudah tahu akan niat mereka. Biarpun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selagi masih hidup, dia harus mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan memegang pikulan bambunya sebagai tongkat. Begitu menyambar, kedua orang kakek itu sudah menggerakan senjata sebelum kaki mereka turun ke tanah. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlumba cepat dengan pecut di tangan Ji Ok.
"Wuuuuutttt...!"
Si Kong maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak dari sambaran kedua senjata itu.
"Wuuuutt... tarrr...!"
Tongkat dan pecut itu menyambar ganas akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang datuk itu terkejut dan heran bukan main. Mereka berdua menyerang dengan berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Tokoh-tokoh kang-ouw jarang ada yang mampu menghindarkan diri kalau mereka menyerang seperti tadi dan bocah itu mempergunakan gin-kang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari pada sambaran senjata mereka! Toa Ok mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya dan dia sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan penuh keyakinan bahwa Si Kong pasti akan tewas sekali ini. Si Kong melihat gerakan tongkat dan dia pun mengerakkan tongkat bambunya untuk menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya.
"Tukkk...!"
Dua batang tongkat bertemu dengan kuatnya dan Si Kong membuat tongkatnya terpental dan diapun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi.
Melihat ini, Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadi lemas. Pecut itu menyambar ke arah leher Si Kong, kalau mengenai sasaran akan membelit leher dan sekali sentak dengan tenaga sin-kang, leher bocah itu tentu akan putus! Akan tetapi kembali tongkat ditangan Si Kong menangkis dan ketika ujung cambuk hendak membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk. Ji Ok melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tidak ingin pergelangan tangannya tertendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan senjata mereka!
"Ji Ok, kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!"
Kata Toa Ok dengan muka berubah merah karena merasa malu.
"Baik!"
Kata Ji Ok yang segera menyimpan sabuknya, diikatkan dipinggangnya sedangkan Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah. Kini mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya. Toa Ok yang berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas dan yang dapat menghanguskan tubuh lawan dengan pukulannya. Sebaliknya Ji Ok memiliki sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya, dia mampu membuat lawan roboh dan tewas dengan darah membeku! Si Kong bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia mengerti bahwa dua orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya.
"Ji-wi lo-cianpwe mengapa berkeras hendak membunuhku? Apa kesalahanku terhadap ji-wi (anda berdua)?"
Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut padanya.
"Bocah setan, engkau harus mampus di tanganku!"
Ji Ok membentak.
"Kalau tidak ingin mati di tangan kami, bunuhlah dirimu sendiri dengan tongkatmu!"
Kata Toa Ok yang masih merasa malu kalau harus membunuh lawan yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu.
"Aku tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapapun!"
Kata Si Kong, siap dengan tongkatnya.
"Heeeiiiitt...!"
Ji Ok sudah menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan kirinya, kini tangan kanan menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si Kong. Si Kong mengelak ke belakang akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak itu tongkatnya menyambar ke bawah.
"Takk!!"
Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya matanya terbelalak.
"Tung-hwat (ilmu tongkat) yang hebat!"
Sementara itu, Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanan di susul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini menggunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya.
"Bukk!"
Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat walaupun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, dan teringatlah dia akan akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.
"Ta-kaw Sin-tung...!"
Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong. Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya. Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundaknya dan diapun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka. Si Kong sudah tidak dapat menghindar lagi. Akan tetapi, biarpun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menanti datangnya pukulan dengan mata terbelalak keberanian.
"Siancai...!"
Pada saat itu terdengar seruan orang dan nampak bayangan orang berkelebat. Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dekat Si Kong dan kakek ini merentangkan keduan tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong.
"Plak-plakk!"
Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi kakek itu dengan tenangnya menyambut tangan mereka. Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak memperdulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Kini melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka,
Kedua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu. Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Ketika mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu. Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sin-kang dari tangan kakek itu amat kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali.
"Haiiiiiitt...!"
Ji Ok berseru nyaring.
"Hyaaaaaatttt...!"
Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut dan mereka tidak kuat bertahan, lalu keduanya terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya di serang hawa dingin, sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas.
Mereka tidak tahu bahwa kakek itu sebetulnya hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya dan membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang teramat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Ji ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka! Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka telah terluka dalam dan kalah. Mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Sejenak mereka bangkit dan duduk bersila untuk mengatur pernapasan mengambil hawa murni untuk melindungi jantng mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka.
"Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?"
Tanya Toa Ok dengan suara mengandung penasaran sekali.
"Siancai...!"
Kakek itu berseru sambil tersenyum.
"Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam daripada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!"
Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri.
Dua orang datuk ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa yang sakti sekali, seorang yang puluhan tahun yang lalu namanya terkenal dan di takuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu. Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa ampun sehingga dia dijuluki orang Pendekas Sadis! Pendekar Sadis inilah yang kemudian setelah tua mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Dan kini, tanpa di sangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan bertemu dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat.
"Pendekar Sadis...!"
Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jerih!
Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar di cari tandingannya. Ketika isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun lebih, kakek Ceng Thian Sin hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu, dia sudah hidup berdua dengan isterinya hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu.
Si Kong terheran-heran melihat kakek tua renta itu. Dia memandang pernuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya amat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih. Dia tadi melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkan seperti ditolak tenaga yang kuat sekali. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang amat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu dan memberi hormat berulang kali.
"Saya Si Kong yang bodoh merasa bersyukur sekali bahwa Lo-cian-pwe telah menyelamatkan nyawa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada Lo-cian-pwe tentulah sekarang saya telah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada Lo-cian-pwe."
Kakek itu mengelus jenggot putihnya yang panjang.
"Siancai...! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?"
Kemudian Ceng Thian Sin berdongak kelangit dan mulutnya membaca sajak!
"Begitu semua orang
mengenal keindahan
dengan sendirinya
muncul kejelekan,
Begitu semua orang
tahu apa itu kebaikan
mereka pun tahu
apa itu kejahatan...
Karena itu
ada dan tiada
saling melahirkan
sukar dan mudah
saling melengkapi
panjang dan pendek
saling mewujudkan
tinggi atau rendah
saling bersandar
bunyi dan suara
saling mengimbangi
dahulu dan kemudian
saling menyusul..."
Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.
"Itulah sebabnya orang sudi
bekerja tanpa bertindak
mengejar tanpa berkata.
Maka segala benda berkembang
tanpa dia mendorongnya
tunbuh tanpa dia mau memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
walaupun berjasa dia tidak menuntut,
justeru karena tidak menuntut,
maka tidak akan musna."
"Siancai...! engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus seklai, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?"
"Maafkan saya, Locianpwe. Kalau tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apapun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat untuk mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, lo-cianpwe?"
"Ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Dan gerakanmu demikian gesit. Tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!"
Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut.
"Apa yang Lo-cian-pwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk Lo-cian-pwe."
"Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai, yaitu ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?"
"Mereka berdua adalah guru-guru saya, Lo-cian-pwe."
Kata Si Kong yang menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.
"Pantas engkau mengenal To-tek-keng."
Kakek itu kembali melayangkan pandang pandang matanya kepada sembilan belas buah mayat yang malang melintang di tempat itu.
"Siapa yang membunuh mereka?"
Tanyanya.
"Dua orang kakek tadi, Lo-cian-pwe."
"Ceritakan dari semula semua yang terjadi disini."
"Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini di beri nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis."
"Siancai...! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu."
"Mula-mula saya melihat enam belas orang itu berkumpul disini dan pimpinan mereka menyatakan bahwa sekarang mereka akan mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enam belas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudia muncul Toa Ok dan Ji Ok tadi yang membunuh mereka semua, setelah menyuruh mereka semua membunuh diri dan mereka tidak mau lalu terjadi pertempuran. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya dan mereka menyerang saya seperti yang Locianpwe lihat tadi."
"Siancai...! Bunuh membunuh, bunuh membunuh sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling merebutkan kekuasaan. Dan sekarang hendak pergi ke mana, Si Kong?"
"Saya... pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, Lo-cian-pwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya."
Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandang matanya.
"Melanjutkan perjalanan kemana?"
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entah kemana, Lo-cian-pwe. Kemana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatangkara, dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja."
Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum.
Dia sendirianpun hidup menyendiri. Setelah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lalu, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enam puluh tahun lebih. Ceng Sui Cin hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song yang sekarang tinggal bersama puteri mereka menjadi ketua dari Cin-ling-pai. Biarpun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa dan hanya kadang-kadang saja, puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lo-jin (orang tua Ceng).
Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Ceng Lo-jin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar dan memejamkan matanya. Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba.
Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seorang diri saja, apalagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia lalu mengumpulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah. Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itupun seperti dia, agaknya hidup sebatangkara. Bagi dia, seorang pemuda, tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja dimana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biarpun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah? Dia semakin merasa kasihan kepadanya.
Apalagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Diapun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam samadhinya. Di jaganya api unggun itu agar tidak padam. Diapun mengaso dan mencoba tidur, walaupun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya. Ketika dia teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tidak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi, dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini, setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut! Jelaslah bahwa rasa takut itu tidak datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingat dan membayangkan yang tidak-tidak, membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun kembali. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja... demikianlah pikiran mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin. Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia jelas betul darimana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia "memasuki"
Rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan diapun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itupun menghilang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari samadhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula.
"Siancai...!"
Kata kakek itu tersenyum.
"Engkau masih berada disini, Si Kong? Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?"
"Maaf, Lo-cian-pwe, saya belum dapat pergi karena melihat Lo-cian-pwe sedang bersamadhi. Saya tidak mungkin pergi meninggalkan Lo-cian-pwe begitu saja tanpa pamit."
Ceng Lo-jin menghela napas panjang.
"Dasar jodoh, dasar jodoh! Thian (Tuhan) yang menentukan, manusia hanya dapat berusaha sekuat dan sebaik mungkin."
Kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Si Kong, bagaimana pendapatmu jika aku mengambilmu sebagai murid?"
Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah di sangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah dapat mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Maka, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.
"Lo-cian-pwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari Lo-cian-pwe. Kalau Lo-cian-pwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan dan saya hanya dapat berjanji akan menaati semua perintah dan petunjuk Lo-cian-pwe."
"Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus menaati semua perintahku."
Kata kakek tua renta itu. Dengan hati girang bukan main Si Kong lalu menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut,
"Suhu!"
"Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk suhu."
Kata pemuda itu. Ceng Lo-jin tersenyum.
"Sarapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
"Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu."
Ceng Lo-jin menggoyang tangannya,
"Tidak usah, aku sudah lama tidak lagi menyentuh makanan dari binatang, aku hanya makan tumbuh-tumbuhan sajah dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku."
Si Kong membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia lalu berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lo-jin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya dan guru dan murid itu lalu makan makanan sederhana itu dengan nikmat.
"Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa itu tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan juga juga makanan bernyawa itu tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa suhu sebagai seorang pertapa pantang makanan bernyawa, akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak dapat dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatang bernyawa, mau atau tidak."
Ceng Lo-jin mengangguk-angguk.
"Benar sekali keterangan Lo-kai Lo-jin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas, ada beberapa banyak binatang-binatang kecil ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja, dan tidak dapat di hindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang dan menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apapun alasannya, tetap saja merupakan pembunuhan dan pembunuhan di dukung oleh kekejaman."
"Maaf, suhu. Bukan sekali-kali teecu membantah, akan tetapi teecu memajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Apakah dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu jahat dan kejam, maka binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan lain binatang buas juga jahat?"
"Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, akan tetapi membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Harimau dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Akan tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi, orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang tentu ikut masuk bersama dengan daging yang di makannya. Akan tetapi ini bukanlah menjadi jaminan bahwa orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik, dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biarpun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging."
"Ah, tidak suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai tauladan. Kalau suhu tidak makan daging, teecu juga ikut tidak makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging."
Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampaknya hanya melangkah biasa saja, akan tetapi tubuh suhunya seolah tidak berjalan, melainkan melayang. Kedua kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Dia harus mengerahkan ilmu Liok-te hui-teng untuk dapat mengimbangi kecepatan langkah gurunya. Ceng Lo-jin mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur.
Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan di atas danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena itulah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lo-jin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat. Ceng Lo-jin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu dahulu ketika masih muda, terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Kalau bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw gentar kalau menengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat. Ilmu kepandaian kakek ini amat tinggi dan sukar di cari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh.
Diantaranya semua ilmu silat itu, terdapat ilmu silat Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), Pek-in-ciang (Tangan Awan putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hwat (Ilmu Silat Awan Gunung). Akan tetapi diantara yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang terdiri hanya dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi-i-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu, dia dapat menyedot tenaga sakti lawan kedalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri dan membuat lawan menjadi lemas karena tubuhnya kosong dari tenaga dalam yang disedot habis! Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu, tidak ada orang lain lagi kecuali Ceng Lo-jin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi-i-beng.
Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu. Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lo-jin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lo-jin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu memiliki tulang yang baik dan bakat yang besar, pula memiliki kecerdikan dan keberanian. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dai ujar-ujar kitab suci, hatinya semakin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lo-jin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai.
Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang amat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus menggunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya menjadi banyak jurus. Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sukar ini dan usianya sudah delapan belas tahun barulah Ceng Lo-jin mengajarkan ilmu yang lebih sulit lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi-i-beng! Untuk dapat menghimpun tenaga sakti yang langka ini, Si Kong harus bersamadhi dengan bermacam-macam cara.
Bahkan selama berbulan-bulan dia harus bersamadhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada ditubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak. Selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu hanya baru menerima tamu bebrapa kali saja. Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lo-jin, yaitu pendekar Cia Hui Song yang sudah berusia tujuh puluh tahun, dan puteri Ceng Lo-jin yang bernama Ceng Sui Cin dan telah berusia enam puluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini datang menjenguk Ceng Lo-jin dan setiap kali datang mereka membujuk Ceng Lo-jin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san. Dimana kakek itu dapat tinggal bersama keluarganya.
"Tidak, aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan disini, akupun ingin dimakamkan disini kalau saat terakhirku tiba. Dan jangan khawatir, disini ada Si Kong yang merupakan murid yang amat berbakti."
Demikian kakek itu menolak dengan halus. Ceng Sui Cin dan suaminya merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tidak merasa iri melihat Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi-i-beng yang ia sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang.
"Sute Si Kong."
Kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong sudah berusia sembilan belas tahun.
"engkau beruntung sekali mendapatkan kepercayaan Ayahku sehingga diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia dari Cinling-pai. Akan tetapi disamping keberuntungan itu, berarti engkau bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan sekali-kali tidak boleh kau pergunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggauta besar Cin-ling-pai akan menghadapimu dan minta pertanggungjawab darimu."
"Saya mengerti benar akan apa yang suci maksudkan. Saya hanya seorang manusia biasa, suci, maka saya tidak berani tekebur dan menjanjikan sesuatu yang kelak tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke arah jalan yang benar!"
Ucapan ini bahkan lebih melegakan hati Ceng Sui Cin dari pada kalau pemuda itu mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini. Sayang bahwa pemuda sebaik dan sebesar in bakatnya bukan keluarga besar Cin-ling-pai. Selain suami isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, juga cucu Ceng Lo-jin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empat puluh tujuh tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang bernama Tang Hay. Sebagai puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan seorang wanita sakti maka ia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai.
Akan tetapi suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai daripada ia. Cia Kui Hong ini pernah digembleng pula di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya, bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang Pembunuh Iblis) dari neneknya. Akan tetapi Cia Kui Hong inipun dianggap kurang berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-cian dan Thi-khi-i-beng. Adapun suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja memiliki ilmu yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi diapun mahir ilmu sihir! Seperti juga nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si Kong bekerja di ladang kecil di mana dia menanam sayur-sayuran untuk dia dan gurunya. Dan seperti juga ibunya, Cia Kui Hong berkata kepada Si Kong,
"Si Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kong-kong dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali engkau menggunakan untuk kejahatan, karena dengan demikian, engkau akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan kami semua akan menghadapimu sebagai musuh!"
Si Kong tersenyum. Betapa miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak sudah memperingatkannya dengan keras.
"Harap pangcu tidak khawatir. Saya sudah berjanji di depan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan menaati semua pesan dan perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan kebenaran."
Ketua Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah, lalu mereka pulang karena merekapun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lo-jin untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san. Diam-diam Si Kong merasa ngeri juga. Dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan omong kosong saja dengan peringatan mereka.
Akan tetapi hatinya tidak merasa khawatir karena sedikitpun tidak ada niat dihatinya untuk berbuat jahat atau seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Disamping ilmu silat, diapun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lo-jin sendiri. Waktu berlalu amat cepatnya bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa, dua tahun lagi telah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong bersama suaminya itu. Kini Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Diapun telah menguasai Thi-khi-i-beng. Ceng Lo-jin juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya semakin kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandang matanya masih tajam dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu.
"Berhentilah bekerja sebentar. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai Thi-khi-i-beng secara benar."
Si Kong cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu.
"Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"
Katanya dengan suaranya yang selalu bernada gembira dan tegas.
"Si Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi-i-beng adalah menghentikan tenaga menyedot tenaga sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan sempurna, engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja dan secara mudah karena tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali mencoba untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng kalau engkau belum mampu mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi-i-beng itu kepundak yang dicengkeram dan tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang kucengkeram. Kalau sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus."
"Baik, suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!"
"Lihat serangan."
Kakek berseru dan secepat kilat, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram pundak kanan Si Kong. Begitu merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng dan tangan kakek itu menempel pada pundaknya, dan ada tenaga sedotan yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong. Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, tahulah Si Kong bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga terlepas dari tempelan tangan Ceng Lo-jin. Ceng Lo-jin sendiri terhuyung ke belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya.
"Suhu baik-baik saja?"
Ceng Lo-jin tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Tidak apa-apa akan tetapi hatiku senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi-i-beng! Itu baik sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan tenaga sedotan Thi-khi-i-beng yang tidak dapat kau hentikan."
Melihat kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Diaoun terkejut!
"Jantung suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat...!"
Kembali Ceng Lo-jin tersenyum.
"Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu selagi badan kuat, engkau harus dapat mempergunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Kalau kelak engkau sudah setua aku, engkaupun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?"
"Akan tetapi suhu, kesehatan suhu terancam. Suhu tidak boleh mengerahkan tenaga dan harus beristirahat. Saya akan membuatkan obat untuk memperkuat daya tahan tubuh suhu!"
Ceng Lo-jin menggeleng kepala.
"Tidak, Si Kong. Pengobatan manusiapun ada batasnya. Badan yang tua tidak dapat dipulihkan kembali. Mengingat keadaanku ini, patut kunasihatkan kepadamu, tengoklah ke atas! Tengoklah keatas dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan! Jangan lupa untuk menengok kebawah! Tengoklah ke bawah dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita daripada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu, engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah hati dan tidak rendah diri. Engkau akan menjadi seorang manusia yang jauh lebih gagah perkasa kalau engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!"
"Teecu akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasihat suhu."
Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan. Tempat tinggal mereka berada di daratan paling tinggi di pulau itu dan dari situ orang dapat melihat ke empat penjuru yang lebih rendah. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang dari arah selatan maka dia memandang ke sana penuh perhatian.
"Ada orang-orang datang mengunjungi kita."
Terdengar Ceng Lo-jin berkata. Ini membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam. Si Kong melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu bukan orang sembarangan.
"Benar suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari cepat tinggi. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, suhu."
"Siapapun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si Kong."
"Baik, suhu."
Mereka lalu berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja tujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika mengenal dua orang diantara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai kepinggang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok atau Thai-mo-ong dan dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua. Si Kong melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya sekitar enam puluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka seperti jubah pendeta.
"Ha-ha-ha, kiranya Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan si bocah setan juga berada disini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami tempo hari kepada kalian!"
Kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tongkat ularnya.
"Sekali ini engkau tidak dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!"
Kata Ji Ok sambil mencabut pecutnya.
"Pendekar Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lo-jin."
Kata Ceng Lo-jin, lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu.
"Toa Ok dan Ji Ok agaknya belum jera setelah kekalahannya di Bukit Iblis dahulu, akan tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan kami?"
"Kami berlima di kenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) datang dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahunkami mendengar betapa Pendekar Sadis amat sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami juga sudah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejamannya yang dahulu dia lakukan. Akan tetapi, kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong dan mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia kang-ouw bahkan telah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai mereka. Karena itu, kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis."
Kumbang Penghisap Kembang Eps 18 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 9 Kumbang Penghisap Kembang Eps 16